Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
EFIKASI CAIRAN SERBUK KULIT BUAH NANAS UNTUK PENGENDALIAN CACING Haemonchus contortus PADA DOMBA (Efficacy of Pineaaple Skin Extract to control Haemonchus contortus on Sheep) BERIAJAYA, J. MANURUNG dan D. HARYUNINGTYAS Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114
ABSTRACT Gastro-intestinal nematodes found in sheep and goats are causing of economic loss due to retardation of growth rate and causing of death. Regular control with anthelmintic treatment is leading to development of resistance and residue in the tissue. Pineapple (Ananas comosus) is one of herbal medicine probably to be used as anthelmintic. The purpose of these studies is to determine the efficacy the extract of pineapple skin against sheep experimentally infected only with Haemonchus contortus. A number of 25 male sheep aged 5-6 months was divided into 5 groups of 5 head. Groups 1, 2 and 3 were drenched with filtered fruit skin of pineapple 250 mg/kg, 750 mg/kg and 1250 mg/kg body weight respectively on days 1, 3, 7, 10 and 14; meanwhile groups 4 and 5 as a group of untreated and treated with ivermectin at a dose rate of 200 mcg/kg respectively. Parameters measured were egg and larvae counts; and egg hatch. Faeces were collected individually on day 1, 3, 7, 10 and 14. The results indicated that even water extract of skin of pineapple 250 mg/kg did not eliminate eggs, however the egg and larvae counts did not increase and hatchability of egg was 1.3% inhibited as compared to the control group. Key Words: Haemonchus contortus, Sheep, Fruit Skin of Pineaaple, Ananas comosus ABSTRAK Penanggulangan infeksi cacing pada ternak domba dengan antelmentika sering menimbulkan resistensi dan residu dalam jaringan tubuh. Nanas (Ananas comosus) merupakan salah satu jenis tanaman yang kemungkinan dapat digunakan sebagai antelmentika. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan ekstrak kulit buah nanas (Ananas comosus) terhadap infeksi cacing Haemonchus contortus pada domba. Sebanyak 25 ekor domba yang diinfeksi secara buatan dengan cacing Haemonchus contortus dibagi menjadi 5 kelompok masing-masing terdiri dari 5 ekor. Kelompok 1, 2 dan 3 masing-masing diberi cairan perasan serbuk kulit buah nanas dengan dosis 250 mg/kg BB; 750 mg/kg BB dan 1250 mg/kg BB pada hari ke 1, 3, 7, 10 dan 14 per oral; sedangkan kelompok 4 dan 5 masing-masing sebagai kelompok kontrol tanpa diobat dan kelompok kontrol diobat dengan ivermectin dengan dosis 200 mcg/kg BB. Parameter yang diukur adalah jumlah telur cacing, jumlah larva dan daya tetas telur. Sampel tinja diambil pada hari ke 1, 3, 7, 10 dan 14. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun efek pemberian cairan serbuk kulit nanas tidak langsung mengeliminasi telur cacing tetapi kelompok serbuk kulit buah nanas dosis 250 mg/kg berhasil menjaga stabilitas jumlah epg dan jumlah larva agar tidak bertambah banyak dan sedikit menghambat daya tetas telur (1,3%) dibanding kelompok kontrol. Kata Kunci: Haemonchus contortus, Domba, Kulit Buah, Ananas comosus
PENDAHULUAN Cacing gastrointestinal nematoda merupakan sekelompok cacing nematode yang terdapat pada saluran pencernaan ternak ruminasia. Salah satu jenis cacing yang penting adalah cacing Haemonchus contortus dan
934
biasanya menyerang ternak domba dan kambing. Cacing ini merupakan cacing penghisap darah sehingga hewan yang yang terinfeksi oleh cacing ini akan kehilangan darah yang ditandai dengan anemia. Infeksi oleh cacing ini menyebabkan penurunan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
produksi ternak (BERIAJAYA dan STEVENSON, 1986). Penurunan produksi dapat berupa turunnya bobot badan, terhambatnya pertumbuhan, turunnya produksi susu pada ternak yang menyusui serta turunnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit. Tanda klinis hewan yang terserang adalah kekurusan, bulu kusam, tidak nafsu makan, mencret terutama pada musim hujan serta kematian yang akut pada hewan-hewan muda. Mengingat populasi domba dan kambing yang cukup besar (ANONIMUS, 2003) maka kerugian ekonomik akibat haemonchosis ditaksir 16,6 juta dolar US pertahun (PARSON dan VERE, 1984), sedangkan khusus pada domba ditaksir sebesar 4,7 juta US dolar (RONOHARDJO et al., 1985). Penanggulangan penyakit ini dilakukan dengan pemberian obat cacing yang diberikan secara berkala, tetapi sayangnya bila pemberian obat cacing dilakukan secara terus menerus dengan jenis obat yang sama akan menimbulkan resistensi terhadap obat tersebut (WALLER et al., 1995). Untuk mengurangi terjadinya resisten maka perlu adanya pergantian jenis obat cacing atau mencampur jenis obat cacing (ANDERSON et al., 1988). Selain pemberian obat cacing, infeksi cacing ini juga harus ditanggulangi secara bersamaan dengan pemberian pakan yang baik dan manajemen penggembalaan atau secara bergantian penggembalaan antara sapi dan domba. Saat ini kasus kejadian resistensi terhadap obat cacing sudah pernah dilaporkan di Indonesia terutama peternakan kepunyaan pemerintah sehingga bila tidak diambil tindakan maka kasus ini akan makin meluas (HARYUNINGTYAS et al., 2002; BERIAJAYA et al., 2003). Selain itu obat cacing bagi peternak masih dirasakan terlalu mahal terutama untuk ternak sapi dimana untuk mengobati dengan obat cacing maka peternak harus mengeluarkan biaya 8.000–10.000 rupiah untuk sekali pengobatan. Oleh karena itu peternak sering menggunakan obat tradisional yang ada di setiap lokasi pedesaan, tetapi sayangnya obat tradisional ini belum`dibuktikan secara ilmiah kemanjurannya. Salah satu alternatif penanggulangan terhadap infeksi cacing ialah dengan menggunakan obat berasal dari tanaman nanas. Selain nanas, banyak tanaman yang pernah dicoba secara in vitro terhadap cacing Haemonchus contortus seperti Carica
papaya (MURDIATI et al., 1997), bangle (BERIAJAYA et al., 1998b), mengkudu (BERIAJAYA dan TETRIANA, 1999), biji pinang (KARO-KARO et al., 1984; BERIAJAYA et al., 1998b), tetapi hasilnya belum memuaskan. Nanas (Ananas comosus) merupakan salah satu alternatif untuk mendapatkan obat yang berasal dari tanaman. Secara in vitro perasan buah nanas mempunyai efek terhadap cacing Ascaridia galli (LISMAYANTI, 2002). Serbuk daun nanas yang dicampur dengan mollases mempunyai fungsi sebagai obat cacing seperti yang dilaporkan di Filipina efektif untuk menanggulangi infeksi cacing pada sapi (JOVELLANOS, 1997), domba (BALDO, 2001) dan kambing (IBARRA, 2002). Dari penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa sari buah nanas muda mempunyai aktifitas antelmentika secara in vitro terhadap Aspiculuris tetraptera (nematoda) dan cacing pita Hymenolopis nana pada mencit (HE et al., 1991). Selain itu perasan buah nanas dengan konsentrasi 50% secara in vitro memiliki efek membunuh cacing Ascaridia galli Schrank (LISMAYANTI, 2002). Hasil penelitian di Filipina menyimpulkan bahwa serbuk daun nanas dalam bentuk bolus mollases secara in vivo menyebabkan penurunan jumlah telur cacing pada sapi (JOVELLANOS, 1997) dan menurut BALDO (2001) pemberian serbuk daun nanas dalam bentuk bolus dengan dosis 200 mg/kg berat badan domba berhasil menurunkan jumlah telur cacing dalam tinja. Hasil uji in vitro, larutan kulit buah nanas tua (Bogor dan Subang) segar kepekatan 8090% secara bermakna (P<0,05%) berhasil membunuh cacing betina. Larutan serbuk kulit buah nanas kepekatan 15% berhasil membunuh cacing betina 84–94%. Ekstrak metanol kulit buah nanas 1,5% secara bermakna (P<0,05) membunuh cacing betina pada jam ke-12 secara in vitro. Uji terhadap telur cacing menunjukkan bahwa ekstrak metanol kulit buah nanas tua asal Bogor kepekatan 0,06%, kulit buah tua asal Subang 0,125% dan kulit buah muda asal Subang 0,03% secara bermakna (P<0,05) berhasil mencegah telur untuk tidak menetas jadi larva H. contortus (MANURUNG dan BERIAJAYA, 2003). Dengan memperhatikan kemampuan uji in vitro serbuk kulit buah nanas tua asal Bogor maka memungkinkan untuk dilanjutkan secara uji in vivo.
935
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
MATERI DAN METODE Pembuatan serbuk kulit buah nanas Kulit buah nanas didapat dari penjual nanas di Ramayana, Bogor. Kulit buah nanas dipotong-potong 1 cm, dikeringkan selama 1014 hari dalam suhu kamar, kemudian digiling dengan blender menjadi serbuk (BALDO, 2001). Pembuatan cairan perasan serbuk Serbuk kulit nanas 5% (250 mg/kg berat badan domba), 15% (750 mg/kg BB) dan 25% (1250 mg/kg BB) dimasukkan 100 ml air, kemudian selama 1 jam diaduk dengan alat Chilten Sientific, setelah itu diperas dalam kain putih. Cairan perasan yang digunakan untuk dicekokkan ke mulut domba. Koleksi larva tiga cacing H. contortus Abomasum yang berisi cacing H. contortus dikoleksi dari domba dan kambing yang dipotong di Rumah Potong Hewan Tanah Abang, Jakarta. Di laboratorium, abomasum tersebut diproses lebih lanjut untuk dikoleksi cacing dewasa H. contortus. Cacing tersebut kemudian digerus dan hasil gerusannya dipupuk dalam botol pupukan tinja. Botol tersebut diinkubasi dalam ruangan laboratorium (suhu kamar 28oC) selama satu minggu. Setelah itu larva tiga yang telah tumbuh dikoleksi dan dihitung jumlahnya. Bila belum digunakan, larva tersebut disimpan dalam lemari es (suhu 4oC). Infeksi domba penelitian Sebanyak 25 ekor domba jantan muda berumur 5–6 bulan diberi antelmintik albendazole per oral dengan dosis 3,5 mg per kg berat badan. Dua minggu setelah pengobatan, karena masih ditemukan telur Strongyloides dalam tinjanya, maka diberi suntikkan obat cacing ivermectin subkutan dengan dosis 200 µg per kg berat badan. Setelah 4 minggu bila tidak ditemukan telur cacing dalam tinjanya maka domba-domba tersebut dianggap telah bebas cacing.
936
Domba-domba yang telah bebas cacing kemudian masing-masing diinfeksi per oral dengan 10.000 larvae tiga H. contortus setiap minggu selama 3 minggu. Pada minggu ke 4 epgnya diperiksa bila telah ditemukan telur cacing >2000/g tinja maka domba-domba tersebut siap digunakan. Efikasi Sebanyak 25 ekor domba jantan muda (5-6 bulan) yang sudah terinfeksi cacing H. contortus dibagi dalam 5 kelompok yang masing-masing 5 ekor. Kelompok 1. Diobati cairan perasan serbuk dengan dosis kurang lebih 250 mg/kg BB. Kelompok 2. Diobati cairan perasan serbuk dengan dosis kurang lebih 750 mg/kg BB. Kelompok 3. Diobati cairan perasan serbuk dengan dosis kurang lebih 1250 mg/kg BB. Kelompok 4. Tidak diobat (kontrol). Kelompok 5. Diobati dengan ivermectin secara subcutan, dosis tunggal 200 mcg/kg BB. Kelompok 1–3 diobati 5 kali yakni pada hari ke 1, 3, 7, 10 dan 14. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah telur cacing tiap gram tinja, jumlah larva dari pupukan tinja dan daya tetas telur yang dilakukan pada hari ke-1, 3, 7, 10 dan 14. Penentuan dosis diatas berdasarkan rataan cairan yang ada di abomasum per kg berat badan yakni 2,46 ml/kg berat badan. Ini hasil pengamatan dari 10 ekor domba/kambing yang dipotong di Rumah Potong Hewan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Selain itu untuk mendapatkan cairan perasan 1 ml maka diperlukan 2 g serbuk kulit nanas atau kulit nanas segar, misalnya bila berat badan domba 20 kg maka serbuk 5% yang diperlukan adalah 0,05 x 20 x 2,46 x 2 g = 4,92 g. Parameter Jumlah telur per gram tinja atau epg (WHITLOCK, 1948), jumlah larva dalam pupukan tinja dan daya tetas telur yang diukur dengan metoda Egg Hatch Assay (EHA) pada hari ke-1, 3, 7, 10 dan 14.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Analisa statistik Analisa statistik dilakukan pada data yang telah ditransformasi log (x+1) dengan menggunakan progran STATISTIX VERSION 4.0 (1992). Perbedaan rata-rata setiap kelompok menggunakan Analisa Sidik Ragam dan dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata. HASIL DAN PEMBAHASAN
LOG EPG
Perlakuan dengan cairan serbuk kulit buah nanas 5% (250mg/kg BB domba ), 15% (750 mg/kg BB) dan 25% (1250 mg /kg BB domba ) dapat dilihat dalam Gambar 1, 2 dan 3. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa rata-rata jumlah telur cacing dari kelompok serbuk kulit buah nanas 5% berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan kelompok kontrol. Jumlah telur cacing per gram tinja kelompok domba yang diberi cairan serbuk kulit buah nanas dengan dosis 250 mg/kg bb menurun sampai hari ke-10, kemudian meningkat lagi sampai hari ke-17. Pemberian cairan serbuk kulit buah nanas dilakukan hanya pada hari ke1, 3, 7, 10 dan 14 sehingga kalau dilihat nilai jumlah telur cacingnya yang meningkat pada hari ke 17 kemungkinan karena cairan serbuk
kulit buah nanas tidak bertahan lama di dalam saluran pencernaan. Hasil analisa statistik menyatakan bahwa rata-rata jumlah larva dari pupukan kelompok cairan serbuk kulit buah nanas 5% lebih sedikit (P<0,05) dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kelompok serbuk kulit nanas 25% menghambat telur tidak menetas sebesar 3% (P<0,05) dibanding dengan kelompok serbuk kulit nanas 5% dan 15% masing-masing sebesar 1,3% dan 0,82%. Walaupun sebenarnya antara jumlah telur cacing, jumlah larva dan persentase kegagalan telur tidak menetas ada hubungan (MAINGI et al., 1998) tetapi dalam penelitian tidak terlihat. Bila data dari penurunan jumlah telur cacing telah cukup signifikan maka akan terlihat hubungannya, tetapi bila data jumlah telur cacing tidak signifikan penurunannya, maka data jumlah larva dan kegagalan telur menetas kurang berarti, terutama bila persentase kegagalan telur menetasnya sangat kecil Pengobatan dengan dosis tunggal ekstrak daun nanas walau pada dosis yang tinggi (1 mg/kg BB) kurang efektif (HORDEGEN et al., 2003) karena kemungkinan ekstrak ini tidak dapat bertahan lama dalam saluran pencernaan sehingga perlu dosis berulang.
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 DT H-3
DT H-7
DT H-10
DT H-14
DT H-17
HARI PENGAMATAN Kontrol
5%
15%
25%
Gambar 1. Log rata-rata telur cacing H. Contortus pasca pemberian cairan perasan serbuk kulit buah nanas dalam berbagai konsentrasi
937
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
LOG LARVA
1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 DT H-3
DT H-7
DT H-10
DT H-14
DT H-17
HARI PENGAMATAN Kontrol
5%
15%
25%
% Telur yang tidak menetas
Gambar 2. Rataan jumlah larva H. contortus pasca pemberian cairan serbuk kulit nanas berdasarkan hari pengamatan yang berbeda
0.09 0.08 0.07 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0 DT H-1
DT H -3
DT H-7
DT H-10 DT H-14 DT H-17
Hari 5%
15%
25%
Kontrol
Gambar 3. Rata-rata daya tetas telur cacing akibat pemberian cairan serbuk kulit nanas
Selain itu pada kepekatan tinggi jumlah epg dan larva lebih tinggi dari kepekatan rendah adalah akibat ada kecendererungan kulit buah nanas bersifat laksansia (peristaltik usus meningkat) ini terlihat dari koleksi sample tinja lebih mudah dan tinja lebih banyak terakumulasi pada pagi hari di kandang. Juga terlihat dari pertambahan berat badan cairan perasan kulit buah nanas 5,15 dan 25% adalah masing-masing (14 hari pengamatan ) + 0,16 kg, -- 0,12 kg, -- 0,7 kg, atau kepekatan tinggi menurunkan berat badan hampir sama dengan domba yang kontrol.
938
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari penelitian pemberian cairan perasan serbuk kulit buah nanas yang diberikan pada hari ke-1, 3, 7, 10 dan 14 adalah: 1. Rata-rata jumlah telur dan jumlah larva kelompok cairan serbuk kulit buah nanas dengan dosis 250 mg/kg berat badan lebih sedikit (P<0,01) dibandingkan dengan kelompok kontrol. 2. Cairan perasan serbuk kulit buah nanas dari ketiga konsentrasi tidak menghambat daya tetas telur cacing (P>0,05) dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
DAFTAR PUSTAKA ANDERSON, N., P.J. MARTIN and R.G. JARRET. 1988. Mixtures of anthelmintics: a strategy against resistance. Aust. Vet. J. 65: 62–64. ANONIMUS. 2002. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. BALDO, R.C. 2001. Comparative efficacy of pineapple (Ananas comosus) leaves bolus and albendazole against gastrointestinal nematodes of sheep. Thesis DVM. University of the Philippines Los Banos. BERIAJAYA and P. STEVENSON. 1986. Reduced productivity in small ruminant in Indonesia as a result of gastro intestinal nematode infections. Proc. of 5th Conference Institute Tropical Veterinary Medicine, Kuala Lumpur, Malaysia. dan TETRIANA. 1999. Pengaruh perasan dan ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) secara in vitro. Pros. I: Seminar Hasil-Hasil Penelitian Bidang Ilmu Hayati. PAU Ilmu Hayat IPB, 16 September 1999.
BERIAJAYA
BERIAJAYA, D. HARYUNINGTYAS, A. HUSEIN, G.M. HOOD and G.D. GRAY. 2003. Transmission of anthelmintic resistance in sheep in West Java, Indonesia. Poster in the 19th International Conference of the World Association for the Advancement of Veterinary Parasitology. August 10–14, New Orleans. BERIAJAYA, T.B. MURDIATI and HERAWATY. 1998a. Anthelmintic effect of Zingiber purpureum infuse and extract on adult worms of Haemonchus contortus in vitro. JITV 3(4): 277–282. BERIAJAYA, T.B. MURDIATI, SUHARDONO dan C.F. PANTOUW. 1998b. Pengaruh ekstrak biji pinang (Areca catechu) terhadap cacing Haemonchus contortus) secara in vitro. Pros. Seminar Hasil-hasil Penelitian Veteriner. hlm. 154–162. HARYUNINGTYAS, D., BERIAJAYA and G.D. GRAY. 2001. Resistensi antelmintik golongan benzimidazole pada domba dan kambing di Indonesia. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 17–18 Sept. 2001. Puslitbang Peternakan, Bogor. HE, S., R. TIURIA dan E.B. RETNANI. 1991. Laporan penelitian biologis aktivitas anthelmintik sari buah nanas muda, daun miana dan ranting puring terhadap cacing Aspiculuris tetraptera (nematode) dan Hymenolepis nana (cestoda) pada mencit putih (Mus musculus albinos). Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
HORDEGEN, P., H. HERTZBERG, J. HEIMANN, W. LANGHANS and V. MAURER. 2003. The anthelmintic efficacy of five plant products against gastrointestinal trichostrongylids in artificially infected lambs. Vet. Parasitol. 117(1–2): 51–60. IBARRA, V.B. 2002. Efficacy and phytochemical assay of pineapple (Ananas comosus) leaves against gastrointestinal nematodes of goats (capra hircus). Undergraduate thesis. CLSU. Philippines. JOVELLANOS, J. 1997. Efficacy of three selected herbal plants on gastro intestinal parasites of cattle. Undergraduate thesis. University of the Philippines Los Banos. KARO-KARO, S., E.J. TANDI, D.P. RAHARDJA dan ISMARTOYO. 1984. Pengaruh biji buah pinang (Areca catechu) terhadap parasit cacing ternak. Lembaga Penelitian Universitas Hasanudin, Ujung Pandang. LISMAYANTI, F. 2002. Uji pengaruh umur buah, cara sterilisasi, waktu simpan dan daya anthelmintik perasan nanas (Ananas comosus) terhadap cacing Ascaridia galli. Skripsi Sarjana. ISTN, Jakarta. MAINGI, N., H. BJORN and A. DANGOLA. 1998. The relation between faecal egg count reduction and the lethal dose 50% in the egg hatch assay and larval development assay. Vet. Parasitol. 77: 133–145. MANURUNG, J dan BERIAJAYA. 2003. Penelitian Secara In Vitro Penggunaan Daun dan Kulit Buah Nanas sebagai Antelmintik Haemonchus contortus. Laporan. Balai Penelitian Veteriner. MURDIATI, T.B., BERIAJAYA dan G. ADIWINATA. 1997. Aktifitas getah papaya terhadap cacing Haemonchus contortus pada domba. Majalah Parasit. Indonesia 10: 1–7. PARSON, S.A. and D.T. VERE. 1984. A benefit cost analysis of the The Bakitwan Proyect, Bogor , Indonesia. A report to the Australian Development Assistance Bureau. New South Wales. Department of Agriculture, Australia. RONOHARDJO, P., A.J. WILSON and R.G. HIRSTS. 1985. Current livestock disease status in Indonesia. Penyakit Hewan 17(29): 317–326. WALLER, P.J., K.M. DASH, I.A. BARGER, L.F. LE JAMBRE and J. PLANT. 1995. Anthelmintic resistance in nematode parasites of sheep: learning from the Australian experience. Vet. Record 136: 411–413.
939
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
WHITLOCK, W.H. 1948. Some modification of the Mc Master helminth egg-counting technique and apparatus. J.the Council for Sci. and Industrial Res. 21: 117-118.
DISKUSI Pertanyaan: 1. Ekstrat buah nenas mengandung zat aktif apa dan bagaimana mekanisme kerjanya? 2. Rataan telur H. contortus pasca pemberian cairan perasan serbuk kulit buah nenas pada hari ke-7 sampai hari ke-10 rendah namun pada hari ke 14 meningkat. Bagaimana prospek kulit buah nenas sebagai obat cacing, apakah dapat digunakan secara tunggal untuk mengontrol cacing pada domba? Jawaban: 1.
Mengandung zat bromelin yang efeknya menghidrolisa protein dan meningkatkan peristaltic usus.
2.
Ada kecenderungan kulit buah nenas dapat mempertahankan nilai EPG cacing selama pemberian serbuk kulit buah nenas, tetapi apabila pemberian dihentikan efek tersebut tidak nampak dan akan menyebabkan EPG meningkat lagi.
940