Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
KANDUNGAN AFLATOKSIN DAN ANALISIS TITIK KRITIS PADA PENGELOLAAN PASCAPANEN JAGUNG DI KABUPATEN GARUT (Contamination of Aflatoxin and Critical Point Analysis in Corn Postharvest Steps at Garut Regency) 1
AGUS SUSANTO 1
, E.B. LACONI2 dan R.WIDIASTUTI3
Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak, Jl. MT Haryono No. 98, Kec. Setu, Kabupaten Bekasi 2 Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Bogor 3 Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
ABSTRACT Corn is the major ingredient feedstuff. Feed ration in feedmill industry is based on corn-soya. Postharvested corn is susceptible to fungal invasion which able to produce fungal metabolites such as aflatoxin. The objectives of the research were (1) to get a description of aflatoxin contamination in farmer, collecting sellers and whole sellers (2) to get a description of critical points in aflatoxin contamination. A total of 57 samples of corn which collected from farmers, collecting sellers and whole sellers in Garut regency have been investigated for the aflatoxin contamination and the critical points of its occurrence in postharvested corn. Samples were collected by purposive sampling method and aflatoxin content was detected by Enzyme Linked Imunosorbent Assay (ELISA). The results showed that the highest contamination was found in whole sellers level. The critical points at farmers stage were due to spoilage corn from improper handling in the field, shelling procedure and sun drying dependency . Critical points at collecting sellers stage were due to improper storage and sun drying dependency. Whereas critical point at whole seller stage was due to the improper mixing practice. Key Words: Aflatoxin, Corn, Critical Points, Postharvest, ELISA ABSTRAK Jagung merupakan bahan baku pakan utama dalam industri pakan maupun dalam penyusunan ransum pakan. Sampai saat ini industri pakan unggas masih berbasis corn-soya. Jagung mudah terkontaminasi aflatoksin, suatu metabolit sekunder dari cendawan Aspergillus flavus, A. parasiticus dan cendawan lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk membuat diskripsi kadar aflatoksin pada jagung dari tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar, menganalisa titik-titik kritis (critical points) peningkatan aflatoksin. Total sampel yang diuji sebanyak 57 sampel yang berasal dari petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar di Kabupaten Garut. Metode pengambilan sampel adalah purposive sampling. Pengujian kadar aflatoksin menggunakan metoda ELISA (Enzyme Linked Imunosorbent Assay) untuk aflatoksin B1. Kandungan aflatoksin rata-rata di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar secara berturut-turut adalah 2.98 ppb, 8.46 ppb dan 36.71 ppb. Titik kritis di tingkat petani adalah pada proses sortasi, pemipilan dan pengeringan. Titik kritis di tingkat pedagang pengumpul adalah pada proses pengeringan dan penyimpanan. Titik kritis di tingkat pedagang besar adalah praktek mencampur (mixing). Kata Kunci: Aflatoksin, Jagung, Titik Kritis, Pascapanen, ELISA
PENDAHULUAN Jagung merupakan sumber energi, dengan kandungan karbohidrat/pati sebesar 64%. Sampai saat ini industri-industri pakan ternak unggas masih berbasis corn-soya. Produksi
696
jagung belum bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri, sehingga masih harus mengimpor. Pada periode 1990 – 2001, penggunaaan jagung impor sebagai bahan baku industri pakan meningkat tajam dengan laju sekitar 11,81% per tahun. Mulai tahun 1994
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
ketergantungan pabrik pakan terhadap jagung impor sangat tinggi, sekitar 40,29% dan pada tahun 2000 mencapai 47,04%, sementara 52,96% sisanya berasal dari jagung produksi dalam negeri (DEPTAN, 2005). Indonesia dan negara-negara penghasil jagung lainnya memiliki permasalahan dalam pengolahan pascapanen, karena jagung mudah terkontaminasi oleh cendawan, khususnya A. flavus, dan A. parasiticus, yang dapat menghasilkan metabolit sekunder berupa aflatoksin. Aflatoksin selain terdapat pada jagung juga ditemukan pada kacang tanah, kedelai, beras, kopi dan komoditas hasil pertanian lainnya. Senyawa aflatoksin dapat menimbulkan gangguan baik pada hewan maupun manusia, karena bersifat karsinogenik, sebagaimana telah ditetapkan oleh IARC (International Agency Research on Cancer) pada tahun 1988 bahwa aflatoksin merupakan bahan karsinogenik kelas I (KENNEDY, 2003). Ada beberapa tahapan dalam proses pengelolaan jagung sebagai hasil pertanian mulai dari pemanenan, pemetikan hingga ke pedagang besar. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah (1) pemetikan, (2) pengeringan di tingkat petani, (3) pengangkutan ke pedagang pengumpul, (4) penyimpanan dan (5) pengangkutan di pedagang besar. Oleh karena itu tujuan penelitian adalah membuat diskripsi ilmiah kadar aflatoksin pada jagung dari tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar dan mempelajari titik-titik kritis (critical points) peningkatan aflatoksin pada jagung selama pengelolaan pascapanen. TINJAUAN PUSTAKA Aflatoksin Aflatoksin adalah salah satu senyawa toksik yang dihasilkan terutama oleh cendawan A. flavus dan A. parasiticus. Secara terminologi aflatoksin, berasal dari kata A yang diambil dari kata Aspergillus dan fla dari kata flavus dan kata toksin (toxin) menunjukkan racun, karena pada mulanya racun ini ditemukan pada cendawan A. flavus. Aflatoksin secara kimiawi termasuk derivat kumarin dan merupakan toksin yang dihasilkan oleh cendawan (mikotoksin).
Mikotoksin merupakan metabolit sekunder dari cendawan tertentu yang mempunyai kerja toksik terhadap hewan-hewan berderajat tinggi dan manusia (SCHLEGEL, 1994). Menurut LEESON dan SUMMERS, (2001), metabolit primer adalah metabolit yang dihasilkan oleh cendawan untuk pembentukan biomassa dan membangkitkan energi untuk keperluan metabolisme primer, sedangkan metabolit sekunder biasanya terbatas pada spesies tertentu (strain tertentu) dan dihasilkan setelah fase pertumbuhannya stabil dan biasanya bersamaan dengan perubahan bentuk seperti sporulasi. Aflatoksin ditemukan pada tahun 1960, setelah terjadi kematian kalkun sebanyak 100.000 ekor di Inggris, dan tingginya kejadian penyakit hati pada bebek di Kenya dan budidaya ikan trout di Amerika Serikat. Ilmuwan Inggris segera melakukan penelitian dan ternyata wabah penyakit tersebut disebabkan oleh racun dari cendawan A. flavus dan A. parasiticus (PITT, 1989). Menurut LILLEHOJ (1986) terdapat 4 jenis aflatoksin utama yaitu aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Selain empat jenis utama aflatoksin masih ditambah dua metabolit produk dari aflatoksin yakni M1 dan M2. Menurut MARIANE (1987), rumus kimia untuk 4 jenis aflatoksin adalah C17H12O6 (aflatoksin B1), C17H14O6 (aflatoksin B2), C17H12O7, (aflatoksin G1) dan C17H14O7 (aflatoksin G2). Aflatoksin B1 merupakan senyawa yang berpotensi sebagai hepatotoksin dan hepatokarsinogen yang mampu menyebabkan tumor pada hati mamalia dan unggas. Secara epidemiologi, terdapat hubungan antara kontaminasi aflatoksin pada makanan di Asia dan Afrika dengan meningkatnya kejadian kanker hati pada manusia (PITT, 1989). Keberadaan kapang toksigenik pada bahan pangan atau pakan tidak secara otomatis menandakan bahwa mikotoksin juga terdapat pada bahan tersebut. Hal ini terjadi karena produksi mikotoksin dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien dan faktor lingkungan, seperti suhu dan kelembaban (BAHRI dan MARYAM, 2004). Pertumbuhan dan aktivitas metabolisme jasad renik membutuhkan air untuk mengangkut zat-zat gizi atau bahanbahan limbah kedalam dan keluar sel. Pengurangan aktivitas air atau kelembaban relatif keseimbangan (HRs) akan
697
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
memperlambat aktivitas metabolisme dan membatasi pertumbuhan cendawan (SYARIEF et al., 2003). Aspergillus spp. A. flavus merupakan cendawan yang bersifat thermotoleran, maka seperti cendawan atau bakteri lainya yang tahan hidup pada temperatur tinggi dan dalam kondisi kering. Cendawan dalam musim dingin terdapat dalam tanah dan populasi meningkat selama musim panas. Cendawan menyebar dibantu dengan angin dan serangga. Cendawan berkembang dalam klobot dan masuk ke dalam biji jagung. Kerusakan biji jagung oleh serangga merupakan faktor predisposisi biji terserang cendawan. Tumbuhan yang stress mudah terserang cendawan. Usaha untuk mengontrol serangan cendawan dapat menggunakan irigasi untuk mencegah stres dari tumbuhan dan pengolahan tanah untuk mengurangi inokulasi (SHAFEY et al., 1999). Penelitian dan monitoring aflatoksin di Indonesia Data hasil penelitian dan monitoring dari proyek FAO (Food Agricultural Organisation) “Inter Country Cooperation in Post Harvest Technology and Quality Control of Grains” yang dilaksanakan pada 13 negara Asia diperoleh data bahwa rata-rata kadar aflatoksin pada jagung di Sulawesi Utara secara signifikan lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya, walaupun rata-rata aflatoksin di luar Sulawesi Utara di atas 100 ppb. Jagung merupakan makanan pokok kedua di beberapa daerah di Indonesia (seperti Sulawesi Selatan, dimana konsumsi per kapita untuk setiap hari 300 – 500 g). MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di daerah penghasil jagung di Provinsi Jawa Barat yaitu di Kabupaten Garut dimulai dari Oktober 2006 sampai Mei 2007. Pemilihan lokasi Kabupaten Garut berdasarkan data bahwa Kabupaten Garut merupakan Kabupaten penghasil jagung terbesar di Provinsi Jawa Barat dan memiliki
698
nilai produktivitas paling tinggi (DEPTAN, 2005). Metode sampling adalah Purposive Sampling dengan jumlah total sampel 57 sampel dengan komposisi sampel dari petani 19 sampel, pedagang pengumpul 18 sampel dan pedagang besar 20 sampel. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode pengambilan contoh padatan menurut SNI 190428-1998. Penentuan lokasi untuk tingkat petani dan pedagang pengumpul berdasarkan pada kecamatan penghasil jagung yang paling banyak. Pengumpulan data yang berkaitan dengan pengelolaan pascapanen seperti pemipilan, pengeringan, penyimpanan dan transportasi, dilakukan dengan interview menggunakan kuesioner. Jenis uji ELISA yang digunakan adalah kompetisi langsung (Direct Competitive), dengan menggunakan kit aflatoksin (Balitvet). Sampel diekstraksi dengan metanol 60%, kemudian hasil ekstraksi sampel dicampur dengan konjugat enzim (Aflatoxin B1-Horse Raddish Peroxidase), kemudian dimasukan ke dalam plat mikro yang sudah dilapisi antibodi. Selanjutnya konjugat enzym yang tidak berikatan dengan antibodi dicuci dengan akuades dan enzim yang mengikat antibodi pada plat mikro dengan penambahan substrat akan membentuk warna. Dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm intensitas warna tersebut diukur untuk mengetahui kadar aflatoksin. HASIL DAN PEMBAHASAN Alur tataniaga jagung Berdasarkan hasil wawancara, maka dapat disusun alur tataniaga jagung seperti pada Gambar 1. Petani tidak ada yang menjual langsung ke pasar tradisional atau industri pakan ternak tetapi menjual ke pedagang pengumpul di daerahnya. Jagung yang diolah oleh industri pakan ternak telah melalui dua tingkat pedagang, yakni pedagang pengumpul dan pedagang besar. Alur tata niaga jagung di Kabupaten Garut tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan KOOSWARDHONO dan KARLIYENNA (1991) menyatakan bahwa alur tataniaga jagung di Jawa Timur adalah:
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
0 Petani
1
(75%)
(95%)
Pedagang pengumpul
Pedagang besar
(25%)
Industri pakan ternak
(5%)
Peternak/farm
Gambar 1. Alur tataniaga jagung di Kabupaten Garut
petani Æ pengumpul Æ pedagang besar tingkat Kabupaten Æ Pedagang besar tingkat Provinsi Æ Pabrik makanan ternak. Sumber pengeringan jagung dengan menggunakan panas matahari, sangat rentan terhadap perubahan cuaca. BALITBANGTAN (2005) menyatakan bahwa pengeringan dengan bersumberkan sinar matahari tidak dapat diandalkan dimusim hujan karena membutuhkan waktu lama dan kehilangan hasil cukup tinggi. Aflatoksin Dalam penelitian ini yang disebut aflatoksin merupakan aflatoksin hasil analisa dengan metode ELISA yang memiliki respon spesifik terhadap aflatoksin B1 (100%) dan memiliki reaksi silang terhadap aflatoksin B2 (0,9%), aflatoksin G1 (3,5%) dan aflatoksin G2 (1,6%) (RACHMAWATI, 2005). Hasil pengujian
kandungan aflatoksin di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar, apabila diolah dalam boxplot, ditunjukkan pada Gambar 2. Kandungan aflatoksin mengalami kecenderungan meningkat dari tingkat petani ke tingkat pedagang besar baik secara rata-rata maupun median (Tabel 1). Di setiap tingkatan nilai rata-rata selalu lebih tinggi dengan nilai median. Jumlah data yang di bawah rata-rata selalu lebih banyak jika dibandingakan dengan data di atas rata-rata, kondisi ini tergambarkan dengan daerah diatas garis median lebih luas dibandingkan dengan daerah di bawah garis median. Di tingkat petani terdapat dua data dan di pedagang pengumpul tiga data pencilan dengan kandungan aflatoksin yang tinggi, hal ini disebabkan dalam pengolahan pascapanennya petani (6% dari responden) dan pedagang pengumpul (31% dari responden) menyimpan jagung lebih dari 14 hari. Waktu
90
Kandungan aflatoksin (ppb)
80 70 60 50 40 30 20 10 0
P e ta n i
P edagang pengum pul
P edagang besar
Gambar 2. Kandungan aflatoksin di tiga tingkatan pengelola pascapanen
699
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
penyimpanan yang lama akan meningkatkan kandungan aflatoksin, karena dengan bertambahnya waktu akan memberikan peluang cendawan penghasil aflatoksin memproduksi metabolit sekunder aflatoksin. Tabel 1. Sebaran kandungan aflatoksin di petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar Kandungan aflatoksin (ppb) Petani
Pedagang Pedagang pengumpul besar
Rata-rata
2,98
8,46
36,71
Median
0,20
1,78
4,90
Nilai minimal
0,04
0,14
0,23
Nilai maksimal
23,78
47,41
89,18
0,16
0,93
0,45
Kuartil 1 Kuartil 3
2,58
9,15
75,24
Jarak antar kuartil
2,42
8,22
74,79
Menurut RACHMAWATI et al. (1999) hasil pengamatan kandungan aflatoksin pada pakan menunjukkan adanya peningkatan kadar aflatoksin selama masa inkubasi 10 hari. GOLDBLATT (1969) menyatakan bahwa pembentukan aflatoksin akan terus meningkat jika cendawan bertambah banyak dan waktu penyimpanan yang lama, selama batas optimum pertumbuhannya yaitu selama 7 – 15 hari. TITIK et al. (2001) menyatakan bahwa Aspergillus sp. mulai terdeteksi pada penyimpanan jagung selama 2 minggu, dan cendawan Aspergillus dan Pinicillium mampu tumbuh pada kadar air rendah. Kadar aflatoksin di tingkat petani masih rendah (di bawah 25 ppb) tidak berarti pengelolaan pascapanen sudah sempurna, tetapi karena masa tinggal di tingkat petani yang pendek sekitar 8 hari, sedangkan pertumbuhan cendawan optimum selama 7 – 15 hari (GOLDBLATT, 1969) dan menunjukkan peningkatan kadar aflatoksin 10 hari (RACHMAWATI, et al. 1999). Titik-titik kritis Petani Titik-titik kritis (critical points) peningkatan kontaminasi aflatoksin pada tingkat petani
700
adalah pada proses sortasi, proses pemipilan dan proses pengeringan. Menurut DIENER dan DAVIS (1969) terdapat cendawan-cendawan penghasil aflatoksin yaitu A. flavus, A. parasiticus dan lainnya. Jagung yang rusak merupakan sumber penyebaran spora cendawan, sehingga jika dicampur dengan jagung yang baik spora cendawan akan menyerang. Menurut SIRIACHA et al. (1994) kontaminasi cendawan A. flavus pada tanaman jagung sebelum panen paling banyak ditemukan pada biji jagung (umur tanaman 102 – 109 hari) dibandingkan dengan bagian tanaman batang, daun, bunga jantan, tongkol, kelobot dan rambut jagung. Dalam biji jagung dapat ditemukan A. flavus walaupun dalam kelobot tidak ditemukan A. flavus, hal ini disebabkan spora jamur masuk dalam biji melewati rambut jagung ketika terjadi kerusakan. Hasil wawancara dengan petani 57% dari responden menemukan jagung rusak ketika panen, 32% dari responden menyatakan kadang-kadang dan sisanya menyatakan tidak, sehingga tingkat kejadian kerusakan jagung saat panen adalah tinggi. Pengamatan di lapangan kerusakan biji jagung pada saat panen banyak ditemukan pada ujung tongkol. Jagung yang rusak ini merupakan media berkembangbiaknya cendawan, sehingga jika tidak dilakukan sortasi secara benar akan terjadi penyebaran spora cendawan pada biji yang baik. Pengeringan yang baik mampu menurunkan kadar air mencapai kadar air yang aman yaitu dibawah 14% (SNI 1998). Faktorfaktor yang mempengaruhi pengeringan adalah sumber panas, tempat pengeringan dan manajemen pengeringan. Dari hasil kuesioner sumber panas untuk pengeringan pada tingkat petani 100% berasal dari matahari. Alat pengering/drier bantuan dari pemerintah dengan kapasitas pengeringan 12 ton dalam 8 jam hanya dioperasionalkan oleh pedagang besar. Petani tidak ada yang menggunakan pengeringan dengan drier sehingga hanya mengandalkan sinar matahari. Kadar air tinggi dengan didukung kelembaban tinggi merupakan kondisi yang cocok untuk berkembangnya cendawan. Kondisi alam yang beriklim tropis, yang mengenal musim hujan merupakan faktor penghambat untuk mencapai kadar air yang aman jika pengeringan hanya mengandalkan sumber panas matahari. Selain itu dalam
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Gambar 3. Tempat pengeringan di pintu masuk rumah
pengeringan, petani belum memiliki tempat khusus pengeringan, banyak diantaranya yang mengeringkan biji jagung di pinggir jalan, pintu masuk rumah dan sebagainya (Gambar 3). Jagung yang sedang dikeringkan dapat dilewati orang jalan, sepeda atau sepeda motor, sehingga meningkatkan kerusakan jagung dan memudahkan penyerangan cendawan. Pemipilan merupakan kegiatan melepaskan biji dari tongkol, memisahkan tongkol dan kotoran dari jagung pipilan. Tujuannya adalah untuk menghindarkan kerusakan, memudahkan pengangkutan dan memudahkan pengolahan selanjutnya. Oleh karena itu, pemipilan
sebaiknya dilakukan pada saat yang tepat, yaitu saat kadar air jagung berkisar 17 – 20%. Proses pemipilan merupakan kegiatan kritis dalam penanganan pascapanen di tingkat petani karena kehilangan hasil pada tahap ini dapat mencapai 4% (ADISARWANTO dan WIDYASTUTI, 2002). Kerusakan biji bisa berasal sejak dari lahan, atau pada saat proses pemipilan. Di lapang yang sering kita temukan adalah alat pemipil menggunakan paku atau besi yang tajam, roda sepeda ontel atau sepeda motor. Penggunaan paku atau besi tajam dapat menyebabkan biji jagung robek seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Alat pemipil yang menggunakan roda
Gambar 4. Kerusakan jagung karena alat pemipil
701
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
sepeda ontel atau sepeda motor dapat meretakkan permukaan biji jagung dan meninggalkan warna hitam karet roda pada permukaan biji jagung. Kerusakan biji jagung akan tinggi apabila proses pemipilan dilaksanakan langsung setelah pemanenan, ketika kadar air tinggi (± 37%) dibandingkan dengan proses pemipilan yang dilaksanakan dengan terlebih dahulu jagung dipanaskan dengan sinar matahari sehingga mencapai kadar air kurang lebih 25% (IDRC 1988, diacu dalam DHARMAPUTRA, 1997). Pedagang pengumpul Pengeringan masih dilakukan di tingkat pedagang pengumpul, karena bentuk pembelian ke petani dapat berbentuk tebasan, jagung pipil setengah kering dan pipil kering. Alat pemipil maupun sumber panas dalam pengeringan yang digunakan sama dengan petani. Kemampuan pemipilan, pengeringan dan kepemilikan modal yang rendah, menyebabkan kualitas pengelolaan jagung juga rendah. Kemampuan penyimpanan gudang dari pedagang pengumpul dengan pedagang besar berbeda, perbandingan daya tampung gudang pedagang besar dengan kapasitas pembelian per minggu adalah 1,97 sedangkan pedagang
pengumpul 0,96. Dalam penyimpanan pedagang pengumpul jika gudang penyimpanan sudah penuh, maka menggunakan ruanganruangan kosong di sekitar rumah seperti dekat kamar mandi, dapur (Gambar 5) atau di sekeliling rumah. TOTEJA (2006) menyatakan perubahan kontaminasi aflatoksin tergantung pada kondisi iklim dan manipulasi kondisi. Kondisi penyimpanan yang tidak baik merupakan faktor penting terhadap variasi kontaminasi aflatoksin. Sistem penyimpanan belum menerapkan first in first out (FIFO), sehingga ditemukan jagung yang sudah lama disimpan tetapi diproses paling akhir. Jagung bertumpuk tanpa ada sortasi sehingga bercampur antara jagung yang baik dengan jagung yang rusak, sehingga dapat menyebabkan penyebaran spora jamur, apalagi langsung kontak dengan tanah. Dari wawancara diperoleh informasi, tingkat kerusakan jagung pada setiap 1 ton sekitar 10 kg atau sekitar 1%. Kondisi ini akan meningkatkan kadar aflatoksin, karena aflatoksin bersifat akumulatif dan tidak dapat terdekomposisi dalam suhu kamar. Titik kritis kontaminasi aflatoksin di tingkat pedagang pengumpul adalah dalam penyimpanan, seperti ruangan gudang yang lembab dan tidak ada sirkulasi udara dan belum menerapkan first in first out (FIFO).
Gambar 5. Penyimpanan jagung di dekat dapur dan kamar mandi
702
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Pedagang besar Titik kritis pada tingkat pedagang besar ini adalah praktek mencampur (mixing). Jagung yang telah diseleksi dan dipisahkan antara jagung baik dan tidak baik, kemudian dicampur dengan komposisi tertentu untuk memperolah keuntungan yang tinggi. Praktek mixing ini memudahkan penyebaran spora ketika jagung disimpan dalam gudang oleh pembelinya. Dari pedagang besar ini jagung dijual ke industri makanan (food), industri pakan ternak (feed) dan peternak (farm). Harga jual untuk industri makanan lebih tinggi dibandingkan untuk industri pakan, sehingga kualitas jagung untuk pakan di bawah kualitas jagung untuk industri makanan. Pencampuran jagung baik dan tidak baik dengan komposisi tertentu bertujuan untuk memperolah keuntungan yang tinggi. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian tentang Kandungan Aflatoksin pada Pengelolaan Pascapanen Jagung di Kabupaten Garut dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kandungan aflatoksin rata-rata di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar secara berturut-turut 2.98 ppb, 8.46 ppb dan 36.71 ppb. 2. Titik kritis pada tingkat petani adalah pada proses sortasi, pemipilan dan pengeringan, di tingkat pedagang pengumpul adalah pada proses pengeringan dan sistem penyimpanan sedangkan di tingkat pedagang besar pada proses pencampuran (pengoplosan). Untuk mendapatkan jagung dengan kadar aflatoksin yang rendah pengeringan jagung di tingkat petani harus dilakukan secepat mungkin dan mencapai kadar air yang aman yakni dibawah 14%, oleh karena itu perlu alat pemipilan dan pengeringan yang efisien dan efektif tepat pada kelompok tani. Penyuluhan tentang aflatoksin dan teknik pengendaliannya perlu dilakukan terutama bagi petani dan pedagang pengumpul. Untuk mengawasi tingkat kandungan aflatoksin, dilakukan pengujian langsung terhadap kandungan aflatoksin pada jagung di setiap rantai distribusi jagung secara sampling dan rutin
yang dilakukan pemerintah atau stakeholder lainnya. Tercapainya usaha menekan aflatoksin pada jagung sebagai bahan baku pakan jagung dibutuhkan adanya komitmen bersama dari semua stakeholders untuk meningkatkan sistem pengelolaan pascapanen secara benar, sehingga dihasilkan kualitas jagung yang baik. DAFTAR PUSTAKA ADISARWANTO, T. dan Y.E. WIDYASTUTI. 2002. Meningkatkan Produksi Jagung di Lahan Kering, Sawah dan Pasang Surut. Ed ke-4. Penebar Swadaya, Bogor. BAHRI, S. dan R. MARYAM. 2004. Mikotoksin berbahaya dan pengaruhnya terhadap kesehatan hewan dan manusia. Mikologi Kedokteran Indonesia 5: 31 – 43. BALITBANGTAN. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. DEPTAN. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005 – 2010. Departemen Pertanian. GOLDBLATT, L.A. 1969. Aflatoxin Scientific Background, Control and Implication. New York: Academic Pr. KENNEDY, I.R. 2003. An overview of aflatoxin contamination in food and feed: risk assessment and management. Di dalam: Pelatihan Metode Elisa Untuk Mendeteksi Aflatoksin Pada Pakan; Bogor, 25 – 26 Juni 2003. hlm. 1 – 18. KOOSWARDHONO, M. dan L. KARLIYENNA. 1991. Laporan Penelitian Analisis Permintaan dan Tataniaga Jagung Sebagai Pakan Ternak di Propinsi Jawa Timur. Institut Pertanian Bogor. LEESON, S. and J. SUMMERS. 2001. Nutrition of The Chicken. Ed ke-4. University Books, New Canada. LILLEHOJ, E.B. 1986. The aflatoxin in maize problem: the historical perspective. Proc. of The Workshop. El Batan, 7 – 11 Apr 1986. CIMMYT, Mexico. pp. 13 – 32. MARIANNE, F. 1987. Mycotoxin in foodgrains in some Asian Countries. Proc. of Joint FAO/WHO/UNEP. Bangkok, 28 Sep – 3 Okt 1987. Collaborative of UNDP/FAO, Regnet and The Asian Grain Postharvest Programme, Thailand.
703
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
PITT, J.I. 1989. An Introduction to mycotoxins. Proc. of Assistance for The Training Course. Bangkok, 31 Jul – 12 Agu 1989. Collaborative of UNDP/FAO, REGNET and The Asean Grain Postharvest Programme, Thailand. pp. 3 – 7.
SIRIACHA, P., P. TONBOONEK, A. WONGURAI and S. KOSITCHAROENKUL. 1994. Preharvest contamination of maize by Aspergillus flavus. Proc. of the 6th International Working Conference on Stored-Product Protection; Canberra, 17 – 23 April 1994. pp. 1064 – 1066.
RACHMAWATI, S., Z. ARIFIN dan P. ZAHARI. 1999. Sambiloto (Andrographis paniculata nees) untuk mengurangi cemaran aflatoksin pada pakan ayam komersial. JITV 4: 65 – 70.
SNI
SCHLEGEL, H.G. 1994. Mikrobiologi Umum. Ed. ke6. Terjemahan dari: Allgemeine Mikrobiologie. Penerjemah: TEDJO B. WATTIMENA, J.R. (Ed.) Gadjah Mada Pr., Yogyakarta.
SYARIEF, R., L. EGA and C.C. NURWITRI. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. Institut Pertanian Bogor Pr., Bogor
SHAFEY, H.A. and L.E. CLAFLIN. 1999. Compendium of Corn Diseases. Ed ke-3. WHITE D.G. (Ed.) APS Pr., Minnesota. pp. 44 – 49.
(STANDAR NASIONAL INDONESIA). 1998. Metode Pengambilan Contoh Padatan 190428-1998. Badan Standarisasi Nasional, BSN, Jakarta.
TITIK, D., R. ENDANG dan R. SITI. 2001. Kontaminasi kapang selama penyimpanan benih jagung dan hubungannya dengan daya kecambah. Ilmu Pertanian Indonesia 10: 46 – 49. TOTEJA, G.S. et al. 2006. Aflatoxin B1 contamination in wheat grain samples collected from different geographical regions of India: a multicenter study. Food Protection 69: 1463 – 1467.
DISKUSI Pertanyaan: 1. Untuk mencari titik kritis, seharusnya sampel dikoleksi dari setiap tahapan secara holistik, mulai dari petani (Jagung masih dilahan, saat pemetikan, pemipilan dan penyimpanan); pengumpul; pedagang dan pabrik. 2. Berapa batasan kandungan aflatoksin yang aman untuk ternak? Dan berapa banyak jagung di tingkat pedagang yang diatas ambang batas? Jawaban: 1. Pada prinsipnya saran ini kami terima untuk bahan pertimbangan pada penelitian berikutnya. Perlu kami sampaikan bahwa analisis titik kritis di pabrik tidak dilakukan karena fokus kita sebelum pabrik (Pra-Industri) dengan pertimbangan ketersediaan anggaran dan daya dukung lainnya. 2. Batas maksimal kandungan aflatoksin pada jagung adalah 50 ppb (part per billion) untuk ternak unggas, tetapi untuk ternak ruminansia batas maksimalnya bisa mencapai 100 – 200 ppb. Dari data yang diperoleh jagung diatas 50 ppb di pedagang besar kurang lebih 10%.
704