Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002
PENGURANGAN LARVA CACING HAEMONCHUS CONTORTUS OLEH KONIDIA KAPANG TRICHODERMA SP . SECARA IN VITRO (The Effect of Trichoderma Sp. Against the Development of Haemonchus contortus Larvae) BERJAJAYA daN RIZA ZAINUDDIN ARMAD
Balai Penelitian VeterinerP.0. Box 151, Bogor 16114
ABSTRACT Haemonchus contortus is gastrointestinal nematode parasite which is mostly found in sheep. Control is usually drenching with anthelmintic . Trichoderma sp. i s nematophagous fungi anrobably can be used as biologic control . This study is aimed to determine the effect of Trichoderma sp. against the development of Haemonchus contortus larvae . A total of 35 Petri dishes containing 3 g of infectioe faeces was divided into 7 groups of 5 . Grout/ 1 is control without conidia Trichoderma sp ., while groups 2 to 6 were given conidia of 1 x 10', 1 x 10', 1X101, 1X104' 1 x l 0 and 1X106 respectively . Two weeks after, all larvae developed were counted . Average of living larvae of Haemonchus contortus from groups 1 to 6 were 1309, 767, 1014, 722, 549 and 221 . The results concluded that Trichoderma sp. affected the development of Haemonchus contortus larvae. Trichoderma sp. can probably be used for biologic control against haemonchiasis. Further study is required to determine the effect of Trichoderma sp . on Haemonhus contortus infection and their animal in vivo study. Key words : Trichoderma
sp., sheep, nematophagous fungi, Haemonchus contortus
PENDAHULUAN Haemonchiasis merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing Haemonchus contortus . Penyakit ini ditularkan melalui telur yang dikeluarkan bersama tinja dan kemudian mencemari rumput. Kerugian yang ditimbulkannya berupa penurunan produksi daging, peningkatan angka kematian terutama pada temak yang muda dan biaya pengobatan yang mahal (NANSEN, 1986). Cacing ini di dalam abomasum domba menghisap darah dan merusak mukosa abomasum. Untuk menanggulangi penyakit ini umumnya digunakan obat cacing (antelmintik), tetapi umumnya kurang memuaskan dan memerlukan biaya yang relatif mahal (WALLER et al., 1995). Antelmintik yang ampuh pada dasarnya hanya dapat memusnahkan 99,9% beberapa jenis cacing dan sebagai konsekuensinya dapat meningkatkan resistensi sebesar 0,1% dari cacing tersebut dan berperan sebagai galux baru cacing yang tahan obat cacing (WALLER, 1993) . Penanggulangan penyakit dengan menggunakan antelmintik komersial mungkin tidak lagi menjadi pilihan pokok, karena selain tidak murah terutama bagi petemakan rakyat, menimbulkan resistensi terhadap antelmintik dan residu (WALLER et al., 1995). Pada umumnya karena pemeliharaan hewan belum baik, maka masalah penyakit cacingan masih cukup menonjol karena sistem pengendalian dan manajemen yang kurang baik. Pengendalian parasit cacing melalui cara biologi dengan pemanfaatan kapang nematofagus
398
yang isolatnya banyak terdapat di Indonesia perlu dikembangkan (AHMAD, 1997) . Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui potensi kapang Trichoderma sp. sebagai kapang nematofagus terhadap larva Haemonchus contortus secara in vitro . METODOLOGI Koleksi
larva
infektif Haemonchus contortus
Cacing dewasa betina H. contortus yang didapat dari domba di rumah potong hewan Cibadak, Sukabumi. Cacing ini dihancurkan dengan mortar secara hati-hati untuk mengeluarkan telur cacing . Larutan yang mengandung telur cacing dimasukkan dalam pupukan tinja yang berisi media vermiculate yang telah dicampur dengan tinja domba yang steril dengan perbandingan 1 : 1 . Untuk pemupukan, tinja domba dan media vermiculate dihomogenkan. Campuran ini dimasukkan dalam botol pido (300 gm ) dan kemudian dipadatkan . Sisi bagian dalam botol dibersihkan dengan air, kemudian ditutup dengan cawan Petri. Satu sampai dengan lima hari setelah pemupukan, larva infektif dipanen dengan cara mengisi air ke dalam botol sampai batas mulut botol, kemudian posisi botol dibalik sehingga tutup botol (cawan Petri) berada di bawah, pada sekeliling cawan Petri diberi air . Setelah 3-24 jam, cairan tersebut ditampung pada botol
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002
lain untuk perhitungan jumlah larva cacing Haemonchus contortus (MANUAL OF VETERINARY PARASITOLOGICAL LABORATORY TECHNIQUES, 1971) . Infeksi domba donor Domba donor yang telah bebas dari parasit cacing kemudian diinfeksi dengan 5 .000 larva infektif Haemonchus contortus . Setelah satu bulan tinja domba diperkirakan sudah mengandung telur cacing H. contortus . Untuk mengetahui ada tidaknya telur pada tinja dilakukan pemeriksaan jumlah telur per gram tinja (epg) setiap minggu sekali dengan menggunakan kaca hitung Universal Whitlock (WHITLOCK, 1948). Perbanyakan Kapang Perbanyakan kapang Trichoderma sp. dilakukan pada sepuluh cawan Petri dengan menggunakan media Yeast Malt Agar (YMA). Jarum inokulasi dicelupkan dalam alkohol lalu dipanaskan dengan lampu spiritus . Cawan Petri yang berisi isolat murni Trichoderma sp. dibuka dan diambil potongan kecil media agar yang berisi isolat Trichoderma sp., lalu dipindahkan ke cawan Petri kosong yang berisi media YMA. Pada satu cawan Petri diletakkan tiga potongan kecil isolat Trichoderma sp. sehingga nantinya akan terbentuk tiga titik pertumbuhan kapang . Perlakuan di atas selalu dilakukan di dekat lampu spiritus untuk mencegah kontaminasi . Pada tepi cawan Petri yang telah berisi isolat Trichoderma sp diberi isolasi untuk mencegah terjadinya kontaminasi dari kapang-kapang lain (AHMAD, 2001) . Setelah satu minggu semua kapang yang ada pada cawan Petri dipanen, dengan cara mengerok permukaan media yang ditumbuhi dengan kapang menggunakan spatula. Setelah dikerok lalu permukaan media disiram dengan aquadest sehingga cawan Petri bersih dari kapang dan diupayakan media agar tidak ikut terkerok pada saat panen. Kemudian larutan kapang dituang ke dalam Erlenmeyer sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Larutan yang berisi kapang Trichoderma sp terkumpul sebanyak ± 200 ml. Untuk mengetahui jumlah konidia per ml dilakukan penghitungan konidia dengan menggunakan haemositometer . Penghitungan dilakukan dengan pengulangan sebanyak tiga kali dan kemudian dilakukan pengenceran mulai dari konsentrasi 1x106 sampai dengan 1x10` (AHMAD, 2001) . Perlakuan Hasil perhitungan menunjukan bahwa jumlah telur cacing yang terdapat pada tinja tersebut adalah 1360 + 120 per gram tinja . Sejumlah 35 buah cawan Petri
dibagi menjadi 7 kelompok masing-masing terdiri dari 5 cawan yang telah berisi 3 gram tinja membentuk huruf X. Sejumlah konidia kapang Trichoderma sp. dituang ke dalam masing-masing cawan Petri dari kelompok 2 sampai 6 sesuai dengan konsentrasi yang dipakai yaitu 1x10' ; 1x102; 1x103; 1x104; 1x105 dan 1x106. Setelah penuangan konidia, feses disimpan selama dua minggu dan setiap dua hari sekali tinja diperiksa, jika kering disemprot dengan aquadest agar kondisi tinja tetap lembab (MENDOZA DE GIVES et al., 1994) Pada saat panen cawan Petri diisi dengan air kran sampai penuh kemudian ditutup dengan cawan Petri yang lebih besar, dan cawan Petri dibalik serta diusahakan pada saat membalik air yang ada pads cawan Petri jangan sampai tumpah. Setelah dibalik sekeliling cawan Petri penutup diberi air 3/, dari tinggi cawan Petri tersebut. Dalam 24 jam air pada cawan Petri dituang dalam botol 60 ml.dan kemudian cawan Petri dibilas dengan air agar tidak ada larva yang tertinggal. Botol yang telah berisi larva diberi lugol lima sampai dengan sepuluh tetes untuk memudahkan proses penghitungan. Lugol berfungsi untuk mematikan larva. Penghitungan larva dilakukan dengan menggunakan kaca hitung Universal Whitlock. Penghitungan dilakukan pada dua kamar hitung untuk mengetahui jumlah larva per mililiter-nya . Selesai penghitungan jumlah larva dengan kaca hitung universal whitlock, volume air pada botol diukur dengan gelas ukur kemudian dikalikan dengan jumlah larva yang didapat, dengan demikian akan didapat jumlah larva dari tiaptiap perlakuan . HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan jumlah larva H. contortus yang masih hidup di akhir penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 . Berdasarkan dari pengamatan selama 2 minggu menunjukkan hasil sebagai berikut, pada perlakuan dengan konsentrasi 1x10' jumlah rata-rata jumlah larva H. contortus yang masih hidup sebanyak 1308,6 ekor, diikuti dengan konsentrasi 1x103 sebanyak 1013,8 ekor, konsentrasi 1x102 sebanyak 767,2 ekor, kemudian konsentrasi 1x104 sebanyak 722,2 ekor, konsentrasi 1x105 sebanyak 548,8 ekor dan konsentrasi 1x106 sebanyak 221 ekor. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa rata-rata jumlah larva H. contortus (tabel lampiran 1) pada konsentrasi 1x104 sampai dengan 1x106 memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata (Fhit>FO,o,) bila dibandingkan dengan kontrol. Jumlah larva H. contortus yang hidup pada kontrol sebanyak 1256,4 ekor, (30,8% dari jurnlah telur yang diberikan). Hal ini menandakan bahwa pada kontrol pun terdapat larva yang mati. Kemungkinan karena kondisi perkembangan larva yang tidak sesuai, yang mana larva 399
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002
berkembang dalam cawan Petri yang tertutup. Perkembangan telur dan larva H. contortus di luar tubuh induk sangat bergantung pada suhu dan kelembaban (SOULSBY, 1982; URQUHART, 1987), tetapi suhu ruang dilaboratorium diperkirakan tidak akan menghambat perkembangan larva. Pada uji Beda Nyata Jujur (BNJ) jumlah larva H. contortus tabel lampiran 1 memperlihatkan bahwa pada konsentrasi 1x101 dan 1x10' memperlihatkan hasil yang tidak nyata bila dibandingkan dengan kontrol (Fhit < FO,os) . Hal ini kemungkinan jumlah konidia kapang Trichoderma sp yang sedikit tidak dapat mempengaruhi jumlah larva H. contortus yang hidup dan efek konidia kapang tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan kelompok kontrol . Dengan demikian jumlah yang terlalu sedikit konidia kapang Trichoderma sp yang diberikan belum dapat digunakan untuk mengendalikan aktifitas perkembangan larva H. contortus . Pada perlakuan 1X102' 1X104' sampai dengan 1X106 didapatkan hasil hitungan larva yang semakin menurun. Hal diatas menunjukkan bahwa secara umum konidia Trichoderma sp dapat menurunkan populasi larva H. contortus . Banyaknya larva H. contortus yang mati diperkirakan karena kandungan mikotoksin yang ada pada Trichoderma sp. Selain itu Trichoderma sp juga memiliki kemampuan untuk penetrasi dinding sel inangnya, dalam hal ini larva H. contortus yaitu dengan cara merusak dinding sel (DENNiS dan WEBSTER, 1971) . Enzim-enzim dan antibiotik yang dihasilkan oleh Trichoderma sp seperti enzim R (1,3) glukanase dan kitinase serta suzukasilin dan alaetisin adalah enzim dan antibiotik yang diperkirakan bersifat racun terhadap beberapa kuman patogen (WELL et al., 1988). Kemungkinan sifat racun ini juga berefek pada larva cacing . Cara masuknya enzim ataupun antibiotik yang terkandung pada Trichoderma sp. ke dalam larva H. contortus diduga erat melalui lapisan jaringan tubuh H. contortus sehingga menginfeksi larva tersebut dan menimbulkan kematian pada larva. Seperti yang dikatakan KOHMOTO (1995) bahwa Trichoderma sp memiliki sifat mikoparasitisme yang kompleks yang terbagi menjadi beberapa tahap yaitu: 1 . pengenalan, 2. pelekatan, 3. membelit. Hifa Trichoderma sp tumbuh langsung ke arah inangnya. Fenomena ini timbul dikarenakan perkembangan kemotropik Trichoderma terhadap beberapa rangsangan dari inang atau melalui gradien metabolit kimiawi yang diproduksi oleh inang . Ketika Trichoderma sp. mencapai tubuh inang, hifanya akan membelit tubuh inang atau melekat pada tubuh inang dengan membentuk satu struktur seperti kait,
400
yang kemudian memproduksi appresoria pada ujung cabang hifa yang pendek . Setelah itu tahap berikutaya Trichoderma sp. tidak jarang memenetrasi tubuh inang, dengan cara perlahan-lahan mendegradasi membran sel inang yang paling luar. Appresoria yang terbentuk pada lokasi dimana kerusakan fisik terjadi dari pembentukannya dalam jumlah yang minim, namun demikian kematian yang terjadi sangatlah cepat . Tampaknya bahwa kapang ini memproduksi racun yang pertama-tama mematikan gerakan inang baru kemudian membunuh inangnya . Selain itu berbagai jenis kapang nematofagus menghasilkan ammonia dalam jumlah yang dapat membunuh cacing yang besar dan kuat, terlebih bila dilihat dari cepatnya difusi ammonia yang terjadi (COOKE, 1985) . Pada saat Trichoderma sp. menyerang larva H. contortus terkadang juga mengeluarkan beberapa enzim ekstraseluler lainnya seperti lipase dan protease, sehingga tubuh inang memperlihatkan vakuolasi, disintegrasi, dan kolaps (KOHMOTO, 1995) . Keragaman dan kompleksitas system kitinolitik pada Trichoderma sp melibatkan berbagai macam enzim yang mana hal tersebut mungkin memenuhi efisiensi maksimal untuk melawan larva H. contortus yang memiliki spektrum enzim yang luas, dengan perbedaan enzim-enzim hidrolitik yang diproduksi oleh larva H. contortus sebagai inang, sementara Trichoderma sp juga semakin menunjukkan kemampuannya untuk mengontrol perkembangan tubuh inangya . Proses yang terlibat antara lain adalah: 1 . pertumbuhan kemotropik Trichoderma, 2. pengenalan tubuh inang oleh Trichoderma, 3. pengeluaran enzimenzim ekstraseluler, 4. penetrasi hifa, 5 . terjadinya lisis pada inang (KRISHIWORLD, 2001). Larva Haemonchus contortus yang mati diduga paling banyak dalam bentuk larva infektif (L3), hal ini ditunjang dengan lamanya pengamatan dalam penelitian selama 2 minggu, maka kemungkinan larva yang sudah berkembang selama waktu tersebut adalah larva infektif (L3), seperti yang dikatakan oleh ARIFIN (1982) bahwa perkembangan larva infektif (L3) bisa dicapai dalam jangka waktu 4 sampai dengan 6 hari. Berdasarkan hasil akhir yang didapat dari rataan jumlah larva H. contortus dapat dilihat bahwa jumlah larva H. contortus yang diperoleh sedikit, dimulai dari konsentrasi konidia kapang Trichoderma sp 1x104 sampai konsentrasi 1x106. Jika melihat hasil penelitian di atas maka dapat dibuktikan bahwa kapang Trichoderma sp memiliki sifat nematofagus terhadap larva H. contortus .
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002 Tabel 1 . Jumlah larva H. contortus yang masih hidup pada akhir penelitian Ulangan
1 2 3 4 5 Jumlah Rata-rata
Kontrol 912 1800 1309 1292 969 6282 1256,4
l X 10 1
864 1716 2178 1258 527 6543 1308,6
1X102
360 1058 962 754 702 3836 767,2
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kapang Trichoderma sp memiliki sifat sebagai kapang nematofagus, karena dapat membunuh larva
Haemonchus contortus .
Perlu dilakukan penelitian secara in vivo untuk mengetahui dosis yang tepat, mikotoksin apa saja yang dihasilkan oleh Trichoderma sp untuk bisa mematikan larva Haemonchus contortus tanpa mengakibatkan dampak negatif baik bagi hewan ataupun lingkungan sekitamya . TERIMA KASIH Penelitian ini mendapat dana bantuan dari Proyek ARMP tahun anggaran 1999/2000 untuk penyediaan bahan kimia, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Proyek ARMP . Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Kepala Balai Penelitian Veteriner yang telah membantu penyediaan fasilitas penelitian. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Fitriyani Achyar sebagai mahasiswa Fakultas Biologi, Universitas Nasional, Jakarta yang telah membantu melakukan penelitian ini mulai dari persiapan awal, pelaksanaan sampai akhir penelitian. DAFTAR PUSTAKA AHMAD, R. Z . 1997 . Potensi kapang sebagai pengendali biologi terhadap cacing . Majalah Parasitologi Indonesia 10: 104-111 . AHMAD, R.Z. 2001 . Metode perbanyakan dan pemanenan spora kapang nematofagus . Komunikasi Pribadi . ARIFIN, M . .Z . 1982 . Pengaruh infestasi Haemonchus contortus pada gambaran darah domba jantan local . Tesis Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Hal . 6-16.
Perlakuan 1X103 1624 1581 560 420 884 5069 1013,8
1X104 980 448 490 608 1085 3611 722,2
1x105 348 648 310 682 756 2744 548,8
IX10 6
252 76 228 407 142 1105 221
CLARK, C .H., G .K. KIESEL and C .H . GORY . 1962 . Measurement s of blood loss caused by Haemonchus contortus infection in sheep . Am . J. Yet. Res. 5 : 973977. COOKE, R . 1985 . The Biology of Symbiotic Fungi . Botany Department, University of Sheffield. John Wiley & Sons, New York. Pp. 21-51 . DENNIS, C . and J. WEBSTER. 1971 . Antagonistic properties of species groups of Trichoderma III. Hyphal interaction. Trans Br. Mycol. Soc. 57(3): 363-369 . KRISHIWORLD. 2001 . Biocontrol of Bacteria and Phytopathogenic Fungi . http : //www .krishiworld .com, 2001, 14 Desember . KOHMOTO, K . 1995 . Pathogenesis and host specificity in plant diseases : Histopathological, biochemical, genetic and molecular bases . 2 : 289-295 . KUSUMANINGSIH, A . 1997. Kontrol biologi terhadap penyakit cacing nematoda saluran pencernaan ruminansia dengan kapang nematofagus . Majalah Parasitologi Indonesia .10 : 78-85 . MANUAL OF VETERINARY PARASITOLOGICAL LABORATORY TECHNIQUES . 1971 . Technical Bulletin No 18, Her Majesty's Stationery Office . London. MENDOZA DE GIVES, P ., M . VICTOR, and VAZQUEZ-PRATS . 1994 . Reduction of Haemonchus contortus infective larvae by three nematophagous fungi in sheep faecal cultures. Vet . Parasitol . 55 :197-203 . NANSEN, P . 1986. Production losses and control of helminths in ruminants of temperate region, Proc. Sixth International . Congress of Parasitology. Canberra. Australia Academic Science pp. 425-433 . SOULSBY, E .J .L . 1982. Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals . 7`h ed ., William Wilkins Company, London . pp . 733-740 . SUHARNA, N . 1996 . Potensi antagonisme empat isolat Trichoderma spp terhadap Rhizoctonia solani Kuhn. Jurnal Mikrobiologi Tropika 1 : 54-58 . URQUHART, R.M. 1987 . Veterinary Parasitology. Longman Scientific and Technical, London . Hal. 235-242.
40 1
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002 WHITLOCK, H V. 1948 . Some modification of the Mc Master helminth egg-counting technique and apparatus. Journal ofthe Councilfor Scientific and Industrial Research 21 : 117-118
WELLS, H.D ., D.K . BELL, and C.R .MARKAM. 1988 . In vitro antagonism of Trichoderma species against six fungal plant pathogen . Phytopathology 22 : 35 .
WALLER, P.J . 1993 . Control strategies to prevent resistance . Veterinary Parasitology 46 : 133-142. WALLER, P.J ., K.M . DASH, I.A. BARGER, L.F . LE JAMBRE, and J. PLANT. 1995 . Anthelmintic resistance in nematode parasites of sheep: learning from the Australian experience. Veterinary Record 136: 411-413.