Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
PENGARUH PEMBERIAN Duddingtonia flagrans DAN Saccharomyces cerevisiae TERHADAP MORFOPATOLOGI ALAT REPRODUKSI CACING Haemonchus contortus PADA DOMBA (Effect of Administration of Duddingtonia flagrans and Saccharomyces cerevisiae on Morphopatology of Reproduction Organ of Haemonchus contortus Worm of Sheep) R.Z. AHMAD dan Y. SANI Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
ABSTRACT The administration of Saccharomyces cerevisiae yeast in rabbits may affect its reproduction organs; while the similar experiment in worm has never been done. This research aimed to study pathological description of reproduction organs both female and male Haemonchus contortus worms due to administration of D. flagrans and S. cerevisiae to sheep. Sixteen sheep were freed from egg worms (Egg in gram feces = 0) and reinfected by larvae, divided in to 4 groups, each group consists of 4 sheep and treated everyday for 5 weeks as the following: the first group was infected 1 x 106 D. flagrans conidias; the second group were administrated 1x 106 S. cerevisiae spores; The third groups was administrated both fungi with the same doses; the fourth groups as control without treatment. After 5 weeks sheep were slaughtered to examine the changing pathological reproductive organs of female and male worms. Pathological anatomy observation showed that there was no significant change (P > 0.05) on the organ sizes of the female (vulva flap) and male (gubernaculums and speculum), but histopathological observation of the reproduction aid organs of female (ovum) and male (spermatocit) worms showed significant change (P < 0,05) in control group and treatment groups. The conclusion of this research is that the administration of these two fungi does not significantly (P > 0.05) affect the size of reproduction accessories organ. However the administration of D. flagrans in sheep can significantly damage reproduction aid organs of male worm (P < 0.05), while the administration of S. cerevisiae significantly (P < 0.05) damaged the reproduction accessories organs of female and male worms. Key Words: D. flagrans, H. contortus, S. cerevisiae, Reproduction Organ ABSTRAK Pemberian khamir Saccharomyces cerevisiae pada kelinci dapat mempengaruhi alat reproduksinya sedangkan penelitian yang sama terhadap cacing belum pernah dilakukan. Demikian pula penelitian pengaruh pemberian kapang Duddingtonia flagrans terhadap alat reproduksi hewan belum pernah dilakukan, meskipun D. flagrans dapat membunuh larva infektif. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari gambaran patologi alat reproduksi cacing betina dan jantan Haemonchus contortus pada domba yang diberi D. flagrans dan S. cerevisiae. Sebanyak 16 ekor domba yang telah dibebaskan dari cacing (telur pergram tinja = 0) direinfeksi dengan larva cacing dan dibagi menjadi 4 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor dan diberi perlakuan setiap hari selama 5 minggu sebagai berikut; Kelompok I diberi 1x 106 konidia D. flagrans; Kelompok II diberi 1x 106 spora S. cerevisiae; Kelompok III diberi keduanya dengan dosis yang sama dan kelompok IV sebagai kelompok control tanpa perlakuan. Setelah 5 minggu domba disembelih untuk diambil cacing jantan dan betina untuk diamati perubahan patologi alat reproduksinya. Pada pengamatan patologi anatomi belum ditemukan perubahan yang nyata (P > 0,05) terhadap ukuran alat bantu reproduksi betina (vulva flep) dan jantan (gubernakulum dan spikulum), tetapi pada pengamatan histopatologi cacing betina (ovum) dan jantan (spermatosit) ditemukan perubahan nyata (P < 0,05) pada kelompok kontrol dan perlakuan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberian kedua cendawan tersebut tidak mempengaruhi besar alat bantu reproduksi cacing secara nyata (P > 0,05). Namun pemberian D. flagrans pada domba dapat merusak
841
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
alat reproduksi cacing jantan secara nyata (P < 0,05), sedangkan pemberian S. cerevisiae dapat merusak alat reproduksi cacing betina dan jantan secara nyata (P < 0,05). Kata Kunci: D. flagrans, H. contortus, S. cerevisiae, Organ Reproduksi
PENDAHULUAN Alat reproduksi kelinci khususnya kelinci jantan dapat dipengaruhi oleh Saccharomyces cerevisae bila dikonsumsi dalam jumlah tertentu. PITOJO (1995) melaporkan bahwa proses spermatogenesis kelinci mengalami hambatan bila diberi S. cerevisiae sehingga jumlah sperma mengalami penurunan. Cacing Lumbricus sp. (cacing tanah) yang diberi tape mengandung S. cerevisiae selama 1 bulan menurunkan produksi kokon/telur cacing (data tidak dipublikasikan). Sementara itu pengaruh pemberian S. cerevisiae terhadap alat reproduksi cacing H. contortus belum pernah dilaporkan. S. cerevisiae umumnya digunakan sebagai probiotik, dan imunostimulan pada ternak (AHMAD, 2005a). Demikian pula dengan kapang Duddingtonia flagrans belum diketahui pengaruhnya terhadap alat reproduksi cacing H. contortus, meskipun GRONVOLD at al., (1993) dan AHMAD (2003; 2005b) telah melaporkan bahwa kapang tersebut dapat membunuh larva III H.contortus dengan cara menjerat larva tersebut sampai mati. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut dilakukan untuk mengetahui perubahan alat reproduksi cacing H. contortus akibat pemberian kapang D. flagrans dan khamir S. cerevisiae. Alat reproduksi cacing H. contortus lebih sederhana bila dibandingkan dengan alat reproduksi hewan tingkat tinggi seperti mamalia dan ruminansia. Pada cacing jantan organ reproduksi dan perangkatnya terdiri atas gubernakulum testis, spikulum, dan vas deferen, sedangkan cacing betina terdiri atas ovum, ovarium dan vulva flep (CHITWOOD dan CHITWOOD, 1963; URQURHART et al., 1987). Mekanisme alat reproduksi pada mamalia seperti sapi, domba, dan manusia dapat dipengaruhi oleh sistem hormonal, sebaliknya pada cacing belum diketahui pasti, karena sistem hormonal cacing untuk pengaturan kelamin belum diketahui (CROLL dan MATTHEWS, 1977). Sistem reproduksi cacing betina berbentuk pipa yang terdiri dari 2 ovarium dan pada yang setiap ovarium saling berhubungan dengan
842
oviduct dan sebuah uterus. Kedua ujung uteri merupakan vagina yang akan terbuka keluar bila berfungsi dengan sebuah pelindung vulva berasal dari flep kutikula (Vulva Flep). Pada ordo Strongyloida mempunyai sebuah struktur otot disebut Ovijektor yaitu saluran tempat bertemunya ovum dengan sperma pada uterus. Saluran ini berfungsi sebagai pengendali keluarnya telur dari uterus (Gambar 1). Pada cacing jantan sistem reproduksinya terdiri dari sebuah pipa tunggal yang mengalami diferensiasi menjadi testis, vesikel seminal vasdeferens, dan ujung pengeluarannya berupa sebuah otot saluran ejakulator yang digunakan untuk menyalurkan sperma ke dalam kloaka. Cacing H. contortus jantan mempunyai pasangan spikulum.
Gambar 1. Bagian posterior H. contortus betina
Spikulum merupakan alat bantu reproduksi yang akan berfungsi pada saat kopulasi untuk mendilatasi vulva betina. Selain itu terdapat gubernakulum yang berasal dari modifikasi kutikula dinding dorsal kloaka dan digunakan untuk menuntun spikulum melewati kloaka serta sebagai penetrasi vulva betina. Pada anggota ordo Strongyloida gubernakulum
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
digunakan untuk memegang betina pada saat kawin, lalu spikulum yang kasar masuk ke dalam vagina. Selanjutnya sperma disalurkan pada saat terjadi pembuahan (kawin). Bursa kopulatoris merupakan bagian ujung posterior yang terdapat pada cacing jantan untuk membantu proses pembuahan (Gambar 2) (JOHNSTONE, 2000; UALBERTA, 2007). Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh pemberian D. flagrans dan S. cerevisiae terhadap alat dan saluran reproduksi cacing betina dan jantan H. contortus pada domba.
klamidospora untuk diberikan selama perlakuan. Prosedur yang sama dilakukan pula terhadap S. cerevisiae. Larva infektif (L3) dipupuk dari telur cacing yang diambil dari tinja domba donor yang diinfeksi tunggal dengan cacing H. contortus. Sebelum digunakan L3 disimpan dalam suspensi air pada suhu rata-rata 4°C. Domba yang digunakan adalah domba jantan lokal berumur 10 – 12 bulan sebanyak 16 ekor dengan bobot badan rata-rata 10 kg. Sebelum digunakan domba tersebut dibebaskan dari cacing (EPG = 0) dengan pemberian anthelmintika levamisol dosis tunggal 10 mg/kg BB. Selama penelitian domba dipelihara dalam kandang dengan kondisi bebas infeksi cacing, diberikan pakan berupa rumput gajah dan air secara ad libitum. Pakan tambahan berupa konsentrat diberikan setiap hari sebanyak 2%/kg BB. Perlakuan Semua domba diinfeksi dengan H. contortus sebanyak 5000/ L3 ekor pada minggu ke-0 dan 4. Setelah domba-domba yang diinfeksi mengeksresikan telur cacing kurang lebih 1000 telur dalam tiap gram tinja (TTGT), hewan coba dibagi menjadi 4 kelompok masing-masing 4 ekor berdasarkan bobot badan. Masing-masing kelompok diberi perlakuan setiap hari selama 5 minggu, seperti pada Tabel 1.
Gambar 2. Bagian posterior H. contortus jantan Tabel 1. Pembagian kelompok hewan percobaan
MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Balai Besar Penelitian Veteriner Departemen Pertanian Bogor selama 8 bulan mulai Juni 2006 sampai dengan Februari 2007. Kapang D. flagrans dan khamir S. cerevisiae yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat lokal yang telah diteliti dan dikarakterisasi masing-masing oleh AHMAD (2003) dan ISTIANA et al. (2002). Kedua isolat tersebut diperbaharui setiap 4 bulan sekali dengan media Potato Dektrosa Agar (PDA). D. flagrans dari hasil panen isolat dihitung dengan hemositometer dan selanjutnya dibagi dalam tabung-tabung reaksi berisi 106 konidia dan
Kelompok
Perlakuan
I
106 konidia dan klamidospora D. Flagrans 106 spora S. cerevisiae 106 konidia dan klamidospora D. flagrans + 106 spora S. cerevisiae
II III IV
Kontrol
Setelah perlakuan selama 5 minggu domba diterminasi melalui exsanguinasi pada kedua vena dan arteri jugularis untuk menghitung jumlah cacing di dalam abomasum. Selanjutnya cacing dikumpulkan dan diawetkan dalam Buffered Neutral Formalin (BNF) 10% untuk pemeriksaan mikroskopik terhadap saluran reproduksi cacing.
843
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Penghitungan jumlah cacing Cacing dewasa yang akan dihitung dilakukan dengan cara mengumpulkannya dari abomasum domba yang diterminasi setelah perlakuan selama 5 minggu, dipisahkan jantan dan betina, selanjutnya cacing diawetkan dalam larutan BNF 10% untuk pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan mikroskopis alat reproduksi cacing Dari setiap domba diambil sampel cacing sebanyak 4 ekor cacing betina dan 4 ekor cacing jantan dewasa secara acak. Untuk melihat perubahan organ reproduksi cacing jantan (spermatosit) dan betina (ovum) tersebut dilakukan dengan cara memfiksasi cacing tersebut dalam larutan BNF 10%, lalu dilakukan embedding pada parafin. Setiap blok parafin berisi 4 ekor cacing jantan atau betina yang berasal dari satu ekor domba. Selanjutnya jaringan dipotong dengan ketebalan 3 – 5 μm, lalu dilakukan pewarnaan jaringan dengan Hematoksilin dan Eosin (HE). Pemeriksaan histopatologi dilakukan pada testis cacing jantan dewasa, sedangkan cacing betina dewasa diperiksa ovariumnya. Untuk melakukan pengukuran alat bantu (penanda) reproduksi vulva flep (betina); Gubernakulum dan spikulum (jantan) dilakukan dengan pewarnaan minyak cengkeh. Masing-masing kelompok diukur 9 ekor cacing. Perubahan morfologi dari alat reproduksi cacing jantan (testis) dan betina (ovum); ukuran alat bantu (penanda) reproduksi dilakukan menurut UALBERTA (2007), CROLL dan MATTHEWS (1977), CHITWOOD dan CHITWOOD (1963) dan URQUHART et al. (1987). Parameter yang
diamati ádalah perubahan histopatologi spermatosit dan ovum, perubahan ukuran gubernakulum, spikulum, vulva flep. Analisis statistik Hasil yang didapat pada penelitian ini diuji secara statistik untuk mengetahui pengaruh perbedaan perlakuan. Dilakukan analisis sidik ragam (ANOVA) satu arah yang dilanjutkan dengan uji Duncan dan Bonferroni (STEEL dan TORRIE, 1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Alat dan saluran bantu reproduksi cacing jantan H. contortus dapat diketahui berdasarkan keberadaan gubernakulum, bursa kopulatoris, spikulum, vas deferen, testis, spermatosit sedangkan pada betina diketahui berdasarkan vulva flep dan ovarium, ovum, tuba falopii, vagina (CROLL dan MATTHEWS,1977; JOHNSTONE, 2000). Pada percobaan ini dilakukan pengukuran alat bantu reproduksi cacing jantan (gubernakum dan spikulum) dan cacing betina (vulva flep) secara mikro anatomi dengan menggunakan pewarnaan minyak cengkeh. Sedangkan perubahan histopatologi pada ovum dan spermatosit cacing dilakukan dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE). Pengukuran vulva flep, gubernakulum dan spikulum dilakukan karena alat bantu reproduksi ini yang dapat diukur. Sedang histopatologi ovum, oosit, dan spermatosit hanya dapat dilihat perubahannya setelah diwarnai dengan pewarnaan HE. Gambaran anatomi alat reproduksi cacing H. contortus disajikan pada Gambar 3 dan 4.
Bursa kopulatoris
Gubernakulum
Spikulum
Gambar 3. Alat reproduksi cacing jantan H. Contortus Sumber: UALBERTA (2007)
844
Vulva flep
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Tabel 2. Rataan ukuran alat bantu reproduksi cacing jantan Kelompok
Bursa kopulatoris (mikron)
N=9 D. flagrans S. cerevisae D. flagrans + S. cerevisae Kontrol
Panjang 3,26 ± 0,08a 3,22 ± 0,24a
Lebar 0,73 ± 0,05a 1,00 ± 0,01a
Panjang 2,90 ± 0,16a 3,09a ± 0,12a
Spikulum (mikron) Lebar 0,11 ± 0,00a 0,17 ± 0,02a
Guberna kulum (mikron) Panjang 2,04 ± 0,02a 2,17 ± 0,09a
Lebar 0,23 ± 0,02a 0,27 ± 0,00a
3,72 ± 0,19a 3,35 ± 0,25a
1,07 ± 0,37a 1,00 ± 0,04a
3,20 ± 0,12a 2,92 ± 0,24a
0,18 ± 0,05a 0,19 ± 0,00a
1,98 ± 0,08a 1,60 ± 0,04a
0,26 ± 0,04a 0,24 ± 0,05a
Angka-angka dengan huruf superskrip yang tidak berbeda pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P > 0,05)
Tabel 3. Rataan ukuran alat bantu reproduksi cacing betina Kelompok N=9
Vulva flep Panjang (mikron)
Lebar (mikron)
3,76 ± 0,13 a
1.48 ± 0,57 a
S. cerevisae
3,87 ± 0,43
a
1,58 ± 0,05a
D. flagrans + S. cerevisae
3,50 ± 0,02a
1,49 ± 0,28 a
Kontrol
4,36 ± 0,34a
1,64 ± 0,20a
D. flagrans
Angka-angka dengan huruf superskrip yang tidak berbeda pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P > 0,05)
Belum ditemukan pengaruh patologi anatomi pemberian D. flagrans dan S. cerevisiae terhadap ukuran besar alat bantu reproduksi cacing seperti tersaji pada Tabel 2 dan 3. Hal ini menunjukkan pula bahwa pemberian cendawan tidak berpengaruh langsung dan tak langsung terhadap besar kecilnya ukuran bursa kopulatoris, spikulum dan vulva flep. Hal ini didukung dengan penelitian NEHU (2007) yang mengukur besar dan bentuk vulva bervariasi. Namun diketahui bahwa D. flagrans dan S. cerevisiae mempunyai enzim protease dan kitinase, (CARTENS et al., 2003; MEYER dan WIEBE, 2003; JONSON et al., 2004), yang dapat berpengaruh terhadap cacing. Oleh karena itu perubahan pada testis dan ovum dipelajari dengan memeriksa potongan longitudinal cacing yang diberi pewarnaan HE. Hasil pengamatan terhadap perubahan patologi pada organ reproduksi cacing jantan disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 5. Ditemukan peningkatan yang sangat signifikan
dalam prosentase spermatosit yang rusak pada domba yang diberi D. flagrans, S. cerevisiae dan kombinasi keduanya dibandingkan kontrol (P < 0,05). Sel spermatosit yang rusak terutama berubah menjadi piknotis, serta sebagian lain mengalami degenerasi dan lisis. Tabel 4. Perubahan patologi pada alat reproduksi (spermatosit) cacing jantan dan (ovum) betina Perlakuan (N = 4) D. flagrans S. cerevisiae D. flagrans + S. cerevisiae Kontrol
Sel rusak (%) Betina (ovum)
Jantan (spermatosit)
1 ± 0a 58,5 ±5,66b
50,5 ± 2,12b 65 ± 8,49b
80,5 ±1,41 b 3 ±0,71 a
48,5 ±0,71b 1 ± 0a
Angka-angka dengan huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05)
Kondisi serupa juga tampak pada hasil pengamatan terhadap perubahan patologis organ reproduksi cacing betina (Tabel 4 dan Gambar 6). Prosentase kerusakan sel ovum yang diamati dengan pewarnaan HE menunjukkan ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok yang diberi perlakuan S. cerevisiae dan kombinasi S. cerevisiae dan D. flagrans (P < 0,05). Sel-sel ovum cacing betina dari domba yang diberi S. cerevisiae sebagian besar berubah menjadi piknotis atau lisis, sedangkan pada kelompok yang diberi kombinasi S. cerevisiae dan D. flagrans perubahan mengarah kepada piknotis.
845
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
a
Normal
Diberi D. flagrans +S. cerevisiae
a. Testis Gambar 5. Potongan longitudinal inti pada testis normal (kontrol) dan yang rusak (perlakuan) dengan pewarnaan HE, pembesaran 10 x 40
a
Normal
Diberi DF +SC
a. Ovarium Gambar 6. Potongan longitudinal inti pada ovarium normal (kontrol) dan yang diberi perlakuan sehingga mengalami perubahan patologi dengan pewarnaan HE, pembesaran 10 x 40
Belum ditemukan perbedaan perubahan patologis yang nyata pada sel-sel ovum dari cacing betina pada domba kontrol dan domba yang diberi D. flagrans. Namun ditemukan perubahan patologis yang ditimbulkan khamir S. cerevisiae ini terhadap saluran reproduksi cacing jantan (Testis) dapat mencapai 65%, sedangkan pada cacing betina (ovarium) akan mencapai 58,5% setelah pemberian selama 5 minggu. Bila dikombinasikan dengan pemberian kapang D. flagrans akan menimbulkan perubahan patologis pada alat reproduksi cacing jantan sebesar 48,5%, dan cacing betina 80,5%. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh pemberian S.cerevisiae terhadap cacing H. contortus. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan PITOJO (1995), yaitu pada saat pemberian S. cerevisiae dengan dosis tertentu dapat merusak saluran reproduksi kelinci. Kelainan alat reproduksi pada cacing jantan dan betina dapat menyebabkan telur tidak bisa dibuahi, hal ini terjadi karena sperma rusak atau proses pembentukan sperma terganggu, sehingga
846
meskipun produksi telur tinggi namun bila tidak ada pembuahan menyebabkan telur tidak menetas. Sebaliknya ovum dapat pula rusak, sehingga bila dibuahi oleh sperma tidak akan terjadi pembuahan. Studi khusus mengenai cendawan D. flagrans dan S. cerevisiae terhadap perubahan patologi reproduksi cacing H. contortus belum pernah diteliti, namun studi terhadap parasit cacing nematoda sejenis pada manusia yaitu cacing Onchocerca volvulus telah dilakukan, enzim serine protease dapat menghambat proses embriogenesis dan spermatogenesis melalui gangguan gen OVSPI-1 (FORD et al., 2005). Diketahui pada uji aktivitas enzim protease sebelumnya kedua cendawan tersebut mempunyai enzim tersebut, sehingga diduga enzim tersebut itulah yang dapat merusak alat reproduksi cacing. KESIMPULAN Pemberian D. flagrans dan S. cerevisiae tidak mempengaruhi besar dan kecilnya ukuran
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
alat bantu reproduksi cacing (Gubernakulum, spikulum, vulva flep). Pemberian D. flagrans dapat menyebabkan perubahan patologis pada sel spematosit, sedangkan pemberian S. cerevisiae menyebabkan perubahan pada ovum dan sel sperma, bila dikombinasikan pemberian keduanya dapat menimbulkan perubahan patologis pada ovum dan testis cacing H. contortus. DAFTAR PUSTAKA
GRONVOLD, J., J. WOLSTRUP., P. NANSEN., S.A. HENRIKSEN., M. LARSEN and J.BRESCIANI. 1993. Biological control of nematode parasites in cattle with nematode-trapping fungi: a survey of Danish studies. Vet. Parasitol. 48: 311 – 325. ISTIANA., E. KUSUMANINGTYAS, D. GHOLIB and S. HASTIONO. 2002. Isolasi dan Identifikasi Saccharomyces cerevisae beserta in vitro terhadap (Salmonella typhimurium). Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Ciawi – Bogor, 30 Sept – 1 Okt 2002. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 459 – 462.
AHMAD, R.Z. 2003. Potensi Duddingtonia flagrans sebagai kapang nematofagus. J. Mikol Ked Indon. (4): 14 – 20.
JOHNSTONE. 2000. Haemonchus contortus http:// cal.vet.upenn.edu/merial/Trichos/ trich_5.ht (4 Juni 2007).
AHMAD, R.Z. 2005a. Pemanfaatan cendawan Arthrobotrys oligospora dan Duddingtonia flagrans untuk pengendalian Haemonchosis pada ruminansia kecil di Indonesia. J. Litbang Pertanian. 24(4): 143 – 148.
JONSON, L., J.F REHFELD and A.H.. JONSON, 2004. Enhanced peptide secretion by gene disruption of CYMI, a novel protease in Saccharomyces cerevisiae. Europan Journal of Biochemistry.. issue 23-24. 71 :4788-4797 http:// www.black well-synergy.com/doi/abs/10.1111/9.14321033.2004.04443.x
AHMAD, R.Z. 2005b. Pemanfaatan Saccharomyces cerevisiae untuk Wartazoa 15(1): 49 – 55.
khamir ternak.
CARTENS, M., M.A. VIVIER, P. VAN RENSBURG and I.S. PRETORIUS. 2003. Overexpression, secretion and antifungal activity of the Saccharomyces cerevisiae chitinase Abstract. Annals of Microbiology, 53: 15 – 28. http://www.annmicro. unimi.it/abst/53/carsten s_53 _15.pdf (18 Mei 2006). CHITWOOD, B.G. and M.B. CHITWOOD. 1977. Introduction to Nematology. University Park Press. Baltimore. London. Tokyo. CROLL, A.C. and B.E. MATTHEW. 1977. Biology of nematodes. Blackie & Sun limited Bishopbriggs glasgow. Thompson Litho Ltd. East kilbride Scotland. FORD, L., D.B. GUILIANO, Y. OKSOV, A.K. DEBNATH, J. LIU, S.A. WILLIAMS, M.L. BLAXTER, S. LUSTIGMAN. 2005. Characterization of a novel filarial Serine protease inhibitor, OV-SPI-1, from Onchocerca potential multifunctional roles during development of parasite. J. Biology Chemistry. 280(49): 1 – 26.
MEYER, W.J and M.G. WIEBE. 2003. Enzyme production by nematode-trapping fungus, Duddingtonia flagrans. Abstrak. Biotechnol. Lett May; 25: 791-795. NEHU. 2007. Haemonchus contortus http: www.nehu.ac.in/bic/HelMinth_Parasite_NE/ Haemonchus contortus.htm. (5 juni 2007). PITOJO, T.B. 1995. Perubahan struktur testis, hati dan ginjal kelinci akibat perlakuan ragi Bull. IPKHI (4): 1 Jan – Jun: 30 – 34. STEEL, R.G.D and J.H. TORRIE. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT Gramedia Pustaka. Jakarta. UALBERTA. 2007. Parasites. http://www2.biology. ualberta.ca/parasites/ParPub/text/indexphasm0 7i.htm (6 Juni 2007). URQURHART, G.M., J. ARMOUR., J.L.DUNCAN., A.M. DUNN and F.W. JENNINGS. 1987. Veterinary Parasitology. Departement of Veterinary Parasitology. Faculty of Veterinary Medicine. The University of Glasgow. Scotland. Longman Scientific & Technical. Published in USA by Churchill Livingstone Inc. NewYork.
847