Denpasar, 13-14 Juli 2012 [PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERTETA 2012]
PERANCANGAN DAN PENGAPLIKASIAN DETEKTOR CEPAT AFLATOKSIN UNTUK MENGUKUR KANDUNGAN AFLATOKSIN PADA PRODUK HASIL PERTANIAN Arifin Dwi Saputro, Ridwan Kurniawan, Hanim Zuhrotul Amanah, Sri Rahayoe Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Jl. Flora No. 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 email :
[email protected]
ABSTRAK Aflatoksin sering mengkontaminasi berbagai produk pangan dan pakan terutama di daerah tropis seperti Indonesia. Konsumsi makanan yang mengandung aflatoksin secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama sangat berbahaya bagi kesehatan. Sulitnya pengukuran kandungan aflatoksin pada produk pertanian membuat tingkat cemaran aflatoksin ditingkat petani menjadi tidak terdeteksi. Selain biayanya yang mahal, preparasi yang cukup rumit membuat proses pengujian kandungan aflatoksin di tingkat petani menjadi terkendala. Oleh karena itulah dalam penelitian ini dirancang suatu rangkaian alat yang dapat digunakan untuk mengukur kandungan aflatoksin secara cepat dan mudah digunakan. Karakter khusus dari aflatoksin terhadap absorbsi dan pemantulan sinar ultraviolet (UV) dijadikan sebagai dasar kerja rangkaian alat ini. Karakter khusus yang dimaksud adalah bahwa produk pertanian yang mengandung aflatoksin akan memendarkan warna khas ketika dipapar sinar UV. Dari hasil penelitian diketahui bahwa panjang gelombang optimum yang dapat memberikan pendaran pada aflatoksin adalah pada panjang gelombang 365 nm. Hasil pengukuran menggunakan peralatan ini kemudian dibandingkan dan dikalibrasi menggunakan data pengukuran kandungan aflatoksin pada sampel menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Kata kunci : aflatoksin, detektor cepat aflatoksin, sinar UV, pendaran warna
Aflatoksin merupakan toksin alami yag dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus, dan Aspergillus nomius. Aflatoksin berbahaya terhadap kesehatan manusia dan hewan karena aflatoksin bersifat karsinogenik, mutagenik, teratogenik, dan immunosupresif. Aflatoksin yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus diketahui tidak hanya satu struktur saja. Menurut Yoe (1997), toksin yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus merupakan campuran dari empat jenis toksin sekaligus. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nesbit pada tahun 1962, empat jenis toksin tersebut diidentifikasi sebagai aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 (Donatus dan Makfoeld, 1990). Penelitian tentang aflatoksin semakin berkembang dan selanjutnya ditemukan beberapa derivat dari aflatoksin, diantaranya adalah M1 dan M2 yang ditemukan pada urin dan susu sapi yang sebelumnya mengkonsumsi ransum yang tercemar aflatoksin B1 dan B2. Hasil survey terhadap produk makanan di Indonesia menunjukkan banyak produk terkontaminasi aflatoksin di atas batas normal yang diperbolehkan oleh badan POM, yaitu 20 ppb (Badan POM, 2004). Hasil survey yang lain menunjukkan berbagai produk pangan seperti kacang tanah dan olahannya tercemar aflatoksin sampai 41,6 ppb (Lilieanny et al,
Rekaysa Alat dan Mesin Pertanian
PENDAHULUAN
475
Denpasar, 13-14 Juli 2012 [PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERTETA 2012] 2005). Aflatoksin juga ditemukan pada daging dan susu segar ternak yang mengkonsumsi pakan terkontaminasi alatoksin B1 (Desphande, 2002). Selama ini pengukuran kandungan aflatoksin pada bahan pangan dilakukan dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) (AOAC, 2005) dan metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) (Yusrini, 2010). Akan tetapi, selain preparasinya yang cukup panjang dan masih terbatasnya jumlah HPLC serta KIT ELISA membuat proses penelitian dan pengujian aflatoksin terkadang menjadi terkendala. Oleh karena itulah pada penelitian ini dirancang suatu rangkaian alat yang dapat digunakan untuk mengukur kandungan aflatoksin menggunakan sensor pendeteksi berbasis pendaran yang ditimbulkan oleh sinar UV. Karakter khusus masing-masing jenis aflatoksin terhadap absorbsi dan pemantulan sinar UV akan dijadikan sebagai dasar kerja rangkaian alat ini. Pada proses penelitian selanjutnya, kemampuan pengukuran rangkaian alat ini akan dilengkapi dengan sistem jaringan syaraf tiruan sehingga dapat digunakan sebagai pengukur kandungan aflatoxin dengan tingkat akurasi dan presisi yang baik.
Gambar 1. (a). Kacang yang mengandung aflatoksin (b). Pendaran akibat pemaparan sinar UV pada kacang yang mengandung aflatoksin Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengembangkan teknik pengukuran kandungan aflatoksin menggunakan satu rangkaian peralatan berbasis sensor sinar UV. Lebih jauh lagi, hasil penelitian ini dapat dikembangkan lagi dengan mengadopsi sistem jaringan syaraf tiruan sehingga siap digunakan sebagai alat pendeteksi dan pengukur cepat kandungan aflatoksin. Jaringan syaraf tiruan merupakan model matematis dan komputasi yang diilhami dari pengetahuan tentang sel saraf biologis di dalam otak (Hermawan, 2006).
A. Alat dan Bahan 1) Alat Detektor Cepat Aflatoksin Alat detektor cepat aflatoksin dirangkai sendiri dengan menggunakan beberapa piranti elektronika dengan bagian utama berupa : a. LED (Light Emitting Dioda) UV b. Photodiode c. Resistor d. Kamera 2) Lampu UV Tubular Lampu UV dengan beberapa variasi panjang gelombang digunakan untuk menguji panjang gelombang optimum yang sesuai untuk memendarkan aflatoksin. 3) Aflatoksin Murni Aflatoksin murni diperoleh dari Laboratorium Kimia Biokimia Pengolahan, Jurusan TPHP, FTP UGM.
Rekaysa Alat dan Mesin Pertanian
METODOLOGI
476
Denpasar, 13-14 Juli 2012 [PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERTETA 2012] B. Metode Penelitian ini diawali dengan menentukan panjang gelombang optimum yang dapat membuat aflatoksin berpendar ketika dipapar sinar UV. Pemaparan sinar UV dengan berbagai panjang gelombang dilakukan dengan cara memapar aflatoksin murni yang sebelumnya di-spot-kan pada plat TLC (Thin Layer Chromatography) pada berbagai konsentrasi. Metode yang gunakan untuk men-spot-kan aflatoksin pada plat TLC mengikuti metode Yuangling Liang (1996). Lampu UV yang digunakan berjenis lampu UV tubular. Pengujian selanjutnya dilakukan dengan menggunakan alat detektor cepat aflatoksin untuk mengukur pendaran aflatoksin pada plat TLC tersebut. Parameter keberhasilan dari pengujian ini dititikberatkan pada kemampuan alat untuk mendeteksi pendaran yang dihasilkan. Hasil pengukuran ini selanjutnya akan dibandingkan dengan hasil pengukuran menggunkan HPLC.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perancangan Alat Alat detektor cepat aflatoksin ini dibagi menjadi beberapa bagian yang meliputi bagian detektor, (2) bagian pengolah sinyal, dan (3) bagian output.
(1)
Gambar 2. Detektor Cepat Aflatoksin
Gambar 3. Bagian Detektor
Rekaysa Alat dan Mesin Pertanian
(1). Bagian detektor Bagian detektor merupakan bagian yang digunakan untuk mengubah pendaran sinar yang terukur menjadi besaran tegangan listrik. Pada bagian ini terdapat LED (Light Emitting Dioda) UV, photodiode, resistor, dan dilengkapi kamera untuk mengambil gambar sampel. Pada bagian ini terdapat lampu UV yang dipasang dan diarahkan ke sampel yang akan diukur kandungan aflatoksinnya. Selain lampu UV, di bagian ini terdapat sensor yang diarahkan ke sampel yang berfungsi untuk mengukur intensitas pendaran akibat pemaparan sinar UV. Sensor ini akan mengubah besaran pendaran UV menjadi besaran tegangan untuk selanjutnya diolah di bagian pengolah sinyal.
477
Denpasar, 13-14 Juli 2012 [PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERTETA 2012] 2) Bagian Pengolah Sinyal Bagian pengolah sinyal merupakan bagian yang digunakan untuk mengolah nilai besaran keluaran sensor menjadi format data yang dapat dibaca dan diolah oleh komputer. Bagian ini memiliki fitur ADC (analog to digital converter) yaitu sebuah fitur yang akan mengubah besaran tegangan analog menjadi besaran digital. Besaran digital adalah besaran yang sudah dikenali oleh computer.
Gambar 4. Bagian Pengolah Sinyal (3) Bagian Output Bagian ini berupa mini LCD penampil yang terintegrasi langsung dengan alat detektor menjadi satu kesatuan. Data pengukuran yang dihasilkan berupa angka. Selain itu, bagian ini juga dapat berupa personal komputer yang dihubungkan dengan alat detektor yang berfungsi sebagai penampil data pengukuran dalam bentuk lebih detail yang dilengkapi dengan penampil foto sampel.
B. Pengaplikasian Alat Detektor Cepat Aflatoksin untuk Pengukuran Kandungan Aflatoksin Salah satu bagian terpenting dari alat detektor cepat aflatoksin adalah LED UV. Kesesuaian panjang gelombang LED UV akan menentukan apakah akan dihasilkan pendaran ketika sinar UV dipaparkan pada aflatoksin. Untuk menentukan panjang gelombang yang paling optimum, dilakukan pengujian pendahuluan menggunakan lampu UV tubular. Dari hasil pengujian pendahuluan pemaparan sinar UV pada berbagai konsentrasi aflatoksin murni yang dispotkan di plat TLC diperoleh data seperti pada tabel 1 berikut :
Rekaysa Alat dan Mesin Pertanian
Gambar 5. (a). Output pada mini LCD (b). Output pada Personal Computer
478
Denpasar, 13-14 Juli 2012 [PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERTETA 2012] Tabel 1. Keberadaan Pendaran Pada Aflatoksin Murni yang Dipapar Sinar UV Panjang Gelombang UV (nm) Konsentrasi 275 365 (ppb) 200 100 50 25 Ket : - = tidak ditemukan pendaran,
400 -
= ditemukan pendaran
Dari hasil pengujian pendahuluan di atas dapat dilihat bahwa pada panjang gelombang sinar UV 365 nm dan konsentrasi 50, 100, dan 200 ppb ditemukan adanya pendaran. Hal ini membuktikan bahwa 365 nm adalah panjang gelombang yang optimum untuk menghasilkan pendaran. Pada konsentrasi 25 ppb tidak dihasilkan pendaran. Hal ini disebabkan oleh kecilnya konsentrasi aflatoksin. Setelah pengujian pendahuluan dilakukan, pengujian pada sampel yang sama dilakukan menggunakan detektor cepat aflatoksin. Dari hasil penelitian tidak diperoleh pendaran aflatoksin meskipun sudah dilakukan variasi jumlah LED UV yang dinyalakan. Variasi dilakukan dengan menyalakan semua LED UV sampai hanya 1 buah LED UV yang dinyalakan. Tidak terbentuknya pendaran menyebabkan kandungan aflatoksin tidak bisa di kuantifikasi. Hal ini dimungkinkan disebabkan kecilnya konsentrasi aflatoksin yang dipapar sinar LED UV atau panjang gelombang sinar LED UV yang digunakan pada alat detektor bukan 365 nm. Untuk memastikan penyebabnya agar hasilnya dapat dibandingkan dengan pengukuran menggunakan HPLC diperlukan sebuah penelitian lagi. Penelitian secara lebih detail ini terkait pemilihan LED UV yang akan dipasang di bagian detektor.
KESIMPULAN Detektor cepat aflatoksin ini secara sistem dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan aflatoksin. Akan tetapi untuk membuat kinerja rangkaian alat ini menjadi lebih sempurna, penelitian lebih lanjut terkait pemilihan LED UV dengan panjang gelombang 365 nm perlu dilakukan.
UCAPAN TERIMA KASIH
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 2005. Aflatoxins in Corn, Raw Peanuts, and Peanut Butter Liquid Chromatography with Post-Column Photochemical Derivatization . First Action 2005. Badan POM. 2004. Aflatoksin. Buletin POM : Keamanan Pangan. Volume 2 / Edisi 1. Dhespande, SS. 2002. Handbook of Toxicology. Marcel Dekker Inc. New York. Donatus, LA and D. Makfoeld. 1990. Toksin Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Gadjah Mada University. Yogyakarta. Hermawan, Arief. 2006. Jaringan Syaraf Tiruan. Teori dan Aplikasi. Andi Offset. Yogyakarta.
Rekaysa Alat dan Mesin Pertanian
PHK-I Batch IV/Tahun I (2011), Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada.
479
Denpasar, 13-14 Juli 2012 [PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERTETA 2012] Charles. 1997. Aflatoxin Risk Assesment ‘Red Book” Model Exercise. www.foodriskclearinghouse.umd.edu/pversion/powerpoint/aflatoxin.ppt. Yuanling Liang, Mark E. Baker, B. Todd Yeager, and M. Bonner Denton. 1996. Quantitative Analysis of Aflatoxins by High-Performance Thin-Layer Chromatography Utilizing a Scientifically Operated Charge-Coupled Device Detector. Anal. Chem. 68, 3885-3891 Yusrini, Heni. 2010. Teknik Pengujian Kadar Aflatoksin B1 pada Jagung Menggunakan KIT ELISA. Buletin Teknik Pertanian Vol. 15, No. 1 : 28-32.
Rekaysa Alat dan Mesin Pertanian
Yoe,
480