Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
PENGEMBANGAN METODA ANALISIS RESIDU AFLATOKSIN B1 DALAM HATI AYAM SECARA ENZYME LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) (Method Development of Aflatoxin B1 Residue in Liver Chicken by Enzyme Linked Immunosorbent Assay (Elisa)) SRI RACHMAWATI Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata 30, Bogor 16114
ABSTRACT Aflatoxin B1 (AFB1) is a toxic compound as a secondary metabolite of Aspergillus flavus growth on the media of corn and feed, because of bad storage and handling. Feed that contaminated by high AFB1 could leave some residue in their animal product such as liver. The aim of experimental is to develop a method of analysis residue AFB1 in liver by direct competitive ELISA. Result indicated that the mixer of methanol and phosphate buffer saline (1 : 1) is a good reagent to extract AFB1 from liver samples. Limit detection of analyses is 0.19 + 0.03 ppb, quite good precision with RSD (relative standard deviation) value of 12.3% in repeatable testing. The antibody used gave a specific respond to AFB1. ELISA method developed was quite accurate which the recovery results in the average of 100.8%. The method was applied for analyses the liver samples collected from nine traditional markets and super markets around Bogor area. It was found that 11 out of 45 liver samples contain AFB1 residue in the range of 0.2 – 0.7 ppb. Key Words: Method, Analysis, Aflatoxin, ELISA ABSTRAK Aflatoksin B1 (AFB1) adalah senyawa racun yang merupakan metabolit sekunder dari Aspergillus flavus yang tumbuh pada media seperti jagung dan pakan, pada kondisi penyimpanan dan penanganan yang kurang baik terhadap bahan-bahan tersebut. Pakan yang tercemar AFB1 cukup tinggi dapat menyebabkan terdeteksinya residu AFB1 pada produk ternak seperti organ hati. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metoda analisis residu AFB1 pada sampel organ hati ayam secara ELISA kompetitif langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pereaksi yang baik digunakan untuk mengekstrak sampel hati adalah campuran methanol dan fosfat buffer salin (MeOH: PBS = 1 : 1). Hasil uji limit deteksi yang diperoleh adalah 0,19 + 0,03 ppb dengan presisi yang cukup baik, dimana uji keterulangan memberikan nilai relatif standar deviasi (RSD) 12,3%. Hasil uji spesifisitas menunjukkan bahwa respon antibodi spesifik terhadap AFB1, Metoda ELISA untuk analisis residu AFB1 pada hati ayam cukup akurat dengan nilai perolehan kembali (recovery) adalah rata-rata 100,8%. Uji ELISA yang dikembangkan diaplikasikan untuk analisis residu AFB1 dalam hati ayam yang dikumpulkan dari 9 pasar tradisional dan swalayan didaerah Bogor. Ternyata bahwa dari 11 dari 45 sampel hati yang dianalisis (24,4%) terdeteksi adanya residu AFB1 dengan kadar 0,2 – 0,7 ppb. Kata Kunci: Metoda, Analisis, Aflatoksin, ELISA
PENDAHULUAN Isu keamanan pangan semakin banyak dibicarakan di masyarakat, dengan adanya tuntutan jaminan keselamatan konsumen. Pangan yang merupakan produk ternak diantaranya hati ayam, kemungkinan dapat mengandung residu toksin, seperti aflatoksin.
Residu aflatoksin pada produk ternak dapat terdeteksi, karena ternaknya mengkonsumsi pakan yang mengandung aflatoksin dengan kadar cukup tinggi. Aflatoksin merupakan senyawa racun yang merupakan metabolit sekunder dari Aspergillus flavus yang dapat tumbuh pada media seperti jagung dan pakan, dan berkembang pada
783
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
kondisi penyimpanan dan penanganan yang kurang baik. Jenis aflatoksin B1 (AFB1) yang banyak dijumpai. Dilaporkan di Indonesia bahwa bahan pakan jagung dan pakan jadinya banyak terkontaminasi aflatoksin (BAHRI dan MARYAM, 2003; RACHMAWATI, 2005). Keberadaan residu AFB1 dan AFM1 juga dilaporkan oleh beberapa peneliti pada produk ternak seperti hati dan daging ayam, hati dan daging sapi, telur ayam dan itik serta susu sapi (MARYAM et al., 1994; MARYAM 1996; WIDIASTUTI, 1999). Bahaya yang ditimbulkan aflatoksin, terutama AFB1 yang paling toksik, yaitu dapat menyebabkan toksisitas akut, kronik, karsinogenik, menimbulkan mutasi genetik (mutagenik), teratogenik kecenderungan menimbulkan penyimpangan pembentukan fisik janin dalam uterus, kanker hati pada manusia. Kejadian penyakit akibat aflatoksin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, status pangan dan atau dapat terjadi bersama-sama dengan agen penyebab lain seperti virus hepatitis atau infeksi parasit (GROOPMAN et al., 1988). Pentingnya suatu teknik deteksi yang tepat dan akurat diperlukan untuk mengetahui tingkat kontaminasi, selain itu hasil analisis yang akurat membantu upaya pengendalian masalah berkaitan dengan aflatoksin, mencegah terjadinya keracunan aflatoksin, dapat pula sebagai masukan bagi penentu kebijakan atau penyusunan regulasi. Teknik deteksi aflatoksin metoda standard berdasarkan Applied of Analytical Chemistry (AOAC, 1984) adalah menggunakan kromatografi lapis tipis (Thin Layer Chromatography – TLC) atau kromatografi cair kinerja tinggi (High Performance Liquid Chromatography – HPLC). Metode Enzyme Linked Imunnosorbent Assay (ELISA) sudah banyak dikembangkan dan digunakan karena dinilai cukup cepat, sensitif dan relatif murah. Cepat karena ektraksi sampel lebih sederhana, tidak melalui tahap pemurnian,dan dapat setiap kali pemeriksaan dapat menganalisa sekaligus banyak sampel. Relatif murah, karena sedikit diperlukan jumlah sampel dan reagent serta alat yang lebih sederhana dan murah dibandingkan dengan HPLC. Metode ELISA sudah diterapkan untuk analisis AFB1 pada kacang tanah (KAWA MURA et al., 1988), jagung dan pakan ternak (TRUCKSESS et al., 1989) dan sampel-sampel
784
biologi seperti urine manusia dan hewan ternak (STUBBLE et al., 1991). Limit deteksi untuk analisis metode ELISA dapat membaca serendah 0,1 ug/ml. Pada makalah ini akan disajikan suatu pengembangan metoda analisis residu AFB1 pada hati ayam secara ELISA, akan dipelajari pengaruh matrik sampel hati, pelarut ektraksi yang tepat, pengujian sensitifiti (limit deteksi), repeatibitily (keterulangan), spesifisiti dan akurasi. MATERI DAN METODE Pengujian pengaruh matrik sampel hati Dilakukan dengan mempersiapkan kalibrasi standard (0,12 – 30 ppb AFB1) dalam ekstrak hati yang tidak mengandung AFB1 dan metanol 60%, diuji secara ELISA konpetitif langsung dengan menggunakan pereaksi antigen dan konjugat yang diperoleh Balitvet dari kegiatan penelitian sebelumnya. Tahapan uji ELISA, disajikan pada lampiran 1. Pengukuran ELISA reader dilakukan pada panjang gelombang 450 nm. Selanjutnya kalibrasi standard yaitu plot antara % Inhibisi versus konsentrasi AFB1 yang diperoleh, dibandingkan untuk keduanya dan dievaluasi. Penentuan jenis pelarut yang tepat untuk ekstraksi sampel hati Dibuat ekstrak hati ayam dengan penimbangan dan penambahan pelarut yang bervariasi seperti berikut: a) 20 gram hati ayam ditimbang, diekstraksi dengan 80 ml campuran metanol/PBS (Posfat Buffer Saline) = 1 : 1; b) 20 g hati ayam diekstrak dengan 20 ml metanol, diambil 5 ml supernatan ditambah 5 ml PBS; c) 10 gram hati ayam diekstraksi 20 ml metanol, 5 ml supernatan diencerkan sampai 10 ml dengan PBS. Selanjutnya kurva standard AFB1 (0,12 – 30 ppb) di uji dalam ekstrak yang disiapkan diatas. Pengujian sensitifitas (limit deteksi) dan keterulangan (presisi) Sensitifiti dari alat pembaca ELISA reader ditetapkan pada nilai inhibisi 10 – 15% dari
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
kalibrasi standar AFB1 (0,12 – 30 ppb), yang disiapkan dalam ekstrak hati dengan pelarut yang diperoleh pada uji sebelumnya. Pengujian dilakukan sebanyak 6 kali dan dilakukan pada waktu yang berbeda untuk melihat juga keterulangan yang dapat menunjukkan presisi. Limit deteksi adalah rata2 konsentrasi IC 15. Pengujian spesifikasi dan akurasi Uji spesifikasi dilakukan dengan mengukur respon dari jenis aflatoksin yang lain (AFB2, AFG1 dan AFG2 ) pada uji ELISA, sedangkan pengujian akurasi dilakukan dengan mempersiapkan ”spike sample” yaitu sampel hati yang ditambahkan standar AFB1 konsentrasi tertentu (10, 20 dan 40 ppb), selanjutnya diekstrak dengan pelarut yang tepat dan diuji secara ELISA. Dihitung AFB1 yang diperoleh kembali dan persen perolehan kembali (recovery) dapat diketahui. Analisis sampel hati Metoda uji yang dikembangkan diaplikasikan untuk analisis sampel hati ayam (45 sampel) yang dikumpulkan dari 9 pasar tradisional dan swalayan didaerah Bogor. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh matrik sampel hati dan penentuan pelarut ELISA untuk analisis AFB1 pada pakan, jagung dan kacang tanah sudah dikembangkan dan diaplikasikan di lapangan (RACHMAWATI, 2005). Dengan menggunakan pereaksi immunokimia antigen dan konjugat yang diproduksi Balai Penelitian Veteriner tersebut pengembangan metoda ELISA dilakukan terhadap sampel produk ternak (hati ayam). Jenis sampel pada pengujian atau analisis senyawa tertentu dapat mempengaruhi hasil yang diperoleh, disebabkan oleh adanya matrik dalam sampel. Pereaksi yang digunakan untuk mengekstrak AFB1 yang terkandung dalam sampel biasanya adalah metanol, dan pada metoda ELISA dengan antigen dan konjugat yang dipergunakan Balitvet, pelarut pengekstrak sampel adalah metanol 60%. Pada
Gambar 1, dapat diamati pengaruh matrik sampel hati dibandingkan dengan standar dalam metanol 60%. Terlihat bahwa kurva kalibrasi standard AFB1 dalam ektrak hati ayam masih belum mendekati kurva kalibrasi standar dalam metanol sebagai acuan, walaupun ada titik yang bersinggungan dalam kurva. Pada konsentrasi AFB1 rendah, efek matrik sangat terlihat dengan kurva yang berjauhan. Pengaruh matrik dapat dihilangkan atau diminimumkan dengan cara a). melakukan pengenceran sampel sebelum dianalisa, tetapi perlu dipertimbangkan sensitifiti dari penetapan, b). menggunakan kombinasi pelarut ekstrak, c). penambahan deterjen atau protein pada pelarut. Pada percobaan ini efek matrik dicoba dengan menggunakan kombinasi pelarut untuk ekstraksi, yaitu metanol dan PBS. Metanol merupakan pelarut organik yang baik, sehingga hampir seluruh matrik termasuk senyawa yang diuji terlarut dalam metanol. PBS dapat mengendapkan sebagian protein dan lemak yang terkandung dalam hati, yang dapat mengurangi efek matrik (STANKER and BEIER, 1995). Hasil percobaan dengan menggunakan pelarut campuran metanol dan PBS dengan berbagai teknik pengerjaan dan jumlah sampel, dimana kedalam supernatannya ditambahkan standar AFB1 konsentrasi 0,12 – 30 ppb, didapat kurva kalibrasi seperti Gambar 2. Ternyata bahwa penggunaan pelarut campuran metanol dan PBS = 1:1 yang ditambahkan kedalam 20 g hati ayam, merupakan cara yang terbaik. Mengekstrak dulu senyawa uji dalam metanol 100%, kemudian baru pengenceran dengan PBS, masih memperlihatkan efek matrik yang lebih besar dimana kurva bergeser kesebelah kanan. Sensitifitas dan presisi Sensitifitas dari suatu penetapan atau analisis dapat ditunjukan dengan nilai dari limit deteksi, seberapa sensitif alat dapat memberikan respon pada konsentrasi terendah dari analit yang ditetapkan. Pada uji secara ELISA, limit deteksi ditetapkan pada konsentasi yang memberikan nilai Inhibisi 15% (IC15), dari pengukuran seri standar dalam matrik sampel yang tidak mengandung AFB1. Dari 6 kali pengukuran maka dapat
785
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
100 90
% Inhibitin
80 70 60 50 40 30 20 10 0 0.1
1
10
Aflatoxin B1 (ng/mL)
100
60% MeOH ekstrak hati dlm MeOH 60%
Gambar 1. Respon AFB1 dalam pelarut metanol 60% dan ektrak hati dalam metanol
100 90 80
% Inhibitin
70 60 50 40 60% MeOH 20 gr+MeOH/PBS 20 gr MeOH, encerkan PBS 10 gr MeOH, encerkan PBS
30 20 10 0 0.1
1
10
100
Aflatoxin B1 (ng/mL)
Gambar 2. Kurva kalibrasi standar AFB1 dalam berbagai pelarut ekstraksi dan jumlah sampel
dihitung dan didapat konsentrasi IC 15 seperti pada Tabel 1. Limit deteksi yang diperoleh adalah 0,19 + 0,03 ppb. Presisi yaitu kedekatan beberapa hasil pengujian (seberapa dekat pengamatan yang satu dengan yang lainnya). Presisi dapat dievaluasi dari pengujian keterulangan, pengujian sampel/standar yang sama, dengan peralatan yang sama, pada laboratorium yang sama, diulang pada waktu berbeda. Pada uji ELISA repetabilitas dapat ditentukan dengan menghitung konsentrasi yang memberikan nilai inhibisi 50% (IC50, titik paling akurat) pada kalibrasi standar. Hasil perhitungan IC50 dari pengukuran 6 kali seri standar AFB1 yang dipersiapkan dalam matrik hati yang tidak mengandung AFB1 disajikan pada Tabel 1. Ternyata bahwa metoda yang dikembangkan
786
memberikan keterulangan, presisi yang baik dengan nilai RSD = 12,3%. PATEY et al., (1992), melaporkan bahwa sebagai petunjuk ketepatan analisa, nilai koefisien variasi sebaiknya dalam kisaran 5 – 15%. Spesifikasi dan akurasi Spesifikasi antibodi aflatoksin dapat diketahui dari pengujian reaksi silang dengan jenis aflatoksin lain yang mempunyai struktur yang hampir menyerupai AFB1 yaitu AFB2, AFG1 dan AFG2. Persentase reaksi silang dapat diketahui dengan menghitung IC50 dari pengukuran seri standar (0,12 – 30 ppb) dalam matrik sampel hati dari masing-masing jenis aflatoksin dibandingkan terhadap AFB1, dimana respon AFB1 100%, seperti pada Tabel 2. Ternyata bahwa antibodi memberikan respon
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 1. Sensitifitas (limit deteksi) dan presisi pada uji AFB1 sampel hati secara ELISA, yang ditunjukkan dengan nilai IC15 dan IC50 Kalibrasi
1
IC15 (ppb) 0,19 Limit deteksi = 0,19 ± 0,03 ppb IC50 (ppb) 2,17
2
3
4
5
6
Rata-rata
Std
0,22
0,19
0,15
0,16
0,23
0,19
0,03
2,22
2,15
1,84
2,23
1,61
2,03
0,25
yang sensitif terhadap AFB1, dengan nilai IC50 yang rendah, sedangkan responnya terhadap jenis aflatoksin lainnya tidak sensitif (perhatikan juga Gambar 3). Tabel 2. Persentasi reaksi silang antibodi aflatoksin B1 Jenis aflatoksin
Nilai IC50
% reaksi silang
1,5 27,2 11,3 99,9
100 5,6 13,6 1,5
AFB1 AFB2 AFG1 AFG2
Dapat dikatakan bahwa antibodi memberikan respon yang spesifik terhadap
RSD
12,3%
AFB1, dengan reaksi silang yang relatif kecil terhadap AFB2, AFG1 dan AFG2 yaitu masingmasing 5,6; 13,6 dan 1,5%. Akurasi, ketepatan suatu analisis dievaluasi dari hasil uji perolehan kembali dari”spike sample”, yaitu sampel hati yang ditambahkan konsentrasi tertentu AFB1. Tiga konsentrasi AFB1 dalam”spike sample” yaitu 10, 20 dan 40 ppb dipersiapkan, selanjutnya diuji kadar AFB1 nya secara ELISA. Hasil pengukuran dan perhitungan seperti pada Tabel 3. Perolehan kembali (recovery) rata-rata 100,8% menunjukan metoda yang dikembangkan memberikan akurasi yang baik. Hasil penelitian terdahulu rata-rata perolehan kembali analisis secara ELISA adalah 94 – 108% (SPILMAN, 1985).
100 90
% Inhibitin
80 70 60 50 40 30 20 10 0 0.1
1 Aflatoksin (ng/mL) AFB1
AFB2
10
AFG1
100 AFG2
Gambar 3. Respon antibodi terhadap berbagai jenis aflatoksin Tabel 3. Perolehan kembali (recovery) AFB1 di+kan (ppb) 10 ppb 20 ppb 40 ppb
AFB1 ditemukan (ppb) 9,8 10,2 20,8 19,6 40,8 40,2
% Perolehan kembali (recovery)
Rata-rata % recovery
98 102 103,8 98,2 102,1 100,5
100,8%
787
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 4. Kadar residu AFB1 pada sampel hati ayam yang dikumpulkan dari pasar tradisional dan swalayan di daerah Bogor Pasar/swalayan
n
AFB1 negatif (TT)*
AFB1 positif
Kisaran kadar (ppb)
A
5
2
3
0,5 – 0,7
B
5
2
3
0,2
C
5
5
0
-
D
5
5
0
-
E
5
2
3
0,3
F
5
5
0
-
G
5
5
0
-
H
5
3
2
0,2
I
5
5
0
-
Total
45
34
11
0,2 – 0,7
TT = tidak terdeteksi; limit deteksi 0,19 ppb
Kadar residu AFB1 dalam sampel hati ayam
KESIMPULAN
Metoda ELISA yang dikembangkan diaplikasikan untuk analisis sampel hati yang dikumpulkan dari 9 tempat (pasar tradisional dan swalayan) didaerah Bogor. Ternyata dari 45 sampel hati, sebanyak 11 sampel (24,4%) positif mengandung residu AFB1 dalam kisaran 0,2 – 0,7 ppb. Data disajikan pada Tabel 4. Hasil studi yang dilaporkan terdahulu dari 31 sampel hati ayam, sebanyak 14 sampel positif mengandung residu AFB1 dengan kadar rata-rata 0,01 ppb dan 30 sampel mengandung AFM1 kadar rata-rata 12,1 ppb (MARYAM, 1996). Sampel hati yang dikumpulkan dari pasar tradisionil dan swalayan didaerah Jawa Barat ternyata juga mengandung residu AFB1 dan AFM1. 13 dari 21 sampel hati sapi yang dikumpulkan mengandung residu AFB1 dalam kisaran 0,33 – 1,44 ppb (WIDIASTUTI, 1999). Residu AFB1 pada organ hati yang terdeteksi relatif rendah, karena dalam metabolisme tubuh ayam AFB1 berubah menjadi metabolitnya seperti aflatoksikol dan AFM1. Sebagian diekresikan an sebagian terdistribusi di darah, hati, tembolok, dada dan paha. Pada percobaan pemberian 3 ppm AFB1 pada ayam pedaging dan petelur, residu AFB1 dan metabolitnya yang terbentuk, terdeposit di organ hati 10 kali lebih besar dibandingkan jaringan tubuh yang lain (MABEE dan CHIPLEY, 1973; BINTVIHOK et al., 2002).
Dari hasil pengembangan metoda analisis residu AFB1 yang dikembangkan dapat disimpulkan bahwa: Metoda ELISA dapat diaplikasikan untuk analisis residu AFB1 pada sampel hati dengan pelarut yang baik adalah campuran metanol dan PBS = 1 : 1. Sensitifiti dan presisi cukup baik dengan nilai limit deteksi yang diperoleh 0,1 + 0,03 ppb. Uji keterulangan memberikan nilai 12,3% RSD (< 20%).Respon spesifik terhadap AFB1 dengan reaksi silang yang kecil terhadap AFB2, AFG1 dan AFG2 yaitu masing-masing 5,6%, 15,6% dan 1,5. Selain itu metoda juga cukup akurat dengan persentase perolehan kembali rata-rata 100,8%. Hasil analisis sampel hati ayam diperoleh sebanyak 11 dari 45 sampel (24,4%) positif mengandung residu AFB1 dengan kadar dalam kisaran 0,2 – 0,7 ppb.
788
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1984. Official Methods of Analysis. 14th Ed, AOAC, Arlington VA. Section 26.026 – 26.031; 26.049 – 26.051. BAHRI, S. dan R. MARYAM. 2003. Mikotoksin berbahaya dan pengaruhnya terhadap kesehatan hewan dan manusia. Wartazoa 14(4): 129 – 142.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
BINTVIHOK, A, S. THIENGNIN, K. DOL and S. KUMAGAI. 2002. Residues of aflatoxins in the liver, muscle and eggs of domestic fowl. J. Vet. Med. Sci. 64 (11): 1037 – 1039. GROOPMEN, J.D, L.G. CAIN and T.W. KENSLER. 1988. Aflatoxin exposure in human populations measurement relationship to cancer. Crit. Rev. Toxicol. 19(2): 113 – 145. KAWAMURA, A.O., S. NAGAYAMA, S. SATO, K. OHTANI, I. UENO and Y. UENO. 1988. Development of aflatoxin immunoassay technique of peanut. Mycotoxin Res. 4: 76 – 87. MABEE, M.S. and J.R. CHIPLEY. 1973. Tissue distribution and metabolism of aflatoxin B114 C in broiler chickens. Appl microbial.25(5): 763 – 769. MARYAM, R. 1996. Residu aflatoksin dan metabolitnya dalam daging dan hati ayam. Pros. Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. hlm. 336 – 339. MARYAM, R., S. BAHRI dan P. ZAHARI. 1994. Deteksi aflatoksin B1,M1 dan aflatoksikol dalam telur ayam ras dengan kromatografi cair kinerja tinggi. Pros. Seminar Teknologi Veteriner untuk meningkatkan kesehatan hewan dan pengamanan bahan pangan asal ternak. Cisarua – Bogor, 22 – 24 Maret 1994. hlm. 412 – 416. PATEY, A.L., M. SHARMAN and J. GILBERT. 1992. Determination of total aflatoxin levels in peanut butter by Enzyme Linked Imunnosornbent Assay: Collaborative Study. J AOAC Int. 75 (4): 693 – 697.
RACHMAWATI, S. 2005. Aflatoksin pada pakan di Indonesia: Persyaratan kadar dan peratuan perundang-undangannya. Wartazoa 4 (1): 26 – 35. SPILMAN, J.R. 1985. Modification of rapid screening method for aflatoxin in corn for quantitative use. JAOAC 68(3): 453 – 456. STANKER, L.H. and R.C. BEIER. 1995. Introduction to immunoassay for residue analysis: Concept, formats and applicaions in immunoassays for residue analysis. In: ELISA workshop. Simple test for monitoring mycotoxins and pestisides in produce. Post Harvest Technology Insitute. Ho Chi Minh City, Vietnam, November 15 – 17 1999. University of Sydney. pp. 12 – 22. STUBBLE, F., R.D.J. GREER, O.L. SKOTWELL and A.M. AIKENS. 1991. Direct competitive ELISA of aflatoxins in biological material. JAOAC 74 (3): 530 – 532. TRUCKSESS, M.W., M.E. STACK, S. NESHEIM, D.L. PARK and A.E. POHLAND. 1989. Enzyme Linked Imunnosorbent Assay of Aflatoxins B1, B2 and G1 in corn, cotton seed, peanut, peanut butter and poultry feed: Collaborative study. JAOAC 72(6): 957 – 961. WIDIASTUTI, R. 1999. Residu aflatoksin pada daging dan hati sapi di pasar tradisional dan swalayan di Jawa Barat. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor. 18 – 19 Oktober 1999. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 609 – 614.
.
.
789