TINJAUAN PUSTAKA 1, Haemonchus contortus.
Cacing ini hidup didalam abomasum dan mudah dilihat sehingga disebut "Large Stomach Worm" atau "Barber's Pole Worm". Penyakit yang ditimbulkan oleh cacing parasit ini disebut haemonchosis (Whitlock, 1959) dan lebih sering ditemukan pada domba dan kambing. Soulsby (1982) menjelaskan bahwa cacing jantan mempunyai panjang 10-20 mm dan berwarna kemerahan karena kandungan darah dalam ususnya. Cacing betina mempunyai panjang 18 - 30 mm, berwarna merah dengan garis-garis putih menyerupai spiral, ha1 ini adalah bagian ovarium yang mengelilingi ususnya. Cacing mempunyai lancet pada bagian dorsal dari rongga mulutnya dan "papillae cervicales" berbentuk duri. Bursa pada cacing jantan mempunyai "lobi lateralis" berbentuk oval dan sebuah "lobus dorsalis" yang diperkuat oleh jari - jari berbentuk huruf Y yang terletak secara asimetris pada "lobus lateralis" kiri. Cacing betina mempunyai penutup vulva. 1.1. Daur hidup Siklus hidup cacing ini adalah langsung, artinya tidak memerlukan induk semang antara (Gambar 1). Cacing betina dewasa bertelur antara 5.000 - 10,000 t
butir setiap hari. Telur mempunyai panjang 70 - 85 mikron dengan diameter 41 48 rnikron. Pada waktu telur dikeluarkan bersama tinja, sudah berisi embrio yang terdiri dari 16 - 32 sel (Soulsby, 1982). Kulit telur H.Contortus terdiri dari satu lapis, sehingga tidak tahan terhadap kekeringan dari pada telur yang mempunyai 2 lapis (Waller, 1971). Telur dapat menetas pada suhu optimum 25°C (Crofton, 1963) clan curah hujan sekitar 22.0 - 52.25 mm (Dinaburg, 1944). Suhu terendah untuk dapat menetaskan telur cacing II,contortus adalah sekitar 9°C (Crofton, 1965). Telur menetas ditanah menjadi larva stadium pertama (L,) yang selanjutnya mengadakan ekdisis menjadi larva stadium kedua (LJ. Larva stadium pertama dan
Larva Stadium 5 ( i n f e k t i p ) ( d i n u k o s a abomasum)
Telur berembrio (dikeluarkan bersana feces)
L a r v a S t a d i u m 4 -(i n f e k t i p ) ( d i m u k o s a abomasum)
L a r v a S t a d i u m 1 (L1) (didalam f e c e s , d i tanah)
Larva stadium 3 ( i n f e k t i p ) ( d i rumput) +
J
Larva Stadium 2 (L2) (didalam f e c e s , d i tanah)
GAMBAR 1. SIKLUS D U P CACING H.CONTORTUS
kedua memakan mikro-organisme yang terdapat didalam tinja induk semang (Levine gg d.,1974). Larva stadium kedua kemudian mengadakan ekdisis lagi membentuk larva stadium ketiga (5),yang disebut juga larva infektif, yang masih mempunyai selubung kutikula L, sehingga L3 memiliki dua selubung. Produksi maksimum larva infektif didapat pada suhu 20" sampai 27°C (Crofton, 1963). Larva infektif lebih tahan terhadap kekeringan dan udara dingin daripada L, dan L,. Larva infektif tidak makan tetapi dapat hidup dari persediaan makanan yang disimpan dalam sel-sel ususnya. Larva infektif ini aktif memanjat daun rerumputan pada pagi dan malam hari. Stadium infektif dicapai dalam 4-6 hari, bila keadaan optimal. Infeksi pada domba terjadi sewaktu larva infektif tertelan bersarna makanan dan selanjutnya larva melepaskan selubung kutikulanya di dalam lambung bagian depan.
Rogers (1966) dan Nichols a d. (1985) melaporkan bahwa L3
melepaskan selubung kutikulanya didalam rumen. Larva infektif (L, mengadakan ekdisis dalam waktu 48 sampai 72 jam setelah sampai didalam abomasum dan membentuk larva stadium keempat (L,) yang dilengkapi dengan "buccal capsul" sementara. Larva ini menyusup kedalam mukosa dan menghisap darah. Tetesan darah pada luka kemudian membeku dan menyeliputi larva tersebut. Setelah 3 hari,
L, membebaskan diri dari bekuan darah dan mengadakan ekdisis terakhir dan membentuk larva stadium kelima (L,). Larva ini kemudian membenamkan diri kedalam mukosa abomasum dan berkembang menjadi dewasa. Hasil pengamatan
Dakkak et al. (1981) didapatkan bahwa larva infektif sarnpai pada gerbang omasoabomasum 6 jam sesudah inokulasi. Setelah sampai digerbang omaso-abomasum didapatkan 3 bentuk larva yaitu larva infektif yang berselubung kutikula, larva tidak berselubung kutikula dan larva yang bergulung. Perjalanan migrasi larva melalui jaringan mukosa sampai ke abomasum disebut phase histo-tropik (Silverman dan Patterson, 1960). Dalam perkembangan L, kadang-kadang mengalami hambatan atau terhenti pertumbuhannya. Keadaan ini disebut hipobiose (Naerland, 1952; Field gg
d.,1960). Keadaan hipobiose ini kemudian ditegaskan lagi oleh
Michel (1974), Schad, (1977) dan Ikeme a
a. (1987). Hipobiose terjadi karena 1)
kekebalan induk semang (Donald et al., 1964; Dineen a d . , 1965; Christie dan Brambell, 1967); 2) makanan induk semang (Poeschel dan Todd, 1969); 3) suhu penyimpanan larva (Rose, 1963; McKenna, 1973a) 4) umur larva pada waktu infeksi (Blitz dan Gibbs, 1972; McKenna, 1973b); 5) musim (Connan, 1971; Brunsdon, 1972; Waller clan Thomas, 1975; Southcott et al., 1976; Coadwell dan W d , 1977); 6) umur dari induk semang (Connan, 1975); 7) golongan darah dan induk semang (Radhakrisnan et d.,1972) dan 8) ras dari induk semang (Knight GI d . , 1973). Pertumbuhan larva yang terhambat atau terhenti dapat juga terjadi pada infeksi yang banyak, misalnya sejuta larva sekaligus (Christie, 1970; Silverman a . , 1970). Pada phase ini terjadi kematian larva walaupun kecil jumlahnya (Grenfell a d.,1987). Hong
d.(1986) lnembantah bahwa hipobiose itu terjadi
sewaktu kematian cacing dewasa. Smith (1988) mengatakan bahwa kematian larva infektif terjadi melalui 3 proses yaitu 1) akibat kerusakan larva infektif sewaktu ditelan induk semang, 2) kerusakan menjadi lebih parah ketika pelepasan kutikula dan 3) sewaktu berada dipermukaan mukosa lambung. Inokulasi bertahap dengan dosis 100 larva selama 30 hari dapat juga mengalami hipobiose lebih banyak dari pada dosis 3.000 larva sekaligus @innen et al., 1965).
Hunter dan Mackenzie
(1982) menyatakan bahwa L, terbentuk 4 hari setelah infeksi, sedangkan L, terbentuk pada hari ketujuh sesudah infeksi. Cacing menjadi dewasa dalam abomasum setelah 18 hari dan telur pertama dikeluarkan bersama tinja induk semang antara hari kedelapan belas sampai ke duapuluh satu setelah infeksi. Produksi telur paling banyak pada hari ke duapuluh lima sampai ke tigapuluh. Selama perjalanan dimukosa abomasum, larva infektif mengisap darah induk semang.
1.2. Patogenese Larva stadium empat (Lk)dan L, merusak jaringan sewaktu migrasi dan setelah menjadi cacing dewasa merusak jaringan mukosa abomasum. Cacing melekatkan diri pada mukosa abomasum dan menghisap darah selama kurang lebih 12 menit, lalu melepaskan diri, dan luka yang ditimbulkan masih tetap mengeluarkan darah kurang lebih selama 7 menit. Perdarahan yang berlangsung cukup lama itu adalah karena terdapatnya antikoagulan yang dikeluarkan oleh kelenjar pada bagian kranial cacing ini (Soulsby, 1961). Dakkak
A.(1981) mendapatkan larva infektif pada gerbang abomasum 6
jam sesudah infeksi dan perdarahan abomasum terjadi 7 hari sesudah infeksi (Dargie dan Allonby, 1975; Silverman @ d.,1970). Migrasi larva infektif didalam mukosa abomasum dan kerusakan fisik oleh cacing dewasa menimbulkan peradangan pada abomasum yang disebut abomasitis sehingga menimbulkan ganggum dalam pencernaan. Coop (1971) mendapatkan pH cairan abomasum meningkat dan perubahan histo-patologi terjadi 25 hari sesudah infeksi (Charleston, 1965; Hunter dan Mackenzie, 1982). Blood & d.(1989) menyatakan bahwa infeksi 500 cacing dewasa tidak menimbulkan gejala sakit, tetapi apabila infeksi lebih dari 1.000 acing dewasa, menyebabkan infeksi yang berat. Infeksi 3.000 acing dewasa pada anak domba dan 9.000 cacing pada domba dewasa, menyebabkan angka kematian yang tinggi.
Manton
A. (1962) menyatakan bahwa infeksi
dengan 1.500 larva infektif,
menyebabkan anemia pada anak domba yang berumur 2-4 bulan. Clark
d.(1962)
dari penelitiannya mendapatkan bahwa setiap cacing dewasa dapat menghisap darah
domba sebanyak 0,05 ml. tiap hari. Gejala klinis yang nampak dari infeksi B. contortus yang fatal adalah anemia. Jennings (1976) mengatakan bahwa anemia yang disebabkan oleh parasit dapat terjadi karena :
1. perdarahan secara langsung sehingga tubuh kehilangan
darah.
2. kekurangan nutrisi.
3.. penghancuran sel darah atau eritro-pagositosis. Derajat anemia yang terjadi tergantung dari derajat infeksi parasit yang ada didalam tubuh hewan. Derajat anemia dapat diukur secara kwantitatip dengan mengukur kadar hemoglobin dan jumlah eritrosit per milimeter volume darah (Schalm gt d . , 1975). Arifin (1982) mendapatkan adanya anemia ringan (Hb 9,31 gr%) pada inokulasi 500 larva infektif dan anemia sedang (Hb 9,15 gr%) pada inokulasi 2.000 larva infektif. Silverman
d.(1970) mendapatkan anemia berat
(Hb 4,s gr%) pada inokulasi 10.000 larva infektif. Keadaan anemia pada infeksi H. contortus juga dihasilkan pada ternak lainnya (Arzoun gt &. , 1983 pada karnb-ing). Hasil penelitian pada anak sapi juga sudah dilaporkan (Altaif a d.,1980; Hunter dan McKenzie, 1982; Shoo dan Wiseman, 1986). Nilai hematokrit pada infeksi cacing H.contortus merupakan refleksi dari hilangnya darah dan ini memberikan korelasi dengan jumlah telur cacing dalam tinja (Albers dan Le-Jambre, 1983). Robert dan Swan (1982) m e n g a t . bahwa penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit mempunyai korelasi dengan jurnlah infeksi cacing dewasa didalam abomasum. isotop Dargie dan Allonby (1975) mendapatkan anemia Melalui teknik radio + pada domba yang menderita haemonchosis berlangsung dalam tiga tahap. Tihap pertama berlangsung sampai 3 minggu sesudah inokulasi larva infektif. Domba menderita kehilangan darah dalam jumlah besar karenamigrasi larva infektif dan pendewasaan larva menjadi cacing dewasa. Sistem eritropoetik masih mampu memproduksi eritrosit dalam jumlah yang cukup. Ini analog dengan hasil penemuan Scott g t A. (1971). Pada tahap kedua berlangsung antara minggu ketiga dan kedelapan. Kehilangan darah berlangsung terus r~encapaijumlah maksimum sehingga terjadi mobilisasi sistem eritropoetik dan kadar zat besi dalarn serum
-
menjadi naik. Kapasitas hewan penderita mereabsorbsi zat besi hemoglobin sedikit (Dargie dan Allonby, 1975). Soulsby (1982) menyatakan bahwa reabsorsi zat besi didalam usus hanya mencapai 11 persen. Akibatnya cadangan zat besi didalarn tubuh menjadi kurang. Dan tahap ketiga dari anemia didapatkan rendahnya kadar zat besi dalam serum dan nilai hematokrit rendah karena lelahnya sistem eritropoetik. Dargie (1975) mendapatkan adanya kehilangan serum protein kedalam usus sebanyak 210-340 mg per 100 ml.
Abbott & d.(1986a) menemukan adanya penurunan kadar besi serum pada minggu keenam sampai minggu kesepuluh sesudah domba di inokulasi larva infektif. Penemuan ini sejalan dengan hasil penelitian Bremer dan Ronalds (1965) pada
anak sapi. Jennings (1976) menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi perjalanan haemonchosis yaitu keadaan nutrisi, kemampuan reaksi tubuh secara cepat terhadap tekanan sistem eritropoetik dan kekebalan dari induk semang. Kemungkinan lain adalah faktor genetik (Whitlock, 1958; Whitlock dan Madsen, 1958; Madsen dan Whitlock, 1958; Ross gj d.,1959). Domba dengan hemoglobin type A lebih resisten terhadap infeksi H.contortus daripada domba dengan hemoglobin type B (Jilek dan Bradley, 1969; Radhakrishnan a d.,1972; Allonby dan Urquhart, 1976; Preston pan Allonby, 1979). Dineen g t A. (1978) menyatakan bahwa pada kelompok domba terdapat dua golongan yaitu "responder" dan "non responder" artinya yang memberikan reaksi kekebalan dan yang tidak. Beberapa galur domba dapat juga memberikan kekebalan terhadap H.contortus. Radhakrishnan & d.(1972) dan Bradley
A. (1973)
menyatakan bahwa domba Florida lebih kebal daripada domba Rambouillet dan domba Red Masai dari pada domba Hampshire (Preston dan Allonby, 1979). Patogenese haemonchosis tergantung pada umur induk semang sewaktu mendapat infeksi. Keadaan lebih parah terjadi pada umur 2-4 bulan, kemudian umur 4-5 bulan (Hunter dan Mackenzie, 1982) dan 6-7 bulan (Arifin, 1982).
Adanya pengaruh mutu ransum makanan terhadap patogenese haemonchosis masih belum jelas (Preston dan Allonby, 1978). Penelitian terakhir terhadap tinggi dan rendahnya kadar protein di dalam ransum makanan ternyata tidak berpengaruh terhadap patogenese haemonchosis (Abbot a d.,1986a, 1986b), tetapi mortalitas, gejala klinis seperti apatis, oedema dan penurunan berat badan lebih banyak terjadi pada domba-domba yang diberi ransum berprotein rendah. Dari hasil penelitian Downey (1965) didapatkan bahwa ransum makanan yang berkadar cobalt rendah akan memperhebat patogenese haemonchosis.
1.3. Gejala klinis Gejala klinis pada infeksi cacing Y.contortus dapat dibagi atas tiga sindrom (Soulsby, 1982) yaitu hiperakut, akut dan kronis. Hiperakut terjadi akibat makan larva infektif dalam jumlah besar dalam waktu singkat di padang pengembalaan. Larva infektif terdapat dalam jumlah besar dipadang pengembalaan pada periode 5 sampai 6 minggu sesudah kontaminasi (Donald, 1967). Kusumamihardja (1970) mengatakan bahwa infeksi paling besar terjadi bulan Desember-Maret dan domba lokal banyak terkena infeksi oleh cacing Y. contortus. Schillhorn van Veen (1978) mengatakan bahwa infeksi p a h g besar juga terjadi pada 2 sampai 4 minggu sesudah hujan. Domba menjadi kurus, lemah, mata masuk kedalam (celong), rambut surarn, jumlah telur didalarn tinja diatas 8.000 (Fabiyl
d.,1979).
Domba yang mebderita infeksi cacing a. wntortu~dalarn jumlah banyak menunjukkan anemia berat, tinja berwarna merah kehitaman dan kematian mendadak tanpa memperlihatkan gejala klinis terlebih dahulu. Domba anak dan domba yang menyusui paling banyak diserang infeksi cacing (Jubb a d.,1985). Domba dewasa pun dapat diserang apabila belum mendapatkan pengalaman infeksi.
Pada infeksi cacing yang akut, anemia berkembang secara cepat dimana
mukosa conjunctiva berwarna pucat. Anemia diikuti pula dengan hipo-proteinanemia dan oedema mulai dari rahang bawah sarnpai ventral abdomen (bottle jaw) dan berakhir dengan kematian (Blood
d.,1989).
,
Morbiditas haemonchosis mencapai 100 persen dan mortalitasnya rendah (Soulsby, 1982). Jumlah telur cacing didalam tinja (TTGT) dapat mencapai 100.000 dan karkas berwarna pucat dan berair. Pada infeksi 500 cacing dewasa tidak menimbulkan gejala klinis tetapi apabila lebih dari 1.000 cacing dewasa menyebabkan infeksi yang fatal. Infeksi 3.000 cacing dewasa pada domba anak dan 9.000 cacing pada domba dewasa bisa menimbulkan kematian. Haemonchosis yang kronis lebih sering ditemukan didalam praktek dan memberikan nilai ekonomi yang buruk kepada induk semang domba (Allonby dan Urquhart, 1975; Eysker dan Ogunsusi, 1980). Nilai ekonomi yang dimaksud adalah turunnya berat badan dan berkurangnya produksi wool (Carter gt d.,1946; Brunsdon, 1964; Barger dan Cox, 1984). Penurunan berat badan terjadi karena adanya anoreksia sehingga akan mernperburuk icadaan anemia (Dargie, 1973). Keadaan ini akan lnenjadi lebih buruk lagi bahkan kematian kalau tidak diberikan ransum yang bernutrisi tinggi (Allonby dan Urquhart, 1975). Hewan menjadi lemah, kurus dan kondisi tubuh tergantung dari kemampuan sistem eritropoetik, cadangan zat besi dan metabolisme nutrisi didalam tubuh domba. Pada nekropsi seluruh jaringan tubuh berwarna pucat, darahnya encer; pada rongga perut berisi cairan dan jaringan lemak bersifat gelatin. Dalam abomasum terjadi perdarahan, ulcus pada jumlah infeksi cacing berkisar antara 100 - 1.000 (Jubb
a d.,1985).
Hasil penelitian yang baru dari Abbot gt d.,(1986a) menunjukkan bahwa mortalitas akan menjadi tinggi pada dombadomba yang diberi ransum berprotein rendah. Gejala klinis yang nampak adalah apatis, tidak mau makan (anorexia), penurunan berat badan dan oedema. Gejala anemia, hip-proteinaemia dan h i p albuminaemia nampak juga pada domba-domba yang diberi ransum berprotein tinggi tetapi tidak separah pada yang diberi ransum berprotein rendah (Abbot @
d.,1986a). Jumlah telur cacing per gram tinja (TTGT)dan cacing dewasa tidak menunjukkan kelainan pada perbedaan ransum ini. Konsistensi tinja lembek tetapi jarang terjadi diare. Kadar besi serum menurun pada minggu ke 6 sampai 10 sesudah infeksi larva (Abbot g t &. , 1986b).
Suatu fenomena dari kekebalan terhadap infeksi cacing adalah reaksi "selfcure" artinya penyembuhan sendiri. Reaksi self-cure terjadi pada infeksi cacing H. contortus. Reaksi ini pertama kali dikemukakan Stoll (1929) karena adanya penurunan TTGT; kemudian ditegaskan kembali oleh Stewart (1953). Self-cure dan penurunan TTGT atau hambatan dari produksi telur merupakan reaksi kekebalan (Stewart,l950 ; Soulsby dan Stewart, 1960). Self-cure terjadi secara alami karena induksi oleh infeksi larva infektif yang berulang-ulang sehingga dapat mengeluarkan sejumlah cacing dewasa (Soulsby dan Stewart, 1960). Reaksi self-cure dimulai
pada waktu L, ekdisis menjadi L, yang menyebabkan terjadi gerakan peristaltik mukosa abomasum sehingga mendorong cacing H.contortus keluar (Murray, 1973; Befus dan Bienenstock, 1982). Penurunan TTGT dan keluamya sejumlah cacing dewasa terjadi pada 2 minggu sesudah diinokulasi larva infektif. Domba menjadi resisten terhadap infeksi parasit cacing yang sama (Luffau & d., 1981). Smith (1977a) mendapatkan adanya kenaikan antibodi didalam serum darah pada domba yang mendapat infeksi berat. Selain itu kenaikan antibodi didalam serum terdapat juga pada domba-domba yang diinokulasi larva infektif yang telah diradiasi (Smith dan Christie, 1978). Allonby dan Urquhart (1973), menyatakan bahwa self-cure tidak saja memerlukan induksi larva infektif baru tetapi bertalian dengan zat yangada pada rumput yang baru tumbuh sesudah hujan. pada domba dewasa daripada domba anak (UrquSelf-cure sering terjadi * hart & d., 1966a, 1966b). Hubungan antara golongan darah dengan terjadinya self-cure juga diperlihatkan oleh Evans dan Whitlock (1964); Allonby clan Urquhart (1973). Terjadinya self-cure pada domba dengan golongan darah AA lebih kuat daripada golongan darah BB (Luffau
d.,1981).
1.4. Terapi Penggunaan obat cacing dalam pemberantasan parasit cacing belum banyak dilakukan petani di Indonesia karena sulitnya mendapatkan obat di pasaran bebas, harga yang relatif masih dirasakan mahal serta cara aplikasinya yang membutuhkan ketrampilan sehingga hasil survei yang dilakukan Direktorat Kesehatan Hewan (1978) didapatkan data bahwa kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh infeksi cacing H. contortus cukup tinggi sehingga perlu dicarikan cara penanggulangannya untuk mengurangi kerugian ekonomi ini. Usaha - usaha dalam pemberantasan parasit cacing H. contortus sudah lama dilakukan hanya dengan obat cacing phenothiasin (Gordon, 1942; Britton gt d.,1943).
Obat ini diberikan dalam volume
yang besar sehingga dapat mencemari bulu, urine dan saliva yang berwarna merah kecoklatan (Prichard, 1978).
Di negara maju penggunaan obat cacing untuk
pengobat-an dan kontrol terhadap infeksi cacing H. contortus pada hewan budidaya sudah lama dilakukan peternak. Prichard
A. (1980) membagi obat cacing berda-
sarkan susunan kimia, daya kerja dan spektrum aktivitas dalam 4 grup yaitu benzimidasol;. levamisol dan morantel; salisilanilida dan nitrophenol; organophosfat. G r u ~Benzimidasol. Thiabendosol dari grup ini banyak digunakan untuk pemberantasan cacing H. contortus, karena efektif terhadap cacing dewasa dan larva infektif. Diberikan secara per oral dengan dosis 44 mg per kg berat badan (Soulsby, 1982). Grup benzimidosol juga efektif terhadap cacing lainnya seperti Nematodirus spp. ; Strongvloides spp. ; Bunostomum spp. ; Moniezia spp. ; Ostertogia spp. ; Fasciola spp.; (Anderson gt d., 1977; Downey, 1977; Kelly
d., 1977;
Prichard gt d.,1978). Beberapa tahun kemudian dilaprkan adanya resistensi grup benzimidosol terhadap H.contortus dibeberapa negara seperti di Belanda (Boersema a d.,1982), di Australia (Prichard a A,,1980), di Swiss (Jordi, 1980), di New Zaeland (Vlassoff dan Kettle, 1980) dan di Inggris (Britt, 1982). Grup Levamisol dan Morantel. Levamisol mempunyai daya kerja sangat efektif sekali terhadap H.contortus pada dosis 7,s mg per kg berat badan (Prichard, 1978). Dosis berlebihan dalam penggunaan levamisol menyebabkan keracunan
kholinergik seperti tremor, hipersalivasi dan paralise. Pemberian levamisol tersendiri atau bersamaan dengan thiabendosol dalam kurun waktu kurang dari 1 bulan dapat menimbulkan resistensi terhadap obat dari H.contortus (le Jambre, 1978). Pemberian morantel dengan dosis 1,s mg. per kg ransum tiap hari dapat mengurangi TTGT dan jumlah larva dipadang pengembalaan (Jacobs
d.,1981).
Dengan menurunnya 71 persen jumlah cacing dewasa didalam abomasum dapat menaikkan berat badan rata-rata sekitar 24 kg pada anak sapi (Armour a d., 1982). G r u ~Salisilanilida dan Nitro~henol. Obat cacing ini berspektrum sempit mempunyai daya efektif terhadap cacing H. contortus dewasa (Sinclear dan Prichard, 1975). Preparat lain adalah disophenol yang di Indonesia pernah dicoba untuk kontrol terhadap H.contortus didaerah Jawa Barat (Soetedjo a d.,1980), tetapi penggunaan obat ini tidak berkembang berhubung harganya masih cukup mahal buat petani. Preparat dari grup organophosfat seperti haloxon, crufomat, coumaphos, rometin sudah digunakan pada dosis tunggal (Blood, et alL 1989) tetapi mempunyai aktivatas kurang efektif (Kingsbury dan Curr, 1967). Kombinasi trusi (CuSOJ dan tembakau (nikotin) sebagai obat cacing terhadap H.contortus sudah lama digunakan (Marsh, 1958; Hungerford, 1970). Obat cacing ini sangat efektif juga terhadap cacing Ostertagia spp., Trichostron~vlusspp. dan Moniezia spp. (Hopkins, 1978). Prichard (1978) mengatakan bahwa obat cacing kombinasi ini harus diberikan langsung kedalam abomasum untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
2. Zat besi (Fe). Zat besi adalah mineral esensial untuk hematopoesis. Seluruh tubuh mengandung zat besi dalam ikatan kompleks dengan protein. Sebagian besar zat besi terdapat didalam hemoglobin 65 persen; dalam bentuk zat besi cadangan didalam tubuh 30 persen yang terdiri dari feritin dan hemosiderin terdapat dalam hati, limpa, sumsum tulang; didalam mioglobin 3 persen dan sisanya dalam bentuk enzim-heme, enzim-non heme dan sideropilin "iron transport protein transferin" (Kaneko, 1980). Fungsi terpenting dari zat besi dalam ikatannya dengan protofirin adalah untuk membentuk hemeprotein. Apabila proteinnya globin terbentuklah hemoglobin dan mioglobin dan apabila proteinnya apoenzim terbentuklah enzimheme. Enzim-heme disebut sitokrom sebagai dasar dari proses respirasi dan ini merupakan tempat pertukaran oksigen. Hemoglobin mengandung 3,34 mg zat besi per gram (Kaneko, 1980). Kehilangan darah per 1 ml berarti akan kehilangan zat besi 0,51 mg. Zat besi disini mengikat oksigen dan berfungsi untuk transport oksigen dan karbon dioksida dari dan untuk jaringan. Mioglobin juga mengikat oksigen dan berfungsi sebagai cadangan oksigen dalam jaringan otot. Pada hewan yang hidup di air laut kadar zat besi pada rnioglobin terdapat tinggi karena diguna-
kan untuk pergerakannya didalam air (Kendrew
d.,1954). Kekurangan zat besi
dapat menyebabkan pasok oksigen kejaringan berkurang dan menyebabkan anemia beserta gejala klinis lajnnya. 2.1. Metabolisme zat besi Mekanisme dasar dari metabolisme zat besi didalam tubuh hewan dibagi dalam 5 rentetan proses (Kaneko, 1980) yaitu: 1. penyerapan zat besi dari makanan, 2. transportasi, 3. pemanfaatan dan pengawetan,
4. penyimpanan, 5. pengelwan.
Zat besi yang dikosumsi berada dalarn bentuk ikatan ferri (umumnya dalam pangan nabati) maupun ikatan ferro (umumnya dalam pangan hewani). Zat besi yang berbentuk ikatan ferri oleh getah lambung (HCI), direduksi menjadi bentuk ferro yang lebih mudah diserap oleh sel mukoda usus (Gambar 2). Di dalam sel mukosa, ikatan ferro dioksidasi menjadi ferri, kemudian
bergabung dengan apoferitin membentuk protein yang mengandung zat besi yaitu feritin. Selanjutnya untuk masuk ke plasma darah, zat besi dilepaskan dari feritin dalam bentuk ferro, sedangkan apoferitin yang terbentuk kembali akan bergabung lagi dengan ferri hasil oksidasi didalam sel mukosa. Setelah masuk ke dalam plasma, maka zat besi ferro segera dioksidasi menjadi ferri untuk digabungkan dengan protein spesifik yang mengikat zat besi yaitu transferin. Faktor yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi adalah vitamin C dan protein hewani. Faktor penghambat dalam penyerapan zat besi adalah asam tanat, fosfidin, fitat, garam gararn kalsium dan fosfat dalam jumlah yang cukup banyak. Plasma darah disamping menerima zat besi b e d dari penyerapan makanan; juga menerima zat besi dari simpanan didalam tubuh, pemecahan hemoglobin
clan sel-sel yang telah mati. Sebaliknya plasma harus mengirim zat besi ke sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin, ke sel endotelial untuk disimpan dan ke semua sel untuk fungsi enzim yang mengandung zat besi. Kebutuhan zat besi didalam pakan untuk hewan budidaya dapat dilihat pada Tabel 1. Kebutuhan ini +
akan meningkat pada umur muda, kebuntingan, penderita penyakit darah dan perdarahan. Sebagi~qbesar zat besi dimanfaatkan untuk pem- bentukan hemoglobin. Sumsum tulang yang berfungsi baik dapat memproduksi sel darah merah dan hemoglobin sebesar enam kali. Zat besi yang berlebihan disimpan sebagai cadangan dalam bentuk feritin clan hemosiderin didalam sel parenkhim hati, sel-sel retikulo-endotelial sumsum tulang, hati dan l i m p .
Gambar 2 .
BAGAN METABOLISME ZAT BESI D I DALAM TUBUH
Zat besi dari makanan 3?e3++Fe2+
l?e3+ : b F e , ?+
/+
Fed+
.Zadangan 36%
-rFe3+
' I -
\ [ ,
. ,-
Hemoglobin
sumsum
4
F:3i
Feri tin Sel mukosi
Transf errin 4
4
Uaus
Plasma
Feces zat besi yang t i d a k diaerap Pemasukan>--
Penyerapan>-
~ u m b e r : Kaneko (1980).
Transport
-
E r i trosi t
Pertukaran
Ekskresi zat besi dari tubuh kurang dari 1,O mg per hari (Kaneko, 1980) dan dikeluarkan melalui tempat-tempat pengeluaran berupa urin, rambut, kuku, air susu, keringat dan tinja. Dapat pula zat besi dalam hemoglobin keluar dari tubuh melalui perdarahan . Jumlah zat besi dalam tubuh diatur terutama oleh penyerapan yang bervariasi. Faktor-faktor yang mengatur penyerapan zat besi antara lain: 1) kadar zat besi dalam mukosa usus (Conrad dan Crosby, 1963), 2) derajat kejenuhan dari sistem yang mengurus transpor zat besi tersebut dan kadar transferin dalam plasma yang dapat bersenyawa dengan feni untuk dibawa ke seluruh tubuh (Forth dan Rummel, 1973). Bila simpanan zat besi berkurang, maka penyerapan zat besi meningkat. Mekanisme kompenszsi iiomeostatik ini dapat merupakan proteksi terhadap kemungkinan bericembangnya defisiensi zat besi.
Menurunnya zat besi cadangan
ditandai oleh menurunnya feritin, sedangkan menurunnya zat besi di dalam plasma ditunjukkan oleh menurunnya zat besi dalam serum dan meningkatnya mampu ikat zat besi (Iron Binding Capacity). Pada Bbel 2 tercantum batas normal kadar zat besi dalam serum pada hewan budidaya.
Tmbel 1. Kebutuhan zat besi pada beberapa hewan budidaya
Jenis hewan
Anak sapi Sapi dewasa Sapi berproduksi Sapi bunting Domba / kambing Kuda Babi muda Babi induk Ayam petelur Anj ing Kucing
Sumber: Kaneko (1980).
Mgperhari
%be1 2. Zat besi dalam serum pada beberapa hewan budidaya
z a t besi dalam serum
(mgper 100 m l )
Sapi Anak s a p i Kuda Dornba/Kambing Babi
Sumber : Kaneko, 1980 2.2. Defiiiensi zat besi Berkurangnya zat besi di dalam tubuh akibat dari : 1) ketidak - cukupan zat besi di dalam ransum makanan, 2) gangguan penyerapan karena suatu penyakit, 3) perdarahan.
Defisiensi zat besi ada 2 bentuk yaitu "manifest", yang secara klinis jelas ada perubahan garnbaran darah, dan "latent", yaitu hanya diketahui pada pemeriksaan kadar zat besi dalam serum rendah karena adanya zat besi di dalam tubuh berkurang dan "Iron Binding Capacity" di dalam darah menjadi naik, artinya lebih
banyak lagi protein yang mengikat zat besi sehingga transfernin menjadi bebas. Defisiensi zat besi menimbulkan gejala anemia. Anemia diartikan sebagai suatu keadaan dimana kadar haernoglobh darah lebih rendah dari nilai normal (WHO, 1972).
Schalm et d. (1975) mrinci lagi bahwa keadaan anemia pada hewan
dapat dilihat dari kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan jumlah eritrosit. Berdasarkan etiologi, anemia pada hewan ternak digolongkan ke dalam tiga kelompok : a. anemia karena kehilangan darah b. anemia karena kerusakan sel - sel darah merah c. anemia karena kekurangan zat nutrisi Dari acemia kxena kehilangan darah dikenal dua jenis yaitu anemia akut dan anemia kronis. Pada infestasi cacing H, contortus pada domba kelompok anemia ini sering didapatkan di lapangan (Blood
al., 1989; Soulsby, 1982).
Sedangkan anemia karena kerusakan sel - sel darah merah juga terdapat dua jenis yaitu yang terjadi karena faktor penyakit (anaplasmosis , leptospirosis) dan faktor keracunan (logam berat dan toksin). Anemia karena gangguan pada produksi sel - sel darah merah dapat timbul karena kekurangan zat - zat gizi esensial, seperti zat
besi, asam folat, vitamin B12, protein, vitamin C, tembaga (Cu), kobalt, piridoksin, niasin, riboflavin, asam pantotenat dan thiamin. Anemia kelompok ini disebut "anemia gizi" (Suhardjo, 1986). Secara morphologi, anemia dapat digolongkan menjadi (Tabel 3) : a. Makrositik, ditandai oleh bertambah besarnya ukuran
sel darah merah; bia-
sanya jumlah hemoglobin tiap-tiap sel bertambah secara proporsional menurut ukurannya. Pada anemia ini MCV (Mean Morpuscular Volume) tinggi sedangkan MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) normal. Dari golongan anemia makrositik h i , dikenal dua jenis, yaitu megaloblastik dan non w
megaloblastik. Anemia megaloblastik biasanya disebabkan antara lain - 4 e h
.,-'
&S*'
1'4' ,
\
A
%"I
3
/-.
.
..
' \ *
< ,
"-i.
.
7 . .7, '$ ",
r
,"
0% <-7., i
/-/;c
"/'
--"
p , tt
rj
&
I
'
'
2
/
kekurangan vitamin B,, atau asam folat dan gangguan pada sintesis DNA. Sementara itu non megaloblastik timbul antara lain karena eritropoiesis yang cepat . b. Normositik, dicirikan oleh ukuran sel darah merah yang tidak berubah dan apabila MCHC juga normal, maka disebut "anemia normokromik - normositik", jenis anemia ini terjadi antara lain karena kehilangan darah yang akut, peningka-
tan volume plasma yang berlebihan, penyakit hemolitik sumsum tulang, ganggum endokrin, penyakit ginjal dan penyakit hati. c. Mikrositik, ditandai oleh mengecilnya ukuran sel darah merah dan MCV rendah. Bila MCHC rendah maka anemia ini disebut "anemia hipokromik - mikrositik". Anemia jenis ini terjadi karena kekurangan zat besi, gangguan pada sintesis globin dan porphirin. Tmbel3. Morphologi anemia
MCV
Anemia
MCHC
-
Anemia
-
Tinggi
Makrositik
Normal
Nolrmositik
Normal
Normokromik
Rendah
~ikrositik
Rendah
Hipokromik
Sumber : Schalm
d.(1975)
Keseimbangan zat besi dalam tubuh dapat diperta-hankan apabila jumlah zat besi yang hilang dari tubuh dapat diimbangi dengan zat besi yang diserap dari makanan. Pada manusia secara fisiologis, kehilangan zat besi dapat terjadi karena kehilangan zat besi basal, menstruasi, kehamilan dan menyusui demikian pula pada hewan anjing dm kucing.
Kehilangan zat besi karena basal metabolisme terjadi melalui kerusakan sel
- sel permukaan kulit,
saluran urine dan melalui gastrointestinal. Juga terdapat
kehilangan zat besi melalui keringat, empedu dan urine walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah. Pada hewan budidaya defisiensi zat besi lebih banyak diakibatkan oleh penyakit parasit (Jenning, 1976), tumor dan gangguan pembekuan darah (Kaneko g t d.,1965) dari pada ketidak - cukupan zat besi di dalam ransum makan. Ketidak - cukupan zat besi di dalam ransum lebih banyak didapatkan pada hewan babi dan pada ternak yang merumput di padang penggembalaan yang tanahnya sedikit mengandung zat besi (Davies, 1982). Mengenai cacing parasit yang menimbulkan turunnya zat besi di dalam tubuh dengan manifestasi anemia adalah H. contortus pada domba (Holmes dan Mac Lean, 1971; Dargie dan Allonby, 1975; Arifin, 1982); F,gigantica pada kerbau (Ratmini, 1986; Ogunrinade dan Bomgboye, 1980); A. caninum pada anjing (Miller, 1966). Defisiensi zat besi terjadi karena hisapan darah induk semang oleh cacing secara kronis sehingga tubuh tidak mampu untuk mengimbangi hilangnya zat besi. Pada manusia kekurangan zat besi lebih banyak disebabkan oleh intake besi yang kurang akibat konsumsi protein yang rendah (Layrisse dan Martiner, 1971) dan kwalitas makanan lebih penting dari pada sekedar jumlah intake zat besi (Djojosoebagio, 1975). ,Karyadi (1974) menemukan 87 persen pada pekerja perkebunan karet di Jawa Barat yang menderita anemia karena infeksi cacing tambang CA, daudenale). 'Walaupun zat besi ini merupakan komponen kecil, narnun memiliki fungsi yang sangat penting didalam tubuh (Dallman, 1981). Dilaporkan bahwa kekurangan zat besi dapat menurunkan kekebalan individu, sehingga sangat peka terhadap serangan bibit penyakit. Hal ini berhubungan erat dengan menurunnya fungsi enzim pembentuk antibodi seperti mielo-peroksidase sebagai akibat kekurangan zat besi tersebut (Basta, 1977).
Gejala klinis yang timbul pada defisiensi zat besi selain
anemia adalah gangguan pertumbuhan yang nyata (Hannan, 1971), pucat dan lesu,
kulit menjadi kering dan pigmentasi pada bulu (Davies, 1982). Pada babi kejadian defisiensi zat besi sangat tinggi pada umur 3 - 10 minggu dan memberikan kematian yang tinggi (Blood st al., 1989), kejadian ini erat hubungannya dengan infeksi cacing parasit (Davies, 1982). Gangguan pada alat pernafasan, diare dan oedema pada kepala (Underwood, 1981). 2.3. Pemberian zat besi Pemberian zat besi dalam bentuk ferro-sulfat (FeSO,) untuk menanggulangi defisiensi zat besi di dalam tubuh sudah banyak dilakukan pada manusia (Suhardjo, 1986; Djojosoebagio et al., 1986) dan memberikan hasil yang nyata. Hasil nyata yang dimaksudkan disini adalah menaikkan produktivitas kerja dan bahkan menaikkan daya tahan tubuh terhadap pen yakit (Karyadi, 1974).
Pemberian
preparat zat besi pada hewan budidaya dalam penanggulangan dan pencegahan defisiensi zat besi dapat dilakukan melalui oral, injeksi dan kilasi zat besi protein pada induk (Parakkasi, 1983). Zat besi yang banyak digunakan melalui oral adalah bubuk FeSO,, ferro-glukanat dengan dosis 2-4 mg per hari selama 2 minggu untuk hewan sapi dan kuda. Pemberian bubuk ini akan lebih berhasil dan efisien bila dicampur dengan konsentrat dalam bentuk kering atau dicampur dengan molase (Soulsby, 1982). Bubuk FeSO, dapat juga diberikan dalam bentuk larutan 1,8 persen dengan dosis 4 ml setiap hari. Cara lain dalam pemberian FeSO, adalah dalam bentuk pasta yang dioleskan pada puting susu induk babi dan anjing memberikan hasil baik (Harmon a d.,1974). Penelitian lain adalah pemberian ferro-fumerat dalam bentuk adonan lembek yang ditempatkan didalam kandang agar dijilati anak-anak babi, ini juga memberikan hasil yang meyakinkan baik sebagai terapi maupun sebagai pencegahan anemia zat besi. Pemberian semacam ini hasilnya sama dengan penyuntikan 200 mg iron-dextran. Weise a d.,(1972)
pernah mencoba dengan menaikkan 1,9 persen zat besi dari kebutuhan pokok pada anak domba yang menderita defisiensi zat besi, diperoleh hasil yang baik dan juga
memberikan ketahanan tubuh terhadap infeksi parasit cacing H.contortus yang berat. Zat besi yang diberikan melalui injeksi adalah iron-dextran, iron-glukonat dan iron-sorbitol dengan dosis 0,5 - 1 gram setiap minggu. Zat ini, kadang-kadang dapat menimbulkan iritasi, dan reaksi idiosinkrasi (Wagenaar, 1975), bahkan menimbulkan keracunan dan kematian pada anak babi dari'induk yang menderita defisiensi vitamin E dan selenium semasa kebuntingan (Miller et al., 1967). Walaupun demikian dengan iron - dextran diperoleh hasil yang efektip dalam penanggulangan anemia defisiensi zat besi (Davies, 1982). Pemberian vitamin B,, sebagai tambahan dapat mempercepat penanggulangan defisiensi zat besi (Froysedal dan Slagvold, 1976; Thoren-Tolling , 1975). Pemberian iron-dextran dalam penanggulangan defisiensi zat besi pada hewan budidaya masih dirasakan terlampau mahal (Blood et al., 1989) sehingga pemberian FeSO, melalui oral merupakan pilihan efektif, praktis dan ekonomis. Pemberian khilasi zat besi protein pada induk babi, selama 30 hari sebelum sampai 14 hari setelah partus dapat menaikkan kadar hemoglobin, berat badan dan jumlah anak yang lahir (Svajgr, 1976 dalain Parakkasi, 1983). Disamping hasil yang positip dari pemberian zat besi ini, juga didapat hasil yang negatip dalam bentuk keracunan (Parakkasi, 1983). Keracunan ditentukan oleh daya serap dari ion zat besi yang bebas dengan pengertian semakin cepat diserap, kemungkinan keracunan terjadi. Pemberian zat besi melalui injeksi kemungkinan besar terjadi keracunan (Brag, 1957 dalam Parakkasi, 1983).