1
SERANGAN CENDAWAN PASCAPANEN DAN KONTAMINASI AFLATOKSIN PADA KACANG TANAH DI GROSIR DAN PENGECER DI KOTA BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA
Oleh : DIANA NOVIANSARI G34102050
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
2
ABSTRAK DIANA NOVIANSARI. Serangan Cendawan Pascapanen dan Kontaminasi Aflatoksin pada Kacang Tanah di Grosir dan Pengecer di Kota Bandung, Bogor dan Jakarta. Dibimbing oleh OKKY SETYAWATI DHARMAPUTRA dan SANTI AMBARWATI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui populasi total cendawan pascapanen dan kandungan aflatoksin B1 pada biji kacang tanah yang disimpan di grosir dan pengecer di kota Bandung, Bogor dan Jakarta. Selain itu juga untuk mengetahui kadar air dan persentase biji rusak kacang tanah selama penyimpanan. Biji kacang tanah dengan kadar air ± 6.5% yang berasal dari dua lahan berbeda yaitu lahan yang tidak diinokulasi Aspergillus flavus toksigen (resiko aflatoksin rendah) dan diinokulasi A. flavus toksigen (resiko aflatoksin tinggi) dikemas di dalam karung goni dan disimpan di setiap tingkatan rantai distribusi dan di setiap kota. Sampel kacang tanah diambil pada awal penyimpanan, selanjutnya setelah satu, dua, tiga, empat, lima dan enam bulan penyimpanan, Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air kacang tanah berfluktuasi, sedangkan persentase biji rusak meningkat selama penyimpanan. Setelah enam bulan penyimpanan, populasi total cendawan di grosir Bogor dan Jakarta lebih tinggi dibandingkan di pengecer, baik pada resiko aflatoksin rendah maupun tinggi. Kandungan aflatoksin B1 di setiap kota meningkat selama penyimpanan. Lahan dengan resiko aflatoksin tinggi tidak berpengaruh terhadap populasi A. flavus dan kandungan aflatoksin B1 pada kacang tanah. Setelah enam bulan penyimpanan, populasi total cendawan dan kandungan aflatoksin B1 tertinggi terdapat pada kacang tanah yang disimpan di grosir Bogor dan berasal dari lahan dengan resiko aflatoksin rendah.
ABSTRACT DIANA NOVIANSARI. Storage Moulds Infection and Aflatoxin Contamination in Peanuts at Wholesales and Retails in the Cities of Bandung, Bogor and Jakarta. Supervised by OKKY SETYAWATI DHARMAPUTRA and SANTI AMBARWATI. The objectives of this study were to get informations on total fungal populations and aflatoxin B1 contents in peanuts, stored at wholesales and retails in the cities of Bandung, Bogor and Jakarta. Moisture contents and the percentages of damaged kernels were also analyzed. Peanut kernels with initial moisture content of ± 6.5% derived from two different fields, i.e. a field was not inoculated with toxigenic Aspergillus flavus (low aflatoxin risk) and the other field was inoculated with toxigenic A. flavus (high aflatoxin risk) were packed in jute bags and stored at each level of distribution and in each city. Samples of peanuts were collected before storage, and subsequently after one, two, three, four, five and six months of storage. The results showed that the moisture content of peanuts fluctuated, while the percentage of damaged kernels increased during storage. After six months of storage, total fungal populations at wholesales in the cities of Bogor and Jakarta were higher than those at retails, either the peanuts were derived from fields with low or high aflatoxin risk. Aflatoxin B1 contents in each city increased during storage. Field with high aflatoxin risk did not give any effect on A. flavus populations and aflatoxin B1 contents in peanuts. After six months of storage, the highest of the total fungal populations and aflatoxin B1 contents were found in peanuts stored at wholesale in Bogor derived from field with low aflatoxin risk.
3
SERANGAN CENDAWAN PASCAPANEN DAN KONTAMINASI AFLATOKSIN PADA KACANG TANAH DI GROSIR DAN PENGECER DI KOTA BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Oleh : DIANA NOVIANSARI G34102050
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
4
Judul Skripsi : Serangan Cendawan Pascapanen dan Kontaminasi Aflatoksin pada Kacang Tanah di Grosir dan Pengecer di Kota Bandung, Bogor dan Jakarta Nama : Diana Noviansari NRP : G34102050
Menyetujui : Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Okky Setyawati Dharmaputra NIP 131 430 807
Santi Ambarwati, MSi
Mengetahui : Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS NIP 131 473 999
Tanggal lulus :
5
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga karya ilmiah dengan judul Serangan Cendawan Pascapanen dan Kontaminasi Aflatoksin pada Kacang Tanah di Grosir dan Pengecer di Kota Bandung, Bogor dan Jakarta ini berhasil diselesaikan. Penelitian dilaksanakan dari November 2005 sampai dengan Juni 2006 di Laboratorium Fitopatologi SEAMEO BIOTROP, Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Okky Setyawati Dharmaputra dan Ibu Santi Ambarwati, MSi selaku pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan saran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah. Terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Rika Raffiudin, MSi selaku wakil Komisi Pendidikan Departemen Biologi atas saran dan koreksinya terhadap karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Ir. Indahwati, MSi, staf Departemen Statistika FMIPA IPB yang telah membantu dalam menganalisis data; Direktur SEAMEO BIOTROP atas izin penggunaan fasilitas dan bantuan dana penelitian; Ibu Ir. Ina Retnowati atas dorongan dan kesabarannya dalam memberikan pengarahan; Pak Edi Suryadi, Pak Suradi dan Pak Rahmat atas segala bantuannya; Dewi, April, Adelia, Dilah, Achi, Mia, Juve, Awi, Iqbal, Bian, dan teman-teman Biologi 39 lainnya atas dorongan, semangat, dan bantuannya; serta teman-temanku Ria, Midun, Anis dan Bima atas dorongan dan kebersamaannya, Ucapan terimakasih yang tulus dan mendalam penulis sampaikan kepada keluarga tercinta Papah, Mamah, Ang Deni dan Dede Diar, serta Wahyu yang dengan penuh kesabaran dan kasih sayang memberikan dorongan. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2006
Diana Noviansari
6
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 November 1983 dari ayah bernama Nana Sukmana dan ibu Neneng Tati Suprapti. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pada tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri 38 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Biologi Dasar pada tahun ajaran 2005/2006, dan Pengenalan Jenis Tumbuhan pada tahun ajaran 2006/2007. Pada bulan Juni – Juli 2005 penulis melaksanakan praktik lapangan di Laboratorium Mikrobiologi Balai Pengujian Mutu Barang Ekspor dan Impor Direktorat Pengawasan dan Pengujian Mutu Barang, Departemen Perdagangan dengan tema Manajemen Pelayanan dan Uji Cemaran Mikroba Berbagai Produk Makanan.
7
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................................
ix
PENDAHULUAN .................................................................................................................. 1 Latar Belakang ................................................................................................................ 1 Tujuan Penelitian ............................................................................................................. 1 BAHAN DAN METODE ....................................................................................................... Penyediaan Kacang Tanah .............................................................................................. Pengemasan dan Penyimpanan Kacang Tanah ............................................................... Pengambilan Sampel dan Cara Memperoleh Sampel Kerja ........................................... Analisis Kadar Air dan Persentase Biji Rusak ................................................................ Analisis Cendawan .......................................................................................................... Analisis Aflatoksin B1 .................................................................................................... Rancangan Percobaan .....................................................................................................
2 2 2 2 2 3 3 5
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................................. Kadar Air ......................................................................................................................... Persentase Biji Rusak ...................................................................................................... Populasi Total Cendawan ................................................................................................ Populasi A. flavus ............................................................................................................ Kandungan Aflatoksin B1 ...............................................................................................
7 7 8 9 12 12
SIMPULAN ............................................................................................................................ 14 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 14 LAMPIRAN ...........................................................................................................................
16
8
DAFTAR GAMBAR Halaman
1
Biji kacang tanah yang dikemas di dalam karung goni dan disimpan di gudang .............
2
2
Suhu dan kelembaban relatif ruang simpan dicatat dengan menggunakan data logger ......................................................................................................................
2
3
Skema cara memperoleh sampel kerja ............................................................................
3
4
Struktur kimia aflatoksin B1 ............................................................................................
3
5
Peta plat mikro analisis aflatoksin B1 pada kacang tanah dengan metode ELISA ........... 5
6
Pengaruh interaksi antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap kadar air kacang tanah .................... 7
7
Kurva rata-rata suhu ruang simpan selama penyimpanan ............................................... 8
8
Kurva rata-rata kelembaban relatif ruang simpan selama penyimpanan ........................
8
9
Pengaruh interaksi antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap persentase biji rusak kacang tanah ...
8
10 Pengaruh interaksi antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap populasi total cendawan pada kacang tanah ....................................................................................................................
9
11 Foto mikrograf morfologi Aspergillus flavus perbesaran 200x .......................................
10
12 Foto mikrograf morfologi Aspergillus niger perbesaran 200x .......................................... 10 13 Foto mikrograf morfologi Eurotium chevalieri perbesaran 200x ....................................
11
14 Hasil isolasi cendawan pada kacang tanah yang disimpan di grosir dan pengecer Bogor, baik pada resiko aflatoksin rendah maupun tinggi pada awal penyimpanan .......
11
15 Hasil isolasi cendawan pada kacang tanah yang disimpan di grosir dan pengecer Bogor, baik pada resiko aflatoksin rendah maupun tinggi setelah enam bulan penyimpanan ....................................................................................................................
11
16 Pengaruh interaksi antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap populasi Aspergillus flavus pada kacang tanah ...........................................................................................................
12
17 Pengaruh interaksi antara lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap kandungan aflatoksin B1 pada kacang tanah ..................................................................
13
18 Pengaruh interaksi antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan terhadap kandungan aflatoksin B1 pada kacang tanah ..............................
13
9
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1
Ketinggian dari permukaan laut dan curah hujan di kota Bandung, Bogor dan Jakarta pada tahun 2003 ...................................................................................................
17
2
Komposisi media yang digunakan untuk isolasi dan identifikasi cendawan ...................
17
3
Analisis ragam antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap kadar air kacang tanah .................... 18
4
Analisis ragam antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap persentase biji rusak kacang tanah ....................................................................................................................
19
5
Serangan serangga pada kacang tanah setelah lima dan enam bulan penyimpanan ........
20
6
Analisis ragam antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap populasi total cendawan pada kacang tanah ...........................................................................................................
21
7
Populasi cendawan pada kacang tanah awal penyimpanan ............................................
22
8
Populasi cendawan pada kacang tanah setelah satu bulan penyimpanan ........................
22
9
Populasi cendawan pada kacang tanah setelah dua bulan penyimpanan ........................
23
10 Populasi cendawan pada kacang tanah setelah tiga bulan penyimpanan ........................
23
11 Populasi cendawan pada kacang tanah setelah empat bulan penyimpanan .....................
24
12 Populasi cendawan pada kacang tanah setelah lima bulan penyimpanan .......................
24
13 Populasi cendawan pada kacang tanah setelah enam bulan penyimpanan .....................
25
14 Analisis ragam antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap populasi Aspergillus flavus pada kacang tanah ....................................................................................................................
26
15 Analisis ragam antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap kandungan aflatoksin B1 pada kacang tanah .................................................................................................................... 27
10
PENDAHULUAN Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu palawija yang penting di Indonesia setelah jagung dan kedelai. Selain dimanfaatkan sebagai bahan pangan, kacang tanah juga digunakan sebagai bahan pakan dan bahan baku industri. Di Indonesia pada tahun 2004 produksi kacang tanah mencapai 837 495 ton dan merupakan produksi tertinggi ke-4 setelah jagung, kentang dan singkong (BPS 2005). Selama penyimpanan kacang tanah dapat terserang oleh tikus, serangga, tungau dan mikroorganisme. Cendawan merupakan mikroorganisme utama yang menyerang bijibijian, antara lain kacang tanah. Cendawan yang menyerang biji-bijian selama penyimpanan umumnya adalah cendawan pascapanen dari genus Aspergillus, Eurotium dan Penicillium. Serangan cendawan pada biji-bijian dapat menyebabkan penurunan kualitas fisik biji, keapakan, perubahan warna, penurunan kandungan nutrisi, dan kontaminasi mikotoksin (Sauer et al. 1992). Menurut Savage dan Keenan (1994) biji kacang tanah kaya akan nutrisi karena mengandung karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin sehingga merupakan substrat yang sesuai bagi pertumbuhan cendawan. Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan antara lain oleh galur-galur tertentu Aspergillus flavus (Pitt & Hocking 1997) apabila tumbuh pada substrat yang sesuai antara lain kacang tanah (Pitt 1999). Aflatoksin bersifat karsinogen, keberadaannya pada suatu bahan dapat membahayakan kesehatan hewan dan manusia yang mengkonsumsinya, karena dapat menyebabkan kanker hati (Wogan 1969). Jenis aflatoksin yang umum ditemukan pada bahan pangan adalah aflatoksin B1, B2, G1, dan G2, sedangkan jenis yang paling berbahaya adalah aflatoksin B1 (Betina 1989). Serangan A. flavus dan kontaminasi aflatoksin pada biji-bijian dapat terjadi di berbagai tingkatan rantai distribusi apabila tidak didukung oleh penanganan pascapanen dan sarana yang layak. Dharmaputra et al. (2005a) melaporkan bahwa kandungan aflatoksin B1 tertinggi terdapat pada biji kacang tanah yang diperoleh dari pengecer di pasar tradisional di kabupaten Wonogiri. Persentase sampel biji kacang tanah yang terkontaminasi aflatoksin B1 lebih dari 15 ppb dan diperoleh pada musim hujan dan kemarau masing-masing adalah 33% dan 76%.
Menurut Dharmaputra et al. (2005b) di kabupaten Cianjur persentase sampel kacang tanah tertinggi yang terkontaminasi aflatoksin B1 lebih dari 15 ppb yaitu di tingkat grosir (80% sampel), diikuti oleh pengecer (75.6%), petani (38.5%), dan pedagang pengumpul (30.0%). Berdasarkan pertemuan yang diadakan di Roma (Italia) pada tanggal 28 Juni-3 Juli 1999, Codex Alimentarius Commission menetapkan kandungan total aflatoksin maksimum pada kacang tanah yang akan diproses adalah 15 ppb (FAO & WHO 1999). Kandungan aflatoksin lebih dari 1 000 ppb dapat menimbulkan efek toksik akut pada hewan dan manusia (Pitt & Hocking 1996). Sebenarnya A. flavus adalah cendawan tanah. Sebelum dipanen biji kacang tanah dapat terserang A. flavus toksigen (penghasil aflatoksin) yang berasal dari dalam tanah, terutama akibat cekaman kekeringan (Pitt 1999). Selanjutnya apabila cara dan sarana penanganan pascapanen kacang tanah tidak layak, A. flavus toksigen yang terdapat pada biji kacang tanah dapat memproduksi aflatoksin. Menurut Diener dan Davis (1969), Dharmaputra et al (2001) produksi aflatoksin juga dipengaruhi antara lain oleh keberadaan galur A. flavus non-toksigen dan spesies cendawan lain yang bersifat antagonis terhadap A. flavus toksigen. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui populasi setiap spesies cendawan pascapanen dan kandungan aflatoksin B1 pada biji kacang tanah yang berasal dari dua lahan yang masing-masing tidak diinokulasi dan diinokulasi A. flavus toksigen, dan disimpan di grosir dan pengecer di kota Bandung, Bogor, dan Jakarta. Selain itu juga untuk mengetahui kadar air dan persentase biji rusak kacang tanah selama penyimpanan.
11
BAHAN DAN METODE Penyediaan Kacang Tanah Kacang tanah varietas Jerapah ditanam di kebun percobaan Muneng Jawa Timur pada dua lahan yang berbeda, yaitu lahan yang tidak diinokulasi A. flavus toksigen dan lahan yang diinokulasi A. flavus toksigen. Pada lahan yang tidak diinokulasi A. flavus toksigen, kacang tanah ditanam pada kondisi optimum yaitu lahan tetap diairi selama pengisian polong untuk memperkecil resiko kacang tanah terkontaminasi oleh aflatoksin (resiko aflatoksin rendah). Sedangkan pada lahan yang diinokulasi A. flavus toksigen, lahan tidak diairi selama fase pengisian polong untuk meningkatkan resiko kacang tanah terkontaminasi oleh aflatoksin (resiko aflatoksin tinggi). Setelah cukup umur (90 hari) kacang tanah dipanen, kemudian dikeringkan dalam bentuk polong dengan bantuan sinar matahari hingga kadar air ± 6.5%. Seluruh kegiatan ini dilakukan oleh Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (BALITKABI) di Malang. Selanjutnya kacang tanah dikirim ke SEAMEO BIOTROP, Bogor. Kacang tanah dikupas kulit polongnya secara manual untuk memperoleh bijinya. Pengemasan dan Penyimpanan Kacang Tanah Biji kacang tanah (kadar air ± 6.5%) yang berasal dari lahan yang berbeda dikemas di dalam karung goni (20 kg/karung). Sebanyak satu karung biji kacang tanah masing-masing berasal dari dua lahan yang berbeda disimpan di gudang milik satu grosir dan satu pengecer di pasar tradisional di tiga kota (Bandung, Bogor, dan Jakarta) selama 6 bulan (pertengahan November 2005 – pertengahan Mei 2006)(Gambar 1). Ketiga kota tersebut terletak pada ketinggian permukaan laut yang berbeda (Lampiran 1). Selama penyimpanan suhu dan kelembaban relatif ruang simpan dicatat dengan menggunakan data logger (Gambar 2). Pengambilan Sampel dan Cara Memperoleh Sampel Kerja Sampel biji kacang tanah diambil sebanyak 2 kg dari setiap karung pada awal penyimpanan, selanjutnya setelah 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 bulan penyimpanan. Sampel diambil pada tiga titik dari setiap karung dengan menggunakan spear sample, kemudian dicampur sehingga homogen dan ditempatkan di dalam kantung plastik bersih, selanjutnya dibuat dua ulangan (± 1 000 g per ulangan).
Setiap ulangan dibagi tiga kali dengan pembagi sampel berbentuk boks sehingga diperoleh sampel kerja untuk berbagai analisis (Golob 1976, dengan sedikit modifikasi). Skema cara memperoleh sampel kerja disajikan pada Gambar 3.
Gambar 1 Biji kacang tanah yang dikemas di dalam karung goni dan disimpan di gudang (Sumber foto : O.S. Dharmaputra).
Gambar 2 Suhu dan kelembaban relatif ruang simpan dicatat dengan menggunakan data logger (Sumber foto : O.S Dharmaputra). Analisis Kadar Air dan Persentase Biji Rusak Kadar air kacang tanah (berdasarkan bobot basah) ditentukan dengan menggunakan alat SINARTM AP 6060 Moisture Analyzer. Sebanyak 170 g biji kacang tanah dari setiap sampel diletakkan di wadah alat, kemudian kadar air (% bobot basah) dapat diketahui secara otomatis. Analisis persentase biji rusak dilakukan secara visual yaitu dengan memisahkan biji rusak dari biji utuh (SNI 1995). Biji rusak meliputi biji retak, biji patah, biji terserang serangga dan biji terserang cendawan. Persentase biji rusak ditentukan dengan rumus berikut : Jumlah biji rusak % Biji rusak = x 100 Jumlah seluruh biji yang digunakan untuk analisis persentase biji rusak
12
1000 g ± 500 g ± 250 g ± 125 g a
± 500 g ± 250 g
± 125 g ± 125 g b
c
± 250 g
± 125 g
± 125 g
d
e
± 250 g
± 125 g ± 125 g ± 125 g f
g
h
Gambar 3 Skema cara memperoleh sampel kerja. a dan e : sampel untuk analisis cendawan, b dan f : sampel untuk analisis kualitas fisik biji, c dan g : sampel untuk analisis aflatoksin B1, d dan h : sampel untuk analisis kadar air dan sampel cadangan (Golob 1976, dengan sedikit modifikasi) Analisis cendawan Analisis cendawan dilakukan berdasarkan metode pengenceran berderet yang dilanjutkan dengan metode cawan tuang (Pitt et al. 1992). Sebanyak 25 g sampel (bobot basah) biji kacang tanah yang berasal dari sampel kerja untuk analisis cendawan dan dari setiap karung, digiling dengan menggunakan blender merek Nasionaltech hingga diperoleh partikel berukuran ± 9 mesh. Setelah itu sampel ditempatkan di dalam labu Erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan akuades steril hingga volumenya mencapai 250 ml, dengan demikian diperoleh pengenceran 1 :10. Setelah itu labu Erlenmeyer tersebut digoyang dengan mesin pengocok merek KOTTERMANN 4020 dengan kecepatan 150 rpm selama 2 menit hingga suspensinya homogen, kemudian 10 ml suspensi diambil dengan pipet dan ditempatkan di dalam labu Erlenmeyer 125 ml yang telah berisi 90 ml akuades steril sehingga diperoleh pengenceran 1:100. Selanjutnya dengan cara yang sama dibuat seri pengenceran sampai dengan 1:100 000. Isolasi A. flavus dan spesies cendawan pascapanen lainnya dilakukan dengan memindahkan 1 ml suspensi kacang tanah dari setiap faktor pengenceran ke dalam sebuah cawan Petri berdiameter 9 cm, kemudian sebanyak ± 12 ml media Dichloran 18% Glycerol Agar (DG18) (Lampiran 2) dituang ke dalam cawan dan digoyang dengan tangan agar suspensi kacang tanah tersebar merata di dalam media (Pitt & Hocking 1980). Selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Dari setiap sampel kerja untuk analisis cendawan dibuat dua ulangan dan setiap pengenceran dibuat di dalam tiga cawan Petri. Koloni setiap spesies cendawan yang berbeda warna dan pola pertumbuhannya
kemudian dipindahkan ke media Czapek Yeast Extract Agar (CYA) atau Czapek Yeast Extract Agar + 20% sucrose (CY20S) (Lampiran 2) dan diidentifikasi berdasarkan pustaka acuan Samson et al. (1996), Pitt dan Hocking (1997). Media CYA digunakan untuk mengidentifikasi cendawan pascapanen selain Eurotium, sedangkan media CY20S untuk mengidentifikasi Eurotium. Populasi A. flavus dan setiap spesies cendawan pascapanen lainnya per gram biji kacang tanah per ulangan (berdasarkan bobot basah) ditentukan berdasarkan rata-rata jumlah koloni A. flavus dan setiap spesies cendawan pascapanen lainnya dari tiga cawan Petri dikalikan faktor pengenceran yang memberikan koloni cendawan terpisah. Analisis Aflatoksin B1 Jenis aflatoksin yang dianalisis adalah aflatoksin B1 (Gambar 4) karena merupakan aflatoksin yang paling berbahaya dan sering mengkontaminasi kacang tanah. Kandungan aflatoksin B1 ditentukan dengan metode ELISA(Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) (Lee & Kennedy 2002).
Gambar 4 Struktur kimia aflatoksin B1 Prinsip dasar metode ini adalah mengekstrak sampel dengan metanol 80%, kemudian dicampurkan ke dalam plat pencampuran yang telah berisi enzim konjugat. Demikian pula dengan deret standar
13
aflatoksin B1 (30, 12, 4.8, 1.92, 0.77 dan 0.31 ppb). Campuran ini kemudian dimasukkan ke dalam plat mikro yang telah dilapisi antibodi sehingga terjadi kompetisi antara aflatoksin B1 bebas (yang berasal dari ekstrak sampel maupun standar) dengan aflatoksin B1 berlabel (enzim konjugat) untuk berikatan dengan antibodi. Enzim konjugat yang tidak berikatan akan tercuci, sedangkan yang berikatan dengan antibodi akan membentuk warna biru setelah penambahan substrat. Semakin tinggi kandungan aflatoksin B1 pada sampel maupun standar, maka semakin sedikit enzim konjugat yang berikatan dengan antibodi. Hal ini menyebabkan intensitas warna biru yang terbentuk semakin pudar. Reaksi dihentikan dengan penambahan larutan H2SO4 1.25 M sehingga terbentuk warna kuning dan intensitas warna yang terbentuk diukur menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Untuk setiap sampel dibuat 3 ulangan. Tahapan yang dilakukan untuk analisis aflatoksin B1 dengan menggunakan metode ELISA adalah sebagai berikut : Ekstraksi sampel. Sebanyak 75 ml larutan metanol 80% ditambahkan ke dalam 25 g sampel kacang tanah yang telah digiling hingga berukuran 50 mesh, kemudian dikocok dengan alat pengocok (shaker) merek KOTTERMANN 4020 dengan kecepatan 200 rpm selama 15 menit. Larutan jernih ekstrak diperoleh setelah campuran dibiarkan 1 jam. Persiapan Kurva Standar Aflatoksin B1. Dari larutan stok aflatoksin B1 9.47 ppm di dalam metanol 80%, dipipet sebanyak 15.84 µl ke dalam sebuah tabung reaksi dan ditambahkan 4 984.16 µl metanol 80% sehingga diperoleh larutan standar aflatoksin B1 dengan konsentrasi 30 ppb. Sebanyak 2 000 µl larutan standar aflatoksin B1 30 ppb dipipet ke dalam tabung reaksi kedua dan ditambahkan 3 000 µl metanol 80% sehingga diperoleh larutan standar aflatoksin B1 dengan konsentrasi 12 ppb. Sebanyak 2 000 µl larutan standar aflatoksin B1 12 ppb dipipet ke dalam tabung reaksi ketiga dan ditambahkan 3 000 µl metanol 80% sehingga diperoleh larutan standar aflatoksin B1 dengan konsentrasi 4.8 ppb. Sebanyak 2 000 µl larutan standar aflatoksin B1 4.8 ppb dipipet ke dalam tabung reaksi keempat dan ditambahkan 3 000 µl metanol 80% sehingga diperoleh larutan standar aflatoksin B1 dengan konsentrasi 1.92 ppb.
Sebanyak 2 000 µl larutan standar aflatoksin B1 1.92 ppb dipipet ke dalam tabung reaksi kelima dan ditambahkan 3 000 µl metanol 80% sehingga diperoleh larutan standar aflatoksin B1 dengan konsentrasi 0.77 ppb. Sebanyak 2 000 µl larutan standar aflatoksin B1 0.77 ppb dipipet ke dalam tabung reaksi keenam dan ditambahkan 3 000 µl metanol 80% sehingga diperoleh larutan standar aflatoksin B1 dengan konsentrasi 0.31 ppb. Persiapan Plat Mikro Antibodi. Sebanyak 29.6 µl stok murni antibodi (ANNA #5 Rab α Aflatoksin B1 3.72 mg/ml) dilarutkan ke dalam 11 ml larutan salutan (bufer karbonat), setelah itu dikocok perlahan. Sebanyak 100 µl larutan antibodi tersebut dimasukan ke dalam masing-masing sumur pada plat mikro dengan menggunakan pipet mikro, kemudian diinkubasi selama satu malam pada suhu kamar. Selanjutnya plat mikro dicuci dengan akuades sebanyak tiga kali, kemudian dikeringkan dengan kertas tissue dan ditambahkan 200 µl larutan perebat (blocking solution) berupa 1% fish hydrosate di dalam phosphate buffer saline ke dalam masingmasing sumur. Setelah itu diinkubasi selama satu jam pada suhu ruang, kemudian dicuci kembali tiga kali dengan akuades. Cara Kerja Pengujian. Sebelum memulai analisis, dibuat peta plat mikro yang mencakup blangko, kontrol, standar dan sampel (Gambar 5). Pada plat pencampuran (plat tanpa antibodi), 100 µl larutan enzim konjugat dimasukkan ke dalam masingmasing sumur kecuali pada sumur blangko ditambahkan 100 µl pengencer (1% fish hydrosate). Ke dalam sumur blangko dan kontrol dimasukkan 100 µl metanol 80%. Ke dalam sumur standar dan sampel dimasukkan masing-masing 100 µl standar maupun sampel sebagaimana tercantum pada peta plat mikro. Setelah itu campuran dibuat homogen dengan cara menggoyangkan plat mikro secara perlahan pada permukaan yang rata. Dengan menggunakan 8-channel multi pipette, 50 µl campuran di dalam plat pencampuran dipindahkan ke dalam plat yang telah berisi antibodi dan dibiarkan selama 5 menit. Setelah itu plat dicuci tiga kali dengan akuades dan dikeringkan di atas kertas tissue. Sebanyak 100 µl larutan substrat dimasukkan ke dalam masing-masing sumur dengan
14
1 A
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Blangko
Blangko
Sampel
Sampel
Blangko
Blangko
Sampel
Sampel
Blangko
Blangko
Sampel
Sampel
B
30 ppb
30 ppb
Sampel
Sampel
30 ppb
30 ppb
Sampel
Sampel
30 ppb
30 ppb
Sampel
Sampel
C
12 ppb
12 ppb
Sampel
Sampel
12 ppb
12 ppb
Sampel
Sampel
12 ppb
12 ppb
Sampel
Sampel
D
4.8 ppb
4.8 ppb
Sampel
Sampel
4.8 ppb
4.8 ppb
Sampel
Sampel
4.8 ppb
4.8 ppb
Sampel
Sampel
E
1.92 ppb
1.92 ppb
Sampel
Sampel
1.92 ppb
1.92 ppb
Sampel
Sampel
1.92 ppb
1.92 ppb
Sampel
Sampel
F
0.77 ppb
0.77 ppb
Sampel
Sampel
0.77 ppb
0.77 ppb
Sampel
Sampel
0.77 ppb
0.77 ppb
Sampel
Sampel
G
0.31 ppb
0.31 ppb
Sampel
Sampel
0.31 ppb
0.31 ppb
Sampel
Sampel
0.31 ppb
0.31 ppb
Sampel
Sampel
H
Kontrol
Kontrol
Sampel
Sampel
Kontrol
Kontrol
Sampel
Sampel
Kontrol
Kontrol
Sampel
Sampel
Gambar 5 Peta plat mikro analisis aflatoksin B1 pada kacang tanah dengan metode ELISA menggunakan 8-channel multi pipette. Setelah itu dibiarkan 10 menit pada suhu kamar, kemudian reaksi dihentikan dengan penambahan 50 µl larutan H2SO4 1.25 M. Absorbansi warna kuning yang terbentuk dibaca menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Penghitungan Konsentrasi Aflatoksin B1. Nilai absorbansi yang diperoleh digunakan untuk menghitung persentase inhibisi standar dan sampel. Persentase inhibisi standar dan sampel dihitung dengan rumus : % Inhibisi standar/sampel = A standar/sampel – A blangko 1-
x 100 A kontrol – A blangko Persentase inhibisi standar yang telah diperoleh kemudian diplotkan dengan konsentrasi standar aflatoksin B1 untuk memperoleh kurva kalibrasi standar. Dalam hal ini persentase inhibisi sebagai sumbu y dan konsentrasi aflatoksin B1 sebagai sumbu x. Kurva kalibrasi diperoleh dengan menggunakan bantuan program excell. Konsentrasi aflatoksin B1 sampel ditentukan berdasarkan Lee dan Kennedy (2002). Konsentrasi aflatoksin B1 sampel juga ditentukan menggunakan bantuan program excell. Konsentrasi aflatoksin B1 sampel yang diperoleh kemudian dikalikan dengan faktor pengenceran sehingga konsentrasi aflatoksin B1 sampel yang sebenarnya dapat diketahui.
Rancangan Percobaan Data dianalisis menggunakan rancangan faktorial dalam waktu dengan rancangan lingkungan rancangan acak lengkap dan uji beda nyata pada taraf kepercayaan 95%. Faktor pertama adalah resiko aflatoksin, yaitu resiko aflatoksin rendah dan tinggi; faktor kedua adalah tingkatan rantai distribusi, yaitu grosir dan pengecer; faktor ketiga adalah lokasi penyimpanan, yaitu kota Bandung, Bogor dan Jakarta; pengaruh waktu pengamatan adalah lama penyimpanan, yaitu awal penyimpanan, selanjutnya satu, dua, tiga, empat, lima dan enam bulan penyimpanan. Setiap kombinasi perlakuan dibuat dua ulangan. Model linier dari rancangan acak lengkap faktorial dalam pengamatan berulang (Mattjik & Sumertajaya 2002) sebagai berikut: = µ + αi + βj + γk + (αβ)ij + (αγ)ik + (βγ)jk + (αβγ)ijk + ωijkm + τl + ϕlm + (ατ)il + (βτ)jl + (γτ)kl + (αβτ)ijl + (αγτ)ikl + (βγτ)jkl + (αβγτ)ijkl + εijklm Keterangan : i = 1,2 (taraf resiko aflatoksin) j = 1,2 (taraf tingkatan rantai distribusi) k = 1,2,3 (taraf lokasi penyimpanan) l = 0,1,2,3,4,5,6 (lama penyimpanan) m = 1,2 (ulangan) = Nilai respon pada faktor resiko Yijklm
Yijklm
15
µ αI
= =
βj
=
γk
=
(αβ)ij
=
(αγ)ik
=
(βγ)jk
=
(αβγ)ijk
=
ωijkm
=
τl
=
ϕlm
=
aflatoksin taraf ke- i, faktor tingkatan rantai distribusi taraf ke- j, faktor lokasi penyimpanan taraf ke-k, lama penyimpanan taraf ke-l dan ulangan ke-m Rataan umum Pengaruh faktor resiko aflatoksin taraf ke-i Pengaruh faktor tingkatan rantai distribusi taraf ke-j Pengaruh faktor lokasi penyimpanan taraf ke-k Pengaruh interaksi faktor resiko aflatoksin taraf ke-i dan faktor tingkatan rantai distribusi taraf ke-j Pengaruh interaksi faktor resiko aflatoksin taraf ke-i dan faktor lokasi penyimpanan taraf ke-k Pengaruh interaksi faktor tingkatan rantai distribusi taraf ke-j dan faktor lokasi penyimpanan taraf ke-k Pengaruh interaksi faktor resiko aflatoksin taraf ke-i, faktor tingkatan rantai distribusi taraf ke-j dan faktor lokasi penyimpanan taraf ke-k Komponen acak perlakuan (Galat a) Pengaruh lama penyimpanan taraf ke-l Komponen acak lama penyimpanan (Galat b)
(ατ)il
(βτ)jl
(γτ)kl
(αβτ)ijl
(αγτ)ikl
(βγτ)jkl
(αβγτ)ijkl
εijklm
= Pengaruh interaksi lama penyimpanan dengan faktor resiko aflatoksin taraf ke-i = Pengaruh interaksi lama penyimpanan dengan faktor tingkatan rantai distribusi taraf ke-j = Pengaruh interaksi lama penyimpanan dengan faktor lokasi penyimpanan taraf ke-k = Pengaruh interaksi faktor resiko aflatoksin taraf ke-i, faktor tingkatan rantai distribusi taraf ke-j dengan lama penyimpanan = Pengaruh interaksi faktor resiko aflatoksin taraf ke-i, faktor lokasi penyimpanan taraf ke-k dengan lama penyimpanan = Pengaruh interaksi faktor tingkatan rantai distribusi taraf ke-j, faktor lokasi penyimpanan taraf ke-k dengan lama penyimpanan = Pengaruh interaksi faktor resiko aflatoksin taraf ke-i, faktor tingkatan rantai distribusi taraf ke-j, faktor lokasi penyimpanan taraf ke-k dengan lama penyimpanan = Komponen acak dari interaksi lama penyimpanan dengan perlakuan (Galat c)
16
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Air Menurut Sauer et al. (1992) kadar air merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan A. flavus dan produksi aflatoksin. Berdasarkan analisis ragam, resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan, serta interaksi antara keempat perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang sangat nyata (P ≤ 0.01) terhadap kadar air biji kacang tanah (Lampiran 3). Kadar air kacang tanah di setiap tingkatan rantai distribusi dan di setiap kota pada resiko aflatoksin rendah maupun tinggi berfluktuasi selama penyimpanan (Gambar 6). Kadar air di grosir yang terletak di ketiga kota mempunyai pola kecenderungan yang sama, begitu juga halnya di pengecer. Setelah 2, 3, 4, 5 dan 6 bulan penyimpanan, kadar air di grosir Bandung berbeda nyata dan lebih rendah dibandingkan dengan Bogor dan Jakarta (Gambar 6a&c). Setelah 4, 5 dan 6 bulan penyimpanan kadar air di pengecer Bandung dan Bogor baik pada resiko aflatoksin rendah maupun tinggi tidak berbeda nyata (Gambar 6b&d). Setelah enam bulan penyimpanan kadar air di grosir Bogor pada resiko aflatoksin rendah maupun tinggi menurun, begitu pula halnya di grosir Bandung dan Jakarta pada resiko aflatoksin tinggi (Gambar 6c). Setelah 2, 3 dan 4 bulan penyimpanan kadar air di pengecer Jakarta meningkat, kemudian menurun setelah 5 dan 6 bulan
penyimpanan (Gambar 6b&d). Hal sebaliknya terjadi di pengecer Bandung, yaitu setelah 2, 3, dan 4 bulan penyimpanan kadar air menurun, kemudian meningkat setelah 5 dan 6 bulan penyimpanan. Perubahan kadar air pada kacang tanah berkaitan dengan suhu dan kelembaban relatif ruang simpan. Suhu ruang penyimpanan di setiap tingkatan rantai distribusi dan di setiap kota meningkat setelah 2, 3 dan 4 bulan penyimpanan (Gambar 7). Selama penyimpanan, suhu tertinggi diperoleh di pengecer Jakarta. Kelembaban relatif ruang penyimpanan di setiap tingkatan rantai distribusi dan di setiap kota cenderung menurun setelah 2, 3 dan 4 bulan penyimpanan, kecuali di pengecer Jakarta (Gambar 8). Selama penyimpanan, kelembaban relatif tertinggi diperoleh di grosir Bogor dan Jakarta. Menurut Christensen et al. (1992) kadar air biji berada dalam keseimbangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Menurut Bala (1997) selain dipengaruhi oleh kelembaban relatif, keseimbangan kadar air juga dipengaruhi oleh suhu. Setelah 6 bulan penyimpanan kadar air tertinggi (7.45%) diperoleh di grosir Bogor pada resiko aflatoksin tinggi. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh kondisi gudang yang berbeda di setiap tingkatan rantai distribusi dan di setiap kota. Kadar air juga dipengaruhi oleh aktivitas respirasi biji, serangga dan cendawan, faktor ketinggian di atas permukaan laut, dan curah hujan di setiap kota. Kadar air kacang tanah di setiap tingkatan rantai distribusi dan di setiap kota,
Gambar 6 Pengaruh interaksi antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap kadar air kacang tanah.
17
32 31
Bdg-Grosir
Suhu (oC)
30
Bdg-Pengecer
29 Bgr-Grosir
28 Bgr-Pengecer
27
Jkt-Grosir
26
Jkt-Pengecer
25 24 0
1
2
3
4
5
6
Lama penyimpanan (bulan)
Kelembaban relatif (%)
Gambar 7 Kurva rata-rata suhu ruang simpan selama penyimpanan. 80 Bdg-Grosir
75
Bdg-Pengecer Bgr-Grosir
70
Bgr-Pengecer Jkt-Grosir
65
Jkt-Pengecer
60 0 1 2 3 4 5 6 Lama penyimpanan (bulan)
Gambar 8 Kurva rata-rata kelembaban relatif ruang simpan selama penyimpanan. baik pada resiko aflatoksin rendah maupun tinggi selama enam bulan penyimpanan masih tergolong aman untuk disimpan dengan kisaran 5.9-8.0%. SNI (1995) menetapkan bahwa kadar air biji kacang tanah yang aman untuk disimpan adalah 6-8%.
Persentase Biji Rusak Berdasarkan analisis ragam, resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi, lokasi penyimpanan dan lama penyimpanan beserta interaksi antara keempat perlakuan tersebut memberikan pengaruh sangat nyata (P ≤ 0.01) terhadap persentase biji rusak kacang tanah (Lampiran 4), sedangkan interaksi antara resiko aflatoksin dengan tingkatan rantai distribusi dan interaksi antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dengan lama penyimpanan yang tidak berpengaruh nyata (P ≥ 0.05) terhadap persentase biji rusak. Persentase biji rusak di setiap tingkatan rantai distribusi dan di setiap kota baik pada resiko aflatoksin rendah maupun tinggi meningkat selama penyimpanan (Gambar 9). Persentase biji rusak di setiap tingkatan rantai distribusi dan di setiap kota tidak berbeda nyata pada awal penyimpanan hingga setelah tiga bulan penyimpanan. Pada resiko aflatoksin tinggi, persentase biji rusak di berbagai tingkatan rantai distribusi di Bandung lebih tinggi daripada di Bogor dan Jakarta setelah 2, 3, 4 dan 5 bulan penyimpanan (Gambar 9c&d). Setelah 6 bulan penyimpanan, persentase biji rusak di setiap tingkatan rantai distribusi dan di setiap kota tidak berbeda nyata, kecuali di pengecer Bogor pada resiko aflatoksin rendah. Setelah 6 bulan penyimpanan, persentase biji rusak terendah (14.54%) diperoleh di grosir Bogor pada resiko aflatoksin tinggi, sedangkan persentase biji rusak tertinggi (40.96%) diperoleh di pengecer Bogor pada resiko aflatoksin rendah.
Gambar 9 Pengaruh interaksi antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap persentase biji rusak kacang tanah.
18
Peningkatan persentase biji rusak selama penyimpanan kemungkinan disebabkan oleh serangan serangga (Lampiran 5), karena sebelum disimpan kacang tanah tidak difumigasi. Serangga yang menyerang biji kacang tanah yaitu Carpophilus sp., Oryzaephylus surinamensis, Tribolium castaneum, dan Necrobia infipas. Carpophilus sp. merupakan serangga yang paling banyak ditemukan. Serangan serangga pada biji-bijian dapat menyebabkan kerusakan, sehingga cendawan dapat menyerang biji dengan lebih mudah. Selain itu serangga dapat membawa spora cendawan pada permukaan tubuhnya dan keberadaan serangga dapat meningkatkan suhu dan kelembaban sehingga cendawan dapat tumbuh dengan baik (Sauer et al. 1992). Menurut Lacey dan Magan (1991) diantara mikroorganisme yang mengkolonisasi biji-bijian, cendawan merupakan organisme yang paling toleran terhadap kadar air yang rendah dan paling berperan dalam penyebab kerusakan. Cendawan dapat menyerang sel dan jaringan biji utuh dengan melakukan penetrasi pada kulit biji, merusak testa dan embrio, serta mendekomposisi granula pati dalam endosperma (Schmidt 1991). SNI (1995) menetapkan persentase maksimum biji rusak pada kacang tanah adalah 0-2 %, sehingga hasil persentase biji rusak yang diperoleh selama penyimpanan dapat dikategorikan sangat tinggi. Populasi Total Cendawan Berdasarkan analisis ragam, tingkatan rantai distribusi, lokasi penyimpanan dan lama penyimpanan, interaksi antara tingkatan rantai distribusi dengan lokasi penyimpanan,
interaksi antara tingkatan rantai distribusi dengan lama penyimpanan, interaksi antara lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan, interaksi antara resiko aflatoksin dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan, interaksi antara tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P ≤ 0.01) terhadap populasi total cendawan pada kacang tanah (Lampiran 6). Resiko aflatoksin, interaksi antara resiko aflatoksin dan lokasi penyimpanan, interaksi antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan, interaksi antara resiko aflatoksin dengan lama penyimpanan, interaksi antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata (P ≤ 0.05) terhadap populasi total cendawan. Sedangkan interaksi antara resiko aflatoksin dan tingkatan rantai distribusi, interaksi antara resiko aflatoksin dan tingkatan rantai distribusi dengan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (P ≥ 0.05) terhadap populasi total cendawan (Lampiran 6). Populasi total cendawan di setiap tingkatan rantai distribusi dan di setiap kota pada resiko aflatoksin rendah maupun tinggi tidak berbeda nyata dan relatif konstan hingga 4 bulan penyimpanan kecuali di grosir Bogor pada resiko aflatoksin rendah (Gambar 10). Setelah lima bulan penyimpanan populasi total cendawan di grosir Jakarta lebih tinggi daripada di Bandung dan Bogor pada resiko aflatoksin rendah. Populasi total cendawan di grosir Bogor dan Jakarta lebih tinggi, baik
Gambar 10 Pengaruh interaksi antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap populasi total cendawan pada kacang tanah.
19
pada resiko aflatoksin rendah maupun tinggi setelah enam bulan penyimpanan. Setelah enam bulan penyimpanan populasi total cendawan di grosir Bogor pada resiko aflatoksin rendah meningkat drastis dan merupakan populasi total cendawan tertinggi (6 x 104 koloni/g b.b) (Gambar 10a). Perbedaan populasi total cendawan selama penyimpanan kemungkinan disebabkan karena kondisi gudang yang berbeda di setiap tingkatan rantai distribusi dan di setiap kota. Kondisi gudang di grosir Bogor yang kotor dan bervariasinya komoditas yang disimpan di gudang tersebut dapat meningkatkan kelembaban sehingga cendawan dapat tumbuh dengan baik. Selama enam bulan penyimpanan sebanyak 15 spesies cendawan telah diisolasi dari semua perlakuan, yaitu Aspergillus flavus, A. niger, A. penicillioides, A. tamarii, A. versicolor, A. wentii, Cladosporium cladosporioides, Eurotium chevalieri, E. repens, E. rubrum, Mucor hiemalis, Penicillium citrinum, Syncephalastrum racemosum, Trichoderma harzianum dan Wallemia sebi (Lampiran 7, 8, 9, 10, 11, 12 dan 13). Cendawan yang selalu terisolasi dari semua perlakuan adalah A. flavus, A. niger dan E. chevalieri. Sebenarnya C. cladosporioides adalah cendawan lapangan. Konidiofor A. flavus memiliki panjang tangkai 400 µm-1 mm, berdinding kasar; vesikula bulat berdiameter 20-45 µm, fertil pada tiga perempat permukaannya, membentuk metula dan fialid, tetapi pada beberapa isolat sebagian kepala hanya membentuk fialid, ukuran metula dan fialid sama, panjang 7-10 µm; konidium bulat sampai agak bulat, biasanya berdiameter 3.5-5 µm, dengan dinding yang relatif tipis, agak kasar; sklerotium pada awalnya putih, menjadi keras dan coklat kemerahan sampai hitam, membulat dengan diameter 400-800 µm (Pitt & Hocking 1997)(Gambar 11). Konidiofor A. niger memiliki panjang tangkai 1-3 mm, dinding hialin dan halus; vesikula bulat, biasanya berdiameter 50-75 µm, membentuk metula dan fialid yang rapat pada seluruh permukaannya, panjang metula 10-15 µm, panjang fialid 7-10 µm; konidium bulat, diameter 4-5 µm, berwarna coklat, berdinding kasar atau kadang-kadang terdapat goresan, dibentuk di dalam kepala yang besar dan radiate (Pitt & Hocking 1997)(Gambar 12). Miselium E. chevalieri berwarna kuning terang, seringkali lebih gelap di bagian
tengahnya, menyelubungi kleistotesium berwarna kuning dan berlimpah, dilapisi oleh kepala konidium yang jarang sampai berlimpah, berwarna hijau keabuan; kleistotesium berwarna kuning terang, bulat, berdiameter 100-140 µm, diselubungi oleh hifa vegetatif berwarna kuning hingga oranye; askospora berwarna kuning, bentuk menjorong (ellipsoidal) berbentuk seperti roda kerekan, panjang 4.5-5 µm, berdinding halus, dengan dua flens yang menyolok, paralel, sempit, kadang-kadang berliku; konidiofor berasal dari hifa aerial, panjang tangkai 400700 µm, berdinding tipis; vesikula berdiameter 25-35 µm, fertil di seluruh permukaannya, hanya membentuk fialid yang berbentuk seperti ampula, panjang 5-8 µm; konidium menjorong atau berbentuk seperti tong anggur (barrel), panjang 4-5.5 µm, dengan dinding berstruktur seperti duri kecil (Pitt & Hocking 1997) (Gambar 13).
b a Gambar 11 Foto mikrograf morfologi Aspergillus flavus perbesaran 200x. a =konidiofor; b=vesikula, metula, fialid dan konidium (Sumber foto : O.S. Dharmaputra).
a b
Gambar 12 Foto mikrograf morfologi Aspergillus niger perbesaran 200x. a =konidiofor;b =vesikula, metula, fialid dan konidium (Sumber foto : O.S. Dharmaputra).
20
b
c a
Gambar 13 Foto mikrograf morfologi Eurotium chevalieri perbesaran 200 x. a=konidiofor;b= vesikula, fialid dan konidium; c =kleistotesium berisi askus dan askospora (Sumber foto : O.S. Dharmaputra). Populasi A. penicillioides mulai meningkat setelah dua bulan penyimpanan dan semakin meningkat setelah empat bulan
penyimpanan. Pitt dan Hocking (1997) menyatakan bahwa pada substrat alami, populasi A. penicillioides yang tinggi umum ditemukan pada bahan pangan yang memiliki aktivitas air rendah. Sehingga meningkatnya populasi A. penicillioides diduga disebabkan karena menurunnya aktivitas air kacang tanah selama penyimpanan. Populasi total cendawan pada kacang tanah yang disimpan di grosir Bogor lebih tinggi dibandingkan di pengecer Bogor pada awal penyimpanan. Dari hasil isolasi cendawan pada kacang tanah di grosir dan pengecer pada awal penyimpanan diperoleh 4 spesies cendawan yaitu A. flavus, A. niger, A. penicillioides dan E. chevalieri (Gambar 14). Setelah enam bulan penyimpanan, populasi total cendawan pada kacang tanah di grosir dan pengecer Bogor meningkat dibandingkan pada awal penyimpanan. Spesies cendawan yang diisolasi setelah enam bulan penyimpanan tidak berbeda dengan awal penyimpanan (Gambar 15).
Gambar 14 Hasil isolasi cendawan pada kacang tanah yang disimpan di grosir dan pengecer Bogor, baik pada resiko aflatoksin rendah maupun tinggi pada awal penyimpanan. Media DG18. Faktor pengenceran : 10-1. a = Aspergillus flavus; b = A. niger; c = A. penicillioides; d = Eurotium chevalieri (Sumber foto : O.S Dharmaputra).
Gambar 15 Hasil isolasi cendawan pada kacang Bogor, baik pada resiko aflatoksin penyimpanan. Media DG18. Faktor niger; c = A. penicillioides; d = Dharmaputra)
tanah yang disimpan di grosir dan pengecer rendah maupun tinggi setelah enam bulan pengenceran : 10-1. a = Aspergillus flavus;A. Eurotium chevalieri (Sumber foto : O. S.
21
Populasi A. flavus Berdasarkan analisis ragam, resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi, lokasi penyimpanan, dan lama penyimpanan, serta interaksi antara keempat perlakuan tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata (P ≥ 0.05) terhadap populasi A. flavus (Lampiran 14). Populasi A. flavus di setiap tingkatan rantai distribusi dan di setiap kota pada resiko aflatoksin rendah maupun tinggi tidak berbeda nyata untuk setiap lama penyimpanan (Gambar 16). Walaupun populasi A. flavus tidak berbeda nyata, populasi A. flavus di grosir Bandung pada resiko aflatoksin rendah lebih tinggi dibandingkan kota lain setelah lima bulan penyimpanan (Gambar 16a). Populasi A. flavus pada resiko aflatoksin tinggi di grosir Bandung juga lebih tinggi dibandingkan kota lain setelah satu bulan penyimpanan (Gambar 16c). Hal ini diduga disebabkan keberadaan spesies cendawan yang bersifat antagonis terhadap A. flavus yaitu A. niger dan E. chevalieri. Dharmaputra (2003) melaporkan bahwa A. niger merupakan cendawan yang paling potensial dalam menghambat pertumbuhan A. flavus toksigen. Uji antagonisme antara E. chevalieri dengan A. flavus pada berbagai waktu inokulasi menunjukkan bahwa pada semua perlakuan E. chevalieri menghambat pertumbuhan A. flavus (Dharmaputra 1997). Kacang tanah pada lahan dengan resiko aflatoksin tinggi ternyata tidak berpengaruh terhadap populasi A. flavus. Selain karena adanya cendawan yang bersifat antagonis, hal ini juga diduga karena cara
penanganan pascapanen (pengeringan dan pengupasan polong) dilakukan secara layak. Kandungan Aflatoksin B1 Berdasarkan analisis ragam, pengaruh lama penyimpanan dan interaksi antara lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P ≤ 0.01) terhadap kandungan aflatoksin B1 (Lampiran 15). Lokasi penyimpanan, dan interaksi antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan memberikan pengaruh yang nyata (P ≤ 0.05) terhadap kandungan aflatoksin B1. Resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi, interaksi antara resiko aflatoksin dan tingkatan rantai distribusi, interaksi antara resiko aflatoksin dan lokasi penyimpanan, interaksi antara tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan, interaksi antara resiko aflatoksin dengan lama penyimpanan, interaksi antara tingkatan rantai distribusi dengan lama penyimpanan, interaksi antara resiko aflatoksin dan tingkatan rantai distribusi dengan lama penyimpanan, interaksi antara resiko aflatoksin dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan, interaksi antara tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan, interaksi antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (P ≥ 0.05) terhadap kandungan aflatoksin B1 (Lampiran 15).
Gambar 16 Pengaruh interaksi antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap populasi Aspergillus flavus pada kacang tanah.
22
Kandungan aflatoksin B1 pada kacang tanah di setiap kota meningkat selama penyimpanan (Gambar 17), sedangkan populasi A. flavus tidak berbeda nyata dan relatif konstan selama penyimpanan (Gambar 16). Hal ini menunjukkan bahwa populasi A. flavus tidak berkorelasi positif dengan kandungan aflatoksin B1. Produksi aflatoksin bergantung pada galur-galur tertentu A. flavus (Pitt & Hocking 1997). Selama penyimpanan, biji-bijian tidak hanya terserang oleh A. flavus, tetapi juga oleh spesies cendawan lain yang dapat berkompetisi dengan A. flavus dalam memanfaatkan substrat, sehingga menghambat produksi aflatoksin (Diener & Davis 1969). Dharmaputra et al. (1991) melaporkan bahwa tingginya populasi A. flavus pada sampel kacang tanah yang diperoleh dari beberapa pasar tradisional di Bogor tidak selalu diikuti dengan tingginya kandungan aflatoksin B1.
Gambar 17 Pengaruh interaksi antara lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap kandungan aflatoksin B1 pada kacang tanah. Setelah lima bulan penyimpanan, kandungan aflatoksin B1 tidak berbeda nyata di setiap kota (Gambar 17). Setelah enam bulan penyimpanan kandungan aflatoksin B1 di Bandung (9.84 ppb) berbeda nyata dan lebih tinggi daripada di Bogor (8.54 ppb) dan Jakarta (8.41 ppb). Kandungan aflatoksin B1 di Bogor tidak berbeda nyata dengan di Jakarta setelah enam bulan penyimpanan. Kandungan aflatoksin B1 pada kacang tanah di grosir tidak berbeda nyata di setiap kota baik pada resiko aflatoksin rendah maupun tinggi, begitu juga halnya di pengecer (Gambar 18). Walaupun tidak
berbeda nyata, kandungan aflatoksin B1 di pengecer Bandung dan Bogor pada resiko aflatoksin rendah lebih tinggi dibandingkan di grosir, sedangkan kandungan aflatoksin B1 di Jakarta lebih tinggi dibandingkan di pengecer. Sebaliknya kandungan aflatoksin B1 di setiap tingkatan rantai distribusi dan di semua kota pada resiko aflatoksin tinggi mempunyai pola yang berlawanan dengan resiko aflatoksin rendah. Kandungan aflatoksin B1 tertinggi terdapat di grosir Bandung pada resiko aflatoksin tinggi sebesar 6.6 ppb dan di pengecer Bandung pada resiko aflatoksin rendah sebesar 6.8 ppb.
Gambar 18 Pengaruh interaksi antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan terhadap kandungan aflatoksin B1 pada kacang tanah. Menurut Gourama dan Bullerman (1995) produksi aflatoksin dipengaruhi oleh interaksi antara spesies cendawan, substrat dan lingkungan. Faktor yang mempengaruhi produksi aflatoksin dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu fisik (suhu, pH, kelembaban relatif dan kadar air, cahaya dan aerasi), nutrisi dan biologi. Kandungan aflatoksin B1 pada berbagai perlakuan, baik pada resiko aflatoksin rendah maupun tinggi tergolong rendah, diduga karena cara penanganan pascapanennya (pengeringan dan pengupasan polong) dilakukan secara layak.
23
SIMPULAN Kadar air kacang tanah berfluktuasi selama penyimpanan dan masih dalam taraf aman untuk kacang tanah yang disimpan. Persentase biji rusak meningkat selama penyimpanan. Setelah enam bulan penyimpanan persentase biji rusak di pengecer Bogor dan Jakarta relatif lebih tinggi dibandingkan di grosir, sedangkan di grosir dan pengecer Bandung persentase biji rusak relatif sama. Setelah enam bulan penyimpanan persentase biji rusak tertinggi diperoleh di pengecer Bogor. Populasi total cendawan di setiap tingkatan rantai distribusi dan di semua kota, baik pada resiko aflatoksin rendah maupun tinggi tidak berbeda nyata dan relatif konstan dari awal penyimpanan hingga empat bulan penyimpanan. Setelah enam bulan penyimpanan populasi total cendawan di grosir Bogor dan Jakarta lebih tinggi dibandingkan di pengecer, baik pada resiko aflatoksin rendah maupun tinggi. Sebanyak 15 spesies cendawan telah diisolasi, cendawan yang selalu terisolasi dari semua perlakuan adalah A. flavus, A. niger dan E. chevalieri. Populasi A. flavus di setiap tingkatan rantai distribusi dan di setiap kota pada resiko aflatoksin rendah maupun tinggi tidak berbeda nyata selama penyimpanan. Kandungan aflatoksin B1 di setiap kota meningkat selama penyimpanan. Lokasi dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap produksi aflatoksin B1 pada kacang tanah, sedangkan resiko aflatoksin dan tingkatan rantai distribusi tidak berpengaruh terhadap produksi aflatoksin B1. Lahan dengan resiko aflatoksin tinggi tidak berpengaruh terhadap populasi A. flavus dan kandungan aflatoksin B1 pada kacang tanah, karena produksi aflatoksin B1 antara lain dipengaruhi oleh cara penanganan pasca panen. Populasi total cendawan dan kandungan aflatoksin B1 tertinggi terdapat pada kacang tanah yang disimpan di grosir Bogor pada lahan dengan resiko aflatoksin rendah.
DAFTAR PUSTAKA Bala BK. 1997. Drying and Storage of Cereal Grains. New Hampshire : Science Publishers. Betina V. 1989. Mycotoxins : Chemical, Biological, and Environmental Aspect. Amsterdam : Elsevier.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Production of secondary food crops in Indonesia. http://www.bps.go.id/sector/agri/pangan/ table2. shtml [11 Okt 2005]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Indonesia 2005/2006. Jakarta : Badan Pusat Statistik. Christensen CM, Miller BS, Johnston JA. 1992. Moisture and its measurement. Di dalam : Sauer DB, editor. Storage of Cereal Grains and Their Product. Ed ke4. Minnesota : American Association of Cereal Chemist. hlm 39-54. Dharmaputra OS, Tjitrosomo HSS, Susilo HH. 1991. Aspergillus flavus and aflatoxin in peanuts collected from three markets in Bogor, West Java, Indonesia. Di dalam : Naewbanij JO, editor. Grain Postharvest Research and Development : Priorities for Nineteenth. Proceedings of the 12th ASEAN Seminar on Postharvest Technology; Surabaya, 29-31 Aug 1989. hlm 110-124. Dharmaputra OS, Putri ASR. 1997. Uji Antagonisme antara Eurotium chevalieri dan Fusarium moniliforme dengan Aspergillus flavus pada media biakan. Bogor : SEAMEO BIOTROP. Dharmaputra OS, Putri ASR, Retnowati I, Ambarwati S. 2001. Soil mycobiota of peanut fields in Wonogiri regency, Central Java : their effect on the growth and aflatoxin production of Aspergillus flavus in vitro. Biotropia No. 17. hlm 3059. Dharmaputra OS, Retnowati I, Ambarwati S. 2005a. Aspergillus flavus infection and aflatoxin contamination in peanuts at various stages of the delivery chain in Wonogiri regency, Central Java, Indonesia. Summary International Peanut Conference, Bangkok, 9-12 Jan 2005. hlm 109-111. Dharmaputra OS, Retnowati I, Ambarwati S, Maysra E. 2005b. Aspergillus flavus infection and aflatoxin contamination in peanuts at various stages of the delivery chain in Cianjur regency, West Java, Indonesia. Biotropia No. 24. hlm 1-19. Diener UL, Davis ND. 1969. Aflatoxin formation by Aspergillus flavus. Di dalam: Goldblatt LA, editor. Aflatoxin: Scientific Background, Control and Implications. New York : Academic Pr. hlm 13-54. [FAO] Food and Agricultural Organization, [WHO] World Health Organization. 1999. Codex Alimentarius Commission.
24
Food Standard Programme. Report of the Twenty-Third Session ; Rome, 28 Juni – 3 Juli 1999. Golob P. 1976. Techniques for Sampling Bagged Produce. Di dalam : Wright SPD, editor. Tropical Stored Products Information. Slough : Tropical Stored Products Centre. hlm 37-48. Gourama H, Bullerman LB. 1995. Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus : aflatoxigenic fungi of concern in foods and feeds : A review. J Food Protection 58 : 1395-1404. Lacey J, Magan N. 1991. Fungi in cereal grain : their occurrence and water and temperature relationship. Di dalam : Chelkowski J, editor. Cereal Grain : Mycotoxins, Fungi and Quality in Drying and Storage. Amsterdam : Elsevier. hlm 77-112. Lee NA, Kennedy IR. 2002. Analysis of Aflatoxin B1 in Peanuts. Bogor : SEAMEO BIOTROP. Mattjik AA, Sumertajaya M. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Ed ke-2. Bogor : IPB Press. Pitt JI. 1999. Controlling aflatoxins in peanuts by competitive exclusion of toxigenic fungi. Di dalam : Dietzgen RG, editor. Elimination of Aflatoxin Contamination in Peanut. ACIAR Proceedings No 89. Canberra : Australian Centre for International Agricultural Research. hlm 21-22. Pitt JL, Hocking AD. 1980. DichloranGlycerol medium for enumeration of xerophilic fungi from low-moisture foods. Appl Environ Microbiol 39:488492. Pitt JI, Hocking AD, Samson RA, King AD. 1992. Recommended methods for mycological examination of foods. Di
dalam : Samson RA, Hocking AD, Pitt JI, King AD, editor. Modern Methods in Food Mycology. Amsterdam: Elsevier. hlm 365-368. Pitt JI, Hocking AD. 1996. Current knowledge of fungi and mycotoxins associated with food commodities in Southeast Asia. Di dalam : Highley E, Johnson GI, editor. Mycotoxins Contamination in Grains. ACIAR Technical Reports 37:5-10. Pitt JI, Hocking AD. 1997. Fungi and Food Spoilage. London : Blackie Academic and Professional. Samson RA, Hoekstra ES, Frisvad JC, Filtenborg O. 1996. Introduction to FoodBorne Fungi. Ed ke-2. Baarn : Centralbureau voor Schimmelcultures. Sauer DB, Merenuck RA, Christensen CM. 1992. Microflora. Di dalam : Sauer DB, editor. Storage of Cereal Grains and Their Products. Ed Ke-4. Minnesota : American Association of Cereal Chemist, Inc. hlm 313-340. Savage GP, Keenan JI. 1994. The composition and nutritive value of groundnut kernels. Di dalam : Smartt J, editor. The Groundnut Crop. London : Chapman & Hall. hlm 173-205. Schmidt HL. 1991. Cereal grain structure and the way in which fungi colonize kernel cells. Di dalam : Chelkowski J, editor. Cereal Grain : Mycotoxins, Fungi and Quality in Drying and Storage. Amsterdam: Elsevier. hlm 1-22. [SNI] Standar Nasional Indonesia 01-392101995. 1995. Kacang Tanah. Jakarta ; Dewan Standardisasi Nasional. Wogan GN. 1969. Metabolism and biochemical effects of aflatoxins. Di dalam: Goldblatt LA, editor. Aflatoxin: Scientific Background, Control and Implications. New York : Academic Pr. hlm 152-184.
25
LAMPIRAN
26
Lampiran 1 Ketinggian dari permukaan laut dan curah hujan di kota Bandung, Bogor dan Jakarta pada tahun 2003 (BPS 2006) Kota Bandung Bogor Jakarta
Lampiran 2
Ketinggian d.p.l (m) 791 250 30
Curah hujan (mm/tahun) 2 200.6 2 387.1 1 903.8
Komposisi media yang digunakan untuk isolasi dan identifikasi cendawan (Pitt & Hocking 1997)
Dichloran 18% Glycerol Agar (DG18) Glukosa 10 g Pepton 5g 1g KH2PO4 0.5 g MgSO4.7H2O Gliserol 220 g Agar-agar batang merek AA 20 g (pengganti Bacto agar) Dikloran (0.2 % b/v di dalam 2 mg etanol, 1 ml) Kloramfenikol 100 g Akuades 1 000 ml Czapek Yeast Extract Agar (CYA) 1g KH2PO4 Konsentrat czapek* 10 ml Trace metal solution** 1 ml Ekstrak khamir 5g Sukrosa 30 g Agar-agar batang merek AA 20 g (pengganti Bacto agar) Akuades 1 000 ml
Czapek Yeast Extract Agar + 20% sucrose (CY20S) 1g KH2PO4 Konsentrat czapek* 10 ml Trace metal solution** 1 ml Ekstrak khamir 5g Sukrosa 200 g Agar-agar batang merek AA 20 g (pengganti Bacto agar) Akuades 1 000 ml * Konsentrat Czapek NaNO3 KCl MgSO4.7H2O ** Trace metal solution CuSO4.5H2O ZnSO4.7H2O Akuades FeSO4.7H2O Akuades
30 g 5g 5g
0.5 g 1g 100 ml 0.1 g 100 ml
27
Lampiran 3 Analisis ragam antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap kadar air kacang tanah Sumber Keragaman
Jumlah kuadrat
db
Kuadrat tengah
F hitung
Resiko aflatoksin
2.551
1
2.551
185.5**
Tingkatan rantai distribusi
8.281
1
8.281
602.3** 270.1**
Lokasi penyimpanan
7.427
2
3.714
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi
0.430
1
0.430
31.3**
Resiko aflatoksin*Lokasi penyimpanan
1.884
2
0.942
68.5**
Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan
11.072
2
5.536
402.6**
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan
0.215
2
0.108
7.8**
Galat a
0.165
12
0.014
Lama penyimpanan
26.631
6
4.439
313.3**
Resiko aflatoksin*Lama penyimpanan
1.176
6
0.196
13.8**
Tingkatan rantai distribusi*Lama penyimpanan
2.106
6
0.351
24.8**
Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
7.329
12
0.611
43.1**
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi*Lama penyimpanan
1.503
6
0.250
17.7**
Resiko aflatoksin*Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
1.086
12
0.091
6.4**
Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
12.872
12
1.073
75.7**
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
1.068
12
0.089
6.3**
Galat b
1.020
72
0.014
Keterangan :
* **
= =
Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 99%
28
Lampiran 4
Analisis ragam antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap persentase biji rusak kacang tanah Sumber Keragaman
Jumlah kuadrat
db
Kuadrat tengah
F hitung
Resiko aflatoksin
50.77
1
50.77
31.408**
Tingkatan rantai distribusi
21.07
1
21.07
13.033** 32.450**
Lokasi penyimpanan
104.90
2
52.45
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi
2.97
1
2.97
1.836
Resiko aflatoksin*Lokasi penyimpanan
109.63
2
54.82
33.915**
Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan
112.73
2
56.37
34.873**
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi *Lokasi penyimpanan
41.21
2
20.61
12.749**
Galat a
19.40
12
1.62
Lama penyimpanan
5998.21
6
999.70
Resiko aflatoksin*Lama penyimpanan
139.90
6
23.32
8.483**
Tingkatan rantai distribusi*Lama penyimpanan
190.98
6
31.83
11.580**
363.685**
Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
144.20
12
12.02
4.372**
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi*Lama penyimpanan
11.70
6
1.95
0.709
Resiko aflatoksin*Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
243.80
12
20.32
7.391**
Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
224.69
12
18.72
6.812**
Resiko aflatoksin* Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
131.28
12
10.94
3.980**
Galat b
197.91
72
2.75
Keterangan :
* = ** =
Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 99%
Lampiran 5
Serangan serangga pada kacang tanah setelah lima dan enam bulan penyimpanan
29
Lokasi penyimpanan
Tingkatan rantai distribusi
Resiko aflatoksin Rendah
Grosir Bandung
Serangan serangga pada penyimpanan bulan ke5 6 + ++
Tinggi
++
++
Rendah
+++
++++
Tinggi
++
+++
Rendah
+
+
Tinggi
+
+
Rendah
+
++++
Tinggi
+
+++
Rendah
+++
++++
Tinggi
++
++++
Rendah
++
+++
Tinggi
+++
+++
Pengecer
Grosir Bogor Pengecer
Grosir Jakarta Pengecer
Keterangan :
+
=
sangat rendah
++
=
sedang
+++
=
tinggi
++++
=
sangat tinggi
30
Lampiran 6 Analisis ragam antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap populasi total cendawan pada kacang tanah
Sumber Keragaman
Jumlah kuadrat
db
Kuadrat tengah
F hitung
Resiko aflatoksin
1.478963E+08
1
1.478963E+08
7.8982*
Tingkatan rantai distribusi
1.185245E+09
1
1.185245E+09
63.2961** 11.7417**
Lokasi penyimpanan
4.397379E+08
2
2.198690E+08
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi
6.173201E+07
1
6.173201E+07
3.2967
Resiko aflatoksin*Lokasi penyimpanan
2.183663E+08
2
1.091831E+08
5.8307*
Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan
4.179541E+08
2
2.089770E+08
11.1601**
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan
2.454821E+08
2
1.227411E+08
6.5548*
1.872541E+07
Galat a
2.247049E+08
12
Lama penyimpanan
2.458946E+09
6
4.098243E+08
11.9829**
Resiko aflatoksin*Lama penyimpanan
5.676821E+08
6
9.461369E+07
2.7664*
Tingkatan rantai distribusi*Lama penyimpanan
1.658667E+09
6
2.764445E+08
8.0830**
Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
3.389804E+09
12
2.824836E+08
8.2596**
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi*Lama penyimpanan
4.088444E+08
6
6.814073E+07
1.9924
Resiko aflatoksin*Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
1.302011E+09
12
1.085009E+08
3.1725**
Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
2.788650E+09
12
2.323875E+08
6.7948**
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
9.419219E+08
12
7.849349E+07
2.2951*
Galat b
2.462456E+09
72
3.420078E+07
Keterangan :
* = ** =
Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 99%
Lampiran 14 Analisis ragam antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap populasi Aspergillus flavus pada kacang tanah
31
Sumber keragaman
Jumlah kuadrat
db
Kuadrat tengah
F hitung
Resiko aflatoksin
14263.7
1
14263.71
1.231448
Tingkatan rantai distribusi
30618.0
1
30618.00
2.643384
Lokasi penyimpanan
42252.0
2
21126.01
1.823899
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi
16960.4
1
16960.38
1.464263
Resiko aflatoksin*Lokasi penyimpanan
16494.7
2
8247.34
0.712028
Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan
32240.8
2
16120.41
1.391744
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan
17259.2
2
8629.58
0.745029
Galat a
138994.6
12
11582.88
Lama penyimpanan
87112.6
6
14518.77
1.212765
Resiko aflatoksin*Lama penyimpanan
107935.1
6
17989.19
1.502651
Tingkatan rantai distribusi*Lama penyimpanan
85199.8
6
14199.97
1.186135
Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
205978.1
12
17164.84
1.433793
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi*Lama penyimpanan
97697.1
6
16282.85
1.360120
Resiko aflatoksin*Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
216224.2
12
18018.69
1.505115
Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
199937.1
12
16661.42
1.391742
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
209049.6
12
17420.80
1.455173
Galat b
861957.4
72
11971.63
Lampiran 15 Analisis ragam antara resiko aflatoksin, tingkatan rantai distribusi dan lokasi penyimpanan dengan lama penyimpanan terhadap kandungan aflatoksin B1 pada kacang tanah Sumber keragaman
Jumlah
db
Kuadrat
F hitung
32
kuadrat
tengah
Resiko aflatoksin
0.024
1
0.024
0.14
Tingkatan rantai distribusi
0.362
1
0.362
2.15
Lokasi penyimpanan
2.259
2
1.130
6.69*
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi
0.149
1
0.149
0.88
Resiko aflatoksin*Lokasi penyimpanan
0.111
2
0.055
0.33
Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan
0.035
2
0.017
0.10
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan
1.534
2
0.767
4.54*
Galat a
2.026
12
0.169
Lama penyimpanan
392.987
6
65.498
326.94**
Resiko aflatoksin*Lama penyimpanan
1.990
6
0.332
1.66
Tingkatan rantai distribusi*Lama penyimpanan
1.284
6
0.214
1.07
Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
19.113
12
1.593
7.95**
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi*Lama penyimpanan
1.405
6
0.234
1.17
Resiko aflatoksin*Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
3.610
12
0.301
1.50
Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
2.750
12
0.229
1.14
Resiko aflatoksin*Tingkatan rantai distribusi*Lokasi penyimpanan*Lama penyimpanan
1.582
12
0.132
0.66
Galat b
14.424
72
0.200
Keterangan :
* = ** =
Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% Berbeda nyata pada taraf kepercayaan 99%