INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN ULAR SANCA (Python reticulatus Schneider 1810) SEBAGAI EXOTIC PETS
RAHMAYANI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Infeksi Cacing Saluran Pencernaan Ular Sanca (Python reticulatus Schneider 1810) Sebagai Exotic Pets adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2014 Rahmayani NIM B04100031
ABSTRAK RAHMAYANI. Infeksi Cacing Saluran Pencernaan Ular Sanca (Python reticulatus Schneider 1810) Sebagai Exotic Pets. Dibimbing oleh ELOK BUDI RETNANI Exotic pets adalah jenis satwa liar yang dijadikan hewan kesayangan karena memiliki ciri unik dan menarik untuk dipelihara, diantaranya yaitu ular sanca (Python reticulatus). Perlu mempelajari kemungkinan adanya cacing parasitik zoonotik pada hewan kesayangan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis, persentase, dan derajat infeksi cacing saluran pencernaan ular sanca yang dijadikan sebagai exotic pets. Sebanyak 5 sampel tinja dikumpulkan dari lima ekor ular dengan pengulangan sebanyak 3 kali pengambilan. Analisis sampel tinja menggunakan modifikasi metode McMaster, flotasi sederhana, saringan bertingkat dan Kato-Katz. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua ular menderita kecacingan (100%). Adapun jenis dan persentase kecacingan adalah Ascaris 60%, Trichuris 60%, Strongylid 20%, dan Oxyuris 20%. Rata-rata jumlah telur dalam tiap gram tinja (TTGT) adalah Ascaris 832 TTGT dan Trichuris 514 TTGT. Kata kunci: cacing parasit, exotic pets, saluran pencernaan, ular sanca
ABSTRACT RAHMAYANI. Gastrointestinal Helminths Infection in Reticulated Python (Python reticulatus Schneider 1810) Kept as Exotic Pets. Supervised by ELOK BUDI RETNANI. Exotic pets are wild animals kept as pets for having unique characteristics and attractive, among them are the reticulated python (Python reticulatus). The zoonotic gastrointestinal helminths in exotic pets might been found. The objective of this research was to observe gastrointestinal helminths, percentage infection, and infection intensity of reticulated python kept as exotic pets. A total of 5 individual faecal samples were collected for 3 times. Samples were examined using the modified of McMaster, simple flotation, stratified filter, and Kato-Katz method. The research result shows that all animals (100%) were infected with gastrointestinal helminths included Ascaris 60%, Trichuris 60%, Strongylid 20%, and Oxyuris 20%. The average of the number of egg per gram (EPG) of Ascaris and Trichuris were 832 EPG and 514 EPG, respectifely. Keywords: exotic pet, gastrointestinal, helminths, reticulated python
INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN ULAR SANCA (Python reticulatus Schneider 1810) SEBAGAI EXOTIC PETS
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Infeksi Cacing Saluran Pencernaan Ular Sanca (Python reticulatus Schneider 1810) Sebagai Exotic Pets Nama : Rahmayani NIM : B04100031
Disetujui oleh
Dr Drh Elok Budi Retnani, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Drh Agus Setiyono, MS PhD APVet Wakil Dekan FKH-IPB
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Judul yang dipilih yaitu “Infeksi Cacing Saluran Pencernaan Ular Sanca (Python reticulatus Schneider 1810) Sebagai Exotic Pets” merupakan hasil penelitian terhadap lima ekor ular sanca peliharaan. Penyusunan Skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelas Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dosen pembimbing skripsi Dr Drh Elok Budi Retnani, MS yang memberikan bimbingan selama penyusunan skripsi dan memberikan motivasi serta meluangkan waktu untuk memperlancar proses penyelesaian studi. Ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing akademik Drh Okti Nadia Poetri, MSi yang memberikan dorongan serta motivasi untuk selalu bekerja keras dan tidak mudah putus asa dalam menjalankan studi selama di FKH-IPB. Kepada orang tua tercinta, Ayahanda M Huffaz, SH dan Ibunda Niswan yang selalu memberikan limpahan cinta, kasih sayang, materi dan kesempatan untuk menempuh pendidikan hingga sarjana. Adik-adik yang selalu membanggakan Alam Ismail, Zaldi Rahman dan Andi Wirawicakpati. Kepada teman-teman sejawat, kolega FKH 47 Acromion yang selalu memberikan masukan dan meluangkan waktu menemani selama masa perkuliahan. Sahabat HIMPRO Satwaliar FKH IPB yang selalu mengukir prestasi Asfi, Mirzan, Nilam, Yoga, Puti. Ucapan terima kasih kepada Bapak Teguh Prasetyo Budi yang memberikan bantuan waktu dan tenaga selama melakukan penelitian. Khususnya kepada teman-teman Aspera yang memberikan jalan bagi suksesnya penelitian ini. Penulis menyadari bahwa Skripsi ini jauh dari kata sempurna, sehingga bimbingan dan arahan yang membangun sangat diharapkan demi hasil yang lebih baik. Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan khususnya bagi pemerhati reptil khususnya ular. Bogor, November 2014 Rahmayani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
iv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Rumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Biologi Ular Sanca
2
Klasifikasi dan Morfologi Ular Sanca
2
Habitat dan Penyebaran
2
Perilaku dan Makanan
2
Cacing Parasitik
3
Cestoda
3
Trematoda
3
Nematoda
4
Cacing Parasitik Pada Ular
4
METODE
5
Tempat dan Waktu
5
Alat dan Bahan
5
Sampel Ular
5
Teknik Parasitologi
5
Sampling Tinja
5
Modifikasi Metode McMaster
6
Flotasi Sederhana
6
Saringan Bertingkat
6
Kato-Katz
6
Identifikasi Telur Cacing
7
Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN
7 7
Manajemen Kesehatan Ular Sanca
7
Jenis Telur Cacing yang Ditemukan
8
Ascaris
9
Trichuris
9
Strongylid
10
Oxyuris
10
Persentase Infeksi Setiap Jenis Telur Cacing
10
Derajat Infeksi Setiap Jenis Telur Cacing
11
SIMPULAN DAN SARAN
12
Simpulan
12
Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
13
RIWAYAT HIDUP
15
iv
DAFTAR TABEL 1 2 3
Cacing Parasitik Pada Ular Persentase Infeksi Telur Cacing Perbandingan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) metode McMaster dan Kato-Katz
4 10 11
DAFTAR GAMBAR 1 2
Sampel Ular Sanca Telur Cacing Parasitik yang Ditemukan
7 9
PENDAHULUAN Latar Belakang Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas di alam maupun yang dipelihara oleh manusia (UU No. 18 Tahun 2009). Indonesia merupakan negara yang memiliki spesies satwa liar yang beranekaragam karena letak geografis Indonesia yang berada di antara dua kawasan persebaran fauna di dunia, yaitu Kawasan Oriental di bagian utara dan Kawasan Australia di bagian selatan. Kondisi seperti itu menjadikan Indonesia memiliki sebagian kekayaan jenis hayati Asia dan Australia. Indonesia terletak di daerah tropika yang merupakan salah satu sasaran migrasi satwa dari belahan utara dan selatan, sehingga Indonesia mendapat tambahan kekayaan hayati dari pelaku migrasi satwa. Kekayaan hayati yang dimiliki Indonesia merupakan hal yang patut dijaga sebagai bentuk keseimbangan ekosistem (Marlon 2014). Dewasa ini tidak sedikit satwa liar yang dengan sengaja baik secara legal maupun ilegal ditangkap dan dikembangbiakan untuk dijadikan hewan peliharaan. Hal ini mengakibatkan satwa liar tersebut harus melakukan adaptasi terhadap lingkungan dan penanganan oleh manusia. Satwa liar yang sebelumnya memiliki sifat buas selama hidup di alam liar, menjadi berkurang kebuasannya akibat seringnya kontak langsung yang terjadi antara manusia dan satwa. Selain itu, satwa menjadi tergantung dalam memperoleh pakan dan kehilangan kemampuan memangsa yang dimiliki. Ular, iguana, dan biawak merupakan beberapa contoh satwa liar yang dijadikan exotic pets. Ular merupakan satwa liar yang paling banyak menjadi exotic pets, diantaranya ular sanca. Ular sanca yang ditangkap dari alam dan dijadikan exotic pets memiliki potensi yang sangat besar untuk menularkan penyakit. Ular sanca dipaksa melakukan adaptasi baik secara perilaku maupun pola makan sehingga tidak jarang pada masa adaptasi tersebut ular sanca yang sebelumnya bersifat tahan terhadap suatu penyakit menjadi rentan dan dapat menularkan penyakit baik pada manusia dan hewan lain. Menurut Mader (2006) penyakit parasitik pada ular sanca yang banyak ditemukan dan bersifat zoonotik adalah cryptosporidiosis, coccidiosis, dan helminthosis. Oleh karena itu perlu diketahui dan dipelajari penyakit pada ular sanca diantaranya helminthosis. Rumusan Masalah Ular sanca merupakan satwa liar yang banyak dijadikan sebagai exotic pets. Ular sanca yang diperoleh dari alam dapat menjadi sumber infeksi berbagai penyakit di antaranya kecacingan. Perlu dipelajari lebih lanjut tentang kemungkinan adanya cacing parasit zoonotik pada ular. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis, persentase infeksi, dan derajat infeksi cacing parasitik pada saluran pencernaan ular sanca yang dipelihara sebagai exotic pets.
2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah daftar jenis cacing parasitik saluran pencernaan ular sanca. Temuan berbagai jenis cacing parasit merupakan refleksi lingkungan di sekitar ular sanca. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan landasan tindakan untuk pengendalian cacing parasitik dan manajemen kesehatan ular sebagai exotic pets.
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ular Sanca Klasifikasi dan Morfologi Ular Sanca (Python reticulatus) Ular sanca merupakan jenis ular yang tidak berbisa, mempunyai ukuran yang besar dan merupakan ular terpanjang di antara jenis ular lainnya yang terdapat di Indonesia. Ular sanca memiliki pola lingkaran-lingkaran besar yang berbentuk jala (Tweedie 1984 dan Mehrtens 1987). Pola ini lah yang membuat masyarakat menjadi tertarik untuk menjadikan satwa ini sebagai hewan peliharaan. Hal ini merupakan proses adaptasi yang dilakukan untuk menjaga diri dari predator. Klasifikasi ular sanca menurut taksonomi Iskandar dan Colijn (2002): Domain : Eukarya Kingdom : Animalia Subkingdom : Eumatazoa Superphylum : Deuterostomia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Reptilia Subclass : Lepidosauria Ordo : Squamata Subordo : Serpentes Family : Pythonidae Genus : Python Species : Python reticulatus Habitat dan Penyebaran Ular sanca memiliki habitat di hutan dataran rendah sampai ketinggian 01.300 meter di atas permukaan laut (mdpl), semak berbatu, rawa, kebun, pinggiran kota, bahkan di dalam rumah. Ular sanca dewasa dapat lebih sering ditemukan di darat pada siang dan malam hari sedangkan ular sanca yang masih muda lebih sering ditemukan di atas pohon (Marlon 2014). Perilaku dan Pakan Ular sanca merupakan satwa ektotermik, yaitu satwa dengan produksi panas tubuh sebagai hasil aktivitas metabolisme yang sangat terbatas dan mekanisme kontrol pengembalian produksi sangat rendah (Aiello 1998), sehingga untuk mencukupi kebutuhan panasnya dengan mengambil panas dari lingkungan. Ular
3 sanca memiliki kemampuan berenang yang baik dan mempunyai kebiasaan berjemur di bawah sinar matahari langsung yang disebut basking. Proses mencerna makanan akan berlangsung apabila panas di dalam tubuh ular sanca sudah optimal. Suhu yang dibutuhkan ular sanca untuk dapat beraktivitas antara 26.7-30°C dengan suhu optimal 30°C (Marlon 2014). Makanan utama ular sanca yaitu mamalia kecil, burung, dan biawak. Berbeda dengan ular-ular yang mampu membunuh mangsanya dengan bisa, ular sanca membelit untuk melumpuhkan mangsanya. Ular sanca membelit mangsa dengan menggunakan bagian ekornya dan mencengkram mangsanya dengan menggunakan mulutnya yang lebar dan menggigit mangsanya agar tidak kabur. Mangsa yang terbelit selain sudah tidak dapat bergerak karena sudah tidak bisa menggunakan alat geraknya, mangsa juga kesulitan bernafas karena kehabisan oksigen dan rongga dadanya tertekan kuat oleh lilitan ular. Setelah mangsa benarbenar mati, ular sanca menelan mangsanya dimulai dari bagian kepala untuk memudahkan proses menelan (Carpenter 2001). Cacing Parasitik Cestoda Cestoda merupakan cacing parasitik yang memiliki bentuk tubuh pipih seperti pita dan bersegmen. Cestoda bersifat hermaprodit, pada setiap segmen berisi satu atau dua set organ reproduksi jantan dan betina. Tubuh cestoda terdiri dari tiga bagian yaitu skoleks, leher, dan strobila. Cestoda memiliki siklus hidup tidak langsung, karena membutuhkan inang antara. Tahap perkembangannya terdiri atas tiga stadium, yaitu telur, larva (metacestoda atau cacing gelembung), dan cestoda dewasa. Telur cestoda mudah dibedakan dengan telur trematoda maupun telur nematoda karena mengandung embrio berkait enam (embryo hexacant) yang disebut oncosphere. Cestoda merupakan cacing parasitik pada ternak domestik dan manusia (Taylor et al. 2007). Trematoda Trematoda merupakan cacing parasitik yang berbentuk pipih seperti daun dan tidak memiliki segmen, selain itu trematoda memiliki sifat hermaprodit kecuali pada genus Schistosoma. Trematoda memiliki saluran pencernaan sederhana mulai dari mulut-faring-esofagus-sekum. Mirasidium adalah embrio bersilia yang perkembangannya terjadi di lingkungan eksternal inang. Sporokista mengandung sel-sel germinal yang selanjutnya akan berkembang menjadi redia dan bermigrasi menuju hepato-pankreas siput dan berkembang menjadi serkaria. Serkaria keluar dari tubuh siput dan berenang menggunakan ekornya. Stadium serkaria beberapa spesies trematoda membentuk metaserkaria. Dinding kista metaserkaria akan pecah ketika termakan oleh inang definitif, kemudian cacing muda penetrasi ke dalam usus dan migrasi ke berbagai jaringan organ. Perkembangan selanjutnya cacing muda menjadi cacing dewasa pada jaringan organ tertentu menurut jenisnya. Trematoda merupakan cacing parasitik pada vertebrata air, rodensia, anjing, kucing, dan unggas (Taylor et al. 2007).
4 Nematoda Nematoda merupakan cacing parasitik yang memiliki bentuk silinder dan cenderung runcing pada kedua ujung tubuh, memiliki lapisan kutikula dan tidak bersegmen. Sistem pencernaan cacing nematoda berupa tabung sederhana dan lebih lengkap dibandingkan dengan cacing trematoda. Mulut nematoda dikelilingi oleh dua atau tiga bibir yang berhubungan dengan esofagus. Nematoda memiliki sistem reproduksi yang terpisah (Lapage 1962). Siklus hidup nematoda dapat secara langsung (tanpa inang antara) atau tidak langsung (memerlukan inang antara). Bentuk stadium infektif nematoda adalah telur dan larva infektif. Nematoda merupakan cacing parasitik pada unggas, ruminansia, anjing, kucing, dan manusia (Taylor et al. 2007). Cacing Parasitik Pada Ular Beberapa jenis cacing parasitik pada spesies ular tertentu telah dilaporkan, baik di Indonesia maupun di luar negeri dengan mengambil sampel ular yang berasal dari alam liar atau lembaga konservasi seperti kebun binatang, sedangkan pada ular sebagai exotic pets belum ada yang melaporkan. Metode yang digunakan pada hasil laporan tersebut yaitu identifikasi cacing dewasa maupun koprologik. Tabel 1 Cacing Parasitik pada Ular Kelas Cestoda
Trematoda
Nematoda
Cacing Parasitik Bothridium sp. Ophiotaenia Mesocestodidae Hymenolepis nana Acanthotaenia Crepidobothrium Bothriocephalus Anoplocephalidae Renifers Dasymetra Ochetosoma Styphlodoro Spirometra Alaria marcinae Ophidioascaris moreliae Rhabdias sp. Strongyloides Kalicephalus spp. Diaphanocephalus Spineoxys Oxyuris spp. Aspiculuris Eustrongyloides spp. Armilifer sp. Poludelphis sp. Capillaria hepatica Macdonaldius spp. Dracunculus Trichinella zimbabwensis Ascaridia galii
Ular yang Terinfeksi Boa dan Python Viper, Boa, Python Kingsnakes dan Rattlesnakes Morelia viridis Cylindrophis ruffus Xenopeltis unicolor Python breitensteini Boa dan Python Watersnakes Kingsnakes Hog-nosed snakes Boa contrictors Xenopeltis unicolor Texas Indigo Snake Python Python dan Elapidae Python Python Boa dan Python Boa dan Python Python Morelia viridis Python Viper dan African Python Python reticulatus Morelia viridis Python dan Elapidae Viper Boa, Python, Elapidae, Viper Python reticulatus
Sumber: (1) Wolf et al. 2014, (2) Rataj et al. 2011, (3) Mader 2006
Acuan
(1), (2)
(2)
(1), (2), (3)
5 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Agustus 2014. Pengumpulan sampel tinja dilakukan di tempat pemilik ular sanca di daerah Depok dan Bogor. Analisis sampel tinja dilakukan di Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam pemeriksaan sampel tinja di laboratorium yaitu:, cooler box, Kato-Katz Kit, sendok, saringan teh, gelas ukur, pipet pasteur, kamar hitung McMaster, tabung reaksi, saringan bertingkat ukuran 45 µm, 100 µm, dan 400 µm, sprayer, gelas Baermann, gelas obyek modifikasi sedimentasi, mikroskop, dan gelas plastik. Bahan yang digunakan dalam pemeriksaan sampel tinja ular sanca di laboratorium adalah: tinja ular, larutan pengapung gula garam dengan konsentrasi 99.5% (Sumanto dan Hamidy 1994), aquadest, gliserin, dan pewarna biru metilen. Sampel Ular Lima ekor ular sanca yang diteliti merupakan hewan kesayangan. Ular sanca A dan B merupakan ular sanca yang dibeli dari hasil breeding, sementara itu ular sanca C, D, dan E adalah ular sanca yang didapatkan dari tangkapan alam. Ular sanca A, B, dan C memiliki berat rata-rata kurang lebih 150 kg. Ular sanca oleh pemilik dikandangkan perindividu dan saling bersebelahan. Selain itu, ketiga ular sanca tersebut diberikan pakan satu ekor ayam dewasa setiap dua minggu sekali. Kandang ular sanca A, B, dan C terletak di sekitar kandang reptil lainnya yaitu biawak dan kura-kura serta hewan lain yaitu kucing. Ular sanca D dan E oleh pemilik dikandangkan bersamaan, dengan pakan satu ekor tikus putih untuk setiap minggu. Berbeda dengan ular A, B, dan C, ular D dan E dikandangkan jauh dari hewan lain seperti kucing. Pada masing-masing kandang diletakkan satu wadah air sebagai media berendam dan air minum untuk ular sanca dan diberi alas koran yang akan diganti oleh pemilik setiap ular defekasi. Teknik Parasitologi Sampling Tinja Pengumpulan sampel tinja individu dilakukan sebanyak tiga kali menurut waktu defekasi. Sampel tinja dimasukkan ke dalam kantong plastik transparan lalu diberi label nama sesuai letak kandang, jenis pakan, jenis kelamin dan tanggal pengambilan. Setelah itu, sampel dimasukkan ke dalam cooler box. Sampel dibawa ke Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor untuk dianalisis.
6 Modifikasi Metode McMaster Metode McMaster merupakan metode kuantitatif yang digunakan untuk mengetahui jumlah telur cacing parasitik pada sampel tinja. Sebanyak 4 gram tinja dilarutkan ke dalam 56 ml larutan pengapung gula garam dengan konsentrasi 99.5% (Sumanto dan Hamidy 1994). Selanjutnya dihomogenkan dan disaring menggunakan saringan teh. Suspensi yang sudah homogen kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster dengan menggunakan pipet, kemudian didiamkan selama 5 menit. Penghitungan telur dilakukan secara mikroskopik dengan perbesaran 10×10. Jumlah telur dalam tiap gram tinja (TTGT) dihitung menggunakan rumus, sebagai berikut:
Keterangan: : jumlah telur cacing dalam kamar hitung n Vt : volume sampel total Vk : volume kamar hitung Bf : berat tinja (Bondarenko et al. 2009) Metode Flotasi Sederhana Metode kualitatif ini dilakukan untuk mengetahui adanya telur cacing nematoda dan cestoda pada sampel tinja. Sebanyak 4 gram tinja dilarutkan ke dalam 56 ml larutan pengapung gula garam dengan konsentrasi 99.5% Selanjutnya dihomogenkan dan disaring dengan menggunakan saringan teh. Larutan yang sudah homogen kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan menggunakan pipet sampai permukaannya cembung pada bibir tabung reaksi kemudian ditutup dengan kaca penutup. Sampel didiamkan selama 15-30 menit, kemudian kaca penutup diambil dan diletakkan di atas gelas obyek untuk diperiksa secara mikroskopik dengan perbesaran 10×10 (Shaikenov et al. 2004). Metode Saringan Bertingkat Metode ini bersifat kualitatif untuk mengetahui adanya telur cacing trematoda pada sampel tinja. Sampel tinja sebanyak 4 gram dihomogenkan dengan menggunakan 56 ml air dan disaring dengan menggunakan saringan teh. Selanjutnya filtrat disaring dengan menggunakan saringan bertingkat berukuran 400 µm, 100 µm, dan 45 µm. Residu yang tertinggal dalam saringan yang berukuran 45 µm dibilas dengan menggunakan sprayer. Bilasan tersebut ditampung di dalam gelas Baermann dan dipindahkan ke gelas obyek modifikasi dengan menggunakan pipet tetes dan diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 10×10 (Foreyt 2001). Metode Kato-Katz Metode Kato-Katz merupakan metode pemeriksaan tinja secara kuantitatif menggunakan Kato-Katz Kit. Sampel tinja dibungkus dengan kertas saring, selanjutnya dimasukkan ke dalam lubang pada Kato-Katz Kit sebagai cetakan sampel tinja yang sudah dialasi dengan gelas obyek lalu ditekan menggunakan stick plastik sampai cetakan tersebut terisi penuh. Ekstrak tinja tersebut kemudian ditutup dengan menggunakan cellophane tape yang telah direndam di dalam
7 campuran larutan gliserin dan biru metilen. Selanjutya preparat tersebut diamati secara mikroskopik dengan perbesaran 10×10 (Glinz et al. 2010). Jumlah telur dalam tiap gram tinja (TTGT) dihitung menggunakan rumus, sebagai berikut:
Keterangan: R = 41,7 (berat tinja sesuai ukuran lubang karton/mg) Identifikasi Jenis Telur Cacing Identifikasi jenis telur cacing dilakukan dengan menentukan tipe telur berdasarkan morfologi dan ciri khusus telur cacing menurut Bogitsh dan Cheng (1990) dan Taylor et al. (2007). Analisis Data Persentase infeksi jenis-jenis telur cacing yang ditemukan seta dugaan derajat infeksi pada tiap ekor ular dianalisis secara deskriptif. Untuk menggambarkan berbagai kemungkinan sebagai faktor risiko kecacingan dikaitkan dengan data individu hewan yang disertai dengan cara pemeliharaannya. HASIL DAN PEMBAHASAN Manajemen Kesehatan Ular Sanca
Gambar 1 Sampel Ular Sanca Keterangan: Hasil breeding (kiri) dan tangkapan alam (kanan)
Ular memiliki pola makan yang berbeda dengan hewan lain seperti mamalia. Ular mampu bertahan hingga berbulan-bulan tanpa diberikan makanan. Ular yang hidup di alam liar mendapatkan nutrisi dari hewan hidup yang menjadi mangsanya. Mangsa ular di alam antara lain adalah tikus, burung liar, serta mamalia kecil dan bagi seekor ular sanca tidak menutup kemungkinan reptil besar seperti biawak atau mamalia besar seperti sapi, karena ular sanca dapat memangsa hewan yang besarnya tiga kali lebih besar dari besar tubuhnya. Hal ini didukung dengan kekuatan lilitan ular sanca yang dapat meremukkan tulang sapi dewasa (Carpenter 2001). Ular sanca sebagai exotic pets juga mendapatkan pakan berupa hewan hidup. Namun demikian, pada kondisi tertentu ular sanca diberi hewan
8 mati atau karkas daging. Kasus stomatitis di ular menyebabkan penurunan nafsu makan sehingga ular perlu diberi pakan mati atau karkas daging untuk mengurangi risiko memperparah kasus stomatitis (Jacobson 2007). Pemberian pakan yang berbeda dari jenis pakan alaminya dapat memicu atau menambah risiko terjadinya infeksi cacing maupun telur cacing pada ular sanca. Lima ekor ular sanca yang terdiri dari dua ular sanca hasil breeding dan tiga ular sanca hasil tangkapan liar pada Gambar 1 yang dijadikan sampel belum pernah diberikan obat cacing. Informasi yang didapatkan melalui pemilik hewan, ular sanca C dan E pernah menunjukkan gejala diare dan tidak nafsu makan. Hal ini ditandai dengan dengan tinja yang dikeluarkan lebih cair dari tinja normal. Pemilik beralasan tidak ingin mengambil risiko dengan memberikan obat apapun karena tidak dianggap perlu. Tindakan yang dilakukan pemilik adalah dengan menjemur ular dan membersihkan kandang secara rutin. Diare pada ular sanca C dapat diakibatkan oleh kecacingan, hal ini ditunjukkan dengan hasil temuan telur cacing pada ular sanca C yang lebih tinggi dibandingkan dengan ular sanca yang lain. Selain itu, nilai derajat infeksi yang tinggi pada ular sanca C menunjukkan bahwa kecacingan dapat diduga berat karena sudah menunjukkan gejala klinis yaitu diare. Gejala klinis diare juga ditunjukkan oleh ular sanca E, akan tetapi dengan melihat nilai derajat infeksi pada Tabel 3, diare yang ditunjukkan tidak dapat dikatakan sebagai gejala yang diakibatkan oleh kecacingan. Menurut Mader (2006) gejala diare sering ditunjukkan ular sanca yang mengalami stres dengan gejala nafsu makan yang menurun. Hal ini dapat diakibatkan oleh stres akibat adaptasi ular sanca yang ditangkap dari alam dan dijadikan sebagai peliharaan. Jenis Telur Cacing yang Ditemukan Berdasarkan hasil identifikasi morfologi telur cacing pada sampel tinja ular sanca, ditemukan empat tipe telur cacing dari kelas nematoda yaitu telur Ascarid, Trichurid, Oxyurid, dan Strongylid. Infeksi oleh cacing nematoda pada ular pernah dilaporkan oleh Telford (1971) pada ular jenis Morelia viridis, Bodri (1994) pada ular jenis Python regius, Fontenot dan Font (1996) pada ular jenis Agkistrodon piscivorus, Taiwo et al. (2002) pada ular jenis Python reticulatus di Nigeria, Mader (2006) pada beberapa jenis ular di antaranya Python reticulatus di Amerika, dan Rataj et al. (2011) pada beberapa jenis ular di antaranya Python regius yang berasal dari Inggris. Pada umumnya, cacing nematoda dapat dijumpai di berbagai jenis ular, baik yang memiliki siklus hidup langsung maupun yang memiliki siklus hidup tidak langsung. Infeksi oleh cacing nematoda biasanya bersifat subklinis tetapi gejala klinis dapat muncul apabila infeksi cukup tinggi. Jenis cacing nematoda yang ditemukan dari sampel tinja lima ekor ular sanca memiliki siklus hidup langsung atau tidak membutuhkan inang antara. Hal ini dapat memicu terjadinya penularan dari ular ke pemelihara atau yang biasa disebut dengan zoonosis. Cacing Ascaris, Trichuris, Strongylid, dan Oxyuris menginfeksi melalui telur infektif yang mengandung larva secara peroral. Telur Oxyuris dapat menempel pada dinding dan lantai kandang serta dapat bertahan selama dua bulan (Taylor et al. 2007).
9
Gambar 2 Telur Cacing Parasitik yang Ditemukan Keterangan: A. Ascaris (perbesaran 40x10) B. Trichuris (perbesaran 40x10) C. Strongylid (perbesaran 40x10) D. Oxyuris (perbesaran 40x10).
Ascaris Telur Ascaris yang ditemukan dalam sampel tinja ditunjukkan pada Gambar 2A. Karakteristik telur Ascaris berwarna kuning kecoklatan dengan bentuk bulat, memiliki lapisan albumin yang tebal. Secara morfologi telur Ascaris dapat dibedakan menjadi telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Telur yang dibuahi berbentuk bulat berwarna kecoklatan dengan lapisan albumin yang tebal. Telur yang tidak dibuahi tidak memiliki bentuk spesifik dapat berbentuk lonjong, segitiga, menyerupai ginjal dan memiliki lapisan luar yang cukup tipis (Bogitsh dan Cheng 1990, Onggowaluyo 2002). Penyebaran cacing jenis ini dapat ditemukan hampir di seluruh dunia (kosmopolit). Penyebaran utamanya adalah daerah – daerah yang memiliki iklim tropis dengan kelembapan yang tinggi (Kusumamihardja 1995). Temuan telur cacing Ascaris pernah dilaporkan sebelumnya menginfeksi reptil jenis Gecko gecko dan Varanus niloticus (Rataj et al. 2011). Jenis cacing pada genus Ascaris yang sering menginfeksi ular sanca yaitu jenis Ophidascaris morelia (Mader 2006). Cacing ini dapat menyebabkan penurunuan berat badan, anoreksia bahkan kematian pada ular akibat nekrosa ulseratif pada mukosa lambung dan obstruksi saluran pencernaan. Trichuris Telur Trichuris yang ditemukan dalam sampel tinja yang ditunjukkan pada Gambar 2B memiliki ciri berbentuk oval, memiliki dua polar plug, dan berdinding tebal. Secara morfologi telur Trichuris sesuai dengan literatur (Bogitsh dan Cheng 1990, Taylor et al. 2007) dengan ciri-ciri mempunyai dinding yang tebal, berbentuk oval, tidak memiliki blastomer, dan memiliki dua polar plug.
10 Temuan telur cacing Trichuris pernah dilaporkan sebelumnya menginfeksi reptil jenis Iguana iguana dan Naja sputatrix (Mader 2006). Strongylid Telur Strongylid yang ditemukan dalam sampel tinja ditunjukkan pada Gambar 2C memiliki bentuk menyerupai elips dengan dinding telur yang tipis dan terdapat sel berwarna keabuan (morula) didalamnya. Sel tersebut dapat berjumlah 4, 8, 16 dan seterusnya. Warna telur yang ditemukan sampel tinja ini kuning kecoklatan (Taylor et al. 2007). Telur jenis ini dapat berkembang dengan baik pada kondisi tanah yang lembab. Penyebaran cacing jenis ini dilaporkan terdapat di Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Selatan (Soulsby 1982). Temuan telur cacing Strongylid pernah dilaporkan sebelumnya menginfeksi ular jenis Python regius dan Elaphe gutata (Klingenberg 2000). Jenis cacing yang banyak ditemukan pada ular sanca dari genus Strongylid yaitu Kalicephalus sp (Mader 2006). Jenis cacing ini bersifat asimptomatik pada ular-ular liar yang hidup di alam tetapi bersifat patogenik pada ular yang hidup secara captive atau hidup dengan dipelihara. Kalicephalus sp. merupakan cacing yang paling sering ditemukan disemua jenis ular. Cacing ini bermanifestasi di daerah esofagus sampai usus besar. Oxyuris Telur Oxyuris yang ditemukan pada sampel tinja ditunjukkan pada Gambar 2D memiliki aspek translusen dan dinding albumin yang tebal. Menurut Taylor et al. (2007), telur Oxyuris memiliki ciri-ciri yaitu berbentuk asimetris dengan bagian lonjong disatu sisi dan bagian yang datar di sisi yang lain, dinding telur bening dan tebal yang terdiri lapisan albuminous yang paling luar, membran, dan lapisan dalam telur yang berisi larva. Temuan telur cacing Oxyuris pernah dilaporkan sebelumnya menginfeksi ular jenis Platyceps karelini (Rataj et al. 2011). Persentase Infeksi Setiap Jenis Telur Cacing Tabel 2 Persentase Infeksi Telur Cacing No.
Jenis Cacing
Jumlah Ular
1. 2. 3. 4.
Ascaris Trichuris Strongylid Oxyuris
5 5 5 5
Hasil Koprologik Positif Negatif 3 2 3 2 1 4 1 4
Persentase Infeksi 60% 60% 20% 20%
Hasil pemeriksaan sampel tinja memperlihatkan bahwa persentase kecacingan pada ular sanca A, B, C, D, dan E adalah 100%, dengan masingmasing ular sanca terinfeksi telur cacing. Ular sanca A, B, dan C menunjukkan infeksi oleh telur Ascaris dari lima ekor ular sanca yang diperiksa sehingga dapat diketahui persentase infeksi telur Ascaris adalah sebesar 60%. Ular sanca C, D, dan E menunjukkan infeksi oleh telur Trichuris dari lima ekor ular sanca yang diperiksa sehingga dapat diketahui persentase infeksi telur Trichuris adalah sebesar 60%. Ular sanca C selain terinfeksi telur cacing Ascaris dan Trichuris
11 juga menunjukkan infeksi telur Oxyuris dengan persentase 20%. Ular sanca E menunjukkan infeksi Strongylid dengan persentase sebesar 20%. Persentase infeksi ular sanca terhadap telur cacing Ascaris dan Trichuris merupakan yang tertinggi dengan nilai persentase sebesar 60% dan nilai persentase cacing Oxyuris dan Strongylid 20%. Tindakan pencegahan yang dapat mencegah terjadinya infeksi telur cacing dari ular ke pemelihara sangat dianggap perlu. Adapun tindakan-tindakan yang dapat dilakukan adalah, pemberian obat cacing pada ular sanca secara berkala, membersihkan kandang secara teratur, menggunakan pakaian khusus apabila hendak ke kandang dan memperhatikan sanitasi dan higiene personal. Tindakan pengendalian kasus kecacingan pada ular dapat dilakukan dengan pemberian obat cacing seperti Praziquantel dan Ivermectin dengan dosis yang sesuai dengan rekomendasi dokter hewan. Derajat Infeksi Setiap Jenis Telur Cacing Analisis menggunakan metode McMaster tidak ditemukan adanya telur cacing. Hal ini tidak berarti ular sanca bebas dari infeksi telur cacing. Hasil 0 TTGT pada metode McMaster diduga akibat nilai TTGT pada ular <100 TTGT sehingga telur cacing tidak tampak pada kamar hitung. Selain itu, hasil 0 TTGT pada metode McMaster juga dapat diakibatkan oleh jumlah sedimen yang dimasukkan ke dalam kamar hitung tidak mengandung telur cacing karena jumlah sedimen yang dimasukkan adalah 0.3 ml dari 4 gram sampel tinja yang dimasukkan ke dalam 56 ml larutan pengapung gula garam (Taylor et al. 2007). Metode McMaster yang menunjukkan hasil 0 dapat ditunjang dengan menggunakan metode flotasi sederhana. Hasil yang didapatkan dengan menggunakan metode flotasi sederhana menunjukkan ular sanca A dan B terinfeksi telur cacing Ascaris, ular sanca C terinfeksi telur cacing Oxyuris dan Ascaris, ular sanca D tidak ditemukan adanya telur cacing, dan ular sanca E terinfeksi telur cacing Strongylid. Hasil yang didapatkan dari metode McMaster dapat dikatakan sebagai negatif palsu. Menurut Wolf (2014) penggunaan metode kuantitatif seperti McMaster dapat menunjukkan hasil negatif palsu dan dapat ditunjang dengan metode kualitatif dalam hal ini adalah metode flotasi sederhana. Penghitungan derajat infeksi tidak dapat dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif, sehingga diperlukan metode kuantitatif lain yaitu metode Kato-Katz. Tabel 3 Perbandingan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) metode McMaster dan Kato-Katz Ular
A B C D E Rata-rata
McMaster 0 0 0 0 0 0
Jumlah Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) Ascaris Trichuris Kato-Katz McMaster Kato-Katz 855 0 0 823 0 0 2.485 0 1.654 0 0 415 0 0 503 832 0 514
12 Data yang ditunjukkan pada Tabel 3 merupakan perbandingan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT). Penggunaan metode Kato-Katz menunjukkan hasil yang lebih baik dengan nilai TTGT >100 TTGT. Hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa metode McMaster dan Kato-Katz memiliki kualitas yang sama yaitu untuk mendeteksi telur cacing parasitik namun metode Kato-Katz memiliki sensitifitas yang lebih baik dibandingkan metode McMaster. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Levecke et al. (2011) yang menyatakan bahwa metode Kato-Katz lebih sensitif terhadap infeksi Ascaris lumbricoides yaitu 88.1% untuk metode KatoKatz dan 75.6% untuk metode McMaster. Selain itu, menurut Richardson et al. (2008) metode Kato-Katz memiliki efektifitas yang lebih baik dibandingkan dengan metode flotasi untuk mendeteksi adanya cacing Ascaris lumbricoides. Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 3, dengan menghitung menggunakan rumus didapatkan nilai rata-rata TTGT telur Ascaris sebesar 832 TTGT. Nilai TTGT pada masing-masing individu yaitu ular sanca A sebesar 855 TTGT, ular sanca B sebesar 823 TTGT dan ular sanca C sebesar 2.485 TTGT serta nilai rata-rata telur Trichuris sebesar 514 TTGT. Nialai TTGT pada masingmasing individu yaitu telur Trichuris pada ular sanca C sebesar 1.654 TTGT, ular sanca D sebesar 415 TTGT, dan ular sanca E sebesar 503 TTGT. Menurut Glinz et al. (2010) klasifikasi TTGT telur cacing Ascaris dengan jumlah 1-4.999 TTGT dan TTGT telur cacing Trichuris dengan jumlah 1-1.000 TTGT dapat dikatakan ringan pada manusia. Namun demikian, kategori TTGT ringan, sedang, dan berat untuk menentukan derajat infeksi pada ular belum ditemukan adanya penelitian mengenai derajat infeksi pada ular. Oleh karena itu, nilai TTGT Ascaris dan Trichuris pada ular sanca belum dapat dikategorikan ringan. Hasil yang ditunjukkan dengan menggunakan metode saringan bertingkat adalah tidak ditemukan adanya telur cacing. Hal ini dapat dikarenakan sampel tinja ular sanca tidak mengandung telur cacing trematoda sehingga hasil menunjukkan hasil negatif. Menurut Mader (2006) telur trematoda banyak ditemukan pada ular yang habitatnya berada di air seperti Xenoleptis unicolor dan Liasis fuscus. Cacing trematoda yang sering ditemukan pada ular jenis Xenoleptis unicolor antara lain Hapalotrema loosi dan Spirometra. Xenoleptis unicolor di alam memiliki pakan yang hidupnya di sekitar rawa seperti katak dan mamalia air (Marlon 2014).
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua ular menderita kecacingan (100%). Persentase kecacingan menurut jenis telur cacing yang ditemukan adalah Ascaris 60%, Trichuris 60%, Strongylid 20%, dan Oxyuris 20%. Rata-rata jumlah telur dalam tiap gram tinja (TTGT) adalah Ascaris 832 TTGT dan Trichuris 514 TTGT.
13 SARAN Perlu adanya pemeriksaan telur cacing untuk menentukan spesies cacing parasitik yang dapat menginfeksi ular sanca. Pengetahuan tentang biologi dan ekologi jenis cacing yang menginfeksi ular dapat dijadikan dasar manajemen kesehatan ular sebagai exotic pets. Metode Kato-Katz memiliki sensitifitas yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pemeriksaan koprologik untuk diagnosis kecacingan pada ular disarankan menggunakan metode Kato-Katz.
DAFTAR PUSTAKA Aiello SE. 1998. The Merck Verinary Manual 8th Edition. Merck & Co. Inc: New Jersey. Bodri MS. 1994. Common parasitic diseases of reptiles and amphibians. Proc. 1st ARAV Conference, Pittburgh, PA. pp. 11-17. Bogitsh BJ, Cheng TC. 1990. Human Atlas Parasitology. WB Saunders: Philadelphia. Bondarenko IG, Kincekova J, Varady M, Konigova A, Kuchta M, Konakova G. 2009. Use of modified McMaster method for the diagnosis of intestinal helminth infections and estimating parasitic egg load in human faecal samples in non-endemics areas. J. Helminthol. 46 (1). pp 62-64. Carpenter JW, Mashima TY. Rupiper DJ. 2001. Exotic Animal. Formulary, 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders. Fontenot LW, Font WF. 1996. Helminth parasites of four species of aquatic snake from two habitats in Southeastern Lousiana. J Helminthol. Soc. Wash. 63(1). pp 66-75. Foreyt WJ. 2001. Veterinary Parasitolgy: Reference Manual. Iowa (US): A Blackwell Publishing Glinz D, Silue KD, Knopp S, Louhourignon LK, Yao KP. 2010. Comparing diagnostic accuracy of Kato-Katz, Koga Agar Plate, Ether-Concentration, and FLOTAC for Schistosoma mansoni and soil-transmitted helminths. PLoS Negl Trop Dis, 4 (7): e754 (1-20) Iskandar DT, Colijn ED. 2002. A Checklist of Southeast Asia and New Guinean Reptils Part 1; Serpentes. Binamitra. Jakarta. Jacobson ER. 2007. Infectious Diseases and Pathology of Reptiles. United State of America: CRC Press Taylor & Francis Group. Klingenberg RJ. 2000. Reptile parasites. Prociding 2000 ARAV Conference, Reno NV. pp 193-194. Kusumamiharjda S. 1995. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Peliharaan di Indonesia. Bogor: Pusat Antara Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Lapage G. 1962. Veterinary Helminthology and Entomology. 5th Ed. London: Balliere, Tindal ancox, Inc. Levecke M, Behnke JM, Ajjampur SSR, Albonico M, Geiger SM. 2011. A comparison of the sensitivity and faecal egg counts of the McMaster egg counting and Kato-Katz thick smear methods for soil-transmitted helminths. J. PloS. Negl. Trop. Dis. 5(6). pp 31-35
14 Mader DR. 2006. Reptile Medicine and Surgery. Philadelphia: WB Saunders. Marlon R. 2014. Panduan Visual dan Identifikasi Lapangan 107+ Ular Indonesia. Jakarta: Indonesia Nature and Wildlife Publishing. pp 42-43. Mehrtens, JM. 1987. Living Snakes of The World in Color. Sterling Publishing Co. Inc. New York. Onggowaluyo JS. 2002. Parasitology Medik I Helminthology. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Rataj AV, Knific RL, Vlahovic K, Mavri U, and Dovc A. 2011. Parasites in pet reptiles. J Acta Veterinarian Scandinavica 53:33. pp 6-8 Richardson DJ, Gross J, Smith MC. 2008. Comparison of Kato-Katz direct smear and sodium nitrate flotation for detection of geohelminth infections. J. BioOne Comparative Parasitology. 75(2). pp 339-341. Shaikenov BS, Rysmukhambetova AT, Massenov B, Deplazes P, Mathis A, Torgeson PR. 2004. Shot report: the use of a polymerase chain reaction to detect Echinococcus granulosus (GI Strain) egg in soil sample. Am. J. Trop. Med. Hyg. 71(4). pp 441-443. Soulsby EJL. 1982. Helminths, Antropods, and Protozoa of Domesticated Animals. London: Bailliere Tindall. Sumanto D dan Hamidy FA. 1994. Studi efisiensi bahan untuk pemeriksaan infeksi kecacingan metode flotasi NaCl jenuh menggunakan NaCl murni dan garam dapur. J. Of Muhammadiyah University Semarang. 3(1). pp 2-4. Taiwo VO, Alaka OO, Sadiq NA, and Adejinmi JO. 2002. Ascaridiosis in captive reticulated python (Python reticulatus). J Afr. Biomed. Res. 5(1). pp 93-95. Taylor MA, RL, Coop, RL, Wall. 2007. Veterinary Parasitology. UK: Blackwell Publishing. Telford SR Jr. 1971. Parasitic diseases of reptiles. J. Am Vet Med Assoc: 159. pp 1644–1652. Tweedie MWF. 1984. The Snack of Malaya. Singapore National Printers. Singapura. Wolf D, Vrhovec MG, Failing K, Rossier C, Hermosilla C, and Pantchev N. 2014. Diagnosis of gastrointestinal parasites in reptiles: comparison of two coprological methods. J Acta Veterinarian Scandivica 56:44. pp 3-10
15
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palu tanggal 11 Juni 1993 dari ayah yang bernama Muhammad Huffaz dan ibu yang bernama Niswan. Lahir sebagai anak sulung dari 4 bersaudara. Alamat asal penulis berada di Jalan Trans Sulawesi, Desa Tete A, Kabupaten Tojo Una-Una, Palu, Sulawesi Tengah. Sekolah lanjutan pertama diselesaikan pada tahun 2007, di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Ampana dan sekolah lanjutan atas diselesaikan pada tahun 2010, di Sekolah Menengah Atas Negeri 72 Jakarta. Penulis diterima menjadi mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 melalui jalur USMI. Selama menjadi mahasiswa aktif di Institut Pertanian Bogor penulis mengikuti beberapa organisasi yaitu BEM FKH IPB dan Himpunan Minat dan Profesi Satwaliar.