Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
EFIKASI SERBUK DAUN NANAS TERHADAP INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA DOMBA DI STASIUN PEMBIBITAN DOMBA NANGGUNG BOGOR (Efficacy of Pineapple Leaf Exract Against Gastrointestinal Nematode Infection on Sheep in Stasiun Pembibitan Domba Nanggung Bogor) BERIAJAYA1 dan EKO HANDIWIRAWAN2 1 Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav E 59, Bogor
2
ABSTRACT Gastrointestinal nematode are most found in grazing sheep. Regular treatments with anthelmintic lead to anthelmintic resistance and residue in tissue. One of alternative treatments in to use herbal medicine from extract of pineapple leaf (Ananas comosus).The purpose of this study is to determine the efficacy of pineapple leave extract on sheep naturally infected with gastrointestinal nematodes. Slices of pineapple leave were dried on room temperature and ground in to make powder A number of 20 head of sheep age less than 2 years were randomly divided into 2 groups of 10 based on egg counts. Group 1 was given extract of pineapple leaves orally at dose of 300 mg/kg body weight on day 0 while group II was untreated and served as control group. Collection of faecal samples were carried out on day 0, 3 and 10 on each sheep. Faecal samples were processed for egg counts. The results showed the effect of pineapple leave extract were seen on day 3 which mean of egg counts reduced 30,2% on treated group compared to control group. Based on this data it is recommended to further study with repeated treatments and increasing doses. Key Words: Sheep, Anthelmintic, Pineapple Leaves, Ananas Comosus ABSTRAK Cacing nematoda saluran pencernaan sering menyerang ternak domba terutama yang digembalakan. Pemberian obat cacing yang terus menerus menyebabkan resistensi obat dan residu dalam jaringan tubuh hewan. Salah satu alternatif pengobatan adalah dengan menggunakan obat cacing berasal dari ekstrak daun nanas (Ananas comosus). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efikasi ekstraksi air serbuk daun nanas terhadap infeksi cacing saluran pencernaan pada domba. Potongan daun nanas dianginkan dan setelah kering dibuat serbuk. Penelitian ini dilakukan di Stasiun Pembibitan Domba, Nanggung, Kabupaten Bogor. Sebanyak 20 ekor domba yang terinfeksi cacing secara alami, berumur dibawah 2 tahun dibagi secara acak menjadi 2 kelompok masing-masing 10 ekor berdasarkan jumlah telur cacingnya. Kelompok I diberi ekstraksi air serbuk daun nanas dengan dosis 300 mg/kg berat badan per oral satu kali pada hari ke 0. Kelompok II merupakan kelompok kontrol tanpa pemberian ekstraksi air serbuk daun nanas. Pengambilan sampel tinja dilakukan pada hari ke 0 (saat pemberian ekstraksi air serbuk daun nanas), 3 dan 10 (setelah pemberian serbuk daun nanas) pada setiap individu hewan percobaan. Sampel tinja diperiksa terhadap jumlah telur cacingnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek pemberian ekstraksi air serbuk daun nanas terlihat pada hari ke 3 dimana rata-rata jumlah telur cacing menurun sebesar 30,2% pada kelompok pengobatan dibandingkan rata-rata telur cacing pada kelompok control, yang mana penurunannya hanya 3%. Oleh karena efek pemberian ekstraksi air serbuk daun nanas hanya terlihat 3 hari setelah pengobatan maka kemungkinan perlu dilakukan pengobatan ulang dan peningkatan dosis. Kata Kunci: Domba, Antelmintik, Daun Nanas, Ananas Comosus
PENDAHULUAN Cacing nematoda saluran pencernaan merupakan sekelompok cacing nematoda yang terdapat pada saluran pencernaan ternak
ruminasia. Infeksi oleh cacing ini menyebabkan penurunan produksi ternak yang diserang (BERIAJAYA dan STEVENSON, 1985). Penurunan produksi dapat berupa turunnya bobot badan, terhambatnya pertumbuhan,
973
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
turunnya produksi susu pada ternak yang menyusui serta turunnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit. Tanda klinis hewan yang terserang adalah kekurusan, bulu kusam, mencret terutama pada musim hujan serta kematian yang akut pada hewan-hewan muda. Saat ini penanggulangan penyakit ini dilakukan dengan pemberian obat cacing secara berkala, tetapi sayangnya bila pemberian obat cacing dilakukan secara terus menerus dengan jenis golongan obat yang sama akan menimbulkan resistensi terhadap obat tersebut (PRICHARD, 1990; WALLER, 1994; WALLER et al., 1995). Kasus kejadian resistensi terhadap obat cacing sudah dilaporkan ada di Indonesia (HARYUNINGTYAS et al., 2001) sehingga bila tidak diambil tindakan maka kasus ini akan makin meluas (BERIAJAYA et al., 2003). Beberapa cara untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap antelmintik adalah dengan menggunakan dua jenis obat cacing yang berbeda fungsinya (ANDERSON et al., 1988), pergantian jenis antelmintik dari golongan yang berbeda dan mengurangi frekuensi pemberian antelmintik. Oleh karena obat cacing dianggap mahal dan sering tidak tersedia dipedasaan terutama dalam kemasan sedikit maka salah satu alternatif penanggulangan terhadap infeksi cacing ialah dengan menggunakan obat berasal dari tanaman. Nanas (Ananas comosus) merupakan salah satu tanaman yang diduga dapat digunakan sebagai obat cacing. Selain nanas, beberapa tanaman yang pernah dicoba secara in vitro terhadap cacing Haemonchus contortus seperti Carica papaya (MURDIATI et al., 1997), bangle (BERIAJAYA et al., 1998), mengkudu (BERIAJAYA dan TETRIANA, 1999) dan biji pinang (KARO-KARO et al., 1984; BERIAJAYA et al., 1998), tetapi hasilnya belum memuaskan. Secara in vitro perasan buah nanas dilaporkan mempunyai efek terhadap cacing Ascaridia galli (LISMAYANTI, 2002). Selanjutnya dilaporkan juga bahwa serbuk daun nanas yang dicampur dengan mollases mempunyai fungsi sebagai obat cacing seperti yang dilaporkan di Philippina untuk menanggulangi infeksi cacing pada sapi (JOVELLANOS, 1997), domba (BALDO, 2001) dan kambing (IBARRA, 2002), tetapi sebaliknya percobaan pada domba yang diinfeksi dengan
974
10.000 larva H. contortus dan 20.000 larva Trichostrongylus colubriformis yang diberikan dengan dosis tunggal 1 g/kg berat badan tidak menyebabkan penurunan jumlah telur cacing (HORDEGENA et al., 2003). Tanaman Fumaria parviflora Lam (Fumariaceae) dilaporkan menyebabkan penurunan jumlah telur (100%) dan 78,2% cacing dewasa H. contortus dan 88,8% cacing T. colubriformis pada hari ke-13 setelah pemberian obat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efikasi pemberian serbuk daun nanas terhadap infeksi cacing gastrointestinal nematode pada domba pada kondisi lapangan. MATERI DAN METODE Serbuk daun nanas Tanaman nanas dikoleksi dari daerah Subang, Jawa Barat. Di laboratorium, tanaman nanas tersebut dipisahkan daunnya. Untuk pembuatan serbuk, digunakan daun yang muda dan tua. Daun dipotong kecil-kecil, kemudian diangin-anginkan tanpa dijemur selama 4 minggu. Lamanya waktu pengeringan tergantung cuaca. Pada musim hujan pengeringan dilakukan lebih dari 4 minggu, sedang pada musim kemarau kurang dari 4 minggu, Setelah kering, daun nanas tersebut digiling menjadi serbuk menggunakan mesin penggiling (grinder) dengan ukuran 75 µ. Serbuk disimpan pada temperature 28oC dan siap untuk digunakan. Domba percobaan Domba yang digunakan adalah domba di Stasiun Pembibitan Domba, Nanggung, Bogor. Domba ini kepunyaan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. Domba-domba ini dipelihara dalam kandang panggung secara individu dan sistim pemberian pakan dengan cara diarit, tetapi kadang-kadang domba tersebut diangon selama 2–3 jam di sekitar lokasi kandang. Sebelum dilakukan percobaan, sebanyak 50 ekor domba diambil sample tinjanya untuk diperiksa jumlah telur cacingnya. Setelah di sortir berdasarkan jumlah telur cacing yang diperiksa dari dari tiap invidu domba maka diambil sebanyak 20 ekor domba yang
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
terinfeksi dengan jumlah telur antara 1.000– 4.000 epg dengan asumsi bahwa domba terinfeksi cacing dengan jumlah yang sedang. Rancangan percobaan Sebanyak 20 puluh ekor domba yang berumur dibawah 2 tahun dan berat badan bervariasi dari 7,2 kg sampai 19 kg dibagi secara acak menjadi 2 kelompok masingmasing 10 ekor berdasarkan jumlah telur cacingnya. Kelompok I diberi serbuk daun nanas 300 mg/kg berat badan per oral satu kali pada hari ke 0. Pemberian serbuk daun nanas dilakukan dengan cara serbuk dicampur dengan air gula Jawa, kemudian dicekokan menggunakan selang langsung ke kerongkongan (oesophagus) hewan. Kelompok II merupakan kelompok kontrol tanpa pemberian serbuk daun nanas. Pengambilan sample tinja dilakukan pada hari ke 0, 3 dan 10 pada setiap individu hewan percobaan. Pengambilan sample tinja dilakukan secara eksplorasi rektal dan kemudian sample tersebut dimasukan ke dalam kantong plastik. Karena jarak dari lapangan ke laboratorium cukup dekat maka sample tinja tersebut tidak dimasukan kedalam termos es. Di laboratorium sample tinja diperiksa jumlah telur cacingnya. Pemeriksaan tinja Sampel tinja dari setiap ekor diproses sebagai berikut. Sebanyak 3 gr tinja dimasukan ke dalam botol gelas berukuran 50 ml. Botol tersebut diberi air sebanyak 20 ml dan diinkubasi selama 3 jam untuk melunakan pellet-pelet tinja. Setelah lunak, maka tinja tersebut dihancurkan menggunakan pengocok secara elektrik selama 2-3 menit. Setelah hancur maka tinja ditambahkan garam jenuh (NaCl dengan Berat Jenis 1,2) sehingga volume akhir menjadi 60 ml. Campuran tinja dan garam jenuh dibiarkan beberapa menit sebelum dilakukan perhitungan. Perhitungan telur dilakukan dengan menggunakan kamar hitung Whitlock (WHITLOCK, 1948). Kamar hitung Whitlock terdiri dari 4 ruang dengan masing-masing ruang volumenya 0,5 ml. Campuran tinja dan
garam jenuh diambil dengan pipet kapiler yang ujungnya mempunyai saringan dan kemudian dimasukkan kedalam salah satu ruang dalam kamar hitung Whitlock. Jadi satu slide dapat digunakan untuk 4 sampel. Penghitungan dilakukan diatas mikroskop dengan pembesaran 40x. Untuk mengetahui jumlah telur cacing dari setiap sample maka jumlah telur cacing setiap kamar dikali 40. Analisa statistik Data jumlah telur cacing setiap sample ditransformasi dalam log (x + 1) untuk mendapatkan sebaran yang normal, kemudian dilakukan uji Sidik Ragam (kelompok, waktu dan ulangan). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pemeriksaan sample tinja dari 50 ekor domba yang dipelihara di Stasiun Pembibitan Domba Nanggung, Bogor berkisar antara 0– 23.400. Hasil ini digunakan untuk penentuan besarnya infeksi cacing. Hasil pupukan tinja menunjukan bahwa domba terinfeksi cacing secara dominan adalah Haemonchus (90%) dan Trichostrongylus (10%), sedangkan Oesophagostomum, Cooperia dan Bunostomum tidak terdapat dalam pupukan tinja. Untuk penelitian ini maka dipilih 20 ekor domba yang mempunyai epg diatas 1.000 dan dibawah 4.000. Kemudian secara acak dombadomba ini dibagi dalam 2 kelompok, tetapi karena kesalahan pengurutan maka domba yang mempunyai epg 10.160 juga terambil untuk termasuk dalam penelitian. Pada waktu pemberian serbuk daun nanas, sampel tinja diambil lagi dan hari itu dianggap hari ke 0. Secara umum domba-domba terinfeksi cacing nematoda saluran pencernaan (0-23.400 epg) dan hanya kurang dari 10% yang terinfeksi ringan. Sistim pemberian pakan dikandang ini dengan cara diarit dan kurang lebih 2-3 jam domba tersebut diangon di lapangan pangonan yang terbatas, sehingga kemungkinan dombadomba ini akan terinfeksi secara berulang dengan rumput yang sudah terkontaminasi dengan larva infektif. Tingkatan infeksi melalui rumput yang sudah terkontaminasi, tampaknya cukup besar. Hal ini terlihat dari besarnya nilai epg tiap-tiap hewan. Selain itu
975
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
besarnya nilai epg juga dipengaruhi oleh makanan, karena makanan yang diberikan terlihat kualitasnya kurang baik (COOP and SYKES, 2002). Pemberian obat cacing biasanya dilakukan 3 bulan sekali, tetapi kadang-kadang setiap 6 bulan tergantung ketersediaan dana. Pengelompokkan domba menjadi 2 berdasarkan jumlah epg dan hasil perhitungan jumlah telur cacing pada hari ke 0, 3 dan 10 (Tabel 1).
Efek pemberian serbuk daun nanas dapat dilihat pada hari ke 3 kelompok pengobatan dimana rata-rata jumlah telur cacing menurun menjadi 2.280 (64,5%) dibandingkan rata-rata telur cacing pada hari ke 0. Bila dilihat secara individu, domba nomor 13 pada awalnya mempunyai epg 10.360, kemudian pada hari ke 0 mempunyai epg 11.440 dan 3 hari setelah pemberian serbuk daun nanas mempunyai epg 5.240, selanjutnya pada hari ke-10 menjadi 1.920.
Tabel 1. Perhitungan jumlah telur cacing pada domba yang diberi 300 mg/kg berat badan serbuk daun nanas Kode hewan
Kelompok
EPG Hari -7
EPG hari 0
EPG hari 3
EPG hari 10
1
1
2.720
840
400
760
5
1
1.440
2.640
2.400
3.480
12
1
1.920
3.000
2.440
3.040
13
1
10.160
11.440
5.240
1.920
OO8
1
1.720
1.160
1.080
2.800
27
1
1.880
1.760
760
1.320
29
1
1.360
1.440
1.200
1.000
OO4
1
2.320
4.400
3.000
6.320
32
1
2.320
4.240
2.160
5.600
O70
1
2.880
4.400
4.120
2.600
2
2
3.240
4.440
5.240
7.800
8
2
2.120
2.840
4.320
1.760
10
2
1.480
1.440
1.220
1.720
16
2
1.600
4.560
2.520
4.880
21
2
1.840
3.600
5.800
7.600
24
2
2.280
1.400
1.680
3.440
26
2
1.120
1.680
1.400
2.320
O10
2
2.640
4.640
2.680
7.800
O53
2
2.320
4.520
1.640
1.840
OO9
2
1.480
880
840
4.640
Tabel 2. Persentase penurunan jumlah telur cacing domba yang diberi serbuk daun nanas Kelompok
Rata-rata epg hari ke 0
Rata-rata epg hari ke 3*
Rata-rata epg hari ke 10**
Pengobatan
3.532
2.280 (64,5%)***
2.884 (81,6%)
Kontrol
3.000
2.734 (91,13%)
4.380 (146%)
* = Persentase dihitung rata-rata epg hari ke-3 dibagi rata-rata epg hari ke 0 dan dikali 100 ** = Persentase dihitung rata-rata epg hari ke-10 dibagi rata-rata epg hari ke 0 dan dikali 100 *** = Nyata penurunannya (P<0,05).
976
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Dilihat dari data-data ini terlihat cukup nyata efeknya terhadap jumlah telur cacing. Banyak cacing dalam tubuh hewan mempunyai korelasi positip terhadap jumlah telur cacing dalam tinja (LEJAMBRE et al.,1971; ROBERTS dan SWAN, 1981; MCKENNA, 1981). Penurunan jumlah telur cacing dalam tinja sebagai akibat pemberian obat cacing sering digunakan untuk melihat efektifitas pemberian obat (MCKENNA, 1990; MAINGI, 1998). Secara umum kelompok pengobatan memperlihatkan penurunan jumlah telur cacing bila dibandingkan dengan pada awal penelitian (hari ke-0). Jumlah telur cacing memang cukup bervariasi antara satu pengamatan pada hari yang berbeda tetapi tampaknya variasi ini berkisar 1.000–2.000 sedangkan hewan yang mempunyai jumlah telur cacing diatas 10.000 akan tetap angkanya berkisar 10.000. Jadi bila penelitian ini diulang maka harus digunakan hewan-hewan yag mempunyai jumlah epgnya diatas 10.000 sehingga kemungkinannya penurunannya lebih nyata secara statistik. Penurunan jumlah telur cacing tidak dapat menjadi 0 karena kemungkinan efeknya hanya pada fekunditasnya. Untuk menentukan efek yang lebih jelas maka hewan tersebut harus dipotong untuk menghitung jumlah cacing yang ada di dalam tubuh hewan dibandingkan dengan jumlah cacing dari kelompok kontrol. Untuk mengurangi variasi antara individu maka harus digunakan hewan yang terinfeksi berat dan jumlahnya lebih banyak sehingga angka penyimpangannya menjadi kecil. Dalam penelitian tidak dilakukan perbandingan dengan obat cacing standar karena penelitian ini masih uji coba lapangan dimana hanya 2 kelompok domba yang digunakan. Bila hasilnya sangat signifikan maka kelompok yang diobati harusnya tidak mempunyai telur cacing, apalagi sampel diambil pada hari ke 10 (COLE et al., 1992). KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa serbuk daun nanas kemungkinan hanya efektif untuk menurunkan jumlah telur cacing sampai pada hari ke 3 setelah pemberian, tetapi efek ini tidak bertahan lama sampai hari ke 10 sehingga perlu pemberian ulangan. Selain itu kemungkinan dosis perlu juga ditambah agar
efeknya lebih tinggi. Penelitian ini masih perlu dilanjutkan untuk mendapatkan efek yang lebih nyata dengan jumlah hewan yang lebih banyak dan jumlah telur cacing yang lebih tinggi. UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan atas penyediaan dana untuk penelitian ini, Kepala Balai Penelitian Veteriner atas penggunaan fasilitas laboratorium, Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor atas izinnya penggunaan domba di Stasiun Pembibitan Ternak Domba, Nanggung. DAFTAR PUSTAKA ANDERSON, N., P.J. MARTIN and R.G. JARRET. 1988. Mixtures of anthelmintics: a strategy against resistance. Aust. Vet. J. 65: 62–64. BALDO, R.C. 2001. Comparative efficacy of pineapple (Ananas comosus) leaves bolus and albendazole against gastrointestinal nematodes of sheep. Thesis DVM. University of the Philippines Los Banos. BERIAJAYA dan TETRIANA. 1999. Pengaruh perasan dan ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) secara in vitro. Pros. I: Seminar Hasil-Hasil Penelitian Bidang Ilmu Hayati. PAU Ilmu Hayat IPB, 16 September 1999. BERIAJAYA, D. HARYUNINGTYAS, A. HUSEIN, G.M. HOOD and G.D. GRAY. 2003. Transmission of anthelmintic resistance in sheep in West Java, Indonesia. Poster in the 19th International Conference of the World Association for the Advancement of Veterinary Parasitology. August 10–14, New Orleans. BERIAJAYA, T.B. MURDIATI and HERAWATY. 1998b. Anthelmintic effect of Zingiber purpureum infuse and extract on adult worms of Haemonchus contortus in vitro. JITV 3(4): 277–282. BERIAJAYA, T.B. MURDIATI, SUHARDONO dan C.F. PANTOUW. 1998a. Pengaruh ekstrak biji pinang (Areca catechu) terhadap cacing Haemonchus contortus) secara in vitro. Pros. Seminar Hasil-hasil Penelitian Veteriner hlm. 154–162.
977
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
COLES, G.C., C. BAUER, F.H.M. BORGSTEEDE, S. GEERTS, T.R. KLEI, M.A. TAYLOR and P.J. WALLER. 1992. World Association for the Advancement of Veterinary Parasitology (W.A.A.V.P.) methods for the detection of anthelmintic resistance in nematodes of veterinary importance. Vet. Parasitol. 44: 35– 44. COOP, R.L. and A.R. SYKES. 2002. Interactions between gastrointestinal parasites and nutrients. Sheep Nutrition. pp. 313–331. HARYUNINGTYAS, D., BERIAJAYA dan G.D. GRAY. 2001. Resistensi antelmintik golongan benzimidazole pada domba dan kambing di Indonesia. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 17–18 September 2001. Puslitbang Peternakaan, Bogor. HE, S., R. TIURIA dan E.B. RETNANI. 1991. Laporan penelitian biologis aktivitas anthelmintik sari buah nanas muda, daun miana dan ranting puring terhadap cacing Aspiculuris tetraptera (nematode) dan Hymenolepis nana (ccestoda) pada mencit putih (Mus musculus albinos). Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor. HORDEGENA, P., H. HERTBERGA, J. HEILMANN, W. LANGHANS and V. MAURER. 2003.The anthelmintic efficacy of five plant products against gastrointestinal trichostrongylids in artificially infected lambs. Vet. Parasitol. 117(1–2): 51–60. IBARRA, V.B. 2002. Efficacy and phytochemical assay of pineapple (Ananas comosus) leaves against gastrointestinal nematodes of goats (capra hircus). Undergraduate thesis. CLSU. Philippines. JOVELLANOS, J. 1997. Efficacy of three selected herbal plants on gastro intestinal parasites of cattle. Undergraduate thesis. University of the Philippines Los Banos. KARO-KARO, S., E.J. TANDI, D.P. RAHARDJA dan ISMATOYO. 1984. Pengaruh biji buah pinang (Areca catechu) terhadap parasit cacing ternak. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
978
LEJAMBRE, L.F., L.M. RACTLIFFE, L.S. UHAZY and J.H. WHITLOCK. 1971. Faecal output of lambs in relationship to Haemonchus contortus burden. Int. J. Parasitol. 1: 157-160. LISMAYANTI, F. 2002. Uji pengaruh umur buah, cara sterilisasi, waktu simpan dan daya anthelmintik perasan nanas (Ananas comosus) terhadap cacing Ascaridia galli. Skripsi ISTN, Jakarta. MAINGI, N., H. BJORN and A. DANGOLA. 1998. The relation between faecal egg count reduction and the lethal dose 50% in the egg hatch assay and larval development assay. Vet. Parasitol. 77: 133–145. MCKENNA, P.B. 1981. The diagnostic value and interpretation of faecal egg counts in sheep. New Zealand Vet. J. 29: 153-156. MCKENNA, P.B. 1990. The detection of anthelmintic resistance by faecal egg count reduction test: an examination of some of the factors affecting performance and interpretation. New Zealand Vet. J. 38: 142–147. MURDIATI, T.B., BERIAJAYA dan G. ADIWINATA. 1997. Aktifitas getah papaya terhadap cacing Haemonchus contortus pada domba. Majalah Parasitologi Indonesia 10: 1–7. PRICHARD, R.K. 1990. Anthelmintic resistance in nematodes: Extent, recent understanding and future directions for control and research. Int. J. Parasitol. 20: 515-523. ROBERTS, J.L. and R.A. SWAN. 1981. Quantitative studies of ovine haemonchosis. 1. Relationship between faecal egg counts and total worm counts. Vet. Parasitol. 8: 165-171. WALLER, P. 1994. The development of anthelmintic resistance in ruminant livestock. Acta Tropica 56: 233–243. WALLER, P.J., K.M. DASH, I.A. BARGER, L.F. LEJAMBRE and J. PLANT. 1995. Anthelmintic resistance in nematode parasites of sheep: learning from the Australian experience. Vet. Record 136: 411–413. WHITLOCK, W.H. 1948. Some modification of the Mc Master helminth egg-counting technique and apparatus. J. Council Sci. Industrial Rese. 21: 117-118.