Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
EFEKTIFITAS NATRIUM KALSIUM ALUMINOSILIKAT HIDRAT DALAM PENURUNAN RESIDU AFLATOKSIN PADA DAGING DAN HATI AYAM BROILER (Effectiveness of Hydroted Sodium Calcium Aluminosilicate to Reduce Aflatoxin Residue in Meat and Liver of Broiler) ROMSYAH MARYAM1) HERMENIGILDA NEHAT2) RACHMAT FIRMANSYAH1) SITI DJUARIAH1)dan MIHARJA1) 1)
Balai Penelitian Vetriner, PO Box 151, Bogor 16114 Akademi Kimia Analisis. Jl. Ir.H.Juanda No. 7, Bogor
2)
ABSTRACT The effectiveness of hydrated sodium calcium aluminosilicate (HSCAS) to minimize aflatoxin residues was studied in broiler chickens. Four weeks old chickens were given feed added with aflatoxin B1 (AFB1 0, 200 and 400 ppb) and HSCAS (0, 0.2, 0.4, 0.6%) for 5 weeks period. The weight gain was observed weekly and the aflatoxin residues in meat and liver were analyzed by fluorescence detection on high performance liquid chromatography (HPLC) at the end of the study. The addition of HSCAS in feed containing the aflatoxin reduced the AFB1 residue in the liver, but there was no clear pattern of the reduction of AFM1 in the chicken meat and liver. Key words: Hydrated sodium calcium aluminosilicate, aflatoxins, residue, chicken ABSTRAK Penelitian pengaruh bahan pengikat natrium kalsium aluminosilikat hidrat (NKASH) telah dilakukan untuk mengetahui efektifitas bahan tersebut terhadap kandungan residu aflatoksin dalam daging dan hati ayam broiler. Percobaan dilakukan dengan menggunakan ayam pedaging berumur 4 minggu yang diberi ransum yang ditambahkan aflatoksin B1 (AFB1 0, 200 dan 400 ppb) dan bahan pengikat natrium kalsium alumina silikat hidrat (0; 0,2; 0,4 dan 0,6%) selama 5 minggu. Pertumbuhan ayam diamati setiap minggu dan residu aflatoksin dalam daging dan hati dianalisis pada akhir percobaan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dengan detektor fluoresensi. Penambahan NKASH pada pakan mengandung aflatoksin menunjukkan adanya penurunan kandungan AFB1 pada hati, namun tidak berpengaruh terhadap kandungan M1 (AFM1) pada daging dan hati ayam. Kata kunci: Natrium kalsium aluminosilikat hidrat, aflatoksin, residu, ayam
PENDAHULUAN Kebutuhan akan protein hewani dewasa ini semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya status gizi masyarakat Indonesia. Ayam pedaging merupakan sumber protein hewani yang paling banyak dikonsumsi. Namun untuk memenuhi kebutuhan konsumen para peternak ayam pedaging masih mengalami berbagai kendala, diantaranya cemaran aflatoksin pada pakan/bahan pakan. Cemaran mikotoksin ini tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan dan produktivitas ternak, tetapi juga menimbulkan residu pada produk peternakan. Aflatoksin yang merupakan metabolit sekunder kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus selalu ditemukan pada bahan pakan/pakan ternak (GINTING, 1984a; GINTING, 1984b; 708
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
GINTING, 1985; WIDIASTUTI et al., 1988). Aflatoksin, terutama aflatoksin B1 (AFB1) sangat potensil menimbulkan kanker hati, menurunkan produktivitas dan menghambat pertumbuhan, serta menyebabkan rentannya hewan terhadap serangan penyakit. Selain itu, di dalam tubuh toksin ini termetabolisme dan metabolitnya terdistribusi ke dalam daging, hati dan telur sehingga dapat mengganggu kesehatan manusia yang mengkonsumsinya (DALVI dan ADEMOYERO, 1984; BRYDEN dan CUMMING, 1980). MARYAM et al. (1995) mendeteksi adanya residu aflatoksin dan metabolitnya dalam telur , daging dan hati ayam. (MADDEN and STAHR,1995, MARYAM et al. 1995; MARYAM, 1996). Pengaruh aflatoksin pada hewan mamalia lebih kecil dibandingkan pada unggas, namun keberadaan senyawa ini beserta metabolitnya ditemukan pada produk peternakan seperti susu (BAHRI et al., 1991 dan 1995b), daging dan hati sapi (STUBBLEFIELD and SHOTWELL, 1981, WIDIASTUTI, 1999). Mengingat kerugian ekonomi dan bahayanya bagi ternak maupun manusia sebagai konsumen, maka tindakan pencegahan dan penanggulangan cemaran aflatoksin pada pakan/bahan pakan ini perlu dilakukan. Berbagai bahan pengikat mikotoksin telah diteliti dan digunakan untuk mengurangi cemaran mikotoksin pada pakan/bahan pakan, diantaranya natrium kalsium aluminosilikat hidrat (NKASH). NKASH merupakan senyawa kompleks dari mineral alam yang memiliki ukuran molekul yang besar sehingga mampu beraffinitas dengan mikotoksin. Secara in vitro NKASH dapat mengikat AFB1 dan mencegah terjadinya aflatoksikosis pada ayam (PHILLIPS et al., 1988; DOERR, 1989; KUBENA et al., 1990). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas bahan pengikat NKASH terhadap penurunan residu aflatoksin dan metabolitnya pada ayam pedaging. MATERI DAN METODE Percobaan ini menggunakan 60 ekor ayam pedaging berumur 4 minggu, yang dibagi dalam 12 kelompok perlakuan dengan rancangan faktorial 3x4. Dosis aflatoksin B1 (AFB1) yang ditambahkan ke dalam pakan yaitu 0 (basal) , 200 dan 400 ppb dengan bahan pengikat NAKSH pada level 0; 0,2; 0,4 dan 0,6%. Pemberian ransum berlangsung selama lima minggu, dan pengamatan terhadap peningkatan bobot badan dilakukan setiap minggu. Pada akhir penelitian ayam diterminasi, diambil hati dan dagingnya untuk dianalisis terhadap kandungan residu AFB1 dan metabolitnya (AFM1 ) dan aflatoksikol (Ro). Analisis residu senyawa tersebut dilakukan dengan merujuk pada metode yang dikembangkan oleh STUBBLEFIELD dan SHOTWELL (1981). Sebanyak 25 gram sampel daging dan hati yang telah dihaluskan ditambahkan 25 ml asam sitrat 20% dan dikocok selama lima menit, kemudian ditambahkan 50 ml diklorometan dan dikocok kembali selama 30 menit dengan menggunakan shaker. Cairan disaring dan volume yang tertampung diukur, lalu diuapkan hingga tersisa 1-2 ml. Ekstrak tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kolom kromatografi yang berisi silika gel 60 dan sodium sulfat di atasnya yang telah dibasahi dengan n-heksan-kloroform (1:1, v/v). Selanjutnya kolom berturut-turut dibilas dengan 25 ml toluene/asam asetat (9/1, v/v), 25 ml n-heksan dan 25 ml asetonitril/eter/n-heksan (1:3:6, v/v). AFB1, AFM1 dan aflatoksikol (Ro) dielusi dengan 40 ml kloroform/aseton (4/1, v/v), kemudian diuapkan hingga kering dengan menggunakan rotary evaporator. Selanjutnya ekstrak sampel diderivatisasi dengan menambahkan 200 µL n-heksan dan
709
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
50 µL asam trifluoroasetat, dibiarkan 15 menit dan dikeringkan lalu dilarutkan kembali dengan fasa gerak sebelum dideteksi pada alat kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Deteksi dan AFB1, AFM1, Ro dilakukan dengan menggunakan KCKT (Waters-Millipore) yang dilengkapi dengan kolom µ-Bondapak C18 dan detektor fluoresensi dengan panjang gelombang eksitasi 365 nm dan emisi 425 nm. Fasa gerak yang digunakan yaitu campuran air/isopropanol/asetonitril (80/12/8, v/v/v) dengan kecepatan alir 1 ml/menit. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan bahan pengikat NKASH terhadap pengikatan aflatoksin dan adanya interaksi kedua faktor tersebut dilakukan analisis ragam dan uji F. Faktor aflatoksin terdiri dari 3 level dosis penambahan AFB1, yaitu 0, 200 dan 400 ppb. Sedangkan faktor bahan pengikat NKASH terdiri atas 4 level dosis yaitu 0; 0,2; 0,4 dan 0,6%. Model matematik yang digunakan adalah: Yijk= U+ Ai + Bj + ABij+ E, dimana i = 1,2,………………………., a j = 1,2,………………………., b k =1,2,………………………., n Yijk= variabel respon karena pengaruh gabungan taraf ke “i” faktor AFB1 dan taraf ke “j” faktor NKASH pada pengamatan ke “k” U = pengaruh rata-rata (sebenarnya) Ai = Pengaruh faktor AFB1 taraf ke “i” Bj = Pengaruh NKASH tarah ke “j” ABij = Pengaruh interaksi antara taraf ke “i” faktor AFB1 dan taraf ke “j” faktor NKASH Eijk = Galat percobaan untuk taraf ke “i” , taraf ke “j” pada ulangan ke “k” HASIL DAN PEMBAHASAN Pada ayam yang diberi ransum tanpa dan dengan penambahan AFB1, adanya bahan pengikat NKASH tidak memberikan perbedaan kenaikan bobot badan yang berarti, seperti terlihat pada Gambar 1, 2 dan 3. Hasil analisis menunjukkan adanya residu AFB1 dan AFM1 sebagai metabolitnya dalam hati, namun pada sampel daging hanya terdeteksi AFM1. Sedangkan Ro tidak terdeteksi baik pada sampel hati maupun daging yang dianalisis. Berdasarkan hasil analisis tersebut terlihat adanya residu AFB1 dan AFM1, namun metabolit Ro tidak ditemukan dalam hati ayam. Di dalam organ ini, AFB1 mengalami hidrolisis menjadi metabolitnya yaitu AFM1. Kandungan residu AFB1 dan AFM1 terlihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
710
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
3000
Bobot badan
2500 KB0
2000
KB1
1500
KB2 KB3
1000 500 0 0
1
2
3
4
5
Minggu
Gambar 1. Bobot badan ayam yang diberi perlakuan NKASH tanpa penambahan AFB1
3000
Bobot badan (g)
2500 2000 1500 A1B0 A1B1 A1B2 A1B3
1000 500 0 0
1
2
3
4
5
Minggu Gambar 2. Bobot badan ayam yang diberi perlakuan NKASH dengan penambahan AFB1 200 ppb
711
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
3000
Bobot badan (g)
2500 2000 1500
A2B0 A2B1 A2B2 A2B3
1000 500 0
0
1
2
3
4
5
Minggu
Gambar 3. Bobot badan ayam yang diberi perlakuan NKASH dengan penambahan AFB1 400 ppb Tabel 1. Residu aflatoksin B1 dalam hati ayam yang mendapat perlakuan aflatoksin dan bahan pengikat NKASH selama lima minggu Dosis NKASH (%)
Rataan residu AFB1 pada tingkat penambahan AFB1 (ppb) 0
200
400
0
0,82
3,68
8,99
0,2
0,74
2,89
5,17
0,4
0,51
2,06
4,07
0,6
0,46
1,98
3,05
Dari tabel tersebut terlihat adanya penurunan residu AFB1 dalam hati, sesuai dengan dosis NKASH yang ditambahkan. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya interaksi yang nyata antara level dosis AFB1 yang diberikan dengan level dosis bahan pengikat, dimana Fhitung >Ftabel pada aras 0,05 dengan derajat kebebasan (2,32) dan (3,32). Masing-masing faktor (dosis AFB1 dan bahna pengikat memberikan pengaruh yang bermakna terhadap penurunan kandungan AFB1 dalam hati. Di sisi lain, penambahan NKASH tidak berpengaruh terhadap penurunan residu AFM1 dalam hati, seperti terlihat pada Tabel 2. Dari tabel tersebut tidak terlihat adanya pola penurunan yang jelas dari AFM1. Hal ini dapat terjadi karena adanya distribusi metabolit ke dalam bagian tubuh lainnya.
712
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Tabel 2. Residu aflatoksin M1 dalam hati ayam yang mendapat perlakuan aflatoksin dan bahan pengikat NKASH selama lima minggu Dosis NKASH (%)
Rataan Residu AFM1 pada tingkat penambahan AFB1 (ppb) 0
200
400
0
0,68
2,98
6,54
0,2
0,52
2,23
6,54
0,4
0,50
2,98
7,14
0,6
0,46
2,38
5,8
Di dalam daging, hanya AFM1 yang terdeteksi sedangkan residu AFB1 dan Ro tidak ditemukan. Tidak terdeteksinya AFB1 dalam jaringan tersebut disebabkan oleh adanya proses hidrolisis toksin tersebut di dalam tubuh menjadi AFM1. Hal ini sesuai dengan BRYDEN dan CUMMING (1980) yang menyatakan bahwa tidak adanya distribusi AFB1 ke dalam daging yang disebabkan oleh termetabolismenya sebagian besar AFB1 di dalam hati, sehingga hanya metabolitya yang terdapat dalam daging (AFM1). Tabel 3. Residu aflatoksin M1 dalam daging ayam yang mendapat perlakuan aflatoksin dan bahan pengikat NKASH selama lima minggu Dosis NKASH (%)
Rataan residu AFM1 pada tingkat penambahan AFB1 (ppb) 0
200
400
0
0,48
2,08
2,98
0,2
0,42
1,93
2,83
0,4
0,32
2,83
1,93
0,6
0,24
1,93
2,83
Menurut MADDEN dan STAHR (1995), ayam yang diberi ransum mengandung aflatoksin dapat menimbulkan residu dalam daging dan hatinya. Terlihat pula bahwa residu AFM1 dalam hati lebih besar dibandingkan dalam daging karena hati merupakan tempat terjadinya proses metabolisme dan netralisasi senyawa toksik, sehingga sebagian besar aflatoksin terakumulasi dalam hati (STUBBLEFIELD dan SHOTWELL, 1981). Secara umum, penambahan bahan pengikat NKASH menunjukkan adanya penurunan terhadap rataan residu AFB1 karena sebagian AFB1 telah terhidrolisis menjadi AFM1. Namun, penurunan residu AFM1 dalam hati dan daging tidak memberikan pola yang jelas. Hal ini disebabkan karena metabolit yang terbentuk (AFM1 dan Ro) dapat terdistribusi ke dalam organ tubuh lainnya atau ke dalam cairan tubuh seperti darah atau tersekresi bersama feses dan urin karena metabolit tersebut lebih mudah larut dalam air.
713
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil percobaan tersebut dapat disimpulkan bahwa penambahan bahna pengikat NKASH tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap kenaikan bobot badan ayam selama percobaan. Residu AFB1 dan AFM1 sebagai metabolitnya masih terdapat pada hati ayam, sedangkan pada daging hanya terdeteksi AFM1. Aflatoksikol tidak terdeteksi baik pada sampel hati dan daging ayam yang diberi perlakuan AFB1 dan NKASH. Kandungan residu AFM1 dalam hati lebih besar dibandingkan dalam daging, karena hati merupakan pusat metabolisme dan tempat terjadinya netralisasi senyawa toksink di dalam tubuh dan dapat pula disebabkan karena adanya distribusi metabolit terebut ke dalam bagian tubuh lainnya. Penambahan bahan pengikat NKASH hanya berpengaruh terhadap penurunan AFB1, namun tidak berpengaruh terhadap kandungan AFM1 pada hati dan daging ayam dengan pola penurunan yang tidak jelas. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi metabolisme hewan dan oleh adanya distribusi metabolit tersebut ke dalam bagian tubuh lainnya atau cairan tubuh (darah dan urin) serta feses. Disarankan untuk mempelajari mekanisme pengikatan NKASH terhadap aflatoksin secara mendalam, sehingga penggunaan bahan pengikat ini dapat lebih efektif dan efisien. DAFTAR PUSTAKA BAHRI, S., P. ZAHARI, R. MARYAM dan NG. GINTING. 1991. Residu aflatoksin M1 pada susu sapi asal beberapa daerah di Jawa Barat. Makalah dipresentasikan pada kongres XI dan Kongres Ilmiah Nasional V PDHI di Yogyakarta, 11-13 Juli 1991. BAHRI, S., R. MARYAM, R. WIDIASTUTI dan P. ZAHARI. 1995b. Aflatoksikosis dan cemaran aflatoksin pada pakan serta produk ternak. Prosiding Smeinar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. p: 95-107. BRYDEN W, CUMMING RB. 1980. Observation on liver following aflatoxin B1 ingestion. Avian Pathology 9: 551-6. DALVI R, ADEMOYERO A. 1984. Toxic effect on aflatoxin B1 in chickens given feed contaminated with Aspergillus flavus and reduction of the toxicity by activated charcoal and some chemical agents. Avian Diseases 28 (1): 61-69. DOERR JA. 1989. Effect of an aluminosilicate on broler chickens during aflatoxicosis. Poultry Science 68 (Suppl. 1): 45 (Abstract). GINTING NG. 1984b. Aflatoksin pada pakan ayam pedaging di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya dan Kotamadya Pontianak. Penyakit Hewan 28: 212-214. GINTING NG. 1984a. Aflatoksin dalam bahan baku pakan dan pakan ayam pedaging: I.Di daerah Bogor. Penyakit Hewan 27: 152-155. GINTING NG. 1985. Aflatoxin in broiler diets in Indonesia. Proceedings 3rd AAAP Animal Science Congress. May 6-10, 1985. Seoul, Korea p.528-520.
714
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
KUBENA LF, HARVEY RB, PHILLIPS TD, CORRIER DE, HUFF WE. 1990. Diminution of aflatoxicosis in growing chickens by the dietary addition of hydrated sodium calcium aluminosilicate. Poultry Science 69: 727735. MADDEN UA, STAHR HM. 1995. Retention and distribution of afltoxin in tissues of chicks fed aflatoxincontaminated poultry ration amanded with soil. Veterinary and Human Toxicology 37 (1): 24-29. MARYAM R, BAHRI S, ZAHARI P. 1995. Deteksi aflatoksin B1, M1 dan aflatoksikol dalam telur ayam ras denga kromatografi cair kinerja tinggi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Veteriner Untuk Meningkatkan Kesehatan Hewan dan Keamanan Bahan Pangan Asal Ternak. Cisarua, Bogor 22-24 Maret 1994, 412416. MARYAM R. 1996. Residu aflatoksin dan metabolitnya dalam daging dan hati ayam. Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner. Bogor 12-13 Maret 1996. Halaman: 336-338. PHILLIPS TD, KUBENA LF, HARVEY RB, TAYLOR DK and HEIDELBAUGH ND. 1988. Hydrated sodium calcium aluminosilicate: a high affinity sorbent for aflatoxin. Poultry Science 67: 243-247. STUBBLEFIELD RD, SHOTWELL OL. 1981. Transmission and distribution of aflatoxin in contaminated beef liver and other tissues. J.AOAC. 1015A-1016A. WIDIASTUTI. 1999. Residu aflatoksin pada daging dan hati sapi di pasar tradisional dan swalayan di Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Hal: 609-614. WIDIASTUTI R, MARYAM R, BLANEY BJ, SALFINA, STOLTZ DR. 1988. Corn as a source of mycotoxins in Indonesian poultry feeds and the effectiveness of visual examination methods for detecting contamination. Mycopathologia 102: 45-49.
715