PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PEMBUATAN KIT RIA AFLATOKSIN B1 : PEMBUATAN ANTIBODI AFLATOKSIN B1 DI PUSAT RADIOISOTOP DAN RADIOFARMAKA TAHUN 2010 Sri Setiyowati, Wening Lestari, Sutari, dan Triningsih Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka-BATAN, Kawasan PUSPIPTEK Serpong,Tangerang E-mail:
[email protected]
ABSTRAK PEMBUATAN KIT RIA AFLATOKSIN B1 : PEMBUATAN ANTIBODI AFLATOKSIN B1 DI PUSAT RADIOISOTOP DAN RADIOFARMAKA TAHUN 2010. Hampir semua produk pertanian seperti kacang tanah, kedelai, gandum, sorgun dan jagung mengandung aflatoksin B1 yang bersifat toksik, sehingga diperlukan suatu teknik analisa yang mempunyai kespesifikan dan kepekaan yang tinggi untuk mengidentifikasinya. Salah satu teknik identifikasinya adalah teknik Radioimmunoassay (RIA) yang didasarkan pada reaksi imunologi antigen dan antibodi. Salah satu pereaksi penting dalam teknik RIA adalah antibodi. Dalam makalah ini dipaparkan pelaksanaan pembuatan antibodi poliklonal aflatoksin B1 dengan melakukan imunisasi berulang (booster) pada kelinci New Zealand. Dalam penelitian ini digunakan konjugat aflatoksin B1-BSA yang direaksikan dengan larutan NaCl fisiologis dan Freund’s Adjuvant. Antibodi poliklonal aflatoksin B1 diperoleh setelah booster ketujuh dengan 1: 8000 dengan nilai ikatan maksimum 56,9%. Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yaitu sebesar 40,5%. Kata Kunci : Aflatoksin B1, Radioimmunoassay (RIA), antibodi
ABSTRACT PRODUCTION OF ALFATOKSIN B1 RIA KIT : PRODUCTION OF AFLATOKSIN B1 ANTIBODIES IN THE CENTRE OF RADIOISOTOPE AND RADIOFARMAKA IN 2010. Almost agricultural products such as peanuts, soybeans, wheat, and corn Sorgun contain aflatoxin B1 which are toxic, so it requires an analysis technique that has high specificity and sensitivity to identify it. One technique is radioimmunoassay (RIA) which is based on immunological reaction of antigen and antibody. One of the important reagent in RIA is an antibody. In this paper presented the production of aflatoxin B1 polyclonal antibody which is done by repeat immunization (booster) in New Zealand rabbits. This study used aflatoxin B1-BSA conjugate is reacted with physiological saline and Freund's Adjuvant. Aflatoxin B1 polyclonal antibodies were obtained after the seventh booster with titer 1: 8000 and a maximum binding 56.9%. This result compares favorably with the results of previous studies of 40.5%. Key Words : Aflatoxin B1, Radioimmunoassay (RIA), antibody
PENDAHULUAN
A
flatoksin B1 (AfB1) termasuk senyawa paling toksik diantara semua kelompok aflatoksin. Senyawa aflatoksin diproduksi oleh Aspergillus Flavus dan Aspergillus Parasiticus[1,2]. Kandungan aflatoksin B1 banyak ditemukan pada hampir semua produk pertanian seperti Sri Setiyowati, dkk.
kacang tanah, kedelai, gandum, padi, sorgum, dan jagung [3]. Karena keberadannya hampir di semua produk pertanian maka diperlukan suatu teknik analisa yang menpunyai ketelitian dan kespesifikan tinggi untuk mengetahui kandungan aflatoksin B1 dalam sampel. Salah satu teknik yang sesuai adalah Radioimmunoassay (RIA).
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 31
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Pada dasarnya teknik RIA merupakan teknik analisa yang berprinsip immunologi dan menggunakan perunut radioaktif yang dikembangkan oleh Yalow dan Berson. Teknik ini spesifik karena didasarkan pada reaksi imunologi dimana terjadi ikatan antigen-antibodi yang spesifik hanya untuk antigen tertentu saja. Penggunaan zat radioaktif menjadikan teknik ini sangat peka, karena dapat diukur dengan peralatan yang sangat peka [2]. Oleh karena itu teknik RIA ini sangat peka dan spesifik serta pengerjaannya sederhana, teknik RIA sesuai digunakan untuk menganalisa kandungan aflatoksin B1. Pada prinsipnya teknik RIA didasarkan pada reaksi kompetisi antara antigen bertanda radioaktif (Ag*) dan Antigen tidak bertanda (Ag) yang ada dalam cuplikan/standar terhadap antibodi yang jumlahnya terbatas. Dalam analisis kuantitatif dengan menggunakan teknik RIA, jumlah antigen bertanda (Ag*) dan antibodi (Ab) adalah tetap, dalam satu seri standar yang jumlah antigen (Ag) nya bervariasi. Dalam hal ini jumlah kompleks Ag*-Ab yang terbentuk tergantung dari jumlah Ag yang terdapat dalam cuplikan/standar. Makin banyak antigen (Ag) yang ada dalam cuplikan / standar, makin sedikit kompleks Ag*-Ab yang terbentuk. Banyaknya Ag*-Ab yang terbentuk diukur dengan cara pencacahan (counting) dengan suatu alat pencacah (counter) radioisotop, setelah kompleks Ag*-Ab tersebut dipisahkan dari fraksi bebasnya (yang tidak bereaksi) dengan suatu sistem pemisahan tertentu. Dari hasil pencacahan Ag*-Ab dapat ditentukan perbandingan Ag*Ab/Ag* total (%B/T) atau Ag*-Ab/Ag* bebas ( B/F) yang mempunyai korelasi dengan jumlah Ag yang ada dalam standar atau cuplikan yang akan dianalisis. Dengan memplotkan %B/T atau B/F terhadap kadar standar, maka akan diperoleh kurva standar. Konsentrasi Ag dalam cuplikan dapat dibaca dari salah satu kurva standar tersebut, apabila cuplikan diperlakukan dengan cara yang sama dengan standar [4]. Dalam melakukan penentuan dengan teknik RIA, diperlukan beberapa pereaksi yang umumnya dirakit dalam suatu bentuk kit RIA. Pereaksi utama yang diperlukan dalam teknik RIA adalah : tracer (antigen bertanda radioaktif , Ag* ), antibodi, standar, cuplikan kontrol, pereaksi pemisah. Pereaksi tersebut dibuat dengan cara khusus dan harus memenuhi standar kualitas tertentu sebelum dirakit menjadi kit RIA. Antibodi adalah zat yang timbul dalam tubuh untuk melawan bibit penyakit atau benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Antibodi merupakan molekul Imunoglobulin (IgG) yang sebenarnya merupakan salah satu jenis protein. Setiap antibodi mempunyai posisi ikatan (binding Buku II hal 32
site) yang spesifik untuk suatu jenis molekul tertentu. Antibodi merupakan salah satu pereaksi dalam RIA yang memegang peranan yang sangat penting. Kespesifikan dan kepekaan assay tergantung pada mutu antibodi. Untuk keperluan RIA, terutama untuk analit dengan molekul kecil, antibodi yang digunakan adalah antibodi poliklonal karena kemungkinan terjadinya reaksi silang pada antibodi tersebut kecil. Antibodi poliklonal ini umumnya dibuat dengan cara menyuntikkan antigen ke tubuh hewan seperti kelinci atau marmut atau kambing. Untuk molekul kecil harus diikatkan pada molekul besar seperti bovine serum albumin, agar bersifat imunogen dan dapat memberikan respon pembentukan antibodi. Sebelum disuntikkan ke dalam tubuh hewan, imunogen harus dibuat menjadi emulsi terlebih dahulu agar pelepasannya ke dalam darah secara perlahan. Pembentukan emulsi dilakukan dengan mengocok larutan imunogen dengan Freund’s adjuvant, yaitu larutan minyak yang mengandung bakteri yang telah dilemahkan dan NaCl fisiologis. Disamping itu, Freund’s adjuvant juga berfungsi meningkatkan imunorespons. Freund’s adjuvant yang mengandung bakteri yang telah dilemahkan memberikan isyarat kepada sistem imun tubuh agar selalu siap siaga untuk membentuk antibodi apabila ada benda asing yang masuk ke tubuh hewan yang bersangkutan [5]. Dalam pembuatan antibodi harus dilakukan imunisasi ulang (booster) beberapa kali sampai diperoleh titer (konsentrasi) antibodi yang tinggi. Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan pembuatan antibodi aflatoksin B1 dengan titer 1:8000 dengan ikatan maksimum 40,5%[6]. Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan kualitas antibodi yang lebih baik. TATA KERJA Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan antara lain aflatoksin B1-BSA (sigma), larutan Freund Adjuvant (FA) Complete dan Incomplete dari Sigma, larutan NaCl fisiologis (IPHA), perunut aflatoksin B1 (125I-AfB1, disintesa di PRR), Goat Anti Rabbit Serum dengan titer 1:100 (GARS, disintesa di PRR), assay buffer ( yang dibuat dari dapar fosfat 0,05 M pH 7,4 yang mengandung 0,1% BSA), larutan assay buffer yang mengandung 18% Polyetilen Glicol (PEG) dan 10% Normal Rabbit Serum (NRS), kelinci putih jenis New Zealand, tabung polystiren polos (NUNC). Anti Aflatoksin B1 pembanding dari BARC (India). Alat yang digunakan antara lain pencacah gamma (The nucleus), mikro pipet (eppendorf),
ISSN 1410 – 8178
Sri Setiyowati, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Pengujian titer antibodi. Pengujian titer antibodi dilakukan dengan menggunakan teknik RIA, disiapkan tabung polisteren polos dan diberi nomor urut pada masing-masing tabung, kemudian masing-masing tabung ditambahkan 100 ul stamdar 0. Selanjutnya, ditambahkan 100 ul tracer aflatoksin dan ditambahkan 100 ul anti Aflatoksin B1 dengan variasi konsentrasi 1: 250, 1: 500, 1 : 1000, 1: 2000, 1: 4000, 1: 8000, 1: 16.000, 1: 32.000, 1: 64.000, 1: 128.000 dan 1: 256.000. Kemudian semua tabung diaduk dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu kamar. Selanjutnya ditambahkan 100 ul second antibodi (1:100) dan ditambahkan 1 ml PEG 18% yang mengandung NRS 10% dalam assay bufer dan diaduk. Semua tabung diinkubasi selama 15 menit pada suhu kamar dan disentrifuse selama 30 menit pada 3000 rpm. Selanjutnya didekantasi dan dicacah menggunakan pencacah gamma. .
vorteks (Thermolyne), sentrifuse (Beckman) dan syringe kaca ukuran 5 mL. Imunisasi Kelinci Larutan NaCl fisiologis dan FA (dengan perbandingan volume NaCl dan FA = 2:3) ditambahkan ke dalam 250 ug konjugat aflatoksin B1-BSA hingga volume 1 ml. Untuk imunisasi pertama digunakan FA complete dan untuk booster berikutnya digunakan FA incomplete. Kemudian larutan yang diperoleh dijadikan emulsi dengan menggunakan syringe kaca. Untuk mengetahui kesempurnaan emulsi, diteteskan sedikit larutan ke dalam air hingga tetesan tersebut tidak pecah. Emulsi yang telah diperoleh disuntikkan ke tubuh kelinci melalui bawah kulit (intradermal) pada 5-6 titik di bagian punggung. Dua minggu setelah imunisasi pertama dilakukan booster, dan untuk booster berikutnya dilakukan setiap satu bulan. Untuk mengetahui titer antibodi aflatoksin B1, diambil ± 1 ml darah kelinci melalui telinga dan disentrifuse untuk mendapatkan serumnya. Kemudian serum yang diperoleh diuji titernya dengan teknik RIA. Tabel 1: Penentuan titer antibodi aflatoksin B1
Titer antibodi Aflatoksin B1 1:250 1:500 1:1000 1:2000 1:4000 1:8000 1:16000 1:32000 1: 64000 1:128000 1:256000 Nomor tabung 1,2 Standar 0 (µl) 100 Ab-AfB1 (µl ) 100 125
I-AfB1 (µl)
100
3,4 100
5,6 100
7,8 100
9,10 100
11,12 100
13,14 100
15,16 100
17,18 100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
1000
1000
Inkubasi selama 1 jam pada temperatur kamar GARS 100 100 100 100 100 100 100 100 100 1:100 (µl) Lart PEG 18% 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 Mengandung NRS10%(µl) %B/T maks 56,2 67,6 65,3 65,2 65,3 56,9 34,1 20,1 12,9 9,2 Titer terakhir Vortex, inkubasi pada temperatur kamar selama 15 menit Sentrifuse selama 15 menit pada 3000 rpm Buang supernatan Cacah
HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam produksi antibodi diperlukan suatu senyawa dengan berat molekul yang lebih besar dari 5000 gram/mol agar senyawa tersebut bersifat immunogen. Sifat immunogen suatu senyawa dapat menimbulkan respon imunologi pada hewan percobaan. Senyawa aflatoksin B1 merupakan suatu molekul kecil (berat molekul aflatoksin B1 adalah 312 gram/mol) sehingga harus dikonjugasikan dengan molekul besar agar Sri Setiyowati, dkk.
19,20 100
21,22 100
7,7
aflatoksin B1 ini mempunyai respon immunologi. Molekul besar yang dapat digunakan antara lain poli-L-lisin, Bovine Serum albumin (BSA), Human Serum Albumin (HSA). Dalam penelitian ini digunakan konjugat aflatoksin B1-BSA yang diperoleh dari Sigma. Sebelum disuntikkan ke tubuh kelinci, konjugat aflatoksin B1-BSA dijadikan emulsi yaitu dicampur dengan larutan NaCl fisiologis dan Freund’s Adjuvant dengan perbandingan volume 2:3. Bentuk emulsi ini bertujuan agar pelepasan imunogen di dalam tubuh kelinci terjadi secara perlahan sehingga
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 33
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
diharapkan dapat menghasilkan antibodi aflatoksin B1 dengan sensitivitas tinggi. Setelah dilakukan imunisasi pertama, selang dua minggu dilakukan imunisasi berulang (booster) dan booster berikutnya dilakukan selang satu bulan. Imunisasi berulang ini dilakukan agar antibodi aflatoksin B1 yang dihasilkan mempunyai titer yang tinggi. Untuk mengetahui kenaikan titer dilakukan
pemantauan dengan cara mengambil darah kelinci guna mendapatkan serumnya. Pemantauan ini dilakukan setiap satu bulan sesuai dengan jadwal booster. Serum yang diperoleh kemudian diuji titernya dengan menggunakan metode Radioimmunoassay (RIA). Seperti yang terlihat pada tabel 1 dan hasil titer antibodi aflatoksin B1 ditampilkan pada gambar 1.
Gambar 1 : Titer antibodi aflatoksin B1 booster pertama sampai booster ketujuh Booster 1 minggu pertama, booster ke 2 dilakukan dua minggu kemudian, booster ke 3 (1 bulan setelah booster ke 2), booster ke 5 ( 3 bulan), booster ke 6 (4 bulan) dan booster ke 7 bulan ke 5. Nilai titer antibodi aflatoksin B1 yang optimum ditentukan dari grafik %B/T versus log konsentrasi (titer), dimana titik (titer) yang diambil adalah titik tengah antara titik tertinggi dan terendah pada kurva tersebut dengan nilai ikatan maksimun (%B/T) diatas 30%. Pada Gambar 1 tampak bahwa titer optimum pada booster pertama belum memperlihatkan kenaikan yang berarti. Setelah booster ke dua sampai kelima mempunyai nilai ikatan yang naik terutama pada titer yang rendah (1:250 sampai 1:32.000). Dari Gambar 1 juga tampak bahwa titer optimum untuk booster kedua diperoleh pada titer 1:4000 dengan %B/T sebesar 25,4%, dan mengalami kenaikkan titer pada booster ketiga, yaitu diperoleh titer pada 1:4000 dengan %B/T sebesar 47,5%. Pada booster keempat tidak dilakukan pemeriksaan karena serum booster ke empat kering. Booster ke lima terjadi kenaikan titer, dimana titer optimum yang diperoleh 1: 4000 dengan kenaikan nilai %B/T, menjadi 61 %. Pada booster keenam tidak terjadi kenaikan ataupun penurunan titer pada 1 : 4000. Pada booster ketujuh, diperoleh nilai %B/T sebesar 56,9% pada titer 1: 8000. Pada penelitian ini titer yang diperoleh mengalami kenaikan setiap booster, respon kelinci terhadap pembentukan antibodi pada pembuatan antibodi Aflatoksin ini Buku II hal 34
sangat baik. Pada booster ketujuh diperoleh nilai %B/T sebesar 56,9%. Dengan nilai %B/T tersebut antibodi aflatoksin B1 dapat digunakan untuk assay dengan teknik RIA sehingga dilakukan panen terhadap antibodi tersebut. Seperti terlihat pada tabel 2, Antibodi yang telah dipanen kemudian dibandingkan dengan antibodi yang diperoleh dari India. Dari hasil assay diperoleh hasil bahwa antibodi hasil penelitian ini memberikan nilai ikatan maksimum sebesar 23,8% pada titer 1:4000 dan antibodi dari India memberikan nilai ikatan maksimum sebesar 24,2% pada titer 1:1000. Dilihat dari nilai ikatan maksimum antara antibodi hasil penelitian ini dan antibodi dari India tidak jauh berbeda tetapi titer yang diperoleh jauh berbeda, sehingga dengan volume antibodi yang sama, antibodi hasil penelitian ini dapat digunakan untuk assay yang lebih banyak daripada antibodi yang diperoleh dari India. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antibodi hasil penelitian ini lebih baik dibandingkan dengan antibodi yang diperoleh dari India.
ISSN 1410 – 8178
Sri Setiyowati, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 2. Perbandingan Penentuan nilai ikatan maksimum pada anti Aflatoksin Produk PRR terhadap anti Aflatoksin Produk India No 1 2
Nama Anti Aflatoksin Produk PRR Anti Aflatoksin Produk India
1: 4000
Ikatan Maksimum 23,8%
1:1000
24,2%
Titer
KESIMPULAN Dari penelitian ini dihasilkan antibodi aflatoksin B1 dengan titer 1: 8000 yang diperoleh pada booster ke tujuh dengan nilai ikatan maksimum sebesar 56,9% dan lebih baik dari antibodi yang diperoleh sebelumnya 40,5% dan antibodi pembanding dari India sebesar 24,2% . DAFTAR PUTAKA 1. F. S. CHU dan I.UENO, Production of Antibody Against Aflatoxin B1, Applied and environmental Microbiology, Vol. 33, No. 5, halaman. 1125-1128,1977. 2. P. K. GAUR ,O.El-NAKIBb, dan F. S. CHU, Comparison of Antibody Production Against Aflatoxin B1 in Goats and Rabbits, Applied and environmental Microbiology, Vol. 40, No 3 halaman 678-680, 1980. 3. ANONIM, Aflatoksin, sumber: http://id.wikipedia.org, diakses pukul 14.00 tanggal 29 Agustus 2009. 4. REDIATNING W Dasar-Dasar RIA dan IRMA, Diklat Operator Radioimmunoassay (RIA), 1993. 5. DJAJUSMAN SUKIJATI, Pengantar Praktikum Pembuatan Antibodi (Antisera) yang disampaikan dalam Latihan Keahlian Radioimmunoassay (RIA) PPR-BATAN Serpong, Juli – Agustus 1990. 6. WENING L, SRI SETIYOWATI, dan SUTARI, Pembuatan kit RIA Aflaktosin B1 : Pembuatan antibodi Aflaktosin B1, Kolokium PRR Oktober 2009.
Sri Setiyowati, dkk.
TANYA JAWAB Budi Setiawan Spesifikasi atau jenis kelinci apa yang digunakan untuk peneliti ini? Sri Setiyowati Kelinci yang digunakan jenis New Zealand betina karena lebih sensitif, mempunyai respon yang lebih tinggi umur 10-16 minggu berat 2-3 kg. Aryadi Kenapa dalam kesimpulan titer 1:8000 yang paling optimal sementara dalam hasil komparasi dengan produk india titer 1:4000 Sri Setiyowati Saat di aplikasikan (diassay) % B/T sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen (bahan assay seperti tracer,2dnd AB, NRS nya) diduga saat di assay salah satu komponen tersebut ada yang rusak Tri Handini Pada hasil terbaik % B/T adalah 67,6 tapi kenapa yang dipakai hasil yang 56,9 Sri Setiyowati Karena 67,6% pada titer 1:500 sedangkan 56,9 yang kita ambil mempunyai nilai titer dengan perbandingan 1:8000 jadi lebih irit dalam penggunaan antibody
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 35