Benarkah Ada Aflatoksin pada Kakao? Oleh: Ayutia Ciptaningtyas Putri, S.Si PMHP Ahli Pertama
Kakao merupakan salah satu komoditi utama perkebunan Indonesia dan andalan ekspor negara Indonesia. Saat ini Indonesia menjadi negara penghasil kakao terbesar ketiga dunia. Namun kualitas biji kakao yang diekspor oleh Indonesia terus menurun beberapa tahun terakhir ini. Salah satu penentu kualitas biji kakao adalah adanya kandungan jamur, tetapi standar perdagangan kakao ini tidak meliputi aspek kontaminasi jamur sebagai penghasil toksin ataupun metabolitnya. Hal ini menyebabkan kurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat khususnya petani kakao akan bahaya yang ditimbulkan berupa metabolit sekunder (toksin) yang diproduksi oleh jamur. WHO, FAO dan UNICEF telah menetapkan batas kandungan aflatoksin pada produk pertanian yang dikonsumsi tidak lebih dari 30 ppb. Kasus penolakan produk kakao Indonesia karena kandungan aflatoksin seperti pada pala Indonesia tahun 2012 lalu memang belum pernah terjadi, tetapi bukan tidak mungkin pada masa yang akan datang, apabila tidak diantisipasi dengan baik akan terjadi penolakan kakao produk Indonesia karena mengandung aflatoksin yang melebihi batas. Mikotoksin merupakan metabolit / senyawa beracun yang dihasilkan oleh jamur. Mikotoksin terutama dihasilkan oleh jamur saprofit yang tumbuh pada bahan pangan atau pakan hewan. Setelah tahun 1970, diketahui bahwa mikotoksin dapat menimbulkan penyakit pada manusia, bahkan dapat menyebabkan kematian. Aflatoksin merupakan segolongan senyawa mikotoksin, yang dikenal mematikan dan karsinogenik (pemicu kanker) bagi manusia dan hewan. Keberadaan toksin ini dipengaruhi oleh faktor cuaca, terutama suhu dan kelembaban. Jamur yang sering ditemui pada biji kakao yang diproses dengan penanganan dan pengolahan yang tidak tepat adalah jamur dari genera Aspergillus, Mucor, Penicillium, dan Rhizopus.
Jamur yang dapat menghasilkan aflatoksin pada biji kakao kering adalah Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus dan Aspergillus niger. Jamur ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak memperhatikan faktor kelembaban dan bertemperatur tinggi. Daerah tropis merupakan tempat berkembang biak paling ideal untuk jamur ini. Aflatoksin seringkali ditemukan pada tanaman sebelum dipanen. Setelah pemanenan, kontaminasi dapat terjadi jika hasil panen terlambat dikeringkan dan disimpan dalam kondisi lembab. Belum dikuasainya teknologi penanganan pascapanen biji kakao kering atau pengolahan pascapanen yang kurang tepat dan tidak layak seperti pada saat pemanenan, sortasi, pencucian, penjemuran dan penyimpanan, menyebabkan mudahnya terjadi kontaminasi mikroorganisme yang tidak diharapkan seperti jamur penghasil toksin. Jamur tersebut akan mencemari biji kakao dan dapat menimbulkan perubahanperubahan kimiawi di dalamnya, sehingga komoditi ini tidak dapat dikonsumsi atau bahkan
beracun.
Jamur
mikotoksigenik
yang
tumbuh
di
produk
kakao
memungkinkan adanya mikotoksin pada produk kakao. Kontaminasi mikotoksin pada biji kakao tidak hanya berbahaya bagi kesehatan manusia namun juga dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar dan berpengaruh terhadap perdagangan Internasional. Aflatoksin adalah senyawa racun yang dihasilkan oleh metabolit sekunder jamur A. flavus dan A.parasiticus. A. flavus dan A. parasiticus tumbuh pada kisaran suhu yang panjang, berkisar dari 10–12oC sampai 42–43oC dengan suhu optimum 32–33oC dan pH optimum 6. Selain itu, aflatoksin diproduksi juga oleh jamur Aspergillus nomius, Aspergillus pseudotamarii dan Aspergillus ochraceoroseus. Jamur ini biasanya ditemukan pada bahan pangan yang mengalami proses pelapukan. Pertumbuhan aflatoksin dipicu oleh kondisi lingkungan dan iklim, seperti kelembapan, suhu, dan curah hujan yang tinggi. Kondisi iklim Indonesia tropis membuat tingkat kelembaban yang tinggi sehingga kondisi tersebut sangat cocok untuk pertumbuhan jamur. Aflatoksin dikenal susunan kimianya pada tahun 1964, yang mula-mula dibagi dalam dua golongan yatu aflatoksin jenis B dan jenis G berdasarkan atas warna fluoresensi apabila dikenai sinar ultra violet; masing-masing warna biru (blue) untuk aflatoksin jenis B dan warna kehijauan (green) untuk jenis G. Aflatoksin bersifat sangat tidak larut dalam air, larut dalam aseton atau chloroform dan titik cairnya antara 237-289oC. Aflatoksin memiliki sifat racun yang akut dan kronis. Terdapat
beberapa jenis aflatoksin utama, yaitu aflatoksin B 1, B2, G1, dan G2. Keempat jenis aflatoksin tersebut biasanya ditemukan bersama dalam berbagai proporsi pada berbagai jenis pangan dan pakan hewan. Aflatoksin B1 biasanya paling mendominasi dan bersifat paling toksik. Aflatoksin B1 dan B2 dihasilkan oleh A. flavus dan A. parasiticus. Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2 hanya dihasilkan oleh A. parasiticus. Aflatoksin B1, senyawa yang paling toksik, berpotensi merangsang kanker, terutama kanker hati (carcinoma hepatoselulare). Serangan toksin yang paling ringan adalah lecet (iritasi) ringan akibat kematian jaringan (nekrosis). Pemaparan pada kadar tinggi dapat menyebabkan sirosis, karsinoma pada hati, serta gangguan pencernaan, penyerapan bahan makanan, dan metabolisme nutrien. Pemanasan hingga 250˚C tidak efektif menginaktifkan senyawa ini. Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi biasanya tidak dapat dikonsumsi lagi. Manusia dapat terpapar aflatoksin melalui pangan yang dikonsumsinya. Paparan aflatoksin ini sulit dihindari karena pertumbuhan jamur penghasil aflatoksin pada pangan tidak mudah dicegah. Aflatoksin dapat mengakibatkan penyakit dalam jangka pendek (akut) maupun jangka panjang (kronis). Namun, keracunan akut jarang terjadi sehingga tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap pencemaran aflatoksin pada pangan dan pakan relatif rendah. Masalah yang timbul jika mengonsumsi pangan yang mengandung aflatoksin: Keracunan akut, dengan gejala mual, muntah, kerusakan hati hingga kematian pada kasus serius; perkembangan anak dan pertumbuhan janin terganggu; metabolisme protein terganggu, dan kekebalan tubuh menurun. Tingginya tingkat paparan aflatoksin menghasilkan nekrosis hati akut, sehingga nantinya menjadi sirosis, atau karsinoma hati. Gagal hati
akut,
edema,
perubahan
dalam
pencernaan,
perubahan
penyerapan
metabolisme nutrisi, dan perubahan mental atau koma. Efek berat aflatoksikosis pada hewan (yang diperkirakan bisa juga terjadi pada manusia) dikategorikan ke dalam dua bentuk utama, yaitu intoksikasi akut (jangka pendek) dan intoksikasi kronik (jangka panjang). Intoksikasi akut dapat diakibatkan oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat sedang hingga tinggi. Beberapa gejala umumnya adalah edema anggota tubuh bagian bawah, nyeri perut, dan muntah. Secara spesifik, paparan akut aflatoksin dapat menyebabkan perdarahan, kerusakan hati secara akut, edema, perubahan pada pencernaan, dan kemungkinan kematian. Intoksikasi kronik disebabkan oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat
rendah hingga sedang. Efek yang ditimbulkan biasanya bersifat subklinis dan sulit dikenali. Gejalanya dapat berupa penurunan laju pertumbuhan dan imunosupresi. Beberapa pengamatan menunjukkan adanya karsinogenisitas, terutama terkait dengan aflatoksin B1. Akibat yang ditimbulkan oleh aflatoksin dipengaruhi oleh dosis dan durasi paparan aflatoksin, umur, jenis kelamin, serta faktor nutrisi. Infeksi virus Hepatitis B yang terjadi bersamaan dengan paparan aflatoksin akan meningkatkan resiko terjadinya hepatocellular carcinoma (HCC), yaitu melalui gangguan fungsi gen penghambat tumor sehingga terjadi mutasi dan karsinogenesis. Memang, saat ini belum ada data-data konkrit yang menunjukkan adanya hubungan antara aflatoksin dengan kanker hati di Indonesia, tetapi masalahnya sudah jelas bahwa aflatoksin merupakan racun penyebab kanker hati dan bahan-bahan pangan kita sudah banyak yang dicemari oleh A. flavus Metode analisis aflatoksin pada produk perkebunan dapat dilakukan dengan menggunakan ELISA. ELISA adalah suatu teknik deteksi dengan menunakan metode serologis yang berdasarkan atas reaksi spesifik antara antigen dan antibodi, mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang tinggi dengan menggunakan enzim sebagai indikator.
Selain itu, aflatoksin pada kakao juga dapat dianalisis
menggunakan UPLC/MS/MS dengan membandingkan waktu retensi pada sampel dengan waktu retensi dari standar aflatoksin. Analisis ini diperlukan apabila negara tujuan ekspor kakao memerlukan data kandungan aflatoksin pada kakao. Produk kakao yang benar-benar bebas mikotoksin merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Namun, metode penyimpanan dan penanganan komoditi kakao yang baik dapat meminimalkan pertumbuhan jamur sehingga dapat menurunkan risiko pencemaran mikotoksin pada produk kakao. Jamur mudah tumbuh pada kondisi lembab dan suhu tinggi jadi penyimpanan komoditi kakao tersebut sebaiknya di tempat yang kering (kelembaban rendah) dan sejuk (lebih baik jika disimpan di freezer). Pada saat panen, Pilihlah saat memanen yang tepat pada kelembaban yang direkomendasikan, kering anginkan kakao tersebut bila perlu, pelihara aerasi dan selalu kontrol keberadaan serangga. Sampai saat ini belum ada prosedur atau cara untuk menghilangkan aflatoksin pada kakao setelah proses produksi. Oleh karena itu, untuk mengurangi masuknya aflatoksin ke dalam tubuh melalui kakao yang dikonsumsi, sangat bijaksana jika konsumen bersikap selektif terhadap kakao yang akan dikonsumsinya, antara lain dengan menghindari
konsumsi terhadap produk kakao yang telah berjamur, telah berubah warna, telah berubah rasa atau tengik. Petani kakao juga harus memperhatikan kondisi pada saat proses pemanenan, penyimpanan hingga pengolahan sehingga keberadaan aflatoksin pada kakao dapat diminimalisir. Dengan demikian,
kakao Indonesia
diharapkan aman dari aflatoksin dan dapat diterima oleh negara-negara tujuan ekspor kakao.
Referensi: Asrul, 2009, Populasi Jamur Mikotoksigenik dan Kandungan Aflatoksin pada Beberapa Contoh Biji Kakao (Theobroma cacao L) Asal Sulawasi Tengah, J. Agroland 16 (3) : 258 - 267, September 2009 Muchtadi, D., 2010, Tidak Dapat Hilang Walau Sudah Diolah Aflatoxin, Racun Penyebab Kanker, diakses pada 13 januari 2015 di http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_fdsf_aflatoxin.php Racmawati, Eka., Nasrianto, H., Mulyati, A.H., 2012, Kandungan Aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2) pada Kacang Tanah (Arachis hypogaea L) yang Beredar di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek, diakses pada 18 Januari 2015 di http://ejournal.unpak.ac.id/detail.php?detail=mahasiswa &id=478 Syarief, R., 2012, Mikotoksin Bahan Pangan, diakses pada 18 Januari 2013 di https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=r ja&ved=0CCgQFjAA&url=http%3A%2F%2Fxa.yimg.com%2Fkq%2Fgroups% 2F20875559%2F965541030%2Fname%2FMikotoksin_seminar_Prof%255B1 %255D._Rizal_s2_s3.ppt&ei=vRDUoqKK47GrAfLyYHQDA&usg=AFQjCNFT0 KwB2SsXeYWKM1gCYP1yMwny-Q&sig2=0XWA_g4PiG4X4A fAVaqnw&bvm=bv.53217764,d.bmk Wangge, E.S.A., Suprapta, D.N., dan Alit, G.N., Wirya, S., 2012, Isolasi dan Identifiaksi Jamur Penghasil Mikotoksin pada Biji Kakao Kering yang Dihasilkan di Flores, J. Agric. Sci. and Biotechnol. Vol. 1, No. 1, Juli 2012 Yusrini, H., 2005, Teknik Analisis Kandungan Aflatoksin B1 Secara ELISA pada pakan ternak dan Bahan Dasarnya, Buletin Teknik Pertanian Vol. 10, Nomor 1, 2005 Yenny, 2006, Aflatoksin dan Aflatoksikosis pada Manusia, Universa Medicina Vol 25 No.1, Januari – Maret 2006 Mewaspadai Cemaran Aflatoksin Pada Makanan, diakses pada 13 Januari 2015 di http://ik.pom.go.id/v2014/artikel/Waspada-thd-CemaranAflatoksin-pd-Pangan_edit21.pdf _____________,