96
Kustini dan Syaiful Arif
Penelitian
Kekristenan dan Nasionalisme di Kota Bogor Kustini
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Balitbang dan Diklat Kemenag RI, Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta
[email protected] dan
Syaiful Arif
Pascasarjana STAINU Jakarta
[email protected] Diterima Redaksi 19 Juli, diseleksi 22 September, dan direvisi 19 Oktober 2016 Abstract
Abstrak
This study aims at exploring the perspective of the Christians in regard to some aspects namely nationalism, Indonesia constitution (Pancasila) and plurality or locally called Bhinneka Tunggal Ika. This study was conducted in five churches located in Bogor city. The research findings show that the Christians understand nationalism in the humanistic light of nationalism that place humanism as the aim of nation building. In relation to Pancasila, the Christian faith cannot be mixed with Pancasila. But Pancasila in itself contains the Christian values. The Christian values have to become the guidance for the church community in implementing Pancasila. In regard to plurality, the church can be equated as a medium of plurality making. The church programs are designed as such in support of plurality development. The research findings recommend that there is a need to construct the ideas of Indonesian Christianity so that it is not just seen as a slogan.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menelusuri pandangan Kristen terkait dengan nasionalisme; (2) Mengetahui pandangan Kristen tentang Pancasila; (3) Mengetahui pandangan dan implementasi Kristen tentang kemajemukan sebagai dasar faktual Bhinneka Tunggal Ika. Penelitian dilakukan di Kota Bogor terhadap lima gereja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kristen memandang nasionalisme dalam terang humanistic nationalism yang meletakkan kemanusiaan sebagai tujuan pendirian Negara-bangsa. Dalam kaitannya dengan Pancasila, Iman Kristen tidak dapat dicampuradukkan dengan Pancasila, namun di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai Krsten. Iman Kristen harus menjadi pedoman bagi warga gereja dalam mengamalkan Pancasila. Dalam kaitannya dengan kemajemukan, gereja dapat diposisikan sebagai wadah persemaian kemajemukan. Program-program gereja didesain sedemikian rupa agar mendukung tumbuhnya kemajemukan. Hasil penelitian merekomendasikan perlunya perumusan lebih sistematis dan komprehensif atas gagasan “Kristen Indonesia” sehingga tidak terhenti hanya sebagai slogan.
Keywords: Christian, Nationalism, Pancasila, Pluralism, Bogor.
Kata kunci: Kristen, Nasionalisme, Pancasila, Kemajemukan, Bogor.
HARMONI
Mei - Agustus 2016
Kekristenan dan Nasionalisme di Kota Bogor
Pendahuluan Sebagai sebuah bangunan negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah final. Ini berarti tidak akan ada penggantian negara berdasarkan bentuk kenegaraan lain, misalnya negara agama atau negara berbasis ideologi politik tertentu. Hanya saja bagi sebagian pihak, bangunan NKRI belum diterima sepenuh hati. Penyebabnya, terdapat ideologi keagamaan yang tetap bermimpi untuk menegakkan idealitas sistem politiknya. Salah satu dari sekian kelompok yang tidak (belum sepenuhnya) menerima keberadaan NKRI adalah Jamaah Anshorut Tauhid (JAT). Beberapa pandangan dari Imam JAT, Abu Bakar Ba’asyir, yang secara jelas bertentangan dengan NKRI adalah menentang kebijakan penerapan azas Pancasila, menyerukan kepada anggotanya untuk tidak mengikuti sistem demokrasi yang dinilai JAT berasal dari orang kafir. Lebih dari itu, Abu Bakar Ba’asyir memandang NKRI sebagai negara kafir dan penguasanya adalah thagut karena tidak menerapkan hukum Islam (Karim, dalam Asnawati dan Rosidi, ed. 2015: 321). Kelompok lain yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga menolak eksistensi NKRI. Meskipun di atas kertas menerima Pancasila sebagai falsafah negara. (Arif, Syaiful. 2016: 28). Namun dasar negara Republik Indonesia (RI) ini tetap disubordinasikan di bawah ideologi Islamisme yang menurut mereka merupakan ideologi yang turun langsung dari Tuhan. Subordinasi Pancasila di bawah Islamisme ini merupakan pelunakan sikap HTI, yang pada tahun 1992 menyebut Pancasila sebagai falsafah kufur yang tidak sesuai dengan Islam (alBanshasila falsafah kufr la tattafiq ma’a alIslam). (Rofiq al Amin, Ainur, 2012: 62). Meskipun secara ideologis, sebagian besar umat Islam menerima NKRI beserta unsur-unsur kenegaraan turunannya; Pancasila, UUD 1945, dan
97
Bhinneka Tunggal Ika. Akan tetapi hal ini tidak cukup bagi praktik kenegaraan itu sendiri yang juga memuat kualitas kewarganegaraan. Kualitas ini merujuk pada praktik warga negara yang sesuai dengan Pancasila dan Konstitusi RI. Indikatornya jelas, yakni ketaatan dan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila, dimulai dari ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Dalam beberapa kasus di lapangan, nilai persatuan yang memuat penghargaan atas kemajemukan agama, menjadi hal sulit untuk dilaksanakan oleh umat beragama. Satu hal yang menarik untuk dicermati adalah bahwa NKRI bukan negara agama. Nilai ketuhanan sebagaimana spirit sila pertama, tidak mewakili ekslusivitas keagamaan. Ia, meminjam tesis Benjamin F. Intan, merupakan nilai-nilai agama publik (public religion). Dalam keterangan ini, nilai ketuhanan Pancasila memang lahir dari ajaran agama-agama, namun ia melampaui ekslusivitas agama sebab berada di dalam nilai universal agama. Artinya, nilai ketuhanan Pancasila merupakan prinsip ketuhanan semua agama, yang ditempatkan pada konsensus nasional dalam rangka kepentingan publik (res publica). (Intan, Benyamin, 2004: 32). Tidak hanya di level dasar negara, nilai-nilai agama juga terpatri dalam praktik kebangsaan. Ini terdapat pada peran agama dalam membangun paham kebangsaan (nasionalisme), sejak masa pembentukan pra-kemerdekaan, hingga penjagaan atasnya pasca 17 Agustus 1945 dari rongrongan paham dan gerakan kontra-NKRI. Sebut saja peran Islam baik di masa kolonialisme hingga pasca-kolonialisme. Kesepakatan ulama-ulama pesantren pada tahun 1936 untuk mendaulat wilayah HindiaBelanda (Nusantara) sebagai dar al-Islam, merupakan embrio bagi nasionalisme Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 2
98
Kustini dan Syaiful Arif
Islam (Islamic nationhood). Mengapa? Karena dar al-Islam di sini tidak dimaknai sebagai negara Islam (daulah Islamiyah), melainkan wilayah Islam. Hal ini didasarkan pada Kitab Bughyatul Mustarsyidin karya Syekh Abdurrahman al-Masyhur yang menetapkan dua syarat bagi dar al-Islam. Pertama, pernah berdirinya kekuasaan Islam. Dalam konteks Nusantara, hal ini terdapat pada pernah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, sejak Samudera Pasai, Demak, Mataram hingga Giri Kedaton. Kedua, kebebasan Muslim untuk menjalankan syariat Islam. Maka, meskipun pada saat itu Nusantara dikuasai pemerintahan kolonial Belanda yang non-muslim; status wilayah Nusantara tetap dar alIslam. Pengakuan ini menjadi dasar bagi nasionalisme berbasis nilai-nilai Islam, mengingat ia menjadi alasan mengapa Hadlratus Syeikh Hasyim Asy’ari, mewajibkan jihad membela NKRI dari serangan NICA, sebagai kewajiban syar’i (fardlu ‘ain) pada Oktober 1945 (Bizawie, Zainul Milal, 2014: 94). Pada ranah pergerakan, nasionalisme ini diperkuat dengan berdirinya gerakan-gerakan Islam progresif yang mendorong semangat kebangsaan, baik dalam rangka kontrapenjajahan maupun pro-keindonesiaan melampaui cita-cita eklusif politik Islam. Pendirian Syarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Wathon (1916) hingga Nahdlatul Ulama (1926) menunjukkan hal ini (Laffan, Michael Francis, 2003: 3). Semangat nasionalisme berbasis nilai-nilai keagamaan tidak hanya terlihat di kalangan masyarakat muslim, namun juga di semua agama di Indonesia. Kalangan Kristen mencoba memaknai misi Kristen yang awalnya dipahami sebagai pewartaan Injil, menjadi kesaksian atas kebenaran Kristus. Dalam paham pertama, misi mengarah pada dakwah doktrinal dengan target penambahan HARMONI
Mei - Agustus 2016
orang percaya. Sedangkan dalam paham kedua, misi dihadirkan (presensia) dalam bentuk nilai-nilai substantif kekristenan sehingga melebur dalam kerja-kerja kemanusiaan (Nuhrison, ed, 2015) Dalam kerangka inilah kaum Kristiani menopang kebangsaan Indonesia sebagai medan pengabdian bagi persemaian Kasih Kristus. Untuk maksud mengetahui lebih lanjut tentang nilai-nilai keagamaan Kristen dalam memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka penelitian ini dilakukan. Penelitian ini menggali secara mendalam akan beberapa hal, yaitu: (1) Bagaimana konsep Kristen terkait dengan nasionalisme? (2). Bagaimana pandangan Kristen tentang Pancasila? (3) Bagaimana pandangan Kristen tentang kemajemukan sebagai dasar faktual dari Bhinneka Tunggal Ika? (4). Bagaimana umat Kristen mengimplementasikan nilai-nilai kemajemukan?
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus terhadap komunitas Kristen di Kota Bogor. Dari beberapa lembaga keagamaan Kristen di Bogor, kemudian dipilih subjek penelitian meliputi lima gereja, satu persekutuan, dan satu lembaga studi kekristenan. Secara berturut-turut subjek tersebut serta informan lain terpilih meliputi; Gereja Beritakan Injil (Pdt. Kristanto), Gereja Kristus (Pdt. Handri Rusli), Gereja Baptis Indonesia Pabaton Bogor (Pdt. Dwi Arifin), Gereja Pentakosta Indonesia (Pdt. Jonny Parhusip), Gereja Kristen Indonesia Bogor Baru (Pdt. Darwin Darmawan), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia Setempat/PGIS (Pdt. Celcius Bonar), The Leonard Institute (Pdt. Aria Hadikusuma). Informan dari pejabat Kementerian Agama Kota Bogor adalah
Kekristenan dan Nasionalisme di Kota Bogor
Pembimas Kristen Kota Bogor (Harapan Nainggolan). Dengan demikian, subjek atau informan penelitian ini berjumlah delapan dan merupakan representasi utama umat Kristiani di Kota Bogor serta Pembimas Kristen Kementerian Agama Kota Bogor. Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, kajian dokumen dan Focus Group Discussion.
Hasil dan Pembahasan Sekilas Kota Bogor Penelitian ini dilaksanakan di Kota Bogor, sebuah wilayah yang berdekatan dengan ibu kota DKI Jakarta dan merupakan wilayah penyangga Jakarta. Dari arah ibukota Jakara, Bogor terletak sekitar 58 km. Kota Bogor terletak di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor. Semua arah wilayah Kota Bogor ini berbatasan dengan kecamatankecamatan yang ada di Kabupaten Bogor. Di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kemang, Bojong Gede, dan Kec. Sukaraja Kabupaten Bogor, sebelah timur berbatasan dengan Kec. Sukaraja dan Kec. Ciawi, Kabupaten Bogor, sebelah Barat berbatasan dengan Kec. Darmaga dan Kec. Ciomas Kabupaten Bogor, dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Cijeruk dan Kec. Caringin, Kabupaten Bogor. Menurut hasil Sensus Penduduk Tahun 2010, penduduk Kota Bogor berjumlah 950.334, terdiri atas 484.791 laki-laki, dan 465.543 perempuan. Pada tahun 2014 umat beragama di Kota Bogor berdasarkan agama yang dipeluk adalah: Islam 764.401 orang, Kristen 34.016 orang, Katolik 18.619 orang, Hindu 4.750 orang, Buddha 5.988 orang, Konghucu 448 orang, dan lainnya 54 Orang. Sebagaian besar penduduk tersebut terkonsentrasi di Bogor Barat, yakni Islam 200.421 orang, Kristen 5.182 orang, Katolik 2.730
99
orang, dan Hindu 284 orang. Tidak tercatat mereka yang menganut agama Konghucu. Dilihat dari komposisi penduduk tersebut, terlihat bahwa Kota Bogor merupakan wilayah yang heterogen. Meski demikian, seperti juga wilayah lainnya di Jawa Barat, Islam merupakan agama yang dominan dipeluk penduduk Kota Bogor. Suasana Islami terlihat dari tumbuhnya ormas-ormas keagamaan Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Di samping itu sarana ibadah Islam seperti masjid dan musholla dapat dengan mudah ditemukan, baik di tempat yang khusus didirikan untuk masjid maupun di tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan maupun kantor-kantor. Sejauh ini kehidupan keagamaan di Kota Bogor tidak terdengar ada konflik yang berarti kecuali kasus pendirian GKI Yasmin yag berlokasi di Taman Yasmin III, di Jln. K.H. Abdullah bin Nuh No. 31, Curug Mekar, Bogor Barat, Kota Bogor. Banyak kajian telah dilakukan terkait kasus tersebut. Salah satu kajian menyebutkan bahwa kasus GKI Yasmin adalah kasus perselisihan segitiga (Pemkot-GKIwarga) terkait rencana pendirian gereja yang disebabkan sejumlah hal. Halhal itu antara lain terbitnya IMB yang “diduga” cacat hukum, keterbatasan dan bias informasi pendirian rumah ibadat, serta pseudo-intoleransi yang berkaitan dengan praktik penyiaran agama yang tidak sewajarnya (Ruhana, 2013: 153). Kasus ini menjadi isu besar berkembang di tingkat internasional, karena media massa serta peran beberapa aktivis yang juga dari Indonesia yang membuka kasus ini di pertemuan-pertemuan tingkat internasional. Penelitian ini difokuskan pada penggalian terhadap nilai-nilai yang ada pada agama Kristen terkait dengan Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 2
100
Kustini dan Syaiful Arif
fungsinya dalam memperkuat NKRI. Ada beberapa gereja dan lembaga yang secara khusus dipilih menjadi fokus penelitian yaitu: Gereja Beritakan Injil di Jl. Pabaton Nomor 54 Bogor Tengah Kota Bogor, Gereja Baptis Indonesia Pabaton Jl. Sawojajar Nomor 1 Kota Bogor, Gereja Kristus Jl. Siliwangi Nomor 51 Bogor, Gerja Pentakosta Indonesia, Gerja Kristen Indonesia Bogor Baru, dan PGIS.
Kekristenan dan Nasionalisme Hubungan Kristen dan nasionalisme berakar pada dua hukum kasih. Yakni kasih kepada Tuhan, dan kasih kepada sesama manusia. Dalam hal ini, nasionalisme berpijak pada konsep tentang komunitas yang dibayangkan (imagined community). Karena tidak terdapat ikatan yang menyatukan orang, suku, agama dan kelompok, maka ikatan tersebut ialah perasaan akan adanya komunitas yang dibayangkan yang menyatukan berbagai perbedaan itu dalam kesatuan kebangsaan (Anderson, Benedict, 1991:65). Dalam konteks Kristen, perekat dari pembayangan komunitas bersama itu ialah kemanusiaan, berdasarkan salah satu hukum kasih di atas. Sebab mengasihi hanya kepada sesama Kristiani bukanlah bagian dari kekristenan. Hal ini berangkat dari sifat kasih Tuhan yang universal, yang menyentuh kepada sesama melintasi teritori, suku, dan agama apapun. Dengan demikian, hukum kasih ini memiliki wajah ganda. Di satu sisi ia bersifat universal, yakni menyentuh kemanusiaan secara umum, sehingga melintasi sekat-sekat bangsa. Namun pada saat bersamaan, ia menjadi dasar bagi penerimaan kehidupan bangsa, sebab kemanusiaan terdapat pula dalam wilayah kebangsaan. Pada level universalitas, kemanusiaan HARMONI
Mei - Agustus 2016
melampaui bangsa. Sedangkan pada level kebangsaan, kemanusiaan melampaui sekat-sekat agama. Dengan demikian, visi Kristen tentang nasionalisme ialah humanistic nationalism (nasionalisme humanistik) yang meletakkan kemanusiaan sebagai tujuan pendirian negara-bangsa (nationstate). Hal ini terkait dengan latar historis pemikiran politik Kristen secara umum, yang tumbuh berbarengan dengan Pencerahan (Enlightenment), sekularisasi dan humanisme. Dan akar dari semua ini ialah Reformasi Gereja yang dikembangkan oleh Martin Luther. Penjelasannya seperti ini: Pandangan humanistik atas nasionalisme ini lahir dari hukum kasih yang bersifat substantif. Sifat ini mendasari semua prinsip teologis, termasuk pandangan atas hubungan agama dan negara. Oleh karenanya, dalam melihat konsep kenegaraan Kristen; pandangan ini mengajukan konsep the Kingship of God, daripada the Kingdom of God untuk memahami Kerajaan Allah. The Kingship of God merujuk pada dimensi, nuansa atau prinsip-prinsip kekuasaan Tuhan. Ini tidak mengandaikan berdirinya suatu Kerajaan Tuhan dalam arti institusional dan geografis. Sedangkan kingdom merujuk pada kekuasaan teritorial yang memiliki lembaga kerajaan. Ajaran Yesus tentang Kerajaan Tuhan “yang tidak berada di muka bumi ini”, menyiratkan suatu Kingship of God daripada the Kingdom of God. Pertanyaannya, apakah prinsip pengaturan ketuhanan itu, yang tidak membutuhkan pendirian Kerajaan Tuhan secara institusional? Jawabannya terletak pada dua hukum kasih di atas, yang memiliki prinsip mengasihi sesama, tidak hanya kepada sesama Kristiani, melainkan sesama manusia. Dari prinsip the Kingship of God inilah, umat Kristen di Indonesia menerima NKRI, karena selain tidak memiliki konsep dan kehendak pendirian Negara Kristen Indonesia;
Kekristenan dan Nasionalisme di Kota Bogor
juga karena terdapat hukum kasih di dalam Pancasila, yang merujuk pada sila kemanusiaan (sila kedua) dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (sila kelima). (Wawancara dengan Pendeta Darwin Darmawan, GKI Bogor, 10 Juni 2015). Pandangan atas nasionalisme juga dimiliki oleh kalangan Kristen yang bersifat transformatif, yang menekankan nilai keadilan sosial sebagai perwujudan utama dari politik. Untuk mencapai pandangan ini, kalangan Kristen mencoba lepas dari paham pietisme (kesalehan personal) awal yang dibawa oleh zending Eropa Lutheran ke Indonesia. Paham ini menekankan kesalehan pribadi dan anti terhadap politik. Bergumulan dengan kolonialisme Belanda membuat kaum Kristiani pribumi mengalami pergulatan teologis, demi pembelaan atas tanah air. Ini yang membuat para pendeta Gereja Gereformeerd mendirikan Christelijk Ethische Partij (CEP, Partai Etis Kristen) pada 1917 yang ikut mendorong imajinasi akan Indonesia merdeka. Salah satu pendetanya, Pdt. Basoeki Probowinoto dari Gereja Kristen Jawi kemudian mendirikan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) setelah di masa muda melakukan reinterpretasi atas Surat Roma 13, yang melarang perlawanan kepada pemerintah karena ia merupakan hamba Tuhan yang diberi kekuasaan oleh-Nya. Keterlibatan gereja dalam politik dalam pandangan ini dilakukan oleh Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI). Dalam Forum Konsultasi Teologi di Sukabumi tahun 1970, ditetapkanlah “Pergumulan Rangkap” yang menempatkan misi gereja tidak hanya dalam pergumulan keruhanian tetapi juga sosial-politik. Secara konseptual doktrinal, hal ini dirumuskan pada Sidang Raya PGI 1984 di Ambon yang melahirkan pemikiran politik Kristen Indonesia, sebagai berikut: “Dalam penantian penggenapan rencana penyelamatan Allah
101
itu, Allah menetapkan pemerintah sebagai hamba-Nya, yang diperlengkapi dengan wewenang untuk memuji perbuatan baik dan menghukum perbuatan jahat (Roma 13:1-7). Tetapi pemerintah dapat juga menyalahgunakan kuasanya itu (Wahyu 13). Oleh sebab itu, gereja terpanggil untuk mendoakan dan membantu pemerintah dalam menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah demi kebaikan semua orang, dan ikut menjaga agar pemerintah tidak menyalahgunakan kuasa yang diberikan Allah kepadanya (1 Timotius 2:1-2). Apabila pemerintah melampaui batas kekuasaannya, maka orangorang percaya harus lebih takut kepada Allah daripada kepada manusia” (Kisah Para Rasul 5:29). Dalam konteks NKRI, konsep politik ini kemudian dipraksiskan oleh PGI dalam PTPB tahun 2009. Rumusan tersebut memuat: “Gereja mempunyai tanggung jawab politik dalam arti turut serta secara aktif dalam mengupayakan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan memperjuangkan keseimbangan antara kekuasaan (power), keadilan (justice) dan kasih (love). Orang Kristen terpanggil untuk membangun kesejahteraan bersama” ((Daulay, Richard, 2016: 93 – 96). Dari rumusan ini, terdapat beberapa hal yang menarik. Pertama, kekristenan menempatkan pemerintah sebagai hamba Tuhan. “Tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Tuhan”, demikian salah satu prinsipnya. Akan tetapi, pemahaman ini dibarengi dengan kewaspadaan akan potensi pemerintah untuk menyimpang dari tujuan yang selaras dengan nilainilai kekristenan. Jika hal ini terjadi, maka umat Kristen harus lebih takut dengan Tuhan daripada dengan pemerintah. Kedua, rumusan pemikiran politik Kristen Indonesia yang telah diterapkan dalam konteks Pancasila dan UUD 1945 yang mengerucut pada tiga nilai; kekuasaan, keadilan dan kasih dengan muara utama kesejahteraan bersama. Ketiga nilai yang menjadi Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 2
102
Kustini dan Syaiful Arif
perasan Pancasila dan UUD 1945 ini menarik, sebab ia mengakui kekuasaan sebagai pranata yang dibutuhkan untuk menegakkan keadilan dan kasih. Sedangkan penempatan kesejahteraan bersama sebagai muara dari keadilan, menunjukkan sifat praksis nilai kasih, yang tidak abstrak melainkan konkret, karena ia berbentuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian, politik keindonesiaan Kristen yang dirumuskan oleh PGI ini hendak mengembalikan praktik kekuasaan kepada tujuan pendirian negara yakni keadilan atau kesejahteraan bersama, sebagai wujud dari nilai-nilai kasih. Rumusan ini bisa terlihat lebih jelas pada gambar berikut:
Dari sini terlihat bahwa ujung dari doktrin kasih ialah keadilan yang dipraksiskan dalam bentuk kesejahteraan bersama. Dalam hal ini PGI telah meletakkan dimensi sosial-politik di dalam terma keadilan. Dengan demikian, keadilan di sini mencakup semua sektor, baik hukum, politik maupun sosialekonomi. Terma kesejahteraan bersama HARMONI
Mei - Agustus 2016
mengandaikan terwujudnya keadilan struktural yang meliputi keadilan politik dan hukum yang berujung pada keadilan ekonomi. Ini merupakan pengejawantahan dari kasih Kristus yang bisa diwujudkan melalui kekuasaan (Wawancara dengan Pdt. Celicius Bonar dari PGIS Kota Bogor, 8 Juni 2015). Secara umum, pandangan tokohtokoh Kristen tersebut bersifat positif atas NKRI. Mereka juga memiliki pandangan yang seragam terutama terkait dengan argumentasi kitab suci (Injil) atas nasionalisme, Pancasila dan kemajemukan bangsa. Pada saat bersamaan, di Kota Bogor terdapat gerakan “Kristen Indonesia” yang dipelopori oleh The Leonard Institute, sebuah lembaga riset dan kajian kebangsaan yang dipimpin oleh Pdt. Aria Hadikusuma, seorang pendeta dari Gereja Kristen Jawa Barat. The Leonard Institute merupakan lembaga studi dan kerukunan antar-agama yang terinspirasi oleh gerakan Ki Leonard, seorang penginjil awal di Kota Bogor pada awal abad ke-19, yang mengedepankan pendekatan kultural kesundaan dalam mendakwahkan Kristen. Pendekatan yang bersifat lokal ini dilakukan Ki Leonard untuk mengimbangi pendekatan penginjil Belanda yang membawa nuansa Barat. Ini yang menjadi sumber bagi gagasan “Kristen Indonesia” yang kini dikembangkan para aktivis The Leonard Institute yang mengarah pada dua hal. Pertama, pribumisasi Kristen ke dalam budaya Sunda. Kedua, pengembangan kerukunan antar-agama melalui dialog lintas agama. Tidak hanya terhenti pada dialog, lembaga ini telah memprakarsai gerakan ekologis lintas agama melalui pembuatan “biopori”: lubang poripori bumi dalam rangka penciptaan perembesan air untuk menghindari banjir. Aksi ini dilakukan melibatkan umat lintas agama, sehingga di satu sisi menciptakan kerukunan beragama dan di sisi lain melakukan aksi bersama untuk kebaikan Kota Bogor. (Wawancara dengan Pdt. Aria Hadikusuma, 8 Juni 2015).
Kekristenan dan Nasionalisme di Kota Bogor
Hanya saja sisi progresif dari pandangan keagamaan ini masih berbenturan dengan realitas kebangsaan di kota tersebut, terutama terkait dengan toleransi antar-agama. Hal ini bisa dilihat pada berbagai kasus rumah ibadah (gereja) yang mendapat penentangan sebagian kelompok, misalnya yang dialami oleh jemaat Gereja Kristen Indonesia Bogor Baru, dan yang terkenal, Gereja Jasmin. Namun hal tersebut merupakan sisi regresif yang minor, sebab secara mainstream para pendeta telah mengembangkan gerakan kerukunan antar-agama, salah satunya melalui pendirian Badan Sosial Lintas Agama yang diprakarsai oleh Pdt. Darwin Darmawan (GKI Bogor Baru), bekerjasama dengan kalangan muslim, terutama Nahdlatul Ulama (NU) dan pesantren.
Kristen dan Pancasila Bagi para tokoh Kristen Kota Bogor, bangsa Indonesia, sejak dulu telah dikenal sebagai bangsa yang religius, bangsa yang memiliki kepercayaan dan hubungan dengan Sang Pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa, yang dinyatakan dalam sikap hidup yang didasarkan kepada ajaranajaran agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang penuh toleransi di antara pemeluk-pemeluknya. Jika dicermati, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa memang telah diakui oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat catatan sejarah dari masa ke masa yang menunjukkan, bahwa agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah menjadi dasar dan memberikan warna terhadap semua segi kehidupan bangsa. Mengutip kata sambutan Dr. J. Leimena pada pembukaan Sidang Raya Dewan Gereja-gereja di Indonesia ke-5 tahun 1964 di Istora Senayan, Jakarta,
103
Pdt. Kristanto (Gereja Beritakan Injil) Kota Bogor menyatakan bahwa “Apa yang gereja-gereja kehendaki adalah sebenarnya paralel dengan apa yang negara juga kehendaki.” Dan apa yang gereja-gereja kehendaki pada waktu itu adalah Gereja Kristen yang Esa di Indonesia.” Menurutnya, Negara Republik Indonesia juga sejak 1928 adalah bangsa yang berjuang untuk kesatuan bangsa dan wilayah. Bangsa Indonesia sebagai sebuah negara dipenuhi dengan masyarakat yang majemuk, tidak hanya dalam hal agama semata tetapi juga dalam hal lainnya seperti bahasa dan suku bangsa. Oleh karena itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah model yang paling tepat dan harus dipertahankan oleh setiap komponen (pemimpin bangsa dan rakyat Indonesia). Namun harus diakui bahwa seringkali muncul pergumulan dan sebuah pertanyaan penting yang nampaknya terus menjadi bahan refleksi, khususnya bagi setiap orang Kristen, yaitu: bagaimanakah seharusnya memahami relasi gereja dan negara dalam jangkauan Pancasila dan UUD 1945? Alkitab dengan jelas mencatat dalam Roma 13:1-7 bahwa tiap-tiap orang harus tunduk kepada pemerintah, sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah. Sebab itu barangsiapa yang melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya akan mendatangkan hukuman atas dirinya. Umat Kristen harus meyakini dan melakukannya dengan penuh tanggung-jawab. Hal ini bukan berarti bahwa umat Kristen menyerahkan diri kepada negara tetapi ia menyerahkan diri kepada imannya, yang mengajarkan untuk menjadi warga negara yang baik. Sebagai warga negara, gereja sadar bahwa agama Kristen bukanlah negara tetapi merupakan bagian dari negara, Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 2
104
Kustini dan Syaiful Arif
di mana agama Kristen turut untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Iman Kristen tidak mewajibkan orang-orang Kristen untuk membangun negara Kristen melainkan mengajarkan umatnya untuk bersama-sama dengan masyarakat Indonesia lainnya untuk membangun bangsa ini. Iman Kristen dengan Pancasila tidak dapat di campuradukan, karena masing-masing mempunyai falsafah tersendiri, namun di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai Iman Kristen. Dalam terang pengakuan dan kepercayaan itulah, setiap orang sebagai umat Kristen berpartisipasi sepenuhnya dalam usaha bangsa dan negara untuk melanjutkan pembangunan nasional sebagai pengamalan dari silasila Pancasila. Dengan demikian baik itu nilai-nilai Pancasila yang sangat diyakini kebenarannya, maupun nilainilai Kristiani yang menjadi dasar untuk berperilaku dan bertindak; dalam penerapannya tergantung pada masing-masing individu, apakah mau melakukannya atau tidak (Yewangoe, A.A., 2002:35). Umat Kristen dalam iman yang diyakininya mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan moral bangsa karena apa yang dijabarkan oleh Pancasila mengenai nilai-nilai hidup, tercermin dalam iman Kristen. Oleh karena itu, maka iman Kristen harus menjadi pedoman bagi warga gereja dalam mengamalkan Pancasila. Jika diteliti, setiap butir dalam Pancasila ternyata tidak bertentangan dengan Alkitab. Berikut penjelasan singkat: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa. Alkitab menegaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan pencipta langit dan bumi beserta segala isinya (Mazmur 121:1-2), dan Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan Yang Maha Kasih (1 Yohanes 4:8). HARMONI
Mei - Agustus 2016
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Alkitab mencatat bahwa manusia itu agung dan mulia karena manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang dibentuk atau diciptakan Allah dengan istimewa (Kejadian 2:7; Mazmur 8:4-6). 3. Persatuan Indonesia. Alkitab juga mengingatkan bahwa tidak ada seorangpun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri (Roma 14:7-8). 4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan. Alkitab menjelaskan bahwa orang Kristen seharusnya bersandar pada hikmat Tuhan serta tidak bergantung pada kepandaian diri, selain itu juga dalam merencanakan sesuatu untuk kepentingan bersama perlu untuk didiskusikan bersama (Amsal 24:3-7). 5. Keadilan Sosial bagi Rakyat Indonesia. Alkitab memberikan intruksi yang sama di mana orang Kristen diminta untuk menunjukkan keadilan kepada orang lemah, anak yatim, orang sengsara dan orang kekurangan (Mazmur 82:3), serta saling membantu dengan sesama (Galatia 6:10). (Simatupang, TB, 1984:73-80) Secara singkat dan sekilas terlihat bahwa menurut ajaran Kristen, sila-sila dalam Pancasila tidak bertentangan dengan Alkitab. Bahkan dalam pelaksanaannya, Alkitab secara konsekuen telah mendukung apa yang terdapat dalam Pancasila (Wawancara dengan Pdt. Kristanto, GBI Kota Bogor, 10 Juni 2015).
Kristen dan Implementasi Kemajemukan Pandangan Kristen tentang kebangsaan tidak hanya terhenti pada pandangan atas Pancasila, NKRI dan
Kekristenan dan Nasionalisme di Kota Bogor
ideologi nasionalisme secara umum, melainkan praktik kebangsaan terutama dalam menyikapi kemajemukan bangsa. Pdt. Dwi Arifin dari Gereja Baptis Indonesia Pabaton Bogor, menyatakan, “Warga gereja dan gereja yang ada di Indonesia adalah penduduk dan lembaga yang berada di tengah bangsa dan negara Indonesia. Keberadaannya, secara hukum, sosial dan budaya tidak dapat terlepas begitu saja dengan kebangsaan Indonesia. Meskipun terkait dengan pandangan teologis tentang hubungan gereja-negara yang berbeda-beda, akan tetapi fakta status keberadaan (fact existence standing) tidak dapat dilepaskan: ada di Indonesia. Dengan demikian, adalah baik bila gereja mengatur diri pada posisi, bahkan peran dan peranan yang mendukung, terlebih lagi efektif memengaruhi tujuan baik berbangsa Indonesia”. Dalam kaitannya dengan kemajemukan atau keragaman, ia mengemukakan beberapa sub-topik yang mengarah pada penemuan jawaban atas pertanyaan: bagaimana gereja dapat turut serta membina kemajemukan bangsa melalui persekutuan anggota yang majemuk dalam gereja lokal? a. Tuhan Memperhatikan Manusia
Semua
Hal ini dapat dilihat dalam kasus Yunus yang diutus ke Niniwe. Dari Yunus pasal 1, tampak Tuhan memberi perhatian terhadap lingkungan luar yaitu Niniwe dengan jalan mengutus Yunus sebagai salah satu anggota umat pilihan untuk menyatakan perhatian Tuhan terhadap orang lain (warga Niniwe). Pada Zaman Yesus, Dia membawa gebrakan tentang pentingnya inklusivisme. Yesus tidak menutup diri dari kemajemukan kebudayaan. Yesus tidak memandang muka dalam pergaulan masyarakat majemuk. Ketika seorang perempuan Kanaan
105
hendak meminta tolong (Matius 15:21-28) dan seorang Perwira Roma meminta kesembuhan (Lukas 7:110), Yesus menjawab kebutuhan mereka dan menolong mereka. Ini menyatakan Tuhan Yesus sendiri menghargai keberagaman dan perbedaan budaya. b. Rencana Keselamatan bagi Semua Bangsa
Dalam Yoh. 3:16 dikatakan bahwa karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini. Di sini terlihat bahwa rencana keselamatan itu bukan hanya untuk bangsa pilihan (Israel) melainkan untuk semua orang. Allah tidak membeda-bedakan manusia (Allah tidak pilih kasih). Allah tidak hanya mengasihi orang Kristen melainkan Allah menerima semua orang tanpa memandang bangsa.
c. Menghargai Kemajemukan, Kunci Kesatuan Mengakui keberagaman dalam praksis pergaulan menjadi tuntutan pada saat ini. Mengakui keberagaman tidak berarti memadukan berbagai unsur perbedaan (sinkretisme). Multikulturalisme adalah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian budaya adalah para pendukung budaya, baik secara individual maupun secara kelompok. d. Penghargaan atas Kemajemukan Perlu Dijunjung Tinggi
Perbedaan budaya harus dipandang sebagai anugerah Allah, untuk melihat keterbatasan suatu budaya dan memperluas pemahaman dan kompleksitas ciptaan-Tuhan. Bersikap inklusif kritis menjadi diperlukan, namun tetap diperlukan filterisasi dengan Firman Tuhan yang menjadi otoritas tertinggi di atas Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 2
106
Kustini dan Syaiful Arif
budaya (pertimbangkan 1 Korintus 10:23). Proses akhirnya adalah bukan sinkretisme, tetapi kontekstualisasi. Dalam Gereja, ada kemajemukan, termasuk segi budaya. Kemajemukan karunia dari jemaat adalah fakta yang telah dirancangkan Tuhan. Kemajemukan tersebut bukan untuk perselisihan, justru untuk saling melengkapi dan membentuk keutuhan yang lengkap dan sempurna sebagai sebuah gereja. Persekutuan (koinonia) menjadi pintu masuk (entry gate) bagi maksud membina kemajemukan jemaat. Esensi dari “gereja” adalah sebagai Persekutuan. Orang Kristen dan gereja patut turut memberi sumbangan bagi kesatuan di dalam kemajemukan budaya Indonesia. Gereja memberikan pengajaran jemaat, mengatur pembudayaan, serta mengembangkan program dan kegiatan yang mendukung kesatuan bagi kemajemukan di Indonesia. Gereja mendasarkan pandangannya pada fakta dan pembinaan keragaman karunia dalam gereja; serta mengembangkan praksisnya dengan memulai dari gereja lokal sebagai komunitas kecil untuk Indonesia sebagai komunitas yang lebih besar. Anggota-anggota jemaat dalam suatu gereja tentu memiliki latar belakang yang beragam, baik dalam segi karunia, minat, latar belakang, serta dalam hal usia, sosial, pendidikan dan budaya. Gereja yang terdiri dari beragam anggota-anggota jemaat tersebut menjadi tempat persiapan dan latihan awal untuk pembinaan kemajemukan. Melalui gereja, yang memiliki dasar kuat untuk melaksanakan prinsip kesatuan dan persekutuan (koinonia); yakni kebenaran dalam Alkitab; maka maksud membina kesatuan dalam keragaman adalah suatu keniscayaan. Gereja mengatur sedemikian rupa agar memiliki kebijakan, kegiatan, dan program yang mendukung pembinaan HARMONI
Mei - Agustus 2016
kemajemukan. Kegiatan-kegiatan persekutuan yang menjadi andalan dalam gereja lokal patut dikembangkan dengan sungguhsungguh. Persekutuan yang positif dan konstruktif diadakan secara rutin untuk membina dan memperkuat kesatuan dalam kemajemukan dalam gereja (unity in diversity). Selain itu, kebijakan yang berhubungan dengan interaksi antaranggota, dalam pemberian kesempatan melayani dan kepengurusan; serta dalam pelibatan dan penugasan perlu yang mendukung pembinaan kemajemukan juga. Kegiatankegiatan praktis diatur sedemikian rupa agar terjalin komunikasi, interaksi, bahkan pengaruh-memengaruhi antaranggota dengan ragam budayanya dengan baik. Bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatunya, tetapi bahasa-bahsa daerah didorong untuk diekspresikan. Setiap budaya yang memiliki hal baik dan sesuai Firman Tuhan, dikembangkan, sebaliknya bagian dari budaya dan kebiasaan yang buruk dan bertentangan dengan Alkitab, ditekan. Mengurangi bentuk acara atau bagian acara yang terlalu menonjolkan hanya satu suku saja; sebaliknya memberi kesempatan setiap suku yang ada untuk mengekspresikan pendapat atau karya seni menurut budaya suku atau daerahnya. Lebih lanjut, program-program khusus perlu dikelola sedemikian rupa agar mendukung kepada pembinaan kemajemukan. Gereja dapat mengadakan program Kebaktian rutin dengan berbahasa Bahasa Indonesia yang menyatukan; serta dengan terbuka bagi semua orang dari berbagai suku bangsa Indonesia. Pemberitaan (pewartaan) Injil dikerjakan kepada berbagai suku yang ada, baik yang ada di sekitarnya maupun yang jauh daerah daerah di mana gereja berada. Gereja dapat melaksanakan program yang secara eksplisit bermaksud membina kemajemukan bangsa Indonesia; seperti
Kekristenan dan Nasionalisme di Kota Bogor
menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, mengenakan pakaian adat, merayakan upacara kemerdekaan Indonesia, bekerjasama dengan pemerintah untuk mengadakan pelayanan social, dan lain sebagainya (Wawancara dengan Pdt. Dwi Arifin, Gereja Baptis Indonesia Pabaton Bogor, 15 Juni 2015). Dalam skala nasional, perawatan kemajemukan seperti tergambar dalam aktivitas beberapa gereja Kristen di Bogor juga telah menjadi bagian dari beberapa perguruan tinggi bercirikan Kristen di daerah lain. Sebagai contoh, Institut Pendidikan Theologi (IPTh) Balewiyata Malang mengembangkan Program Studi Intensif Islam (SITI) yang kemudian dikembangkan menjadi Studi Intensif tentang Islam dan Kristen (SITIK). Program ini diadakan melalui live in secara silang antara umat Islam dan umat Kristen. (Arif, Syaiful. 2014: 84).
Penutup Dari paparan di atas terlihat bahwa para pendeta di Kota Bogor telah melakukan penyelarasan teologis antara iman Kristen dengan kebangsaan Indonesia. Ini dilakukan bukan demi adaptasi politis yang bersifat paksaan dari luar diri. Melainkan ekspresi paham keagamaan yang secara inheren memang bersifat nasionalistik. Paham keagamaan ini pertama kali merujuk pada perintah utama Kristus, yakni “Kasihilah orang lain seperti engkau mengasihi dirimu sendiri”. Kasih
107
ini yang menjadi prinsip sikap mengasihi, solidaritas, dan saling menghormati lintas iman, suku, dan bangsa. Kasih Kristen bersifat universal, yakni melampaui kebangsaan. Namun justru karena ia universal, ia bisa diterapkan untuk semua manusia di semua bangsa. Demikian pula pandangan politik yang tidak bersifat formalis, yang menghendaki sebuah Negara Kristen. Sebab ketika Kristus menyatakan, “Kerajaan-Ku tidak di dunia ini”. Itu berarti, ideal masyarakat dan bahkan kekuasaan-Nya tidak mewujud di dunia ini, yang mengandaikan bentuk institusional dan politis. Ini yang membuat para pendeta di Kota Bogor memahami makna “Kerajaan Allah” secara prinsipil, melalui prinsip-prinsip kekuasan Tuhan (the kingship of God) dan bukan wujud institusional teritorial kekuasaan Tuhan (the kingdom of God). Kesadaran budaya lokal juga terdapat di dalam misi Kristen di Kota Bogor, melalui tokoh utamanya, Ki Leonard yang membumikan nilai-nilai Kristen ke dalam budaya Sunda. Misi ini yang melahirkan gerakan “Kristen Indonesia” yang dikembangkan terutama oleh kalangan muda Kristen Bogor. Gerakan ini mewacanakan kekristenan yang ramah budaya lokal, sehingga menopang bangunan negarabangsa Indonesia. Di atas wacana ini, mereka mengembangkan pendidikan kewarganegaraan untuk umat Kristen, serta penguatan dialog lintas agama untuk merawat kemajemukan bangsa.
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin abd Spread of Nationalism, London: Verso. 1991. Arif, Syaiful. Misi Kristen dan Dampaknya bagi Kemajemukan: Pandangan IPTh. Balewiyata Malang. Harmoni Jurnal Multikultral dan Multireligius, Volume 13, Nomor 1, Januari – April 2015. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 2
108
Kustini dan Syaiful Arif
Arif, Syaiful. Kontradiksi Pandangan HTI atas Pancasila. Jurnal Puskamnas Universitas Bhayangkara. Vol. 2 Nomor 1 Tahun 2016. Bizawie, Zainul Milal. Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad, Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949), Jakarta: Pustaka Compass. 2014. Daulay, Richard M. Agama dan Politik di Indonesia, Umat Kristen di Tengah Kebangkitan Islam, Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2015. F. Intan, Benyamin. Public Religion and the Pancasila-Based State of Indonesia, A Normative Argument within a Christian-Muslim Dialogue (1945-1998), Departement of Theology, Boston University. 2014. Francis Laffan, Michael. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, the Umma below the Winds, London and New York: Routledge Curzon. 2003. Karim, Muchit. Wawasan kebangsaan Organisasi Sosial Keagamaan Jamaah Ansharut Tuhid Surakarta. Dalam, Mereka Membicarakan Wawasan Kebangsaan, ed. Asnawati dan Achmad Rosidi. Jakararta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan. 2015. Latif, Yudi. Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2011. Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun 2014. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Edisi II, Februari 2015. M. Nuh. Nuhrison (ed). Pemimpin Gereja, Moratorium Organisasi Gereja dan HAM. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan. 2015. Rofiq al-Amin, Ainur. Membongkar Proyek Khilafah ala Hizbut Tahrir Indonesia, Yogyakarta: LKiS. 2012. Ruhana, Akmal Salim. Mengurai Benang Kusut Kasus GKI Yasmin: Penelitian Pendahuluan. Widya Riset Vol 16 Nomor 1 Tahun 2013. Simatupang, TB. Iman Kristen dan Pancasila. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984. Yewangoe, A.A., Iman, Agama dan Masyarakat dalam Pancasila. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002. Wawancara dengan Pdt. Aria Hadikusuma dari The Leonard Institute pada 8 Juni 2015. Wawancara dengan Pdt. Kristanto dari Gereja Beritakan Injil pada 10 Juni 2015. Wawancara dengan Pdt. Dwi Arifin dari Gereja Baptis Indonesia Pabaton Bogor, pada 15 Juni 2015. Wawancara dengan Pdt. Celicius Bonar dari PGIS Kota Bogor, 8 Juni 2015. Wawancara dengan Pendeta Darwin Darmawan, GKI Bogor, 10 Juni 2015.
HARMONI
Mei - Agustus 2016