KARAKTERISTIK PANENAN ULAR SANCA BATIK Python reticulatus DI SUMATERA UTARA
KRISTINA NAINGGOLAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Panenen Ular Sanca Batik Python reticulatus di Sumatera Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015 Kristina Nainggolan NIM E353120065
RINGKASAN KRISTINA NAINGGOLAN. Karakteristik Panenen Ular Sanca Batik Python reticulatus di Sumatera Utara. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan AGUS PRIYONO KARTONO. Ular sanca batik atau P. reticulatus merupakan salah satu spesies yang mendapat perhatian dunia terkait pemanfaatannya sebagai komoditas ekspor yang cukup tinggi. Pemanfaatan yang berlebih dikhawatirkan akan mengancam kestabilan populasinya di alam. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa karakteristik panenan menggambarkan kondisi populasi hewan di alam. Tingginya permintaan kulit P. reticulatus untuk kebutuhan fashion membuat usaha pengulitan P. reticulatus tetap bertahan. Untuk mengetahui proses pengolahan kulit P. reticulatus di Indonesia dilakukan penelitian dengan pemeriksaan 272 ekor P. reticulatus di tempat pemotongan di wilayah Sumatera Utara. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan di Sumatera Utara ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik panenan P. reticulatus di tempat pemotongan dan menduga perubahan struktur populasinya serta mengidentifikasi prosedur pengolahan kulit hasil panenan P. reticulatus. Prosedur pengolahan kulit P. reticulatus di tempat pemotongan terdiri atas proses pengumpulan dan koleksi, proses pemotongan dan proses pengulitan. Proses pemotongan menjadi isu para pemerhati konservasi satwa luar negeri karena dianggap tidak memperhatikan kesejahteraan satwa. Data yang dianalisis meliputi jumlah panenan, jenis kelamin, sex ratio, morfometri, kelas umur, kematangan reproduksi dan jenis pakan. Selama penelitian teridentifikasi 272 ekor P. reticulatus dengan perbandingan 146 ekor jantan dan 126 ekor betina. Sex rasio dari 272 ekor P. reticulatus yang dibedah adalah 1 : 0.86, atau 53.68% jantan dan 46.32% betina, kelas umur juvenile 79 ekor (29.04%) dengan sex rasio 1 : 0.42 dan dewasa 193 ekor (70.96%) dengan sex rasio 1 : 0.93. Rerata SVL P. reticulatus yang dipanen adalah 272.67 cm (SD = 37.76). Berdasarkan jenis kelamin maka terdapat perbedaan antara ukuran SVL jantan (rerata = 267, SD = 37.04) dan betina (rerata = 278, SD = 37.91) pada kelas umur yang sama (t270 = -2.363, p = 0.019). Ukuran testis terbesar jantan matang kelamin (n = 63) pada ukuran SVL 335 cm dan ukuran folikel terbesar betina matang kelamin (n = 22) terdapat pada betina ukuran SVL 329 cm. Pada 272 ekor P. reticulatus yang dibedah, diperiksa saluran pencernaannya, 261 ekor tidak ditemukan sisa pakan. Proses pemotongan yang dilakukan di Sumatera Utara dimulai dengan memukul kepala ular sanca batik sampai dianggap mati kemudian dikuliti. Setelah dikuliti, kulit dipaku dan dijemur. Sebelum dikuliti rerata panjang badan P. reticulatus 2.58 m (n = 232, SD = 0.36) dan setelah dikuliti rerata panjang kulit kering 3.62 m (n = 232, SD = 0.51). Rerata diameter perut P. reticulatus sebelum dikuliti 23.28 cm (n = 72, SD = 0.45) dan setelah dikuliti rerata lebar kulit kering 34.13 cm (n = 72, SD = 0.56). Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa perdagangan kulit komersial tidak memusnahkan populasi P. reticulatus di Indonesia, namun demikian ukuran tubuh panenan yang lebih kecil dari penelitian sebelumnya memberikan sinyal kemungkinan terjadinya panenan berlebih. Kata kunci : P. reticulatus, sanca batik, karakteristik panenan, pengolahan kulit, Sumatera Utara
SUMMARY KRISTINA NAINGGOLAN. Characteristics Harvesting of Reticulated Pythons, P. reticulatus in North Sumatera. Supervised by MIRZA DIKARI KUSRINI and AGUS PRIYONO KARTONO. Reticulated pythons is one of reptile currently getting international concern due to their high exploitation as export commodity. Over exploitation would impact to their population density. Several studies have shown that characterics of basic ecological attributes of exploited species may describes the condition of their population in nature. The high demand of P. reticulatus skin for fashion needs make the leather business of P. reticulatus able to survive. To determine the processing of P. reticulatus culling in Indonesia, we conducted research with 272 P. reticulatus inspection at the slaughterhouse in North Sumatra. Therefore, the study conducted in North Sumatra aimed to analyzed the characteristics of Reticulated python harvesting in slaughterhouse, to assessed changes of population structure and to identify the procedure of P. reticulatus leather processing in North Sumatra. P. reticulatus leather processing procedure at the slaughterhouse consists of harvesting and collections process, the process of culling and cutting process. The later activities had raised critics from International conservationist due to related issues regarding animal welfare. Sex ratio from 272 specimens analysed from the slaughterhouse was 1: 0.86, or 53.68% males and 46.32% females. Age class categorie consist of 79 juvenile (29.04%) with sex ratio of 1: 0.42 and 193 adult (70.96%) with sex ratio 1: 0.93. Mean snout vent length (SVL) of harvested Reticulated python was 272.67 cm (SD = 37.76). There was a significant difference in SVL between males (mean = 267, SD = 37.04) and females (mean = 278, SD = 37.91) at the same age class (p = 0.019). The cutting process conducted in North Sumatra began with a strike at the head of P. reticulatus until they were considered dead. Afterwards, the leather were skinned and peeled, nailed and dried. Before skinning, average body length of P. reticulatus was 2.58 m (n = 232, SD = 0.36) however after it was driedthe average body length was 3.62 m (n = 232, SD = 0.51). The mean diameter of P. reticulatus stomach before skinning was 23.28 cm (n = 72, SD = 0.45) and after dried, the average width became 34.13 cm (n = 72, SD = 0.56). The results of this study support the conclusion of previous studies that commercial skin trade does not terminatey the population of Reticulated python in Indonesia. However, the tendency of smaller body size of harvesting python compared to previous studies indicate the possibility of excessive harvest. Keywords: Harvesting characteristics, North Sumatra, P. reticulatus, reticulated pythons, skin processing procedure
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK PANENAN ULAR SANCA BATIK Python reticulatus DI SUMATERA UTARA
KRISTINA NAINGGOLAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc
Judul Tesis : Karakteristik Panenan Ular Sanca Batik Python reticulatus di Sumatera Utara Nama : Kristina Nainggolan NIM : E353120065
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi Ketua
Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 9 Januari 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Januari – Pebruari 2014 ini ialah konservasi jenis, dengan judul Karakteristik Panenan Ular Sanca Batik Python reticulatus di Sumatera Utara. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi dan Bapak Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi selaku pembimbing, serta Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc selaku penguji luar komisi, yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kementerian Kehutanan yang telah memberikan kesempatan bagi terlaksananya penelitian ini. Penelitian ini tidak akan mungkin terlaksana tanpa kerjasama dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara, Asosiasi Pengusaha Reptil dan Amfibi Indonesia (IRATA), terutama Bapak George Saputra dan pedagang kulit Bapak Sudirman dan Bapak Hardi, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga besar Nainggolan terutama papi dan mami, serta kakak, adik-adik juga keponakanku tersayang, atas segala doa dan dukungannya, teman-teman KKH 2012 atas kebersamaannya dan para pihak yang telah membantu selama penulis menyelesaikan studi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor,
Februari 2015
Kristina Nainggolan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Kerangka Pemikiran Penelitian
1 1 2 2 2 3
2 KARAKTERISWTIK PANENAN ULAR SANCA BATIK Python reticulatus DI SUMATERA UTARA Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil Pembahasan Simpulan
5 6 7 9 13 16
3 PENGOLAHAN KULIT HASIL PANENAN ULAR SANCA BATIK P. reticulatus DI SUMATERA UTARA DAN IMPLIKASI TERHADAP ETIKA KESEJAHTERAAN HEWAN Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil Pembahasan Simpulan
17 18 18 20 27 29
4 PEMBAHASAN UMUM
29
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
33 33 33
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
34 37 38
DAFTAR TABEL 1 Kelas umur P. reticulatus yang dipanen 2 Data morfometri P. reticulatus yang dipanen di Rantauprapat dan Rapuan Ilir 3 Perbandingan rataan ukuran morfometri P. reticulatus jantan dan betina 4 Jenis pakan P. reticulatus yang dipanen berdasarkan hasil identifikasi dalam saluran pencernaan 5 Perbandingan hasil analisis morfometri 6 Rataan ukuran P.reticulatus sebelum dan sesudah dikuliti dari panenan di kota Rantauprapat dan desa Rapuan Ilir 7 Perbandingan rataan ukuran badan dengan ukuran kulit 8 Total harga kulit dan daging dari spesimen yang diukur di desa Rapuan Ilir pada tanggal 29 - 30 Januari 2013
9 10 10 14 16 26 26 30
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran penelitian 2 Peta lokasi penelitian 3 Distribusi ukuran SVL P. reticulatus yang dipanen berdasarkan jenis kelamin 4 Distribusi ukuran SVL P. reticulatus yang dipanen berdasarkan jenis kelamin (Shine et al. 1999) 5 Peta lokasi penelitian 6 Bagan alir proses pengumpulan dan koleksi 7 Bagan alir proses pemotongan 8 Bagan alir proses pengulitan 9 (a) P. reticulatus reticulatus dalam bak penyimpanan, (b) proses pengulitan dengan belah punggung pertengahan, (c) pelepasan kulit dari daging, dan (d) pelebaran dinding tubuh P. reticulatus
4 8 11 12 19 21 23 24
25
DAFTAR LAMPIRAN 1 Korelasi Paired Samples
37
1
PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang
Pemanenan satwa liar merupakan suatu usaha manusia untuk memanfaatkan hidupan liar yang ada di sekitarnya bagi kesejahteraan manusia. Pemanenan yang awalnya ditujukan bagi pemenuhan kehidupan sehari-hari (subsistence) seiring waktu berubah menjadi pemanenan dalam jumlah besar untuk kepentingan komersial dan industri. Hilangnya habitat dan penangkapan satwaliar secara besar-besaran akan menyebabkan menurunnya jumlah tangkapan setiap tahunnya, mengurangi keuntungan bagi manusia dan dalam beberapa kasus akan mempercepat terjadinya kepunahan (Webb & Vardon 1998). Menurut Webb & Vardon (1998), satwaliar seringkali dianggap memiliki nilai ekonomi yang lebih rendah daripada nilai ekonomi habitatnya, sehingga habitatnya diluar hutan lindung akan diubah untuk penggunaan lain. Sedangkan satwaliar yang diketahui mempunyai nilai ekonomi tinggi, akan semakin banyak dieksploitasi. Kepunahan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Kepunahan masal pernah terjadi di dunia pada masa geologi lalu (Indrawan et al. 2007). Salah satu ancaman utama pada keanekaragaman hayati yang menyebabkan kepunahan adalah pemanfaatan spesies yang berlebihan untuk kepentingan manusia (Indrawan et al. 2007). Aktifitas manusia sudah berkontribusi pada 45% penyebab terjadinya penurunan populasi (Wheather 1994). Introduksi dan perusakan habitat menyebabkan kepunahan sebesar 39% dan 36% dari penyebab kepunahan yang diketahui, diikuti dengan perburuan yang menyebabkan kepunahan sebesar 23%. Dalam suatu skenario yang optimistik, spesies yang dieksploitasi biasanya akan menjadi sangat langka, sehingga perburuan akhirnya dihentikan dan diharapkan populasi akan kembali melimpah (Indrawan et al. 2007). Laju kepunahan bisa diperlambat dengan pengelolaan yang tepat. Pengelolaan satwaliar adalah seni untuk membuat lahan memproduksi satwaliar yang bernilai (Bailey 1982). Pengelolaan satwaliar merupakan bagian dari konservasi satwaliar. Bailey (1982) menyatakan bahwa konservasi secara sederhana didefinisikan sebagai penggunaan sumberdaya secara bijaksana. Menurut Bailey (1982) pula, konservasi adalah kehidupan yang harmonis antara manusia dengan alam. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 mendefinisikan konservasi sebagai pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (Sekditjen PHKA 2007a). Pengelolaan satwaliar harus dilakukan berdasarkan prinsip kelestarian hasil (Alikodra 1997). Ini berarti bahwa satwaliar dapat dipanen secara periodik tanpa mengurangi potensi perkembangbiakannya. Menurut Webb & Vardon (1998), arti dari penangkapan secara lestari dan hubungannya dengan konservasi masih cukup membingungkan. Penangkapan yang kurang dari batas maksimum perolehan secara lestari adalah lestari secara teoritis, sedangkan penangkapan pada atau dekat dengan batas maksimum perolehan secara lestari akan bersifat lebih riskan (Webb & Vardon 1998).
2
Salah satu satwa liar yang dimanfaatkan dalam jumlah besar di Indonesia adalah sanca batik (Python reticulatus). Undang-undang di Indonesia belum mengkategorikan ular sanca batik sebagai satwa dengan status dilindungi. Akan tetapi sejak tahun 1975 CITES telah memasukannya dalam kategori satwa appendix II (UNEP-WCMC 2009). Penelitian mengenai pemanfaatan sanca batik telah dilakukan pada tahun 1990an (Shine et al. 1999) namun demikian tidak ada pembaruan dari penelitian ini. Penelitian ulangan diperlukan untuk melihat kecenderungan populasi seiring waktu. Stuebing & Inger (1999) menyatakan bahwa ular terestrial sangat susah untuk diketahui densitasnya. Untuk itu, pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengukur estimasi kerapatan adalah dengan menghitung jumlah yang ditangkap seperti yang dilakukan oleh Shine et al. (1999). Pemanenan sanca batik bukan saja mendapat sorotan dari kalangan pemerhati ular luar negeri dari sisi populasi namun juga dari sisi etika dalam pemanfaatannya (TRAFFIC 2008). Laporan mengenai prosedur pengolahan hasil panenan sanca batik di Indonesia sangatlah minim, sehingga dirasa perlu untuk mendata prosedur yang telah dilakukan dan menelaah kemungkinan pengolahan yang berbasiskan kesejahteraan satwa. Tujuan Penelitian Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menganalisis karakteristik panenan terkini P. reticulatus di tempat pemotongan berdasarkan jumlah panenan, jenis kelamin, sex ratio, morfometri, kelas umur, kematangan reproduksi dan jenis pakan; 2) Menduga perubahan struktur populasi P. reticulatus; 3) Mengidentifikasi prosedur pengolahan kulit hasil panenan P. reticulatus di Sumatera Utara. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam: 1) Memberikan gambaran mengenai keadaan struktur populasi Python reticulatus di alam sebagai akibat adanya aktifitas penangkapan; 2) Memberikan informasi mengenai karakteristik panenan Python reticulatus di Sumatera Utara yang bisa digunakan sebagai dasar ilmiah dalam melakukan tindakan pengelolaan; 3) Menjadi salah satu pertimbangan bagi satuan kerja lingkup Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Kehutanan selaku Management Authority dalam penentuan kebijakan Python reticulatus. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah mendapatkan data ular sanca batik (Python reticulatus) yang tertangkap dan dipotong di dua rumah potong ular yaitu di desa Rapuan Ilir Kabupaten Simalungun dan kota Rantauprapat untuk mengetahui karakteristik panenan ular sanca batik (Python reticulatus) di Sumatera Utara. Hasil penelitian ini disajikan dalam 2 (dua) makalah, yaitu:
3
Makalah 1: Karakteristik Panenan Ular Sanca Batik Python reticulatus di Sumatera Utara, bertujuan; 1) menganalisis karakteristik panenan terkini P. reticulatus di tempat pemotongan berdasarkan jumlah panenan, jenis kelamin, sex ratio, morfometri, kelas umur, kematangan reproduksi dan jenis pakan 2) menduga perubahan struktur populasi P. reticulatus. Makalah 2: Pengolahan Kulit Hasil Panenan Python reticulatus di Sumatera Utara, bertujuan untuk mengidentifikasi prosedur pengolahan kulit hasil panenan P. reticulatus di Sumatera Utara dan menganalisis kesesuaian prosedur dengan etika kesejahteraan hewan. Kerangka Pemikiran Penelitian Tindakan pemanenan untuk tujuan konsumsi dan perdagangan meningkatkan peluang kematian pada populasi satwaliar yang dipanen dan pada gilirannya memicu penurunan ukuran bahkan kepunahan populasi satwaliar tersebut. Oleh karena itu, pemanenan terhadap populasi satwaliar seharusnya dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip kelestarian. Pemanenan satwaliar secara lestari adalah konsep pemanfaatan satwaliar melalui pemanenan sejumlah anggota populasi dari habitat alaminya tanpa melebihi kemampuan populasi tersebut untuk mempertahankan ukuran minimum lestarinya melalui proses reproduksi. Konsep ini membutuhkan banyak pertimbangan dan informasi/data mengenai kondisi demografi, ekologi maupun biologi populasi satwaliar tersebut untuk dapat menentukan jumlah dan waktu panen serta ukuran maupun jenis kelamin individu satwa yang akan dipanen. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakteristik tangkapan, biologi reproduksi, sex ratio, kelas umur, morfometri dan jenis pakan serta prosedur pengolahan dan penanganan Python reticulatus di Sumatera Utara yang bisa digunakan sebagai dasar ilmiah dalam melakukan tindakan pengelolaan. Berdasarkan hal di atas, kerangka pemikiran penelitian ini disajikan sebagaimana alur pada Gambar 1.
Python reticulatus di tempat pemotongan
Jumlah tangkapan
Reproduksi
Kelas umur
Sex ratio
Morfometri
Koleksi
ANALISIS DATA
Hasil tangkapan terkini
Jumlah tangkapan
Menurun
Biologi Reproduksi
Sex ratio
PERBANDINGAN
4
Karakteristik panenan & prosedur pengolahan P. reticulatus di tempat pemotongan Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Hasil penelitian Shine et al. (1999)
Kelas umur
Morfometri
Tetap/ meningkat
Penanganan
2
KARAKTERISTIK PANENAN ULAR SANCA BATIK Python reticulatus DI SUMATERA UTARA Abstract
Reticulated pythons is one of reptile currently getting international concern due to their high exploitation as export commodity. Over exploitation would impact to their population density. Several studies have shown that characterics of basic ecological attributes of exploited species may describes the condition of their population in nature. Therefore, the study conducted in North Sumatra aimed to analyzed the characteristics of Reticulated python harvesting in slaughterhouse and to assessed changes of population structure. Sex ratio from 272 specimens analysed from the slaughterhouse was 1: 0.86, or 53.68% males and 46.32% females. Age class categorie consist of 79 juvenile (29.04%) with sex ratio of 1: 0.42 and 193 adult (70.96%) with sex ratio 1: 0.93. Mean snout vent length (SVL) of harvested Reticulated python was 272.67 cm (SD = 37.76). There was a significant difference in SVL between males (mean = 267, SD = 37.04) and females (mean = 278, SD = 37.91) at the same age class (p = 0.019). The results of this study support the conclusion of previous studies that commercial skin trade does not terminatey the population of Reticulated python in Indonesia. However, the tendency of smaller body size of harvesting python compared to previous studies indicate the possibility of excessive harvest. Keywords: Harvesting characteristics, North Sumatra, P. reticulatus Abstrak Ular sanca batik atau P. reticulatus merupakan salah satu spesies yang mendapat perhatian dunia terkait pemanfaatannya sebagai komoditas ekspor yang cukup tinggi. Pemanfaatan yang berlebih dikhawatirkan akan mengancam kestabilan populasinya di alam. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa karakteristik panenan menggambarkan kondisi populasi hewan di alam. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan di Sumatera Utara ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik panenan P. reticulatus di tempat pemotongan dan menduga perubahan struktur populasinya. Data yang dianalisis meliputi jumlah panenan, jenis kelamin, sex ratio, morfometri, kelas umur, kematangan reproduksi dan jenis pakan. Selama penelitian teridentifikasi 272 ekor P. reticulatus dengan perbandingan 146 ekor jantan dan 126 ekor betina. Sex rasio dari 272 ekor P. reticulatus yang dibedah adalah 1 : 0.86, atau 53.68% jantan dan 46.32% betina, kelas umur juvenile 79 ekor (29.04%) dengan sex rasio 1 : 0.42 dan dewasa 193 ekor (70.96%) dengan sex rasio 1 : 0.93. Rerata SVL P. reticulatus yang dipanen adalah 272.67 cm (SD = 37.76). Berdasarkan jenis kelamin maka terdapat perbedaan antara ukuran SVL jantan (rerata = 267, SD = 37.04) dan betina (rerata = 278, SD = 37.91) pada kelas umur yang sama (t270 = -2.363, p = 0.019). Ukuran testis terbesar jantan matang kelamin (n = 63) pada ukuran SVL 335 cm dan ukuran folikel terbesar betina matang kelamin (n = 22) terdapat pada betina ukuran SVL 329 cm. Pada 272 ekor P. reticulatus yang dibedah, diperiksa saluran
6
pencernaannya, 261 ekor tidak ditemukan sisa pakan. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa perdagangan kulit komersial tidak memusnahkan populasi P. reticulatus di Indonesia, namun demikian ukuran tubuh panenan yang lebih kecil dari penelitian sebelumnya memberikan sinyal kemungkinan terjadinya panenan berlebih. Kata kunci : Karakteristik panenan, P. reticulatus, sanca batik, Sumatera Utara Pendahuluan Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor reptil dalam dua dekade terakhir ini (Soehartono & Mardiastuti 2002). Python reticulatus (P. reticulatus) merupakan salah satu spesies reptil dengan permintaan yang tinggi (Mardiastuti & Soehartono 2003) sehingga banyak dieksploitasi (Abel 1998, Requier 1998, Shine et al. 1998a, Yuwono 1998, Auliya et al. 2002, Mardiastuti & Soehartono 2003). Periode tahun 1983 – 1999, rata-rata jumlah ekspor per tahun kulit P. reticulatus dari Indonesia mencapai 230 957 lembar (Mardiastuti & Soehartono 2003). Pada tahun 2000 jumlah ekspor kulit P. reticulatus 158 400 lembar dan ekspor untuk pet 3 600 ekor. Pada periode dua tahun terakhir, yakni tahun 2013 jumlah ekspor kulit P. reticulatus 157 500 lembar dan ekspor untuk pet 4 800 ekor (Ditjen PHKA 2013), sedangkan tahun 2014 jumlah ekspor kulit P. reticulatus meningkat menjadi 175 200 lembar dan ekspor untuk pet 3 600 ekor (Ditjen PHKA 2014). Tingginya tingkat pemanfaatannya sebagai komoditas ekspor, menyebabkan P. reticulatus menjadi salah satu spesies yang mendapat perhatian dunia terkait dengan kestabilan populasinya di alam. Sesuai kesepakatan internasional, tingkat eksploitasi komersial hidupan liar harus dikontrol agar lestari secara ekologis dalam jangka waktu yang panjang (Alikodra 1997). Ini berarti bahwa satwaliar dapat dipanen secara periodik tanpa mengurangi potensi perkembangbiakannya. Dasar umum yang biasa dipakai untuk mengevaluasi pemanenan lestari meliputi kuantifikasi tingkat sumber daya dan ketetapan dari kemampuan sumber daya untuk bertahan dari berbagai macam eksploitasi pada berbagai tingkat intensitas. Namun demikian, masih ditemukan hambatan untuk mencapai tujuan tersebut, baik dari segi merancang maupun melaksanakan manajemen strategis yang efektif. Meskipun telah dilakukan pemantauan populasi hidupan liar yang dieksploitasi, kenyataannya adalah banyak spesies yang dieksploitasi tidak dapat terpantau. Rata-rata eksploitasi P. reticulatus untuk tujuan komersial di Asia Tenggara sekitar 300 000 ekor per tahun. Hal ini meningkatkan kekhawatiran karena akan berpengaruh terhadap keberlanjutan perdagangan P. reticulatus. Untuk menetapkan jumlah panenan lestari yang dibutuhkan adalah data laju pertumbuhan populasi dan ukuran populasinya. Permasalahan dalam memahami kondisi populasi di alam pada kelompok reptil adalah sifat satwa yang tidak memungkinkan dilakukan sampling dalam satu satuan waktu yang pendek (Shine et al. 1998a, Schlaeper et al. 2005, Iskandar & Erdelen 2006). Oleh karena itu, sangat dibutuhkan teknik untuk menentukan tingkat pemanenan lestari secara cepat, mudah dan murah. Dengan demikian, teknik alternatif untuk mengevaluasi keberlanjutan sangat dibutuhkan sebagai indikator penting mengenai kondisinya di alam sehingga dapat dicapai suatu keputusan yang tepat yang berasaskan
7
“sustainable harvest” (TRAFFIC 2008). Salah satu cara adalah melakukan pemantauan terhadap hasil yang dipanen yang ada di tempat pemotongan. Pemantauan tentang panenan P. reticulatus melalui pemotongan pernah dilakukan oleh Shine et al. (1999) pada kurun waktu tahun 1996 – 1997, diantaranya dilakukan di Provinsi Sumatera Utara. Setelah penelitian Shine et al. (1999) tidak ada data terbarui terkait pemantauan panenan di tempat pemotongan. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian terkini untuk mengetahui perubahan pemanfaatan python dan kemungkinan efek jangka panjang pemanfaatan ular ini di Sumatera Utara. Provinsi Sumatera Utara menjadi pusat perdagangan utama reptil di pulau Sumatera. Berdasarkan data jumlah penangkapan satwaliar yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) selaku Management Authority Indonesia, untuk periode tahun 2005 – 2009, Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi dengan jumlah penangkapan terbesar. Ada dua jenis reptil yang jumlah tangkapnya terbesar di Provinsi Sumatera Utara, yaitu ular sanca darah merah (Python brongersmai), dan biawak air tawar (Varanus salvator). Untuk jenis ular sanca batik (P. reticulatus), Provinsi Sumatera Utara menduduki peringkat kedua setelah Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis karakteristik panenan terkini P. reticulatus di tempat pemotongan berdasarkan jumlah panenan, jenis kelamin, sex ratio, kelas umur, morfometri, kematangan reproduksi dan jenis pakan; 2) menduga perubahan struktur populasi P. reticulatus. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkini mengenai karakteristik panenan dan perubahan struktur populasi P. reticulatus di Sumatera Utara yang dapat digunakan sebagai dasar ilmiah dalam melakukan tindakan pengelolaan. Bahan dan Metode Lokasi dan Waktu Lokasi pengumpulan data adalah di tempat pengumpul yang memiliki rumah pemotongan P. reticulatus. Ular-ular tersebut dikumpulkan dari berbagai daerah baik di sekitar wilayah kecamatan, kabupaten maupun kota di Sumatera Utara, yang diangkut dalam keadaan hidup ke rumah pemotongan. Penelitian dilakukan selama 18 hari di dua rumah potong P. reticulatus yaitu Desa Rapuan Ilir Kabupaten Simalungun tanggal 29 Januari – 30 Januari 2014 dan Kota Rantauprapat pada tanggal 6 – 21 Pebruari 2014. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2. Metode Pengumpulan Data Di lokasi pemotongan, setiap individu P. reticulatus yang baru saja dimatikan segera diamati sebelum dan sesudah dikuliti. Parameter yang dicatat saat pengamatan adalah jumlah panenan, morfometri, jenis kelamin, bagian reproduksi (telur dan testis) dan jenis pakan. Jumlah panenan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah jumlah tangkapan yang dipotong di tempat pemotongan. Data panenan dikumpulkan
8
dengan memeriksa spesimen saat proses pemotongan. Jumlah panenan di tempat pemotongan ditentukan dengan cara menghitung langsung seluruh spesimen yang di potong. Pendekatan dasar yang dilakukan adalah mengumpulkan informasi tentang spesimen yang ditangkap untuk mendokumentasikan sifat dasar dan bias yang melekat dalam proses penangkapan (misalnya: konsentrasi pada ukuran tertentu, jenis kelamin atau musim).
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian Variabel yang diukur untuk mendapatkan data morfometri adalah Snout-vent length (SVL) yaitu panjang tubuh mulai dari moncong sampai kloaka (cm), bobot tubuh (g) dan jenis kelamin (Reinert 1993, TPBC 1998) serta panjang badan yaitu panjang dari leher sampai kloaka (cm), panjang ekor yaitu panjang dari kloaka sampai ujung tubuh (cm), panjang kepala yaitu panjang dari moncong sampai belakang thorax (cm) dan jarak antar mata (cm). Pengukuran panjang ekor dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai panjang total ular (TPBC 1998). Informasi tentang panjang badan digunakan sebagai indikator utama penangkapan ular yang diperdagangkan. Pengukuran terhadap semua variabel dilakukan dengan menggunakan pita ukur (ketelitian 0.1 cm). Setelah python dikuliti kemudian diamati bangkai ular untuk menentukan jenis kelamin dan kondisi reproduksi (dengan pemeriksaan langsung dari gonad). Telur dan testis diambil dan dipindahkan ke dalam kantong-kantong plastik yang telah diberi label, kemudian ditimbang, dihitung dan diukur jumlah telur folikel kecil dan besar. Panjang dan diameter testis diukur kemudian volume testis ditimbang (James & Shine 1985). Panjang dan diameter testis diukur menggunakan kaliper ketelitian 0.1 mm dan volume testis ditimbang menggunakan timbangan analitik ketelitian 0.001 mg. Jantan digolongkan sebagai dewasa jika memiliki testis besar dan saluran eferen menebal serta berwarna buram. Betina yang diklasifikasikan sebagai dewasa jika memiliki telur folikel
9
ovarium vitellogenesis (diameter > 10 mm), corpus luteum atresia, dan/atau saluran otot telur yang menebal. Setiap item mangsa dalam saluran pencernaan diamati untuk identifikasi. Jenis-jenis pakan yang berhasil diidentifikasi melalui pengamatan langsung disajikan dalam bentuk tabulasi jenis pakan P. reticulatus. Pendugaan perubahan atau kecenderungan struktur populasi (trend pemanenan) dilakukan dengan membandingkan data hasil penelitian yang diperoleh pada saat penelitian dilakukan dengan data hasil penelitian yang dilakukan oleh Shine et al. (1999) pada tahun 1996 – 1997 dengan membandingkan hasil dari analisis terhadap morfometri. Analisis Data Normalitas data diuji dengan menggunakan uji One Sample Kolmogorov Smirnov. Analisis sex ratio dilakukan untuk mengetahui proporsi jantan dan betina pada jumlah individu yang dipanen. Hubungan antara variabel dengan peubah SVL diuji dengan menggunakan Regresi Linier. Perbedaan variabel antar jenis kelamin diuji dengan menggunakan Independent Sample T Test pada selang kepercayaan 95%. Analisis data yang didapatkan dari kedua lokasi digabungkan karena trend dan perlakuan yang sama di kedua lokasi tersebut. Hasil Jumlah Panenan Panenan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah jumlah tangkapan yang dipotong di tempat pemotongan. Data panenan dikumpulkan dengan memeriksa spesimen saat dilakukan proses pemotongan. Selama penelitian teridentifikasi 272 ekor P. reticulatus dengan perbandingan 146 ekor jantan (53.68%) dan 126 ekor betina (46.32%). Sex Ratio dan Kelas Umur Sex ratio dari 272 ekor P. reticulatus adalah 1 : 0.86, atau 53.68% jantan dan 46.32% betina. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah individu jantan yang dipanen lebih banyak dibandingkan betina. Panenan P. reticulatus pada kelas umur juvenil 79 ekor (29.04%) dengan sex ratio 1 : 0.42 dan dewasa 193 ekor (70.96%) dengan sex ratio 1 : 0.93 (Tabel 1). Tabel 1 Kelas umur P. reticulatus yang dipanen Jantan Betina
Juvenil (ekor) 46 33
Dewasa (ekor) 100 93
Dari hasil tersebut tergambar bahwa panenan P. reticulatus pada kelas umur juvenil 79 ekor (29.04%) dengan sex ratio 1 : 0.42 dan dewasa 193 ekor (70.96%) dengan sex ratio 1 : 0.93. Morfometri Rerata SVL P. reticulatus yang dipanen adalah 272.67 cm (SD = 37.76). Data morfometri P. reticulatus yang dipanen selengkapnya seperti yang disajikan pada Tabel 2.
10
Tabel 2 Data morfometri P. reticulatus yang dipanen di kota Rantauprapat dan desa Rapuan Ilir Aspek morfometri
N
Massa tubuh (g)
Mean
35 8500.00
Std. Minimum Maximum Deviation 348.72
KS
2500.00 14300.00 0.585
Panjang ekor (cm)
271
42.53
6.79
13.00
58.00 0.006
Panjang kepala (cm)
272
8.47
1.07
5.50
12.50 0.000
Jarak antar mata (cm)
107
2.96
0.65
1.50
4.50 0.010
Diameter perut (cm)
86
23.80
3.99
15.00
32.00 0.193
Panjang total (cm)
272 314.28
42.17
210.00
442.50 0.792
SVL (cm)
272 272.67
37.76
183.00
404.00 0.156
Panjang badan (cm)
272 263.44
37.24
173.00
395.00 0.526
Berdasarkan jenis kelamin terdapat perbedaan antara ukuran SVL jantan (rerata = 267 cm, SD = 37.04) dan betina (rerata = 278 cm, SD = 37.91) pada kelas umur yang sama (p = 0.019) seperti yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Perbandingan rataan ukuran morfometri P. reticulatus jantan dan betina Jenis kelamin
N
x ± SD
Std. Error Mean
Jantan
21
787.62 ± 331.81
72.41
Betina
14
943.57 ± 364.62
97.45
Jantan
42
23.40 ± 4.27
0.66
Betina
44
24.17 ± 3.72
0.56
Jantan
146
309.08 ± 40.41
3.34
Betina
126
319.29 ± 42.49
3.79
Jantan
146
267.68 ± 37.04
3.06
Betina
126
278.44 ± 37.91
3.38
Panjang badan (cm) Jantan
146
259.31 ± 36.34
3.01
Betina
126
268.22 ± 37.84
3.37
Morfometri Bobot tubuh (g) Diameter perut (cm) Panjang total (cm) SVL (cm)
t-test 0.199 0.377 0.043 0.019 0.049
Peubah SVL berhubungan nyata dengan massa tubuh (n=35, r2=0.826, p=0.000). Hubungan SVL dengan massa tubuh membentuk persamaan SVL = 216.63 + 0.091 (Massa Tubuh). Peubah SVL berhubungan nyata dengan diameter perut (n=86, r2=0.774, p=0.000). Hubungan SVL dengan diameter perut membentuk persamaan SVL = 81.76 + 8.17 (Diameter Perut). Hal tersebut mengindikasikan adanya dimorfisme seksual antara jantan dan betina.
11
Jantan 50 45 40
Jumlah
35 30 25 20
Juvenile
15
Adult
10 5 1100 1350 1600 1850 2100 2350 2600 2850 3100 3350 3600 3850 4100 4350 4600 4850 5100 5350 5600 5850
0
Snout-vent length (mm)
Betina 35 30
Jumlah
25 20
Juvenile
15
Adult
10 5
1100 1350 1600 1850 2100 2350 2600 2850 3100 3350 3600 3850 4100 4350 4600 4850 5100 5350 5600 5850
0
Snout-vent length (mm)
Gambar 3 Distribusi ukuran SVL P. reticulatus yang dipanen berdasarkan jenis kelamin Meskipun distribusi SVL antara jantan dan betina relatif sama namun pada ukuran SVL yang sama, pada jantan sudah dewasa sementara pada betina masih muda. Distribusi SVL antara jantan dan betina seperti yang disajikan pada Gambar 3. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Shine et al. (1999) di Sumatera Utara yang menyatakan bahwa meskipun distribusi ukuran tubuh jantan dan betina relatif sama, tetapi terdapat perbedaan ukuran tubuh pada SVL yang sama dimana kebanyakan dari jantan sudah dewasa sementara setengah dari betina adalah juvenil (Gambar 4).
12
Gambar 4 Distribusi ukuran SVL P. reticulatus yang dipanen berdasarkan jenis kelamin (Shine et al. 1999) Reproduksi Ukuran testis terbesar jantan matang kelamin (n = 63) pada ukuran SVL 335 cm dengan berat testis kanan 42.63 g dan berat testis kiri 38.43 g, diameter testis kanan 27.5 mm dan diameter testis kiri 21 mm, panjang testis kanan 200 mm dan testis kiri 180 mm, dan testis berwarna putih kekuningan. Ukuran testis terkecil jantan matang kelamin pada ukuran tubuh 303 cm dengan berat testis kanan 2.91 g dan berat testis kiri 3.29 g, diameter testis kanan 11 mm dan diameter testis kiri 12 mm, panjang testis kanan 75 mm dan testis kiri 68 mm, dan testis berwarna putih kekuningan. Ukuran folikel terbesar betina matang kelamin (n = 22) terdapat pada betina ukuran SVL 329 cm dengan berat folikel 500 g dan diameter 35 mm. Ukuran folikel terkecil betina matang kelamin terdapat pada betina ukuran SVL 295 cm dengan berat folikel 25.19 g dan diameter 11 mm. Pada saat penelitian dilakukan, tidak semua dewasa yang dibedah berada pada kondisi reproduksi aktif, beberapa jantan dewasa dan betina dewasa dalam keadaan non reproduktif. Jenis Pakan Pada 272 ekor P. reticulatus yang dibedah untuk diperiksa saluran pencernaannya, 261 ekor tidak ditemukan sisa pakan. Pada 11 ekor P. reticulatus ditemukan tikus dan ayam pada saluran pencernaannya. Jenis pakan yang ditemukan pada saluran pencernaan disajikan pada Tabel 4.
13
Tabel 4 Jenis pakan P. reticulatus yang dipanen berdasarkan hasil identifikasi dalam saluran pencernaan
Family Muridae Phasianidae
Species Rat (Rattus sp.) Domestic chicken (Gallus gallus)
Jumlah mangsa (ekor)
Jumlah jantan Jumlah betina (ekor) (ekor) Juvenil Dewasa Juvenil Dewasa
10
1
5
1
3
1
-
-
-
1
Pembahasan Jumlah Panenan Secara umum, P. reticulatus yang tertangkap di Sumatera Utara memiliki ukuran yang bervariasi, namun terdapat ukuran yang dominan tertangkap. Modus ukuran tersebut diduga merupakan P. reticulatus yang siap untuk ditangkap. Peluang P. reticulatus jantan dan betina untuk tertangkap adalah sama karena eksploitasi P. reticulatus oleh penangkap tidak mempertimbangkan jenis kelamin. Pada penelitian ini, jumlah jantan yang dipanen lebih banyak (53.68%) daripada betina. Hal ini sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan Shine et al. (1999) yang menyatakan bahwa sebagian besar (52%) P. reticulatus yang dipanen adalah jantan. Kemungkinan ini bisa terjadi karena memang jumlah jantan lebih banyak dibandingkan betina. Selama 50 hari penelitian Shine et al. (1999) menghasilkan 784 ekor Python reticulatus, maka rata-rata tangkapan perhari adalah 15.68 ekor, sedangkan pada penelitian ini, selama 18 hari penelitian menghasilkan 272 ekor Python reticulatus, maka rata-rata tangkapan perhari adalah 15.11 ekor. Hal ini mengindikasikan tidak ada perbedaan terhadap jumlah panenan saat penelitian ini dilakukan dengan penelitian Shine et al. (1999). Sex Ratio dan Kelas Umur Menurut Duvall et al. (1998), sistem perkawinan ular bisa poligami, poliandri, poligini maupun monogami, namun lebih banyak kecenderungan untuk poligini. Pada jenis satwaliar yang bersifat poligami, perbandingan akan dianggap seimbang jika betina lebih banyak dari jantan. Pada jenis satwaliar yang bersifat poligini, akan seimbang jika jantan lebih banyak dari betina. Sistem perkawinan P. reticulatus adalah poligini (Shine 1998). Pada kondisi sistem perkawinan poligini, jumlah jantan lebih banyak dari betina untuk mendapatkan perkawinan yang optimal hasilnya. Dengan demikian dapat diindikasikan bahwa proporsi jantan dan betina yang dihasilkan pada penelitian ini normal karena lebih banyak jantan dari pada betina. Keseimbangan jumlah jantan dan betina menjadi sangat penting untuk menjamin keberlangsungan populasi P. reticulatus. Jumlah panenan paling besar sesuai dengan hasil penelitian ini terjadi pada kelas umur jantan dewasa. Kematian karena panenan tidak terjadi pada kelas umur
14
bayi. Kelas umur bayi dan muda sangat sedikit karena penangkap menganggap ukuran SVL pada kelas ini masih terlalu kecil dan tidak memberi keuntungan. Keadaan seperti ini memberi nilai positif pada upaya kelestarian karena dengan ditangkapnya ular pada kelas umur tertentu saja, memberikan kesempatan pada kelas umur lain untuk tumbuh dan berkembang hingga mencapai kelas umur yang sesuai untuk dipanen. Terdapat perbedaan sex ratio antara kelas umur muda dan dewasa dimana pada kelas umur muda, jumlah betina yang dipanen lebih banyak daripada jantan. Pada pembagian kelas umur berdasarkan ukuran tubuh, ada perpotongan antara kelas umur betina muda dan jantan dewasa, sehingga pada perpotongan tersebut betina masih muda sementara pada jantan sudah merupakan jantan dewasa. Kelas umur jantan dewasa yang dipanen mempunyai persentase 37.13% dari seluruh ular yang dipanen, kelas umur betina dewasa 34.19%, jantan juvenile 16.54%, betina juvenile 12.13% dan 69.18% dari jantan yang ditangkap adalah jantan dewasa. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Shine et al. (1999) yang menyatakan bahwa P. reticulatus yang dipanen di Sumatera pada saat penelitian dilakukan, sebagian besar adalah jantan (52%), dan 89% dari jantan yang ditangkap adalah jantan dewasa. Menurut Shine et al. (1999), kemungkinan ini bisa terjadi karena memang jantan lebih banyak jumlahnya dibandingkan betina. Terdapat perbandingan yang cukup besar antar kelas umur dewasa yang dipanen dengan kelas umur lain, ini berarti terjadi penangkapan yang besar pada kelas umur dewasa atau dengan kata lain tingkat kematian pada kelas umur dewasa jauh lebih besar daripada tingkat kematian pada kelas umur lainnya. Kemungkinan ini bisa terjadi karena pasar menghendaki ukuran minimal untuk perdagangan. Morfometri Rerata SVL P. reticulatus yang dipanen adalah 272.67 cm (SD = 37.76). Peubah SVL berhubungan nyata dengan bobot tubuh (n=35, r2=0.826, p=0.000). Berdasarkan hasil korelasi regresi antara pertambahan SVL dengan bobot tubuh secara keseluruhan diperoleh nilai r2=0.826, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara pertambahan SVL dengan bobot tubuh ular yaitu jika SVL bertambah maka bobot tubuh juga akan bertambah. Hubungan SVL dengan bobot tubuh membentuk persamaan SVL = 216.63 + 0.091 (Bobot tubuh). Peubah SVL berhubungan nyata dengan diameter perut (n=86, r2=0.774, p=0.000). Berdasarkan hasil korelasi regresi antara pertambahan SVL dengan diameter perut secara keseluruhan diperoleh nilai r2=0.774, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara pertambahan SVL dengan diameter perut ular yaitu jika SVL bertambah maka diameter perut juga akan bertambah. Hubungan SVL dengan diameter perut membentuk persamaan SVL = 81.76 + 8.17 (Diameter perut). Morfometri jantan dan betina yang relatif sama juga menjadikan tidak adanya pemilihan jenis kelamin yang dipanen. Hal ini menyebabkan panenan dilakukan tanpa memilih jenis kelamin sehingga sesuai dengan prinsip kelestarian karena jumlah yang banyak yang mempunyai kemungkinan untuk ditangkap. Artinya bila jantan lebih banyak di alam, maka kemungkinan yang tertangkap jantan akan lebih besar dibandingkan betina. Jumlah populasi jantan yang dipanen
15
lebih banyak dibandingkan dengan betina, sehingga pemanenan yang dilakukan telah mengindikasikan panenan lestari. Reproduksi Dewasa kelamin pada ular sanca pada umur antara 2 – 4 tahun dengan panjang tubuh pada jantan antara 2.1 – 2.7 meter dan betina 3.4 meter (Mexico 2000). Namun, umur pubertas ular yang kurang asupan makanan dapat lebih terlambat. Para ilmuwan dan ahli herpetologi telah mengobservasi bahwa ada hubungan antara bobot badan dengan keberhasilan reproduksi pada reptil khususnya ular. Dimana betina yang kurang bobot badannya kurang sukses pula dalam perkawinan, bahkan proses ovulasi dapat terhambat. Betina yang tidak cukup suplai makanannya akan menjadi anorexia/kelaparan (Ross & Marzec 1990), sehingga besar kemungkinan terjadinya kematian sebelum masa kebuntingan berlangsung. Frekuensi reproduksi betina dewasa menjadi satu variabel yang paling penting menentukan kemampuan populasi P. reticulatus untuk menahan tingkat panenan yang tinggi, tapi merupakan suatu kondisi yang kompleks mengenai pergeseran frekuensi reproduksi dengan ukuran tubuh betina dewasa di P. reticulatus (Shine et al. 1998a), sehingga perubahan distribusi ukuran betina cenderung mempengaruhi frekuensi reproduksi juga. Jenis Pakan Tidak ditemukannya sisa mangsa pada sebagian besar saluran pencernaan P. reticulatus diduga karena ular dapat bergerak lebih banyak ketika lapar, sehingga lebih berpeluang untuk bertemu dengan manusia dan ditangkap. Di sisi lain, ular dapat mempertahankan sisa makanan di saluran pembuangan untuk waktu yang sangat lama setelah makan, mangsa yang lebih besar (yang lebih mungkin untuk dimakan oleh ular besar) lebih cenderung untuk meninggalkan sisa-sisa untuk diidentifikasi daripada mangsa kecil (Shine et al. 1999). Tikus dan ayam negeri yang ditemukan pada saluran pencernaan sebagian kecil P. reticulatus mengindikasikan bahwa habitat tangkap P. reticulatus di Sumatera Utara adalah lokasi dengan penggunaan intensif untuk aktifitas pertanian, khususnya pada kebun kelapa sawit dan karet (Shine et al. 1999). Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh para penangkap dan pemilik rumah potong saat penelitian ini dilakukan. Keberadaan P. reticulatus di kebun kelapa sawit kemungkinan berhubungan dengan ketersediaan makanan dan air di lokasi tersebut. Jenis makanan yang tersedia di kebun kelapa sawit misalnya tikus, burung, katak, tupai dan mamalia kecil lainnya. Keberadaan P. reticulatus di lokasi yang merupakan areal di luar hutan dan bahkan merupakan areal dengan penggunaan intensif oleh manusia, mengindikasikan bahwa P. reticulatus mempunyai tingkat toleransi yang tinggi terhadap manusia. Sehingga dapat diartikan bahwa P. reticulatus bukan jenis satwa yang rentan dan mudah terganggu dengan keberadaan manusia di sekitarnya. Pendugaan Perubahan Struktur Populasi Terdapat kecenderungan perubahan ukuran SVL yang dipanen saat ini dibandingkan panenan pada 18 tahun yang lalu. Perbandingan morfometri P. reticulatus untuk melihat trend pemanenan yang terjadi di Sumatera Utara seperti yang disajikan pada Tabel 5.
16
Tabel 5 Perbandingan hasil analisis morfometri Ukuran SVL SVL matang kelamin (cm) Jantan Betina Rataan SVL dewasa (cm) Jantan Betina SVL terbesar (cm) Jantan Betina
Tahun 1996 – 1997 (Shine et al. 1999)
Tahun 2014
190 240
251 252
262.8 315.3
273 286
460 580
404 364
Menurunnya ukuran SVL P. reticulatus yang dipanen pada jantan (460 cm menjadi 404 cm) dan betina (580 menjadi 364) kemungkinan karena memang ukuran tersebut yang tersedia di habitat tangkapnya. Hal ini dapat pula mengindikasikan semakin berkurangnya P. reticulatus pada ukuran yang lebih besar. Ular lebih besar cenderung memilih mangsa yang lebih besar (Hoesel 1959), sementara pakan yang tersedia saat ini umumnya berukuran kecil (tikus). Namun demikian, perubahan ukuran yang dipanen bisa jadi indikasi bahwa telah terjadi penangkapan ular yang berukuran lebih besar sehingga populasi cenderung terdiri dari ular yang lebih muda. SVL matang kelamin P. reticulatus yang dipanen bertambah, pada jantan (190 menjadi 251) dan betina (240 menjadi 252) disebabkan oleh ketersediaan dan pilihan jenis pakan. Umur pubertas dapat lebih lambat pada ular yang kekurangan asupan pakan. Sejumlah besar hewan yang diambil untuk perdagangan kulit cenderung menekan kelimpahan lokal P. reticulatus dan mungkin mengeliminasi sebagian kecil hewan dengan ukuran yang lebih besar dari habitat yang sangat terfragmentasi namun tidak mengakibatkan kepunahan. Simpulan Panenan ular sanca batik didominasi oleh jantan dewasa dengan jumlah yang tidak berbeda jauh dengan penelitian Shine et al. (1999) namun dengan karakteristik morfometri yang berbeda. Struktur populasi didominasi oleh ular dengan kelas umur berdasarkan SVL yang lebih kecil daripada hasil penelitian Shine et al. (1999) yang mengindikasikan adanya pengaruh pemanenan atau tekanan habitat.
17
3
PENGOLAHAN KULIT HASIL PANENAN ULAR SANCA BATIK P. reticulatus DI SUMATERA UTARA DAN IMPLIKASI TERHADAP KESEJAHTERAAN HEWAN Abstrak
The high demand of P. reticulatus skin for fashion needs make the leather business of P. reticulatus able to survive. To determine the processing of P. reticulatus culling in Indonesia, we conducted research with 272 P. reticulatus inspection at the slaughterhouse in North Sumatra. This study aims to identify the procedure of P. reticulatus leather processing in North Sumatra. P. reticulatus leather processing procedure at the slaughterhouse consists of harvesting and collections process, the process of culling and cutting process. The later activities had raised critics from International conservationist due to related issues regarding animal welfare. The cutting process conducted in North Sumatra began with a strike at the head of P. reticulatus until they were considered dead. Afterwards, the leather were skinned and peeled, nailed and dried. Before skinning, average body length of P. reticulatus was 2.58 m (n = 232, SD = 0.36) however after it was driedthe average body length was 3.62 m (n = 232, SD = 0.51). The mean diameter of P. reticulatus stomach before skinning was 23.28 cm (n = 72, SD = 0.45) and after dried, the average width became 34.13 cm (n = 72, SD = 0.56). Keywords : North Sumatera, P. reticulatus, reticulated python, skin processing procedure Abstrak Tingginya permintaan kulit P. reticulatus untuk kebutuhan fashion membuat usaha pengulitan P. reticulatus tetap bertahan. Untuk mengetahui proses pengolahan kulit P. reticulatus di Indonesia dilakukan penelitian dengan pemeriksaan 272 ekor P. reticulatus di tempat pemotongan di wilayah Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi prosedur pengolahan kulit hasil panenan P. reticulatus di Sumatera Utara. Prosedur pengolahan kulit P. reticulatus di tempat pemotongan terdiri atas proses pengumpulan dan koleksi, proses pemotongan dan proses pengulitan. Proses pemotongan menjadi isu para pemerhati konservasi satwa luar negeri karena dianggap tidak memperhatikan kesejahteraan satwa. Proses pemotongan yang dilakukan di Sumatera Utara dimulai dengan memukul kepala ular sanca batik sampai dianggap mati kemudian dikuliti. Setelah dikuliti, kulit dipaku dan dijemur. Sebelum dikuliti rerata panjang badan P. reticulatus 2.58 m (n = 232, SD = 0.36) dan setelah dikuliti rerata panjang kulit kering 3.62 m (n = 232, SD = 0.51). Rerata diameter perut P. reticulatus sebelum dikuliti 23.28 cm (n = 72, SD = 0.45) dan setelah dikuliti rerata lebar kulit kering 34.13 cm (n = 72, SD = 0.56). Kata kunci : P. reticulatus, pengolahan kulit, Sumatera Utara
18
Pendahuluan Ular sanca batik (P. reticulatus) adalah spesies python terbesar atau terbesar kedua di dunia, tercatat bahwa spesimen ini memiliki panjang 9 m dan berat 150 kg (Pope 1975). Kulit dari spesies ini sangat dicari untuk industri kulit komersial, dan >500 000 P. reticulatus diambil dari alam setiap tahun untuk tujuan ini (Groombridge & Luxmoore 1991, Jenkins & Broad 1994). Panen terkonsentrasi di Indonesia, khususnya di Sumatera dan Kalimantan (Groombridge & Luxmoore 1991, Jenkins & Broad 1994). Periode tahun 2009 – 2014, rata-rata jumlah ekspor per tahun kulit P. reticulatus dari Indonesia mencapai 200 000 lembar (Ditjen PHKA 2014). Selembar kulit yang dibeli dari seorang penduduk desa di Indonesia mungkin dijual seharga 30 Dolar AS dan kulit tersebut akan menjadi sebuah tas di butik fesyen di Perancis atau Italia seharga 15 000 Dolar AS. Permintaan tertinggi adalah untuk kulit sepanjang tiga sampai empat meter (TRAFFIC 2012). Tingginya permintaan kulit P. reticulatus untuk kebutuhan fashion seperti tas, baju, sepatu dan aksesoris, membuat usaha pengulitan P. reticulatus tetap bertahan. Perjanjian internasional seperti Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Langka (CITES) yang dirancang untuk melindungi satwa liar, memang tidak melarang perdagangan P. reticulatus, namun demikian jumlah P. reticulatus yang diperdagangkan diatur agar populasinya tetap terjaga di alam. Laporan studi hasil kerjasama International Trade Center (ITC), International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan TRAFFIC, program kerjasama IUCN dan WWF di tahun 2012 bertajuk "Trade in South East Asian Phyton Skins" mengungkap bahwa Indonesia adalah eksportir terbesar kulit P. reticulatus, bersama Malaysia dan Vietnam, sementara negara Uni Eropa, Italia, Jerman serta Perancis adalah importir terbesar. Berdasarkan laporan tersebut, 70% kulit P. reticulatus diekspor lewat Singapura. Keberadaan industry fashion membuat permintaan kulit P. reticulatus tetap tinggi. Total nilai penjualan kulit P. reticulatus per tahun mencapai 1 miliar dollar AS. Laporan tersebut juga menyoroti praktik kejam dalam pembunuhan P. reticulatus tersebut. Sampai saat ini belum ada tulisan secara rinci menjelaskan cara efektif dan manusiawi untuk membunuh P. reticulatus, sementara kecaman dari organisasi non pemerintah mengenai hal ini sangat kencang. Untuk mengetahui proses pengolahan kulit P. reticulatus di Indonesia dilakukan penelitian dengan pemeriksaan 272 ekor P. reticulatus di tempat pemotongan di wilayah Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi prosedur pengolahan kulit hasil panenan P. reticulatus di Sumatera Utara. Informasi yang diperoleh digunakan untuk mendokumentasikan proses dari pengulitan P. reticulatus untuk pertimbangan aspek etika dalam pemanfaatan P. reticulatus yang berkelanjutan. Bahan dan Metode Lokasi dan Waktu Lokasi pengumpulan data adalah di tempat pengumpul yang memiliki rumah pemotongan P. reticulatus. Ular-ular ini dikumpulkan dari berbagai daerah baik di sekitar wilayah kecamatan, kabupaten maupun kota di Sumatera Utara, yang diangkut dalam keadaan hidup ke rumah pemotongan. Penelitian dilakukan
19
selama 18 hari efektif di dua rumah potong P. reticulatus yaitu Desa Rapuan Ilir Kabupaten Simalungun tanggal 29 Januari – 30 Januari 2014 dan Kota Rantauprapat pada tanggal 6 – 21 Pebruari 2014.
Gambar 5 Peta lokasi penelitian Metode Pengumpulan Data Pada lokasi pemotongan, setiap individu P. reticulatus reticulatus yang akan dipotong diamati mulai dari pengambilan spesimen dari gudang penyimpanan, cara memotongnya sampai proses pengulitan. Parameter yang dicatat saat pengamatan adalah jumlah panenan, panjang badan, diameter perut, tahapan pemotongan dan pengulitan (mulai spesimen hidup sampai menghasilkan kulit kering siap jual), waktu yang dibutuhkan dalam setiap tahapan pengulitan dan panjang serta lebar kulit kering. Jumlah panenan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah jumlah tangkapan yang dipotong di tempat pemotongan. Data panenan dikumpulkan dengan memeriksa spesimen saat proses pemotongan. Jumlah panenan di tempat pemotongan ditentukan dengan cara menghitung langsung seluruh spesimen yang di potong. Variabel yang diukur untuk mendapatkan data ukuran kulit dalam kondisi hidup adalah panjang badan yaitu panjang dari leher sampai kloaka (cm) dan diameter perut (cm). Panjang badan diukur karena dalam perdagangan kulit panjang badan menjadi indikator utama untuk penangkapan dan diameter perut diukur untuk mendapatkan data pertambahan lebar kulit saat spesimen hidup hingga menjadi kulit kering. Semua variabel tersebut diukur dengan menggunakan pita ukur (ketelitian 0.1 cm). Pengambilan data terkait pengolahan kulit juga dilakukan dengan metode wawancara secara terbuka. Wawancara dilakukan pada pemilik rumah potong dan tukang jagal terkait rata-rata jumlah panenan, harga beli, skill yang dimiliki dan proses pemotongan serta pengulitan P. reticulatus.
20
Analisis Data Normalitas data diuji dengan menggunakan uji One Sample Kolmogorov Smirnov. Perbedaan rata-rata ukuran panjang tubuh dan diameter perut P. reticulatus sebelum dan sesudah dikuliti diuji dengan menggunakan Paired Sample T Test pada selang kepercayaan 95%. Hubungan antara variabel dengan peubah diuji dengan menggunakan Regresi Linier. Data mengenai koleksi dan penanganan dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan prosedur yang dilakukan di tempat pemotongan. Hasil Proses Pengumpulan dan Koleksi Berdasarkan wawancara dengan enam orang penangkap P. reticulatus yang membawa P. reticulatus ke tempat pemotongan untuk dijual, diketahui P. reticulatus ditangkap dalam beberapa cara. Penangkap profesional memasang perangkap di sekitar lokasi yang diduga dekat dengan sarang P. reticulatus sementara penangkap insidensial banyak menangkap P. reticulatus secara kebetulan, saat mereka pergi berladang, berkebun dan mencari kayu di hutan. Lainnya ditangkap di/dekat desa-desa. P. reticulatus yang akan dijual ke pengumpul untuk perdagangan kulit dibiarkan hidup dalam karung kemudian diangkut ke tempat pengumpul dimana P. reticulatus disimpan untuk jangka waktu yang bervariasi antara satu hari sampai 7 hari. Pada saat disimpan tidak ada perlakuan khusus, P. reticulatus akan dipotong bersamaan dengan permintaan daging sehingga semua bagian dapat dimanfaatkan. P. reticulatus hasil tangkapan yang terdapat di karung plastik kemudian dibawa ke pengumpul untuk dijual. Pengumpul akan memeriksa ular dari penangkap, mengukur panjang dan memeriksa kondisi kulit P. reticulatus apakah ada cacat karena akan mempengaruhi harga. Harga P. reticulatus adalah per meter. P. reticulatus yang kondisi kulitnya bagus harganya lebih mahal bila dibandingkan dengan P. reticulatus yang kondisi kulitnya cacat. Setelah terjadi kesepakatan harga antara penangkap dan pengumpul, maka P. reticulatus kembali dimasukkan ke dalam karung plastik atau bak penyimpanan sementara (Gambar 9a). Pembayaran dilakukan secara tunai ke penangkap. Pemeriksaan terhadap P. reticulatus yang akan dibeli oleh pengumpul kecil dan pengumpul besar sangat teliti sekali dan dikenal dengan sebutan “sortir keras”. Pada barang “sortir keras” resiko kerugian terbesar ada pada pengumpul kecil. Pengumpul kecil dituntut harus memiliki keahlian meneliti lebih cermat atas kondisi P. reticulatus, karena temuan kecacatan pada P. reticulatus oleh pengumpul besar mengakibatkan harganya menjadi lebih rendah dari harga yang telah dibayar pengumpul kecil ke penangkap. Pengulitan sedikitnya dilakukan tiga kali dalam sepekan atau tergantung dari permintaan daging P. reticulatus untuk kebutuhan kedai-kedai tuak di Pematangsiantar, Simalungun Kisaran, Cikampak, Labuah Batu dan daerah sekitarnya. Daging P. reticulatus biasanya diolah menjadi hidangan sup di kedaikedai tuak di wilayah Sumatera Utara. Sehingga P. reticulatus dipotong dan dikuliti berdasarkan pada permintaan terhadap daging P. reticulatus. Pada tempat pemotongan skala kecil di desa Rapuan, dapat memenuhi permintaan daging sebanyak 150 kg setiap kali proses pemotongan dengan jumlah 20 hingga 30 ekor P. reticulatus, sementara pada tempat pemotongan skala besar di Rantauprapat,
21
dapat memenuhi permintaan daging 300 kg – 350 kg setiap kali proses pemotongan dengan jumlah 30 hingga 60 ekor P. reticulatus. Pada lokasi pemotongan ini kebanyakan P. reticulatus dibeli dari pengumpul kecil lainnya yang ada di lokasi berbeda seperti Kisaran, Tanjung Balai, Cikampak dan Labuhan Batu. Pembelian P. reticulatus dari para penangkap yang datang langsung ke lokasi pemotongan hanya sebagai penambah stock/koleksi saja. Proses pengumpulan dan koleksi seperti yang disajikan pada Gambar 6.
Pengumpul kecil
Penangkap
Pengumpul besar (pemilik rumah potong)
Gudang penyimpanan sementara
Orderan daging
Pengambilan stock dari gudang
Proses Pemotongan Gambar 6 Bagan Alir Proses Pengumpulan dan Koleksi Banyaknya P. reticulatus yang ditangkap oleh para penangkap menyebabkan tidak semua P. reticulatus yang tertangkap dipotong. Setiap pengumpul besar harus memiliki gudang penyimpanan untuk menyimpan P. reticulatus sebagai stock yang akan dipotong jika ada permintaan daging selanjutnya. Namun untuk menghindari kerusakan pada kulit saat proses
22
penyimpanan, P. reticulatus tidak boleh disimpan dalam jangka waktu yang lama, maksimal disimpan selama satu bulan. Berdasarkan hal itu, spesimen yang pertama masuk gudang penyimpanan menjadi spesimen yang pertama dipotong. Pengumpul sekaligus pemilik rumah potong P. reticulatus sering mengeluhkan sedikitnya jumlah kuota tangkap yang diberikan karena pada kondisi di lapangan mereka mampu menyediakan P. reticulatus lebih dari kuota yang diberikan. Kondisi ini dibuktikan dengan banyaknya stock P. reticulatus yang mereka miliki yang dibeli dari para penangkap. Dalam satu perusahaan, P. reticulatus betina yang mengandung telur tetap dibiarkan hidup sampai bertelur sebelum dibunuh dan dikuliti. Betina yang hamil tersebut dipisahkan dari ular-ular lainnya dengan disimpan dalam kandang berbahan kayu. Untuk mengetahui apakah P. reticulatus mengandung telur oviduktal adalah dengan melihat dan meraba pada bagian perutnya. P. reticulatus yang mengandung telur oviduktal berbeda secara fisik terutama pada bagian perutnya dan bobot tubuhnya biasanya lebih berat jika dibandingkan dengan ular lain dengan ukuran panjang yang sama. Setelah telur dikeluarkan oleh induknya maka telur tersebut dipindahkan ke dalam inkubator untuk ditetaskan dengan pengaturan suhu dalam inkubator. Induk akan dipotong dan keturunannya dijual untuk perdagangan hewan peliharaan internasional. Proses Pemotongan P. reticulatus dibunuh dengan pukulan di kepala menggunakan martil di desa Rapuan Ilir dan menggunakan tongkat kayu bulat berdiameter 11 cm dan panjang 150 cm di Rantauprapat. Setelah ular dianggap mati setengah jam kemudian digantung dengan mengikat bagian ujung kepala. Saluran pencernaan P. reticulatus ini kemudian diisi dengan air, untuk memperluas dinding tubuh dan memfasilitasi pemisahan kulit dari otot-otot yang mendasari. Pada pemotongan skala kecil, terdapat perbedaan cara dalam memperluas dinding tubuh, yaitu dengan menggunakan kompresor. Setelah kurang lebih tiga jam kemudian kulit di sayat dengan menggunakan silet dengan sayatan membujur punggung pertengahan atau membujur perut pertengahan (Gambar 9b), sehingga menyisakan kulit di bagian kepala dan ekor. Daging sepanjang permukaan lateral P. reticulatus dibersihkan dari organ-organ tubuhnya kemudian dijual dalam keadaan segar untuk konsumsi manusia. Kandung empedu diambil dan dikeringkan untuk dijual sebagai obat tradisional. Proses pemotongan seperti yang disajikan pada Gambar 7. Tukang jagal yang bekerja di rumah potong memiliki keahlian turuntemurun dalam mengolah P. reticulatus menjadi kulit komersial. Mereka mempelajari proses tersebut secara otodidak. Rata-rata satu tukang jagal mampu mengerjakan sampai 15 ekor setiap proses pemotongan dan pengulitan dan masing-masing orang menguasai seluruh prosesnya. Kerusakan yang terjadi pada proses pemotongan hanya disebabkan oleh P. reticulatus yang mati pada saat disimpan di gudang penyimpanan. P. reticulatus yang telah mati tidak bisa dimanfaatkan dagingnya, namun kulitnya masih bisa dimanfaatkan tergantung dari kondisinya.
23
Proses Pemotongan
Isu sentral terhadap perlakuan yang tidak memperhatikan kesejahteraan satwa
Lokasi Rapuan Ilir
Lokasi Rantauprapat
Ular dimatikan dengan pukulan di kepala menggunakan martil
Ular dimatikan dengan pukulan di kepala menggunakan tongkat kayu
30 menit kemudian bagian leher dan kloaka diikat kemudian dilakukan pengisian angin ke dalam tubuh ular melalui kloaka
30 menit kemudian ular digantung dengan mengikat bagian kepala dan dilakukan pengisian air ke dalam tubuh ular melalui mulut
Proses Pengulitan Gambar 7 Bagan Alir Proses Pemotongan Proses Pengulitan Pengulitan P. reticulatus yaitu pemisahan kulit dengan tubuh P. reticulatus. Proses pengulitan meliputi pengulitan, pemakuan dan penjemuran. Menurut pola pengulitannya, jenis kulit P. reticulatus yang diperdagangkan terdiri dari kulit dengan pola belah punggung dan kulit dengan pola belah perut. Pola belah punggung adalah kulit P. reticulatus yang dikuliti sedemikian rupa sehingga
24
bagian perutnya menjadi bagian yang utama dan utuh, yaitu melakukan belahan pada punggung P. reticulatus. Pada belah perut bagian yang utama dan utuh adalah bagian punggungnya. Proses Pengulitan
Kulit disayat menggunakan silet dengan membelah bagian punggung pertengahan atau perut pertengahan kemudian dipisahkan dari daging dengan menarik kulitnya
Daging dibersihkan dari isi perut dan organ lainnya, empedunya dijemur hingga kering
Daging dijual ke pembeli untuk pemenuhan kebutuhan rumah makan/lapo dan pakan buaya
Empedu kering dijual ke pembeli
Sisa daging yang menempel dikulit dibersihkan
Kulit dipaku dan dijemur di bawah naungan hingga kering (± 1 malam)
Kulit dilepas dari paku kemudian disortir
Kulit dilipat kemudian disimpan dalam kardus dan diberi kapur barus
Kulit disimpan sementara di gudang penyimpanan sebelum didistribusikan kepada eksportir Gambar 8 Bagan Alir Proses Pengulitan
25
Pengulitan P. reticulatus dilakukan dengan hati-hati agar tidak terjadi kerusakan terhadap kulit P. reticulatus. Kulit kemudian terpisah dari daging (Gambar 9c) dan dibersihkan dari sisa-sisa daging yang menempel. Setelah pengulitan selesai dan kulit dibersihkan, kulit P. reticulatus dibentangkan di atas papan dan dipaku di sekeliling pinggiran kulit. Pada proses pemakuan ini juga dilakukan dengan hati-hati jangan sampai kulit robek. Pada tahap pemakuan ini, pengumpul berusaha menarik dan memaku kulit selebar mungkin untuk mendapatkan hasil kulit kering dengan diameter perut yang lebih lebar karena akan berkaitan dengan nilai jual. Setelah pemakuan selesai, maka selanjutnya kulit dijemur di bawah panas matahari langsung hingga kondisi kulit kering. Penjemuran juga tidak boleh sampai terlalu kering karena akan merusak kulit. Setelah kering, kulit dilepas dari papan dan disimpan. Daging P. reticulatus dari proses pengulitan sebagian dikonsumsi sendiri dan sebagian lagi dijual oleh pengumpul dengan cara eceran maupun borongan. Proses pengulitan seperti yang disajikan pada Gambar 8. Pada proses pengulitan, kerusakan tidak disebabkan oleh human error, akan tetapi kerusakan disebabkan karena saat ditangkap bagian dari tubuh P. reticulatus ada yang terserang kutu, luka karena benda tajam (mungkin sebelumnya telah diburu namun P. reticulatus berhasil menghindar) maupun luka karena perkelahian dengan satwa lain. Para pengumpul biasanya tetap membeli P. reticulatus dalam kondisi tersebut dengan harga yang lebih murah. Satu ekor P. reticulatus membutuhkan waktu 5 menit untuk dikuliti.
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 9 (a) P. reticulatus reticulatus dalam bak penyimpanan, (b) proses pengulitan dengan belah punggung pertengahan, (c) pelepasan kulit dari daging, dan (d) pelebaran dinding kulit
26
Pemakuan yang dilakukan kadang-kadang mengakibatkan cedera ringan karena jari yang terkena pukulan palu atau terkena paku. Para pekerja sangat cekatan dalam melakukan pemakuan, mereka juga harus selalu mengukur panjang dan lebar bagian kulit hingga menghasilkan ukuran kulit yang diinginkan. Tak jarang kulit yang terlah dipaku harus dibongkar lagi karena ukuran yang dihasilkan belum sesuai. Penjemuran dilakukan ditempat teduh yang beratap di dalam ruangan dengan kipas angin di setiap sudut dan atap tempat penjemuran pada rumah potong skala besar, sehingga cuaca tidak menghambat proses penjemuran. Pada rumah potong skala kecil, penjemuran dilakukan di bawah pohon hingga kulit tidak terkena sinar matahari langsung. Jika hujan, kulit-kulit tersebut dimasukkan dalam gudang penjemuran kulit sementara dengan kiipas angin di setiap sudut ruangan. Penjemuran tidak di bawah sinar matahari langsung dimaksudkan agar tidak merubah warna dari corak kulit ketika kulit kering. Ukuran Kulit yang Dihasilkan Rerata panjang badan P. reticulatus yang dipanen adalah 2.63 m (SD = 0.37). Data selengkapnya seperti yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Rataan ukuran P. reticulatus sebelum dan sesudah dikuliti dari panenan di kota Rantauprapat dan desa Rapuan Ilir N
Mean
Std. Deviation
Minimum Maximum
Panjang Badan (m)
272
2.63
0.37
1.73
3.95
Panjang Kulit (m)
232
3.62
0.51
2.29
4.95
86
23.80
3.99
15.00
32.00
217
32.77
3.75
20.50
42.00
Diameter Perut (cm) Lebar Kulit (cm)
Selanjutnya dilakukan uji t sampel berpasangan atau Paired Samples T Test untuk menguji perbandingan rata-rata antara panjang badan dengan panjang kulit dan diameter perut dengan lebar kulit. Statistik data dari P. reticulatus antara panjang badan (sebelum dikuliti) dengan panjang kulit (setelah dikuliti) dan antara diameter perut (sebelum dikuliti) dengan lebar kulit (setelah dikuliti) seperti yang disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Perbandingan rataan ukuran badan dengan ukuran kulit Mean Pair 1 Panjang Badan (m) Panjang Kulit (m) Pair 2 Diameter Perut (cm) Lebar Kulit (cm)
Std. Deviation
N
Std. Error Mean
2.58
232
0.36
0.02
3.62
232
0.51
0.03
23.28
72
3.84
0.45
34.13
72
4.75
0.56
Sebelum dikuliti rerata panjang badan P. reticulatus 2.58 m (n = 232, SD = 0.36) dan setelah dikuliti rerata panjang kulit kering 3.62 m (n = 232, SD = 0.51).
27
Rerata diameter perut P. reticulatus sebelum dikuliti 23.28 cm (n = 72, SD = 0.45) dan setelah dikuliti rerata lebar kulit kering 34.13 cm (n = 72, SD = 0.56). Peubah panjang kulit berhubungan nyata dengan panjang badan (n = 232, r2 = 0.921, p = 0.000). Hubungan panjang kulit dengan panjang badan membentuk persamaan Panjang kulit = 0.248 + 1.306 (Panjang badan). Peubah lebar kulit berhubungan nyata dengan diameter perut (n = 72, r2 = 0.726, p = 0.000). Hubungan lebar kulit dengan diameter perut membentuk persamaan Lebar kulit = 13.232 + 0.897 (Diameter perut). Pembahasan Proses Pengumpulan dan Koleksi Dalam proses pengumpulan dan koleksi, betina yang mengandung telur oviduktal/folikel akan dipelihara sampai bertelur kemudian keturunannya dijual untuk kebutuhan perdagangan hewan peliharaan (pet). Pada penelitian ini, terdapat 22 individu betina yang mengandung telur dengan rata-rata jumlah telur sebanyak 40 butir. Jika keseluruhan telur tersebut menetas, maka akan menghasilkan 880 anakan. Anakan dipelihara sampai mencapai umur yang cukup untuk perdagangan hewan peliharaan. Hal tersebut dapat mengurangi jumlah eksploitasi P. reticulatus dari alam khususnya untuk hewan peliharaan. Pada periode dua tahun terakhir, yakni tahun 2013 jumlah ekspor P. reticulatus untuk pet 4 800 ekor (Ditjen PHKA 2013), sedangkan pada tahun 2014 jumlah ekspor P. reticulatus untuk pet 3 600 ekor (Ditjen PHKA 2014). Proses Pemotongan P. reticulatus dipastikan telah dianggap mati sebelum dipotong, walaupun kadang-kadang bagian tubuhnya masih ada yang terlihat bergerak. Akan tetapi, hal tersebut juga terjadi pada kondisi dimana seluruh bagian tubuh dan bagian dalam P. reticulatus telah dipisahkan hingga tersisa dagingnya saja. Daging tersebut kadang-kadang masih bergerak-gerak. Hal ini bisa terjadi karena mungkin saraf-saraf P. reticulatus masih ada yang berfungsi walaupun P. reticulatus telah mati. Eutanasia adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. Berdasarkan Pedoman Teknik Euthanasia (AVMA 2007), Euthanasia harus menyebabkan hilangnya kesadaran dengan cepat diikuti oleh tidak berfungsinya jantung atau pernapasan dan hilangnya fungsi otak. Namun, tujuan ini mungkin sulit dicapai pada banyak reptil. Injeksi intravena natrium pentobarbital, satu-satunya bahan kimia yang tercantum dalam Pedoman AVMA (American Veterinary Medical Association) yang diperbolehkan untuk euthanasia reptil, dianggap sebagai pilihan dalam metode euthanasia (Lawton 1992, Mader 2006). Namun, bahkan di tangan tenaga terlatih, metode ini bisa sulit atau tidak mungkin untuk digunakan pada kura-kura, hewan agresif, atau hewan yang akses vaskularnya sulit. Sodium pentobarbital dapat disuntikkan ke dalam rongga selom reptil, tetapi banyak peneliti, termasuk yang berkontribusi terhadap Pedoman AVMA, mengakui bahwa kematian dapat mengambil 30 menit atau lebih lama
28
ketika pentobarbital diberikan (AVMA 2007, Baier 2006, Lawton 1992, Mader 2006). Tersedia metode alternatif yang diakui untuk euthanasia kimia hewan reptil seperti sodium pentobarbital (Baier 2006, Close et al. 1997, Mader 2006, Wright 2001) meskipun sebelumnya telah tercatat beberapa metode yang berbeda untuk euthanasia (Beaupre et al. 2004, Simmons 2002). Sayangnya, deskripsi metode alternatif dan informasi rinci pentobarbital masih kurang yaitu tentang bagaimana bahan kimia disiapkan, dosis tepat yang diperlukan untuk euthanasia, dan pengamatan pada reaksi perilaku yaitu respon nyeri. Selain itu, metode ini tidak disetujui oleh AVMA, sebagian karena kurangnya penelitian untuk mengevaluasi metode ini. Dalam penelitian Conroy et al. (2009), injeksi MS222 mengakibatkan hilangnya kesadaran dengan cepat, diikuti dengan berhentinya jantung dan pernafasan pada 15 reptil. Prosedur yang digunakan memenuhi kriteria untuk euthanasia yang dituangkan dalam guidelines AVMA. MS222 menawarkan alternatif sodium pentobarbital yang dapat diterima untuk euthanasia reptil. Penggunaannya praktis baik di laboratorium dan lapangan dan tidak memerlukan persetujuan US Drug Enforcement Agency. Euthanasia cepat dan spesimen dapat disiapkan dengan aman tanpa uji puntir otot atau mutilasi. Oleh karena itu MS222 memenuhi kriteria untuk digunakan pada reptil dalam pengaturan klinis, penelitian dan museum. Euthanasia pada reptil sangatlah kompleks dan tidak ada metode tunggal yang ideal (Conroy et al. 2009). Jika pemotongan ular harus dilakukan dengan euthanasia kimia maka tentunya beberapa hal harus diperhatikan terkait dari perlakuan euthanasia sehingga efektif dan efisien, seperti ketersediaan bahan di Indonesia, harga, keterampilan dalam melakukan injeksi, formula injeksi yang tepat terhadap bobot tubuh serta aman atau tidaknya mengkonsumsi daging ular yang dibunuh dengan cara injeksi kimia. Mematikan ular dengan cepat seperti yang dilakukan pada penelitian Shine et al. (1999) dengan menusuk bagian kepala menggunakan kawat langsung ke bagian otak juga perlu dipertimbangkan karena ular akan langsung mati ketika otak terkena kawat tersebut. Isu sentral mengenai perlakuan yang tidak memperhatikan kesejahteraan satwa pada proses pemotongan P. reticulatus di Indonesia diperkirakan tidak sesuai karena baik pemenggalan kepala atau pemukulan bagian kepala dilakukan cepat (kurang dari 3 menit) dibandingkan menggunakan euthanasia secara kimia yang lebih lama (sekitar 30 menit). Proses Pengulitan Adanya pola belah punggung dan belah perut pada proses pengulitan memberikan dua macam variasi pada deretan sisiknya. Hal ini dilakukan sesuai dengan permintaan pasar. Trend/permintaan pasar dunia saat ini lebih menginginkan kulit dengan pola belah punggung dan dengan lebar perut 40 cm (Siregar 2012). Sehingga pada penelitian ini, 95% individu yang dipotong adalah dengan pola belah punggung karena kulit yang mengikuti trend permintaan pasar memiliki harga jual tertinggi.
29
Ukuran Kulit yang Dihasilkan Pada proses pemakuan, para pekerja harus dapat menghasilkan penambahan ukuran panjang kulit setiap 1 m sebanyak 40 cm dan pada lebar kulit menghasilkan penambahan 7 – 10 cm. Jika dilihat pada perhitungan statistika yang menghasilkan persamaan Panjang kulit = 0.248 + 1.306 (Panjang badan) dan Lebar kulit = 13.232 + 0.897 (Diameter perut) maka persyaratan tersebut terpenuhi. Simpulan Prosedur pengolahan kulit P. reticulatus di tempat pemotongan terdiri atas proses pengumpulan dan koleksi, proses pemotongan dan proses pengulitan. Prosedur yang dibuat ini sudah mempertimbangkan kesejahteraan satwa selain juga memastikan kulit yang dihasilkan memiliki kualitas tinggi.
4
PEMBAHASAN UMUM
Pemanenan satwa liar khususnya ular sanca batik (P. reticulatus) tentu erat sekali kaitannya dengan kuota panen/tangkap. Kuota panen/kuota tangkap seharusnya ditetapkan berdasarkan jumlah panenan yang lestari. Masalahnya adalah otoritas pengelola seringkali tidak mempunyai data terkini mengenai populasi yang ada pada saat tersebut, padahal mereka harus menentukan kuota panenan justru sebelum jumlah panenan tahunan diketahui dengan pasti (Sinclair et al. 2006). Pada umumnya, pengelola hanya mengetahui sedikit mengenai populasi dari informasi yang diperoleh dari panenan yang berhasil pada tahun sebelumnya. Informasi tersebut akan menjadi dasar ijin jumlah perkiraan panenan yang diperbolehkan, berdasarkan kelimpahan populasi pada akhir pemanenan. Dengan kata lain, pengelola harus mengetahui kondisi populasi pada saat akhir panenan untuk menentukan kuota panen pada tahun berikutnya agar populasi tetap konstan. Ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan resiko panenan yang berlebih (overharvesting). Menurut Sinclair et al. (2006), strategi pemanenan yang lestari sebenarnya sangat sederhana, yaitu melakukan panenan pada populasi dengan jumlah yang sama dengan pertumbuhannya. Keberlanjutan populasi yang dipanen tergantung pada strategi regulasi (batasan secara legal) yang digunakan untuk mengatur panenan tersebut dan strategi yang paling mudah adalah penerapan kuota panenan yang tetap dari tahun ke tahun (Sinclair et al. 2006). Pada kenyataannya, penetapan kuota lebih banyak berdasarkan pada realisasi tahun sebelumnya tanpa memperhatikan kondisi aktual mengenai populasi, terutama pada saat setelah dilakukan pemanenan yang terakhir. Hal ini terjadi karena masih sangat minimnya data tersebut. Tidak pada semua satwaliar dilakukan penelitian untuk menetapkan kuotanya. Apabila penentuan kuota hanya berdasarkan kuota tahun sebelumnya, maka bisa terjadi kemungkinan pemanenan yang berlebih karena kondisi populasi yang terakhir tidak diketahui. Padahal menurut Pearce & Turner (1990) pemanenan yang tidak memperhatikan kelestarian akan mengancam populasi dan menyebabkan kepunahan spesies yang
30
dipanen tersebut. Populasi akan lestari bila jumlah kematian (pemanenan) sama dengan jumlah kelahiran (laju pertumbuhan). Untuk mengetahui laju pertumbuhan populasi, diperlukan data parameter demografi. Selain itu, faktor habitat juga sangat menentukan pertumbuhan populasi. Frekuensi reproduksi betina dewasa adalah satu variabel yang paling penting menentukan kemampuan populasi P. reticulatus untuk menahan tingkat panenan yang tinggi, tapi merupakan kondisi yang kompleks dimana pergeseran frekuensi reproduksi dengan perubahan ukuran tubuh betina dewasa P. reticulatus mempengaruhi frekuensi reproduksi (Shine et al. 1998a). Menyangkut peran ular sebagai predator tikus komensal (Lim 1974), jika P. reticulatus memang membantu mengurangi hama khususnya tikus, maka manfaat ekonomi dari P. reticulatus yang dipanen perlu diperhitungkan dengan biaya peningkatan kerusakan tikus pada tanaman dan toko makanan. Hama tikus dapat merusak tanaman padi di sawah dan merusak makanan pada toko-toko milik masyarakat. Beberapa masyarakat lokal meninggalkan P. reticulatus tanpa gangguan yang berukuran 100 – 200 cm karena nilai mereka sebagai pengendali hewan pengerat (Groombridge & Luxmoore 1991). Populasi P. reticulatus yang dipanen terutama di daerah terganggu terdiri atas hewan yang relatif muda dengan kisaran ukuran 150 – 250 cm. Informasi yang lebih rinci diperlukan sebelum memberi penilaian terhadap tingkat berkelanjutan panenan P. reticulatus namun pemantauan rinci terhadap jumlah dan ukuran P. reticulatus yang dipanen untuk perdagangan komersial akan menjadi langkah pertama menuju pengembangan perkiraan kuantitatif. Harga Jual dan Proses Pendistribusian Harga borongan daging P. reticulatus bekisar Rp 4.000,00 sampai Rp 5.000,00 per kilogram, sedangkan harga eceran daging P. reticulatus berkisar Rp 7.000,00 sampai Rp 9.000,00 per kilogram. Empedu P. reticulatus dijemur hingga kering untuk selanjutnya dijual ke konsumen. Harga eceran empedu P. reticulatus berkisar Rp 20.000,00 sampai Rp 25.000,00 per buah. Harga perkilogramnya berkisar Rp 1.500.000,00 sampai Rp 1.750.000,00. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pembeli daging P. reticulatus yang dijumpai di lokasi pengumpul besar, bahwa menurut mereka mengkonsumsi daging P. reticulatus dapat meningkatkan vitalitas tubuh, sedangkan empedu P. reticulatus berkhasiat sebagai obat asma/sesak nafas, batuk dan sebagainya. Kulit-kulit P. reticulatus yang siap dijual selanjutnya dimasukkan di dalam kardus besar dan dilakban. Di dalam kardus tersebut juga diberi beberapa butir kapur barus sebagai pengusir kutu yang bisa merusak kulit P. reticulatus. Pengemasan kulit-kulit P. reticulatus termasuk sangat sederhana dan mudah sekali dalam penanganannya sehingga tidak membutuhkan biaya besar. Setelah dilakukan pengemasan, maka barang siap untuk dikirim ke eksportir. Biaya pengiriman/transportasi barang ke eksportir ditanggung oleh pengumpul besar. Alat transportasi yang digunakan umumnya adalah angkutan umum berupa mobil pribadi, kereta api, bis atau taxi umum. Pemilik rumah potong membeli dengan harga Rp 200 000/ekor apabila membeli dalam bentuk ular hidup. Pemilik rumah potong di Rantauprapat membeli dengan harga Rp70 000/meter untuk ular ukuran SVL minimal 250 cm. Untuk ular dengan panjang badan 200-245 cm dibeli dengan harga Rp 85 000 per
31
ekor. Keuntungan pemilik rumah potong akan diperoleh dari dua sisi ketika menjual kulit ke eksportir, yaitu penambahan ukuran dari ular hidup menjadi kulit dan harga kulit permeter yang bisa jadi lebih tinggi dari harga ular hidup per meter apabila bagus dalam proses pengulitannya. Jika dilihat dari nilai ekonomi yang diperoleh pemilik rumah potong, keuntungan yang dihasilkan lebih banyak dengan menjual kulit dari seekor P. reticulatus dibandingkan menjual dagingnya. Berdasarkan perhitungan harga jual, pada ukuran panjang badan 3.3 m akan dibeli oleh eksportir seharga Rp. 515 900 sedangkan daging akan dijual seharga Rp. 52 000 ke pembeli. Dengan demikian, perdagangan daging P. reticulatus hanya menjadi penghasilan tambahan bagi para pemilik rumah potong. Perhitungan harga jual kulit dan daging seperti yang tersaji pada Tabel 8. Tabel 8 Total harga kulit dan daging dari specimen yang diukur di desa Rapuan Ilir pada tanggal 29 – 30 Januari 2013
Panjang badan (m)
Panjang Kulit (m)
1
2.8
3.95
Harga permeter kulit (Siregar 2012) 90 000
2
3.06
4.34
110 000
3
2.3
3.47
4
3
5
Harga perkilogram daging
Total harga daging
6.7
4 000
26 800
477 400
12.5
4 000
50 000
65 000
225 550
4.5
4 000
18 000
4.47
110 000
491 700
12.4
4 000
49 600
3.04
4.21
110 000
463 100
10
4 000
40 000
6
2.5
3.63
90 000
326 700
4.8
4 000
19 200
7
3.05
3.89
90 000
350 100
9.3
4 000
37 200
8
2.9
4.27
110 000
469 700
4.9
4 000
19 600
9
2.85
4.35
110 000
478 500
8.9
4 000
35 600
10
3.3
4.05
110 000
445 500
13.7
4 000
54 800
11
2.55
3.63
90 000
326 700
5.3
4 000
21 200
12
2.45
3.94
90 000
354 600
4.8
4 000
19 200
13
2.6
3.74
90 000
336 600
5.6
4 000
22 400
14
2.7
4.46
110 000
490 600
7.1
4 000
28 400
15
2
4.95
110 000
544 500
2.5
4 000
10 000
16
2.63
3.42
65 000
222 300
6.9
4 000
27 600
17
3.6
4.77
110 000
524 700
14.3
4 000
57 200
18
3.2
3.69
90 000
332 100
12.5
4 000
50 000
No.
Total harga kulit 355 500
Bobot tubuh (kg)
32
No.
Panjang badan (m)
Panjang Kulit (m)
19
2.65
3.51
Harga permeter kulit (Siregar 2012) 90 000
20
2.95
4.02
110 000
21
2.5
3.52
22
2.95
23
Harga perkilogram daging
Total harga daging
7.5
4 000
30 000
442 200
9
4 000
36 000
90 000
316 800
4.8
4 000
19 200
4.15
110 000
456 500
10.7
4 000
42 800
2.45
3.51
90 000
315 900
5.4
4 000
21 600
24
3.4
4.75
110 000
522 500
13.9
4 000
55 600
25
3.3
4.66
110 000
512 600
14.3
4 000
57 200
26
2.6
3.6
90 000
324 000
7.2
4 000
28 800
27
3.3
4.65
110 000
511 500
13.5
4 000
54 000
28
3.2
4.48
110 000
492 800
11.4
4 000
45 600
29
2.23
3.15
65 000
204 750
4
4 000
16 000
30
3.2
4.51
110 000
496 100
9.3
4 000
37 200
31
2.53
3.5
65 000
227 500
6.3
4 000
25 200
32
3.3
4.69
110 000
515 900
13
4 000
52 000
33
2.8
4
110 000
440 000
8
4 000
32 000
34
2.56
3.55
90 000
319 500
6
4 000
24 000
35
2.65
3.75
90 000
337 500
6.5
4 000
26 000
Total harga kulit 315 900
Bobot tubuh (kg)
Perdagangan satwaliar dan bagiannya merupakan bisnis yang besar dengan nilai jutaan dolar setiap tahun (Soehartono & Mardiastuti, 2002). Dampak dari perdagangan hidupan liar terhadap spesies dan habitatnya sering dianggap negatif. Akan tetapi, jika dikelola secara berkelanjutan, keuntungan dari perdagangan satwaliar dapat memberikan insentif yang positif untuk konservasi biodiversitas. Dalam pertemuan CITES tentang insentif ekonomi pertama kali dilaksanakan pada bulan Desember 2003, beberapa insentif ekonomi yang telah diidentifikasi, salah satunya adalah sistem kuota sebagai promosi mekanisme untuk mencapai konservasi dan keuntungan sosial ekonomi. Kontribusi yang tepat oleh individu spesies sulit untuk diperkirakan dikarenakan informasi ekonomi yang masih sangat sedikit sekali dari rantai perdagangan. Perdagangan satwaliar mencakup perdagangan berbagai jenis dan kelompok satwa. Salah satunya adalah perdagangan dari keluarga reptil. Berdasarkan Soehartono & Mardiastuti (2002), penggunaan reptil di Indonesia dalam bentuk daging, kulit dan kegunaan lainnya sudah berlangsung berabad-abad, dimana spesimen hidup dan kulit reptil menjadi sumber ekonomi yang penting dan memperoleh harga tunai yang layak. Permintaan pasar terhadap daging dan
33
sebagai hewan peliharaan (pets) juga semakin meningkat khususnya pasar luar negeri. Pengawasan terhadap perlakuan yang memperhatikan animal welfare sebaiknya lebih diperketat oleh otoritas pengelola. Otoritas pengelola memiliki hak dan kewajiban penuh untuk melakukan pengawasan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku (Sekditjen PHKA 2007).
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Panenan ular sanca batik didominasi oleh jantan dewasa dengan jumlah yang tidak berbeda jauh dengan penelitian Shine et al. (1999) namun dengan karakteristik morfometri yang berbeda. Struktur populasi didominasi oleh ular dengan kelas umur berdasarkan SVL yang lebih kecil daripada hasil penelitian Shine et al. (1999) yang mengindikasikan adanya pengaruh pemanenan atau tekanan habitat. Prosedur pengolahan kulit P. reticulatus di tempat pemotongan terdiri atas proses pengumpulan dan koleksi, proses pemotongan dan proses pengulitan. Prosedur yang dibuat ini sudah mempertimbangkan kesejahteraan satwa selain juga memastikan kulit yang dihasilkan memiliki kualitas tinggi. Saran Strategi pengelolaan P. reticulatus baik pada populasi maupun pada habitatnya diperlukan untuk mendapatkan jumlah maksimal individu yang dipanen. Pemantauan jumlah dan ukuran ular yang diambil untuk perdagangan komersial dilakukan rutin setiap tahun. Para pemilik rumah potong dan tukang jagal memerlukan sosialisasi jika memang ada cara yang efektif dan lebih manusiawi pada proses pemotongan P. reticulatus. Perlu peran dari pemerintah dalam mengembangkan kemampuan para pelaku bisnis kulit P. reticulatus industri rumahan sehingga mereka dapat menghasilkan produk yang bernilai tinggi di pasaran.
34
DAFTAR PUSTAKA Abel F. 1998. Status, Population Biology and Conservation of the Water Monitor (Varanus salvator), The Reticulated Python (P. reticulatus) and The Blood Python (Python curtus) in Sumatera and Kalimantan Indonesia – Project Report North Sumatera. Mertenseilla 9:111–117. Alikodra HS. 1997. Teknik Pengelolaan Satwaliar Dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor (ID): Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Auliya M, Mausfeld P, Schmitz A, Bohme W. 2002. Review of the reticulated python (P. reticulatus) with the description of the new subspecies from Indonesia. Naturwissenschaften, 89:201–213. [AMVA] American Veterinary Medical Association 2007. AVMA guidelines on euthanasia (formerly Report of the AVMA panel on euthanasia): Jun 2007. http://www.avma.org/issues/animal_welfare/euthanasia.pdf. Baier J. 2006. Reptiles. In: C.K. Baer., editor. , Guidelines for euthanasia of nondomestic animals, p 42-45. Yulee (FL): American Association of Zoo Veterinarians Bailey JA. 1984. Principles of Wildlife Management. Canada: John Wiley & Sons Inc. Beaupre SJ, Jacobsen ER, Lillywhite HB, Zamudia K. 2004. Guidelines for use of live amphibians and reptiles in field and laboratory research, 2nd edition. Revised by the Herpetological Animal Care and Use Committee (HACC) of the American Society of Ichthyologists and Herpetologists. Available at www.asih.org/files/hacc-final.pdf [CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 2012 Member Countries. http://www.cites.org/ eng/disc/parties/alphabet.php [diunduh 8 Agustus 2013] Conroy CJ, Papenfuss T, Parker J, Hahn NE. 2009. Use of Tricaine Methanesulfonate (MS222) for Euthanasia of Reptiles. American Association for Laboratory Animal Science : J Am Assoc Lab Anim Sci; 48 (1): 28-32. [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2013. Keputusan Direktur Jenderal Nomor: SK.6/IV-KKH/2013 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar Periode Tahun 2013. Jakarta (ID): Ditjen PHKA. [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2014. Keputusan Direktur Jenderal Nomor: SK.13/IV-KKH/2014 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar Periode Tahun 2014. Jakarta (ID): Ditjen PHKA. Duvall D, Schuett GW, Arnold SJ. 1998. Ecology and Evolution of Snake Mating System. Di Dalam Seigel RA., Collins JT., editor. Snakes Ecology and Behaviour. New York: McGraw-Hill Inc. Groombridge B, Luxmoore R. 1991. Pythons in South-East Asia. A review of Distribution, Status and Trade in Three Selected Species. Report to CITES Secretariat, Laussane, Switzerland. Hoesel JKP. 1959. Ophidia Javanica. Bogor: Pertjetakan Archipel Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
35
Iskandar DT, Erdelen WR. 2006. Conservation of Amphibians and Reptiles in Indonesia: Issues and Problems. Amphibian and Reptile Conservation 4(1):60–81. James C, Shine R. 1985. The Seasonal Timing of Reproduction: A TropicalTemperate Comparison in Australian Lizards. Oecologia 67:464–474. Jenkins M, Broad S. 1994. International Trade in Reptile Skins: a Review and Analysis of the Main Consumer Markets, 1983 – 91. TRAFFIC International, Cambridge, UK. Lawton MPC. 1992. Euthanasia, p 156. In: Beynon PH, Lawton MPC, Cooper JE, editors. Manual of reptiles. Ames (IA):Iowa Sate University Press Lim, B.L., 1974. Snakes as natural predators of rats in an oil palm estate. Malay Nat. J. 27, 114±117. Mader DR. 2006. Euthanasia, p 564–568. In: Mader DR, editor. Reptile medicine and surgery, 2nd edn St Louis (MO):Saunders Elsevier Mardiastuti A, Soehartono T. 2003. Perdagangan Reptil Indonesia di Pasar Internasional. Di dalam: Harvey T, (editor). Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. Prosising Seminar Hasil Penelitian Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Bogor, 8 Mei 2003. Bogor: IPB. 181:131–144. Mexico T. 2000. Python reticulatus. (Online), Animal Diversity Web. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Python_re ticulatus.html. [diunduh pada 8 Mei 2014]. Pearce DW, Turner RK. 1990. Economics of Natural Resources and The Environment. New York: Harvester Wheatsheaf Pope CH. 1949. Snake Alive and How They Live. Viking Press. New York. Reinert HK. 1993. Habitat Selection in Snakes. Di Dalam Seigel RA., Collins JT., editor. Snakes Ecology and Behaviour. New York: McGraw-Hill Inc. Requier MA. 1998. Status, Population Biology and Conservation of the Water Monitor (Varanus salvator), The Reticulated Python (P. reticulatus) and The Blood Python (Python curtus) in Sumatera and Kalimantan Indonesia – Project Report Kalimantan. Mertenseilla 9:119–129. Ross RA, Marzec G. 1990. The Reproductive Husbdanry of Pythons and Boas. Institute for Herpetological Research Publishing, Inc. California. Schlaeper MA, Hooever C, Dodd CK Jr. 2005. Challenge in evaluating the impact of the trade in amphibians and reptiles on wild populations. Bioscience, 55:256 – 264. [Sekditjen PHKA] Sekretariat Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2007. Keputusan Menteri Kehutanan No. 447/KptsII/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwaliar. Di dalam Peraturan Perundang-undangan di Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta: Sekditjen PHKA. Hlm.432-500. Shine R. 1998. Snakes. Di dalam Cogger HG, Zweifel RG, (editor). Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Sydney: University of New South Wales Press Ltd. Shine R, Harlow PS, Ambariyanto, Boeadi, Mumpuni, Keogh JS. 1998a. Monitoring Monitors: A Biological Perspective on the Commercial Harvesting of Indonesian Reptiles. Mertensiella 9:61–68.
36
Shine R, Harlow PS, Keogh JS, Boeadi. 1998b. The Influence of Sex and Body Size on Food Habits of a Giant Tropical Snake. Functional Ecology 12: 248–258. Shine R, Ambariyanto, Harlow PS, Mumpuni. 1999. Reticulated Pythons in Sumatera: Biology, Harvesting and Sustainability. Biol. Conserv. 87:349– 357. Sinclair ARE, Fryxell JM, Caughley G. 2006. Wildlife Ecology, Conservation and Management Second Edition. Malden: Blackwell Publishing Simmons JE. 2002. Herpetological collections and collection management, revised edition. Herpetological circular 31. Philadelphia: Society for the Study of Amphibians and Reptiles Siregar J. 2012. Upaya Pelestarian Pemanfaatan Ular Sanca Batik (Python reticulatus) dan Ular Sanca Darah Merah (Python brongersmai) Ditinjau Dari Aspek Penangkapan dan Pemasarannya di Propinsi Sumatera Utara [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Soehartono T, Mardiastuti A. 2002. Cites Implementation in Indonesia. Nagao Natural Environment Foundation. Jakarta. Stuebing RB, Inger RF. 1999. A Field Guide to The Snakes of Borneo. Kinabalu: Natural History Publication (Borneo) [TPBC] The Province of British Columbia. 1998. Inventory Methods of Snakes, Standards for Components of British Columbia Biodiversity No. 38. Victoria: Resource Inventory Comittee. TRAFFIC. 2008. The Wildlife Trade Monitoring Network. What’s Driving the Wildlife Trade? A review of Expert Opinion on Economic and Social Drivers of The Wildlife Trade and Trade Control Effort in Cambodia, Indonesia, Lao PDR and Vietnam. East Asia and Pacific Region Suatainable Development Discussion Papers. East Asia and Pacific Region Sustainable Development Department. Washington DC: World Bank. TRAFFIC. 2012. Trade in South East Asian Phyton Skins. East Asia and Pacific Region Suatainable Development Discussion Papers. East Asia and Pacific Region Sustainable Development Department. Washington DC: World Bank. UNEP-WCMC. 2009. UNEP-WCMC Species Database; CITES-Listed Species. http://sea.unep-wcmc.org/isdb/CITES/Taxonomy/tax-common-result.cfm /isdb/CITES/Taxonomy/tax-common-result.cfm?source=animals&display language=eng&Common=22687&Country=ID&tabname=legal. [7 April 2013] Webb GJW, Vardon MJ. 1998. Reptile Harvest, Sustainable Use and Trade. Mertenseilla. 9:45-60 Wheather RJ. 1994. Foreword Past Progress and Future Chalenge. Di dalam Olney PJS, Mace GM, Feistner ATC, editor. Creative Conservation, Interactive Management of Wild and Captive Animals. London: Chapman & Hall. hlm 3-31 Wright KM. 2001. Restraint techniques and euthanasia, p 111–121. InWright KM, Whitacher BR, editors. Amphibian medicine and captive husbandry. Malabar (FL): Krieger Publishing Yuwono FB. 1998. The Trade of Live Reptiles in Indonesia. Mertensiella 9:9–15.
37
Lampiran 1 Korelasi Paired Samples Korelasi Paired Samples N
Korelasi
Sig.
Pair 1 Panjang Badan (m) & Panjang Kulit (m)
232
0.921
0.000
Pair 2 Diameter Perut (cm) & Lebar Kulit (cm)
72
0.726
0.000
38
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Samarinda pada tanggal 8 Agustus 1979 sebagai anak kedua dari pasangan E. Nainggolan dan L. Tampubolon. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Sudi Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, lulus pada tahun 2002. Tahun 2012, penulis diterima di Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Sejak tahun 2003 hingga 2012 penulis bekerja di Kementerian Kehutanan, pada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur sebagai Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Sebagai tugas akhir dari studi tersebut, penulis melakukan penelitian dan menulis tesis dengan judul Karakteristik Panenan Ular Sanca Batik Python reticulatus di Sumatera Utara dengan bantuan dana dari Kementerian Kehutanan dan IRATA.