ISSN 0216 - 3128
54
OPTIMASI BEBERAPA PARAMETER RADIOIMMUNOASSAY AFLATOKSIN B1
Agus Ariyanto, dkk.
ASSAY
KIT
Agus Ariyanto, V. Yulianti, Puji Widayati, Gina Mondrida,Wening Lestari, Siti Darwati,, Sutari, Triningsih Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka, BATAN Kawasan Puspiptek, Serpong Email :
[email protected]
ABSTRAK OPTIMASI BEBERAPA PARAMETER ASSAY KIT RADIOIMMUNOASSAY AFLATOKSIN B1. Berbagai komoditi pertanian kacang tanah, jagung, kedelai, beras, gandum dan sorghum berisiko tinggi terkontaminasi fungi terutama aflatoksin B1 pada pasca panen maupun pada masa penyimpanan. Kandungan maksimum aflatoksin yang masih diijinkan oleh Food & Drug Administration (US FDA) dalam makanan adalah 20 ppb sehingga produk pangan tersebut aman dikonsumsi oleh masyarakat. Salah satu metode yang telah dikembangkan untuk pendeteksian kandungan aflatoksin dalam produk pangan adalah metode radioimmunoassay (RIA). Selama ini kit RIA aflatoksin B1 didapatkan dari impor dengan harga yang cukup mahal. Sehingga perlu dilakukan penyiapan kit RIA ini secara lokal di dalam negeri. Penyiapan kit RIA ini meliputi: pembuatan larutan perunut bertanda radioaktif 125I, pembuatan larutan standar dan pembuatan pelarut pemisah fasa cair. Selanjutnya untuk mendapatkan kit sesuai dengan kriteria kit yang baik maka perlu dilakukan optimasi terhadap beberapa parameter prosedur assay yang meliputi: optimasi volume perunut, jumlah cacahan, volume larutan standar, waktu inkubasi dan suhu. Dari optimasi assay tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: volume perunut: 100 ul, cacahan perunut: ± 30.000 cpm, volume larutan standar: 25 ul, waktu inkubasi: 30 menit dan suhu inkubasi: suhu kamar (25 o C). Kata kunci : radioimmunoassay (RIA), aflatoksin B1, 125I-aflatoksin-B1, parameter assay
ABSTRACT OPTIMATION OF SEVERAL ASSAY PARAMETERS OF RAIOIMMUNOASSAY KIT AFLATOXIN B1. Several commodities in agriculture such as peanut, corn, soybean, rice, wheat and sorghum are highly risk to be contaminated by fungi especially by aflatoxin B 1 during either post harvest or storage period. Maximum content of aflatoxin allowed by US Food and Drug Administration (FDA) in food is 20 ppb as the limit content to be consumed safely by people. Therefore a method for detection of aflatoxin B 1 is needed to overcome the above mentioned problems. A radioimmunoassay (RIA) method was developed locally by replacing aflatoxin B1 RIA kit which is imported costly from commercial companies. The aflatoxin B1 RIA kit were developed by preparing radioactive tracer, standard solution, and antibody solution as liqu id phase separation system. Further steps to ascertain good performance of the kits were carried out including optimization of tracer volume, tracer counts, standard volume, length and temperature of incubation. The results showed that optimal conditions for aflatoxin B1 kits were tracer volume 100 ul, tracer counting 30,000 cpm, standard volume 25 ul, incubation time 30 minutes and incubation temperature was at room temperature (25 o C). Key words: radioimmunoassay (RIA), aflatoxine-B1, 125I- aflatoxine-B1, assay parameter
PENDAHULUAN
D
i Indonesia, Aflatoksin B1 (AF) yang bersifat kontaminan ini merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahannya. Hal ini terjadi karena kapang seperti A. flavus bersifat sangat kosmopolit sehingga dapat hidup hampir di semua tempat dan kondisi. Produk aflatoksin 2 mg/kg didapatkan pada substrat alami seperti beras, gandum, kacang tanah, jagung, kedelai, kelapa[1]. Aflatoksin adalah metabolit sekunder yang dapat terdeposit dalam jaringan tubuh hewan
maupun manusia. Gangguan kesehatan yang disebabkan oleh aflatoksin telah banyak dilaporkan. Misalnya pada tahun 1974 dilaporkan bahwa 400 orang indian terjangkit penyakit hepatitis yang mengakibatkan 100 orang meninggal, hal ini disebabkan para korban telah mengkonsumsi jagung yang telah terkontaminasi oleh Aspergillus flavus (A. flavus ) dengan kandungan aflatoksinnya mencapai 15 mg/kg [2]. Dalam kasus lain dilaporkan bahwa 80 dari 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) penderita kanker hati disebabkan karena mereka telah mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin yang
Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah - Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir 2011 Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan - BATAN Yogyakarta, 19 Juli 2011
Agus Ariyanto, dkk.
ISSN 0216 - 3128
terkontaminasi oleh aflatoksin. Toksin AFB1, AFG1, dan AFM1 yang konsentrasi di atas 400 µg/kg terdeteksi pada contoh liver dari 58% pasien dimaksud di atas[3]. Ada dua hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terkonsumsinya bahan pangan atau pakan ternak yang terkontaminasi aflatoksin. Pertama adalah mencegah tumbuhnya fungi pada bahan pangan atau pakan ternak. Kedua adalah memonitor kadar aflatoksin pada bahan pangan dan pakan ternak yang akan dikonsumsi. Walaupun kontaminasi aflatoksin secara total sangat sulit dilakukan, beberapa usaha dapat dilakukan untuk mencegah kontaminasi aflatoksin yang lebih buruk. Upaya-upaya tersebut diantaranya yaitu memilih bahan pangan dan pakan yang utuh, menurunkan kandungan air sampai dengan <14%, menyimpan pada tempat dengan kelembaban dan suhunya terkendali, menambahkan CO2 atau N2, pemanasan sampai dengan pengunaan fungisida dan bahan kimia [1] . Pemantauan dan penentuan kadar aflatoksin khususnya aflatoksin B1 pada bahan pangan dan pakan adalah upaya penting lainnya untuk mencegah terkonsumsinya aflatoksin yang bersifat karsinogenik. Khususnya untuk Indonesia dengan kondisi iklimnya yang sangat mendukung tumbuhnya Aspergillus, pemantauan aflatoksin B1 pada bahan pangan dan pakan sangat penting untuk mencegah terkonsumsinya bahan pangan dan pakan yang terkontaminasi aflatoksin yang dapat mengakibat gangguan kesehatan yang buruk pada masyarakat yang mengkonsumsinya [4]. Untuk penentuan kadar aflatoksin B1 pada konsentrasi yang rendah dapat dilakukan menggunakan metode radioimmunoassay (RIA). Kespesifikan dan kepekaan metode RIA, telah memungkinkan metode ini banyak digunakan untuk penentuan berbagai jenis senyawa biokimia. Selain itu, metode ini juga reproducible dengan pengerjaan yang sederhana. Dengan demikian maka penggunaan metode radioimmunoassay banyak dipakai baik dalam bidang klinis maupun non-klinis [5] . Dalam mengembangkan suatu kit RIA yang baru seperti kit RIA Aflatoksin B1 dan agar diperoleh performance assay yang baik, maka perlu dilakukan optimasi rancangan assay agar diperoleh kondisi assay yang optimum [6]. Beberapa parameter yang perlu dioptimasi adalah : Jumlah antibodi bertanda (Ab*) dan antigen (Ag), pengaruh volume pereaksi yang meliputi : volume perunut, cacahan perunut dan volume larutan serta pengaruh kondisi inkubasi (waktu dan suhu). Berdasarkan hal tersebut di atas maka dilakukan optimasi terhadap beberapa parameter assay kit RIA Aflatoksin B1 dengan tujuan
55
mendapatkan rancangan assay yang optimal sehingga didapatkan kit RIA yang memenuhi kriteria kit yang baik.
METODE PENELITIAN Bahan yang dibutuhkan Aflatoksin B1 (Sigma & Fermentek), aminoxy acetic acid (Sigma), Aflatoksin B1 BSA konjugate (Sigma), isobutil-khloroformat (Sigma), tributilamin (Sigma), metanol (E merck), khloroform (E merck), Na 125I (BATAN), histamin (Sigma), etilasetat (Aldrich), NaOH (Emerck), HCl (Emerck), ITLC-SG (Pharmacia), dioksan (Sigma), bovine serum albumin (Sigma), kolom PD-10 (Pharmacia), polietilen glikol (Sigma)
Peralatan yang digunakan Bermacam peralatan gelas (Iwaki), mikropipet eppendorf berbagai ukuran, timbangan analitik, waterbath, Lampu UV, UV vis (Jasco Japan), FTIR (Jasco Japan), Rotary evaporator (Buchi RE 140, Swizerland), pencacah gamma (DPC USA), sentrifuge (Beckman USA)
1. Pembuatan Perunut AfB1-CMO-125I Pembuatan perunut AfB1-CMO-125I dilakukan dengan penandaan tidak langsung. Penandaan dilakukan dua tahap, pertama histamin ditandai dengan 125I kemudian dikonjugasikan dengan AfB1-CMO yang sudah diaktivasi [9].
1.1. Penandaan histamin dengan 125I Sejumlah10 ul histamin (22 ug/ml) ditambah 20 ul Na125I (~ 2 mCi) dan 10 ul khloramin-T (5 mg/ml), kemudian campuran dikocok dengan vorteks selama 1 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 10 ul larutan Na metabisulfit (30 mg/ml) dan selanjutnya dikonjugasikan dengan AfB1-CMO yang sudah diaktivasi.
1.2. Konjugasi AfB1-CMO dengan histamin
125
I-
Sebanyak 2 mg AfB1-CMO diaktivasi dengan cara dilarutkan dalam 50 ul dioksan bebas air lalu ditambah dengan 10 ul tributilamin yang telah dilarutkan dalam dioksan (1:5) dan didinginkan sampai 10 C. Selanjutnya campuran ditambah dengan 10 ul isobutilkloroformat (1:10 dalam dioksan) dan diinkubasi selama 30 menit pada temperatur 10 C dengan pengadukan. Campuran di atas diencerkan dengan dioksan sampai 2,8 ml, kemudian 50 ul larutan tersebut dimasukkan ke dalam larutan histamin bertanda 125I dan diaduk selama 2 jam. Setiap 1 jam pH diperiksa dan pH campuran tetap dijaga pada pH 8. Selanjutnya hasil konjugasi ini dimurnikan dengan ekstraksi pelarut.
Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah - Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir 2011 Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan - BATAN Yogyakarta, 19 Juli 2011
ISSN 0216 - 3128
56
1.3. Pemurnian konjugat AfB1-CMO125 I - histamin Hasil konjugasi AfB1-O- CMO dengan I- Histamin diasamkan dengan 1 ml HCl 0,1 N dan diekstraksi dengan 1 ml etil asetat (ekstrak I). Fasa air ditambah 1 ml NaOH 0,1 N dan 1 ml natrium metabisulfit (1 mg/ml) dalam 0,5 M dapar fosfat dan selanjutnya dieksraksi lagi dengan 0,5 ml etil asetat (ekstrak II). Jumlah radioaktivitas yang terdapat pada ekstrak I dan II dibagi radioaktivitas awal dikalikan 100 % adalah rendemen penandaan. Ekstrak I dan II tidak dicampur karena biasanya tingkat imunologinya berbeda. Masing-masing ekstrak selanjutnya diperiksa kemurnian radiokimianya menggunakan kromatografi lapis tipis silika gel dengan fase gerak campuran toluen metanol – asam asetat dengan perbandingan (75:24:1)[5]. Konjugat AfB1-CMO-125I-Histamin untuk selanjutnya disebut AFB1 bertanda 125I dan dilakukan pengujian ikatan imunologinya (% B/T dan % NSB). 125
2. Pembuatan larutan pemisah fasa cair Pemisahan antara kompleks 125I- AfB1-AbAfB1 dan fraksi 125I- AfB1 bebas dilakukan dengan metode pemisahan fase cair menggunakan polietilen glikol (PEG) sebagai pengendap. Larutan pemisah fase cair ini terdiri dari campuran 18 % PEG, 7 % serum kelinci normal (NRS) dan antibodi kedua dilarutkan dalam dapar fosfat salin 0,05 M pH 7,4
3. Pembuatan larutan standard AFB1 Tabel 1. Pembuatan larutan standar Aflatoksin B1 Kons. Volume Volume Volume No Standar larutan dapar fosfat Total (ng/ml) stok B (ul) salin (µl) (µl) 1 1 12,5 24.987,5 25.000 2 2,5 31,25 24.968,5 25.000 3 5 62,5 24.937,5 25.000 4 10 125 24.875 25.000 5 20 250 24.750 25.000 6 40 500 24.500 25.000 7 80 1000 24.000 25.000 Sebanyak 0,15 mg AfB1 dilarutkan dalam 1,5 ml metanol sehingga didapatkan larutan AfB1 dengan konsentrasi 0,1 mg/ml (disebut sebagai larutan stok A). Dari larutan stok A diambil 50 ul dan diencerkan dengan 2450 ul dapar fosfat salin 0,05 M pH 7,5 sehingga diperoleh larutan standar AfB1 konsentrasi 2000 ng/ml (larutan stok B). Sebanyak 2000 ng/ml larutan stok standar AFB1 (stok B) diencerkan menjadi beberapa konsentrasi berikut : 1 ng/ml, 2,5 ng/ml, 5 ng/ml, 10 ng/ml,20 ng/ml, 40 ng/ml dan 80 ng/ml menggunakan larutan dapar fosfat 0,05 M pH 7,4 sebagai matrik atau pelarutnya.
Agus Ariyanto, dkk.
4. Optimasi Assay Prosedur baku assay kit RIA Aflatoksin [9] Tabung diberi nomor kemudian sebanyak 100 L larutan standar (kons. 1 ng/ml, 2,5 ng/ml, 5 ng/ml, 10 ng/ml,20 ng/ml, 40 ng/ml dan 80 ng/ml) ditambahkan ke dalam tabung dan ditambahkan 100 l larutan perunut dengan aktivitas 100000 cpm, tabung dikocok dengan vorteks hingga homogen. Selanjutnya semua tabung di inkubasikan selama 3 jam pada suhu ruangan. Sebanyak 1000 ml pelarut pemisah ditambahkan ke dalam tabung dan inkubasikan selama 15 menit lalu disentrifuge pada 2000 rpm selama 10 menit. Cairan didekantasi lalu diicacah dengan alat pencacah gamma selama 1 menit Kemudian prosedur assay tersebut dilakukan beberapa variasi untuk mendapatkan kondisi assay yang optimal: a. Variasi jumlah cacahan perunut yaitu: 50000 cpm, 100000 cpm, 150000 cpm dan 200000 cpm. b. Variasi volume larutan perunut yaitu: 50 l, 100 l, 150 l dan 200 l c. Variasi volume larutan standar CA 125: 50 l, 100 l, 150 l dan 200 L d. Variasi waktu inkubasi yaitu: 30 menit, 60 menit, 120 menit, 180 menit dan 240 menit e. Variasi suhu inkubasi yaitu: 4 C, 25 C dan 37 C Optimasi assay kit RIA Aflatoksin meliputi: penetapan jumlah cacahan radioaktivitas perunut, volume perunut, volume standar, waktu inkubasi dan suhu inkubasi yang terbaik sehingga diperoleh nilai ikatan maksimum yang disebut % Bound/Total (%B/T) dan nilai ikatan tidak spesifik yang disebut % Non Specific Bounding (%NSB) yang optimum dan dapat digunakan sebagai acuan setiap kali assay
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari penandaan AfB1CMO dengan 125I menggunakan metode penandaan tidak langsung (melalui histamin) diperoleh rata-rata rendemen hasil penandaan 53,3 % dan ikatan imunologi (%B/T) 30,6 % dengan ikatan tak spesifik (NSB) 2,97 %. Perunut AfB1 bertanda 125I ini memenuhi syarat untuk digunakan karena nilai ikatan tak spesifiknya masih dibawah 5 %, sehingga dapat digunakan untuk pengujian optimasi pereaksi-pereaksi lainnya. Perunut AfB1 bertanda 125I ini juga relatif stabil sampai 3 minggu bila disimpan di refrigerator dengan ikatan imunologinya masih diatas 20 %. Dari pembuatan larutan standar, didapatkan kurva standar aflatoksin B1 yang relatif cukup tajam seperti pada Gambar 1.
Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah - Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir 2011 Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan - BATAN Yogyakarta, 19 Juli 2011
Agus Ariyanto, dkk.
ISSN 0216 - 3128
57
pada volume 50 ul, hal ini disebabkan terjadinya kejenuhan antibodi aflatoksin yang berikatan sehingga ikatan imunologinya menurun.
Gambar 1. Kurva standar kit RIA AfB1
Gambar 3. Kurva optimasi jumlah cacahan perunut
Gambar 2. Kurva optimasi volume perunut AfB1 Dari optimasi yang dilakukan terhadap volume perunut aflatoksin (Gambar 2) terlihat bahwa volume perunut 100 ul memberikan persen ikatan imunologi yang tertinggi yaitu 29,8 % dan terus menurun sampai kepada volume 1000 ul. Hal ini menunjukkan bahwa dengan bertambahnya volume perunut, keradioaktifan perunut juga meningkat sehingga menimbulkan reaksi radiolisis yang mengakibatkan daya ikatan antara antibodi aflatoksin B1 dengan perunut Aflatoksin semakin berkurang atau turun. Gambar 3 menunjukkan sejauh mana pengaruh jumlah cacahan perunut terhadap besarnya % ikatan imunulogi (%B/T). Cacahan ± 30.000 cpm memberikan ikatan imunologi paling tinggi (46,33 %) dan terendah pada cacahan ± 120.000 cpm, hal ini disebabkan karena cacahan perunut yang ditambahkan cukup tinggi sehingga mengakibatkan terjadinya radiolisis. Dari optimasi volume larutan standar seperti pada Gambar 4, terlihat bahwa volume larutan standar yang optimal adalah 25 ul dengan % ikatan imunologinya 29,7 % dan mulai menurun
Gambar 4. Kurva opimasi volume larutan standar Gambar 5 terlihat bahwa ikatan imunologi tertinggi dicapai pada waktu inkubasi 30 menit (% B/T 41,32) dan turun cukup tajam pada waktu inkubasi 60 menit. Ikatan imunologi relatif sama sampai waktu inkubasi 240 menit, hal ini disebabkan karena sudah tercapainya kesetimbangan reaksi antara antibodi aflatoksin B1 dengan aflatoksin B1 Untuk melihat pengaruh suhu inkubasi ketika melakukan assay kit ini maka suhu inkubasi divariasikan mulai dari 4 ºC, 25 ºC, 37 ºC dan 45 ºC. Gambar 6 terlihat bahwa dari hasil assay didapatkan rata-rata ikatan imunologinya adalah 30.25 % ± 0.64 dan suhu inkubasi yang optimal didapatkan pada suhu kamar (25 o C) dengan ikatan imunologi tertinggi 33,9 %.
Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah - Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir 2011 Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan - BATAN Yogyakarta, 19 Juli 2011
ISSN 0216 - 3128
58
Agus Ariyanto, dkk.
3.
Gambar 5. Kurva optimasi penentuan waktu inkubasi
SULADRA, M. 1996. Detoksifikasi aflatoksin B1 oleh komponen ekstraseluler Aspergillus oryzae. Tesis . Yogyakarta. UGM. 4. MAKFOELD, D. 1993. Mikotoksin Pangan. Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada. Kanisius. Yogyakarta 5. KOTARI K., PILLAI M.R.A.; Preparation and Characterization of 125I Labeled Progesterone derivates for The development of A Radioimmunoassay for Progesterone, Journal of radioanalytical and nuclear Chemistry Articles, 177,(1994) 261-269 6. W.M. HUNTER, 1982, Assay Design and the Influence of Radioligand Quality, RIA Design, pp 9-18 7. KANKAANPAA, P., E. TUOMOLA, H. ELNEZAMI, J. AHOKAS, S.J. SALMINEN. 2000. Binding of Aflatoxin B1 Alters the Adhesion Properties of Lactobacillus rhamnosus Strain GG in a Caco-2 Model. Journal of Food Protection, Vol. 63, No. 3. 2000. Pages 412414. 8. DAVIS, N.D., U.L. DIENER, 1991. Food and Bevarage Mycology. Second Edition. 9. EATON, D.L DAN GROOPMAN, J.D. The toxicology of aflatoxin. Academic Press. 10. Anonymous.2006. Development of Radioimmunometric Assay and Kits for non Clinical Applications. IAEA-TECDOC-1498
TANYA JAWAB Gede Sutresna W
Gambar 6. Kurva optimasi suhu inkubasi
Apa tujuan perlunya melakukan / menentukan optimasi volume larutan standar dalam penelitian ini? Agus Ariyanto
KESIMPULAN Dari optimasi yang dilakukan terhadap parameter assay yang meliputi jumlah volume, cacahan perunut, volume larutan standar, waktu serta suhu inkubasi dari kit RIA aflatoksinn B1 ini, adalah sebagai berikut: volume perunut: 100 ul, cacahan perunut : ± 30.000 cpm, volume larutan standar: 25 ul, waktu inkubasi : 30 menit sedangkan inkubasi dapat dilakukan pada suhu kamar (25 o C).
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
MUHILAL, D. KARYADI, D.D. PRAWIRANEGARA. 1972. Kadar aflatoksin dalam kacang tanah dan hasil olahannya. Gizi Indonesia 2 : 87-93 Cornell Toxic Agent Home Page.
Dalam kit RIA ada tiga komponen utama yang sangat menentukan kinerja dari kit tersebut, komponen tersebut adalah: larutan perunut, larutan standar dan pereaksi pemisah. Untuk mendaratkan kinerja yang baik dari kit RIA penggunaan tiga komponen tersebut perlu dilakukan optimasi. Cahya Nova Apakah kandungan maksimum aflatoksin yang masih diijinkan oleh US FDA dalam makanan, sama dengan kandungan maksimum aflatoksin yang ditetapkan oleh BPOM? Agus Ariyanto BPOM republik Indonesia dalam menetapkan kandungan aflatoksin B dalam
Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah - Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir 2011 Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan - BATAN Yogyakarta, 19 Juli 2011
Agus Ariyanto, dkk.
ISSN 0216 - 3128
bahan dan produk makanan menggunakan batasan yang sama dengan FDA yaitu maksimum 80 ppb Supriyanto Apakah dilakukan optimasi waktu dan lain-lain sebelum waktu optimum yang ditentukan? Agus Ariyanto Untuk optimasi waktu inkubasi dilakukan dari 30 menit, 60 menit, 120 menit, 180 menit dan 240 menit dan didapatkan waktu inkubasi yang memberikan batas imunologi (% B/T) yang paling fungsi yaitu 41.4% sehingga di waktu inkubasi 30 menit ini dianggap sebagai waktu inkubasi yang optimum. Untuk waktu dibawah 30 menit sudah dilakukan yaitu waktu inkubasi 10 menit dan 20 menit tetapi % B/T rendah rata-rata 25.9%
59
Gunandjar Dengan optimasi assay yang diperoleh, apakah sudah dicoba untuk deteksi aflatoksin B dalam sampel standar produk pangan, dan berapa ketelitian dan ketepatan deteksinya? Agus Ariyanto Setelah dilakukan optimasi assay memang ada tahap validasi terhadap prosedur assay yang sudah kita dapatkan yang meliputi ketelitian, ketepatan dan linearitas kit Radio Imunoassay dan ini sudah dilakukan dengan menggunakan sampel yang sudah ditentukan dengan kit komersial yang sudah ada di pasaran sebagai “gold standart” dan “material reference standart” yang didapatkan dari garuda food.
Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah - Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir 2011 Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan - BATAN Yogyakarta, 19 Juli 2011