KANDUNGAN AFLATOKSIN DAN ANALISIS TITIK KRITIS PADA PENGELOLAAN PASCAPANEN JAGUNG DI KABUPATEN GARUT
AGUS SUSANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
1
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kandungan Aflatoksin dan Analisis Titik Kritis pada Pengelolaan Pascapanen Jagung di Kabupaten Garut adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Pebruari 2008 Agus Susanto NIM D 051050091
2
ABSTRACT AGUS SUSANTO. Contamination of Aflatoxin and Critical Point Analysis in Corn Postharvest Steps at Garut Regency. Under direction of ERIKA B. LACONI and RAPHAELLA WIDIASTUTI. Corn is the major ingredients feedstuff. Feed ration in feedmill industry is based on corn-soya. Postharvested corn is susceptible to fungal invasion which able to produce fungal metabolites such as aflatoxin. The objectives of the research are (1) to get a description aflatoxin contamination in farmer, collecting sellers and whole sellers (2) to get a description of critical points an aflatoxin contamination (3) to get a correlation and regression between aflatoxin and moisture content, ash, organic matter, water activity both in corn kernel and corn meal. A total of 57 samples of corn which collected from farmers, collecting sellers and whole sellers in Garut regency have been investigated for the aflatoxin contamination and the critical points of its occurrence in postharvested corn. Sampling was done with purposive sampling method and aflatoxin content was detected by Enzyme Linked Imunosorbent Assay (ELISA). Other parameters were moisture content, ash, organic matter, water activity both in corn kernel and corn meal. The results showed that the highest contamination was found in whole sellers level. The critical points at farmers stage were due to spoilage corn from field unproper, shelling procedure and sun drying dependence . Critical points at collecting sellers stage were due to improper storage and sun drying dependence. Whereas critical point at whole seller stage was due to the improper mixing practice. Based on statistical analysis (SPSS 13.0), there was a positive correlation between percentage of damage kernels and aflatoxin content, coefficient correlation (r) = 0.552 in farmer level. In collecting sellers, between moisture content and aflatoxin content were negatively corelated with coefficient correlation (r) = -0.630 but organic matter and aflatoxin content were positively corelated with coefficient correlation (r) = 0.662. In whole sellers, there was no corelation which significan (?: 0.05) between aflatoxin and other parameter. Keywords : aflatoxin, corn, critical points, postharvest, ELISA.
3
RINGKASAN AGUS SUSANTO. Kandungan Aflatoksin dan Analisis Titik Kritis pada Pengelolaan Pascapanen Jagung di Kabupaten Garut. Dibimbing oleh ERIKA B. LACONI dan RAPHAELLA WIDIASTUTI. Jagung merupakan bahan baku pakan utama dalam industri pakan maupun dalam penyusunan ransum pakan. Sampai saat ini industri pakan unggas masih berbasis corn-soya. Jagung mudah terkontaminasi aflatoksin, suatu metabolit sekunder dari cendawan Aspergillus flavus, A. parasiticus dan cendawan lainnya. Aflatoksin merupakan mikotoksin yang ditemukan pada tahun 1960, setelah terjadi kematian 100 000 ekor kalkun di Inggris, dan tingginya kejadian penyakit hati pada bebek di Kenya dan budidaya ikan trout di Amerika Serikat. Hewan yang peka terhadap aflatoksin adalah bangsa unggas/aves, mamalia dan ikan. Bangsa unggas yang peka adalah bebek, ayam, kalkun, dan burung puyuh, sedangkan bangsa mamalia adalah babi muda, babi bunting, anjing, kucing, sapi dan domba. Aflatoksin dapat menekan sistem kekebalan tubuh (immunosupresif) pada beberapa hewan, sehingga menyebabkan penurunan ketahanan tubuh terhadap infeksi, kegagalan vaksinasi, dan mastitis yang persisten. Mengingat berbagai dampak yang ditimbulkan aflatoksin terhadap hewan dan juga manusia, International Agency Research on Cancer (IDRC) menetapkan aflatoksin sebagai bahan karsinogenik Kelas I. Penelitian ini bertujuan untuk membuat diskripsi kadar aflatoksin pada jagung dari tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar, menganalisa titik-titik kritis (critical points) peningkatan aflatoksin dengan memperhatikan tingkat keeratan hubungan antar variabel bebas (kadar air, kadar abu, bahan organik, persentase biji rusak aktivitas air dalam bentuk biji dan aktivitas air dalam bentuk giling) dengan variabel terikat (kandungan aflatoksin) dan tingkat keeratan hubungan antar variabel bebas. Penelitian ini juga membuat persamaan regresi untuk memprediksi kadar aflatoksin pada jagung dengan menggunakan variabel bebas yang memiliki tingkat keeratan hubungan yang signifikan (?: 0.05). Total sampel yang diuji sebanyak 57 sampel yang berasal dari petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar di Kabupaten Garut. Metode pengambilan sampel adalah purposive sampling. Sampel diuji kadar air, kadar abu, aktivitas air dalam bentuk giling, aktivitas air dalam bentuk biji dan kandungan aflatoksin. Pengujian kadar aflatoksin menggunakan metoda ELISA (Enzyme Linked Imunosorbent Assay). Untuk analisis korelasi dan regresi menggunakan program SPSS versi 13.0. Kandungan aflatoksin rata-rata di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar secara berturut-turut adalah 2.98 ppb, 8.46 ppb dan 36.71 ppb. Titik kritis di tingkat petani adalah pada proses sortasi, pemipilan dan pengeringan. Titik kritis di tingkat pedagang pengumpul adalah pada proses pengeringan dan penyimpanan. Titik kritis di tingkat pedagang besar adalah praktek mencampur (mixing). Di tingkat pedagang besar tidak ditemukan variabel bebas yang berkorelasi secara signifikan terhadap kandungan aflatoksin, sedangkan di tingkat petani dan pedagang pengumpul terdapat variabel bebas yang berkorelasi secara signifikan dengan kadar aflatoksin. Di tingkat petani, kadar aflatoksin berkorelasi positip dengan persentase biji rusak, tetapi tidak
4
memiliki persamaan regresi yang signifikan. Di tingkat pedagang pengumpul, kadar aflatoksin berkorelasi positip dengan variabel bahan organik dan berkorelasi negatif dengan kadar air. Variabel bahan organik memenuhi persamaan regresi Y = -466.808 + 5.6 X, sedangkan untuk kadar air memenuhi persamaan regresi Y = 79.34 - 5.033 X pada tingkat kepercayaan 95%. Tidak ada variabel yang mampu memprediksi kandungan aflatoksin pada semua tingkatan. Jumlah korelasi antar variabel bebas yang signi fikan di tingkat petani lebih banyak dibandingkan di tingkat pedagang besar. Di tingkat pedagang besar hanya terdapat korelasi kadar air dengan bahan organik yang signifikan dan korelasi tersebut juga ditemukan di tingkat petani dan pedagang besar. Kata kunci : aflatoksin, jagung, titik kritis, pascapanen, ELISA
5
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
6
KANDUNGAN AFLATOKSIN DAN ANALISIS TITIK KRITIS PADA PENGELOLAAN PASCAPANEN JAGUNG DI KABUPATEN GARUT
AGUS SUSANTO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
7
Judul Tesis Nama
: Kandungan Aflatoksin dan Analisis Titik Kritis pada Pengelolaan Pascapanen Jagung di Kabupaten Garut : Agus Susanto
NIM
: D 051050091
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Raphaella Widiastuti, BSc Anggota
Dr. Ir. Erika B Laconi, MS Ketua
Diketahui Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Teknologi Pakan
Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc
Tanggal Ujian: 6 Pebruari 2008
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus:
2008
8
PRAKATA Segala puji bagi Allah S.W.T Tuhan semesta alam atas karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan Oktober 2006 sampai Mei 2007 ini adalah Aflatoksin, dengan judul Kandungan Aflatoksin dan Analisis Titik Kritis pada Pengelolaan Pascapanen Jagung di Kabupaten Garut. Jagung merupakan bahan baku dalam pembuatan ransum pakan. Dalam proses pengelolaan pascapanennya mudah terkontaminasi aflatoksin, oleh karena itu kita perlu penelitian aflatoksin di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar dan korelasi kandungan aflatoksin dengan parameter uji lainnya. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Erika B. Laconi, MS dan Ibu Dr. Raphaella Widiastuti, BSc selaku pembimbing. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Direktur Jenderal Peternakan Depertemen Pertanian, Ir. Mathur Riyadi, MA yang telah memberikan izin belajar, Kepala Balai Besar beserta para staf Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor dan Kepala Balai beserta para staf Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak, Bekasi yang telah membantu sarana dan prasarana pengujian. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Yayasan Bhakti Tanoto, Jakarta sebagai pihak yang memberikan beasiswa kepada penulis. Terima kasih pula kepada isteri tercinta Budi Riyanti dan anak-anakku: Sigit Hananto, Muhammad Asrudin, Subarkah Hananto, Waskitho Aji Wijoyo dan Dewi Setyowati. Ungkapan terimakasih kepada Ibu tercinta Tentrem Rahayu dan Bapak Sarbini serta Ibu mertua Suprihatlanti dan Bapak mertua Sayat Hadiprayitno (alm). Juga terima kasih kepada teman-teman mahasiswa dan mahasiswi Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan atas kehangatan persahabatan dan kerjasamanya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Pebruari 2008 Agus Susanto
9
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kulon Progo pada tanggal 1 Pebruari 1971 dari Ibu Tentrem Rahayu dan ayah Sarbini. Penulis merupakan putera pertama dari tiga bersaudara. Tahun 1989 penulis lulus SMA Negeri I Wates dan pada tahun yang sama lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) masuk Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. Lulus S1 pada tahun 1995 dan lulus profesi dokter hewan pada tahun 1997. Setelah lulus bekerja sebagai dokter hewan mandiri di Pos Kesehatan Hewan (Poskewan) di Kalibawang, Kulon Progo dan pada tahun 2002 diterima Pegawai Negeri Sipil di Departemen Pertanian dan ditugaskan di Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan di Bekasi. Sambil bekerja di Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak penulis mendapatkan izin belajar S2 di Program Studi Ilmu Ternak dengan minat utama Ilmu Makanan Ternak. Pemilihan program studi ini bertujuan untuk mendukung tugas pokok dan fungsi dari unit kerja tempat bekerja penulis yaitu melaksanakan pengawasan dan pengujian mutu pakan ternak.
10
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Ir. H. Nahrowi, M.Sc
11
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......……………………………………………………….........
xi
DAFTAR GAMBAR .. ...……………………………………………………….....
xii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………....
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang ..................….………………………………………………… Tujuan ..........………………………………………………………………...… Manfaat ..........………………………………………………………………....
1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Aflatoksin .......…………………………………………………………….. ….. Aspergillus spp .................................................................................................... Penelitian dan Monitoring Aflatoksin di Indonesia .........…………………...…. Pengaruh Aflatoksin pada Hewan dan Manusia .........…………………………. Jagung .........……………………………………………………………….......... Aktivitas Air......................................................................................................... Alur Penjualan ........………………………………………………………......... Penyimpanan .........………………………………………………………...........
5 8 8 9 10 11 12 13
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu .........……………………………………………………….. Bahan dan Alat ................……………………………………………………..... Metode Sampling ........…………………………………………………………. Teknik Pengambilan Sampel .......……………………………………………… Metode Pengujian Elisa ....................................................................................... Metode Pengujian Air .......................................................................................... Metode Pengujian Abu ......................................................................................... Metode Pengujian Bahan Organik ....................................................................... Metode Pengujian Aktivitas Air .......................................................................... Metode Pengujian Organoleptik .......................................................................... Analisis Data.... …………………………………………………………............
14 14 14 15 16 16 17 17 18 18 18
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kuesioner .................................................................................................... Alur Tataniaga Jagung ......................................................................................... Kadar Air .............................................................................................................. Aflatoksin ............................................................................................................. Analisis Korelasi dan Regresi .............................................................................. Variabel Bebas dengan Variabel Kandungan Aflatoksin .................................... Analisis Regresi ................................................................................................... Korelasi antar Variabel Bebas ............................................................................. Titik-Titik Kritis .................................................................................................. Petani .................................................................................................................... Pedagang Pengumpul ........................................................................................... Pedagang Besar ....................................................................................................
21 27 29 31 36 36 40 42 44 44 46 48
12
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ……………………………………………………………................. Saran ...............……………………………………………………….................
49 50
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. ......
51
LAMPIRAN …….…………………………………………………………….........
56
13
DAFTAR TABEL Halaman 1
Spesies cendawan penghasil aflatoksin dan jenis aflatoksin ………................
7
2
Jumlah karung yang diambil sampel .................................................................
15
3
Budidaya jagung oleh petani .............................................................................
22
4
Sistem pembelian pedagang pengumpul dan pedagang besar......... ..................
24
5
Pengelolaan pascapanen di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar ...................................................................................................................
26
6
Harga beli dan harga jual pedagang pengumpul dan pedagang besar ...............
29
7
Sebaran kandungan aflatoksin di petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar....................................................................................................................
32
8
Tingkat pendidikan dan pengenalan istilah aflatoksin .......................................
34
9
Suhu ruang ruang penyimpanan dan aktivitas air jagung di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar ........................................................
35
10 Persentase biji rusak hasil pengujian organoleptik ............................................
35
11
Koefisien korelasi dan koefisien signifikans variabel bebas terhadap kadar aflatoksin di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar ...........
12
Koefisien korelasi antar variabel bebas di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar ........................................................................
14
37
44
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Struktur bangun kimia (a) aflatoksin B1, (b) aflatoksin B2, (c) aflatoksin G1 dan (d) aflatoksin G2 ..............................................................
6
2. Alur pemasaran jagung propinsi Jawa Timur ..............................................
12
3. Pengambilan sampel dalam karung ..............................................................
16
4. Elisa reader yang terhubung dengan personal computer ............................
16
5. Pengabuan dalam tanur ................................................................................
17
6. Alur tataniaga jagung ...................................................................................
27
7. Kadar air jagung di tingkat petani ................................................................
29
8. Kadar air jagung di tingkat pedagang pengumpul .......................................
29
9. Kadar air pada jagung di tingkat pedagang besar .......................................
30
10. Kandungan aflatoksin di tiga tingkatan pengelola pascapanen ....................
31
11. Hubungan kadar air dengan kandungan aflatoksin di tingkat pedagang pengumpul.....................................................................................................
38
12. Hubungan bahan organik dengan kandungan aflatoksin di tingkat pedagang pengumpul ...................................................................................
40
13. Hubungan bahan organik dengan kandungan aflatoksin di tingkat pedagang besar .............................................................................................
44
14. Tempat pengeringan di pintu masuk rumah .................................................
45
15. Kerusakan jagung karena alat pemipil .........................................................
46
16. Penyimpanan jagung di dekat dapur dan kamar mandi ...............................
47
15
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Bentuk kuesioner di tingkat petani ................................................................ 57 2. Bentuk kuesioner di tingkat pedagang pengumpul .......................................... 58 3. Bentuk kuesioner di tingkat pedagang besar.................................................... 59 4. Hasil kuesioner pada tingkat petani ................................................................ 60 5. Hasil kuesioner pada tingkat pedagang pengumpul ........................................ 62 6. Hasil kuesioner pada tingkat pedagang besar ................................................. 64 7. Hasil pengujian kadar air, kadar abu, bahan organik, kandungan aflatoksin, persentase biji rusak, nilai Aw dalam bijian dan nilai Aw dalam giling sampel jagung dari petani .......................................................... 66 8. Hasil pengujian kadar air, kadar abu, bahan organik, kandungan aflatoksin persentase biji rusak, nilai Aw dalam bijian dan nilai Aw dalam giling sampel jagung dari pedagang pengumpul .................................. 67 9. Hasil pengujian kadar air, kadar abu, bahan organik, kandungan aflatoksin persentase biji rusak, nilai Aw dalam bijian dan nilai Aw dalam giling sampel jagung dari pedagang besar ........................................... 68 10. Koefisien korelasi antar variabel di tingkat petani .......................................... 69 11. Regresi dan Anova di tingkat petani ............................................................... 70 12. Koefisien korelasi antar variabel di tingkat pedagang pengumpul ................. 72 13. Regresi dan ANOVA variabel bahan organik di tingkat pedagang pengumpul ....................................................................................................... 73 14. Regresi dan ANOVA variabel kadar air di tingkat pedagang pengumpul ...... 75 15. Koefisien korelasi antar variabel di tingkat pedagang besar ........................... 77
16
PENDAHULUAN Latar Belakang Jagung merupakan sumber energi, dengan kandungan karbohidrat/pati sebesar 64%. Sampai saat ini industri-industri pakan ternak unggas masih berbasis corn-soya. Produksi jagung dalam negeri belum bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri, sehingga harus mengimpor. Pada periode 1990 – 2001, penggunaaan jagung impor sebagai bahan baku industri pakan meningkat tajam dengan laju sekitar 11.81% per tahun. Mulai tahun 1994 ketergantungan pabrik pakan terhadap jagung impor sangat tinggi, sekitar 40.29% dan pada tahun 2000 mencapai 47.04%, sementara 52.96% sisanya berasal dari jagung produksi dalam negeri (Deptan 2005). Di Indonesia dan negara-negara penghasil jagung lainnya memiliki permasalahan
dalam
pengolahan
pascapanen,
karena
jagung
mudah
terkontaminasi oleh cendawan, khususnya Aspergillus flavus, dan A. parasiticus, yang dapat menghasilkan metabolit sekunder berupa aflatoksin. Aflatoksin selain terdapat pada jagung juga ditemukan pada kacang tanah, kedelai, beras, kopi dan komoditas hasil pertanian lainnya. Senyawa aflatoksin dapat menimbulkan gangguan baik pada hewan maupun manusia, karena bersifat karsinogenik, sebagaimana telah ditetapkan oleh IARC (International Agency Research on Cancer) pada tahun 1988 bahwa aflatoksin merupakan bahan karsinogenik kelas I (Kennedy 2003). Hewan yang peka terhadap aflatoksin adalah bangsa unggas/aves, mamalia dan ikan. Bangsa unggas yang peka adalah bebek, ayam, kalkun, dan burung puyuh, sedangkan bangsa mamalia adalah babi muda, babi bunting, anjing, kucing, sapi dan domba. Aflatoksin dapat menekan sistem kekebalan tubuh (immunosupresif) pada beberapa hewan, sehingga menyebabkan penurunan ketahanan tubuh dari infeksi, kegagalan vaksinasi, dan mastitis yang persisten (Bodine et al. 1983). Oleh karena itu pengaruh aflatoksin tidak dapat dianggap remeh, karena menimbulkan kerugian atau kerusakan baik pada ternak maupun manusia.
17
Ada beberapa tahapan dalam proses pengelolaan jagung sebagai hasil pertanian mulai dari pemanenan, pemetikan hingga ke pedagang besar. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah (1) pemetikan, (2) pengeringan di tingkat petani, (3) pengangkutan ke pedagang pengumpul, (4) penyimpanan dan (5) pengangkutan di pedagang besar. Oleh karena di setiap tahapan pengelolaan tersebut berpotensi untuk terkontaminasi oleh aflatoksin, maka perlu diketahui titik-titik kritis terjadinya kontaminasi aflatoksin agar dapat diambil kebijakan yang tepat untuk mencegah atau menekan kontaminasi aflatoksin. Hal ini juga diatur pada Codex Alimentarius Commission pada Codex Task Force On Animal Feeding appendix II bahwa pakan dan bahan baku pakan harus dijaga kestabilan kondisinya dari kontaminasi oleh hama pengganggu (pest), kimia, fisik atau mikroorganisme baik pada saat produksi, penanganan, penyimpanan maupun transportasi (CAC 2003). Pakan yang diterima harus dalam kondisi sesuai standar kualitasnya. Di Indonesia, batas maksimal kadar aflatoksin pada pakan telah diatur berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 1995). Batas maksimal kadar aflatoksin pada ransum ayam ras petelur adalah 50 ppb untuk layer starter/anak dan layer grower/dewasa dan 60 ppb pada layer/masa bertelur, pada ransum ayam ras pedaging/broiler starter adalah 50 ppb, dan 60 ppb pada broiler finisher, pada ransum babi adalah 50 ppb, pada pakan puyuh adalah 40 ppb, pada itik adalah 20 ppb dan pada ransum konsentrat sapi perah dan sapi potong 200 ppb. Permasalahan yang ditemukan dalam regulasi pakan (pengawasan mutu pakan) Departemen Pertanian disebabkan oleh batas kadar maksimal aflatoksin pada pakan belum berlaku wajib, masih bersifat sukarela (volunteer). Oleh karena itu perlu data diskriptif kandungan aflatoksin di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar dan titik kritis peningkatan aflatoksin selama proses pengelolaan pascapanen dengan mengambil kasus di daerah Kabupaten Garut yang merupakan daerah pemasok jagung terbesar di Jawa Barat. Diharapkan data tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk regulasi aflatoksin pada pakan di Indonesia. Pertumbuhan dan aktivitas metabolisme jasad renik membutuhkan air untuk mengangkut zat-zat gizi atau bahan-bahan limbah ke dalam dan ke luar sel.
18
Seluruh aktivitas ini memerlukan air dalam bentuk cair. Pengurangan aktivitas air atau kelembaban relatif keseimbangan (HRs) akan memperlambat aktivitas metabolisme dan membatasi jasad renik. Pengeringan bahan pangan (hasil pertanian) sampai suatu tingkat kadar air atau aw yang aman untuk disimpan sangat diperlukan (Syarief et al. 2003). Pertumbuhan cendawan pada komoditas hasil pertanian selama pengelolaan pascapanen ditentukan oleh beberapa faktor antara lain keutuhan biji, kadar air, temperatur, aerasi dan substrat alamiahnya. Diantara faktor-faktor tersebut, kadar air secara jelas merupakan faktor dominan (Lillehoj 1986). Tujuan 1. Membuat diskripsi ilmiah kadar aflatoksin pada jagung dari tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar. 2. Mempelajari titik-titik kritis (critical points) peningkatan aflatoksin pada jagung selama pengelolaan pascapanen. 3. Mendapatkan pengetahuan tentang tingkat keeratan hubungan antar variabel bebas (kadar air, kadar abu, bahan organik, persentase biji rusak aktivitas air dalam bentuk giling dan aktivitas air dalam bentuk biji) dengan variabel terikat (kandungan aflatoksin) dan tingkat keeratan antar variabel bebas. 4. Mendapatkan persamaan regresi ganda
untuk memprediksi kadar
aflatoksin pada jagung dengan menggunakan variabel kadar air, kadar abu, bahan organik, pengamatan organoleptik (persentase biji rusak), aktivitas air dalam bentuk giling dan aktivitas air dalam bentuk biji.
Manfaat 1. Diperoleh diskripsi kadar aflatoksin dan titik-titik kritis pada alur pengelolaan pascapanen jagung dapat digunakan oleh para pemangku kepentingan/stakeholders (petani, pedagang, pengusaha feedmill dan pemerintah) sebagai
bahan pengetahuan, pertimbangan, pengambilan
keputusan dan tindakan yang tepat untuk mencegah jagung terkontaminasi aflatoksin.
19
2. Diperoleh data kadar aflatoksin dan parameter lainnya pada jagung yang dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam pengolahan pascapanen. 3. Jika terdapat tingkat korelasi yang signifikan dan dapat disusun persamaan regresi antara kandungan aflatoksin dengan kadar air, kadar abu, bahan organik, nilai aktivitas air dalam bentuk giling dan aktivitas air dalam bentuk biji baik secara parsial maupun keseluruhan, maka dapat diprediksikan kandungan aflatoksin dengan menguji pengamatan kadar air, kadar abu, bahan organik, dan nilai aktivitas air (aw) dari jagung.
20
TINJAUAN PUSTAKA Aflatoksin Aflatoksin adalah salah satu senyawa toksik yang dihasilkan terutama oleh cendawan Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Secara terminologi aflatoksin, berasal dari kata A yang diambil dari kata Aspergillus dan fla dari kata flavus dan kata toksin (toxin) menunjukkan racun, karena pada mulanya racun ini ditemukan pada cendawan A. flavus. Aflatoksin secara kimiawi termasuk derivat kumarin dan merupakan toksin yang dihasilkan oleh cendawan (mikotoksin). Mikotoksin merupakan metabolit sekunder dari cendawan tertentu yang mempunyai kerja toksik terhadap hewan-hewan berderajat tinggi dan manusia (Schlegel 1994). Menurut Leeson dan Summers (2001), metabolit primer adalah metabolit yang dihasilkan oleh cendawan untuk pembentukan biomassa dan membangkitkan energi untuk keperluan metabolisme primer, sedangkan metabolit sekunder biasanya terbatas pada spesies tertentu (strain tertentu) dan dihasilkan setelah fase pertumbuhannya stabil dan biasanya bersamaan dengan perubahan bentuk seperti sporulasi. Metabolit sekunder termasuk pigmen dan senyawa aktif yang mampu melawan mikroorganisme (antibiotika), tumbuhan (fitotoksin) atau hewan/manusia (mikotoksin). Cendawan yang menghasilkan aflatoksin adalah cendawan dari kelas Ascomycetes (cendawan pipa) seperti A. flavus, A. parasiticus, A. oryzae dan cendawan lain yang dapat menyerang semua bahan makanan (kacang tanah, padipadian, buah yang mengandung minyak, bahan pakan). A. candidus dan A. flavus mampu menghasilkan aflatoksin selama penyimpanan biji-bijian karena suhu pertumbuhannya bisa mencapai 50 ºC sampai 55ºC (Syarief et al. 2003). Aflatoksin ditemukan pada tahun 1960, setelah terjadi kematian kalkun sebanyak 100 000 ekor di Inggris, dan tingginya kejadian penyakit hati pada bebek di Kenya dan budidaya ikan trout di Amerika Serikat. Ilmuwan Inggris segera melakukan penelitian dan ternyata wabah penyakit tersebut disebabkan oleh racun dari cendawan A. flavus dan A. parasiticus (Pitt 1989). Menurut Lillehoj (1986) terdapat 4 jenis aflatoksin utama yaitu aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Selain empat jenis utama aflatoksin masih ditambah dua
21
metabolit produk dari aflatoksin yakni M1 dan M2. Menurut Mariane (1987), rumus kimia untuk 4 jenis aflatoksin adalah C17H12O6 (aflatoksin B1), C17H14O6 (aflatoksin B2), C17H12O7, (aflatoksin G1) dan C17H14O7 (aflatoksin G2). Struktur kimiawi berinduk pada cincin kumarin yang kemudian mengikat inti furan di dekatnya menjadi bentuk furan tak jenuh sebagai bisfuran, dengan struktur bangun kimia yang dapat dilihat di Gambar 1.
Gambar 1 Struktur bangun kimia (a) aflatoksin B1, (b) aflatoksin B2, (c) aflatoksin G1 dan (d) aflatoksin G2. Aflatoksin B1 merupakan senyawa yang berpotensi sebagai hepatotoksin dan hepatokarsinogen yang mampu menyebabkan tumor pada hati mamalia dan unggas. Secara epidemiologi, terdapat hubungan antara kontaminasi aflatoksin pada makanan di Asia dan Afrika dengan meningkatnya kejadian kanker hati pada manusia (Pitt 1989).
22
Menurut Diener dan Davis (1969), spesies cendawan penghasil aflatoksin dan jenis aflatoksinnya seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Spesies cendawan penghasil aflatoksin dan jenis aflatoksin* Jenis Aflatoksin No
*
Cendawan
B1
B2
G1
G2
1
Aspergillus flavus
L
L
L
L
2
A. flavus var. columnaris
-
L
-
-
3
Aspergillus orizae
L
L
L
L
4
Aspergillus parasiticus
L
L
L
L
5
A. parasiticus var. globosus
L
L
L
L
6
Aspergillus niger
L
-
-
-
7
Aspergillus wentii
L
-
-
-
8
Aspergillus rubber
L
-
-
-
9
Aspergillus ostianus
L
-
L
-
10
Aspergillus ocraceus
L
-
-
-
11
Penicillium variabel
L
-
-
-
12
Penicillium citrinum
L
-
-
-
13
Penicillium frequentans
L
-
-
-
14
Rhizopus sp
L
-
L
-
: menghasilkan - : tidak menghasilkan
Keberadaan kapang toksigenik pada bahan pangan atau pakan tidak secara otomatis menandakan bahwa mikotoksin juga terdapat pada bahan tersebut. Hal ini terjadi karena produksi mikotoksin dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien, faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban (Bahri & Maryam 2004) Pertumbuhan dan aktivitas metabolisme jasad renik membutuhkan air untuk mengangkut zat–zat gizi atau bahan–bahan limbah kedalam dan keluar sel. Pengurangan aktivitas air atau kelembaban relatif keseimbangan (HRs) akan memperlambat aktivitas metabolisme dan membatasi pertumbuhan cendawan (Syarief et al. 2003 ).
23
Aspergillus spp A. flavus merupakan cendawan yang bersifat thermotoleran, maka seperti cendawan atau bakteri lainya yang tahan hidup pada temperatur tinggi dan dalam kondisi kering. Cendawan dalam musim dingin terdapat dalam tanah dan populasi meningkat selama musim panas. Cendawan menyebar dibantu dengan angin dan serangga. Cendawan berkembang dalam klobot dan masuk ke dalam biji jagung. Kerusakan biji jagung oleh serangga merupakan faktor predisposisi biji terserang cendawan. Tumbuhan yang stress mudah terserang cendawan. Usaha untuk mengontrol serangan cendawan dapat menggunakan irigasi untuk mencegah stres dari tumbuhan dan pengolahan tanah untuk mengurangi inokulasi (Shafey et al. 1999). Penelitian dan Monitoring Aflatoksin di Indonesia Data hasil penelitian dan monitoring dari proyek FAO (Food Agricultural Organisation) “Inter Country Cooperation in Post Harvest Technology and Quality Control of Grains” yang dilaksanakan pada 13 negara Asia diperoleh data bahwa rata–rata kadar aflatoksin pada jagung di Sulawesi Utara secara signifikan lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya, walaupun rata-rata aflatoksin di luar Sulawesi Utara di atas 100 ppb. Jagung merupakan makanan pokok kedua di beberapa daerah di Indonesia (seperti Sulawesi Selatan, dimana konsumsi per kapita untuk setiap hari 300–500 gram). Dalam studi yang membandingkan kandungan aflatoksin di Jawa Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dan menghubungkan dengan sistem pengeringan dan penyimpanan, ditemukan bahwa Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan memiliki kandungan aflatoksin yang lebih tinggi dibandingkan Jawa Timur. Sulawesi Utara menduduki peringkat paling tinggi, karena petani membiarkan jagung secara utuh pada batangnya di ladang untuk dikeringkan selama satu bulan. Demikian pula di Sulawesi Selatan petani menyimpan jagung 1–2 tahun sebelum dijual, walaupun jagung disimpan masih dalam tongkol. Waktu yang panjang dalam penyimpanan dapat meningkatkan pembentukan aflatoksin (Marianne 1987).
24
Pengaruh Aflatoksin pada Hewan dan Manusia Pengaruh aflatoksin pada hewan sangat bervariasi tergantung dosis, lamanya terpapar aflatoksin, spesies ternak, jenis ternak dan status ternak. Hewan akan mati jika mengkonsumsi dalam dosis tinggi dan dalam sublethal dosis akan menunjukkan keracunan kronis dan dalam dosis rendah menyebabkan kanker terutama kanker hati pada beberapa spesies hewan. Hewan yang peka terhadap aflatoksin adalah hewan kelas ikan, aves (bebek, kalkun, ayam, dan burung puyuh) dan mamalia seperti babi muda, babi bunting, anjing, kucing, sapi, dan domba (Siriacha 1999). Menurut Loy dan Wright (2003) aflatoksin dalam konsentrasi toksik dalam jagung apabila dimakan ternak akan menimbulkan gejala yang bervariasi seperti muntah-muntah, gangguan pertumbuhan, penurunan kekebalan terhadap infeksi, kegagalan reproduksi, cacat lahir dan kanker. Aflatoksin bersifat teratogenik dan mutagenik, perubahan teratologi ini merupakan bentuk yang masih ringan tetapi secara keseluruhan anak ayam yang mendapatkan perlakuan aflatoksin B1 memperlihatkan kondisi yang lebih lemah walaupun masih dapat menetas. Pemberian aflatoksin B1 pada telur ayam bertunas umur 5 hari akan mempengaruhi perkembangan, kehidupan dan daya tetas embrio. Semakin tinggi dosis yang diberikan akan semakin banyak embrio yang mati, dimana telur tidak bisa menetas pada pemberian 125 ng. Pemberian aflatoksin B1 menyebabkan kelainan morfologi embrio berupa kelainan pada kaki, pertumbuhan terhambat, malabsorbsi kuning telur dan pendarahan pada embrio (Bahri et al. 2005). Manusia
terkena
aflatoksin
jika
mengkonsumsi
makanan
yang
terkontaminasi oleh cendawan penghasil aflatoksin. Ugur dan Ilhan (2002) menyatakan bahwa aflatoksin dapat menimbulkan mutasi genetik dengan cara merubah struktur DNA pada sel hati, dimana aflatoksin teroksidasi membentuk epioksid dan akan bereaksi dengan DNA dan terbentuk N7 Guanin. Akibat dari mutasi gen tersebut menimbulkan efek kronis bagi yang memakan makanan yang tercemar aflatoksin. Keracunan aflatoksin berkaitan dengan penyakit kronis pada manusia. Survey pada manusia di Afrika dan Asia telah dinyatakan adanya hubungan positip antara estimasi tereksposnya aflatoksin dengan kejadian kanker hati.
25
Primary Liver Cancer (PLC) merupakan penyakit salah satu penyebab kematian oleh kanker di Asia dan Afrika. Penelitian telah dilakukan di penduduk Republik Rakyat China/RRC, Thailand, Philiphina, Kenya, Swaziland, Mozambique, dan Uganda, ditemukan bukti keterlibatan konsumsi aflatoksin terhadap penyebab PLC. Salah satu variabel pokok dalam penelitian tersebut adalah variabel dari infeksi virus hepatitis B kronis dimana menyebabkan kanker dipengaruhi oleh aflatoksin (Siriacha 1999) Jagung Jagung dibawa ke Indonesia oleh bangsa Portugis dan Spanyol pada awal abad 16, yang sedang menjelajah dari Amerika melewati Eropa, India, dan China (Sarono et al. 1999). Jagung berasal dari Meksiko dan menyebar ke utara ke Kanada dan ke selatan ke Argentina. Nenek moyang jagung adalah Teusinte /Zea mexicana. Dengan adanya penjelajahan orang Eropa ke benua Amerika jagung menyebar ke Eropa, Afrika dan Asia (Farnham 2003). Tanaman jagung termasuk anggota famili Gramineae. Jumlah buah jagung antara 1–2 buah per batang dan dalam setiap buah jagung dapat ditemukan 300 sampai 1 000 biji jagung. Jagung adalah tanaman musim panas. Paling banyak di lapangan ditemukan bahwa umur jagung adalah 130–140 hari. Tumbuhan jagung membutuhkan sinar matahari langsung dan tidak tumbuh dengan baik jika di bawah naungan (Farnham 2003). Jagung dipanen dalam keadaan matang, mengandung kadar air 22%–25% dan dikeringkan secara buatan mencapai 15%–16% untuk disimpan dan dijual (Stanley 2003). Jagung dalam matang fisiologis masih dalam kadar air tinggi (diatas 35%), dan terjadi pengeringan jika dibiarkan tetap tinggal di batang, hanya saja mudah diserang oleh serangga dan cuaca. Keamanan selama penyimpanan tergantung pada kondisi biji, jenis, kondisi penyimpanan dan iklim. Biji jagung dapat disimpan lebih dari satu tahun jika kadar air 13% (Watson 2003). Dharmaputra (1999) meneliti kandungan aflatoksin pada beras, jagung, kacang tanah, bungkil kedelai, lada hitam, lada putih, biji coklat, kopra dan tepung kopra yang berasal dari petani, pedagang, pengecer, eksportir dan gudang Bulog. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar aflatoksin tinggi ditemukan
26
pada jagung dan kacang tanah, kadar aflatoksin relatif rendah pada bungkil kedelai, aflatoksin tidak selalu ditemukan pada kopra dan tepung kopra dan aflatoksin tidak ditemukan pada lada hitam dan lada putih. Aktivitas Air Aktivitas air (aw ) merupakan kosep fisika-kimia, pertama kali dikenalkan oleh seorang ahli mikrobiologi, Scott (1957). Aktivitas air merupakan perhitungan hubungan secara efektif antara kadar air dalam makanan dengan kemampuan mikroorganisme untuk tumbuh di dalamnya. Aktivitas air dapat dihitung dengan perbandingan : aw = p/p0 dimana p : tekanan parsial uap air pada material yang diuji p0 : tekanan jenuh air dalam kondisi yang sama. Aktivitas air secara angka sama dengan kelembaban relatif seimbang (equilibrium relative humidity) dalam bentuk desimal (Pitt dan Hocking 1997). Pertumbuhan dan aktivitas metabolisme jasad renik membutuhkan air untuk mengangkut zat-zat gizi atau bahan-bahan limbah kedalam dan keluar sel. Seluruh aktivitas ini memerlukan air dalam bentuk cair. Air yang mengalami kristalisasi dan membentuk es atau air yang terikat secara kimiawi dalam larutan gula atau garam tidak dapat digunakan oleh jasad renik. Pengurangan aktivitas air atau kelembaban relatif keseimbangan (HRs) akan memperlambat aktivitas metabolisme dan mengatasi pertumbuhan. Titik kritis ambang batas toleransi minimum pertumbuhan cendawan dan khamir adalah pada nilai aw sekitar 0.62 (Syarief et al. 2003). Faktor ekologis yang mempengaruhi pertumbuhan cendawan adalah aktivitas air (aw) dan kadar air, suhu, substrat, O2, CO2, interaksi mikrob, kerusakan mekanis, infestasi serangga, jumlah spora dan lama penyimpanan. Jumlah air bebas yang dibutuhkan oleh cendawan untuk pertumbuhannya ditetapkan oleh aktivitas air (aw). Semua cendawan termasuk yang toksigenik mempunyai aw minimum, optimum dan maksimum untuk pertumbuhannya. Aktivitas air 0.70 merupakan aw minimum pembentukan koloni semua spesies cendawan dalam penyimpanan (Ominski et al. 1994).
27
Alur Penjualan Menurut Sarono et al. (1999) alur penjualan jagung di Jawa Timur pada tahun 1986, digambarkan pada Gambar 2. PABRIK PAKAN
INDUSTRI TEPUNG JAGUNG SEBAGAI BAHAN TAMBAHAN
PETERNAKAN
PEDAGANG BESAR
INDUSTRI MAKANAN
PENGUMPUL
PEDAGANG LANGSUNG KE PETANI
PETANI Gambar 2 Alur pemasaran jagung di Provinsi Jawa Timur. Pedagang membeli jagung dari petani kemudian dijual ke kolektor dan kolektor menjual ke pedagang besar, kadang kala beberapa kolektor membeli langsung ke petani. Jagung dibeli masih dalam keadaan tertanam tegak di ladang. Pedagang maupun kolektor mengestimasi volume produksi jagung di ladang dan membayar sesuai harga pasar saat itu, biasanya pedagang maupun kolektor menanggung biaya pemanenan dan petani mendapatkan tugas untuk pengeringan. Pedagang besar kemudian menjual ke industri makanan, industri pakan, industri tepung jagung untuk bahan tambahan kopi, dan kadangkala dijual langsung ke peternak. Di beberapa tempat pedagang maupun kolektor menyediakan benih maupun pinjaman untuk menjamin bahwa jagungnya akan dijual ke mereka. Ternak utama yang mengkonsumsi jagung dalam pakannya adalah ternak unggas, babi dan sapi perah. Industri ternak unggas mulai tumbuh sejak 1975 dengan dibukanya impor bibit unggul dan dibukanya kesempatan investasi baik PMDN maupun PMA. Berkat kebijakan ini, industri pembibitan dan industri pakan skala besar mulai bermunculan. Permintaan jagung sangat besar untuk
28
pakan ternak unggas. Konsumsi jagung untuk industri pakan ternak meningkat dari sekitar 1.1 juta ton pada tahun 1990, menjadi 3.3 juta ton pada tahun 1996 dan meningkat menjadi 7.8 juta ton pada tahun 2000 (Erwidodo et al. 2003). Pemerintah tidak memiliki program pembelian jagung untuk menstabilkan harga, tidak seperti pada beras. Pemasaran jagung di biarkan sesuai pasar bebas, sehingga harga tidak stabil. Kelompok tani lemah dalam kegiatan pemasaran, sehingga daya pengaruhnya juga lemah (Sarono et al. 1999). Penyimpanan Proses penyimpanan merupakan salah satu pemrosesan pasca panen dari bahan-bahan pertanian. Banyak faktor yang mempengaruhi kerusakan hasil pertanian pasca panen. Menurut Bala (1997) faktor-faktor tersebut dapat dikelompokan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Komposisi kimiawi, sifat karakteristik biji-bijian hasil pertanian merupakan faktor internal, sedangkan faktor eksternal masih dapat dibagi menjadi faktor fisik (temperatur dan kelembaban), kimiawi (kadar oksigen, kadar karbondioksida), biologis (bakteri, jamur, serangga, hewan pengerat) dan manusia (metode penanganan, sistem penyimpanan, pengangkutan, desinfeksi dan sebagainya). Hal yang tidak menguntungkan dalam penyimpanan adalah hilangnya nutrien atau zat-zat tertentu yang dibutuhkan baik oleh ternak maupun manusia selama proses penyimpanan. Ada dua variabel penting dalam penyimpanan yaitu suhu ruang dan kadar air (Bala 1997). Suhu optimum dan waktu memproduksi aflatoksin oleh A. flavus adalah 25°C dalam waktu 7–9 hari, suhu 30°C dalam waktu 5–7 hari dan pada suhu 20°C dibutuhkan waktu 11–13 hari. A. parasiticus memproduksi aflatoksin B1 pada suhu 30°C sampai 35°C, dan memproduksi G1 pada suhu 25°C sampai 30°C. Sebagian besar total aflatoksin diproduksi pada suhu 25°C sampai 30°C selama masa inkubasi 7–15 hari (Diener & Davis 1969).
29
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di daerah penghasil jagung di Provinsi Jawa Barat yaitu di Kabupaten Garut dimulai dari Oktober 2006 sampai Mei 2007. Pemilihan lokasi Kabupaten Garut berdasarkan data bahwa Kabupaten Garut merupakan Kabupaten penghasil jagung terbesar di Provinsi Jawa Barat dan memiliki nilai produktivitas paling tinggi (Deptan 2005). Bahan dan Alat Bahan kimia yang dipakai adalah metanol dan akuades. Alat yang digunakan untuk pengujian kadar aflatoksin, kadar air, aktivitas air, kadar abu dan organoleptik adalah timbangan analitik, vochdoos, oven, aw meter, multichannel pipet, sentrifuse, tanur, ELISA Kit, Elisa reader dan sebagainya. Peralatan gelas yang digunakan adalah labu erlemeyer, crusibel, beker glass, tabung sentrifuse dan lain-lainnya. Metode Sampling Metode sampling adalah Purposive Sampling dengan jumlah total sampel 57 sampel dengan komposisi sampel dari petani 19 sampel, pedagang pengumpul 18 sampel dan pedagang besar 20 sampel. Penentuan lokasi pengambilan sampel untuk tingkat petani dan pedagang pengumpul berdasarkan pada kecamatan penghasil jagung yang paling banyak, yaitu kecamatan: Banyuresmi, Limbangan, Malangbong, Cibiuk dan Leuwigoong. Jumlah sampel disesuaikan (proporsional) dengan jumlah produksi jagung dari kecamatan tersebut. Jumlah sampel untuk pedagang besar (bandar) diambil 5 pedagang besar di Kecamatan Garut Kota dan Karangpawitan.
Pengumpulan
data
yang
berkaitan
dengan
pengelolaan
pascapanen seperti pemipilan, pengeringan, penyimpanan dan transportasi. dilakukan menggunakan kuesioner dengan cara personal interview (lampiran 1, 2 dan 3).
30
Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel menggunakan metode pengambilan contoh padatan menurut SNI 19-0428-1998 yang dibedakan untuk sampel dalam hamparan dan sampel dalam karung/kemasan. 1. Sampel dalam hamparan Sampel diambil dengan sekop yang bersih dari beberapa sudut dan tengah sehingga
diperoleh
sampel
primer.
Sampel-sampel
tersebut
selanjutnya
dikomposit, sehingga diperoleh sampel sekunder. Sampel kemudian diratakan pada tempat yang bersih dan dibagi empat dengan kayu pembagi, diambil sampel yang terletak pada sudut berlawanan. Sampel yang diambil kemudian diratakan dan dibagi lagi menjadi empat bagian dan diambil dari sudut yang berlawanan, demikian seterusnya hingga diperoleh bobot sampel laboratorium 300 gram. 2. Sampel dalam karung/kemasan Jumlah karung yang diambil sampelnya dari seluruh karung yang ada, sesuai SNI 19-0428-1998 sebagaimana Tabel 2. Sampel diambil dari beberapa titik (sudut kanan dan kiri baik atas dan bawah dan bagian tengah) dengan menggunakan probe, sehingga diperoleh sampel primer. Sampel primer dikomposit, kemudian sampel diratakan pada tempat yang bersih dan dibagi empat dengan kayu pembagi, diambil sampel yang terletak pada sudut berlawanan. Sampel yang diambil kemudian diratakan dan dibagi lagi menjadi empat bagian dan diambil dari sudut yang berlawanan, demikian seterusnya hingga diperoleh bobot sampel laboratorium 300 gram. Tabel 2 Jumlah karung yang diambil sampel Jumlah contoh (karung)
Jumlah contoh yang diambil (karung)
s/d 10 11 – 25 26 – 50 51 – 100 100
Semua contoh 5 7 10 Akar pangkat dua dari jumlah contoh
31
Gambar 3 Pengambilan sampel dalam karung. Metode Pengujian ELISA Jenis uji ELISA yang digunakan adalah kompetisi langsung (Direct Competitive), dengan menggunakan Kit aflatoksin (Balitvet). Sampel diekstraksi dengan metanol 60%, kemudian hasil ekstraksi sampel dicampur dengan konjugat enzim (Aflatoxin B1-Horse Raddish Peroxidase), kemudian dimasukan ke dalam plat mikro yang sudah dilapisi antibodi. Selanjutnya konjugat enzym yang tidak berikatan dengan antibodi dicuci dengan akuades dan enzim yang mengikat antibodi pada plat mikro dengan penambahan substrat akan membentuk warna. Dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm intensitas warna tersebut diukur untuk mengetahui kadar aflatoksin. Semakin tinggi intensitas cahayanya semakin rendah kadar aflatoksinnya.
Gambar 4 Elisa reader yang terhubung dengan personal computer. Metode Pengujian Kadar Air Pengujian kadar air menggunakan metode oven (SNI 01-2891-1992 butir 5). Vochdoos kosong dimasukkan oven pada suhu 105SC selama 1 jam kemudian
32
dinginkan dalam desikator dan ditimbang (W1). Sampel jagung yang sudah digiling dengan berat 2 gram (W) dimasukkan dalam vochdoos, dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105SC selama 3 jam. Sampel dalam vochdoos didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang sampai berat tetap (W2). Kadar air ditentukan dengan rumus : % Kadar air
= (W1 + W) – W2 W
X
100%
Metode Pengujian Kadar Abu Pengujian kadar abu dengan metode Tanur (SNI 01-2891-1992 butir 6). Crusibel kosong dimasukkan dalam tanur pada suhu 550SC selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W1). Sampel ditimbang dengan bobot 2 gram (W) dimasukkan dalam crusibel kosong dan dibakar selama 45 menit, kemudian dimasukkan dalam tanur pada suhu 550SC selama 4 jam. Setelah waktu dalam tanur tercapai sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W2). Kadar abu ditentukan dengan rumus : % Kadar abu = (W2 – W1) W
X
100%
Gambar 5 Pengabuan dalam tanur. Metode Pengujian Bahan Organik Bahan organik diperoleh setelah pengujian kadar air dan kadar abu, dengan menggunakan perhitungan 100% - (kadar air + kadar abu).
33
Metode Pengujian Aktivitas Air (aw) Pengukuran aktivitas air menggunakan alat aw meter. Alat dikalibrasi dengan memasukkan cairan BaCl2 2 H2O dan ditutup dibiarkan selama 3 menit sampai angka pada skala pembacaan menjadi 0.9. Aw meter dibuka dan sampel dimasukkan dan alat ditutup ditunggu hingga 3 menit, dan setelah 3 menit skala aw dibaca dan dicatat, perhatikan skala temperatur dan faktor koreksi. Jika skala temperatur di atas 20SC, maka pembacaan skala aw ditambahkan sebanyak kelebihan temperatur dikalikan faktor koreksi sebesar 0.002S, begitu pula dengan temperatur di bawah 20SC. Metode Pengujian Organoleptik Pengujian organoleptik berdasarkan SNI 01-4483-1998. Sampel ditimbang 100 gram (a), kemudian dipisahkan antara biji utuh dengan biji jagung yang rusak (retak, biji patah, biji keriput, biji berubah warna, biji terserang serangga dan cendawan). Biji jagung rusak ditimbang (b) dalam gram. Persentase biji rusak dapat dihitung dengan rumus : % biji rusak
=
b a
X
100%
Analisis Data Metode analisis kandungan aflatoksin pada tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar menggunakan statistik deskriptif, yaitu dengan menyajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Statistik deskriptif adalah bidang statistik yang menerangkan cara atau metode pengumpulan, menyederhanakan dan menyajikan data, sehingga dapat memberikan informasi (Mattjik & Sumertajaya 2002). Untuk mengukur keeratan korelasi variabel bebas (kadar air, kadar abu, bahan organik, pengujian organoleptik/persentase biji rusak, nilai aktivitas air dalam giling, nilai aktivitas air dalam biji) dengan variabel terikat (kadar aflatoksin) dihitung koefisien korelasi (r). Penghitungan koefisien korelasi
34
ditentukan oleh nilai aflatoksin (X), rata-rata nilai aflatoksin (X), nilai variabel bebas (Y) dan rata-rata nilai variabel bebas (Y), dengan rumus: r = . T (X – X) (Y – U) _ LT (X – X)2 T (Y – U)2 Koefisien korelasi juga diukur diantara variabel bebas untuk mengetahui keeratan hubungan antar variabel bebas. Untuk mengukur tingkat signifikan dari koefisien korelasi dapat menggunakan nilai probabilitas (p) atau uji t. Jika nilai probabilitas lebih kecil dari 0.05 (p<0.05) maka koefisien korelasi signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Jika nilai t hitung lebih besar daripada t tabel maka koefisien korelasi signifikan sesuai pada tingkat kepercayaan tabel yang digunakan. Rumus t hitung yang digunakan adalah sebagai berikut : t =.
r . L(1 – r2)/(n – 2) Dengan menggunakan SPSS 13.0 pada out put secara otomatis menampilkan nilai probabilitas (Budi 2006). Hubungan variabel bebas yang memiliki signifikansi pada tingkat kepercayaan 95% dilakukan analisis sidik ragam (uji F) untuk menguji hipotesis : H0 : Model linear variabel bebas yang diuji dengan kandungan aflatoksin tidak signifikan. H1 : Model linear antara variabel bebas yang diuji dengan kandungan aflatoksin signifikan. Jika F hitung lebih besar daripada F tabel, maka H0 ditolak tetapi jika F hitung lebih kecil daripada F tabel H0 diterima. Variabel yang memiliki model linear yang signifikan dilakukan uji regresi berganda untuk memperoleh persamaan regresi, sehingga dapat diprediksi kandungan aflatoksin oleh variabel bebas. Rumus persamaan regresi berganda adalah sebagai berikut : Y = a + b1.X1+ b2.X2 + b3.X3 + b4.X4 + b5.X5 + b6.X6 Y = Kadar aflatoksin (ppb) a
= intersep
b1 = koefisien regresi untuk variabel kadar air b2 = koefisien regresi untuk variabel Kadar abu
35
b3 = koefisien regresi untuk variabel bahan organik b4 = koefisien regresi untuk persentase biji rusak b5 = koefisien regresi untuk aktivitas air dalam giling b6 = koefisien regresi untuk aktivitas air dalam biji X1 = kandungan kadar air (%) X2 = kandungan kadar abu (%) X3 = kandungan bahan organik (%) X4 = persentase biji rusak (%) X5 = aktivitas air dalam giling X6 = aktivitas air dalam biji Apabila
diantara
variabel
bebas
terdapat
korelasi
yang
cukup
tinggi
(multikolinear), maka salah satu variabel dibuang dalam regresi linear berganda. Persamaan regresinya menggunakan persamaan regresi tunggal (Steel dan Torrie 1995). Koefisien determinasi (R2) sebagai ukuran untuk menyatakan kecocokan garis regresi yang diperoleh, semakin besar nilai R2
maka semakin kuat
kemampuan model regresi yang diperoleh untuk menerangkan kondisi sebenarnya. Jika disajikan dalam analisis ragam (Anova) regresi adalah sebagai berikut : Sumber
Jumlah kuadrat
Derajat bebas
JKR
k -1
KTR = JKR / (k - 1)
Sisaan
JKE
n - k
KTE = JKE / (n – k)
Total
JKT
n- 1
Regresi
Kuadrat tengah
F hitung KTR/KTE
36
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kuesioner Dalam menanam jagung sebagian besar sudah menggunakan benih hibrida yakni sebesar 89%, sedangkan benih lokal mencapai 8% dan komposit 3%. Penggunaan benih hibrida ini meningkatkan produktivitas hasil panen (Tabel 3). Lahan yang digunakan sebagian besar merupakan lahan kering (76% dari responden) sedangkan sisanya merupakan lahan basah (24% dari responden). Kondisi lahan ini menyebabkan dalam menanam jagung sangat tergantung pada air hujan, sehingga pola tanamnya hanya satu kali/tahun (64% dari responden), dua kali/tahun (33% dari responden) dan tiga kali/tahun (3% dari responden). Lahan kering ini menyebabkan penanaman dimulai pada saat musim hujan tiba. Setelah panen sebagian petani menanam jagung lagi, tetapi hasil panen sangat tergantung pada curah hujan. Jika curah hujan cukup maka hasil panen bagus tetapi jika curah hujan rendah (musim hujan pendek) hasil panen tidak memuaskan, dengan bahasa daerah penanaman kedua disebut morat. Budidaya jagung di lahan basah dapat air sepanjang waktu, sehingga penanaman jagung dapat setiap saat tergantung pada pola tanam. Menurut Deptan (2005) menyatakan bahwa penanaman jagung di Indonesia secara nasional 57% pada musim hujan (MH), 24% pada musim kemarau I (MKI) dan 19% pada musim kemarau II (MKII). Pada musim hujan jagung umumnya diusahakan pada lahan kering, sedangkan pada musim kemarau pada sawah tadah hujan dan sawah irigasi. Petani secara umum sudah memahami tanda jagung sudah matang. Warna klobot menjadi tanda buah matang paling banyak yakni sebesar 75%, diikuti permukaan biji sebesar 13% dan keringnya daun dan rambut jagung 10% dan dengan menghitung jumlah hari sebesar 2%. Sistem pemetikan adalah dengan petik segar sebesar 86% dan petik kering sebesar 14%. Petani memetik jagung pada saat matang sempurna. Pemetikan buah yang matang merupakan salah satu rekomendasi FAO (1979) dalam mencegah kontaminasi mikotoksin di tingkat petani pada saat panen.
37
Tabel 3 Budidaya jagung oleh petani* No 1
2 3 4
5
6 7
8
*
Materi Varietas jagung yang ditanam : b. Lokal c. Komposit d. Hibrida Sistem kepemilikan tanah : a. Sendiri b. Pengolah Jenis lahan : a. Lahan kering b. Lahan Basah Pola tanam : a. 1 kali/tahun b. 2 kali/tahun c. 3 kali/tahun d. 4 kali/tahun Tanda buah matang : a. Warna klobot b. Permukaan biji c. Daun dan rambut jagung kering d. Jumlah hari Sistem pemetikan : a. Petik segar b. Petik kering Ditemukan jagung rusak saat panen : a. Ya b. Tidak c. Kadang-kadang Bentuk kerusakan jagung yang ditemukan : a. Perubahan warna biji b. Biji berlubang c. Biji jarang d. Berjamur
% Responden 8 3 89 69 31 76 24 64 33 3 0 75 13 10 2 86 14 57 11 32 58 3 3 15
Jumlah responden 35 orang
Sistem pengeringan jagung di tingkat petani hanya mengandalkan sinar matahari, walaupun alat drier sudah difasilitasi oleh pemerintah sehingga kadar air rata-rata di tingkat petani 16.32% tidak mencapai kadar air aman yakni di bawah 14%. Kadar air yang tidak aman (di atas 14%) ini sangat beresiko terserang cendawan apalagi tempat penyimpanannya menggunakan karung plastik (80% dari responden).
38
Budidaya dan pengelolaan pascapanen masih berdasarkan kebiasaankebiasaan yang biasa dilakukan dari generasi ke generasi, walaupun kebiasaan tersebut tidak berarti salah. Beberapa pengelolaan yang biasa dilakukan dan tepat seperti pemilihan bibit yang unggul (hibrida), sistem pemetikan segar, pemilihan buah matang, dan penyimpanan dalam ruang (rumah atau gudang). Jagung rusak dapat ditemukan oleh petani ketika panen, dengan persentase responden menjawab ya 57%, kadang-kadang 32% dan tidak 11%. Bentuk kerusakan adalah perubahan warna biji, biji berlubang, biji jarang dan berjamur. Bentuk kerusakan ini merupakan peluang cendawan masuk dalam biji jagung dan berkembang biak. Jagung yang rusak tersebut oleh sebagian besar petani (72% dari responden) tidak disortasi, sehingga memudahkan penyebaran spora cendawan. FAO (1979) merekomendasikan bahwa untuk menekan mikotoksin, maka biji – bijian hasil pertanian yang belum dewasa, berubah warna biji dan biji rusak dipisahkan dari biji-bijian yang baik. Pitt (1989) menyatakan bahwa A. flavus mampu tumbuh dalam aktivitas air rendah dan pada saat prapanen, saat panen dan penyimpanan. A. flavus bukan hanya cendawan pascapanen tetapi juga termasuk cendawan lapangan, yakni mampu menyerang jagung tidak hanya di penyimpanan tetapi dapat menyerang jagung sejak dalam budidaya tanaman sebelum panen. Dalam pembelian ditemukan jagung yang rusak lebih besar di pedagang besar (60% dari responden) daripada pedagang pengumpul (25% dari responden, sebagamana ditunjukkan pada Tabel 4. Secara pengujian organoleptik juga menunjukkan tingkat persentase biji rusak di pedagang besar lebih tinggi jika dibandingkan pedagang pengumpul. Persentase biji rusak di tingkat pedagang pengumpul rata-rata 13.24% (simpangan baku 3.1) dan di tingkat pedagang besar rata-rata 18.94% (simpangan baku 6.94). Semakin panjang rantai pengelolaan jagung akan meningkatkan tingkat kerusakan jagung.
39
Tabel 4 Sistem pembelian pedagang pengumpul dan pedagang besarX Materi
X
Alat transportasi dalam pembelian : a. Buruh b. Gerobak c. Sepeda motor d. Pick up e. Truk f. Pick Up dan truk Alat transportasi dalam penjualan : a. Pick up b. Truk c. Truk, fuso dan tronton d. Fuso dan tronton Jagung yang dibeli dalam bentuk : a. Tebasan b. Jagung utuh c. Pipil setengah kering d. Pipil kering Menggunakan alat ukur kadar air dalam pembelian : a. Ya b. Tidak Dalam pembelian ditemukan jagung yang rusak: a. Ya b. Tidak c. Kadang-kadang Melakukan sortasi/pemisahan terhadap kualitas jagung : a. Ya b. Tidak Pangsa pasar: a. Pedagang besar b. Peternak c. Industri pakan ternak
% Responden Pedagang Pedagang pengumpul besar 38 6 25 18 12 0
0 0 0 20 40 40
42 58 0 0
0 0 40 60
13 0 17 70
0 0 0 100
0 100
60 40
25 19 56
60 0 40
63 37
100 0
75 25 0
0 95 5
Jumlah responden 21 orang
Pedagang pengumpul merupakan pedagang yang langsung membeli jagung dari petani. Bentuk jagung yang dibeli oleh pedagang pengumpul lebih bervariasi dibandingkan pedagang besar yang hanya membeli dalam bentuk pipil kering, sehingga sarana transportasinya juga lebih bervariasi (Tabel 4). Tempat tinggalnya tidak jauh dari petani, sehingga dalam pembelian jagung menggunakan
40
alat transportasi tenaga buruh (38% dari responden), sepeda motor (25% dari responden), pick up (18%), truk (12% dari responden) dan gerobak (6%). Alat transportasi pedagang besar menggunakan pick up (kapasitas 3–4 ton) dan truk (kapasitas 7 ton) untuk pembelian ke pedagang pengumpul karena jumlah pembelian lebih besar dan daya tempuh lebih jauh dibandingkan pedagang pengumpul. Alat transportasi untuk menjual ke peternak menggunakan truk tetapi untuk menjual ke industri pakan ternak menggunakan Truk Fuso (kapasitas 16–17 ton) dan tronton (kapasitas 20 ton). Pemilihan jenis transportasi berdasarkan pertimbangan bentuk jagung yang diangkut, volume jagung yang diangkut dan jarak tempuh pengangkutan, untuk mendapatkan efisiensi biaya pengangkutan. Parameter yang digunakan oleh pedagang pengumpul dan pedagang besar untuk mengukur kualitas dalam pembelian jagung adalah kadar air, bentuk dan warna biji. Pengukuran kadar air oleh pedagang besar sudah menggunakan alat moisture tester (100% dari responden), sedangkan pedagang pengumpul tidak menggunakan alat ukur. Pedagang pengumpul dalam menentukan kadar air menggunakan perabaan/genggaman tangan, sehingga hasilnya tidak akurat. Semua pedagang besar memiliki sistem penerimaan jagung yang sama, jagung sebelum masuk diperiksa dan diuji kadar air dengan moisture tester dan diperiksa secara organoleptik, kemudian disortir/dikelompokan. Jika ditemukan kadar air yang masih tinggi dikeringkan dengan pengeringan dengan sinar matahari (80% dari responden) dan dryer (20% dari responden). Pedagang pengumpul (94% dari responden) masih melakukan sortasi, pengeringan dan penyimpanan. Sortasi dilakukan oleh pedagang pengumpul karena pembelian dari petani ditemukan jagung yang rusak (25% dari responden) dan kadang-kadang (56% dari responden) dan sisanya menjawab tidak (Tabel 4). Pengeringan dilakukan oleh pedagang pengumpul, dengan menggunakan sumber panas dari sinar matahari, sedangkan di pedagang besar selain sinar matahari (80% dari responden) juga menggunakan dryer (20% dari responden). Waktu pengeringan pedagang pengumpul lebih pendek daripada petani tetapi lebih panjang daripada pedagang besar (Tabel 5). Pengeringan 4–7 hari dilakukan pedagang pengumpul karena membeli jagung secara tebasan. Pengeringan ulang
41
pedagang pengumpul menghasilkan kadar air di tingkat pedagang pengumpul rata-rata 14.08%. Tabel 5 Pengelolaan pascapanen di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar Materi Petani Sumber panas untuk pengeringan : a. Sinar matahari b. Dryer Lama pengeringan : a. 1 – 3 hari b. 4 – 7 hari c. 8 – 10 hari d. > 10 hari Tempat penyimpanan : a. Hamparan di atas tanah b. Dalam karung plastik c. Hamparan di atas lantai semen d. Hamparan di atas terpal Lama Penyimpanan : a. 1 – 3 hari b. 4 – 7 hari c. 8 – 14 hari d. > 14 hari Ruang penyimpanan : a. Dalam rumah b. Gudang tersendiri c. Tempat terbuka Kapasitas penyimpanan : a. < 2 ton b. 2-4 ton c. 4 – 10 ton d. 11 – 30 ton e. > 30 ton
% Responden Pedagang Pedagang pengumpul besar
100 0
100 0
80 20
75 25 0 0
94 6 0 0
100 0 0 0
0 80 7 13
6 81 13 0
0 63 37 0
65 12 17 6
12 38 19 31
60 40 0 0
97 3 0
41 59 0
0 100 0
39 54 7 0 0
0 0 50 36 14
0 0 0 0 100
Penyimpanan jagung oleh pedagang pengumpul sebagian besar dikemas dalam karung plastik sebagaimana di pedagang besar, hanya saja di pedagang pengumpul ditemukan juga dengan cara dihampar di atas lantai semen atau tanah. Ruang penyimpanan jagung di pedagang besar di gudang (100% dari responden), tetapi di pedagang pengumpul ruang penyimpan di gudang hanya 59% sisanya di
42
dalam rumah. Lama penyimpanan di pedagang pengumpul lebih bervariasi dibanding dengan pedagang besar. Waktu penyimpanan di tingkat pedagang pengumpul rata-rata 11 hari, sedangkan di pedagang besar 4 hari. Waktu yang lebih lama di pedagang pengumpul karena pedagang pengumpul masih menahan jagung untuk mencapai harga yang paling tinggi sedangkan pedagang besar sudah kontrak dengan industri pakan ternak. Waktu tinggal yang lama memberikan kesempatan berkembangnya cendawan dan memproduksi aflatoksin. Kandungan aflatoksin di tingkat pedagang pengumpul lebih tinggi dibandingkan di tingkat petani (Gambar 10). Pangsa pasar penjualan pedagang pengumpul adalah pedagang besar dan peternak, sedangkan pedagang besar pangsa pasarnya ke industri pakan ternak dan peternak/farm. Pemasok Industri pakan ternak 100% berasal dari pedagang besar. Pedagang pengumpul tidak bisa menjual langsung ke pabrik pakan, karena pihak industri pakan memberikan beberapa persyaratan seperti kemampuan menjamin jumlah pasokan yang rutin, kualitas jagung yang baik dan uang jaminan. Peternak besar membeli jagung bisa langsung ke pedagang pengumpul atau pedagang besar. Kondisi ini sesuai dengan penelitian Erwidodo et al. (2003) yang menyatakan bahwa proporsi terbesar transaksi jagung terjadi pada tingkat perdagangan besar. Alur Tataniaga Jagung Berdasarkan hasil wawancara, maka dapat disusun alur tataniaga jagung seperti pada Gambar 6 di bawah ini :
Petani
0 1 Pedagang
Pengumpul
(75%)
Pedagang Besar
(25%)
(95%)
Industri Pakan Ternak
(5%)
Peternak/Farm
Gambar 6 Alur tataniaga jagung di Kabupaten Garut.
43
Petani tidak ada yang menjual langsung ke pasar tradisional atau industri pakan ternak tetapi menjual ke pedagang pengumpul di daerahnya. Jagung yang diolah oleh industri pakan ternak telah melalui dua tingkat pedagang, yakni pedagang pengumpul dan pedagang besar. Alur tata niaga jagung di Kabupaten Garut tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan Kooswardhono dan Karliyenna (1991) menyatakan bahwa alur tataniaga jagung di Jawa Timur adalah: petani
pengumpul
dagang besar tk. Provinsi
pedagang besar tk. Kabupaten
Pe-
Pabrik makanan ternak.
Di tingkat petani jagung mengalami proses pemetikan, pemipilan, kemudian pengeringan dan penyimpanan. Lama pengeringan di tingkat petani adalah 1–3 hari (75% dari responden), dan 4–7 hari (25% dari responden) dan lama penyimpanan 1–3 hari (65% dari responden), 4–7 hari (12% dari responden), 8–14 hari (17% dari responden) dan lebih dari 14 hari (6% dari responden). Waktu tinggal jagung di petani rata-rata 8 hari. Proses di tingkat pedagang pengumpul adalah pemipilan (apabila pembelian dalam tebasan, 13% dari responden), pengeringan dan penyimpanan. Lama pengeringan 1–3 hari (94% dari responden) dan 4–7 hari (6% dari responden), sedangkan lama penyimpanan 1–3 hari (12% dari responden), 4–7 hari (38% dari responden), 8–14 hari (19% dari responden) dan lebih dari 14 hari (31% dari responden). Proses di tingkat pedagang besar adalah pengeringan dan penyimpanan. Pengeringan dilakukan dengan matahari/hamparkan (80% dari responden) atau oven (20% dari responden) dengan lama waktu rata-rata 1 hari. Lama penyimpanan 1–3 hari (60% dari responden), 4–7 hari (40% dari responden). Waktu tinggal jagung di pedagang besar rata-rata 4 hari. Harga jual jagung dari petani per Kg pada saat penelitian antara Rp 1 200– Rp 1 550, dengan rata-rata sebesar Rp 1 428 (standar deviasi 137). Pertambahan harga terbesar di tingkat pedagang besar yakni Rp 139 per Kg dengan tingkat keuntungan 9.1% sedangkan pedagang pengumpul Rp 103 per Kg dengan tingkat keuntungan 7.2%, seperti ditunjukkan pada Tabel 6.
44
Tabel 6 Harga beli dan harga jual pedagang pengumpul dan pedagang besar‡
‡
Harga beli (rupiah/Kg)
Harga jual (rupiah/ Kg)
Pedagang pengumpul Rata-rata Rentang
1 428 1 200 – 1 550
1 531 1 300 – 1 630
Pedagang besar Rata-rata Rentang
1 550 1 500 – 1 650
1 670 1 600 – 1 800
Data harga berdasarkan kuesioner
Kadar Air Mengacu kepada persyaratan kadar air maksimum dalam jagung 14%, terlihat bahwa kadar air di atas 14% ada di tingkat petani 58%, pedagang pengumpul 22% dan pedagang besar 20%. Kadar air dalam rantai pengelolaan pascapanen jagung dari petani menuju pedagang besar semakin berkurang, dan penurunan yang paling besar antara petani dengan pedagang pengumpul, seperti
14,00 -
Kadar Air (%)
28,00
ditunjukkan pada Gambar 7, 8 dan 9.
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Sampel Sampel
14,00 0,00
KadarAir(%)
28,00
Gambar 7 Kadar air jagung di tingkat petani.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Sampel
Sampel
Gambar 8 Kadar air pada jagung di tingkat pedagang pengumpul.
45
28,00 14,00
Kadarair(%)
0,00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Sampel
Gambar 9 Kadar air pada jagung di tingkat pedagang besar. Penelitian yang dilakukan Dharmaputra dan Retnowati (1995) menunjukkan pula bahwa kadar air beberapa komoditas pertanian yang diperoleh dari pengecer di Bogor dan Cipanas lebih rendah daripada yang diperoleh dari petani. Berdasarkan hasil kuesioner, pengeringan jagung oleh petani semuanya dengan menggunakan sinar matahari selama 1–3 hari (75% dari responden) dan 4 –7 hari (25% dari responden) menghasilkan kadar air di atas 14% sebesar 58%. Di tingkat pedagang pengumpul pengeringan jagung menggunakan sumber panas sinar matahari (100% dari responden), dengan lama pengeringan 1–3 hari (94% dari responden) dan 4–7 hari (6% dari responden) menghasilkan kadar air jagung yang di atas 14% sebesar 22%. Di tingkat pedagang besar proses pengeringan menggunakan dua macam sumber panas yaitu dryer dan sinar matahari menghasilkan kadar air jagung yang di atas 14% sebesar 20%. Sumber pengeringan jagung dengan menggunakan panas matahari, sangat rentan terhadap perubahan cuaca. Balitbangtan (2005) menyatakan bahwa pengeringan dengan bersumberkan sinar matahari tidak dapat diandalkan dimusim hujan karena membutuhkan waktu lama dan kehilangan hasil cukup tinggi. Jagung yang dikeringkan secara cepat setelah dipipil dengan sumber panas matahari sehingga mencapai kadar air di bawah atau sama dengan 15% dapat disimpan dengan rendah kontaminasi A. flavus (1.5%–8%) selama 56 hari penyimpanan (Kawashima dan Kawasugi 1988, diacu dalam Dharmaputra et al. 1997). Berkaitan hal tersebut, Dharmaputra (1997) melaporkan bahwa jagung dalam tongkol dikeringkan sampai kadar air 20% kemudian dipipil dan dikeringkan hingga 17% kemudian disimpan selama 3 bulan ditemukan A. flavus 570.9 koloni/gram, jagung dalam tongkol dikeringkan mencapai kadar air 17%
46
kemudian dipipil tanpa pengeringan ulang setelah disimpan ditemukan 1 224.4 koloni/gram, jagung dalam tongkol dikeringkan sampai kadar air 20%, kemudian dipipil dan dikeringkan sampai kadar air 14% setelah penyimpanan ditemukan 84.2 koloni/gram dan jika jagung dalam tongkol dikeringkan sampai kadar air 17%, kemudian dipipil dan dikeringkan sampai kadar air 14% setelah penyimpanan ditemukan 127.7 koloni/gram. Sebagian besar pengeringan yang dilakukan oleh petani selama ini belum mampu menurunkan kadar air pada tingkat yang aman untuk terserang cendawan A. flavus. Rata-rata kadar air di tingkat petani adalah 16.32%, dengan rentang kadar air minimal 10.96% dan maksimal 23.18%. Kadar air di tingkat pedagang besar mampu mencapai rata-rata 14.24% tetapi untuk mencapainya harus melewati pengeringan di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar, sehingga memberikan kesempatan serangan dari cendawan penghasil aflatoksin, karena yang dibutuhkan adalah pengeringan secara cepat mencapai kadar air yang aman. Aflatoksin Dalam penelitian ini yang disebut aflatoksin merupakan aflatoksin hasil analisa dengan metode ELISA yang memiliki respon spesifik terhadap aflatoksin B1 (100%) dan memiliki reaksi silang terhadap aflatoksin B2 (0.9%), aflatoksin G1 (3.5%) dan aflatoksin G2 (1.6%) (Rachmawati 2005). Hasil pengujian kandungan aflatoksin terdapat pada lampiran 7, 8 dan 9, apabila diolah dalam boxplot, ditunjukkan pada gambar 10 di bawah ini: 90
Kandungan aflatoksin (ppb)
80 70 60 50 40 30 20 10 0
P e ta n i
P edagang pengum pul
P eda ga ng be sar
Gambar 10 Kandungan aflatoksin di tiga tingkatan pengelola pascapanen.
47
Kandungan aflatoksin mengalami kecenderungan meningkat dari tingkat petani ke tingkat pedagang besar baik secara rata-rata maupun median (Tabel 7). Di setiap tingkatan nilai rata-rata selalu lebih tinggi dengan nilai median. Jumlah data yang di bawah rata-rata selalu lebih banyak jika dibandingakan dengan data di atas rata-rata, kondisi ini tergambarkan dengan daerah diatas garis median lebih luas dibandingkan dengan daerah di bawah garis median. Di tingkat petani terdapat dua data dan di pedagang pengumpul tiga data pencilan dengan kandungan aflatoksin yang tinggi, hal ini disebabkan
dalam pengolahan
pascapanennya petani (6% dari responden) dan pedagang pengumpul (31% dari responden) menyimpan jagung lebih dari 14 hari (Tabel 5). Waktu penyimpanan yang
lama
akan
meningkatkan
kandungan
aflatoksin,
karena
dengan
bertambahnya waktu akan memberikan peluang cendawan penghasil aflatoksin memproduksi metabolit sekunder aflatoksin. Tabel 7 Sebaran kandungan aflatoksin di petani,pedagang pengumpul dan pedagang besar
Rata-rata Median Nilai minimal Nilai maksimal Kuartil 1 Kuartil 3 Jarak antar kuartil
Petani 2.98 0.20 0.04 23.78 0.16 2.58 2.42
Kandungan aflatoksin (ppb) Pedagang pengumpul Pedagang besar 8.46 36.71 1.78 4.90 0.14 0.23 47.41 89.18 0.93 0.45 9.15 75.24 8.22 74.79
Menurut Rachmawati et al. (1999) bahwa hasil pengamatan kandungan aflatoksin pada pakan menunjukkan adanya peningkatan kadar aflatoksin selama masa inkubasi 10 hari. Goldblatt (1969) menyatakan bahwa pembentukan aflatoksin akan terus meningkat jika cendawan bertambah banyak dan waktu penyimpanan yang lama, selama batas optimum pertumbuhannya yaitu selama 7– 15 hari. Titik et al. (2001) menyatakan bahwa Aspergillus sp mulai terdeteksi pada penyimpanan jagung selama 2 minggu, dan cendawan Aspergillus dan Pinicillium mampu tumbuh pada kadar air rendah. Arrus et al. (2005) menyatakan isolasi cendawan dari permukaan polong kacang Brazil diperoleh cendawan
48
A.flavus (21%) dan dengan dibiakan di YES (yeast ekstract sukrosa) diproduksi aflatoksin setelah inkubasi 10 hari. Batas maksimal kandungan aflatoksin pada jagung sebagai bahan baku pakan menurut SNI 01-4483-1998 adalah 50 ppb. Di tingkat petani, tidak ditemukan jagung dengan kandungan aflatoksin melebihi 25 ppb, bahkan semuanya di bawah 25 ppb. Di tingkat pedagang pengumpul tidak ditemukan kandungan aflatoksin di atas 50 ppb, tetapi ditemukan sampel dengan kandungan aflatoksin diantara 25 ppb dan 50 ppb sebesar 11%. Di tingkat pedagang besar ditemukan sampel di atas 50 ppb sebesar 40%, kandungan aflatoksin diantara 25 ppb dan 50 ppb sebesar 50% dan di bawah 25 ppb sebesar 10%. Waktu yang dibutuhkan dalam proses pengelolaan jagung pada pasca panen dari tingkat petani sampai pedagang besar rata-rata 23 hari, sebagaimana dalam pembahasan kuesioner rata-rata di tingkat petani 8 hari, pedagang pengumpul 11 hari dan pedagang besar 4 hari. Kadar aflatoksin di tingkat petani masih rendah (di bawah 25 ppb) tidak berarti pengelolaan pasca panen sudah sempurna, tetapi karena masa tinggal di tingkat petani yang pendek sekitar 8 hari, sedangkan pertumbuhan cendawan optimum selama 7–15 hari (Goldblatt 1969) dan menunjukkan peningkatan kadar aflatoksin 10 hari (Rachmawati et al. 1999). Proses dalam rantai pengelolaan jagung dari petani sampai pedagang besar mengalami proses pemetikan, pemipilan, pengeringan, transportasi, dan penyimpanan. Kadar air jagung di tingkat petani yang sebagian besar (58%) masih di atas 14% memudahkan serangan dari cendawan penghasil aflatoksin. Selama proses pengelolaan jagung sampai pedagang besar membutuhkan waktu, sehingga selama waktu tersebut cendawan penghasil aflatoksin dapat tumbuh dan menghasilkan metabolit sekunder aflatoksin. Bertambahnya waktu akan memiliki kecenderungan semakin banyak aflatoksin dihasilkan. Dharmaputra et al. (1997) menyatakan kandungan aflatoksin akan meningkat dengan bertambahnya waktu penyimpanan karena aflatoksin tidak mudah didekomposisi, sehingga akan terakumulasi dengan bertambahnya waktu. Titik lebur aflatoksin sangat tinggi yakni lebih dari 230SC, sehingga tidak bisa didekomposisi dengan pemanasan pada umumnya.
49
Pengetahuan tentang aflatoksin pun di tingkat petani masih rendah dibandingkan tingkat pedagang pengumpul dan pedagang besar, baik dari segi pendidikan, maupun dari pengenalan terhadap istilah aflatoksin (Tabel 8). Petani yang mengenal istilah aflatoksin hanya 6% tetapi pedagang besar 100% mengenal aflatoksin. Pedagang besar mengenal istilah aflatoksin karena aflatoksin merupakan salah satu parameter syarat kualitas jagung yang dibeli oleh industri pakan ternak. Tingkat pendidikan petani didominasi Sekolah Dasar, yakni sebesar 67% , untuk pedagang pengumpul didominasi lulusan SLTA, sebesar 44% dan pedagang besar lulusan diploma 50% dan lulusan S1 50%. Pendidikan yang rendah di tingkat petani akan mempengaruhi penguasaan informasi, teknologi dan daya pikir rendah. WHO (2005) menyatakan bahwa pengetahuan pertanian dan penerapan kesehatan masyarakat dapat mencegah atau mengurangi penyebaran aflatoksin. Tabel 8 Persentase tingkat pendidikan dan pengenalan istilah aflatoksin[
[
Petani (%)
Pedagang Pengumpul (%)
Pedagang Besar (%)
Tingkat Pendidikan a. SD b. SLTP c. SLTA d. Diploma e. S1
67 3 15 9 6
25 19 44 0 12
0 0 0 50 50
Mengenal istilah aflatoksin a. Mengenal b. Tidak mengenal
6 94
19 81
100 0
Hasil kuesioner dengan total jumlah responden 56 orang
Dalam alur pengelolaan pascapanen. Petani memiliki peran yang sangat penting dalam menekan kontaminasi aflatoksin, karena di tingkat petani yang paling awal menangani jagung baik prapanen dan pascapanen. Apabila di tingkat petani sudah terserang cendawan penghasil aflatoksin, maka aflatoksin yang dihasilkan akan terkumpul pada tingkat pedagang pengumpul dan pedagang besar Menurut Pitt dan Hocking (1997) faktor fisik yang mempengaruhi A. flavus memproduksi aflatoksin adalah dalam rentang suhu 13–37SC dan aktivitas air di atas 0.82, dengan kondisi optimumnya pada suhu 16–31SC dan aktivitas air
50
0.95–0.99. Lillehoj (1983) menyatakan bahwa aktivitas air optimum untuk pertumbuhan miselium A. flavus dan A. parasiticus adalah 0.99–0.91, aktivitas air 0.87 tidak secara dramatis menurunkan pertumbuhan tetapi produksi aflatoksin secara signifikan berkurang. Dari data pengukuran suhu ruang penyimpanan di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar merupakan suhu yang optimum untuk A. flavus memproduksi aflatoksin, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 9. Aktivitas air pada jagung masih dalam rentang aktivitas air yang optimum untuk A flavus dan A. parasiticus menghasilkan aflatoksin, walaupun rata-rata aktivitas air pada jagung di tingkat petani lebih tinggi dibandingkan di tingkat pedagang pengumpul maupun pedagang besar. Tabel 9 Suhu ruang penyimpanan dan aktivitas air jagung di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar Tingkat
Suhu ruang Rata-rata (°C) Rentang (°C) 31.23 29 – 34
Petani
Aktivitas air Rata-rata Rentang 0.9117 0.834 – 0.996
Pedagang pengumpul
30.92
30 – 33
0.8608
0.796 – 0.958
Pedagang besar
29.85
28 – 32
0.8711
0.796 – 0.956
Dalam proses pemipilan belum menggunakan alat pemipil modern tetapi masih menggunakan peralatan sederhana seperti pisau, parut, pasak, sepeda ontel dan sepeda motor. Kualitas pemipilan masih rendah, sehingga persentase biji rusak tinggi, seperti ditunjukkan Tabel 10. Tabel 10 Persentase biji rusak hasil pengujian organoleptik7 Materi Rata-rata biji rusak Kisaran biji rusak Simpangan baku 7
Petani (%)
Pedagang Pengumpul (%)
Pedagang Besar (%)
8.42 2.3 – 19.10 5.01
13.24 7.8 – 18.0 3.10
18.95 9.2 – 35 6.94
Hasil kuesioner dengan total jumlah responden 56 orang
51
Menurut SNI 01-4483-1998 tentang jagung sebagai bahan baku pakan, bahwa persyaratan standar jagung sebagai bahan baku pakan memiliki batas maksimal persentase biji rusak adalah 12%, sedangkan rata-rata ditemukan di tingkat petani 8.42%, pedagang pengumpul 13.24% dan pedagang besar 18.95%. Peningkatan persentase biji rusak dari petani menuju pedagang besar disebabkan karena proses pengeringan berulang, proses pengangkutan dan serangan hama gudang. Analisis Korelasi dan Regresi Dengan menggunakan software SPSS versi 13.0, dilakukan uji korelasi berganda antara kandungan aflatoksin sebagai variabel terikat dengan variabel bebas yakni kadar air, kadar abu, bahan organik, persentase biji rusak, aw dalam bentuk biji dan aw dalam bentuk giling. Uji regresi dilakukan pada variabel bebas yang memiliki korelasi yang signifikan (?:0.05) terhadap kandungan aflatoksin, sehingga
diperoleh
persamaan
regresi
yang
dapat
digunakan
untuk
memperkirakan kandungan aflatoksin dengan menggunakan nilai variabel lainnya baik di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar. Variabel Bebas dengan Variabel Kandungan Aflatoksin Steel dan Torrie (1995) menyatakan bahwa untuk mengukur keeratan hubungan antara dua variabel adalah koefisien korelasi (r). Signifikansi dari koefisien korelasi pada tingkat kepercayaan 95% dapat ditunjukkan dengan nilai probabilitas/koefisien signifikans, dimana koefisien korelasi signifikan jika nilai p lebih kecil daripada 0.05 (p<0.05). Variabel yang koefisien korelasinya tidak signifikan baik pada tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar adalah kadar abu, nilai aktivitas air pada bentuk biji, dan nilai aktivitas air pada bentuk giling. Korelasi yang
signifikan
ditemukan di tingkat petani dan
pedagang pengumpul. Di tingkat petani variabel bebas yang signifikan adalah persentase biji rusak dengan r: 0.555 (p = 0.014), dan di pedagang pengumpul adalah variabel bebas kadar air dengan r: -0.630 (p = 0.005), dan bahan organik dengan r: 0.662 (p = 0.003 ), seperti ditunjukkan pada Tabel 11.
52
Tabel 11 Koefisien korelasi dan koefisien signifikans variabel bebas terhadap kadar aflatoksin di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar Variabel bebas
Petani
Pedagang Pengumpul
Pedagang Besar
K.korelasi
K. sig.
K. korelasi
K. sig.
K. korelasi
K. sig.
Persentase biji rusak Kadar air
0.555*
0.014
0.328
0.184
0.264
0.260
-0.062
0.800
-0.630**
0.005
-0.131
0.583
Bahan organik
0.062
0.801
0.662**
0.003
0.130
0.584
Aw dalam biji
-0.118
0.631
-0.451
0.060
-0.051
0.832
Aw dalam giling Kadar abu
0.179
0.463
-0.434
0.072
0.384
0.094
0.016
0.949
0.000
0.998
-0.048
0.840
K. korelasi: koefisien korelasi, K.sig.: koefisien signifikan. * Korelasi signifikan pada ?:0.05, (2-tailed) ** Korelasi signifikan pada ?:0.01, (2-tailed)
Kandungan aflatoksin pada jagung di tingkat petani berkorelasi positip dengan persentase biji rusak, semakin besar persentase kerusakan jagung akan menyebabkan peningkatan kandungan aflatoksin. Koefisien korelasi di tingkat petani 0.555 dan mengalami penurunan tingkat koefisien korelasi ke arah pedagang besar berturut-turut 0.328 dan 0.264. Di tingkat petani pengaruh kerusakan biji jagung signifikan (?:0.05) karena kerusakan biji jagung di tingkat petani akan memudahkan serangan jamur A. flavus dan konsekuensinya, peluang memproduksi aflatoksin akan tinggi. Korelasi positip dari persentase biji rusak menurun ke arah pedagang besar karena semakin ke arah pedagang besar lebih banyak faktor yang mempengaruhi produksi aflatoksin seperti pengeringan berulang, penyimpanan, pencampuran dan transportasi, sehingga kadar aflatoksin lebih bervariasi. Dilaporkan oleh Dharmaputra et al. (1994) terdapat hubungan korelasi positip antara kerusakan biji jagung dengan persentase biji jagung terinfeksi oleh A. flavus di tingkat petani dan pedagang di tingkat desa di Lampung Tengah dan Kabupaten Kediri. Kerusakan biji jagung dapat disebabkan oleh faktor-faktor pada waktu sebelum panen seperti serangan serangga, batang tanaman roboh dan klobot jagung tidak menutupi dengan sempurna tongkol jagung. Garcia dan Park (1999) menyatakan serangga yang merusak biji jagung akan menyediakan dan
53
memudahkan rute infeksi dan pertumbuhan A. flavus dan produksi aflatoksin dibandingkan dengan cendawan lain. Penyebab kerusakan biji jagung oleh faktorfaktor sesudah panen seperti pemipilan yang tidak benar, dilindas kendaraan pada saat pengeringan di jalan dan sebagainya. Variabel kadar air di tingkat pedagang pengumpul berkorelasi negatif secara signifikan dan menurun nilai korelasi negatifnya di tingkat petani dan pedagang besar (Gambar 11). Di tingkat petani kadar air masih tinggi tetapi produksi dan penumpukan aflatoksin masih rendah, sehingga berkorelasi negatif. Koefisien korelasi tidak signifikan di tingkat petani dan pedagang besar, karena di tingkat petani kadar aflatoksin cenderung seragam rendah (di bawah 25 ppb), sedangkan kadar air beragam, dengan rata-rata 16.32% lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar air di tingkat pedagang pengumpul dan padagang besar. Di tingkat petani ditemukan kandungan aflatoksin tinggi (23.78 ppb) jika dibandingkan dengan data dari petani lainnya, karena di tingkat petani ditemukan pula penyimpanan lebih dari 14 hari (6% dari responden). Lamanya penyimpanan akan mempengaruhi peningkatan produksi aflatoksin. Toteja (2006) menyatakan faktor penting peningkatan produksi aflatoksin adalah iklim, kondisi penyimpanan dan lamanya penyimpanan, walaupun variasi tingkat kontaminasi ditemukan tidak hanya pada daerah iklim yang berbeda tetapi juga pada daerah yang iklimnya sama. 50
Aflatoksin (ppb)
40 30 20 10 0 -10 10
11
12
13
14
15
16
17
18
K a da r a ir (% )
Gambar 11 Hubungan kadar air dengan kandungan aflatoksin di di tingkat pedagang pengumpul. Di tingkat pedagang pengumpul berkorelasi negatif karena jagung yang berkadar air tinggi merupakan jagung yang yang belum lama dari petani dan
54
belum terjadi penumpukan aflatoksin, sedangkan yang tinggi kadar aflatoksinnya merupakan jagung yang sudah lama dalam penyimpanan dan kadar air sudah turun. Di tingkat pedagang pengumpul terjadi variasi waktu penyimpanan yakni 1–3 hari (12% dari responden), 4–7 hari (38%), 8–14 hari (19% dari responden) dan lebih 14 hari (31%). A. flavus merupakan cendawan gudang yang mampu tumbuh pada kadar air 13–18% (Ominski 1994). Kandungan aflatoksin memiliki kecenderungan meningkat ke arah pedagang besar karena aflatoksin merupakan
metabolit sekunder (diproduksi
pada saat cendawan sudah mengalami pertumbuhan yang stabil), bersifat akumulatif dan tidak dapat didekomposisi pada suhu ruang. Kadar air menurun ke arah pedagang besar karena adanya pengeringan berulang dan pengawasan kadar air di tingkat pedagang besar, tetapi ditemukan juga kadar air tinggi dan mengandung aflatoksin tinggi karena air merupakan media perkembangan cendawan. Kondisi ini menyebabkan koefisien korelasi kadar air dengan aflatoksin bersifat negatip tetapi tidak signifikan. Kadar air yang rendah dalam biji jagung tidak jaminan kandungan aflatoksin rendah, karena menurunkan kadar air lebih mudah dibandingkan menurunkan kandungan aflatoksin. Bahan organik berkorelasi positip baik di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar tetapi korelasi yang signifikan ditemukan pada tingkat pedagang pengumpul (Gambar 12). Menurut Syarief dan Halid (1999) bahwa toksinogenesis tergantung pada komposisi kimia yang dikandung oleh bahan pangan. Aflatoksin diproduksi lebih aktif pada bahan yang mengandung karbohidrat tinggi, diikuti oleh bahan yang kaya lipida dan protein. Penambahan lipida tertentu pada tepung terigu dapat mengaktifkan biosintesa aflatoksin. Jagung mengandung rata-rata pati 71.7%, protein 9.5% dan lemak 4.3 % (Watson 2003). Bahan organik tersebut dapat menjadi bahan pembentukan aflatoksin. Rumus kimia aflatoksin terdiri dari unsur karbon, oksigen dan hidrogen (aflatoksin B1; C17H12O6,
aflatoksin B2; C17H14O6, aflatoksin G1;
C17H12O7 dan aflatoksin G2; C17H14O7), dimana unsur-unsur tersebut banyak terdapat dalam bahan organik. Oleh karena itu jagung yang memiliki bahan organik tinggi disukai cendawan penghasil aflatoksin sehingga kandungan aflatoksin tinggi pula. Hubungan bahan organik dengan aflatoksin berkorelasi
55
positip tetapi dengan bertambahnya waktu bahan organik tersebut akan berkurang karena dipergunakan untuk metabolisme cendawan, sehingga di tingkat pedagang besar ditemukan jagung yang mengandung aflatoksin tinggi tetapi bahan organik rendah. Kondisi ini menyebabkan tidak signifikannya koefisien korelasi bahan organik dengan aflatoksin di tingkat pedagang besar. S c a tte r p l o t o f A f l a to k s i n v s B a h a n o r g a n i k 50 40
Aflatoksin
30 20 10 0 -10 81
82
83
84
85 86 Ba h a n o r g a n ik
87
88
89
Gambar 12 Hubungan bahan organik dengan kandungan aflatoksin di tingkat pedagang pengumpul. Kadar aflatoksin tidak ada yang signifikan koefisien korelasinya dengan nilai aktivitas air baik dalam bentuk biji maupun giling. Hal ini disebabkan ratarata nilai aktivitas air dalam biji di petani 0.9117 (0.834–0.996), di tingkat pedagang pengumpul rata-rata 0.8608 (0.796–0.958) dan pedagang besar rata-rata 0.8711 (0.796–0956) merupakan nilai aktivitas air yang dapat untuk pertumbuhan cendawan. Dari tiga pelaku penanganan pasca panen nilai koefisien korelasi paling erat adalah di tingkat pedagang pengumpul, karena di tingkat ini cendawan aktif menghasilkan aflatoksin. Nilai koefisien korelasinya adalah negatif karena A. flavus yang menghasilkan aflatoksin bersifat serofilik yakni germinasi spora berlangsung pada aw lebih kecil daripada 0.80 (Syarief et al. 2003). Analisis Regresi Persentase biji rusak terhadap kandungan aflatoksin di tingkat petani dengan koefisien korelasi 0.555 memenuhi model linear secara signifikan pada tingkat nyata 95% (Lampiran 11) sehingga dilanjutkan uji regresi. Persamaan regresi persentase biji rusak terhadap kandungan aflatoksin diperoleh intersep (a)
56
adalah -3.105 dan nilai koefisien regresi (b) adalah 0.722, dengan kandungan aflatoksin (Y) dan persentase biji rusak (X), sehingga persamaan regresinya adalah: Y = -3.105 + 0.722X. Setelah pengujian signifikasi terhadap koefisien a dan b, ternyata koefisien a tidak signifikan, sehingga persamaan regresi ini tidak signifikan pada tingkat kepercayaan 95%, seperti ditunjukkan pada Lampiran 11. Di tingkat pedagang pengumpul ditemukan dua variabel yang signifikan terhadap kandungan aflatoksin, yaitu bahan organik dan kadar air, tetapi kedua variabel bebas tersebut memiliki korelasi yang sangat kuat (r: -0.995) dan signifikan (p<0.05), seperti ditunjukkan pada Tabel 12. Menurut Steel dan Torrie (1995) jika diantara variabel bebas terdapat korelasi yang cukup tinggi (multikolinear), maka salah satu variabel dibuang dalam regresi linear berganda. Variabel kandungan bahan organik dan kadar air tidak dapat digunakan untuk menyusun persamaan regresi linear berganda terhadap variabel aflatoksin karena kedua variabel tersebut berkorelasi yang kuat
dan signifikan (p<0.05).
Persamaan regresinya menggunakan persamaan regresi tunggal terhadap variabel kandungan bahan organik dan kadar air. Menurut
Sudarmanto
(2005)
untuk
menguji
multikolinearitas
menggunakan program SPSS dapat menggunakan koefisien signifikan atau keofisien korelasi Pearson. Variabel bebas bersifat multikolinear jika koefisien signifikansi di bawah taraf nyata (?) yang ditetapkan atau koefisien korelasi hitung lebih besar jika dibandingkan dengan koefisien korelasi tabel. Bahan organik terhadap kandungan aflatoksin di tingkat pedagang pengumpul dengan koefisien korelasi 0.662
memenuhi model linear secara
signifikan pada tingkat nyata 95% (Lampiran 13), sehingga dilanjutkan uji regresi. Persamaan regresi bahan organik terhadap kandungan aflatoksin diperoleh intersep (a) adalah -466.806 dan nilai koefisien regresi (b) adalah 5.600, dengan kandungan aflatoksin (Y) dalam ppb dan persentase bahan organik (X) dalam persen (%), sehingga persamaan regresinya adalah: Y = -466.806 + 5.600X. Koefisien a dan b, signifikan (p<0.05), sehingga persamaan regresi ini signifikan pada tingkat kepercayaan 95%, seperti ditunjukkan pada Lampiran 13. Kadar air terhadap kandungan aflatoksin di tingkat pedagang pengumpul dengan koefisien korelasi -0.630 memenuhi model linear secara signifikan pada
57
tingkat nyata 95% (Lampiran 14), sehingga dilanjutkan uji regresi. Persamaan regresi kadar air terhadap kandungan aflatoksin diperoleh intersep (a) adalah 79.34 dan nilai koefisien regresi (b) adalah -5.033, dengan aflatoksin (Y) dalam ppb dan persentase kadar air (X) dalam persen (%), sehingga persamaan regresinya adalah: Y = 79.34 - 5.033 X. Koefisien a dan b signifikan maka persamaan regresinya signifikan (p<0.05), sebagaimana ditunjukkan pada Lampiran 14. Nilai koefisien determinasi bahan organik terhadap kandungan aflatoksin adalah R square (R2) = 0.438 maka 43.8% variasi aflatoksin dipengaruhi oleh variabel bahan organik, sementara sisanya dipengaruhi oleh sebab-sebab lainnya. Nilai koefisien determinasi kadar air terhadap kandungan aflatoksin adalah R square (R2) = 0.397 maka 39.7% variasi aflatoksin dipengaruhi oleh variabel kadar air, sementara sisanya dipengaruhi oleh sebab-sebab lainnya. Hubungan kandungan aflatoksin yang signifikan dengan variabel bebas pada jagung semakin ke arah pedagang besar semakin berkurang, bahkan di tingkat pedagang besar tidak ditemukan hubungan yang signifikan kandungan aflatoksin dengan variabel bebas. Penyebab tidak ditemukan hubungan yang signifikan tersebut karena jagung di tingkat pedagang besar merupakan hasil pencampuran (mixing) sehingga memiliki sifat yang lebih heterogen, selain itu di tingkat pedagang besar jagung sudah mengalami proses alur pakan lebih lama dibandingkan jagung di tingkat petani dan pedagang pengumpul. Keadaan ini berbeda di tingkat petani dan pedagang pengumpul ditemukan hubungan yang signifikan (p< 0.05). Korelasi antar Variabel Bebas Korelasi antar variabel bebas yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95% di tingkat petani dan pedagang pengumpul adalah: kadar air dengan bahan organik, aw dalam bentuk biji dengan aw dalam bentuk giling, kadar air dengan nilai aw dalam bentuk giling, kadar air dengan aw dalam bentuk biji, bahan organik dengan aw dalam bentuk giling, bahan organik dengan aw dalam bentuk biji. Korelasi antar variabel bebas yang signifikan di tingkat petani dan pedagang pengumpul adalah sama, sedangkan di tingkat pedagang besar korelasi antar
58
variabel bebas yang signifikan hanya bahan organik dengan kadar air, seperti ditunjukkan di Tabel 12. Kadar abu tidak memiliki korelasi yang signifikan baik di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar karena kadar abu relatif konstan jika dibandingkan dengan variabel lainnya. Korelasi antar variabel bebas yang signifikan memiliki koefisien korelasi positip kecuali hubungan kadar air dengan bahan organik, bahan organik dengan nilai aw dalam bentuk giling dan bahan organik dengan nilai aw dalam bentuk biji. Koefisien korelasi negatip memiliki makna jika salah satu variabel meningkat, maka variabel lainnya menurun, atau sebaliknya. Bahan organik akan meningkat jika kadar air turun atau bahan organik akan meningkat jika nilai aw baik dalam bentuk giling maupun biji turun, begitupula sebaliknya. Penurunan kadar air pada batas yang aman, selain melindungi dari serangan cendawan penghasil aflatoksin juga meningkatkan konsentrasi nutrien dalam jagung. Kadar air berkorelasi negatif secara signifikan dengan bahan organik karena rumus untuk mencari bahan organik adalah 100% - (kadar air + kadar abu), semakin tinggi kadar air maka kandungan bahan organik semakin rendah karena kadar abu di ketiga tingkat pengelola pascapanen relatif konstan, yakni rata-rata di tingkat petani: 1.01%, pedagang pengumpul: 1.07% dan pedagang besar: 1.12%. Korelasi yang sangat erat ini menyebabkan multikolinearitas antara kadar air dan bahan organik, sehingga kedua variabel tersebut tidak dapat digunakan secara bersama dalam persamaan regresi berganda. Kadar air berkorelasi positip dengan aw dalam biji maupun dalam giling di ketiga tingkatan pengelola karena aktivitas air merupakan air bebas yang dapat digunakan untuk metabolisme jasad renik. Semakin besar kandungan air dalam material akan memiliki kecenderungan pula ketersediaan air bebas yang dapat digunakan metabolisme jasad renik, maka kedua variabel tersebut memiliki hubungan korelasi positip. Oleh karena itu hubungan bahan organik dengan nilai aw baik dalam giling maupun dalam biji berkorelasi negatif, karena korelasi kandungan air dengan bahan organik berkorelasi negatif, sedangkan kandungan air berkorelasi positip dengan nilai aw.
59
Tabel 12 Koefisien korelasi antar variabel bebas di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar € Variabel bebas
Petani
Pedagang
Pedagang
Pengumpul
Besar
Kadar air – B. Organik
-0.999**
-0.995**
-0.996**
Kadar air – Aw dalam giling
0.486*
0.632**
0.426
Kadar air – Aw dalam biji
0.478*
0.469*
0.321
B.organik – Aw dlm giling
-0.494*
-0.630*
-0.442
B. organik – Aw dalam biji
-0.487*
-0.470*
-0.309
Aw dalam biji – Aw dalam giling
0.572*
0.715*
0.360
€ **:
Signifikan pada tingkat kepercayaan 99% * : Signifikan pada tingkat kepercayaan 95%
Titik – Titik Kritis Petani Titik-titik kritis (critical points) peningkatan kontaminasi aflatoksin pada tingkat petani adalah pada proses sortasi, proses pemipilan dan proses pengeringan. Menurut Diener dan Davis (1969) terdapat cendawan - cendawan penghasil aflatoksin yaitu A. flavus, A. parasiticus dan lainnya. Jagung yang rusak merupakan sumber penyebaran spora cendawan, sehingga jika dicampur dengan jagung yang baik spora cendawan akan menyerang jagung yang baik juga. Menurut Siriacha et al. (1994) kontaminasi cendawan A. flavus pada tanaman jagung sebelum panen paling banyak ditemukan pada biji jagung (umur tanaman 102-109 hari) dibandingkan dengan bagian tanaman batang, daun, bunga jantan, tongkol, kelobot dan rambut jagung. Dalam biji jagung dapat ditemukan A. flavus walaupun dalam kelobot tidak ditemukan A. flavus, hal ini disebabkan spora jamur masuk dalam biji melewati rambut jagung ketika terjadi kerusakan. Hasil wawancara dengan petani 57% dari responden menemukan jagung rusak ketika panen, 32% dari responden menyatakan kadang-kadang dan sisanya menyatakan tidak, sehingga tingkat kejadian kerusakan jagung saat panen adalah tinggi. Pengamatan di lapangan kerusakan biji jagung pada saat panen banyak ditemukan pada ujung tongkol. Jagung yang rusak ini merupakan media
60
berkembangbiaknya cendawan, sehingga jika tidak dilakukan sortasi secara benar akan terjadi penyebaran spora cendawan pada biji yang baik. Pengeringan yang baik mampu menurunkan kadar air mencapai kadar air yang aman yaitu dibawah 14% (SNI 1998). Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan adalah sumber panas, tempat pengeringan dan manajemen pengeringan. Dari hasil kuesioner sumber panas untuk pengeringan pada tingkat petani 100% berasal dari matahari. Alat pengering/drier bantuan dari pemerintah dengan kapasitas pengeringan 12 ton dalam 8 jam hanya dioperasionalkan oleh pedagang besar. Petani tidak ada yang menggunakan pengeringan dengan drier sehingga untuk dan hanya mengandalkan sinar matahari. Kadar air tinggi dengan didukung
kelembaban
tinggi
merupakan
kondisi
yang
cocok
untuk
berkembangnya cendawan. Kondisi alam yang beriklim tropis, yang mengenal musim hujan merupakan faktor penghambat untuk mencapai kadar air yang aman jika pengeringan hanya mengandalkan sumber panas matahari. Selain itu dalam pengeringan, petani belum memiliki tempat khusus pengeringan,
banyak
diantaranya yang mengeringkan biji jagung di pinggir jalan, pintu masuk rumah dan sebagainya (Gambar 13). Jagung yang sedang dikeringkan dapat dilewati orang jalan, sepeda atau sepeda motor, sehingga meningkatkan kerusakan jagung dan memudahkan penyerangan cendawan.
Gambar 13 Tempat pengeringan di pintu masuk rumah. Pemipilan merupakan kegiatan melepaskan biji dari tongkol, memisahkan tongkol dan kotoran dari jagung pipilan. Tujuannya adalah untuk menghindarkan kerusakan, memudahkan pengangkutan dan memudahkan pengolahan selanjutnya. Oleh karena itu pemipilan sebaiknya dilakukan pada saat yang tepat, yaitu saat
61
kadar air jagung berkisar 17–20%. Proses pemipilan merupakan kegiatan kritis dalam penanganan pascapanen di tingkat petani karena kehilangan hasil pada tahap ini dapat mencapai 4% (Adisarwanto & Widyastuti 2002). Kerusakan biji bisa berasal sejak dari lahan, atau pada saat proses pemipilan. Di lapangan yang sering kita temukan adalah alat pemipil menggunakan paku atau besi yang tajam, roda sepeda ontel atau sepeda motor. Penggunaan paku atau besi tajam dapat menyebabkan biji jagung robek seperti ditunjukkan pada Gambar 14. Alat pemipil yang menggunakan roda sepeda ontel atau sepeda motor dapat meretakkan permukaan biji jagung dan meninggalkan warna hitam karet roda pada permukaan biji jagung. Kerusakan biji jagung akan tinggi apabila proses pemipilan dilaksanakan langsung setelah pemanenan, ketika kadar air tinggi (+37%) dibandingkan dengan proses pemipilan yang dilaksanakan dengan terlebih dahulu jagung dipanaskan dengan sinar matahari sehingga mencapai kadar air kurang lebih 25% (IDRC 1988, diacu dalam Dharmaputra 1997).
Gambar 14 Kerusakan jagung karena alat pemipil. Pedagang Pengumpul Pengeringan masih dilakukan di tingkat pedagang pengumpul, karena bentuk pembelian ke petani dapat berbentuk tebasan, jagung pipil setengah kering dan pipil kering. Alat pemipil maupun sumber panas dalam pengeringan yang digunakan sama dengan petani. Kemampuan pemipilan,
pengeringan dan
kepemilikan modal yang rendah, menyebabkan kualitas pengelolaan jagung juga rendah.
62
Kemampuan penyimpanan gudang dari pedagang pengumpul dengan pedagang besar berbeda, perbandingan daya tampung gudang pedagang besar dengan kapasitas pembelian per minggu adalah 1.97 sedangkan pedagang pengumpul 0.96. Dalam penyimpanan pedagang pengumpul jika gudang penyimpanan sudah penuh, maka menggunakan ruangan-ruangan kosong di sekitar rumah seperti dekat kamar mandi, dapur (Gambar 15) atau di sekeliling rumah. Toteja (2006) menyatakan perubahan kontaminasi aflatoksin tergantung pada kondisi iklim dan manipulasi kondisi. Kondisi penyimpanan yang tidak baik merupakan faktor penting terhadap variasi kontaminasi aflatoksin.
Gambar 15 Penyimpanan jagung di dekat dapur dan kamar mandi. Sistem penyimpanan belum menerapkan first in first out (FIFO), sehingga ditemukan jagung yang sudah lama disimpan tetapi diproses paling akhir. Jagung bertumpuk tanpa ada sortasi sehingga bercampur antara jagung yang baik dengan jagung yang rusak, sehingga dapat menyebabkan penyebaran spora jamur, apalagi langsung kontak dengan tanah. Dari wawancara diperoleh informasi, biasanya tingkat kerusakan jagung pada setiap 1 ton sekitar 10 Kg atau sekitar 1%. Kondisi ini akan meningkatkan kadar aflatoksin, karena aflatoksin bersifat akumulatif dan tidak dapat terdekomposisi dalam suhu kamar. Titik kritis kontaminasi aflatoksin di tingkat pedagang pengumpul adalah dalam penyimpanan, seperti ruangan gudang yang lembab dan tidak ada sirkulasi udara dan belum menerapkan first in first out (FIFO).
63
Pedagang Besar Titik kritis pada tingkat pedagang besar ini adalah praktek mencampur (mixing). Jagung yang telah diseleksi dan dipisahkan antara jagung baik dan tidak baik, kemudian dicampur dengan komposisi tertentu untuk memperolah keuntungan yang tinggi. Praktek mixing ini memudahkan penyebaran spora ketika jagung disimpan dalam gudang oleh pembelinya. Dari pedagang besar ini jagung dijual ke industri makanan (food), industri pakan ternak (feed) dan peternak (farm). Harga jual untuk industri makanan lebih tinggi untuk industri pakan, sehingga kualitas jagung untuk pakan di bawah kualitas jagung untuk industri makanan. Pencampuran jagung baik dan tidak baik dengan komposisi tertentu bertujuan untuk memperolah keuntungan yang tinggi.
64
Simpulan dan Saran Berdasarkan penelitian tentang Kandungan Aflatoksin pada Pengelolaan Pascapanen Jagung di Kabupaten Garut dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kandungan aflatoksin rata-rata di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar secara berturut-turut 2.98 ppb, 8.46 ppb dan 36.71 ppb. 2. Alur pengelolaan pascapanen jagung dari tingkat petani sampai pedagang besar diperoleh kadar air menurun dan kadar aflatoksin meningkat. 3. Tidak ada variabel yang mampu memprediksi kandungan aflatoksin pada semua tingkatan secara signifikan. 4. Di tingkat pedagang besar tidak ditemukan variabel bebas yang berkorelasi secara signifikan terhadap kandungan aflatoksin, sedangkan di tingkat petani dan pedagang pengumpul terdapat variabel bebas yang berkorelasi secara signifikan dengan kadar aflatoksin. Di tingkat petani, kadar aflatoksin berkorelasi positip dengan variabel bebas persentase biji rusak tetapi tidak memiliki persamaan regresi yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Di tingkat pedagang pengumpul, kadar aflatoksin berkorelasi positip dengan variabel bebas bahan organik dan kadar air, dan untuk bahan organik memenuhi persamaan regresi Y = -466.808 + 5.6X dan untuk kadar air memenuhi persamaan regresi Y = 79.34 - 5.033X pada tingkat kepercayaan 95%. 5. Jumlah korelasi antar variabel bebas yang signifikan (?: 0.05) di tingkat petani lebih banyak dibandingkan di tingkat pedagang besar. Di tingkat pedagang besar hanya terdapat korelasi kadar air dengan bahan organik yang signifikan dan korelasi tersebut juga ditemukan di tingkat petani dan pedagang besar. 6. Titik kritis pada tingkat petani adalah pada proses sortasi, pemipilan dan pengeringan, pedagang pengumpul adalah pada proses pengeringan dan sistem penyimpanan dan pedagang besar pada proses pencampuran (pengoplosan).
65
SARAN Untuk mendapatkan jagung dengan kadar aflatoksin yang rendah pengeringan jagung dilakukan di tingkat petani harus secepat mungkin dan mencapai kadar air yang aman yakni dibawah 14%, oleh karena itu perlu pemberian fasilitas alat pemipilan dan pengeringan yang efisien dan efektif tepat pada kelompok tani. Penyuluhan tentang aflatoksin dan teknik pengendaliannya perlu dilakukan terutama bagi petani dan pedagang pengumpul. Untuk mengawasi tingkat kandungan aflatoksin, dilakukan pengujian langsung terhadap kandungan aflatoksin pada jagung di setiap rantai distribusi jagung secara sampling dan rutin yang dilakukan pemerintah atau stakeholder lainnya. Tercapainya usaha menekan aflatoksin di dalam bahan baku pakan jagung dibutuhkan adanya komitmen bersama dari semua stakeholders untuk meningkatkan sistem pengelolaan pascapanen secara benar, sehingga dihasilkan kualitas mutu jagung yang baik.
66
DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto T, Widyastuti YE. 2002. Meningkatkan Produksi Jagung di Lahan Kering, Sawah dan Pasang Surut. Ed ke-4. Bogor: Penebar Swadaya. Arrus K et al. 2005. Microbiological and aflatoxin evaluation of Brazil nut pods and the effects of unit processing operations. Food Protection 68:1060– 1065. Bahri S, Maryam R. 2004. Mikotoksin berbahaya dan pengaruhnya terhadap kesehatan hewan dan manusia. Mikologi Kedokteran Indonesia 5:31–43. Bahri S, Widiastuti R, Mustikaningsih Y. 2005. Efek Aflatoksin B1 (AFB1) pada Embrio Ayam. Ilmu Ternak dan Veteriner 10:160–167. Bala BK. 1997. Drying and Storage of Cereal Grains. Plymouth: Science Publisher Inc. [BALITBANGTAN] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jagung. Jakarta: DEPTAN. Bodine AB, Mertens DR. 1983. Biological effects of Cooperative 279:46–50.
aflatoxin. Southern
Budi TP. 2006. SPSS 13.0 Terapan Riset Statistik Parametrik. Ed ke-1. Yogyakarta: Andi. [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2003. Report of The Fourth Session of The Ad Hoc Intergovermental Codex Task Force on Animal Feeding. Denmark: Joint FAO/WHO. Cardona TD. 1989. Aflatoxin research on grain in Asia its problems and possible solution. Di dalam: Semple RL, Frio AS, Hicks PA and Lozare JV, editor. Mycotoxin Prevention and Control in Food Grains. Proceedings of Assistance for The Training Course. Bangkok, 31 Jul – 12 Agu 1989. Thailand: Collaborative of UNDP/FAO, REGNET and The Asean Grain Postharvest Programme. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005 – 2010. Jakarta: DEPTAN. Dharmaputra OS et al. 1994. The effect of postharvest handling on grain intactness, fungal infection and mycotoxin production of maize [research report]. Bogor: SEAMEO BIOTROP. Dharmaputra OS, Retnowati I. 1995. Inventarisasi Jamur Pascapanen pada Beberapa Komoditas di Tingkat Petani dan Pengecer di Bogor dan
67
Cipanas, Jawa Barat. Di dalam: Konggres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah PFI; Mataram, 27–29 Spt 1995. Dharmaputra OS, Retnowati I, Purwadaria HK, Susilo H. 1997. The effects of drying and shelling on Aspergillus flavus infection and aflatoksin production of maize. Biotropia 10:29–41. Dharmaputra OS. 1999. Review on Fungi and Mycotoxins in Indonesian Commodities. Di dalam: Jin Z, Liang Q, Tan X, Guan L, editor. Stored Product Protection. Proceedings of the 7th International Working Conference on Stored-product Protection; Beijing, 14–19 Oct 1998. China: Sichuan Pilishing House of Science and Technology. hlm 199–216. Diener UL, Davis N. 1969. Aflatoxin Formation by Aspergillus flavus. Di dalam: Goldblatt LA, editor. Aflatoxin Scientific Background, Control, and Implications. New York: Academic Pr. Erwidodo, Hermanto, Pudjihastuti H. 2003. Impor jagung: perlukah tarif impor diberlakukan? Jawaban analisis simulasi. Agro Ekonomi 21:175–195. [FAO] Food And Agriculture Organization. 1979. Recommended Practices for the Prevention of Mycotoxins in Food, Feed and Their Products. Collaboration Food and Agriculture Organization wih The United Nations environment programme. Rome: FAO. Farnham DE. 2003. Corn Perspective and Culture. Di dalam: Lawrence A, Pamella JW, editor. Corn: Chemistry and Technology. Ed ke-2. Minnesota: American Association of Cereal Chemists Inc. hlm 1–12. Garcia RL, Park DL. 1999. Integrated mycotoxin management system. Di dalam: Proceedings Conference on Mycotoxins; Tunis, 3–6 Mar 1999. Tunisia: Third Joint FAO/WHO/UNEP International. hlm 2–14. Goldblatt LA. 1969. Aflatoxin Scientific Background, Control and Implication. New York: Academic Pr. IDRC. 1988. Studies on the Improvement of Postharvest System Capabilities at Village Unit Cooperatives (KUD) and Private Sector, National Logistic Agency (BULOG), Bogor Agricultural University (IPB) and Gadjah Mada University (UGM), Indonesia. IDRC File No 3-p-85-0338. Kawashima K, Kawasugi S. 1988. Aspergillus flavus contamination in maize during postharvest process. Kyoto International Conference Hall; Japan, [20–27 Agu 1988]. Kennedy IR. 2003. An overview of aflatoxin contamination in food and feed: risk assessment and management. Di dalam: Pelatihan Metode Elisa Untuk Mendeteksi Aflatoksin Pada Pakan; Bogor, 25–26 Jun 2003. hlm 1–18.
68
Kooswardhono M, Karliyenna L. 1991. Laporan Penelitian Analisis Permintaan dan Tataniaga Jagung Sebagai Pakan Ternak di Propinsi Jawa Timur. Bogor: IPB. Leeson S, Summers J. 2001. Nutrition of The Chicken. Ed ke-4. New Canada: University Books. Lillehoj EB. 1983. Effect of Environmental and Cultural Factors on Aflatoxin Contamination of Developing Corn Kernels. Di dalam: Diener UL, editor. Aflatoxin and Aspergillus flavus in Corn. Proceedings of the Symposium on Aflatoxin and Aspergillus flavus in Corn; Atlanta, 26–27 Jan 1982. Georgia: Technical Committee of Southern Regional Project. hlm 27–34. Lillehoj EB. 1986. The aflatoxin in maize problem: the historical perspective. Di dalam: Aflatoxin in Maize. Proceedings of The Workshop; El Batan, 7–11 Apr 1986. Mexico: CIMMYT. hlm 13–32 . Loy D, Wright K. 2003. Nutritional Properties and Feeding Value of Corn and Its By-Product. Di dalam: Lawrence A, Pamella JW, editor. Corn : Chemistry and Technology. Ed ke-2. Minnesota: American Association of Cereal Chemists Inc. hlm 1571–1603. Marianne F. 1987. Mycotoxin in foodgrains in some Asian Countries. Di dalam: Conference on Mycotoxins. Proceedings of joint FAO/WHO/UNEP; Bangkok, 28 Sep–3 Okt 1987. Thailand: Collaborative of UNDP/FAO, Regnet and The Asian Grain Postharvest Programme. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Pr. Ominski KH, Marquardt RR, Sinha RN, Abramson D. 1994. Ecological Aspects of Growth and Mycotoxin Production by Storage Fungi. Di dalam: Miller JD, Trenholm HL, editor. Mycotoxins In Grain: Compounds Other Than Aflatoxin, Minnesota: Eagan Pr. hlm 287–312. Pitt JI. 1989. An Introduction to mycotoxins. Di dalam: Semple RL, Frio AS, Hicks PA and Lozare JV, editor. Mycotoxin Prevention and control in Food Grains. Proceedings of Assistance for The Training Course; Bangkok, 31 Jul–12 Agu 1989. Thailand: Collaborative of UNDP/FAO, REGNET and The Asean Grain Postharvest Programme. hlm 3–7. Pitt JI, Hocking AD. 1997. Fungi and Food Spoilage. Ed ke-2. London: Blackie Academic & Professional. Rachmawati S, Arifin Z, Zahari P. 1999. Sambiloto (Andrographis paniculata nees) untuk menguragi cemaran aflatoksin pada pakan ayam komersial. Ilmu Ternak dan Veteriner 4:65–70.
69
Sarono, Saud S, Tsai CL. 1999. Corn production in Indonesia. Di dalam: Naway Y, Takagi H, Noguchi, Tsubata K, editor. The 5th JIRCAS International Symposium Post Harvest Tecnology in Asia; A Step Forward to Stable Supply of Food Products; Ibaraki 9–10 Sep 1998. Japan: Japan International Research Center for Agricultural Sciences.hlm 35–53. Schlegel HG. 1994. Mikrobiologi Umum. Ed ke-6. Tedjo B, penerjemah; Wattimena JR, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada Pr. Terjemahan dari: Allgemeine Mikrobiologie. Shafey HA, Claflin LE. 1999. Compendium of Corn Diseases. Ed ke-3. White DG, editor. Minnesota: APS Pr. hlm 44–49. Siriacha P, Tonboonek P, Wongurai A, Kositcharoenkul S. 1994. Preharvest contamination of maize by Aspergillus flavus. Di dalam: Highley E, Wright EJ, Banks HJ, Champ BR, editor. Stored Product Protection. Proceedings of the 6th International Working Conference on StoredProduct Protection; Canberra, 17–23 Apr 1994. hlm 1064–1066. Siriacha P. 1999. Minimazing Aflatoxin Production in Grains in the Tropics Di dalam: Naway Y, Takagi H, Noguchi, Tsubata K, editor. The 5th JIRCAS International Symposium Post Harvest Tecnology in Asia; A Step Forward to Stable Supply of Food Products; Ibaraki 9–10 Sep 1998. Japan: Japan International Research Center for Agricultural Sciences. hlm 87–92. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman 012891-1992. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta: BSN. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1995. Standar Ransum Pakan 01-3905-1995 sampai Standar Nasional Indonesia 01-3927-1995. Jakarta: BSN. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1998. Metode Pengambilan Contoh Padatan 19-0428-1998. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta: BSN. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1998. Jagung Sebagai Bahan Baku Pakan 014483-1998. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta: BSN. Stanley W. 2003. Discription, Development, Structure, And Composition of The Corn Kernel. Di dalam: Lawrence A, Pamella JW, editor. Corn : Chemistry and Technology. Ed ke-2. Minnesota: American Association of Cereal Chemists Inc. Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Sumantri B, penerjemah; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and Procedures of Statistics. Sudarmanto G. 2005. Analisis Regresi Linear Ganda dengan SPSS. Ed ke-1. Yogyakarta: Graha Ilmu.
70
Syarief R, Ega L, Nurwitri CC. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. Bogor: IPB Pr. Syarief R, Halid H. 1999. Teknologi Penyimpanan Pangan. Bogor: Arcan. Titik D, Endang R, Siti R. 2001. Kontaminasi kapang selama penyimpanan benih jagung dan hubungannya dengan daya kecambah. Ilmu Pertanian Indonesia 10:46–49. Toteja GS et al. 2006. Aflatoxin B1 contamination in wheat grain samples collected from different geographical regions of India: a multicenter study. Food Protection 69:1463–1467. Ugur G, Ilhan B. 2002. Aflatoxin in retail food products in Bursa, Turkey. Veterinary and Human Toxicology 44:289–291. Watson AS. 2003. Discription, Development, Structure, and Composition of The Corn Kernel. Di dalam: Lawrence A, Pamella JW, editor. Corn: Chemistry and Technology. Ed ke-2. Minnesota: American Association of Cereal Chemists, Inc. hlm 69–79. [WHO] World Health Organization. 2005. Public Health Strategies for Preventing Aflatoxin Exposure. Geneva: WHO.
71
LAMPIRAN
72
Lampiran 1 Bentuk kuesioner di tingkat petani KUESIONER UNTUK TINGKAT PETANI 1. Nama responden :…………………………Kelompok tani……………………. Pendidikan :TS/SD/SLTP/SLTA/Diploma/S1/S2/S3 Alamat:………………………………………………………………………….... 2. No Sampel : 3.Varietas jagung :
Lokal
Komposit
4. Jenis Lahan :
lahan kering
5. Sistem kepemilikan lahan : 6.Pola tanam :
Hibrida Lahan basah
Sendiri
1 kali/th
Pengolah
2 kali/th
3 kali/th
4 kali/th
7. Musim panen pada bulan ke : 1 / 2 / 3 / 4 / 5 / 6 / 7 / 8 / 9 / 10 / 11 / 12 8. Tanda buah matang :
Warna klobot
permukaan biji
Petik segar
Petik kering
..................... 9. Sistem pemetikan : .............................. 10. Jika petik kering, berapa hari jagung dikeringkan di ladang : 1 – 3 hr
3- 10 hr
10 – 30 hr
> 30 hr
11. Dalam hasil panen, apa ditemukan jagung rusak: Ya/ Tidak/kadang-kadang 12. Bentuk kerusakan jagung yang ditemukan adalah : Biji berlubang
Biji jarang
Perubahan warna biji
Berjamur
........................ 13. Apa saja yang dilakukan selama pascapanen: Pengeringan
Pemilahan/sortasi
Pemetikan
Pemipilan
Penyimpanan
...................... 14. Lama Pengeringan :
1 - 3 hari
4 -7 hari
8 – 10 hari
>10
hari 15. Sumber panas pengeringan : 16. Tempat penyimpanan :
Sinar matahari Hamparan diatas tanah
Hamparan di atas lantai semen 17. Lama penyimpanan :
1-3 hari
Dryer/alat pengering Dalam karung plastik . . . . ……………….
4 - 7 hr
8 – 14 hr
> 14 hr
73
18. Ruang Penyimpanan :
Dalam rumah
Gudang tersendiri
Tempat terbuka
………………………
19. Kapasitas penyimpanan : ........................................... 20. Dalam hasil pascapanen, apa ditemukan jagung rusak:Ya/ Tidak/kadangkadang 21. Bentuk kerusakan jagung yang ditemukan adalah : Biji berlubang
Biji pecah
Perubahan warna biji
Berjamur
................................. 23. Suhu / kelembaban Ruang penyimpan
………………
…..............…. 24. Apakah anda mengenal aflatoksin : Ya/tidak, jika ya dari siapa............................
74
Lampiran 2 Bentuk kuesioner di tingkat pedagang pengumpul KUESIONER UNTUK TINGKAT PEDAGANG PENGUMPUL 1. Nama responden :…………………………. Pddk :TS/SD/SLTP/SLTA/Diploma/S1/S2/S3 Alamat :…………………………………………………… Telp………………….. 2. No Sampel : 3. Jagung dibeli dalam bentuk :
Tebasan
Pipil setengah
Jagung utuh kering
Pipil kering
4. Parameter kualitas jagung yang dibeli : Kadar air
Bentuk dan warna biji
…………………
5. Apakah pada saat membeli jagung membawa alat Penguji kadar air : Ya/tidak 6. Dalam pembelian, apa ditemukan jagung rusak: Ya/ Tidak/kadang-kadang 7. Bentuk kerusakan jagung yang ditemukan adalah : Biji berlubang
Biji pecah
Perubahan warna biji
Berjamur
8. Apakah melakukan pemisahan/sortasi pada jagung :
.............................. Ya
Tidak
9. Apa masih melakukan pengolahan pasca panen / pengeringan : Ya / Tidak 10. Lama Pengeringan :
1-3 hari
11. Sumber panas pengeringan : 12. Tempat penyimpanan :
4 -7 hr Sinar matahari
14. Ruang Penyimpanan :
1-3 hr
> 10 hr
Dryer/alat pengering
Hamparan diatas tanah
Hamparan di atas lantai semen 13. Lama penyimpanan :
7 – 10 hr
Dalam karung plastik ...............................
4 -7 hr
8 – 14 hr
> 14 hr
Dalam rumah
Gudang tersendiri
Tempat terbuka
………………..........
15. Kapasitas penyimpanan :………………….. 16. Suhu / kelembaban Ruang penyimpanan :………………………. 17. Pangsa pasar : (urutkan dari volume penjualan terbesar): 1. ……………………………………… 2. ……………………………… 3. ……………………………………… 4. ………………………………
75
18. Alat angkut ke petani : buruh/Sepeda motor/pick up/truk /……………. 19. Alat angkut ke pasar : buruh/Sepeda motor/pick up/truk /……………. 20. Harga beli jagung : Rp…………………, Harga jual jagung : Rp……………… 21. Kapasitas pembelian :…………………/minggu 22. Apakah anda mengenal aflatoksin : Ya/tidak, jika ya dari siapa.........................
76
Lampiran 3 Bentuk kuesioner di tingkat pedagang besar KUESIONER UNTUK TINGKAT PEDAGANG BESAR 1.Identitas responden: Nama/nama perusahaan :…………………………………………… Pendidikan : TS/SD/SLTP/SLTA/Diploma/S1/S2/S3 Alamat :……………………………………………………Telp …………… 2. No Sampel : 3. Jagung dibeli dalam bentuk :
Tebasan
Jagung utuh
Pipil setengah
kering
Pipil kering
4. Parameter kualitas jagung yang dibeli : Kadar air
Bentuk dan warna biji
……………………
5. Apakah pada saat membeli jagung membawa alat Penguji kadar air : Ya/tidak 6. Dalam pembelian, apa ditemukan jagung rusak: Ya/ Tidak/kadang-kadang 7. Bentuk kerusakan jagung yang ditemukan adalah : Biji berlubang
Biji pecah
Perubahan warna biji
Berjamur
..............................
8. Alat transportasi dari pedagang pengumpul : buruh / sepeda /Pick up /truk/……… 9. Alat transportasi ke pasar : Pick up /truk/Fuso/Tronton/……… 10. Apa masih melakukan pengolahan pasca panen / pengeringan : Ya / Tidak 11. Sumber panas pengeringan : 12. Tempat penyimpanan :
Sinar matahari Hamparan diatas tanah
Hamparan di atas lantai semen 13. Lama penyimpanan : 14. Ruang Penyimpanan :
1 - 3 hr
4 -7 hr
Dryer/alat pengering Dalam karung plastik ...................................... 8 – 14 hr
> 14 hr
Dalam rumah
Gudang tersendiri
Tempat terbuka
……………………
15. Kapasitas penyimpanan :………………….. 16. Suhu / kelembaban Ruang penyimpan
:……………………….
17. Harga beli jagung : Rp…………………, Harga jual jagung : Rp…………….. 18. Kapasitas pembelian : …………………/minggu
77
19. Pangsa pasar : (urutkan dari volume penjualan terbesar): 1. ……………………………………… 2. ……………………………… 3. ……………………………………… 4. ……………………………… 20. Apakah anda mengenal aflatoksin : Ya/tidak , jika ya dari siapa......................
78
Lampiran 4 Hasil kuesioner pada tingkat petani* No 1
2
3 4 5
6
7 8
9
10
Materi Tingkat pendidikan : a. SD b. SLTP c. SLTA d. Diploma e. S1 f. S2/S3 Varietas jagung yang ditanam : e. Lokal f. Komposit g. Hibrida Sistem kepemilikan tanah : c. Sendiri d. Pengolah Jenis lahan : c. Lahan kering d. Lahan Basah Pola tanam : e. 1 kali/tahun f. 2 kali/tahun g. 3 kali/tahun h. 4 kali/tahun Tanda buah matang : e. Warna klobot f. Permukaan biji g. Daun dan rambut jagung kering h. Jumlah hari Sistem pemetikan : c. Petik segar d. Petik kering Ditemukan jagung rusak saat panen : d. Ya e. Tidak f. Kadang-kadang Bentuk kerusakan jagung yang ditemukan : e. Perubahan warna biji f. Biji berlubang g. Biji jarang h. Berjamur Tindakan pasca panen yang dilakukan : a. Pemetikan,pemipilan,pengeringan
% Responden 67 3 15 9 6 0 8 3 89 69 31 76 24 64 33 3 0 75 13 10 2 86 14 57 11 32 58 3 3 15 22
79
11
12 13
14
15
16
17 *
b. Pemetikan,pemipilan,pengeringan,penyimpanan c. Pemetikan,pemipilan,pengeringan,sortasi d. Pemetikan,pemipilan,pengeringan,sortasi, penyimpanan e. Salai/pengeringan dalam gantang Lama Pengeringan : a. 1 – 3 hari b. 4 – 7 hari c. 8 – 10 hari Sumber panas pengeringan : a. Sinar matahari b. Dryer/alat pengering Tempat penyimpanan : a. Hamparan di atas tanah b. Dalam karung plastic c. Hamparan di atas lantai semen d. Hamparan di atas terpal Lama penyimpanan : a. 1 – 3 hari b. 4 – 7 hari c. 8 – 14 hari d. > 14 hari Ruang penyimpanan : a. Dalam rumah b. Gudang c. Tempat terbuka Kapasitas penyimpanan : a. < 2 ton b. 2 – 4 ton c. > 4 ton Mengenal istilah aflatoksin : a. Mengenal b. Tidak mengenal
33 11 17 17 75 25 0 100 0 0 80 7 13 65 12 17 6 97 3 0 39 54 7 6 94
Jumlah responden 35 orang
80
Lampiran 5 Hasil kuesioner pada tingkat pedagang pengumpulX No 1
2
3
4 5
6 7
8
9
Materi Tingkat pendidikan : a. Tidak sekolah b. SD c. SLTP d. SLTA e. Diploma f. S1 g. S2/S3 Jagung yang dibeli dalam bentuk : e. Tebasan f. Jagung utuh g. Pipil setengah kering h. Pipil kering Parameter kualitas jagung yang dibeli : b. Kadar air c. Bentuk dan warna biji e. Kadar air, bentuk dan warna biji Menggunakan alat ukur kadar air dalam pembelian : c. Ya d. Tidak Dalam pembelian ditemukan jagung yang rusak : d. Ya e. Tidak f. Kadang-kadang Melakukan sortasi/pemisahan terhadap kualitas jagung : c. Ya d. Tidak Apa masih melakukan pengelolaan pascapanen : a. Ya b. Tidak c. Kadang-kadang Lama pengeringan : e. 1 – 3 hari f. 4 – 7 hari g. 8 – 10 hari h. > 10 hari Sumber panas untuk pengeringan : c. Sinar matahari d. Dryer
% Responden 0 25 19 44 0 12 0 13 0 17 70 61 11 28 0 100 25 19 56 63 37 94 0 6 94 6 0 0 100 0
81
10
11
12
13
14 15
16 17 X
Tempat penyimpanan : e. Hamparan di atas tanah f. Dalam karung plastik g. Hamparan di atas lantai semen Lama Penyimpanan : e. 1 – 3 hari f. 4 – 7 hari g. 8 – 14 hari h. > 14 hari Ruang penyimpanan : d. Dalam rumah e. Gudang tersendiri f. Tempat terbuka Kapasitas penyimpanan : f. 1 – 10 ton g. 11 – 30 ton h. > 30 ton Jumlah pangsa pasar : a. Pedagang besar b. Peternak Alat transportasi dari petani : g. Buruh h. Gerobak i. Sepeda motor j. Pick up k. Truk Alat transportasi ke Pedagang/Peternak : e. Pick up f. Truk Mengenal istilah aflatoksin : a. Ya b. Tidak
6 81 13 12 38 19 31 41 59 0 50 36 14 75 25 38 6 25 18 12 42 58 19 81
Jumlah responden 16 orang
82
Lampiran 6 Hasil kuesioner pada tingkat pedagang besar¢ No 1
2
3
4 5
6 7 8
9 10
Materi Tingkat pendidikan : a. Tidak sekolah b. SD c. SLTP d. SLTA e. Diploma f. S1 g. S2/S3 Jagung yang dibeli dalam bentuk : a. Tebasan b. Jagung utuh c. Pipil setengah kering d. Pipil kering Parameter kualitas jagung yang dibeli : a. Kadar air, bentuk dan warna biji, biji mati dan jamur b. Kadar air dan biji mati Menggunakan alat ukur kadar air dalam pembelian : a. Ya b. Tidak Dalam pembelian ditemukan jagung yang rusak : a. Ya b. Tidak c. Kadang-kadang Bentuk kerusakan jagung : Perubahan warna, biji berlubang, biji pecah dan jamur Melakukan sortasi/pemisahan terhadap kualitas jagung : a. Ya b. Tidak Apa masih melakukan pengelolaan pascapanen : a. Ya b. Tidak c. Kadang-kadang Sumber panas untuk pengeringan : a. Sinar matahari b. Dryer Tempat penyimpanan : a. Hamparan di atas tanah b. Dalam karung plastik
% Responden 0 0 0 0 50 50 0 0 0 0 100 80 20 60 40 60 0 40 100 100 0 80 20 0 80 20 0 63
83
11
12
13
14 15
16 17 ¢
c. Hamparan di atas lantai semen Lama penyimpanan : a. 1 – 3 hari b. 4 – 7 hari c. 8 – 14 hari d. 14 hari< Ruang penyimpanan : a. Dalam rumah b. Gudang tersendiri c. Tempat terbuka Kapasitas penyimpanan : a. 1 – 10 ton b. 11 – 30 ton c. 30 ton< Jumlah pangsa pasar : a. Industri Pabrik pakan b. Peternak/Farm Alat transportasi dari pedagang pengumpul : a. Pick Up b. Truk c. Pick Up dan Truk Alat transportasi ke Pabrik pakan/peternak : a. Truk, Fuso dan tronton b. Fuso dan Tronton Mengenal istilah aflatoksin : a. Ya b. Tidak
37 60 40 0 0 0 100 0 0 0 100 59 41 20 40 40 40 60 100 0
Jumlah responden 5 orang
84
Lampiran 7 Hasil pengujian kadar air, kadar abu, bahan organik, kandungan aflatoksin, persentase biji rusak, nilai Aw dalam bijian dan nilai Aw dalam giling sampel jagung dari petani Sampel
Kadar Air (%)
Kadar Abu (%)
Aflatoksin (ppb)
0.9589
Bahan Organik (%) 84.2103
2.58
Persentase biji rusak (%) 11
Nilai Aw dalam bijian 0.968
Nilai Aw dalam giling 0.858
1
14.8308
2
23.1847
0.9137
75.9016
2.28
10
0.888
0.888
3
15.8697
1.2773
82.8530
4.77
9
0.980
0.990
4
10.9583
1.1051
87.9366
0.16
7
0.868
0.818
5
19.0257
1.1151
79.8592
2.75
9
0.952
0.962
6
12.2092
0.9510
86.8398
0.18
2.7
0.846
0.846
7
11.5041
1.1138
87.3821
0.08
4.8
0.834
0.876
8
18.8898
1.2177
79.8925
0.07
3.1
0.896
0.914
9
20.0082
1.0685
78.9233
0.04
2.3
0.926
0.944
10
20.4856
0.9400
78.5744
0.05
3.3
0.996
0.956
11
17.9253
1.1184
80.9563
0.18
17.4
0.954
0.944
12
14.5958
0.9722
84.4320
0.21
3.1
0.914
0.934
13
16.1042
0.8124
83.0834
0.17
7.7
0.880
0.892
14
17.4450
0.9004
81.6546
18.04
19.1
0.892
0.942
15
14.5578
0.9622
84.48
0.20
5.4
0.892
0.962
16
16.7959
0.9554
82.2487
0.53
14.9
0.962
0.932
17
13.7806
1.0005
85.2189
0.20
9.55
0.898
0.908
18
18.1697
0.8171
81.0132
0.30
7.2
0.898
0.938
19
13.8266
1.0652
85.1082
23.78
13.4
0.878
0.928
85
Lampiran 8 Hasil pengujian kadar air, kadar abu, bahan organik, kandungan aflatoksin persentase biji rusak, nilai Aw dalam bijian dan nilai Aw dalam giling sampel jagung dari pedagang pengumpul Sampel
Kadar Air (%)
Kadar Abu (%) 1.0362
Bahan Organik (%) 88.2219
Aflatok sin (ppb) 47.41
Persentase biji rusak (%) 18
Nilai Aw dalam bijian 0.798
Nilai Aw dalam giling 0.828
1
10.7419
2
12.9451
1.0188
86.0361
0.95
15
0.906
0.814
3
12.7518
1.2450
86.0032
4.59
15.6
0.89
0.89
4
15.5819
0.9888
83.4293
0.64
16.6
0.90
0.93
5
15.7263
1.0076
83.2661
0.86
14.1
0.91
0.96
6
17.2326
0.9931
81.7743
2.59
12.5
0.948
0.918
7
14.6979
1.0076
84.2945
1.52
11.7
0.818
0.868
8
12.5201
1.2459
86.234
24.83
10.2
0.83
0.80
9
13.1067
0.9250
85.9683
0.76
9.5
0.93
0.91
10
13.7186
1.2616
85.0198
1.36
18
0.83
0.80
11
14.2450
0.9185
84.8365
5.11
12.7
0.81
0.85
12
14.2921
1.1057
84.6022
8.43
15.9
0.958
0.968
13
14.2721
1.0999
84.628
1.88
13.9
0.82
0.85
14
17.8117
0.8234
81.7489
1.69
10.5
0.888
0.928
15
13.9427
1.1869
84.8704
0.14
8.5
0.82
0.85
16
13.0556
1.2692
85.6752
11.30
12.78
0.816
0.868
17
12.5090
0.9326
86.5584
37.21
15.09
0.796
0.818
18
14.3393
1.1550
84.5057
1.09
7.8
0.826
0.896
86
Lampiran 9 Hasil pengujian kadar air, kadar abu, bahan organik, kandungan aflatoksin persentase biji rusak, nilai Aw dalam bijian dan nilai Aw dalam giling sampel jagung dari pedagang besar Sampel
Kadar Air (%)
Kadar Abu (%)
Bahan Organik (%)
Aflatok sin (ppb)
Persentase biji rusak (%)
Nilai Aw dalam bijian
Nilai Aw dalam giling
1
12.1841
0.9207
86.8952
63.83
19
0.798
0.878
2
11.0570
1.0762
87.8668
81.44
35
0.862
0.872
3
15.1217
1.2665
83.6118
89.18
11.9
0.848
0.948
4
14.2294
1.2286
84.542
7.07
9.2
0.954
0.874
5
14.1060
1.0704
84.8236
0.36
11.8
0.904
0.884
6
14.7098
1.1854
84.1048
87.79
24.2
0.956
1.006
7
14.3800
1.1476
84.4724
75.73
18.8
0.866
0.966
8
14.6379
1.0481
84.3140
56.67
24.8
0.866
0.966
9
14.6718
1.0703
84.2579
49.58
20.4
0.936
0.906
10
14.5942
0.9960
84.4098
4.11
23
0.906
0.896
11
14.7713
1.2795
83.9492
0.52
24.8
0.836
0.966
12
13.7824
1.0392
85.1784
0.43
12.1
0.884
0.836
13
14.7817
1.1721
84.0462
0.36
15.4
0.908
0.838
14
15.8491
1.2124
82.9385
0.42
14.3
0.858
0.948
15
12.4354
1.0596
86.505
0.23
11.7
0.836
0.916
16
15.8874
1.2654
82.8472
1.77
17.3
0.856
0.936
17
12.9464
1.1593
85.8943
1.03
32.5
0.796
0.856
18
14.9799
1.2921
83.7280
73.79
20.9
0.838
0.908
19
14.0697
1.0618
84.8685
67.12
14.3
0.826
0.898
20
15.5811
0.8658
83.5531
42.72
17.5
0.888
0.898
87
Lampiran 10 Koefisien korelasi antar variabel di tingkat petani Correlations
Aflatoksin
Persentase Biji Rusak
Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation
Aflatoksin
Persentase Biji Rusak
Bahan Organik
Nilai Aw dalam Biji
Nilai Aw dalam Giling
Kadar Air
Kadar Abu
1
0.555*
-0. 062
0.062
-0.118
0.179
0.016
,
0.014
0.800
0.801
0.631
0.463
0.949
19
19
19
19
19
19
19
0.555*
1
0.089
-0.086
0.207
0.158
-0.081
0.727
0.394
0.518
0.742
19
19
19
19
-0.999**
0.478*
0.486*
-0.135
0.000
0.038
0.035
0.580
19
19
19
19
1
-0.487*
-0.494*
0.098
,
0.034
0.031
0.691
19
19
19
19
-0.487*
1
0.572*
0.169
0.034
,
0.011
0.489
19
19
19
19
-0.494*
0.572*
1
0.170
0.031
0.011
,
0.487
19
19
19
19
0.098
0.169
0.170
1
0.691
0.489
0.487
,
19
19
19
19
Sig. (20.014 , 0.718 tailed) N 19 19 19 Kadar Air Pearson -0.062 0.089 1 Correlation Sig. (20.800 0.718 , tailed) N 19 19 19 Bahan Pearson 0.062 -0.086 -0.999** Organik Correlation Sig. (20.801 0.727 0.000 tailed) N 19 19 19 Nilai Aw Pearson 0.207 0.478* dalam Correlation -0.118 Biji Sig. (20.631 0.394 0.038 tailed) N 19 19 19 Nilai Aw Pearson 0.179 0.158 0.486* dalam Correlation Giling Sig. (20.463 0.518 0.035 tailed) N 19 19 19 Kadar Pearson 0.016 -0.081 -0.135 Abu Correlation Sig. (20.949 0.742 0.580 tailed) N 19 19 19 * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
88
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Lampiran 11 Regresi dan Anova di tingkat petani Variables Entered/Removed(a)
Model 1
Variabel yang dimasukkan
Variabel yang diganti
Persentase Biji Rusak
Metoda
Stepwise (Criteria: Probability-of-F-to-enter <= 0.050, Probability-of-F-to-remove >= ,100).
-
a Variabel terikat: Aflatoksin
Ringkasan Model R kuadrat yang Model R R Kuadrat disesuaikan 1 0.555 (a) 0.308 0.267 a Predictors: (Constant), Persentase Biji Rusak
Estimasi standar error 5.58065
Analisis Ragam Variabel Persentase Biji Rusak Terhadap Aflatoksin di Petani Sumber
Jumlah Kuadrat
db
Kuadrat tengah
F
Sig.
Regresi Sisaan Total
235.857 529.443 765.300
1 17 18
235.857 31.144
7.573
0.014
Predictors (variabel bebas): Persentase Biji Rusak Variabel terikat: Aflatoksin. Db : derajat bebas
Untuk menguji signifikansi model linier antara persentase biji rusak dengan kandungan aflatoksin, maka diajukan hipotesa :
89
H0 : Model linear antara persentase biji rusak dengan kandungan aflatoksin tidak signifikan. H1 :
Model linear antara persentase biji rusak dengan kandungan aflatoksin
signifikan. Disimpulkan: F hitung lebih besar daripada F tabel [ F hitung: 7,573 dan F tabel (1; 18; 0.05): 4.41], jadi model linear antara persentase biji rusak dengan kandungan aflatoksin signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Koefisien Regresi Persentase Biji Rusak dengan Kandungan Aflatoksin di Petani Model
Koefisien tidak terstandar
(konstan) Persentase Biji Rusak
B
Std. Error
-3.105
2.554
0.722
0.263
Koefisien terstandar Beta
0.555
t
Sig.
-1.216
0.241
2.752
0.014
Untuk menguji signifikasi nilai intersep (koefisien a), diajukan hipotesa : H0: Koefisien a tidak signifikan H1: koefisien a signifikan Diperoleh t hitung mutlak: [1.216] lebih kecil dibandingkan dengan t tabel (19;0.05): 1.729, sehingga H0 diterima jadi koefisien a tidak signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Untuk menguji signifikasi koefisien regresi (koefisien b), diajukan hipotesa : H0: Koefisien b tidak signifikan H1: koefisien b signifikan Diperoleh t hitung mutlak: [2.752] lebih besar dibandingkan dengan t tabel (19;0.05): 1.729, sehingga H0 ditolak jadi koefisien b signifikan pada tingkat kepercayaan 95%.
90
Lampiran 12 Koefisien korelasi antar variable di tingkat pedagang pengumpul Correlations
Aflatoksin
Persentase Biji Rusak
Kadar Air
Bahan Organik
Nilai Aw dalam Biji
Nilai Aw dalam Giling
Kadar Abu
Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-
Aflatoksin
Persentase Biji Rusak
Kadar Air
Bahan Organi k
Nilai Aw dalam Biji
Nilai Aw dalam Giling
Kadar Abu
1
0.328
-0.630**
0.662**
-0.451
-0.434
0.001
,
0.184
0.005
0.003
0.060
0.072
0.998
18
18
18
18
18
18
18
0.328
1
-0.264
0.263
0.063
-0.114
0.059
0.184
,
0.290
0.292
0.803
0.653
0.816
18
18
18
18
18
18
-0.630**
-0.264
1
18 0.995**
0.469*
0.632**
-0.426
0.005
0.290
,
0.000
0.049
0.005
0.078
18
18
18
18
18
18
18
0.662**
0.263
-0.995**
1
-0.470*
-0.630**
0.344
0.003
0.292
0.000
,
0.049
0.005
0.163
18
18
18
18
18
18
18
-0.451
0.063
0.469*
-0.470*
1
0.715**
-0.250
0.060
0.803
0.049
0.049
,
0.001
0.316
18
18
18
18
18
18
18
-0.434
-0.114
0.632**
1
-0.324
0.072
0.653
0.005
0.005
0.001
,
0.190
18
18
18
18
18
18
18
0.001
0.059
-0.426
0.344
-0.250
-0.324
1
0.998
0.816
0.078
0.163
0.316
0.190
,
0.715** 0.630**
91
tailed) N 18 18 18 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
18
18
18
Lampiran 13 Regresi dan ANOVA variabel bahan organik di tingkat pedagang pengumpul Variables Entered/Removed(a) Model 1
Variables Entered
Variables Removed
Method Stepwise (Criteria: Probability-of-F, to-enter <= ,050, Probability-of-Fto-remove >= ,100).
Bahan Organik
a Dependent Variable: Aflatoksin
Model Summary Model R R Square Adjusted R Square 1 0.662(a) 0.438 0.403 a Predictors: (Constant), Bahan Organik
Std. Error of the Estimate 10.64756
Analisis Ragam Variabel Kandungan Bahan Organik Terhadap Aflatoksin di Pedagang Pengumpul§
§
Sumber
Jumlah kuadrat
db
Kuadrat tengah
F
Sig.
Regresi Sisaan Total
1 412.280 1 813.929 3 226.209
1 16 17
1 412.280 113.371
12.457
0.003
Predictors: (Constant), Bahan Organik Dependent Variable: Aflatoksin
Untuk menguji model linier terhadap variabel kandungan bahan organik terhadap kandungan aflatoksin, diajukan hipotesa :
92
18
H0 : Model linear antara kandungan bahan organik dengan kandungan aflatoksin tidak signifikan H1 : Model linear antara kandungan bahan organik dengan kandungan aflatoksin signifikan Maka, dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak karena F hitung lebih besar daripada F tabel
[F hitung: 12,457 dan F tabel (1; 17; 0.05): 4.45], jadi model linear antara
kandungan bahan organik dengan kandungan aflatoksin signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Koefisien Regresi Kandungan Bahan Organik dengan Kandungan Aflatoksin di Pedagang Pengumpul Model
Koefisien tidak terstandar
(konstan) Kandungan bahan organik
b
Std. Error
-466.806
134.681
5.600
1.587
Koefisien terstandar Beta
0.662
t
Sig.
-3.466
0.003
3.529
0.003
Untuk menguji signifikasi nilai intersep (koefisien a), diajukan hipotesa : H0: Koefisien a tidak signifikan H1: koefisien a signifikan Diperoleh t hitung mutlak: [3.466] lebih besar dibandingkan dengan t tabel (18;0.05): 1.734, sehingga H0 ditolak jadi koefisien a signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Untuk menguji signifikasi koefisien regresi (koefisien b), diajukan hipotesa : H0: Koefisien b tidak signifikan H1: koefisien b signifikan Diperoleh t hitung mutlak: [3.529] lebih besar dibandingkan dengan t tabel (18;0.05): 1.734, sehingga H0 ditolak jadi koefisien b signifikan pada tingkat kepercayaan 95%.
93
Lampiran 14 Regresi dan ANOVA variabel kadar air di tingkat pedagang pengumpul Variables Entered/Removed(b) Variables Variables Model Entered Removed 1 Kadar Air(a) a All requested variables entered. b Dependent Variable: Aflatoksin
Method , Enter
Model Summary Adjusted R Square 0.360
Model R R Square 1 0.630(a) 0.397 a Predictors: (Constant), Kadar Air
Std. Error of the Estimate 11.02214
Analisis Ragam Variabel Kadar Air Terhadap Aflatoksin di Pedagang Pengumpul€
€
Sumber
Jumlah Kuadrat
db
Kuadrat tengah
F
Sig.
Regresi Sisaan Total
1 282.408 1 943.801 3 226.209
1 16 17
1 282.408 121.488
10.556
0.005
Predictors (Variabel bebas): Kadar Air Variabel terikat: Aflatoksin, db: derajat bebas
Untuk menguji model linier variabel kadar air terhadap aflatoksin, diajukan hipotesa : H0 : Model linear antara kandungan kadar air dengan kandungan aflatoksin tidak signifikan
94
H1 : Model linear antara kandungan kadar air dengan kandungan aflatoksin signifikan Maka, dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak karena F hitung lebih besar daripada F tabel [F hitung: 10,556 dan F tabel (1; 17; 0.05): 4.45], jadi model linear antara kadar air dengan kandungan aflatoksin signifikan pada tingkat kepercayaan 95%.
Koefisien Regresi Kadar Air dengan Kandungan Aflatoksin di Pedagang Pengumpul Model
Koefisien tidak terstandar b
Std. Error
(konstan)
79.340
21.969
Kadar air
-5.033
1.549
Koefisien terstandar Beta
-0.630
t
Sig.
3.611
0.002
-3.249
0.005
Untuk menguji signifikasi nilai intersep (koefisien a), diajukan hipotesa : H0: Koefisien a tidak signifikan H1: koefisien a signifikan Diperoleh t hitung mutlak: [3.611] lebih besar dibandingkan dengan t tabel (18;0.05): 1.734, sehingga H0 ditolak jadi koefisien a signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Untuk menguji signifikasi koefisien regresi (koefisien b), diajukan hipotesa : H0: Koefisien b tidak signifikan H1: koefisien b signifikan Diperoleh t hitung mutlak: [3.249] lebih besar dibandingkan dengan t tabel (18;0.05): 1.734, sehingga H0 ditolak jadi koefisien b signifikan pada tingkat kepercayaan 95%.
95
Lampiran 15 Koefisien korelasi antar variable di tingkat pedagang besar Correlations
Aflatoksin
Persentase Biji Rusak
Kadar Air
Bahan Organik
Nilai Aw dalam Biji
Nilai Aw dalam Giling
Kadar Abu
Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation Sig. (2tailed) N Pearson Correlation Sig. (2tailed) N
Aflatok sin
Persentase Biji Rusak
Nilai Aw Bahan dalam Organik Biji
1
0.264
-0.131
0.130
-0.051
0.384
-0.048
,
0.260
0.583
0.584
0.832
0.094
0.840
20
20
20
20
20
20
20
0.264
1
-0.364
0.353
-0.225
0.095
-0.033
0.260
,
0.115
0.126
0.341
0.689
0.889
20
20
20
20
20
20
20
-0.131
-0.364
1 -0.996**
0.321
0.426
0.360
0.583
0.115
,
0.000
0.168
0.061
0.119
20
20
20
20
20
20
20
0.130
0.353
-0.996**
1
-0.309 -0.442
-0.440
0.584
0.126
0.000
,
0.184
0.051
0.052
20
20
20
20
20
20
20
-0.051
-0.225
0.321
-0.309
1
0.064
0.008
0.832
0.341
0.168
0.184
,
0.789
0.973
20
20
20
20
20
20
20
0.384
0.095
0.426
-0.442
0.064
1
0.343
0.094
0.689
0.061
0.051
0.789
,
0.139
20
20
20
20
20
20
20
-0.048
-0.033
0.360
-0.440
0.008
0.343
1
0.840
0.889
0.119
0.052
0.973
0.139
,
20
20
20
20
20
20
20
Kadar Air
Nilai Aw dalam Kadar Giling Abu
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
96
97