KARAKTERISTIK MIKROHABITAT, MORFOLOGI DAN KELIMPAHAN Python reticulatus Schneider, 1801 DI KEBUN SAGU, KABUPATEN SAMBAS
ADELINA SILALAHI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Mikrohabitat, Morfologi dan Kelimpahan Phyton reticulatus Schneider, 1801 di Kebun Sagu Kabupaten Sambas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2015 Adelina Silalahi NIM E353120095
RINGKASAN ADELINA SILALAHI. Karakteristik Mikrohabitat, Morfologi dan Kelimpahan Phyton reticulatus Schneider, 1801 di Kebun Sagu, Kabupaten Sambas. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan AGUS PRIYONO KARTONO. Python merupakan salah satu spesies reptil yang dipanen oleh masyarakat setempat untuk tujuan komersial. Panen terbesar ular ini di Kabupaten Sambas sebagian besar berasal dari hutan tanaman rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik habitat mikro, morfologi dan kelimpahan P. reticulatus di perkebunan sagu rakyat di Sambas, Kalimantan Barat yang mendukung keberadaan jenis ini. Pengumpulan data habitat mikro dilakukan dengan menggunakan perangkap di 127 titik pengamatan yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai April 2014. Tiga puluh delapan python ditangkap selama survei. Kehadiran python pada lokasi pengamatan berkorelasi positif dengan kerapatan Metroxylon sago (r = 0.09; p = 0.008; n = 127), Dillenia indica (r = 0,22; p = 0.001; n = 127), Alstonia scholaris (r = 0.11; p = 0.015; n = 127) dan Vitis trifolia (r = 0.18; p = 0.004; n = 127), sedangkan kelembaban udara (r = 0,05; p = 0.008; n = 127), jarak sumber air terdekat (r = 0.20; p = 0.049; n = 127) dan kerapatan Havea brasiliensis (r = 0.04; p = 0.025; n = 127) berkorelasi negatif dengan kehadiran python. Kelas kesesuaian tinggi yang dapat digunakan untuk memprediksi kehadiran python ditandai dengan kelembaban udara berkisar 64-72% dan jarak dengan sumber air terdekat berkisar 10-200 cm, dengan kerapatan vegetasi minimal untuk jenis Metroxylon sago sebanyak 322 batang/ha, Dillenia indica sebanyak 118 batang/ha, Alstonia scholaris sebanyak 77 batang/ha dan Vitis trifolia sebanyak 18 batang/ha. Peluang tertinggi kehadiran python berada pada tingkat kesesuaian habitat sedang dengan penciri kelembaban udara berkisar 68–74% dan jarak air terdekat 10–200 cm. Keberadaan beberapa vegetasi dapat menyediakan habitat untuk berlindung, berkembang biak dan mangsa bagi python. Individu yang tertangkap terdiri dari 36 individu dewasa (94.74%) dan 2 individu muda berjenis kelamin betina (5.26%). Anakan (bayi) dan telur tidak ditemukan selama penelitian berlangsung. Sex ratio yang dihasilkan adalah 1 : 1.375. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara ukuran python jantan dan betina yang tertangkap, namun ukuran Snout-Vent Length (SVL) terbesar ditemukan pada jenis kelamin betina sedangkan rata-rata ukuran SVL jantan lebih besar dari SVL betina. Kata kunci : Python reticulatus, mikrohabitat, kebun sagu, kelimpahan, morfologi
SUMMARY ADELINA SILALAHI. Microhabitat Charactesictics, Morphology and Abundance of Python reticulatus Schneider, 1801 at Sago Plantation in Sambas District. Supervised by MIRZA DIKARI KUSRINI and AGUS PRIYONO KARTONO. Python is one of reptile species harvested for commercial purposes. The biggest harvest of this snake mostly comes from smallholder plantations in Sambas district. This study aims to identify the characteristics of the microhabitat, morphology and abundance of P. reticulatus in smallholders sago plantation in Sambas, West Kalimantan. Data for microhabitat was collected using traps at 127 observation point from February to April 2014. Thirty-eight python was captured during the survey. The presence of python was positively correlated with Metroxylon sago density (r = 0.09; p = 0.008; n = 127), Dillenia indica (r = 0.22; p = 0.001; n = 127), Alstonia scholaris (r = 0.11; p = 0.015; n = 127) and Vitis trifolia (r = 0.18; p = 0.004; n = 127), whereas air humidity (r = 0.05; p = 0.008; n = 127), distance of nearest water (r = 0.20; p = 0.049; n = 127) and Havea brasiliensis density (r = 0.04; p = 0.025; n = 127) correlated negatively with python. High suitability classes that can be used to predict the presence of python were humidity (ranges between 64-72%) and distance to the nearest water source (ranges between 10-200 cm), with minimum vegetation density of 322 stems/ha of Metroxylon sago, 118 stems/ha of Dillenia indica, 77 stems/ha of Alstonia scholaris and 18 stems/ha of Vitis trifolia. However the highest probability to found python occur at habitat suitability category at middle level, whith characterized by humidity between 68-74% and distance to nearest water between 10-200 cm. The occurrence of various vegetations in the sago plantations might increase habitat for cover and breeding for python as well as providing habitat for prey. Captured snake consisted of 36 adult (94.74%) and 2 young female (5.26%). Juvenil and eggs were not found during the study. Sex ratio was 1: 1.375. There were no significant difference between male and female size, but the largest SVL found was female, althought male had an average SVL larger than female. Keywords: Python reticulatus, microhabitat, sago plantation, abundance and morphology
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK MIKROHABITAT, MORFOLOGI DAN KELIMPAHAN Python reticulatus Schneider, 1801 DI KEBUN SAGU, KABUPATEN SAMBAS
ADELINA SILALAHI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr Ir Nyoto Santoso, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai April 2014 ini adalah habitat dan populasi Python reticulatus. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi dan Bapak Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi selaku komisi pembimbing atas pencerahan, bimbingan, koreksi, masukan dan saran yang sangat membangun selama penyusunan tugas akhir ini. Terima kasih disampaikan kepada Bapak Kepala BKSDA Kalimantan Barat, Bapak P. Samosir selaku Kepala Seksi Konservasi Wilayah III, Bapak Hasan Asy’ary (PEH BKSDA Kalimantan Barat), Bapak Antonio Marques (staf SKW III), Bapak Ati, Bapak Asak, Bapak Bali dan Bapak Bujang serta Bapak George Saputra (IRATA) yang telah mendukung pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suamiku Bulus Lumban Gaol, SE, MM, ibu S br. Sihombing, anak-anakku Yohanes Ari Putra, Anastasia Putri Angelina, Rachel Amelia Putri dan Winna Anugrah, seluruh keluarga dan rekanrekan Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati, atas segala doa dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2015 Adelina Silalahi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
x
1 PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 2 3 3
2 KARAKTERISTIK MIKROHABITAT Python reticulatus PADA KEBUN SAGU DI KABUPATEN SAMBAS Pendahuluan 5 Metode Penelitian 7 Hasil 9 Pembahasan 12 Simpulan 16 3 KELIMPAHAN DAN KARAKTERISTIK MORFOLOGI Python reticulatus PADA KEBUN SAGU DI KABUPATEN SAMBAS Pendahuluan 17 Metode Penelitian 18 Hasil 21 Pembahasan 22 Simpulan 25 4 PEMBAHASAN UMUM
26
5 SIMPULAN DAN SARAN
28
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
32
RIWAYAT HIDUP
35
DAFTAR TABEL 1 Jumlah, persentase dan kerapatan vegetasi 2 Kehadiran P. reticulatus berdasarkan lokasi pengamatan 3 Analisis regresi logistik komponen biotik dan abiotik kesesuaian habitat P. reticulatus di kebun sagu di Sambas, Kalimantan Barat 4 Kelas kesesuaian habitat P. reticulatus di kebun sagu Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat 5 Peluang kehadiran python berdasarkan kelas kesesuaian habitat 6 Lokasi pengambilan sampel 7 Struktur umur Python reticulatus pada lokasi pengamatan 8 Kelimpahan relatif Python reticulatus berdasarkan lokasi pengamatan
9 10 11 12 16 19 21 21
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Ruang lingkup penelitian Lokasi penelitian di Kecamatan Tangaran Kabupaten Sambas Lokasi pengamatan Hubungan antara SVL dengan berat tubuh
4 7 19 22
DAFTAR LAMPIRAN 1 Analisis regresi logistik 2 Hasil uji normalitas data 3 Analisis uji beda (Independent Sample T Test)
32 33 34
1 PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang Python reticulatus Schneider, 1801 merupakan jenis ular terbesar di dunia dengan wilayah distribusi yang sangat luas meliputi Asia Selatan, Asia Tenggara dan sebagian besar wilayah Indonesia (Iskandar & Colijn 2001). Ular yang secara taksonomi kini dikenal sebagai Malayopython reticulatus diketahui menyebar luas di Asia Tenggara (Kepulauan Nikobar, Birma, China, Semenanjung Malaya, Indonesia dan Filipina). Variasi geografi subspecies P. reticulatus terbagi dalam tiga kelompok yaitu P. reticulatus reticulatus yang populasinya menghuni wilayah daratan Sunda (Sumatera, Jawa, Kalimantan) dan Sulawesi, P. reticulatus saputrai yang menghuni pulau Selayar dan Bira (ujung barat daya Sulawesi Selatan) dan P. reticulatus jampeanus yang menghuni pulau Tanah Jampea (Kepulauan Selayar). Satwa yang dikenal dengan nama ular sawah ini umumnya dijumpai di hutan tropis, areal berumput lebat, areal-areal yang berdekatan dengan sungai besar, sungai kecil maupun danau (Mehrtens 1987). P. reticulatus bisa ditemukan di dataran rendah pada ketinggian dibawah 1 000 m diatas permukaan laut (dpl) di Kalimantan. Meskipun termasuk ular terrestrial, namun tidak ditemukan P. reticulatus yang tinggal dalam lubang tanah tetapi banyak ditemukan di serasah, tanah dan pohon meskipun sering ditemukan pula sedang berada di perairan tawar (Tweedie 1983, Stuebing & Inger 1999). P. reticulatus merupakan jenis ular python yang paling banyak dimanfaatkan bila dibandingkan dengan genus python lainnya. Indonesia sejak lama telah menjadi negara pengekspor reptil, baik dalam bentuk kulit maupun dalam bentuk reptil hidup. Tahun 1983-1999, kulit P. reticulatus dieksport dengan jumlah lebih dari 200 000 lembar/tahun (Mardiastuti & Suhartono 2003). Kurun waktu lima tahun terakhir, kuota tangkap P. reticulatus menempati angka tertinggi dibandingkan jenis ular lainnya. Kuota tangkap jenis ini untuk kebutuhan ekspor adalah sebanyak 180 000 ekor, baik dalam bentuk kulit maupun binatang peliharaan/pet (Ditjen PHKA 2010a, 2010b, 2011, 2013, 2014), sedangkan untuk kebutuhan lokal, masih belum terdata dengan pasti berapa jumlah pemanfaatannya. Tingginya pemanfaatan baik untuk kebutuhan lokal maupun internasional merupakan ancaman serius terhadap keberadaan python karena keseluruhan individu yang diperdagangkan berasal dari tangkapan alam. Sistem pengambilan ini bila dilakukan terus menerus dan dalam jumlah yang besar dapat mengancam keberadaan spesies tersebut dan mempercepat laju kepunahan. Selain itu, alih fungsi hutan dan degradasi hutan untuk kepentingan sosial dan ekonomi menyebabkan habitat P. reticulatus ikut tergangu. Hutan yang berperan sebagai habitat asli python semakin tergerus oleh kepentingan manusia. Hal ini akan berdampak pada keberadaan Python reticulatus. Status konservasi spesies ini belum dilindungi undang-undang di Indonesia, namun secara internasional, spesies ini masuk dalam daftar Appendix II CITES yang berarti bahwa populasinya di alam belum terancam punah, namun demikian kegiatan
2 pemanfaatan domestik dan internasionalnya perlu dikontrol melalui mekanisme kuota. Tantangan dalam pengelolaan satwa liar, khususnya yang diperdagangkan adalah data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai bahan monitoring dan evaluasi dalam pemanfaatan berkelanjutan. Salah satu permasalahan utama dalam konservasi reptil di Indonesia adalah masih sedikitnya data dan informasi tentang kondisi habitat dan ukuran populasi masing-masing jenis, termasuk jenis-jenis ular yang hingga saat ini telah dimanfaatkan dan diperdagangkan (Iskandar & Erdelen 2006). Informasi dasar mengenai habitat dan populasi bermanfaat untuk pengelolaan satwa liar tersebut. Kalimantan Barat sebagai provinsi dengan pemanfaatan P. reticulatus terbanyak kedua di Indonesia setelah Provinsi Sulawesi Selatan, memiliki keterbatasan mengenai data dan informasi tersebut. Gambaran tentang habitat dan populasi spesies ini di alam sangat penting untuk diketahui agar dapat dilakukan upaya pengelolaan untuk mengantisipasi terjadinya eksploitasi yang berlebihan baik untuk kepentingan ekspor maupun konsumsi lokal. Beberapa peneliti (Shine et al. 1999, Siregar 2012, Wardhani 2012) telah menggali data dan informasi mengenai populasi P. reticulatus, namun penelitian tersebut lebih mengarah pada pendugaan populasi melalui hasil tangkapan pada tingkat pengumpul di Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah. Kabupaten Sambas merupakan wilayah tangkap terbesar di Provinsi Kalimantan Barat. Tingginya hasil tangkapan diduga karena habitat asli python ini terganggu. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa spesies ini dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, yang ditandai dengan keberadaan spesies ini di areal perkebunan sawit, perkebunan karet, bahkan kadang dapat memasuki kawasan pemukiman (Shine et al. 1999, Wardhani 2012).
Tujuan Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi karakteristik habitat, populasi dan kelimpahan relatif P. reticulatus di Kabupaten Sambas. Tesis disajikan dalam dua makalah, yaitu: 1. Karakteristik mikrohabitat Python reticulatus Schneider, 1801 di kebun sagu Kabupaten Sambas yang bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik mikrohabitat di perkebunan rakyat yang menjadi lokasi penangkapan P. reticulatus; dan 2. Kelimpahan dan karakteristik morfologi Python reticulatus Schneider, 1801 di kebun sagu Kabupaten Sambas yang bertujuan untuk mengetahui kelimpahan relatif dan mengidentifikasi karakteristik morfologi P. reticulatus di Kabupaten Sambas.
3 Manfaat 1.
2.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : Sebagai sumber informasi mengenai karakteristik mikrohabitat, karakteristik morfologi dan kelimpahan relatif Python reticulatus di kebun sagu Kabupaten Sambas Sebagai sumber informasi awal dalam pendugaan populasi Python reticulatus di areal kebun sagu.
Ruang Lingkup Penelitian Pemanfaatan satwa liar (melalui mekanisme panenan) dilakukan pada saat maximum sustainable yield (MSY), yaitu suatu kondisi dimana panenan terbesar dapat dilakukan dari suatu populasi tanpa mengakibatkan kepunahan. Informasi mengenai demografi, ekologi dan biologi populasi sangat dibutuhkan untuk mengetahui/menduga kondisi sesungguhnya suatu spesies di alam. Kajian ekologi antara lain dapat dipelajari dengan membagi lingkungan hidup dalam beberapa bagian sesuai dengan komponen yang membentuk lingkungan yaitu lingkungan fisik/abiotic dan lingkungan biotik. Lingkungan fisik/abiotic mencakup ketinggian tempat, suhu dan kelembaban udara, pH pH tanah serta jarak dari sumber air terdekat, sedangkan lingkungan biotik merupakan bagian dari keseluruhan lingkungan yang terbentuk dari semua fungsi hayati mahluk hidup yang satu dengan yang lain yang saling berinteraksi, salah satunya adalah vegetasi. Karakteristik populasi terdiri atas karakteristik fisik yang dikenal dengan demografik dan karakteristik biologi yang dikenal dengan morfometrik. Karakteristik populasi yang menjadi tujuan penelitian ini adalah kelimpahan populasi (kelimpahan relatif). Kelimpahan populasi adalah banyaknya individu dalam suatu populasi yang dihubungkan dengan satuan ruang/tempat pada waktu tertentu. Namun demikian data yang dihasikan dalam penelitian ini juga mampu mendeskripsikan karakteristik morfometrik (berat tubuh, Snout-Vent Length (SVL), panjang badan, panjang ekor dan jenis kelamin. Bagan alir ruang lingkup penelitian ini disajikan pada Gambar 1 berikut ini.
4 Python reticulatus Schneider, 1801
Ekologi
Lingkungan Abiotik
Populasi
Lingkungan Biotik
Karakteristik Populasi
Vegetasi Demografik PH Tanah
Suhu Udara Ketinggian Tempat
Morfometrik
Kelembaban Udara
Jarak dari Sumber
Air Terdekat
Kelimpahan
Berat Tubuh
SVL
Distrbusi Umur
Panjang Badan
Ekologi Populasi Python reticulatus Schneider, 1801
Gambar 1. Ruang lingkup penelitian
Panjang Ekor
Jenis Kelamin
5
2 KARAKTERISTIK MIKROHABITAT Python reticulatus Schneider, 1801 DI KEBUN SAGU KABUPATEN SAMBAS (Microhabitat Charactesictics of Python reticulatus Schneider, 1801 at Sago Plantation in Sambas District)
Abstrak Python reticulatus merupakan salah satu spesies reptil yang dipanen oleh masyarakat setempat untuk tujuan komersial. Panen terbesar ular ini sebagian besar berasal dari hutan tanaman rakyat di Kabupaten Sambas. Alih fungsi dan degradasi hutan merupakan salah satu penyebab hilangnya habitat alami Python reticulatus. Namun, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa spesies ini mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang ditandai dengan adanya spesies ini di perkebunan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik habitat mikro P. reticulatus di perkebunan sagu rakyat di Sambas, Kalimantan Barat yang mendukung keberadaan jenis ini. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan perangkap yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai April 2014 pada 127 titik pengamatan. Tiga puluh delapan python ditangkap selama survei. Kehadiran python berkorelasi positif dengan kerapatan Metroxylon sago (r = 0.09; p = 0.008; n = 127), Dillenia indica (r = 0,22; p = 0.001; n = 127), Alstonia scholaris (r = 0.11; p = 0.015; n = 127) dan Vitis trifolia (r = 0.18; p = 0.004; n = 127), sedangkan kelembaban udara (r = 0,05; p = 0.008; n = 127), jarak sumber air terdekat (r = 0.20; p = 0.049; n = 127) dan kerapatan Havea brasiliensis (r = 0.04; p = 0.025; n = 127) berkorelasi negatif dengan kehadiran python. Kesesuaian habitat tinggi berada pada lokasi dengan kelembaban udara antara 64-72% dan jarak dengan sumber air terdekat berkisar antara 10-200 cm. Keberadaan beberapa vegetasi di kebun sagu dapat menyediakan habitat untuk berlindung, berkembang biak dan mangsa bagi python. Kata kunci : Python reticulatus, mikrohabitat, kebun sagu
Pendahuluan Reptilia merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting dalam ekologi sebagai aktor dalam rantai makanan yang menempati konsumen tingkat dua. Kehidupan Phyton sangat dipengaruhi oleh kondisi habitatnya. Rusaknya suatu habitat dapat mempengaruhi proses kehidupan dan perkembangan reptilia ini bahkan dapat menyebabkan kematian yang akan berujung pada kepunahan. Karakteristik habitat yang mempengaruhi keberadaan jenis reptilia ini antara lain penutupan vegetasi dan kondisi lingkungan fisik. Karakteristik tersebut merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan kegiatan reptilia (Kusrini 2009). Faktor lingkungan fisik seperti suhu, kelembaban, kemiringan lahan, ketebalan serasah dan jarak dari sumber air merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perilaku dan daya tahan reptilia. Selain faktor fisik tersebut,
6 reptil juga bergantung pada interaksi dengan faktor biotik seperti tutupan vegetasi. Hal ini karena tutupan vegetasi, baik secara vertikal dan horisontal, berperan penting terhadap intensitas cahaya yang sampai ke lantai hutan (Goin & Goin 1971). Jenis tutupan vegetasi merupakan bagian yang sangat penting pada habitat reptil karena berperan dalam membedakan karakteristik setiap habitat dan mempengaruhi ciri-ciri fisik suatu lingkungan. Goin & Goin (1971) menyatakan bahwa di Eropa barat laut, belukar yang tinggi penting untuk reptil sebagai media pengintaian pakan, persembunyian dari mangsa dan eksploitasi. Di areal hutan, pepohonan berperan sebagai pengendali iklim mikro, pengatur suhu dan kelembaban. Indrawan et al. (2007) menyatakan bahwa komposisi komunitas dan keanekaragaman jenis reptil lebih tinggi di dataran rendah dibandingkan dengan dataran tinggi dan kelimpahan jenis reptil semakin berkurang dengan bertambahnya ketinggian. Ular sanca (P. reticulatus) merupakan salah satu jenis reptil yang dimanfaatkan oleh manusia untuk kulit maupun daging (Mardiastuti & Suhartono 2003). P. reticulatus banyak ditemukan di habitat hutan tropis, areal berumput lebat, areal-areal yang berdekatan dengan sungai besar, sungai kecil maupun danau (Mehrtens 1987). Alih fungsi hutan dan degradasi hutan menyebabkan terganggunya habitat P. reticulatus. Namun beberapa penelitian menyatakan bahwa spesies ini dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, yang ditandai dengan kehadiran spesies ini di areal perkebunan sawit, perkebunan karet, bahkan kadang dapat memasuki kawasan permukiman (Shine et al. 1999, Wardhani 2012). Menurut Shine et al. (1999), lokasi-lokasi penangkapan P. reticulatus di Sumatera Utara adalah areal dengan penggunaan intensif untuk aktivitas pertanian, khususnya pada perkebunan kelapa sawit dan karet; sedangkan di Sumatera Selatan adalah di rawa-rawa pasang surut. Wardhani (2012) menyatakan bahwa areal tangkap di Kalimantan Tengah juga berada di lokasi penggunaan intensif untuk pertanian yaitu kebun kelapa sawit (Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan), kebun karet (Kabupaten Pulang Pisau) dan rawa-rawa pasang surut (Kabupaten Katingan). Perkebunan merupakan salah satu sektor penting dalam pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat. Perkembangan perkebunan memberikan keuntungan finansial dan membuka kesempatan terbentuknya ekonomi baru. Namun di sisi lain dapat dianggap sebagai ancaman bagi kelestarian keanekaragaman hayati dan plasma nutfah. Selama ini, perkebunan dianggap memiliki komposisi vegetasi yang seragam (monokultur) dan tidak dapat mendukung kehidupan berbagai jenis satwaliar. Namun demikian, beberapa peneliti menyatakan bahwa perkebunan tetap memiliki nilai penting bagi keanekaragaman hayati terutama perkebunan yang memiliki sisa-sisa vegetasi asli di kawasan ini (Lindenmayer et al. 2003). Kalimantan Barat merupakan wilayah pemanfaatan kedua terbanyak P. reticulatus di Indonesia. Pengamatan terhadap penangkapan P. reticulatus di Kabupaten Sambas, yang merupakan daerah tangkap terbesar di Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan bahwa areal tangkap jenis ular ini meliputi areal perkebunan rakyat seperti kebun sagu. Daerah tangkapan tersebut diduga memiliki keragaman vegetasi yang dapat mendukung keberadaan python. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk
7 menelaah karakteristik mikrohabitat di perkebunan rakyat yang menjadi tempat penangkapan P. reticulatus.
Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Pengumpulan data dilakukan di areal kebun sagu di Kecamatan Tangaran, Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat (Gambar 2). Pemilihan lokasi didasarkan atas informasi dari penangkap ular yang menyatakan bahwa lokasi terpilih adalah lokasi dengan tangkapan yang selalu ada pada setiap musim. Kecamatan Tangaran merupakan dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 200 m di atas permukaan laut. Pengambilan data dilakukan pada awal Februari 2014 sampai akhir April 2014. Pada saat pengambilan data dilakukan, kondisi iklim pada lokasi penelitian masuk dalam kategori musim kering dimana curah hujan rata-rata selama pengamatan berlangsung kurang dari 100 mm (BMKG 2014).
g
Gambar 2 Lokasi penelitian di Kecamatan Tangaran Kabupaten Sambas
8 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan bantuan penangkap/pemburu ular setempat. Metode penangkapan mengikuti kebiasaan pemburu setempat yaitu dengan menggunakan perangkap. Perangkap dibuat dengan menggunakan tiga atau empat batang kayu berdiameter ± 10 cm sebagai tiang utama yang ditancapkan dengan kemiringan sekitar 450 untuk menggantungkan umpan. Kayu tersebut kemudian dihubungkan dengan bambu yang telah dipasang tali rafia untuk menjerat ular ketika mengambil umpan. Perangkap diletakkan dekat sumber air berupa parit dengan lebar 150 cm. Umpan yang digunakan adalah bebek mati yang tidak dikuliti. Penggantian umpan dilakukan setiap tiga hari sekali. Pengecekan perangkap dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Jumlah perangkap seluruhnya adalah sebanyak 127 perangkap yang dipasang pada 3 lokasi kebun sagu (Tangaran 1, Tangaran 2 dan Tangaran 3). Untuk menghindari penghitungan ganda pada data hasil penelitian, semua individu yang tertangkap selama masa penelitian tidak dikembalikan ke habitat alami dimana individu ditemukan dan kemudian dilakukan pengukuran/pencatatan morfometri. Setiap titik pengamatan ditandai dengan menggunakan GPS (Geographycal Positioning Systems) dan dilakukan pencatatan komponen lingkungan yang meliputi komponen biotik dan abiotik. Pengumpulan data komponen biotik dilakukan di sekitar perangkap yang dipasang dengan menggunakan unit contoh pengamatan petak tunggal yang dibagi-bagi ke dalam sub-sub petak sebagai berikut: sub petak 20m x 20m untuk pengamatan tingkat pertumbuhan pohon, 10m x 10m untuk tingkat tiang, 5m x 5m untuk tingkat pancang, dan 2m x 2m untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah. Data yang dicatat meliputi jenis dan jumlah individu vegetasi berdasarkan tingkat pertumbuhan. Keseluruhan unit contoh pengamatan vegetasi berjumlah 127 plot. Komponen abiotik yang diamati dan dicatat meliputi ketinggian tempat, suhu udara (0C), kelembaban udara (%) yang diukur dengan menggunakan Corona GL dan suhu tanah (0C) yang diukur pada setiap titik pengamatan dan dilakukan pada pagi hari, pH tanah diukur dengan menggunakan kertas lakmus dan jarak dari sumber air terdekat yang diukur dengan menggunakan meteran. Pada setiap titik pengamatan tersebut juga dilakukan pencatatan terhadap kehadiran python (presence/absence). Ada atau tidaknya individu ditentukan secara visual yang ditandai dengan kehadiran python yang masuk dalam perangkap.
Analisis Data Kerapatan vegetasi adalah jumlah individu setiap jenis vegetasi per satuan ruang (per ha) tertentu, yang dihitung dengan menggunakan persamaan: K = (jumlah individu ditemukan)/(luas seluruh petak contoh). Identifikasi karakteristik habitat yang menentukan kehadiran P. reticulatus dilakukan dengan menggunakan pendekatan Regresi Logistik Biner. Keragaman dalam model yang dihasilkan diketahui melalui Nagelkerke R Square. Beberapa variabel yaitu ketinggian tempat, suhu tanah dan pH tanah dikeluarkan dalam penghitungan regresi karena hampir tidak ada variasi antar data. Variabel yang digunakan
9 sebagai penduga kehadiran P. reticulatus adalah suhu udara, kelembaban, jarak dari sumber air terdekat, kerapatan jenis vegetasi yang ada meliputi tingkat pertumbuhan tiang dan pancang yaitu sagu, karet, simpur, nibung, pulai, rengas dan bambu; sedangkan tingkat semak atau tumbuhan bawah adalah jahe dan galing-galing. Tidak ada satupun jenis vegetasi dengan tingkat pertumbuhan pohon yang ditemui selama penelitian berlangsung. Peluang yang dihasilkan melalui persamaan logistik kemudian digunakan untuk menentukan tingkat kesesuaian habitat python.
Hasil Karakteristik Mikrohabitat Jenis Vegetasi. Jenis vegetasi yang ditemukan di sekitar titik pengamatan adalah sebanyak 9 jenis yang terdiri atas: sagu Metroxylon sago Rottb., nibung Oncosperma tigillarium (Jack) Ridl., simpur Dillenia indica L., pulai Alstonia scholaris L.R.Br., karet Hevea brasiliensis Müll.Arg., rengas Gluta renghas L., bambu Bambusa vulgaris Schrad. ex J.C.Wendl., jahe Zingiber officinale Roscoe dan galing-galing Vitis trifolia Linn. Vegetasi yang terdapat pada Tangaran 1 adalah sagu dan jahe, dengan ekosistem sekitar adalah sungai. Pada Tangaran 2, terdapat vegetasi yang lebih bervariasi yaitu jenis sagu, nibung, simpur, pulai, bambu, karet dan galing-galing, dengan ekosistem sekitar Tangaran 2 adalah ladang (sawah kering) dan kebun karet. Vegetasi pada Tangaran 3, lebih baervariasi dibandingkan dengan Tangaran 1 namun lebih sedikit jenis vegetasinya dibandingkan dengan Tangaran 2. Jenis vegetasi yang ada pada Tangaran adalah sagu, pulai, simpur dan rengas, dengan ekosistem sekitar berupa ladang (sawah kering). Kerapatan Vegetasi. Jenis vegetasi dominan yang ditemukan pada titik pengamatan adalah sagu dengan kerapatan 3 016 batang/ha, kemudian disusul dengan tumbuhan bawah berupa jahe dengan kerapatan 956 batang/ha dan bambu dengan kerapatan 711 batang/ha (Tabel 1).
Tabel 1 Jumlah, persentase dan kerapatan vegetasi Jumlah Persentase Kerapatan No. Jenis Vegetasi (batang) (%) (batang/ha) 1 Sagu (Metroxylon sago) 3 711 66.23 3 016 2 Jahe (Zingiber officinale) 1 243 0.91 956 3 Simpur (Dillenia indica) 476 8.50 544 4 Karet (Hevea brasiliensis) 252 4.50 323 5 Pulai (Alstonia scholaris) 224 4.00 172 6 Bambu (Bambusa vulgaris) 231 4.23 711 7 Galing-galing (Vitis trifolia) 196 3.50 603 8 Rengas (Gluta renghas) 84 1.50 65 9 Nibung (Oncosperma tigillarium) 56 1.00 43 Total 6 473 100.00
10 Ketinggian Tempat. Ketinggian tempat pada titik pengamatan berkisar antara 9 – 25 meter diatas permukaan laut (m dpl), dengan ketinggian rata-rata 13.5 m dpl. Ular terbanyak ditemukan pada interval ketinggian tempat 8.9 – 14.2 m dpl dengan jumlah ular sebanyak 24 individu (63.2%). Suhu Udara. Suhu udara pada titik pengamatan berkisar antara 29.10 32.9 C, dengan suhu udara rata-rata 30.80C. Individu terbanyak ditemukan pada kisaran suhu udara 29.0-30.20C dengan jumlah 19 individu (50%) dan titik pengamatan tidak ditemukannya individu terbanyak yaitu sebanyak 46 titik pengamatan (51.7%) berada pada kisaran antara 30.3-31.50C. Kelembaban Udara. Kelembaban udara pada seluruh titik pengamatan berkisar antara 63-77%, dengan kelembaban udara rata-rata 70.4%. Sebagian besar ular yaitu sebanyak 29 individu (76.3%) ditemukan pada titik pengamatan dengan kisaran kelembaban udara antara 68-72%. Titik pengamatan terbanyak dimana tidak ditemukan ular (62 titik pengatamatan atau 69.7%) terdapat pada kisaran kelembaban yang sama yakni antara 68-72%. Suhu Tanah. Suhu tanah berkisar antara 27.1–28.9 0C dengan rata-rata 0 28.1 C. Ular ditemukan terbanyak pada kisaran suhu tanah 27.8-28.4 0C yakni sebanyak 23 individu (60.5%). Jarak. Jarak antara sumber air terdekat dengan titik pengamatan berkisar antara 10-200 cm dengan rata-rata 95 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 17 individu (44.7%) ditemukan pada jarak antara 10 - 73 cm dari sumber air, 4 individu (10.5%) ditemukan pada jarak antara 74 – 137 cm dari sumber air dan 17 individu (44.7%) ditemukan pada jarak antara 138 - 201 cm dari sumber air, sedangkan titik pengamatan terbanyak dimana tidak ditemukan individu ular berada pada jarak 10-73 cm dari sumber air terdekat (52 titik pengamatan atau 57.1%).
Kehadiran Python Total jumlah ular yang terperangkap selama pengamatan adalah 38 individu dengan distribusi per lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kehadiran P. reticulatus berdasarkan lokasi pengamatan Ʃ Titik Ʃ Ular Persentase Lokasi Pengamatan (individu) (%) Tangaran_1 50 0 0.00 Tangaran_2 56 27 48.21 Tangaran_3 21 11 52.38 Total 127 38 29.92
Hasil model regresi logistik menunjukkan bahwa untuk semua komponen lingkungan biotik dan abiotik, variabel yang paling penting untuk memprediksi keberadaan python adalah vegetasi dengan jenis sagu, simpur, pulai, karet dan galing-galing serta kelembaban udara dan jarak dengan sumber air terdekat. Hasil analisis regresi logistik disajikan pada Tabel 3 dan Lampiran 1.
11 Persamaan linier yang terbentuk adalah Z = 20.787 – 0.511X2 – 0.016 X3 + 0.305 X4 + 0.202 X6 + 0.175 X7 – 0.145 X8 + 0.094 X12. Persamaan tersebut memiliki nilai Hosmer & Lemeshow’s Goodness of Fit Test sebesar 4.313 dan probabilitas signifikansi 0.828 yang berarti bahwa model mampu memprediksi nilai observasinya. Variabel bebas yang berpengaruh terhadap keberadaan python memiliki nilai signifikansi <0.05. Meskipun persamaan tersebut memiliki nilai koefisien determinasi yang rendah (r2 = 0.302), namun memiliki kekuatan untuk memprediksi keberadaan python sebesar 72.4%.
Tabel 3 Analisis regresi logistik komponen biotik dan abiotik kesesuaian habitat P. reticulatus di kebun sagu di Sambas, Kalimantan Barat Variabel Suhu udara (oC) Kelembaban udara (%) Jarak air terdekat (cm) Kerapatan sagu (N/ha) Kerapatan nibung (N/ha) Kerapatan simpur (N/ha) Kerapatan pulai (N/ha) Kerapatan karet (N/ha) Kerapatan rengas (N/ha) Kerapatan jahe (N/ha) Kerapatan bambu (N/ha) Kerapatan galing-galing (N/ha) Konstanta
Notasi
Mean
SD
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12
30.8 57.0 95.0 23.9 0.3 4.2 1. 3 2.6 0.5 7.5 5.6 4.7 -
0.9 1.6 71.0 4.9 1.4 7.4 4.4 7.4 2.1 9.5 11.6 10.2 -
Persamaan logistik yang terbentuk dari menghasilkan nilai peluang keseluruhan adalah:
Koefisien Sig. (p) Regresi 0.002 0.998 -0.511 0.008 -0.016 0.049 0.305 0.008 0.320 0.053 0.202 0.001 0.175 0.015 -0.145 0.025 -0.090 0.389 -1.331 0.997 0.110 0.305 0.094 0.004 20.787 0.038
persamaan
linier
untuk
dengan nilai peluang yang dihasilkan berkisar antara 0.0004 sampai 0.9730. Kelas kesesuaian habitat python berdasarkan persamaan logistik dibagi dalam 3 kelas. Peluang kehadiran python berdasarkan kelas kesesuaian disajikan pada Tabel 4.
12 Tabel 4
Kelas kesesuaian habitat P. reticulatus di kebun sagu Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat Jumlah Titik Persentase No. Kelas Kesesuaian Selang Kelas Pengamatan (%) 1 Kesesuaian rendah <0.33 92 72.4 2 Kesesuaian sedang 0.33 - 0.66 22 17.3 3 Kesesuaian tinggi >0.66 13 10.3
Pembahasan Karakteristik Mikrohabitat Vegetasi dengan kerapatan tertinggi yang ditemui adalah sagu. Sagu (Metroxylon sago) merupakan salah satu jenis tumbuhan palem wilayah tropika basah. Jenis ini tumbuh baik pada daerah rawa air tawar, rawa bergambut, daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau hutan-hutan rawa. Tumbuhan sagu memiliki daya adaptasi yang tinggi pada lahan marjinal yang tidak memungkinkan pertumbuhan optimal bagi tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Lahan untuk pertumbuhan sagu meliputi lahan tergenang sampai dengan lahan kering. Sagu juga tumbuh dengan baik pada tanah liat yang berwarna dan kaya akan bahan-bahan organik seperti di pinggir hutan mangrove atau nipah. Kondisi lahan yang ditumbuhi sagu memiliki penciri indikator lingkungan yaitu sifat tanah baik fisik maupun kimia serta sifat iklim terutama iklim mikro. Berdasarkan hasil pengukuran, nilai pH tanah ± 6, yang berarti bahwa sagu tumbuh pada kondisi tanah dengan pH yang bersifat asam. Penelitian di Pulau Seram menunjukkan bahwa sagu tumbuh pada pH tanah berkisar antara 4.47-5.63 (Botanri et al. 2011). Harsanto (1992) menyatakan bahwa jumlah curah hujan yang menguntungkan bagi pertumbuhan sagu adalah antara 2 000 sampai 4 000 mm/tahun dan tersebar merata sepanjang tahun dengan suhu rata-rata 24˚C sampai 30˚C. P. reticulatus seringkali ditemukan oleh para pemburu berada pada areal kebun sagu di Kabupaten Sambas. Kondisi demikian menjadikan para pemburu memiliki kebiasaan meletakkan perangkap pada perkebunan sagu tersebut. Lokasi pengamatan merupakan dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 50 m dpl dan dekat dengan sungai kecil. Ketinggian tempat pada lokasi penelitian diduga tidak mempengaruhi ada atau tidak adanya P. reticulatus karena masih berada dalam rentang ketinggian yang bisa diterima, yaitu dibawah 1 000 m dpl (Tweedie 1983, Stuebing & Inger 1999). Ketinggian tempat sangat berhubungan dengan suhu. Semakin tinggi tempat maka suhu udara akan semakin menurun. Setiap kenaikan 100 m (kondisi kering) atau 200 m (kondisi basah), akan terjadi perubahan suhu sebanyak 1°C (Danielson et al. 2002). Sebagian besar ular dengan proporsi 50% ditemukan pada kisaran suhu 29.0-30.2°C dan tidak ditemukannya ular dengan kisaran 30.3-31.5 °C dengan proporsi sebanyak 51.7%. Kisaran suhu tersebut masih optimum bagi
13 keberadaan P. reticulatus. Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Stuebing & Inger (1999) bahwa suhu lingkungan yang paling disukai P. reticulatus di Kalimantan adalah 29.0-31.0ºC. Sebanyak 4 individu ditemukan pada kisaran suhu 31.6-32.9°C. Ini berarti bahwa kisaran suhu tersebut masih memungkinkan bagi python untuk hidup dan beraktivitas mengingat bahwa suhu udara yang mematikan bagi herpetofauna termasuk reptil adalah 38.0-42.0°C dan satwa yang berasal dari daerah yang lebih tinggi memiliki ketahanan yang lebih rendah (Snyder & Weathers 1975). Suhu udara lingkungan merupakan salah satu hal yang sangat mempengaruhi reptil (Bickford et al. 2010). Reinert (1993) menyatakan bahwa suhu diduga merupakan salah satu faktor yang penting dalam pemilihan habitat karena efisiensi pencernaan, kecepatan lokomosi dan kesuksesan reproduksi sangat terpengaruh oleh suhu tubuh dan suhu tubuh ular dipengaruhi oleh suhu lingkungannya. Adaptasi python di hutan tropis pada prilaku dan kebutuhan panas adalah: suhu optimal python untuk beraktivitas adalah 30.0 ºC (Stoops & Wright 1996 dalam Matswapati 2009), suhu optimum untuk basking pada masa kebuntingan antara 25.0 – 31.0 ºC (Ross & Marzec 1990 dalam Matswapati 2009) dan suhu optimum pengeraman telur yang banyak diaplikasikan dalam penangkaran adalah 30.0 ºC (Matswapati 2009). Sebagai ular terestrial daerah tropis, P. reticulatus di Kalimantan selalu menjaga suhu tubuhnya pada 31ºC (Stuebing & Inger 1999). Kelembaban merupakan suatu tingkat keadaan lingkungan udara basah yang disebabkan oleh adanya uap air. Berdasarkan hasil pengamatan, sebagian besar ular (76.3%) ditemukan pada kisaran kelembaban udara 68-72%. Menurut Stuebing & Inger (1999), kelembaban yang paling disukai P. reticulatus di Kalimantan adalah ± 70%. Hal ini menunjukkan bahwa kelembaban udara pada lokasi penelitian masih optimum bagi keberadaan python. Sebanyak 13.2% individu masih dapat ditemui dengan kisaran kelembaban udara 63-67%. Ini berarti bahwa pada lokasi penelitian tersebut, python masih mampu beradaptasi dengan kelembaban udara yang ada. Hal ini diduga karena antara lokasi pengamatan terhadap sumber air terdekat memiliki jarak maksimum 200 m, sehingga kelembaban yang diperlukan oleh python dapat ditemui di sumber air yang tersedia. Kisaran suhu tanah di lokasi penelitian berada antara 27.1-28.90C. Belum ada literatur yang menyebutkan kisaran suhu tanah yang disukai oleh spesies ini, namun diduga kisaran suhu tanah tersebut mampu memberikan panas untuk menghangatkan tubuh yang dibutuhkan oleh ular. Tanah digunakan sebagai media untuk menjalankan aktivitas bergerak, mencari makan dan beristirahat. Python termasuk dalam ular terestrial namun tidak ditemukan ular yang tinggal dalam lubang tanah. P. reticulatus banyak ditemukan di serasah, tanah dan pohon meskipun sering ditemukan pula sedang berada di perairan tawar (Tweedie 1983, Stuebing & Inger 1999) dan sarang biasanya berada diantara serasah (Shine 1998, Stuebing & Inger 1999). P. reticulatus sangat bergantung pada kelembaban dan ketersediaan air, sehingga ular jenis ini sering ditemui tidak jauh dari badan air (sungai, kolam, rawa). Air diperlukan oleh python untuk kelangsungan hidup dan keamanan terhadap perkembangan telur yang dieraminya. Keuntungan bagi python jika jarak terhadap sumber air dekat adalah waktu untuk pergi meninggalkan sarang untuk memenuhi kebutuhannya akan air cukup singkat (Matswapati 2009). Hal ini untuk
14 meminimalisir serangan predator seperti ular pemakan telur, sejenis berangberang pemakan telur dan lainnya terhadap sarang yang ditinggalkan induk. Kerugiannya adalah kelimpahan air yang terlalu banyak dan dekat dengan sarang akan menyebabkan sarang akan kelebihan air sehingga kelembaban sarang meningkat. Kondisi tersebut sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan hidup telur ular, dimana manifestasi dari mikroba, jamur dan parasit perusak telur akan mendominasi, yang dapat menjadikan telur infertile (Matswapati 2009). Pada jarak 10-73 cm dari sumber air, python masih ditemukan sebanyak 17 individu (44.7%). Jarak yang sangat dekat ini diduga tidak menjadi hambatan bagi python untuk kelangsungan hidupnya, karena kondisi curah hujan yang sangat rendah pada saat penelitian berlangsung. Volume air pada sungai kecil masih dalam jumlah yang cukup dan tidak mengancam kelangsungan hidupnya. Jika terjadi curah hujan yang cukup tinggi maka python akan mencari tempat baru yang sesuai dengan kebutuhan optimalnya. Kehadiran P. reticulatus Pengambilan data pada saat musim kering sebenarnya kurang ideal bagi penelitian ini. Menurut para pemburu, jumlah panenan pada musim kering umumnya lebih rendah daripada musim hujan. Hal ini tampaknya berpengaruh terhadap hasil tangkapan P. reticulatus yang hanya memperoleh 38 ekor dari 127 perangkap. Vegetasi yang memiliki korelasi terhadap kehadiran python adalah jenis sagu, simpur, pulai, karet dan galing-galing. Kehadiran python pada kebun sagu ini diduga karena sagu mampu menyediakan persyaratan utama bagi python yaitu kelembaban dan sumber air. Kelembaban udara optimal yang dibutuhkan tanaman sagu adalah sekitar 90%, apabila kelembaban kurang dari 70% maka akan mengakibatkan pati akan berkurang 25% (Bintoro et al. 2013). Ini menunjukkan bahwa kisaran kelembaban udara pada beberapa titik pengamatan yaitu ±70% merupakan kisaran kelembaban udara yang cocok, baik untuk tanaman sagu itu sendiri maupun python. Selain itu, tanaman sagu juga dapat mengkonservasi air tanah karena kebutuhan akan kelembaban yang tinggi. Selain sagu, simpur, pulai dan karet juga memiliki korelasi terhadap kehadiran python. Ketiga jenis vegetasi ini merupakan jenis pohon dengan ketinggian maksimal dapat mencapai 25 m. Simpur dan pulai merupakan vegetasi asli pada kawasan kebun sagu milik rakyat yang merupakan hasil konversi lahan hutan menjadi kebun, sedangkan karet merupakan tanaman selingan dengan kebutuhan getah sebagai sumber pendapatan lainnya. Kurangnya perawatan terhadap vegetasi yang ditanam diduga dapat menyebabkan vegetasi asli masih memiliki peluang untuk tumbuh. Jenis semak yang memiliki korelasi terhadap keberadaan ular adalah galing-galing. Tumbuhan semak yang merambat ini, tingginya dapat mencapai 10 m. Keberadaannya pada perkebunan rakyat diduga sengaja ditanam dan memanfaatkannya untuk dikonsumsi. Nilai korelasi vegetasi secara berturut-turut adalah 0.09, 0.22, 0.11, 0.04 dan 0.18. Meskipun nilai korelasi masuk dalam kategori sangat rendah dan rendah, namun tingkatan jenis vegetasi yang paling mempengaruhi kehadiran python dapat dilihat dengan nilai signifikansi persamaan regresi logistik biner mulai dari nilai yang terkecil. Sehingga vegetasi yang memiliki pengaruh paling erat dengan
15 kehadiran python secara berturut-turut adalah jenis simpur (p = 0.001), galinggaling (p = 0.004), sagu (p = 0.008), pulai (p = 0.015) dan karet (p = 0.025), sedangkan faktor fisik yang mempengaruhi kehadiran python adalah kelembaban udara (p = 0.008) dan jarak dari sumber air (p = 0.049) dengan nilai korelasi kelembaban udara sebesar 0.05 dan jarak sumber air terdekat sebesar 0.20. Sifat jenis pohon yang dapat menjaga kelembaban dan intensitas cahaya matahari sampai pada lantai hutan/kebun merupakan pelindung yang sangat baik bagi python, sementara keberadan semak diduga mampu berperan dalam persembunyian dari kegiatan pemangsaan dan eksploitasi serta persembunyian dalam mencari mangsa sebagai pakannya, sedangkan kerapatan vegetasi yang tinggi diduga akan memiliki pengaruh terhadap suhu dan kelembaban serta membantu penurunan suhu tanah sehingga python masih dapat beraktivitas meskipun pada saat curah hujan rendah. Python reticulatus banyak ditemukan di serasah, tanah dan pohon, sedangkan sarang biasanya berada diantara serasah. Hal ini selaras dengan informasi yang diperoleh dari pemburu bahwa P. reticulatus tidak ditemukan tinggal dalam lubang tanah, melainkan pada serasah dan batang kayu tumbang yang membusuk. Sifatnya yang demikian menyebabkan python juga menggunakan tumbuhan yang lebat untuk menyembunyikan diri pada saat kegiatan kawin, menghindari diri dari kegiatan eksploitasi, dimana pemburu lebih meningkatkan usaha perburuan python pada musim kawin karena dapat menangkap lebih dari 1 individu python pada satu lokasi tangkapan. Beberapa penelitian juga mengungkapkan peran vegetasi pada perkebunan terhadap keberadaan satwa liar, termasuk didalamnya sebagai media sumber pakan bagi satwa lainnya (Yoza 2000, Lindenmayer et al. 2003, Garden et al. 2007, Yusuf 2008). Yoza (2000) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa terjadi perubahan keanekaragaman satwa burung seiring dengan perubahan kualitas habitat. Tingkat keanekaragaman pada hutan sebelum pembukaan lahan sangat tinggi, setelah terjadi land clearing menurun karena tidak adanya vegetasi dan indeks keanekaragaman burung kembali meningkat dengan meningkatnya umur tanaman sawit. Lindenmeyer et al. (2003), dalam penelitiannya dengan tujuan meninjau nilai konservasi keanekaragaman hayati pada perkebunan Australia, mengungkapkan bahwa keragaman jenis tumbuhan secara positif berkaitan dengan keragaman dan kelimpahan berbagai taksa hewan. Garden et al. (2007) yang meneliti hubungan antara keberadaan spesies dengan karakteristik lingkungan pada fragmentasi habitat perkotaan Kota Brisbane menyatakan bahwa keberadaan reptil darat asli memiliki hubungan yang erat dengan gundukan rayap, kayu yang telah tumbang dan penutupan gulma, sedangkan mamalia kecil memiliki hubungan yang erat dengan keberadaan rumput. Habitat berhutan atau habitat dengan vegetasi yang heterogen terutama yang masih alami merupakan habitat ideal bagi sebagian besar jenis reptil, sedangkan tanah terbuka sebagai akibat dari pembukaan lahan (land clearing) merupakan habitat yang kurang ideal bagi kehidupan reptil (Yusuf 2008). Peluang kehadiran python pada suatu tapak habitat secara keseluruhan berkisar antara 0.0004 sampai 0.9730. Peluang kehadiran ke-38 python berkisar antara 0.0030 sampai 0.9730 yang terdistribusi pada kelas kesesuaian habitat rendah sampai kelas kesesuaian habitat tinggi sedangkan peluang tidak ditemukannya python (89 titik pengamatan) berkisar antara 0.0004 sampai 0.9456
16 yang juga terdistribusi pada kelas kesesuaian rendah sampai tinggi. Kelas kesesuaian rendah yang terdeteksi akan kehadiran python, dicirikan dengan kelembaban udara berkisar antara 68–73% dan jarak air terdekat antara 30-200 cm, kelas kesesuaian sedang dicirikan dengan kelembaban udara berkisar antara 68–74% dan jarak air terdekat antara 10–200 cm, sedangkan kelas kesesuaian habitat tinggi dicirikan dengan kelembaban berkisar antara 64–72% dan jarak air terdekat antara 10–200 cm. Kehadiran python pada setiap kelas kesesuaian habitat mengindikasikan bahwa python tidak memiliki preferensi habitat karena kehadirannya mampu dideteksi pada seluruh tingkat kesesuaian habitat. Kehadiran python diduga karena tersedianya pakan pada perangkap yang mampu mengundang python untuk masuk ke dalam perangkap dan pelindung berupa vegetasi. Dari tiga kelas klasifikasi kesesuaian habitat yang dibentuk, jumlah peluang tertinggi mendapatkan python berada di habitat dengan kategori kesesuaian sedang (Tabel 5). Tabel 5 Peluang kehadiran python berdasarkan kelas kesesuaian habitat Kelas kesesuaian Jumlah python Jumlah perangkap Peluang tertangkap Kesesuaian rendah 16 92 0.17 Kesesuaian sedang 15 22 0.68 Kesesuaian tinggi 7 13 0.46 Berdasarkan hal tersebut, kondisi mikrohabitat secara keseluruhan sesungguhnya didominasi oleh ketidakhadiran python dengan tingkat kesesuaian habitat rendah. Penempatan perangkap berdasarkan informasi dari penangkap ular bisa dikatakan bias karena hanya didasarkan pengalaman pemburu dan kemungkinan tidak berlaku untuk musim kemarau. Faktor penyebab ketidakhadiran python juga karena python memiliki wilayah jelajah yang relatif luas. Terdapat enam titik pengamatan yang memiliki tingkat kesesuaian habitat tinggi namun tidak ditemui adanya python yang terperangkap. Ketidakhadiran python diduga karena berada ditempat lain yang memiliki kondisi habitat serupa. Namun habitat mikro pada titik pengamatan tersebut mampu menyediakan kebutuhan python akan kelembaban udara, jarak sumber air terdekat dengan kerapatan beberapa jenis vegetasi.
Simpulan Kelas kesesuaian tinggi yang dapat digunakan untuk memprediksi kehadiran python ditandai dengan kelembaban udara berkisar antara 64-72% dan jarak dengan sumber air terdekat berkisar antara 10-200 cm, dengan kerapatan vegetasi minimal untuk jenis sagu sebanyak 322 batang/ha, simpur sebanyak 118 batang/ha, pulai sebanyak 77 batang/ha dan galing-galing sebanyak 18 batang/ha, namun peluang tertinggi berada pada tingkat kesesuaian habitat sedang. Peran vegetasi bagi kehadiran python diduga mampu menyediakan kebutuhan perlindungan dari terik matahari, hujan, pemangsaan dan perkawinan yang sangat dibutuhkan oleh satwa.
17
3. KELIMPAHAN DAN KAKTERISTIK MORFOLOGI Python reticulatus Schneider, 1801 DI KEBUN SAGU, KABUPATEN SAMBAS (Abundance and Morphology Charactesictics of Python reticulatus Schneider, 1801 at Sago Plantation in Sambas District)
Abstrak Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan pemanfaatan Python reticulatus terbanyak kedua di Indonesia memiliki keterbatasan informasi populasi. Pemanfaatan yang dilakukan terus menerus dengan jumlah yang tinggi tanpa didukung oleh informasi populasi dialam menyebabkan kekhawatiran menurunnya populasi yang akan berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem. Penangkapan python di Kabupaten Sambas yang menjadi perhatian para pemburu ular berlokasi pada areal kebun sagu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan relatif dan mengidentifikasi karakteristik morfologi P. reticulatus di Kabupaten Sambas. Penelitian berlangsung sejak bulan Februari sampai April 2014 pada 3 lokasi kebun sagu di Kecamatan Tangarang dengan menggunakan perangkap. Individu yang tertangkap terdiri dari 36 individu dewasa (92.31%) dan 3 individu muda berjenis kelamin betina (7.69%), anakan (bayi) dan telur tidak ditemukan selama penelitian berlangsung dan sex ratio yang dihasilkan adalah 1 : 1.375. Kelimpahan relatif di Kecamatan Tangaran menghasilkan nilai 0; 0.5 dan 0.4 individu/malam. Kelimpahan relatif tertinggi terdapat pada Tangaran 2, yang memiliki ekosistem sekitar lebih bervariasi. Tidak ada perbedaan yang nyata antara hasil pengukuran morfometri jantan dan betina yang tertangkap. Kata kunci : Python reticulatus, kelimpahan, morfologi
Pendahuluan Python reticulatus Schneider, 1801 atau sanca merupakan jenis ular terbesar di dunia, dengan wilayah distribusi yang sangat luas meliputi Asia Selatan, Asia Tenggara dan sebagian besar wilayah Indonesia (Iskandar & Colijn 2001). Variasi geografi subspecies P. reticulatus terbagi dalam tiga kelompok yaitu P. reticulatus reticulatus yang menghuni wilayah daratan Sunda (Sumatera, Jawa, Kalimantan) dan Sulawesi, P. reticulatus saputrai yang menghuni pulau Selayar dan Bira (ujung barat daya Sulawesi Selatan) serta P. reticulatus jampeanus yang menghuni pulau Tanah Jampea. P. reticulatus menempati wilayah dengan ketinggian di bawah 1 000 m dpl, sementara untuk di Kalimantan kisaran suhu yang disukai adalah 29–31 ºC dan kelembaban ± 70% (Stuebing & Inger 1999). Beberapa peneliti telah mencoba untuk mengungkap populasi P. reticulatus melalui kajian karakteristik habitat, parameter demografi, kelimpahan panenan, kelimpahan jenis, tata niaga dan upaya kelestarian pemanfaatan. Siregar (2012) menyebutkan bahwa ukuran P. reticulatus di Sumatera Utara yang berhasil ditangkap lebih kecil dan jumlahnya semakin berkurang bila dibandingkan dengan
18 tahun-tahun sebelumnya (kurun waktu 3 tahun belakangan). Hal ini menggambarkan kemungkinan terjadi penurunan populasi di alam. Penelitian terhadap python selama ini lebih banyak mengarah pada panenan, sedangkan penelitian tentang populasi P. reticulatus belum ada. Sulitnya menemukan python bahkan pada kondisi lingkungan abiotik yang memadai sekalipun merupakan penyebab utama terbatasnya penelitian yang dilakukan di habitat alaminya. Sebagai contoh penelitian keanekaragaman reptil yang dilakukan oleh Tajalli (2011) di kawasan lindung Sungai Lesan Kalimantan Timur, yang hanya menemukan satu individu python selama satu bulan dengan metode Visual Encounter Survey (VES). Yusuf (2008) pada areal eks-HPH PT. Rimba Karya Indah di Jambi selama dua bulan menemukan tiga individu ular dari famili Elapidae dan Veripidae di hutan primer, enam individu ular di hutan sekunder, tiga individu ular di kebun sawit, dua individu ular di kebun karet dan tiga individu ular di tanah terbuka. Widodo et al. (2012) yang meneliti keanekaragaman herpetofauna di kawasan kampus Universitas Riau, hanya menemukan Python reticulatus sebanyak satu individu disamping dua individu jenis ular lain selama 25 hari pengamatan. Rahayuningsih dan Abdullah (2012) dalam penelitiannya mengenai persebaran dan keanekaragaman herpetofauna di Kampus Universitas Negeri Semarang menemukan tiga individu ular famili colubridae. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman reptil secara keseluruhan menghasilkan penemuan individu python yang sangat sedikit bahkan hampir tidak ada. Kalimantan Barat sebagai provinsi dengan pemanfaatan P. reticulatus terbanyak kedua di Indonesia, memiliki keterbatasan informasi populasi spesies ini. Pemanfaatan yang dilakukan terus menerus dengan jumlah yang tinggi tanpa didukung oleh informasi populasi di alam menyebabkan kekhawatiran menurunnya jumlah populasi, yang akan berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem. Penangkapan python di Kabupaten Sambas yang menjadi perhatian para pemburu ular berlokasi di areal kebun sagu. Seringnya perjumpaan dengan python dan akses yang cukup mudah menyebabkan lokasi ini menjadi areal penangkapan rutinitas para pemburu. Informasi lokasi penangkapan Python reticulatus di kebun sagu ini memberikan peluang untuk mempelajari populasi maupun karakteristik morfologi P. reticulatus di habitat non hutan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah mengetahui kelimpahan relatif dan mengidentifikasi karakteristik morfologi P. reticulatus di kebun sagu Kabupaten Sambas.
Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di areal kebun sagu di Kecamatan Tangaran Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat (Gambar 3). Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada informasi penangkap sanca yang bekerja di kebun sagu tersebut. Pengambilan data dilakukan pada bulan Februari sampai April 2014. Lokasi
19 pengambilan sampel terbagi tiga yaitu Tangaran1, Tangaran 2 dan Tangaran 3 (Tabel 6)
g
Gambar 3 Lokasi pengamatan
Tabel 6 Lokasi pengambilan sampel Lokasi Koordinat Ekosistem sekitar
Tangaran 1 01˚32’054” 109˚11’002” Sungai
Tangaran 2 01˚33’248” 109˚10’342” Ladang dan campuran dengan kebun karet
Tangaran 3 01˚31’413” 109˚12’030” Ladang
Metode Pengumpulan Data Pencarian individu Python reticulatus dilakukan dengan menggunakan perangkap. Perangkap ditempatkan secara acak menurut kebiasaan pemburu setempat dan dibuat dengan menggunakan 3 atau 4 batang kayu berdiameter ± 10 cm sebagai tiang utama yang ditancapkan dengan kemiringan sekitar 450 untuk menggantungkan umpan. Kayu tersebut kemudian dihubungkan dengan bambu
20 yang telah dipasang tali rafia untuk menjerat ular ketika mengambil umpan. Umpan yang digunakan adalah bebek mati yang tidak dikuliti. Penggantian umpan dilakukan setiap tiga hari sekali. Pengecekan perangkap dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Jumlah perangkap seluruhnya adalah sebanyak 127 perangkap yang dipasang pada 3 lokasi kebun sagu. Untuk menghindari penghitungan ganda pada data hasil penelitian, semua individu yang tertangkap selama masa penelitian tidak dikembalikan ke habitat tangkapnya dan kemudian dilakukan pengukuran/ pencatatan morfometri. Data yang dihitung dan diukur dalam penelitian ini adalah jumlah individu yang ditangkap, panjang tubuh, bobot tubuh, jenis kelamin, dan waktu yang dihabiskan untuk melakukan pencarian (malam). Setiap ular yang ditangkap diukur panjang tubuhnya yaitu dengan meteran yang meliputi panjang badan (PB) yaitu panjang dari leher sampai kloaka (cm), Snout-Vent Length (SVL) yaitu panjang dari ujung kepala hingga lubang kloaka (cm) dan panjang ekor (PE) yaitu panjang dari kloaka hingga ujung ekor (cm). Panjang ekor perlu diketahui sebagai bahan informasi mengenai panjang total ular. Panjang badan diukur karena dalam perdagangan, panjang badan menjadi indikator penangkapan. Selain itu, berat tubuh juga diukur dengan menggunakan timbangan pegas. Jenis kelamin diketahui dengan cara menekan bagian sekitar anus, dari ekor menuju anus.
Analisis Data Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah struktur umur, sex rasio, dan kelimpahan. Struktur umur diklasifikasikan berdasarkan ukuran SVL. Menurut Shine et al. (1999), struktur umur pada P. reticulatus dibagi menjadi 3 kelas yaitu bayi (anakan), muda dan dewasa. Kelas umur P. reticulatus betina adalah bayi (anakan) dengan ukuran SVL<110 cm, muda dengan ukuran SVL 110-235 cm dan dewasa dengan ukuran SVL>235 cm, sedangkan P. reticulatus jantan untuk kelas umur bayi (anakan) dengan ukuran SVL<110 cm, muda dengan ukuran SVL 110210 cm dan dewasa dengan SVL>210cm. Sex rasio didapatkan dengan membandingkan jumlah jantan dan betina yang tertangkap. Kelimpahan relatif P. reticulatus dihitung dengan menggunakan persamaan (TPBC 1998): Kelimpahan Relatif = (Jumlah ular yang terperangkap pada suatu perangkap)/(Jumlah hari (malam) untuk perangkap tersebut) Karekteristik morfometri P. reticulatus dianalisis dengan cara membandingkan hasil pengukuran morfometri berdasarkan jenis kelamin. Hipotesis yang dibangun adalah: H0 : tidak ada perbedaan nilai variabel antara jantan dan betina H1 : ada perbedaan nilai variabel antara jantan dan betina. Analisis diawali dengan melakukan uji normalitas data melalui Uji One Sample Kolmogorov Smirnov untuk memastikan bahwa data tersebar normal, kemudian dilanjutkan dengan melakukan uji beda (Independent Sample T Test). Penghitungan dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel 2010 dan SPSS16.0 dengan selang kepercayaan 95%. Hasil penghitungan kemudian ditampilkan dalam bentuk tabulasi dan dianalisis secara deskriptif.
21 Hasil Total jumlah individu yang tertangkap selama pengamatan adalah 38 individu. Anakan (bayi) dan telur tidak ditemukan selama penelitian berlangsung (Tabel 7). Ular jantan yang tertangkap sebanyak 16 individu sedangkan ular betina sebanyak 22 individu, dengan rasio 1 : 1.375. Keseluruhan ular jantan (100%) yang tertangkap masuk dalam struktur umur dewasa sedangkan untuk betina, 90.91% masuk dalam struktur umur dewasa dan 9.09% betina muda.
Tabel 7 Struktur umur Phyton reticulatus pada lokasi pengamatan Jantan Kriteria (SVL (cm)) Ʃ Tangkapan Persentase (%)
Betina
Anakan
Muda
Dewasa
Anakan
Muda
Dewasa
<110
110 – 210
>210
<110
110 - 235
>235
0 0
0 0
16 42.11
0 0
2 5.26
20 52.63
Kelimpahan relatif dihitung berdasarkan data yang diperoleh pada tiga lokasi pengamatan yang terdiri dari 127 titik pengamatan dengan distribusi dan penghitungan kelimpahan relatif disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8 Kelimpahan relatif Python reticulatus berdasarkan lokasi pengamatan
Lokasi Tangaran_1 Tangaran_2 Tangaran_3
Ʃ Titik Pengamatan 50 56 21
Ʃ Ular (individu) 0 27 11
Ʃ Waktu (malam tertangkap) 0 53 25
Kelimpahan Relatif (indiv/malam) 0 0.5 0.4
Individu terpanjang yang tertangkap pada penelitian ini adalah individu dengan jenis kelamin betina (SVL = 348.0 cm) sementara individu jantan terpanjang ditemukan dengan SVL = 322.3 cm. Individu jantan mempunyai ratarata SVL yang lebih besar dibandingkan dengan individu betina (Mean SVLjantan = 283.7; Mean SVLbetina = 281.9). Individu betina memiliki berat tubuh maksimal yang lebih besar dibandingkan individu jantan (BTjantan = 15.1; BTbetina = 19.0), namun individu jantan memiliki rata-rata yang lebih besar dibandingkan individu betina (Mean BTjantan = 9.90; Mean BTbetina = 9.20). Uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa semua data pada variabel morfometrik terdistribusi secara normal. Hasil uji normalitas data disajikan pada
22 Lampiran 2. Meskipun rata-rata SVL jantan lebih besar dari SVL betina, namun hasil uji beda (Independent sample T Test, disajikan pada Lampiran 3) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin jantan (n = 16) dengan betina (n = 23) pada hasil pengukuran variabel SVL (t = 0.380; df = 37; P > 0.05), panjang badan (t = 0.314; df = 37; P > 0.05), panjang ekor (t = 0.137; df = 37; P > 0.05) dan berat tubuh (t = 0.766; df = 37; P > 0.05). Hubungan antara SVL dan berat tubuh python disajikan pada Gambar 4.
20 y = 0.1064x - 20.292 R² = 0.7548
18 16 14 Berat Tubuh (kg)
12 10
8 6
y = 0.0812x - 13.712 R² = 0.7621
4
2 0 0
100
200
300
400
SVL (cm)
Gambar 4 Hubungan antara SVL dengan berat tubuh
PEMBAHASAN Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi (Alikodra 2002). Struktur umur dapat digunakan untuk menilai perkembangbiakkan satwaliar sehingga dapat digunakan untuk menilai prospek kelestariannya. Meskipun perangkap yang dipasang tidak mengarah pada preferensi tangkapan berdasarkan struktur umur tertentu, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah individu yang tertangkap lebih banyak berasal dari struktur umur dewasa (94.74%) dibandingkan dengan struktur umur muda (5.26%). Hal ini diduga karena keberadaan python di lokasi penelitian lebih banyak berasal dari struktur umur dewasa dan jenis umpan yang dipasang tidak memungkinkan untuk dimakan oleh python dengan struktur umur anakan maupun muda. Berdasarkan struktur umur diatas, penelitian ini belum dapat menggambarkan struktur umur sesungguhnya karena struktur umur dapat dikatakan progresif atau regresif memerlukan data yang berkesinambungan dalam beberapa kurun waktu. Meskipun penggunaan perangkap tidak mengarah pada
23 struktur umur tertentu, namun diduga besarnya umpan dan ketinggian perangkap merupakan faktor pembatas untuk setiap individu python (anakan, muda dan dewasa) untuk mengambil umpan. Disisi lain, terlalu dini pula untuk mengatakan bahwa jika individu yang terperangkap lebih banyak berasal dari struktur umur dewasa menunjukkan tingkat kelestarian yang sebenarnya. Hal ini disebabkan bahwa untuk mendapatkan kelestarian jenis, maka struktur Keseimbangan jumlah jantan dan betina menjadi sangat penting untuk menjamin keberlangsungan suatu populasi. Kerapatan populasi akan lebih bernilai jika diketahui proporsi jantan dan betina dalam populasi tersebut. Apabila dalam suatu populasi, kerapatannya besar namun perbandingan jantan dan betina tidak seimbang, maka kemungkinan populasi tersebut untuk menurun akan lebih besar. Terlalu banyak jantan bisa menyebabkan persaingan yang besar dalam memperebutkan betina. Sebaliknya, apabila terlalu banyak betina maka akan ada betina produktif yang mungkin menjadi tidak produktif karena tidak dibuahi (Alikodra 2002). Keseimbangan jumlah jantan dan betina bukan berarti harus sama jumlahnya, namun seimbang jumlahnya. Pada jenis satwaliar yang bersifat poligami, perbandingan akan dianggap seimbang jika betina lebih banyak dari jantan. Sedangkan pada yang poligini, akan seimbang jika jantan lebih banyak dari betina. Menurut Duval et al. (1993), sistem perkawinan ular bisa poligami, poliandri, poligini maupun monogami, namun lebih banyak kecenderungan untuk poligini. Pada kondisi sistem perkawinan poligini, jumlah jantan lebih banyak dari betina untuk mendapatkan perkawinan yang optimal hasilnya. Ular betina akan memilih jantan melalui kompetisi sperma potensial. Dewasa kelamin pada ular python terjadi pada umur antara 2-4 tahun dengan panjang tubuh pada jantan 2.02.5 meter pada jantan dan 3.0 meter pada betina (Mexico 2000 dalam Matswapati 2009). Caughley (1977) dan Alikodra (2002) menyebutkan bahwa ukuran tubuh satwa liar dapat digunakan sebagai pendekatan pendugaan umur. Ular yang berhasil tertangkap sebagian besar adalah betina (57.89%) dan 90,91% dari betina yang tertangkap adalah betina dewasa. Diduga bahwa pada lokasi pengamatan jumlah betina lebih banyak dibandingkan jantan. Di Sumatera, P. reticulatus yang dipanen pada saat penelitian, sebagian besar adalah jantan (52%), dan 89% dari jantan yang ditangkap adalah jantan dewasa (Shine et al. 1999). Ukuran tubuh betina P. reticulatus yang pernah diteliti di Sumatera lebih besar dari jantan. Shine (1998) menyatakan bahwa ukuran jantan dan betina juga tergantung pada sistem perkawinannya. Jantan yang memperebutkan betina untuk kawin, biasanya berkuran lebih besar dari betina. Lebih lanjut lagi, Shine (1998) mengatakan bahwa pada python, sering terlihat lebih dari satu jantan bersamasama mengawini satu betina (poligini) dan ukuran jantan lebih kecil dari betina. Membedakan jenis kelamin jika hanya berdasarkan ukuran tubuh sangat sulit dilakukan. Barker & Barker (1994) menyatakan bahwa untuk menentukan jenis kelamin ular, dapat dilihat dari kloakanya. Sex ratio keseluruhan individu yang tertangkap adalah 1 : 1.375. Mengingat bahwa ular jenis python bersifat poligini (Shine et al. 1999), maka sex ratio pada lokasi penelitian diduga tidak ideal. Namun demikian, penelitian ini dilakukan dalam waktu yang relatif singkat dan hanya pada musim kering sehingga tidak dapat diambil kesimpulan bahwa hal ini mempengaruhi kelestarian python.
24 Lokasi penelitian terbagi dalam 3 kebun sagu milik rakyat di Kecamatan Tangaran. Nilai kerapatan relatif pada masing-masing lokasi berbeda. Pada Tangaran 1 tidak ada satu ular pun yang tertangkap pada lokasi ini sementara pada Tangaran 2 dan Tangaran 3 kelimpahan ular (individu/malam) masingmasing adalah 0.5 dan 0.4. Ketiga lokasi pengamatan merupakan dataran rendah, dekat dengan sumber air dan merupakan lokasi penangkapan rutin para pemburu python. Meskipun metoda penangkapan dilakukan dengan perangkap dan diberi umpan, namun kehadiran maupun ketidakhadiran python saat pengamatan berlangsung diduga lebih dipengaruhi oleh faktor kesesuaian habitat (lihat bagian 2) dan ketersediaan pakan secara alami. Pengambilan data menggunakan metode perangkap memiliki beberapa kelemahan karena tidak memperhitungkan perilaku ular tersebut. Saat ini perilaku python pada habitat alaminya belum terungkap seluruhnya, baik mengenai preferensi waktu terhadap prilaku makan, istirahat, kawin maupun tempat hidup. Penelitian mengenai kelimpahan relatif ular jenis python di Indonesia selama ini dilakukan pada tingkat pengumpul sehingga data yang digunakan untuk mengukur kelimpahan relatif lebih mengarah pada kelimpahan relatif panenan (pustaka). Belum adanya peneliti yang mengukur kelimpahan relatif langsung pada lokasi tangkapan spesies ini menjadikan hasil penelitian ini tidak dapat dibandingkan dengan hasil peneliti lainnya mengenai python. Hasil tangkapan python dengan metode perangkap di Kecamatan Tangaran yang menghasilkan 38 individu termasuk jumlah yang besar mengingat waktu pencarian sebanyak 78 malam. Hasil penelitian lainnya mengenai kelimpahan relatif jenis ular (selain python) dengan metode perangkap tanpa menggunakan umpan mendapatkan individu dengan jumlah relatif lebih kecil (Jenkins et al. 2003, Bateman et al. 2009). Jenkins et al. (2003) yang membandingkan dua teknik perangkap di Amerika Serikat menemukan sebanyak 63 ular terperangkap yang terdiri dari tiga jenis selama tahun 1998 (± 365 malam), sedangkan Bateman et al. (2009) yang dalam penelitiannya juga menggunakan perangkap di New Mexico menemukan total ular yang terperangkap sebanyak 158 ular, terdiri dari 14 jenis selama kurun waktu tujuh tahun atau sekitar 2 555 malam (2000-2006). Bila dibandingkan dengan penggunaan metode lain maka pengamatan menggunakan metode pencarian langsung di habitat alami umumnya mendapatkan jumlah individu yang relatif sedikit (Tajalli 2011, Widodo et al. 2012). Hal ini juga pernah dilakukan oleh peneliti ini di perkebunan sagu di Jawai dengan pencarian langsung selama 7 malam dengan luas areal sekitar 1.8 hektar yang hanya mendapatkan satu ekor ular sanca (data tidak dipublikasikan). Ukuran SVL terbesar ditemukan pada jenis kelamin betina sedangkan ratarata ukuran SVL jantan lebih besar dari SVL betina, meskipun tidak ada perbedaan yang nyata antara hasil pengukuran morfometri jantan dan betina (Sig. > 0.05). Hal ini bertolak belakang dengan penelitian terhadap spesies yang sama, baik oleh Shine et al. (1999) dan Wardhani (2012) yang dalam penelitiannya menghasilkan rata-rata SVL betina lebih besar dari SVL jantan. Anakan jantan dan betina umumnya lahir dengan ukuran yang tidak berbeda, namun pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya akan menyebabkan ukuran tubuh berbeda (Shine 1998). Pada beberapa jenis ular, betina berkembang lebih besar dibandingkan jantan. Perbedaan kecepatan pertumbuhan ini terjadi karena perbedaan kecepatan makan dan metabolisme pencernaan.
25 Simpulan Individu yang tertangkap dengan metode perangkap sebanyak 38 individu, terdiri dari 36 individu dewasa (94.74%) dengan 16 individu jantan (42.11%) dan 20 individu betina (52.63%) serta 2 individu betina muda (5.26%). Sex ratio individu yang terperangkap adalah 1 : 1.375. Kelimpahan relatif tertinggi terdapat pada Tangaran 2, yang memiliki ekosistem sekitar lebih bervariasi. Mengingat kondisi lingkungan pada ketiga lokasi relatif sama, maka ketidakberadaan python di satu lokasi diduga berhubungan dengan keberadaan pakan alami. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara ukuran python jantan dan betina yang tertangkap, meskipun rata-rata SVL jantan lebih besar dari rata-rata SVL betina.
26
4. PEMBAHASAN UMUM Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi, penyebaran dan produktivitas satwaliar. Habitat yang mempunyai kualitas yang tinggi nilainya diharapkan akan menghasilkan satwaliar yang berkualitas tinggi. Untuk mendapatkan kualitas kehidupan satwaliar maka diperlukan pengelolaan habitat (Alikodra 2002). Pengelolaan habitat yang baik akan berdampak pada populasi satwaliar itu sendiri. Selain kelembaban dan jarak dari sumber air terdekat yang merupakan faktor abiotik suatu lingkungan, kehadiran python pada penelitian ini memiliki korelasi yang kuat pada beberapa jenis vegetasi yang ada di sekitar kebun sagu. Vegetasi yang bersifat pelindung (cover) bagi kehadiran python memberikan manfaat terpenuhinya kebutuhan perlindungan dari terik matahari, hujan, pemangsaan, perkawinan dan eksploitasi. Selama ini python diketahui dapat ditemui di berbagai macam ekosistem, mulai dari hutan tropis utuh (Yusuf 2008, Tajalli 2011), kebun sawit (Wardhani 2012, Yusuf 2008) maupun pemukiman (Widodo et al. 2012). Hal ini menunjukkan bahwa python sesungguhnya merupakan jenis yang relatif adaptif dimana populasinya dapat dibuktikan berada pada kawasan tersebut. Faktor utama yang menyebabkan sifat adaptif dari jenis ini adalah ketersediaan pakan yang tetap ada pada habitat-habitat tersebut. Kebun sagu, melalui penelitian ini, ternyata mampu menyediakan habitat yang potensial bagi python. Adanya tumbuhan bawah, pakan dan kelembaban yang merupakan kebutuhan utama python diduga dapat disediakan oleh habitat ini. Luas kebun sagu di Provinsi Kalimantan Barat adalah 1 174.96 ha (BPS 2013) dan 100.616 ha di Indonesia (Novarianto 2013). Pemanfaatan tamanan sagu bagi masyarakat setempat untuk digunakan sebagai atap (dahan) dan sagu yang diolah menjadi tepung membuka peluang adanya habitat baru bagi kehadiran python. Peluang tertinggi kehadiran python dalam penelitian ini adalah pada tingkat kesesuaian habitat sedang (p = 0.68), sedangkan pada tingkat kesesuaian habitat tinggi nilai peluang kehadiran python adalah 0.46 dan kesesuaian habitat rendah memiliki nilai peluang 0.17. Peluang tertinggi kehadiran python tersebar pada lokasi pengamatan Tangaran 2 sebanyak 14 individu yang tertangkap dan Tangaran 3 dengan individu tertangkap sebanyak 4 individu. Hal ini sejalan dengan nilai kelimpahan relatif pada masing-masing lokasi pengamatan, dimana pada lokasi Tangaran 2 memiliki nilai kelimpahan relatif tertinggi yaitu 0.5 individu/malam dibandingkan dengan Tangaran 3 dengan nilai kelimpahan relatif 0.4 individu/malam. Kelimpahan relatif pada kebun sagu melalui penelitian ini relatif tinggi. Hal ini disebabkan bervariasinya ekosistem sekitar lokasi pengamatan. Pada lokasi Tangaran 2 nilai kelimpahan relatifnya lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi Tangaran 1 dan Tangaran 3. Hal ini disebabkan karena adanya variasi vegetasi pada masing-masing lokasi pengamatan. Tangaran 1 memiliki nilai kelimpahan relatif paling rendah yaitu 0 individu/malam dengan ekosistem sekitar berupa sungai. Tangaran 2 merupakan kebun sagu dengan tujuh jenis vegetasi didalamnya, sedangkan ekosistem sekitar berupa ladang dan kebun karet. Tangaran 3 merupakan lokasi kebun sagu yang memiliki lima jenis vegetasi didalamnya dengan ekosistem sekitar berupa ladang. Hal ini berarti bahwa lokasi
27 Tangaran 2 merupakan lokasi pengamatan yang paling potensial bagi kehadiran python karena ketersediaan pakan langsung (contohnya tikus) tersedia pada lokasi ini, disamping jumlah vegetasi yang cukup banyak sehingga mampu menyediakan cover bagi pergerakan python. Penelitian terhadap Python reticulatus harus memperhitungkan musim. Pengamatan dalam penelitian ini dilakukan pada musim kering. Pengamatan yang dilakukan pada musim hujan mungkin memperoleh hasil yang berbeda dari penelitian ini, sehingga mampu memprediksi nilai kelimpahan relatif sepanjang tahun. Penggunaan umpan pada perangkap disesuaikan dengan kemampuan makan python. Diduga penggunaan bebek sebagai umpan kurang cocok untuk mendapatkan anakan python, hal ini dibuktikan dengan perolehan individu yang tertangkap 94.74% berasal dari struktur umur dewasa. Struktur umur dewasa dalam penelitian ini ditemui pada semua kelas kesesuaian lahan dengan peluang 0.16 pada kelas kesesuaian rendah, 0.63 pada kelas kesesuaian sedang dan 0.54 pada kelas kesesuaian tinggi, sedangkan struktur umur muda ditemui pada kelas kesesuian rendah dengan peluang 0.01 dan kelas kesesuaian sedang dengan peluang 0.05. Hal ini berarti bahwa upaya konservasi dapat dimulai pada lokasi dengan penemuan individu muda terlebih dahulu. Hasil penelitian ini belum dapat menjawab kelestarian python pada kebun sagu meskipun faktor lingkungan biotik dan abitoik memadai bagi jenis ini. Kelestarian jenis dapat diperhitungkan jika data kepadatan jenis telah diketahui disamping jumlah pemanfaatan dan faktor lainnya seperti natalitas, mortalitas, struktur umur dan prilaku spesies ini. Untuk menjawab kelestarian python tersebut, monitoring jangka panjang lebih dari 1 tahun (Jenkins 2003, Batman 2009) dengan menggunakan metode mark recapture. Dalam penelitian ini, peneliti mengikuti pemburu ular, sehingga hasil yang didapatkan dimanfaatkan keseluruhan dan tidak dikembalikan ke habitatnya. Pemanfaatan Python reticulatus dengan jumlah yang cukup tinggi (eksploitasi) setiap tahunnya tentu saja akan berdampak pada keberadaan python dimasa mendatang. Kualitas habitat yang semakin lama semakin memburuk juga turut mengambil peran bagi penurunan populasi spesies ini. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya konservasi untuk melestarikan keberadaan python secara berkelanjutan. Struktur umur dapat digunakan untuk menilai perkembangbiakkan satwaliar sehingga dapat digunakan untuk menilai prospek kelestariannya. Proporsi keberadaan individu pada setiap kelas umur, jenis kelamin dan sifat perkawinan sangat menentukan keberlanjutan populasi tersebut pada suatu wilayah tertentu. Upaya konservasi yang dapat dilakukan untuk mendukung keberadaan python ini adalah perbaikan kualitas habitat dan pembatasan eksploitasi mengingat bahwa pemanfaatan yang tercatat adalah kebutuhan eksport sedangkan untuk kebutuhan lokal masih belum diketahui secara pasti. Rotasi eksploitasi yang disarankan oleh peneliti lain berupa penentuan lokasi tangkapan yang berbeda dalam kurun waktu tertentu, hendaknya mendapat perhatian yang serius dan perlu dikaji lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaannya dengan tidak mengurangi kesejahteraan masyarakat.
28
5. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Peluang tertinggi kehadiran python dalam penelitian ini adalah pada tingkat kesesuaian habitat sedang (p = 0.68) dengan kelembaban udara berkisar antara 68–74% dan jarak air terdekat antara 10–200 cm. Kelimpahan relatif tertinggi berada pada Tangaran 2 yang memiliki nilai 0.5 individu/malam, sedangkan Tangaran 3 dengan nilai kelimpahan relatif 0.4 individu/malam dan kelimpahan relatif pada Tangaran 1 sebesar 0 individu/malam. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara hasil pengukuran morfometri antara jantan dan betina. Vegetasi, kelembaban dan jarak air terdekat memiliki korelasi terhadap kehadiran python, sedangkan variasi ekosistem sekitar lokasi pengamatan diduga merupakan penyebab nilai kelimpahan relatif berbeda meskipun keseluruhan wilayah studi merupakan kebun sagu karena berhubungan dengan pakan alami yang tersedia serta pergerakan python. Pengelolaan habitat yang baik akan berdampak pada populasi satwaliar itu sendiri. Mengingat kebun sagu di Indonesia relatif luas dan ditunjang oleh pemanfaatan komoditi ini maka akan mengakibatkan keberlanjutan kebun sagu pada masa mendatang yang berarti pula tetap menjamin keberadaan python karena habitatnya yang tetap ada. Disamping itu tetap diperlukan upaya perbaikan kualitas habitat baik pada hutan tropis sebagai habitat asli maupun kawasan intensif penggunaan manusia yang terbukti mampu menyediakan kebutuhan habitat baik dari unsur biotik maupun abiotik bagi python.
Saran 1.
2.
Beberapa hal yang dapat disarankan dari penelitian ini adalah: Penelitian ini terbatas hanya pada musim kering sehingga perlu dilakukan penelitian yang sama pada waktu lain untuk melihat pengaruh musim terhadap populasi. Keberadaan python diduga berhubungan dengan persediaan pakan alami, oleh karena itu penelitian mengenai kelimpahan pakan dan perilaku makan Python reticulatus perlu dilakukan.
29
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor(ID): Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Barker DG, Barker TM. 1994. Python of The World Volume I, Australia. Sydney: The Herpetocultural Library Bateman HL, MacCoubrey AC, Snell HL, Finch DM. 2009. Abundance and Species Richness of Snake Along The Middle Rio Grande Riparian Forest in New Mexico. Herpetological Conservation and Biology.4(1):1-8. Bickford D, Howard SD, Ng DJJ, Sheridan JA. 2010. Impacts of climate change on the amphibians and reptiles of South Asia. Biodiversity and Conservation. 19:1043-1062. Bintoro MH, Syarifudin SA, Dewi RK, Ahyuni D. 2013. Sagu Mutiara Hijau Khatulistiwa yang Dilupakan. Bogor(ID): Digreat Publishing. [BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Paloh. 2014. Data Cuaca Harian. Paloh: BMKG. Botanri S, Setiadi D, Guhardja E, Qayim I, Prasetyo LB. 2011. Karakteristik habitat tumbuhan sagu (Metroxylon spp) di Pulau Seram, Maluku. Forum Pascasarjana. 34:33-44. [BPS Sambas] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas. 2013. Sambas Dalam Angka 2013. Sambas: BPS Caughley G. 1977. Analysis of Vertebrate Populations. New York(NY): John Wiley & Sons Ltd. Danielson E, Levin EW, Abrams J. 2002. Meteorology 2nd Edition. New York(NY): McGraw Hill. [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2010a. Keputusan Dirjen PHKA No. SK.18/IV-KKH/2010 tanggal 8 Februari 2010 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwaliar yang Termasuk Appendix CITES Tahun 2010. Jakarta: PHKA. [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2010b. Keputusan Dirjen PHKA No. SK.201/IV-KKH/2010 tanggal 31 Desember 2010 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwaliar yang Termasuk Appendix CITES Tahun 2011. Jakarta: PHKA. [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2011. Keputusan Dirjen PHKA No. SK.261/IV-KKH/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwaliar yang Termasuk Appendix CITES Tahun 2012. Jakarta: PHKA. [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2013. Keputusan Dirjen PHKA No. SK.6/IV-KKH/2013 tanggal 7 Januari 2013 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwaliar yang Termasuk Appendix CITES Tahun 2013. Jakarta: PHKA. [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2014. Keputusan Dirjen PHKA No. SK.13/IV-KKH/2014 tanggal 28 Januari 2014 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan
30 Penangkapan Satwaliar yang Termasuk Appendix CITES Tahun 2014. Jakarta: PHKA. Duvall D, Schuett GW, Arnold SJ. 1998. Ecology and Evolution of Snake Mating System. Di Dalam Seigel RA., Collins JT., editor. Snakes Ecology and Behaviour. New York: McGraw-Hill Inc. Garden JG, McAlpine CA, Possingham HP, Jones DN. 2007. Habitat structure is more importanat than vegetation composition for local-level management of native terrestrial reptile and small mammal species living in urban remnants: A case study from Brisbane, Australia. Austral Ecology. 32:669-685. Goin CJ, Goin OB. 1971. Introduction to Herpetology. San Francisco (USA): WH Feeman and Company. Harsanto PB. 1992. Budidaya dan Pengolahan Sagu. Yogyakarta (ID): PenerbitKanisus. Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi Edisi Revisi. Jakarta(ID): Yayasan Obor Indonesia. Iskandar DT, Colijn E. 2001. Checklist of Southeast Asian and New Guinean Reptiles Part 1: Serpentes. Jakarta: Binamitra. Iskandar DT, Erdelen WR. 2006. Conservation of amphibians and reptiles in Indonesia: issues and problems. Amphibian and Reptile Conservation. 4(1):60-81. Jenkins CL, McGarigal K. 2003. Comparative Effectiveness of Two Trapping Techniques for Surveying the Abundance and Diversity of Reptiles and Amphibians Along Drift Fence Arrays. Herpetological Review.34(1):39-42. Kusrini MD. 2009. Survey Pemanenan dan Perdagangan Labi-labi (Amyda cartilaginea di Kalimantan Timur. Bogor (ID): Pustaka Media Konservasi 111. Lindenmayer DB, Hobbs RJ, Salt D. 2003. Plantation forest and biodiversity conservation. Australian Forestry. 66:62–66. Mardiastuti A, Soehartono T. 2003. Perdagangan Reptil Indonesia di Pasar Internasional. Di dalam: Kusrini, MD, A Mardiastuti, Harvey T, editor. Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia dan Prosising Seminar Hasil Penelitian Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan; 2003 Mei 8; Bogor, Indonesia. Bogor(ID): IPB. 181:131-144. Matspawati D. 2009. Biologi reproduksi ular sanca batik (Python reticulatus) [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Mehrtens JM. 1987. Living Snakes of The World; in Colour. New York(NY): Sterling Publishing Co. Novarianto H. 2013. Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat. Jakarta (ID): Departemen Pertanian. Rahayuningsih M, Abdullah M. 2012. Persebaran dan Keanekaragaman Herpetofauna Dalam Mendukung Konservasi Keanekaragaman Hayati di Kampus Sekaran Universitas Negeri Semarang. Indonesian Journal of Conservation.1:1-10 Reinert HK. 1993. Habitat selection in snakes. Di dalam: Seigel RA, Collins JT, editor. Snakes Ecology and Behaviour. New York: McGraw-Hill Inc. Shine R. 1998. Snakes. Di dalam: Cogger HG, Zweifel RG, editor. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Sydney: University of New South Wales Press Ltd.
31 Shine R, Ambariyanto, Harlow PS, Mumpuni. 1999. Reticulated pythons in Sumatera: biology, harvesting and sustainability. Biological Conservation. 87:349–357. Siregar J. 2012. Upaya Pelestarian Permanfaatan Ular Sanca Batik (Python reticulatus) dan Ular Sanca Darah Merah (Phyton brongersmai) Ditinjau dari Aspek Penangkapan dan Pemasarannya di Provinsi Sumatera Utara[Tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Snyder GK, Weathers WW. 1975. Temperature adaptation in amphibian. The American Naturalist. 109:93-101. Stuebing RB, Inger RF. 1999. A Field Guide to The Snakes of Borneo. Kinabalu: Natural History Publication (Borneo). Tajalli A. 2011. Keanekaragaman Jenis Reptil di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur[Skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. [TPBC] The Province of British Columbia. 1998. Inventory Methods of Snakes, Standards for Components of British Columbia Biodiversity No. 38. Victoria: Resource Inventory Comittee. Tweedie MWF. 1983. The Snakes of Malaya. Singapore: The Singapore National Printers (Pte) Ltd. Wardhani SE. 2012. Tata niaga, karakteristik habitat dan parameter demografi sanca batik (Python reticulatus Schneider 1801) yang dipanen di Propinsi Kalimantan Tengah [Tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Widodo A, Yusfiati, Yoza D. 2012. Keanekaragaman Jenis Herpetofauna di Kawasan Kampus Universitas Riau Panam Pekanbaru[Skripsi]. Riau(ID): Universitas Riau. Yoza D. 2000. Dampak perkebunan kelapa sawit terhadap keanekaragaman jenis burung di areal perkebunan PT. Ramajaya Pramukti, Kabupaten Dati II Kampar Propinsi Dati I Riau [Skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Yusuf LR. 2008. Studi keanekaragaman jenis reptil pada beberapa tipe habitat di Eks-HPH PT. RKI Kabupaten Bungo Propinsi Jambi [Skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
32 Lampiran 1 Analisis regresi logistik
Model Summary
Step
Cox & Snell R
Nagelkerke R
Square
Square
-2 Log likelihood
1
124.626
a
.213
.302
a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than .001.
Hosmer and Lemeshow Test Step
Chi-square
1
df
Sig.
4.313
8
.828
Classification Table
a
Predicted Kehadiran Python Observed Step 1
Tidak Ada
Kehadiran Python Tidak Ada Ada
Percentage
Ada
Correct
77
12
86.5
23
15
39.5
Overall Percentage
72.4
a. The cut value is .500 Variables in the Equation B Step 1
a
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
X2
-.511
.194
6.930
1
.008
.600
X3
-.016
.008
3.873
1
.049
.985
X4
.305
.115
7.010
1
.008
1.357
X5
.320
.165
3.749
1
.053
1.377
X6
.202
.062
10.485
1
.001
1.223
X7
.175
.072
5.952
1
.015
1.191
X8
-.145
.065
5.008
1
.025
.865
X12
.094
.032
8.485
1
.004
1.098
20.787
10.003
4.319
1
.038
1.066E9
Constant
a. Variable(s) entered on step 1: X2, X3, X4, X5, X6, X7, X8, X12.
33 Lampiran 2 Hasil uji normalitas data
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Berat Tubuh N Normal a Parameters
Mean
Most Extreme Differences
Panjang Badan
SVL
39
39
Panjang Ekor 39
39
9.3487
270.2487
2.8107E2
33.2590
3.72988
34.33187
3.62148E1
9.30607
Absolute
.085
.075
.062
.094
Positive
.085
.061
.060
.092
Negative
Std. Deviation
-.056
-.075
-.062
-.094
Kolmogorov-Smirnov Z
.532
.469
.386
.589
Asymp. Sig. (2-tailed)
.940
.980
.998
.879
34 Lampiran 3 Analisis uji beda (Independent Sample T Test)
Group Statistics Jenis Kelamin Berat Tubuh
Panjang Badan
SVL
Panjang Ekor
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Jantan
16
9.9000
3.78189
.94547
Betina
23
8.9652
3.72871
.77749
Jantan
16
2.7234E2
29.15252
9.39126
Betina
23
2.6879E2
38.09236
8.97481
Jantan
16
2.8374E2
30.87977
7.71994
Betina
23
2.7922E2
40.07980
8.35722
Jantan
16
33.5062
11.19449
2.79862
Betina
23
33.0870
8.00428
1.66901
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F
Sig.
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Berat Tubuh
Equal variances assumed
.693
.410
Equal variances not assumed Panjang Badan
Equal variances assumed
.827
.369
Equal variances not assumed SVL
Equal variances assumed
.665
.420
Equal variances not assumed Panjang Ekor
Equal variances assumed Equal variances not assumed
3.644 .064
Upper
.766
37
.449
.93478
1.22090
-1.53900
3.40857
.764
32.129
.451
.93478
1.22409
-1.55822
3.42779
.314
37
.755
3.55245
11.31146
-22.03903
31.93033
.330
36.594
.744
3.55245
10.77984
-21.42558
31.31689
.380
37
.706
4.52636
11.92452
-19.63501
28.68773
.398
36.541
.693
4.52636
11.37720
-18.53580
27.58852
.137
37
.892
.41929
3.06942
-5.79994
6.63853
.129
25.378
.899
.41929
3.25851
-6.28666
7.12525
35
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Juni 1973 sebagai anak kedua dari pasangan C. Silalahi (Alm.) dan S. br. Sihombing. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya, lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2012 penulis memperoleh kesempatan tugas belajar dari Kementerian Kehutanan melanjutkan ke Program Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui beasiswa pendidikan pascasarjana dari Kementerian Kehutanan. Penulis bekerja sebagai Pengendali Ekosistem Hutan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat sejak tahun 2000 dan ditempatkan di Pontianak.