kepada pemerintah dalam membuat food standard pada sistem regulasi pangan, khususnya bahan pangan berbahan dasar kacang tanah di Indonesia. Bagi produsen dan distributor kacang tanah diharapkan dapat mengendalikan proses produksi, pengolahan pasca panen, penyimpanan, transportasi dengan baik dan melakukan evaluasi melalui proses pengawasan mutu (qualily cotltrol) sehingga cemaran aflatoksin dapat diminimalisasi jumlahnya. Secara tidak langsung penelitian ini diharapkan dapat ikut mendukung peningkatan ketahanan dan keamanan pangan dalam negeri. Hipotesis penelitian ini adalah ekshak kacang tanah dapat diidentifikasi mengandung aflatoksin B1 (berfluoresens bim tua), B2 (berfluoresens b h muda pudar), GI (berfluoresens bijau tua), G2 (berfluoresens hijau muda pndar) pada lempeng TLC. Senyawa aflatoksin yang terdeteksi pada ekstrak kasar kacang tanah memiliki tingkat toksisitas yang akut dan berbahaya jika hasil pengujian toksisitas LC,, (analisis Probit) pada Artemia salina nilainya < 1000 ppm.
TINJAUAN PUSTAKA Aflatoksin Aflatoksin berasal dari kata Aspergilus flavus toksin, untuk mengingatkan penemuan pertama kali dari toksin h i . Di dalam perkemhangan selanjutnya, aflatoksin diproduksi oleh kapang Aspergillus jlav~is, Aspergillus parasilic~is atau Aspergillus nornitis. Ketiga spesies kapang ini banyak terdapat pada bahan pangan seperti sereal, kacang-kacangan, rempah-rempah, dan kopra maupun produk olahannya seperti bumbu pecel, kacang telur, dan kacang atom. Kapang ini biasanya tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan lembab (Cullen 1993). Saat ini telah diketahui paling sedikitnya 4 macam aflatoksin alamiah yang paling sering dijumpai dan bersifat toksik, yaitu aflatoksin B1, 8 2 , GI, G2 berdasarkan penampakan fluoresensinya pada lempeng kromatografi lapis tipis di bawah sinar UV yang memberikan warna bim (blue) untuk B dan warna hijau (green) untuk G (Winarno 1997). Aflatoksin mempunyai kurang lebih 20 macam derivat, akan tetapi yang paling toksik adalah aflatoksin BI. Kadar toksisitas dari tiap jenis aflatoksin berbeda-beda. Tipe
aflatoksin yang paling toksik adalah aflatoksin B1, dengan urutan tingkat toksisitas adalah B1 > G1 >. B2 > G2 (Frank 1995). Seperti tampak pada Gambar I , struktur aflatoksin B1 dan B2 dapat menghasilkan senyawa metabolit aflatoksin MI dan M2 melalui hidroksilasi, dimana keduanya dihasilkan sapi atau hewan mminansia lainnya yang memakan pakan yang terkontaminasi oleh aflatoksin B1 atau 82. Aflatoksin MI dan M2 ini kemudian akan diekskresikan melalui susu yang dihasilkan sapi tersebut dan bisa saja mengknntarnir~asiproduk dari susu seperti keju dan yogurt. Aflatoksin sering terdapat pada ja,wg dnn produk olahannya, kacang dan produk olahannya, biji kapas, susu, kacang brasil, kacang pistachio dan walnut. Selain itu juga terdapat pada sereal dan produk sereal seperti pasta, dan mi instan. Pada sejumlah spesies hewan, senyawa ini menyebabkan nekrosis, sirosis dan karsinoma organ hati. Tidak ada hewan yang resisten terhadap efek toksik akut dari aflatoksin oleh karena itu disimpulkan manusia pun akan terkena efek yang sama (Cullen 1993). Aflatoksin B1 mempakan karsinogen paling potensial (termasuk kelompok 1A) pada banyak menyerang berbagai spesies termasuk primata, bumng, ikan, dan rodensia. Dalam dosis yang tinggi aflatoksin dapat menyebabkan erek akut. Aflatoksin juga dapat terakumulasi di otak dan mempunyai efek bumk terhadap paru-paw, miokardium dan ginjal. Efek kronik dan sub akut aflatoksin pada manusia yaitu penyakit hati seperti kanker hati, hepatitis kronik, penyakit kuning, sirosis hati. Aflatoksin dapat pula mengakibatkan gangguan penyerapan makanan, gangguan pencemaan dan rnetabolisme nutrien akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi aflatoksin pada konsennasi rendah secara terus menems. Aflatoksin juga be~perandalam menyebahkan penyakit seperti sindrom Reye's dan busung lapar. Selain itu juga dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh (imunosupresif) pada manusia dan hewan (Hollstein 1993). Aflatoksin ini di hati akan direaksikan menjadi senyawa epoksida (aflatoksin B1 8,9 oksida) yang sangat reaktif terhadap senyawasenyawa di dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan diikat oleh epoksida dan mengganggu kerja gen. Pemanasan hingga :250 c tidak efektif untuk menginaktifkan senyawa aflatoksin ini.
Diambil dari Cullen JM dan Newbeme PM (1993).
1
Gambar 1 Struktur kimia Aflatoksin. Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi aflatoksin biasanya tidak dapat dikonsumsi lagi. Praktis semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih pada kadar toleransi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak memperhatikan faktor kelembaban (minimum 7%) dan bertemperatur tinggi. Daerah tropis rnerupakan tempat berkembang biak paling ideal bagi kapang tersebut (Dwidjoseputro 1981). Kontaminasi aflatoksin sering terjadi di negara-negara beriklim tropis dan lembab seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Kasus kontaminasi aflatoksin diketahui terjadi pada awal tahun 1960-an dengan adanya kematian lebih dari 100.000 ekor ayam kalkun muda di peternakan lnggris karena pakan kacang brazil impor yang digunakan mengandung kadar aflatoksin yang tinggi. Peristiwa tersebut dikenal dengan Turkey X disease. Pada tahun 1967 tiga orang warga Taiwan meninggal akibat mengkonsumsi
beras terkontaminasi aflatoksin, dan pada tahun 1974 lebih dari 100 orang warga India meninggal akibat mengkonsumsi jagung terkontaminasi aflatoksin (Maxwell 2001). Aspergillus flavus Aspergill~rs jlavus mempakan kapang saprofit, koloni yang sudab menghasilkan spora benvama coklat kehijauan hingga kehitaman. Miselium yang semula benvarna putih tidak tampak lagi (Dwidjoseputro 1981). Bila asp erg ill^ jlavus telah memproduksi aflatoksin maka biji akan terasa pahit bila dimakan. Kandungan aflatoksin yang tinggi dikenali dari warna biji yang coklat dan rasa yang makin pahit pula. lnfeksi Aspergillus @us dan produksi aflatoksin pada biji-bijian atau kacang-kacangan mempakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. lnfeksi Aspergill~rs flnvus dan produksi aflatoksin pada biji-bijian atau kacangkacangan melibatkan tiga faklor agar terjadi
kolonisasi Aspergillusflavzrs dan kontaminasi aflatoksin. Ketiga faktor tersebut adalah varietas tanaman kacang-kacangan yang peka, Aspergillzrs Javus yang ganas dan agresif, serta lingkungan yang kondusif bagi perkembangan dan produksi aflatoksin (Dharmaputra OS et a1 1989). AspergiNus jlavus dan Aspergillus parasiticus memerlukan kelembaban relatif untuk pertumbuhan dengan batas optimum 82-85 % dan suhu 30-32"C, sedangkan kondisi optimum untuk menghasilkan aflatoksin adatah pada suhu 25-30°C dengan kelembaban relatif 85 % dan pertumbuhan jamur tersebut optimum pada kandungan air 15-30 % (Dwidjoseputro 1981). Kacang Tanah Kacang tanah (Arochis hypogaea L.) mempakan tanaman polong-polongan atau legum kedua terpenting setelah kedelai di Indonesia. Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan namun saat ini telah menyebar ke seluruh dunia yang beriklim hopis atau subhopis. Republk Rakyat Cina mempakan penghasil kacang tanah terbesar di dunia, disusul India sebagai penghasil terbesar kedua. Sebagai tanaman budidaya, kacang tanah terutama dipanen bijinya yang kaya protein dan lemak. Biji ini dapat dimakan mentah, direbus (di dalam polongnya), digoreng, atau disangrai. Di Amerika Serikat, biji kacang tanah diproses menjadi semacam selai dan mempakan industri pangan yang menguntungkan. Produksi minyak kacang tanah mencapai sekitar 10% pasaran minyak masak dunia pada tahun 2003 menurut FAO. Selain dipanen biji atau polongnya, kacang tanah juga dipanen hijauannya (daun dan batang) untuk makanan temak atau mempakan pupuk hijau. Kacang tanah budidaya dibagi menjadi dua tipe: tipe tegak dan tipe menjalar. Tipe menjalar lebih disukai karena memiliki potensi hasil lebih tinggi. Tanaman ini adalah satu di antara dua jenis tanaman budidaya, tanaman budidaya yang lainnya adalah kacang bogor (Voandziea subterranea) yang buahnya mengalami pemasakan di bawah permukaan tanah. Jika buah yang masih muda terkena cahaya, proses pemasakan biji terganggu. Cemaran Aflatoksin Pada Kacang Tanah Pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar karena berpengaruh terhadap eksistensi dan ketahanan hidupnya.
Tersedianya pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi menjadi persyaratan utama yang harus terpenuhi dalam upaya mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Kepedulian terhadap kesehatan masyarakat telvs meningkat seiring dengan banyaknya pemberitaan mengenai produk pangan nabati terkontaminasi oleh cemaran yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pada kenyataamya, cemaran tersebut dapat tejadi di sepanjang mata rantai panganfrom farm to table dan mungkin ada sebagai akibat dari berbagai tahapau sejak dari bahan baku, proses produksi, pengemasan, hansportasi sampai pemasaran. Kerusakan bahan pangan oleh jasad renik dapat menyebabkan makanan atau minuman tidak layak dikonsumsi akibat penurunan mutu atau karena makanan tersebut telah mengandung racun (Ginting 2005). Sumber-sumber karbohidrat seperti serealia dan bebijian cenderung dicemari oleh berbagai jenis kapang (Aspergillus, Penicillium, Fusarium, Rhizopus, Monilia). Maraknya kasus keracunan makanan nabati akhir-akhir ini menuntut kita untuk lebih waspada dalam memilih makanan yang benar-benar layak unh~k dikonsumsi. Kita perlu tahu bahwa segala macam bahan makanan pada umumnya merupakan media yang sesuai untuk perkembangbiakan mikroorganisme. Akibat mikroorganisme, bahan makanan membusuk dan mengalami kemsakan sehingga mempengaruhi kandungan nutrisi makanan tersebut. Keracunan karena mikroorganisme dapat bempa keracunan makanan wood intoxication) dan infeksi (bod infection) karena makanan yang terkontaminasi oleh parasit atau bakteri patogen. Keracunan makanan wood intoxication) dapat tejadi karena makanan tercemar toksin. Toksin bisa bempa eksotoksin yaitu toksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme yang ~nasih hidup, enterotoksin yaitu toksin yang spesifik bagi lapisan lendir usus seperti tahan terhadap enzim hipsin dan stabil terhadap panas; aflatoksin maupun toksoflavin seperti pada kasus keracunan tempe bongkrek (Cullen 1993). Kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah telah dilaporkan oleh banyak peneliti. Kacang tanah dalam bentuk polong segar, polong kering, biji serta produk olahan sederhana (kacang rebus, kacang garing, bungkil, oncom) dan olahan modem (kacang atom, pasta kacang, mentega kacang) umumnya telah terkontaminasi aflatoksin B1
1
dalam kadar di atas batas toleransi yang dinyatakan aman (Adenan ef a1 1985, Dharmaputra el a1 1989, Bahri 2001). Menurut Bahri (2001) kacang tanah merupakan substrat yang cocok untuk perkembangan berbagai macam kapang. Kesadaran penduduk dunia tentang keamanan pangan diwujudkan dengan penetapan standar mutu produk (IS0 9000) dan mutu lingkungan (IS0 14000) serta ekolabel sebagai inshumen pengendali nonlegal dalam interaksi pasar. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk meminimumkan kandungan aflatoksin dalam rangka menghilangkan berbagai bambatan dalam pemasaran serta melindungi konsumen dalam dan luar negeri perlu ddiembangkan (Ginting 2005). Selama penyimpanan, bahan pangan kacang-kacangan dapat mengalami kerusakan akibat adanya aktifitas mikroba seperti tumbuhnya jamur. Beberapa faktor yang dapat mempengarubi pertumbuhan Aspergilus f[avus pada kacang tanah antara lain adalab : 1) aktivitas air, yang dinyatakan dengan Aw yaitu jumlah air bebas yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme, 2) konsentrasi ion hidrogen, 3) temperatur, 4) konsistensi cair dan padat, 5) status nutrien, dan 6) adanya bahan pengawet (Pitt dan Hocking 1991). Kadar air dalam bahan pangan kacangkacangan serta kelembaban relatif sangat berpengamh pada pertumbuhan Aspergillzrs flmus penghasil aflatoksin. Kenaikan kadar air selama penyimpanan akibat komoditi kacang menyerap uap air dari udara menyebabkan pertumbuhan kapang semakin meningkat karena bertambah banyak spora kapang dari udara terbawa masuk (Goldblatt 1969). Kadar aflatoksin dalam komoditi kacang tanah meningkat seiring dengan meningkatnya kadar air kacang tanah selama penyimpanan (Kasno 2004). Kapang Aspergillus jlavus tumbuh dimana-mana baik di udara, air, tanah, bahan pangan (kacang-kacangan) maupun pakan seperti jagung, betas dan biji kapas (Dwidjoseputro 1981). Species Aspergillus dan Penicillium sangat cepat tumbuh pada biji-bijian, kacang-kacangan dan produk lainnya selama proses penyimpanan terutama jika kandungan air bahan cukup tinggi (Kasno 2004). L a w a Udang (Arthemin snlina Leaclr) Artemiu merupakan kelompok udangudangan (Crustaceae) dari filum Arthropoda. Mereka berkerabat dekat dengan zooplankton
lain seperti Copepode dan Dflphnia (kutu air). Artemia hidup di danau-danau garam (berair asin) yang ada di seluruh dunia. Udang ini toleran terhadap selang salinitas yang sangat luas, mulai dari nyaris tawar hingga jenuh garam. Secara ala~niahsalinitas danau dimana mereka hidup sangat hewariasi, tergantung pada jumlah hujan dan penguapan yang terjadi. Apabila kadar garam kurang dari 6 % telw Artemia akan tenggelam sehingga telur tidak bisa menetas. Hal ini biasanya terjadi apabila air tawar banyak masuk ke dalam danau di musim penghujan. Jika kadar garam lebih dari 25% telur akan tetap berada dalam kondisi tersusvensi. sehineea daoat menetas dengan normai (~u&akusu&h 2607):
Gambar 2 Siklus hidup Arlemia salina Leach (0-Fish 2007). Seperti tampak pada Ga~nbar2 , siklus hidup Arternia bisa dimulai dari saat menetasnya kista atau telor. Setelah 15-20 jam pada suhu 25°C kista aka1 menetas manjadi embrio. Dalam waktu 20-24 jam embrio ini masih menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio tersebut akan menyelesaikan perkembangannya kemuclian berubah menjadi naupli yang sudah bisa berenang bebas. Variabel yang menentukan siklus hidup artemia adalah pH, cahaya, suhu, kadar garam, dan oksigen. pH dengan selang 8-9 merupakan selang yang paling baik, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat rnembunuh Artemia. Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan dan akan sangat menguntungkan bagi pertumbuhan mereka. Lampu standar growlite sudah cukup untuk keperluan hidup Artemia. Kadar oksigen harus dijaga dengan baik untuk pertumbuhan Artemia. Melalui
asupan suplai oksigen yang baik, Artemia akan berwarna kuning atau merah jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengkonsumsi mikro algae. Saat kondisi yang ideal seperti ini, Artemia akan tumbuh dan beranak-pinak dengan cepat, sehingga suplai Arlemia untuk ikan yang kita pelihara bisa terns berlanjut secara kontinu. Apabila kadar oksigen dalam air rendah dan air banyak mengandung bahan organik atau jika salintas meningkat, Arlemia akan memakan bakteri, plankton, dan sel-sel khamir (yeast). Pada kondisi ini Artemia akan memproduksi hemoglobin sehingga tampak benvarna merah atau orange. Apabila keadaan ini terns berlanjut Artemia mulai memproduksi kista (Punvakusumah 2007). Pada saat inkubasi selama 24 jam di dalam media tumbuh (vial), larva udang mengalami proses aerasi menggunakan aerator. Aerasi mempakan proses terjadinya kontak antara air dengan udara, sehingga tejadi perpindahan senyawa yang bersifat volatil. Proses aerasi dapat meningkatkan jumlah oksigen ke dalam air, menghilangkan COz dan &S, serta menghilangkan rasa dan ban yang disebabkan oleh zat-zat organik. Aerasi juga dapat meningkatkan pH dan menurunkan panas air laut. Aerasi dilakukan dengan dua cara yaitu cara pertama dengan memompakan udara luar atau oksigen murni ke dalam air sehiigga diiasilkan gelembunggelembung udara yang berkontak dengan air. Cara kedua dilakukan dengan menekan air ke atas untuk berkontak dengan oksigen melalui pemutaran baling-baling yang diletakkan pada permukaan air, sehingga air terangkat dan berkontak langsung dengan udara sekitamya (Moss 1990). Metode Deteksi Aflatoksin Kadar aflatoksin pada bahan makanan nabati ditentukan dengan metode kromatografi lapis tipis (thin l q e r chromulography) sesuai dengan panduan Official Methods of Analysis of the A.0.A.C 970. 451 49. 2. 09. 2005 yang mengacu ketentuan SNI. Walaupun memerlukan waktu yang relatif lama dalam melakukan analisis, metode kromatografi lapis tipis lebih sederhana dan mudah dikerjakan bila dibandingkan dengan metode HPLC. Secara umum metode ini digunakan untuk mengukur kadar aflatoksin pada prodnk kacang tanah secara semi kuantitatif. Hasil akhir analisis dihitung dengan menggunakan rumus berikut,
dimana kandungan aflatoksin dalam contoh dinyatakan sebagai ppb (pait per billion) dihitung sampai dua angka desimal.
Keterangan: C = Kandungan masing-masiog aflatoksin dalam contoh (dalam ppb). S =Volume stmdar yang ditotolkan yang intensitasnya sama dengan intensitas contoh (dalam PI). Y = Konsentrasi masing-masing standar (dalam pgfml). W = Bobot contoh (dalam gram). Z = Volume ekstrak contoh yang ditotolkan yang memberikan intensitas yang sama dengan standar (dalam PI). V = Volume pelamt kloroform yang dipakai untuk melamtkan eks'ak (dalam PI). f = Faktor pengenceran. Saat ini sed'ang dikembangkan metode lain agar pendeteksian kadar aflatoksin dari sampel kacang tanah lebih bersifat kuantitatif, akurat serta lebih sensitif. Di luar negeri, khususnya Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa deteksi kadar aflatoksin BI, B2, GI, G2 maupun MI tclah dapat dilakukan dengan menggunakan metode analisis HPLC (kromatografi cair kinerja tinggi) yang memiliki sensilifitas dnn keakuratan yang sangat tinggi lnaupun KIT ELISA. Demi memenuhi standar kelayakan uji bertaraf internasional saat ini beberapa balai penelitian seperti BBIA dan Balitvet sedang melakukan riset penggunaan HPLC sebagai metode barn standardisasi SNI dalam proses pendeteksian aflatoksin, meskipun memerlukan biaya yang cendernng sangat mahal. Prinsip kerja dari KIT ELISA ini adalah pertama-tama antibodi dilapis pada plat mikro dan ditambahkan enzim konjugat serta lamtan sampel, lalu terjadi kompetisi antara aflatoksin B1, 82, GI, G2 dan konjugat. Setelah itu dilakukan pencucian, sehingga terjadi pembentukan warna setelah penambahan subsirat. Komponen pereaksi KIT ELISA antara lain standar aflatoksin (blank0 standar, aflatoksi~iB1 30, 10, 3.3, 1.1, 0.37, 0.12 ppb), enzim konjugat (Aflatoksin B1-Morse Radish Peroksidase), substrat A (Nidrogen peroksida), substrat B (Tetra methyl benzidin), larntan penghenti (asam sulfat), antibodi coaled plate, plat pencampuran polystyrena, serta software
pengolahan data (biosensor). Sementara itu keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan KIT ELISA ini adalah ekstrasi sampel sederhana, analisis lebih cepat (15 menit), sensitif dan spesifik, akurat (hasil konsisten dengan metoda HPLC) dan reprodusibel, kisaran analisis (0.3-30 ppb), kros reaktifitas (AFBI loo%, AFB2 0.9%, AFGl 3.1%, AFG2 11.2%), dapat menganalisis 40 sampel (duplo) sekaligus, serta ekonomis. Uji Toksisitas LCSoAtlatoksin dengan Analisis Probit (Finney) Lethal concentration (LCso) adalah dibutuhkan untuk konsentrasi yang mematikan setengah dari populasi (50%) yang ada (Frank 1995). Nilai LCSo tidak konstan, artinya nilainya berbeda antara spesies yang satu dengan spesies yang lain karena adanya variasi antar spesies. Nilai LC,, merupakan bentuk statistika yang didesain untuk menggambarkan respon yang mematikan komponen dalam beberapa populasi dari suatu percobaan (Balazs 1970). Banyak faktor yang berpengamh di dalamnya antara lain: umur, suhu, jumlah hewan uji, dan jenis galur (Fmney 1971). Salah satu metode analisis statistika yang digunakan untuk menghitung besarnya LCso adalah dengan menggunakan analisis probit. Analisis tersebut diperkenalkan oleh Finney tahun 1971. Metode regresi linear digunakan untuk mendapatkan grafik garis lums apabila probit kematian ditransformasikan pada log konsentrasi. Konsentrasi yang dapat mengakibatkan kematian 50% populasi hewan diperoleh dengan menarii garis dari 50% probit kematian (Finney 1971). Perbedaan konsentrasi pada setiap perlakuan secara jelas mempennudah dalam menentukan konsentrasi letal pada suatu hewan yang diujikan. Kontrol dalam percobaan sangat penting dalam suatu perhitungan mortalitas alami. Jika terjadi kematian dari suatu konhol, perlu dilakukan koreksi terhadap analisis dengan persen kematian terkoreksi. Setiap makhluk hidup mempunyai tingkat toleransi terhadap suatu rangsangan, respon tidak akan terjadi apabila berada di bawah tingkat toleransi tersebut (Finney 1971). Berbagai macam pengujian dilakukan untuk menentukan tingkat toksisitas senyawa cemaran aflatoksin pada kacang tanah sehingga dapat diketahui ambang batas toleransi keberadaan senyawa tersebut pada
makanan. Salah satu pengujian yang dilakukan adalah dengan menggunakan larva udang (Artemia salino). Meyer et a1 (1982) telah nlengembnngkal~ metode ini supaya dapat digunakan dalanr menemukan senyawa bioaktif baru dari tumbuhan tingkat tinggi. Metode ini telah banyak digunakan untuk uji hayati dalam analisis residu pestisida, anestetika dan zat pencemar air. Keuntungan metode ini adalah cepat, tidak mahal, mudah dilakukan dan tidak membutuhkan peralatan yang mmit. Metode ini sering digunakan untuk mendeteksi senyawa bioaktif yang memiliki komponen bioaktif dan memiliki efek fmakologi. Data yang diperolell dari hasil pengujian dengan larva udang kemudian dianalisis dengan menggunakan program probit untuk menentukan LCso dan LC, ( F i ~ e y1971). Data dapat dianalisis apabila mortalitas pada kontrol< 20% (Abbott 1925). Uji beda nyata antar nilai LCSo atau LC9o dilakukan dengan membandingkan nilai 95% selang kepercayaamya. Dua nilai LC5, atau LC, akan berbeda nyata kalau nilai selang kepercayaamya tidak tumpang tindih (Savin ef a[. 1977, Marqon et al. 1999). Senyawa dengan nilai LCSo < 1000 ppm dikatakan memiliki potensi bioaktlvitas (Mc Laughlin et a1 1991). Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi pertalna kali diberikan oleh Michael Tswelt, seorarlg ahli botani Rusia pada tahun 1906. Kromatografi berasal dari bahasa Yunani Kromaros yang berarti warna dan Graphos yang berarti menulis. Kromatografi mencakup berbagai proses yang berdasarkan pada perbedaan distribusi dari penyusun cupliltan antara dua fasa. Satu fasa tinggal pada sistem dan dinan~akanfasa diam. Fasa lainnya, dinamakan fasa gerak, memperkolasi melalui celah-celah fasa diam. Gerakan fasa menyebabkan perbedaan migrasi dari penyusun cuplikan (Harjadi 1994). Kromatografi lapis tipis yaitu kromatografi yang menggunakan lempeng gelas atau alumunium yang tlilapisi dengan lapisan tipis alumina, silika gel, atau bahan serbuk lainnya. Kromatografi lapis tipis pada umumnya dijadikan metode pilihan pertama pada pemisaharl dengan kromatografi (Underwood 2002). Pelaksaanan k r ~ ~ i t o g r a f lapis i tipis menggunakan sebuah lapis tipis silika atau alumina yang seragam pada sebuah lempeng gelas atau logam atau plastik yang keras. Gel silika (atau alumina) merupakan fase diam.
Fase diam untuk kromatografi lapis tipis seringkali juga menganduug substansi yang beduoresensi dalam sinar ultra violet. Fase gerak mempakan pelarut atau campuran pelamt yang sesuai. Gel silika adalah bentuk dari silikon dioksida (silika). Atom silikon dihubungkan oleh atom oksigen dalam shuktur kovalen yang besar, sepeti tampak pada Gambar 3. Pada permukaan gel silika, atom silikon berlekatan pada gugus -OH. Jadi pada permukaan gel silika terdapat ikatan Si0-H selain Si-0-Si. Permukaan jel silika sangat polar sehingga gugus -OH dapat membentuk ikatan hidrogen dengan senyawasenyawa yang sesnai di sekitarnya sebagaimana gaya van der Waals. Fase diam lainnya yang biasa digunakan adalah aluminaaluminium oksida. Atom aluminium pada permukaan memiliki gugus -OH (Underwood 2002). Pelaksanaan kromatografi lapis tipis adalah sebagai berikut yaitu sebuah garis digambar menggunakan pinsil di dekat bagian bawah lempengan kemudian dilakukan penotolan campuran pada garis itu. Diberikan penandaan pada garis di lempengan untuk menunjukkan posisi awal dari tetesan. Ketika bercak dari campuran itu mengering, lempengan ditempatkan dalam sebuah gelas kimia bertutup berisi pelarut dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Perlu diperhatikan bahwa batas pelarut berada di bawah garis dimana posisi bercak berada (Underwood 2002).
Struktur Ikatan K i i a Silika Gel
Gambar 3 Struktur kimia fase diam silika. Alasan untuk menutup bejana kimia adalah untuk meyakinkan bawah kondisi dalam bejana kimia terjenuhkan oleh uap dari pelarut. Kondisi jenuh dalam bejana kimia dengan uap mencegah penguapan pelarut. Karena pelarut bergerak lambat pada lempengan, komponen-komponen yang berbeda dari campuran pewarna akan bergerak pada kecepatan yang berbeda dan akan tampak sebagai perbedaan bercak wama. Ketika pelarut mulai membasahi lempengan, pelarut pertama akan melarutkan senyawa-
senyawa dalam bercak yang telah ditempatkan pada garis dasar. Senyawa-senyawa akan cenderung bergerak pada lempengan kromatografi sebagaimana halnya pergerakan pelarut (Underwood 2002). Tingkat kecepatan senyawa-senyawa bergerak ke atas Iempengan tergantung pada dua ha1 yaitu: a) kelarutan senyawa dalam pelarut (ha1 ini bergautung pada bagaimana besar atraksi antara molekul-molekul senyawa dengan pelarut, b) kemampuan senyawa meiekat pada fase diam misalnya jel silika (ha1 ini tergantung pada bagaimana besar atraksi antara senyawa deugan jel silika). Jika dianggap bercak awal mengandung dua senyawa yaitu senyawa yang satu dapat membentuk ikatan hidrogen, dan senyawa yang lainnya hanya dapat mengambil interaksi van der Waals yang lemah. Senyawa yang dapat membentuk ikatan hidrogen akan melekat pada jel silika lebih kuat dibanding senyawa laimya. Dapat dikatakan bahwa senyawa ini terjerap lebih kuat dari senyawa yang lainnya (Undenvood 2002). Penjerapan adalah pembentukan suatu ikatan dari satu substansi pada permukaan yang bersifat tidak pemianen. Pada proses ini terdapat pergenkan yang tetap dari molekul antara yang terjerap pada permukaan jel silika dan yang kembali pada lamtan dalam pelarut. Dengan jelas senyawa hanya dapat bergerak ke atas pada lempengan selama waktu terlarut dalam pelarut. I<etika senyawa dijerap pada jel silika untuk sementara waktu proses penjerapan berhenti din~anapelamt bergerak tanpa senyawa. Itu berarti bahwa semakin kuat senyawa dijerap, semakin kurang jarak yang ditempuh ke atas lempengan. Pelarut dapat mencapai sampai pada bagian atas dari lempengan. Ini akan mcmbelikan pemisahan maksimal dari komponen-komponen yang benvama untuk kombinasi tertentu dari pelamt dan fase diam (Underwood 2002). Metode identifikasi yang paling mudah pada kromatogzifi lapis tipis adalah berdasarkan pada kedudukan dari noda relatif terhadap permukaan pelarut, menggunakan harga Rf (Retardation fador). Harga Rf mempakan parameter karakteristik untuk kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis. Harga ini merupakan ukuran kecepatan migrasi suatu senyawa pada kromatogram dan pada kondisi konstan yang me~upakanbesaran karakteristik dan keterulangan. Harga Rf didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak senyawa dari titik awal dan jarak kepi muka pelamt dari titik awal (Underwood 2002).
pengembang
campuran sampel yang diiololkan
(fase gerak)
Gambar 4 Skema kromatografi lapis tipis. Ada beberapa faktor yang menentukan harga Rf yaitu antara lain: a) Pelarut (disebabkan pentingnya koefisien partisi, maka perubahan-perubahan yang sangat kecil dalam komposisi pelarut dapat menyebabkan pembahan-pembahan barga Rf), b) Suhu (pembahan dalam suhu merubah koefisien partisi dan juga kecepatan aliran), c) Ukuran dari bejana (volume dari bejana mempengaruhi homogenitas dari atmosfer jadi mempengamhi kecepatan penguapan dari komponen-komponen pelamt dari kertas; jika bejana besar digunakan maka ada tendensi perambatan lebih lama seperti pembahan komposisi pelarut sepanjang kertas sehingga koefisien partisi akan bembah juga; di samping itu dua faktor yaitu penguapan dan kompisisi juga mempengamhi harga Rf), d) Lempeng kromatografi (pengaruh utama lempeng pada harga Rf timbul dari pembahan ion dan serapan, yang berbeda untuk macammacam lempeng; selain itu lempeng kromatografi juga mempengamhi kecepatan aliran dan mempengamhi kesetimbangan partisi), e) Sifat dari campuran (berbagai senyawa mengalami partisi diantara volumevolume yang sama dari fasa tetap dan bergerak, mereka selalu mempengaruhi karakteristik dari kelarutan satu terhadap lainnya hingga terhadap harga Rf mereka) (Harjadi 1994). Cara untuk mendeteksi sampel yang tidak berwarna dengan analisis kromatograti lapis tipis seperti pada analisis aflatoksin yaitu dengan menggunakan fluoresensi UV. Telah disebutkan bahwa fase diam pada sebuah lempengan lapis tipis seringkali memiliki substansi yang ditarnbahkan kedalamnya, supaya sampei dapat berpendar ketika
diherikan sinar ultraviolet (UV). Jika sampel yang telah dielusi disinari dengan sinar UV, maka sampel yang terdeteksi akan berpendar. Pendaran ini ditutupi pada posisi bercak kromatogram berada, meskipun bercak-bercak itu tidak tampak benvarna jika dilihat dengan mata. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika menyinarkan sinar UV pada lempengan, akan timbul pendaran dari posisi yang berbeda dengan posisi bercak-bercak. Bercak tampak sebagai bidang kecil yang gelap. Sementara UV tetap diiinarkan pada lempengan, maka hams menandai posisi-posisi dari bercakbercak dengan menggunakan pinsil dan melingkari daerah bercak-bercak itu. Seketika jika sinar UV dimatikan, bercak-bercak tersebut tidak tampak kembali (tampak pada gambar 5) (Underwood 2002).
sinar UV
...
,~
Gambar 5 Proses visualisasi dan identitikasi kromatogram pada TLC. Penanggulangan Kontaminasi Aflatoksin Pada Kacang Tanah Pada kacang tanah yang tidak dikeringkan dengan baik senyawa aflatoksin hasil metabolit sekunder Aspergillus p m u s cenderung lebih cepat tumbuh. Berdasarkan hasil penelitian yang dikeluarkan SEAMEO Biotrop, Balai Penelitian Veteriner, dan Badan POM RI pada ploduk olahan kacang tanah, ditemukan cemnran aflatoksin B1. Bumbu pecel maupun gatlo-gad0 mengandung aflatoksin BI cukup Linggi. Kandungan aflatoksin berada di kisaran 22-345 ppb @art per billion). Cemaran aflatoksin B1 pada kacang tanah tanpa kulit lebih tinggi. Penemuan pada sampel, di Bandung menunjukkan kandungan aflatoksin mencapai 2341 pbb, di Pekanban~1781 ppb, di Bandar Lampung 401 ppb, di Yogyakarta 330 ppb, dan di Makassar 48 ppb. Di Jawa Barat, jagung di pabrik pakan tenlak ditemukan terkontaminasi aflatoksin B1 dengan kadar rata-rata 125.65 ppb. I'akan ayam untuk starter maupun gyower diternukan terkontaminasi aflatoksin dengen kisaran 11.5 ppb. Batas aman yang diperkenankan untuk
I
makanan hanya mencapai 15 ppb, sedangkan pakan ternak sebesar 20 ppb (Ginting 2005). Cara-cara pengolahan bam atau pengolahan fisik tertentu kacang tanah bisa efektif menumnkan kadar aflatoksin yang terkandung pada bahan. Perlakuan dan teknik pengolahan itu perlu dilakukan dengan cara semestinya agar produk olahan bisa benarbenar aman dikonsumsi. Perebusan kacang tanah dengan garam selama 15 menit bisa menurunkan kadar aflatoksin sebesar 33%. Kombinasi perebusan dengan garam, pengeringan dan penyangraian seperti pada pengolahan kacang garing bisa menekan kadar aflatoksin sampai bawah 5 ppb, asalkan bahan bakunya cukup baik. Penyangraian pada suhu 1 5 0 ' ~ selama 5 menit bisa mengurangi kadar aflatoksin 75%. Penggorengan dengan minyak pada suhu 1 5 0 ' ~selama dua menit bisa menurunkan sebesar 73 % (Ginting 2005). Sinar ultraviolet dan radiasi juga dapat mendegradasi mikotoksin, antara lain menurunkan kandungan Aflatoksin MI dalam susu (Yousef dan Marth 1985). Namun, sinar ultraviolet dan radiasi dapat memsak senyawa-senyawa nutrisi pada bahan panganlpakan tersebut (Mobiuddin 2000). Radiasi dan pemanasan kacang tanah dalam microwave selama 3 menit dan 5 menit dapat mengurangi kandungan senyawa aflatoksin masing-masing sebesar 25% dan 49,25% (Chinaphuti 1999). Pencegahan penyebaran dan akumulasi kapang toksigenik pada kacang tanah dapat pula dilakukan melalui pengendalian secara biologis dengan menebarkan Aspergillus spp. non toksigenik yang akan berkompetisi dengan Aspergillus *us dan Aspergillz~s parasiticzrs yang bersifat toksigenik, sehingga perkembangan kapang tersebut akan terhambat. Cara ini memperlihatkan hasil yang memuaskan pada tanaman kacang tanah, dimana kontaminasi aflatoksin dapat ditekan hingga 90% (Cole dan Domer 1999). Menurut Pitt (1999), keberhasilan akan diperoleh jika Aspergillus f[avus dan penggunaan Aspergillus parasiticus non toksigenik ditebarkan pada tanah dengan perbandingan 100 : I dari AspergiNzrsflavus dan Aspergillz~s parasiticus toksigenik. Pencegahan produksi aflatoksin, dilakukan dengan mengeringkan kacang tanah sesegera mungkin dalam waktu tidak lebih dari 24 - 28 jam setelah panen. Pengeringan dapat dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan sinar matahari, digantung di
udara terhuka atau dalam ruangan dengan sedikit pemanasan dan pengasapan, terutama untuk produk yang mudah terinfeksi kapang, dan dengan menggun:tkan mesin pengering. Pada kacang tanah cemaran kapang Aspergill~rsJlj~av~is dan Aspergillzis parasiticus dapat dikurangi juga dengan pencucian yang diikuti dengan pengeringan. Jumlah kapang dapat dikurangi tetapi tidak menghilangkan ataupun mengurangi toksin yang telah terbentuk. Upaya mcngurangi konsentrasi mikotoksin dapat pula dilakukan pengenceran (dilution), yaitu dengan menambahkan bahan yang masih baik sehingga kandungan cemaran tersebut menjadi sangat rendah. Bahan kimia dan bahan pengikat umumnya digunakan unhlk pengendalian mikotoksin pada produk pertanian sebagai bahan pangan atau pakan selama masa penyimpanan. Amonia sangat efektif untuk menekan perlumbuhan kapang Aspergillus dan cemaran aflatoksin pada kacang tanah dan jagung. Penggunaan amonia 2% pada temperatur 20 - 50 OC selama 6 minggu dapat mengurangi kandungan aflatoksin lebih dari 90% (Chelkowski et a1 1981), begitu pula penggunaan sodium bisulfit 1% pada kelembaban 15% (Ghosh et a1 1996). Bahan kimia lain yang umumnya banyak digunakan antara lain seperti hidrogen peroksida, kalsium hidroksida, mono metilenamin, amonium hidroksida, arang aktif, polyvinil polypyolidone. Beberapa bahan alami seperti bawang putih, kunyit dan ekstrak daun samhiloto efektif menurunkan konsentrasi aflatoksin pada pakan dan mencegttb aflatoksikosis pada unggas (Maryam et a1 1995, Sengngeng 1996, Rachmawati et a1 1999). Begitu pula senyawa-senyawa yang terdapat dalam kopi, strawberi, teh, lada, anggur, kunyit, bawang putih, kol, dan bawang diketahui dapat lnencegah efek negatif aflatoksin (Galvano et a1 2001). Zat gizi, seperti metionin dapat mempertahankan penanlpilan ternak yang pakamya tercernar aflatoksin. Hal ini terjadi karena proses detoksitikasi aflatoksin di dalam tubuh terutama organ hati memerlukan glutation, dimana metioilin diperlukan untuk pembentukan glutation tersebut (Mobiuddin 2000). Vitamin C (1000 mglkg diet) mempunyai daya proteksi terhadap efek hepatotoksin aflatoksin pada marmut (Galvano er a1 2001). Pencegahan kontaminasi aflatoksin lebih lanjut, kacang tanah yang akan disimpan hams dalam keadaan kering dengan kadar air yang sesuai untuk penyimpanan. Di negara-
negara beriklim sedang, kadar air ideal adalah kurang dari 13% untuk penyimpanan lebih dari 9 bulan, sedangkan untuk penyimpanan yang singkat kadar air dapat mencapai 14% (Departement of Crop Sciences University of Illinois 1997). Negara-negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi, kadar air ideal berkisar antara 7 9% temtama untuk komoditi yang disimpan lebih dari tiga bulan (Kasno 2004). Bahan baku kacang tanah sebaiknya disimpan di gudang penyimpanan dengan sirkulasi udara yang baik. Jika memungkinkan, suhu dan kelembaban diukur secara mtin selama periode penyimpanan. Kenaikkan suhu 2 hingga 3 "C dapat menunjukkan adanya infestasi kapang atau serangga (Codex Alimentarins Comisi6n 2003). Untuk produk yang dikemas, sebaiknya digunakan kemasan yang memiliki pori-pori untuk sirkulasi udara, dan diletakkan dengan menggunakan alas (papan). Alat transportasi yang digunakan untuk mengangknt kacang tanah hendaknya dipastikan bersih dari kontaminasi kapang Aspergillus flavfrs dan serangga. Selama transportasi sedapat mungkin dihindari peningkatan kelembaban dan fluktuasi suhu sehingga kondusif untuk pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin. Serangan serangga, bumng dan tikus juga sebagai salah satu faktor penyebab meningkatnya kontaminasi aflatoksin selama transportasi. Hal ini dapat dicegah dengan menutupi produk sehingga terhindar dari gangguan-gangguan tersebut.
-
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alat-alat yang dipakai adalah explosion proof blender I liter, gelas ukur (kapasitas 250 ml dan 25 ml), pipet 25 ml terkalibrasi, labu pemisah 250 ml, gelas piala (50 ml, lOOml dan 400 ml), labu Erlenmeyer 500 mi, neraca analitik dengan kemampuan penimbangan yang memiliki ketelitian 0.0001 gram, pemanas listrik, labn distilasi, mistar, lempeng kromatografi (precoated kieselgel G plate), pipet mikro, syringe (ukuran 5 pl dan 1000 PI), detektor lampu UV fluoresens, pipet volumetrik 5 ml, 25 ml, pipet tetes, pipet mikro, kaca pembesar, aerator dan media tumbuh larva udang. Bahan-bahan yang digunakan meliputi sampel kacang tanah yang diambil secara acak pada tanggal 18 Oktober 2008 dari 10 pasar
yaitu sampel A (pasar Bojong Cede), sampel B (pasar Ciputat), sampel C (pasar Ciampea), sampel D @asar Leuwiliang), sampel E (pasar Parung), sampel F (pasar Anyar Bogor), sampel G (pasar Tanah Tinggi, Tangerang), sampel H (pasar Cibinong), sampel 1 (pasar Depok), sampel J (pasar Cikokol, Tangerang), larva udang (/lrtemiu sulina), air lant, akuades, lamtan klorofbnn, larutan heksana, larutan aseton, larutan metanol, aliran gas nitrogen, NaCI, larutan campuran standar aflatoksin yang mengandung (Bl: 2.01 0.04 pg/mI; B2: 0.50050.025 pg/ml; GI: 2.01 0.04 pgtml; G2: 0.500 rt 0.025 pglml) setelah sebelumnya larutan campuran standar aflatoksin tersebut disimpan dalarn lemari pendingin.
+
+
Metnde Deteksi Aflatoksin dengan Cora Kromatografi Lapis Tipis Metode ini melipuri cara uji penetapan aflatoksin dalam produk kacang-kacangan, sereal dan produk hasii olahan secara semi kuantitatif menggunakan kromatografi lapis tipis. Metode penetapan aflatoksin ini sesuai dengan dokumen acuan SNI yaitu Official Methods of Analysis of the A.0.A.C 970. 45/49. 2.09. 2005. Prinsip sederhana dari metode ini adalah senyawa aflatoksin yang terdapat dalam sampel makanan nabati dieks!rak dalam pelarut organik yang sesuai, kemudian dipisahkan dengan kromatoyafi lapis tipis dan diidentifikasi di bawah sinar tampaw UV. Metode analisis ini dibagi menjadi dua tahap yaitu taliap pertama persiapan analat (contoli) dan tahap kedua adalah penetapan kadar aflatoksin dengan kromatografi lapis tipis serta identifikasi fluoresensi di bawah lampu UV. Penyiapan Contoh Sampel kacang tanah dilumatkan dalam blender laln diaduk sampai homogen, serta disimpan dalam botol bertutup rapat. Identifikasi dan Deteksi Aflatoksin dengan Kromatografi Lapis Tipis Sebanyak 25 gram contoh yang telah dipreparasi ditimbang de~iganneraca analitik dan dimasukkan Ice dalam blender explosion proof 1 liter. Setelall itu baru ditambahkan 250 ml metanol (55:45 vlv), 100 ml heksnna dan 2 gram NaCI, sampel dilu~natkandengan blender berkecepatan tinggi selama 1 menit. Campuran sampel tersehut dipindahkan ke