DETEKSI AFLATOKSIN M1 PADA SUSU PASTEURISASI
DIAH NURHAYATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Deteksi Aflatoksin M1 pada Susu Pasteurisasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor,
Agustus 2014
Diah Nurhayati NIM B251110051
RINGKASAN DIAH NURHAYATI. Deteksi Aflatoksin M1 pada Susu Pasteurisasi. Dibimbing oleh HADRI LATIF dan AGUSTIN INDRAWATI. Aflatoksin merupakan metabolit sekunder dari kapang Aspergillus flavus dan A. parasiticus yang bersifat hepato-karsinogen dan dapat menyebabkan kanker hati pada manusia. Aflatoksin M1 (AFM1) merupakan metabolit hidroksilasi dari aflatoksin B1 (AFB1) dan dapat ditemukan pada susu akibat hewan laktasi mengonsumsi pakan yang tercemar AFB1. AFM1 dapat ditemukan pada produk olahan susu karena tidak terurai dengan pemanasan, baik suhu pasteurisasi maupun sterilisasi. Penelitian ini bertujuan mendeteksi AFM1 pada susu pasteurisasi produksi Indonesia yang dijual di swalayan dan agen pengecer di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sampel yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas 60 susu pasteurisasi produksi Indonesia yang beredar di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sampel berupa susu pasteurisasi tanpa penyedap cita rasa yang telah memiliki nomor BPOM RI. Keberadaan AFM1 pada susu pasteurisasi dideteksi dengan menggunakan metode enzym-linked immunosorbent assay (ELISA) kompetitif dengan menggunakan kit ELISA untuk AFM1 (RIDASCREEN® Aflatoxin M1 Art. No.: R1121, R-Biopharm, Jerman) dan uji konfirmasi dengan metode liquid chromatography tandem mass spectrometry (LC-MS/MS) dengan prosedur pengujian yang diadopsi dari Association of Analytical Communities. Hasil pengujian dengan metode ELISA menunjukkan bahwa AFM1 terdeteksi pada 57 sampel susu pasteurisasi (95%) dengan kisaran konsentrasi 20.77 sampai 458.87 ppt (93.72±69.72 ppt). Aflatoksin M1 dengan konsentrasi 10 sampai 50 ppt terdeteksi pada 14 sampel (23.33%), 41 sampel (68.33%) dengan konsentrasi 50.01 sampai 250 ppt, dan 2 sampel (3.33%) dengan konsentrasi 250.01 sampai 500 ppt. Uji konfirmasi dengan LC-MS/MS yang dilakukan terhadap tujuh sampel yang memiliki konsentrasi AFM1 lebih dari 100 ppt pada uji ELISA menunjukan AFM1 terdeteksi pada uji LC-MS/MS. Keberadaan AFM1 pada susu pasteurisasi berasal dari AFM1 yang ada pada susu segar. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar sampel susu pasteurisasi yang dijual di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat mengandung AFM1, namun konsentrasinya tidak melebihi batas maksimum yang ditetapkan oleh SNI 7385-2009 tentang Batas Maksimum Kandungan Mikotoksin dalam Pangan yaitu 500 ppt. Kata kunci: aflatoksin M1, enzyme-linked immunosorbent assay, liquid chromatography-mass spectrometry, susu pasteurisasi
SUMMARY DIAH NURHAYATI. Detection of Aflatoxin M1 in Pasteurized Milk. Supervised by HADRI LATIF and AGUSTIN INDRAWATI. Aflatoxins are secondary metabolites produces by Aspergillus flavus and A. parasitucus which are hepatocarcinogen and consideres as major etiological factors for human hepatocellular carcinoma. Aflatoxin M1 (AFM1) is the hydroxylated metabolite of aflatoxin B1 (AFB1) and can be found in milk when lactating animals are fed with contaminated feedstuffs. AFM1 may be found in dairy products because it was not destroyed during pasteurization and sterilization. This study was conducted to detect AFM1 in pasteurized milk that are produced in Indonesia and sold in supermarkets and retail agents in Jakarta and West Java Province. The sample used in this study consisted of 60 local plain pasteurized milk which were sold in supermarkets and retail agent in Jakarta and West Java. The samples were taken with considering BPOM RI number, production code and expired date. The presence of AFM1 in pasteurized milk detected with competitive enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) using ELISA kits for AFM1 (RIDASCREEN® Aflatoxin M1 Art. No.: R1121, R-Biopharm, Germany) and then confirmed by liquid chromatography - tandem mass spectrometry (LC-MS/MS) with testing procedures adopted from the Association of Analytical Communities. The result of this study showed that AFM1 was detected in 57 samples of pasteurized milk at 20.77-458.87 ppt (93.20±69.72 ppt). AFM1 was found between 10 to 50 ppt in 14 samples (23.33%), in 41 samples (68.33%) the concentrations between 50.01 to 250 ppt, and in 2 samples (3.33%) the concentration between 250.01 to 500 ppt. Seven samples which were the concentration AFM1 above 100 ppt determined by ELISA then were confirmed by LC-MS/MS showed that AFM1 was detected in pasteurized milk. The existence of AFM1 in pasteurized milk can be derived from existing AFM1 in fresh milk. The study could be concluded that most of pasteurized milk samples sold in Jakarta and West Java Province are containing AFM1, but its concentration was not exceed the maximum limits according to the national standard of Indonesia 7385-2009 about maximum limit of mycotoxins in food (500 ppt). Keywords:
aflatoxin M1, enzyme-linked immunosorbent assay, chromatography-mass spectrometry pasteurized milk
liquid
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DETEKSI AFLATOKSIN M1 PADA SUSU PASTEURISASI
DIAH NURHAYATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr med vet drh Mirnawati B Sudarwanto
Judul Tesis : Deteksi Aflatoksin M1 pada Susu Pasteurisasi Nama : Diah Nuhayati NIM : B251110051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr med vet drh Hadri Latif, MSi Ketua
Dr drh Agustin Indrawati, MBiomed Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr med vet drh Denny W Lukman, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Deteksi Aflatoksin M1 pada Susu Pasteurisasi berhasil diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dan kelemahan baik dalam segi materi, tata bahasa maupun dalam memberikan deskripsi. Selama pengerjaan karya ilmiah ini, penulis mendapatkan banyak saran dan masukan yang membangun dari berbagai pihak dalam penyempurnaan tulisan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr med vet drh Hadri Latif, MSi selaku ketua komisi pembimbing dan Dr drh Agustin Indrawati, MBiomed selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan, saran, dan arahannya dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Penghargaan dan ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi sebagai Ketua Program Studi serta seluruh staf pengajar, tenaga kependidikan dan rekan-rekan Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah membantu dan memberi dukungan kepada penulis sampai selesainya penyusunan karya ilmiah ini. Terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa selama masa pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Terimakasih kepada Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan Bogor dan Laboratorium Kesehatan Daerah DKI Jakarta atas bantuannya dalam pelaksanaan pengujian. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Ibu Arti Suryaningsih Djohan atas bantuan materi selama menempuh pendidikan pascasajana, serta Ibunda Samiyati Angka Wijaya dan keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Akhirnya penulis persembahkan karya ilmiah ini untuk suami tercinta drh Santoso, MSi yang telah memberikan doa dan semangatnya yang begitu besar. Atas semua kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah subhanahu wa ta’ala melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak. Bogor,
Agustus 2014
Diah Nurhayati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Penelitian
1 1 2 2 2 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Susu Pasteurisasi Aflatoksin M1 Batas Maksimum Kandungan Aflatoksin M1 Metode Deteksi Aflatoksin M1
4 4 5 6 7
3 METODE Bahan Alat Prosedur Pengujian Prosedur Analisis Data
9 9 9 10 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
12
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
18 18 18
DAFTAR PUSTAKA
19
LAMPIRAN
23
RIWAYAT HIDUP
24
DAFTAR TABEL 1 Temperatur dan waktu pasteurisasi susu 2 Standar mutu susu pasteurisasi (SNI 01-3951-1995) 3 Batas maksimum kandungan aflatoksin M1 dalam susu dan produk olahannya 4 Batas maksimum Aflatoksin M1 di beberapa negara 5 Konsentrasi Aflatoksin M1 pada susu pasteurisasi
4 5 6 7 13
DAFTAR TABEL 1 Kurva standar uji ELISA untuk aflatoksin M1 2 Hasil LC-MS/MS dari standar AFM1 10 ppt, kontrol negatif, sampel VM5, dan spike sampel dengan AFM1 10 ppt
13 14
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan asal hewan yang beredar untuk konsumsi manusia harus memenuhi syarat keamanan pangan. Keamanan pangan menurut Undang-undang nomor 7 tahun 1996 ialah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Sekneg RI 1996). Penyakit pada manusia yang ditularkan melalui pangan disebut dengan foodborne disease. Foodborne disease dapat terjadi akibat infeksi, toksikoinfeksi, dan intoksikasi. Intoksikasi pangan terjadi akibat mengonsumsi pangan yang mengandung toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme, seperti toksin dari Staphylococcus aureus, toksin dari Clostridium botulinum, dan mikotoksin dari kapang (Ray 2004). Mikotoksin merupakan hasil metabolit sekunder dari beberapa genus kapang seperti Aspergillus spp., Penicillium spp., dan Fusarium spp. Kontaminasi mikotoksin dalam pangan dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi manusia karena bersifat karsinogenik, teratogenik, hepatotoksik, neurotoksik, dan nefrotoksik (Sengun et al. 2008). Mikotoksin penting yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia antara lain aflatoksin, okhratoksin, patulin, zearalenon, dan trikotesen (Syarief et al. 2003). Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan A. parasiticus (IARC 2002). Kapang tersebut dapat mengontaminasi bahan pakan ternak dan akan menghasilkan toksin berupa aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 (Syarief et al. 2003). Aflatoksin yang ada dalam pakan jika terkonsumsi oleh hewan ternak akan meninggalkan residu aflatoksin pada produk ternak seperti daging, telur, dan susu. Sapi perah yang mengonsumsi pakan yang terkontaminasi aflatoksin B1 (AFB1) akan mengekskresikan metabolit hidroksilasi berupa aflatoksin M1 (AFM1) ke dalam susu yang dihasilkan (Prandini et al. 2009). Aflatoksin M1 dapat masuk ke dalam rantai pangan manusia melalui susu. Kendala utama dalam penanganan AFM1 pada susu ialah sifatnya yang stabil pada pemanasan, baik suhu pasteurisasi maupun sterilisasi, dan proses penyimpanan (Stoloff et al. 1975). Aflatoksin M1 tidak terurai pada pemanasan mencapai 250 °C (Syarief et al. 2003), sehingga masih dapat ditemukan pada susu pasteurisasi (Celik et al. 2005), susu ultra high temperature (Ghanem dan Orfi 2009; Heshmati dan Milani 2010), susu bubuk (Al-Sawaf et al. 2012), dan keju (Sarimehmetoglu et al. 2004). Keberadaan AFM1 dalam pangan dapat dideteksi secara kualitatif dan kuantitatif. Metode deteksi yang dapat digunakan antara lain high performance liquid chromatography (HPLC), gas chromatography (GC), liquid chromatography-mass spectrometry (LC-MS), fluorimetri, dan immunoassay seperti enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) (Maryam 2007). Metode ELISA digunakan untuk mendeteksi mikotoksin karena memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi (Zheng et al. 2006).
2 Aflatoksin dapat mengakibatkan kerusakan hati dan kanker hati apabila dikonsumsi dalam jumlah kecil secara terus menerus (Syarief et al. 2003). International Agency for Research on Cancer (IARC 2002) mengklasifikasikan AFM1 sebagai penyebab kanker pada manusia (carcinogenic to human). Oleh karena itu beberapa negara menetapkan konsentrasi maksimum kandungan AFM1 dalam produk susu, seperti Amerika Serikat sebesar 500 ppt dan Uni Eropa sebesar 50 ppt (FAO 2004). Batas maksimum kandungan AFM1 pada susu dan produk olahan susu di Indonesia ditetapkan dalam SNI 7385-2009 tentang Batas Maksimum Kandungan Mikotoksin dalam Pangan yaitu 500 ppt (BSN 2009).
Perumusan Masalah Keberadaan AFM1 pada susu segar dari beberapa daerah di Indonesia telah dilaporkan dengan konsentrasi yang bervariasi. Kandungan AFM1 pada susu segar dari peternakan rakyat di Kota Bogor dan Pangalengan (Kabupaten Bandung) menunjukkan 78.38% (29 dari 37 sampel) terdeteksi AFM1 dengan konsentrasi antara 1 sampai 1200 ppt (Widiastuti et al. 2006). Deteksi AFM1 pada susu segar yang berasal dari peternakan sapi perah di Yogyakarta menunjukkan bahwa AFM1 terdeteksi pada 57.5% sampel dengan konsentrasi antara 5 sampai 25 ppt (Nuryono et al. 2009). Penelitian lain terhadap susu segar dari peternakan sapi perah di Yogyakarta menunjukkan kandungan AFM1 dengan konsentrasi antara 33 sampai 113 ppt (Fillaeli 2007). Kendala utama penanganan AFM1 dalam susu ialah sifatnya yang stabil pada pemanasan (Stoloff et al. 1975), sehingga masih dapat ditemukan pada susu pasteurisasi (Celik et al. 2005). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mendeteksi kandungan AFM1 pada susu pasteurisasi produksi Indonesia sehingga dapat menggambarkan keamanan dari susu pasteurisasi yang dijual di swalayan dan agen pengecer. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mendeteksi kandungan AFM1 pada susu pasteurisasi produksi Indonesia yang dijual di swalayan dan agen pengecer di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat kandungan AFM1 pada susu pasteurisasi produksi Indonesia dan informasi bahwa susu pasteurisasi yang dijual di swalayan dan agen pengecer aman dikonsumsi oleh masyarakat ditinjau dari keberadaan AFM1.
3 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini ialah susu pasteurisasi produksi Indonesia mengandung AFM1 dan kandungan AFM1 pada susu pasteurisasi tidak melebihi batas maksimum kandungan yang ditetapkan dalam SNI 7385:2009 tentang Batas Maksimum Kandungan Mikotoksin dalam Pangan yaitu 500 ppt.
2 TINJAUAN PUSTAKA Susu Pasteurisasi Susu pasteurisasi ialah susu segar, susu rekonstitusi dan susu rekombinasi yang telah mengalami pemanasan pada 63-66 °C selama minimum 30 menit atau 72 °C selama minimum 15 detik, kemudian segera didinginkan sampai 10 °C, diperlakukan secara aseptis dan disimpan pada temperatur maksimum 4.4 °C (BSN 1995). Pasteurisasi pada susu dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan mikroba patogen yang membahayakan kesehatan manusia tanpa mengubah rasa, konsistensi, dan kandungan nutrisi susu (Murdiati et al. 2004). Pasteurisasi susu dapat dilakukan dengan metode low temperature-long time (LTLT, 63 °C selama 30 menit) dan high temperature-short time (HTST, 72 °C selama 15 detik) (CAC 2004). Waktu dan temperatur pasteurisasi didasarkan oleh thermal death time (TDT) bakteri patogen non-spora yang paling tahan panas pada susu. Metode LTLT pada awalnya menggunakan pemanasan 61.67 °C (143 °F) selama 30 menit yang merupakan TDT Mycobacterium tuberculosis, kemudian diubah menjadi 63 °C (145 °F) selama 30 menit setelah ditemukan Coxiella burnetti pada susu sapi, kambing, dan domba (Jay et al. 2005). Temperatur dan waktu pasteurisasi susu yang direkomendasikan oleh Food and Drug Administration (FDA 2009) ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1 Temperatur dan waktu pasteurisasi susu Temperatur 63 °C (145 °F) 72 °C (161 °F) 89 °C (191 °F) 90 °C (194 °F) 94 °C (201 °F) 96 °C (204 °F) 100 °C (212 °F)
Waktu 30 menit 15 detik 1.0 detik 0.5 detik 0.1 detik 0.05 detik 0.01 detik
Pasteurisasi pada susu bertujuan untuk menjamin keamanan mikrobiologi dan memperpanjang umur simpan (Fernandez 2008). Susu pasteurisasi yang disimpan pada temperatur maksimal 6 °C memiliki umur simpan 10-12 hari, sedangkan pada temperatur maksimal 10 °C umur simpan hanya 3-4 hari (Rysstad dan Kolstad 2006). Susu pasteurisasi dikemas secara aseptik dalam botol, karton yang dilapisi polyethylene atau aluminium foil, kantong plastik, atau bahan lain yang tidak mempengaruhi isi (BSN 1995). Susu pasteurisasi terdiri atas susu pasteurisasi tanpa penyedap cita rasa dan susu pasteurisasi yang diberi penyedap cita rasa dengan syarat mutu yang ditetapkan dalam SNI 01-3951-1995 tentang susu pasteurisasi (Tabel 2).
5 Tabel 2 Standar mutu susu pasteurisasi (SNI 01-3951-1995) Syarat Jenis
Karakteristik Bau, rasa dan warna Kadar lemak, % (w/w) min. Kadar padatan tanpa lemak, % (w/w) min. Uji Reduktase dengan methilen biru Kadar protein, % (w/w) min. Uji fosfatase TPC (Total Plate Count)/ml, maks. Coliform presumtive maksimal (MPN/ml) Logam berbahaya As (ppm) maks. Pb (ppm) maks. Cu (ppm) maks. Zn (ppm) maks. Bahan pengawet
A Khas 2.8 7.7 0 2.5 0 3x104 10
B Khas 1.5 7.5 0 2.5 0 3x104 10
1 1 1 1 2 2 5 5 Sesuai dengan Permenkes No. 235/Men.Ks/Per/IV/79
A: susu pasteurisasi tanpa penyedap cita rasa, B: susu pasteurisasi diberi penyedap cita rasa.
Aflatoksin M1 Mikotoksin merupakan metabolit sekunder dari beberapa genus kapang sebagai hasil dari pertumbuhan kapang (Sweeney dan Dobson 1998). Mikotoksin dalam bahan pangan dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi manusia yang disebut dengan mikotoksikosis (Syarief et al. 2003). Mikotoksikosis terjadi apabila toksin terkonsumsi oleh manusia dalam jumlah yang tidak dapat ditoleransi oleh tubuh. Mikotoksin telah dilaporkan bersifat karsinogenik, teratoganik, hepatotoksik, neurotoksik, dan nefrotoksik (Sengun et al. 2008). Mikotoksin penting yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi manusia antara lain aflatoksin, okhratoksin, patulin, zearalenon, dan trikotesen (Syarief et al. 2003). Mikotoksin dapat ditemukan dalam pangan asal hewan akibat kontaminasi langsung dan kontaminasi tidak langsung (carry-over dari pakan). Kontaminasi langsung terjadi akibat pertumbuhan kapang pada pangan karena cemaran. Kontaminasi tidak langsung terjadi akibat hewan mengonsumsi pakan yang tercemar mikotoksin dan mengekskresikan residu mikotoksin ke dalam produk hewan seperi daging, telur, dan susu (Sengun et al. 2008; Prandini et al. 2009). Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan A. parasiticus (IARC 2002). Kapang tersebut dapat mencemari bahan pakan seperti jagung, bungkil kedelai, dan silase, dan akan menghasilkan aflatoksin. Aflatoksin yang umum ditemui dalam pakan ternak ialah aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Mamalia laktasi yang mengonsumsi pakan yang terkontaminasi aflatoksin B1 (AFB1) akan mengekskresikan metabolit hidroksilasi berupa aflatoksin M1 (AFM1) ke dalam susu yang dihasilkan. Sapi laktasi yang mengonsumsi 40 µg AFB1 akan menghasilkan susu yang
6 mengandung AFM1 dengan konsentrasi 0.05 µg/kg dalam waktu 2-3 hari setelah konsumsi AFB1 (Prandini et al. 2009). Tingkat carry-over AFM1 bervariasi bergantung pada konsentarsi AFB1 dalam pakan. Penelitian Bantaokul dan Ruangwises (2010) menyatakan tingkat carry-over AFB1 ke dalam susu sapi selama periode laktasi ialah 2.35±0.7%. Tingkat carry-over AFB1 dalam pakan menjadi AFM1 pada susu sapi peranakan Friesian Holstein di Yogyakarta sebesar 0.1%, nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan tingkat carry-over pada sapi perah di daerah sub-tropis (Sumantri et al. 2012). Aflatoksin yang banyak ditemukan pada bahan pakan dan bersifat toksik ialah AFB1 (Sweeney dan Dobson 1998). Aflatoksin merupakan hepatokarsinogen yang dapat mengakibatkan kerusakan hati dan apabila dikonsumsi dalam jumlah kecil secara terus menerus dapat mengkibatkan kanker hati (Syarief et al. 2003). International Agency for Research on Cancer (IARC 2002) telah mengklasifikasikan mikotoksin sebagai salah satu penyebab kanker pada manusia, karsinogenitas AFB1 dan AFM1 diklasifikasikan ke dalam grup 1 (carcinogenic to humans). Aflatoksin M1 bersifat sitotoksik pada beberapa spesies, dengan tingkat sitotoksik yang serupa dengan AFB1 (Prandini et al. 2009). Penelitian pada tikus Fischer jantan yang diberi pakan AFM1 50 µg/kg mulai umur 7 minggu sampai 21 minggu menunjukkan 2 dari 37 tikus terdeteksi hepatoseluler karsinoma dan 6 dari 37 tikus terdeteksi neoplastic nodules pada umur 19-21 bulan, sedangkan 19 dari 20 tikus yang beri pakan AFB1 50 µg/kg terdeteksi hepatoseluler karsinoma pada umur 19 bulan (Cullen et al. 1987). Batas Maksimum Kandungan Aflatoksin M1 Batas maksimum kandungan mikotoksin ialah konsentrasi maksimum mikotoksin yang diizinkan terdapat dalam pangan (BSN 2009). Batas maksimum kandungan AFM1 dalam susu dan produk olahannya di Indonesia ditetapkan dalam SNI 7385-2009 tentang batas maksimum kandungan mikotoksin dalam pangan (Tabel 3). Tabel 3 Batas maksimum kandungan aflatoksin M1 dalam susu dan produk olahannya di Indonesia Pangan Susu dan minuman berbasis susu Susu fermentasi dan produk susu hasil hidrolisa enzim renin (plain) Susu kental dan analognya Krim (plain) dan sejenisnya Susu bubuk dan krim bubuk dan bubuk analog Keju dan keju analog
Batas maksimum AFM1 (ppt) 500 500 500 500 500 500
Batas maksimum kandungan AFM1 dalam susu berbeda di beberapa negara dengan kisaran 10 sampai 500 ppt. Batas maksimum Aflatoksin M1 di
7 beberapa negara menurut Food and Agriculture Organization (2004) disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Batas maksimum Aflatoksin M1 di beberapa negara Negara Uni Eropa Amerika China Jerman Turki Iran
Afrika Selatan Argentina, Brazil, Paraguay, Uruguay
Produk pangan Susu segar, susu pasteurisasi dan produk olahannya Susu Susu dan produk olahannya Susu Makanan bayi Susu dan makanan bayi Susu bubuk Susu segar, susu pasteurisasi Susu bubuk Susu bayi Susu Susu cair
AFM1 (ppt) 50 500 500 50 10 50 500 50 500 10 50 500
Metode Deteksi Aflatoksin M1 Deteksi mikotoksin bertujuan untuk mengetahui keberadaan mikotoksin dalam bahan pangan dan mengetahui konsentrasi mikotoksin tersebut. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya toksin disebut deteksi kualitatif, sedangkan analisis untuk menentukan konsentrasi mikotoksin disebut deteksi kuantitatif (Syarief et al. 2003). Metode analisis mikotoksin telah banyak dikembangkan untuk menganalisis mikotoksin dalam pangan dan pakan. Metode deteksi yang banyak digunakan antara lain visualisasi blue green yellow fluorescense (BGYF), thin layer chromatography (TLC), high performance liquid chromatography (HPLC), gaschromatography (GC), liquid chromatographymass spectrometry (LC-MS), fluorimetri dan immunoassay (Maryam 2007). Metode immunoassay seperti enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) telah banyak digunakan untuk mendeteksi AFM1 pada susu segar, susu pasteurisasi, susu bubuk, dan keju (Sarimehmetoglu et al. 2004; Celik et al. 2005; Nuryono et al. 2009, Al-Sawaf et al. 2012). ELISA merupakan suatu teknik deteksi dengan metode serologis yang berdasarkan reaksi spesifik antara antigen dan antibodi dengan menggunakan enzim sebagai indikator (McCarthy 2003). Prinsip dasar ELISA ialah analisis interaksi antara antigen dan antibodi yang teradsorpsi secara pasif pada permukaan fase padat dengan menggunakan konjugat antibodi atau antigen yang dilabel enzim. Enzim ini akan bereaksi dengan substrat dan menghasilkan warna. Warna yang timbul dapat ditentukan secara kuantitatif dengan pembacaan nilai absorbansi pada ELISA plate reader (Burgess 1995). Mikotoksin merupakan hapten yang tidak dapat menginduksi respon antibodi, sehingga untuk dapat bersifat imunogenik hapten harus dikonjugasikan dengan molekul pembawa yang bersifat imunogen (Layton 1995). Molekul pembawa yang umum digunakan untuk dikonjugasikan dengan hapten ialah
8 bovine serum albumin (BSA) (Hussain 2011). Prinsip dasar ELISA yang umum digunakan untuk mengukur hapten ialah ELISA kompetitif (Burgess 1995). Pada ELISA kompetitif, antibodi spesifik untuk aflatoksin yang telah terikat pada fase padat akan berikatan dengan aflatoksin dalam sampel atau standar. Enzim konjugat yang ditambahkan akan bersaing untuk berikatan dengan antibodi, kemudian enzim konjugat yang berikatan dengan antibodi akan bereaksi dengan substrat dan memberikan warna (Hussain 2011). Jika aflatoksin dalam sampel semakin tinggi maka semakin sedikit enzim konjugat yang berikatan dengan antibodi, sehingga warna yang terbentuk akan semakin pudar (McCarthy 2003). Uji konfirmasi untuk mikotoksin dapat menggunakan metode biologi dan metode kimia. Metode biologi dilakukan dengan cara memberikan mikotoksin kepada hewan yang peka, sedangkan metode kimia dilakukan dengan mereaksikan senyawa yang dianalisis dengan zat kimia tertentu, dapat menggunakan HPLC dan spektrofotometer (Syarief et al. 2003). Liqiud chromatography-mass spectrometry (LC-MS) ialah teknik analisis kimia yang menggabungkan kemampuan pemisahan fisik dari liquid chromatography (LC) dengan kemampuan analisis massa dari mass spectrometry (MS). Deteksi mikotoksin dengan LC-MS dapat dilakukan tanpa proses derivatisasi. Pada LC-MS, sampel yang telah dipisahkan dalam kolom diuapkan pada suhu tinggi, kemudan diionisasi. Ion yang terbentuk difragmentasi sesuai dengan rasio massa/muatan (m/z) yang selanjutnya dideteksi secara elektrik. Beberapa metode ionisasi yang banyak diaplikasikan untuk identifikasi dan deteksi mikotoksin ialah electrospray ionization (ESI) dan fast atom bombardment (FAB). LC-MS memiliki selektivitas yang tinggi sehingga identifikasi dan kuantifikasi dapat dilakukan dengan jumlah sampel yang sedikit (Maryam 2007).
9
3 METODE Deteksi Aflatoksin M1 (AFM1) pada susu pasteurisasi dilakukan dengan metode ELISA kompetitif dan dikonfirmasi dengan metode liquid chromatography - tandem mass spectrometry (LC-MS/MS). Pengambilan sampel susu pasteurisasi dilakukan di swalayan dan agen pengecer di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Pengujian sampel dilakukan di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan (BPMSPH) Bogor dan Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi DKI Jakarta. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2013. Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus besaran sampel deskriptif numerik (Sopiyudin 2010). Rumus yang digunakan dalam menentukan jumlah sampel ialah: 𝑍𝛼. 𝑆 𝑛= 𝑑
Keterangan: n = ukuran sampel Z = 1.96 (α=0.05) S = simpangan baku d = nilai presisi
2
Nilai simpangan baku menggunakan hasil penelitian deteksi AFM1 pada susu segar yang berasal dari Indonesia dengan metode ELISA yaitu 8.53±3.92 ng/L (Nuryono et al. 2009), dengan nilai presisi 1. Jumlah sampel yang diambil berdasarkan perhitungan rumus tersebut ialah 60 sampel. Sampel yang diambil ialah susu pasteurisasi tanpa penyedap cita rasa yang telah memiliki nomor BPOM RI. Sampel diambil minimal 1 liter dengan memperhatikan kemasan tidak rusak atau cacat, kode produksi dan tanggal kadaluarsa. Sampel dibawa ke laboratorium menggunakan kotak berpendingin, kemudian disimpan beku sampai dilakukan pengujian.
Bahan Bahan yang digunakan ialah susu pasteurisasi dan untuk pengujian ELISA digunakan kit ELISA untuk aflatoksin M1 (RIDASCREEN® AFM1 R1121, R-Biopharm, Jerman). Bahan yang digunakan untuk pengujian LC-MS/MS ialah larutan aflatoksin M1 standar, methanol, aquabidest, acetonitril dan ammonium acetat.
Alat Alat yang digunakan untuk pengujian ELISA antara lain sentrifuse, pipet, mikropipet 20-200 µl dan 200-1000 µl, dan mikrotiter plate spektrofotometer (Dynex Technologies Inc, USA). Alat yang digunakan untuk pengujian LC-MS/MS ialah seppak C18, turbovab evaporator, dan LC-MS/MS.
10 Prosedur Pengujian Pengujian Aflatoksin M1 dengan ELISA Analisis residu AFM1 dalam sampel susu pasteurisasi dilakukan dengan metode ELISA kompetitif berdasarkan prosedur pemeriksaan dalam kit ELISA untuk AFM1 (RIDASCREEN® Aflatoxin M1 (Art. No.: R1121), R-Biopharm, Jerman) dan sampel diuji secara duplo. Sampel susu dikondisikan pada suhu 10 °C, kemudian disentrifuse pada 3500 g selama 10 menit. Krim pada lapisan atas dihilangkan menggunakan pipet pasteur, kemudian 100 µl susu yang telah dihilangkan lemaknya digunakan untuk pengujian. Larutan antibodi anti-aflatoxin M1 sebanyak 100 µl ditambahkan ke setiap sumur dari microwell, dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu ruang (20-25 °C) selama 15 menit. Larutan antobodi dibuang dengan cara membalikkan posisi microwell pada kertas penyerap, kemudian dilakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan 250 µL larutan washing buffer pada setiap sumur. Standar AFM1 dan sampel masing-masing sebanyak 100 µl ditambahkan ke setiap sumur, dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu ruang dalam keadaan gelap selama 30 menit. Cairan standar dan sampel dibuang dengan cara membalikkan posisi microwell pada kertas penyerap, kemudian dilakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan 250 µl larutan washing buffer. Enzim konjugat (100 µl) ditambahkan ke setiap sumur, dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu ruang dalam keadaan gelap selama 15 menit. Cairan dibuang dengan cara membalikkan posisi microwell pada kertas penyerap, kemudian dilakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan 250 µl larutan washing buffer. Substrat/chromogen sebanyak 100 µl ditambahkan ke setiap sumur dan dihomogenkan, kemudian diinkubasi pada suhu ruang dalam keadaan gelap selama 15 menit. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 100 µl stop solution ke setiap sumur. Absorbansi diukur dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Pembacaan dilakukan dalam jangka waktu 15 menit setelah penambahan stop solution dengan melihat nilai optical density (OD) yang tercetak dari ELISA reader, kemudian diintegrasikan ke dalam bentuk kurva kalibrasi standar menggunakan software RIDA®SOFT Win (Art. No. Z9999). Pengujian Aflatoksin M1 dengan LC-MS/MS Pengujian AFM1 dengan menggukan metode LC-MS/MS dilakukan dengan prosedur pengujian yang dikembangkan oleh Association of Analytical Communities (AOAC 2000). Pada awal pengujian dilakukan pembuatan kurva standar AFM1 yaitu 10 ppt, 50 ppt, 100 ppt, 250 ppt, 500 ppt, 1000 ppt, dan 2000 ppt. Sampel susu yang telah disimpan beku, dicairkan pada suhu ruang, kemudian sampel sebanyak 5 ml dipipet ke dalam seppak C18 yang telah dikondisioning dengan menggunakan 3 ml methanol dan 3 ml aquabidest. Seppak C18 dicuci dengan 2 ml aquabidest dan dielusi dengan 3 ml campuran methanol dan acetonitril (1:1), kemudian dikeringkan dengan menggunakan turbovab evaporator pada suhu 40 °C selama 60 menit. Residu AFM1 dilarutkan dengan fase gerak berupa campuran methanol dan ammonium acetat (60:40) kemudian diinjeksikan sebanyak 30 µl pada LC-MS/MS.
11 Prosedur Analisis Data Variabel yang diamati pada penelitian ini ialah kandungan AFM1 pada susu pasteurisasi. Analisis data yang digunakan ialah analisis deskriptif dengan menyajikan hasil uji dalam bentuk tabel dan gambar.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis sampel yang dianalisis pada penelitian ini ialah susu pasteurisasi tanpa penyedap cita rasa yang diproduksi di Indonesia dengan produsen yang berada di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pengambilan sampel dilakukan di swalayan dan agen pengecer yang memiliki tempat berpendingin di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat. Susu pasteurisasi dikemas dalam kemasan yang bervariasi seperti karton, botol plastik, gelas plastik, dan kantong plastik dengan volume antara 165 ml sampai 1 liter. Masa kadaluarsa sampel susu pasteurisasi yang tertulis dalam kemasan bervariasi antara 5 sampai 29 hari. Deteksi AFM1 pada susu pasteurisasi dalam penelitian ini menggunakan metode ELISA kompetitif dan dilanjutkan dengan uji konfirmasi dengan LC-MS/MS. Metode ELISA digunakan untuk mendeteksi mikotoksin karena memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi, dan mampu menguji sampel dalam jumlah banyak pada waktu bersamaan dengan preparasi sampel yang sederhana dan prosedur kerja yang cepat (Zheng et al. 2006). Oleh karena itu metode ELISA dapat digunakan sebagai uji tapis (screening test) untuk deteksi AFM1. Kelemahan dari metode ELISA ialah adanya reaksi silang dengan senyawa-senyawa yang memiliki struktur inti sama. Faktor penting yang harus diperhatikan dalam metode ELISA antara lain penanganan terhadap kit ELISA, masa kadaluarsa, peralatan yang digunakan untuk pengujian sudah dikalibrasi dengan baik, serta keterampilan dan pengalaman analis dalam melakukan pengujian (Burgess 1995). Hasil pengujian ELISA untuk AFM1 dilakukan dengan mengalkulasi hasil uji sampel dengan kurva standar uji ELISA. Tipikal kurva standar uji ELISA untuk AFM1 disajikan pada Gambar 1. Limit deteksi uji ELISA yang digunakan untuk mendeteksi AFM1 pada penelitian ini ialah 10 ppt dengan 50% inhibition concentration (IC50) sebesar 31.8 ppt. Limit deteksi merupakan tingkat konsentrasi terendah yang dapat digunakan untuk mendeteksi suatu substansi. Hasil pengujian AFM1 pada susu pasteurisasi dengan metode ELISA menunjukkan AFM1 terdeteksi pada 57 sampel (95%) dengan konsentrasi 20.77 sampai 458.87 ppt (93.20±69.72 ppt). Aflatoksin M1 dengan kisaran konsentrasi 10 sampai 50 ppt terdeteksi pada 14 sampel (23.33%), 41 sampel (68.33%) dengan kisaran konsentrasi 50.01 sampai 250 ppt, dan 2 sampel (3.33%) dengan kisaran konsentrsi 250.01 sampai 500 ppt (Tabel 5). Aflatoksin M1 pada susu pasteurisasi yang diperiksa tidak melebihi batas maksimum yang ditetapkan oleh SNI 7385:2009 yaitu 500 ppt, tetapi 71.67% sampel melebihi batas maksimum AFM1 yang ditetapkan Uni Eropa yaitu 50 ppt.
13
Gambar 1 Kurva standar uji ELISA untuk aflatoksin M1.
Tabel 5 Konsentrasi Aflatoksin M1 pada susu pasteurisasi Konsentrasi AFM1 (ppt) Jumlah sampel a
< 10a 3 (5%)
10-50 14 (23.33%)
50.01-250 41 (68.33%)
250.01-500 2 (3.33%)
Rata-rata konsentrasi AFM1 (ppt) 93.20±69.72
Konsentrasi AFM1 dibawah limit deteksi uji (10 ppt)
Sampel yang menunjukkan hasil positif dengan metode ELISA kemudian dikonfirmasi untuk memastikan AFM1 pada susu pasteurisasi. Uji konfirmasi AFM1 pada susu pasteurisasi dalam penelitian ini dilakukan dengan metode LC-MS/MS. Metode LC-MS/MS dapat mendeteksi mikotoksin secara kualitatif dan kuantitatif dengan tingkat akurasi dan presisi, serta spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi. Kelemahan dari metode LC-MS/MS ialah instrumen yang mahal serta membutuhkan analis yang terlatih (Maryam 2007). Uji LC-MS/MS dilakukan terhadap 7 sampel susu pasteurisasi yang memiliki konsentrasi AFM1 lebih dari 100 ppt pada uji ELISA. Limit deteksi uji LC-MS/MS pada penelitian ini ialah 10 ppt. Residu AFM1 pada sampel susu pasteurisasi terdeteksi pada uji LC-MS/MS seperti terlihat pada kromatogram hasil uji LC-MS/MS pada Gambar 2.
14
A
B
C
D
Gambar 2 Hasil LC-MS dari standar AFM1 10 ppt (A), kontrol negatif (B), sampel VM5 (C), spike sampel dengan AFM1 10 ppt (D).
Keberadaan AFM1 pada susu pasteurisasi dapat berasal dari AFM1 yang ada pada susu segar. Hal ini disebabkan oleh AFM1 memiliki sifat yang stabil terhadap pemanasan suhu pasteurisasi (Stoloff et al. 1975), sehingga AFM1 masih dapat ditemukan pada susu pasteurisasi (Celik et al. 2005). Penelitian Mohammadian et al. (2010) menunjukkan bahwa konsentrasi AFM1 pada susu segar dan susu pasteurisasi yang berasal dari Sanandaj (Iran) tidak berbeda nyata. Aflatoksin M1 dapat ditemukan pada susu segar akibat kontaminasi tidak langsung atau carry-over dari pakan. Mamalia laktasi yang mengonsumsi pakan yang terkontaminasi AFB1 akan mengekskresikan metabolit hidroksilasi berupa AFM1 ke dalam susu yang dihasilkan (Prandini et al. 2009). Kondisi iklim tropis seperti di Indonesia sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan kapang
15 A. flavus dan A. parasiticus pada bahan pakan ternak yang akan memproduksi aflatoksin pada bahan pakan tersebut. Kapang A. flavus dapat tumbuh pada suhu 10-45 °C, dengan Aw minimum 0.80 dan kelembaban relatif lebih dari 85%, suhu optimum untuk memproduksi aflatoksin ialah sekitar 25-35 °C (Syarief et al. 2003). Penelitan kontaminasi aflatoksin pada bahan pakan ternak di Indonesia menunjukkan hasil yang cukup tinggi. Kontaminasi AFB1 dalam pakan konsentrat sapi perah di peternakan sapi perah di Yogyakarta berkisar antara 4.3 sampai 215.9 ppb dan 29 sampel (24.17%) yang diperiksa melebihi batas maksimum kandungan AFB1 yang ditetapkan yaitu 20 ppb (Fillaeli 2007). Cemaran AFB1 di dalam bahan pakan sapi perah merupakan sumber utama AFM1 pada susu. Sapi perah yang mengonsumsi 40 µg AFB1 akan menghasilkan susu yang mengandung AFM1 dengan konsentrasi 0.05 µg/kg dalam waktu 2 sampai 3 hari setelah konsumsi AFB1 (Prandini et al. 2009). Tingkat carry-over AFM1 bervariasi bergantung pada konsentrasi AFB1 dalam pakan. Penelitian Bantaokul dan Ruangwises (2010) menyatakan tingkat carry-over AFM1 ke dalam susu sapi selama periode laktasi ialah 2.35±0.7%. Tingkat carry-over AFB1 dalam pakan menjadi AFM1 pada susu sapi peranakan Friesian Holstein di Yogyakarta sebesar 0.1%, nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan tingkat carry-over AFB1 pada sapi perah di daerah sub-tropis (Sumantri et al. 2012). Kandungan AFM1 dalam susu telah dilaporkan pada susu segar yang berasal dari peternakan sapi perah di beberapa wilayah di Indonesia. Widiastuti et al. (2006) melaporkan AFM1 pada susu segar yang berasal dari peternakan sapi perah di Kota Bogor dengan konsentrasi 1 sampai 343 ppt dan dari Pangalengan (Kabupaten Bandung) dengan konsentrasi 2 sampai 1200 ppt. Deteksi AFM1 juga telah dilakukan pada 113 sampel susu segar yang berasal dari peternakan sapi perah di Yogyakarta dengan hasil 42.5% konsentrasi AFM1 kurang dari 5 ppt dan 57.5% mengandung AFM1 dengan konsentrasi 5 sampai 25 ppt (Nuryono et al. 2009). Penelitian lain memberikan hasil konsentrasi AFM1 dalam susu segar dari peternakan sapi perah di Yogyakarta sebesar 33 sampai 113 ppt (Fillaeli 2007). Keberadaan AFM1 pada susu segar menjadi sumber adanya AFM1 pada produk olahan susu. Hal ini disebabkan oleh sifat AFM1 yang stabil pada pemanasan, baik suhu pasteurisasi maupun sterilisasi (Stoloff et al. 1975; Prandini et al. 2009), dan tidak mengalami kerusakan pada proses pemanasan mencapai 250 °C (Syarief et al. 2003). Proses pemanasan pada susu pasteurisasi menurut SNI 01-3141-1995 ialah 63-66 °C selama minimum 30 menit atau 72 °C selama minimum 15 detik, sehingga AFM1 masih dapat ditemukan pada susu pasteurisasi (Celik et al. 2005). Proses pemanasan dan penambahan kultur starter untuk fermentasi juga menunjukan tidak adanya penurunan AFM1 yang signifikan pada produk seperti kefir dan yoghurt (Hassanin 1994; Prandini et al. 2009). Keberadaan AFM1 pada susu pasteurisasi telah dilaporkan di beberapa negara dengan konsentrasi yang bervariasi. Deteksi AFM1 pada susu pasteurisasi di Siria menunjukkan seluruh sampel positif AFM1 dengan konsentrasi 8 sampai 765 ppt (Ghanem dan Orfi 2009). Deteksi AFM1 pada susu pasteurisasi di Turki menunjukkan 64% sampel mengandung AFM1 dengan konsentrasi lebih dari 50 ppt (51 sampai 127.6 ppt) (Celik et al. 2005), sementara hasil deteksi AFM1 pada susu pasteurisasi di Iran (Ahvaz City) menunjukkan konsentrasi AFM1 kurang dari 50 ppt (0.45 sampai 9.76 ppt) (Behfar et al. 2012). Konsentrasi AFM1
16 pada susu pasteurisasi yang berasal dari Sao Paulo (Brazil) antara 10 sampai 20 ppt (Shundo et al. 2009). Keberadaan AFM1 pada susu dan produk susu dapat bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lokasi geografis, negara, musim, kondisi lingkungan, rendahnya ketesediaan hijauan, penggunaan pakan konsentrat yang berlebihan dan kontaminasi AFB1 pada pakan dan biji-bijian selama penyimpanan (Oliveira et al. 2013). Konsentrasi AFM1 pada susu segar yang dikumpulkan pada musim semi dan musim panas tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi berbeda nyata dengan konsentrasi AFM1 pada susu segar yang dikumpulkan pada musim dingin (Mohammadian et al. 2010). Penggunaan pakan konsentrat yang terbuat dari biji-bijian dan produk samping dari pertanian juga berpeluang meningkatkan konsentrasi AFM1 dalam susu. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ghanem dan Orfi (2009) yang menunjukkan konsentrasi AFM1 pada susu domba dan kambing relatif lebih rendah dibandingkan dengan susu sapi, karena domba dan kambing digembalakan di padang rumput sedangkan sapi dikandangkan dan diberi pakan konsentrat. Dampak dari AFM1 dalam susu perlu diperhatikan walaupun berada di bawah batas maksimum kandungan aflatoksin yang telah ditetapkan karena paparan jangka panjang AFM1 dalam pangan pada tingkat yang sangat rendah dapat mengganggu kesehatan manusia. Asupan harian (daily intake) untuk AFM1 yang dapat ditoleransi ialah 0.2 ng/kg berat badan (Kuiper-Goodman 1990). Dosis dan durasi paparan aflatoksin sangat mempengaruhi akibat yang ditimbulkan, seperti paparan aflatoksin dalam dosis tinggi mengakibatkan infeksi akut dan kematian, sedangkan dosis subletal secara kronis menimbulkan gangguan nutrisi dan imunologis (Williams et al. 2004). Paparan kronis aflatoksin dalam pangan merupakan risiko utama terjadinya hepatoseluler karsinoma terutama di negara dengan infeksi hepatitis virus B merupakan penyakit yang endemik. Kanker hati merupakan kanker nomor lima paling banyak di Indonesia, dengan angka kejadian dan kematian yang tinggi. Kasus kanker hati pada 483 orang menunjukkan 36 kasus (76%) berhubungan erat dengan sirosis hati, hepatitis B dan hepatitis C, sedangkan 116 kasus (24%) berhubungan dengan faktor lain yang diduga karena karsinogen termasuk aflatoksin (Rasyid 2006). Penelitian lain menunjukkan bahwa aflatoksin terdeteksi pada 58% dari 80 pasien kanker hati, dengan konsentrasi aflatoksin B1, G1, dan M1 pada spesimen hati mencapai 400 µg/kg (Sudjadi et al. 1999). Keberadaan AFM1 dalam susu perlu diperhatikan karena dapat mengganggu kesehatan manusia. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan untuk pengendalian AFM1 dalam susu. Cara yang paling efektif dalam pengendalian AFM1 dalam produk susu ialah mengurangi kontaminasi AFB1 dari bahan baku pakan konsentrat untuk sapi perah. Usaha pencegahan kontaminasi aflatoksin pada bahan baku pakan dan pakan lebih efektif dilakukan terhadap pencegahan infeksi kapang Aspergillus karena struktur aflatoksin yang stabil. Beberapa usaha pencegahan kontaminasi aflatoksin yang dapat dilakukan antara lain penurunan kadar air bahan pakan dan pakan, penurunan suhu dan kelembaban, penggunaan bahan pakan yang bebas dari serangan hama dan penyakit, modifikasi atmosfir ruang simpan dan kemasan pakan serta penggunaan biokontrol seperti yeast (Iswari 2006).
17 Pengendalian aflatoksin pada pakan dan pangan dapat dilakukan dengan penerapan konsep hazard analysis critical control point (HACCP). Secara umum konsep HACCP merupakan suatu sistem jaminan mutu yang menekankan pada pengawasan yang menjamin mutu sejak bahan baku sampai akhir produk. HACCP ialah suatu sistem jaminan mutu yang berdasaarkan kepada kesadaran bahwa hazard (bahaya) dapat timbul pada berbagai titik atau tahap produksi tertentu, tetapi dapat dilakukan pengendaliannya untuk mengontrol bahaya-bahaya tersebut (Winarno 2004). HACCP ialah suatu piranti untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem pengandalian yang memfokuskan pada pencegahan daripada mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir (BSN 1998). Sistem HACCP bukan merupakan sistem jaminan keamanan yang zero risk atau tanpa resiko, tetapi dirancang unutk meminimalkan resiko bahaya keamanan pangan. Dalam rangka mendesain program HACCP untuk aflatoksin, perhatian harus diberikan terhadap faktor-faktor seperti cuaca, sistem pertanian dan peternakan, teknologi sebelum masa panen melalui good agricultural practices (GAP), good farming practices (GFP) dan sesudah masa panen melalui good manufacturing practices (GMP). Faktor-faktor yang juga berpengaruh terhadap keberadaan aflatoksin di peternakan ialah tempat penyimpanan pakan, penggunaan pakan sisa dari pemberian pakan sebelumnya, cara pembersihan tempat pakan, kualitas air, serta lamanya penyimpanan. Idealnya sistem ini akan meminimalkan resiko dari setiap tahapan, baik pada saat penanaman, panen, produksi, proses pembuatan pakan, dan distribusi hingga produk pangan asal ternak tersebut siap dikonsumsi manusia. Pembahasan
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Aflatoksin M1 ditemukan pada 57 sampel (95%) susu pasteurisasi produksi Indonesia yang dijual di swalayan dan agen pengecer di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat, namun konsentrasinya di bawah batas maksimum kandungan AFM1 yang ditetapkan dalam SNI 7385-2009. Saran Monitoring dan surveilans terhadap AFM1 pada susu dan produk olahannya perlu dilakukan secara rutin untuk memastikan keamanan susu dan produk olahannya yang beredar di pasaran. Pencegahan AFM1 pada susu perlu dilakukan dari mulai peternakan, karena proses pemanasan tidak dapat menghilangkan AFM1 dalam susu.
DAFTAR PUSTAKA Al-Sawaf SD, Abdullah OA, Sheet OH. Use of enzyme linked immunosorbent assay for detection of aflatoxin M1 in milk powder. 2012. Iraqi J Vet Sci. 26(1):39-42. [AOAC] Association of Analytical Communities. 2000. Aflatoxin M1 and M2 in fluid milk liquid chromatographic method 49.3.06. Di dalam: AOAC Official Method 982. Ed ke-26. Bantaokul C, Ruangwises S. 2010. Carry-over of aflatoxin M1 into cow milk during early lactation period. Proc 9th CU Vet Sci An Con. 128. Behfar A, Khorasgani ZN, Alemzadeh Z, Goundarzi M, Ebrahimi R, Tarhani N. 2012. Determination of aflatoxin M1 levels in produced pasteurized milk in Ahvaz City by using HPLC. Jundishapur J Nat Pharm Prod. 7(2):80-84. doi:10.5812/jjpharma.4707. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. SNI 01-3141-1995 Susu Pasteurisasi. Jakarta (ID): BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 01-4852-1998 Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Point –HACCP) serta Pedoman Penerapannya. Jakarta (ID): BSN. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 7385:2009 Batas Maksimum Kandungan Mikotoksin dalam Pangan. Jakarta (ID): BSN. Burgess GW. 1995. Prinsip dasar ELISA dan variasi konfigurasinya. Artama WT, penerjemah. Di dalam: Burgess GW, editor. Teknologi ELISA dalam diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta (ID): GM University Pr. Terjemahan dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research. [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2004. Code of Hygienic Practice for Milk and Milk Products (ACA/CRP 57-2004) [internet]. [diunduh 2013 Feb 1]. Tersedia dari: www.codexalimentarius.org/input/download/ standards/.../ CXP_057e.pdf. Celik TH, Sarimehmetoglu B, Kuplulu O. 2005. Aflatoxin M1 contamination in pasteurised milk. Vet Arhiv. 75(1):57-65. Cullen JM, Ruebner BH, Hsieh LS, Hyde DM, Hsieh DP. 1987. Carcinogenicity of dietary aflatoxin M1 in male fischer rats compared to aflatoksin B1. Cancer Res. 47:1913-1917. Fernandez R. 2008. Microbiology Handbook Dairy Products. Cambridge (GB): Leatherheas Food International Ltd. Fillaeli A. 2007. Cemaran alami aflatoksin B1 dalam pakan konsentrat dan aflatoksin M1 dalam susu sapi perah [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2004. Worldwide Regulation for Mycotoxins in Food and Feed in 2003 [internet]. [diunduh 2013 Apr 11]. Tersedia dari: http://www.fao.org/docrep/007/y5499e/y5499e00.htm [FDA] Food and Drug Administration. 2009. Grade “A” Pasteurized Milk Ordinance [internet]. [diunduh 2012 Feb 1]. Tersedia dari: http://www.fda.gov/downloads/Food/FoodSafety/Product-SpecificInforma tion/MilkSafety/NationalConferenceonInterstateMilkShipmentsNCIMSMo delDocuments/UCM209789.pdf.
20 Ghanem I, Orfi M. 2009. Aflatoxin M1 in raw, pasteurized and powder milk available in the Syrian market. Food Control. 20:603-605. doi:10.1016/j.foodcont.2008.08.018. Hassanin NI. 1994. Stabillity of aflatoxin M1 during manufacture and storage of yoghurt, yoghurt-cheese and acidified milk. J Sci Food Agric. 65(1):31-34. doi:10.1002/jsfa.2740650106. Heshmati A, Milani JM. 2010. Contamination of UHT milk by aflatoxin M1 in Iran. Food Control. 21:19-22. doi:10.1016/j.foodcont.2009.03.013. Hussain I. 2011. Aflatoxin measurement and analysis. Di dalam: Torres-Pacheco I, editor. Aflatoxins-Detection, Measurement and Control [Internet]. [diunduh 2013 Apr 5]. Tersedia pada: http://www.intechopen.com/books/aflatoxins-detection-measurement-andcontrol/aflatoxin-measurement-andanalysis1. [IARC] International Agency for Research on Cancer. 2002. IARC Monographs on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans, Volume 82: Some Traditional Herbal Medicines, Some Mycotoxins, Naphthalene and Styrene. Perancis (FR): IARC. Iswari K. 2006. Kontaminasi aflatoksin pada pakan ternak. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor (ID): Balai Penelitian Veteriner. hlm 151-157. Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology Ed ke-7. New York (US): Spinger Science+Business Media, Inc. Kuiper-Goodman T. 1990. Uncertainties in the risk assessment of three mycotoxins: aflatoxin, ochratoxin, and zearalenon. Can J Physiol Pharmacol. 68:1017-1024. Layton GT. 1995. Penggunaan ELISA untuk asai toksin, pestisida dan antibiotik. Artama WT, penerjemah. Di dalam: Burgess GW, editor. Teknologi ELISA dalam diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta (ID): GM University Pr. Terjemahan dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research. Maryam R. 2007. Metode deteksi mikotoksin. J Mikol Ked Indon. 7(1-2):12-24. McCarthy J. 2003. Immunological techniques: ELISA. Di dalam: McMeekin TA, editor. Detecting Pathogens in Food. Cambridge (GB): Woodhead Publishing Limited. Mohammadian B, Khezri M, Ghasemipour N, Mafakheri S, Poorghafour LP. 2010. Aflatoksin M1 contamination of raw and pasteurized milk produced in Sanandaj, Iran. Arch Razi Institute. 65(2): 99-104. Murdiati TB, Priadi A, Rachmawati S, Yuningsih. 2004. Susu pasteurisasi dan penerapan HACCP (Hazard analysis critical control point). JITV. 9(3):172180. Nuryono N, Agus A, Wedhastri S, Maryudani YB, Setyabudi FMCS, Bohm J, Razzazi-Fazeli E. 2009. A limited survey of aflatoxin M1 in milk from Indonesia by ELISA. Food Control. 20:721-724. doi:10.1016/j.foodcont.2008.09.005. Oliveira CP, Soares NFF, Oliveira TV, Junior JCB, Silva WA. 2013. Aflatoxin M1 occurence in ultra high temperature (UHT) treated fluid milk from Minas Gerais/Brazil. Food Control. 30:90-92. doi:10.1016/j.foodcont.2012.07.026.
21 Prandini A, Tansini G, Sigolo S, Filippi L, Laporta M, Piva G. 2009. On the occurrenc of aflatoxin M1 in milk and dairy products [review]. Food Chem Toxicol. 47:984-991. doi:10.1016/j.fct.2007.10.005. Rasyid A. 2006. Temuan ultrasonografi kanker hati hepato selular (hepatoma). M Ked Nus. 39(2):100-103. Ray B. 2004. Fundamental Food Microbiology. Ed ke-3. Washington (US): CRC Press. Rysstad G, Kolstad J. 2006. Extended shelf life milk-advances in technology. Int J Dairy Technol. 59(2):85-96. doi:10.1111/j.1471-0307.2006.00.x Sarimehmetoglu B, Kuplulu O, Celik TH. 2004. Detection of aflatoxin M1 in cheese samples by ELISA. Food Control. 15:45-49. doi:10.1016/S09567135(03)000006-9. [Sekneg RI] Sekretaris Negara Republik Indonesia. 1996. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Jakarta (ID): Sekneg RI. Sengun IY, Yaman DB, Gonul SA. 2008. Mycotoxins and mould contamination in cheese: a review. World Mycotoxin J. 1(3): 291-298. doi:10.3920/WMJ2008.x041. Shundo L, Navas SA, Lamardo LCA, Ruvier V, Sabino M. 2009. Estimate of aflatoxin M1 exposure in milk and occurence in Brazil. Food Control. 20:655-657. doi:10.1016/j.foodcont.200809.019. Sopiyudin D. 2010. Besaran Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Ed ke-3. Jakarta (ID): Salemba Medika. Stoloff LM, Trucksess M, Hardin N, Francis OJ, Hayes JR, Polan CE, Campbell TC. 1975. Stability of aflatoksin M in milk. J Dairy Sci. 58 (12): 17891793. Sudjadi S, Machmud M, Damardjati DS, Hidayat A, Widowati S, Widiati A. 1999. Aflatoxin research in Indonesia. Di dalam: Dietzgen RG, editor. Elimination of Aflatoxin Contamination in Peanut. Canberra (AU): Australian Centre for International Agricultural Research. Sumantri I, Murti TW, Van Der Poel AFB, Boehm J, Agus A. 2012. Carry-over of aflatoxin B1-feed into aflatoxin M1-milk in dairy cows treated with natural sources of aflatoxin and bentonite. J Ind Trop Anim Agric. 37(4): 271-277. Sweeney MJ, Dobson ADW. 1998. Mycotoxin production by Aspergillus, Fusarium and Penicillium species. Int J Food Microbiol. 43: 141-158. Syarief R, Ega L, Nurwitri CC. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. Bogor (ID): IPB Press. Widiastuti R, Maryam R, Bahri S, Firmansyah R. 2006. Residu aflatoksin M1 pada susu sapi segar di Pangalengan dan Bogor Jawa Barat. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor (ID): Balai Penelitian Veteriner. hlm 239-243. Williams JH, Phillips TD, Jolly PE, Stiles JK, Joly CM, Aggarwal D. 2004. Human aflatoxicosis in developing countries: a review of toxicology, exposure, potential health consequences, and interventions. Am J Clin Nutr. 80:1106-1122 Winarno FG. 2004. HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan. Cetakan 2. Bogor (ID): M-Brio Press.
22 Zheng MZ, Richard JL, Binder J. 2006. A review of rapid methods for the analysis of mycotoxins. Mycopathologia. 161: 261-273. doi:10.1007/sl1046-006-0215-6.
23 Lampiran 1 Konsentrasi aflatoksin M1 pada susu pasteurisasi dengan metode ELISA No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Kode Sampel 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6
Konsentrasi AFM1 (ppt) 38.09 35.81 26.07 33.54 20.77 71.65 54.00 60.03 65.04 68.77 76.65 63.81 191.67 56.65 45.01 38.43 62.69 39.84 85.59 112.97 74.49 93.79 85.35 93.53 44.25 73.00 64.63 75.82 73.50 77.59
No 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Kode Sampel 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 8.1 8.2 8.3 8.4 8.5 8.6 9.1 9.2 9.3 9.4 9.5 9.6 10.1 10.2 10.3 10.4 10.5 10.6 VM1 VM2 VM3 VM4 VM5 VM6
Konsentrasi AFM1 (ppt) 164.54 107.11 103.43 171.81 105.25 159.90 99.81 2.52 98.34 4.32 102.24 4.17 197.77 198.87 270.92 103.01 102.05 102.82 25.57 32.98 48.36 34.28 35.99 106.13 83.01 94.44 104.95 101.30 458.87 95.66
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Mei 1982 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Angka Wijaya (alm) dan Ibu Samiyati. Penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 47 Jakarta dan melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan IPB pada tahun 2000. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) pada tahun 2004, kemudian menempuh Pendidikan Profesi Dokter Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2011 penulis melanjutkan studi magister di Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana IPB dengan dukungan biaya pendidikan dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Sejak tahun 2008 sampai saat ini penulis bekerja sebagai Medik Veteriner pada Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Penulis menikah dengan drh Santoso, Msi pada tahun 2008 dan telah dikaruniai seorang putri bernama Kiandra Azkadina Nursaputri pada 2013.