Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
PENURUNAN RESIDU AFLATOKSIN B1 DAN M1 PADA HATI ITIK DENGAN PEMBERIAN KULTUR Saccharomyces cerevisiae DAN Rhizopus oligosporus (Reduction of Aflatoxin B1 and M1 residues in ducks liver by giving culture of Saccharomyces cerevisiae and Rhizopus oligosporus) ENI KUSUMANINGTYAS, RAPHAELA WIDIASTUTI dan ROMSYAH MARYAM Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
ABSTRACT Saccharomyces cerevisiae (Sc) and Rhizopus oligosporus (Ro) was able to reduce aflatoxin produced by Aspergillus flavus or Aspergillus parasiticus in vitro. This experiment was conducted in order to find out the effect of Sc, Ro and their mixture (ScRo) addition in feed on aflatoxin (AF) residue in ducks liver. Sc, Ro and ScRo were given by mixing 1.5 g inoculum/kg feed while AF were given 200 ppb/kg feed. Twenty five ducks were divided into five treatment: feed; feed and AF; feed, AF and Sc; feed, AF and Ro; feed, AF and ScRo. Ducks was growed for two months. Concentration of AF residue was measured by using High Performance Liquid Chromatografy. The result showed that AFB1 and AFM1 residues in Ro treatment were lower than positive control. AFB1 residues in Sc and ScRo treatments were lower than positive control but those of AFM1 were higher than control. Based on the result, Sc and Ro are better given separately. Key Words: Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus, Aflatoxin, Duck ABSTRAK Saccharomyces cerevisiae (Sc) dan Rhizopus oligosporus (Ro) dilaporkan dapat menurunkan produksi aflatoksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus maupun Aspergillus parasiticus secara in-vitro. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan kultur Sc, Ro dan campurannya (ScRo) dalam pakan terhadap residu aflatoksin (AF) pada hati itik. Pemberian Sc, Ro dan ScRo dilakukan dengan mencampurkan 1,5 g inokulum/kg pakan sedangkan AF diberikan 200 ppb/kg pakan. Duapuluh lima itik dibagi lima perlakuan yaitu: pakan; pakan dan (AF); pakan, (AF) dan Sc; pakan, (AF), Ro; pakan, (AF), ScRo dan dipelihara selama dua bulan. Pemeriksaan kandungan residu AF dilakukan dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Hasil pemeriksaan pada perlakuan dengan Ro menunjukkan bahwa kandungan residu AFB1 dan AFM1 pada hati itik lebih rendah dibandingkan pada kontrol positif. Residu AFB1 pada kelompok Sc dan ScRo lebih rendah dibandingkan kontrol tetapi residu AFM1 lebih tinggi. Berdasarkan hasil tersebut sebaiknya pemakaian Sc atau Ro diberikan terpisah. Kata Kunci: Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus, Aflatoksin, Itik
PENDAHULUAN Aflatoksin merupakan senyawa metabolit sekunder dari kapang Aspergillus flavus, A. parasiticus dan A. nomius yang banyak mengkontaminasi berbagai jenis komoditi pertanian seperti kacang-kacangan, jagung, beras, palawija dan hasil olahannya. Aflatoksin juga ditemukan pada bahan pakan dan pakan ternak sebagai penyebab terjadinya aflatoksikosis dan residu aflatoksin pada produk peternakan. Aflatoksikosis dapat terjadi
790
karena manusia atau hewan yang mengkonsumsi makanan yang mengandung aflatoksin. Pada sapi yang terkena aflatoksikosis kurang berpengaruh pada produksi tetapi residu aflatosin pada produknya seperti daging dan susu ikut dalam rantai makanan (KUIPER-GODMAN, 1991). Residu aflatoksin dapat berupa aflatoksin B1 (AFB1), aflatoksin B2 (AFB2), aflatoksin M1 (AFM1) dan aflatoksikol (AFL) (OLIVEIRA et al., 2003). Residu aflatoksin sering terdeteksi pada organ seperti hati, ginjal dan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
daging (MICCO et al., 1988). Residu AFM1 pada hati ditemukan pada semua kijang yang diperlakukan dengan aflatoksin (QUIST et al., 1997). Residu juga ditemukan pada telur ayam yang mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi aflatoksin (TRUCKSESS dan STOLOFF, 1984). Pada manusia, AFB1 berpotensi sebagai hepatotoksik dan hepatokarsinogenik (RASTOGI et al., 2001) dan berhubungan dengan hepatoselular karsinoma (RASTOGI, 2006). Aflatoksin juga dilaporkan menurunkan fertilitas (IBEH et al., 2000). Beberapa upaya telah dilakukan untuk menanggulangi residu aflatoksin diantaranya dengan penggunaan sodium calsium aluminosilicate (HSCAS) untuk mengabsorbsi aflatoksin (BINGHAM et al., 2004). Penggunaan HSCAS 4% pada pemberian 200 ppb aflatoksin pada makanan dapat menurunkan 86,9% residu AFM1 pada susu sapi sedangkan pada diet aflatoksin 100 ppb yang diberi HSCAS 1% dapat menurunkan residu aflatoksin 51,9%. (SMITH et al., 1994). Upaya lain adalah dengan penggunaan mikroorganisme kompetitor untuk menurunkan produksi aflatoksin seperti Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus nonaflatoksigenik (DORNER et al., 1999), Nannocystis exedens (TAYLOR dan DRAUGHON, 2001) dan Kluyveromices spp. (LA PENNA et al., 2004). Walaupun demikian penelitian mengenai penggunaan mikroorganisme untuk menurunkan residu aflatoksin pada hati dan daging pada itik belum banyak diketahui. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Saccharomyces cerevisiae dan Rhizopus oligosporus terhadap residu AFB1 dan AFM1 pada hati itik. MATERI DAN METODE Isolat. Saccharomyces cerevisiae (F0206), Rhizopus oligosporus (Ro; F0216) dan Aspergillus flavus (F0213) diperoleh dari Balitvet Culture Collection (BCC) Bogor. Pembuatan inokulum. Pembuatan inokulum Saccharomyces cerevisiae (Sc) dan Rhizopus oligosporus (Ro) dan campuran Saccharomyces cerevisiae dan Rhizopus oligosporus (ScRo) dilakukan menggunakan metode KUSUMANINGTYAS et al. (2005). Sc
dan Ro ditumbuhkan dalam media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) miring dan diinkubasi pada suhu 28°C selama tiga hari untuk Sc dan lima hari untuk Ro. Inokulum dipanen dengan melarutkannya dalam air suling steril. Jumlah spora Ro atau sel Sc dihitung kemudian diencerkan untuk mendapatkan suspensi yang mengandung 106 spora/sel/ml. Tepung beras disiapkan dalam erlenmeyer masing-masing 250 g dan disterilisasi pada suhu 121°C selama 15 menit. Sterilitas tepung diuji dengan metode pembiakan pengenceran (THOMPSON,1969). Sc, Ro dan campuran ScRo sebanyak 10 ml yang berisi 106 sel/spora/ml masing-masing diinokulasikan ke dalam 250 g tepung beras dan diinkubasi dalam suhu 28°C selama lima hari. Setelah lima hari, inokulum Sc, Ro dan ScRo dikeringkan dalam oven pada suhu 40°C selama 24 jam. Inokulum kemudian disimpan pada suhu 4°C sampai digunakan. Produksi Aflatoksin. Spora Aspergillus flavus dipanen dengan melarutkan spora dalam air suling steril dan dipindahkan ke dalam tabung baru. Media PDB disiapkan sebanyak 500 ml, kemudian diinokulasikan suspensi spora Aspergillus flavus sehingga konsetrasi akhir menjadi 106 sel/spora per ml. Inokulum diinkubasi selama 10 hari. Inokulum A flavus dimatikan dengan menggunakan autoclave pada suhu 121°C selama 30 menit. Selanjutnya dihomogenisasi dengan blender 2 menit. Untuk pengukuran kadar aflatoksin dilakukan ekstraksi dan dianalisis dengan HPLC. Perlakuan. Pakan untuk percobaan disiapkan dengan mencampurkan aflatoksin yang telah dibuat dengan pakan sehingga konsentrasi aflatoksin adalah 200 ppb/kg pakan. Pemberian Sc, Ro dan ScRo dilakukan dengan mencampurkan 1,5 g inokulum / kg pakan. Itik yang digunakan adalah itik betina yang kemudian diberi perlakuan sebagai berikut: (I) Kontrol negatif, itik diberi pakan tanpa AFB1; (II) Kontrol positif, itik diberi pakan yang mengandung AFB1; (III) itik diberi ransum yang mengandung AFB1 + inokulum Sc 1,5 g/kg pakan; (IV) itik diberi ransum yang mengandung AFB1 + inokulum Ro 1,5 g/kg pakan; (V) itik diberi ransum yang mengandung AFB1 + inokulum ScRo 1,5 gram per kg pakan. Itik diberi perlakuan setiap hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu, itik dibunuh sampel hati diambil untuk diukur kadar residu aflatoksin B1 dan M1. Pengukuran dilakukan
791
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
dengan menggunakan tiga hati itik sampel untuk setiap perlakuan. Penentuan kadar aflatoksin. Sebanyak 25 g sampel hati itik yang telah dicincang halus ditambah dengan 25 ml asam sitrat 20% dan dikocok selama 5 menit agar tercampur merata. Kemudian tambahkan 50 mL diklorometana dan sodium sulfat anhidrat dan dikocok kembali menggunakan shaker selama 30 menit dan selanjutnya disaring dan dikeringkan hingga mendekati volume 1 – 2 mL. Ekstrak kemudian dimasukkan ke dalam kolom kromatografi yang terdiri atas silika gel 60 dan sodium sulfat anhidrat yang telah dikondisikan dengan 5 mL campuran n-heksana-kloroform (1 : 1). Kolom dicuci dengan 25 mL toluen-asam asetat (9 : 1), 25 mL n-heksana-asetonitril-eter (6 : 1 : 3). Residu aflatoksin dielusi dengan 40 mL kloroform-aseton (4 : 1) dan dikeringkan menggunakan rotary evaporator. Residu diderivatisasi dengan menambahkan 50 µl trifluoroasetat dab 200 µl n-heksana dan dipanaskan pada suhu 110°C selama 15 menit. Selanjutnya ekstrak dilarutkan dengan 200 ul fasa gerak dan dianalisis dengan KCKT dengan kolom µ-Bondapak C18, fasa gerak airmetanol-asam asetat (65 : 15 : 20) dan dideteksi dengan fluoresen detektor pada panjang gelombang eksitasi 265 nm dan emisi 425 nm. Analisa statistik. Data residu aflatoksin pada hati itik dianalisis dengan menggunakan ANOVA untuk membedakan hasil antar perlakuan. HASIL DAN PEMBAHASAN Aflatoksin merupakan metabolit skunder yang diproduksi oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus (COTTY et al., 1994; SCUDAMORE et al, 1994). Aflatoksin bersifat hapatotoksik dan hapatokarsinogenik dan dapat menyebabkan penurunan produksi pada ternak dan sering berhubungan dengan kejadian kanker hati pada manusia (DIENNER et al., 1987; BERRY, 1988; CHU, 1991, JAIMEZ et al., 2003). Aflatoxin selain dapat menyebabkan sakit dapat juga menyebabkan kematian apabila bahan makanan yang dikonsumsi terkontaminasi oleh aflatoksin (CAST, 1999). Konsumsi makanan yang mengandung aflatoksin dapat menyebabkan aflatoksikosis. Oleh karena itu perlu diwaspadai bahan
792
makanan yang mengandung aflatoksin termasuk produk peternakan yang mengandung residu aflatoksin. Aflatoksin yang sering ditemukan dan dikenal paling toksik adalah AFB1. AFB1 yang tercampur dalam diet pakan ternak dapat menyebabkan residu terutama pada hati, ginjal dan daging. Residu yang dihasilkan dapat berupa AFB1, AFB2, AFM1 atau aflatoksikol. Beberapa alternatif untuk mencegah timbulnya residu pada produk peternakan adalah dengan penanganan pakan ternak dengan sekecil mungkin mengandung aflatoksin. Penanggulangan dapat dilakukan dengan menghambat pertumbuhan kapang penghasil aflatoksin atau dengan mengikat aflatoksin yang terkandung dalam pakan. Saccharomyces cerevisiae (Sc) telah lama dikenal sebagai feed additif untuk ruminansia (CHAUCHEYRAS et al., 1996) dan dilaporkan dapat mendegradasi mikotoksin (YIANKOURIS et al., 2004; 2006). Sementara itu, Rhizopus oligosporus (Ro) secara komersial telah digunakan untuk meningkatkan kualitas pakan ternak (SABU et al., 2002). SANTA et al, (1999) melaporkan bahwa Rhizopus spp dapat menghambat sintesis aflatoksin secara in vitro sampai 90%. Pada penelitian ini digunakan Saccharomyces cerevisiae (Sc), Rhizopus oligosporus (Ro) dan kombinasinya (ScRo) untuk mereduksi residu aflatoksin pada hati itik. Seperti terlihat pada Tabel 1, pada kelompok perlakuan yang diberi Sc dan Ro residu aflatoksin B1 (AFB1) lebih rendah dibandingkan dengan kontrol positif. Bahkan, pada pemberian Sc dan Ro secara tunggal dapat menurunkan residu AFB1 sampai pada level tidak terdeteksi. Namun pemberian Sc atau ScRo justru meningkatkan residu AFM1 dan residu yang terukur lebih besar daripada kontrol positif tanpa perlakuan. Dari hasil tersebut di atas dapat diketahui bahwa Ro yang diberikan secara tunggal mempunyai potensi untuk menurunkan residu AFB1 dan AFM1 yang lebih besar daripada Sc atau Ro yang ditambahkan bersama-sama dengan Sc. Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh KUSUMANINGTYAS et al. (2006) bahwa Ro yang ditambahkan secara tunggal dapat menurunkan konsentrasi aflatoksin pada pakan lebih baik daripada apabila diberikan bersamasama dengan Sc.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Tabel 1. Residu aflatoksin B1 dan M1 pada hati itik dengan pemberian Saccharomyces cerevisiae (Sc) dan/atau Rhizopus oligosporus (Ro) setelah 8 minggu perlakuan Kelompok Kontrol negatif
Konsentrasi rata-rata AFB1 (ppb) ± SD
Konsentrasi rata-rata AFM1 (ppb) ± SD
Tidak terdeteksi
0,0023 ± 0,00
0,0184 ± 0,01
0,0035 ± 0,00
Pakan + AF + Sc
Tidak terdeteksi
0,0210 ± 0,03
Pakan+ AF + Ro
Tidak terdeteksi
0,0021 ± 0,00
0,0070 ± 0,08
0,4373 ± 0,58
Kontrol positif
Pakan + AF + ScRo SD: Standar deviasi
Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa residu aflatoksin pada semua perlakuan tidak berbeda nyata (P > 0,05) yang mengindikasikan bahwa penambahan Sc, Ro atau ScRo tidak begitu berpengaruh pada penurunan residu aflatoksin. Walaupun demikian, perlu diperhatikan dampak dari residu aflatoksin secara biologi. Mengingat sifat aflatoksin yang hepatotoksik dan hepatokarsinogenik dan berbahaya pada manusia maka keberadaan aflatoksin dalam produk ternak maupun produk makanan tetap harus diwaspadai sehingga penurunan residu aflatoksin yang kecil masih mempunyai arti secara biologi. Berdasarkan hasil tersebut, kemampuan Sc, Ro dan ScRo dalam menurunkan residu aflatoksin mungkin disebabkan kemampuan Sc, Ro dan ScRo untuk mengikat aflatoksin. Aflatoksin yang tercampur dalam pakan diikat oleh Sc, Ro dan ScRo sehingga tidak dapat diserap tubuh dan keluar bersama feses. Kemungkinan lain adalah Sc, Ro dan ScRo menghambat penyerapan aflatoksin oleh usus itik sehingga kadar aflatoksin yang beredar dan menetap sebagai residu di dalam tubuh itik menjadi berkurang. Untuk mengetahui pengaruh terhadap berat badan dari penambahan Sc, Ro dan ScRo dalam
pakan dilakukan penimbangan berat badan itik pada satu hari sebelum perlakuan, pada minggu ke-4 dan minggu ke-8. Seperti terlihat pada Tabel 2, pada empat minggu pertama, perlakuan dengan Ro memberikan hasil penambahan berat badan paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Pada minggu kedua penambahan berat tertinggi terjadi pada kelompok perlakuan dengan Sc. Pada minggu ini penambahan berat badan pada kelompok kontrol positif yang diberi aflatoksin menunjukkan kenaikan berat badan yang lebih tinggi daripada kontrol negatif yang tidak diberi aflatoksin bahkan juga lebih tinggi daripada kelompok perlakuan dengan Ro. Ada kemungkinan kadar aflatoksin 200 ppb/kg pakan belum banyak berpengaruh terhadap berat badan. Pada perlakuan dengan Sc, penambahan berat badan itik pada empat minggu pertama dan kedua relatif stabil dibandingkan dengan itik yang diberlakukan dengan Ro yang mengalami penambahan berat badan yang tinggi pada empat minggu pertama dan menurun pada empat minggu kedua sehingga akumulasi pertambahan berat badan selama delapan bulan Sc memberikan hasil yang lebih baik daripada Ro. Meskipun kemampuan ScRo
Tabel 2. Pertambahan rata-rata dari berat badan itik Perlakuan Kontrol negatif Kontrol positif Pakan + AF+ Sc Pakan+ AF + Ro Pakan + AF + ScRo
Pertambahan rata-rata berat badan masing-masing kelompok (g) 4 minggu
8 minggu
499,62 488,09 433,33 629,95 462,54
816,66 869,04 930,95 851,27 905,16
793
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
dalam meningkatkan berat badan masih lebih baik daripada Ro tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan Sc. Apabila dibandingkan kemampuan Sc dan Ro sebagai additif dengan melihat Tabel 1 dan Tabel 2, maka Ro mereduksi residu aflatoksin lebih baik daripada Sc tetapi lebih rendah kemampuannya dalam membantu meningkatkan berat badan itik. Campuran ScRo selain mempunyai kemampuan yang lebih rendah dalam menurunkan residu aflatoksin dibandingkan Sc maupun Ro juga lebih rendah dalam meningkatkan berat badan itik dibandingkan dengan Sc. KESIMPULAN Sc dan Ro dapat digunakan sebagai kandidat untuk menganggulangi masalah aflatoksin yaitu dengan menurunkan konsentrasi residu, terutama AFB1 pada produk peternakan. Ro memberikan hasil yang lebih baik dalam menurunkan residu AFB1 dan AFM1 dibandingkan dengan Sc dan ScRo. Meskipun Sc mempunyai kemampuan yang rendah dalam menurunkan residu aflatoksin tetapi memberikan hasil yang baik untuk meningkatkan berat badan itik daripada Ro dan ScRo. Sedangkan ScRo mempunyai kemampuan yang rendah dalam menurunkan residu aflatoksin maupun dalam meningkatkan berat badan itik. Berdasarkan hasil tersebut, maka sebaiknya dalam usaha mengurangi residu aflatoksin, Sc atau Ro diberikan terpisah. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dapat berjalan dengan baik atas dukungan biaya dari Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Patisipatif (The Participtory Development of Agricultural Tecnology Project/ PAATP) tahun 2004. DAFTAR PUSTAKA BERRY, C. 1988. The pathology of mycotoxins. J. Pathol. 154: 301 – 311. BINGHAM, A.K., H.J. HUEBNER, T.D. PHILLIPS and J.E. BAUER. 2004. Identification and reduction of urinary aflatoxin metabolites in dogs. Food Chem. Toxicol. 42(11): 1851 – 1858.
794
CAST (Council for Agricultural Science and Technology). 1999. Mycotoxin-economic and health risk. Task Force Report No. 116. CAST. Ames. Iowa. CHAUCHEYRAS, F., G. FONTY, G. BERTIN, J.M. SALMON, P. GOUET. 1996. Effect of a strain Saccharomyces cerevisiae (Levucell SC1), a microbial additive for ruminants, on lactate metabolism in vitro. Can. J. Microbiol. 42: 927 – 933. CHU, F.S. 1991. Mycotoxins: Food contaminations mechanism, carcinogenic potential and preventive measures. Mutant Res. 259: 291 – 306. COTTY, P.J., P. BAYMAN, D.S. EGET and K.S. ELIAS. 1994. Agriculture aflatoxin and Aspergillus. In: The Genus Aspergillus. POWELL, K.A., A. RENWICK and J.F. PEBERDY (Eds.). Plenum Press. New York. NY. pp. 1 – 27. DIENER, U.L., R.J. COLE, T.H. SANDERS, G.A. PAYNE, L.S. LEE and M.A. KLICH. 1987. Epidemiology of aflatoxin formation by Aspergillus flavus. Annu. Rev. Phytopathol. 25: 249 – 270. DORNER, J.W., R.J. COLE and D.T. WICKLOW. 1999. Aflatoxin reduction in corn through field application of competitive fungi. J Food Prot. 62(6): 650 – 656. IBEH, I.N., D.X. SAXENA and N. URAIH. 2000. Toxicity of aflatoxin: effects on spermatozoa, oocytes, and in vitro fertilization. J. Environ. Pathol. Toxicol. Oncol. 19(4): 357 – 361. JAIMEZ, J., C.A. FENTE, C.M. FRANCO, A. CEPEDA and B.I. VAZQUEEZ. 2003. Application of a modified culture medium for the simultaneous counting of the molds and yeasts and detection of aflatoxigenic strains of Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus. J. Food Prot. 66: 311 – 318. KUIPER-GODMAN, T. 1991. Risk assessment to humans of mycotoxins in animal-derived food product. Vet. Hum. Toxicol. 33(4): 325 – 332. KUSUMANINGTYAS, E., R. WIDIASTUTI, ISTIANA, R. MARYAM dan TARMUDJI. 2005. Viabilitas Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus dan Campurannya dalam Tepung Beras. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 1117 – 1122. KUSUMANINGTYAS, E., R. WIDIASTUTI and R. MARYAM. 2006. Reduction of aflatoxin B1 production by using Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus and their combination. Mycopathologia (In Press).
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
LA PENNA, M., A. NESCI and M. ETCHEVERRY. 2004. In vitro studies on the potential for biological control on Aspergillus section Flavi by Kluyveromyces spp. Lett. Appl. Microbiol. 38: 257 – 264. MICCO, C., M. MIRAGLIA, R. ONORI, C. BRERA, A. MANTOVANI, A. IOPPOLO and D. STASOLLA. 1988. Long-term administrationof low doses of mycotoxins to poultry.1 Residues of aflatoxin B1 and its metabolites in broiler and lying hens. Food Addit. Contam. 5(3): 303 – 308. OLIVEIRA, C.A., J.F. ROSMANINHO, A.L. CASTRO, P. BUTKERAITIS, T.A. REIST and B. CORREA. 2003. Aflatoxin residues in eggs of laying Japanese quail after long term administration of rations containing low levels of aflatoxin B1. Food Addit. Contam. 20(7): 648 – 653. QUIST, C.F., E.W. HOWERTH, J.R. FISCHER, R.D. WYATT, D.M. MILLER and V.F. NETTLES. 1997. Evaluation of low-level aflatoxin in the diet of white-tailed deer. J. Wild Dis. 33(1): 112 – 121. RASTOGI, R., A.K. SRIVASTAVA and A.K. RASTOGI. 2001. Long term effect of aflatoxin B (1) on lipid peroxidation in rat liver and kidney: Effect of picroliv and silymarin. Phytother Res. 15(4): 307 – 310. RASTOGI, S., R.K. DOGRA, S.K. KHANNA and M. DAS. 2006. Skin tumorigenic potential of aflatoxin B1 in mice. Food Chem Toxicol. 44(5): 670 – 677. SABU, A., S. SARITA, A. PANDEY, B. BOGAR, G. SZAKACS and C.R. SOCCOL. 1999. Solid-state fermentation for production of pytase by Rhizopus oligosporus. Appl. Biochem. Biotechnol. 2002. 102 – 103; 251 – 260
SHANTHA, T. 1999. Fungal degradation of Aflatoxin B1. Nat. Toxins. 7(5): 175 – 178. SMITH, E.F., T.D. PHILIPS, J.A. ELLIS, R.B. HARVEY, L.F. KUBENA, J. THOMPSON and NEWTON G. 1994. Dietary hydrated sodium calcium aluminosilicate reduction aflatoxin M1 residue in dairy goat milk and effect on milk production and components. J. Anim. Sci. 72(3): 677 – 682. TAYLOR, W.J. and F.A. DRAUGHON. 2001. Nannocystis exedens: A Potential biocompetitive agent against Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus. J. Food Prot. 1030 – 1034. THOMPSON, J.C. 1969. Techniques for isolation of the common pathogenic fungi. Medium 7(3) and 4 MAFFCVL. Weybridge. England TRUCKSESS, M.W., L. STOLOFF, K. YANG, R.D. WYAT and B.L. MILLER. 1984. Aflatoxicol and aflatoxins B1 and M1 in eggs and tissues of laying hens consuming aflatoxin contaminated feed. Poult. Sci. 62(11): 2176 – 20. YIANNIKOURIS, A., G. ANDRE, L. POUGHON, J. FRANCOIS, C.G. DUSSAP, G. JEMINET, G. BERTIN and J.P. JOUANY. 2006. Chemical and Conformational Study of the Interactions Involved in Mycotoxin Complexation with beta-d-Glucans. Biomacromolecules. 7(4): 1147 – 1155. YIANNIKOURIS AYIANNIKOURIS, A., J. FRANCOIS, L. POUGHON, C.G. DUSSAP, G. BERTIN, G. JEMINET and J.P. JOUANY. 2004. Adsorption of Zearalenone by beta-D-glucans in the Saccharomyces cerevisiae cell wall. J. Food Prot. 67(6): 1195 – 1200.
SCUDAMORE, K.A. 1994. Aspergillus toxin in food and Animal feeding stuff, In: The genus Aspergillus. POWELL, K.A, A. RENWICK and J.F. PEBERDY (Eds.) Plenum Press. New York. NY. pp. 59 – 71.
DISKUSI Pertanyaan: Kombinasi ScRo memberikan hasil yang kurang baik daripada pemberian kultur Saccharomyces cerevisiae dan Rhizopus oligaporus. Jawaban: Diduga Ro dan Sc bersifat saling menekan aktivitas masing-masing sehingga ketika dicampur (ScRo) memberikan hasil yang kurang baik. Penelitian sebelumnya pada pakan secara in vitro juga memberikan hasil yang sama.
795