Mengenal Aflatoksin dan Metode Analisisnya pada Kakao Oleh: Bayu Refindra Fitriadi, S.Si Calon PMHP Ahli Pertama Kakao merupakan salah satu produk unggulan perkebunan Indonesia, bahkan saat ini Indonesia menempati peringkat ke-3 dunia sebagai negara penghasil kakao terbesar dunia. Namun tingginya produksi kakao ini tidak dibarengi dengan meningkatnya kualitas produk kakao yang dihasilkan. Kualitas biji kakao yang diekspor oleh Indonesia dikenal rendah. Di Amerika Serikat, biji kakao Indonesia selalu mendapatkan penahanan (automatic detention) karena sering ditemukan jamur, kotoran, serangga dan benda asing lainnya. Jamur yang sering ditemui pada biji kakao yang proses penanganan dan pengolahan yang tidak tepat adalah jamur dari genera Aspergillus, Mucorsp, Penicilium, dan Rhyzopus. Aspergillus.flavus dan A. parasiticus dan A. niger merupakan jamur yang dapat menghasilkan mikotoksin pada biji kakao kering. Walaupun belum ada penolakan produk kakao Indonesia terkait kandungan mikotoksin seperti yang terjadi pada pala Indonesia beberapa waktu lalu, akan tetapi apabila tidak diantisipasi dengan baik, bukan tidak mungkin pada masa yang akan datang akan terjadi penolakan kakao produk Indonesia karena mengandung aflatoksin yang melebihi batas. Jamur penyebab aflatoksin dapat tumbuh dan berkembang pada hasil-hasil perkebunan kakao sebelum panen, pada hasil panen kakao yang sedang disimpan maupun produk kakao yang sedang atau telah diolah. Belum dikuasainya teknologi penanganan pascapanen biji kakao kering atau pengolahan pascapanen yang kurang tepat dan tidak layak seperti pemanenan, sortasi, pencucian, penjemuran dan penyimpanan, menyebabkan mudahnya terjadi kontaminasi mikroorganisme yang tidak diharapkan seperti jamur penghasil toksin. Jamur tersebut akan mencemari biji kakao dan dapat menimbulkan perubahan-perubahan kimiawi di dalamnya, sehingga komoditi ini tidak dapat dikonsumsi atau bahkan beracun. Selain pada biji kakao, jamur ini juga dapat tumbuh pada jagung, kopra, kedelai, cantel, kopi, beras, gaplek, tembakau, jamu dan lain-lain. Jamur mikotoksigenik yang tumbuh di produk kakao memungkinkan adanya mikotoksin pada produk kakao. Kontaminasi mikotoksin pada biji kakao tidak
hanya berbahaya bagi kesehatan manusia namun juga dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar dan berpengaruh terhadap perdagangan Internasional. Aflatoksin adalah senyawa racun yang dihasilkan oleh metabolit sekunder jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Selain itu, aflatoksin diproduksi juga oleh jamur Aspergillus nomius, A.
pseudotamarii
dan A. ochraceoroseus.
A. flavus
dan A.
parasiticus tumbuh pada kisaran suhu yang panjang, berkisar dari 10–12oC sampai 42– 43oC dengan suhu optimum 32–33oC dan pH optimum 6. Jamur ini biasanya ditemukan pada bahan pangan/pakan yang mengalami proses pelapukan. Pertumbuhan aflatoksin dipacu oleh kondisi lingkungan dan iklim, seperti kelembapan, suhu, dan curah hujan yang tinggi. Kondisi seperti itu biasanya ditemui di negara tropis seperti Indonesia. Selain itu, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin adalah (1) pengaruh aerasi, dimana proses fermentasi yang dilakukan pada wadah yang tidak memiliki aerasi yang bagus (2) pengaruh atmosfir (gas udara) seperti CO2, dan O2; (3) suhu, dimana suhu optimum untuk memproduksi toksin yaitu 25oC ; (4) pengaruh kelembaban, dimana RH pada proses fermentasi lebih dari 80 %. Aflatoksin merupakan salah satu nama sekelompok senyawa yang termasuk mikotoksin dan paling toksik dibanding mikotoksin lainnya. Aflatoksin dikenal susunan kimianya pada tahun 1964, yang mula-mula dibagi dalam dua golongan yatu aflatoksin jenis B dan jenis G berdasarkan atas warna fluoresensi apabila dikenai sinar ultra violet; masing-masing warna biru (blue) untuk aflatoksin jenis B dan warna kehijauan (green) untuk jenis G. Pada saat itu baru diketahui empat jenis aflatoksin yaitu B1, B2, G1 dan G2, yang masing-masing mempunyai struktur kimia serta daya racun yang berbeda, di mana aflatoksin B1 adalah yang sangat beracun. Aflatoksin bersifat sangat tidak larut dalam air, larut dalam aseton atau chloroform dan titik cairnya antara 237-289oC. Aflatoksin memiliki sifat racun yang akut dan kronis. Aflatoksin bersifat karsinogen dan banyak ditemukan pada produk pertanian. Aflatoksin dapat menyebabkan kanker dan ginjal pada manusia bila dikonsumsi secara berlebihan. Dalam dosis yang tinggi aflatoksin dapat menyebabkan efek akut. Aflatoksin juga dapat terakumulasi di otak dan mempunyai efek buruk terhadap paru-paru, miokarbium dan ginjal. Efek kronik dan sub akut aflatoksin pada manusia yaitu penyakit hati seperti kanker hati, hepatitis kronik, penyakit kuning, dan sirosis hati. Aflatoksin
dapat pula mengakibatkan gangguan penyerapan makanan, gangguan pencernaan dan metabolisme nutrien akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi aflatoksin pada konsentrasi
rendah
secara
terus
menerus.
Aflatoksin
juga
berperan
dalam
menyebabkan penyakit seperti busung lapar. Selain itu juga dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh pada manusia dan hewan. Efek kronis racun aflatoksin merupakan penyebab kanker yang potensial (potent carcinogen). Aflatoksin B1 adalah penyebab kanker hati yang potensial (potent hepato carcinogen). Mengingat bahaya yang ditimbulkannya, maka WHO, FAO dan UNICEF telah menetapkan batas kandungan aflatoksin pada produk pertanian yang dikonsumsi, tidak lebih dari 30 ppb. Bahkan Europan Commission menetapkan batas maksimal total aflatoksin lebih rendah yakni 4 ppb untuk produk serelia. Metode analisis aflatoksin pada produk perkebunan dapat dilakukan dengan menggunakan ELISA maupun dengan metode instrumen HPLC dengan detektor fluorosence. Kedua metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing. Metode analisis ELISA atau enzyme linked immunosorbent assay dapat digunakan untuk menentukan kadar aflatoksin pada produk perkebunan. Keuntungan dari teknik analisis ini adalah sangat sensitif dan spesifik dengan menggunakan antibodi. Selain itu, waktu analisisnya cepat, baik pada contoh tunggal maupun banyak. Prinsip dasar ELISA adalah analisis interaksi antara antigen dan antibodi yang teradsorpsi secara pasif pada permukaan fase padat dengan menggunakan konjugat antibody atau antigen yang dilabel enzim. Enzim ini akan bereaksi dengan substrat dan menghasilkan warna. Warna yang timbul dapat ditentukan secara kualitatif dengan pandangan mata atau kuantitatif dengan pembacaan nilai absorbansi (OD) pada ELISA plate reader. Adapun untuk preparasi contoh, biji kakao yang kering dilarutkan pada larutan metanol 70% dan didiamkan selama 30 menit sampai mengendap. Endapan disaring dan filtrat contoh siap dianalisa menggunakan ELISA seperti metode di atas. Analisis berlangsung dalam wadah microwell (mikroplat) dengan konsentrasi antibodi yang dilapiskan pada mikroplat 0 mg/ml. Aflatoksin B1 yang terdapat pada contoh yang diperiksa akan berkompetisi dengan antibodi yang berada dalam mikroplat.
Bahan atau pereaksi yang tidak berikatan akan terbuang setelah mengalami proses pencucian. Dengan menambahkan substrat pada mikroplat akan terbentuk warna pada ikatan antara antibodi dan enzim konjugat. Semakin biru warna yang dihasilkan, semakin kecil aflatoksin B1 yang terdapat pada contoh yang dianalisis. Hasil analisis ditentukan dengan membaca Optical Density (OD) pada ELISA plate reader. Kurva kalibrasi, plot antara nilai OD dan konsentrasi standar aflatoksin B1 dibuat dan digunakan untuk menghitung kadar aflatoksin B1 pada contoh. Selain menggunakan metode ELISA, kadar aflatoksin pada kakao juga bisa ditentukan, baik kuantitatif maupun kualitatifnya dengan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography) atau Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Prinsip kerja dari metode HPLC ini adalah perbedaan distribusi dari komponen-komponen campuran tersebut diantara dua fase, yaitu fase diam dan fase bergerak dan dideteksi menggunakan detektor fluorosense. Untuk penentuan secara kualitatif dari Aflatoxin didasarkan pada waktu retensi atau volume retensi suatu senyawa yaitu dengan membandingkan t atau V senyawa dalam contoh yang dianalisis dengan t atau V Aflatoxin standar yang telah diketahui. Sedangkan untuk mengetahui secara kuantitatif dari Aflatoxin yang terdapat dalam contoh didasarkan pada prinsip bahwa tinggi puncak suatu kromatogram akan sebanding dengan kadar senyawa yang membentuk kromatogram tersebut. Keuntungan dari metode HPLC ini adalah analisis yang cepat, resolusi yang diperoleh relatif tinggi, sensitivitas detektor yang baik, kolom sebagai fase diam yang dapat digunakan kembali sehingga menguntungkan secara ekonomis, ideal untuk zat bermolekul besar dan berionik seperti Aflatoxin dan mudah untuk recovery contoh. Teknik analisis Aflatoxin menggunakan metode HPLC menggunakan fase gerak berupa campuran larutan Acetonitrile : Metanol : Aquabidest (1:3:6), dengan laju alir 1,0 mL / menit, dan volume injeksi sebesar 20 µL. Adapun detektor yang digunakan adalah detektor fluorescence pada panjang gelombang
eksitasi 365 nm
dan panjang
gelombang emisi 450 nm. Fasa diam menggunakan kolom Rp-18 Lichrospher dengan panjang
250 mm dan diameter 4.0
mm dengan ukuran partikel 5µm. Standar
campuran Aflatoksin dibuat dari standar induk aflatoksin yang diencerkan dengan acetonitrile dan dihomogenkan. Deret standar aflatoksin 1 ppb ; 2 ppb ; 5 ppb ; 10 ppb ;
25 ppb ; 50 ppb ; dan 100 ppb di buat. Kemudian masing-masing deret standar yang telah dibuat dimasukkan ke dalam vial amber, setelah dicampur larutan dikocok sampai homogen. Ditimbang dengan teliti sebanyak 25 gram contoh dan ±5 gram serbuk NaCl dimasukkan ke dalam blender, ditambahkan 125 mL metanol 70%, diblender dengan kecepatan tinggi selama 2 menit. Larutan disaring dengan kertas saring. Dipipet 15 mL filtrat kemudian diencerkan dengan 30 mL aquabidest, kocok sampai homogen. 15 mL fitrat dilewatkan ke immunoaffinity column dengan kecepatan 1 tetes per detik, dilewatkan 10 ml aquabidest ke immunoaffinity column dengan kecepatan 2 tetes per detik. Setelah semua cairan turun, didorong dengan syringe hingga keluar udara dan dibuang cairan yang ditampung, dilewatkan 1 ml methanol ke immunoaffinity column, ditampung tetesan ke dalam vial amber. 1 mL standar atau sampel dalam metanol dalam vial amber diuapkan dengan gas nitrogen sampai kering. Setelah kering ditambahkan 100 µL TFA (tri fluoro acetic acid) dan divortex selama 30 detik, diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit (lindungi dari cahaya), ditambahkan 900 µL campuran acetonitril-aquabidest (1: 9), divortex selama 30 detik. Sampel diinjeksikan ke sistem kromatografi. Kadar aflatoksin dalam sampel dihitung dan ditetapkan menggunakan kurva kalibrasi (hubungan antara konsentrasi standar dan luas area) dengan garis lurus. Masing-masing metode baik ELISA maupun HPLC memberikan hasil yang signifikan dalam menentukan kandungan Aflatoxin dalam kakao sehingga dapat dijadikan referensi bagi analis dalam melakukan pengujian Aflatoxin dalam kakao.
Referensi: Asrul, 2009, Populasi Jamur Mikotoksigenik dan Kandungan Aflatoksin pada Beberapa Contoh Biji Kakao (Theobroma cacao L) Asal Sulawasi Tengah, J. Agroland 16 (3) : 258 - 267, September 2009 Muchtadi, D., 2010, Tidak Dapat Hilang Walau Sudah Diolah Aflatoxin, Racun Penyebab Kanker, diakses pada 26 September 2013 di http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_fdsf_aflatoxin.php Racmawati, Eka., Nasrianto, H., Mulyati, A.H., 2012, Kandungan Aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2) pada Kacang Tanah (Arachis hypogaea L) yang Beredar di Pasar Tradisional Daerah Jabotabek, diakses pada 26 September 2013 di http://ejournal.unpak.ac.id/detail.php?detail=mahasiswa &id=478
Syarief, R., 2012, Mikotoksin Bahan Pangan, diakses pada 26 September 2013 di https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja &ved=0CCgQFjAA&url=http%3A%2F%2Fxa.yimg.com%2Fkq%2Fgroups%2F20 875559%2F965541030%2Fname%2FMikotoksin_seminar_Prof%255B1%255D. _Rizal_s2_s3.ppt&ei=vRDUoqKK47GrAfLyYHQDA&usg=AFQjCNFT0KwB2SsXe YWKM1gCYP1yMwny-Q&sig2=0XWA_g4PiG4X4A fAVaqnw&bvm=bv.53217764,d.bmk Wangge, E.S.A., Suprapta, D.N., dan Alit, G.N., Wirya, S., 2012, Isolasi dan Identifiaksi Jamur Penghasil Mikotoksin pada Biji Kakao Kering yang Dihasilkan di Flores, J. Agric. Sci. and Biotechnol. Vol. 1, No. 1, Juli 2012 Yusrini, H., 2005, Teknik Analisis Kandungan Aflatoksin B1 Secara ELISA pada pakan ternak dan Bahan Dasarnya, Buletin Teknik Pertanian Vol. 10, Nomor 1, 2005