TATA NIAGA, KARAKTERISTIK HABITAT DAN PARAMETER DEMOGRAFI SANCA BATIK (Python reticulatus SCHEIDER 1801) YANG DIPANEN DI PROPINSI KALIMANTAN TENGAH
SEPTI EKA WARDHANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir dengan judul Tata Niaga, Karakteristik Habitat dan Parameter Demografi Sanca Batik (Python reticulatus Scheider 1801) yang Dipanen di Propinsi Kalimantan Tengah adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, September 2012 Septi Eka Wardhani NRP E353100095
ABSTRACT SEPTI
EKA
WARDHANI. Trades, Habitat Charactesictics and
Demographyc Parameters of Harvested Reticulated Pythons (Python Reticulatus Scheider 1801) in Central Kalimantan Province. Under direction of Yanto Santosa and Nandang Prihadi. Reticulated python (Python reticulatus) has 180.000 heads annual quota. Despite of the commercial use of this species, a good management of the habitat and population is needed for its sustainability. This research was aimed to identify trades, the habitat charactesictics, harvestings, demographyc parameters and morphometry of harvested reticulated python. The research area was within harvesting areas, management authority, snakes collectors and traders in six regency in Central Kalimantan Province. The research method for trades was done by interviewing several actors of management authority, snakes collectors and traders. The habitat was performed by measuring the environment variables at every plot of capturing and nesting habitat, neither the snakes were captured or not. Harvestings, demographyc parameters morphometry variables of harvested snakes at every plot of habitats, catchers and collector were calculated and measured. Descriptive statistical analyzes showed that traders structure were consisted of collectors, middle man and legal permit owner. Kruskal Wallis and Kolmogorov-Smirnov test showed that there was no habitat preference by the reticulated python. Harvesting estimation derived from location of survey was 26.73% at collector stage and about 31.95 % at middle man stage comparing to annual quota of Central Kalimantan Province. Capturing criteria was based on the size of body length, rather than the sex. The sex ratio of captured snakes in collectors was 1:0.72 and middle man was 1:1.07. The age class most captured both in collectors and middle men was the adult male (99% and 89% from all male). This trend occurred because the adult male has a similar size with the young female. Keywords: reticulated python, Python reticulatus, trade, habitat, harvesting, demographyc parameter, morphometry.
ii
RINGKASAN SEPTI EKA WARDHANI. Tata Niaga, Karakteristik Habitat dan Parameter Demografi Sanca Batik (Python reticulatus Scheider 1801) yang Dipanen di Propinsi Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh Yanto Santosa dan Nandang Prihadi. Sanca batik (Python reticulatus Scheider 1801) adalah salah satu jenis ular yang banyak dieksploitasi. Pemanenan dari alam diperbolehkan namun pemanenan tersebut harus menjamin adanya kelestarian. Populasi akan lestari bila jumlah kematian sama dengan jumlah kelahiran. Penangkapan yang kurang dari batas maksimum perolehan secara lestari adalah lestari secara teoritis, sedangkan penangkapan pada atau dekat dengan batas maksimum perolehan secara lestari akan bersifat lebih riskan. Otoritas Pengelola di Indonesia telah menerapkan sistem kuota untuk menjamin kelestarian populasi di alam. Namun selama ini, kuota tahunan hanya ditetapkan berdasarkan jumlah realisasi tahun sebelumnya tanpa memperhatikan data yang lain. Kelemahan dalam penetapan kuota tangkap tersebut menjadi dasar perlunya dilakukan penelitian untuk menjadi bahan pertimbangan dalam penetapan kuota tangkap. Penelitian ini ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai tata niaga, karakteristik habitat, panenan, parameter demografi dan morfometri Python reticulatus yang dipanen di Kalimantan Tengah agar bisa dijadikan sebagai salah satu informasi ilmiah untuk penentuan kuota panenan yang lestari. Data tata niaga diambil dengan metode wawancara dengan narasumber dari Balai KSDA Kalimantan Tengah, pengumpul perantara, penangkap dan pemilik ijin. Jenis data yang dipergunakan untuk analisis tata niaga adalah pelaku, jalur, teknik penangkapan dan pengulitan, harga dan ukuran Python reticulatus yang diperdagangkan. Analisis data menggunakan analisis deskriptif. Data karakteristik habitat diambil pada lokasi ular ditangkap. Data habitat tangkap adalah ada/tidak ular, ketinggian lokasi (m dpl), suhu air (0C), suhu udara (0C), kelembaban udara (%) dan ph air. Data habitat bersarang adalah ada/tidak ular pada suatu sarang, suhu udara (0C), kelembaban udara (%), pH tanah, kedalaman sarang (cm) dan lebar mulut sarang (cm). Analisis yang digunakan adalah uji Kruskal-Wallis, Kolmogorov-Smirnov, t-test dua sampel independen dan deskriptif. Data panenan, parameter demografi dan morfometri diambil di tingkat penangkap dan pengumpul perantara dengan jenis data berupa jumlah, jenis kelamin. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaku tata niaga Python reticulatus di Kalimantan Tengah adalah penangkap, pengumpul perantara dan pemilik ijin resmi (penangkap berijin dan pengedar dalam negeri). Harga kulit Python reticulatus ditentukan oleh ukuran, yaitu ukuran dengan harga paling tinggi adalah panjang ≥ 350 cm, lebar perut ≥ 32 cm dan lebar ekor ≥ 12 cm dengan harga Rp 80 000,00 pada tingkat pemilik ijin. Habitat tangkap Python reticulatus di Kalimantan Tengah adalah lahan dengan penggunaan intensif oleh manusia, yaitu kebun kelapa sawit, kebun karet dan rawa-rawa. Habitat bersarang Python reticulatus di Kalimantan Tengah adalah lubang antara kayu di bawah jembatan di kebun kelapa sawit. Hasil analisis pada habitat tangkap maupun habitat bersarang, tidak ada satupun peubah iii
yang berpengaruh secara signifikan terhadap perjumpaan Python reticulatus. Hal ini diduga menunjukkan bahwa Python reticulatus tidak memiliki habitat preferensial. Kelimpahan panenan pada penangkap pada saat penelitian adalah 117 ekor dan estimasi kelimpahan panenan berdasarkan kinerja penangkap pada akhir tahun 2012 adalah 2 940 ekor atau 26.73% dari kuota tangkap Kalimantan Tengah tahun 2012. Kelimpahan panenan pada pengumpul perantara pada saat penelitian adalah 56 ekor dan estimasi kelimpahan panenan berdasarkan kinerja pengumpul perantara pada akhir tahun 2012 adalah 3 515 ekor atau 31.95 % dari kuota tangkap Kalimantan Tengah tahun 2012. Sex rasio Python reticulatus yang tertangkap pada tingkat penangkap adalah 1:0.72 dan pada tingkat pengumpul perantara adalah 1:1.07. Pada tingkat penangkap, Python reticulatus yang tertangkap 57.26% pada kelas umur jantan dewasa, 40.17% pada kelas umur betina dewasa, 1.71% betina muda dan 0.85% jantan muda dan tidak ada bayi yang tertangkap. Pada pengumpul perantara, prosentase Python reticulatus jantan dewasa dan betina dewasa yang dikumpulkan sama, yaitu masing-masing 42.86%, sedangkan betina muda yang dikumpulkan sebanyak 8.93% dan jantan muda 5.36%. Berdasarkan hasil analisis, tidak ada perbedaan yang signifikan antara ukuran Python reticulatus jantan dan betina yang tertangkap, baik pada penangkap maupun pada pengumpul perantara. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kelamin bukan merupakan kriteria penangkapan. Penangkapan cenderung mengikuti permintaan pasar dengan ukuran tertentu. Kata kunci: sanca batik, Python reticulatus, tata niaga, habitat, panenan, parameter demografi, morfometri.
iv
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
v
vi
TATA NIAGA, KARAKTERISTIK HABITAT DAN PARAMETER DEMOGRAFI SANCA BATIK (Python reticulatus SCHEIDER 1801) YANG DIPANEN DI PROPINSI KALIMANTAN TENGAH
SEPTI EKA WARDHANI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
vii
Dosen Penguji Luar : Dr. Ir. Jarwadi B. Hernowo, M.Sc.F.
viii
ix
HALAMAN PERSEMBAHAN
Special for: My son FAISA AZIZ ADIBA (My spirit, my inspiration and my everything)
My parents Bapak IMAM SOBRI SUWARTO Ibu SRI DARYATUN (Thanks for every wishes and prays)
My little sisters DWI ARI SETYA WARDHANI MEGA TRIANTIKA WARDHANI (Thanks for the spirits)
x
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas kemudahan dan kelancaran yang diberikan dalam penyusunan tesis yang berjudul Tata Niaga, Karakteristik Habitat dan Parameter Demografi Sanca Batik (Python reticulatus Scheider 1801) yang Dipanen di Propinsi Kalimantan Tengah. Tesis ini merupakan salah satu syarat dalam penyelesaian studi Program Studi Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada: 1.
Bapak Dr.Ir. Yanto Santosa, DEA dan Dr. Nandang Prihadi, S.Hut, MSc sebagai komisi pembimbing 2. Seluruh dosen pengajar pada program studi KKH 3. Kementerian Kehutanan yang telah memberikan bantuan beasiswa pada Program Studi Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 4. IRATA dan Bapak George selaku Ketua IRATA yang telah memberikan bantuan dana untuk penelitian Bapak Ir. Kholid Indarto (Kepala Balai KSDA Kalimantan Tengah) 5. beserta staf 6. Penangkap, pengumpul perantara dan pengumpul Python reticulatus di Kalimantan Tengah beserta keluarganya. 7. Ely Santari dan Gedhe Wiprada Palangkaraya Teman-teman PS KKH 2010 (Mas Budi, Cahyo, Mbak Desi, Ferdi, Mas 8. Hendra, Mbak Lintang, Mbak Lusi, Mbak Lenni, Mbak Mina, Mbak Masudah, Mirta, Mas Nyoto, Mas Parjoni, Teguh, Mbak Via, Mas Yusuf, Mas Yarman dan Mas Andoko) 9. Pak Sofwan, Bunga, Bi Uum dan Pak Udin Teman-teman di Balai KSDA Bali 10. 11. Anak tersayang Faisa, bapak, mama dan adik yang memberikan dorongan semangat dan do’a 12. Semua pihak yang telah membantu dalam pengumpulan data dan penyusunan tugas akhir ini Semoga hasil tugas akhir ini dapat memberi manfaat bagi upaya konservasi Python reticulatus dan bisa bermanfaat pula bagi semua pihak. Bogor, September 2012 Penulis
xi
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Desa Bandingan Kec. Bawang Kab. Banjarnegara Jawa Tengah pada tanggal 25 September 1980 dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Imam Sobri Suwarto dan Sri Daryatun. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD N Blambangan 03 Desa Blambangan Kec. Bawang Kab. Banjarnegara pada tahun 1986-1992. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMP N 1 Bawang Banjarnegara pada tahun 1992-1995. Pendidikan lanjutan penulis tempuh di SMU N 1 Banjarnegara pada tahun 1995-1998. Setelah lulus dari SMU, penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjahmada Yogyakarta mulai tahun 1999 dan lulus pada tahun 2004. Mulai tahun 2005, penulis bekerja sebagai fungsional Pengendali Ekosistem Hutan pada Balai Konservasi Sumberdaya Alam Bali Kementerian Kehutanan dan secara spesifik bertugas pada bagian pemanfaatan tumbuhan dan satwaliar. Pada tahun 2010, penulis mendapatkan beasiswa dari Kementerian Kehutanan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi, penulis menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Tata Niaga, Karakteristik Habitat dan Parameter Demografi Sanca Batik (Python reticulatus Scheider 1801) yang Dipanen di Propinsi Kalimantan Tengah dibawah bimbingan Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA dan Dr. Nandang Prihadi, S.Hut, MSc.
xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .......................................................................................... xiii DAFTAR TABEL .................................................................................. xv DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xvi DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xviii I.
II.
III.
IV.
PENDAHULUAN ....................................................................... 1.1. Latar Belakang .................................................................. 1.2. Perumusan Masalah ......................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................. 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................ TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 2.1. Bioekologi Python reticulatus Scheider 1801 ................. 2.2. Pengelolaan Satwaliar secara Lestari .............................. 2.3. Kebijakan Pemanfaatan Satwaliar di Indonesia ............... 2.4. Tata Niaga Satwaliar ........................................................ KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN .............................. 3.1. Letak dan Luas Propinsi Kalimantan Tengah ............... ... 3.2. Kondisi Umum Propinsi Kalimantan Tengah ................. 3.3. Kabupaten Kotawaringin Barat ......................................... 3.4. Kabupaten Seruyan ........................................................... 3.5. Kabupaten Kotawaringin Timur ..................………… .... 3.6. Kabupaten Katingan .......................................................... 3.7. Kabupaten Pulang Pisau .................................................. 3.8. Kabupaten Kapuas ........................................................... METODE PENELITIAN ........................................................... 4.1. Waktu ................................................................................ 4.2. Alat dan Bahan ................................................................. 4.3. Metoda Pengumpulan Data .............................................. 4.3.1. Tata Niaga ............................................................. 4.3.2. Karakteristik Habitat ............................................ 4.3.3. Panenan ................................................................ 4.3.4. Parameter Demografi ........................................... 4.3.5. Morfometri ........................................................... 4.4. Analisa Data ..................................................................... 4.4.1. Tata Niaga ............................................................ 4.4.2. Karakteristik Habitat ............................................ 4.4.3. Panenan ................................................................ 4.4.4. Parameter Demografi ........................................... 4.4.5. Morfometri ...........................................................
1 1 1 4 4 7 7 8 20 22 27 27 28 28 29 30 31 31 32 33 33 33 33 33 34 36 36 36 37 37 37 38 39 39
xiii
V.
VI.
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 5.1. Tata Niaga ........................................................................ 5.1.1. Pelaku Tata Niaga ................................................ 5.1.2. Jalur Tata Niaga .................................................. 5.1.3. Teknik Penangkapan dan Pengulitan ................... 5.1.4. Ukuran dan Harga Python reticulatus yang Diperdagangkan ................................................... 5.2. Karakteristik Habitat ....................................................... 5.2.1. Habitat Tangkap .................................................. 5.2.2. Habitat Bersarang ................................................ 5.3. Panenan ............................................................................ 5.3.1. Panenan pada Penangkap ..................................... 5.3.2. Panenan pada Pengumpul Perantara .................... 5.4. Parameter Demografi ....................................................... 5.4.1. Parameter Demografi pada Penangkap ................ 5.4.2. Parameter Demografi pada Pengumpul Perantara 5.5. Morfometri ....................................................................... 5.5.1. Morfometri pada Penangkap ........................... .... 5.5.2. Morfometri pada Pengumpul Perantara .......... ..... KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 6.1. Kesimpulan ...................................................................... 6.2. Saran ................................................................................
43 43 43 49 53 60 63 63 75 83 84 87 91 91 96 99 99 102 105 105 106
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 109 LAMPIRAN ......................................................................................... 117
xiv
DAFTAR TABEL No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Halaman Matriks metode pengambilan dan analisis data ............................... 41 Ukuran kulit Python reticulatus yang diperjualbelikan di Kalimantan Tengah ......................................................................... 61 Kisaran harga Python reticulatus di Sumatera Utara menurut Siregar (2012) .................................................................................. 62 Rata-rata jumlah tangkapan/hari...................................................... 83 Estimasi populasi tangkapan per tahun pada penangkap ................ 83 Perkiraan jumlah ular yang tertangkap oleh lima penangkap ......... 84 Jumlah kulit yang diproduksi/dikumpulkan pengumpul perantara Januari-Juli 2012 ............................................................................. 86 Hasil pengukuran morfometri pada tiap penangkap ........................ 97 Hasil pengukuran morfometri pada tiap penangkap berdasarkan jenis kelamin .................................................................................... 98 Hasil pengukuran morfometri pada tiap pengumpul perantara ....... 100 Hasil pengukuran morfometri jantan dan betina pada pengumpul perantara .......................................................................................... 101
xv
DAFTAR GAMBAR No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
xvi
Halaman Peta Kalimantan Tengah .................................................................. 27 Titik pengambilan data habitat ........................................................ 35 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus di Kalimantan Tengah ...... 50 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Yuwono (1998) .. 50 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Semiadi dan Sidik (2011)...................................................................................... 51 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Siregar (2012) .... 51 Proses pemasangan jerat (a) dan jerat yang telah dipasang (b)........ 54 Ular yang terjerat ............................................................................. 54 Proses pemasukan air (a) dan pembesaran kulit (b) ......................... 56 Pembelahan kulit perut (a) dan pengelupasan kulit (b) pada proses pengulitan.............................................................................. 57 Proses pembersihan kulit dari daging dengan cara dikerok (a) dan pencucian dengan menggunakan air (b) .................................... 57 Kulit dibentangkan pada papan dan dipaku diseluruh bagian tepi sambil ditarik (a) dan kulit dijemur dibawah matahari langsung (b)...................................................................................... 58 Proses penyortiran dan pengukuran kulit ......................................... 63 Ketinggian tempat titik pengamatan (a) dan prosentase masing-masing tingkat ketinggian titik pengamatan (b) .................. 65 Suhu udara pada titik pengamatan (a) dan prosentase masing-masing tingkat suhu (b) ....................................................... 67 Kelembaban udara pada titik pengamatan (a) dan prosentase masing-masing tingkat kelembaban (b) ........................................... 69 Suhu air parit di titik pengamatan (a) dan prosentase masing-masing tingkat suhu (b) ....................................................... 70 Tingkat keasaman air parit di titik pengamatan (a) dan prosentase jumlah masing-masing tingkat (b) ................................. 71 Kedalaman parit pada titik pengamatan (a) dan prosentase masing-masing tingkat kedalaman (b) ............................................. 72 Lebar parit pada titik pengamatan (a) dan prosentase masing-masing tingkat kedalaman (b) ............................................. 72 Ketinggian tempat jembatan untuk sarang ....................................... 75 Suhu udara pada jembatan untuk sarang .......................................... 76 Suhu udara di mulut sarang (a) dan prosentase masing-masing tingkat suhu (b) ................................................................................ 76 Kelembaban udara di mulut sarang (a) dan prosentase masing-masing tingkat kelembaban (b) ........................................... 78
25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36.
Tingkat keasaman tanah pada sarang (a) dan prosentase masing-masing tingkat keasaman (b) .............................................. 79 Tingkat keasaman (pH) air pada parit dibawah jembatan untuk bersarang ............................................................................... 79 Lebar mulut sarang (a) dan prosentase masing-masing tingkat lebar mulut sarang (b) ...................................................................... 80 Kedalaman sarang (a) dan prosentase masing-masing tingkat kedalaman sarang (b) ....................................................................... 80 Jumlah Python reticulatus yang tertangkap pada tingkat penangkap ........................................................................................ 82 Jumlah Python reticulatus yang tertangkap pada tingkat pengumpul perantara ....................................................................... 85 Jumlah Python reticulatus jantan dan betina yang tertangkap pada tingkat penangkap ................................................................... 89 Sebaran kelas umur Python reticulatus betina pada penangkap ..... 90 Sebaran kelas umur Python reticulatus jantan pada penangkap ..... 91 Jumlah Python reticulatus jantan dan betina yang tertangkap pada tingkat pengumpul perantara................................................... 94 Sebaran kelas umur Python reticulatus betina pada pengumpul perantara .......................................................................................... 95 Sebaran kelas umur Python reticulatus jantan pada pengumpul perantara .......................................................................................... 96
xvii
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
xviii
Hasil uji normalitas data habitat tangkap ...................................... Hasil uji t-test dua sampel independen untuk suhu air dan kelembaban udara pada habitat tangkap ........................................ Hasil uji Kolmogorov-Smirnov pada habitat tangkap ................... Hasil uji normalitas data habitat sarang.......................................... Hasil uji t-test dua sampel independen untuk suhu udara pada habitat bersarang.................................................................... Hasil uji Kolmogorov-Smirnov habitat bersarang......................... Hasil uji normalitas data morfometri Python reticulatus yang tertangkap pada tingkat penangkap ............................................... Hasil uji t-test dua sampel independen pada morfometri Python reticulatus yang tertangkap pada tingkat Penangkap.................... Hasil uji Kruskal-Wallis morfometri Python reticulatus tertangkap pada penangkap ........................................................... Hasil uji t-test dua sampel independen pada morfometri tingkat penangkap ......................................................................... Hasil uji Kruskal-Wallis morfometri Python reticulatus jantan dan betina tertangkap pada penangkap ......................................... Hasil uji normalitas morfometri Python reticulatus yang terkumpul pada pengumpul perantara ........................................... Hasil uji t-test dua sampel independen pada morfometri Python reticulatus jantan dan betina yang terkumpul pada tingkat pengumpul perantara .....................................................................
117 118 120 121 122 123 124 125 130
Python reticulatus jan 131 133 134
135
I. 1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Konservasi satwaliar meliputi kegiatan perlindungan, pengawetan dan
pemanfaatan (Sekditjen PHKA 2007a). Pemanfaatan satwaliar menjadi kegiatan yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya (Indrawan et al. 2007). Satwaliar merupakan salah satu produk yang mempunyai nilai kegunaan produktif. Salah satu bentuk pemanfaatan satwaliar di Indonesia adalah untuk perdagangan, baik perdagangan di dalam negeri maupun luar negeri (ekspor). Ekspor reptil Indonesia sebagian besar dilakukan dalam bentuk kulit dan sebagian kecil satwaliar hidup untuk peliharaan (Arifin 1998; Yuwono 1998; Mardiastuti & Soehartono 2003; Semiadi & Sidik 2011). Kegiatan ini sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Pada kurun waktu tahun 1983-1999, Indonesia telah mengekspor 30 juta lembar kulit dengan negara tujuan utama adalah Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Mexico dan Italia (Mardiastuti & Soehartono 2003).
1.2.
Perumusan Masalah Salah satu jenis ular yang banyak dipanen adalah Python reticulatus atau
sanca batik (Abel 1998; Requier 1998; Shine et al. 1998a; Yuwono 1998; Auliya et al. 2002; Mardiastuti & Soehartono 2003). Menurut Mardiastusti dan Soehartono (2003), pada tahun 1983-1999 Python reticulatus, diekpor dengan jumlah lebih dari 200 000 lembar/tahun. Kuota tangkap Python reticulatus pada tahun 2010, 2011 dan 2012 sebanyak 180 000 ekor, dari jumlah itu, 175 000 ekor untuk kulit dan 5 000 ekor dalam bentuk hidup untuk binatang peliharaan (pet) (PHKA 2010a, 2010b, 2011). Daerah pengambilan Python reticulatus tahun 2010, 2011 dan 2012 meliputi 16 propinsi untuk kulit dan 7 propinsi untuk pet. Kuota Python reticulatus selalu paling banyak dibanding ular lain yang termasuk dalam kategori Appendix II CITES karena sebarannya yang dianggap luas dan populasinya masih besar. Menurut Keogh et al. (2001), sebaran Python breitensteini ada di Kalimantan, Python curtus dan Python brongersmai di Sumatera, sedangkan menurut Shea (2007), sebaran Python reticulatus di Indonesia cukup luas meliputi Mentawai, Sumatera, Lesser Sunda, Tanimbar sampai ke Maluku. Kulit yang cukup lebar dengan corak yang bagus
2
memudahkan untuk dibentuk menjadi berbagai barang kerajinan seperti tas, dompet, ikat pinggang, gelang, sepatu bahkan baju dan jaket. Kuota panenan (kuota tangkap) seharusnya ditetapkan berdasarkan jumlah panenan yang lestari. Masalahnya adalah otoritas pengelola seringkali tidak mempunyai data yang up to date mengenai populasi yang ada pada saat tersebut, padahal mereka harus menentukan kuota panenan justru sebelum jumlah panenan tahunan diketahui dengan pasti (Sinclair et al. 2006). Pada umumnya, pengelola hanya mengetahui sedikit mengenai populasi dari informasi yang diperoleh dari panenan yang berhasil pada tahun sebelumnya. Informasi tersebut akan menjadi dasar ijin jumlah perkiraan panenan yang diperbolehkan, berdasarkan kelimpahan populasi pada akhir pemanenan. Dengan kata lain, pengelola harus mengetahui kondisi populasi pada saat akhir panenan untuk menentukan kuota panen pada tahun berikutnya agar populasi tetap konstan. Ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan resiko panenan yang berlebih (overharvesting). Menurut Sinclair et al. (2006), strategi pemanenan yang lestari sebenarnya sangat sederhana, yaitu melakukan panenan pada populasi dengan jumlah yang sama dengan pertumbuhannya. Penangkapan yang kurang dari batas maksimum perolehan secara lestari adalah lestari secara teoritis, sedangkan penangkapan pada atau dekat dengan batas maksimum perolehan secara lestari akan bersifat lebih riskan (Webb & Vardon 1998). Keberlanjutan populasi yang dipanen tergantung pada strategi regulasi (batasan secara legal) yang digunakan untuk mengatur panenan tersebut dan strategi yang paling mudah adalah penerapan kuota panenan yang tetap dari tahun ke tahun (Sinclair et al. 2006). Pada kenyataannya, penetapan kuota lebih banyak berdasarkan pada realisasi tahun sebelumnya tanpa memperhatikan kondisi aktual mengenai populasi dan habitat, terutama pada saat setelah dilakukan pemanenan yang terakhir. Hal ini terjadi karena masih sangat minimnya data tersebut. Tidak pada semua satwaliar dilakukan penelitian untuk menetapkan kuotanya. Apabila penentuan kuota hanya berdasarkan kuota tahun sebelumnya, maka bisa terjadi kemungkinan pemanenan yang berlebih karena kondisi populasi yang terakhir tidak diketahui. Padahal menurut Pearce dan Turner (1990) pemanenan yang tidak memperhatikan kelestarian akan mengancam populasi dan menyebabkan
3
kepunahan spesies yang dipanen tersebut. Populasi akan lestari bila jumlah kematian (pemanenan) sama dengan jumlah kelahiran (laju pertumbuhan). Untuk mengetahui laju pertumbuhan populasi, diperlukan data parameter demografi. Selain itu, faktor habitat juga sangat menentukan pertumbuhan populasi. Oleh karena itu, penelitian mengenai parameter demografi dan kondisi habitat harus dilakukan. Faktor lain yang juga perlu dikaji adalah tata niaga karena tata niaga berperan dalam tinggi rendahnya pemanenan. Gambaran tata niaga bisa menunjukkan nilai ekonomi satwaliar tersebut. Semakin tinggi nilai ekonominya maka akan semakin banyak pelaku tata niaga dan akan semakin besar pula panenan yang dilakukan. Mekanisme penangkapan dan peredaran satwaliar sudah diatur dalam SK Menteri Kehutanan No. 443/Kpts-II/2003, namun perlu dilihat apakah mekanisme penangkapan dan peredarannya sudah sesuai dengan aturan tersebut. Jumlah penangkapan sudah ditentukan dengan kuota, namun perlu diketahui pula benarkah jumlah yang ditangkap tersebut benar-benar sesuai kuota. Informasi mengenai tata niaga, habitat dan populasi akan memberikan gambaran kelestarian satwaliar tersebut di alam. Tata niaga yang menyimpang dari aturan bisa jadi menyebabkan terjadinya gangguan pada kelestarian. Data habitat bisa menggambarkan kondisi aktual lokasi panenan dilakukan. Data populasi yang meliputi parameter demografi, morfometri dan populasi panenan akan memberikan gambaran keadaan populasi satwa di alam, apakah jumlah panenan masih melimpah yang berarti keberadaannya di alam masih banyak dan mudah ditemukan, sex rasio masih seimbang, kelas umur yang dipanen dan ukuran yang dipanen. Daerah pengambilan Python reticulatus untuk kulit yaitu Nanggro Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Maluku . Daerah pengambilan Python reticulatus untuk pet yaitu Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Selatan. Daerah pengambilan terbanyak adalah Sulawesi Selatan.
4
Sedangkan propinsi terluas untuk daerah pengambilan ini adalah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah dipilih sebagai lokasi penelitian karena beberapa alasan. Sebagai lokasi pengambilan terluas nomor dua, Kalimantan Tengah hanya mempunyai kuota tangkap nomor tujuh. Dengan luasnya wilayah Kalimantan Tengah, kemungkinan populasi Python reticulatus lebih besar dibanding lokasi lain yang lebih sempit namun memiliki kuota yang lebih banyak. Selama ini, penelitian mengenai Python reticulatus di Kalimantan Tengah juga masih sangat sedikit. Shine et al. (1998a, 1998b, 1998c), Abel (1998), Semiadi dan Sidik (2011) dan Siregar (2012) melakukan penelitian di Sumatera. Sedangkan Riquier (1998) telah melakukan penelitian di Kalimantan, namun lebih banyak dilakukan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Dalam penelitiannya itu, Riquier menyatakan bahwa hasil penelitiannya belum bisa menggambarkan kepadatan populasi di Kalimantan karena wilayah studi yang tidak lengkap. Wilayah studi harusnya difokuskan dengan memilih satu tapak tertentu. Dengan demikian, cukup tepat alasan memilih Kalimantan Tengah sebagai lokasi penelitian.
1.3.
Tujuan Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
a.
Mendeskripsikan tata niaga Python reticulatus dari penangkap sampai eksportir di Kalimantan Tengah.
b.
Mendeskripsikan karakteristik habitat Python reticulatus di Kalimantan Tengah.
c.
Mengidentifikasi parameter demografi Python reticulatus yang tertangkap di Kalimantan Tengah.
d.
Mengidentifikasi morfometri Python reticulatus yang tertangkap di Kalimantan Tengah.
1.3.
Manfaat Penelitian
a.
Memberikan informasi ilmiah mengenai habitat, populasi dan pemanenan Python reticulatus di Kalimantan Tengah yang bisa digunakan sebagai dasar ilmiah dalam melakukan tindakan pengelolaan.
5
b.
Memberikan data ilmiah mengenai tata niaga dan tipe penangkapan Python reticulatus di Kalimantan Tengah untuk menentukan penangkapan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan penangkapan yang tidak menimbulkan kerusakan di alam (non-detriment findings).
6
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Bioekologi Python reticulatus Scheider 1801 Python reticulatus dimasukkan dalam kelompok ular pembelit raksasa
oleh Hoesel (1959) dan diklasifikasikan dalam: Kingdom
: Animal
Filum
: Chordata
Kelas
: Reptilia
Ordo
: Squamata
Famili
: Pythonidae
Genus
: Python
Spesies
: Python reticulatus Scheider 1801 Python reticulatus biasa disebut dengan nama reticulated python (Tweedie
1983), sanca batik dan puspo kajang (Indonesia) (Hoesel 1959). Penangkap di Kalimantan Tengah menyebutnya ular sawa. Python reticulatus merupakan saudara satu genus dengan ular raksasa lain yaitu Python morulus yang biasa disebut sebagai ular sawah (Hoesel 1959), sanca bodo (Indonesia), Indian python atau rock python (Tweedie 1983). Corak pada kulit Python reticulatus menyerupai jala dengan bentuk mata jala agak bulat dan warna utamanya coklat muda dan kuning (Hoesel 1959). Menurut Tweedie (1983), Python reticulatus mempunyai kulit bermotif coklat kekuningan dengan garis hitam membujur dari moncong hingga ke belakang kepala. Python reticulatus mempunyai warna dasar coklat terang yang akan menjadi lebih gelap pada Python reticulatus yang tua dan besar dengan pola garis batik yang berwarna hitam tebal dan rumit, dibatasi oleh warna kuning dibagian dalamnya hingga menjadi sebuah pola yang tersusun secara reguler. Python reticulatus mempunyai sisa-sisa kaki belakang yang terlihat seperti sepasang cakar pendek pada kiri dan kanan lubang pelepasan (Hoesel 1959). Anak matanya pipih tegak, ini merupakan ciri-ciri satwa ini berburu makanan pada malam hari. Menurut Hoesel (1959), cara perkembangbiakkan Python reticulatus adalah dengan bertelur. Tweedie (1983) menyebutkan bahwa Python reticulatus
8
bertelur antara 10 sampai 100 butir tergantung pada ukuran tubuhnya. Python reticulatus dapat bereproduksi setiap tahun pada iklim tropis (Stuebing & Inger 1999). Semakin besar ukuran tubuh, semakin banyak telurnya. Betina mengerami telurnya dengan cara melingkarkan tubuhnya disekeliling telur. Masa pengeraman berlangsung selama 94 sampai 101 hari.
2.2.
Pengelolaan Satwaliar Secara Lestari Hilangnya habitat dan penangkapan satwaliar secara besar-besaran akan
menyebabkan menurunnya jumlah tangkapan setiap tahunnya, mengurangi keuntungan bagi manusia dan dalam beberapa kasus akan mempercepat terjadinya kepunahan (Webb & Vardon 1998). Menurut Webb dan Vardon (1998), satwaliar seringkali tidak memiliki nilai ekonomi yang melebihi nilai ekonomi habitatnya, sehingga habitatnya diluar hutan yang dilindungi akan diubah untuk penggunaan lain. Sedangkan satwaliar yang diketahui mempunyai nilai ekonomi tinggi, akan semakin banyak dieksploitasi. Kepunahan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Kepunahan masal pernah terjadi di dunia pada masa geologi lalu (Indrawan et al. 2007). Bumi telah mengalami lima kali periode kepunahan. Namun hal ini disebabkan oleh perubahan ekstrim yang terjadi pada bumi itu sendiri. Sedangkan kepunahan yang terjadi saat ini lebih banyak disebabkan karena aktivitas manusia. Indrawan et al. (2007) menyebut ini sebagai kepunahan yang terhutang (extinction debt). Kepunahan akibat kegiatan manusia berlangsung 100 kali lebih cepat dibanding kepunahan secara alami (Indrawan et al. 2007). Salah satu ancaman utama pada keanekaragaman hayati yang menyebabkan kepunahan adalah pemanfaatan spesies yang berlebihan untuk kepentingan manusia (Indrawan et al. 2007). Aktifitas manusia sudah berkontribusi pada 45% penyebab terjadinya penurunan populasi (Wheather 1994). Introduksi dan perusakan habitat menyebabkan kepunahan sebesar 39% dan 36% dari penyebab kepunahan yang diketahui, diikuti dengan perburuan yang menyebabkan kepunahan sebesar 23%. Dalam suatu skenario yang optimistik, spesies yang dieksploitasi biasanya akan menjadi sangat langka, sehingga perburuan akhirnya di stop dan diharapkan populasi akan kembali melimpah (Indrawan et al. 2007).
9
Kadang ketika populasi tersebut sudah sangat kecil ukurannya, daya lenting untuk kembali menjadi kecil dan akhirnya bisa menjadi punah sama sekali. Laju kepunahan bisa diperlambat dengan pengelolaan yang tepat. Pengelolaan satwaliar adalah seni untuk membuat lahan memproduksi satwaliar yang bernilai (Bailey 1982). Pengelolaan satwaliar merupakan bagian dari konservasi satwaliar. Bailey (1982) menyatakan bahwa konservasi secara sederhana didefinisikan sebagai penggunaan sumberdaya secara bijaksana. Menurut Bailey (1982) pula, konservasi adalah kebidupan yang harmonis antara manusia dengan alam. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 mendefinisikan konservasi sebagai pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (Sekditjen PHKA 2007a). Pengelolaan satwaliar harus dilakukan berdasarkan prinsip kelestarian hasil (Alikodra 1997). Ini berarti bahwa satwaliar dapat dipanen secara periodik tanpa mengurangi potensi perkembangbiakannya. Menurut Webb dan Vardon (1998), arti dari penangkapan secara lestari dan hubungannya dengan konservasi masih cukup membingungkan. Penangkapan yang kurang dari batas maksimum perolehan secara lestari adalah lestari secara teoritis, sedangkan penangkapan pada atau dekat dengan batas maksimum perolehan secara lestari akan bersifat lebih riskan (Webb & Vardon 1998). Strategi pengelolaan, baik pada populasi maupun pada habitatnya diperlukan untuk mendapatkan jumlah maksimal individu yang dipanen. Populasi dan habitat menjadi faktor yang sangat utama untuk diperhatikan dalam pengelolaan satwaliar. 2.2.1. Populasi Odum (1994) mendefinisikan populasi satwaliar sebagai kelompok kolektif organisme-organisme dari kelompok yang sama (atau kelompokkelompok lain dimana individu-individu dapat bertukar informasi genetiknya) yang menduduki ruang atau tempat tertentu, memiliki berbagai ciri atau sifat yang menjadi milik kelompok dan bukan
milik individu dalam kelompok itu.
Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa populasi adalah sehimpunan atau sekelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu
10
spesies yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan. Menurut Alikodra (2002), populasi diartikan sebagai kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Suatu populasi bisa menempati wilayah yang sempit sampai luas, tergantung spesies dan kondisi daya dukung habitatnya. Populasi satwaliar berfluktuasi dari waktu ke waktu mengikuti fluktuasi lingkungannya Sifat-sifat khas yang dimiliki populasi menurut Tarumingkeng (1994) adalah kerapatan (kelimpahan/densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), sebaran (distribusi), umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran (dispersi). Alikodra (2002) menyatakan bahwa kelahiran, kematian, kepadatan populasi, struktur umur dan struktur kelamin merupakan parameter populasi yang mempengaruhi fluktuasi populasi. Ketika kematian sama dengan kelahiran, maka populasi akan stabil. Populasi akan berkembang jika kelahiran lebih banyak dari kematian dan populasi akan menurun jika kematian lebih besar dari kelahiran. Menurut Odum (1994), sifat populasi satwaliar adalah kerapatan, natalitas (laju kelahiran), mortalitas (laju kematian), penyebaran umur, potensi biotik, dispersi dan bentuk pertumbuhan atau perkembangan. Populasi juga mempunyai sifat genetik yang secara langsung berkaitan dengan ekologinya misalnya sifat adaptif, sifat keserasian reproduktif dan ketahanan (peluang meninggalkan keturunannya dalam waktu yang lama). Sifat populasi di alam sangat sulit untuk diukur meskipun sudah ada perbaikan-perbaikan dan perkembangan dalam metodenya. Untungnya, sering kali tidak perlu mengukur semua sifat populasi tersebut karena kadang sifat populasi bisa diukur dari data sifat yang lainnya. Kerapatan Populasi. Kerapatan populasi adalah besarnya populasi alam hubungannya dengan satuan ruangan (Odum 1994). Irwan (1992) menyebutkan bahwa kerapatan populasi sama dengan densitas (kelimpahan) populasi atau kepadatan populasi. Kerapatan populasi satwaliar perlu diketahui karena menunjukkan daya dukung lingkungan dan sangat menentukan prospek kelestariannya (Alikodra 2002).
11
Kerapatan populasi bervariasi menurut waktu dan tempat (Indriyanto 2010). Dalam pengkajian suatu kondisi populasi, kerapatan merupakan parameter utama yang harus diketahui. Kerapatan populasi merupakan salah satu hal yang menentukan pengaruh populasi terhadap komunitas atau ekosistem. Kerapatan populasi juga sering digunakan untuk mengetahui perubahan populasi pada saat tertentu. Perubahan tersebut adalah berkurang atau bertambahnya individu dalam satu unit luas atau volume. Menurut Odum (1994), dalam pengkajian populasi, kerapatan menjadi ciri yang pertama mendapatkan perhatian. Pengaruh populasi dalam ekosistem tidak hanya tergantung pada jenis, namun juga pada jumlah individunya atau kerapatan populasinya. Sering kali lebih penting untuk mengetahui apakah suatu populasi sedang berubah (bertambah atau berkurang) daripada mengetahui besarnya pada suatu saat. Kerapatan populasi bisa diukur dengan menghitung jumlah organisme secara aktual dalam daerah atau volume yang diketahui (Indriyanto 2010). Perhitungan secara aktual terhadap densitas sering kali sangat sukar untuk dilakukan, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan. Indriyanto (2010) menyatakan bahwa perhitungan kerapatan populasi satwaliar bisa dilakukan dengan metode menangkap dan melepas kembali. Odum (1994) mengemukakan bahwa kerapatan populasi bisa dihitung dengan beberapa metode, yaitu: (1) perhitungan total (kadang-kadang mungkin untuk organisme besar, jelas tampak atau berkelompok); (2) pengambilan contoh secara kuadrat (perhitungan dan penimbangan organisme dalam petak contoh atau transek yang cukup besar ukuran dan jumlahnya); (3) menandai dan menangkap kembali (sampel ditangkap, ditandai dan dilepaskan kembali); (4) removal sampling (sejumlah organisme disingkirkan dari daerah itu); dan (5) tanpa petak contoh (untuk organisme yang duduk seperti pohon). Krebs (2001) menyatakan bahwa kerapatan bisa dihitung dengan metode penghitungan total dan sampling. Stuebing dan Inger (1999) menyatakan bahwa ular terestrial sangat susah untuk diketahui densitasnya. Lebih lanjut disebutkan bahwa saat ini belum ada informasi mengenai populasi Python reticulatus di Kalimantan dan belum ada informasi bahwa populasinya di Kalimantan sudah menurun. Luas habitat, letak
12
geografis dan sifat herpetofauna (termasuk ular) menjadi faktor yang menyebabkan tidak mungkin dilakukannya sensus yang terstruktur dalam satu satuan waktu yang pendek (Iskandar & Erdelen 2006). Untuk itu perlu dilakukan kajian tidak langsung yang bisa menggambarkan kondisinya di alam (TRAFFIC 2008). Pendekatan yang akan dilakukan untuk mengukur estimasi kerapatan adalah dengan menghitung jumlah yang ditangkap. Mortalitas (Kematian). Mortalitas akan menentukan populasi, terutama pada kerapatan populasi. Mortalitas akan menyebabkan berkurangnya kepadatan populasi (Krebs 2001; Odum 1994). Mortalitas (kematian) diartikan sebagai kematian individu-individu dalam populasi pada suatu kurun waktu tertentu (Odum 1994). Mortalitas terbagi menjadi (1) mortalitas minimun yaitu kematian pada kondisi yang ideal atau tidak ada faktor yang membatasi atau individu mati hanya karena faktor umur yang sudah tua dan (2) mortalitas ekologi (mortalitas saja) yaitu hilangnya individu dalam kondisi lingkungan tertentu. Krebs (2001) menyatakan bahwa ada dua jenis panjang umur individu, yaitu panjang umur fisiologi (physiological longevity) dan panjang umur ekologi (ecological longevity). Panjang umur fisiologi bisa didefinisikan sebagai rata-rata panjang umur individu pada suatu populasi yang hidup dalam kondisi optimum. Sedangkan panjang umur ekologi merupakan rata-rata panjang umur individu dalam populasi secara empiris pada keadaan yang ada. Secara ekologi, kematian dipengaruhi oleh predator, penyakit dan sebab lain sebelum individu tersebut mencapai umur maksimal untuk hidup. Mortalitas bergantung pada lingkungan yang merugikan, persaingan, pemangsaan dan penyakit (Indriyanto 2010). Mortalitas merupakan karakteristik dari populasi, dan bukan merupakan karakteristik individu. Kematian merupakan keharusan bagi setiap individu dan hanya terjadi satu kali, sedangkan populasi memiliki kematian dalam suatu periode tertentu. Mortalitas yang terjadi pada Python reticulatus yang tercatat sejauh ini adalah karena pemanenan. Apabila dilihat dari kuota, maka setidaknya selama tahun 2010 dan 2011 di seluruh Indonesia terjadi 180 000 kematian setiap tahun. Namun kemungkinan jumlah kematiannya lebih banyak mengingat jumlah tersebut adalah jumlah resmi untuk kuota dengan kondisi ular terpilih, sedangkan
13
jumlah yang dipanen kemungkinan lebih besar dari jumlah kuota itu apabila pemanenan tidak dilakukan secara terpilih namun kebutuhan ekspor adalah ular dengan ketentuan tertentu. Jumlah tersebut akan lebih banyak lagi bila kuota untuk kebutuhan dalam
negeri tercatat. Selama ini, kebutuhan dalam negeri
belum diatur dengan kuota dan jumlahnya belum
tercatat dengan pasti.
Sedangkan data kematian karena alam sama sekali tidak tercatat karena belum ada penelitian yang lengkap mengenai tingkat kematian Python reticulatus secara alami. Penghitungan mortalitas bisa dilakukan secara langsung dan tidak langsung (Krebs 2001). Perhitungan langsung dilakukan dengan cara menangkap dan menandai organisme pada suatu waktu (t) dan diobservasi jumlah yang masih hidup pada jangka waktu tertentu berikutnya (t+1). Sedangkan cara tidak langsung bisa dilakukan salah satunya dengan cara mengetahui kelimpahan pada suatu kelas umur dari suatu populasi dan membandingkannya dengan kelas umur sebelumnya, biasanya dilakukan pada suatu unit penangkaran. Perhitungan mortalitas Python reticulatus di Kalimantan Tengah dilakukan melalui pendekatan jumlah panenan. Asumsinya adalah semua ular yang dipanen berarti mengalami kematian. Pendekatan ini dilakukan karena ular yang sudah dipanen tidak dikembalikan lagi kealam, sehingga mengurangi jumlah populasi di alam. Selain itu, tujuan utama pemanenan adalah untuk diambil kulitnya, sehingga bisa dipastikan ular tersebut akan dibunuh dan untuk pet sehingga tidak mungkin ular yang tertangkap akan dilepaskan kembali. Struktur Umur. Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi (Alikodra 2002). Struktur umur dapat digunakan untuk menilai perkembangbiakkan satwaliar sehingga bisa digunakan untuk menilai prospek kelestariannya. Indriyanto (2010) menyatakan bahwa peyebaran umur merupakan suatu karakteristik populasi yang mempengaruhi natalitas dan mortalitas karena perbandingan dari berbagai golongan umur individu dalam suatu populasi menentukan status reproduktif populasi dan menyatakan kondisi yang diharapkan pada masa mendatang. Populasi yang mempunyai ukuran konstan dimana natalitas sama dengan mortalitas, diasumsikan memiliki struktur umur yang tetap yang disebut sebagai
14
distribusi umur statis dan akan tetap menjaga distribusinya (Krebs 2001). Ada dua kondisi dimana struktur umur yang tetap akan terpelihara dalam populasinya. Pada keadaan dibawah tekanan lingkungan disekitarnya, struktur umur akan berubah setiap waktu. Pada kondisi alami tanpa tekanan, struktur umur akan konstan. Namun jarang sekali ditemukan populasi yang mempunyai struktur umur tetap karena populasi tidak akan meningkat lama pada keadaan yang tidak terbatas. Kajian mengenai dinamika populasi sangat bergantung pada kemampuan untuk mengenali umur individu dalam populasi tersebut (Caughley 1977). Namun, menentukan umur satwaliar di lapangan adalah suatu hal yang sangat sulit untuk dilakukan sehingga perlu dilakukan suatu pendekatan yang lebih sederhana untuk pendugaan umur (Alikodra 2002). Pendugaan kelas umur bisa dilakukan dengan pendekatan
misalnya pengukuran tinggi, berat badan, warna, bentuk, ukuran
tanduk (Alikodra 2002), gigi, berat lensa mata, pertumbuhan tahunan pada cakar, tanduk, gigi dan tulang, dan jumlah plasenta atau ovarium pada betina (Caughley 1977). Caughley (1977) menyatakan bahwa pada reptil, pendekatan pembagian umurnya biasanya didasarkan pada ukuran tubuh. Menurut Hoesel (1959), Python reticulatus dewasa bisa mencapai panjang maksimal 8 sampai 10 meter, lebih panjang dari Python morulus. Tweedie (1983) menyatakan bahwa Python reticulatus bisa mencapai panjang hingga 10 meter dan merupakan ular terbesar didunia. Shine et al. (1999), berdasarkan pada penelitiannya di Sumatera, betina muda (juvenile) mempunyai SVL (Snout-Vent Length) 1,1 m s.d. 2,35 m dan betina dewasa (adult) berukuran lebih dari 2,35 m, jantan muda (juvenile) mempunyai SVL 1,1 m s.d. 2,1 m dan jantan dewasa (adult) diatas 2,1 m, namun ada sedikit jantan dewasa yang ditemukan berukuran 1,6 s.d. 1,8 m. Menurut Mexico (2000), Python reticulatus mencapai usia dewasa pada umur 2-4 tahun, jantan mencapai usia dewasa pada ukuran 2,1 m s.d. 2,7 m dan betina pada ukuran 3,4 m. namun memperkirakan umur ular di alam sangatlah sulit. Apabila merujuk pada hasil penelitian Shine et a.l (1999), maka untuk kelas umur ular bisa dibagi menjadi anakan, muda dan dewasa sesuai dengan ukuran SVL.
15
Shine et al. (1998a) menyatakan bahwa hasil penelitian yang dilakukan di Sumatera menunjukkan bahwa jumlah panenan pada jantan, 18% diantaranya adalah jantan muda, sedangkan pada betina 49%. Pada penelitiannya di Sumatera Utara, Shine et al. (1998a) juga menunjukkan bahwa jumlah panenan pada jantan, sebagian besar adalah jantan dewasa sedangkan pada betina, sebagian besar adalah betina muda. Shine et al. (1999, 1998b) menyatakan bahwa banyak Python reticulatus betina muda yang tertangkap berukuran sama dengan jantan dewasa yang tertangkap. Kemungkinan ini bisa terjadi karena pasar menghendaki ukuran minimal dimana pada ukuran tersebut betina masih berusia remaja namun jantan sudah mencapai dewasa. Mengenali struktur umur Python reticulatus di alam secara teknis sangatlah sulit. Pada ular anakan mungkin bisa dibedakan dari kelas umur lain. Namun ketika sudah bukan anakan lagi, maka akan sulit membedakan kelas umurnya. Apalagi belum ada patokan yang pasti mengenai ukuran SVL untuk mengetahui umur. Shine et al. (1999) mendapatkan ukuran untuk membedakan antara kelas umur remaja dan dewasa dengan pendekatan kematangan organ reproduksi dan selanjutnya diukur panjangnya hingga akhirnya mendapatkan ukuran tersebut. Struktur Jenis Kelamin. Selain distribusi individu menurut kelas umur, ukuran populasi juga dipengaruhi oleh perbandingan jenis kelamin, yaitu perbandingan antara jantan dan betina dalam suatu populasi yang biasanya dinyatakan dalam jumlah jantan terhadap 100 ekor betina (Indriyanto 2010). Keseimbangan jumlah jantan dan betina menjadi sangat penting untuk menjamin keberlangsungan populasi tersebut. Kerapatan populasi akan lebih bernilai jika diketahui proporsi jantan dan betina dalam populasi tersebut. Apabila dalam suatu populasi, kerapatannya besar namun perbandingan jantan dan betina tidak seimbang, maka kemungkinan populasi tersebut untuk menurun akan lebih besar. Terlalu banyak jantan bisa menyebabkan persaingan yang besar dalam memperebutkan betina. Sebaliknya, apabila terlalu banyak betina maka akan ada betina produktif yang mungkin menjadi tidak produktif karena tidak dibuahi. Keseimbangan jumlah jantan dan betina bukan berarti harus sama jumlahnya, namun seimbang jumlahnya. Pada
16
jenis satwaliar yang bersifat poligami, perbandingan akan dianggap seimbang jika betina lebih banyak dari jantan. Sedangkan pada yang poligini, akan seimbang jika jantan lebih banyak dari betina. Menurut Duval et al. (1993), system perkawinan ular bisa poligami, poliandri, poligini maupun monogami, namun lebih banyak kecenderungan untuk poligini. Pada kondisi sistem perkawinan poligini, jumlah jantan lebih banyak dari betina untuk mendapatkan perkawinan yang optimal hasilnya. Ular betina akan memilih jantan melalui kompetisi sperma potensial. Shine et al. (1999) menyatakan bahwa Python reticulatus yang dipanen di Sumatera pada saat penelitian dilakukan, sebagian besar adalah jantan (52%), dan 89% dari jantan yang ditangkap adalah jantan dewasa. Menurut Shine et al. (1999), kemungkinan ini bisa terjadi karena memang jantan lebih banyak jumlahnya dibandingkan betina. Shine et al. (1999) menyatakan bahwa pada Python reticulatus yang pernah diteliti di Sumatera, ukuran betina lebih besar dari jantan. Shine (1998) menyatakan bahwa ukuran jantan dan betina juga tergantung pada sistem perkawinannya. Jantan yang memperebutkan betina untuk kawin, biasanya berkuran lebih besar dari betina. Sering terlihat bahwa pada Python reticulatus, jantan bersama-sama mengawini satu betina (poligini) dan ukuran jantan lebih kecil dari betina. Membedakan jenis kelamin jika hanya berdasarkan ukuran tubuh sangat sulit dilakukan. Barker DG dan Barker TM (1994) mengatakan bahwa untuk menentukan jenis kelamin ular, bisa dilihat dari kloakanya. Pada ular jantan, apabila kloaka ditekan ke arah luar, maka akan keluar hemipenis. Apabila masih ragu, bisa dilakukan dengan mengecek kedalaman kloaka (probe). Ular jantan mempunyai kloaka lebih dalam dibanding ular betina. Kedalaman dua kloaka jantan biasanya sama, sedangkan pada betina biasanya berbeda antara kanan dan kiri. Namun ini bukan cara yang disarankan secara ginekologi. 2.2.2. Habitat Odum (1994) mendefinisikan habitat sebagai tempat hidup suatu organisme atau tempat yang harus dituju untuk menemukan organisme tersebut. Alikodra (2002) mendeskripsikan habitat sebagai kawasan yang terdiri dari
17
beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak bagi satwaliar. Faktor fisik bisa berupa air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang. Faktor biotik terdiri dari komponen vegetasi, mikro dan makro fauna dan manusia. Habitat harus bisa menjamin kebutuhan pokok satwaliar seperti makanan, minuman, tempat berlindung dan berkembangbiak. Sejumlah faktor lingkungan, mempengaruhi habitat satwaliar (Bailey 1984). Faktor-faktor ini bervariasi menurut waktu dan tempat dan berinteraksi secara komplek untuk membantu atau mengganggu satwaliar. Faktor lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu (1) biotik: jumlah dan kualitas makanan, predasi, penyakit dll.; (2) fisik: suhu, curah hujan, karakteristik salju, kelembaban dll.; dan (3) edafik (tanah): kedalaman, kelembaban, tekstur, kimia dll. Alikodra (2002) menyebutkan sejumlah faktor yang berperan dalam pertumbuhan populasi satwaliar, yaitu (1) faktor fisik: air, radiasi surya, temperatur, panjang hari, aliran dan tekanan udara dan tanah; dan (2) faktor biotik: makanan, energi, vegetasi, suksesi dan perilaku satwaliar. Reinert (1993) menyatakan bahwa faktor habitat atau variabel yang bertanggung jawab pada habitat biasanya berupa faktor fisik dan kimia seperti (tetapi tidak terbatas pada) ketinggian, kepadatan kanopi, komunitas tumbuhan, kelembaban tanah dan pH. Perbedaan habitat sering kali dihubungkan pada prinsip persaingan antar spesies yang sama agar bisa tetap mempertahankan eksistensinya. Habitat sering kali dikaburkan dengan relung (niche) spesies (Reinert 1993). Meskipun mempunyai persamaan dalam persyaratan multidimensionalnya, namun keduanya merupakan hal yang berbeda. Relung merupakan karakteristik dari suatu spesies, sebaliknya habitat merupakan kondisi aktual fisik suatu tempat yang bisa dilihat. Kadang-kadang, persyaratan mikrohabitat digunakan untuk menunjukkan lokasi spesifik suatu organisme dalam habitatnya atau faktor yang menunjukkan struktur atau pola internal dari variasi habitat dalam sebuah komunitas. Odum (1994) mendefinisikan relung (niche) ekologi diartikan sebagai istilah yang lebih luas lagi, tidak hanya ruang fisik yang diduduki namun juga peranannya dalam masyarakatnya dan posisinya dalam lingkungan fisik. Ketiga
18
aspek relung ekologi tersebut dapat dikatakan sebagai ruangan atau relung habitat, relung trofik dan relung multidimensi (hypervolume). Menurut Reinert (1993), suatu tipe habitat umumnya digunakan oleh suatu spesies tertentu. Alikodra (2002) menyatakan bahwa habitat yang cocok bagi suatu spesies belum tentu cocok bagi spesies lain. Berarti dalam hal ini ada pemilihan suatu karakteristik tertentu pada suatu habitat oleh spesies. Habitat berada dalam batas tertentu sesuai dengan persyaratan organisme yang menghuninya (Soemarwoto 2004). Batas bawah disebut titik minimum, batas atas disebut titik maksimum dan diantara keduanya ada titik optimum. Bila sifat habitat berubah diluar titik minimum atau maksimumnya, penghuninya harus pindah atau dia akan mati. Organisme selalu mempunyai insting untuk mencari tempat hidup yang sesuai dengan kebutuhannya. Python reticulatus di Kalimantan umumnya bisa ditemukan dihampir seluruh wilayah Kalimantan (Stuebing & Inger 1999). Python reticulatus merupakan jenis ular terrestrial (hidup di daratan). Di Kalimantan, Python reticulatus bisa ditemukan di dataran rendah pada ketinggian dibawah 1 000 m diatas permukaan laut (dpl). Meskipun termasuk ular terrestrial, namun di Kalimantan tidak ditemukan Python reticulatus yang tinggal dalam lubang tanah. Python reticulatus banyak ditemukan di serasah, tanah dan pohon meskipun sering ditemukan pula sedang berada di perairan tawar (Tweedie 1983; Stuebing & Inger 1999). Sedangkan sarang biasanya berada diantara serasah (Shine 1998; Stuebing & Inger 1999). Sebagai ular terrestrial daerah tropis, Python reticulatus di Kalimantan selalu menjaga suhu tubuhnya pada 310C (Stuebing & Inger 1999). Suhu lingkungan yang paling disukai Python reticulatus di Kalimantan adalah 290 – 310C. Untuk menjaga suhu badannya tetap stabil, Python reticulatus selalu berjemur dibawah sinar matahari. Suhu lingkungan atau sarang yang paling cocok untuk telur adalah 290C – 310C dengan kelembaban sekitar 70%. Pada suhu diluar itu, telur bisa gagal menetas, pertumbuhan tidak sempurna dan sex rasio yang tidak seimbang. Namun Shine (1998) mengatakan bahwa ular yang hidup di daerah tropis/hangat, telurnya cenderung lebih tahan dan bisa menetas pada area yang dingin.
19
Python reticulatus selalu mengerami telurnya dengan melingkarkan tubuhnya disekitar telur untuk menjaga suhu dan meninggalkannya hanya untuk berjemur atau minum (Shine 1998). Selama mengerami, Python reticulatus tahan untuk tidak makan sama sekali. Pada iklim tropis yang hangat, ular betina bisa bereproduksi setiap tahun, sedangkan pada iklim yang dingin biasanya betina akan bereproduksi beberapa tahun sekali (Stuebing & Inger 1999). Makanan merupakan salah satu faktor penentu bagi ular dalam memilih habitatnya. Ketika pada suatu tempat terdapat banyak makanan, maka biasanya akan ditemukan Python reticulatus di lokasi tersebut. Python reticulatus merupakan satwa karnivora, makanan utamanya adalah jenis-jenis burung dan mamalia (Tweedie 1983). Penangkap Python reticulatus biasanya menangkapnya dengan menggunakan jaring di perairan tawar pada malam hari. Kemungkinan ini terjadi karena
Python reticulatus merupakan satwa nokturnal yang mencari
makan malam hari (Stuebing & Inger 1999). Ular ini bisa makan makanan yang ukurannya lebih besar dari diameter tubuhnya dan bukan termasuk ular yang berbisa, namun sangat berbahaya karena dapat menyerang mangsanya dengan belitan yang kuat (Hoesel 1959). Jenis data yang diambil untuk mendapatkan gambaran karakteristik habitat pada habitat terestrial untuk ampibi adalah (1) lokasi penangkapan yang ditulis secara spesifik, (2) tipe habitat, (3) vegetasi yang dominan, (4) koordinat lokasi, (5) ketinggian, (5) deskripsi data klimatologi (suhu, kelembaban, pH), (6) indikasi adanya gangguan dan (7) faktor habitat lain (tipe tanah, kapasitas menahan air, frekuensi banjir) (Kusrini 2009). Sedangkan untuk habitat perairan, data yang perlu dikumpulkan adalah (1) tipe habitat (sungai besar, sungai kecil, anak sungai, danau, rawa), (2) indikasi durasi relative habitat (permanen, mengalir sepanjang tahun, musiman ), (3) lebar dan kedalaman, (4) indikasi laju kecepatan air, (5) kondisi vegetasi dipinggiran, dan (6) substrat dasar (lumpur, batu, pasir). Dengan merujuk pada Bailey (1984), Reinert (1993) dan Alikodra (2002), data yang perlu dikumpulkan untuk menggambarkan karakteristik habitat ular bisa disamakan (mirip) dengan ampibi. Python reticulatus mempunyai pola sebaran patchy atau mengelompok (TPBC 1998), ini menjadi suatu permasalahan yang mungkin dihadapi dalam
20
melakukan penelitian mengenai habitat. Tidak semua lokasi ditemukan Python reticulatus, namun hanya pada tempat tertentu. Mengamati tipe habitat preferensial juga tidak mungkin dilakukan dengan mengikuti ular tersebut sepanjang hari dan mencatat habitat yang paling banyak digunakan oleh Python reticulatus. Bahkan ketika menangkap Python reticulatus di lokasi tertentu, mungkin belum bisa menggambarkan habitat yang sesungguhnya. Habitat tersebut mungkin hanya merupakan lokasi jalurnya mencari makan atau beraktifitas lain. Bahkan sebagai ular terestrial, Python reticulatus justru banyak ditangkap di daerah perairan pada malam hari. Python reticulatus merupakan satwa nocturnal sehingga banyak ditemukan pada malam hari. Pendekatan mengenai habitat yang tepat mungkin bisa dilakukan dengan mengetahui keadaan pada sarang dan pada lokasi terestrial didekat perairan dimana Python reticulatus ditangkap. Asumsinya adalah habitat sarang sudah dipilih oleh Python reticulatus dengan selektif dan sesuai dengan faktor biotik dan abiotik yang dibutuhkan, sedangkan habitat di dekat perairan dimana ular ini ditangkap mungkin merupakan habitat tempat tinggalnya.
2.3.
Kebijakan Pemanfaatan Satwaliar di Indonesia Pemanfaatan satwaliar di Indonesia diatur dalam Undang-undang No 5
Tahun 1990 (UU No. 5/1990) dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 (PP No. 8/1999). Menurut UU No. 5/1990, sumberdaya alam hayati Indonesi harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari (Sekditjen PHKA 2007a). Sedangkan PP No. 8/1999 menyatakan bahwa satwaliar dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan pemanfaataannya dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung dan keanekaragamannya (Sekditjen PHKA 2007b). Bahkan pemanfaatan satwaliar ditujukan agar satwaliar tersebut bisa tetap lestari. Pemanfaatan satwaliar di Indonesia dilakukan untuk kegiatan komersial dan non komersial. Menurut PP No. 8/1999, pemanfaatan satwaliar bisa dilakukan dalam bentuk (1) pengkajian, penelitian dan pengembangan; (2) penangkaran; (2) perburuan; (4) perdagangan/tata niaga; (5) peragaan; (6) pertukaran; dan (7) pemeliharaan untuk kesenangan (Sekditjen PHKA 2007b).
21
Pemanfaatan TSL untuk kegiatan ekonomi yang komersial, diijinkan sesuai dengan UU No. 5/1990 yang menyebutkan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan yang salah satunya adalah pemanfaatan secara lestari dan salah satu bentuk pemanfaatannya adalah untuk perdagangan (tata niaga) (Sekditjen PHKA 2007a). Dalam PP No. 8/1999 juga disebutkan bahwa pemanfaatan jenis TSL dilaksanakan dalam bentuk yang salah satunya adalah perdagangan (tata niaga) (Sekditjen PHKA 2007b). Lebih lanjut dalam SK Menteri Kehutanan No. 447/Kpts-II/2003 disebutkan bahwa TSL yang diperdagangkan bisa diperoleh dari penangkaran dan pengambilan atau penangkapan dari alam (Sekditjen PHKA 2007c). Pemanfaatan untuk tata niaga dilaksanakan dengan sistem kuota. Dalam SK Menteri Kehutanan No. 447/Kpts-II/2003, kuota didefinisikan sebagai batas maksimum ukuran dan satuan tumbuhan dan satwaliar dari alam untuk setiap jenis yang dapat dimanfaatkan selama satu tahun takwim. Kuota pengambilan di alam ditetapkan oleh Dirjen PHKA dengan memperhatikan rekomendasi dari Otoritas Keilmuan (LIPI) untuk kurun waktu satu tahun takwim dari tanggal 1 Januari sampai 31 Desember (Sekditjen PHKA 2007c). Ketika kuota pengambilan sudah ditetapkan, bisa dilakukan peninjauan kembali kuota tersebut pada tahun berjalan dengan tetap memperhatikan rekomendasi dari Otoritas Keilmuan. Kuota pengambilan dari alam selanjutnya menjadi dasar bagi kuota ekspor dan pemanfaatan lainnya (penangkaran, penelitian, pasar dalam negeri). Kuota ekspor tidak akan melebihi kuota pengambilan dari alam. Kuota ditetapkan oleh Ditjen PHKA sebagai Otoritas Pengelola dengan berdasarkan pada rekomendasi LIPI sebagai Otoritas Keilmuan CITES di Indonesia. LIPI memberikan rekomendasi berdasakan peta data dan informasi ilmiah hasil monitoring populasi (Sekditjen PHKA 2007c). Namun bila data dimaksud tidak tersedia, kuota dapat diperoleh atas dasar (1) kondisi habitat dan populasi jenis yang ditetapkan; (2) informasi ilmiah dan teknis lainnya tentang populasi dan habitat; (3) realisasi pegambilan tahun sebelumnya; dan (4) kearifan tradisional. Kuota pengambilan dari alam ditetapkan untuk jenis TSL yang termasuk maupun tidak termasuk dalam Appendix CITES, baik dilindungi maupun tidak
22
dilindungi undang-undang. Khusus untuk jenis satwaliar yang dilindungi undangundang, sebelum ditetapkan kuota pengambilannya, satwaliar tersebut harus ditetapkan sebagai satwa buru (Sekditjen PHKA 2007c). Kuota yang sudah ditetapkan oleh Dirjen PHKA menjadi dasar untuk pemberian ijin pengambilan TSL oleh Kepala Balai KSDA untuk jenis dilindungi dan termasuk dalam Appendix CITES dan oleh Kepala Dinas propinsi setempat untuk jenis tidak diliindungi yang tidak termasuk dalam Appendix CITES. Kepala Balai KSDA dan Kepala Dinas dilarang menerbitkan ijin tanpa didasarkan pada kuota yang ditetapkan oleh Dirjen PHKA (Sekditjen PHKA 2007c). Seluruh kegiatan pemanfaatan satwaliar, baik untuk komersial maupun non komersial, harus dengan ijin dari Otoritas Pengelola. Ijin pengambilan dari alam harus menjamin kelestarian populasi, maka lokasi pengambilan harus dirotasi. Jangka waktu rotasi didasarkan pada kondisi populasi, habitat dan sifatsifat biologis serta perilaku jenis yang ditetapkan. Penetapan lokasi pengambilan harus memperhatikan status kawasan, kelimpahan populasi, kondisi habitat, rencana penggunaan lahan dan aspek sosial budaya masyarakat setempat (Sekditjen PHKA 2007c).
2.4.
Tata Niaga Satwaliar Tata niaga satwa liar yang legal maupun ilegal mempunyai andil dalam
menurunnya banyak populasi spesies (Indrawan et al. 2007). Pemanfaatan satwaliar secara berlebih biasanya menunjukkan pola yang sama. Ketika suatu satwaliar ditemukan mempunyai nilai komersial, selanjutnya terbentuk pasar dan terjadilah permintaan dari pasar yang menyebabkan eksploitasi untuk memenuhi permintaan tersebut. Peres (2010) menyatakan bahwa eksploitasi satwaliar yang berlebihan menjadi penyebab menurunnya populasi. Tata niaga satwaliar internasional sudah diatur dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang ditandatangani pada tanggal 3 Maret 1973 di Wasington DC dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1975 (Dit. KKH 2010). Indonesia telah menjadi anggota CITES yang ke 48 pada tanggal 28 Desember 1978 (www.cites.org 2012) dan meratifikasi CITES melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978 tentang
23
Pengesahan CITES. Indonesia telah pula menetapkan Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan sebagai Otoritas Pengelola dan LIPI sebagai Otoritas Keilmuan melalui Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 (Dit. KKH 2010). Tujuan dari CITES adalah menghindarkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa dari kepunahan di alam melalui pengendalian tata niaga serta produk-produknya secara internasional (Dit. KKH 2010). Eksploitasi tumbuhan dan satwaliar untuk kepentingan komersial dianggap sebagai ancaman terhadap kelestarian sehingga tata niaganya perlu diatur agar membantu pelestariannya. Tanpa adanya mekanisme tata niaga internasional, dikhawatirkan akan terjadi ekploitasi yang lebih besar dan semakin mengancam kelestarian tumbuhan dan satwaliar. Adanya CITES sebagai mekanisme tata niaga yang legal, mengakibatkan adanya tata niaga yang ilegal. Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (Dit. KKH) Kementerian Kehutanan menduga bahwa tata niaga tumbuhan dan satwa ilegal menduduki posisi kedua dari segi nilai tata niaga setelah narkotika (Dit. KKH 2010). Tata niaga satwaliar merupakan salah satu bentuk pemanfaatan satwaliar yang diperbolehkan sepanjang mengikuti aturan yang berlaku. Pemanfaatan satwaliar, sebagai salah satu aspek dari konservasi satwaliar, menjadi kegiatan yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya (Indrawan et al. 2007). Pemanfaatan tumbuhan dan satwaliar (TSL) di Indonesia saat ini masih mengutamakan perhitungan ekonomis daripada perhitungan keamanan secara ekologi. Pemanfaatan yang tidak terkendali merupakan ancaman yang paling berbahaya untuk kelestarian TSL di alam. Pada sisi lain, seharusnya pemanfaatan jenis TSL didasarkan pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan dasar-dasar ilmiah untuk mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi populasi (non-detriment findings) sebagaimana tertuang dalam Artikel III, IV dan V dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Artikel III, IV dan V CITES mengatur tentang mekanisme tata niaga untuk TSL yang termasuk dalam Appendix I, II dan III CITES (Dit KKH 2010).
24
Tata niaga satwaliar yang tidak lestari di Asia Tenggara sudah diidentifikasi sebagai salah satu tantangan dalam pelestarian satwaliar (Nijman 2010). Mardiastuti dan Soehartono (2004) menyebutkan angka 300 juta kulit reptil sudah diekspor dari Indonesia pada periode tahun 1983-1999. Sedangkan Nijman (2010) menyatakan bahwa selama tahun 1998-2007, lebih dari 35 juta satwaliar diperdagangkan di Asia Tenggara dan 30 juta diantaranya merupakan hasil tangkapan dari alam. Nijman (2010) menyatakan bahwa reptil mempunyai jumlah terbesar yang diperdagangkan, yaitu 17.4 juta ekor dan 13.79 juta diantaranya berasal dari alam. Negara yang menjadi pengekspor terbesar adalah Indonesia dan Malaysia, sedangkan negara pengimpor terbesar adalah Singapura, Uni Eropa dan Jepang. Indonesia menjadi penyuplai 62% reptil pada tata niaga satwaliar di Asia Tenggara yang berasal dari tangkapan alam selama tahun 1998-2007 (Nijman 2010). Komponen utama dalam tata niaga reptil di Indonesia adalah tata niaga kulit dan pet (Yuwono 1998). Nijman (2010) juga menyatakan bahwa bentuk reptil yang diperdagangkan adalah kulit dan pet. Yuwono (1998) dan Nijman (2010) menyatakan bahwa kulit reptil diperdagangkan dalam jumlah yang lebih besar daripada pet. Dalam penetapan kuota tangkap di Indonesia, spesies yang ditangkap untuk tata niaga kulit lebih sedikit daripada untuk pet, namun jumlah kuota untuk tiap spesies jauh lebih banyak daripada untuk pet (Ditjen PHKA 2010a, 2010b, 2011). Mardiastuti dan Soehartono (2003) mengatakan bahwa beberapa tahun terakhir ini, kulit reptil mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan membanjiri pasar internasional, termasuk diantaranya dari Indonesia. Mulai tahun 1980-an, tujuh jenis reptil Indonesia mulai dimanfaatkan untuk skala besar tata niaga dunia. Salah satu diantaranya adalah Python reticulatus. Python reticulatus merupakan salah satu spesies yang menjadi primadona (Mardiastuti & Soehartono 2003). Python reticulatus menjadi satu jenis ular yang banyak dieksploitasi (Abel 1998; Requier 1998; Shine et al. 1998b; Yuwono 1998; Auliya et al. 2002; Mardiastuti & Soehartono 2003). Antara tahun 1983 – 1999, rata-rata jumlah ekspor kulit Python reticulatus mencapai 230 957 lembar. Nijman (2010) menyebutkan bahwa Python merupakan ular dengan jumlah nomor
25
dua terbanyak untuk ekpor yaitu 1.2 juta antara tahun 1998-2007. Amerika Serikat dan Singapura menjadi negara pengimpor kulit Python reticulatus terbesar dari Indonesia. Amerika Serikat juga menjadi negara pengimpor Python reticulatus untuk pet dari Indonesia. Tahun 2010-2012, jumlah kuota tangkap menurun menjadi 180 000 ekor dan kuota ekspor 162 000 ekor. Rute normal untuk tata niaga kulit dan pet di Indonesia terdiri dari empat komponen yaitu pengumpul/penangkap, perantara, supplier (pedagang besar) dan eksportir (Yuwono 1998). Kadang-kadang, terdapat lebih dari satu orang perantara dan kadang-kadang penangkap langsung membawa tangkapannya ke eksportir atau pedagang besar tanpa melalui perantara (biasanya pada penangkap skala kecil atau tangkapan yang tidak disengaja). Sebelum akhir tahun 1980-an, tidak ada penangkap ular yang professonal. Namun sejak PT. Terraria Indonesia beroperasi pada tahun 1988, penangkap ular profesional mulai bermunculan. Alur tata niaga ular bisa diketahui melalui dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah dengan mengetahui siapa saja eksportir atau pedagang besar. Mulai dari eksportir atau pedagang besar tersebut, bisa dirunut kebawah untuk mengetahui siapa dan berapa jumlah perantara dan selanjutnya bisa dirunut sampai tingkat penangkap (snow ball). Pendekatan kedua bisa dilakukan dengan cara sebaliknya. Namun pada umumnya akan lebih mudah merunut dari tingkat eksportir atau pedagang besar. Kesulitan yang mungkin dihadapi pada pengumpulan data tata niaga adalah tidak semua pengusaha/pelaku bersedia membuka informasi yang sebenarbenarnya mengenai rantai tata niaganya, jumlah produksi dan harga. Hal ini terjadi karena adanya persaingan antar pelaku tata niaga tersebut dan ingin melindungi informasi yang berharga untuk mereka sendiri.
26
IV. METODE PENELITIAN 4.1.
Waktu Pengumpulan data secara langsung di lapangan dilakukan mulai
pertengahan Maret s.d. awal Mei 2012. Beberapa data didapatkan pula antara bulan Mei s.d. Juli yang dikirimkan melalui pos, email dan telepon.
4.2.
Bahan dan Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, clipboard,
tally sheet, kamera digital, meteran, timbangan pegas, kertas lakmus, thermohigrometer, GPS, peta dasar, dan software pengolahan data. Bahan penelitian adalah Python reticulatus yang ditangkap, habitat dan pelaku perdagangannya.
4.3.
Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berupa data primer
dan sekunder. Data primer adalah data yang digunakan untuk menguji hipotesis. Data primer dikumpulkan di lapangan, baik secara langsung maupun melalui perantara seperti telepon, email dan data dikirim melalui pos. Data sekunder adalah semua data penunjang yang dibutuhkan, namun tidak untuk menguji hipotesis. Data sekunder didapatkan dari berbagai sumber, seperti internet, bukubuku, artikel ilmiah dan data-data yang didapatkan langsung dari dinas terkait yang bisa mendukung. Metode pengambilan data dan analisis data secara lengkap disajikan dalam Tabel 1 pada akhir bab ini. Jenis data primer yang dikumpulkan adalah sebagai berikut :
4.3.1. Tata Niaga Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Narasumber dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian. Wawancara dilakukan pada (1) penangkap; (2) pengumpul perantara; (3) pengumpul; (4) Balai KSDA Kalimantan Tengah sebagai Otoritas Pengelola. Penangkap adalah orang yang menangkap ular dari alam untuk keperluan komersial. Pengumpul perantara adalah pengumpul yang tidak
34
mempunyai ijin tangkap maupun edar, namun menjadi perantara antara penangkap dan pengumpul. Pengumpul adalah pedagang yang memiliki ijin tangkap dan atau ijin edar dari Balai KSDA Kalimantan Tengah. Data yang dikumpulkan adalah pelaku perdagangan, jalur perdagangan, teknik penangkapan dan pengulitan, harga dan ukuran Python reticulatus yang diperdagangkan di Kalimantan Tengah. Data pengumpul diambil dari Balai KSDA Kalimantan Tengah. Selanjutnya dari pengumpul yang terdata, dikumpulkan data perantara dan penangkap beserta lokasi penangkapannya. Jumlah lokasi pengumpul yang ditentukan adalah 1 titik. Jumlah ini berdasarkan jumlah pengumpul yang mempunyai ijin dari BKSDA Kalimantan Tengah. Jumlah narasumber dari Balai KSDA Kalimantan Tengah sebanyak tiga narasumber. Pengumpul perantara yang menjadi narasumber dalam penelitian ini berjumlah empat orang masing-masing di Pangkalan Banteng Kabupaten Kotawaringin Barat (PP A), Anjir Kabupaten Pulang Pisau (PP B), Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur (PP C), dan Kapuas Kabupaten Kuala Kapuas (PP D). Jumlah penangkap yang langsung menjadi narasumber dalam penelitian ini adalah satu kelompok dan dua penangkap perorangan profesional yang berasal dari Pangkalan Banteng Kabupaten Kotawaringin Barat (penangkap A, B dan C), dua penangkap dari Anjir Kabupaten Pulang Pisau (Penangkap D dan E), satu penangkap tidak profesional dari Pulang Pisau dan Kapuas dan satu mantan penangkap dari Katingan. Profesional berarti memerlukan kepandaian khusus untuk melakukan pekerjaannya (Kemdiknas 2012). Penangkap profesional tersebut memiliki kepandaian khusus untuk menangkap ular.
4.3.2. Karakteristik habitat Lokasi pengambilan data karakteristik habitat dilakukan pada kebun kelapa sawit antara pukul 07.30-13.30 WIB. Data karakteristik habitat dibagi menjadi data habitat tangkap dan habitat bersarang. Habitat tangkap adalah lokasi dimana ular biasa ditangkap. Habitat bersarang adalah lokasi dimana sarang ditemukan. Bagian yang diukur variabelnya untuk habitat tangkap adalah parit dimana ular tersebut ditangkap. Data habitat bersarang diambil pada lokasi yang
35
diindikasikan sebagai sarang. Pengambilan data di habitat tangkap dan sarang dilakukan dengan mengikuti penangkap ular. Metode survei yang dilakukan adalah dengan metode penjebakan (trapping), yaitu membuat jebakan pada titik-titik yang sudah ditentukan (TPBC 1998). Pada setiap titik dimana jebakan dibuat, diambil data sesuai dengan tujuan yang sudah ditentukan. Metode ini diterapkan untuk pengambilan data karakteristik habitat tangkap. Sedangkan pada habitat bersarang, tidak dilakukan metode penjebakan. Jenis data yang diambil untuk mendapatkan gambaran karakteristik habitat sesuai dengan Kusrini (2009) dengan beberapa penyesuaian. Jenis data yang diambil pada habitat tangkap adalah ada/tidak ular, ketinggian lokasi (m dpl), suhu air (0C), suhu udara (0C), kelembaban udara (%) dan ph air. Jumlah titik pengamatan untuk habitat tangkap adalah 75 titik yang terdiri dari 17 titik ditemukan ular dan 58 titik tidak ditemukan ular. Peubah yang dianalisis pada sarang adalah: keberadaan Python reticulatus pada suatu sarang, suhu udara pada sarang (0C), kelembaban udara pada sarang (%), pH tanah pada sarang, kedalaman sarang (cm) dan lebar mulut sarang (cm). Jumlah sarang yang diamati adalah 13 buah yang ada ularnya dan 114 buah tidak ada ularnya. Lokasi titik pengambilan data disajikan dalam Gambar 2 berikut ini.
Gambar 2. Titik pengambilan data habitat.
36
4.3.3. Panenan Data panenan dikumpulkan dengan cara menghitung langsung Python reticulatus yang dipanen pada tingkat (1) penangkap; dan (2) pengumpul perantara. Panenan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kelimpahan panenan pada tingkat penangkap dan pengumpul perantara. Kelimpahan yang bisa dihitung hanya pada tingkat ini karena pada tingkat pengumpul, ular sudah dalam bentuk kulit mentah. Pengambilan data pada tingkat penangkap dilakukan dengan cara menghitung langsung jumlah ular yang berhasil ditangkap oleh penangkap dalam kurun waktu tertentu. Pengambilan data pada pengumpul perantara dilakukan dengan menghitung jumlah ular yang berhasil dikumpulkan oleh pengumpul dalam kurun waktu tertentu. Sumber data berasal dari satu pengumpul perantara dan lima penangkap.
4.3.4. Parameter Demografi Data parameter demografi diambil pada dua lokasi, yaitu (1) penangkap; dan (2) pengumpul perantara. Parameter demografi yang bisa diketahui dari data yang diambil adalah (1) sex rasio; dan (2) kelas umur. Variabel yang diukur dan diambil datanya adalah Snout-vent lenght (SVL), jenis kelamin dan jumlah ular pada masing-masing lokasi.
Menurut Caughley (1977) dan Alikodra (2002),
ukuran tubuh satwaliar bisa digunakan untuk pendekatan pendugaan kelas umur. Caughley (1977) menyatakan bahwa pada reptil, pendekatan pembagian umurnya biasanya didasarkan pada ukuran tubuh. Jumlah ular yang tertangkap untuk analisis parameter demografi adalah 117 ekor pada tingkat penangkap dan 56 ekor pada tingkat pengumpul perantara.
4.3.5. Morfometri Data morfometri diambil pada dua lokasi, yaitu (1) penangkap; dan (2) pengumpul perantara. Variabel yang diukur untuk mendapatkan data morfometri adalah Snout-vent lenght (SVL) yaitu panjang tubuh mulai dari moncong sampai kloaka (cm), massa tubuh (kg) dan jenis kelamin (Reinert 1993; TPBC 1998) serta panjang badan dari leher sampai kloaka (cm), panjang ekor (cm), panjang kepala (cm) dan jarak mata (cm). Panjang ekor perlu diukur karena kadang
37
diperlukan informasi mengenai panjang total seekor ular (TPBC 1998). Panjang badan diukur karena dalam perdagangan panjang badan menjadi indikator utama untuk penangkapan. Jarak mata diukur untuk mengetahui kemungkinan adanya hubungan antara jarak mata dengan ukuran tubuh yang lain. Sumber data berasal dari satu pengumpul perantara dan lima penangkap dengan jumlah ular yang tertangkap 56 ekor pada tingkat pengumpul perantara dan 117 ekor pada tingkat penangkap
4.4.
Analisis Data
4.4.1. Tata Niaga Data tata niaga dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif untuk menggambarkan pelaku perdagangan, jalur perdagangan, teknik penangkapan dan pengulita, jumlah, harga dan ukuran Python reticulatus yang diperdagangkan di Kalimantan Tengah. Analisis menggunakan program SPSS 19.0 (Santoso 2012) dan Microsoft Excel 2010 untuk tabulasi data.
4.4.2. Karakteristik Habitat Kenormalan data diuji dengan menggunakan Test One Sample Kolmogorov-Smirnov pada program SPSS 19.0. Hipotesis untuk melakukan uji normalitas data adalah (Santoso 2012): Ho :
Data tersebar normal
H1 :
Data tidak tersebar normal
Kriteria penolakan Ho adalah apabila probabilitas < 0.05 Analisis yang digunakan untuk data yang tersebar normal adalah t test dua sampel independen pada program SPSS 19.0 (Santoso 2012). Hipotesis untuk melakukan pengujian adalah: Ho :
Nilai peubah pada habitat ditemukan ular sama dengan habitat tidak ditemukan ular
H1 :
Nilai peubah pada habitat ditemukan ular berbeda dengan pada habitat tidak ditemukan ular
Kriteria penolakan Ho adalah apabila nilai Sig. (2-tailed) pada t-test for equity means < 0.05.
38
Analisis yang digunakan untuk data yang tidak tersebar normal adalah Uji Kolmogorov-Smirnov dengan program SPSS 19.0 (Santoso 2012). Hipotesis untuk melakukan pengujian pada habitat tangkap adalah: Ho :
Nilai peubah pada habitat ditemukan ular sama dengan habitat tidak ditemukan ular
H1 :
Nilai peubah pada habitat ditemukan ular berbeda dengan pada habitat tidak ditemukan ular
Kriteria penolakan Ho adalah apabila probabilitas < 0.05. Hipotesis untuk melakukan pengujian pada habitat sarang adalah: Ho :
Nilai peubah pada sarang ditemukan ular sama dengan sarang tidak ditemukan ular
H1 :
Nilai peubah pada sarang ditemukan ular berbeda dengan pada sarang tidak ditemukan ular
Kriteria penolakan Ho adalah apabila probabilitas < 0.05.
4.4.3. Panenan Kelimpahan panenan pada tingkat penangkap dihitung berdasarkan jumlah ular yang tertangkap oleh seorang penangkap pada kurun waktu tertentu. Estimasi kelimpahan panenan (jumlah tangkapan) pada akhir tahun dihitung berdasarkan estimasi jumlah hari kerja dan produktifitas penangkap dengan menggunakan rumus: a) ∑ hari kerja/th = 365-hari libur Ʃ 𝑢𝑙𝑎𝑟 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑒𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑛𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝
b) Rata-rata ∑ tangkapan/hari = Ʃ ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔
𝑑𝑖𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝
c) ∑ tangkapan/th = ∑ hari kerja/th X Rata-rata ∑ tangkapan/hari
Kelimpahan panenan pada tingkat pengumpul perantara dihitung berdasarkan jumlah ular yang berhasil dikumpulkan oleh pengumpul perantara pada suatu satuan waktu tertentu. Rumus yang digunakan sama dengan rumus pada penangkap di atas.
39
4.4.4. Parameter Demografi Parameter demografi yang bisa didapatkan dari hasil penelitian ini adalah kelas umur, sex rasio dan kematian. Kelas umur didapat dari ukuran SVL (Shine et al. 1999). Kelas umur dibagi menjadi tiga, yaitu bayi (anakan), muda dan dewasa. Python reticulatus bayi betina mempunyai ukuran SVL <110 cm, muda 110-235 cm dan dewasa > 235 cm. Python reticulatus bayi jantan mempunyai ukuran SVL <110 cm, muda 110-210 cm dan dewasa > 210 cm. Sex rasio didapat dengan mengetahui jumlah jantan dan betina. Sex rasio dihitung dengan membandingkan jumlah jantan dengan betina.
4.4.5. Morfometri Kenormalan data diuji dengan menggunakan Test One Sample Kolmogorov-Smirnov pada program SPSS 19.0. Hipotesis dan kriteria penolakan Ho sama dengan uji yang sama pada karakteristik habitat diatas. Pengujian ini dilakukan pada morfometri ular di tingkat penangkap dan pengumpul perantara secara terpisah. Analisis yang digunakan untuk data yang tersebar normal adalah t-test dua sampel independen pada program SPSS 19.0 (Santoso 2012). T test dua sampel independen hanya bisa membandingkan peubah dari 2 kelompok data yang berbeda, sehingga untuk data yang mempunyai lebih dari 2 kelompok data, pengujian dilakukan secara bertahap dengan membandingkan antar 2 kelompok terlebih dahulu. Pengujian ini dilakukan pada peubah morfometri ular yang tertangkap antar penangkap dan pada peubah morfometri ular jantan dan betina yang tertangkap. Hipotesis untuk melakukan pengujian adalah: Ho :
Nilai peubah morfometri antar penangkap/antar jenis kelamin tidak ada perbedaan yang signifikan
H1 :
Nilai peubah morfometri antar penangkap/antar jenis kelamin ada perbedaan yang signifikan
Kriteria penolakan Ho adalah apabila nilai Sig. (2-tailed) pada t-test for equity means < 0.05.
40
Analisis untuk peubah morfometri dengan sebaran data tidak normal menggunakan Uji Kruskal Wallis pada program SPSS 19.9 (Santoso 2012). Hipotesis untuk melakukan pengujian adalah: Ho :
Peubah morfometri antar penangkap/antar jenis kelamin tidak ada perbedaan yang signifikan
H1 :
Peubah morfometri antar penangkap/antar jenis kelamin ada perbedaan yang signifikan
Kriteria penolakan Ho adalah apabila probabilitas < 0.05 atau χ² tabel (pada taraf nyata 95% dan derajat bebas (df) k-1) > χ² hitung. T-test dua sampel independen juga dilakukan pada peubah morfometri ular jantan dan betina yang tertangkap di tingkat pengumpul perantara. Hipotesis untuk melakukan pengujian adalah: Ho :
Nilai peubah morfometri antar jenis kelamin tidak ada perbedaan yang signifikan
H1 :
Nilai peubah morfometri antar jenis kelamin ada perbedaan yang signifikan
Kriteria penolakan Ho adalah apabila nilai Sig. (2-tailed) pada t-test for equity means < 0.05. Peubah morfometri dengan sebaran data tidak normal antara jantan dan betina pada pengumpul perantara dianalisis dengan Uji Kolmogorov-Smirnov pada program SPSS 19 (Santoso 2012). Hipotesis untuk melakukan pengujian adalah: Ho :
Peubah morfometri antar jantan dan betina tidak berbeda signifikan
H1 :
Peubah morfometri antar jantan dan betina berbeda signifikan
Kriteria penolakan Ho adalah apabila probabilitas < 0.05.
41
Tabel 1 Matriks metode pengambilan dan analisis data No
Tujuan
1 1.
2 Tata Niaga
2.
Karakteristik habitat a. Habitat tangkap
b. Habitat bersarang
3.
Panenan a. Penangkap b. Pengumpul perantara
4.
Parameter demografi a. Penangkap
b. Pengumpul perantara
5.
Morfometri a. Penangkap
b. Pengumpul perantara
Peubah Yang Diukur
Unit Pengamatan
Alat/Metode Pengukuran
Analisis Data
3 a. Pelaku tata niaga b. Jalur tata niaga c. Teknik penangkapan d. Teknik pengulitan e. Ukuran f. Harga
4 Individu
5 Penghitungan langsung Wawancara
6 Deskriptif
(y) ada/tidak ular (x1) ketinggian lokasi (m dpl) (x2) suhu air (0C) (x3) suhu udara (0C) (x4)kelembaban udara (%) (x5)ph air
Habitat tangkap
Penghitungan langsung GPS Thermometer air Thermo-higrometer Thermo-higrometer Kertas lakmus
(y) ada/tidak ular (x1) suhu udara sarang (0C), (x2) kelembaban udara (%) (x3) pH tanah sarang (x4)kedalaman sarang (cm) (x5)lebar mulut sarang (cm Suhu udara dibawah jembatan Suhu air dibawah jembatan Kelembaban udara dibawah jembatan Ketinggian lokasi jembatan
Habitat bersarang
Penghitungan langsung Thermo-higrometer Thermo-higrometer Kertas lakmus Meteran Meteran Thermo-higrometer Thermometer air Thermo-higrometer
a. Analisis Deskriptif b. Uji Kolmogorov -Smirnov c. T-test dua sampel independen a. Analisis Deskriptif b. Uji Kolmogorov -Smirnov c. T-test dua sampel independen
Jumlah Jenis kelamin Jumlah Jenis kelamin
Individu
SVL Jenis kelamin Jumlah SVL Jenis kelamin Jumlah
Individu
SVL (cm) Panjang kepala (cm) Panjang ekor (cm), Jarak mata (cm) Massa tubuh (kg) Jenis kelamin SVL (cm) Panjang kepala (cm) Panjang ekor (cm), Jarak mata (cm) Massa tubuh (kg) Jenis kelamin
Individu
GPS
Individu
Individu
Individu
Penghitungan langsung Pengamatan langsung Penghitungan langsung Pengamatan langsung
Meteran Pengamatan langsung Penghitungan langsung Meteran Pengamatan langsung Penghitungan langsung
Meteran Meteran Meteran Meteran Timbangan pegas Pengamatan langsung Meteran Meteran Meteran Meteran Timbangan pegas Pengamatan langsung
Analisis deskriptif
Analisis deskriptif
a. Analisis Deskriptif b. Uji Kolmogorov -Smirnov c. Uji Kruskal Wallis d. T-test dua sampel independen
42
III.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas. Lokasi penangkapan Python reticulatus di Kalimantan Tengah berupa kebun kelapa sawit, kebun karet, rawa-rawa, ladang dan hutan sekunder. Pada penelitian ini, lokasi utama yang diteliti adalah kebun kelapa sawit yang berada di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan, rawa-rawa di Kabupaten Katingan dan kebun karet di Kabupaten Pulang Pisau. Sedangkan lokasi pengambilan data tata niaga, selain di tiga kabupaten diatas juga dilakukan di kantor Balai KSDA Kalimantan Tengah di Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Kapuas.
3.1.
Letak dan Luas Propinsi Kalimantan Tengah
Gambar 1. Peta Kalimantan Tengah.
28
Kalimantan Tengah terletak dalam koordinat 0045’LU– 3030’ LS dan 1110 BT-1150 BT (WWF 2008). Luas wilayah Kalimantan Tengah adalah 153 564 km2. Disebelah barat berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Barat, sebelah selatan dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan dan sebelah utara dengan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Ibukota Kalimantan Tengah adalah Palangkaraya.
3.2.
Kondisi Umum Propinsi Kalimantan Tengah Kalimantan Tengah memiliki iklim tropis lembab dan panas yang menurut
klasifikasi Koppen tergoling pada Af, yaitu iklim hutan hujan tropis (WWF 2008). Suhu udara berkisar antara 230C pada malam hari dan 330C pada siang hari. Intensitas penyinaran matahari sebesar 60% per tahun. Agroklimat di Kalimantan Tengah terdiri dari empat kelas, yaitu (1) Kelas A di bagian utara (lebih dari sembilan bulan basah berurutan); (2) Kelas B1 dibagian tengah (7-9 bulan basah berurutan dan satu bulan kering); (3) Kelas C1 di bagian selatan (5-6 bulan basah berurutan dan 2-4 bulan kering); dan (4) C2 di bagian selatan (5-6 bulan basah berurutan dan 5-6 bulan kering). Semakin ke utara, curah hujan semakin tinggi. Curah hujan bulanan rata-rata 200 mm, curah hujan tahunan rata-rata 2 732 mm dengan jumlah hari hujan rata-rata 120 hari per tahun. Sebagian besar wilayah Kalimantan Tengah berada pada ketinggian 25100 m dpl (42.12%) (WWF 2008). Jenis tanahnya meliputi organosol, aluvial, regosol, podsolik merah kuning (luasan terbesar, yaitu 42.40%), podsol, latosol dan laterit. Kalimantan Tengah dialiri 11 sungai besar yang memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Sungai menjadi sarana transportasi yang menghubungkan berbagai daerah di Kalimantan Tengah. Umumnya sungai-sungai tersebut mengalir dari utara ke selatan dan bermuara di Laut Jawa.
3.3.
Kabupaten Kotawaringin Barat Kabupaten Kotawaringin Barat beribukota di Pangkalan Bun. Secara
astronomis terletak diantara 10 19’ sampai 30 36’ Lintang Selatan dan 1100 25’
29
sampai 1120 50’ Bujur Timur. Kabupaten Kotawaringin Barat mempunyai luas 10 759 km2. Wilayah terluas adalah Kecamatan Kumai (27.15 %) sedangkan wilayah terkecil adalah Kecamatan Pangkalan Lada
(2.13 %) (BPS Kab.
Kotawaringin Barat 2012). Kabupaten Kotawaringin Barat secara umum beriklim tropis yang dipengaruhi oleh musim kemarau/kering dan musim hujan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret tercatat 489.9 mm. Jumlah hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Maret yaitu 28 hari. Suhu udara maksimum berkisar antara 31.8 – 33.8 0C dan suhu minimum antara 22- 23.08 0C. Kelembaban udara bervariasi antara 84 % sampai 91 % (BMKG Palangkaraya 2012). Perekonomian penduduk di Kabupaten Kotawaringin Barat berasal dari subsektor pertanian sebagai penyangga perekonomian terbesar, pertambangan, industri pengolahan, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan, komunikasi dan jasa (Pemkab. Kotawaringin Barat 2012). Perdagangan satwaliar tidak disebutkan secara rinci sebagai salah satu mata pencaharian masyarakatnya. Python reticulatus banyak tertangkap di kebun kelapa sawit. Kabupaten Kotawaringin Barat memiliki kebun kelapa sawit dengan luas total 41 088 ha yang terdiri dari 12 897 ha tanaman muda belum produktif (immature), 28 179 ha tanaman produktif (mature) dan 12 ha tanaman rusak (damaged) (Disbun. Kalimantan Tengah 2012). Penangkapan Python reticulatus dilakukan di kebun kelapa sawit dengan status tanaman produktif. Sebagian besar kebun kelapa sawit tersebut adalah milik perusahaan swasta dan sebagian kecil menjadi milik perorangan.
3.4.
Kabupaten Seruyan Kabupaten Seruyan terletak pada koordinat 111015’ 00” bujur timur dan
0045’00” lintang utara, 3030’00” lintang selatan (Pemkab. Seruyan 2012). Ibu kota kabupaten Seruyan terletak di Kuala Pembuang. Kabupaten Seruyan berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Barat di sebelah utara, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kotawaringin Timur, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kotawaringin Barat dan sebelah selatan berbatasan dengan laut Jawa. Luas wilayah Kabupaten Seruyan 16 404 km2.
30
Perkebunan
kelapa
sawit
merupakan
sektor
penunjang
ekonomi
masyarakat yang paling diunggulkan (Pemkab. Seruyan 2012). Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Tengah mencatat bahwa Kabupaten Seruyan memiliki kebun kelapa sawit dengan luas 60 492 ha immature dan 245 084 mature (Disbun. Kalimantan Tengah 2012). Kebun kepala sawit mature yang sangat luas merupakan salah satu potensi habitat Python reticulatus. Perekonomian di Kabupaten Seruyan didukung oleh kegiatan pertanian, perdagangan, pariwisata, peternakan dan pertambangan. Perdagangan satwaliar tidak disebutkan secara rinci sebagai salah satu mata pencaharian masyarakatnya.
3.5.
Kabupaten Kotawaringin Timur Kabupaten Kotawaringin Timur beribukota di Sampit (BPS Kab.
Kotawaringin Timur 2012). Luas wilayahnya 16 496 km2 atau 10.74% dari wilayah Propinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten Kotawaringin Timur terletak pada 0023’14” sampai 3032’54” lintang selatan dan 11100’50” sampai 11300”46” bujur timur. Kabupaten Kotawaringin Timur terletak pada ketinggian 0 – 60 meter diatas permukaan laut, sebagian besar wilayahnya merupakan dataran rendah, yaitu bagian selatan sampai bagian tengah memanjang dari timur ke barat (Pemkab. Kotawaringin Timur 2012). Bagian utara merupakan dataran tinggi yang berbukit yang didominasi jenis tanah padsonik merah kuning dan beberapa bagian lain berjenis alluvial, organosal, dan lithosol. Kabupaten Kotawaringin Timur pada umumnya termasuk aerah beriklim tropis basah (lembab) dengan tipe B (menurut Schmidt dan Ferguson) dengan curah hujan tahunan rata-rata 1 934 mm, jumlah hari hujan 69 HH, suhu bulanan rata- rata 270C – 360C dan kelembaban nisbi 82% – 89 %. Perekonomian penduduk di Kabupaten Kotawaringin Timur berasal dari subsektor pertanian sebagai penyangga perekonomian terbesar, pertambangan, industri pengolahan, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan, komunikasi dan jasa (Pemkab. Kotawaringin Timur 2012). Perdagangan satwaliar tidak disebutkan secara rinci sebagai salah satu mata pencaharian masyarakatnya. Python reticulatus banyak tertangkap di kebun kelapa sawit. Luas kebun kelapa
31
sawit di Kotawaringin Timur adalah 121 445 ha immature, 256 880 mature dan 21 ha dameged (Disbun. Kalimantan Tengah 2012).
3.6.
Kabupaten Katingan Kabupaten Katingan secara geografis terletak diantara 112° 0’BT – 0o20
LS dan 113° 45’ BT - 30° 30’ LS dan dialiri oleh sungai besar, yaitu Sungai Katingan dengan panjang + 650 km (Pemkab. Katingan 2012). Luas wilayah berdasarkan Kabupaten Katingan ± 17 500 km2 dengan kepadatan penduduk ratarata 9.15 jiwa/km2. Perekonomian penduduk di Kabupaten Katingan berasal dari subsektor pertanian sebagai penyangga perekonomian terbesar, pertambangan, industri pengolahan, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan, komunikasi dan jasa (Pemkab. Katingan 2012). Perdagangan satwaliar tidak disebutkan secara rinci sebagai salah satu mata pencaharian masyarakatnya. Lokasi penelitian di Kabupaten Katingan berupa rawa-rawa. Kabupaten Katingan memiliki tipe tanah gambut yang selalu tergenang air pada musim hujan dan terbakar karena kering pada musim kemarau. Python reticulatus di Katingan banyak tertangkap di rawa-rawa yang selalu tergenang air.
3.7.
Kabupaten Pulang Pisau Kabupaten Pulang Pisau mempunyai luwas wilayah 8 977 km2 meliputi
delapan kecamatan dan terletak antara 0° sampai 10° Lintang Selatan dan 110° sampai 120° Bujur Timur (Pemkab. Pulang Pisau 2012). Kabupaten Pulang Pisau di sebelah Utara berbatasan dengan sebagian wilayah Kabupaten Gunung Mas, di sebelah Timur dengan sebagian Wilayah Kabupaten Kapuas, di Selatan dengan Laut Jawa serta di sebelah Barat dengan Kota Palangka Raya dan Kabupaten Katingan. Kepadatan penduduk di Kabupaten Pulang Pisau adalah 14 orang/km2 (BPS Kab. Pulang Pisau 2012). Sektor pertanian baik sebagai penghasil devisa maupun sebagai lapangan pekerjaan, sub sektor tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan memegang peran penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat di Kabupaten Pulang Pisau. Perdagangan satwaliar tidak
32
disebutkan secara rinci sebagai salah satu mata pencaharian masyarakatnya. Python reticulatus di Kabupaten Pulang Pisau yang menjadi lokasi penelitian ini ditangkap di kebun karet. Kabupaten Pulang Pisau memiliki kebun karet seluas 36 306 ha yang terdiri dari 14 390 ha tanaman muda belum produktif (immature), 17 426 ha tanaman produktif (mature) dan 4 500 ha tanaman rusak (damaged) (Disbun Kalimantan Tengah 2012). Lokasi penelitian ini adalah pada kebun karet produktif. Status kepemilikan kebun adalah perkebunan rakyat.
3.8.
Kabupaten Kapuas Luas wilayah Kabupaten Kapuas sebesar 14 999 Km2 (77 % dari luas
wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) (Pemkab. Kapuas 2012). Wilayahnya terbagi dalam dua kawasan besar yaitu kawasan pasang surut (umumnya di bagian selatan) yang merupakan daerah potensi pertanian tanaman pangan dan kawasan non pasang surut (umumnya di bagian utara) yang merupakan potensi lahan perkebunan karet rakyat dan perkebunan besar swasta. Kepadatan penduduk mencapai 21.96 jiwa/km2. Kabupaten Kapuas pada umumnya termasuk daerah beriklim tropis dan lembab dengan temperatur berkisar antara 210C – 230C dan maksimal mencapai 360C. Intensitas penyinaran matahari selalu tinggi dan sumber daya air yang cukup banyak sehingga menyebabkan tingginya penguapan yang menimbulkan awan aktif/tebal. Curah hujan terbanyak jatuh pada bulan April, dengan rata-rata 1 525 mm tiap bulannya, sedangkan bulan kering/kemarau jatuh pada Juni sampai dengan September. Pertanian merupakan sektor utama penyangga perekonomian penduduk Kabupaten Kapuas (BPS Kab. Kapuas 2012). Perdagangan satwaliar tidak disebutkan sebagai sektor utama matapencaharian penduduknya. Python reticulaus banyak ditangkap di lahan perkebunan kelapa sawit yang luasnya mencapai 51 797 ha immature dan 2 916 ha mature (Disbun Kalimantan Tengah 2012). Luas kebun kelapa sawit jauh berada dibawah Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kotawaringin Timur.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Tata Niaga
5.1.1 Pelaku Tata Niaga Pelaku tata niaga Python reticulatus di Kalimantan Tengah adalah penangkap, pengumpul perantara dan pemilik ijin resmi (penangkap berijin dan pengedar dalam negeri). Tidak ada perusahaan yang memiliki ijin sebagai pengedar luar negeri di Kalimantan Tengah. Penangkap diidentifikasi sebagai orang yang menangkap ular langsung dihabitatnya. Pengumpul perantara diidentifikasi sebagai orang yang mengumpulkan ular dari beberapa penangkap. Penangkap berijin adalah badan usaha yang memiliki ijin tangkap dari Balai KSDA Kalimantan Tengah. Pengedar dalam negeri adalah badan usaha yang mempunyai ijin sebagai pengedar kulit ular dalam negeri dari Balai KSDA Kalimantan Tengah. (a)
Penangkap. Penangkap terdiri dari penangkap profesional dan penangkap bukan
profesional. Penangkap profesional memiliki kemampuan untuk merakit jerat yang efektif dan menangkap ular tanpa melukai ular dan mereka sendiri. Bagi penangkap perorangan, penangkap ular adalah pekerjaan utama
meskipun
mereka mempunyai kebun dan sawah, kecuali satu kelompok. Pekerjaan penuh mereka adalah menangkap ular. Jenis ular yang ditangkap hanya Python reticulatus dan Python breitensteini (ular kendang). Ular kendang merupakan salah satu jenis sanca yag mempunyai ukuran panjang 180-200 cm, warna coklat atau merah di bagian atas dengan bintik-bintik bulat berwarna coklat, biasanya terdapat garis putih miring dari ujung mata sampai ujung mulut, bagian tubuh keputihan dan kadang berbintik coklat (BOSF 2008). Selain penangkap profesional yang disebutkan diatas, menurut informasi penangkap, pengumpul perantara dan pengumpul yang menjadi narasumber, ada lebih dari 5 penangkap profesional dan 5 penangkap bukan profesional di Kotawaringin Barat, 5 penangkap bukan profesional di Pulang Pisau dan 1 penangkap bukan profesional di Katingan. Penangkap bukan profesional hanya menangkap ular ketika bertemu dengan ular tersebut dan bukan dengan sengaja
44
mencari ular. Umumnya penangkap sambilan adalah petani dan pekerja perkebunan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengumpul perantara di Kabupaten Kuala Kapuas, Pulang Pisau, dan Kotawaringin Timur seluruh pemasok mereka adalah penangkap bukan profesional yang mempunyai pekerjaan utama sebagai petani atau pekerja di perkebunan. Penangkap tersebut hanya memasok ular atau kulit pada mereka secara tidak teratur. Seluruh penangkap yang menjadi narasumber di Kotawaringin Barat, menangkap di kebun kelapa sawit. Mereka mempunyai wilayah teritori masingmasing dan tidak saling mengganggu, namun kadang hasil tangkapan mereka hilang dicuri orang. Penangkap lain juga sebagian besar menangkap di kebun kelapa sawit ketika mereka sedang bekerja. Umumnya mereka adalah pekerja di perkebunan kelapa sawit yang banyak terdapat di Kotawaringin Barat. Penangkap di Pulang Pisau menangkap di kebun karet, rawa, tanah tinggi dan sawah. Penangkap profesional di Kotawaringin Barat menangkap ular sepanjang tahun. Pada bulan Oktober – Mei, mereka menangkap dengan menggunakan jerat. Pada bulan Juni-September, penangkap profesional di Kotawaringin Barat tidak menggunakan jerat untuk menangkap ular. Mereka menangkap langsung dari sarangnya. Pada musim ini, banyak penangkap sambilan yang ikut mencari ular dan jumlah ular yang ditangkap lebih banyak dari biasanya. Mereka menganggap musim ini sebagai musim panen ular. Penangkap profesional di Pulang Pisau hanya menangkap ular pada bulan Januari-Mei setiap tahunnya. Musim kemarau mereka tidak menangkap ular karena parit tempat mereka memasang jerat umumnya mengering. Mereka tidak mengenal cara penangkapan ular di sarang karena mereka tidak mengetahui secara pasti dimana sarang ular. Mereka hanya menangkap ular yang mereka temui ketika sedang bekerja di kebun. Begitu pula dengan penangkap di Kabupaten Kuala Kapuas dan Kotawaringin Timur. Menurut informasi pengumpul perantara disana, pada bulan-bulan tersebut mereka hanya mendapatkan pasokan dalam jumlah yang sangat sedikit dan jauh berkurang dari ketika musim hujan. Menurut Yuwono (1998), sebelum akhir tahun 1980-an, di Indonesia belum ada penangkap profesional untuk reptil. Pada saat itu, yang ada penangkap burung yang mencoba mengumpulkan lebih banyak uang dengan melakukan
45
pekerjaan sambilan menangkap reptil dan ampibi. Penangkap reptil profesional baru muncul pada awal tahun 1990-an dan semakin banyak lagi sampai sekarang. Pada tahun 1993 ketika terjadi larangan ekspor burung, sebagian besar pengumpul burung beralih profesi menjadi penangkap reptil. Penangkap reptil di Kabupaten Kotawaringin Barat mulai menjadi penangkap profesional pada tahun 2005 dan sebelumnya menjadi penangkap reptil di Sumatera selama beberapa tahun. Kepandaian memasang jerat dan menguliti diperoleh ketika mereka bekerja di Sumatera. Itulah sebabnya teknik penangkapan dan pengulitan tidak berbeda dengan yang dilakukan di Sumatera. (b)
Pengumpul Perantara Pengumpul perantara di Pangkalan Banteng adalah yang terbesar dengan
jumlah produksi paling besar. Jenis ular yang diterimanya adalah Python reticulatus dan Python breitensteini (pada saat musim hujan). Pengumpul perantara ini mendapatkan ular dari sekitar 20 penangkap profesional dan bukan profesional yang berada di Pangkalan Banteng. Pada saat musim “nyuluh”, pengumpul perantara ini juga terjun langsung mencari ular sendiri dibantu istrinya selain membeli ular dari penangkap lain. Dia lebih memilih membeli ular hidup daripada dalam bentuk kulit karena ular hidup akan memberi lebih banyak keuntungan dan teknik pengulitannya menghasilkan kulit dengan kualitas lebih baik. Selain pengumpul perantara yang menjadi narasumber, di Kotawaringin Barat juga terdapat seorang pengumpul perantara yang menjadi saingan dari pengumpul perantara tersebut. Pengumpul perantara di Sampit menjadikan ular hanya sebagian dari usahanya. Pekerjaan utamanya adalah pengumpul perantara berbagai jenis satwaliar yang diperdagangkan. Pengumpul perantara ini lebih banyak menerima kura-kura, labi-labi dan biawak. Jenis ular yang diterimanya adalah Python reticulatus dan Python breitensteini. Bentuk yang diterima bisa ular hidup ataupun kulit. Ular hidup akan memberi lebih banyak keuntungan namun kulit yang ukurannya kurang sesuai juga bisa diperbaikinya hingga ukurannya sesuai. Pemasoknya adalah penangkap bukan profesional disekitar Sampit dan tidak ada penangkap profesional yang memasok ular kepadanya.
46
Pengumpul perantara di Anjir Pulang Pisau mempunyai pekerjaan utama sebagai petani karet dan sawah. Pekerjaan sebagai pengumpul perantara merupakan pekerjaan sampingan. Jenis ular yang diterimanya adalah Python reticulatus dan Python breitensteini yang hanya bisa diperoleh pada bulan Januari-Juni. Satwaliar lain yang diterimanya adalah labi-labi dan biawak yang bisa diterimanya sepanjang tahun. Hal ini terjadi karena pemasok ular hanya bisa menangkap ular pada musim hujan, sedangkan biawak dan labi-labi bisa ditangkap sepanjang tahun. Bentuk yang diterimanya bisa berupa ular hidup maupun kulit. Kadang memasok pula ular hidup dalam ukuran kecil untuk pet. Penangkap yang memasoknya adalah penangkap bukan profesional. Penangkap profesional yang berada didekat tempat tinggalnya langsung menjual pada pengumpul besar untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Pengumpul perantara di Kapuas adalah pengusaha yang bergerak dalam berbagai jenis usaha tata niaga dan pekerjaan sebagai pengumpul perantara kulit ular hanya sebagian dari usahanya. Bentuk yang diterimanya hanya berupa kulit. Penangkap yang memasoknya adalah penangkap bukan profesional di Kuala Kapuas. Sebagian besar berasal petani atau pekerja kebun kelapa sawit. (c)
Pemilik Ijin Resmi Ijin resmi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah ijin tangkap dan
ijin edar dalam negeri dari otoritas manajemen (Balai KSDA). Penangkap yang mempunyai ijin hanya dua perusahaan yaitu satu di Kabupaten Katingan dan satu di Kota Palangkaraya. Pemilik ijin di Kabupaten Katingan perusahaan
yang membawahi penangkap
merupakan
dan pengumpul perantara di
Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Katingan, Kuala Kapuas dan Pulang Pisau. Para penangkap dan pengumpul perantara tidak memiliki ijin tangkap. Mereka seolah menginduk pada perusahaan yang mempunyai ijin tangkap tersebut dengan cara menjadi pemasok. Dari kedua perusahaan tersebut, hanya pemilik ijin di Kabupaten Katingan yang benar-benar melakukan penangkapan. Pemilik ijin di Kota Palangkaraya hanya menjual surat/administrasi saja. Selain kedua pemilik ijin di atas, ada pula satu badan usaha yang mengaku memiliki ijin di Kotawaringin Barat, namun menurut data Balai KSDA Kalimantan Tengah, hanya dua badan usaha di atas yang memiliki ijin tangkap
47
dan ijin edar dalam negeri dengan kuota yang sudah terbagi habis untuk keduanya. Badan usaha tersebut pada tahun 2009-2010 tercatat melakukan kegiatan peredaran dalam negeri, namun pada tahun 2011 tidak tercatat adanya aktivitas resmi dari badan usaha tersebut. Tahun 2012 dimana kuota hanya untuk dua pemilik ijin, namun badan usaha tersebut terlihat melakukan aktifitas untuk membeli kulit dari penangkap dan pengumpul perantara di Kotawaringin Barat, baik yang menjadi narasumber maupun tidak dengan alasan masih memiliki ijin resmi, namun tidak bisa menunjukkan ijin yang dimaksud. Yuwono (1998) menyatakan bahwa pelaku tata niaga reptil yaitu penangkap (colector), agen (middleman), supplier, dan eksportir (exporter). Semiadi dan Sidik (2011) menyebutkan bahwa pelaku tata niaga Python reticulatus di Sumatera Utara dan Nanggro Aceh Darussalam (NAD) adalah pengumpul daerah, agen, sub agen dan pengasong. Pengumpul daerah adalah orang yang membawahi beberapa agen pengumpul yang biasanya berdomisili di perkotaan sekitar kawasan penangkapan ular. Pengumpul daerah umumnya terdaftar di Balai KSDA dan mempunyai ijin tangkap. Agen adalah mereka yang berperan mengumpulkan hasil tangkapan dari pengasong dan dijual ke pengumpul daerah. Antara pengasong dengan agen terdapat sub agen. Pengasong adalah masyarakat penangkap. Pengasong dibagi menjadi pengasong sambilan dan pengasong insidentil. Pengasong sambilan adalah mereka yang mempunyai pekerjaan mapan yang melakukan kegiatan menangkap ular selepas jam kerja mereka. Pengasong insidentil adalah mereka yang melakukan penangkapan secara tidak teratur tergantung kebutuhan ekonomi atau yang menangkap ular secara tidak sengaja dan dijual ke sub agen atau langsung ke pengumpul daerah. Siregar (2012) yang melakukan penelitian pada lokasi yang sama yaitu Sumatera Utara, menyebutkan bahwa pelaku tata niaga ular di Sumatera Utara terdiri dari penangkap ular, pengumpul kecil, pengumpul besar dan eksportir. Penangkap terdiri dari penangkap profesional penuh, penangkap profesional sambilan dan penangkap amatir. Penangkap profesional penuh yaitu orang yang menjadikan pekerjaan menangkap ular sebagai pekerjaan utama. Penangkap profesional sambilan adalah penangkap yang menjadikan pekerjaan menangkap ular sebagai pekerjaan sambilan. Sedangkan penangkap amatir adalah orang yang
48
mendapatkan ular secara kebetulan. Pengumpul kecil adalah yang mengumpulkan ular langsung dari penangkap. Pengumpul besar adalah pengumpul yang membawahi pengumpul kecil. Eksportir adalah yang mempunyai ijin ekspor. Terdapat perbedaan
pelaku
tata niaga di Kalimantan Tengah dan di
Sumatera, baik menurut Yuwono (1998), Semiadi dan Sidik (2011) ataupun Siregar (2012). Pelaku tata niaga di Kalimantan Tengah hanya sampai pada tingkat pengedar dalam negeri, sedangkan di Sumatera sampai pada tingkat eksportir. Namun secara umum, pelaku tata niaga terdiri dari level yang sama yaitu penangkap, pengumpul dan pemilik ijin edar. Semakin pendek rantai tata niaga, kemungkinan akan semakin besar nilai jual yang bisa diterima oleh pelaku tata niaga di level terbawah. Namun kadang tidak bisa dihindari adanya tambahan level, terutama bila lokasi penangkapan jauh dari level tertinggi. Berdasarkan aturan perundang-undangan mengenai pemanenan dan tata niaga satwaliar dalam negeri, yaitu SK Menteri Kehutanan No.447/Kpts-II/2003 (Sekditjen PHKA 2007c), ada ketidaksesuaian antara penerapan di lapangan dengan aturan tersebut. Pasal 24 (3) menyebutkan bahwa pemanfaatan untuk tujuan komersial hanya diberikan kepada badan usaha resmi. Pasal 26 (1) menyatakan bahwa penangkapan hanya bisa dilakukan oleh pemilik ijin pengambilan dari alam. Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah penangkap bukan pemilik ijin penangkapan. Pemilik ijin hanya membeli dari penangkap yang tidak memiliki ijin. Bahkan penangkap tersebut dengan bebas bisa menjual pada pemilik ijin atau dijual pada orang lain yang tidak memiliki ijin atau dijual melalui jalur yang tidak resmi. Otoritas pengelola (BKSDA) seharusnya mengawasi dan melakukan pembinaan terhadap penangkap, pengumpul dan pemegang ijin edar sebagaimana disebutkan pada pasal 107 (1) serta melakukan penegakan hukum. Langkah awal yang sangat penting untuk dilakukan adalah mendata penangkap dan lokasi tangkapnya, selanjutnya dilakukan pembinaan dan sosialisasi aturan dalam penangkapan satwaliar serta memfasilitasi penangkap agar bisa mendapatkan ijin secara resmi. Kegiatan ini harus dilakukan secara berkesinambungan. Dengan demikian maka akan terjadi keteraturan dan mempermudah dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan penangkapan satwaliar di alam.
49
5.1.2 Jalur Tata Niaga Jalur tata niaga Python reticulatus di Kalimantan Tengah dimulai dari penangkap sampai pengedar dalam negeri. Secara ringkas, jalur tata niaga Python reticulatus di Kalimantan Tengah disajikan dalam Gambar 3. Seluruh penangkap profesional di Kotawaringin Barat yang menjadi narasumber, langsung menjual kulit hasil produksinya kepada pengumpul di Katingan. Seluruh penangkap profesional dari Pulang Pisau juga langsung menjual kulit hasil produksinya kepada pengumpul di Katingan. Penangkap bukan profesional di Pulang Pisau yang menjadi narasumber, menjual ular hidup kepada pengumpul perantara di Pulang
Pisau.
Dari
empat
pengumpul
perantara,
seluruhnya
langsung
mendapatkan pasokan dari penangkap dan langsung disetorkan pada pengumpul di Katingan yang juga merupakan pengedar dalam negeri. Pengumpul tersebut langsung mengirimkannya pada pemesan diluar Kalimantan Tengah (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Banjarmasin), artinya jalur tata niaga disini sangat pendek. Seluruh penangkap dan pengumpul perantara di Kotawaringin Barat juga langsung menjual keluar Kalimantan Tengah, yaitu ke Banjarmasin Kalimantan Selatan atau ke Semarang Jawa Tengah dan Surabaya Jawa Timur, terutama untuk kulit yang tidak diterima pengumpul di Katingan karena ukurannya yang kurang sesuai kriteria. Seluruh penangkap dan pengumpul perantara di Pulang Pisau dan Kuala Kapuas kadang menjual langsung ke Banjarmasin. Pengangkutannya tentu saja tanpa SATS-DN dari BKSDA Kalimantan Tengah. Penangkap dan pengumpul perantara yang menjadi narasumber, penangkap di Kalimantan Tengah bagian timur yang dekat dengan Banjarmasin juga langsung menjual ke Banjarmasin. Menurut informasi seorang penangkap di Kapuas, ada calo dari Banjarmasin yang berkeliling di daerah tersebut dan mendatangi orang-orang yang memiliki kulit. Seorang mantan penangkap ular juga menyatakan bahwa hasil tangkapannya langsung dijual ke Banjarmasin. Berarti banyak kulit dari Kalimantan Tengah yang masuk Banjarmasin tanpa surat.
50
Penangkap
Penangkap
Penangkap
pengumpul perantara
Penangkap
Penangkap
Penangkap merangkap pengumpul perantara
pengumpul perantara
Pengumpul/pengedar dalam negeri
Pengumpul/pengedar/pengrajin di luar Kalimantan Tengah Keterangan: Jalur resmi dengan dokumen Jalur tidak resmi tanpa dokumen
Gambar 3 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus di Kalimantan Tengah.
Jalur tata niaga reptil menurut Yuwono (1998) adalah sebagaimana disajukan dalam Gambar 4 berikut ini. Collector Middleman
Collector
Collector
Middleman
Middleman Supplier Exporter Gambar 4 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Yuwono (1998).
Menurut Semiadi dan Sidik (2011), jalur tata niaga reptil di Sumatera Utara dan NAD adalah sebagaimana disajikan dalam Gambar 5.
51
Pengumpul besar Eksportir
Pengumpul Daerah
Agen
Sub Agen
Masyarakat penangkap Pengasong Sambilan dan Insidentil Keterangan: Kegiatan yang biasa dilakukan Kegiatan dalam jumlah sangat terbatas
Gambar 5
Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Semiadi dan Sidik (2011).
Menurut Siregar (2012), jalur tata niaga reptil di Sumatera Utara adalah sebagaimana disajikan dalam Gambar 6.
Penangkap
Penangkap
Pengumpul kecil
Penangkap
Penangkap
Penangkap
Penangkap merangkap pengumpul kecil
Pengumpul kecil
Pengumpul besar
Pengrajin kulit lokal
Eksportir
Pengrajin kulit lokal
Keterangan: Jalur yang diteliti langsung oleh Siregar (2012) Jalur yang tidak diteliti langsung oleh Siregar (2012)
Gambar 6 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Siregar (2012).
52
Jalur tata niaga kulit di Kalimantan Tengah cenderung lebih pendek apabila dibandingkan dengan jalur tata niaga kulit menurut Yuwono (1998), Semiadi dan Sidik (2011) dan Siregar (2012). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, untuk sampai pada pengumpul besar yang mempunyai ijin, hanya melalui satu jalur yaitu satu pengumpul perantara atau langsung dari penangkap ke pemilik ijin. Tidak ada level diantara penangkap dan pengumpul perantara atau antara pengumpul perantara dengan pemilik ijin. Pada pasar tidak resmi, pengumpul perantara langsung mengambil pada tingkat penangkap atau dari penangkap langsung menjual keluar daerah tanpa ada perantara lain. Antara penangkap, pengumpul perantara dan pemilik ijin yang menjadi narasumber di Kalimantan Tengah, terjadi hubungan yang bersifat langganan tetap, namun bukan berarti terjadi monopoli karena pemilik ijin mempersilahkan penangkap dan pengumpul perantara untuk menjual kepada orang lain. Sejauh ini, kulit yang dijual pada selain pemilik ijin tersebut adalah kulit dengan ukuran yang tidak sesuai standar yang ditentukan pemilik ijin tersebut, yaitu kulit dengan ukuran dibawah 250 cm, kulit jenis lain selain Python reticulatus dan kulit yang tingkat kerusakannya tidak bisa diterima pemilik ijin. Kulit tersebut biasanya langsung jual ke Jawa atau ke Banjarmasin. Tentunya tanpa dokumen legal dari otoritas pengelola (BKSDA). Apabila ditinjau dari SK Menteri Kehutanan No.447/Kpts-II/2003 (Sekditjen PHKA 2007c), terjadi banyak penyimpangan peredaran dalam negeri. Hal ini bisa dikategorikan sebagai tata niaga illegal (illegal trading). Adanya kulit yang dikirim ke luar Kalimantan Tengah tanpa dokumen SATS-DN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri) oleh mereka yang tidak memiliki ijin edar dalam negeri, jelas merupakan penyimpangan dari aturan yang ada. Pada level penangkap, penyimpangan ini lebih disebabkan karena ketidaktahuan mereka terhadap aturan yang ada. Dalam hal ini kembali fungsi pengawasan dan pembinaan oleh otoritas manajemen harus dilakukan untuk mengendalikan terjadinya lebih banyak illegal trading. Siswomartono (1998) mengatakan bahwa kontrol terhadap tata niaga illegal di Indonesia bukan merupakan pekerjaan yang mudah dilakukan karena
53
Indonesia merupakan negara kepulauan. Banyaknya pintu keluar masuk wilayah propinsi tanpa pengawasan khusus untuk peredaran satwaliar juga membuka peluang adanya jalur tata niaga ilegal. Selama ini, pintu keluar masuk yang diawasai ketat adalah bandar udara. Maka pintu keluar masuk lewat darat dan laut menjadi sangat aman untuk tata niaga illegal. Memantau dan memeriksa setiap barang yang dibawa keluar masuk suatu wilayah propinsi mengakibatkan tidak mungkin dilakukannya pengawasan terhadap keluar masuknya satwaliar, terutama yang sudah dalam keadaan mati. Tata niaga illegal sangat merugikan dalam beberapa hal. Menurut Dit. KKH (2010) tata niaga tumbuhan dan satwa ilegal menduduki posisi kedua dari segi nilai tata niaga setelah narkotika. Tata niaga illegal menimbulkan adanya over eksploitasi pada sumberdaya alam hayati yang diperdagangkan tersebut. Jumlah yang tercatat oleh otoritas pengelola sebagai realisasi kuota hanya merupakan jumlah yang resmi dan diperbolehkan sesuai aturan perundangundangan yang berlaku. Adanya tata niaga ilegal, jumlah yang dieksploitasi menjadi lebih banyak lagi dan tidak tercatat. Hal ini sangat berdampak pada kelestaian karena tidak bisa diketahui dengan pasti berapa jumlah yang diekploitasi. Berdasarkan pertimbangan bahwa kuota yang ditetapkan selalu mengikuti jumlah panenan lestari, maka dengan adanya tata niaga ilegal tersebut, jumlah yang dipanen bisa jadi berada diatas jumlah panenan yang lestari. Hal ini artinya tata niaga ilegal bisa menyebabkan laju kepunahan menjadi semakin cepat karena over ekploitasi dan panenan yang tidak terkontrol. Tata niaga ilegal juga menimbulkan kerugian dalam bidang penerimaan negara karena setiap barang yang diperdagangkan tersebut tidak memberi pemasukan terhadap negara.
5.1.3 Teknik Penangkapan dan Pengulitan (a)
Teknik Penangkapan Penangkapan Python reticulatus di Kalimantan tidak berbeda dengan
model penangkapan di Sumatera. Secara umum ada dua teknik penangkapan yang dilakukan oleh penangkap, yaitu:
54
1.
Menggunakan Jerat Teknik ini digunakan oleh penangkap profesional. Jerat dipasang di parit
dengan cara membendung parit dikedua sisinya dan memberi pintu ditengah parit selebar ± 20 cm. Pada pintu bagian bawah diberi sepotong kayu kecil tepat dibawah permukaan air. Jerat yang digunakan adalah tali tampar berukuran kecil yang diikatkan pada sepotong kayu dan pada ujung yang lain dibentuk simpul yang ukurannya disesuaikan dengan lebar pintu. Simpul tersebut ditautkan pada sepotong kayu kecil ditengah pintu. Kayu tersebut ditautkan pada kayu kecil dibagian bawah pintu (Gambar 7). Ketika ular masuk ke lubang dan menekan kayu kecil dibagian bawah pintu, kayu akan terjatuh dan kayu kecil ditengah pintu yang ditautkan padanya akan lepas dan menarik tali sehingga ular akan terjerat (Gambar 8).
(a)
(b)
Gambar 7 Proses pemasangan jerat (a) dan jerat yang telah dipasang (b).
Gambar 8 Ular yang terjerat.
55
Jerat dipasang disepanjang parit dengan jarak masing-masing sekitar 50 meter. Jerat berbentuk sangat sederhana namun cukup efektif untuk menjerat ular. Penangkap di Pangkalan Banteng membuat jerat dari pelepah daun kelapa sawit, tali tampar kecil dan daun kelapa sawit. Penangkap hanya membawa golok, lakban dan tali dari rumah. Kelengkapan lain untuk membuat jerat bisa dapatkan di kebun tersebut, bahkan kantong tempat ular bisa dengan mudah didapat di kebun. Penangkap di Anjir menggunakan bambu dan ranting kecil untuk memasang jerat. Penangkap memeriksa jeratnya setiap pagi untuk melihat apakah ada ular yang tertangkap atau tidak dan memeriksa keadaan jerat. Hujan yang sangat besar akan mengahanyutkan jerat yang mereka buat, maka setelah hujan besar biasanya mereka juga akan memeriksa jerat yang mereka buat. Selain dengan jerat, ada pula yang menggunakan jaring, namun umumnya ini tidak disukai oleh penangkap profesional karena akan menimbulkan banyak luka dan sisik ular banyak yang terkelupas sehingga kualitas kulit yang dihasilkan kurang baik. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap harga jual kulit nantinya. Apabila menggunakan jerat, kulit yang terluka biasanya hanya ada di bagian leher. 2.
Menangkap Langsung Teknik ini digunakan oleh penangkap bukan profesional dan penangkap
profesional di Pangkalan Banteng. Penangkap bukan profesional biasanya menangkap langsung ular yang ditemukan. Caranya bisa dengan memukul ular sampai ular tersebut tidak berbahaya bila ditangkap, membunuh ular ataupun langsung
menangkap
tanpa
melukai
bila
penangkap
tersebut
berani
melakukannya. Umumnya penangkapan yang dilakukan langsung oleh penangkap bukan profesional akan melukai ular dan membuat kulit yang dihasilkannya berkualitas kurang baik. Penangkap profesional di Pangkalan Banteng menggunakan teknik penangkapan langsung pada bulan Juni-September. Teknik ini digunakan karena ular langsung ditangkap dari sarangnya. Pada bulan tersebut, ular mulai bertelur dan mengerami sehingga mereka cukup mencari sarang dan bisa mendapatkan cukup banyak ular dalam ukuran besar. Penangkap biasanya mencari dibawah jembatan yang terbuat dari kayu gelondongan yang banyak terdapat di kebun sawit. Istilah yang digunakan adalah “nyuluh”, merupakan istilah bahasa Jawa
56
yang artinya mencari sesuatu dengan menggunakan obor atau alat penerangan lain. Penangkap menggunakan senter untuk melihat ada atau tidak ada ular dilubang dan menggunakan pelepah daun kelapa sawit untuk memasukkan tali ke kepala ular dan selanjutnya menarik ular keluar dari sarang. (b)
Teknik Pengulitan Pengulitan diawali dengan penggelontoran air setelah sebelumnya bagian
atas kloaka diikat agar air tidak keluar. Penggelontoran air dilakukan untuk membuat kulit ular lebih mengembang dan menghasilkan kulit yang lebih lebar dari aslinya. Jumlah air tidak boleh terlalu banyak karena bisa menyebabkan kulit pecah. Setelah digelontor air, bagian leher diikat agar air tidak keluar lagi melalui mulut. Ular dibiarkan selama beberapa jam (maksimal 12 jam) agar kulit ular membesar (Gambar 9). Apabila terlalu lama dalam keadaan seperti itu, ular akan membusuk dan kulitnya pecah.
(a)
(b)
Gambar 9 Proses pemasukan air (a) dan pembesaran kulit (b). Proses selanjutnya adalah pengulitan. Air dikeluarkan terlebih dahulu dari tubuh ular, selanjutnya kulit disayat pada bagian leher untuk memutuskan antara leher dan kepala serta pada bagian perut (atau punggung, namun umumnya pada bagian perut kecuali punggungnya rusak parah atau sesuai permintaan pembeli) mulai dari leher sampai kloaka dengan rapi dan lurus. Setelah itu, ular digantung dan mulai dikuliti dengan cara menarik kulit dari leher ke bawah dengan hati-hati (Gambar 10).
57
(a)
(b)
Gambar 10 Pembelahan kulit perut (a) dan pengelupasan kulit (b) pada proses pengulitan. Kulit dibersihkan dan daging dibuang setelah proses pengelupasan kulit selesai. Pembersihan dilakukan untuk membersihkan kulit dari sisa-sisa daging yang masih menempel. Daging yang masih menempel ketika dijemur akan menyebabkan penjemuran menjadi lebih lama dan bisa terjadi kemungkinan kulit menjadi busuk. Pembersihan dilakukan dengan cara membuang sisa daging di kulit menggunakan lempengan besi dan dicuci dengan air bersih (Gambar 11).
(a)
(b)
Gambar 11 Proses pembersihan kulit dari daging dengan cara dikerok (a) dan pencucian dengan menggunakan air (b). Bagian terakhir dari proses pengulitan adalah penjemuran. Penjemuran dilakukan dengan cara membentangkannya pada papan kayu dengan posisi bagian dalam kulit berada di atas. Proses penjemuran ini sekaligus juga proses pembentukan agar ukuran kulit yang dihasilkan sesuai standar. Kulit diletakkan di papan dan ditarik ujung-ujungnya sampai maksimal kemudian dipaku pada ujung-
58
ujungnya, selanjutnya sisi kanan dan kiri juga ditarik agar melebar sampai maksimal dan dipaku. Jarak satu paku dengan paku lainnya sekitar 1-2 cm agar terbentuk kulit yang ukuran dan bentuknya bagus (Gambar 12). Kulit ular kering berukuran lebih panjang dari ular hidup karena ada pertambahan panjang ± 40 cm permeter kulit. Kulit bisa kering dalam waktu 6 jam pada saat matahari bersinar penuh. Apabila tidak bisa kering karena cuaca mendung, penjemuran bisa dilanjutkan keesokan harinya asalkan kulit tidak terkena air hujan. Kulit yang terkena air hujan akan mudah rusak karena busuk dan sisik mengelupas. Ular yang sedang berganti kulit tidak bisa langsung dikuliti, namun ditunggu sampai proses ganti kulit selesai dengan sempurna kecuali bila ular sudah terlanjur mati. Pengulitan ular yang sedang berganti kulit akan menghasilkan kulit dengan kualitas yang sangat buruk, yaitu mudah sobek saat proses pengulitan dan penjemuran dan sisik akan mengelupas. Proses pengulitan yang hati-hati juga dilakukan pada kulit ular yang ditangkap ketika sedang mengerami. Kulit ular yang sedang mengerami lebih mudah sobek ketika dikuliti dan diregangkan, hal ini mungkin terjadi karena ular yang sedang mengerami mempunyai kulit yang lebih tipis karena selama mengerami ular tidak makan.
(a)
(b)
Gambar 12 Kulit dibentangkan pada papan dan dipaku diseluruh bagian tepi sambil ditarik (a) dan kulit dijemur dibawah matahari langsung (b). Yuwono (1998) menyatakan bahwa Python reticulatus banyak ditangkap untuk tata niaga disekitar perairan. Penangkapan Python reticulatus di Sumatera biasanya dilakukan dengan menggunakan jerat yang sengaja dipasang pada
59
permukaan air yang menjadi jalur pergerakan ular dan juga ditangkap secara tidak sengaja ketika penangkap tersebut sedang melakukan aktivitas lainnya seperti bekerja di ladang, perkebunan atau hutan (Shine 1999). Abel (1998) juga menyatakan bahwa Python reticulatus di Sumatera Utara ditangkap dengan menggunakan simpul jerat. Siregar (2012) menyebutkan bahwa teknik penangkapan Python reticulatus di Sumatera Utara adalah dengan menggunakan jerat (oleh penangkap profesional) dan tanpa teknik khusus (oleh penangkap amatir). Sedangkan menurut Riquier (1998), penangkapan di Kalimantan Barat juga menggunakan jerat, penggunaan jaring tidak efektif karena lebih sedikit yang tertangkap dibandingkan jerat. Secara umum, penggunaan jerat tampaknya lebih banyak digunakan diberbagai lokasi penangkapan dibandingkan menggunakan jaring atau menangkap langsung. Penggunaan jerat lebih disukai karena hasilnya lebih efektif dibandingkan jaring atau penangkapan langsung. Jerat hanya akan melukai bagian tubuh yang terkena jerat (sebagian besar leher) sehingga kualitas kulit yang nantinya dihasilkan lebih bagus karena tidak rusak. Jaring akan mengakibatkan banyak luka disekujur tubuh karena seluruh tubuh langsung bersentuhan dengan jaring dan akan terjadi banyak luka ketika ular meronta terkena jaring, hal ini akan menyebabkan kulit yang dihasilkan memiliki kualitas yang kurang bagus. Menangkap langsung biasanya dilakukan dengan cara melukai atau membunuh ular untuk menghindari bahaya dari ular tersebut, hal ini akan membuat luka pada kulit dan berakibat mengurangi kualitas kulit yang dihasilkan. Teknik menangkap langsung yang dilakukan oleh penangkap di Kabupaten Kotawaringin Barat tidak menyebabkan luka pada ular. Sebenarnya dalam penangkapan langsung ini juga tetap menggunakan jerat. Ular dipancing agar mengeluarkan kepalanya dan selanjutnya dijerat dengan menggunakan tali, namun jerat tidak dipasang sebagai perangkap sebagaimana jerat yang dijelaskan diatas. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 447/Kpts-II/2003 (Sekditjen PHKA 2007c) pasal 27 (4) jelas menyebutkan bahwa penangkapan harus memperhatikan kesejahteraan satwa (animal welfare) yaitu tidak menyakiti, melukai, mematikan dan menyebabkan stres pada individu yang tertangkap
60
ataupun kelompoknya. Dalam hal ini rupanya animal welfare masih kurang diperhatikan karena teknik penangkapannya masih berpotensi mengakibatkan terjadinya kematian, luka atau stress pada individu yang tertangkap tersebut meskipun pada akhirnya akan dibunuh juga. Menurut Shine (1999), Python reticulatus di Sumatera dibunuh untuk dikuliti dengan beberapa cara yaitu dipukul pada bagian kepala, dibuat mati lemas, ditusuk dengan kawat sampai menembus otak dan digantung pada kepalanya. Dalam beberapa kejadian, ular betina yang sedang hamil tidak langsung dibunuh ketika ditangkap, betina tersebut dibiarkan hidup sampai bertelur kemudian baru dibunuh untuk dikuliti. Telur ditetaskan dan anakannya dijual untuk pet. Menurut penangkap di Kalimantan Tengah, cara membunuh ular yang paling cepat adalah dengan menusuk hidungnya dengan kawat atau paku sampai menembus otaknya. Setelah mati, tubuh ular digelontor dengan air untuk menambah ukuran tubuh dan mempermudah pengulitan. Siregar (2012) juga mengatakan bahwa sebelum dikuliti, ular dibunuh terlebih dahulu dengan cara yang tidak mengakibatkan kerusakan pada kulit, selanjutnya digantung dan digelontor air. Pengawasan terhadap perlakuan yang memperhatikan animal welfare sebaiknya lebih diperketat oleh otoritas pengelola. Otoritas pengelola memiliki hak dan kewajiban penuh untuk melakukan pengawasan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku (Sekditjen PHKA 2007c). Mematikan ular dengan cepat seperti yang dilakukan di Sumatera (Shine 1999; Siregar 2012) akan lebih memperhatikan animal welfare. Ular akan langsung mati ketika otaknya terkena kawat atau paku tersebut.
5.1.4 Ukuran dan Harga Python reticulatus yang diperdagangkan Ukuran kulit yang dijual bervariasi dengan harga yang bervariasi menurut ukurannya (Tabel 2). Pengumpul perantara di Anjir membeli dengan harga Rp200 000/ekor apabila membeli dalam bentuk ular hidup. Pengumpul di Pangkalan Banteng membeli dengan harga Rp75 000/meter untuk ular ukuran SVL minimal 250 cm. Untuk ular dengan panjang badan 200-245 cm dibeli dengan harga Rp50 000 per ekor. Keuntungan akan diperoleh dari dua sisi, yaitu penambahan
61
ukuran dari ular hidup menjadi kulit dan harga kulit permeter yang bisa jadi lebih tinggi dari harga ular hidup per meter apabila dalam proses pengulitannya bagus. Harga ini cukup berbeda dengan harga jual di Banjarmasin. Kulit dengan ukuran standar bisa dihargai sampai Rp110 000 per meter, namun sortiran yang dilakukan sangat ketat sehingga harga jual untuk kulit dengan ukuran dan kualitas sama justru bisa lebih rendah dibandingkan harga dari pengumpul di Katingan. Pengumpul di Katingan tidak membeli kulit dengan ukuran dibawah 250 cm.
Tabel 2 Ukuran kulit Python reticulatus kering setelah disortir yang diperjualbelikan di Kalimantan Tengah Ukuran kulit (m) Penangkap ke Pengumpul perantara (Rp/lembar)
Harga Penangkap/ Pengumpul perantara ke Pengumpul/ pengedar dalam negeri (Rp/m) 80 000
panjang
lebar perut
lebar ekor
>3.5
>0.32
> 0.12
75 000
3.0-3.45
>0.32
> 0.12
50 000
50 000
2.5-2.95
<0.32
< 0.12
25 000
70 000*
<2.5
<0.32
< 0.12
25 000
40 000*
Ket: * harga dalam Rp/lembar
Harga produk satwaliar yang diperdagangkan dari satwa yang ditangkap dari alam, tidak bisa menggambarkan harga dari upaya melestarikan satwaliar tersebut dialamnya (Melisch 1998). Keberadaan satwaliar di alam sebenarnya jauh lebih berharga daripada nilai satwaliar tersebut dalam bentuk barang yang diperdagangkan di pasar, baik hidup maupun mati. Menurut Arifin (1998), industri kulit di Indonesia meliputi industri barang dari kulit, industri kulit jadi dan industri kulit setengah jadi. Industri kulit yang dihasilkan di Kalimantan Tengah masih berupa kulit mentah yang hanya berupa kulit yang sudah dikeringkan tanpa diolah. Kisaran harga dan ukuran kulit yang dijual di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara agak berbeda. Ukuran kulit dengan harga paling tinggi di Kalimantan Tengah adalah kulit dengan ukuran panjang > 350 cm, lebar perut > 32 cm dan lebar ekor > 12 cm. Menurut Semiadi dan Sidik (2011), kulit dengan harga tertinggi di Sumatera Utara dan NAD adalah kulit dengan ukuran panjang ≥
62
215 cm (Agen 1), ≥ 224 cm (Agen 2) dan 220 cm (Agen 3). Disini terjadi perbedaan ukuran antar agen. Sedangkan menurut Siregar (2012), kulit dengan harga paling tinggi adalah kulit dengan ukuran > 400 cm. Tabel 3
Ukuran (m)
3 up 2.7-2.9 2.5-<2.7 2.2-<2.5 2-2.2
Kisaran harga Python reticulatus di Sumatera Utara menurut Siregar (2012) Kisaran harga beli pengumpul kecil ke penangkap dalam keadaan hidup (Rp/m) 85 000 65 000 40 000 20 000 15 000
Kisaran harga beli pengumpul besar ke pengumpul kecil/penangkap Dalam keadaan ular utuh (Rp/m) 100 000 85 000 55 000 40 000 25 000
Kisaran harga beli dari tingkat eksportir ke pengumpul besar Panjang kulit setelah jadi kulit kering (m) 4 up 3.51-3.77 3.25-<3.51 2.86-<3.25 2.6-2.86
Kisaran harga kulit setelah jadi kulit kering (Rp/m) 110 000 90 000 65 000 45 000 25 000
Keterangan
Dalam keadaan kulit kering terjadi penambahan panjang kulit ± 30 cm/m kulit
Sumber data: Siregar (2012)
Berdasarkan Tabel 2 dan 3 bisa diketahui bahwa di Kalimantan Tengah, untuk kulit dengan kualitas yang kurang baik akan dijual dalam ukuran rupiah/lembar sedangkan untuk kualitas bagus dijual dengan ukuran rupiah/meter kulit. Sedangkan di Sumatera Utara semua dihargai dalam ukuran rupiah/meter kulit. Kisaran ukuran kulit yang dijual juga relatif berbeda. Ada empat kisaran ukuran yang berdasarkan pada panjang kulit, lebar perut dan lebar ekor di Kalimantan Tengah sedangkan di Sumatera Utara hanya berdasarkan panjang kulit saja. Harga di Sumatera Utara terlihat lebih memberi keuntungan pada tiap pelaku tata niaga daripada di Kalimantan Tengah. Selain berdasarkan ukuran kulit, dilakukan pula sortiran untuk kerusakan kulit (Gambar 13). Sortiran dilakukan pada kulit yang berlubang atau sobek. Panjang sobekan akan mengurangi panjang kulit total, namun bila sobekan atau lubang sangat parah diseluruh kulit, meskipun ukurannya panjang, kulit akan masuk dalam kualitas paling rendah dan digargai perlembar. Pengumpul perantara di Kapuas bahkan melakukan sortiran pada sisik yang mengelupas. Setiap sisik yang mengelupas akan mengurangi panjang total kulit. Siregar (2012) menyatakan
63
bahwa di Sumatera Utara, sortiran kondisi kulit dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu A untuk kulit tanpa cacat, B untuk kulit dengan cacat sedikit dan C untuk kulit dengan cacat banyak. Cacat yang dimaksud adalah luka gores, luka kutu dan sebagainya. Secara umum, sortiran antara Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara (Siregar 2012) adalah sama.
Gambar 13 Proses penyortiran dan pengukuran kulit.
5.2 5.2.1
Karakteristik Habitat Habitat Tangkap Odum (1994) mendefinisikan habitat sebagai tempat hidup suatu
organisme atau tempat yang harus dituju untuk menemukan organisme tersebut. Habitat menjadi sesuatu yang sangat penting karena merupakan lokasi dimana organism bisa hidup. Tanpa habitat, tidak akan ada organisme. Habitat tangkap Python reticulatus di Sumatera Utara adalah lokasi dengan penggunaan intensif untuk aktivitas pertanian, khususnya pada perkebunan kelapa sawit dan karet, sedangkan di Palembang Sumatera Selatan adalah di rawa-rawa pasang surut (Shine 1999). Habitat tangkap di Kalimantan Tengah, juga berada di lokasi penggunaan intensif untuk pertanian, yaitu kebun kelapa sawit (Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan), kebun karet (Kabupaten Pulang Pisau) dan rawa-rawa pasang surut (Kabupaten Katingan). Keberadaan Python reticulatus di lokasi yang merupakan areal diluar hutan dan bahkan merupakan areal dengan penggunaan intensif oleh manusia,
64
mengindikasikan bahwa Python reticulatus mempunyai tingkat toleransi yang cukup tinggi terhadap manusia. Hal ini berarti Python reticulatus bukan merupakan satwa yang rentan dan mudah terganggu dengan adanya manusia disekitar mereka. Gangguan hanya dirasakan bila terjadi ekploitasi terhadap satwa tersebut. Hal ini bisa menjadi keuntungan namun juga kerugian. Keuntungannya adalah Python reticulatus tetap bisa bertahan dalam kondisi yang langsung bersinggungan secara intensif dengan manusia. Kerugiannya adalah Python reticulatus menjadi semakin mudah ditemukan (tingkat perjumpaannya dengan manusia tinggi). Hal ini bisa menyebabkan semakin banyak tingkat eksploitasi karena manusia akan cenderung menangkapnya jika bertemu, baik karena nilai ekonominya maupun karena rasa takut manusia itu sendiri. Lokasi pengambilan data karakteristik habitat dilakukan di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan dengan
tipe habitat kebun kelapa sawit.
Penangkap yang menjadi narasumber dan melakukan penangkapan di kedua kabupaten ini seluruhnya berasal dari Kotawaringin Barat. Pemilihan tipe habitat ini didasarkan pada banyaknya pemanenan yang dilakukan di kebun kelapa sawit. Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan dipilih sebagai lokasi pengambilan data karena pada saat penelitian dilakukan, penangkap yang masih beraktifitas menangkap ular secara rutin berada di kabupaten ini, di kabupaten lain yang sebelumnya ditentukan pula sebagai titik pengamatan, tidak dijumpai penangkap yang mendapatkan ular pada saat penelitian ini dilakukan. Bagian yang diukur variabelnya adalah parit tempat jerat dipasang. Hasil tes normalitas data habitat tangkap dengan menggunakan OneSample Kolmogorov-Smirnov Test pada program SPSS 19.0 menunjukkan hasil bahwa data dengan sebaran normal adalah suhu air (Asymp. sig 0.458) dan kelembaban udara (Asymp. sig 0.305) sedangkan peubah lain mempunyai nilai Asymp. sig. < 0.05 yang berarti sebaran data tidak normal (Lampiran 1). T-test dua sampel independen untuk kesamaan rata-rata menghasilkan nilai signifikansi suhu air 0.211 dan kelembaban udara 0.131 (Lampiran 2). Hal ini berarti bahwa suhu air dan kelembaban udara pada habitat ular tertangkap dan habitat ular tidak tertangkap tidak berbeda nyata.
65
Peubah lain selain suhu air dianalisis dengan menggunakan tes Kolmogorov-Smirnov (Lampiran 3). Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh nilai signifikansi > 0.05 yang berarti peubah pada habitat ular tertangkap dan habitat ular tidak tertangkap mempunyai nilai rata-rata yang sama. Hal ini berarti ketinggian tempat, suhu udara, pH air, kedalaman dan lebar parit pada kedua habitat tersebut tidak berbeda nyata. Berdasarkan hasil kedua analisis terhadap peubah yang diukur tersebut diatas, maka bisa dikatakan bahwa tidak ada perbedaan antara habitat ular tertangkap dan habitat ular tidak tertangkap. Dengan kata lain, tidak ada preferensi habitat oleh Python reticulatus pada lokasi penelitian dilakukan. Python reticulatus bisa berada pada keadaan habitat seperti pada lokasi penelitian dilakukan. Tidak adanya ular yang tertangkap pada titik pengamatan mungkin disebabkan karena pada saat itu tidak ada ular yang melintas pada titik tersebut. Namun kemungkinan pada waktu lain di titik tersebut bisa ditemukan ular. Ketinggian tempat. Ketinggian tempat habitat tangkap berada antara 2551 m dpl (Gambar 14). Ketinggian rata-rata adalah 35.45 m dpl.
25
25 19
20
13
15 10 5
Prosentase
Jumlah titik pengamatan
30
4
6
7 01
0
50.0% 43.1% 41.2% 45.0% 40.0% 35.3% 35.0% 32.8% 30.0% 23.5% 22.4% 25.0% 20.0% 15.0% 10.0% 1.7% 5.0% 0.0% 0.0% 21-30 31-40 41-50 51-60
21-30 31-40 41-50 51-60 rentang ketinggian tempat (m dpl) rentang ketinggian tempat (m dpl) ditemukan ular
tidak ditemukan ular
(a) Gambar 14
ditemukan ular
tidak ditemukan ular
(b)
Ketinggian tempat titik pengamatan (a) dan prosentase masingmasing tingkat ketinggian titik pengamatan (b).
Menurut Stuebing & Inger (1999) Python reticulatus di Kalimantan umumnya bisa ditemukan di hampir seluruh wilayah Kalimantan, yaitu di dataran
66
rendah pada ketinggian dibawah 1 000 m dpl. Ini berarti bahwa Python reticulatus mempunyai penyebaran yang cukup luas. Daerah sebaran yang cukup luas sebenarnya merupakan keuntungan bagi Python reticulatus karena dengan demikian berarti dia mempunyai wilayah yang cukup luas. Semakin luas wilayah sebaran maka akan lebih baik untuk kelestarian daripada wilayah yang sempit (Indrawan et al. 2007; Sinclair et al. 2006; Bennet & Saunders 2010). Sebagian besar wilayah Kalimantan Tengah berada pada ketinggian 25-100 m dpl (42.12%) (WWF 2008). Hal ini berarti bahwa wilayah sebaran Python reticulatus di Kalimantan Tengah sebagian besar juga berada pada ketinggian dibawah 100 m dpl. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketinggian lokasi penelitian antara 8-51 m dpl, artinya ketinggian tempat lokasi penelitian tidak mempengaruhi ada atau tidak adanya Python reticulatus di lokasi penelitian karena masih berada dalam rentang ketinggian yang bisa diterima. Keberadaan Python reticulatus pada ketinggian kurang dari 1 000 m dpl kemungkinan berhubungan dengan suhu lingkungan dimana dia memerlukan suhu yang hangat untuk aktifitasnya. Ketinggian tempat sangat berhubungan dengan suhu. Semakin tinggi tempat akan diiringi dengan semakin menurunnya suhu udara. Setiap kenaikan 100 m (kondisi kering) atau 200 m (kondisi basah), akan terjadi perubahan suhu sebanyak 1°C (Danielson et al. 2002). Ketika terjadi kenaikan suhu yang melebihi ambang batas bagi ular, maka akan terjadi migrasi pada daerah yang lebih tinggi untuk mendapatkan suhu yang bisa diterima. Pada kondisi dimana daerah tersebut tidak memiliki variasi ketinggian, maka bisa menyebabkan terjadinya kematian pada ular karena tidak bisa bermigrasi pada lokasi yang memiliki suhu lebih optimal. Suhu udara. Suhu udara pada titik pengamatan berkisar antara 27 – 30 °C, suhu udara rata-rata adalah 28.65 °C dan titik paling banyak mempunyai suhu udara 28 °C (Gambar 15). Suhu udara cenderung lebih tinggi dari suhu air pada titik pengamatan yang sama.
30
27
25
Prosentase
Jumlah titik pengamatan
67
18
20 15
11
10
8
6
5
12
2
0
50.0% 45.0% 40.0% 35.0% 30.0% 25.0% 20.0% 15.0% 10.0% 5.0% 0.0%
27-27.9 28-28.9 29-29.9 30-30.9
46.6% 47.1% 35.3% 31.0% 19.0% 11.8% 5.9% 3.4% 27-27.9 28-28.9 29-29.9 30-30.9
Rentang suhu udara (˚C) ditemukan ular
Rentang suhu udara (˚C)
tidak ditemukan ular
ditemukan ular
(a)
tidak ditemukan ular
(b)
Gambar 15 Suhu udara pada titik pengamatan (a) dan prosentase masing-masing tingkat suhu (b). Suhu
udara
lingkungan
merupakan
salah
satu
hal
yang
sangat
mempengaruhi reptil (Bickford 2010). Ular merupakan hewan berdarah dingin yang memerlukan panas tubuh untuk metabolismenya (Reinert 1993). Suhu tubuh ular akan dipengaruhi suhu lingkungannya dan panas yang diserap langsung oleh tubuh ular dari lingkungannya (Peterson et al. 1993). Reinert (1993) juga menyatakan bahwa suhu mungkin merupakan salah satu faktor yang penting dalam pemilihan habitat karena efisiensi pencernaan, kecepatan lokomosi dan kesuksesan reproduksi sangat terpengaruh oleh suhu tubuh, dan suhu tubuh ular dipengaruhi oleh suhu lingkungannya. Hasil analisis yang menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian ternyata faktor suhu tidak mempengaruhi, kemungkinan disebabkan karena suhu udara di kedua lokasi relatif sama. Hal ini berarti bahwa suhu udara pada lokasi penelitian masih cocok dengan suhu udara yang diperlukan Python reticulatus untuk hidup dan beraktifitas. Python reticulatus di Kalimantan selalu menjaga suhu tubuhnya pada 310C (Stuebing & Inger 1999). Suhu lingkungan yang paling disukai Python reticulatus di Kalimantan adalah 290 – 310C. Berdasarkan hasil pengamatan, sebagian besar ular (58.9 %) ditemukan pada kisaran suhu 29-30.9°C. Hal ini membuktikan bahwa suhu tersebut memang yang paling disukai oleh Python reticulatus.
68
Suhu udara yang rendah bisa mempengaruhi ular dalam mencari makan (Peterson et al. 1993). Menurutnya, pada suhu yang rendah kemampuan ular mencari makan akan berkurang dan ular akan membutuhkan waktu yang lebih banyak dalam mencari makan. Namun suhu yang lebih rendah lebih mudah diadaptasi oleh Python reticulatus dibanding suhu yang lebih tinggi. Menurut Shine (1998), sebagai ular tropis, Python reticulatus lebih tahan terhadap suhu udara yang rendah. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya Python reticulatus pada suhu dibawah 29°C. Suhu udara pada stasiun cuaca Pangkalan Bun Kotawaringin Barat tahun 2011 berkisar antara 25.2-270C (data BMKG Palangkaraya 2012) atau lebih rendah dari suhu optimal yang cocok untuk Python reticulatus. Hillman (1969) menyatakan bahwa reptil akan berjemur dibawah matahari
untuk menghangatkan diri. Bila suhu udara terlalu rendah, Python
reticulatus juga akan berjemur untuk menghangatkan diri . Suhu udara yang mematikan bagi herpetofauna termasuk reptil adalah 38-42 °C dan satwa yang berasal dari daerah yang lebih tinggi memiliki ketahanan yang lebih rendah (Snyder & Weathers 1975). Suhu udara pada lokasi penelitian saat ini masih jauh berada dibawah ambang suhu udara yang mematikan bagi herpetofauna. Namun keadaan ini bisa berubah seiring dengan terjadinya perubahan iklim yaitu adanya peningkatan suhu. Menurut IPCC (2007), pada akhir abad yang akan datang, akan terjadi kenaikan suhu udara sebesar 6°C. Bahkan Janzen (1994) menyatakan bahwa pada abad yang akan datang, akan terjadi kenaikan suhu sampai 8°C. Dengan kenaikan suhu tersebut, maka suhu udara akan berada diatas suhu udara optimum dan semakin mendekati suhu udara yang mematikan bagi ular. Keadaan ini akan sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kematian pada ular secara besarbesaran. Pada kondisi dimana ular bisa bermigrasi ke lokasi lain yang lebih dingin, keadaan seperti ini masih bisa teratasi. Namun pada lokasi dimana habitat tersebut sudah terpisah dari habitat lain yang lebih dingin, maka migrasi tidak bisa terjadi dan kemungkinan kematian ular akan menjadi lebih besar. Bickford et al. (2010) mengatakan bahwa ukuran tubuh Pythonidae yang cukup besar juga menyebabkan meningkatnya kerentanan untuk terjadinya penurunan populasi. Resiko ini terjadi pada kondisi dimana lingkungan semakin
69
mengering dan suhu udara semakin panas. Berdasarkan prediksi perubahan musim hujan dan suhu, beberapa tempat tertentu di Asia Tenggara akan terkena dampak terjadinya perubahan iklim. Berdasarkan hasil penelitian ini bisa dikatakan bahwa kemungkinan terjadinya kematian masal karena kenaikan suhu udara dan perubahan ilkim masih belum mungkin terjadi di lokasi ini setidaknya sampai akhir abad ini. Suhu udara masih jauh berada di bawah suhu udara yang mematikan. Kematian yang terjadi saat ini mungkin terjadi karena gangguan manusia, yaitu ekploitasi untuk kegiatan komersial. Kelembaban udara. Kelembaban udara pada titik pengamatan berkisar antara 54 – 85% (Gambar 16). Kelembaban udara rata-rata adalah 74.32% dan
35 30
60.0%
25 17
20 15
10
11
10 5
0
5
2
40.0% 30.0% 20.0% 0.0%
60-69
70-79
80-89
Kelembaban udara (%) ditemukan ular tidak ditemukan ular
(a)
50.0%
50.0%
10.0%
1
0 50-59
64.7%
70.0%
29 Prosentase
Jumlah titik pengamatan
titik paling banyak mempunyai kelembaban udara 70%.
17.2%
29.4% 29.3%
3.4% 5.9% 0.0% 50-59 60-69 70-79 80-89
kelembaban udara (%) ditemukan ular tidak ditemukan ular
(b)
Gambar 16 Kelembaban udara pada titik pengamatan (a) dan prosentase masingmasing tingkat kelembaban (b). Menurut Stuebing & Inger (1999), kelembaban yang paling disukai Python reticulatus di Kalimantan adalah ± 70%. Berdasarkan hasil pengamatan, sebagian besar ular (58.9 %) ditemukan pada kisaran kelembaban udara 70-79%. Hal ini membuktikan bahwa kelembaban tersebut memang yang paling disukai oleh Python reticulatus.
70
Suhu Air. Suhu air parit pada titik pengamatan berkisar antara 26 – 28.1 °C (Gambar 17). Suhu air rata-rata adalah
27.8 °C dan titik paling banyak
35
70.0%
31
30 25 20 15 10
58.8% 53.4%
60.0%
26 Prosentase
Jumlah titik pengamatan
mempunyai suhu air 26.8 °C.
10
50.0% 40.0%
44.8% 35.3%
30.0% 20.0%
6
5
1 1
0
5.9%
10.0%
1.7%
0.0% 26-26.9
ditemukan ular
27-27.9
28-28.9
Suhu air (˚C) tidak ditemukan ular
26-26.9 27-27.9 28-28.9 Suhu air (˚C) ditemukan ular tidak ditemukan ular
(a)
(b)
Gambar 17 Suhu air parit di titik pengamatan (a) dan prosentase masing-masing tingkat suhu (b). Python reticulatus merupakan ular terestrial yang sering ditemukan di air tawar (Tweedie 1983; Stuebing & Inger 1999). Air sangat diperlukan dalam proses metabolisme reptil (Bickford et al. 2010). Peningkatan suhu lingkungan menyebabkan peningkatan pada kebutuhan air. Peningkatan suhu lingkungan jugamenyebabkan terjadinya peningkatan evaporasi. Semakin besar evaporasi, semakin berkurang jumlah air. Semakin berkurangnya air, akan semakin meningkatkan kemungkinan lebih banyak satwa yang berkumpul pada satu tubuh air. Hal ini bisa menyebabkan meningkatnya suhu air, semakin meningkatkan evaporasi, semakin meningkatkan persaingan dan meningkatkan kemungkinan penyebaran penyakit yang bisa menyebabkan kematian. Beberapa jenis makanan Python reticulatus merupakan satwa yang hidup di perairan seperti katak, ikan atau mamalia kecil lain yang hidup di air atau biasa ditemukan di perairan. Perubahan suhu air bisa mengurangi kepadatan makanan ular yang menyebabkan semakin besar tingkat persaingan untuk mendapatkan makanan. Karena berkurangnya makanan, maka akan terjadi juga penurunan kepadatan ular (Bickford et al. 2010). Bagi top predator seperti Python reticulatus, hal ini akan sangat berpengaruh besar. Top predator akan sangat
71
terpengaruh oleh aliran tropik dan hilangnya fungsi ekosistem (Petchey et al. 1999). Makanan menjadi sangat penting bagi suatu organisme. Meskipun habitat mempunyai suhu udara yang optimal, namun akan menjadi tidak berarti tanpa suplai makanan yang cukup (Reinert 1993). Keberadaan Python reticulatus
di kebun kelapa sawit, kemungkinan
berhubungan dengan ketersediaan makanan dan air di lokasi tersebut. Kondisi pohon kelapa sawit pada habitat tangkap adalah pohon produktif dengan tinggi rata-rata diatas 3 m. Menurut semua penangkap di Kotawaringin Barat, mereka tidak menangkap di kebun yang masih belum produktif karena pasti tidak akan mendapatkan hail. Kemungkinan ini terkait denga ketersediaan pakan bagi mangsa Python reticulatus. Jenis makanan yang tersedia di kebun kelapa sawit misalnya tikus, burung, katak, tupai dan mamalia kecil lainnya. Bahkan ada beberapa pengelola kebun kelapa sawit yang sengaja melepas Python reticulatus di lokasi perkebunannya dan tidak memperbolehkan adanya penangkapan di lokasi tersebut untuk mengurangi hama tikus. Sedangkan air yang juga merupakan kebutuhan Python reticulatus untuk minum dan berpindah tempat, juga selalu terdapat di kebun kelapa sawit. Tingkat keasaman air. Air parit pada titik pengamatan cenderung bersifat asam dengan pH antara 4.0 – 5.5 dan paling banyak titik mempunyai pH 4.7
35
29
30
60.0%
25 20 15 10 5
10
6
23
50.0%
50.0%
26 Prosentase
jumlah titik pengamatan
(Gambar 18).
7 10
0
35.3%
40.0%
44.8% 41.2%
30.0% 20.0% 10.0%
11.8% 5.9% 5.2% 0.0%
5.9% 0.0%
0.0% 4
4.4
ditemukan ular
4.7 5 5.5 pH air tidak ditemukan ular
(a)
4
4.4
ditemukan ular
4.7
5
5.5
pH air tidak ditemukan ular
(b)
Gambar 18 Tingkat keasaman air parit di titik pengamatan (a) dan prosentase jumlah masing-masing tingkat (b).
72
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa air tawar di Kalimantan cenderung bersifat asam dengan pH 4-5.5. Python reticulatus bisa berada pada kondisi asam tersebut. Ukuran parit. Kedalaman parit pada titik pengamatan berkisar antara 10 – 90 cm (Gambar 19). Kedalaman parit rata-rata adalah 30.48 cm dan paling
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
41
100.0%
94.1%
80.0%
Prosentase
Jumlah titik pengamatan
banyak mempunyai kedalaman 30 cm.
16 10 5
1
0
60.0%
70.7%
40.0% 17.2%
20.0%
02
5.9% 0.0%
10-30
31-50
51-70
71-90
8.6% 3.4% 0.0% 0.0%
10-30 31-50 51-70 71-90
Kedalaman parit (cm) ditemukan ular tidak ditemukan ular
Kedalaman parit (cm) ditemukan ular tidak ditemukan ular
(a)
(b)
Gambar 19 Kedalaman parit pada titik pengamatan (a) dan prosentase masingmasing tingkat kedalaman (b). Lebar parit pada titik pengamatan berkisar antara 29 -350 cm (Gambar 20).
60
100.0%
52
50
Prosentase
Jumlah titik pengamatan
Lebar parit rata-rata adalah 94.32 cm dan paling banyak mempunyai lebar 90 cm.
40 30 20
11
45
10
11
10
0
80.0%
89.7% 64.7%
60.0% 40.0% 20.0% 0.0%
23.5% 8.6% 5.9% 5.9% 1.7% 0.0%
1-100 101-200 201-300 301-400
1-100 101-200 201-300 301-400
Lebar parit (cm)
Lebar parit (cm)
ditemukan ular
tidak ditemukan ular
(a)
ditemukan ular
tidak ditemukan ular
(b)
Gambar 20 Lebar parit pada titik pengamatan (a) dan prosentase masing-masing tingkat kedalaman (b).
73
Python reticulatus merupakan ular terestrial yang sering ditemukan di air tawar (Tweedie 1983; Stuebing & Inger 1999). Menurut hasil pengamatan, sebagian besar ular ditemukan pada parit dengan kedalaman dibawah 30 cm dan lebar parit dibawah 1 m. Kemungkinan ini bisa terjadi karena dilokasi tangkap, ukuran parit cenderung kecil dan dangkal. Kemungkinan ini juga terjadi karena adanya preferensi penangkap untuk memasang jerat pada parit dengan yang sempit dan dangkal karena akan mempermudah dalam memasang jerat dan mempermudah dalam melepaskan ular yang terjerat. Semakin lebar parit, maka akan semakin lebar pula bagian yang dibendung. Hal ini akan mengurangi efisiensi dalam pekerjaan mereka. Parit yang lebar juga akan memungkinkan aliran air yang lebih besar ketika terjadi hujan besar yang bisa menyebabkan rusaknya perangkap yang dibuat. Sedangkan parit yang dalam akan menyulitkan dalam pembuatan jebakan karena penangkap harus turun ke parit ketika memasang perangkap. Semakin dangkal air, semakin mudah dalam memasang perangkap. Namun demikian, tidak ada perangkap yang dipasang pada parit yang kering. Parit yang kering tidak akan dilalui Python reticulatus. Keberadaan parit yang menjadi sumber air sangat diperlukan bagi Python reticulatus. Namun demikian, parit ini juga menjadi jerat kematian bagi Python reticulatus apabila di lokasi tersebut dipasang jerat oleh penangkap. 5.2.2 Habitat Bersarang Pada penelitian ini, sarang ditemukan dibawah jembatan yang terbuat dari kayu gelondong yang ditimbun dengan tanah. Pencarian sarang pada lokasi selain dibawah jembatan sudah dilakukan, namun tidak didapatkan hasil yang meyakinkan bahwa itu merupakan sarang Python reticulatus. Sarang juga sama sekali tidak ditemukan pada jembatan beton dan jembatan kayu papan. Dari 127 buah sarang yang ditemukan, semuanya merupakan sarang aktif (masih digunakan untuk bersarang) dengan beberapa tanda yang bisa diamati yaitu adanya jejak baru, bekas telur dan pada 13 sarang ditemukan ular (11 anakan (bayi/muda) dan dua yang diindikasikan sudah dewasa). Selain selalu bergerak melewati air, Python reticulatus juga bersarang di lokasi yang dekat dengan air. Sarang Python reticulatus biasanya berada diantara seresah dan di Kalimantan tidak ditemukan Python reticulatus yang membuat
74
sarang di lubang tanah
(Shine 1998; Stuebing & Inger 1999). Pada lokasi
penelitian ini, sarang ditemukan dibawah jembatan yang terbuat dari susunan kayu bulat yang berjejer dan di ditimbun tanah. Lubang ini bukan lubang tanah melainkan lubang sela-sela antara dua kayu. Namun karena jembatan tersebut sudah berumur cukup lama, kayu-kayu sudah banyak yang melapuk. Pada musim bertelur, penangkap menangkap ular yang sedang mengerami disarang dibawah jembatan seperti itu. Pada saat bertelur, kemungkinan ular memilih jembatan ini karena lebih dekat dengan sumber air. Shine (1998) menyatakan bahwa ketika mengerami, Python reticulatus hanya meninggalkan sarang untuk berjemur dan minum tanpa makan sama sekali. Hasil tes normalitas data habitat bersarang dengan menggunakan OneSample Kolmogorov-Smirnov Test pada program SPSS 19.0 menunjukkan hasil bahwa data dengan sebaran normal adalah suhu udara (Asymp. sig 0.252) (Lampiran 4). T-test dua sampel independen untuk kesamaan rata-rata menghasilkan nilai signifikansi suhu udara 0.952 yang berarti suhu udara pada habitat bersarang yang ditemukan ular dan tidak ditemukan ular adalah sama (Lampiran 5). Tes Kolmogorov-Smirnov pada peubah lain, menunjukkan hasil analisis bahwa seluruh nilai signifikansi > 0.05 yang berarti peubah pada sarang ular ditemukan dan ular tidak ditemukan mempunyai nilai rata-rata yang sama (Lampiran 6). Suhu udara pada sarang, kelembaban udara pada sarang, pH tanah pada sarang, kedalaman dan lebar mulut sarang pada kedua tipe lokasi tersebut tidak berbeda nyata. Hal ini berarti tidak ada pemilihan habitat bersarang yang didasarkan pada peubah yang diukur tersebut. Ketidakadaan ular pada suatu sarang bukan berarti sarang tersebut tidak cocok bagi ular namun pada saat itu memang ular sedang tidak berada di sarangnya. Kemungkinan lain tidak ditemukannya ular di sarang pada saat penelitian dilakukan juga bisa terjadi karena belum datangnya musim bertelur. Pada waktu lain, bisa jadi pada sarang yang kosong tersebut bisa pula ditemukan Python reticulatus didalamnya. Ular yang ditemukan di sarang, 84.62 % bukan ular dewasa. Kemungkinan ini terjadi karena ular yang belum dewasa cenderung melindungi dirinya sendiri di sarang. Kemungkinan pemilihan sarang bisa terjadi, namun mungkin berdasarkan peubah lain yang tidak terukur dalam penelitian ini. Menurut Wood dan Bjornadal
75
(2000), seleksi habitat bersarang pada reptil bisa mempengaruhi ketahanan induk sampai mempertahankan anakannya karena faktor lingkungan mempengaruhi ketahanan embrio, kualitas anakan dan sex rasio. Ketinggian tempat. Ketinggian jembatan yang ada sarang berkisar antara 22-54 m dpl dengan rata-rata 36.5 m dpl. Lokasi jembatan paling banyak terletak
Jumlah
pada ketinggian 32 m dpl. Lebih lengkap disajikan dalam Gambar 21.
7 6 5 4 3 2 1 0
6
3 2
2 1 0
22-27
28-33
34-39
40-45
46-51
52-57
Ketinggian tempat (m dpl)
Gambar 21 Ketinggian tempat jembatan untuk sarang. Ketinggian jembatan yang menjadi sarang sama dengan ketinggian tempat dimana Python reticulatus tertangkap. Hal ini bisa berarti bahwa Python reticulatus tidak berpindah ke lokasi dengan ketinggian yang berbeda untuk bersarang. Sarang ditemukan di jembatan-jembatan yang lokasinya masih berada dalam aliran parit yang sama dengan habitat tangkapnya. Ketinggian jembatan yang menjadi sarang Python reticulatus masih dalam rentang ketinggian yang disebutkan oleh Stuebing & Inger (1999), yaitu bahwa Python reticulatus cocok pada ketinggian sampai 1 000 m dpl. Pemilihan jembatan ini sebagai lokasi sarang terlihat tidak ditentukan karena ketinggiannya, namun lebih karena faktor yang lain, misalnya karena dekat dengan air yang sangat dibutuhkan ketika sedang mengerami seperti yang dinyatakan oleh Shine (1998) bahwa ketika mengerami, Python reticulatus hanya meninggalkan sarang untuk berjemur dan minum tanpa makan sama sekali.
76
Suhu udara. Suhu udara dibawah jembatan untuk sarang berkisar antara 0
26-29 C dengan rata-rata 27.920C. Suhu udara dibawah jembatan paling banyak pada suhu 280C . Lebih lengkap tersaji dalam Gambar 22. 11
12
Jumlah
10 8 6 4 1
1
26-26.9
27-27.9
2
1
0 28-28.9
29-29.9
Suhu udara (°C)
Gambar 22 Suhu udara pada jembatan untuk sarang. Suhu udara pada mulut sarang, berkisar antara 26.3-290C dengan rata-rata 27.450C. Lebih lengkap disajikan dalam Gambar 23. 93
100
100%
Prosentase
Jumlah sarang
82% 80%
80 60 40 20
9
3
7
12 2
0 26-26.9 27-27.9 28-28.9 29-29.9 Suhu udara (˚C) tidak ada ular ada ular
(a) Gambar 23
40% 20%
01
54%
60% 23%
15% 11%
8%
8% 0%
0% 26-26.9 27-27.9 28-28.9 29-29.9 Suhu udara (˚C) tidak ada ular ada ular
(b)
Suhu udara di mulut sarang (a) dan prosentase masing-masing tingkat suhu (b).
Suhu lingkungan atau sarang yang paling cocok untuk telur adalah 290 – 310C dengan kelembaban sekitar dibawah 70% (Stuebing & Inger 1999). Menurut Stachlschmidt (2011) menyebutkan bahwa telur Python memerlukan suhu antara 30-330C untuk menetas. Stachlschmidt et al. (2011) menyatakan bahwa suhu
77
optimal pada sarang adalah 31.50C. Pada suhu diluar itu, telur bisa gagal menetas, pertumbuhan tidak sempurna dan sex rasio yang tidak seimbang. Namun Shine (1998) mengatakan bahwa ular yang hidup di daerah tropis/hangat, telurnya cenderung lebih tahan dan bisa menetas pada area yang dingin. Kondisi suhu sarang yang lebih rendah dari suhu optimal untuk telur, mungkin merupakan alasan bagi Python reticulatus untuk mengerami telurnya. Dengan mengerami telurnya, akan didapatkan suhu lingkungan yang optimal bagi telurnya agar bisa menetas dengan baik dan dengan sex rasio yang sesuai. Sebuah penelitian yang dilakukan di inkubator pada telur ular Deinagkistrodon acustus (Viperidae) suhu 320C menyebabkan seluruh telur mati dan gagal menetas (Lin et al. 2005). Sebagian besar telur menetas pada suhu 240C dan 260C, namun masih bisa menetas dengan baik pada suhu 280C dan 300C. Apabila dibandingkan, maka terlihat bahwa Python reticulatus membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk menetas dibandingkan Deinagkistrodon acustus. Kebutuhan pada suhu yang lebih tinggi ini merupakan keuntungan bagi Python reticulatus karena berarti lebih bisa menerima kondisi yang panas, terutama di daerah tropis yang suhunya panas. Kenaikan suhu udara juga bisa menyebabkan perubahan sex rasio pada reptil yang lahir (Bickford et al. 2010). Kenaikan suhu udara sebesar 2-4°C bisa menyebabkan semua anakan yang lahir menjadi betina atau menjadi jantan (Crews et al. 1994; Pieau et al.1999). Janzen (1994) juga menyatakan bahwa kenaikan suhu 2°C secara signifikan mempengaruhi sex rasio anakan yang lahir, kenaikan 4°C secara efektif menghilangkan anakan jantan. Hal ini bisa mengakibatkan terjadinya single sex pada reptil dalam waktu 100 tahun kedepan yang sangat berbahaya (Bickford et al 2010). Single sex akan menyebabkan terjadinya kepunahan pada suatu spesies karena tidak mungkin akan terjadi perkembangbiakan apabila hanya ada satu jenis kelamin. Berdasarkan hasil penelitian ini bisa dilihat bahwa kondisi suhu lingkungan disekitar sarang maupun suhu udara di mulut sarang masih berada pada rentang yang bisa diterima oleh Python reticulatus untuk bersarang dan menetaskan telurnya. Kondisi ini masih jauh dibawah batas suhu yang menyebabkan kematian pada reptil ataupun menyebabkan berubahnya sex rasio. Suhu udara masih berada
78
dibawah suhu yang diperlukan sehingga induk Python reticulatus masih bisa mengatur suhu ketika mengerami dan sex rasio yang dihasilkan masih bisa seimbang. Kelembaban udara. Kelembaban dalam sarang berkisar antara 61-85% dengan rata-rata 80.12%. Kelembaban paling banyak 85%. Lebih lengkap disajikan dalam Gambar 24.
93
80
Prosentase
Jumlah sarang
100
60 40 20
14
7 3
3
7
0 60-69 70-79 80-89 Kelembaban udara (%) tidak ada ular
(a)
ada ular
90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
82% 54%
23%
23% 12%
6% 60-69
70-79
80-89
Kelembaban udara (%) tidak ada ular ada ular
(b)
Gambar 24 Kelembaban udara di mulut sarang (a) dan prosentase masingmasing tingkat kelembaban (b). Menurut Goode et al. (1998), ular membutuhkan kelembaban yang tinggi, apabila terjadi perusakan sarang sehingga merubah kondisi kelembaban habitat mikro (sarang), maka ular tersebut akan berpindah lokasi. Kemungkinan ini juga bisa terjadi pada Python reticulatus. Python reticulatus membutuhkan kelembaban yang optimal sekitar 70% (Stuebing & Inger 1999). Bahkan dalam penelitian pada Elaphe obsoleta, Damers et al. (2004) mendapatkan hasil bahwa seluruh sarang berada dalam kelembaban 100%. Sebuah penelitian mengenai seleksi habitat bersarang oleh Caretta caretta (penyu laut), kelembaban udara dan salinitas permukaan pasir mungkin tidak dipercaya sebagai salah satu faktor pemilihan habitat karena keduanya sangat berfluktuasi tergantung pada curah hujan (Wood & Bjorndal 2000). Mungkin ini merupakan salah satu sebab Python reticulatus tidak memilih bersarang di pasir, namun berada di bawah seresah atau dalam lubang jembatan seperti pada penelitian ini karena seresah dan bawah jembatan
79
mempunyai kondisi yang lebih lembab dan tidak terlalu berfluktuasi karena adanya penghalang untuk terjadinya evaporasi yang bisa menyebabkan kelembaban udara dalam sarang menurun. Tingkat keasaman (pH). Tingkat keasaman tanah pada sarang berkisar pada skala 4.7 dan 5. Tingkat keasaman terbanyak berada pada skala 5. Lebih lengkap tersaji dalam
Gambar 25. Ular lebih banyak ditemukan pada pH 5
daripada pH 4.7. Namun keduanya masih berada pada tingkatan asam. 70 60 50 35
40
63%
62%
60% Prosentase
jumlah sarang
70%
59
30 20
40%
38%
37%
30% 20%
5 8
10
50%
10%
0
0% tidak ada ular ada ular pH tanah 4.7 5
tidak ada ular ada ular pH tanah pH 4.7 pH 5
(a)
(b)
Gambar 25 Tingkat keasaman tanah pada sarang (a) dan prosentase masingmasing tingkat keasaman (b). Tingkat keasaman air pada parit dibawah jembatan untuk sarang berkisar antara 4.7-5.3 dengan modus 4.7. Lebih lengkap disajikan dalam Gambar 26. 10
9
jumlah
8 6 4 4 2
1
0 4.7
5 pH air
5.3
Gambar 26 Tingkat keasaman (pH) air pada parit dibawah jembatan untuk bersarang.
80
Tingkat keasaman tanah pada sarang dan air pada parit dibawah jembatan untk sarang sama-sama berada pada tingkat asam pada rentang antara 4.7-5.3. Tanah dan air di Kalimantan cenderung bersifat asam sampai netral. Python reticulatus tersebar mulai dari Sumatera, Kalimantan, Jawa sampai Sulawesi dengan kondisi tanah dan air yang mempunyai sifat asam sampai basa rendah. Ukuran sarang. Ukuran mulut sarang berkisar antara 20-60 cm dengan rata-rata lebar mulut sarang 40.6 cm. Mulut sarang paling banyak mempunyai lebar 60 cm. Lebih lengkap tersaji dalam Gambar 27. 50% 39
40
40%
36
30
Prosentase
jumlah sarang
50
23
20 10 10
5
4
4
20% 9%
10%
6
0
30%
38% 34% 32% 31% 31% 20%
0
5% 0%
0%
0%
0
11-20 21-30 31-40 41-50 51-60
11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 lebar mulut sarang (cm) tidak ada ular ada ular
lebar mulut sarang (cm) tidak ada ular
(a)
ada ular
(b)
Gambar 27 Lebar mulut sarang (a) dan prosentase masing-masing tingkat lebar mulut sarang (b). Kedalaman sarang berkisar antara 40-350 cm. Rata-rata kedalaman sarang
80
68
Prosentase
Jumlah sarang
156.68 cm. Kedalaman sarang terbanyak adalah 160 cm (Gambar 28).
60 40 40 20
9
3
6
0
01
1-100 101-200 201-300 301-400 Kedalaman sarang (cm) tidak ada ular ada ular
Gambar 28
60% 40%
69% 60% 35% 23%
20%
0
(a)
80%
5% 0%
8% 0%
0% 1-100 101-200201-300301-400 Kedalaman sarang (cm) tidak ada ular ada ular
(b)
Kedalaman sarang (a) dan prosentase masing-masing tingkat kedalaman sarang (b).
81
Sebanyak 69% Python reticulatus yang ditemukan di sarang berada pada sarang dengan kedalaman ≤ 100 cm dan secara hampir merata ditemukan pada sarang dengan lebar mulut sarang ≤ 40 cm. Ukuran ini adalah ukuran pada tingkatan paling kecil dari ukuran sarang yang ditemukan. Kemungkinan ini bisa terjadi karena ular yang ditemukan rata-rata adalah anakan dalam ukuran yang kecil sehingga sarang dengan ukuran itu masih cukup ukurannya untuk digunakan oleh ular dengan ukuran yang relatif kecil. Kemungkinan lain pemilihan sarang dengan mulut lubang yang kecil berhubungan dengan adanya predator telur. Biawak merupakan predator yang utama bagi telur Python reticulatus di lokasi penelitian. Semakin kecil mulut sarang, kemungkinan semakin sulit pula bagi biawak untuk masuk dan memakan telur, terutama ketika telur tersebut sedang dalam kondisi tidak terjaga, misalnya ketika induknya berjemur. Hal ini sejalan dengan teori bahwa sarang merupakan tempat yang menentukan bagi keamanan telur seperti yang dinyatakan oleh Wood dan Bjorndal (2000).
5.3
Panenan Stuebing dan Inger (1999) menyatakan bahwa ular terestrial sangat susah
untuk diketahui densitasnya. Lebih lanjut disebutkan bahwa saat ini belum ada informasi mengenai populasi Python reticulatus di Kalimantan dan belum ada informasi bahwa populasinya di Kalimantan sudah menurun. Luas habitat, letak geografis dan sifat herpetofauna (termasuk ular) menjadi faktor yang menyebabkan tidak mungkin dilakukannya sensus yang terstruktur dalam satu satuan waktu yang pendek (Iskandar & Erdelen 2006). Kelimpahan dalam lingkup penelitian ini adalah kelimpahan panenan, yaitu kelimpahan jumlah yang ditangkap penangkap dan dikumpulkan pengumpul perantara. Pengambilan data kelimpahan dilakukan pada penangkap dan pengumpul perantara. Data adalah seluruh ular yang berhasil ditangkap oleh penangkap dan seluruh ular yang berhasil dikumpulkan oleh pengumpul perantara pada saat penelitian ini dilakukan.
82
5.3.1 Panenan pada Penangkap Pada tingkat penangkap, jumlah Python reticulatus yang tertangkap sebanyak 117 ekor (Gambar 29) yang didapatkan dari lima penangkap, yaitu tiga penangkap dari Kab. Kotawaringin Barat (penangkap A, B dan C) dan dua penangkap dari Kab. Pulang Pisau (penangkap D dan E). Penangkap A (merupakan kelompok yang terdiri dari tiga orang), Penangkap B dan Penangkap C mempunyai lokasi tangkap di kebun sawit. Penangkap D dan E mempunyai lokasi tangkap di kebun karet, sawah dan rawa.
Jumlah ular tertangkap (ekor)
140 117
120 100 80 60
50 33
40
27
20
4
3
D
E
0 A
B
C
total
Penangkap
Gambar 29
Jumlah Python reticulatus penangkap.
yang tertangkap pada tingkat
Rata-rata jumlah ular yang tertangkap berbeda pada masing-masing penangkap (Tabel 4). Dalam satu bulan, penangkap tidak bekerja setiap hari, setidaknya dua hari dalam seminggu digunakan untuk menguliti ular dan 2-3 hari libur setiap bulan untuk beristirahat atau melakukan kegiatan lain. Penangkap tidak mau menyimpan ular dalam waktu yang lama, maka harus menggunakan waktu khusus untuk menguliti ular. Menyimpan ular terlalu lama akan beresiko terjadi ular lepas, penyusutan ukuran badan dan kematian ular. Penangkap tidak memberi makan ular yang ditangkap karena akan menimbulkan biaya tambahan. Waktu yang digunakan untuk menangkap adalah pagi hari antara pukul 08.00 – 12.00 WIB.
83
Tabel 4 Rata-rata jumlah tangkapan/hari Penangkap
A B C D E
∑ ular tertangkap (ekor) 50 33 27 4 3
∑ hari penangkapan (hari) 9 12 9 3 3
Rata-rata ∑ Tangkapan (ekor/hari) 5.50 2.83 3.00 1.33 1.00
Rata-rata jumlah tangkapan per hari oleh masing-masing penangkap bisa saja berbeda setiap bulannya. Penangkap di Kabupaten Kotawaringin Barat yang bekerja sepanjang tahun dengan beberapa hari libur menyatakan bahwa hasil tangkapan mereka rata-rata per hari relatif sama. Penangkap di Kotawaringin Barat memerlukan hari khusus untuk menguliti ular tangkapannya. Biasanya pada hari menguliti ular, mereka tidak berburu ular. Dengan asumsi libur seminggu 2 hari untuk menguliti ular, 12 hari libur untuk istirahat atau melakukan kegiatan lain dan libur 2 minggu ketika lebaran, maka jumlah hari kerja penangkap ular di Kotawaringin Barat adalah 225 hari/tahun. Sedangkan penangkap di Pulang Pisau hanya menangkap ular selama 5 bulan/tahun yaitu antara bulan Januari-Mei. Mereka tidak memiliki hari libur khusus. Apabila diasumsikan bahwa penangkap di Pulang Pisau bekerja selama 6 hari/minggu, maka dalam 5 bulan mereka bekerja selama 125 hari/tahun. Dari asumsi tersebut, bisa diprediksikan kelimpahan panenan yang dilakukan oleh lima penangkap tersebut sebagaimana disajikan dalam Tabel 5 berikut ini. Tabel 5 Estimasi populasi tangkapan per tahun pada penangkap Penangkap
∑ hari kerja/th (hari)
A B C D E Total
225 225 225 125 125
Rata-rata ∑ tangkapan/hari (ekor/hari) 5.50 2.83 3.00 1.33 1.00
∑ tangkapan/th (ekor/tahun) 1 337.50 636.75 675.00 166.00 125.00 2 940.25
84
Dari Tabel 5 diatas, maka populasi tangkapan lima penangkap dalam setahun mencapai 26.73% (2 940.25 ~ 2 940 ekor) kuota tahunan untuk kulit. Asumsi lain yang bisa digunakan untuk memprediksi jumlah panenan adalah berdasarkan jumlah rata-rata yang didapat oleh penangkap setiap bulan. Berdasarkan hasil wawancara, jumlah ular yang bisa ditangkap oleh masingmasing penangkap selama bulan Januari-Juli 2012 adalah sebagaimana disajikan dalam Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6 Perkiraan jumlah ular yang tertangkap oleh lima penangkap Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Jumlah Jumlah total
Jumlah ular yang tertangkap penangkap (ekor) A B C D E 50-60 50-60 50-60 20-30 20-30 50-60 50-60 50-60 20-30 20-30 50-60 50-60 50-60 20-30 20-30 50-60 50-60 50-60 20-30 20-30 50-60 50-60 50-60 4 3 50-60 50-60 50-60 0 0 50-60 50-60 50-60 0 0 350-420 350-420 350-420 84-124 83-123 1 217 – 1 507
Berdasarkan Tabel 6 di atas maka bisa dilihat bahwa selama tujuh bulan pertama pada tahun 2012, jumlah yang bisa didapat oleh lima penangkap sebanyak 11.06 – 13.7% dari kuota tangkap Kalimantan Tengah tahun 2012. Apabila penangkap A, B dan C menangkap dengan jumlah yang konstan dan penangkap C dan D tidak menangkap lagi sampai akhir tahun, maka pada akhir Desember 2012, jumlah ular yang ditangkap oleh lima penangkap tersebut sebanyak 1 967 - 2 407 ekor (17.88-18.88%) dari kuota tangkap Kalimantan Tengah tahun 2012. Jumlah ular pada asumsi kedua cenderung lebih sedikit dari asumsi pertama. Hal ini terjadi karena rata-rata produktivitas asumsi pertama lebih tinggi dari asumsi kedua. Asumsi pertama didasarkan pada jumlah nyata ular yang ditemui pada penangkap saat penelitian. Asumsi kedua didasarkan pada pengakuan penangkap mengenai produktivitas mereka yang merupakan data subyektif dan masih perlu diuji validitasnya. Pengakuan mereka cenderung lebih
85
kecil karena ada rasa takut bahwa apabila mereka mengakui jumlah produktivitas yang sebenarnya, mungkin akan melebihi jumlah yang diperbolehkan dan itu bisa jadi akan membahayakan kelangsungan pekerjaan mereka. Berdasarkan hasil wawancara bahwa selain tiga penangkap di atas, di Kotawaringin Barat masih ada setidaknya 10 penangkap lain dan di Pulang Pisau ada 5 penangkap lain, maka jumlah panenan tersebut menjadi bertambah sangat banyak. Namun tidak bisa diperkirakan jumlah tangkapan dari 10 penangkap tersebut karena tidak ada data sama sekali mengenai jumlah tangkapan mereka. 5.3.2 Panenan pada Pengumpul Perantara Pada tingkat pengumpul perantara, jumlah Python reticulatus yang dikumpulkan sebanyak 56 ekor dari dua pengumpul perantara, yaitu satu dari Kab. Kotawaringin Barat (PP A) dan satu penangkap dari Kab. Pulang Pisau (PP B). Data selengkapnya disajikan dalam Gambar 30 berikut. 60
56
54
Jumlah ular (ekor)
50 40 30 20 10
2
0 PP A
PP B
Total
Pengumpul perantara
Gambar 30 Jumlah Python reticulatus yang tertangkap pada tingkat pengumpul perantara. PP A mendapatkan ular sejumlah tersebut selama enam hari atau rata-rata 9 ekor / hari dan PP B mendapatkannya dalam dua hari atau rata-rata 1ekor / hari. PP A mendapatkan lebih banyak ular karena mempunyai pemasok tetap berupa penangkap profesional dan bukan profesional yang cukup banyak, sedangkan PP B hanya mendapatkan dari penangkap bukan profesional saja. Jumlah diatas adalah jumlah ular hidup yang ada ketika penelitian ini dilakukan.
86
Pengumpul perantara tidak mempunyai libur khusus untuk menguliti ular karena pasokan ular bisa datang kapan saja meskipun saat itu sedang menguliti ular. Hal ini berbeda dengan penangkap yang memerlukan libur khusus untuk menguliti ular. Berdasarkan asumsi rata-rata jumlah ular yang bisa dikumpulkan oleh pengumpul perantara tersebut diatas, dengan asumsi bahwa PP A hanya libur untuk mudik pada waktu Lebaran dan PP B tidak ada waktu libur untuk mudik Lebaran karena merupakan penduduk asli, maka PP A akan mendapatkan ular sebanyak 3 150 ekor/tahun dan PP B 365 ekor/tahun dengan jumlah total keduanya 3 515 ekor/tahun atau 31.95 % kuota tahunan. Apabila ditambahkan dengan hasil yang ditangkap oleh lima penangkap berdasarkan asumsi pertama, maka jumlah ular yang ditangkap sebanyak 59.01% dari kuota tangkap Kalimantan Tengah tahun 2012. Jumlah ini masih berada di bawah jumlah kuota tangkap. Namun hanya berasal dari dua pengumpul perantara dan lima penangkap. Sedangkan menurut informasi, masih ada penangkap dan pengumpul perantara lain di Kabupaten Seruyan, Lamandau, Sukamara, Barito Timur dan Barito Selatan yang tidak diketahui jumlah pastinya. Selain dua pengumpul perantara di atas, dilakukan pula wawancara terhadap dua pengumpul lain (PP C dan PP D). Keempat pengumpul perantara tersebut berhasil mengumpulkan kulit ular dengan jumlah yang bervariasi (Tabel 7). Jumlah yang tersaji dalam Tabel 7 merupakan hasil perhitungan dari catatan pada PPA dan PP B serta wawancara dengan PP C dan PP D. Tabel 7. Jumlah kulit yang diproduksi/dikumpulkan pengumpul perantara JanuariJuli 2012 Jumlah kulit pada tiap pengumpul perantara (lembar) Bulan PP A PP B PP C PP D Januari 300 40 50-60 40-45 Februari 470 37 50-60 40-45 Maret 210 24 50-60 40-45 April 614 20 50-60 40-45 Mei 280 15 50-60 40-45 Juni 310 10 50-60 40-45 Juli 150 ND 50-60 ND Jumlah 2 334 146 350-420 240-270 Jumlah total 3070-3170 ND = tidak ada data Pengumpul perantara C dan D hanya memberi data selang.
87
Menurut hasil wawancara, di Kabupaten Kotawaringin Barat setidaknya ada satu pengumpul lain selain PP A yang pada awalnya pernah mempunyai ijin edar dalam negeri. Apabila pengumpul tersebut diposisikan sebagai pengumpul perantara karena tidak memiliki ijin edar maupun ijin tangkap, bila produktivitasnya sama dengan PP A, maka dari dua pengumpul perantara di Kotawaringin barat setidaknya akan diproduksi kulit sebanyak 4 667 lembar atau 42.44% dari kuota tangkap Kalimantan Tengah tahun 2012 selama tujuh bulan atau 6.6% per bulan atau 72.75% pada akhir tahun 2012. Bila ditambahkan dengan hasil yang diproduksi tiga pengumpul lain dari Kotawaringin Timur, Pulang Pisau dan Kapuas, maka jumlah kulit yang diproduksi selama tujuh bulan menjadi 5 404 – 5 504 (49.13 -50.04%) dari kuota tangkap Kalimantan Tengah tahun 2012 atau 7.02-7.15% per bulan atau 84.24-85.78% pada akhir tahun 2012. Pemanenan yang diindikasikan melebihi kuota tangkap tahunan pernah terjadi di Sumatera Utara. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Semiadi dan Sidik (2011) pada tahun 2008, setiap agen di Sumatera Utara bisa mengumpulkan 154.5 – 253 ekor/ bulan pada musim kering (maksimal 5 bulan) dan 217.8 – 514 ekor/bulan pada musim basah (maksimal 6 bulan). Dengan demikian, agen yang ada pada saat itu masing-masing bisa mengumpulkan 2 079.3 – 4 349 ekor/tahun atau total 16 634-34 792 ekor (delapan agen). Apabila kuota tangkap di Sumatera Utara 21 090, maka jumlah ular yang dikumpulkan oleh delapan agen mencapai jumlah minimal 78.87 % dan jumlah maksimal mencapai 164.97% dari kuota tahunan. Apabila jumlah maksimal terpenuhi, berarti jumlah tersebut melebihi kuota tangkap yang ditentukan. Berbeda dengan hasil penelitian Semiadi dan Sidik (2011), jumlah panenan dari lima penangkap dan dua pengumpul tersebut masih berada di bawah kuota yang ditetapkan. Ini berarti bahwa panenan masih berada di level yang diijinkan untuk kelestarian. Namun apabila ditinjau dari segi lokasi penangkapan, bisa jadi hal ini akan mengancam kelestarian. Sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No 447/KPTS-II/2003, untuk menjamin kelestarian populasi Kepala Balai KSDA harus melakukan rotasi lokasi tangkap (Sekditjen PHKA 2007c). Bahkan harus detail sampai disebutkan nama desa pada peta dengan skala paling kecil 1:250 000 dan harus selalu dimutakhirkan setiap dua tahun sekali. Namun
88
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada rotasi lokasi pengambilan Python reticulatus dari tahun ke tahun. Penangkap dan pengumpul tersebut selalu menangkap di lokasi yang sama sepanjang tahun setiap tahun. Bahkan dalam surat ijin tangkap yang dikeluarkan oleh BKSDA Kalimantan Tengah, tidak disebutkan lokasi tangkapnya secara detail. Tidak dilakukannya rotasi lokasi tangkap bisa jadi akan mengancam kelestarian Python reticulatus di lokasi tersebut. Penangkap dan pengumpul perantara di Kabupaten Kotawaringin Barat menyatakan bahwa saat ini jumlah dan ukuran Python reticulatus yang ditangkap sudah menurun dibandingkan pada tahun-tahun awal mereka mulai menangkap. Lima tahun yang lalu, mereka masih bisa dengan mudah mendapatkan ular dengan ukuran diatas 5 meter. Namun saat ini rata-rata tangkapan mereka dibawah ukuran 5 meter. Hal ini mengindikasikan bahwa populasi ular dengan ukuran besar sudah mulai menurun di lokasi ini. Apabila penangkapan di lokasi ini tidak dibatasi waktu, maka bisa jadi populasinya akan semakin menurun. Balai KSDA Kalimantan Tengah seyogyanya memperhatikan aturan dalam SK Menteri Kehutanan tersebut. Perlu dicantumkan lokasi pengambilan secara detail yang dirotasi agar tidak terjadi pemusatan lokasi pengambilan yang nantinya bisa berdampak pada terancamnya kelestarian Python reticulatus di lokasi tersebut. Namun penentuan lokasi tangkap tidak bisa dilakukan secara asal. Harus dilakukan dahulu survey yang bisa menggambarkan potensi Python reticulatus di lokasi tertentu agar bisa ditetapkan jumlah kuota dan lokasi penangkapan dengan tepat demi kelestarian Python reticulatus di alam. Secara resmi, kuota tangkap yang otomatis juga menjadi kuota tata niaga yang boleh keluar dari Kalimantan Tengah mulai tahun 2010, 2011 dan 2012 sebanyak 11 000 lembar (Ditjen PHKA 2010a, 2010b, 2011). Secara administratif, kuota tangkap Python reticulatus di Kalimantan Tengah selalu terpenuhi. Namun apabila dilihat lebih jauh, jumlah kuota bisa saja terlampaui karena adanya kulit yang keluar dari Kalimantan Tengah tanpa dokumen. Dan jumlahnya tidak bisa dipantau karena tidak mungkin dilakukan pengawasan yang ketat diseluruh wilayah Kalimantan Tengah yang sangat luas dan banyak pintu
89
keluar. Demikian juga dengan adanya pelaku tata niaga yang hanya menjual dokumen tanpa barang. Setiap lembar kulit yang diperdagangkan secara resmi, akan tercatat oleh otoritas manajemen dan jumlahnya tidak akan mungkin melebihi kuota yang ditentukan. Namun adanya peredaran illegal menyebabkan jumlah kulit yang diedarkan melebihi kuota yang ditentukan. Tata niaga illegal tidak mungkin bisa dihilangkan dengan mudah. Namun dengan pengawasan yang ketat mungkin bisa dikurangi jumlahnya. Adanya tata niaga illegal juga merupakan kerugian bagi daerah tersebut karena sumberdaya alamnya hilang tanpa memberi keuntungan bagi pengelolanya.
5.4.
Parameter Demografi
5.4.1
Parameter Demografi pada Penangkap Jumlah seluruh ular yang tertangkap di tingkat penangkap sebanyak 117
ekor yang berasal dari 5 penangkap. Prosentase Python reticulatus jantan yang tertangkap adalah 58.11% dan betina 41.88% dengan sex rasio 1:0.72. Pada setiap penangkap menunjukkan ular jantan cenderung lebih banyak tertangkap
Jumlah ular tertangkap (ekor)
dibandingkan betina, kecuali pada penangkap D (Gambar 31). 80 70 60 50 40 30 20 10 0
68 49 26 24
23 10
A
B
15 12
C
jantan 13
30
D
E
betina
total
Penangkap
Gambar 31 Jumlah Python reticulatus jantan dan betina yang tertangkap pada tingkat penangkap. Berdasarkan hasil penelitian, sex rasio menunjukkan bahwa jantan lebih banyak dari betina. Shine et al. (1998b) mendapatkan hasil yang sama pada Python reticulatus yang dipanen di Sumatera yaitu sebagian besar adalah jantan (52%). Sebuah penelitian yang dilakukan pada ular jenis Notechis scutatus, Shine
90
dan Bull (1977) mendapatkan kesimpulan bahwa sex rasionya 1.5:1, yaitu jantan lebih banyak dari betina. Hal ini bisa diartikan bahwa pola sex rasio Python reticulatus yang tertangkap masih mengikuti dan sejalan dengan penelitian lain yang sejenis. Ini bisa jadi mengindikasikan bahwa di lokasi penelitian saat itu, jumlah jantan masih lebih banyak dibandingkan betina. Sex rasio berhubungan dengan sistem perkawinan. Menurut Duval et al. (1993), sistem perkawinan ular bisa poligami, poliandri, poligini maupun monogami. Namun lebih banyak kecenderungan untuk poligini. Menurut Shine (1998), sistem perkawinan sistem
Python reticulatus adalah poligini. Pada kondisi
perkawinan poligini, jumlah jantan lebih banyak dari betina untuk
mendapatkan perkawinan yang optimal hasilnya. Dengan demikian bisa diindikasikan bahwa sex rasio pada tingkat penangkap masih dalam kondisi normal. Apabila Python reticulatus yang tertangkap dikelompokkan menurut kelas umur sesuai dengan pengelompokkan yang dilakukan oleh Shine et al (1999), jumlah Python reticulatus betina dan jantan yang tertangkap sebagian besar
Jumlah ular tertangkap (ekor)
adalah kelas umur dewasa (Gambar 32 dan 33). 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
47 0% 4%
bayi (SVL <110 cm)
22
muda (SVL 110-235 cm)
10
12
2
0
0
3 0
00
2
A
B
C
D
E
Total
dewasa (SVL >235 cm)
96%
Penangkap
Gambar 32 Sebaran kelas umur Python reticulatus betina pada penangkap.
Jumlah ular tertangkap (ekor)
91
80 70 60 50 40 30 20 10 0
67 0%
25
bayi (SVL <110 cm) 23 15
1
0
0
01
03
1
A
B
C
D
E
Total
1%
muda (SVL 110-210 cm) dewasa (SVL >210 cm)
99%
Penangkap
Gambar 33 Sebaran kelas umur Python reticulatus jantan pada penangkap.
Sex rasio pada kelas umur muda adalah 1:2, sedangkan pada kelas umur dewasa adalah 1:0.70. Berarti ada perbedaan sex rasio antara kelas umur muda dan dewasa dimana pada kelas umur muda, betina lebih banyak daripada jantan. Jumlah betina muda yang tertangkap lebih banyak dari jumlah jantan muda yang tertangkap. Hal yang sama juga didapat pada penelitian di Sumatera yang menunjukkan bahwa pada kelas umur muda, betina lebih banyak dari jantan namun pada kelas umur dewasa jantan lebih banyak dari betina (Shine 1999). Berdasarkan ukuran tubuhnya, terdapat perpotongan antara kelas umur betina muda dan jantan dewasa. Artinya bahwa pada ukuran tertentu, betina tersebut masih muda, namun pada ukuran yang sama, pada jantan sudah merupakan jantan dewasa. Shine dan Slip (1990) melakukan penelitian pada spesies lain namun dari kelas yang sama yaitu Chondropython viridis dengan hasil yang menunjukkan bahwa pada kelas umur dewasa, jantan lebih banyak dibandingkan betina, namun tidak menyebutkan sex rasio pada kelas umur muda. Sex rasio dewasa pada penelitian ini sejalan dengan penelitian lain dan sesuai dengan system perkawinan Python reticulatus. Dengan demikian bisa diindikasikan bahwa sex rasio pada kelas umur dewasa masih dalam kondisi normal. Menurut Shine et al. (1999), berdasarkan penelitian di Sumatera, betina muda (juvenile) mempunyai SVL (Snout-Vent Length) 1,1 m s.d. 2,35 m dan betina dewasa (adult) berukuran lebih dari 2,35 m, jantan muda (juvenile)
92
mempunyai SVL 1,1 m s.d. 2,1 m dan jantan dewasa (adult) diatas 2,1 m. Namun ada sedikit jantan dewasa yang ditemukan berukuran 1,6 s.d. 1,8 m. Menurut Mexico (2000), Python reticulatus mencapai usia dewasa pada umur 2-4 tahun, jantan mencapai usia dewasa pada ukuran 2,1 m s.d. 2,7 m dan betina pada ukuran 3,4 m. namun memperkirakan umur ular di alam sangatlah sulit. Sebanyak 99% diantaranya dari seluruh ular jantan yang tertangkap adalah jantan dewasa dan 96% dari seluruh ular betina yang tertangkap adalah betina dewasa. Hasil penelitian Shine et al. (1998b), Python reticulatus yang dipanen di Sumatera pada saat penelitian dilakukan 89% dari jantan yang ditangkap adalah jantan dewasa. Hasil penelitian Shine et al. (1999) yang lain di Sumatera juga menunjukkan bahwa dari seluruh jantan yang tertangkap, 82.08% adalah jantan dewasa, dari seluruh betina yang tertangkap 51.21% adalah betina dewasa dan jantan dewasa berjumlah paling banyak. Kelas umur jantan dewasa yang tertangkap mempunyai prosentase 57.26% dari seluruh ular yang tertangkap, kelas umur betina dewasa 40.17%, betina muda 1.71%, jantan muda 0.85% dan tidak ada anakan yang tertangkap. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbandingan yang cukup besar antar kelas umur dewasa yang ditangkap dan kelas umur lain. Pada kelas umur dewasa, terjadi penangkapan yang sangat besar atau bisa dikatakan pula tingkat kematian pada kelas umur dewasa jauh lebih besar daripada tingkat kematian pada kelas umur lainnya.. Banyaknya jantan dewasa yang tertangkap juga bisa terjadi karena jantan dewasa berukuran lebih kecil dari betina. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada kelas umur muda, ular betina lebih banyak yang tertangkap dibanding jantan. Shine et al. (1999) juga menyatakan bahwa pada kelas umur muda, Python reticulatus yang ditangkap di Sumatera lebih banyak betina dibanding jantan. Kemungkinan ini terjadi karena ukuran betina muda ada yang sama dengan ukuran jantan dewasa. Shine et al. (1998a; 1999) menyatakan bahwa banyak Python reticulatus betina muda yang tertangkap berukuran sama dengan jantan dewasa yang tertangkap. Kemungkinan ini bisa terjadi karena pasar menghendaki ukuran minimal dimana pada ukuran tersebut betina masih berusia remaja namun jantan sudah mencapai dewasa.
93
Panenan atau penangkapan yang dilakukan oleh penangkap untuk tata niaga seperti ini berarti kematian (mortalitas). Mortalitas yang paling besar sesuai dengan hasil penelitian ini terjadi pada kelas umur jantan dewasa. Mortalitas karena panenan tidak terjadi pada kelas umur bayi. Kelas umur bayi dan muda sangat sedikit karena penangkap menganggap ukuran SVL pada kelas ini masih terlalu kecil dan tidak memberi keuntungan. Keadaan seperti ini memberi nilai positif pada upaya kelestarian karena dengan ditangkapnya ular pada kelas umur tertentu saja, memberikan kesempatan pada kelas umur lain untuk tumbuh dan berkembang hingga mencapai kelas umur yang sesuai untuk dipanen. Pemanenan pada kelas umur dewasa saja belum bisa menjamin adanya kelestarian. Terlalu banyak dewasa yang dipanen bisa menimbulkan berkurangnya produktifitas. Dalam penelitian ini tidak bisa diketahui apakah dewasa yang dipanen adalah dewasa produktif atau tidak produktif. Apabila terlalu banyak betina dewasa yang dipanen, maka peluang terjadinya kelahiran akan semakin menurun dan bisa berdampak pada kelestarian. Terlalu banyak jantan dewasa yang dipanen juga bisa berimbas pada kelestarian. Apalagi bagi satwa yang sistem perkawinannya poligini seperti Python reticulatus dimana jantan harus berjumlah lebih banyak dibanding betina. Menurut informasi dari penangkap di Kabupaten Kotawaringin Barat, sebagian besar ular yang tertangkap pada musim bertelur (Juli-September) adalah betina dewasa yang sedang mengerami telurnya. Pada keadaan dimana jantan lebih banyak dari betina, penangkapan jantan yang lebih banyak mungkin tidak akan berpengaruh besar pada kelestariannya. Pada keadaan dimana betina dewasa lebih banyak dipanen, mungkin akan berpengaruh pada kelestariannya. Namun kelestarian masih bisa diharapkan dari telur yang menetas meskipun induknya dipanen. Telur yang sedang dierami tidak diambil untuk memberi kesempatan agar telur bisa menetas (terjadi natalitas). Akan terjadi masalah jika telur yang ditinggalkan tidak menetas. Telur yang ditinggalkan ini merupakan sasaran biawak untuk makanannya. Apabila telur tersebut dimakan biawak, maka peluang untuk menetas menjadi hilang. Akibatnya tidak terjadi kelahiran. Hal ini akan sangat berdampak pada kelestarian Python reticulatus di alam. Tanpa adanya kelahiran, maka tingkat pertumbuhan populasi akan menurun.
94
Hal yang mungkin dilakukan adalah aturan yang ketat mengenai ukuran Python reticulatus yang boleh ditangkap. Ukuran bisa didasarkan pada ukuran yang sesuai dengan permintaan pasar, yaitu ular dengan panjang badan minimal 250 cm agar menghasilkan kulit dengan ukuran minimal 350 cm. Ular dengan ukuran dibawah 250 cm dilarang untuk ditangkap agar mempunyai kesempatan untuk bisa berkembangbiak dengan lebih baik. Pemantauan dari aturan ini bisa dilakukan dengan hanya memperbolehkan peredaran kulit dengan ukuran diatas 350 cm. Hal lain yang mungkin bisa dilakukan adalah rotasi lokasi tangkap agar bisa memberikan kesempatan pada Python reticulatus di lokasi tersebut untuk tumbuh dan berkembang biak serta memulihkan populasi yang sudah dipanen pada waktu sebelumnya. 5.4.1.2 Parameter Demografi pada Pengumpul perantara Jumlah ular yang ada pada dua pengumpul perantara sebanyak 56 ekor, jantan 48.21% dan betina 51.79% dengan sex rasio 1:1.07 (Gambar 34).
Jumlah ular (ekor)
30
28
26
25 20 15
betina
10
jantan
5
1
1
0 PP A
PP B Pengumpul perantara
Gambar 34 Jumlah Python reticulatus jantan dan betina yang tertangkap pada tingkat pengumpul perantara. Pada tingkat pengumpul perantara di Kab. Kotawaringin Barat (PP A), jumlah betina lebih banyak daripada jantan dan pada pengumpul di Kab. Pulang Pisau (PP B), jumlah jantan sama dengan jumlah betina. Sex rasio pada tingkat pengumpul perantara menunjukkan bahwa betina lebih banyak tertangkap daripada jantan. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapat pada tingkat penangkap dan penelitian lain yang dilakukan oleh Shine et al. (1998a, 1999) yaitu bahwa Python reticulatus yang dipanen di Sumatera yaitu sebagian besar
95
adalah jantan. Penelitian Shine dan Bull (1977) di pada ular jenis Notechis scutatu juga mendapatkan kesimpulan bahwa jantan lebih banyak dari betina (sex rasio 1.5:1). Hasil ini juga berbeda dengan pernyataan Duval et al. (1993) bahwa ular mempunyai kecenderungan untuk poligini, dan pada sistem perkawinan poligini, jantan akan berjumlah lebih banyak dari betina. Namun demikian, hasil penelitian ini masih belum cukup untuk membuktikan bahwa kondisi populasi pada habitat tangkap tersebut tidak seimbang. Hal ini karena pengumpul perantara mengumpulkan ular dari banyak tempat dengan jumlah dari masing-masing tempat berkisar antara 1-20 ekor. Apabila Python reticulatus yang tertangkap dikelompokkan menurut kelas umur sesuai dengan pengelompokkan yang dilakukan oleh Shine et al (1999), jumlah Python reticulatus betina dan jantan yang tertangkap sebagian besar adalah kelas umur dewasa (Gambar 35 dan 36). Sex rasio pada kelas umur muda adalah 1:1.67, sedangkan pada kelas umur dewasa adalah 1:1.07. Berarti tidak ada perbedaan sex rasio antara kelas umur muda dan dewasa, dimana pada keduanya , betina sama-sama lebih banyak dari jantan. Hal yang sama juga didapat pada penelitian di Sumatera yang menunjukkan bahwa pada kelas umur muda, betina lebih banyak dari jantan (Shine 1998a, 1999). Namun pada kelas umur dewasa, hasilnya berbeda dari hasil penelitian Shine (1998a, 1999) dimana jantan lebih banyak dari betina.
Jumlah ular (ekor)
30 24
23
25
0%
20 15 10 5 5
5 01
0 PP A
PP B
bayi (SVL <110 cm) muda (SVL 110235 cm) dewasa (SVL >235 cm)
17%
83%
Total
Pengumpul perantara
Gambar 35 Sebaran kelas umur Python reticulatus betina pada pengumpul perantara.
96
30 Jumlah ular (ekor)
24
23
25
0%
20 bayi (SVL <110 cm) muda (SVL 110-210 cm) dewasa (SVL >210 cm)
15 10 3
5
01
3
11%
89%
0 PP A
PP B
Total
Pengumpul perantara
Gambar 36 Sebaran kelas umur Python reticulatus jantan pada pengumpul perantara. . Ular yang dikumpulkan pengumpul perantara, prosentase jantan dewasa dan betina dewasa yang dikumpulkan sama, yaitu masing-masing 42.86%. Sedangkan betina muda yang dikumpulkan sebanyak 8.93% dan jantan muda 5.36%. Pola ini sama dengan pola pada penangkap, yaitu penangkapan lebih banyak terjadi pada kelas umur dewasa, baik pada jantan maupun betina meskipun pada penangkap, prosentase jantan dewasa yang tertangkap lebih banyak dari betina dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa baik pada penangkap maupun pengumpul perantara, sama-sama mempunyai preferensi untuk menangkap ular dengan ukuran tertentu, yaitu ukuran yang mengindikasikan bahwa ular tersebut berada pada kelas umur dewasa. Pemanenan pada kelas umur dewasa dengan jumlah panenan betina lebih banyak
dari
jantan
merupakan
pemanenan
yang
bisa
menyebabkan
ketidaklestarian. Apalagi bila panenan tersebut dilakukan pada satwa yang mempunyai sistem perkawinan poligini dimana betina jumlahnya lebih sedikit dari jantan. Namun demikian, panenan yang dilakukan oleh pengumpul perantara ini belum bisa mengindikasikan bahwa panenan tersebut bukan merupakan panenan yang lestari karena panenan dilakukan di berbagai lokasi dengan jumlah yang beragam pada masing-masing lokasi.
97
5.5.
Morfometri
5.5.1
Morfometri pada Penangkap Hasil pengukuran morfometri Python reticulatus yang berhasil ditangkap
oleh masing-masing penangkap, seperti disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8 Hasil pengukuran morfometri pada tiap penangkap Rata-rata ukuran ular pada tiap penangkap
Peubah
A
n (ekor)
B
C
D
E
50
33
27
4
3
SVL (cm)
308.836
288.488
398.320
290.000
294.000
Panjang badan (cm)
300.480
279.788
289.370
278.750
281.667
44.520
41.182
41.148
16.625
17.5000
Panjang kepala (cm)
8.356
8.788
9.085
11.250
12.333
Jarak mata (cm)
3.864
2.742
2.974
4.125
4.667
Massa tubuh (kg)
8.208
8.792
9.687
13.000
12.733
Panjang ekor (cm)
Berdasarkan tes Kolmogorov-Smirnov untuk tes normalitas data menggunakan SPSS 19.0, menunjukkan hasil bahwa data yang tersebar normal adalah panjang badan (Asymp. Sig. 0.204) dan
SVL (Asymp. Sig.0.239)
(Lampiran 7). Selanjutnya dilakukan uji t-test dua sampel independen (Lampiran 8). Test ini hanya dilakukan pada penangkap A, B dan C karena pada penangkap C dan D jumlah ular kurang dari 5. Hasil pengujian menunjukkan bahwa panjang badan dan SVL ular yang tertangkap pada A, B dan C tidak berbeda nyata (Asymp. Sig. > 0.05). Peubah lain dianalisis dengan tes Kruskal-Wallis (lampiran 9). Hasil Uji Kruskal Wallis morfometri Python reticulatus pada tiap penangkap menunjukkan bahwa hanya panjang ekor yang sama secara signifikan (Asymp. Sig
0.788). Panjang kepala, jarak mata dan massa tubuh tidak sama secara
signifikan. Hasil pengujian di atas menunjukkan bahwa antar penangkap memiliki kecenderungan untuk menangkap ular dengan ukuran tertentu yang relatif sama. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh penangkap mempunyai kiteria yang sama dalam hal ukuran ular yang ditangkap. Semua penangkap menyatakan bahwa
98
mereka memilih untuk menangkap ular dengan ukuran panjang badan diatas 250 cm karena permintaan pasar menginginkan kulit dengan ukuran diatas 350 cm untuk harga tertinggi. Kulit dengan ukuran 350 bisa didapatkan dari ular dengan panjang badan 250 cm karena setiap 1 m kulit basah bisa bertambah ±40 cm ketika menjadi kulit kering. Ular dengan ukuran panjang badan dibawah itu kurang disukai dan dihindari untuk ditangkap. Bahkan ular dengan ukuran panjang badan dibawah 200 m akan dilepaskan karena kurang memberi keuntungan. Ukuran yang menjadi patokan bagi penangkap adalah panjang tubuh dan bukan SVL karena pada proses pengulitan, kulit kepala dan ekor tidak diambil. Hasil pengukuran morfometri Python reticulatus yang berhasil ditangkap oleh masing-masing penangkap berdasarkan jenis kelamin adalah sebagaimana disajikan dalam Tabel 9 Tabel 9 Hasil pengukuran morfometri pada tiap penangkap berdasarkan jenis kelamin Peubah
Rata-rata ukuran ular pada tiap penangkap A
B
C
D
Rata-rata
E
Jantan : 26
23
15
1
3
SVL (cm)
299.365
291.423
295.624
286.000
294.000
293.282
Panjang badan (cm)
291.077
282.522
286.533
275.000
281.667
283.360
42.731
41.087
42.933
16.000
17.500
32.050
Panjang kepala (cm)
8.288
8.902
9.091
11.000
12.333
9.923
Jarak mata (cm)
3.735
2.783
3.000
4.500
4.667
3.737
Massa tubuh (kg)
7.534
8.799
10.022
12.000
12.733
10.218
24
10
12
3
0
SVL (cm)
319.096
281.737
301.690
291.333
0
298.464
Panjang badan (cm)
310.667
273.500
292.917
280.000
0
289.271
46.458
41.400
38.917
16.833
0
35.902
Panjang kepala (cm)
8.429
8.237
8.773
11.333
0
9.193
Jarak mata (cm)
4.004
2.650
2.942
4.000
0
3.399
Massa tubuh (kg)
8.938
8.775
9.268
13.333
0
10.079
n (ekor)
Panjang ekor (cm)
Betina: n (ekor)
Panjang ekor (cm)
99
Berdasarkan pengujian t-test dua sampel independen yang dilakukan pada seluruh
individu jantan dan betina tanpa membedakan penangkap, diketahui
bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara panjang badan dan SVL jantan dan betina (Asymp. Sig. > 0.05) (Lampiran 10). Hasil uji Kruskal-Wallis pada peubah lain menunjukkan hasil yang sama (Lampiran 11). Ini berarti bahwa ukuran jantan dan betina yang ditangkap oleh seluruh penangkap adalah sama. Persamaan ukuran antara jantan dan betina yang ditangkap bisa berarti bahwa penangkap tidak membedakan jenis kelamin ketika memangkap ular tersebut. Bagi penangkap, yang terpenting adalah ukuran ular yang tertangkap sesuai dengan yang diinginkan, yaitu ular yang bisa menghasilkan kulit dengan ukuran diatas 350 cm, tanpa membedakan bahwa ular tersebut jantan atau betina. Meskipun secara statistik tidak ada perbedaan yang nyata antara ukuran SVL jantan dan betina, namun rata-rata ukuran betina lebih besar dari jantan. Hasil ini sama dengan pernyataan Shine (1978) menyatakan bahwa ukuran betina lebih besar dari jantan. Shine et al. (1998a, 1998b, 1999) mendapatkan hasil yang sama pada penelitian Python reticulatus yang dilakukan di Sumatera. Selain itu, Pearson et al. (2002) juga mendapatkan hasil yang sama pada penelitian yang dilakukan pada spesies Morelia spilota yang berasal dari family Pythonidae. Menurut Shine dan Slip (2006) Pythonidae di Australia juga menunjukkan kecenderungan bahwa ukuran betina lebih besar dari jantan. Ukuran tubuh jantan dan betina cenderung berbeda pada beberapa spesies, (Shine 1978). Perbedaan ukuran tubuh ular jantan dan betina bisa disebabkan karena adanya
fecundity selection
dan male combat (Shine 1993).
Pada
fecundity selection, betina akan lebih besar karena mengakomodir clutch yang besar. Pada system perkawinan dimana jantan bertarung untuk memperebutkan betina, jantan akan cenderung lebih besar dari betina. Namun male combat juga tidak bisa secara langsung bisa memprediksikan bahwa hal itu akan menyebabkan jantan berkembang lebih besar (Shine 1978). Perbedaan ukuran jantan dan betina juga tidak bisa diprediksi berdasarkan mating system (Shine 1993). Anakan jantan dan betina biasanya lahir dalam ukuran yang tidak berbeda, namun pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya bisa menjadi
100
berbeda (Shine 1993). Lebih lanjut Shine (1993) juga mengatakan bahwa pada beberapa ular, betina akan berkembang lebih besar dibanding jantan. Perbedaan kecepatan pertumbuhan ini terjadi karena perbedaan kecepatan makan atau metabolism pencernaan antara jantan dan betina. Namun beberapa ular jantan akan lebih cepat matang reproduksinya meskipun ukurannya masih lebih kecil dibanding betina. Beberapa betina sengaja menunda kematangan reproduksinya sampai mempunyai ukuran yang cukup besar untuk lebih mengoptimalkan usia reproduksinya. Kesimpulan yang diberikan oleh Shine (1993) bahwa mekanisme yang paling dekat yang menyebabkan ular betina berkembang menjadi lebih besar daripada jantan adalah (1) penundaan masa dewasa pada betina dan dikombinasikan dengan (2) berkurangnya kecepatan pertumbuhan setelah dewasa baik pada jantan maupun betina. Ukuran tubuh jantan pada beberapa spesies satwa menjadi sangat penting bagi kemampuan untuk mengawini betinanya (Shine 1993). Semakin besar ukuran jantan, akan semakin memudahkan untuk memenangkan persaingan dengan jantan lain dalam mengawini betina, namun ini tidak berlaku bagi ular. Ukuran jantan tidak berpengaruh pada kemampuan untuk mengawini betinanya. Bentuknya yang panjang menyebabkan jantan tidak bisa memaksa betina untuk kawin. 5.5.2
Morfometri pada Pengumpul Perantara Hasil pengukuran morfometri Python reticulatus
yang berhasil
dikumpulkan oleh pengumpul perantara, seperti disajikan dalam Tabel 10 berikut ini.
Tabel 10 Hasil pengukuran morfometri pada tiap pengumpul perantara Peubah n (ekor) SVL (cm) Panjang badan (cm) Panjang ekor (cm) Panjang kepala (cm) Jarak mata (cm) Massa tubuh (kg)
Rata-rata hasil pengukuran PP A
PP B
54 284.980 276.222 39.481 8.758 3.001 8.259
2 280 270 20 10 4 10
101
Morfometri ular yang berhasil dikumpulkan oleh PP A dan PP B secara statistik tidak bisa dibandingkan karena jumlah pada PP Bkurang dari yang disyaratkan yaitu minimal 5. Namun pada antara jantan dan betina bisa dibandingkan morfometrinya (Tabel 11).
Tabel 11 Hasil pengukuran morfometri jantan dan betina pada pengumpul perantara Rata-rata hasil pengukuran
Peubah
jantan
n (ekor) SVL (cm) Panjang badan (cm) Panjang ekor (cm) Panjang kepala (cm) Jarak mata (cm) Massa tubuh (kg)
27 287.584 278.593 38.185 8.992 3.006 8.849
betina 29 282.212 273.586 39.345 8.626 3.066 7.830
Hasil tes Kolmogorov-Smirnov untuk tes normalitas data menggunakan SPSS 19.0, SVL dan panjang badan mempunyai sebaran data normal (Asymp. Sig. >0.05), sedangkan peubah lain tidak normal (Asymp. Sig. <0.05) (Lampiran 12). Hasil t-test dua sampel independen pada peubah SVL dan panjang badan ular jantan dan betina menunjukkan bahwa kedua peubah tersebut tidak berbeda nyata antara jantan dan betina (Asymp. Sig. > 0.05) (Lampiran 13). Hasil analisis morfometri ular pengumpul perantara menunjukkan bahwa peubah SVL dan panjang badan antar jenis kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa ada konsistensi ukuran yang ditangkap atau ada pemilihan ukuran yang ditangkap oleh pengumpul perantara. Pengumpul perantara memiliki kecenderungan untuk menerima dengan ukuran tertentu yang relatif sama dan tidak terpengaruh oleh jenis kelamin. Menurut hasil wawancara, semua pengumpul perantara menyatakan bahwa mereka tidak memilih jenis kelamin jantan atau betina, namun memilih ular dengan ukuran panjang badan diatas 250 cm. Ukuran ini sama dengan ukuran yang dipilih oleh penangkap. Rata-rata SVL jantan pada PP A lebih besar dari betina, sedangkan pada PP B, SVL jantan dan betina sama. Beberapa penelitian yang dilakukan pada
102
family Pythonidae (Shine 1978; Shine et al. 1998a, 1998b, 1999; Pearson et al. 2002; Shine & Slip 2006) menyatakan bahwa ukuran betina lebih besar dari jantan. Morfometri Python reticulatus jantan dan betina tidak secara langsung bisa membedakan jantan dan betina. Bahwa menurut beberapa penelitian, betina cenderung lebih besar dibandingkan jantan dalam kelas umur yang sama. Namun belum bisa dijadikan penanda ular tersebut jantan atau betina tanpa melihat kloakanya. Morfometri jantan dan betina yang tidak berbeda nyata juga menjadikan tidak adanya pemilihan jenis kelamin yang dipanen. Hal ini menyebabkan terjadinya panenan yang acak. Pemanenan yang acak tanpa memilih jenis kelamin bisa jadi sesuai dengan prinsip kelestarian karena jumlah yang banyak yang mempunyai kemungkinan untuk ditangkap. Artinya bila jantan lebih banyak di alam, maka kemungkinan yang tertangkap jantan akan lebih besar dibandingkan betina. Dengan struktur populasi jantan lebih banyak dari betina, maka pemanenan jantan yang lebih banyak menjadi pemanenan yang lebih lestari dibandingkan pemanenan yang lebih banyak pada betina. Namun demikian, tetap perlu adanya keseimbangan jumlah jantan dan betina yang dipanen agar tidak terjadi over eksploitasi pada jantan saja atau betina saja yang bisa mengancam kelestarian satwa tersebut di alam.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
KESIMPULAN
1.
Pelaku tata niaga Python reticulatus di Kalimantan Tengah adalah penangkap, pengumpul perantara dan pemilik ijin resmi (penangkap berijin dan pengedar dalam negeri). Jalur tata niaga Python reticulatus di Kalimantan Tengah dimulai dari penangkap sampai pengedar dalam negeri. Secara umum, pelaku tata niaga di Kalimantan Tengah tidak berbeda dengan Sumatera, namun jalurnya lebih pendek. Harga kulit Python reticulatus ditentukan oleh ukuran, yaitu ukuran dengan harga paling tinggi adalah panjang ≥ 350 cm, lebar perut ≥ 32 cm dan lebar ekor ≥ 12 cm.
2.
Habitat tangkap Python reticulatus di Kalimantan Tengah adalah lahan dengan penggunaan intensif oleh manusia, yaitu kebun kelapa sawit, kebun karet dan rawa-rawa. Pada habitat tangkap, tidak ada satupun peubah habitat yang berpengaruh secara signifikan terhadap perjumpaan Python reticulatus. Hal ini menunjukkan bahwa Python reticulatus tidak memiliki habitat preferensial. Habitat bersarang Python reticulatus di Kalimantan Tengah adalah lubang antara kayu dan kayu di bawah jembatan di kebun kelapa sawit. Pada habitat bersarang, tidak ada satupun peubah habitat yang berpengaruh secara signifikan terhadap perjumpaan Python reticulatus. Keberadaan
Python
reticulatus
pada
lahan
penggunaan
intensif
menunjukkan bahwa ular ini dapat beradaptasi dengan manusia. 3.
Kelimpahan panenan pada penangkap pada saat penelitian adalah 117 ekor dan estimasi kelimpahan panenan berdasarkan kinerja penangkap pada akhir tahun 2012 adalah 2 940 ekor atau 26.73% dari kuota tangkap Kalimantan Tengah tahun 2012. Kelimpahan panenan pada pengumpul perantara pada saat penelitian adalah 56 ekor dan estimasi kelimpahan panenan berdasarkan kinerja pengumpul perantara pada akhir tahun 2012 adalah 3 515 ekor atau 31.95 % dari kuota tangkap Kalimantan Tengah tahun 2012.
104
4.
Sex rasio Python reticulatus yang tertangkap pada tingkat penangkap adalah 1:0.72 dan pada tingkat pengumpul perantara adalah 1:1.07. Pada tingkat penangkap, Python reticulatus yang tertangkap 57.26% pada kelas umur jantan dewasa, 40.17% pada kelas umur betina dewasa, 1.71% betina muda dan 0.85% jantan muda dan tidak ada bayi yang tertangkap. Pada pengumpul perantara, prosentase Python reticulatus jantan dewasa dan betina dewasa yang dikumpulkan sama, yaitu masing-masing 42.86%, sedangkan betina muda yang dikumpulkan sebanyak 8.93% dan jantan muda 5.36%.
5.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara ukuran Python reticulatus jantan dan betina yang tertangkap, baik pada penangkap maupun pada pengumpul perantara. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kelamin bukan merupakan kriteria penangkapan. Penangkapan cenderung mengikuti permintaan pasar dengan ukuran tertentu.
6.2.
SARAN Saran yang bisa disampaikan untuk upaya pemanfaatan yang lestari adalah
sebagai berikut: 1.
Perlu dilakukan pendataan penangkap, pengumpul perantara dan lokasi tangkapnya oleh otoritas pengelola. Langkah ini dilanjutkan dengan melakukan pembinaan dan sosialisasi aturan dalam penangkapan satwaliar serta memfasilitasi penangkap agar bisa mendapatkan ijin secara resmi yang dilakukan secara berkesinambungan. Otoritas pengelola perlu memperketat pengawasan terhadap perlakuan yang memperhatikan animal welfare.
2.
Perlu dilakukan pembinaan pada habitat tangkap dan bersarang mengingat habitat tersebut merupakan lahan dengan penggunaan intensif oleh manusia. Pembinaan ini dilakukan agar habitat tersebut bisa tetap terjaga dan mendukung keberadaan Python reticulatus.
3.
Perlu dicantumkan lokasi pengambilan secara detail pada surat ijin tangkap dan dilakukan rotasi agar tidak terjadi pemusatan lokasi pengambilan yang nantinya bisa berdampak pada terancamnya kelestarian
105
Python reticulatus di lokasi tersebut. Kondisi populasi dan lokasi tangkap perlu disurvey agar bisa menggambarkan potensi Python reticulatus di lokasi tertentu sehingga bisa ditetapkan jumlah kuota dan lokasi penangkapan dengan tepat demi kelestarian Python reticulatus di alam. 4.
Perlu ada batasan ukuran Python reticulatus yang boleh dan tidak boleh ditangkap. Ukuran ini bisa didasarkan pada ukuran yang diminta oleh pasar, yaitu ular yang bisa menghasilkan kulit dengan harga yang paling mahal, yaitu ukuran kulit diatas 350 cm atau ular dengan ukuran panjang badan diatas 250 cm ketika masih hidup.
106
DAFTAR PUSTAKA
[BOSF] Borneo Orangutan Survival Foundation. 2008. Panduan Lapangan Amfibi dan Reptil di Area Mawas Propinsi Kalimantan Tengah (Catatan di Hutan Lindung Beratus). Palangkaraya: Borneo Orangutan Survival Foundation [BPS Kab. Kapuas] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kapuas. 2012. Keadaan Geografi.
http://kapuaskab.bps.go.id/index.php/en/login/geografi (diunduh 31 Agustus 2012) [BPS Kab. Kapuas] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kapuas. 2012. Keadaan Iklim.
http://kapuaskab.bps.go.id/index.php/en/login/keadaan-iklim (diunduh 31 Agustus 2012) [BPS Kab. Kotawaringin Barat] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kotawaringin Barat. 2012. Kependudukan. http://kobarkab.bps.go.id/index.php?option =com_content&view=category&id=3&Itemid=10 (diunduh 31 Agustus 2012) (diunduh 31 Agustus 2012) [BPS Kab. Kotawaringin Timur] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kotawaringin Timur. 2012.Geografis Kotawaringin Timur. http://kotimkab.bps.go.id/ index.php?module=&id_kategori=4 (diunduh 31 Agustus 2012) [BPS Kab. Pulang Pisau] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pulang Pisau. 2012. Geografis. http://pulpiskab.bps.go.id/geografiska-annaler.html (diunduh 31 Agustus 2012) [BPS Kab. Pulang Pisau] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pulang Pisau. 2012. Kependudukan. http://pulpiskab.bps.go.id/penduduk.html (diunduh 31 Agustus 2012) [BPS Kab. Pulang Pisau] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pulang Pisau. 2012. Pertanian. http://pulpiskab.bps.go.id/pertanian.html (diunduh 31 Agustus 2012) [CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 2012 Member Countries. http://www.cites.org/ eng/disc/parties/alphabet.php (diunduh 28 Agustus 2012) [Disbun. Kalimantan Tengah] Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Tengah. 2012. Rekapitulasi Luas Areal dan Produksi Provinsi Kalimantan Tengah Komoditi Kelapa Sawit Tahun 2011. Palangkaraya: Dinas Perkebunan Propinsi Kalimantan Tengah
108
[Dit KKH] Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati. 2010. Handbook CITES. Jakarta: Departemen Kehutanan. [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2010a. Keputusan Dirjen PHKA No. SK.18/IV-KKH/2010 tanggal 8 Februari 2010 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwaliar yang Termasuk Appendix CITES Tahun 2010. Jakarta: PHKA [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2010b. Keputusan Dirjen PHKA No, SK.201/IV-KKH/2010 tanggal 31 Desember 2010 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwaliar yang Termasuk Appendix CITES Tahun 2011. Jakarta: PHKA [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2011. Keputusan Dirjen PHKA No, SK.261/IV-KKH/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwaliar yang Termasuk Appendix CITES Tahun 2012. Jakarta: PHKA [IPCC] Intergovermental Panel on Climate Change. 2007. Summary for Policymakers. Editor: Solomon SD et al. Contribution of Working Group I to The Fourth Assesment Report of The Intergovermental Panel on Climate Change. New York: Cambridge University Press [Kemdiknas] Kementerian Pendidikan Nasional. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php ( diunduh 4 Agustus 2012) [Pemkab Katingan] Pemerintah Kabupaten Katingan. 2012. Kependudukan Administrasi. http://katingankab.go.id/selayang-pandang/kependudukanadministrasi.html (diunduh 31 Agustus 2012) [Pemkab Katingan] Pemerintah Kabupaten Katingan. 2012. Pertumbuhan Ekonomi. http://katingankab.go.id/selayang-pandang/pertumbuhanekonomi.html (diunduh 31 Agustus 2012) [Pemkab Kotawaringin Timur ] Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur. 2012. Perekonomian. http://kotimkab.go.id/potensi-daerah/perekonomian. html (diunduh 31 Agustus 2012) [Pemkab Kotawaringin Timur ] Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur. 2012. Kondisi Geografis. http://kotimkab.go.id/selayang-pandang/kondisigeografis.html (diunduh 31 Agustus 2012) [Pemkab Seruyan ] Pemerintah Kabupaten Seruyan. 2012. Geografis. http://www.seruyankab.go.id/main/index.php?option=com_content&task=vi ew&id=22&Itemid=80 (diunduh 27 September 2012)
109
[Sekditjen PHKA] Sekretariat Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2007a. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam hayati dan Ekosistemnya. Di dalam Peraturan Perundang-undangan di Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta: Sekditjen PHKA. Hlm. 1-35 [Sekditjen PHKA] Sekretariat Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2007b. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwaliar. Di dalam Peraturan Perundangundangan di Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta: Sekditjen PHKA. Hlm.245-286 [Sekditjen PHKA] Sekretariat Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2007c. Keputusan Menteri Kehutanan No. 447/KptsII/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwaliar. Di dalam Peraturan Perundang-undangan di Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta: Sekditjen PHKA. Hlm.432-500 [TPBC] The Province of British Columbia. 1998. Inventory Methods of Snakes, Standards for Components of British Columbia Biodiversity No. 38. Victoria: Resource Inventory Comittee Abel F. 1998. Status, Population Biology and Conservation of the Water Monitor (Varanus salvator), The Reticulated Python (Python reticulatus) and The Blood Python (Python curtus) in Sumatera and Kalimantan Indonesia – Project Report North Sumatera. Mertenseilla 9:111-117 Alikodra HS. 1997. Teknik Pengelolaan Satwaliar Dalam rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor: yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB Arifin Z. Development Policies of The Leather Industry in Indonesia. Mertenseilla. 9:33-35 Bailey JA. 1984. Principles of Wildlife Management. Canada: John Wiley & Sons Inc. Barker DG, Barker TM. 1994. Python of The World Volume I, Australia. Sydney: The Herpetocultural Library Bennet AF, Saunders DA. 2010. Habitat Fragmentation and Landscape Change. Di dalam Sodhi NS, Ehrlich PR, editor. Conservation Biology for All. New York: Oxford University Press
110
Bickford D, Howard SD, Ng DJJ, Sheridan JA. 2010. Impacts of Climate Change on The Amphibians and Reptiles of South Asia. Biodivers Conserv. 19:1043-1062 Caughley G. 1977. Analysis of Vertebrate Populations. New York: John Wiley & Sons Ltd. Damers GB, Weatherhead PJ, Row JR. 2004. Phenotypic Consequences of Nest Site Selection in Black Rat Snakes (Elaphe obsoleta). Can. J Zool. 82:449456 Danielson E, Levin EW. Abrams J. 2002. Meteorology 2nd Edition. New York:McGraw Hill Duvall D, Schuett GW, Arnold SJ. 1998. Ecology and Evolution of Snake Mating System. Di Dalam Seigel RA., Collins JT., editor. Snakes Ecology and Behaviour. New York: McGraw-Hill Inc. Hillman PE. 1969. Habitat Specifity in Three Sympatric Species of Ameivera (Reptilia:Teiidae). Ecology. 50(3):476-481 Hoesel JKP. 1959. Ophidia Javanica. Bogor: Pertjetakan Archipel Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Indriyanto. 2010. Ekologi Hutan. Jakarta: PT. Bumi Aksara Iskandar DT, Colijn E. 2001. Checklist of Southeast Asian and New Guinean Reptiles Part 1: Serpentes. Jakarta: Binamitra Iskandar DT, Erdelen WR. 2006. Conservation of Amphibians and Reptiles in Indonesia: Issues and Problems. Amphibian and Reptile Conservation 4(1):60-81 Janzen FJ. 1994. Climate Change and Temperature-dependent Sex determination in Reptiles. Population Biology. 91: 7487-7490 Keogh JS, Barker DG, Shine R. 2001. Heavily Exploited But Poorly Known: Systematics and Biogeography of Commercially Harvested Pythons (Python curtus Group) in Southeast Asia. Biological Journal of Linnean Society. 73:113-129 Krebs CJ. 2001. Ecology, The Experimental Analysisof Distribution and Abundance. New York: Harper & Row Publisher Kusrini MD. 2009. Pedoman Penelitian dan Survei Amfibi di Alam. Bogor: Pustaka Media Konservasi
111
Lin HZ, Ji X, Luo LG, Ma XM. 2005. Incubation Temperature Affects Hatcing Succes, Embrionic Expenditure of Energy and Hatchling Phenotypes of Prolonged Egg Retainining Snake Deinagkistrodon acustus (Viperidae). Journal of Thermal Biology. 30:289-297 Mardiastuti A, Soehartono T. 2003. Perdagangan Reptil Indonesia di Pasar Internasional. Di dalam: Harvey T, editor. Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. Prosising Seminar Hasil Penelitian Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Bogor, 8 Mei 2003. Bogor: IPB. 181:131-144 Melisch R. 1998. Wildlife Trade, Sustainable Use and Conservation Implication from WWF and Traffic Perspective. Mertensiella. 9:1-8 Mexico T. 2000. "Python reticulatus" (On-line), Animal Diversity Web. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Python_re ticulatus.html [diunduh pada 11 Maret 2012] Nijman V. 2010. An Overview of International Wildlife Trade from Southeast Asia. Biodivers Conserv. 19:1101-1114 Odum EP. 1994. Dasar-dasar Ekologi Edisi Ketiga. Samingan T, penerjemah; Srigandono B, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Fundamentals of Ecology Pearce DW, Turner RK. 1990. Economics of Natural Resources and The Environment. New York: Harvester Wheatsheaf Pearson D, Shine R, Williams A. 2002. Geographic Variation in Sexual Dimorphism Within a Single Snake Species (Morelia spilota. Pythonidae). Ecologia. 131:418-426 Peres CA. 2010. Overexploitation. Di dalam Sodhi NS, Ehrlich PR, editor. Conservation Biology for All. New York: Oxford University Press Petchey OL, Phearson PTMc, Casey TM, Morin PJ. 1999. Environmental Warming Alters Food-web Structure and Ecosystem Function. Letters to Nature Reinert HK. 1993. Habitat Selection in Snakes. Di Dalam Seigel RA., Collins JT., editor. Snakes Ecology and Behaviour. New York: McGraw-Hill Inc. Riquier MA. 1998. Status, Population Biology and Conservation of the Water Monitor (Varanus salvator), The Reticulated Python (Python reticulatus) and The Blood Python (Python curtus) in Sumatera and Kalimantan Indonesia – Project Report Kalimantan. Mertenseilla 9:119-129 Santoso S. 2012. Aplikasi SPSS pada Statistik Non Parametrik. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
112
Semiadi G, Sidik I. 2011. Karakteristik Penangkapan Ular di Wilayah Sumatera Utara. Biota. 16(2): 206-213 Shea MO. 2007. Boas and Pythons of The World. London: New Holland Publishers (UK) Ltd. Shine R et al. 1998a. Monitoring Monitors: A Biological Perspective on the Commercial Harvesting of Indonesian Reptiles. Mertensiella 9:61-68 Shine R, Ambariyanto, Harlow PS, Mumpuni. 1999. Reticulated Pythons in Sumatera: Biology, Harvesting and Sustainability. Biological Conservation. 87:349-357 Shine R, Bull JJ. 1977. Skewed Sex Ratio in Snakes. Copeia. 2: 228-234 Shine R, Harlow PS, Keogh JS, Boeadi. 1998b. The Influence of Sex and Body Size on Food Habits of a Giant Tropical Snake. Functional Ecology 12: 248-258 Shine R, Slip DJ. 2006. Biological Aspects of The Adaptive Radiation of Australasian Pythons (Serpentes:Boidae). Herpetologica. 46(3): 283-290 Shine R. 1978. Sexual Size Dimorphism and Male Combat in Snakes. Ecologia. 33:269-277 Shine R. 1998. Snakes. Di dalam Cogger HG, Zweifel RG, editor. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Sydney: University of New South Wales Press Ltd. Sinclair ARE, Fryxell JM, Caughley G. 2006. Wildlife Ecology, Conservation and Management Second Edition. Malden: Blackwell Publishing Siregar J. 2012. Upaya Pelestarian Pemanfaatan Ular Sanca Batik (Python reticulatus) dan Ular Sanca Darah Merah (Python brongersmai) Ditinjau Dari Aspek Penangkapan dan Pemasarannya di Propinsi Sumatera Utara [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Siswomartono D. 1998. Review of The Policy and Activities of Wildlife Utilization in Indonesia. Mertenseila. 9:27-31 Snyder GK, Weathers WW. 1975. Temperature Adaptation in Amphibian. The American Naturalist. 109:93-101 Soemarwoto O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Djambatan Stachlschmidt ZR. 2011. Intra-offspring Tradeoffs of Pythons Egg Brooding Behaviour [Disertasi]. Arizona: Arizona State University
113
Stuebing RB, Inger RF. 1999. A Field Guide to The Snakes of Borneo. Kinabalu: Natural History Publication (Borneo) Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan TRAFFIC. 2008. What’s Driving the Wildlife Trade? A review of Expert Opinion on Economic and Social Drivers of The Wildlife Trade and Trade Control Effort in Cambodia, Indonesia, Lao PDR and Vietnam. East Asia and Pacific Region Suatainable Development Discussion Papers. East Asia and Pacific Region Sustainable Development Department. Washington DC: World Bank Tweedie MWF. 1983. The Snakes of Malaya. Singapore: The Singapore National Printers (Pte) Ltd. Webb GJW, Vardon MJ. 1998. Reptile Harvest, Sustainable Use and Trade. Mertenseilla. 9:45-60 Wheather RJ. 1994. Foreword Past Progress and Future Chalenge. Di dalam Olney PJS, Mace GM, Feistner ATC, editor. Creative Conservation, Interactive Management of Wild and Captive Animals. London: Chapman & Hall. hlm 3-31 Wood DW, Bjorndal KA. 2000. Relation of Temperature, Moisture, Salinity and Slope to Nest Site Selection in Loggerhead Sea Turtles. Copeia. 2000(1):119 Yuwono FB. 1998. The Trade of Live Reptiles in Indonesia. Mertensiella 9:9-15
114
LAMPIRAN
116
117
Lampiran 1 Hasil uji normalitas data habitat tangkap One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
N Normal Parametersa,b
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
Most Extreme Differences Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
Ketinggian Tempat 75 35.4533 7.73076 .158 .158 -.088 1.369 .047
pH Air Suhu Air 75 75 4.8133 27.0800 .22016 .40403 .255 .099 .243 .099 -.255 -.097 2.209 .855 .000 .458
Suhu Udara 75 28.6533 .81362 .269 .269 -.185 2.330 .000
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test KelembabanUdara N Normal Parametersa,b
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
75 74.3200 7.02536 .112 .064 -.112 .969 .305
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Kedalaman Parit N 75 a,b Normal Parameters Mean 30.4800 Std. Deviation 15.13307 Most Extreme Absolute .273 Differences Positive .273 Negative -.111 Kolmogorov-Smirnov Z 2.361 Asymp. Sig. (2-tailed) .000
Lebar Parit 75 94.3200 42.94030 .287 .287 -.185 2.489 .000
Most Extreme Differences
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
118
Lampiran 2 Hasil uji t test dua sampel independen untuk suhu air dan kelembaban udara pada habitat tangkap Group Statistics KeberadaanUlar SuhuAir Kelembaban Udara
N
Std. Std. Error Deviation Mean
Mean
tidak ditemukan ular
58
27.0483
.34603
.04544
ditemukan ular
17
27.1882
.55889
.13555
tidak ditemukan ular
58
73.6552
7.41395
.97350
ditemukan ular
17
76.5882
5.03809
1.22192
SuhuAir
KelembabanUdara
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances F Sig. Equal variances 8.592 .005 assumed Equal variances not assumed Equal variances 3.085 .083 assumed Equal variances not assumed
Independent Samples Test t-test for Equality of Means t SuhuAir
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Kelembaban Udara Equal variances assumed Equal variances not assumed
-1.261
Sig. (2-tailed)
df
Mean Difference
73
.211
-.13996
-.979 19.727
.339
-.13996
73
.131
-2.93306
-1.877 38.413
.068
-2.93306
-1.527
119
Independent Samples Test t-test for Equality of Means
Std. Error Difference SuhuAir
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
Equal variances assumed
.11099
-.36116
.08124
Equal variances not assumed
.14296
-.43844
.15852
1.92037
-6.76035
.89423
1.56230
-6.09466
.22853
Kelembaban Udara Equal variances assumed Equal variances not assumed
120
Lampiran 3 Hasil uji Kolmogorov-Smirnov pada habitat tangkap Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
KetinggianTempat
pHAir
SuhuUdara
Kedalaman_Parit
Lebar_Parit
Frequencies KeberadaanUlar tidak ditemukan ular ditemukan ular Total tidak ditemukan ular ditemukan ular Total tidak ditemukan ular ditemukan ular Total tidak ditemukan ular ditemukan ular Total tidak ditemukan ular ditemukan ular Total
Test Statisticsa Ketinggian Tempat Most Extreme Absolute .257 Differences Positive .257 Negative -.052 Kolmogorov-Smirnov Z .930 Asymp. Sig. (2-tailed) .352
N 58 17 75 58 17 75 58 17 75 58 17 75 58 17 75
pH Air .125 .059 -.125 .452 .987
Suhu Udara .088 .088 -.072 .320 1.000
Test Statisticsa
Most Extreme Differences
Absolute Positive Negative
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: KeberadaanUlar
Kedalaman Parit .360 .000 -.360 1.305 .066
Lebar Parit .301 .301 -.129 1.092 .184
121
Lampiran 4 Hasil uji normalitas data habitat sarang One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Suhu Udara N Normal Parametersa,b Most Extreme Differences
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
127 27.4543 .45211 .090 .090 -.063 1.017 .252
Kelembaban Udara 127 80.6457 6.15994 .287 .240 -.287 3.231 .000
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Kedalaman Sarang N 127 a,b Normal Parameters Mean 106.6929 Std. Deviation 51.49118 Most Extreme Absolute .158 Differences Positive .158 Negative -.111 Kolmogorov-Smirnov Z 1.781 Asymp. Sig. (2-tailed) .004
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
pH Tanah 127 4.8583 .15037 .355 .326 -.355 3.996 .000
Lebar Mulut Sarang 127 29.5433 11.20286 .161 .161 -.097 1.819 .003
122
Lampiran 5 Hasil uji t test dua sampel independen untuk suhu udara pada habitat bersarang Group Statistics Keberadaan Ular SuhuUdara Tidak ada ular Ada ular
N 114 13
Mean 27.4535 27.4615
Std. Deviation .42053 .69347
Std. Error Mean .03939 .19233
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances F Sig. SuhuUdara Equal variances 4.987 .027 assumed Equal variances not assumed Independent Samples Test t-test for Equality of Means Sig. Mean t df (2-tailed) Difference SuhuUdara Equal variances -.060 125 .952 -.00803 assumed Equal variances not -.041 13.025 .968 -.00803 assumed Independent Samples Test t-test for Equality of Means
SuhuUdara Equal variances assumed Equal variances not assumed
95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Difference Lower Upper .13288 -.27101 .25495 .19632
-.43208
.41602
123
Lampiran 6 Hasil uji Kolmogorov-Smirnov habitat bersarang Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Frequencies KeberadaanUlar KelembabanUdara Tidak ada ular Ada ular Total pHTanah Tidak ada ular Ada ular Total KedalamanSarang Tidak ada ular Ada ular Total LebarMulutSarang Tidak ada ular Ada ular Total
N 114 13 127 114 13 127 114 13 127 114 13 127
Test Statisticsa Kelembaban Udara Most Extreme Differences
Absolute Positive Negative
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
.401 .000 -.401 1.369 .057
pH Tanah .098 .098 .000 .334 1.000
Test Statisticsa
Most Extreme Differences
Absolute Positive Negative
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: KeberadaanUlar
Lebar Mulut Sarang .140 .114 -.140 .479 .976
Kedalaman Sarang .192 .099 -.192 .655 .785
124
Lampiran 7 Hasil uji normalitas data morfometri Python reticulatus yang tertangkap pada tingkat penangkap One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Panjang Panjang kepala badan SVL N 117 117 117 a,b Normal Parameters Mean 8.8470 290.8547 299.7221 Std. Deviation 1.52460 51.54999 52.15430 Most Extreme Absolute .241 .099 .095 Differences Positive .241 .099 .095 Negative -.221 -.094 -.092 Kolmogorov-Smirnov Z 2.603 1.068 1.030 Asymp. Sig. (2-tailed) .000 .204 .239 One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Panjang ekor Jarak mata Massa N 117 117 117 a,b Normal Parameters Mean 41.1538 3.3719 8.9937 Std. Deviation 14.16398 .85483 2.98571 Most Extreme Absolute .171 .163 .056 Differences Positive .108 .163 .056 Negative -.171 -.132 -.053 Kolmogorov-Smirnov Z 1.851 1.762 .602 Asymp. Sig. (2-tailed) .002 .004 .862
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
125
Lampiran 8
Hasil uji t test dua sampel independen pada morfometri Python reticulatus yang tertangkap pada tingkat penangkap Group Statistics Std. Std. Error Penangkap N Mean Deviation Mean Panjang_badan Penangkap 50 300.4800 67.29989 9.51764 A Penangkap B 33 279.7879 34.56313 6.01667 SVL Penangkap 50 308.8360 67.96710 9.61200 A Penangkap B 33 288.6970 35.34339 6.15249 Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances F Sig. Panjang_bada Equal variances 10.293 .002 n assumed Equal variances not assumed SVL Equal variances 10.078 .002 assumed Equal variances not assumed Independent Samples Test t-test for Equality of Means
Panjang badan
SVL
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
t 1.628
Sig. Mean df (2-tailed) Difference 81 .107 20.69212
1.838 77.128
.070
20.69212
1.566
81
.121
20.13903
1.765 77.465
.082
20.13903
126
Panjang badan
SVL
Independent Samples Test t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Difference Lower Upper Equal variances 12.71091 -4.59859 45.98284 assumed Equal variances not 11.25992 -1.72865 43.11289 assumed Equal variances 12.86069 -5.44972 45.72778 assumed Equal variances not 11.41244 -2.58386 42.86192 assumed
Group Statistics Penangkap Panjang badan Penangkap A SVL
Penangkap C Penangkap A Penangkap C
N
Mean 50 300.4800 27 289.3704 50 308.8360 27 298.3956
Std. Std. Error Deviation Mean 67.29989 9.51764 36.84077 67.96710 37.61559
7.09001 9.61200 7.23912
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances F Sig. Panjang badan Equal variances 8.596 .004 assumed Equal variances not assumed SVL Equal variances 8.428 .005 assumed Equal variances not assumed
127
Panjang badan
SVL
Independent Samples Test t-test for Equality of Means Sig. Mean t df (2-tailed) Difference Equal variances .794 75 .430 11.10963 assumed Equal variances not .936 74.96 .352 11.10963 assumed 5 Equal variances .738 75 .463 10.44044 assumed Equal variances not assumed
Panjang badan
SVL
.868 74.92 3
.388
10.44044
Independent Samples Test t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Difference Lower Upper Equal variances 13.98629 -16.75249 38.97175 assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
11.86818
-12.53318
34.75244
14.14638
-17.74060
38.62149
12.03310
-13.53112
34.41201
Group Statistics Penangkap Panjang badan Penangkap B
N Mean 33 279.7879
Std. Deviation 34.56313
Penangkap C Penangkap B Penangkap C
27 289.3704 33 288.6970 27 298.3956
36.84077 35.34339 37.61559
SVL
Std. Error Mean 6.01667 7.09001 6.15249 7.23912
128
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances F Sig. Panjang badan Equal variances .014 .906 assumed Equal variances not assumed SVL Equal variances .014 .905 assumed Equal variances not assumed
Panjang badan
SVL
Panjang badan
SVL
Independent Samples Test t-test for Equality of Means Sig. Mean t df (2-tailed) Difference Equal variances -1.037 58 .304 -9.58249 assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
-1.031 54.125
.307
-9.58249
-1.027
58
.309
-9.69859
-1.021 54.165
.312
-9.69859
Independent Samples Test t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Difference Lower Upper Equal variances 9.23875 -28.07586 8.91087 assumed Equal variances not 9.29885 -28.22457 9.05959 assumed Equal variances 9.44047 -28.59574 9.19857 assumed
129
Panjang badan
SVL
Independent Samples Test t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Difference Lower Upper Equal variances 9.23875 -28.07586 8.91087 assumed Equal variances not 9.29885 -28.22457 9.05959 assumed Equal variances 9.44047 -28.59574 9.19857 assumed Equal variances not assumed
9.50043
-28.74447
9.34730
130
Lampiran 9 Hasil uji Kruskal-Wallis morfometri Python reticulatus tertangkap pada penangkap Kruskal-Wallis Test Ranks Penangkap Panjang_kepala Penangkap A Penangkap B Penangkap C Total Panjang_ekor Penangkap A Penangkap B Penangkap C Total Jarak_mata Penangkap A Penangkap B Penangkap C Total Massa Penangkap A Penangkap B Penangkap C Total
N 50 33 27 110 50 33 27 110 50 33 27 110 50 33 27
Mean Rank 45.13 60.73 68.31 57.74 53.12 54.26 79.27 32.35 39.78 48.23 55.98 68.37
110 Test Statisticsa,b
Panjang kepala Panjang ekor Jarak mata 11.992 .476 53.379 2 2 2 .002 .788 .000
Chi-Square df Asymp. Sig. a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Penangkap
Massa 7.004 2 .030
131
Lampiran 10 Hasil uji t test dua sampel independen pada morfometri Python reticulatus jantan dan betina yang tertangkap pada tingkat penangkap Group Statistics Jenis_kelamin
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Panjang
betina
49
296.8571
54.52866
7.78981
badan
jantan
68
286.5294
49.24792
5.97219
SVL
betina
49
305.5657
55.04384
7.86341
jantan
68
295.5112
49.95784
6.05828
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances F Panjang badan
Sig.
Equal variances assumed
.767
.383
.755
.387
Equal variances not assumed SVL
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Independent Samples Test t-test for Equality of Means
t Panjang badan
df
Sig.
Mean
(2-tailed)
Difference
Equal variances assumed
1.070
115
.287
10.32773
Equal variances not
1.052 97.001
.295
10.32773
Equal variances assumed
1.029
115
.306
10.05454
Equal variances not
1.013 97.328
.314
10.05454
assumed SVL
assumed
132
Independent Samples Test t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of Std. Error Difference Panjang badan
the Difference Lower
Upper
Equal variances assumed
9.65381
-8.79461
29.45007
Equal variances not
9.81571
-9.15373
29.80919
Equal variances assumed
9.77058
-9.29910
29.40817
Equal variances not
9.92652
-9.64603
29.75510
assumed SVL
assumed
133
Lampiran 11 Hasil uji Kruskal-Wallis morfometri Python reticulatus jantan dan betina tertangkap pada penangkap Kruskal-Wallis Test Ranks Jenis_kelamin Panjang_kepala betina jantan Total Panjang_ekor betina jantan Total Jarak_mata betina jantan Total Massa betina jantan Total
N 49 68 117 49 68 117 49 68 117 49 68 117
Mean Rank 53.47 62.99 59.70 58.49 62.50 56.48 61.47 57.22
Test Statisticsa,b Panjang_kep ala Panjang_ekor Jarak_mata Chi-Square 2.496 .037 .926 df 1 1 1 Asymp. .114 .848 .336 Sig. a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Jenis_kelamin
Massa .447 1 .504
134
Lampiran 12 Hasil uji normalitas morfometri Python reticulatus yang terkumpul pada pengumpul perantara One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Panjang
Panjang
kepala
badan
N Normal Parameters
a,b
56
56
56
8.8023
276.0000
284.8023
3.41870
57.91467
59.99152
Absolute
.201
.143
.110
Positive
.201
.143
.110
Negative
-.097
-.089
-.084
1.506
1.069
.826
.021
.203
.503
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
SVL
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Panjang ekor N Normal Parameters
a,b
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Massa
56
56
56
38.7857
3.0370
8.3214
12.14116
.81388
4.08004
Absolute
.254
.206
.192
Positive
.160
.206
.192
Negative
-.254
-.101
-.078
1.902
1.544
1.436
.001
.017
.032
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
Jarak mata
135
Lampiran 13 Hasil uji t test dua sampel independen pada morfometri Python reticulatus jantan dan betina yang terkumpul pada tingkat pengumpul perantara Group Statistics Std. Error Jenis kelamin SVL
Panjang badan
N
Mean
Std. Deviation
Mean
betina
29
282.2121
56.86057
10.55874
jantan
27
287.5844
64.15516
12.34667
betina
29
273.5862
55.02760
10.21837
jantan
27
278.5926
61.81253
11.89583
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances F SVL
Equal variances assumed
Sig. .532
.469
.493
.486
Equal variances not assumed Panjang badan
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Independent Samples Test t-test for Equality of Means
t SVL
Mean
(2-tailed)
Difference
Equal variances assumed
-.332
54
.741
-5.37238
Equal variances not
-.331 52.07
.742
-5.37238
assumed Panjang badan
df
Sig.
4
Equal variances assumed
-.321
54
.750
-5.00639
Equal variances not
-.319 52.15
.751
-5.00639
assumed
6
136
Independent Samples Test t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of Std. Error Difference SVL
the Difference Lower
Upper
Equal variances assumed
16.17500
-37.80130
27.05655
Equal variances not
16.24584
-37.97094
27.22619
Equal variances assumed
15.61613
-36.31483
26.30206
Equal variances not
15.68202
-36.47242
26.45964
assumed Panjang badan
assumed