INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI PULAU TINJIL
DESSY CHRISNAWATY
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ABSTRAK DESSY CHRISNAWATY. 2008. Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil. Di bawah bimbingan ELOK BUDI RETNANI dan R. P. AGUS LELANA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi cacing saluran pencernaan pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di tempat penangkaran alami monyet ekor panjang Pulau Tinjil. Sebanyak 91 sampel tinja monyet yang diambil di sekitar 13 kandang pakan yang tersebar di Pulau Tinjil, diperiksa berdasarkan pul. Sampel yang diperiksa secara individu adalah sebanyak 56 sampel dari total sampel yang ada. Sampel yang diperoleh diperiksa terhadap jenis serta jumlah telur cacing dengan menggunakan metode modifikasi McMaster, flotasi dan sedimentasi. Dari 56 sampel yang diperiksa sebanyak 15 sampel (26,8%) positif kecacingan dengan infeksi tunggal maupun campuran. Hasil pemeriksaan kualitatif pada total sampel tinja ditemukan enam jenis telur cacing yaitu Hymenolepis (1,47%), Ascaris (5,88%), Oxyurid (1,47%), Strongylid (2,94%), dan Trichuris (8,82%). Satu genus yang lain yaitu Schistosoma tidak dapat dihitung prevalensinya karena bukan merupakan sampel individu tetapi merupakan kumpulan (pul) dari beberapa sampel. Rataan derajat infeksi sebesar 73 TTGT dengan kisaran derajat infeksi 12-242 TTGT. Kata kunci: Macaca fascicularis, cacing saluran pencernaan, Pulau Tinjil, prevalensi, derajat infeksi
ABSTRACT
DESSY CHRISNAWATY. 2008. Long Tailed Macaque’s (Macaca fascicularis) Gastrointestinal Helminth Infection in Tinjil Island. Supervised by ELOK BUDI RETNANI and R. P. AGUS LELANA. The goal of this research is to study the prevalence of gastrointestinal helminths infection of Macaca fascicularis in natural habitat breeding facility, Tinjil Island. Ninety one fecal samples that were collected from thirteen feeding stations in Tinjil Island, examined in group based on its fecal pool. Fifty six out of ninety one fecal samples were examined individually. Samples were examined using a modified McMaster, flotation, and sedimentation techniques in order to count EPG and identify the egg types. Out of 56 fecal sample, 15 samples (26,8%) was infected with six types of helminth, including Schistosoma (have no prevalence because is only examined by fecal pool), Hymenolepis (1,47%), Ascaris (5,88%), Oxyurid (1,47%), Strongylid (2,94%), and Trichuris (8,82%). The average number of EPG was 73, ranging from 12 to 242 EPG. Keywords: Macaca fascicularis, gastrointestinal helminth, Tinjil Island, prevalence, worms burden
INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI PULAU TINJIL
DESSY CHRISNAWATY
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Lembar Pengesahan Judul Skripsi Nama NRP
: Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil : Dessy Chrisnawaty : B04104077
Disetujui
drh. Elok Budi Retnani, MS
drh. R. P. Agus Lelana, SpMP. MSi
Pembimbing I
Pembimbing II
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan FKH-IPB
Tanggal lulus
:
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Desember 1986 sebagai anak kedua dari dua bersaudara pasangan Murtomo dan Merry Chrismiati. Penulis menempuh pendidikan di SD Dharma Karya UT, Pondok Cabe pada tahun 1992-1998. Pada tahun 1998 melanjutkan pendidikannya di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 1 Pamulang, Tangerang. Pendidikan selanjutnya ditempuh di Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 74 Jakarta Selatan pada tahun 2001-2004. Kemudian tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi pengurus Himpunan Profesi Satwaliar (2005-2006), pengurus Komunikasi Seni dan Teater Ilmiah (STERIL) (2005-2006), Ketua Divisi Infokom Himpro Satwaliar (2006-2007). Penulis juga aktif menjadi panitia kegiatan dalam maupun luar kampus. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul: “Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil” di bawah bimbingan drh. Elok Budi Retnani, MS dan drh. R. P. Agus Lelana, SpMP. MSi.
KATA PENGANTAR Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia, lindungan, bimbingan, kasih sayang serta limpahan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan penelitian dan penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1.
drh. Elok Budi Retnani, MS sebagai dosen pembimbing atas segala bimbingan, nasehat, pengarahan serta dukungannya.
2.
drh. R. P. Agus Lelana, SpMP. MSi sebagai dosen pembimbing penelitian dan dosen pembimbing akademik atas segala nasehat dan bimbingannya selama penulisan skripsi maupun selama penulis menjadi mahasiswa.
3.
Kepala Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) LPPM-IPB, Kepala Stasiun Lapangan Pulau Tinjil, beserta staf PSSP LPPM-IPB atas segala kerjasama serta bantuannya.
4.
Staf Stasiun Lapangan Pulau Tinjil yang telah banyak membantu saat pengambilan sampel di Pulau Tinjil.
5.
Segenap Staf Laboratorium Helmintologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat FKH IPB yang telah banyak membantu terselesaikannya penelitian ini.
6.
Kedua orang tua: Bapak Murtomo dan Ibu Merry Chrismiati atas doa, kasih sayang dan dukungan yang selalu diberikan, baik moril dan materil.
7.
Nindya Novianty (Pipil), kakakku yang tercinta. Thank you for being such a lovely sister, who always gives me a big support especially during this research.
8.
Mariyam, yang telah memberikan kasih sayangnya semenjak penulis kecil.
9.
Erni Suryani, the best auntie I’ve ever had. Thank you because you always be there when I needed you.
10.
Cory, Rendy, dan Randi atas semangat serta hiburannya.
11.
Tante Ati, Mbak Sarah, dan Sapta atas segala bantuannya.
12.
VA (Klacipta Damelka, Dewi Ayu Agustiyanti, Charunnisa, Dwi Taniar Graninggar, Tri Wijayanti, Lina Puspitasari), untuk bantuan dan dorongan semangatnya sehingga penulis dapat berusaha menyelesaikan tugas akhir ini dengan sebaik-baiknya.
13.
Teman-teman penghuni kos Citra Asri Leuwikopo atas semua bantuannya.
14.
Teman-teman Himpro SATLI atas segala saran dan bantuannya.
15.
Teman-teman Asteroidea 41 yang sudah mau berbagi suka dan duka bersama.
16.
Pihak-pihak yang tidak mungkin untuk disebutkan satu persatu yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Meskipun dalam penyusunannya sudah diusahakan sebaik mungkin, akan tetapi keterbatasan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan berbagai kendala yang ada menyebabkan tulisan ini masih mengandung kekurangan. Penulis berharap semoga peneliti lain dapat mengetahui, memahami dan memperbaiki kekurangan tersebut. Semoga tulisan hasil penelitian ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor, Oktober 2008
Dessy Chrisnawaty
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR
.......................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
vii
I PENDAHULUAN ................................................................................... 1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1.2 Tujuan ............................................................................................... 1.3 Manfaat .................................................................................
1 1 2 2
II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 2.1 Kondisi Umum Pulau Tinjil ........................................................... 2.1.1 Letak dan Luas ....................................................................... 2.1.2 Kondisi Fisik ....................................................................... 2.1.3 Flora ....................................................................................... 2.1.4 Fauna .................................................................................... 2.2 Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) di Pulau Tinjil ......................... 2.3 Macaca fascicularis ....................................................................... 2.3.1 Klasifikasi dan Penyebaran ............................................... 2.3.2 Morfologi ....................................................................... 2.3.3 Pakan ................................................................................... 2.3.4 Wilayah Jelajah dan Kepadatan Populasi .............................. 2.3.5 Tingkah Laku ........................................................................ 2.4 Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata ....................... 2.4.1 Schistosoma japonicum ............................................... 2.4.2 Hymenolepis diminuta ........................................................... 2.4.3 Ascaris lumbricoides ........................................................... 2.4.4 Enterobius vermicularis ............................................... 2.4.5 Strongylid (hookworm) ............................................... a. Ancylostoma duodenale (old world hookworm) dan Necator americanus (new world hookworm .......... a1. Ancylostoma duodenale (old world hookworm) ........ a2. Necator americanus (new world hookworm) .......... b. Oesophagostomum sp ............................................... 2.4.6 Trichuris trichuria ........................................................... 2.5 Prevalensi Cacing Parasit Saluran Pencernaan pada Satwa Primata ...................................................................................
3 3 3 3 3 4 4 5 5 6 6 7 8 9 10 11 12 14 14
III METODE PENELITIAN ....................................................................... 3.1 Tempat dan Waktu ....................................................................... 3.2 Rancangan Penelitian ....................................................................... 3.3 Bahan dan Alat Penelitian ........................................................... 3.4 Metode Penelitian di Laboratorium ...............................................
15 15 15 16 17 18 20 20 20 22 22
3.4.1 Metode McMaster ........................................................... 3.4.2 Metode Flotasi ....................................................................... 3.4.3 Metode Sedimentasi dan Filtrasi ................................... 3.4.4 Identifikasi Telur Cacing Kuantitatif ................................... 3.5 Analisis Data ...................................................................................
22 22 23 24 24
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 4.1 Jenis-Jenis Cacing yang Ditemukan ............................................... 4.2 Prevalensi ................................................................................... a. Prevalensi berdasarkan core area ............................................... b. Prevalensi berdasarkan jenis cacing ................................... c. Prevalensi infeksi tunggal dan campuran cacing saluran pencernaan ....................................................................... d. Transmisi kecacingan ........................................................... e. Peran manusia dalam transmisi kecacingan monyet di Pulau Tinjil ................................................................................... 4.3 Derajat Infeksi ................................................................................ a. Derajat infeksi berdasarkan core area ................................... b. Gambaran patogenesis kecacingan ...................................
25 25 32 32 32
V KESIMPULAN DAN SARAN
36 36 36 39
...........................................................
41
.......................................................................
43
...................................................................................
48
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
33 34
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Jenis sumber pakan Macaca fascicularis yang terdapat di Pulau Tinjil
...
7
2 Jenis cacing saluran pencernaan pada satwa primata ...................................
9
3 Prevalensi parasit saluran pencernaan pada satwa primata .........................
19
4 Jenis telur cacing yang ditemukan pada Macaca fascicularis di Pulau Tinjil
...................................................................................................
25
5 Hasil pemeriksaan metode flotasi dan sedimentasi berdasarkan lokasi kandang di Pulau Tinjil
...........................................................................
26
6 Prevalensi setiap jenis telur cacing pada setiap kandang Macaca fascicularis di Pulau Tinjil ...........................................................................
32
7 Prevalensi infeksi tunggal dan campuran cacing saluran pencernaan Macaca fascicularis di Pulau Tinjil
...................................................
34
8 Derajat infeksi (TTGT) kecacingan saluran pencernaan pada Macaca fascicularis berdasarkan lokasi kandang di Pulau Tinjil ...........................
38
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Macaca fascicularis jantan dewasa ............................................................
5
2 Macaca fascicularis betina dewasa dan anaknya ......................................
5
3 Telur Hymenopid .......................................................................................
27
4 Telur Ascarid yang dibuahi
...............................................................
28
5 Telur Ascarid yang tidak dibuahi ...............................................................
28
6 Telur Oxyurid
.......................................................................................
28
7 Telur Strongylid .......................................................................................
28
8 Telur Trichurid (terdapat larva) ...............................................................
30
9 Telur Trichurid
30
.......................................................................................
10 Telur Schistosoma sp.
..........................................................................
11 Monyet sedang melakukan grooming
...................................................
31 35
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Peta vegetasi di Pulau Tinjil
.............................................................
49
2 Peta transect line dan kandang Pulau Tinjil .............................................
50
3 Tabel pembagian pul sampel tinja Macaca fascicularis di Pulau Tinjil...........................................................................................................
51
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Tinjil digunakan sebagai habitat alami untuk perkembangbiakan (natural
habitat
breeding
facility/NHBF)
monyet
ekor
panjang
(Macaca fascicularis) yang bebas simian retrovirus (SRV). Pembentukan NHBF ini didorong oleh pertemuan WHO pada tahun 1981 yang memutuskan bahwa dalam pengembangan program penelitian biomedis internasional harus didukung dengan tersedianya suatu koloni monyet ekor panjang di negara habitatnya. Penangkaran ini juga diikuti dengan program konservasi populasi lain dari spesies yang sama. Pulau Tinjil dikelola oleh Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak tahun 1990 (Kyes et al. 1998). Fasilitas di penangkaran tersebut meliputi base camp, rumah pekerja, transect line (Lampiran 1), kandang pakan monyet, kandang penampungan monyet serta tempat penampungan air minum. Selain pegawai PSSP, beberapa kelompok nelayan juga ikut menetap di pantai Pulau Tinjil (Hernowo et al. 1989). Semua pegawai dan nelayan diharuskan bebas infeksi TBC sebelum memasuki pulau karena dapat menularkan penyakit kepada populasi monyet yang ada (zoonosis). Populasi monyet memperoleh tambahan pakan setiap harinya. Penyakit merupakan faktor penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan penangkaran, termasuk diantaranya adalah kecacingan. Telur sebagai sumber infeksi/reservoar dapat berasal dari manusia dan juga monyet yang tinggal di tempat penangkaran tersebut. Infeksi cacing saluran pencernaan akan menurunkan efisiensi penyerapan makanan oleh tubuh inang, merusak saluran pencernaan, menyebabkan kekurangan cairan dan anemia akibat cacing penghisap darah. Gejala klinis lain yang dapat timbul antara lain obstruksi mekanik pada pembuluh darah, pembuluh limfe, saluran empedu serta saluran pencernaan. Infeksi cacing juga dapat menurunkan imunitas inang, sehingga dalam jangka waktu panjang dapat mengakibatkan kondisi tubuh induk semang
menjadi lemah dan menyebabkan mudah terinfeksi oleh agen penyakit lain (Levine 1990, Subekti 1993). Monyet yang digunakan untuk hewan model harus bebas dari infeksi kecacingan sehingga akurasi hasil penelitian yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan. Sehubungan dengan hal itu perlu dilakukan studi mengenai endoparasit saluran pencernaan pada monyet di Pulau Tinjil.
1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis cacing saluran pencernaan, prevalensi serta derajat infeksi secara total, menurut jenisnya maupun pada setiap kandang.
1.3 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui keragaman jenis cacing saluran pencernaan serta derajat infeksinya pada M. fascicularis yang tersebar di Pulau Tinjil. Informasi tingkat kejadian kecacingan merupakan refleksi adanya faktor risiko yang perlu dikaji lebih lanjut. Informasi tersebut merupakan salah satu acuan dalam manajemen kesehatan M. fascicularis.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Pulau Tinjil 2.1.1 Letak dan Luas Pulau Tinjil memiliki luas 600 Ha dan terletak 16 km di sebelah selatan Muara Binuangeun, Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat. Pulau ini secara geografis berada pada 6°50’20” LS dan 105°40’20” BT. Pulau ini secara administratif terletak di Desa Cikiruh Wetan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten, Jawa Barat (Hermiati et al. 2004).
2.1.2 Kondisi Fisik Pulau Tinjil umumnya bertopografi datar dengan ketinggian 0-5 mdpl. Jenis tanah yang ada di pulau ini terdiri dari Lithic Quartzipsamment, Lithic Ustipsamment, Haplustuit, Lithic Ustropept, dan Pluvaquentic Tropohemist. Jenis tanah ini memiliki karakteristik antara lain: kelas tekstur tanah kasar sampai sedang; struktur lepas, remah dan penjal; reaksi kemasaman tanah yang bersifat netral sampai alkalin; kedalaman lapisan tanah umumnya dangkal dan kandungan unsur natrium serta kalsium yang tinggi (Hermiati et al. 2004).
2.1.3 Flora Menurut Romauli (1993), vegetasi di Pulau Tinjil digolongkan sebagai vegetasi pantai dan hutan hujan tropis dataran rendah. Jenis-jenis vegetasi yang mendominasi hutan hujan tropis dataran rendah adalah melinjo (Gnetum gnemon), Ki ampelas (Ficus ampelas), Ki langir (Dysoxylum amooroides), Buchania insignis, dan Merbau (Intsia amboinensis). Hutan pantai didominasi oleh jenis vegetasi Ketapang (Terminalia catappa), Binar (Ochrocarpus ovalifolius), Kampis (Hernandia peltata), Butun (Barringtonia asiatica), Sulatri (Callophylum soulatrii), dan Waru (Hibiscus tiliaceus). Vegetasi di Pulau Tinjil secara umum juga dapat dibagi menjadi enam zona yaitu zona hutan hujan tropika dataran
rendah, zona waru laut, zona sulatri, zona butun dan ketapang, zona pandan, dan zona bambu (Lampiran 2). Menurut Asril et al. (1991), suhu rata-rata luar tajuk sebesar 27°C dengan kisaran sebesar 24,3-33 °C sedangkan suhu rata-rata dalam tajuk sebesar 26,8°C dengan kisaran sebesar 24,2-24,8°C. Kelembaban udara rata-rata di Pulau Tinjil 79% dengan kisaran 65-88%.
2.1.4 Fauna Beberapa fauna asli yang ada di Pulau Tinjil adalah dari jenis burung, reptilia, mamalia dan arthropoda. Komposisi jenis burung di Pulau Tinjil terdapat sekitar 22 jenis diantaranya kuntul karang (Egretasacra), elang perut putih (Haliacetus leucogaster), mas (Caleonas nicobarica), raja udang kalung putih (Haleyon chloris) dan murung madu kuning (Nectarina jugularis). Beberapa jenis reptilia di Pulau Tinjil antara lain: biawak (Varanus salvator), kadal, ular sanca (Phyton sp.), ular tanah, dan ular hijau. Jenis satwa mamalia yang dapat di jumpai adalah tikus (Rattus sp.) dan kelelawar. Hewan dari filum Arthropoda yang terdapat di pulau ini antara lain: umang-umang (Pangurus sp.), kepiting tanah besar (Cardisoma sp.), dan beberapa jenis serangga (Hermiati et al. 2004).
2.2 Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) di Pulau Tinjil Bibit induk (breeders) M. fascicularis untuk Pulau Tinjil berasal dari Sumatera Selatan, Palembang serta Jawa Barat. Sejumlah 520 ekor M. fascicularis dewasa (58 jantan dan 462 betina) dilepaskan di Pulau Tinjil yang pada awalnya tidak dihuni oleh spesies ini, pada bulan Februari 1988 dan Desember 1994 (Kyes et al. 1998). Semua monyet yang akan dilepaskan melalui proses karantina dan viral screening (agar bebas SRV) termasuk juga physical examination, pemeriksaan umur (melalui erupsi pada gigi), tuberculin test serta pemeriksaan parasit intestinal (Pamungkas 1994). Populasi monyet yang ada di Pulau Tinjil disensus secara periodik semenjak tahun 1990 (Kyes et al. 1998). Data sensus tahun 2001 mengindikasikan ada 42 koloni yang tersebar di pulau tersebut (Leeson 2001). Estimasi angka kelahiran sebanyak 60%. Ukuran populasi M. fascicularis yang ada di Pulau Tinjil sekitar
1000-2000 ekor pada tahun 2008 (Iskandar E 2008, komunikasi pribadi). Penangkapan keturunannya dilakukan secara periodik yang selanjutnya digunakan untuk penelitian biomedik (Cawthon Lang 2006, Kyes et al. 1998).
2.3 Macaca fascicularis 2.3.1 Klasifikasi dan Penyebaran Klasifikasi monyet ekor panjang menurut Dolhinow et al. (1999) : Ordo
: Primates
Subordo
: Anthropoidea
Infraordo
: Catarrhini
Superfamili
: Cercopithecoidea
Famili
: Cercopithecidae
Subfamili
: Cercopithecinae
Genus
: Macaca
Spesies
: M. fascicularis (Raffles 1821)
Di daerah Indonesia M. fascicularis tersebar di Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Bali. Satwa ini juga terdapat di Brunei, Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Pulau Nicobar (Jones 2004).
Photo by Entang Iskandar
Gambar 1 M. fascicularis jantan
Gambar 2 M. fascicularis betina dan anaknya
Spesies ini dapat hidup di berbagai tempat sampai dengan ketinggian 2000 m di atas permukaan laut. Habitat mereka meliputi hutan primer, sekunder, pantai, mangrove, rawa serta daerah di sekitar aliran sungai. Spesies ini tidak takut dengan air dan merupakan perenang yang handal. M. fascicularis dapat hidup berdampingan dengan manusia dan sering menjarah hasil panen para petani (Nowak 1999, Rowe 1996).
2.3.2 Morfologi Ciri-ciri umum M. fascicularis dewasa adalah yang jantan memiliki panjang tubuh antara 49,20-55,80 cm sedangkan yang betina antara 47,90-49,50 cm. Ukuran jantannya (3,15-5,30 kg) lebih besar daripada betinanya (2,80-3,62 kg). Ekornya lebih panjang daripada tubuhnya, sekitar 40-65 cm, karena itulah satwa ini juga sering disebut monyet ekor panjang (Fitriani 1992). Rambut M. fascicularis dewasa baik jantan maupun betina berwarna coklat keabuan yang merata di seluruh tubuhnya dari kepala hingga ekor, kecuali pada bagian perut dan ekstremitas bagian dalam memiliki warna yang lebih terang. Rambut di atas kepala tumbuh ke arah belakang dan kadang berbentuk jambul. Kulit yang berada dibawah mata tidak berbulu (berbentuk segitiga), kemudian pada bagian pipi terdapat rambut yang mengarah ke depan. Rambut pipi pada individu jantan lebih lebat dibanding betina (Krisnawan 2000).
2.3.3 Pakan Spesies ini sering disebut sebagai Crab-eating macaque, yang berarti pemakan kepiting. Monyet ekor panjang merupakan hewan omnivora, yang artinya dapat memakan berbagai macam hewan, tumbuhan dan berbagai makanan yang lain. Monyet ekor panjang yang ada di Pulau Tinjil lebih menyukai buah sebagai pakannya dibandingkan vegetasi lainnya. Hal tersebut dapat menguntungkan bagi proses regenerasi hutan, karena satwa ini mempunyai kebiasaan makan yang memungkinkan penyebaran suatu jenis vegetasi. Satwa ini selalu mengambil makanan dari suatu sumber pakan (pohon pakan), kemudian membawa buah ataupun bunga ke pohon lain dan memakannya di pohon tersebut. Pohon yang satu dengan yang lain kadang-kadang letaknya berjauhan. Makanan yang dibawa
biasanya disimpan terlebih dahulu di dalam kantung pipinya (cheek pouch) untuk dimakan kemudian. Buah atau biji yang dibawa sering jauh akibat dari gerakan yang dilakukan saat berpindah dari satu pohon ke pohon lain (Bennett 1995, Romauli 1993). Pakan yang tersedia di Pulau Tinjil sangat beragam (Tabel 1). Ficus ampelas merupakan vegetasi yang tersedia dan paling disukai (palatabilitasnya tinggi) apabila dibandingkan dengan jenis pakan lain (Romauli 1993). Tabel 1 Jenis sumber pakan Macaca fascicularis yang terdapat di Pulau Tinjil Asal Pakan
Jenis Pakan Buah Ki-ampelas (Ficus ampelas) Merbau (Intsia amboinensis) Kalapari (Pongamia pinnata) Kidang (Aglaia sp.) Daun Peuris (Antidesma montatum) Bayur (Pteropermum javanicum) Binar (Ochocarpus ovaliifolius) Sulatri (Callophylum soulatrii) Pandan (Pandanus tectorius) Hanjuang (Cordyline fruticosa) Waru laut (Hibiscus tiliaceus) Butun (Barringtonia asiatica) Ketapang (Terminalia catappa) Jambu mawar (Syzygium jambos) Mengkudu (Ixora simularensis) Melinjo (Gnetum gnemon) Tambahan Pisang Jagung Sumber: Anggraeni 2003 Alam
2.3.4 Wilayah Jelajah dan Kepadatan Populasi Wilayah jelajah dapat diartikan sebagai wilayah yang dikunjungi satwaliar dalam aktivitas hariannya yang normal. Wilayah jelajah dapat bervariasi sesuai dengan keadaan sumberdaya lingkungannya, semakin baik kondisi lingkungannya semakin sempit ukuran wilayah jelajahnya (Alikodra 1990). Menurut Leeson (2001), kepadatan populasi Macaca fascicularis di Pulau Tinjil adalah sebesar 259 ekor/km2 dengan kepadatan kelompok sebesar 4,7 kelompok/km2. Jumlah tersebut lebih tinggi daripada kepadatan populasi di hutan primer (30 ekor/km2) dan sekunder (40 ekor/km2). Hal ini dapat disebabkan
adanya perlakuan penambahan pakan sehingga kematian akibat persaingan dalam mendapatkan pakan dapat berkurang (Fadilah 2003, Nowak 1999).
2.3.5 Tingkah Laku Tingkah laku pada satwa primata biasanya dilihat sebagai model untuk tingkah laku manusia yang lebih sederhana. Hal ini ditunjang dengan masa hidup yang lebih singkat pada satwa primata dibandingkan dengan manusia, sehingga lebih mudah dilakukan penelitian (Nelson dan Jurmain 1988). Komunikasi antara satwa primata dapat
dilakukan
dengan
berbagai
cara
yaitu
bersuara,
ekspresi/mimik muka dan isyarat tubuh. Satwa primata yang subordinate akan menunjukkan bagian belakang tubuh kepada satwa yang dominan, sedangkan tingkah laku menggoyangkan cabang atau pohon menandakan sikap agresif (Smith dan Mangkoewidjojo 1987). Wheatley (1980) mengklasifikasikan tingkah laku monyet ke dalam aktivitas makan, berpindah, istirahat, berkelahi, merawat diri (groom), dan kopulasi. Makan adalah aktifitas yang meliputi memungut pakan dan prosesnya, dimulai dari mengumpulkan, mengunyah makanan yang dilakukan pada pohon yang sama dan diakhiri sampai ketika satwa berhenti makan. Istirahat adalah aktifitas selain makan dan berpindah, kadang-kadang terdapat tingkah laku merawat diri. Berkelahi adalah aktifitas yang ditandai dengan ancaman mimik muka atau gerakan badan, menyerang dan memburu lawannya, baku hantam dan diakhiri dengan kekalahan lawannya. Merawat diri (grooming) adalah tingkah laku membersihkan atau memungut sesuatu seperti kotoran-kotoran, serpihan kulit mati, dan ektoparasit, dari rambut satwa lain atau pun pada dirinya sendiri. Tingkah laku ini termasuk tingkah laku yang jarang dilakukan tetapi membutuhkan waktu cukup lama dalam aktivitasnya. Grooming seringkali dilakukan pada saat beristirahat. Perilaku ini tidak hanya untuk membersihkan badan, akan tetapi juga sebagai sarana untuk menjalin hubungan sosial antar individu dalam kelompok, misalnya induk menenangkan anaknya dengan membersihkannya serta sebagai pendahuluan dari proses perkawinan (Anggraeni 2003, Iskandar 1993, Rowe 1996).
Monyet jantan dewasa yang melakukan self grooming (merawat diri sendiri) dan allogroming (merawat diri individu lain) apabila mendapatkan ektoparasit maka akan diambil lalu dibuang ataupun dimakan. Pengambilan ektoparasit dapat dilakukan dengan tangan ataupun dengan mulut (Anggraeni 2003, Goosen 1987).
2.4 Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata Cacing yang dapat menginfeksi satwa primata adalah dari jenis trematoda, nematoda dan cestoda. Tabel 2 Jenis cacing saluran pencernaan satwa primata No. Jenis Cacing Parasit S Spesies Satwa Primata Trematoda 1. Schistosoma sp. Baboon Nematoda 1. Ascaris Rhesus monkey, Lagothric lagothrica 2. Trichuris sp. Rhesus monkey, Mandrillus sphinx, Colobus guereza 3. T. trichiura Simian primates 4. Strongyloides Rhesus monkey, Colobines fulleborni 5. Hookworm Cercopithecus aethiops sabaeus, Macaca nigra, Macaca tonkeana 6. Trichostrongylus Rhesus monkey 7. Trypanoxyuris Allouatta pigra 8. Mammomonogamus Mandrillus sphinx, Orangutan 9. Oesophagostomum Baboon, Colobines 10. O. aculeatum Macaca 11. O. bifurcatum Macaca 12. O. stephanostomum Macaca, Gorilla, Simpanse 13. Enterobius sp. Baboon, Orangutan Cestoda 1. Hymenolepis sp. Chimpanzee, Aotus vosiferans, Rhesus monkey, Squirrel monkey
Sumber 1,3
7, 11 6,11,12 13 2, 5, 6, 11, 12 3, 10 11 14 10, 12 1, 2 13 13 13 1, 2, 9
4, 9
1. Appleton and Henzi 1993; 2. Chapman et al. 2005; 3. Engel et al. 2004; 4. Joslin 2003; 5. Knezevich 1998; 6. Melfi and Poyser 2007; 7. Michaud et al. 2003; 8. Muehlenbein 2005; 9. Mul et al. 2007; 10. Mutani et al. 2003; 11. Phillippi and Clarke 1992; 12. Setchell et al. 2007; 13. Soulsby 1982; 14. Vitazkova and Wade 2007
Infeksi cacing saluran pencernaan terjadi karena adanya sumber infeksi dan inang yang peka pada suatu tempat dan waktu tertentu. Infeksi cacing saluran
pencernaan pada satwa liar, khususnya satwa primata di free ranging area dapat dengan mudah terjadi akibat feses yang tersebar dimana-mana. Feses dapat berasal dari spesies yang sama ataupun dari manusia. Hal ini dapat dengan mudah terjadi karena adanya habitat yang sama ataupun adanya invasi oleh manusia ke habitat satwa primata. Inang yang rentan terhadap infeksi cacing saluran pencernaan dapat dibedakan berdasarkan umur, jenis kelamin dan status sosial (dominan, subordinate) di dalam kelompok. Status fisiologis dapat pula mendukung terjadinya infeksi, misalnya betina dalam masa laktasi, gestasi dan bersiklus (Morgan et al. 1960, Cowlishaw et al. 2000, Phillippi 1992, Stuart dan Strier 1995).
2.4.1
Schistosoma japonicum
Distribusi geografis Cacing ini ditemukan di Asia Timur, Asia Tenggara seperti RRC, Jepang, Filipina, Muangthai, Taiwan, Malaysia, dan Indonesia. Penyebarannya di Indonesia adalah di Sulawesi Tengah yaitu di sekitar Danau Lindu dan Lembah Napu (Kusumamihardja 1995, Onggowaluyo 2001). Morfologi Cacing jantan panjangnya 9,5-20 mm dan diameternya 0,55-0,967 mm. Cacing betina panjangnya 12-26 mm dan diameternya 0,3 mm. Cacing ini memiliki batil hisap yang terletak dekat ujung anterior dan sangat berdekatan satu sama lain. Cacing dewasa kulit tubuhnya halus, pada bagian batil hisap dan gynaecophoric canal ditutupi duri-duri halus, tidak mempunyai tuberkel dan bersifat gonokoristik, walaupun dalam tubuh inang sering ditemukan berpasangan (cacing betina didalam gynaecophoric canal). Esofagus pada cacing dewasanya dikelilingi oleh sekelompok kelenjar dan bercabang di depan alat penghisap ventral serta bersatu kembali dalam kuartir terakhir. Testisnya terdiri dari 6-8 yang tersusun secara longitudinal, berada di belakang dari lubang genital, yang terbuka tepat di posterior dari batil hisap ventral. Ovariumnya terletak di belakang dari pertengahan tubuh dan kelenjar vitelin memenuhi seperempat bagian posterior (Kusumamihardja 1995, Onggowaluyo 2001, Soulsby 1982).
Telur berbentuk bulat, berwarna kuning atau kuning kecoklatan, terdapat duri kecil di bagian lateral atau bentukan seperti kait. Duri atau kait ini tidak selalu terlihat saat pemeriksaan. Hal ini dapat terjadi karena tertutup oleh kotoran tinja serta saat pemeriksaan duri atau kait ini berada di sisi yang berbeda (Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001). Daur Hidup Cacing dewasa terdapat pada cabang mesenterika superior usus halus manusia, sapi, kerbau, domba, anjing, tikus, dan lain-lain. Telur yang dikeluarkan cacing betina di dalam usus menembus jaringan submukosa dan mukosa kemudian masuk ke dalam lumen usus dan keluar bersama tinja. Telur yang berenang di dalam air tawar menetas dan membebaskan mirasidium yang berenang aktif. Mirasidium mencari inang antara (Onchomellania hupensis) yang sesuai dan menembus jaringan lunak pada siput tersebut. Mirasidium tersebut selanjutnya berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II, kemudian menjadi larva yang ekornya bercabang (serkaria). Mirasidium tunggal dapat memproduksi beberapa ribu serkaria. Serkaria ini meninggalkan siput, dan berenang di air. Infeksi pada inang definitif dapat terjadi melalui penetrasi serkaria secara aktif pada kulit, yang kemudian akan menuju jaringan kapiler dan selanjutnya berturut-turut masuk ke dalam sirkulasi vena, jantung kanan, paru-paru, jantung kiri, dan ke sirkulasi sistemik (viseral) hingga menjadi dewasa. Infeksi pada inang dapat bertahan dalam jangka waktu lama, yaitu mencapai 27 tahun (Kusumamihardja 1995, Levine 1990, Onggowaluyo 2001).
2.4.2
Hymenolepis diminuta
Distribusi geografis Cacing ini tersebar di seluruh dunia (kosmopolit), termasuk Indonesia (Ash dan Orihel 1990). Morfologi Cacing dewasanya berukuran (10-60x0,3-0,5) cm, mempunyai 4 batil hisap berbentuk seperti gada, serta memiliki rostelum apikal yang rudimenter dan tidak berkait. Lebar proglotidnya lebih panjang daripada panjang proglotidnya. Proglotid dewasa berbentuk trapesium, mengandung tiga testes, sebuah ovarium
berlobus dua dan sebuah porus genitalis pada satu sisi (unilateral) yang terletak di tepi lateral proglotid. Proglotid matang (gravid) mengandung uterus berbentuk kantong, melintang dan penuh berisi telur (Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001). Telurnya berbentuk bulat atau oval dan umumnya berwarna kuning. Telur ini juga memiliki dinding luar yang tebal, dinding dalam yang transparan dan pada kedua kutubnya menebal (tidak mengeluarkan filamen). Dinding dalamnya mengelilingi oncospher yang mempunyai enam kait. Ruangan antar membran umumnya terlihat halus atau sedikit bergranul (Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001). Daur Hidup Telur yang terdapat dalam tinja tercerna di dalam inang antara yang berupa arthropoda. Inang antara utama adalah larva pinjal tikus dan mencit, serta kumbang tepung dewasa. Contoh inang antara lainnya adalah lipas, Myriapoda, kumbang dan Lepidoptera. Oncospher berkembang di dalam tubuh inang antara menjadi tahap larva yaitu sistiserkoid yang selanjutnya dapat menginfeksi inang definitif. Infeksi langsung terjadi akibat dari telur tanpa adanya peran inang perantara, seperti yang terjadi pada H. nana tidak mungkin terjadi. Waktu yang dibutuhkan dari tahap larva sampai menjadi cacing dewasa adalah tiga minggu (Ash dan Orihel 1990).
2.4.3
Ascaris lumbricoides
Distribusi geografis Cacing ini tersebar di seluruh dunia (kosmopolit). Penyebarannya terutama di daerah tropis yang tingkat kelembabannya tinggi (Kusumamihardja 2002). Morfologi Cacing dewasanya berbentuk silindrik. Bagian anterior dilengkapi oleh tiga buah bibir (triplet) yang tumbuh dengan sempurna. Cacing betina panjangnya 20-35 cm, sedangkan yang jantan panjangnya 15-31 cm. Ujung posterior pada cacing jantan, lancip dan melengkung ke arah ventral, dilengkapi papil kecil dan dua buah spekulum berukuran 2 mm. Cacing betina memiliki ujung posterior yang membulat dan lurus, dan 1/3 dari anterior tubuhnya terdapat cincin
kopulasi. Tubuh cacing A. lumbricoides ini berwarna putih sampai kuning kecoklatan dan diselubungi oleh lapisan kutikula yang bergaris halus (Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001). Telurnya memiliki empat bentuk, yaitu tipe dibuahi (fertilized), tidak dibuahi (unfertilized), matang, dan dekortikasi. Telur yang dibuahi berbentuk bulat atau ovoid, berwarna coklat atau kuning kecoklatan, memiliki dinding tebal yang terdiri dari dua lapis. Lapisan luarnya terdiri dari jaringan albuminoid, sedangkan lapisan dalamnya terlihat jernih. Lapisan luarnya memiliki tonjolan (mammilated layer/prominent projection) yang jelas. Telur yang tidak dibuahi berbentuk lonjong (terkadang ada yang berbentuk triangular atau bentuk seperti ginjal) dan biasanya lebih panjang daripada tipe yang dibuahi serta memiliki dinding luar yang lebih tipis. Isi telur berupa massa sel telur. Telur matang yang berisi larva atau embrio akan menjadi infektif setelah berada ditanah kurang lebih selama tiga minggu. Telur dekortikasi adalah telur yang tidak mengalami pembuahan tetapi lapisan luarnya (albumin) sudah hilang (Anonim 2008, Onggowaluyo 2001, Soulsby 1982). Daur Hidup Telur yang tidak berembrio pada tinja inang mengalami perkembangan di tanah selama dua sampai tiga minggu kemudian berkembang menjadi telur infektif (mengandung larva stadium kedua). Larva dapat keluar dari telur apabila tercerna di usus halus, kemudian larva menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limpa kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung menuju paru-paru. Larva di paru-paru menembus dinding alveolus, masuk ke rongga alveolus dan naik ke trakea. Larva kemudian menuju ke faring yang dapat menimbulkan iritasi. Penderita akan batuk karena adanya rangsangan larva ini. Larva di faring akan tertelan, kemudian menuju usus halus setelah mencapai ukuran 1 mm, dan menjadi dewasa. Waktu yang dibutuhkan dari mulai telur matang tertelan sampai dengan menjadi cacing dewasa adalah sekitar dua bulan (Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001).
2.4.4 Enterobius vermicularis Distribusi geografis Cacing ini tersebar luas di seluruh dunia, baik di daerah tropis maupun subtropis (Onggowaluyo 2001). Morfologi Panjang cacing jantan 2-5 mm dan lebarnya 0,1-0,2 mm dengan spikulum tunggal yang ramping mencapai panjang 75-80 µm. Panjang cacing betina 8-13 mm dan lebar 0,3-0,5 mm dengan ekor yang runcing dengan panjang sekitar 2 mm (Ash dan Orihel 1990, Levine 1990). Telurnya berbentuk lonjong, asimetris, dan salah satu sisi dindingnya mendatar sedangkan sisi lainnya berbentuk konvek. Dinding telurnya jernih dan tipis. Telur cacing jenis ini sebagian besar telah berembrio saat dikeluarkan (Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Levine 1990). Daur Hidup Cacing jantan umurnya lebih pendek daripada cacing betina karena cacing jantan akan mati setelah membuahi cacing betina. Proses kopulasi cacing jantan dan betina terjadi di daerah sekum. Cacing betina akan bergerak ke anus pada waktu malam dan bertelur di bagian perianal dan perineum. Waktu yang diperlukan dari telur yang berembrio sampai menjadi bentuk infektif adalah sekitar 4-6 jam atau sekitar 2 hari pada 24-25°C. Transmisi infeksi dari telur biasanya dapat terjadi secara langsung ke mulut oleh tangan. Parasit ini berkembang di saluran intestinal bagian bawah dan memiliki periode prepaten 36-53 hari. Cacing dewasa parasit ini biasanya dapat hidup selama beberapa bulan (Ash dan Orihel 1990, Levine 1990).
2.4.5
Strongylid (hookworm) Strongylid yang dapat menginfeksi satwa primata terdiri dari tiga spesies
spesies cacing yaitu Ancylostoma duodenale (old world hookworm), Necator americanus (new world hookworm), Oesophagostomum sp.
a. Ancylostoma duodenale (old world hookworm) dan Necator americanus (new world hookworm) Bagian anterior cacing dewasa memiliki kapsula bukal. Telur pada kedua spesies ini memiliki selubung yang tipis, tidak berwarna serta berbentuk oval atau elips (Levine 1990).
a1. Ancylostoma duodenale (old world hookworm) Distribusi geografis Cacing ini tersebar secara kosmopolitan, diantaranya ditemukan di Eropa bagian selatan, bagian utara Afrika, Cina, India, dan Jepang. Penyebarannya juga terjadi secara sporadis di beberapa daerah lain (Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001, Soulsby 1982). Morfologi Cacing jantan dewasa memiliki panjang 8-11 mm dan lebar 0,4-0,5 mm, terdapat bursa dengan dua spikula yang tidak menyatu pada bagian distal. Cacing betinanya berukuran (10-13x0,5-0,7) mm. Kapsula bukal berisi dua pasang gigi ventral yang berkembang baik dan sepasang gigi dorsal dikedalamannya (Ash dan Orihel 1990, Levine 1990). Larvanya memiliki beberapa tahap perkembangan. Larva tahap pertama (rhabditoid) yang menetas dari telur, berukuran (250-350x17) µm. Larva ini mempunyai buccal canal yang panjang dan genital primordium yang berukuran kecil. Ukuran panjang larva infektif (tahap ketiga/filariform) adalah 625-675 µm. Larva ini memiliki ujung ekor yang membengkok dan rasio panjang esofagus dibandingkan dengan panjang usus adalah 1:4 (Ash dan Orihel 1990). a2. Necator americanus (new world hookworm) Distribusi geografis Cacing ini tersebar di belahan bumi bagian barat, Afrika Tengah dan Selatan, Asia Selatan, Pasifik Selatan, dan India (Ash dan Orihel 1990). Morfologi Cacing jantan dewasa memiliki panjang 7-9 mm dan lebar 0,3 mm dan memiliki bursa dengan dua spikula yang menyatu pada bagian distal. Cacing betinanya berukuran (9-11x0,4) mm. Kapsula bukal agak bulat, dengan lempeng
pemotong ventral semiluner pada tepinya, dua lancet segitiga, dan dua lanset subdorsal (lateral) di dalamnya. Telur ini saat dikeluarkan bersama feses biasanya baru mengalami pembelahan awal (Ash dan Orihel 1990, Levine 1990). Larvanya memiliki beberapa tahap perkembangan. Larva tahap pertama (rhabditoid) yang menetas dari telur, berukuran (250-350x17) µm. Larva ini mempunyai buccal canal yang panjang dan genital primordium yang berukuran kecil dan sulit untuk terlihat. Ukuran panjang larva infektif (tahap ketiga/filariform) adalah 580-620 µm. Larva ini memiliki ujung ekor yang membengkok dan rasio panjang esofagus dibandingkan dengan panjang usus adalah 1:4 (Ash dan Orihel 1990). Daur Hidup Ancylostoma duodenale (old world hookworm) dan Necator americanus (new world hookworm) Telurnya akan dikeluarkan bersama feses dan berkembang di tanah yang kemudian akan berkembang menjadi embrio dan menetas selama kurang lebih sekitar 24 jam. Larva akan mencapai tahap infektif setelah 1 minggu dan dapat menginfeksi tubuh inang melalui mulut atau melalui penetrasi langsung ke kulit. Larva, saat melewati paru-paru tidak akan mengalami perkembangan. Larva akan menjadi dewasa di usus halus. Masa prepatennya adalah 5-6 minggu. Cacing dewasanya dapat hidup setidaknya selama 5-10 tahun (Ash dan Orihel 1990).
b. Oesophagostomum sp. Distribusi geografis Cacing ini terdapat di Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Selatan (Soulsby 1982). Morfologi Cacing Oesphagostomum aculeatum jantan dewasa berukuran 8-10 mm dan betinanya berukuran 8,5 mm. Cacing Oesphagostomum bifurcatum jantan dan betina dewasa berukuran 8-10 mm serta mempunyai spikula yang berukuran dibawah 1,15 mm (Soulsby 1982).
Daur Hidup Larva infektif (stadium tiga) yang tertelan akan berkembang menjadi larva stadium empat di usus halus, kemudian masuk ke dalam mukosa usus besar sehingga mengakibatkan timbul nodul kecil (Levine 1990).
2.4.6 Trichuris trichiura Distribusi geografis Cacing ini tersebar luas di seluruh dunia namun biasanya banyak ditemukan di daerah beriklim tropis yang lembab dan panas (Ash dan Orihel 1990). Morfologi Cacing dewasa betina panjangnya 35-50 mm, sedangkan cacing dewasa jantan panjangnya 30-45 mm. Parasit ini sering disebut cacing cambuk karena bagian anterior panjang dan ramping sedangkan bagian posterior lebih tebal. Cacing dewasa betina memiliki bagian posterior yang lurus, sedangkan cacing jantannya memiliki bagian posterior yang menggulung (Ash dan Orihel 1990, Soulsby 1982). Telur cacing ini berwarna kuning sampai coklat. Bentuknya seperti tempayan dan kedua ujungnya dilengkapi dengan polar plug dari bahan mukus yang jernih (Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001). Daur Hidup Telur yang telah dibuahi, di alam dalam waktu 2-3 minggu akan menjadi matang (infektif). Telur infektif apabila tercerna akan menyebabkan keluarnya larva di usus halus dan bermigrasi ke usus besar (tempat berkembang menjadi dewasa). Periode prepatennya sekitar tiga bulan. Ujung anterior cacing dewasa masuk ke dalam epitel mukosa usus. Cacing dewasanya dapat hidup sampai dengan sepuluh tahun atau lebih (Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001).
2.5 Prevalensi Cacing Parasit Saluran Pencernaan pada Satwa Primata Prevalensi (P) merupakan jumlah dari penyakit yang terjadi pada populasi yang diketahui, pada waktu tertentu. Prevalensi dapat diartikan sebagai jumlah hewan yang terinfeksi (%) namun dapat pula diartikan sebagai jumlah dari hewan yang sakit dibandingkan dengan jumlah populasi beresiko. P = jumlah yang sakit
x 100%
jumlah populasi Penghitungan prevalensi ini dapat berguna untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu penyakit di dalam suatu populasi (Thrushfield 2005). Prevalensi erat kaitannya dengan transmisi penyakit. Transmisi dapat terjadi dengan baik dengan adanya tiga faktor yaitu agen penyakit, lingkungan yang mendukung serta inang yang rentan. Transmisi penyakit dapat terjadi secara horizontal maupun vertikal. Transmisi horizontal terjadi antara individu yang satu ke individu lain, dibagi dua yaitu secara langsung (kontak fisik) dan tidak langsung (vektor). Transmisi vertikal terjadi dari satu generasi ke generasi yang lain ke embrio atau fetus saat sedang mengalami perkembangan di uterus (mamalia) atau di dalam telur (avian, reptil, amfibi, ikan dan arthropoda) (Thrushfield 2005). Penelitian mengenai infeksi cacing saluran pencernaan pada primata belum banyak dilakukan apabila dibandingkan dengan hewan domestik. Hal ini mungkin terjadi karena banyaknya spesies satwa primata yang ada. Variasi infeksi parasit intra maupun interspesies dapat dipengaruhi oleh lingkungan demografi, tingkah laku, dan faktor manusia (Stuart dan Strier 1995). Beberapa penelitian mengenai prevalensi kecacingan saluran pencernaan pada spesies satwa primata yang pernah dilakukan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Prevalensi parasit saluran pencernaan pada satwa primata No. 1 2 3 4 5 6
Jenis cacing
M. nigra 1
Ascaris Trichuris sp. Strongyloides sp. Hookworm Trichostrongylus Mammomonogamus Oesophagostomum
5.5
M.tonkeana 1 3.7
5.5
7.4
Prevalensi (%) Mandrillus Cercopithecus sphinx 5 aethiops sabaeus 3 5.7 <1 52.8 62.4 34 3.8 <1 30.2
7 1. Engel et al. 2004 2. Knezevich 1998 3. Mutani 2003 4. Phillippi dan Clarke 1992 5. Setchell et al. 2007
M. mulatta (1) 4
M. mulatta (2) 2
17.3 11.7
12 57
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Pengumpulan sampel penelitian di Stasiun Lapangan Pulau Tinjil, Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) LPPM-IPB dilaksanakan pada tanggal 30 Januari sampai dengan 15 Februari 2008. Pemeriksaan sampel dilakukan pada bulan Februari-Mei
2008
di
Laboratorium
Helmintologi,
Bagian
Parasitologi,
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat (IPHK), Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor (IPB).
3.2 Rancangan Penelitian Tahap penelitian terdiri dari pengambilan sampel tinja di Pulau Tinjil serta pemeriksaan sampel di laboratorium. Penentuan banyaknya sampel menurut Permin dan Hansen (1998) adalah : n = Z2PQ/L2 = 22x0,5x(1-0,5)/0,102 = 96 sampel Keterangan : n : jumlah sampel Z : dalam tingkat kepercayaan 95% = 2 P : prevalensi Q : 1-P L : tingkat ketepatan
Mengingat jumlah populasi monyet di Pulau Tinjil berkisar antara 1000 ekor (perkiraan pesimis) sampai 2000 ekor (perkiraan optimis) (Iskandar E 2008, komunikasi pribadi), maka banyaknya sampel yang harus diambil adalah sebanyak 96 sampel. Mengingat kendala di lapangan, sampel yang terkumpul dalam pelaksanaannya adalah sebanyak 91 sampel.
Pengumpulan sampel dilakukan secara acak pada lantai kandang pakan atau lantai hutan sekitar kandang pakan di 13 core area yang (Lampiran 2) yang tersebar di Pulau Tinjil. Core area adalah daerah yang paling sering disinggahi monyet. Kandang-kandang di Pulau Tinjil tersebut dikontrol oleh petugas lapang melalui jalan setapak (transect line). Sampel yang diambil adalah sampel segar atau yang berumur kurang dari dua hari untuk menghindari telur cacing yang menetas dan berubah menjadi larva. Sampel tinja yang diambil dimasukkan ke dalam kantung plastik bening dan ditambahkan dengan alkohol 70% (Ancrenaz et al. 2003), kemudian disimpan dalam cooler box yang berisi jelly pack beku. Perlu menjadi catatan bahwa sampel tinja yang diambil tersebut tidak memiliki data status umur maupun jenis kelamin (sex) dari individu M. fascicularis. Data yang disertakan pada saat pengambilan sampel adalah data mengenai waktu pengambilan, lokasi core area serta konsistensi tinja. Peubah yang diukur dari sampel tersebut adalah jenis cacing, prevalensi, dan derajat infeksi. Jenis cacing ditentukan berdasarkan teknik identifikasi, sedangkan prevalensi dan derajat infeksi ditentukan dengan menghitung TTGT yang diperoleh berdasarkan metode McMaster, flotasi, dan sedimentasi. Untuk dapat melaksanakan metode tersebut, berat setiap sampel harus diperiksa dan harus memenuhi berat minimal 1,5 gram. Dari 91 sampel, ternyata yang memenuhi syarat adalah 56 sampel dan dapat dihasilkan 56 data individu monyet. Adapun untuk mengidentifikasi jenis cacing, selain dari 56 sampel individu, dilakukan pengelompokan sampel tinja (pul) dari 91 sampel ke dalam enam kelompok, yang mewakili empat zona vegetasi di Pulau Tinjil. Pengelompokkan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya hasil yang negatif palsu akibat berat sampel yang kecil. Adapun 4 buah zona vegetasi di Pulau Tinjil yaitu zona hutan hujan tropis dataran rendah (kelompok A), waru laut (kelompok B), sulatri (kelompok C), dan butun dan ketapang (kelompok D). Kelompok A terdiri dari pul 1, 2, dan 3. Kelompok B terdiri dari pul 4. Kelompok C terdiri dari pul 5. Kelompok D terdiri dari pul 6. Pul 1 terdiri dari dari kandang 2, 4, dan 10. Pul 2 terdiri dari kandang 6 dan 8. Pul 3 terdiri dari kandang 9, 11, dan 12. Pul 4 terdiri dari kandang 3. Pul 5
terdiri dari kandang 1 dan 13. Pul 6 terdiri dari kandang 5 dan 7. Setiap pul diperiksa dengan metode flotasi dan sedimentasi. Keterangan lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3. Selain pengamatan terhadap zonasi, dalam penelitian ini juga diperhatikan letak kandang terhadap aktivitas manusia di Pulau Tinjil. Aktivitas tersebut umumnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu aktivitas manajemen penangkaran monyet dan aktivitas nelayan, yang secara umum terkonsentrasi di empat tempat yaitu base camp, Pondok Japiah, Pondok Gede, dan Pondok Rancak (Lampiran 2).
3.3 Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan untuk mengawetkan sampel tinja di lapangan yaitu alkohol 70%, es balok, dan jelly pack beku. Alat yang digunakan di lapangan yaitu kantung plastik ukuran ½ kg, spidol permanen, label nama, cooler box, tisu gulung, pipet, dan kamera digital. Bahan yang digunakan di laboratorium adalah tinja Macaca fascicularis, air, larutan gula garam jenuh, larutan garam 1,2%, dan KOH 10%. Sedangkan alat yang digunakan di laboratorium antara lain: timbangan digital, gelas plastik, saringan sendok, vortex, sentrifugator, pompa vacuum (penyedot), penyemprot, filter bertingkat (400 µm, 100 µm, dan 40 µm), mikroskop cahaya, mikroskop video micrometer, syringe, pipet, label nama, cawan petri bergaris, tisu gulung, gelas obyek, cover glass, kamera digital, gelas sedimentasi (gelas Baermann), dan lemari es (refrigerator).
3.4 Metode Penelitian di Laboratorium 3.4.1 Metode McMaster Satu gram tinja dilarutkan ke dalam 29 mililiter larutan gula garam jenuh. Selanjutnya dihomogenkan, saring, dan homogenkan kembali. Larutan yang sudah homogen kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster dengan menggunakan pipet. Setelah 3 menit, maka telur akan terapung. Kamar hitung diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 x dan nilai TTGT diperoleh
dengan rumus : n x Vt TTGT = Vk x Bf Keterangan : n
: jumlah telur cacing dalam kamar hitung
Vk
: volume kamar hitung (0,3)
Vt
: volume sampel total
Bf
: berat tinja (1)
(Whitlock 1948)
3.4.2 Metode Flotasi Metode ini bersifat kualitatif untuk mengetahui adanya telur nematoda dalam tinja. Tinja dihomogenkan dengan air menggunakan mortar kemudian disaring menggunakan saringan teh. Filtrat dimasukkan ke dalam tabung plastik sentrifuse bertutup ditambah dengan KOH 5% dengan perbandingan 1:1. Campuran tersebut dihomogenkan dengan vortex selama 30 detik (9 rpm), kemudian dilanjutkan dengan disentrifuse 50 X 10 (G) selama 3 menit. Bagian supernatannya dibuang, prosedur selanjutnya diulang dengan cara yang sama hingga memperoleh supernatan yang bening. Setelah supernatan terakhir dibuang kemudian ditambahkan larutan gula garam sampai cembung lalu ditutup dengan cawan petri berdiameter 5 cm. Setelah 15 menit cawan petri diangkat kemudian diperiksa di bawah mikroskop cahaya untuk diperiksa telurnya (Shaikenov et al. 2004).
3.4.3 Metode Sedimentasi dan Filtrasi Metode ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya telur trematoda dalam tinja. Metode ini juga merupakan metode pemeriksaan tinja secara kualitatif. Tinja sebanyak 3 gram dihomogenkan dengan menggunakan 50 ml air dan disaring dengan menggunakan saringan teh. Filtrat dimasukkan ke dalam gelas Baermann dan ditambah air sebanyak hingga ¾ volume gelas. Setelah didiamkan selama ± 15 menit, supernatan dibuang menggunakan pompa vacuum. Prosedur yang
sama diulang sehingga diperoleh supernatan yang jernih. Sedimen yang tersisa ditambah larutan garam 1,2% kemudian disaring dengan menggunakan saringan bertingkat berukuran 45, 100, dan 400 µ. Proses penyaringan juga dibantu menggunakan penyemprot yang berisi garam 1,2%. Sedimen yang tersaring pada ukuran 45 µ dibilas dengan larutan garam 1,2% dan dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian diperiksa di bawah mikroskop cahaya (Willingham et al. 1998).
3.4.4 Identifikasi Jenis Telur Cacing Identifikasi jenis telur cacing dapat dilakukan dengan menentukan tipe telur pada preparat pemeriksaan berdasarkan metode McMaster, flotasi, dan sedimentasi. Penentuan tipe telur dapat dilihat dari morfologi khas yang terdapat pada masing-masing jenis telur; contohnya ciri dari kerabangnya misalnya tipis, tebal, ada lapisan albumin (Ascaris), memiliki polar plug (Trichuris, Capillaria), operculum (Fasciola sp.), oncosphere (Hymenolepis, Taenia), terdapat larva (Strongyloides, Oxyurid), dan berduri (Schistosoma sp.). Kemudian telur yang didapat diukur panjang dan lebarnya menggunakan video mikrometer dan akan dibandingkan secara morfologi terhadap telur cacing parasitik yang sudah diketahui.
3.5 Analisis Data Jenis-jenis cacing yang ditemukan (menurut total, perkandang dan per pul), prevalensi (menurut total, perkandang, jenis pada setiap kandang) serta derajat infeksi kecacingan (menurut total, perkandang, jenis pada setiap kandang) dianalisis secara statistik deskriptif. Untuk menggambarkan kemungkinan penyebab terjadinya kecacingan, data prevalensi dan derajat infeksi dikaitkan dengan data kandang terhadap zonasi vegetasi maupun terhadap aktivitas manusia di Pulau Tinjil. Hal-hal yang tidak dapat disajikan sebagai hasil penelitian, akan dimasukkan ke dalam saran-saran, sehingga dapat ditindaklanjuti dipenelitian berikutnya ataupun sebagai acuan untuk perbaikan manajemen dalam penangkaran monyet di Pulau Tinjil.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Jenis-Jenis Telur Cacing yang Ditemukan Berdasarkan identifikasi terhadap tipe telur cacing, dari 91 sampel tinja ditemukan enam jenis telur cacing, yaitu Trematoda (Schistosoma), Cestoda (Hymenolepis), dan Nematoda (Ascaris, Oxyurid, Strongylid, dan Trichuris). Jenis telur cacing tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 4, untuk jenis telur cacing yang diidentifikasi berdasarkan metode McMaster, flotasi dan sedimentasi, dan Tabel 5 untuk jenis telur cacing yang diidentifikasi berdasarkan metode flotasi dan sedimentasi.
Tabel 4 Jenis telur cacing yang ditemukan pada Macaca fascicularis di Pulau Tinjil beserta pustaka acuannya No 1
Jenis Telur Cacing Hymenolepis
Rataan (71.6-83.25)x(55.05-59.5)
2
Ascaris yang dibuahi
(54.9-128.5)x(46.5-90.7)
3
Ascaris yang tidak dibuahi Oxyurid Strongylid
(95.15)x(48.6)
4 5
6 7
Trichuris Schistosoma sp.
Pustaka Acuan Rataan Sumber (70-86)x(60-80) Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990 (45-90)x(35-50) Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990 (85-95)x(35-45) Anonim 2008
(71.5)x(35.05) (53-75.3)x(35.7-50)
(50-60)x(20-32) (60-80)x(27-55)
(41.9-57.6)x(22.1-26.5) (63.3-73.8)x(51.4-67)
(46-65)x(20-29) (60-100)x(45-80)
Anonim 2008 Anonim 2008, Levine 1990, Soulby 1982 Anonim 2008 Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2002, Soulsby 1982
Dengan pemeriksaan menggunakan metode McMaster dan flotasi dapat diidentifikasi lima jenis telur cacing, yaitu Hymenolepis, Ascaris, Oxyurid, Strongylid, dan Trichuris. Schistosoma dapat ditemukan melalui pemeriksaan dengan metode sedimentasi. Penemuan Schistosoma, Hymenolepis, Ascaris,
Oxyurid, Strongylid, dan Trichuris yang menginfeksi pencernaan satwa primata pernah dilaporkan oleh Appleton dan Henzi (1993), Chapman et al. (2005), Engel et al. (2004), Joslin (2003), Melfi dan Poyser (2007), Michaud et al. (2003), Muehlenbein (2005), Mul et al. (2007), Mutani et al. (2003), Phillippi dan Clarke (1992), Setchell et al. (2007), Vitazkova dan Wade (2007). Penularan parasit cacing yang menular pada monyet ekor panjang di Pulau Tinjil masih dimungkinkan, karena monyet ekor panjang hidup 97% secara arboreal dan 3% secara terestrial (Wheatley 1980), sehingga monyet tersebut dapat terkena kecacingan.
Tabel 5 Hasil pemeriksaan metode flotasi dan sedimentasi tinja Macaca fascicularis berdasarkan lokasi kandang di Pulau Tinjil Zona Vegetasi A B C No. Jenis Cacing Pul 1 Pul 2 Pul 3 Pul 4 Pul 5 F S F S F S F S F S 1 Schistosoma - - - - - - + - + 2 Hymenolepis - - - - - - - 3 Ascaris - - - - - - - 4 Oxyurid - - - - - - - - - 5 Strongylid + - + - - 6 Trichuris + - - - - - - Keterangan =
A B C D F S + -
D Pul 6 F S - - - - - - -
(hutan hujan tropis dataran rendah) (waru laut) (sulatri) (butun dan ketapang) (flotasi) (sedimentasi) (positif) (negatif)
a. Hymenolepis Jenis telur Hymenolepis yang ditemukan pada sampel tinja secara visualitatif disajikan pada Gambar 3. Telur tersebut berbentuk bulat atau oval, pada umumnya berwarna kuning, memiliki oncosphere berkait enam yang dikelilingi oleh suatu membran yang bagian dalamnya terlihat transparan dan terpisah dari membran luar seperti yang digambaran oleh Ash dan Orihel (1990). Sebagaimana disajikan pada Tabel 4, ukuran telur dari sampel tersebut adalah 71,6-83,25 x 55,05-59,5 µm. Berdasarkan pengamatan mikroskopik,
telur tersebut lebih mirip dengan jenis telur H. diminuta daripada jenis telur H. Nana. Hal ini dikarenakan secara mikroskopik tidak ditemukan adanya filamen pada kedua kutub membran sebelah dalam (Brown 1979). Berdasarkan sumber sampel tinja, jenis telur cacing ini kemungkinan besar berasal dari kelompok monyet yang sering berada di core area sekitar kandang 10 yang letaknya berdekatan dengan Pondok Rancak dan berada di zona hutan hujan tropika dataran rendah (Lampiran 1).
Gambar 3 Telur Hymenolepis
b. Ascaris Telur Ascaris yang ditemukan pada sampel tinja ada dua jenis yaitu telur Ascaris yang dibuahi (Gambar 4) dan yang tidak dibuahi (Gambar 5). Telur yang dibuahi berwarna kuning atau coklat, berbentuk bulat atau ovoid, memiliki lapisan luar tebal albuminoid dan lapisan dalam yang jernih. Telur ini berisi satu sel saat keluar bersama tinja, dapat juga terdiri dari dua maupun empat atau lebih dan dapat pula mengandung larva. Telur yang tidak dibuahi berwarna coklat dapat berbentuk lonjong, segitiga, bentuk ginjal maupun bentuk tidak spesifik lainnya. Lapisan luarnya sangat tipis (Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001). Ukuran telur yang dibuahi adalah 54,9-128,5 x 46,5-90,7 µm sedangkan telur yang tidak dibuahi berukuran 95,15 x 48,6 µm (Tabel 4). Telur ini terdeteksi pada kelompok monyet yang sering berada di core area sekitar kandang 2, kandang 4, dan kandang 8 (Tabel 6 dan 8). Kandang-kandang tersebut terletak di zona hutan hujan tropika dataran rendah (Lampiran 1).
Genus ini juga ditemukan pada Rhesus monkey dan Lagothric lagothrica (Michaud et al. 2003, Phillippi dan Clarke 1992).
Gambar 4 Telur Ascaris yang dibuahi
Gambar 5 Telur Ascaris yang tidak dibuahi
c. Oxyurid Jenis telur Oxyurid yang ditemukan pada sampel tinja secara visualitatif disajikan pada Gambar 6. 6 Menurut Anonim (2008), telur Oxyurid berbentuk memanjang, tidak simetris dengan salah satu dindingnya rata. Dinding telurnya tipis dan tidak berwarna. Telur biasanya berisi larva atau embrio. embrio
Gambar 6 Telur Oxyurid
Gambar 7 Telur Strongylid Strongy
Sebagaimana disajikan pada Tabel 4, ukuran telur dari sampel tersebut adalah sebesar 71,5 x 35,05 µm. Berdasarkan analisis Tabel 6 dan 8, 8 jenis telur cacing ini terdapat pada kelompok monyet yang sering berada di core area sekitar kandang 3 yaitu di zona ona formasi waru laut (Lampiran 1). Menurut laporan Vitazkova dan Wade (2007), genus Trypanoxyuris (salah ( satu jenis
Oxyurid) ditemukan pada Allouatta pigra. Selain Trypanoxyuris, genus lain yang pernah dilaporkan adalah Enterobius sp. Spesies ini ditemukan pada Baboon dan Orangutan (Appleton dan Henzi 1993, Chapman et al. 2005, Mul et al. 2007).
d. Strongylid Jenis telur yang ditemukan pada sampel tinja secara visualitatif disajikan pada Gambar 7. Telurnya berbentuk oval atau elips, tidak berwarna tetapi didalamnya terlihat sel yang berwarna keabuan. Sel tersebut dapat berjumlah 4, 8, 16 atau lebih, terkadang ada pula embrio yang terlihat. Telur Strongylid akan berkembang baik pada kondisi tanah yang sedikit berpasir, tanah yang lembab sedangkan pada kondisi tanah liat dan berkerikil, telur tidak dapat berkembang dengan baik (Anonim 2008, Soulsby 1982). Sebagaimana disajikan pada Tabel 4, ukuran telur Strongylid dari sampel tersebut adalah sebesar 53-75,3 x 35,7-50 µm (Tabel 4). Berdasarkan analisis Tabel 6 dan 8, telur ini terdapat di kelompok monyet yang sering berada di core area sekitar kandang 4 dan 8 yaitu di zona hutan hujan tropika dataran rendah (Lampiran 1). Berdasarkan ukuran telur cacing yang ditemukan diduga telur cacing tersebut terdiri dari beberapa genus (Ancylostoma sp., Necator sp., Oesophagostomum sp.). Appleton dan Henzi (1993) serta Chapman et al. (2005) melaporkan adanya Oesophagostomum pada Baboon, Colobines. Strongylid yang lain juga ditemukan pada Cercopithecus aethiops sabaeus, Macaca nigra, Macaca tonkeana (Engel et al. 2004, Mutani et al. 2003).
e. Trichuris Jenis telur Trichuris yang ditemukan pada sampel tinja secara visualitatif disajikan pada Gambar 8 dan 9. Telur cacing ini berwarna kuning atau kecoklatan serta memiliki penyumbat (polar plug) transparan di ujung kedua sisinya. Dinding telurnya tebal dan memiliki bagian dalam yang jernih. (Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001, Soulsby 1982). Sebagaimana disajikan pada Tabel 4, ukuran telur dari sampel tersebut adalah 41,9-57,6 x 22,1-26,5 µm. Telur di Pulau Tinjil terdapat di zona sulatri
(kelompok kelompok monyet yang sering berada di core area sekitar kandang 1) dan zona hutan hujan tropika dataran rendah (kelompok (kelompok monyet yang sering berada b di core area sekitar kandang 4, 6, dan 9). Menurut Soulsby (1982), spesies T. trichiura hanya ditemukan pada manusia dan simian primates. Namun, spesies ini juga ditemukan pada Rhesus monkey (Phillippi dan Clarke 1992), sedangkan yang ditemukan pada Mandrillus sphinx dan Colobus guereza tidak menjelaskan spesiesnya (Melfi dan Poyser 2007, Setchell et al. 2007).
Gambar 8 Telur Trichuris
Gambar 9 Telur Trichuris
(terdapat larva)
Satu jenis telur cacing yang lain yaitu Schistosoma, Schistosoma hanya dapat teridentifikasi menggunakan metode sedimentasi karena telur berukuran relatif lebih besar (Tabel 5).
f. Schistosoma Berdasarkan
pengamatan
mikroskopik
pada
preparat
pemeriksaan
sedimentasi, dapat at terlihat adanya satu jenis telur cacing dari kelas Trematoda yaitu Schistosoma sp. Secara visualitatif isualitatif jenis telur tersebut disajikan pada Gambar 10. Berdasarkan analisis pada Tabel 4, maka ukuran telur cacing tersebut adalah 63,3-73,8 63,3 x 51,4-67 µm. Secara cara umum telur tersebut berbentuk bulat, berwarna kuning atau kuning-kecoklatan, kuning kecoklatan, dan pada sisi dekat kutub memiliki kait atau duri kecil di bagian lateral. Duri atau kait ini tidak selalu terlihat pada saat pemeriksaan, karena berada pada sisi yang berlawanan berlaw atau tertutup oleh kotoran.
Gambar 10 Telur Schistosoma sp.
Berdasarkan ciri-ciri morfologi yang disampaikan oleh Ash dan Orihel (1990) dan Onggowaluyo (2001), diduga jenis telur ini merupakan spesies Schistosoma japonicum. Menurut Soulsby (1982), cacing ini dapat menginfeksi manusia maupun satwa liar selain ruminansia, kuda, babi, rodensia dan karnivora. Menurut Appleton dan Henzi (2003) genus ini pernah ditemukan pada Baboon yang tinggal di Afrika Selatan. Walaupun spesies satwa primata ini berbeda dengan monyet ekor panjang, namun keduanya masih merupakan satu subfamili yaitu Cercopithecinae. Berdasarkan sumber sampel tinja sebagaimana disajikan pada Tabel 5, jenis telur ini besar kemungkinan berasal dari monyet yang sering berada pada core area yang terletak pada daerah zona butun dan ketapang (pul 4) yaitu kandang 3 dan pada daerah zona sulatri (pul 5) yaitu pada kandang 1 dan 3. Bila identifikasi ini benar, maka Pulau Tinjil merupakan daerah baru bagi penyebaran cacing Schistosoma sp, mengingat daerah penyebaran cacing Schistosoma sp. di Indonesia hanya ada di daerah Sulawesi Tengah (Brown 1979). Penyebaran parasit ini baru dapat terjadi jika ada inang antara berupa Onchomelania hupensis dan inang definitif seperti manusia (Soulsby, 1982). Berdasarkan komunikasi pribadi Lelana RPA (2008), keberadaan parasit ini di Pulau Tinjil diduga karena kemungkinan adanya nelayan yang berasal dari Sulawesi yang datang ke Pulau Tinjil untuk menangkap ikan pada saat musim Barat. Kemungkinan infeksi cacing Schistosoma sp. yang ada pada M. fascicularis di Pulau Tinjil berasal dari manusia maupun adanya Onchomelania hupensis, masih perlu diteliti lebih lanjut
4.2 Prevalensi Berdasarkan temuan jenis telur cacing di Pulau Tinjil, sebagaimana disajikan pada analisis Tabel 6, maka total prevalensi kecacingan saluran pencernakan pada monyet adalah sebesar 26,8%.
Tabel 6 Prevalensi kecacingan saluran pencernaan pada Macaca fascicularis berdasarkan lokasi kandang di Pulau Tinjil Rataan Prevalensi (%) No Kandang n (ekor) Hymenolepis Ascaris Oxyurid Strongylid 1 4 0 0 0 0 2 3 0 33.33 0 0 3 8 0 0 12.5 0 4 10 0 20 0 20 5 2 0 0 0 0 6 8 0 0 0 0 7 2 0 0 0 0 8 7 0 14.28 0 14.28 9 3 0 0 0 0 10 3 33.3 0 0 0 11 0 * * * * 12 3 0 0 0 0 13 3 0 0 0 0 Total 56 1.47 5.88 1.47 2.94 Keterangan: * (tidak dilakukan penghitungan TTGT)
Trichuris 25 0 0 10 0 12.5 0 0 100 0 * 0 0 8.82
Total Prevalensi (%) 25 33.3 12.5 50 0 12.5 0 14.28 100 33.3 * 0 0 26.8
a. Prevalensi berdasarkan core area Berdasarkan analisis Tabel 6, maka angka prevalensi tertinggi sampai terendah berturut-turut terjadi pada kelompok monyet yang sering berada pada core area di sekitar kandang 9 (100%), kandang 4 (50%), kandang 2 (33,33%), kandang 10 (33,33%), dan kandang 8 (14,28%). Pada kelompok monyet yang sering berada pada core area di sekitar kandang 5, 7, 12, dan 13, berdasarkan penelitian ini tidak terdeteksi adanya kecacingan. Sedangkan pada kelompok monyet yang berada pada core area sekitar kandang 11 tidak bisa dilakukan perhitungan tingkat prevalensi karena tidak dilakukan pemeriksaan TTGT.
b. Prevalensi berdasarkan jenis cacing Berdasarkan jenis telur cacing yang ditemukan sebagaimana disajikan pada Tabel 6, maka tingkat prevalensi dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah
Trichuris (8,82%), Ascaris (5,88%), Strongylid (2,94%), Hymenolepis (1,47%), dan Oxyurid (1,47%). Laporan tentang prevalensi jenis cacing pada satwa primata lain juga pernah dilaporkan oleh Engel et al. (2004), Michaud (2003), Muehlenbein (2005) yaitu Trichuris (3,7%), Ascaris (8,3%), Strongylid (7,4%), Hymenolepis (1,7%), dan Oxyurid (0,8%). Berdasarkan analisis Tabel 6 dapat juga dipelajari tingkat prevalensi setiap jenis cacing pada kelompok monyet setiap kandang. Kelompok monyet yang sering berada di kandang 1, 6, dan 9 mengalami infeksi Trichuris sebesar 25%, 12,5%, dan 100%. Kelompok monyet yang sering berada di kandang 2, 3, dan 10 terinfeksi Ascaris (33,3%), Oxyurid (12,5%), Hymenolepis (33,3%). Kelompok monyet yang sering berada di kandang 4 terinfeksi Ascaris (20%), Strongylid (20%), dan Trichuris (10%). Kelompok monyet yang sering berada di kandang 8 terinfeksi oleh Ascaris (14,28%) dan Strongylid (14,28%).
c. Prevalensi infeksi tunggal dan campuran cacing saluran pencernaan Prevalensi infeksi kecacingan tunggal dan campuran dapat dilihat pada Tabel 7. Prevalensi infeksi kecacingan tunggal tertinggi adalah disebabkan oleh Trichuris (8,82%), kemudian disusul oleh Ascaris (5,88%), dan Strongylid (2,49%). Prevalensi tunggal terkecil ditemukan pada jenis Hymenolepis dan Oxyurid yaitu sebesar 1,47%. Prevalensi infeksi campuran hanya terjadi pada infeksi Strongylid dan Trichuris sebesar 1,47%. Tidak seperti hewan domestik yang umumnya memiliki beberapa infeksi campuran, monyet yang ada di Pulau Tinjil hanya memiliki satu infeksi campuran cacing saluran pencernaan. Berdasarkan hasil tersebut (Tabel 6 dan 7) dapat dilihat bahwa walaupun home range kelompok monyet di Pulau Tinjil ada yang bertumpukan (Kyes 1994), namun kontak antar kelompok sangat jarang terjadi sehingga transmisi penyakit tidak dapat terjadi dengan baik. Karena hal inilah infeksi tunggal lebih banyak jenisnya apabila dibandingkan dengan infeksi campuran.
Tabel 7 Prevalensi infeksi tunggal dan campuran cacing saluran pencernaan Macaca fascicularis di Pulau Tinjil Jenis
No.
n (sampel)
Prevalensi (%)
1.
Hymenolepis
1
1.47
2.
Ascaris
4
5.88
3.
Oxyurid
1
1.47
4.
Strongylid
2
2.94
5.
Trichuris
7
8.82
6.
Strongylid dan Trichuris
1
1.47
d. Transmisi kecacingan Prevalensi infeksi cacing saluran pencernaan dipengaruhi oleh transmisi penyakit, sehingga berhubungan erat dengan siklus hidup dari masing-masing cacing tersebut. Rute infeksi dapat terjadi melalui mulut dan kulit. Metode dari transmisi dapat terjadi melalui pencernaan dan kontak langsung dengan agen infektif (Thrushfield 2007). Infeksi Hymenolepis terjadi secara tidak langsung yaitu melalui inang antara arthropoda (larva pinjal tikus, larva pinjal mencit, kumbang tepung dewasa, lipas, Myriapoda, kumbang dan Lepidoptera). Tinja yang mengandung telur cacing termakan oleh arthropoda, kemudian telur akan menetas dan mengeluarkan oncospher yang akan berkembang menjadi larva sistiserkoid (infektif). Inang definitif akan terkena apabila memakan arthropoda yang terinfeksi tersebut (Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001). Arthropoda bukanlah makanan bagi monyet ini, akan tetapi tingkah lakunya yaitu merawat diri memungkinkan sistiserkoid masuk ke dalam tubuhnya. Menurut Anggraeni (2003) dan Iskandar (1993), tingkah laku ini dilakukan saat monyet beristirahat yaitu dengan melakukan grooming menggunakan tangan ataupun mulut dalam bentuk mencari kotoran-kotoran, serpihan kulit kering, dan parasit eksternal, dari rambut satwa lain ataupun dari rambut sendiri
Photo by Nicolle Perisho
Gambar 11 Monyet sedang melakukan grooming Stadium infektif Ascaris merupakan larva stadium kedua yang tidak menetas. Larva stadium kedua (infektif) apabila tertelan oleh inang akan menetas di dalam usus. Larva menembus dinding usus dan pergi menuju hati melalui sistem portal hepatik, kemudian akan berubah menjadi larva stadium tiga dalam 4-5 hari. Larva akan menuju jantung dan paru-paru melalui aliran darah, kemudian akan berkembang lebih lanjut pada paru-paru. Larva keluar dari kapiler alveolus menuju alveolus dan akan melewati duktus alveolus ke bronkiolus, bronkus, dan trakea. Puncak dari perpindahan ini terlihat sekitar 12 hari sesudah infeksi (Levine 1990, Soulsby 1982). Infeksi Oxyurid biasanya terjadi melalui transmisi telur secara langsung ke mulut dari tangan. Makanan dan minuman yang tercemar dapat juga sebagai sumber penularan. Telur ini dapat berasal dari luar ataupun berasal dari tubuh sendiri yang tidak sengaja terbawa oleh tangan setelah menggaruk bagian perianal maupun perineal. Hal ini biasa terjadi akibat pruritus yang disebabkan saat cacing betina dewasa bertelur. Beberapa larva menetas dari telur yang berada di sekeliling anus dan merambat kembali melalui anus menuju usus, kemudian larva tersebut matang dalam usus besar (Ash dan Orihel 1990, Bennett et al. 1995, Onggowaluyo 2001). Menurut Levine (1990), modus infeksi ini dikenal sebagai retrofeksi. Telur Strongylid akan berkembang baik pada kondisi tanah yang sedikit berpasir, tanah yang lembab sedangkan pada kondisi tanah liat dan berkerikil,
telur tidak dapat berkembang dengan baik. Pulau Tinjil memiliki tanah berpasir yang cukup banyak sehingga dapat menjadi tempat berkembang yang baik bagi telur Strongylid. Strongylid dapat menginfeksi inang apabila larva filariform menembus kulit inang dan menjadi larva migrant (Ancylostoma sp. dan Necator sp.), namun ada pula cara lain bagi cacing ini untuk menginfeksi inangnya yaitu dengan cara telur infektif (Oesophagostomum sp.) dan larva infektif tertelan oleh inang (Ancylostoma sp. dan Necator sp.) (Ash dan Orihel 1990, Soulsby 1982). Telur infektif Trichuris dapat bertahan di lingkungan yang sesuai selama beberapa tahun. Transmisi penyakit ini terjadi secara langsung yaitu dengan menelan telur infektif, kemudian larva akan menuju usus halus dan menjadi dewasa di usus besar (Soulsby 1982).
e. Peran manusia dalam transmisi kecacingan monyet di Pulau Tinjil Untuk menjawab peran manusia sebagai faktor transmisi kecacingan di Pulau Tinjil, dapat dikaji dengan melihat besarnya prevalensi pada kandang yang berdekatan dengan aktivitas manusia. Berdasarkan gambar pada Lampiran 2 dapat dipelajari bahwa kandang 3, 4, 8, dan 10 merupakan kandang pakan yang relatif dekat dengan base camp manajemen penangkaran maupun berdekatan dengan pondok nelayan di Pulau Tinjil. Apabila dikaitkan dengan analisis Tabel 6 dapat dipelajari bahwa ternyata prevalensi kecacingan saluran pencernaan pada kandang-kandang tersebut tidak selalu lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kandang-kandang lain yang jauh dari aktivitas manusia. Untuk sementara dapat disimpulkan bahwa faktor aktivitas manusia bukan merupakan faktor utama dalam transmisi kecacingan saluran pencernaan pada M. fascicularis di Pulau Tinjil.
4.3 Derajat Infeksi a. Derajat infeksi berdasarkan core area Pemeriksaan kuantitatif seperti metode McMaster dimaksudkan untuk mengetahui derajat infeksi kecacingan. Menurut Ancrenaz (2003),Vitazkova dan Wade (2007). derajat infeksi merupakan tingkat kesakitan inang yang dapat diduga dari jumlah parasit dalam tubuh.
Adanya cacing parasit saluran
pencernaan yang dapat teridentifikasi disampel tinja tidak berarti individu yang
diperiksa dalam keadaan sakit. Populasi primata dapat terinfeksi parasit tanpa efek yang merugikan. Cacing parasit dan telur cacing tidak selalu diekskresikan di tinja, sehingga hasil pemeriksaan yang negatif tidak selalu mengindikasikan bahwa tidak ada infeksi cacing saluran pencernaan karena ada kemungkinan individu sampel belum memasuki tahap mengeluarkan telur cacing saluran pencernaan saat pengambilan sampel dilakukan. Menurut Kusumamihardja (1995), untuk mengetahui derajat infeksi perlu dilakukan pemeriksaan telur tiap gram tinja (TTGT). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi nilai TTGT diantaranya adalah (1) Kepadatan atau konsistensi tinja hewan yang bervariasi, tinja kering, lembek, kadang-kadang encer. (2) Banyaknya tinja yang dikeluarkan setiap hari oleh hewan seringkali berbeda. (3) Produksi telur harian tiap jenis cacing berbeda. (4) Produksi telur dari satu jenis cacingpun berbeda antara berbagai waktu, misalnya antara siang dan malam. (5) Distribusi telur dalam tinja tidak selalu merata. (6) Produksi telur cacing tua dan muda berbeda, sehingga perbedaan komposisi keduanya juga berpengaruh. Berdasarkan Tabel 8 dapat dipelajari bahwa total derajat infeksi cacing saluran pencernaan sebesar 73 TTGT. Angka derajat infeksi tertinggi sampai terendah berturut-turut terdapat pada kelompok monyet yang sering berada di kandang 1 (242 TTGT), kandang 10 (193 TTGT), kandang 2 (161 TTGT), kandang 9 (97 TTGT), kandang 4 (87 TTGT), kandang 6 (60 TTGT), kandang 8 (41 TTGT), dan kandang 3 (12 TTGT). Derajat infeksi pada kelompok monyet yang sering berada kandang 5, 7, 11, dan 12 adalah sebesar 0 TTGT, sedangkan pada kelompok monyet yang sering berada di kandang 11 tidak dilakukan pemeriksaan TTGT sehingga tidak dapat diketahui derajat infeksi kecacingannya. Berdasarkan Tabel 8 dapat dipelajari derajat infeksi setiap jenis cacing pada setiap kandang. Infeksi Trichuris dapat terlihat kelompok monyet yang sering berada di kandang 1, 6, dan 9 dengan rataan derajat infeksi sebesar 242 TTGT, 60 TTGT, dan 97 TTGT. Rataan derajat infeksi Ascaris kelompok monyet yang sering berada di kandang 2 adalah sebesar 161 TTGT. Rataan derajat infeksi Oxyurid di kandang 3 sebesar 12 TTGT.
Berdasarkan Tabel 8 dapat dipelajari adanya kelompok monyet yang sering berada pada kandang tertentu diinfeksi oleh lebih dari satu jenis parasit cacing. Misalnya, pada kelompok monyet yang sering berada pada kandang 4 mengalami infeksi dari jenis Ascaris, Strongylid, dan Trichuris dengan rataan derajat infeksi sebesar 19 TTGT, 19 TTGT, dan 39 TTGT. Pada kelompok monyet yang sering berada pada kandang 8 mengalami infeksi dari jenis Ascaris dan Strongylid dengan rataan derajat infeksi sebesar sebesar 14 TTGT dan 28 TTGT. Pada kelompok monyet yang sering berada pada kandang 10 mengalami infeksi dari jenis Hymenolepis dengan rataan derajat infeksi 193 TTGT.
Tabel 8 Derajat infeksi (TTGT) kecacingan saluran pencernaan pada Macaca fascicularis berdasarkan lokasi kandang di Pulau Tinjil Rataan Derajat Infeksi (TTGT) No Kandang 1
n (ekor) 4
Hymenolepis 0
Ascaris 0
Oxyurid 0
Strongylid 0
2
3
0
0
0
3
8
0
161 (0-483) 0
12 (0-97) 4 10 0 19 (0-97) 0 5 2 0 0 0 6 8 0 0 0 7 2 0 0 0 8 7 0 14 (0-97) 0 9 3 0 0 0 10 3 193 (0-580) 0 0 11 0 * * * 12 3 0 0 0 13 3 0 0 0 Total 56 10 14 2 Keterangan: * (tidak dilakukan penghitungan TTGT)
Trichuris 242 (0-967) 0
Total rataan TTGT 242 161
0
0
12
19 (0-97) 0 0 0 28 (0-193) 0 0 * 0 0 7
39 (0-987) 0 60 0 0 97 0 * 0 0 40
87 0 60 0 41 97 193 * 0 0 73
Berdasarkan analisis Tabel 8 dapat dipelajari bahwa nilai derajat infeksi kecacingan saluran pencernaan pada kelompok monyet yang kandangnya berdekatan dengan aktivitas manusia seperti kandang 3, 4, 8, dan 10, ternyata tidak selalu lebih besar apabila dibandingkan dengan kandang pakan lain. Dengan demikian untuk sementara dapat diduga bahwa aktivitas manusia tidak berpengaruh besar terhadap nilai derajat infeksi kecacingan saluran pencernaan pada M. fascicularis di Pulau Tinjil.
b. Gambaran patogenesis kecacingan Tinggi atau rendahnya TTGT akan berpengaruh kepada derajat infeksi kecacingan. Derajat infeksi kecacingan berhubungan erat dengan mekanisme kejadian penyakit atau patogenesis. Hymenolepis akan menjadi dewasa di rongga usus halus. Cacing ini tidak menimbulkan gejala dan kelainan, namun apabila ada kelainan ringan maka akan terjadi gangguan gastrointestinal dan diare ringan (Onggowaluyo 2001). Patogenesis infeksi Ascaris lumbricoides berhubungan erat dengan migrasi larva. Kerusakan jaringan dan haemoragi dapat terlihat di hati, terutama di vena intralobular, tetapi lesio yang banyak terjadi adalah di paru-paru. Larva yang bermigrasi dapat menyebabkan haemoragi pada alveolus dan bronkiolus, kemudian diikuti dengan deskuamasi epitel alveolar, infiltrasi eosinofil dan sel lain, yang menyebabkan terjadinya pneumonitis (Soulsby 1982). Gejala utama kecacingan akibat Enterobius sp. (enterobiasis) adalah timbulnya iritasi di sekitar perianal karena migrasi cacing betina meletakkan telurnya. Cacing betina ini juga kadang-kadang bermigrasi ke vagina dan menuju ke tuba falopii dan sering menimbulkan peradangan saluran telur sehingga terjadi pruritus vagina. Penderita menggaruk-garuk daerah sekitar anus dan vagina sehingga sering terjadi luka. Infeksi yang terjadi pada satwa primata biasanya tidak serius tapi akibat pruritus dapat menimbulkan tingkah laku yang agresif (Onggowaluyo 2001, Soulsby 1982). Gejala klinis yang terjadi akibat infeksi kutaneus Strongylid antara lain adalah rasa gatal pada kulit dan pneumonitis akibat larva yang bermigrasi, nekrosa jaringan usus akibat gigitan dari cacing dewasa, gangguan gizi (kehilangan karbohidrat, lemak, protein, dan Fe), serta anemia akibat dihisap langsung oleh cacing dewasa dan pendarahan terus menerus pada daerah bekas gigitan cacing dewasa yang mengandung zat anti koagulan (Onggowaluyo 2001). Kelainan patologis akibat cacing dewasa Trichuris terutama terjadi karena kerusakan mekanik di bagian mukosa usus dan respons alergi. Keadaan ini erat hubungannya dengan jumlah cacing, lama infeksi, umur, dan status kesehatan umum dari penderita. Cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum pada infeksi
berat. Prolapsus rektum dapat terjadi pada beberapa kasus. Gejala-gejala lain yang dapat terjadi adalah diare yang diselingi disentri, anemia, dan berat badan menurun. Anemia hipokromik dapat terjadi pada kasus infeksi yang lama. Anemia ini terjadi karena penderita mengalami malnutrisi dan kehilangan darah akibat kolon yang rapuh (Onggowaluyo 2001).
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 91 sampel tinja M. fascicularis di Pulau Tinjil yang dilakukan pada bulan Januari-Mei 2008 dapat disimpulkan: 1. Jenis-jenis telur cacing saluran pencernaan yang ditemukan adalah Schistosoma, Hymenolepis, Ascaris, Oxyurid, Strongylid, dan Trichuris. 2. Total prevalensi kecacingan saluran pencernaan adalah sebesar 26,8%. Prevalensi kecacingan pada kelompok monyet yang sering berada di core area sekitar kandang 8, 2, 10, 4, dan 9 berturut-turut sebesar 100%, 50%, 33,33%, 33,33%, dan 14,28%. Prevalensi sebesar 0% terdapat pada kelompok monyet yang sering berada di core area sekitar kandang 5, 7, 12, dan 13. 3. Total rataan derajat infeksi kecacingan adalah sebesar 73 TTGT, dengan masing-masing kandang yaitu kandang 1 (242 TTGT); kandang 10 (193 TTGT); kandang 2 (161 TTGT); kandang 9 (97 TTGT); kandang 4 (87 TTGT); kandang 6 (60 TTGT); kandang 8 (41 TTGT); kandang 3 (12 TTGT); kandang 5, 7, 12, dan 13 (0 TTGT) . 4. Prevalensi infeksi tunggal disebabkan oleh Trichuris sebesar 8,82%, Ascaris sebesar 5,88%, Strongylid sebesar 2,94%, Hymenolepis sebesar 1,47%, dan Oxyurid sebesar 1,47%. Prevalensi infeksi campuran Strongylid dan Trichuris sebesar 1,47 %.
Saran 1. Perlu untuk mempelajari lebih lanjut pola kejadian kecacingan dalam kurun waktu tertentu dengan metode epidemiologis yang lain pada monyet di Pulau Tinjil. 2. Perlu mempelajari faktor-faktor resiko infeksi cacing saluran pencernaan monyet di Pulau Tinjil. 3. Infeksi Schistosoma sp. yang ditemukan pada M. fascicularis di Pulau Tinjil memerlukan kajian lebih lanjut.
4. Karena beberapa jenis cacing saluran pencernaan merupakan parasit zoonosis maka perlu diwaspadai kemungkinan penularan dari karyawan/nelayan ke monyet atau sebaliknya.
13
12
11
10
P.Rancak 9 8
P.Gede
= Kandang Pakan
7
5
6
P. Japiah
4
3 2
1
Lampiran 1
Peta vegetasi di Pulau Tinjil
Lampiran 2
P.Rancak
U
P.Gede
P. Japiah
Peta transect line dan kandang Pulau Tinjil saat penelitian berlangsung
Lampiran 3 Tabel pembagian pul sampel tinja Macaca fascicularis di Pulau Tinjil Vegetasi
No. Sampel
No Pul No Kandang
Σ Total sampel Pul semua TTGT Keterangan:
1 4 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 37 38 39 40 14
2 30 31 32 33 34 35 36
7
A 2 10 61 62 63 64 65 66 67
6 41 42 43 44 45 46 47 48 49
8 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
9 9 10 11 12 13
7
9
11
5
91 35 56 A (vegetasi hutan hujan tropis dataran rendah) B (vegetasi waru laut) C (vegetasi sulatri) D (vegetasi butun dan ketapang)
3 11 6 7 8
3
12 68 69 70 71 72 73 74
7
B 4 3 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 13
C 5
D 6
1 14 15 16 17 18 19
13 88 89 90 91
5 1 2
7 3 4 5
6
4
2
3