VALIDASI METODE PENGUJIAN KADAR IMUNOGLOBULIN G DALAM SUSU BUBUK SKIM DENGAN METODE ENZYME LINK IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)
SUMARIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir ”Validasi metode pengujian kadar Imunoglobulin G dalam susu bubuk skim dengan metode Enzyme Link Immunosorbent Assay (ELISA)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, Januari 2013
Sumaria F252090025
ABSTRACT SUMARIA. Validation Method of Analysis of Imunoglobulin G in Skim Milk Powder using Enzyme Link Immunosobent Assay (ELISA). Under Direction of HARSI D KUSUMANINGRUM and ENDANG PRANG DIMURTI.
People take a more proactive approach to maintaining their wellness by looking for natural ways to stay healthy and maintain a balanced immune system such as functional food. Functional foods are foods, and in fact they are foods, that go beyond simple nutrition and have specific targeted actions. Various strategies have been adopted to develop functional foods. The last approach to developing functional foods is based on the addition of ingredients that are very specific and have a very targeted action, that are used to reduce the risk of disease. Milk-based products enriched with immunoglobulins are recently available in the market. The active ingredient, colostrum, is targetted at maintaining health and the natural microbiota. The product is claimed to be lactose-free and fat- free, to have benecifial effects on the immune system and to improve the health of muscles and joints. Immunoassay is development of food analysis which is antibody-based optical were used as to determine IgG because of their simplicity, sensitivity and spesificity. Immunoglobulin G (IgG) in skim milk powder were analyzed by Sandwich Enzyme Link Immunosorbent Assay using bovine IgG ELISA kit. However, before adoption analysis method as a routine method, it should be validated. Standard curves were constructed using IgG standard (stock solution is 125ng/ml), ELISA was linear within 0-125 ng/mL range. Therefore, the samples required a 1/500 dilution to approximately 12.8 ng/mL. ELISA was developed for determination of IgG in bovine milk and colostrum with either goat or rabbit antibovine IgG or protein G used as detecting molecule. Performance parameters validation included liniearity, showed a working range of 5,10 ng to 38,42 ng and correlation coefficient r: 0.99. Overall instrument response repeatability relative standard deviation (RSD) were of 3,87% , 9,67% and 4,86% for IgG over 7 analyses for 3 kind of samples and recovery was 111,24%. The technique was applied to the measurement of IgG content in milk powders, and a precision relative standard deviation values of ≤20%, acuracy of 85-115% and percent recovery of RSD ≤15%, and the method is specific.
Keywords :Immuglobulin G, Sim Milk Powder, Validation Method of Analysis, ELISA
RINGKASAN SUMARIA. Validasi Metode Pengujian Kadar Imunoglobulin G dalam Susu Bubuk Skim dengan metode Enzyme Link Immunosorbent Assay (ELISA),” dibimbing oleh HARSI D KUSUMANINGRUM and ENDANG PRANG DIMURTI. Saat ini banyak dipopulerkan pangan yang mempunyai fungsi fisiologis tertentu untuk tubuh seperti meningkatkan kesehatan, vitalitas, meningkatkan kinerja fisik sehingga lebih aktif dan memperpanjang umur seperti pangan yang diperkaya dengan imunoglobulinG atau IgG (Mattila dan Hoolihan, dalam Mattila 2005). Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional juga harus menggunakan bahan yang memenuhi standar mutu dan persyaratan keamanan, mempunyai manfaat bagi kesehatan sesuai persyaratan yang ditetapkan (Badan POM, 2003)). Seiring dengan banyaknya pangan yang diklaim mempunyai fungsi fisiologis tertentu untuk tubuh seperti meningkatkan kesehatan, vitalitas, dan meningkatkan kinerja fisik. Terjadi peningkatan keberadaan colostrum-based functional foods dan suplemen, dimana pangan diperkaya dengan imunoglobulin G (IgG) yang diklaim dapat meningkatkan kesehatan gastrointestinal dan stimulasi sistem imun sehingga meningkatkan imunitas. Pengembangan metode untuk pengujian IgG dalam suatu produk merupakan hal yang sangat penting karena metode ujinya masih terbatas (sporns 2004). Umumnya pengujian dapat dilakukan dengan beberapa metode misalnya kit radial imunodifusion (RID), affinity high-performance liquid chromatography (HPLC) dan metode immunoassay. Immunoassay yang dikenal dengan Enzyme Link Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan pengembangan analisis pangan antibody-based optical yang pada saat ini digunakan untuk pengujian IgG karena simplisitas, sensitivitas, dan spesifitasnya. Aplikasi metode ini dapat diterapkan pada uji cepat terhadap food borne-pathogen dan mendeteksi protein spesifik dalam jumlah kecil. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan validasi metode pengujian kadar bovine imunoglobulin G (IgG) dalam susu bubuk skim, sehingga dapat digunakan untuk analisis terhadap susu bubuk skim yang diklaim mengandung IgG yang telah banyak beredar di Indonesia. Validasi metode dilakukan dengan parameter uji linieritas dan rentang, limit deteksi dan limit kuantitasi, uji presisi untuk ripitabilitas, uji akurasi dan uji spesifisitas. Dengan dilakukan penelitian ini, diharapkan diperoleh metode analisis yang valid untuk pengujian kadar IgG dalam susu bubuk skim sehingga dapat menjadi metode acuan.
Penelitian dilakukan dengan dua tahap, tahap pertama adalah uji pen dahuluan yang dimaksudkan untuk menetapkan kurva baku yang akan menjadi kurva kalibrasi dan menetapkan kadar optimum IgG dalam sampel susu bubuk skim yang mengandung IgG dengan kadar 150/15g. Tahap kedua adalah melakukan validasi metode pengujian kadar IgG dalam susu bubuk skim dan dilakukan validasi metode analisis dengan parameter uji keberulangan terhadap susu bubuk skim lainnya dengan kadar yang bervariasi dalam hal ini digunakan sampel lain dengan kadar 180mg/15g dan 200mg/15g. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pada tahap uji pendahuluan diperoleh kurva baku kalibrasi yang baik dengan nilai koefisien korelasi (r) 0,99 dan masih dalam kriteria keberterimaan r ≥ 0,95, untuk kadar optimum IgG dalam sampel diperoleh pada pengenceran 1/500 atau 12,8 ng/mL. Hasil validasi metode analisis yang diperoleh adalah valid yang ditunjukkan dengan kurva kalibrasi dan linieritas pada rentang konsentrasi antara 5,1 ng/mL dan 38,4 ng/mL dan koefisien korelasi r = 0.99. Presisi dengan nilai RSD 3,87%, dan akurasi dengan satu tingkat konsentrasi yang memberikan nilai persen rekoveri 111,24% pada kriteria keberterimaan untuk presisi nilai RSD ≤20%, akurasi dengan nilai persen rekoveri antara 85-115% atau RSD ≤15%. Sedangkan Limit deteksi 0,93 ng/mL dan limit kuantisasi 3,1 ng/mL. Hasil analisis menggunakan metode ELISA terhadap 3 sampel merek susu bubuk skim yang diklaim mengandung Imunoglobulin G (IgG) atau kolostrum yang beredar memiliki nilai RSD berturut-turut untuk sampel A, sampel B dan sampel C adalah 3,87% , 9,67% dan 4,86%. Hal ini menunjukkan bahwa sistem operasional instrumen dan prosedur metode sudah baik dengan respon.Hasil validasi untuk parameter uji spesifitas menunjukkan bahwa metode sudah spesifik untuk pengujian kadar bovine IgG dalam susu bubuk skim.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
VALIDASI METODE PENGUJIAN KADAR IMUNOGLOBULIN G DALAM SUSU BUBUK SKIM DENGAN METODE ENZYME LINK IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)
SUMARIA
Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Pada Program Studi Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Tugas Akhir
Nama Mahasiswa Nomor Pokok
: Validasi Metode Pengujian Kadar Imunoglobulin G dalam Susu Bubuk Skim dengan Metode Enzyme Link Immunosorbent Assay (ELISA) : Sumaria : F252090025
Program Studi
: Magister Profesi Teknologi Pangan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Harsi D Kusumaningrum (Ketua)
Dr. Ir. Endang Prangdimurti, MSi (Anggota)
Mengetahui Ketua Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal ujian: Januari 2013
Tanggal lulus: ..........................
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tugas Akhir: Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, MSi
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tugas akhir ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Magister Profesional Teknologi Pangan. Tema penelitian ini diangkat dari masalah yang dijumpai oleh peneliti dalam pekerjaan sehari-hari. Tugas akhir ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca, dan memberikan kontribusi bagi regulator dalam mengevaluasi mutu pangan dalam rangka pengawasan mutu pangan. Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus atas bimbingan dan tuntunan kepada Dr. Ir. Harsi D Kusumaningrum
dan Dr. Ir. Endang
Prangdimurti, MSi, selaku komisi pembimbing yang telah membimbing penulis dengan sabar dalam menyusun tugas akhir ini, mulai dari awal hingga akhir. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, Msi, selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan dalam penyusunan tugas akhir ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Lilis Nuraida, MSc selaku Koordinator Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan yang telah membantu, memberikan dorongan dan kesempatan yang begitu banyak kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh dosen pengajar di Program Studi Teknologi Pangan yang telah membekali berbagai pengetahuan kepada penulis selama menjalani kuliah di sekolah pascasarjana Magister Profesi Teknologi Pangan. Tidak lupa terima kasih juga kepada ibu Tika yang telah banyak membantu dalam masalah administrasi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Drs. Syamsudin, Apt. MSi selaku Kepala Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional, dan Dra.Hermini Tetrasari MSi yang telah mengizinkan dan membantu penulis dalam rangka penelitian serta teman teman di laboratorium Obat Tradional kosmetika dan produk
komplimen serta laboratorium Mikrobiologi PPOMN yang juga telah membantu dan bekerjasama sebelum, selama dan sesudah penelitian. Terima kasih juga kepada teman-teman MPTP batch 5 dan batch 6 yang telah memberikan motivasi kepada penulis, serta teman teman
yang tidak
tersebutkan namanya disini, terima kasih semua. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tulus
kepada Ibunda
tercinta dan keluarga besar di STM yang tersayang selama ini telah mendukung dan memberikan semangat kepada penulis serta selalu mendoakan dari awal kuliah hingga menyelesaikan pendidikan ini. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini belum sempurna, sehingga penulis lain dapat melanjutkan untuk penyempurnaannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2013
Sumaria
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Juli 1954, di Medan Sumatera Utara sebagai anak kelima dari ayahanda Mohammad Sudian (almarhum) dan Ibu Ramsah. Menyelesaikan pendidikan sekolah dasar negeri tahun 1966 dan melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertama negeri dan menyelesaikan tahun 1969. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan kejuruan Sekolah asisten Apoteker di SAA Negeri Medan dan selesai pada tahun 1972. Selesai pendidikan penulis menjalankan kerja kefarmasian di Apotek swasta selama 3 tahun hingga tahun 1975. Pada tahun 1976 penulis melanjutkan pendidikan pada jurusan farmasi FMIPA Universitas Sumatera Utara di Medan hingga tahun 1982 dan lulus sebagai sarjana farmasi, selanjutnya pada tahun 1983 menyelesaikan pendidikan Apoteker setelah menjalankan kerja profesi dan menempuh ujian Apoteker. Selama masa studi penulis aktif pada kegiatan di kampus sebagai anggota senat mahasiswa dan pengurus pada korps mahasiswa pencinta alam dan studi lingkungan hidup. Sejak tahun 1984 hingga tahun 2010 penulis bekerja pada Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional Badan POM. dan sejak Awal masuk penulis ditempatkan dilaboratorium Mikrobiologi PPOMN Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Disamping bekerja di Laboratorium Mikrobiologi. Penulis juga membantu tugas inspeksi/audit ke pabrik farmasi dan pangan yang ditugaskan oleh Badan POM, serta asesmen laboratorium mikrobiologi dalam lingkup kegiatan mikrobiologi yang ditugaskan oleh Komite Akreditasi Nasional Badan Standardisasi Nasional.
xi
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI .....................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
xiv
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah............................................................................... 1.3 Tujuan ................................................................................................... 1.4 Manfaat ................................................................................................ 1.5 Ruang Lingkup Penelitian .....................................................................
1 4 5 5 6
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Imunoglobulin G……........................................................................... 2.2 Susu Bubuk Skim…………................................................................... 2.3 Enzyme Link Immunosorbent Assay………......................................... 2.4 Validasi Metode Analisis…..................................................................
9 11 14 23
BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................ 3.2 Alat dan Bahan ...................................................................................... 3.3 Metode Penelitian ..................................................................................
33 33 34
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan kurva baku dan Penetapan kadar optimum IgG dalam sampel susu bubuk skim ………………………………..………....... 4.2 Validasi metode analisis penetapan kadar imunoglobulin G……… 4.3 Bahasan Umum………………………………………………………
43 45 52
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………...........
67
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….
69
LAMPIRAN : ……………………………………………………………………….
75
I
II
III
IV
V
xi
xii
DAFTAR TABEL Halaman
Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13
Komposisi beberapa jenis susu pada mamalia dan manusia............ Parameter yang diperlukan pada validasi metode analisis untuk uji kualitatif dan kuantitatif ……………………………………......... Keberterimaan akurasi berdasarkan persen rekoveri………………… Densitas optik (OD) larutan baku bovine IgG……………………...... Kadar optimum IgG dalam Sampel A ……………………………... Densitas optik dan kadar larutan baku bovine IgG……………………. Densitas optik (OD) dan konsentrasi larutan baku bovine IgG……. Uji keberulangan larutan baku bovine IgG pada kadar 5,37 ng/mL Uji presisi pada Sampel A……………………………………………. Uji Akurasi dengan Uji Rekoveri…………………………………… Densitas optik larutan sampel dan larutan matriks (1,5 mg/mL) dengan dan tanpa kandungan IgG …………………………………... Uji keberulangan pada Sampel B dan sampel C……………………. Parameter validasi, kriteria keberterimaan dan hasil validasi………
12 26 29 43 44 46 47 48 49 50 51 52 65
xii
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8
Struktur Imunoglobulin................................................................. ELISA langsung ………………………………………….……….. ELISA tidak langsung……………………………………………… Sandwich ELISA…………………………………………………… Tahapan prosedur Sandwich ELISA ……………………………… Reaksi pembentukan warna pada proses ELISA…………………. Kurva Baku larutan standar dengan bentuk garis lurus……………. Kurva Baku larutan standar dengan bentuk sigmoid……………….
9 15 16 16 18 22 55 56
xiii
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2
Halaman Komposisi sampel Susu Bubuk skim dalam 15 g/sachet dan sampel matriks susu bubuk skim ………………………. 75 Data densitas optik larutan baku bovine IgG………………… 77
xiv
1
I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Pada masa kini yang disebut dengan kehidupan modern, telah terjadi pergeseran di bidang pangan, dimana makan bukanlah sekedar untuk mengenyangkan tetapi untuk mencapai tingkat kesehatan dan kebugaran. Fungsi pangan yang utama untuk manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan zat zat gizi tubuh, sesuai dengan jenis kelamin, usia, aktivitas fisik, dan bobot tubuh. selain memiliki untuk memenuhi zat gizi fungsi lainnya yaitu memiliki penampakan dan citarasa yang baik. Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka tuntutan terhadap pangan juga berubah. Bahan pangan yang diinginkan bukan saja yang mempunyai komposisi yang baik serta citarasa yang menarik, tetapi juga mempunyai fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh. Saat ini banyak dipopulerkan bahan pangan yang mempunyai fungsi fisiologis tertentu untuk tubuh seperti meningkatkan kesehatan, vitalitas, meningkatkan kinerja fisik sehingga lebih aktif dan memperpanjang umur (Mattila dan Hoolihan, dalam Mattila 2005). Hasil survei yang dilakukan oleh The American Dietetic Association setiap dua tahun menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang mendasar dari persepsi konsumen. Data menunjukkan 85% konsumen percaya bahwa diet dan nutrisi merupakan hal yang sangat penting, dan 75% akan memilih pangan dengan sangat hati hati untuk mendapatkan keseimbangan antara nutrisi dan cara makan yang sehat. Survei
yang dilakukan oleh The International Food
Information (IFIC) di Massachuset terhadap 1000 konsumen, menyatakan hampir semua konsumen (94%) percaya bahwa pangan mempunyai dampak kesehatan dapat menurunkan risiko penyakit dan efek negatif dari penyakit tertentu. Menurut konsensus pada the First International Conference on East-West Perspective on Functional
2
Food (1996) pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, diluar manfaat yang diberikan oleh zat zat gizi yang terkandung didalamnya. Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.HK.00.05.52.0685 (2003), Tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional pasal 1 ayat 3, definisi pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional juga harus menggunakan bahan yang memenuhi standar mutu dan persyaratan keamanan, mempunyai manfaat bagi kesehatan sesuai persyaratan yang ditetapkan, manfaat berdasarkan atas kajian ilmiah, disajikan dan dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, memiliki karakteristik dan sensori seperti penampakan, warna dan tekstur serta citarasa yang dapat diterima konsumen.disamping itu komponen pangan fungsional tidak memberikan interaksi yang tidak diinginkan dengap komponen lain. Menurut Codex (2007), pangan fungsional dapat berupa makanan dan minuman yang berasal dari hewani atau nabati. Walaupun konsep pangan fungsional baru populer beberapa tahun belakangan
ini,
tetapi
sesungguhnya
banyak
jenis
makanan
konvensional yang memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai pangan fungsional, misalnya adalah susu. Susu merupakan salah satu pangan fungsional terbaik karena mempunyai nutrisi lengkap secara alami dan susu mudah diserap oleh tubuh. Secara umum komposisi susu sapi segar terdiri dari, 87% air, 4% laktosa (karbohidrat), 4 % protein, 3% lemak serta 2% campuran vitamin yang terkandung dalam susu berupa vitamin larut minyak (A, D, E, K) dan vitamin larut air (B1, B2, B6, B12, niasin, folat, asam pantotenat dan vitamin C) serta mineral (kalsium, forsfor, magnesium,
3
kalium, seng, fluorida) yang sangat dibutuhkan tubuh (Smit 2003). Selain itu, susu juga baik untuk pencegahan penyakit seperti osteoporosis, obesitas, hipertensi, kanker dan lain-lainnya. Menurut codex (2007) komposisi susu bubuk skim terdiri dari lemak susu maksimum 1,5%, air maksimum 5% dan protein susu dalam padatan susu non lemak minimum 34%. Definisi susu bubuk skim yang tercantum dalam kategori pangan yang dikeluarkan oleh Badan POM (2006) adalah produk susu yang sebagian besar lemaknya telah dihilangkan dan dipasteurisasi atau disterilisasi atau diproses dengan UHT dan persyaratan minimum kadar lemak susu tidak lebih dari 0,15% dan kadar protein tidak kurang dari 3%. Susu juga dapat meningkatkan sistem imun tubuh terhadap berbagai penyakit infeksi, pertumbuhan dan perkembangan sel, termasuk sel otak. Pangan fungsional dapat berupa pangan konvensional yang difortifikasi, diperkaya, disuplementasi, atau ditambahkan nilai manfaatnya (Hoppe
2008).
Mikronutrien non
vitamin termasuk nutrisi yang sangat tinggi dari bahan aktif yang ada didalam makanan dengan kandungan yang sangat kecil dapat mempengaruhi kesehatan. diantaranya, non vitamin karotenoid, asam lemak esensial, asam amino, komponen fosfolipid, dan semua komponen
yang kondisional seperi karnitin, kholin, inositol,
komponen antioksidan dan peningkat pertumbuhan, antimikroba, atau immune potential. Imunoglobulin kolosral teruta lahir ma IgG memberikan imunitas pasif pada bayi yang baru sampai sistem imunitasnya berkembang (Hurley 2011). Saat ini secara global terjadi peningkatan keberadaan colostrum-based functional foods dan suplemen, yang diklaim dapat meningkatkan kesehatan gastrointestinal dan stimulasi sistem imun. Walaupun susu merupakan makanan, dan pada dasarnya adalah pangan yang mengandung zat gizi dan protein tetapi untuk
4
meningkatkan fungsinya sebagai pangan dengan klaim kesehatan dapat meningkatkan iumunitas masih diperkaya dengan IgG. Di amerika dan Australia susu yang diperkaya dengan IgG sudah dipasarkan sejak tahun
1998 dengan kandungan ekstrak
kolostrum (Mattila 2005). Di Indonesia pemasaran susu bubuk skim yang mengandung IgG dari produsen diklaim sebagai susu bubuk skim yang mengandung kolostrum.yang dijual secara multi level marketing system maupun konvensional.
Menurut Gain Report
(Pekerti 2010) produsen yang memproduksi minuman untuk
diet
ataupun meningkatkan kesehatan dengan produk berbentuk serbuk atau cair sebagai pangan fungsional atau suplemen, yang dipasarkan pada labelnya dengan klaim meningkatkan sistem imun dan mencegah infeksi semakin meningkat. Pengembangan pengujian untuk analisis IgG dalam produk pangan merupakan hal yang sangat penting karena metode uji masih terbatas. Umumnya pengujian dapat dilakukan dengan beberapa metode misalnya kit Radial imunodifusion (RID)
walaupun kit
Radial Imunodifusion (RID) komersil sudah tersedia tetapi reagen ini umumnya bervariasi terhadap respon. Metode lain adalah affinity high-performance liquid chromatography (HPLC) yaitu metode yang berbasis pada ikatan spesifik IgG dengan immobilized protein G merupakan metode yang dikembangkan untuk analisis IgG ( Don Otter dalam Gapper 2007). Pengembangan metode selanjutnya adalah teknologi biosensor yang dapat digunakan sebagai pendekatan metode alternatif untuk analisis IgG dan metode antibody-based optical (Gapper 2007). Immunoassay merupakan pengembangan analisis pangan antibody-based optical pada saat ini juga digunakan untuk pengujian IgG karena simplisitas, sensitivitas, dan spesifitasnya (Sporns 2004). Aplikasi metode ini dapat diterapkan pada uji cepat terhadap food
5
borne-pathogen dan mendeteksi protein spesifik dalam jumlah kecil. Umumnya metode immunoassay dapat digunakan untuk cara deteksi langsung dan kuantifikasi IgG dengan konsentrasi kecil pada pangan, karena kemampuan metode untuk memisahkan dan mendeteksi ikatan antigen-antibodi dari antigen atau antibodi berlabel (Boque 2002). Umumnya label yang digunakan adalah enzim, misalnya horseradish peroxydase, immunoassay ini dikenal sebagai metode Enzyme Link Immunosorbent Assay (ELISA). Metode ELISA ini dapat dilakukan dengan format yang simpel dan uji cepat menggunakan suatu kit, sehingga metode ini banyak digunakan sebagai skrining pada pengujian secara cepat. Kit untuk pengujian ELISA sudah banyak beredar dipasaran dengan berbagai aplikasi yang dapat dipilih sesuai dengan tujuan penggunaanya. Metode analisis yang digunakan untuk pengujian rutin suatu produk tertentu sebelumnya harus divalidasi terlebih dahulu. Validasi metode analisis
adalah
penilaian
parameter
analitik
tertentu
berdasarkan percobaan untuk memenuhi syarat sesuai tujuan penggunaan atau konfirmasi melalui pengujian dan bukti obyektif agar persyaratan untuk maksud khusus dipenuhi (SNI 17025-2008). Validasi diperlukan untuk mendapatkan hasil analisis yang valid, reliabel/ dapat dipercaya, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan sesuai dengan tujuan pengunaannya.
1.2 PERUMUSAN MASALAH Seiring dengan peraturan dan kondisi diatas maka perlu dilakukan pengawasan atau monitoring terhadap kadar imunoglobulin G (IgG) yang diklaim dalam susu bubuk skim, baik pada tingkat industri, distributor dan konsumen. Untuk itu dibutuhkan suatu metode analisis yang valid, selektif, cepat, mudah dan praktis untuk penetapan kadar khususnya IgG dalam susu bubuk skim.
6
Metode resmi atau metode standar pengujian IgG yang ada saat ini masih belum diimplementasikan. Suatu metode baru dapat digunakan bila telah dilakukan validasi yang kondisinya disesuaikan dengan kondisi laboratorium dan peralatan yang tersedia, meskipun metode yang akan digunakan tersebut telah dipublikasikan dalam jurnal, buku teks atau buku resmi (Hadi 2007). Hal ini karena adanya perbedaaan dan keterbatasan alat, pereaksi atau kondisi lain yang menyebabkan metode tersebut tidak dapat diterapkan secara keseluruhan, sehingga sering dilakukan modifikasi, penyederhanaan maupun perbaikan metode, akibatnya metode tersebut harus divalidasi terlebih dahulu dengan cara yang benar. Apabila dari hasil validasi metode tersebut sudah memberikan hasil sesuai kriteria, maka metode ini dianggap valid dan dapat digunakan untuk analisis rutin. Sehingga dapat dipastikan bahwa metode yang telah tervalidasi akan memberikan hasil yang dapat dipercaya.
1.3 TUJUAN PENELITIAN 1. Melakukan
validasi
metode
analisis
penetapan
kadar
immunoglobulin G dalam susu bubuk skim dengan metode Enzyme Link Immunosorbent Assay (ELISA). 2. Parameter validasi adalah linieritas dan rentang, limit deteksi dan limit kuantitasi, presisi, akurasi, dan spesifisitas yang bertujuan untuk membuktikan bahwa metode analisis tersebut handal, dan dapat dipercaya. 3. Melakukan uji keberulangan terhadap sampel berbeda dengan tujuan untuk membuktikan bahwa metode tersebut dapat digunakan untuk penetapan kadar imunoglobulin G dalam susu bubuk skim dengan kadar yang berbeda di dalam susu bubuk skim.
7
1.4 MANFAAT PENELITIAN 1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan metode analisis yang handal (valid, spesifik, cepat, mudah dan praktis) untuk analisis penetapan kadar Imunoglobulin G dalam susu bubuk skim, 2. Dengan melakukan penelitian ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan baru bagi peneliti dan memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan di Indonesia mengenai validasi metode analisis untuk pengujian produk pangan.
1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi laboratorium yang dilakukan untuk penetapan kadar optimum Imunoglobulin G dalam sampel susu bubuk skim untuk digunakan dalam validasi metode. Selanjutnya melakukan validasi metode analisis untuk membuktikan kehandalan metode yang diperoleh, dengan parameter validasi meliputi: uji linieritas dan rentang, uji presisi, uji akurasi, uji spesifisitas,penetapan limit deteksi dan limit kuantisasi; uji spesifisitas dan uji keberulangan untuk penetapan kadar IgG dalam berbagai merek susu bubuk skim yang beredar dengan kadar bervariasi.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 IMUNOGLOBULIN G Menurut Webster dictionary (2002), Imunoglobulin G yang disingkat sebagai IgG adalah kelas terbesar dari kelompok imunoglobulin yang ditemukan dalam darah, termasuk antibodi, yang paling umum ditemukan dalam sirkulasi darah sebagai
gamma globulin. Fungsi biologis dari
imunoglobulin dalam susu sapi dan kolostrum adalah untuk mencegah kelenjar mamae dari bakteri patogen dan untuk memberikan suatu imunitas anak sapi terhadap patogen. Menurut
Hurley
(2001),
Imunoglobulin
atau
antibodi
yang
terkandung dalam kolostrum atau susu sama seperti didalam darah atau sekresi mukosal. Imunogobulin adalah sekelompok glikoprotein yang terdapat dalam serum atau cairan tubuh pada hampir semua mamalia. Imunoglobulin termasuk dalam glikoprotein yang mempunyai struktur dasar sama, komponen polipeptida membawa sifat biologik molekul antibodi tersebut. Struktur immunoglobulin tercantum pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur Imunoglobulin (williams 2007)
10
Bila dibandingkan dengan protein dari susu atau kolostrum lainnya maka imunoglobulin relatif lebih resisten terhadap digesti gastrointestinal. Namun bersifat termolabil terutama bila terpapar suhu tinggi, misalnya bila terpapar pada suhu 75°C selama 5 menit akan menurun konsentrasinya hingga 40% dan pada suhu 95°C selama 15 detik menurun hingga 100%. Antibodi mempunyai dua fungsi yaitu mengikat antigen secara spesifik dan memulai reaksi fiksasi komplemen serta pelepasan histamin dari sel mast. Imunoglobulin terbagi atas 5 kelas immunoglobulin yaitu IgM, IgA, IgG, IgE, dan IgD. Tiap kelas mempunyai perbedaan sifat fisik, tetapi pada semua kelas terdapat tempat ikatan antigen spesifik dan aktivitas biologik berlainan. Susunan imunoglobulin ini merupakan penyusunan daerah simetris rangkaian asam amino yang dikenal sebagai daerah domain, yaitu bagian dari rantai H atau rantai L yang diapit oleh ikatan disulfid interchain, sedangkan ikatan antara 2 rantai dihubungkan oleh ikatan disulfid interchain. Rantai L mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu rantai G (γ), rantai A (α), rantai M (µ), rantai E (ε) dan rantai D (δ). Setiap rantai mempunyai jumlah domain berbeda.
Rantai pendek L
mempunyai 2 domain; sedang rantai G, A dan D masing-masing 4 domain, dan rantai M dan E masing-masing 5 domain. Imunoglobulin G (IgG) adalah jenis imunoglobulin yang utama dalam
kolostrum dan susu sapi. IgG terdiri dari beberapa subkelas
diantaranya IgG1 dan IgG2 dan merupakan imunoglobulin terbesar dalam serum. IgG mempunyai berat molekul: 150,000 dengan tipe rantai H: gamma dan konsentrasi serum 10 – 16 mg/ml , dan total IgG dalam serum 75% , glikosilasi 3%, dan terdistribusi pada intra-ektsravaskular. IgG mempunyai multifungsi seperti opsonisasi, complement fixation, pencegahan adesi mikroba patogen ke dalam serum dalam endothelial lining, inhibisi
11
metabolisme bakterial dengan membloking enzim, aglutinasi bakteri dan netralisasi toksin dan virus (Marnila dan Korhonen dalam Mehra 1992). Sejak tahun 1980 sejumlah metode dikembangkan untuk mengisolasi dan memurnikan imunoglobulin dari kolostral dan cheese whey, metode yang digunakan berdasarkan pada ultrafiltrasi (UF) atau kombinasi antara UF dan kromatografi (Korhonen 2000). Beberapa literatur telah menyebutkan beberapa metode yang digunakan untuk isolasi, ekstraksi, konsentrasi dan purifikasi imunoglobulin G dari susu/kolostrum. Tetapi tidak semua metode dilaporkan hanya beberapa metode yang sesuai dengan produksi secara masal yang diterbitkan. Pada abad keduapuluh dan kemajuan yang begitu cepat dari pemisahan
menggunakan
teknologi
kromatografi,
maka
sangat
memungkinkan untuk mengisolasi individual protein dalam skala besar (Korhonen 2004). Untuk produksi crude imunoglobulin dengan pendekatan yang sangat efektif adalah menggunakan kombinasi dari teknologi membran yang berbeda. Tetapi untuk meningkatkan recovery rate imunoglobulin dari whey dan meningkatkan konsentrasinya dalam produk akhir maka masih diperlukan teknik kromatografi yang spesifik.
2.2 SUSU BUBUK SKIM Susu adalah cairan berwarna putih yang dihasilkan oleh kelenjar susu baik mamalia maupun manusia dan mengandung banyak vitamin dan protein (Spreer 1998). Umumnya yang disebut dengan susu adalah susu sapi, sedangkan untuk susu dari hewan lainnya, secara spesifik akan disebutkan dari mana asalnya seperti susu kambing, susu domba dan sebagainya. Umumnya Susu merupakan bahan makanan bernilai gizi tinggi, kandungan gizinya lengkap dengan sifat gizi yang mudah dicerna dan diserap oleh tubuh dipandang dari segi gizinya, susu merupakan makanan yang hampir sempurna dan merupakan salah satu makanan tertua dan pada waktu yang bersamaan merupakan salah satu makanan yang sangat penting.
12
Menurut Spreer (1998) susu adalah suatu sekresi yang komposisinya sangat berbeda dari komposisi darah yang merupakan asal susu. Misalnya lemak susu, kasein, laktosa yang disintesa oleh alveoli dalam ambing, tidak terdapat ditempat lain mana pun dalam tubuh sapi. Sejumlah besar darah harus mengalir melalui alveoli dalam pembuatan susu yaitu sekitar 50 kg darah butuhkan untuk menghasilkan 30 liter susu. Komposisi susu sangat beragam tergantung pada beberapa factor. Menurut Buckle (1985) angka rata rata komposisi susu untuk semua jenis sapi adalah sebagai berikut : lemak 3%, protein 3,4%, laktosa 4,8%, abu 0,72%, dan air 87,10%, disamping itu juga mengandung bahan bahan lain dalam jumlah sedikit seperti
sitrat, enzim enzim, fosfolipid, vitamin A,
vitaminB dan vitamin C. Komposisi susu dari hewan lain selain sapi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel1. Komposisi beberapa jenis susu pada mamalia dan manusia Whey Laktosa Abu Jenis Materia Lemak Total Kase (%) (%) prot. in (%) prot. kering (%) (%) (%) (%) Manusia 12.4 3.8 1.0 0.4 0.6 7.0 0.2 Sapi
13.0
4.0
3.4
2.8
0.6
4.8
0.7
Kambing
13.2
4,5
2.9
2.5
0.4
4.1
0.8
Domba
19.3
7.3
5.5
4.6
0.9
4.8
1.0
Keledai
8.5
0.6
1.4
0.7
0.7
6.1
0.4
Kuda
11.2
1.9
2.5
1.3
1.2
6.2
0.5
Kerbau
17.2
7.4
3.6
-
-
5.5
0.8
Unta
13.6
4.5
3.6
2.7
0.9
5.0
0.7
Lama
16.2
2.4
7.3
6.2
1.1
6.0
-
Yak
17,3
6,5
5,8
-
-
4,6
0,9
Rusa
21,5
10,0
8,4
-
-
3,8
1,5
Rusa
33,1
16,9
11,5
-
-
2,8
-
kutub Sumber : Buckle (1985)
13
Susu bubuk skim adalah bagian susu yang tertinggal sesudah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua zat makanan dari susu kecuali lemak dan vitamin yang larut dalam lemak. Menurut Codex (2007) komposisi susu bubuk skim terdiri dari lemak susu maksimum 1,5%, air maksimum 5% dan protein susu dalam padatan susu non fat minimum 34% (Buckle 1985) . Definisi susu skim yang tercantum dalam kategori pangan yang dikeluarkan oleh Badan POM (2006) adalah produk susu yang sebagian besar lemaknya telah dihilangkan dan dipasteurisasi atau disterilisasi atau diproses dengan UHT dan persyaratan minimum kadar lemak susu tidak lebih dari 0,15% dan kadar protein tidak kurang dari 3%. Susu skim dapat digunakan oleh orang yang menginginkan nilai kalori rendah di dalam makanannya, karena susu hanya mengandung 55% dari seluruh energi susu, dan susu skim juga digunakan dalam pembuatan keju dengan lemak rendah dan yoghurt (Buckle 1985). Mattila (2003) mengkategorikan produk susu atas 3 kategori, 1. basic product (susu, susu fermentasi , keju, es krim, dll). 2. Added value product, dimana komposisi susu telah berubah misalnya produk rendah laktosa atau bebas laktosa, formula hipoalergenik dengan protein terhidrolisa untuk bayi yang hipersensitif terhadap susu, produk susu diperkaya dengan mineral atau vitamin sehingga produk ini dimaksudkan untuk kelompok konsumen dengan target tertentu. 3. produk susu yang secara fungsional untuk meningkatkan kesehatan, produk susu diperkaya dengan komponen fungsional ataupun ingredien dari susu. Walaupun susu merupakan makanan dan pada dasarnya adalah pangan yang mengandung zat gizi dan protein, namun untuk meningkatkan fungsinya sebagai pangan dengan klaim kesehatan dapat meningkatkan imunitas masih diperkaya dengan IgG. Pada pemasarannya dapat dilihat klaim dari produsen bahwa susu bubuk skim yang mengandung IgG adalah susu bubuk skim yang mengandung kolostrum. Di Amerika dan Australia susu
14
yang diperkaya dengan IgG sudah dipasarkan sejak tahun 1998 dengan bahan aktif yang disebut ekstrak kolostrum (Mattila 2005).
2.3 ENZYME LINK IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) Imunologi merupakan ilmu
yang relatif baru dikembangkan pada
masa sekarang, dan immnuoassay adalah salah satu dari pengembangan metode dari cabang ilmu ini. Perkembangan immunoassay semakin luas dan digunakan untuk metode standar pada analisis pangan karena spesifisitas, sensitivitas dan
simplisitasnya. Immunoassay juga digunakan untuk
menganalisa residu dalam pangan, identifikasi bakteri dan virus, serta deteksi protein (Sporns 2004). Ada beberapa jenis immunoassay diantaranya Radial Immunodifusion (RID), Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), Nephelometry, Turbidometry,
dan
Rocket
Electro-Phoresis
(RIEP).
Enzyme
Link
Immunosorbent Assay, disingkat ELISA, telah berkembang sampai pada tingkatan untuk kemampuan kinerja dengan berbagai konfigurasi (Burgess 1995). Beberapa Kit untuk immuno Assays secara komersial sudah tersedia (RID and ELISA). Metode ELISA telah banyak mengalami perubahan sejak teknik ini pertama kali dipublikasikan, ciri utamanya adalah menggunakan indikator enzim untuk reaksi imunologi. Banyak pilihan untuk konfigurasi metode ELISA sehingga peneliti dapat menggunakan konfigurasi uji yang identik penampilan atau kinerjanya. Bila ingin menggunakan teknik ELISA dapat memulainya dengan konfigurasi yang relatif sederhana dan menggunakannya untuk menjajagi pilihan yang lain. Konfigurasi sederhana ini dapat digunakan untuk membakukan serangkaian reagen yang kemudian dapat digunakan untuk mengembangkan teknik tersebut lebih lanjut.
Konfigurasi yang paling sederhana adalah ELISA langsung (Gambar 2) , antigen secara langsung diadsorbsikan ke suatu substrat padat. Permukaan substrat dicuci dengan antibodi yang ditempeli enzim digunakan untuk
15
menunjukkan adanya antigen dan hasilnya akan terlihat bila ditambahkan substra dan
antiserum
harus dikonjugasikan pada enzim. Keterbatasan
konfigurasi ini berkaitan dengan sifat pengikatan substrat padat dan kualitas antibodi indikator. Teknik ini kurang fleksibel, dan konfigurasi ini biasanya digunakan pada uji untuk mengenali suatu antigen.
Gambar 2. ELISA langsung (Burgess 1995)
Konfigurasi kedua adalah ELISA tidak langsung, umumnya digunakan untuk mengukur antibodi (Gambar 3). Antigen teradsorbsi pada substrat padat, antibodi primer tidak berlabel dan dapat diperoleh dari serum atau cairan tubuh lain. Antibodi sekunder terikat pada enzim yang sesuai dan antibodi ini biasanya disebut konjugat serta hasil akan terlihat bila ditambahkan substrat. Antigen dan antibodi sekunder biasanya dibuat konstan dan yang berubah adalah antibodi primer. Kelemahan utama konfigurasi ini terletak pada tidak adanya spesifisitas karena sebagai akibat bereaksi dengan antigen yang tidak murni. Ketidakmurnian disebabkan sampel kemungkinan masih mengandung antigen dalam jumlah yang sangat kecil atau dari antiserum yang ditambahkan sehingga reaksi tidak spesifik.
16
Gambar 3. ELISA tidak langsung (Burgess 1995)
Konfigurasi ketiga adalah ELISA penangkap antigen atau Sandwich ELISA, dimana pada konfigurasi ini menggunakan antibodi yang terikat pada fase padat untuk menangkap antigen secara spesifik (Gambar 4). Antibodi penangkap, antigen dan sistem indikator dibuat konstan dan yang berubah adalah titer antibodi primer untuk antigen spesifik. Bila digunakan antibodi dari berbagai spesies, maka hanya reaksi spesifik yang diinginkan saja yang diamati, karenanya jika mungkin perlu dipilih antibodi yang dimurnikan berdasar afinitas. Sebagai alternatif adsorbsi berdasar afinitas adalah menambahkan imunoglobulin knde dalam pengencer.
Gambar 4. Sandwich ELISA (Burgess 1995)
17
ELISA penangkap antigen mempunyai potensi untuk meningkatkan spesifitas ELISA tidak langsung asalkan antibodi penangkapnya dapat menghindarkan penempelan antigen yang ada dalam jumlah kecil yang dapat mengganggu spesifitas tidak langsung. Penggunaan antibodi monoklonal digabung dengan antigen murni atau antigen yang sudah dimodifikasi dapat memperbaiki spesifitas.
Konfigurasi yang keempat adalah ELISA penangkap
antibodi,
konfigurasi ini menggunakan antiglobulin yang terikat pada substrat padat. Antibodi sampel yang diuji ditangkap dan sistem indikator menempel antigen berlabel. Konfigurasi ini yang paling umum digunakan pada uji yang spesifik terhadap isotipe, misalnya anti-M, diikatkan pada substrat padat (Patterson 1998). Antigen berlabel enzim kemudian ditambahkan, baik yang dilabel secara langsung maupun dilabel lewat ikatan tidak langsung seperti antibodi monoklonal atau biotin/streptavidin dan densitas optik berkaitan dengan kadar IgM spesifik sampel uji. Konfigurasi kelima adalah ELISA kompetitif atau ELISA pemblok, teknik ini dapat digunakan dalam sejumlah konfigurasi dasar, kompetisi dapat terhadap antigen atau terhadap antibodi. Pengujian pada kompetisi antibodi membutuhkan antigen untuk ditangkap antibodi secara langsung maupun lewat antibodi spesifik ke substrat padat. Antibodi yang telah dikenal berkompetisi dengan antibodi yang tidak dikenal untuk mendapatkan tempat penempelan pada antigen. Antibodi yang telah diketahui dapat dilabel atau dapat dideteksi menggunakan antibodi antispesiesnya. Perlu diketahui bahwa untuk konfigurasi ELISA kompetitif harus dibatasi hanya untuk penambahan dua antibodinya dilakukan secara bersamaan. Umumnya konfigurasi ini digunakan untuk mengukur hapten. Prinsip uji dari ELISA berdasarkan pada ikatan spesifik antigen pada antibodi (Ab primer) dengan antibodi sekunder (anti-species Ig) yang dilabel enzim, kemudian target akan diuraikan oleh enzim yang terdapat di dalam
18
substrat untuk selanjutnya hasil urai reaksi enzim lebih lanjut akan bereaksi dengan chromogen dan terbentuk warna yang dapat dikuantitasi dan proporsional dengan jumlah antibodi yang ada dalam sampel. Pembacaan densitas optik (OD) dari warna yang terbentuk selanjutnya diukur. Tahapan prosedur uji sandwich ELISA seperti tercantum pada Gambar 5.
Gambar 5. Tahapan prosedur Sandwich ELISA ( Pomeranz 2000)
Setiap konfigurasi harus diperhatikan, terutama variasi yang ada meliputi substrat padat, antigen, penyangga pelapis, cara pelapisan, jenis antibodi, pengencer, substrat, cara pembacaan hasil dan interpretasi hasil. Setiap konfigurasi harus diperhatikan, terutama variasi yang ada meliputi substrat padat, antigen, penyangga pelapis, cara pelapisan, jenis antibodi, pengencer, substrat, cara pembacaan hasil dan interpretasi hasil. Konfigurasi ELISA yang paling umum menggunakan substrat,
pada
19
mulanya enggunakan permukaan gelas (Burgess,1995) yang dimaksudkan untuk meningkatkan adsorbsi baik untuk antigen maupun antibodi, sekarang plastik telah hampir secara universal diterima sebagai pilihan untuk substrat padat. Diperkirakan proses yang dilakukan adalah dengan maksud untuk pengikatan gugus hidrofobik dan pencucian dengan larutan deterjen menjamin pengikatan lebih lanjut. Kriteria dalam memilih substrat padat tidak hanya berdasar pada jumlah antigen atau antibodi yang akan mengadsorbsi. Banyaknya adsorbsi harus dapat diulangi
dalam microplate, jumah protein yang
teradsorbsi pada tiap sumuran harus pada batas tertentu. Apabila merancang suatu pengujian maka sebaiknya pada stadium awal dirancang pemilihan substrat padat yang sesuai (Burgess 1995). Pilihan meliputi membran, plate, tabung, tabung kapiler, batang atau manik manik. Polimer harus merupakan suatu bahan yang akan mengadsorsi sampel yang dikehendaki dalam jumlah banyak namun dengan variasi minimal dari pengujian ke pengujian. Polimer yang digunakan bisa bermacam macam namun dasar pemilihan harus ditentukan sesuai dengan tujuan pengujian. Antigen atau antibodi dapat secara pasif teradsorbsi pada permukaan padat
dan keragaman dapat terjadi karena perbedaan pH,
kekuatan ion dan komposisi penyangga. Variasi dapat berupa terjadinya pengeringan penyangga pelapis sehingga pelapisan antigen pada plastik tidak terjadi. Selain itu perbedaan suhu akan berpengaruh pada pengikatan antigen, misalnya pada suhu tinggi pengikatan antigen dapat menyebabkan pengaruh pinggir pada microplate. Sebagian besar larutan pencuci mengandung deterjen yang digunakan untuk mengurangi reaksi pengikatan non-spesifik. Deterjen dalam penyangga pelapis dapat menaikkan atau menurunkan pelapisan komponen spesifik. Pemilihan penyangga juga harus diperhatikan karena mempunyai pengaruh yang besar terhadap hasil pengujian, perlu dicari pengaruh berbagai penyangga dan pemblok. Keragaman terbesar dalam
20
merancang ELISA dapat dilihat dalam pemilihan konjugat dan substratnya. Berbagai enzim telah tersedia, enzim secara langsung ke antibodi atau antigen atau secara tak langsung melalui jembatan protein A. Umumnya
tiap
enzim
memerlukan
keuntungan dapat diperoleh
sejumlah
substrat,
sehingga
dengan membuat kombinasi enzim dan
substrat tertentu sehingga diperoleh cara yang optimal. Saat ini sudah dapat diperoleh antiserum komersial dengan kualitas yang baik dan titer tinggi untuk mengikat enzim, sehingga sensitifitas dan spesifisitas makin baik. Umumnya enzim yang digunakan adalah Horseradish peroxydase (HRP), alkaline phosphatase (AP) dan beta galactosidase. Setiap enzim mempunyai fitur yang unik sesuai dengan kondisi dimana enzim tersebut dapat digunakan secara optimum. Menurut Burgess (1995) enzim HRP terlihat lebih sensitif pada immunoassay bila dibandingkan dengan enzim AP. Hal ini terjadi karena daya katalitik enzim HRP lebih cepat, maka lebih banyak produk yang digenerasi dalam waktu inkubasi yang lebih pendek. Sebagai tambahan, hidrogen peroksida, suatu ko-substrat pada suatu reaksi, yang
dapat
menghasilkan suatu inkubasi linier yang lebih cepat. Sensitivitas dapat ditingkatkan dengan membuat masa inkubasi lebih lama. Faktor lain yang mempengaruhi pemilihan konjugat adalah adanya aktifitas enzim endogen didalam sampel yang akan mempengaruhi pengujian dan background signal. Pada kit ELISA yang digunakan untuk analisis, sumur dalam microplate telah dilapisi dengan poliklonal antibodi bovine IgG
dan
antibodi tersebut berikatan secara menyeluruh dengan semua subklas dari bovine IgG. Bovine IgG kemudian bereaksi dengan detektor antibodi yang terkonjugasi oleh horseradish peroxydase (conjugated goat anti-bovine IgG peroxydase), dan substrat berisi Tetramethyl Benzidine (TMB).
21
Berbagai piranti dengan tingkat kecanggihan yang makin meningkat telah tersedia untuk pembacaan hasil dengan objektif. Perbedaan yang paling jelas dapat diperoleh dengan memilih panjang gelombang yang tepat. Meneliti profil absorbsi substrat yang digunakan merupakan hal yang penting, bila memungkinkan dipilih dua panjang gelombang karena hal ini akan variasi antar sumuran. Panjang gelombang primer harus bertepatan dengan absorbansi puncak sampel. Panjang gelombang sekunder bertepatan dengan dataran yang landai. Hal ini merupakan hal yang penting karena dapat menyebabkan pengamatan yang tidak peka dan tidak spesifik. Disamping itu akurasi dan efisiensi ELISA ditentukan oleh spesifisitas dan kemurnian IgG. Umumnya
kisaran
kerja
sistem
ELISA
untuk
mendeteksi
imunoglobulin membutuhkan serum yang sangat encer (1/10000 s/d 1/100.000 untuk serum) sebelum dimasukkan ke dalam sumuran yang dilapisi antibodi penangkap. Ini karena prozona lebar muncul ketika digunakan imunoglobulin dalam jumlah berlebihan pada pengujian (Burgess 1995). Pengenceran tinggi seperti yang sesuai dengan serum tersebut biasanya setara dengan 1-500 ng/ml. Dengan demikian larutan baku harus sesuai dengan konsentrasi imunoglobulin, yaitu harus dapat mendeteksi batas maksimum dan minimum yang mampu dideteksi oleh ELISA reader.
22
Gambar 6. Reaksi pembentukan warna pada proses ELISA
Idealnya harus dibuat kurva baku yang menggambarkan hubungan antara absorbansi dan konsentrasi imunoglobulin menggunakan satu seri pengenceran serum atau imunoglobulin yang dimurnikan. Jika digunakan serum sebagai standar, biasanya dilakukan prakalibrasi untuk konsentrasi imunoglobulin yang diselidiki dengan imunoglobulin murni yang diketahui jumlahnya.
23
Beberapa pengujian
hanya
menggunakan
dua atau
tiga
pengenceran serum (atau imunoglobulin yang dimurnikan) untuk menggambarkan bagian linier kurva hubungan antara absorbansi dan konsentrasi imunoglobulin dalam suatu sampel. Namun kurva baku yang dibuat berdasarkan satu seri pengenceran memungkinkan penghitungan konsentrasi imunoglobulin dalam sampel yang berada diluar kisaran liniernya. Perhitungan dapat dilakukan dengan cara manual maupun dengan program komputer grafik yang menghubungkan absorbansi dengan konsentrasi imunoglobulin. Format ELISA yang sangat umum digunakan adalah Sandwich ELISA terutama untuk identifikasi protein.
2.4 VALIDASI METODE ANALISIS Metode analisis yang reliabel dan valid digunakan untuk kesesuaian dengan regulasi nasional dan internasional. Laboratorium harus dapat memperlihatkan bahwa data yang diperoleh dari hasil pengujian bermutu. Maka validasi metode merupakan hal yang sangat esensial untuk menghasilkan metode yang dapat dipercaya dan data yang diperoleh reliabel. Validasi adalah konfirmasi melalui pengujian dan pengadaan bukti yang obyektif bahwa persyaratan tertentu untuk suatu maksud khusus dipenuhi (SNI 17025: 2008). Menurut Gunzler (1996), validasi metode adalah menetapkan dengan percobaan laboratorium yang sistimatik, pemenuhan karakteristik unjuk kerja metode terhadap spesifikasi yang dikaitkan dengan penggunaan hasil pengujian yang dimaksudkan. Validasi metode adalah suatu proses untuk mengonfirmasi bahwa suatu metode mempunyai unjuk kerja yang konsisten, sesuai dengan apa yang dikehendaki dalam penerapan metode tersebut (Eurachem 1998).
24
Jadi tujuan memvalidasi metode adalah untuk mengetahui sejauh mana penyimpangan suatu metode tidak dapat dihindari pada kondisi normal, dimana seluruh elemen terkait telah dilaksanakan dengan baik dan benar. Dengan memvalidasi metode, tingkat kepercayaan yang dihasilkan oleh suatu metode pengujian dapat diperkirakan dengan pasti ( Hadi 2007) Dengan kata lain validasi merupakan proses mendapatkan informasi penting untuk menilai kemampuan sekaligus keterbatasan suatu metode untuk memperoleh hasil yang dapat dipercaya, menentukan kondisi dimana hasil data uji diperoleh dan menentukan batas suatu metode seperti akurasi, presisi, batas deteksi dan kuantitasi, pengaruh matriks dan parameter lainnya. Validasi metode sangat penting karena menyangkut elemen-elemen yang dapat mempengaruhi seperti personil, peralatan/ instrumentasi, analat, kondisi lingkungan, sampel dan waktu yang semuanya merupakan faktor yang dapat menimbulkan variasi pada suatu pengujian. Menurut Boque (2002), suatu metode analisis dikatakan memuaskan bila memenuhi kriteria kinerja diantaranya: 1.
Peka artinya metode harus dapat digunakan untuk menetapkan kadar senyawa dalam kadar yang kecil.
2. Tepat (presisi) artinya metode tersebut menghasilkan suatu hasil analisis yang sama atau hampir sama dalam satu seri pengukuran/ penetapan. 3. Teliti (akurat) artinya metode dapat menghasilkan nilai rata-rata yang sangat dekat dengan nilai sebenarnya (true value), 4. Spesifik, artinya untuk penetapan kadar senyawa tertentu, dan metode tersebut tidak banyak terpengaruh oleh adanya senyawa lain. 5. Praktis artinya metode tersebut mudah dikerjakan serta tidak banyak memerlukan waktu dan biaya.
25
Dengan melakukan validasi metode akan diketahui sejauh mana penyimpangan yang tidak dapat dihindari dari suatu metode pada kondisi normal dimana seluruh elemen terkait telah dilaksanakan dengan baik dan benar. Dengan demikian dapat diperhitungkan dengan pasti tingkat kepercayaan yang dihasilkan oleh suatu metode pengujian. Dalam melaksanakan validasi metode ada beberapa faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah keseimbangan antara biaya, waktu, risiko dan aspek teknis misalnya ketepatan dan ketelitian yang diinginkan untuk analisis kuantitatif, ketersediaan reagen serta peralatan yang tersedia. Pada waktu dilakukan validasi metode ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain perbedaan suhu, personil, instrumen, pereaksi yang dipakai dalam metode baku atau metode resmi dengan laboratorium yang akan menggunakannya. Sehingga tujuan validasi adalah untuk memastikan, bahwa laboratorium atau personel/analis dapat menerapkan metode tersebut dengan baik dengan adanya ketersediaan peralatan, fasilitas pereaksi, penguji,yang trampil, dan kompeten. Validasi metode harus dilakukan bila metode tidak baku, metode yang didesain/dikembangkan laboratorium, metode baku yang digunakan diluar lingkup yang dimaksudkan atau metode baku yang dimodifikasi. Validasi ada dua jenis yaitu validasi primer (primary validation) dan validasi sekunder (secondary validation). Validasi primer adalah validasi yang dilakukan untuk metode analisis baru, hasil pengembangan atau metode yang dimodifikasi terhadap suatu metode standar. Validasi sekunder adalah validasi yang dilakukan untuk verifikasi metode analisis yang diadopsi atau metode standar yang telah divalidasi. Parameter uji yang dilakukan untuk validasi metode kuantitatif dan metode kualitatif tercantum pada Tabel 2.
26
Tabel 2. Parameter yang diperlukan pada validasi metode analisis untuk uji kualitatif dan kuantitatif Parameter Akurasi Presisi Spesifisitas Limit deteksi Limit kuantitasi Linearitas Rentang Keberulangan Robustness Ruggedness
Uji Kualitatif Tidak perlu Tidak perlu Perlu Perlu Tidak perlu Tidak perlu Perlu Perlu Perlu perlu
Uji kuantitatif Perlu Perlu Perlu Perlu Perlu Perlu Perlu Perlu Perlu Perlu
Beberapa parameter unjuk kerja yang harus diperhatikan ketika melakukan validasi metode yaitu (1) akurasi, (2) presisi, (3) sensitivitas, (4) spesifisitas, (5) limit deteksi (LOD), (6) limit kuantitasi (LOQ), (7) Ruggedness, (8) Robustness, dan (9) linearitas. Menurut USP (2011) tercantum validasi sekunder untuk metode kompendia dan validasi primer untuk metode alternatif. Presisi adalah tingkat kesamaan (degree of agreement) antar hasil uji individual ketika metode tersebut diterapkan secara berulang sampai dengan penggandaan sampling dari suatu sampel homogenat. Presisi dari suatu metode analisis biasanya ditunjukkan dengan simpangan baku relatif (relative standard deviation atau coefficient of variation) dari suatu seri pengukuran. Untuk menganalisis hasil validasi, data presisi dapat dievaluasi menggunakan persen standar deviasi relatif (RSD). Menurut USP (2011) presisi adalah derajat kesesuaian diantara hasil uji individu (berdiri sendiri) jika metode uji dilakukan berulang-ulang terhadap multi sampling dari suatu sampel yang homogen. Presisi biasanya dinyatakan sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi) dari serangkaian pengukuran. Suatu metode analisis dapat diadopsi dalam suatu laboratorium jika nilai RSD < 5%. Menurut Chan (2002) presisi suatu metode khususnya metode ELISA akan memenuhi
27
keberterimaan apabila RSD yang diperoleh ≤20%. Presisi dapat diukur dari tingkat ripitabilitas atau tingkat reprodusibilitas dari metode analisis yang dilakukan dalam kondisi normal. Ripitabilitas adalah mengukur variasi dalam hasil uji independen yang diperoleh dengan metode yang sama terhadap sampel uji yang identik dalam laboratorium yang sama oleh operator (analis) yang sama dengan menggunakan peralatan yang sama dalam interval waktu singkat. Ripitabilitas dapat juga dikatakan penggunaan metode pengujian di dalam satu laboratorium dalam satu periode waktu yang singkat menggunakan personel penguji yang sama, dengan peralatan yang sama di bawah kondisi konstan. Reprodusibilitas adalah mengukur variasi dalam hasil uji independen yang diperoleh dengan metode yang sama terhadap sampel uji yang identik dalam laboratorium yang berbeda dan peralatan berbeda, atau dengan analis dan peralatan berbeda di dalam laboratorium yang sama. Presisi intermediat dilakukan dengan berbagai variasi di dalam laboratorium, seperti pada hari yang berbeda atau personil penguji yang berbeda atau alat yang berbeda dalam laboratorium yang sama. Reprodusibilitas adalah penggunaan metode pengujian dalam berbagai laboratorium yang berbeda seperti dalam uji kolaborasi. Akurasi adalah kemampuan suatu metode untuk mengukur suatu nilai yang aktual atau sebenarnya dari suatu analat. Apabila suatu analat secara alami digunakan sebagai uji tantang atau uji profisiensi, metode tersebut harus mampu mendeteksi atau memunculkan kembali (rekoveri) analat pada konsentrasi yang benar atau frekuensinya mendekati akurat. Akurasi adalah ukuran ketepatan dari suatu metode pengujian, atau kedekatan antara nilai hasil uji yang diukur dengan nilai benar, atau nilai nilai konvensional atau nilai acuan yang dapat diterima (USP 2011). Menurut Boque (2002) akurasi atau kecermatan adalah kedekatan hasil uji yang diperoleh dengan menggunakan metode yang sedang divalidasi dengan nilai sebenarnya yang terdapat dalam sampel uji. Akurasi
28
biasanya
dinyatakan
sebagai
persen
rekoveri.
Pada
analisis
direkomendasikan minimal 9 replikasi atau 3 replikasi dengan 3 konsentrasi dengan kriteria kecermatan sangat tergantung kepada konsentrasi analat dalam matriks sampel dan pada keseksamaan metode (RSD). Suatu metode analisis dapat diadopsi jika hasil validasi memperoleh nilai rekoveri sesuai dengan keberterimaan. Akurasi dari suatu metode dapat dilakukan
dengan
cara
menggunakan
bahan
acuan
bersertifikat,
membandingkan hasil yang benar-benar telah dikarakterisasi dan akurasinya telah
ditetapkan
atau
dengan
cara
menghitung
persen
perolehan
kembali/rekoveri terhadap sampel yang sudah di spike (Chan 2004). Kriteria kecermatan dalam persen perolehan kembali sangat tergantung kepada konsentrasi analat dalam matrikss sampel dan pada keseksamaan metode (RSD) (Codex 2009). Persen rekoveri rata-rata untuk tiap level konsentrasi dinilai terhadap rentang persen rekoveri tercantum pada Tabel 3. Penetapan batas terendah dari kisaran hitung (limit deteksi) adalah konsentrasi terendah dari analat dalam sampel yang dapat terdeteksi, akan tetapi tidak perlu terkuantisasi, dibawah kondisi pengujian yang disepakati. Sedang Limit kuantitasi biasa juga disebut sebagai batas pelaporan adalah konsentrasi terendah dari analat yang dapat ditentukan dengan tingkat presisi dan akurasi yang dapat diterima, dibawah kondisi pengujian yang disepakati. Limit deteksi merupakan jumlah terkecil analat dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blanko. Limit deteksi merupakan parameter uji batas, dan limit kuantitasi diartikan sebagai kuantitas terkecil analat dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama. Penentuan limit deteksi suatu metode berbeda-beda tergantung pada metode analisis itu menggunakan instrumen atau tidak. Pada analisis yang tidak menggunakan instrumen limit tersebut ditentukan dengan mendeteksi analat dalam sampel pada pengenceran bertingkat.
29
Tabel 3. Keberterimaan akurasi berdasarkan persen rekoveri No 1
100
2
≥10
10 -1
3
≥1
10 -2
4
≥0,1
10 -3
5
0,01
10 -4
100% (100g/100g) ≥10 % (10g/100g) ≥1 % (1g/100g) ≥0,1% (1 mg/g) 100 ppm
6
0,001
10 -5
10 ppm
80 – 110
7
0,0001
10 -6
0,00001
Satuan
Rentang keberterimaan (% Rekoveri) 98 – 102
Rasio Analat 1
8
% Analat
98 – 102 97 – 103 95 – 105 90 – 107
1 ppm
80 – 110
10
-7
100 ppb
80 – 110
-8
10 ppb
60 – 115
1 ppb
40 – 120
9
0,000001
10
10
0,0000001
10 -9
Pada analisis menggunakan instrumen, limit deteksi dapat dihitung dengan mengukur respon blanko beberapa kali lalu dihitung simpangan baku respon blanko. limit deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi. Limit deteksi mempunyai nilai ekuivalen dengan rata-rata respon blanko plus 3 kali simpangan baku (SD), dan limit kuantitasi adalah rata-rata blanko plus 10 kali SD (Eurachem 2002). Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang menunjukkan bahwa larutan sampel yang berada dalam rentang konsentrasi memiliki respon analat yang proposional dengan konsentrasi, secara langsung atau melalui transformasi matematika. Linieritas adalah kemampuan untuk menghasilkan hasil uji yang sebanding / berbanding lurus terhadap konsentrasi analat dalam sampel pada kisaran konsentrasi tertentu. Beberapa metode seperti immunoassay tidak menghasilkan suatu kurva yang linier, pada kasus ini respon analisis dapat digambarkan sebagai fungsi yang sesuai
30
dengan konsentrasi Rentang yaitu kemampuan untuk memperoleh hasil uji yang kadar analatnya masih linier dengan presisi dan akurasi yang masih dapat diterima analat dalam sampel (USFDA 1996). Ditetapkan bersamaan dengan penetapan linieritas dengan melakukan pengujian terhadap sampel yang kadarnya dibawah dan diatas normal. Rentang metode menjelaskan rentang konsentrasi dimana metode uji diaplikasikan yang dinyatakan dalam presisi, akurasi dan linieritas. Selektivitas
seringkali
dapat
dinyatakan
sebagai
derajat
penyimpangan (degree of bias) metode yang dilakukan terhadap sampel yang mengandung bahan yang ditambahkan berupa cemaran, hasil urai, senyawa sejenis, senyawa asing lainnya, dan dibandingkan terhadap hasil analisis sampel yang tidak mengandung bahan lain yang ditambahkan. Selektivitas menunjukkan kemampuan suatu metode membedakan antara analat yang dituju dan komponen lain / bentuk-bentuk analat lain yang mungkin ada dalam matriks untuk mengukur secara akurat dan spesifik analat dalam matrikss sampel dengan adanya zat pengganggu. Spesifisitas adalah kemampuan metode untuk mendeteksi/mengukur analat
secara
cermat
dan
seksama
dengan
adanya
analat
asing/bahan/matriks lain. Spesifisitas dapat dihitung menggunakan jumlah sampel positif yang menunjukkan hasil pengujian positif dibagi dengan hasil pengujian positif terhadap kontrol positif dikalikan 100%. Hasil penghitungan menunjukkan nilai perolehan kembali (rekoveri) dari hasil validasi/verifikasi metode analisis. Pada analisis mikrobiologi, idealnya nilai rekoveri 80% tetapi metode analisis dianggap meyakinkan jika nilai rekoveri berkisar 50 - 95% (AOAC 1999). Menurut DeSilva (2003) idealnya pada metode ELISA, antibodi yang digunakan harus spesifik dengan analat target, tanpa adanya gangguan dari bahan yang strukturnya hampir sama dengan analat yang ada dalam sampel ataupun bahan yang terdapat dalam matriks. Sensitivitas adalah kemampuan metode untuk mendeteksi/mengukur analat target dalam jumlah sekecil mungkin.
31
Ruggedness atau kekasaran adalah suatu ukuran dari kapasitasnya, terhadap sisa yang tidak dipengaruhi oleh konsentrasi yang sedikit, namun variasi-variasi yang mungkin terjadi dalam parameter-parameter metode dan memberikan suatu indikasi dari reliablilitasnya selama penggunaan normal (Chan 2004).
Robustness atau ketegaran adalah kemampuan untuk
memberikan hasil uji yang sama pada sampel yang sama, tetapi keragaman kondisi pengujian berbeda. Bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor eksternal terhadap metode (sampel dan metode sama, tetapi laboratorium, alat, analis dan waktu pengujian berbeda) . Evaluasi terhadap robustness harus dilakukan selama masa pengembangan metode analisis.
33
III. BAHAN DAN METODE 3.1 WAKTU DAN TEMPAT Pelaksanaan penelitian
dilakukan di Pusat Pengujian Obat dan
Makanan Nasional Badan POM Jl.Percetakan Negara No.23 Jakarta, dari bulan April sampai dengan Agustus 2012. 3.2 ALAT DAN BAHAN Bahan yang diperlukan untuk penelitian mencakup 3 merk sampel uji produk susu bubuk skim yang diklaim mengandung Imunoglobulin G (Bovine immunoglobulin G) yaitu susu bubuk skim sampel A: kadar IgG 150mg/15g, sampel B: kadar IgG 180mg/15g dan sampel C: kadar IgG 200mg/15g, tercantum pada Lampiran1. Reagen yang digunakan untuk pengujian IgG adalah kit ELISA komersial yaitu Zeptometrix Immuno-Tek Bovine IgG sandwich ELISA kit. Immuno-Tek Bovine IgG ELISA kit merupakan gabungan bahan-bahan yang terdiri dari: microplate (1x96 well) pre coated with purified goat anti-bovine IgG (Antibodi terhadap bovine IgG yang berasal dari kambing), Detector antibody (12 ml) berisi conjugated goat anti-bovine IgG peroxydase, Bovine IgG standard 125ng/ml (5ml): Assay diluent (100 ml) berisi campuran PBS, triton X-100@ dan 2-chloroacetamide, Plate wash Buffer (125 ml) berisi campuran PBS, Tween 20@ dan 2-chloroacetamide, Substrat (12 ml) berisi Tetramethyl Benzidine (TMB), Stop solution (12 ml) proprietary formulation (hydrochloric acid), air suling. Microplate detektor antibodi yang disediakan dalam kit telah dioptimasi agar bereaksi seimbang dengan semua subklas dari bovine IgG. Alat yang digunakan antara lain, microplate dan tutup plastik, pipet mikro, tabung mikro dan rak, tips, pipet mikro, gelas Erlenmeyer, labu volumetrik, pipet volumetrik, ELISA reader (Thermo Scientific Multiskan GO UV/Vis Microplate and Cuvette), disposable gloves, inkubator dengan suhu 37±1◦C, dan timer (telah terintegrasi pada ELISA reader) .
34
3.3 METODE PENELITIAN Metode penelitian meliputi 2 tahap, tahap pertama adalah uji pendahuluan untuk menetapkan kurva baku dari standar bovine IgG dan mencari kadar optimum sampel susu bubuk skim yang digunakan pada validasi pengujian. Tahap kedua adalah validasi metode analisis kadar IgG dalam susu bubuk yang dilaksanakan dengan parameter uji linieritas dan rentang, uji presisi, uji akurasi, limit deteksi dan limit kuantitasi dan spesifisitas. Pengujian kadar IgG dalam susu bubuk skim dilakukan terhadap 3 sampel susu bubuk yang mengandung IgG yang beredar dengan kadar yang berbeda (kadar IgG :Sampel A: 150 mg/15g, sampel B: 180 mg/15g dan sampel C: 200 mg/15g).
3.3.1 PEMBUATAN KURVA BAKU DAN KALIBRASI KURVA BAKU Kurva baku harus dikalibrasi sebelum digunakan karena kurva baku merupakan suatu fungsi dari rentang nilai analisis, yang akan berhubungan dengan respon analit (Chan, 2004), baku yang digunakan adalah larutan standar bovine IgG yang tersedia dalam kit reagen ELISA dengan kadar larutan stok 125ng/ml. Seri larutan baku dibuat dengan mengencerkan larutan standar bovine IgG (125ng/ml) dengan assay diluent pada kadar: 125 ng/ml; 62.5 ng/ml; 31.25 ng/ml; 15.6 ng/ml; 7.8 ng/ml; dan 0 ng/ml. Kalibrasi kurva baku dengan membuat suatu seri larutan standar, replikasi 7 kali dan pembacaan hasil dilakukan 10 kali dengan rentang waktu pembacaan setiap 5 detik. Kurva baku yang valid diperoleh jika nilai r hasil pengukuran ≥0,95. Larutan pencuci (wash bufer) dilakukan pengenceran dengan air suling dengan perbandingan 1:10. Prosedur ELISA dilakukan mengacu pada prosedur dari manual kit Zeptometrix (2010). Prosedur uji dilakukan dengan cara menyiapkan microplate dan dipipet 200 µl larutan standar ke dalam sumuran (dilakukan duplo), microplate kemudian di tutup dengan tutup plastik, dan ditempatkan pada ELISA reader dan diinkubasi selama 30 menit pada
35
suhu 37oC. Microplate dicuci dengan wash buffer menggunakan volume 300 µl tiap sumuran sebanyak 4x dan dikeringkan dengan cara membalik balik secara kuat microplate hingga tidak ada lagi droplet pada sumuran. Sejumlah 100 µl detector antibody ditambahkan ke dalam sumuran yang berisi larutan standard an sampel, microplate ditutup kembali. Microplate ditempatkan pada ELISA reader dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Pencucian kedua dilakukan dengan wash buffer dengan volume 300 µl tiap sumuran sebanyak 4x dan dikeringkan. Sebanyak 100 µl substrat (larutan berisi TMB) ditambahkan ke dalam semua sumuran termasuk ke dalam sumuran larutan standar bovine IgG dan blanko. Microplate diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit, akan terbentuk warna biru. Semua sumuran ditambahkan 100 µl stop solution, akan terjadi perubahan warna menjadi kuning. Microplate ditempatkan dan dilakukan pembacaan pada ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm dalam rentang waktu 15 menit. Berdasarkan densitas optik yang diperoleh, dibuat kurva baku dari rata rata densitas optik masing–masing pengukuran pada semua sumuran. Analisis hasil dilakukan dengan program SkanIt Software dari Multiskan GO, Thermo scientific, kemudian dianalisis secara statistik melalui spreadsheet Excel.
3.3.2 PENETAPAN KADAR OPTIMUM IgG DALAM SAMPEL SUSU BUBUK SKIM Pada penetapan kadar optimum IgG dalam sampel susu bubuk skim yang akan digunakan pada validasi metode analisis, dilakukan pembuatan kurva baku yang validitasnya sudah diketahui dari seri larutan baku IgG dengan rentang kadar 0-125 ng/ml. Seri larutan baku dibuat dengan mengencerkan larutan standar bovine IgG (125ng/ml)
dengan assay
diluent pada kadar: 125 ng/ml; 62.5 ng/ml; 31.25 ng/ml; 15.6 ng/ml; 7.8 ng/ml; dan 0 ng/ml. Kalibrasi kurva baku dengan membuat suatu seri larutan standar. Larutan stok sampel susu bubuk skim disiapkan dengan
36
menimbang 15 mg susu bubuk skim (sampel dengan kadar IgG 150mg/ 15g) ke dalam labu volumetrik 10 ml, ditambahkan air suling hingga batas dan dikocok kuat hingga homogen. Larutan stok sampel (1,5mg/mL) diencerkan secara bertingkat dalam assay diluent dengan perbandingan 1/10 hingga diperoleh pengenceran : (A) 1/10; (B) 1/100; (C) 1/500 dan (E) 1/1000. Larutan pengenceran diperoleh dengan cara memipet larutan stok sampel sejumlah 100 µl dan ditambahkan 900 µl assay diluents dan pengenceran selanjutnya dilakukan sama hingga diperoleh tingkat pengenceran akhir 1/1000. Microplate disiapkan dan kemudian dipipet 200 µl masing-masing larutan baku dan sampel ke dalam sumuran (dilakukan duplo), dilakukan prosedur ELISA sama seperti yang tertera pada 3.3.1 pada pembuatan kurva dan kalibrasi kurva baku. Berdasarkan densitas optiik yang diperoleh, dengan menggunakan kurva baku selanjutnya dihitung kadar IgG dalam masing-masing tiap kadar sampel yang ditetapkan.
3.3.3 LINIERITAS DAN RENTANG Untuk uji linieritas dan rentang, dibuat kurva baku dari satu seri larutan standar bovine IgG (125ng/ml). Seri larutan baku dibuat dengan mengencerkan larutan standar bovine IgG (125ng/ml)
dengan assay
diluent pada kadar: 125 ng/ml; 62.5 ng/ml; 31.25 ng/ml; 15.6 ng/m l; 7.8 ng/ml; dan 0 ng/ml. Kalibrasi kurva baku dengan melakukan replikasi sejumlah 7 kali untuk tiap konsentrasi baku dan dihitung nilai r. Linieritas memenuhi syarat jika r hitung ≥ 0,95. Microplate disiapkan dan kemudian dipipet 200 µl larutan baku ke dalam sumuran (dilakukan duplo), dilakukan prosedur ELISA sama seperti yang tertera pada 3.3.1 pada pembuatan kurva dan kalibrasi kurva baku. Berdasarkan densitas optik yang diperoleh, dengan menggunakan kurva baku selanjutnya dihitung kadar IgG dalam masing-masing tiap kadar sampel yang ditetapkan.
37
3.3.4 PENETAPAN LIMIT DETEKSI DAN LIMIT KUANTITASI Penetapan limit deteksi dan limit kuantitasi dilakukan dengan cara membuat kurva baku dari seri larutan standar bovine IgG (125ng/ml). Seri larutan baku dibuat dengan mengencerkan larutan standar bovine IgG (125ng/ml) dengan assay diluent pada kadar: 125 ng/ml; 62.5 ng/ml; 31.25 ng/ml; 15.6 ng/ml; 7.8 ng/ml; dan 0 ng/ml, replikasi dilakukan sejumlah 7 kali dan dihitung SD. Kurva kalibrasi dibuat dengan konsentrasi sebagai absis dan absorbansi sebagai ordinat. Limit deteksi mempunyai nilai ekuivalen dengan rata-rata respon blanko plus 3 kali simpangan baku (SD), dan limit kuantitasi adalah rata-rata blanko plus 10 kali SD (Eurachem 2002). Microplate disiapkan dan kemudian dipipet 200 µl larutan baku ke dalam sumuran (dilakukan duplo),
dilakukan prosedur ELISA sama
seperti yang tertera pada 3.3.1 pada pembuatan kurva dan kalibrasi kurva baku. Selanjutnya dilakukan perhitungan uji keberulangan dan simpangan baku pada kadar larutan baku bovine IgG terendah. Limit deteksi dan limit kuantitasi dihitung dari SD yang diperoleh, dimana
konsentrasi ini
mempunyai nilai lebih besar dari kadar terendah larutan baku bovine IgG dan limit kuantitasi pada konsentrasi yang telah ditetapkan.
3.3.5 UJI PRESISI Uji presisi dilakukan dengan membuat suatu kurva baku dari satu seri satu seri larutan standar bovine IgG (125ng/ml) dengan assay diluent pada konsentrasi 0-125 ng/ml dan pembuatan larutan sampel pada konsentrasi yang telah ditentukan (dari hasil optimasi kadar IgG dalam sampel susu bubuk skim). Penetapan dilakukan dengan replikasi 7 kali. Seri larutan baku dibuat dengan mengencerkan larutan standar bovine IgG (125ng/ml) dengan assay diluent pada kadar: 125 ng/ml; 62.5 ng/ml; 31.25 ng/ml; 15.6 ng/ml; 7.8 ng/ml; dan 0 ng/ml. Dibuat larutan stok
38
sampel susu bubuk skim dengan menimbang 15 mg susu bubuk skim (sampel dengan kadar IgG 150mg/ 15g) ke dalam labu volumetrik 10 ml, ditambahkan air suling hingga batas dan dikocok kuat hingga homogen. Larutan stok sampel diencerkan secara bertingkat dalam assay diluent dengan perbandingan 1/10 hingga diperoleh pengenceran akhir 1/500. Larutan pengenceran diperoleh dengan cara memipet larutan stok sampel sejumlah 100 µl dan ditambahkan 900 µl assay diluents, dan pengenceran selanjutnya dilakukan sama hingga diperoleh tingkat pengenceran akhir 1/500. Microplate disiapkan dan kemudian dipipet 200 µl sampel ke dalam sumuran (dilakukan duplo), dan dilakukan prosedur ELISA sama seperti yang tertera pada 3.3.1 pada pembuatan kurva dan kalibrasi kurva baku. Berdasarkan densitas optiik yang diperoleh, dengan menggunakan kurva baku selanjutnya dihitung kadar IgG dalam masing-masing tiap kadar sampel yang ditetapkan. Perhitungan SD
dan RSD dilakukan
menggunakan rumus sebagai berikut :
Berdasarkan densitas optiik yang diperoleh, dengan menggunakan kurva baku selanjutnya dihitung kadar IgG dalam masing-masing sampel yang ditetapkan, selanjutnya dilakukan perhitungan nilai rata ratanya, standar deviasi (SD) dan standar deviasi relatif (RSD). Keberterimaan uji keberulangan adalah RSD ≤ 20%.
3.3.6 UJI AKURASI Pada penelitian ini dilakukan uji akurasi dengan membuat larutan rekoveri sampel yaitu mencampurkan larutan sampel 100% dengan larutan standar konsentrasi 31,25 ng/ml masing masing dengan kadar 50% dan dilakukan replikasi 9 kali. Dihitung rata rata dari hasil pengujian, simpangan baku dan % RSD. Keberterimaan uji akurasi
untuk RSD
adalah ≤ 15 % atau persen rekoveri adalah 85-115%. Kadar dari masing
39
masing larutan rekoveri merupakan kadar total, kadar IgG dalam sampel dan kadar IgG baku yang ditambahkan. Seri larutan baku dibuat dengan mengencerkan larutan standar bovine IgG (125ng/ml) dengan assay diluent pada kadar: 125 ng/ml; 62.5 ng/ml; 31.25 ng/ml; 15.6 ng/ml; 7.8 ng/ml; dan 0 ng/ml. Dibuat larutan stok sampel susu bubuk skim dengan menimbang 15 mg susu bubuk skim (sampel dengan kadar IgG 150mg/ 15g) dan dimasukkan ke dalam labu volumetrik 10 ml, ditambahkan air suling hingga batas dan dikocok kuat hingga homogen. Larutan stok sampel diencerkan secara bertingkat dalam assay diluent hingga diperoleh pengenceran akhir 1/100. Dari masing masing larutan baku kadar 31.25 ng/ml dan larutan sampel pada pengenceran 1/100 dipipet sejumlah volume sama ke dalam tabung dan campuran ini digunakan sebagai larutan sampel untuk pengujian selanjutnya. Microplate disiapkan dan kemudian dipipet 200 µl sampel ke dalam sumuran (dilakukan duplo), selanjutnya dilakukan prosedur ELISA sama seperti yang tertera pada 3.3.1 pada pembuatan kurva dan kalibrasi kurva baku. Berdasarkan densitas optik yang diperoleh, dengan menggunakan kurva kalibrasi baku selanjutnya dihitung jumlah total bovine IgG, baku bovine IgG dan dari sampel, persen rekoveri dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Rekoveri (%) = kadar IgG total – kadar IgG sampel x 100% Kadar baku Akurasi diterima bila memenuhi kriteria kebertrimaan persen rekoveri yang diperoleh pada rentang 85–115 %.
40
3.3.7 SPESIFISITAS Pada penetapan uji spesifisitas digunakan sampel matriks susu bubuk skim yang diklaim tidak mengandung IgG dan komposisi sampel tertera pada Lampiran 1. Kurva baku dibuat terlebih dahulu dari satu seri larutan standar bovine IgG (125ng/ml) dengan assay diluent pada konsentrasi 0:125 ng/ml. Suspensi matriks sampel dari susu bubuk skim yang tidak mengandung IgG dan sampel susu bubuk skim yang mengandung IgG dibuat larutan stok dengan kadar sampel 1,5mg/mL dalam air suling. Pengenceran larutan sampel stok dilakukan secara bertingkat dalam assay diluent dengan perbandingan 1/10 hingga diperoleh pengenceran sebagai berikut: (A)1/10; (B) 1/100; (C) 1/500. (D) 1/1000. Larutan npengenceran diperoleh dengan cara memipet larutan stok sampel sejumlah 100 µl dan ditambahkan 900 µl assay diluents, dan pengenceran selanjutnya dilakukan sama hingga diperoleh tingkat pengenceran akhir 1/1000. Microplate disiapkan dan kemudian dipipet 200 µl sampel dan 200 µl larutan baku ke dalam sumuran dan dilakukan duplo, selanjutnya dilakukan prosedur ELISA sama seperti yang tertera pada 3.3.1 pada pembuatan kurva dan kalibrasi kurva baku. Perhitungan kadar dilakukan menggunakan kurva kalibrasi, kadar rata-rata dan SD dari masing-masing uji spesifisitas dihitung. Metode dikatakan spesifik bila pada larutan matriks sampel tanpa IgG terlihat densitas optik pada konsentrasi
1/100 sd 1/1000 menunjukkan nilai
dibawah 0.200 atau nilai yang hampir sama dengan konsentrasi 0 ng/ml larutan baku di atas memberikan hasil yang tidak berbeda bermakna. Sedangkan densitas optik pada larutan sampel yang mengandung IgG menunjukkan hasil yang positif atau lebih besar dari 0,200 pada tingkat pengenceran yang terendah (Zeptometrix 2010).
41
3.3.7 PENETAPAN KADAR IgG PADA SUSU BUBUK SKIM DENGAN KADAR BERVARIASI Penetapan kadar IgG pada susu bubuk skim dengan dengan kadar selain 150 mg/15g adalah susu bubuk skim dengan kadar 180 mg/15g serta 200 mg/15g, penetapan
dilakukan sama seperti prosedur uji presisi,
dengan membuat suatu kurva baku dari satu seri larutan standar dan pembuatan larutan sampel susu bubuk skim dan dilakukan replikasi tujuh kali. Hasil pengujian sampel dibuat rata rata dan dihitung simpangan baku dan % RSD.
Dari hasil perhitungan dapat diperoleh hasil uji dan
ditentukan nilai rata-rata, standar deviasi (SD) dan standar deviasi relatif (RSD). Keberterimaan uji keberulangan adalah RSD ≤20% (Chan 2004). Larutan stok sampel dengan kadar 1,5 mg/mL diencerkan secara bertingkat dalam assay diluent dengan perbandingan 1/10 hingga diperoleh pengenceran akhir 1/500. Larutan pengenceran diperoleh dengan cara memipet larutan stok sampel sejumlah 100 µl dan ditambahkan 900 µl
assay diluents
(pengenceran 1/10)). Pengenceran selanjutnya
dilakukan sama hingga diperoleh tingkat pengenceran akhir 1/5000. Microplate disiapkan dan kemudian dipipet 200 µl sampel ke dalam sumuran (dilakukan duplo), dan dilakukan prosedur ELISA sama seperti yang tertera pada 3.3.1 pada pembuatan kurva dan kalibrasi kurva baku. Berdasarkan densitas optiik yang diperoleh, dengan menggunakan kurva baku selanjutnya dihitung kadar IgG dalam masing-masing sampel yang ditetapkan. Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai rata ratanya, standar deviasi (SD) dan standar deviasi relatif (RSD). Keberterimaan uji keberulangan adalah RSD ≤ 20%.
43
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada pelaksanaannya validasi dilakukan dengan 2 tahap, tahap pertama adalah uji pendahuluana dan tahap kedua adalah validasi metode analisis dan uji coba dilakukan terhadap susu bubuk skim lain dengan kadar IgG yang bervariasi.
4.1
Kurva baku dan kadar optimum kadar IgG dalam dalam sampel susu bubuk
4.1.1 Kurva baku dan Kalibrasi kurva baku Pada tahap pertama uji pendahuluan pada validasi metode analisis ELISA sebagai pengukuran kuantitatif memerlukan kurva baku, kurva baku yang digunakan pada validasi metode harus dikalibrasi atau distandardisasi terlebih dahulu karena kurva baku merupakan suatu fungsi dari rentang nilai analisis, yang akan berhubungan dengan respon analat (Chan 2004). Kurva baku yang valid diperoleh bila larutan baku bovine IgG menunjukkan nilai r ≥0,95. Pengukuran densitas optik larutan baku bovine IgG tercantum dalam lampiran 2 dan densitas optik (OD) larutan baku bovine IgG tercantum pada Tabel 4. Tabel 4. Densitas optik (OD) larutan baku bovine IgG Kadar baku IgG (ng/mL) 125 62,5 31,2 15,6 7,8 0 a (Intersep) b (Slope) r (Koefisien korelasi)
Densitas optik (OD) 1,82 ±0,006 1,17±0,004 0,66±0,000 0,37±0,000 0,21±0,000 0,08±0,000 0,07 0,02 0,99
44
Hasil
evaluasi
terhadap
kurva
baku
menunjukkan
koefisien korelasi (r) masih dalam nilai keberterimaan r ≥0,95, dimana nilai r perhitungan slope=0,02.
adalah
0.99 intersept= 0,07,
Nilai korelasi yang diperoleh diatas menunjukkan
bahwa setiap kenaikan konsentrasi larutan IgG yang diuji akan diikuti dengan kenaikan densitas optik (OD) yang sebanding pada rentang 0-125 ng/mL. Maka kurva baku dengan seri larutan baku IgG dengan kadar 0-125 ng/mL yang telah ditetapkan dapat digunakan untuk uji selanjutnya.
4.1.2 Kadar optimum IgG dalam sampel susu bubuk skim yang digunakan pada validasi Evaluasi hasil analisis terhadap kadar optimum sampel susububuk skim dengan pengenceran 1/10, 1/100, 1/500, dan 1/1000 larutan stok sampel dengan kadar 15 mg/10 mL, Densitas optik larutan baku bovine IgG yang tercantum pada Tabel 4 digunakan sebagai kurva baku, maka diperoleh kadar optimum IgG dalam sampel A seperti tercantum pada Tabel 5.
Tabel 5. Kadar optimum IgG dalam Sampel A Kadar IgG (ng/mL)
Pengenceran sampel (mg/mL)
1:10 1:100 1:500 1:1000
Sampel 1 40,73 19,66 12,33 4,86
Sampel 2 36,21 19,74 13,02 5,44
Sampel 3 38,30 20,88 12,99 5,01
Rata rata 38,42 20,01 12,78 5,10
Evaluasi terhadap kadar IgG dalam sampel, maka diperoleh kadar tiap sampel untuk pengenceran tertinggi (1/10) sebesar 5,1 ng/mL dan pengenceran terendah (1/1000) dengan kadar 38,4 ng/mL, maka kandungan
45
IgG dalam larutan sampel terletak dalam rentang antara 5,1 ng/mL dan 38,4 ng/mL. Dari hasil tersebut juga dapat dilihat bahwa pada pengenceran 1/10, memiliki kadar yang masih kecil karena kadar analat yang dimasukkan terlalu besar (pekat) sehingga tidak semua antigen dapat terikat oleh antibodi. Apabila dilihat pada pengenceran 1/100 dan 1/500 menunjukkan kadar yang hampir dekat yaitu 12,8 ng/mL dan 20,0 ng/mL IgG dalam sampel, sedangkan pengenceran dengan kadar 1/1000 terlihat sangat kecil 5,1 ng/mL.
Berdasarkan densitas optik yang dihasilkan dari beberapa kadar IgG pada optimasi percobaan dan dengan nilai yang diperoleh, maka dapat diambil suatu kondisi analisis yang paling optimum untuk analisis IgG dalam matriks susu bubuk skim. Dari kelima pengenceran sampel yang mengandung IgG maka kadar 1/500 memberikan hasil reaksi antigenantibodi terbaik karena memberikan reaksi lebih baik dari pengenceran 1/1000, tetapi sedikit dibawah pengenceran 1/100. Selanjutnya karena pertimbangan ekonomis dan tidak terlalu jauh dengan penggunaan pengenceran 1/100, maka pengenceran sampel 1/500 dari larutan stok dengan kadar 12,8 ng/mL yang akan digunakan untuk validasi metode analisis.
4.2 Validasi metode analisis penetapan kadar imunoglobulin G Tahap kedua adalah validasi metode analisis kadar imunoglobulin G (IgG) dalam susu bubuk skim menggunakan metode Sandwich ELISA. Pelaksanaan validasi dilakukan terhadap parameter, linieritas dan rentang, penetapan limit deteksi dan limit kuantitasi, uji presisi, uji akurasi, dan spesifisitas. Analisis dilakukan teradap susu bubuk skim yang beredar dengan kadar IgG yang berbeda yaitu sampel A: 150mg/15g, sampel B: 180mg/15g dan sampel C: 200mg/15g berdasarkan kadar yang tercantum pada label produk, dan terhadap sampel dilakukan uji keberulangan.
46
4.2.1 Linieritas dan rentang Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang menunjukkan bahwa larutan sampel yang berada dalam rentang kadar memiliki respon analat yang proporsional dengan kadar, secara langsung atau melalui transformasi matematika. Rentang adalah interval antara kadar analat terendah dan tertinggi. Linieritas kurva ditentukan dengan cara menghitung koefisien korelasi (r), linieritas memenuhi syarat bila r hitung ≥ 0,95. Densitas optik larutan baku bovine IgG yang tercantum pada Tabel 4 digunakan sebagai kurva baku, pembacaan densitas optik (OD) dan kadar larutan baku bovine IgG tercantum pada Tabel 6. Dari hasil analisis densitas optik dan perhitungan kadar baku, diperoleh nilai r = 0,99 yang telah memenuhi kriteria keberterimaan nilai r ≥ 0,95 dan rentang kadar 7,7 ng/mL dan kadar 33,7 ng/mL pada densitas optik 0,2 sampai 0,8. sehingga dapat disimpulkan bahwa kurva baku bovine IgG linier. Tabel 6 . Densitas optik dan kadar larutan baku bovine IgG Pengenceran baku IgG (ng/mL) 125 62,5 31,25 15,6 7,8 0 a (intersep) b (slope) r (Koef korelasi)
OD
Kadar baku IgG (ng/mL)
2,08 1,39 0,82 0,44 0,26 0,08
94,08 61,13 33,73 15,82 7,47 -1,29 0,11 0,02 0,99
47
4.2.2 Limit deteksi dan limit kuantitasi Limit deteksi (LOD) adalah kadar terendah dari analat dalam sampel yang dapat terdeteksi, akan tetapi tidak perlu terkuantisasi, dibawah kondisi pengujian yang disepakati. Limit kuantitasi (LOQ) adalah kadar terendah dari analat yang dapat ditentukan dengan tingkat presisi dan akurasi yang dapat diterima, dibawah kondisi pengujian yang disepakati. Limit deteksi merupakan hal yang penting karena akan menyebabkan penggunaan kadar yang tidak tepat pada saat melakukan validasi metode (Chan 2004). Densitas optik larutan baku bovine IgG yang tercantum pada Tabel 6 digunakan sebagai kurva baku, hasil uji keberulangan dan simpangan baku (SD) larutan bovine IgG pada kadar terendah (5,7 ng/mL) tercantum pada Tabel 7.
Tabel 7. Densitas optik (OD) dan konsentrasi larutan baku bovine IgG Konsentrasi baku Densitas optik Konsentrasi baku IgG IgG (ng/mL) (OD) (ng/mL) 119,36 125 1,82 72,93 62,5 1,17 36,5 31,25 0,66 15,78 15,6 0,37 5,37 7,8 0,21 0,00 0 0,07 a (Intersep) 0,07 b (Slope) 0,02 r (Koefisien korelasi) 0,99
48
Tabel 8 Uji keberulangan larutan baku bovine IgG pada kadar 5,37 Pengulangan 1 2 3 4 5 6 7 JumLah Rata-rata SD
Kadar IgG (ng) 4,75 5,73 5,39 5,50 5,24 5,56 5,45 37,62 5,37 0,31
(x - x )
(x - x )2
-0,62 0,36 0,02 0,13 -0,13 0,20 0,08
0,38 0,13 0,00 0,02 0,02 0,04 0,01 0,59 0,08
ng/mL
Dari hasil perhitungan keberulangan larutan baku bovine IgG dengan kadar 5,7 ng/mL dan perhitungan simpangan baku maka diperoleh limit deteksi sebesar 0,93 ng/mL dan limit kuantitasi sebesar 3,1 ng/mL. Dimana kadar ini mempunyai nilai lebih kecil dari kadar terendah larutan baku bovine IgG 7,5 ng/mL dan kadar optimum yang digunakan untuk validasi yaitu 12,8 ng/mL.
4.2.3 Presisi Presisi adalah adalah tingkat kesamaan antar hasil uji individual ketika metode tersebut diterapkan secara berulang dari suatu sampel homogenat, presisi suatu metode analisis biasanya ditunjukkan dengan simpangan baku relatif atau koefisien variasi dari suatu seri pengukuran. Presisi suatu metode ELISA akan memenuhi keberterimaan apabila RSD yang diperoleh ≤20% (Chan 2004). Pada percobaan ini dilaksanakan pengujian terhadap sampel yang diklaim mengandung IgG 150 mg /15g. Densitas optik larutan baku bovine IgG yang tercantum pada Tabel 3 digunakan sebagai kurva baku, dan data hasil uji presisi pada sampel A dapat dilihat pada Tabel 9.
49
Hasil pengujian yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai RSD untuk sampel susu bubuk skim A adalah 3,87% untuk repitibilitas dan kriteria RSD ≤20%, sehingga hal ini menunjukkan bahwa sistem operasional instrumen dan prosedur metode sudah baik dengan respon.
Tabel 9. Uji presisi pada Sampel A Pengulangan 1 2 3 4 5 6 7 Jumlah Rata-rata ( x ) SD RSD (%)
Kadar IgG (ng/mL) 36,07 32,19 33,07 34,98 33,82 34,98 33,82 238,97 34,14 1,32 3,87
(x - x )
(x - x )2
1,97 1,95 1,07 0,84 0,32 0,84 0,32 8.13
3,88 3,80 1,14 0,71 0,10 0,71 1,10 10,44
4.2.4 Akurasi dengan Uji Rekoveri Akurasi adalah kemampuan suatu metode untuk mengukur suatu nilai yang aktual atau sebenarnya dari suatu analat, atau kedekatan hasil uji yang diperoleh atau menggunakan metode yang sedang divalidasi dengan nilai sebenarnya yang terdapat dalam sampel. Pada penelitian ini digunakan metode penambahan standar adisi dan menghitung persen perolehan kembali (persen rekoveri). Uji akurasi harus memenuhi keberterimaan RSD ≤15%
atau
persen rekoveri 85-115% (Chan 2004). Pada penelitian ini uji akurasi dilakukan dengan tingkat kadar 100% dan menggunakan spike larutan baku dan larutan sampel masing masing 50%, pengujian dilakukan 9 replikasi. Densitas optik larutan baku bovine IgG yang tercantum pada Tabel 3 digunakan sebagai kurva baku, dan data hasil uji akurasi dengan uji rekoveri tercantum pada Tabel 10.
50
Tabel 10. Uji Akurasi dengan Uji Rekoveri Pengu langan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah Rata rata
Dens. Optik (OD) 0,64 0,64 0,63 0,61 0,62 0,56 0,57 0,64 0,59
Kons IgG sampel (ng/mL)
% Reko veri
14,66
18,04
129,00
15,6
14,23
18,54
127,00
37,31
15,6
15,72
17,86
124,00
35,81
15,6
15,13
17,67
116,28
36,38
15,6
14,98
17,56
120,64
32,15
15,6
15,62
18,89
85,00
32,69
15,6
16,08
18,79
89,49
38,31
15,6
14,73
20,24
115,83
34,13
15,6
15,09
19,48
93,91
Kons. IgG total (ng/mL)
Kons. IgG baku (ng/mL)
Bobot sampel (mg)
38,19
15,6
38,42
1001,15 111,24 Evaluasi hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai persen
rekoveri 111,24% yang memenuhi kriteria keberterimaan persen rekoveri yang terletak antara 85-115%. Hal ini menunjukkan bahwa sistem operasional instrumen dan prosedur metode sudah baik dengan respon.
4.2.4 Spesifisitas Spesifisitas adalah kemampuan metode untuk mendeteksi/ mengukur analat
secara
cermat
dan
seksama
dengan
adanya
analat
asing/bahan/matriks lain, matriks yang merupakan sampel blanko tanpa analat dan kemungkinan dapat mengandung analat lain yang dapat mempengaruhi/mengganggu penetapan
yang dicari. Sehingga perlu
diketahui apakah metode yang akan digunakan spesifik untuk analisis analat dan analat lain yang tidak diinginkan tidak mengganggu/ mempengaruhi hasil analisis (Chan 2004).
51
Dari hasil penetapan sampel matriks tanpa IgG (IgG negatif) dan sampel yang mengandung IgG (IgG positif) maka diperoleh densitas optik yang baik untuk sampel yang mengandung IgG pada perbandingan kadar dari pengenceran 1/10 sampai 1/1000 adalah 0,71 dan 0,10. Densitas optik larutan baku bovine IgG yang tercantum pada Tabel 4 digunakan sebagai kurva baku, dan data densitas optik larutan sampel dan larutan matriks dengan dan tanpa kandungan IgG tertera pada Tabel 11. Hasil analisis pada larutan
matriks sampel tanpa IgG terlihat
densitas optik pada kadar 1/10 sampai dengan 1/1000 adalah 0,07 ng/mL dan 0,07 ng/mL, yang menunjukkan nilai dibawah 0.200 atau nilai yang hampir sama dengan nilai densitas optik larutan baku bovine IgG pada kadar 0 ng/mL yaitu 0,08 ng/mL seperti yang tercantum pada Tabel 3, blanko assay diluent adalah 0,07 dan blanko substrat sebesar 0,06. Tabel 11. Densitas optik larutan sampel dan larutan matriks (1,5 mg/mL) dengan dan tanpa kandungan IgG Pengenceran OD sampel OD matriks sampel/matriks (IgG pos.) (IgG neg.) 1:10 0,71 0,07 1:100 0,38 0,07 1:500 0,26 0.07 1:1000 0,10 0,07 Hal ini menunjukkan tidak adanya kandungan bovine IgG dalam larutan matriks sehingga dapat disimpulkan bahwa matriks sampel yang terkandung dalam sampel susu bubuk skim tidak mengganggu dalam analisis dan spesifik untuk penetapan bovine IgG dalam sampel susu bubuk skim.
4.2.6 Penetapan kadar IgG pada susu bubuk skim dengan kadar Ig G bervariasi Penetapan kadar IgG pada susu bubuk skim dengan kadar selain 150 mg/15g adalah sampel susu bubuk skim A dengan kadar 180 mg/15g
52
serta sampel B dengan kadar 200mg/15g, dan terhadap sampel tersebut dilakukan uji keberulangan. Prosedur dilakukan dengan membuat suatu kurva baku dari satu seri larutan standar dan pembuatan larutan sampel susu bubuk skim dan dilakukan replikasi tujuh kali. Hasil pengujian sampel dibuat rata rata dan dihitung simpangan baku dan % RSD. Hasil uji keberulangan terhadap kedua sampel B dan sampel C tertera pada Tabel 12. Tabel 12. Uji keberulangan pada Sampel B dan sampel C Pengu langan 1 2 3 4 5 6 7 Jumlah Rata-rata SD RSD (%)
Sampel Kadar (ng/mL) 13,12 12,48 10,91 11,14 13,75 11,58 11,06 84,04 12,01 1,16 9,67
A (x - x ) 1,23 0,22 1,21 0,76 3,03 0,18 0,90 8.13
Sampel C Kadar (x - x )2 (ng/mL) 9.92 0,03 10.48 0.15 10.15 0.01 9.55 0.29 10.98 0.79 9.69 0,16 9.88 0.04 70,65 1.47 10,09 0.49 4,86
Dari hasil penetapan kadar bovine IgG dalam susu bubuk skim dengan kadar IgG yang bervariasi seperti tercantum pada labelnya selain dari susu bubuk skim A, menunjukkan uji keberulangan untuk kedua sampel susu bubuk skim lain diperoleh nilai RSD 9,67% untuk susu bubuk B dan RSD 4,86% untuk susu bubuk C. Hasil evaluasi nilai RSD dari kedua sampel menunjukkan nilai RSD memenuhi keberterimaan RSD≤ 20% sehingga dapat disimpulkan bahwa metode analisis dapat digunakan untuk analisis kadar IgG dalam susu bubuk skim.
4.3 BAHASAN UMUM Metode analisis yang valid memegang peranan yang sangat penting untuk mendapatkan data yang valid, dengan metode yang valid
53
akan dapat diketahui tingkat akurasi dan presisi dari suatu data hasil pengujian, sehingga metode analisis yang akan digunakan secara rutin sebelumnya harus divalidasi (Hadi 2007). Validasi metode adalah konfirmasi dengan cara menguji suatu metode dan melengkapi bukti bukti yang objektif apakah metode tersebut memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan suatu tujuan tertentu. Walaupun metode analisis IgG dalam produk sudah banyak yang dikembangkan oleh peneliti terdahulu baik dengan cara kimia maupun imunologi, namun masih terdapat kelemahannya seperti kerumitan ataupun spesifisitas dari metode tersebut. Dari penelitian yang dilakukan terhadap 3 jenis immunoassay yaitu Fluorescen Immunoassay (FIA) , Radio Immunoassay (RIA) dan ELISA (Daussant and Bureau 1984, dalam
Pomeranz 2000), untuk metode ELISA lebih baik dari FIA karena metode FIA sulit di standardisasi sedang metode RIA merupakan metode yang komplek dan sangat sensitif dan markernya adalah radioaktif sehingga sulit untuk ditangani serta memerlukan alat yang mahal. Untuk metode immunoassay
yaitu ELISA yang relatif tidak
berbahaya, dan mempunyai kadaluarsa yang lebih panjang, serta tidak memerlukan peralatan yang mahal sedangkan pengujian dapat dibuat lebih cepat dan dapat di otomatisasi dan pengujian secara simultan. Walaupun ada juga kelemahan metode ELISA terutama untuk yang produk yang mengandung analat yang dapat mempengaruhi reaksi enzimatisnya dan disamping itu reaksi enzimatis kadang kadang sulit dikontrol
serta
sensitifitasnya relatif rendah. Aplikasi metode ELISA ini sudah diterapkan pada identifikasi protein dari bermacam macam sumber (misalnya daging sapi, biri-biri, kanguru, babi dan unta), protein yang sudah diproses secara panas, dan protein spesifik dari roti gandum dan lektin serta glikoprotein (Pomeranz 2000). Pada penelitian ini telah dilakukan validasi metode analisis untuk penetapan kadar imunoglobulin G (IgG) dalam susu bubuk skim menggunakan metode Enzyme Link Immunosorbent Assay (ELISA) yaitu
54
Sandwich ELISA dan ELISA merupakan salah satu uji serologi yang
dapat digunakan untuk mendeteksi adanya antigen atau antibodi dalam suatu sampel. Metode analisis yang divalidasi oleh peneliti ini dipilih karena memiliki kelebihan, yaitu metodenya lebih spesifik, sederhana, dan dapat dilakukan terhadap jumlah sampel yang banyak dalam waktu relatif singkat.
4.3.1 Kurva baku dan Kalibrasi kurva baku dan Kadar optimum IgG dalam sampel susu bubuk skim yang digunakan pada validasi Kurva kalibrasi yang merupakan suatu fungsi dari rentang nilai analisis, yang akan berhubungan dengan respon analat (Chan 2004) yang dipeoleh harus merupakan kurva baku yang valid. Evaluasi densitas optik (OD) larutan baku bovine IgG tercantum pada Tabel 4 menunjukkan koefisien korelasi (r) masih dalam nilai keberterimaan r ≥0,95, dimana nilai r perhitungan adalah 0.99, intersep: 0,07 dan slope: 0,02 sehingga kurva baku dengan seri larutan baku IgG yang telah ditetapkan dapat digunakan untuk uji selanjutnya. Untuk analisis dengan ELISA belum ditemukan teori yang dapat menghubungkan secara pasti antara aktivitas dengan absorbansi secara memadai. Secara umum akan diperoleh kurva baku berbentuk sigmoid, namun demikian bentuk fungsionalnya tidak diketahui dengan pasti dan dapat digunakan model yang melibatkan 4 atau 5 parameter. Linialisasi model biasanya dilakukan, tetapi penyesuaian langsung dengan model non linier tetap lebih berarti. Pada analisis ELISA belum diketahui secara pasti pemahaman terhadap banyaknya proses yang terjadi antara aktifitas antibodi dan pembacaan densitas optik (absorbans) yang dihasilkannya sebagai respon, sehingga dilakukan pendekatan secara empirik.
55
Otomatisasi pembacaan data hasil ELISA sejauh mungkin dikendalikan, diklasifikasi dan kuantifikasi, sehingga sistem yang dipilih harus memuaskan keperluan pengguna, dan program pembuatan kurva harus dikendalikan. Untuk itu perangkat lunak yang digunakan misalnya harus dapat dijalankan baik dalam bentuk grafik atau bentuk numerik dan kriteria klasifikasi hendaknya dispesifikasi oleh pengguna. Densitas optik hendaknya dimasukkan ke dalam memori secara otomatis. Dalam software ELISA nilai densitas optik (OD) ditampilkan dalam Result Data, dimana nilai yang terdapat didalamnya merupakan hasil uji nilai sebenarnya, yaitu rata-rata nilai OD sampel dikurangi dengan rata-rata nilai OD blank. Dalam software dari intrumen terdapat berbagai macam pilihan tampilan untuk kurva standar, namun yang sering digunakan adalah tampilan linier dengan besaran misalnya y = 0,01909x + 0,07028. dimana r2 = 0.948. dan tampilan pada Gambar 7. atau tampilan untuk 5-parameter dengan tujuan meng-fit kan standar ke dalam kurva sigmoid yang dapat dilihat pada Gambar 8. Dari hasil kurva tersebut nilai r2 menjadi lebih baik yaitu sebesar 0.999. Dari persamaan y pada kurva standar, maka diketahui nilai konsentrasi tiap sampel.
Gambar 7. Kurva Baku larutan standar dengan bentuk garis lurus
56
Gambar 8. Kurva Baku larutan standar dengan bentuk sigmoid
Menurut Lipton (2000) pada pengujian immunoassay secara kuantitatif maka kurva baku yang diperoleh dari densitas optik (OD) akan menghasilkan kurva berbentuk sigmoid, dan untuk memperoleh nilai yang akurat dan cermat secara kuantitatif maka OD larutan sampel harus berada pada bagian linier kurva baku. Daerah kerja kurva liner yang baik terletak pada densitas optik pada rentang 0,2-0,8 (USP 2011). Bila OD terlalu tinggi, maka larutan sampel harus diencerkan hingga OD berada diantara rentang kuantitatif pengujian. Konsentrasi analat dalam sampel dapat dihitung dengan membuat koreksi menggunakan faktor pengenceran yang diperoleh pada saat pembuatan larutan uji yang akan diteteskan pada microplate.
Menurut Burgess (1995) kinerja pengujian kuantitatif dengan cara sandwich ELISA dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya kapasitas
penangkapan antibodi, karakteristik sistem deteksi, dan peralatan yang tersedia untuk melakukan prosedur ELISA. Penangkapan antibodi tergantung pada kapasitas adsorbsi microplate yang telah di coating dengan antigen atau antibodi spesifik. Karakteristik sistem deteksi termasuk kompleksitas, antibodi yang berlebihan, dan spesifisitas antibodi. Selanjutnya hasil yang terlihat sangat jelas pada antigen-spesifik ELISA
57
dimana ikatan aktual analat yang diukur tidak paralel dengan sinyal enzimatis yang dihasilkan. Immuno-Tek Bovine IgG ELISA kit merupakan gabungan bahan-
bahan yang diperlukan dalam pengerjaan ELISA untuk mendeteksi bovine IgG dalam kolostrum sapi, serum susu, plasma atau larutan biologis lainnya sehingga mudah digunakan serta lebih cepat dalam pengerjaan. Microplate pre coated with purified goat anti-bovine IgG (antibodi terhadap bovine IgG
yang berasal dari kambing) yang disediakan dalam kit oleh pabrik telah dioptimasi agar bereaksi seimbang dengan semua subklas dari bovine IgG, dan spesifik untuk bovine IgG. Metode sandwich ELISA disebut juga dengan ELISA penangkap antigen, menggunakan antibodi yang terikat pada fase padat untuk menangkap antigen secara spesifik, antibodi penangkap antigen dan sistem indikator dibuat konstan dan yang berubah adalah titer antibodi primer untuk antigen spesifik, fase padat yang digunakan adalah microplate (Kemeny 1989) Umumnya enzim yang digunakan pada metode ELISA adalah Horseradish peroxydase (HRP), alkaline phosphatase (AP) dan beta galactosidase. Setiap enzim mempunyai fitur yang unik sesuai dengan
kondisi
dimana enzim tersebut dapat digunakan secara optimum. Pada
analisis digunakan enzim HRP hal ini dipilih karena HRP lebih sensitif pada uji ELISA bila dibandingkan dengan enzim AP. Hal ini terjadi karena daya katalitik enzim HRP lebih cepat, sehingga lebih banyak produk yang digenerasi dalam waktu inkubasi yang lebih pendek, Pada metode ELISA tidak hanya berdasarkan pada jumlah antigen atau antibodi yang akan mengadsorbsi. Banyaknya adsorbsi harus dapat diulangi didalam microplate, dan jumlah protein yang teradsorbsi pada tiap sumuran harus pada batas tertentu. Substrat yang digunakan harus merupakan suatu bahan yang akan mengadsorbsi sampel yang dikehendaki dalam jumlah banyak namun dengan variasi minimal dari pengujian ke pengujian. Antigen atau antibodi dapat secara pasif teradsorbsi pada
58
permukaan padat dan keragaman dapat terjadi karena perbedaan pH, kekuatan ion dan komposisi penyangga sehingga akan mempengaruhi hasil pengujian. Proses metode ELISA memerlukan masa inkubasi selama 30 menit pada suhu 37oC sehingga suhu inkubasi dan lamanya masa inkubasi merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dimana pada peneitian ini penyimpangan suhu sudah ditetapkan yaitu lebih kurang 1oC. Perbedaan suhu akan berpengaruh pada pengikatan antigen atau antibodi, misalnya pada suhu tinggi pengikatan antigen atau antibodi dapat menyebabkan pengaruh pinggir yaitu terbentuknya warna yang
lebih
banyak pada pinggir sumuran microplate dan hal ini akan mempengaruhi pengukuran densitas optik. Sensitivitas kadang kadang dapat ditingkatkan dengan membuat masa inkubasi lebih lama, dimana terjadi reaksi yang lebih sempurna. Pada proses ELISA dilakukan pencucian dengan wash buffer (wash Buffer berisi campuran PBS, Tween 20@ dan 2-chloroacetamide), dengan
volume 300 µl tiap sumuran sebanyak 4x dan dikeringkan hingga tidak ada lagi droplet pada sumuran. Larutan pencuci diperlukan untuk menghilangkan semua materi dari luar dan ikatan yang longgar pada permukaan fase padat. Komponen larutan pencuci harus cukup kuat untuk menggusur ikatan tersebut. Larutan pencuci juga tidak boleh merusak ikatan kompleks antigen-antibodi. Larutan pencuci dari kit ELISA yang digunakan merupakan suatu campuran untuk menggantikan detergen tetapi bersifat sama seperti detergen yaitu mengurangi reaksi pengikatan nonspesifik yaitu pengikatan antigen dan antibodi yang spesifik. Pada tahap akhir prosedur ELISA, hal penting yang harus diperhatikan adalah waktu pengukuran warna yang terjadi, sehingga harus dihentikan pada masa periode tertentu yaitu setelah 30 menit, dengan penambahan stop solution dan selanjutnya dilakukan pembacaan densitas optik (OD) dari warna yang terbentuk menggunakan instrument (ELISA
59
reader). Hal ini disebabkan karena warna yang terbentuk akan menjadi
lebih gelap dibiarkan dalam waktu yang lama. Air suling merupakan salah satu problem pada standardisasi uji ELISA terutama diantara laboratorium yang berbeda bila dilakukan uji kolaborasi ataupun uji robustness, walaupun menggunakan reagen yang sama untuk pengujian. Sehingga bila air suling yang disertakan pada kit, minimal air suling digunakan untuk pengenceran awal larutan stok reagen. Walaupun sampai saat ini belum diketahui alasan mengapa air dapat mempengaruhi uji ELISA dan tidak ada satupun faktor yang ditemukan sebagai hal yang penting, sebaiknya disarankan air suling dan kontrol sera juga digunakan sebagai blanko pada prosedur ELISA, disamping itu air juga digunakan untuk mengencerkan larutan dapar. Menurut Burgess (1995) metode ELISA dengan antigen spesifik, maka peningkatan kompeleksitas berhubungan dengan peningkatan sensitivitas. Konsentrasi kerja optimal semua reagen harus dipastikan jumlahnya apakah sedikit atau berlebihan karena dapat berpengaruh atau mengganggu sensitiftas pengujian, sehingga konsentrasi optimum sampel merupakan hal yang penting. Umumnya
kisaran
kerja
sistem
ELISA
untuk
mendeteksi
imunoglobulin membutuhkan serum yang sangat encer (1/10.000 s/d 1/100.000 untuk serum) sebelum dimasukkan ke dalam sumuran yang dilapisi antibodi penangkap (Burgess, 1995). Pengenceran tinggi yang sesuai dengan serum tersebut biasanya setara dengan 1-500 ng/ml, dimaksudkan untuk mendeteksi batas maksimum dan minimum yang mampu dideteksi oleh ELISA reader. Pada manual kit ELISA telah direkomendasikan kadar minimum yang dapat digunakan dalam pengujian pada sampel susu yang mengandung kadar antibodi IgG sampai dengan 0,5 mg/ml, dan normalnya digunakan dengan pengenceran 1/10000. Untuk itu dilakukan pengenceran sampel susu bubuk skim dari 1/10 sampai dengan 1/1000 dari larutan stok sampel 15mg /10mL.
60
Evaluasi analisis terhadap kadar optimum sampel
dengan
pengenceran 1/10, 1/100, 1/500, dan 1/1000 seperti yang tercantum pada Tabel 5. Berdasarkan densitas optik yang dihasilkan dari beberapa konsentrasi larutan sampel pada optimasi percobaan, maka diperoleh suatu kondisi analisis yang optimum untuk analisis IgG dalam matriks susu bubuk skim.
4.3.2 Validasi metode analisis Validasi metode analisis diawali dengan linieritas dan rentang konsentrasi IgG, linearitas adalah kemampuan metode analisis yang menunjukkan bahwa larutan sampel yang berada dalam rentang konsentrasi memiliki respon analat yang proporsional dengan konsentrasi, secara langsung atau melalui transformasi matematika. Rentang adalah interval antara konsentrasi analat terendah dan tertinggi. Prosedur uji sama seperti prosedur ELISA seperti pada pembuatan kurva baku dan ditetapkan kurva linier: y=bx + a, dimana a adalah intersep (perpotongan garis dengan sumbu y) dan b adalah slope (kemiringan garis regresi), linieritas kurva ditentukan dengan cara menghitung koefisien korelasi (r). Linieritas memenuhi syarat bila r hitung ≥ 0,95. Hasil pembacaan densitas optik (OD) baku bovine IgG tercantum pada Tabel 5. Evaluasi hasil analisis densitas optik dan perhitungan konsentrasi baku, diperoleh nilai r = 0,99 yang telah memenuhi kriteria keberterimaan nilai r ≥ 0,95 dan rentang konsentrasi 7,7 ng/mL dan konsentrasi 33,7 ng/mL pada densitas optik dengan rentang kerja kurva linier 0,2 sampai 0,8 (USP 2011), sehingga dapat disimpulkan bahwa kurva baku larutan bovine IgG linier pada rentang konsntrasi tersebut. Menurut Horwitz (2003) aspek penting dari kurva kalibrasi, disamping linieritas adalah kestabilan dan keberulangan pada waktu berbeda di hari yang sama ataupun pada hari yang berbeda sehingga aspek ini merupakan hal yang kritikal. Perbedaan instrumen akan membuat kurva baku yang sangat berbeda, sehingga kurva baku yang diperoleh pada alat
61
yang digunakan tidak dapat diaplikasikan pada alat yang lain. Kurva baku harus disiapkan beberapa kali, menggunakan standar berbeda sebagai sumbernya, bila memungkinkan dilakukan pada waktu berbeda di hari yang sama atau pada hari yang berbeda. Limit deteksi merupakan hal yang penting karena akan menyebabkan penggunaan konsentrasi yang tidak tepat pada saat melakukan validasi metode (Chan 2004). Untuk mendapatkan suatu titer ELISA, ada tahap bahwa status positif atau negatif ditentukan oleh kadar sampel uji, sehingga perlu dilakukan pendekatan untuk menentukan nilai batasnya, cara yang paling umum misalnya dengan menentukan rata rata densitas optik ditambah dengan dua sampai empat simpangan baku.
Masalah yang mendasar
terhadap pendekatan ini adalah asumsi bahwa kadar antibodi berbanding langsung dengan densitas optik sehingga akan diperoleh kurva linier, tetapi kenyataannya kurva berbentuk sigmoid. Pada analisis menggunakan instrumen limit deteksi dapat dihitung dengan mengukur respon blanko beberapa kali lalu dihitung simpangan baku respon blanko. limit deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi. Limit deteksi mempunyai nilai ekuivalen dengan rata-rata respon blanko plus 3 kali simpangan baku (SD), dan limit kuantitasi adalah rata-rata blanko plus 10 kali SD (Eurachem 2002). Perhitungan untuk nilai y dan x dilakukan dengan menggunakan kurva baku. Evaluasi hasil
penetapan sampel untuk limit deteksi dan limit
kuantitasi dengan konsentrasi terendah larutan baku bovine IgG diperoleh data hasil pengukuran dari
Tabel 8 dan data uji keberulangan dan
simpangan baku pada kadar bovine IgG pada kadar terendah (5,37 ng/ml) tercantum dalam Tabel 9.
Dari hasil perhitungan keberulangan larutan
baku bovine IgG dengan kadar 5,37 ng/ml dan perhitungan simpangan baku maka diperoleh limit deteksi sebesar 0,93 ng/ml dan limit kuantitasi sebesar 3,1 ng/ml. Dimana konsentrasi ini mempunyai nilai lebih kecil
62
dari kadar terendah larutan baku bovine IgG 7,5 ng/ml dan konsentrasi 12,8 ng/mL yang merupakan konsentrasi optimum yang digunakan pada valiidasi metode analisis. Presisi adalah adalah tingkat kesamaan antar hasil uji individual ketika metode tersebut diterapkan secara berulang dari suatu sampel homogenat, presisi suatu metode analisis biasanya ditunjukkan dengan simpangan baku relatif atau koefisien variasi dari suatu seri pengukuran. Presisi suatu metode akan memenuhi keberterimaan apabila RSD yang diperoleh ≤20% (Chan 2004). Uji presisi dilakukan dengan menganalisis sampel yang sama secara berulang minimal enam kali pengulangan. Kemudian dihitung standar deviasi (SD) dan Setelah diketahui nilai SD nya maka dapat dihitung standar deviasi relatif (RSD) atau koefisien variasi. Presisi suatu metode ELISA akan memenuhi keberterimaan apabila RSD yang diperoleh ≤20%. Hasil uji presisi pada sampel A yang tercantum pada Tabel 9, menunjukkan hasil presisi yang memenuhi
kriteria keberterimaan.
sehingga hal ini menunjukkan bahwa sistem operasional instrumen dan prosedur metode sudah baik dengan respon. Akurasi adalah kemampuan suatu metode untuk mengukur suatu nilai yang aktual atau sebenarnya dari suatu analat, dengan kata lain akurasi atau kecermatan adalah kedekatan hasil uji yang diperoleh atau menggunakan metode yang sedang divalidasi dengan nilai sebenarnya yang
terdapat
dalam
sampel.
Penentuan
akurasi
metode
untuk
membuktikan kedekatan hasil analisis dengan nilai benar. Akurasi dapat ditetapkan dengan 3 cara yaitu; penetapan dengan menggunakan bahan acuan
bersertifikat
atau
standard
reference
material
(SRM),
membandingkan menggunakan metode yang telah valid (metode resmi atau metode standar) dan menghitung uji perolehan kembali dengan menggunakan penambahan standar. Pada penelitian ini digunakan metode penambahan standar adisi dan menghitung persen perolehan kembali. Uji perolehan kembali
63
(rekoveri) dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah larutan baku IgG ke dalam sampel yang sebelumnya telah ditentukan kadarnya (sampel yang telah ditentukan nilai presisinya). Selanjutnya sampel dianalisis hingga diperoleh nilai persen perolehan kembali. Nilai persen perolehan kembali yang mendekati 100 % menunjukkan bahwa metode tersebut memiliki ketepatan yang baik dalam menunjukkan tingkat kesesuaian dari rata-rata suatu pengukuran yang sebanding nilai sebesinarnya (true value). Untuk metode ELISA maka uji akurasi harus memenuhi keberterimaan RSD ≤15% atau persen rekoveri 85-115% (Chan 2004). Evaluasi hasil analisis dari uji akurasi yang tercantum pada Tabel 10, menunjukkan hasil yang diperoleh
persen rekoveri 111,24% yang
memenuhi kriteria keberterimaan yang terletak antara 85-115%. Hal ini menunjukkan bahwa sistem operasional instrumen dan prosedur metode sudah baik dengan respon. Spesifisitas
adalah
kemampuan
metode untuk
mendeteksi/
mengukur analat secara cermat dan seksama dengan adanya analat asing/bahan/matriks lain, matriks yang merupakan sampel blanko tanpa analat dan kemungkinan dapat mengandung analat lain yang dapat mempengaruhi/mengganggu penetapan analat yang dicari. Sehingga perlu diketahui apakah metode yang akan digunakan spesifik untuk analisis analat dan analat lain yang tidak diinginkan tidak mengganggu/ mempengaruhi hasil analisis (Chan 2004). Menurut De Silva (2003) idealnya antibodi yang digunakan harus spesifik dengan analat target, tanpa adanya gangguan dari bahan yang strukturnya hampir sama dengan analat yang ada dalam sampel ataupun bahan yang terdapat dalam matriks. Sehingga verifikasi untuk spesifitas perlu dilakukan untuk seleksi analat dari matriks yang komplek sehingga tidak diperoleh hasil positif atau negatif palsu. Spesifisitas pengujian dievaluasi menggunakan matriks sampel yang di spike, tetapi pada beberapa kasus dilakukan menggunakan matriks
64
sampel yang mengandung bahan yang mirip dengan analat target. Tetapi bila tidak diperoleh bahan yang sesuai dengan analat target, maka pada validasi metode dilakukan kuantifikasi analat dalam komponen matriks menggunakan konsentrasi dibawah konsentrasi yang mungkin merupakan gangguan pada waktu pengujian (De Silva 2003) Pada penelitian ini penetapan menggunakan matriks sampel tanpa analat target untuk melihat adanya gangguan komponen yang ada dalam matriks susu bubuk skim, walaupun sebenarnya matriks tersebut tidak sama dengan matriks dari sampel yang diuji. Hal ini terjadi karena matriks sampel yang akan dianalisis sulit diperoleh dan tidak ada di pasaran. Menurut DeSilva (2003), bila matriks yang dimaksudkan sulit diperoleh maka kurva baku dapat digunakan sebagai pengganti matriks. Dari hasil penetapan sampel seperti yang tertera Tabel 11 dan Densitas optik larutan sampel dan larutan matriks yang tertera pada Tabel 12. Maka densitas optik untuk
sampel tanpa IgG dan sampel yang
mengandung IgG diperoleh densitas optik yang baik untuk sampel yang mengandung IgG dimana pada perbandingan konsentrasi dari pengenceran 1/10 sampai 1/1000 adalah 0,7 dan 0,1. Hasil analisis pada larutan
matriks sampel tanpa IgG terlihat
densitas optik pada konsentrasi 1/10 sampai 1/1000 adalah 0,07 dan 0,07, dimana nilai ini menunjukkan nilai dibawah 0.200 atau nilai yang hampir sama dengan
nilai densitas optik larutan baku bovine IgG pada
konsentrasi 0 ng/ml (0,08), dan hamper sama dengan nilai densitas optik blanko assay diluent (0,07) dan blanko substrat (0,06). Hal ini menunjukkan tidak adanya kandungan bovine IgG dalam larutan matriks sehingga dapat disimpulkan bahwa matriks sampel yang terkandung dalam sampel susu bubuk skim tidak mengganggu dalam analisis dan spesifik untuk penetapan bovine IgG dalam sampel susu bubuk skim. Dari hasil penetapan kadar bovine IgG dalam susu bubuk skim yang beredar dengan kadar IgG yang bervariasi dan pada labelnya tercantum kadar bovine IgG selain dari susu bubuk skim A. Dari hasil uji
65
keberulangan untuk kedua sampel susu bubuk skim sampel B dan sampel C diperoleh nilai RSD 9,67% untuk susu bubuk B dan nilai RSD 4,86% untuk susu bubuk C yang memenuhi keberterimaan uji keberulangan nilai RSD ≤20%. Maka dapat disimpulkan bahwa metode analisis dapat digunakan untuk analisis kadar IgG dalam susu bubuk skim dengan kadar ber variasi.
4.3.3 Hasil validasi metode analisis Dari hasil validasi metode pengujian kadar immunoglobulin G dalam susu bubuk skim dengan metode Enzyme Link Immunosorbent Assay (ELISA) dengan parameter validasi yang telah ditetapkan, terlihat
hasil validasi yang memenuhi kriteria keberterimaan seperti tertera pada Tabel 13.
Tabel 13 Parameter validasi, kriteria keberterimaan dan hasil validasi No 1
Parameter validasi Linieritas dan rentang
Kriteria
Hasil validasi
r ≥ 0,95
r = 0,99 Sampel A: RSD 9,67 % Sampel B: RSD 4,86 % Sampel C: RSD 3,87 %
2 Presisi 3 4
5
Akurasi Limit deteksi (LOD) dan limit kuantitasi (LOQ) Spesifisits
RSD < 20% Persen rekoveri 85-115%
111,24%
LOD = 3 SD
LOD = 0,93
LOQ = 10 SD Spesifik
LOQ = 3,1 Spesifik
Dari hasil validasi ada 5 parameter validasi yang dilakukan dilakukan sedangkan parameter lain seperti Ruggedness dan Robustness belum dapat dilakukan disini karena diperlukan beberapa laboratorium yang berbeda untuk dilakukan uji kolabarasi untuk parameter tersebut.
66
Pada uji Uji akurasi pada penelitian ini digunakan sebagai baku pembanding adalah larutan standar bovine IgG dengan kadar maksimum 125ng/mL, dimana reagen tersebut
disertakan dalam reagen kit yang telah
disediakan. Pada pembuatan larutan rekoveri ditemukan kendala pada penyiapan pengenceran konsentrasi larutan baku, karena larutan baku stok yang harus disiapkan tidak akan dapat melebihi dari 125ng/mL. Untuk itu sebaiknya digunakan baku pembanding bovine IgG murni dengan konsentrasi lebih tinggi dari pada larutan stok yang ada pada kit. Pada peneliian ini untuk mengetahui spesifisitas metode maka dilakukan uji spesifisitas dan dalam hal ini digunakan sampel matriks susu bubuk skim yang pada labelnya diklaim tidak mengandung IgG, dalam hal ini komposisi sampel matriks tidak sama dengan komposisi dari sampel yang mengandung IgG. Hal ini disebabkan karena sampel matriks yang komposisinya sama seperti dengan sampel yang mengandung IgG tidak ditemukan dipasaran. Untuk lebih mendapatkan uji spesifisitas yang lebih meyakinkan maka sebaiknya komposisi matriks sampel susu bubukng mengandung dibuat sama seperti sampel susu bubuk yang mengandung IgG.
43
V KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap susu bubuk skim yang diklaim mengandung bovine IgG dapat disimpulkan bahwa pada optimasi kadar IgG dalam sampel yang akan digunakan untuk validasi diperoleh kadar IgG dengan konsentrasi 12,78 ng/mL dari seri larutan sampel pada rentang antara 5,10 ng/mL dan 38,42 ng/mL. Hasil validasi metode analisis yang telah dilakukan menunjukkan parameter validasi untuk linieritas dan rentang, limit deteksi dan limit kuantitasi, presisi, akurasi dan spesifisitas telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, sehingga metode analisis telah valid dan dapat digunakan sebagai metode analisis untuk pengujian kadar bovine IgG dalam susu bubuk skim. Hasil analisis terhadap 3 merk sampel susu bubuk skim yang beredar dengan klaim kandungan IgG bervariasi diperoleh uji keberulangan dengan nilai RSD berturut-turut 3,87%, 9,67% dan 4,86% sudah memenuhi kriteria keberterimaan. Pada uji spesifisitas diperoleh menunjukkan bahwa matriks sampel yang terkandung dalam susu bubuk skim tidak mengganggu pada analisis kadar bovine IgG, sehingga metode analisis dapat digunakan untuk pengujian sampel k susu bubuk skim dengan berbagai merek.
Saran Untuk melihat ketegaran metode analisis, disarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan parameter validasi robustness dan uji kolaborasi antar laboratorium. Pada validasi metode analisis lebih lanjut untuk penentuan
kadar
bovine IgG dalam sampel susu bubuk skim atau jenis sampel lainnya
44
sebaiknya digunakan Standar bovine IgG murni selain dari larutan standar yang telah tersedia pada kit, sehingga keterbatasan kadar larutan standar yang digunakan pada penyiapan larutan rekoveri dapat diatasi. Produk pangan yang beredar terutama untuk klaim khusus seperti produk yang diklaim mengandung kolostrum atau immunoglobulin G (IgG) sudah banyak beredar di Indonesia maka pengawasan terhadap produk pangan tersebut perlu ditingkatkan terutama dalam hal kesesuaian klaimnya.
69
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Analytical Chemist,1999. Qualitative and Quantitative Microbiology Guidelines. for Methods Validation. Journal of AOAC International vol.62, No.2 [AOAC] Association of Analytical Chemist, 2003, Food Composition and additive, Determination of Immunoglobulin G in Bovine Colostrum and Milk by Direct Biosensor SPR-Immunoassay. Journal of AOAC International vol.86, No.2 [AOAC] Association of Analytical Chemist, 2006, Committee on Food Nutrition, water-Soluble, General Referre Report. Journal of AOAC International vol.89, No.1 ArgÃello A, Castro N, Capote J. 2005. Short communication: evaluation of a color method for testing immunoglobulin G concentration in goat colostrum. J Dairy Sci., 88(5):1752-4 (2005). [BSN].Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia Nomor 01-2970-1992. Susu Bubuk. Badan Standardisasi Nasional Indonesia. Jakarta. [BPOM]. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. [BPOM]. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2003. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No: HK.00.05.52.0685. tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional [BPOM]. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2006. Kategori Pangan, Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Boque R, Maroto A, Riu J, Rius F X,Validation of analytical methods, Grasas y Aceites, vol 53, Fasc.1 (2002); 128-143.
70
Burgess GW. 1995. Prinsip Dasar ELISA dan Variasi Konfigurasinya. Di dalam: Artama WT, penerjemah; Burgess GW, editor. Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan penelitian, Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Terjemahan dari ELISA Technology in Diagnosis and Research. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooton M, 1985. Ilmu dan Teknologi Produk Susu. Di dalam: Purnomo H dan Adiono, penerjemah; Buckle K A, Edwards R A, Fleet G H, Wooton M, Ilmu Pangan, Jakarta: Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari Food Science. [CAC] Codex Alimentarius, Milk and Milk Products, first edition, 2007. WHOFAO Food Standards Programme, Chigerwe M, Tyler JW, Middleton JR, Spain JN, Dill JS, Steevens BJ, 2008, Comparison of four methods to assess colostral IgG concentration in dairy cows. Vet Med Assoc. 2 Chan CC, Lee YC , Lam H, Zhang XM. (ed.), 2004, Analytical Method Validation and Instrument Performance Verification, Wiley Interscience, . Crowther J R., ELISA: Theory and Practice in Methods in Molecular Biology, vol 42, Humana Press, 1995 Copestake DE, Oter DE, Indyk HE, 2007, Analysis of bovine immunoglobulin G in milk, colostrum and dietary supplements: A review. Anal Bioanal Chem., Jun 20; 17579844, Cit:6 Frey A, Meckelein B, Externest D, Schmidt MA, 2000, A stable and highly sensitive 3,3′,5,5′-tetramethylbenzidine-based substrate reagent for enzymelinked immunosorbent assays, J. of Immunological Methods, Vol. 233, Issues 1–2, Gapper L, Copestake DE, Otter DE, Indyk HE, 2007, Analysis of bovine immunoglobulin G in milk, colostrum and dietary supplements: A review. Anal Bioanal Chem. Jun 20; 17579844. Hix J, Rasca P, Morgan J, Denna S, Panagides D, Tam M, Shankar AH, 2006, Validation of a rapid enzyme immunoassay for the quantitation of retinolbinding protein to asses vitamin A status within populations, European J. Clinical Nutrition; 60 :1299-1303. Hoppe C, Andersen GS, Jacobsen S, Mølgaard C, Friis H, Sangild PT, Michaelsen KF, 2008, The Use of Whey or Skimmed Milk Blended Foods for Vulnerable Groups, A Literature Review. J Nutr. Jan;138(1):145S-161S.
71
Hurley L.Walter and Peter TK, Nutrients 3, 2011, ISSN 2072-6643. Review, Perspective on Immunoglobulins in Colostrum and Milk. WWW.mdpi.com/journal/nutrients (ISO) International Organization for Standardisation. 2003, Microbiology of Food and Animal Feeding Stuffs-Protocol for the validation of alternative methods,1st edition. International Organisation for Standardisation (ISO) 16140. Indyk HE, 2006, Nonvitamin Micronutrients, General Referree Reports: Journal of AOAC vol.89, No.1. IUPAC,Technical Report, 2002, Harmonized Guideline For Single-Laboratory validation of Methods of Analysis. Thompson M., Pure Appl.Chem., vol 74, No.5. Jersey C, Quigley JD, Martin KR, Dowlen HH, Wallis LB, Lamar K. 1994, Immunoglobulin concentration, specific gravity, and nitrogen fractions of colostrum, J Dairy Sci. Jan; 77(1):264-9. Kemeny DM and Challcombe SJ (ed.), 1989 ELISA and Other Solid Phase Immunoassays: Theoretical and Practical Aspects, vol 2, John Wiley and Sons Ltd. Korhonen H, Marnila P, Gill HS, 1998. Bovine milk antibodies for health. British Journal of Nutrition, 84(Suppl. 1), S135–S146. Korhonen H, Marnila P, Gill HS, 2000, Milk Immunoglobulins and complement factors, British Journal of Nutrition, 84 (Suppl. 1), S 75–S80 Korhonen H, Isolation of immunoglobulins from colostrum, IDF, 2004, Bulletin, 389, 78-81 Lipton CR, Dautlick JX, Grothaus GD, Hunst PL, Magin KM, Mihaliak CA, Rubio FM, Stave JW, 2000, Guidelines for the Validation and Use of immunoassays for Determination of Introduced Protein in Biotechnology Enhanced Crops and Derived Food Ingredients. Food and Agricultural Immunology. Mattila ST, and Saarela M (ed.), Functional Dairy Products 1st Edition, 2003, Woodhead Publishing Ltd. and CRC Press. Reprinted 2005.
72
Mechor GD, 1992, Specific gravity of bovine colostrum immunoglobulins as affected by temperature and colostrum components. J Dairy Sci. Nov; 75(11):3131-5. Mehra R J, Marnilla P, Korhonen H, 1992, Milk Immunoglobulins for health promotion: bMTT . Agrifood Research Finland, Biotechnology and Food Research, 31600 Jokioinen, Finland Dairy Sci. National Centre, 1994, Evaluation of the hydrometer for testing immunoglobulin G1 concentrations in Holstein colostrum. J Dairy Sci. Jun ;77(6):1761-7. Patrick TH, Anne C, Selwood AI, Arnold K, Krammer JL, Pearce KN, 2011.Determination of Soluble Immunoglobulin G in Bovine Colostrum Products by Protein G Affinity Chromatography–Turbidity Correction and Method Validation, Journal of Agricultural and Food Chemistry. Pomeranz Y and Meloan CE, 2000, Food Analysis Theory and Practice, Third Edition, A Chapman &Hall Food Sicence Book An Aspen Publication. Pekerti S and Slette J, 2010, GAIN Report, Global Agricultural Information Network, USDA Foreign Agricultural Service, No.ID 1041. Pritchett LC, Gay CC, Besser TE, Hancock DD, 1991, Management and production factors influencing immunoglobulin G1 concentration in colostrum from Holstein cows. J Dairy Sci. Jul; 74(7):2336-41. Sac-Singlas. 2002. Method Validation Of Microbiological Methods, Guidance Note C&B and ENV 002 Smit G (ed.), 2003, Functional dairy products in Dairy procesing, Improving quality, Woodhead Publishing Ltd. and CRC Press, Sporns P, 2004, Immunoassay in Food Analysis Laboratory Manual (Food Science Text series), third ed. Spreer E. 1998, Dairy Product Technology 1st Edition, Marcel Dekker Inc. New York Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. [USP] The United States Pharmacopeia. 2011. 34 NF 27 Volume 1. The United States Pharmacopeial Convection 12601 Twinbrook Parkway. MD 20852 Vadlamudi SK, Stewart WD, Fugate KJ, and Tsakeris TM, 1991, Performancecharacteristics for an immunoassay, Scand. J. Clin. Lab. Invest. 51(Supplement 205):134-138.
73
Williams T, 2007, Immunoglobulins, http://drtedwilliams.net/kb/index.php (12 Januari 2013). [WHO] World Health Organization, Food and Agriculture Organization of The United Nations. 2007, Milk and Milk Products 1st Edition. Codex Alimentarius. Rome. Zeptometrix Corporation, 2010, Immunotek, Quantitative Bovine IgG ELISA, ZMC Catalog#:080119
75
Lampiran 1. 1. Komposisi sampel Susu Bubuk skim dalam 15 g/sachet KOMPOSISI
SAMPEL A
SAMPEL B
SAMPEL C
Lemak (g)
0,15
4,29
1
Protein (g)
4,99
5,77
4
Karbohidrat (g))
7,44
6,80
5
Kolesterol (mg)
-
0
-
Natrium (mg)
45,36
100,92
60 mg
Kalsium (mg)
302,04
238,53
-
Zat besi (mg)
0,05
2,38
-
Magnesium (mg)
12,35
23,81
-
Fosfor (mg)
123,94
143,19
-
Zink (mg)
0,55
4,22
-
Kalium (mg)
165,53
381,68
-
Folat (mcg)
2,68
94,80
-
Vitamin A (IU)
-
1178,22
-
Vitamin B1 (mg)
0,03
0,37
-
Vitamin B2 (mg)
0,23
0,43
-
Vitamin B3 (mg)
0,08
-
-
Vitamin B6 (mg)
0,03
0,48
-
Vitamin B12 (mcg)
0,58
1,46
-
Vitamin C (mg)
1,45
14,28
-
Vitamin D (mcg)
0,06
9,77
-
Vitamin E (IU)
0,01
-
-
Colostrum IgG (mg)
150
180
200
Pantotenat (mg)
0,47
-
-
Mangan (mcg)
4,28
-
-
Iodine (mcg)
4,53
-
-
Sumber : Label produk
76
Lampiran 1.2. Komposisi sampel matriks susu bubuk skim KOMPOSISI
KANDUNGAN
Lemak total (g)
1
Lemak jenuh (g)
0,5
Lemak trans (g)
0
Kolesterol (g)
0
Protein (g)
6
Karbohidrat total (g))
20
Natrium (mg)
90
Kalium (mg)
370
Vitamin A (mcg)
170,8
Vitamin D3 (mcg)
5
Vitamin B1 (mg)
63
Vitamin B2 (mg)
0,5
Vitamin B5 (mg)
15
Vitamin B6 (pg)
72
Vitamin B12 (pg)
0,2
Kalsium (mg)
602
Fosfor (mg)
175,1
Magnesium (mg))
48,3
Seng (mg)
12
Iodium (mcg)
20
Selenium (mcg)
1
Mangan (mcg)
183
Sumber : Label produk
77
Lampiran 2.1 Hasil Pembacaan OD Baku Imunoglobulin G standar (1) (Pengukuran : 10 x Baca interval waktu 5 detik
125 62,5 31,25 15,6 7,8 0 BLANK SUBBLK
1 1,7264 1,0746 0,6352 0,3573 0,2064 0,0714
2 1,7359 1,076 0,6346 0,3564 0,2065 0,0713
3 1,7353 1,0767 0,6347 0,3568 0,2063 0,0713
4 1,7338 1,0775 0,6316 0,3571 0,2063 0,0711
5 1,7339 1,076 0,6336 0,3577 0,2068 0,0715
6 1,7316 1,0774 0,6344 0,3575 0,2071 0,0718
7 1,7308 1,0775 0,6343 0,3577 0,2067 0,0716
8 1,7314 1,0784 0,6339 0,3571 0,2069 0,0718
9 1,7356 1,0756 0,6342 0,3574 0,2072 0,0718
10 1,7372 1,0757 0,6339 0,3574 0,2072 0,0718
Rata Rata OD 1,73319 1,07654 0,63404 0,35724 0,20674 0,07154
0,0675
0,0675
0,0675
0,0677
0,0683
0,0683
0,068
0,0678
0,068
0,0677
0,06783
0,064
0,064
0,0641
0,0642
0,0642
0,0645
0,0642
0,0644
0,0645
0,0642
0,06423
Lampiran 2.2. Hasil Pembacaan OD Baku Imunoglobulin G standar (2)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Rata Rata OD
125
1,8858
1,8868
1,8851
1,8832
1,8817
1,8808
1,8802
1,8861
1,889
1,8914
1,88501
62,5
1,2151
1,2144
1,2143
1,2139
1,2141
1,2139
1,2142
1,2146
1,2142
1,2144
1,21431
31,25
0,6868
0,6868
0,6869
0,6847
0,6857
0,6865
0,6881
0,6871
0,6872
0,6865
0,68663
15,6
0,3812
0,3791
0,3791
0,3793
0,3792
0,3789
0,3794
0,3792
0,379
0,3796
0,3794
7,8
0,2191
0,2198
0,2197
0,2195
0,2194
0,2195
0,2196
0,2193
0,2192
0,2194
0,21945
0
0,0751
0,0754
0,0753
0,0751
0,075
0,0751
0,0751
0,0754
0,0753
0,0755
0,07523
BLANK SUBBLK
0,0685
0,0686
0,0685
0,0685
0,0686
0,0687
0,0689
0,0688
0,0687
0,0687
0,06865
0,0634
0,0636
0,0637
0,0638
0,0634
0,0636
0,0638
0,0638
0,064
0,0639
0,0637
78
Lampiran 2.3. Hasil Pembacaan OD Baku Imunoglobulin G standar (3)
125 62,5 31,25 15,6 7,8 0
1 1,833 1,1728 0,6597 0,3659 0,2148 0,0742
2 1,8319 1,1743 0,6612 0,3686 0,2147 0,0743
3 1,833 1,1749 0,6609 0,368 0,2147 0,074
4 1,8338 1,1752 0,6619 0,3682 0,2148 0,0741
5 1,8344 1,1749 0,6622 0,3688 0,2149 0,0747
6 1,8326 1,1744 0,662 0,3694 0,215 0,0747
7 1,8318 1,1747 0,6615 0,3692 0,2153 0,0747
8 1,8284 1,1737 0,6619 0,3684 0,2151 0,0742
9 1,8255 1,1739 0,6621 0,3688 0,2155 0,0746
10 1,8254 1,1735 0,6631 0,3688 0,2157 0,0742
Rata Rata OD 1,83098 1,17423 0,66165 0,36841 0,21505 0,07437
BLANK SUB-BLK
0,0679 0,0652
0,0678 0,065
0,0678 0,065
0,068 0,0649
0,068 0,0657
0,0678 0,0655
0,0679 0,0652
0,068 0,0651
0,0684 0,0653
0,0682 0,0652
0,06798 0,06521
Lampiran 2.4. Hasil Pembacaan OD Baku Imunoglobulin G standar (4)
125 62,5 31,25 15,6 7,8 0 BLANK SUB-BLK
1 1,7796 1,1448 0,6534 0,372 0,2156 0,0809 0,0697 0,0665
2 1,7828 1,146 0,6518 0,3705 0,216 0,0808 0,0695 0,0665
3 1,779 1,146 0,6526 0,3712 0,2163 0,0811 0,071 0,0668
4 1,7792 1,1465 0,6542 0,3713 0,2162 0,0812 0,071 0,067
5 1,7831 1,1476 0,6537 0,3712 0,2168 0,0813 0,0704 0,0669
6 1,7848 1,1479 0,6544 0,3712 0,217 0,0812 0,0703 0,067
7 1,7892 1,148 0,6553 0,3714 0,2169 0,0812 0,0699 0,0671
8 1,7894 1,1497 0,6552 0,3719 0,2167 0,0818 0,07 0,0673
9 1,7907 1,1511 0,6557 0,372 0,2169 0,0815 0,07 0,0671
10 1,7871 1,1514 0,6551 0,3721 0,2167 0,0815 0,0699 0,0669
Rata Rata OD 1,78449 1,1479 0,65414 0,37148 0,21651 0,08125 0,07017 0,06691
79
Lampiran 2.5. Hasil Pembacaan OD Baku Imunoglobulin G standar (5)
125 62,5 31,25 15,6 7,8 0 BLANK SUB BLK
1 1,8096 1,1494 0,6691 0,3627 0,213 0,07291 0,06825 0,06396
2 1,8089 1,1499 0,6694 0,3639 0,2139 0,073 0,06826 0,06397
3 1,8065 1,1487 0,66 0,3637 0,2132 0,07291 0,06821 0,06495
4 1,807 1,1492 0,6664 0,364 0,213 0,0789 0,06825 0,06396
5 1,8047 1,1493 0,6605 0,3643 0,2134 0,07291 0,0682 0,06393
6 1,8005 1,1404 0,6601 0,3643 0,2134 0,0722 0,06823 0,063930
7 1,8074 1,1499 0,6689 0,3645 0,2136 0,0723 0,06827 0,06397
8 1,8004 1,1481 0,6679 0,3636 0,2132 0,07230 0,06823 0,06396
9 1,8091 1,1487 0,6685 0,3638 0,2139 0,0729 0,06821 0,06395
10 1,8076 1,1476 0,6601 0,3638 0,2135 0,0729 0,0682 0,06397
Rata Rata OD 1,8091 1,14542 0,660335 0,36832 0,21309 0,07295 0,06824 0,063965
Lampiran 2.6. Hasil Pembacaan OD Baku Imunoglobulin G standar (6)
125 62,5 31,25 15,6 7,8 0
1 1,8448 1,1901 0,6752 0,3733 0,2173 0,075
2 1,8438 1,192 0,6751 0,3736 0,2173 0,0748
3 1,8458 1,1932 0,6752 0,3736 0,2172 0,075
4 1,8483 1,1962 0,6793 0,3734 0,2174 0,0749
5 1,8487 1,195 0,6772 0,3732 0,2172 0,0746
6 1,8445 1,1905 0,6768 0,3735 0,2173 0,0752
7 1,8488 1,1902 0,6775 0,3737 0,2177 0,0749
8 1,8483 1,1938 0,6782 0,3738 0,2173 0,073
9 1,8464 1,1958 0,6779 0,3732 0,2173 0,0750
10 1,8456 1,1661 0,6784 0,3733 0,2177 0,0749
BLANK SUB- BLK
0,0682 0,0649
0,0681 0,0648
0,0682 0,0647
0,068 0,0657
0,0681 0,0644
0,0680 0,0645
0,0684 0,06446
0,0682 0,064
0,0687 0,0642
0,0683 0,064
Rata Rata OD 1.84741 1,19427 0,67414 0,373905 0,21725 0,0748 0,068315 0,064455
80
Lampiran 2.7. Hasil Pembacaan OD Baku Imunoglobulin G standar (7)
125 62,5 31,25 15,6 7,8 0 BLANK SUB BLK
1 1,8196 1,1594 0,6591 0,3627 0,211 0,0781 0,0691 0,0665
2 1,8189 1,1699 0,6594 0,3639 0,2109 0,0783 0,0692 0,0665
3 1,8165 1,1587 0,66 0,3637 0,2102 0,0781 0,0691 0,0665
4 1,817 1,1692 0,6564 0,364 0,214 0,0778 0,0691 0,0663
5 1,8147 1,1593 0,6605 0,3643 0,2104 0,0781 0,0692 0,0662
6 1,8105 1,1904 0,6601 0,3643 0,2104 0,078 0,0692 0,0663
7 1,8174 1,1499 0,6589 0,3645 0,2106 0,0783 0,0692 0,0662
8 1,8104 1,1481 0,6579 0,3636 0,2112 0,0778 0,0691 0,0661
9 1,8191 1,1587 0,6585 0,3638 0,2109 0,078 0,0699 0,0662
10 1,8176 1,1576 0,6601 0,3638 0,2115 0,0781 0,0692 0,0664
Rata Rata OD 1,812145 1,159825 0,657895 0,369945 0,21578 0,07790 0,06908 0,06606