Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
PENGARUH WAKTU ROTASI GEMBALA PADA RUMPUT Brachiaria brizantha TERHADAP TINGKAT INFESTASI CACING Haemonchus contortus PADA TERNAK DOMBA (The Effect of Grazing Period on Brachiaria brizantha against the Level of Infection with Haemonchus contortus on Sheep) ARON BATUBARA Loka Penelitian Kambing Potong Sungei Putih, PO.Box 1. Galang 20585, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
ABSTRACT The levels of prevalence of gastro-intestinal nematodes infection on sheep grazed in the rubber plantation areas was about 80%. One alternative to reduce the Haemonchus contortus infection is to control the life cycle by managing the time spent for grazing in a rotation of system on the pasture. A study was conducted in the grazing area of Meat Goat Research Institute of Sungei Putih. The treatments were grouping based on resting time of the pasture namely; P-1=42 days, P-2=63 days, P-3= 84 days and P-4= 105 days, in the Braciaria brizantha grass area. Each plots size about 5 x 5 meter square with isolated by fence and 3 head lambs grazed for 10 days in the pasture for each treatment, and then housed on slatted barn for 21 days. The animals were fed with uncontaminated Haemonchus contortus grasses. The sheep was slaugthered to count the mature worm infestation in the abomasum tracts. The results showed that average worm infestation were ± 13 worm animals, ± 14,65 worm animals, ± 18,5 worm animals and ± 40 worm animals for ungrazed time: 105, 84, 63, and 42 days respectively. Although the lowest worm count was detected with ungrazed for 105 days, but if related to the production periode of the Brachiaria brizantha grass growth, the optimum ungrazed rotation is 84 days (3 months) Key words: Sheep, Brachiaria brizantha grass, Haemonchus contortus infestation, grazing rotations ABSTRAK Tingkat prevalensi infeksi cacing nematoda saluran pencernaan pada ternak domba yang digembalakan di daerah perkebunan mencapai 80%. Salah satu cara mengurangi tingkat infeksi cacing Haemonchus contortus dengan menghambat jaringan siklus hidupnya yaitu mengatur lama istirahat pada rotasi penggembalaan. Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan padang rumput Loka Penelitian Kambing Potong Sungei Putih. Perlakuan dikelompokkan berdasarkan lama pengistirahatan gembala yaitu; P-1 = 42 hari, P-2 = 63 hari, P-3 = 84 hari dan P-4 = 105 hari, dengan jenis rumput Braciaria brizantha. Setiap plot berukuran 5 x 5 m2 persegi dipagar keliling dimasukkan 3 ekor domba jantan muda selama 10 hari dan kemudian dimasukkan dalam kandang selama 21 hari yang diberi rumput potong yang bebas dari kontaminasi cacing. Selanjutnya domba disembelih untuk menghitung jumlah cacing Haemonchus contortus dewasa yang terdapat pada usus abomasum. Dari hasil pengamatan rata-rata jumlah infestasi cacing yang terdapat pada abomasum secara berurutan adalah sebagai berikut: 105 hari (± 13 ekor), 84 hari (± 14,65 ekor), 63 hari (± 18,50 ekor) dan 42 hari (± 40,00 ekor). Akan tetapi walaupun jumlah populasi Haemonchus contortus paling rendah pada waktu istirahat 105 hari, namun jika dihubungkan dengan sifat pertumbuhan rumput Brachiaria brizantha maka waktu istirahat gembala yang optimum pada sistim rotasi penggembalaan adalah selama 84 hari (3 bulan). Kata kunci: Domba, rumput Brachiaria brizantha, cacing Haemonchus contortus, rotasi gembala
PENDAHULUAN Penyakit cacing nematoda saluran pencernaan merupakan penyakit yang menyerang hampir semua ternak domba dan
354
kambing di Indonesia. Angka prevalensinya berkisar 80%. Penyakit ini banyak menimbulkan masalah karena menghambat pertumbuhan dan sering menimbulkan kematian terutama pada ternak muda. Pada
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
ternak yang digembalakan di daerah perkebunan karet di Sumatera Utara dilaporkan bahwa angka kematian mencapai 28% (HANDAYANI dan GATENBY, 1986), sedangkan di Jawa Barat dilaporkan berkisar antara 2-12% (BERIAJAYA dan STEVENSON, 1986). Pada saat ini introduksi ternak domba sedang digalakkan di daerah perkebunan terutama di Sumatera Utara mengingat berlimpahnya sumber pakan di lahan perkebunan. Pada umumnya ternak ini digembalakan secara terus menerus pada suatu tempat ke tempat lain secara bergiliran. Secara ideal seharusnya suatu tempat harus dibiarkan tanpa ada penggembalaan selama 2-3 bulan sehingga larva infektif yang ada di rumput sebagai akibat kontaminasi oleh tinja dari ternak tertular, dapat mati (CHARMICHAEL, 1991). Apabila ternak digembalakan secara terus menerus pada suatu lahan maka biasanya akan timbul masalah penyakit cacing nematoda saluran pencernaan. Hal ini terjadi karena rumput tempat penggembalaan telah terkontaminasi oleh telur cacing yang keluar bersama tinja dan telur ini kemudian menetas menjadi larva yang selanjutnya akan berkembang menjadi larva invektif yang siap untuk menulari lagi bila termakan oleh ternak domba. Pelaksanaan rotasi penggembalaan merupakan salah satu cara untuk meminimalkan tingkat infeksi saluran pencernaan pada ternak. Selain itu sistem rotasi gembala juga berguna untuk menyediakan waktu rumput untuk bertumbuh kembali setelah masa penggembalaan. Menurut CHARMICHAEL (1991) interval ideal untuk setiap periode rotasi penggembalaan antara 10-84 hari dengan titik potong realistik paling rendah, kira-kira dua setengah bulan. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam penggembalaan di daerah iklim tropis adalah pengontrolan infeksi cacing yang merugikan ternak (GATENBY dan BATUBARA, 1994). Beberapa ahli merekomendasikan pembuatan petak (plot) untuk pembuatan sistim rotasi penggembalaan ternak. Ternak digembalakan pada setiap plot dengan jangka waktu tertentu, sesuai dengan kemampuan daya tampung yang ada (carrying capacity) dari setiap plot tersebut. Sesudah itu dipindahkan ke tempat plot lainnya supaya plot tersebut diistirahatkan dengan jangka waktu
tertentu dengan memperhatikan dua aspek yaitu: batas lamanya waktu siklus hidup cacing yang mau dicegah dan tingkat pertumbuhan rumput yang berada di padang penggembalaan tersebut. Dengan mengistirahatkan (mengisolasi) plot dari penggembalaaan akan mengurangi pertambahan jumlah telur yang masuk ke dalam pasture tersebut. Cacing Haemonchus contortus merupakan salah satu jenis cacing yang paling dominan dan berbahaya yang menyerang ternak domba di Propinsi Sumatera Utara. Angka kematian anak domba yang diakibatkan oleh penyakit cacingan dapat mencapai angka prevalensi 20%. Jenis cacing Nematoda yang umum dijumpai di Indonesia antara lain: Haemonchus contortus, Trichostrangylus colubliformis, Strongyloides papillosus dan Oesophagostomum spp. Cacing saluran pankreas Eurytrema pancreaticum dan cacing Monieza spp. juga sudah banyak dijumpai di Sumatera Utara (WILSON et al, 1993; BERIAJAYA dan STEVENSON, 1986; CHARMICHAEL, 1990 ). H. contortus adalah cacing yang paling berbahaya dan paling banyak diamati di Asia Tenggara termasuk di Indonesia (BERIAJAYA dan STEVENSON, 1985; CHARMICHAEL et al., 1992 ; DORNY et al, 1996; ROMJALI, 1995; BATUBARA, 1997) yang mengakibatkan pertumbuhan ternak menurun dan angka kematian tinggi. Survei parasit saluran pencernaan ternak domba pada rumah potong hewan di Sumatera Utara ditemukan 13 spesies cacing yang terdiri dari 8 Nematoda, 1 Cestoda dan 4 jenis Trematoda (DORNY et al, 1996). Tingkat intensitas infeksi Nematoda sangat tinggi berdasarkan hasil survei di Propinsi Aceh dan Sumatera Utara pada tahun 1981 dan 1982 terdapat sekitar 40% ternak domba sudah terinfeksi oleh H. contortus (TEMAJA, 1980 ; LUBIS dan NASUTION, 1984). H. contortus hidup di abomasum ternak. Telur yang dihasilkan oleh cacing betina keluar bersama feses (tinja). Telur cacing menetas menjadi larva stadium pertama (L1), kemudian berkembang ke stadium kedua (L2) dengan membentuk selubung larva (kutikula) sebagai perlindungan. Larva L2 berkembang menjadi L3 dengan membentuk selubung lagi dari kutikula sebelumnya. L3 mempunyai dua lapis
355
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
selubung (kutikula) yang merupakan tahap larva infektif yang masuk kedalam saluran pencernaan melalui rumput yang dimakan oleh ternak. L3 di dalam abomasum melepaskan selubungnya berkembang menjadi stadium keempat (L4) masuk ke dalam jaringan mucosa di abomasum dan berkembang menjadi cacing dewasa yang tinggal di dalam lumen (stadium kelima atau L5). Periode perkembangan larva ini berlangsung sekitar 3 minggu atau 1–24 hari (HANSEN dan PERRY, 1990). H. contortus adalah parasit penghisap darah yang mengakibatkan penurunan bobot badan, anemia, hypoalbumin anemia, hypoprotein anemia dan mortality terutama pada ternak yang muda. Parasit ini sangat memegang peranan penting menurunkan produksi ternak domba di banyak tempat belahan dunia (TAYLOR et al, 1991). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari tingkat daya hidup cacing H. contortus dan potensi infeksi cacing tersebut pada padang rumput B. brizantha dengan berbagai tingkat rotasi padang penggembalaan ternak domba. Sehingga dapat diketahui lama pengistirahatan plot yang optimum dalam sistim rotasi padang penggembalaan rumput B. brizantha untuk ternak domba. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di plot kebun percobaan padang penggembalaan di Loka Penelitian Kambing Potong Sungei Putih, Galang, Deli Serdang, Sumatera Utara selama 4 bulan dari bulan April sampai dengan bulan Juli. Lokasi pengkajian ini terletak pada ketinggian 50 m di atas permukaan laut. Temperatur berkisar antara 23–32°C dengan curah hujan 1800 mm per tahun. Jenis rumput pada plot adalah B. brizantha yang terdiri dari 4 plot (petak) yang dipisahkan dengan pagar keliling dengan kawat kasa. Setiap plot berukuran 5 x 5 m². Sebelumnya plot tersebut telah diisi oleh ternak domba dan dibuat sekat (kandang) setiap plot perlakuan dan berdasarkan hasil pemantauan plot tersebut telah positif terkontaminasi cacing H. contortus dan telah dibuat padang penggembalaan sebelumnya.
356
Jumlah plot sebanyak 4 buah dan setiap plot mampu menampung 4 ekor ternak domba dewasa selama 2 bulan. Ternak domba yang digunakan sebanyak 12 ekor, masing-masing 3 ekor domba per plot. Ternak domba yang digunakan adalah ternak jantan muda persilangan local Sumatera dengan St. Croix dan Barbados Blackbelly berumur 6 bulan. Ternak domba sebelumnya telah diberi obat cacing 1,5 kali dosis biasa dengan racun cacing Albendazole (Valbazen). Domba tracer tersebut dikandangkan selama 3 minggu dan diberi rumput yang tidak terkontaminasi dengan telur cacing. Infestasi telur cacing pada feses diperiksa sekali seminggu di laboratorium. Untuk menjamin domba tracer bebas dari infeksi cacing maka apabila hasil analisis laboratorium positif maka domba tersebut diberi racun cacing. Keempat plot tersebut diistirahatkan dari renggutan berdasarkan lama perlakuan Plot I (P1) = 42 hari, P2 = 63 hari, P3 = 84 hari dan P4 = 105 hari. Ternak domba pada setiap perlakuan (masing-masing 3 ekor) digembalakan di plot selama 10 hari dari jam 08.00–17.00 wib. Pada sore hari diberikan makan konsentrat sebanyak 300 g per ekor. Sesudah 10 hari digembalakan domba tersebut dikandangkan kembali selama 21 hari, diberi rumput yang bebas dari kontaminasi telur cacing dan diberi pakan konsentrat. Sesudah 21 hari domba tersebut dipotong untuk dihitung berapa jumlah cacing H. contortus yang terdapat dalam abomasum dan kemudian diidentifikasi jenis kelamin cacing tersebut. Jadwal pelaksanan percobaan (Tabel 1). HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penghitungan dan identifikasi cacing H. contortus pada abomasum ternak domba tracer yang dipotong menunjukkan bahwa cacing paling banyak terdapat pada perlakuan I (Plot-I) yaitu pasture yang diistirahatkan selama 42 hari yaitu rata-rata 80 ekor cacing dengan perbandingan 46,7 ekor jantan dan 33,3 ekor cacing dewasa betina. Rata-rata jumlah cacing Haemonchus contortus yang terdapat pada abomasums ternak domba yang disembelih setelah
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
digembalakan pada plot dengan lama waktu pengistirahatan gembala yang berbeda Tabel 2. Rata-rata jumlah Haemonchus contortus dewasa pada abomasums, paling rendah terdapat pada ternak yang digembalakan pada plot yang diistirahatkan selama 105 hari (ratarata 13,33 ekor cacing), diikuti oleh kelompok
ternak domba yang yang diistirahatkan selama 84 hari (rata-rata 14,65 ekor cacing) dan selanjutnya pada plot yang diistirhatkan selama 63 hari (18,50 ekor cacing). Jumlah populasi cacing paling tinggi pada padang penggembalaan yang diistirahatkan selama 42 hari (rata-rata 40,00 ekor cacing).
Tabel 1. Jadwal rotasi penggembalaan ternak domba berdasarkan lama waktu plot yang diistirahatkan Jumlah domba (n)
Tanggal domba masuk plot
Tanggal domba keluar plot.
Tanggal domba disembelih
42 hari
3
24 April
4 Mei
25 Mei
63 hari
3
15 Mei
25 Mei
15 Juni
84 hari
3
5 Juni
15 Juni
6 Juli
105 hari
3
26 Juni
6 Juli
27 Juli
Lama plot diistrahatkan
Tabel 2. Rata-rata jumlah cacing Haemonchus contortus dewasa yang terdapat pada abomasums ternak domba berdasarkan waktu pengistirahatan plot Lama plot diistirahatkan
Ulangan (n) (ekor)
Cacing H. contortus (ekor) Jantan
Jantan
Jumlah (ekor)
Rata-rata populasi (ekor)
3
46,7
33,3
80
40,00
3
16,3
20,7
37
18,50
84 hari
3
13,3
16
29,3
14,65
105 hari
3
12,3
14
26,6
13,33
Jumlah H. Contortus dewasa (ekor)
42 hari 63 hari
200 150 100 50 0 42 hari
63 hari
84 hari
105 hari
Waktu istirahat Plot (hari) n1
n3
n2
Gambar 1. Grafik jumlah cacing Haemonchus contortus pada abomasun domba yang digembalakan dengan rotasi waktu istirahat gembala yang berbeda
357
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
(1991) Menurut CHARMICHAEL menyatakan bahwa secara ideal seharusnya suatu tempat harus dibiarkan tanpa ada penggembalaan selama 2−3 bulan sehingga larva infektif yang ada di rumput sebagai akibat kontaminasi oleh tinja dari ternak tertular, dapat mati. Maka jika ditinjau dari segi pertumbuhan rumput Brachiaria brizantha, waktu yang ideal untuk memberikan kesempatan supaya rumput dapat bertumbuh kembali setelah mengalami renggutan oleh ternak domba adalah berkisar antara 75-95 hari (± 2,5−3 bulan). Melihat interval kesempatan bertumbuh kembali rumput untuk siap digembalakan kembali maka waktu lama pengistirahatan rumput B. brizantha yang mendekati adalah 84 hari, karena pada saat tersebut tingkat infeksi cacing Haemonchus contortus lebih rendah dibandingkan dengan lama pengistrihatan yang lebih pendek jangka waktunya. Sementara itu, jika ditambah waktu lebih dari 84 hari mengakibatkan umur rumput Brachiaria brizantha sudah mulai terlalu tua untuk diberikan pada ternak domba. Dari segi penampilan ternak domba yang terdapat pada plot yang diistirahatkan dibawah 42 hari dan 63 hari sudah menunjukkan jumlah PCV yang rendah yang menunjukkan gejala anemia, bulu mulai kering dan kasar, terdapat tanda bottle jaw pada ternak domba, sehingga diperkirakan apabila digembalakan dalam jangka panjang akan mengakibatkan angka kematian pada ternak domba. KESIMPULAN Jumlah cacing Haemonchus contortus dewasa yang paling rendah terdapat pada plot yang diistirahatkan selama 105 hari dan 84 hari. Sementara itu, waktu untuk tumbuh kembali rumput Brachiaria brizantha yang telah dipotong adalah antara 75-95 hari. Maka dengan mempertimbangkan pertumbuhan rumput Brachiaria brizantha sebagai padang rumput penggembalaan untuk dapat tumbuh kembali, maka waktu yang paling optimum lama pengistirahatan plot adalah selama 84 hari (90 hari).
358
DAFTAR PUSTAKA BATUBARA, A. 1997. Studies on genetic resistance of Sumatra breed and Hair sheep crossbreds to experimental infection with Haemonchus contortus in North Sumatra, Indonesia. IMTAThesis MSc.,49. Prince Leopold Institute of Tropical Medicine, Antwerpen, Belgium,pp.212. BERIAJAYA and P. STEVENSON. 1986. Reduced productivity in small ruminant in Indonesia as aresult of gastrointestinal nematodes infections. In: Livestock Production and Disseases in the Tropics. JAINUDEEM, M.R., M. MAHYUDIN and J.E. HUHN. (Eds.) Proc. 5th Conf. Inst. Trop. Vet. Med. Kuala Lumpur. CHARMICHAEL, I. H. 1991. Animal Health Research Requirements for integrated tree copping and small ruminant production systems in Southeast Asia. In: Integrated Tree Cropping and Small Ruminant Production Systems. INIGUEZ and SANCHEZ (Eds.). Proc. of a Workshop on Research Methodologies. University of California, Davis, USA. DORNY P., A. BATUBARA, I.MIRZA and V. S. PANDEY. 1996. Helminth infections of sheep in North Sumatra, Indonesia. Veterinary Parasitology 61: 353−358. GATENBY, R. M. and L. P. BATUBARA. 1994. Management of sheep in the Humid Tropics Experiences in North Sumatra, SR-CRSP, Dept. of Anim. Sci., Univ. of California, Davis CA95616, USA and Research Institute for Animal Production Sei Putih. In: Second Symposium on Sheep Production in Malaya 22−24 November 1994, Serdang Selangor, Malaysia. HANDAYANI, S. W. and R. M. GATENBY., 1988. Effects of management system, legume feeding and anthelmintic treatment on the performance of lambs in North Sumatra. Tropical Animal Health and Production. 20: 122−128. HANSEN J. and B. PERRY. 1990. The epidemiology, diagnosis and control of gastro-intestinal parasites of ruminants in Africa. International Laboratory for Research on Animal Diseases, Nairobi, Kenya, pp.13−21. LUBIS A. H. and H. NASUTION. 1984. Haemonchus contortus infections of sheep in Aceh Besar. Proceedings of small ruminant research, Bogor. pp. 229−232.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
ROMJALI, E. 1995. Experimental infection of rams of four genotypes with Haemonchus contortus. In: Studies of genetic resistance of sheep to gastro-intestinal nematodes in North Sumatra, Indonesia. IMTA-Thesis MSc.,28. Prince Leopold Institute of tropical Medicine, Antwerpen, Belgium. pp. 52−73. TAYLOR, M. A., K. R.HUNT, C. A. WILSON. 1991. Effectiveness of clean grazing strategies in controlling Haemonchus contortus infection in sheep in the United Kingdom. Veterinary record. 129: 166−170.
TEMAJA, T. T. G. N. 1980. Pedoman pengendalian penyakit menular, Jilid II, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. pp. 83−99. WILSON, A. J., BERIAJAYA, G. ADIWINATA and R. M. GATENBY., 1993. Studies on the epidemiology and control of important diseases of sheep at Sungai Putih., North Sumatra. In: KEANE, M. (Ed.) Small Ruminant Workshop. Proc. of Workshop held in San Juan, Puerto Rico, SRCRSP, University of Calfornia, Davis,USA.pp. 29−32.
359