INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA ANOA DATARAN RENDAH (Bubalus depressicornis) DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA
ALAM PADMADINATA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Infeksi Cacing Saluran Pencernaan Pada Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis) Di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2016 Alam Padmadinata NIM B04120037
ABSTRAK ALAM PADMDINATA. Infeksi Cacing Saluran Pencernaan Pada Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis) Di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta. Dibimbing oleh YUSUF RIDWAN dan ELOK BUDI RETNANI. Anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) merupakan satwa endemik Sulawesi, dengan status terancam punah. Konservasi ex-situ merupakan salah satu cara pelestarian anoa dataran rendah. Infeksi cacing saluran pencernaan merupakan masalah yang sering ditemukan dalam upaya konservasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan derajat infeksi cacing saluran pencernaan pada anoa dataran rendah di Taman Margasatwa Ragunan. Sampel tinja anoa diperiksa menggunakan metode modifikasi McMaster, flotasi sederhana serta filtrasi dan sedimentasi. Hasil penelitian menunjukkan seluruh sampel tinja anoa dataran rendah terinfeksi cacing nematoda saluran pencernaan dengan derajat infeksi rendah. Cacing nematoda yang di temukan adalah cacing strongyle dan Strongyloides. Hasil identifikasi larva infektif strongyle adalah Trichostrongylus spp., Haemonchus contortus, dan Cooperia curtecei.
Kata kunci: anoa, Bubalus depressicornis, nematoda saluran pencernaan
ABSTRACT ALAM PADMDINATA. Gastrointestinal Helminths Infection of Lowland Anoa (Bubalus depressicornis) in Ragunan Zoo. Supervised by YUSUF RIDWAN and ELOK BUDI RETNANI. Lowland anoa (Bubalus depressicornis) is endemic animal in Sulawesi island. The status of the animal is an endangered species, ex-situ conservation is one of the method to prevent lowland anoa from the extinction. Gastrointestinal helminthosis is a problem which often found in conservation. The aim of this research was to investigate the species and intensity infection of gastrointestinal helminths of Lowland anoa in Ragunan Zoo. The fecal samples was evaluated using modified McMaster, simple flotation and modifed filtration and sedimentation. The result showed that all lowland anoa in Ragunan zoo were infected with gastrointestinal nematodes which light infection level. Nematode that found were strongyle and Strongyloides. Based on larva identification, there were three spesies of strongyle, namely Trichostrongylus spp., Haemonchus contortus and Cooperia curtecei. Key words: anoa, Bubalus depressicornis, gastrointestinal nematodes
INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA ANOA DATARAN RENDAH (Bubalus depressicornis) DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA
ALAM PADMADINATA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Studi Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis) di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Drh Yusuf Ridwan MSi dan Ibu Dr Drh Elok Budi Retnani MS selaku pembimbing skripsi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Drh Syafri Edward selaku dokter hewan Taman Margasatwa Ragunan, Dr Drh Ahmad Arif Amin selaku dosen pembimbing akademik dan Dr Abdul Haris Mustari MScf yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada segenap pegawai Taman Margasatwa Ragunan yang telah membantu dalam pengambilan sampel. Terima kasih juga saya ucapkan kepada rekan satu tim penelitian Ahmad Tachjudin, Setyawan Wisnu P, Deni Setiawan S, dan Jepriadi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada almarhum ayah Tjetje Rukma, ibu Ade Malyati, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Ucapan terima kasih juga penulis berikan kepada teman-teman mahasiswa dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2016 Alam Padmadinata
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
1
TINJAUAN PUSTAKA
2
Taman Margasatwa Ragunan
2
Anoa (Bubalus spp.)
2
Morfologi dan Klasifikasi
2
Tingkah Laku
3
Habitat
3
Pakan
4
Cacing Parasitik Saluran Pencernaan Pada Ruminansia METODE
4 6
Tempat dan Waktu
6
Alat dan Bahan
6
Rancangan Penelitian
6
Teknik Parasitologi
6
Teknik Koleksi Sampel
6
Metode Modifikasi McMaster
7
Metode Filtrasi dan Sedimentasi
7
Identifikasi Telur Cacing Parasitik
7
Pupukan dan Identifikasi Larva Infektif
8
Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN
8 8
Telur Cacing Saluran Pencernaan
8
Derajat Infeksi Kecacingan
9
Jenis Larva Infektif (L3) Strongyle SIMPULAN DAN SARAN
11 13
Simpulan
13
Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
14
LAMPIRAN
17
RIWAYAT HIDUP
18
DAFTAR TABEL 1
Jumlah Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) setiap jenis cacing
9
DAFTAR GAMBAR 1 2 3
Anoa dataran tinggi (Bubalus quarlesi) dan anoa dataran rendah (Bubalus depresicornis) Telur cacing saluran pencernaan pada anoa Larva infektif (L3) hasil pupukan tinja anoa
3 9 12
DAFTAR LAMPIRAN 1
Profil anoa anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) di Taman Margasatwa Ragunan
17
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Anoa (Bubalus spp.) merupakan satwa endemik Indonesia yang berasal dari Sulawesi. Terdapat dua jenis anoa yaitu anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan anoa dataran tinggi (Bubalus quarlesi). Status satwa langka ini terancam punah dengan populasi di alam bebas tidak lebih dari 2500 ekor yang diperkirakan terus berkurang akibat perburuan liar dan fragmentasi hutan (IUCN 2008). Menurut Permenhut Nomor P.54/Menhut-II/2013, populasi anoa di lembaga konservasi eksitu di Indonesia berjumlah 35 ekor dan 153 ekor berada di lembaga konservasi eksitu di luar negeri. Anoa masuk ke dalam Appendix 1 of Convention of International Trade of Endangred Species of Wild Flora and Fauna (CITES) yang berarti satwa tersebut dilindungi dan tidak diperdagangkan (CITES 2015). Taman Margasatwa Ragunan (TMR) merupakan salah satu lembaga konservasi ex-situ dimana satwa yang ada dilepaskan di habitat buatan. Infeksi cacing saluran pencernaan merupakan salah satu kendala yang sering ditemukan TMR dalam upaya menjaga kesehatan satwanya. Infeksi tingkat berat cacing saluran pencernaan dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan, penurunan tingkat reproduksi dan memudahkan timbulnya penyakit lain. Infeksi cacing saluran pencernaan oleh jenis tertentu dapat menyebabkan kematian (Hansen dan Perry 1994; Levine 1994). Sejak awal didirikan, TMR memiliki 15 ekor anoa dataran rendah, namun populasi saat ini hanya tersisa empat ekor. Populasi anoa di TMR sangat sedikit dan terus berkurang, sehingga manajemen kesehatan satwa menjadi bagian penting dalam upaya perawatan dan pengembangbiakan anoa di TMR. Salah satu bentuk manajemen kesehatan adalah penanganan infeksi cacing saluran pencernaan. Informasi mengenai infeksi cacing saluran pencernaan pada anoa dataran rendah masih sangat terbatas, termasuk jenis cacing yang menginfeksi.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari jenis dan derajat infeksi cacing saluran pencernaan pada anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) di Taman Margasatwa Ragunan.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang infeksi cacing saluran pencernaan pada anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan menjadi dasar pemikiran dalam tindakan medik konservasi yang dilakukan oleh Taman Margasatwa Ragunan.
2
TINJAUAN PUSTAKA Taman Margasatwa Ragunan Taman Margasatwa Ragunan (TMR) berada di daerah Jakarta Selatan, dengan jarak kurang lebih 20 kilometer dari pusat kota Jakarta. TMR terletak di 6.3º LS dan 106.8º BT dengan ketinggian 50 m di atas permukaan laut. TMR memiliki curah hujan 2300 mm setiap tahun, suhu 27º C dan kelembapan 60% dengan jenis tanah latosol merah. TMR memiliki luas lahan 147 ha, yang dihuni 2009 ekor satwa dari 295 spesies berbeda dan ditumbuhi lebih dari 50000 pohon. Keputusan Dirjen kehutanan No.20/kpts/dj/I/1978 fungsi TMR salah satunya adalah sebagai sarana perlindungan dan pelestarian alam (konservasi). Satwa di TMR mayoritas (90%) merupakan satwa asli Indonesia (KPTMR 2015). Taman Margasatwa Ragunan saat ini memiliki koleksi 4 ekor anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) yang diperoleh dari ekspedisi, sumbangan dan hasil penangkaran. Jenis kelamin anoa yang dimiliki TMR terdiri dari dua betina, satu jantan dewasa dan satu jantan anakan. Lokasi kandang anoa berada di dekat pintu masuk sebelah timur TMR dan terdapat satu anoa di kandang karantina. Kandang anoa yang terletak dekat dengan pintu masuk sebelah timur berdekatan dengan kandang rusa dan kapibara. Terdapat batas berupa jalan untuk pengunjung antara kandang rusa dan anoa, namun antara kandang anoa dan kapibara hanya dibatasi oleh pagar yang dipenuhi dengan tanaman liar. Kandang karantina anoa terletak bersebelahan dengan kandang rusa jawa yang dipisahkan oleh pagar besi. Seluruh kandang anoa beralaskan tanah dengan tanaman kanopi dan juga terdapat bangunan tempat beristirahat dan berlindung anoa. Setiap kandang memiliki tempat pakan dan minum yang terbuat dari semen dengan sumber air berasal dari sumur.
Anoa (Bubalus spp.) Morfologi dan Klasifikasi Anoa (Bubalus spp.) di Sulawesi memiliki beberapa nama lokal, di antaranya anoang, sapi-utan dan dangko. Menurut Groves (1969), klasifikasi taksonomi anoa adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Genus : Bubalus Spesies : Bubalus depressicornis Smith 1827 Bubalus quarlesi Ouwens 1910 Terdapat dua jenis anoa di Sulawesi yaitu anoa dataran tinggi (Bubalus quarlesi) dan anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis). Anoa dataran tinggi mempunyai ukuran tubuh kecil, tanduk berbentuk kerucut tanpa adanya jalur cincin di pangkal tanduk dengan panjang 14.6-19.9 cm. Individu dewasa dan anakan memiliki warna rambut sama yaitu coklat kemerahan atau coklat cerah
3
dengan bercak putih pada bagian metacarpus, memiliki rambut yang tebal seperti wol (Groves 1969). Anoa dataran tinggi memiliki tinggi pundak 75 cm dan panjang badan 122-153 cm (Burton et al. 2005) dengan bobot badan 60-70 kg (Mustari AH 4 Juni 2016, komunikasi pribadi). Anoa dataran rendah mempunyai ukuran tubuh relatif besar. Tanduk berbentuk bulat, kasar, bagian pangkal berbentuk segitiga pipih dengan jalur cincin melingkar pada pangkalnya. Panjang tanduk jantan 27.1-37.3 cm sedangkan betina berukuran 18.3-26 cm. Anoa anakan memiliki rambut berwarna coklat tipis dan lurus yang akan rontok dan berganti menjadi rambut berwarna hitam ketika beranjak dewasa. Rambut pada bagian metacarpus berwarna putih sampai kekuningan (Groves 1969). Anoa dataran rendah memiliki tinggi pundak 60-100 cm (Schreiber et al. 1993) dan panjang badan 170-188 cm (Burton et al. 2005) dengan bobot badan 80-110 kg (Mustari AH 4 Juni 2016, komunikasi pribadi).
A
B
Gambar 1 (A) Anoa dataran tinggi (Bubalus quarlesi) dan (B) anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) (Mustari 1995). Berdasarkan ciri-ciri ukuran tubuh, warna rambut dan bentuk tanduk, keempat anoa di Taman Margasatwa Ragunan adalah jenis anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis). Tingkah Laku Anoa merupakan hewan yang bersifat soliter dan hidup berpasangan beserta anaknya. Anoa merupakan hewan monogami dan mencapai dewasa kelamin pada umur 3-4 tahun dengan musim kawin anoa berlangsung dari bulan Oktober sampai Januari. Siklus berahi anoa setiap 15-23 hari dengan lama berahi 4-5 hari dan masa kebuntingan anoa berlangsung selama 215 sampai 315 hari, setiap kebuntingan melahirkan satu anak (Kasim 2002). Perilaku unik anoa yaitu berkubang dalam lumpur, menggosokan tanduk pada pohon, untuk mendinginkan tubuh dan menandai wilayah teritorialnya. Sifat agresif anoa cukup berbahaya apabila merasa terancam sehingga tidak segan melukai lawannya (Mustari 1995). Habitat Anoa menyebar hampir di seluruh Sulawesi (Groves 1969). Habitat utama anoa di hutan primer yaitu hutan yang belum terjamah oleh manusia. Habitat anoa dataran tinggi (B. quarlesi) memiliki habitat di daerah pegunungan dengan ketinggian 1000-2000 meter di atas permukaan laut. Habitat anoa dataran rendah (B. depressicornis) di hutan dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut,
4
namun sering ditemukan di dataran tinggi. Perkiraan kepadatan populasi anoa dihabitatnya adalah 1.1-1.3 ekor/km2 (Burton et al. 2005). Pakan Anoa termasuk ruminansia liar, jenis pakannya terdiri atas tumbuhan seperti dedaunan, semak, herba dan rerumputan. Anoa di Taman Margasatwa Ragunan sangat menyukai daun yang mengandung banyak kadar air, bertekstur lemas dengan warna dan aroma yang tidak mencolok dan satwa ini lebih banyak mengonsumsi buah dan pucuk daun muda dibandingkan dengan rumput, sehingga tergolong ruminansia intermediate browser/grazer (Mustari dan Masy’ud 2001). Air laut merupakan sumber mineral bagi anoa di habitat asli (Mustari 1995), sedangkan di TMR disediakan balok mineral di dalam kandangnya.
Cacing Parasitik Saluran Pencernaan Pada Ruminansia Anoa (Bubalus spp.) adalah kerabat dekat dengan kerbau (Bubalus bubalis) yang merupakan ruminansia domestik. Oleh karena itu cacing parasitik saluran pencernaan pada ruminansia domestik dapat digunakan sebagai pembanding dalam identifikasi cacing parasitik saluran pencernaan anoa. Cacing saluran pencernaan yang sering ditemukan pada ruminansia domestik di antaranya genus Moniezia, Cooperia, Trichostrongylus, Oesophagostomum, Haemonchus, Mecistocirrus, Toxocara vitulorum, Bunostomum, Strongyloides, Trichuris, Fasciola dan Paramphistomum (Winarso 2015; Patel et al. 2015 ; Dorny et al. 2011). Stadium infektif cacing nematoda berupa larva infektif atau telur infektif. Haemonchus adalah nematoda penghisap darah yang penting pada ruminansia terutama di daerah tropis, Habitat Haemonchus berada di abomasum. Haemonchosis dapat mengakibatkan anemia dan penurunan bobot dan kematian. Bottle jaw atau odema di daerah submaxillary merupakan ciri khas infeksi kronis haemonchosis (Miler dan Horhov 2006). Mecistocirrus digitatus merupakan nematoda penghisap darah dengan habitat cacing dewasa berada di abomasum. Infeksi Mecistocirrus digitatus dapat mengakibatkan anemia dan penurunan produksi dengan lesi pada abomasum berupa hemorrhage dan ulcers (Taylor et al. 2016). Cacing dewasa Mecistocirrus digitatus memiliki morfologi yang mirip dengan cacing Haemonchus, perbedaannya terletak pada vulva yang dekat dengan anus dan bentuk spikula yang ramping dan panjang (Bowman 2014). Cooperia merupakan nematoda yang tidak patogen namun infeksi oleh jenis Cooperia punctata dapat mengakibatkan penurunan produktivitas berupa penurunan berat badan dan konsumsi pakan (Stromberg et al. 2012). Habitat cacing Cooperia dewasa dalam usus halus ruminansia (Taylor et al. 2016). Trichostrongylus merupakan nematoda parasitik dengan inang definitif meliputi ruminansia dan kuda dengan habitat cacing dewasa berada di usus halus kecuali spesies Trichostrongylus axei yang berada di abomasum. Infeksi cacing ini tidak menunjukkan gejala klinis namun dalam jumlah banyak dapat menyebabkan diare dengan warna hijau gelap (“black scours”) (Bowman 2014).
5
Oesophagostomum merupakan nematoda parasitik yang sering disebut cacing bungkul, dengan inang definitif ruminansia, babi dan primata. Oesophagostomum juga dapat menginfeksi manusia (Ahiabor et al. 2015). Habitat cacing dewasa terdapat pada usus besar dan sekum. Cacing ini menyebabkan radang edema dinding usus, anemia, diare dan nafsu makan berkurang (Bowman 2014). Bunostomum merupakan nematoda penghisap darah yang dapat mengakibat anemia, penurunan berat badan dan terkadang menyebabkan diare. Habitat cacing dewasa terdapat pada usus halus ruminansia (Taylor et al. 2016). Strongyloides merupakan cacing nematoda dengan habitat cacing dewasa berada di mukosa usus halus. Infeksi cacing Strongyloides dalam jumlah yang banyak pada hewan muda mengakibatkan diare (Zajac dan Conboy 2012). Rute Infeksi cacing Strongyloides dapat melewati rute oral penetrasi kulit, dan bentuk parasitik dari cacing Strongyloides berupa cacing dewasa betina yang bertelur dari hasil partenogenesis secara mitosis. Telur yang dihasilkan dari partenogenesis memiliki genotip betina, namun setelah menetas di alam akan muncul larva rhabditiform baik jantan maupun betina. Larva yang telah menetas selanjutnya dapat menempuh dua alternatif jalur siklus hidup, yaitu jalur langsung dan tidak langsung (Anderson 2000). Toxocara vitolorum adalah cacing ascarid yang menginfeksi sapi dan kerbau terutama pada hewan muda. Rute infeksi Toxocara selain melalui telur infektif, pada pedet rute infeksi dapat melalui air susu (transmamary infection) dan plasenta (transplacental infection) (Zajac dan Conboy 2012). Infeksi berat oleh cacing Toxocara dapat mengakibatkan catharral enteritis, diare intermiten dan menghambat pertumbuhan, sedangkan pada pedet dapat mengakibatkan kematian (Satrija et al. 2011). Prevalensi infeksi Toxocarosis pada pedet di daerah tropis dan subtropis sangat tinggi (Borgsteede et al. 2012; Agustina et.al 2013; Winarso et al. 2015). Trichuris sering disebut cacing cambuk, infeksi cacing Trichuris tidak terlalu patogen namun dalam jumlah yang banyak dapat mengakibatkan radang difterik pada sekum dan diare. Habitat cacing dewasa berada di usus besar dan sekum dengan telur seperti buah lemon dengan tutup disetiap ujungnya, pada tinja telur terlihat berwarna kuning kecoklatan (Zajac dan Conboy 2012). Selain menginfeksi ruminansia jenis cacing Trichuris juga ada yang menginfeksi manusia dan babi yaitu Trichuris trichuria dan Trichuris vulpis (Nissen et al. 2012). Fasciola dan Paramphistomum merupakan cacing parasitik kelas trematoda yang sering menginfeksi hewan ruminansia. Telur kedua cacing ini memiliki operculum, habitat cacing Fasciola dewasa berada di hati dan cacing Paramphistomum dewasa berada di rumen. Cacing genus Fasciola memiliki inang antara siput Lymneae dan cacing genus Paramphistomum memiliki inang antara siput Lymneae dan Planorbis. Infeksi kedua cacing ini dalam jumlah besar dapat mengakibatkan anemia dan penurunan berat badan. Jenis cacing Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica dari genus Fasciola bersifat zoonosis dapat menginfeksi manusia (Bowman 2014). Moniezia merupakan cacing parasitik kelas cestoda yang umum ditemukan pada ruminansia dan tidak patogen. Terdapat dua spesies cacing yaitu Moniezia expanza dengan inang definif domba, kambing dan Moniezia benedeni dengan
6
inang definitif sapi, dengan habitat cacing dewasa dalam usus halus (Zajac dan Conboy 2012).
METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan pada bulan Januari - Maret 2016. Pengambilan sampel tinja dilakukan di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan. Pemeriksaan tinja dilakukan di Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kantung plastik, spidol permanen, label nama, keranjang penampung, gelas objek, cover glass, mikroskop cahaya, video mikrometer, gelas ukur, pipet pasteur,kamar hitung McMaster, tabung reaksi, saringan bertingkat, sprayer, gelas Baermann, gelas objek modifikasi sedimentasi, pipet plastik, gelas plastik, tisu gulung, sendok. Bahan yang diperlukan tinja anoa, veremiculite, dan larutan gula garam.
Rancangan Penelitian Tahapan penelitian terdiri dari pengambilan sampel tinja anoa dilanjutkan dengan pemeriksaan copromicroscopic. Sampel tinja dikumpulkan dari empat ekor anoa sebanyak tiga kali selama tiga hari berturut-turut. Pemeriksaan copromicroscopic kualitatif dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi saluran pencernaan dan kuantitatif untuk mengetahui derajat infeksi kecacingan dengan menghitung jumlah telur tiap gram tinja (TTGT). Identifikasi jenis cacing yang ditemukan berdasarkan morfometri telur (ciri khas, bentuk, ukuran panjang, dan lebar) dan larva infektif nematoda strongylida hasil pupukan tinja.
Teknik Parasitologi Teknik Koleksi Sampel Sampel tinja yang dikumpulkan adalah tinja yang berumur tidak lebih dari dua jam setelah satwa defekasi. Setiap sampel diberi identitas berupa nama hewan, jenis kelamin, waktu, tempat, dan tanggal pengambilan. Sampel tinja dimasukkan ke dalam kantong plastik kemudian disimpan dalam cool box yang berisi ice packs untuk menghindari telur cacing menetas. Tinja segera disimpan dalam refrigerator sampai pemeriksaan mikroskopis dilakukan di laboratorium.
7
Metode Modifikasi McMaster Metode ini merupakan pemeriksaan kuantitatif yang digunakan untuk mengetahui derajat infeksi kecacingan dengan menghitung TTGT. Sebanyak empat gram tinja dilarutkan ke dalam 56 mL larutan gula garam jenuh, selanjutnya disaring dan dihomogenkan. Larutan yang sudah homogen dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster dengan menggunakan pipet. Setelah tiga menit, dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100x. Telur yang ditemukan pada setiap kamar hitung dihitung untuk mengetahui TTGT. Jumlah TTGT dihitung menggunakan rumus sebagai berikut.
Keterangan : n : Jumlah telur cacing dalam kamar hitung : Total volume larutan pengapung di tambah volume tinja (mL) Vtotal Vhitung : Volume kamar hitung (mL) Bt : Berat tinja (g) Metode Flotasi Sederhana Metode ini merupakan pemeriksaan kualitatif yang dilakukan apabila telur cacing tidak ditemukan pada pemeriksaan McMaster. Tinja dilarutkan dengan larutan gula garam jenuh lalu disaring menggunakan saringan teh dan dihomogenkan. Suspensi yang telah homogen dimasukkan ke dalam tabung reaksi hingga permukaannya membentuk miniskus, kemudian ditutup dengan gelas penutup. Setelah 15 menit gelas penutup diangkat dan diletakkan pada gelas objek kemudian diperiksa di bawah mikroskop perbesaran 100x dan 400x untuk melihat adanya telur cacing (Shaikenov et al. 2004). Metode Filtrasi dan Sedimentasi Metode ini digunakan untuk mengetahui adanya infeksi cacing trematoda. Tinja sebanyak empat gram dimasukkan ke dalam gelas dan ditambahkan 56 mL air. Campuran tersebut diaduk dan disaring dengan menggunakan saringan. Filtrat disaring dengan menggunakan saringan bertingkat (diameter 400, 100 dan 45 µm). Proses penyaringan juga dibantu dengan menggunakan alat penyemprot yang berisi akuades. Residu yang tersaring pada ukuran 100 µm dan 45 µm dibilas dengan akuades dan dimasukkan ke dalam gelas Baermann, kemudian diambil dengan menggunakan pipet dan diamati pada gelas objek yang telah dimodifikasi unt.uk diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 100x (Willinghan et al. 1998). Identifikasi Telur Cacing Parasitik Telur cacing yang ditemukan berdasarkan metode pemeriksaan McMaster, flotasi sederhana serta flitrasi dan sedimentasi diidentifikasi berdasarkan ciri khas telur, morfologi, ukuran kerbang dan tebal albumin telur, kemudian dilakukan pengukuran panjang dan lebar telur cacing menggunakan video mikrometer. Hasil identifikasi dan pengukuran telur dibandingkan dengan literatur.
8
Pupukan dan Identifikasi Larva Infektif Larva infektif (L3) diperoleh dari pupukan tinja anoa yang positif terinfeksi cacing nematoda parasitik. Tinja dipupuk dalam cawan dan dicampur dengan vermiculite sebagai bahan tambahan untuk mengatur kelembaban udara dengan perbandingan volume 1:3 (tinja: vermiculite). Pupukan ini dibiarkan dalam cawan petri selama tujuh hari, larva hasil pupukan dipanen menggunakan gelas Baermann. Pupukan tinja dibungkus dengan kain kasa kemudian digantung pada gelas Baermann yang 3/4 bagiannya telah diisi dengan akuades. Larva yang terkumpul pada dasar gelas diambil dengan menggunakan pipet, dikumpulkan ke dalam tabung koleksi kemudian disimpan dalam refrigerator. Identifikasi larva dilakukan dengan cara, larva infektif disimpan pada gelas objek lalu ditetesi cairan lugol dan diamati di bawah mikroskop. Identifikasi larva berdasarkan bentuk anterior, tipe esophagus, karakteristik sel usus, panjang selubung ekor dan ada tidaknya filament. Indentifikasi larva infektif berdasarkan kunci identifikasi Dikmans dan Andrews (1933), McMurtry et al. (2000), Van Wyk dan Mahyew (2013). Analisis Data Data hasil identifikasi telur cacing, derajat infeksi, identifikasi serta presentasi larva infektif cacing nematoda strongyle, dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Telur Cacing Saluran Pencernaan Hasil pemeriksaan sampel tinja anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) di TMR, menunjukkan semua anoa terinfeksi cacing nematoda saluran pencernaan. Jenis nematoda yang menginfeksi yaitu kelompok strongyle dan Strongyloides Gambar 1. Jenis nematoda ini juga dilaporkan menginfeksi ruminansia domestik yaitu sapi (Dorny et al. 2011) dan kerbau (Bubalus bubalis) (Patel et al. 2015). Pemeriksaan yang dilakukan pada sampel tinja menunjukkan tiga ekor anoa di TMR positif terinfeksi cacing strongyle. Ukuran telur cacing strongyle yang ditemukan memiliki ukuran panjang 80-100 µm dan lebar 35- 60 µm. Menurut Zajac dan Conboy (2012), tipe telur Strongyloid memiliki ukuran panjang 60-100 µm dan lebar 34-50 µm. Identifikasi jenis cacing strongyle berdasarkan morfologi telur sulit dilakukan, diakibatkan morfologi telur yang hampir mirip dari seluruh telur cacing strongyle (Bowman 2014). Pemeriksaan pada sampel tinja juga menunjukkan seluruh anoa di TMR positif terinfeksi cacing Strongyloides. Telur cacing Strongyloides yang ditemukan berbentuk oval, dinding lapisan albumin tipis dengan larva di dalamnya. Menurut Viney dan Lok (2007), telur cacing Strongyloides pada sediaan tinja sangat mudah dibedakan dengan telur cacing jenis nematoda lainnya, telur cacing Strongyloides memiliki bentuk oval, berdinding albumin tipis dan terdapat larva didalamnya.
9
10µm
A
10µm
B
Gambar 2 Telur cacing saluran pencernaan anoa yang ditemukan di TMR, (A) Telur cacing strongyle dan (B) Telur cacing Strongyloides Pemeriksaan sampel tinja anoa dengan metode filtrasi dan sedimentasi, menunjukkan hasil tidak ditemukannya telur cacing trematoda. Penyebab tidak ditemukannya telur cacing trematoda bisa diakibatkan lingkungan sekitar kandang yang tidak mendukung hidupnya siput Lymnaea. Cacing trematoda memerlukan inang antara siput Lymnaea untuk menjadi cacing dewasa. Infeksi cacing parasitik trematoda bergantung kepada keberadaan inang antara dan kontak dengan inang definitif (Melaku dan Addis 2012). Derajat Infeksi Kecacingan Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 1 anoa di TMR terinfeksi nematoda parasitik dengan kategori infeksi ringan. Infeksi cacing nematoda dengan jumlah TTGT <500 termasuk kategori infeksi ringan (Kulisic et al. 2012). Tabel 1 Jumlah Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) setiap jenis cacing TTGT Kode Hewan Strongyle Strongyloides Anoa 1 25 50 Anoa 2 25 50 Anoa 3 0 50 Anoa 4 50 50 Rata-Rata 33.333 ± 14.4338 50 ± 0.00 Nilai TTGT yang rendah bisa diakibatkan pemberian antelmintik secara berkala sebelum pengambilan sampel tinja. Pemberian antelmintik oleh TMR dilakukan setiap dua bulan sekali pada musim hujan dan tiga bulan sekali pada musim kemarau. Pada musim hujan infeksi cacing saluran pencernaan meningkat, pemberian antelmintik dapat dilakukan pada awal dan pertengahan musim hujan untuk mengurangi infeksi cacing saluran pencernaan (Beriajaya dan Suhardono 1997). Pemberian antelmintik dengan mengkombinasikan beberapa antelmintik sering dilakukan oleh TMR, untuk mencegah terjadinya resistensi. Menurut Coles (2005), kombinasi antelmintik dapat memperlambat terjadinya resistensi. Jenis
10
antelmintik yang diberikan pada anoa di TMR adalah Albendazole, Fenbendazol dan Levamisole. Anoa di TMR diberikan pakan dedaunan yang masih menempel pada tangkainya, dengan cara digantung pada pagar kandang dan pakan buah-buahan ditempatkan pada tempat pakan yang beralaskan semen. Pakan anoa yang tidak menyentuh tanah secara langsung dapat mencegah terjadinya infeksi cacing saluran pencernaan. Menurut Winarso (2015), jenis pakan, tingkah laku makan, dan metode pemberian pakan satwa juga memengaruhi frekuensi dan intensitas infeksi cacing saluran pencernaan pada satwa. Nilai TTGT cacing strongyle pada salah satu anoa bernilai 0, namun tidak berarti anoa tersebut bebas dari infeksi cacing strongyle. Nilai TTGT yang rendah juga tidak selalu menunjukkan tingkat keparahan yang ringan oleh infeksi cacing saluran pencernaan. Nilai 0 dan rendahnya TTGT pada sampel tinja dapat bisa disebabkan sedikitnya jumlah telur yang dikeluarkan bersama tinja. Menurut Hansen dan Perry (1994), terdapat beberapa faktor yang memengaruhi jumlah TTGT yaitu konsistensi tinja, banyak tinja yang dikeluarkan tiap hari, produksi telur tiap jenis cacing dan masa prepaten tiap jenis cacing yang berbeda. Tinja yang dibiarkan menumpuk di dalam kandang dan pemberian rumput yang tidak dikeringkan dengan waktu yang cukup oleh TMR juga dapat menjadi penyebab anoa terinfeksi cacing saluran pencernaan. Sanitasi dan kebersihan kandang yang tidak terjaga dapat menjadi faktor terjadinya infeksi cacing saluran pencernaan (Beriajaya dan Suhardono 1997). Pakan rumput sangat dianjurkan dijemur selama 2-3 hari untuk mencegah terjadinya infeksi cacing saluran pencernaan (Martindah et al. 2005). Selain itu, kandang hewan lain yang berada di dekat kandang anoa juga dapat menjadi penyebab infeksi cacing saluran pencernaan. Larva infektif bisa berpindah tempat ketika tumpukan tinja terpecah oleh air hujan dan aliran airnya akan menyebarkan larva infektif (Levine 1994). Rumput dan tumbuhan liar yang terdapat pada kandang anoa dapat menjadi faktor timbulnya infeksi cacing saluran pencernaan. Menurut Levine (1994), tipe dan jumlah tumbuhan disekitar kandang dapat memengaruhi intensitas infeksi cacing saluran pencernaan. Kandang anoa yang beralaskan tanah juga dapat menjadi salah satu faktor timbulnya infeksi cacing saluran pencernaan. Alas kandang yang berupa tanah menyebabkan kotoran sulit dibersihkan sehingga mendukung berkembangnya fase infektif cacing strongyle dan Strongyloides yang berkembang di lingkungan (Bowman 2014). Cacing strongyle di lingkungan berkembang menjadi L1 sampai L3 atau larva infektif sedangkan cacing Strongyloides mengalami dua alternatif siklus hidup dilingkungan yaitu siklus hidup langsung dan siklus hidup tidak langsung. Cacing Strongyloides yang melalui siklus hidup langsung berasal dari telur hasil partenogenesis betina parasit tanpa memalui proses perkawinan dan berkembang menjadi larva infektif. Cacing Strongyloides yang melalui siklus hidup tidak langsung akan berkembang menjadi cacing dewasa yang hidup bebas (free living), di lingkungan cacing jantan dan betina akan melakukan perkawinan dan telur yang dihasilkan akan berkembang menjadi larva infektif (Anderson 2000). Siklus hidup cacing Strongyloides yang lebih lama di lingkungan dibandingkan cacing strongyle mengakibatkan sulit melakukan pengendalian, ditunjukkan dengan semua anoa di TMR terinfeksi cacing Strongyloides.
11
Jenis Larva Infektif (L3) Strongyle Hasil identifikasi larva infektif (L3) cacing strongyle pada sampel tinja anoa di TMR, yaitu Trichostrongylus spp., Haemonchus contortus dan Cooperia cutecei. Jenis L3 cacing saluran pencernaan yang ditemukan pada anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis), merupakan jenis L3 yang sering menginfeksi ruminansia domestik seperti kambing dan domba (Dhewiyanty et al. 2015), sapi (Winarso 2015) dan kerbau (Karim 2015). Larva infekif cacing Trichostrongylus spp. yang ditemukan memiliki bentuk anterior membulat, selubung ekor yang runcing dan ujung ekor tanpa filamen. Larva infektif cacing Trichostrongylus spp. yang ditemukan memiliki rata-rata panjang total 684(641-716) µm dan rata-rata panjang selubung ekor 35(30-44) µm. Berdasarkan literatur L3 Trichostrongylus spp. memiliki bentuk anterior membulat, selubung ekor yang runcing seperti ujung pencil dan ujung ekor tanpa filamen, dengan rentang panjang total 600-858 µm (McMurtry et al. 2000) dan rentang panjang selubung ekor 20-40 µm (Dikmans dan Andrews 1933).
30 µm
30 µm
A2
A1
30 µm
30 µm
B2
B1
30 µm
C1
30 µm
C2
Gambar 3 Larva Infektif (L3) hasil pupukan tinja anoa di TMR, (A1) bagian anterior L3 Trichstrongylus spp., (A2) bagian posterior L3 Trichstrongylus spp., (B1) bagian anterior L3 H. contortus, (B2) bagian posterior L3 H. contortus, (C1) bagian anterior L3 C. curtecei, (C2) bagian posterior L3 C. curtecei.
12
Larva infektif cacing H. contortus yang ditemukan memiliki bentuk anterior sedikit meruncing dan terdapat filamen pada ujung ekor. Larva infektif cacing H. contortus yang ditemukan memiliki rata- rata panjang 734(727-737) µm dan ratarata selubung ekor 74(72-76) µm. Berdasarkan literatur, L3 cacing H. contortus memiliki bentuk anterior meruncing seperti peluru, dan filamen yang pendek pada ujung ekor, dengan rata-rata panjang total 693(650-751) µm (Dikmans dan Andrews 1933) dan rata-rata panjang selubung ekor 74(65-82) µm (Van Wyk dan Mahyew 2013). Larva infektif cacing C. curtecei yang ditemukan, memiliki bentuk anterior membulat dengan dua titik hitam, ekor meruncing dan memiliki filamen pada ujung ekor. Larva infektif C. curtecei yang ditemukan memiliki panjang total 797.4 µm dan panjang selubung ekor 45 µm. Berdasarkan literatur L3 C. curtecei memiliki bentuk anterior membulat, ekor meruncing dan memiliki filamen pada ujung ekor serta memiliki ciri khas dua titik pada bagian anterior, dengan rata-rata panjang total 780(711-850) µm (Dikmans dan Andrews 1933) dan rata-rata panjang selubung ekor 46(39-52) µm (Van Wyk dan Mahyew 2013). Persentase L3 Trichstrongylus spp., H. contortus, C. curtecei, hasil identifikasi berturut-turut sebesar 71%, 22%, dan 7%. Persentase tinggi pada L3 Trichostrongylus spp. dan H. contortus, serta persentase rendah pada genus L3 Cooperia juga dilaporkan terjadi di daerah Bogor (Beriajaya dan Copeman 1997). Menurut Levine (1994), keberadaan L3 sangat dipengaruhi beberapa faktor seperti suhu, iklim dan kemampuan larva infektif beradaptasi terhadap kondisi lingkungan. Lingkungan TMR yang dipenuhi pepohonan, mengakibatan suhu TMR relatif sejuk dan mendukung berkembangnya L3 cacing Trichostrongylus spp. Menurut Taylor et al. (2016), L3 cacing Trichostrongylus spp. berkembang optimum pada kondisi lingkungan yang sejuk dan dan dapat bertahan hidup selama 7-10 hari pada kondisi lingkungan yang buruk. Infeksi cacing Trichostrongylus spp. dalam jumlah yang sedikit tidak mempengaruhi kesehatan inang, namun dalam jumlah banyak menjadi sangat patogen (Bowman 2014). Persentase L3 H. contortus yang cukup tinggi dapat diakibatkan pengambilan sampel tinja yang dilakukan pada saat musim penghujan. Menurut Beriajaya (2005), persentase L3 H. contortus meningkat pada saat musim penghujan dibandingkan musim kemarau. Larva infektif cacing H. contortus berkembang optimum pada daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi (Levine 1994). Kondisi lingkungan TMR yang beriklim tropis dengan curah hujan yang tinggi, mendukung berkembangnya L3 genus Haemonchus. Infeksi cacing H. contortus dapat mengakibatkan anemia dan penurunan berat badan yang cukup signifikan (Miler dan Horhov 2006). Musim penghujan dan kondisi lingkungan TMR yang sejuk dapat memengaruhi rendahnya persentase L3 C. curtecei. Menurut Pfukenyi dan Mukaratirwa (2013), persentase L3 C. curtecei tinggi di daerah penggembalaan yang kering pada saat musim kemarau. Infeksi cacing C. curtecei tidak terlalu patogen dan umum dijumpai pada hewan ruminansia (Levine 1994).
13
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil pemeriksaan terhadap sampel tinja anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) di Taman Margasatwa Ragunan menunjukkan tiga ekor anoa terinfeksi cacing strongyle dan semua anoa terinfeksi cacing Strongyloides. Derajat infeksi cacing strongyle sebesar 33.333 ± 14.4338 TTGT dan cacing Strongyloides sebesar 50 ± 0.00 TTGT. Hasil identifikasi larva infektif nematoda menemukan tiga spesies nematoda, Trichostrongylus spp., Haemonchus contortus dan Cooperia curtecei.
Saran Pemeriksaan kecacingan secara berkala dan pemberian obat cacing secara spesifik untuk jenis cacing saluran pencernaan tertentu oleh Taman Margasatwa Ragunan. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jangka waktu yang lebih lama dan perbandingan dengan lembaga konservasi ex-situ lain, untuk menambah informasi ilmiah mengenai infeksi cacing saluran pencernaan pada hewan anoa dan mengidentifikasi larva infektif sampai dengan tingkat spesies.
14
DAFTAR PUSTAKA Anderson RC. 2000. Nematode Parasites of Vertebrates, Their Development and Transmission. 2nd ed. Wallingford Oxon (UK): CABI Publishing. Agustina KK, Dharmayudha AAGO, Wirata IW. 2013. Prevalensi Toxocara vitulorum pada induk dan anak sapi bali di wilayah Bali Timur. Bul Vet Udayana. 5(1): 1-6. Ahiabor CA, Lawson BW, Polderman AM. 2015. Oesophagostomum and other Strongylid nematode infections in ruminants and pigs in the upper east region of ghana. ARRB. 7(2):1-22. Beriajaya. 2005. Infeksi cacing nematoda saluran pencernaan pada domba dan kambing di Jawa Barat, Indonesia. JITV. 10(4):293-304. Beriajaya, Copeman DB. 1997. Musim dan intensitas infeksi cacing nematoda saluran percemaan pada domba dan kambing di Jawa Barat. JITV. 2(4):270-267. Beriajaya, Suhardono. 1997. Penanggulangan nematodiasis pada ruminansia kecil secara terpadu antara manajemen, nutrisi dan obat cacing. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner; 1997 Nop 18-19 ; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Balai Penelitian Veteriner. hlm 110-121. Borgsteede FHM, Holzhauer M, Herder FL, Veldhuis-Wolterbeek EG, Hegeman C. 2012. Toxocara vitulorum in suckling calves in The Netherlands. Res Vet Sci. 92 : 254-256. Bowman DD. 2014. Georgi’s Parasitology for Veterinarians. 10th Ed. Missouri (US): Saunders Elsevier. Burton JA, Hedges S, Mustari AH. 2005. The taxonomic status, distribution and conservation needs of the low land Bubalus depresicornis and mountain anoa Bubalus quarlesi. Mamal Rev. 35(1): 25-50. [CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 2015. [Internet]. [diunduh 2016 Maret 16].Tersedia pada http://www. cites.org/eng/app/appendices.php. Coles GC. 2005. Athelmintic resistance – looking to the future: a UK perspective. Res Vet Sci. 78(2): 99-108. Dorny P, Stoliaroff V, Charlier J, Meas S, Sorn S, Chea B, Holl D, Van Aken D,Vercruysse J. 2011. Infections with gastrointestinal nematodes, Fasciola and Paramphistomum in cattle in Cambodia and their association with morbidity parameters. Vet Parasitol.175: 293-299. Dhewiyanty V, Setyawati TR, Yanti AH. 2015. Prevalensi dan intensitas larva infektif nematoda gastrointestinal Strongylida dan Rhabditida pada kultur feses kambing (Capra sp.) di tempat Pemotongan hewan kambing pontianak. Protobiont. 4(1):178-183. Dikmans G, Andrews JS. 1933. A comparative morphological study of the infective larvae of the common nematodes parasitic in the alimentary tract of sheep. Trans Am Micr Soc. 52: 1-25. Groves C P. 1969. Systematic of the anoa (Mamalia Bovidae) Beaufortia. Zool.Mus.of Univ of Amsterdam. 17(233):1-12.
15
Hansen J, Perry B. 1994. The Epidemology, Diagnosis and Control of GastroIntestinal Parasites Of Ruminants In Africa. Nairobi (KE): The International Laboratory for Reasearch on Animal Diseases. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2008. [Internet]. [diunduh 2016 Maret 16]. Tersedia pada www.iucnredlist. org/search. [KPTMR] Kantor Pengelola Taman Margasatwa Ragunan. 2015. Sejarah Taman Margasatwa Ragunan. Jakarta (ID): Kantor Pengelola Taman Margasatwa Ragunan Kasim K. 2002. Potensi anoa (Bubalus depressicornis dan Bubalus quarlesi) sebagai alternatif satwa budidaya dalam mengatasi kepunahannya [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Karim WA. 2015. Eksploitasi dan prevalensi cacing gastrointestinal pada kerbau di daerah Jawa dan Lombok, Indonesia [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kulisic Z, Aleksic N, Dordevic M, Gajic B, Tambur Z, Stevanovic J, Stanimirovic Z. 2012. Prevalence of gastrointestinal helminths in calves in Western Serbia. Acta Veterinaria (Beograd). 62(5-6): 665-673. Levine ND. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gatut Ashadi, penerjemah; Wardiarto, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Textbook Veterinery Parasitology. Martindah E, Widjajanti S, Estuningsih SE, Suhardono. 2005. Meningkatkan kesehatan dan kepedulian masyarakat terhadap fasciolosis sebagai penyakit infeksius. Wartazoa. 15(3):143-154. McMurtry LW, Donaghy MJ, Vlassoff A, Douch PGC. 2000. Distinguishing morphological features of the third larval stage of ovine Trichostrongylus spp. Vet Parasitol. 90: 73-81. Melaku S, Addis M. 2012. Prevalence and intensity of Paramphisomum in ruminants slaughterd at Debre Zeit Industrial Abbattoir, Ethiopia. Global Vet. 8(3):315-319. Miller JE, Horohov DW. 2006. Immunological aspects of nematode parasite control in sheep. J Anim Sci. 84(13):124-132. Mustari AH, Masy’ud B. 2001. Kebutuhan nutrisi anoa (Bubalus Spp.). Media Konserv. 7(2):75-80. Mustari AH. 1995. Population and behavior of lowland anoa (Bubalus depressicornis) in tanjung amolengu wildlife reserve south-east Sulawesi, Indonesia [Tesis]. Göttingen (DE): Georg-August University. Nissen S, Al-Jubury A, Hansen TVA, Olsen A, Christensen H, Thamsborg, Nejsum P. 2012. Genetic analysis of Trichuris suis and Trichuris trichiura recovered from humans and pigs in a sympatric setting in Uganda. Vet Parasitol. 188:68-77. Patel HC, Hasnani JJ, Patel PV, Pandaya SS, Solarki JB, Jadav SJ. 2015. A study on helminth parasites of buffaloes brought to A H Medab slaughter house, Gujarat, India. IJLPR. 5(1):2007. Pfukenyi DM, Mukaratirwa S. 2013. A review of the epidemiology and control of gastrointestinal nematode infections in cattle in Zimbabwe. Onderstepoort J Vet Res. 80(1): 1-12.
16
Satrija F, Ridwan Y, Retnani EB. 2011. Efficacy of piperazine dihydrochlloride against Toxocara vitulorum in Buffalo Calves; Jurnal Veteriner. 12:77-82. Schreiber A, Nötzold G, Held M. 1993.Molecular and chromosomal evolution in anoas (Bovidae: Bubalus sp.). Zeitschrift für Zoologische Systematik und Evolutionsforschung. 31: 64–79. Shaikenov BS, Rysmukhambetova AT, Massenov B, Deplazes P, Mathis A, Torgerson PR. 2004. Shot Report : The use of a polymerase chain reaction to detect echinococcus granuloma (GI Strain) egg in soul sampel. Am. J Trop.Med.Hyg. 71(4): 441-443. Stromberg BE, Gasbarre LC, Waite A, Bechtol DT, Brown MS, Robinson NA, Olson EJ, Newcomb H. 2012. Cooperia punctata: Effect on cattle productivity?. Vet Parasitol. 183: 284-291. Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2016. Veterinary Parasitology. 4th ed. West Sussex (UK): Wiley Blackwell. Viney ME, Lok JB. 2007. Strongyloides spp. Wormbook [Internet]. [diunduh 26 Mar 2016]. Tersedia pada: http://www.wormbook.org/ genomesStrongyloides.html. Wilingham AL, Johansen MV, Barnes EH.1998. A new technic for counting Schistosoma japonicum egg in pig feces. South East Asian Journal Trop. Med Public Health. 29(1):128-130. Winarso A, Satrija F, Ridwan Y. 2015. Faktor risiko dan prevalensi infeksi Toxocara vitulorum pada sapi potong di kecamatan Kasiman, kabupaten Bojonegoro. JIPI. 20(2):85-90. Winarso A. 2015. Prevalensi dan faktor risiko infeksi nematoda saluran pencernaan pada sapi potong di kecamatan kasiman, kabupaten Bojonegoro [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Van Wyk JA, Mayhew E. 2013. Morphological identification of parasitic nematode infective larvae of small ruminants and cattle: A practical lab guide. Onderstepoort J of Vet Res. 80(1):14-539. Zajac AM, Conboy GA. 2012. Veterinary Clinical parasitology. 8th Ed. Lowa (US): Jhon Wiley & Sons.
HEWAN
AN1 (Rahul)
AN2 (Wesi)
AN3 (Demar)
AN4 (Goro)
NO
1
2
3
4
Betina
Jantan
Betina
Jantan
JENIS KELAMIN
Dewasa
Anak
Dewasa
Dewasa
UMUR
3(Karantina)
2(Show)
1(Show)
1 (Show)
KANDANG
(+)01.03.1997
(-)08.03.2015
(+)13.08.2009
(+)07.03.2005
TGl Terima (+)/Lahir(-)
Lampiran 1 Profil anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) di Taman Margasatwa Ragunan
LAMPIRAN
Diabetes
Lepas Sapih
Sehat
Sehat
KONDISI KESEHATAN
17
18
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di kota Bandung, Jawa Barat pada tanggal 6 Maret 1994. Penulis merupakan putra keempat dari empat bersaudara kandung yang lahir dari pasangan suami istri Tje Tje Rukma (Alm) dan Ade Malyati. Penulis menempuh pendidikan di SMP Negeri 30 Bandung pada tahun 2006-2009. Pada tahun 2009-2012 penulis meneruskan pendidikan di SMA Negeri 12 Bandung. Kemudian pada tahun 2012, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi Anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Bandung (PAMAUNG 2012-2015), Anggota Himpunan Profesi Ruminansia (2013-2015). Penulis juga aktif pada berbagai kepanitian pada kegiatan dalam maupun luar kampus. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul: “Infeksi Cacing Saluran Pencernaan Pada Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis) Di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta” di bawah bimbingan Dr Drh Yusuf RidwanMSi dan Dr Drh Elok Budi Retnani MS.