BIOLOGI REPRODUKSI ULAR SANCA BATIK (Phyton reticulatus)
SKRIPSI
Oleh
DWI MATSWAPATI B04104097
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN DWI MATSWAPATI (B04104097). Biologi Reproduksi Ular Sanca Batik (Python reticulatus). Dibawah bimbingan Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mendapatkan data dasar biologi reproduksi pada ular sanca (Python reticulatus) agar dapat digunakan sebagai pengetahuan dasar atau acuan pengetahuan dalam menangkarkan ular sanca. Selanjutnya dalam penulisan diuraikan pembahasan mengenai biologi reproduksi pada ular betina dan jantan antara lain siklus lemak, pematangan follikel, induksi perkawinan dan pengaruh faktor-faktor lingkungan. Ular sanca batik memiliki corak sisik yang merupakan perpaduan antara warna coklat, emas, hitam dan putih. Selama masa hidup ular sanca, panjang tubuhnya dapat mencapai 11 meter dan bobot badan mencapai 158 Kg. Ular sanca batik menyukai habitat hutan tropis, banyak ditemukan di dekat sungai. Ular sanca batik termasuk satwa ektotermik, sehingga untuk mencukupi kebutuhan panasnya, satwa ini harus mengambil panas dari lingkungan. Perilaku berjemur di bawah sinar matahari langsung yang biasa disebut basking adalah untuk mendapatkan panas. Satwa buruan ular sanca sangat bervariasi dari mamalia dan unggas / burung. Berbeda dengan ular-ular yang mampu membunuh mangsanya dengan bisa, ular sanca membelit untuk melumpuhkan mangsanya. Satwa yang dikategorikan dalam appendix II ini, banyak dimanfaatkan oleh manusia sebagai hewan peliharaan atau koleksi kebun binatang yang berguna dalam tujuan pendidikan masyarakat. Daging dan organ dalamnya dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Ular sanca betina memiliki sepasang ovarium dan oviduk sebagai saluran reproduksinya. Pada ular sanca jantan memiliki sepasang testes, tubuli seminiferi sebagai saluran reproduksinya dan sepasang hemipenis sebagai alat kopulasinya. Sedangkan kloaka, merupakan pintu dari tiga saluran (pencernaan, eksresi dan reproduksi). Sexing pada ular sanca batik dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu; pengamatan ukuran spurs, ketebalan ekor dan dengan probing. Dewasa kelamin pada ular sanca pada umur antara 2-4 tahun dengan panjang tubuh pada jantan 2,0-2,5 meter pada jantan dan 3,0 meter pada betina. Perilaku gelisah dan menolak makan merupakan gambaran ular betina yang sedang berahi / siap kawin. Adapun fase perilaku kawin pada ular antara lain fase pengejaran, fase pencarian ekor, fase penjajaran dan fase intromisi. Ular sanca bunting selama 4,5 bulan. Selama masa kebuntingan, induk ular akan mencari lokasi sarang yang cocok dan optimal untuk perkembangan telur-telurnya. Setelah meletakkan telur-telurnya, induk ular sanca akan mengeraminya. Terdapat korelasi positif antara pengaruh kebutuhan makanan dan bobot badan ular betina terhadap keberhasilan konsepsi setelah perkawinan, dimana ular betina yang kurang mendapatkan asupan makanan tidak dapat bereproduksi dan yang beruntung masih dapat bereproduksi walaupun hanya memiliki satu kali kesempatan mendapatkan musim yang baik dimana saat mangsa melimpah maka ular dapat menumpuk lemak dan kembali dapat bereproduksi. Energi yang tinggi diperlukan untuk ular betina bereproduksi. Energi tersebut digunakan untuk
pematangan folikel, vitellogenesis, regulasi hormon, dan untuk menghangatkan lingkungan sarang pada saat mengerami telur-telurnya. Energi yang diperlukan didapatkan dari hasil metabolisme cadangan lemak yang dimilikinya dan dari asupan yang didapat sebelum masa perkawinan. Tiga hormon yang secara langsung mempengaruhi reproduksi pada ular yaitu progesteron, estradiol dan oksitosin. Betina yang telah siap kawin akan memberikan tanda-tanda dengan mensekresikan feromon. Feromon yang disekresikan oleh betina akan dapat dideteksi oleh jantan. Selama periode kebuntingan induk ular memerlukan suhu basking yang antara 19-31 0C. Di habitatnya, induk ular yang telah bunting akan memilih lokasi dengan mikrohabitat yang optimal bagi kebuntingan dan telur-telur yang dieraminya. Berbeda dengan keadaan di penangkaran, penangkar harus dapat memodifikasi kandang agar mirip habitatnya sehingga ular tetap dapat nyaman untuk berkembang biak. Jumlah telur yang dapat dihasilkan induk ular sanca batik di penangkaran dalam satu kali reproduksi antara 15-50 butir, ukurannya tergantung kapasitas induk dan jumlah telur yang akan dihasilkan. Semua induk ular sanca memberikan kehangatan / panas untuk telur-telurnya dengan cara mengeraminya, induk ular dapat menaikkan suhu eksternal sampai 5 0C dengan membuat gesekan dari kontraksi otot-otot perut. Suhu inkubasi telur antara 30 0C dan lama pengeraman 2,5 bulan. Diketahui jumlah, ukuran dan kemampuan untuk bertahan hidup anakan bergantung dari kondisi kesehatan, ukuran dari induk dan variasi ukuran dari telur-telur yang dihasilkan. Berbeda dengan betina, ular jantan tidak memerlukan batas ambang simpanan energi untuk memulai reproduksi, akan tetapi resiko kematian tetap ada. Selain itu, ada kemungkinan jantan yang tidak cukup suplai makanannya menyebabkan libidonya rendah sehingga tidak dapat melakukan proses perkawinan. Setelah dewasa kelamin setiap jantan akan siap mengawini betina reproduktif setiap waktunya, karena kesiapan jantan dalam reproduksi berdasarkan perkembangan organ kelaminnya / testis. Sehingga, sangat jarang frekuensi kesiapan betina untuk bereproduksi tidak diterima jantan. Faktor lingkungan dan kelainan / penyakit dapat mempengaruhi reproduksi dari ular sanca batik. Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi reproduksi ular sanca batik antara lain; suhu, cuaca, photoperiode, musim, kelembaban dan ketersediaan air. Terdapat beberapa kelainan yang dapat mengganggu reproduksi pada ular sanca batik. Kelainan reproduksi yang sering terjadi di penangkaran adalah distokia dan prolapsus hemipenis. Distokia adalah gangguan reproduksi pada betina berupa kesulitan dalam partus atau pengeluaran telur dari saluran reproduksi (oviduk). Umumnya di penangkaran penanganan kasus ini menggunakan preparat oksitosin, untuk merangsang kontraksi otot polos pada uterus. Prolapsus hemipenis adalah ketidakmampuan pejantan untuk menarik kembali salah satu atau keseluruhan dari hemipenisnya. Pada kasus ini, hemipenis akan dengan cepat terkontaminasi oleh kotoran-kotoran dari kandang sehingga dapat terinfeksi, atau rusak bahkan akhirnya dapat mengakibatkan mati. Tehnik pembedahan dipakai dalam penanganan kasus prolapsus hemipenis dikarenakan pembengkakkan. Sedangkan penanganan kasus prolapsus hemipenis dikarenakan ketidakmampuan Musculus retractor hemipenis untuk menarik kembali hemipenis berupa terapi pemberian preparat kalsium (Ca2+).
BIOLOGI REPRODUKSI ULAR SANCA BATIK (Phyton reticulatus)
SKRIPSI Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Oleh Dwi Matswapati B04104097
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi
: Biologi Reproduksi Ular Sanca Batik (Phyton reticulatus)
Nama Mahasiswa
: Dwi Matswapati
NRP
: B04104097
Menyetujui, Pembimbing
Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc
Mengetahui, Wakil Dekan
Dr. Nastiti Kusumorini
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Desember 1986 di Jakarta sebagai anak kedua dari lima bersaudara. Ayah bernama Sentijono dan ibu bernama Enden Nurussyamsiah. Penulis masuk sekolah dasar pada tahun 1992 di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pondok Gede 1, Bekasi sampai kelas empat kemudian melanjutkan ke SDN Cipinang Melayu 06 Pagi, Makasar, Jakarta Timur pada tahun dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studinya ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Majlis Tafsir Al Qur’an (SLTP MTA), Gemolong, Surakarta dan lulus pada tahun 2001.
Pada tahun yang sama juga penulis
melanjutkan studinya ke Sekolah Menengah Umum Majlis Tafsir Al Qur’an (SMU MTA), Surakarta dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI IPB). Sebagai tugas akhir dari studi di FKH IPB penulis mengambil topik reproduksi ular sanca dibawah bimbingan Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc. Di tingkat SMU, penulis aktif dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) sebagai Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (KABID HUMAS) periode 2002 / 2003 dan Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) sebagai anggota. Sedangkan di tingkat perguruan tinggi penulis aktif dalam Himpunan Minat dan Profesi Satwaliar (HIMPRO SATLI) FKH IPB sebagai Koordinator Divisi Pendidikan periode 2005 / 2006 dan Ketua pada periode 2006 / 2007. Penulis juga aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor Komisariat FKH IPB sebagai Departemen Penelitian, Pengembangan dan Promosi Kader periode 2007 / 2008 dan Kepala Bidang Penelitian, Pengembangan dan Pembinaan Anggota (P3A) periode 2008 / 2009.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat serta karunia-Nya sehingga penyusunan dan penulisan skripsi dengan judul Biologi Reproduksi Ular Sanca Batik (Python reticulatus) dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun dengan metode studi pustaka atas inisiatif dan rasa keingintahuan penulis tentang pola reproduksi ular, khususnya berkaitan dengan siklus lemak. Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan informasi berharga mengenai biologi reproduksi ular sanca batik dan dapat bermanfaat dalam menjaga kelestarian spesiesnya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: -
Dr. drh. Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc. sebagai dosen pembimbing yang memberikan bantuan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini hingga selesai.
-
Dr. drh. Muhammad Agil, MSc.Agr., Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtyas, MSc., drh. Agus Lelana, SpMP, MSi., ibu Elok BR, mba Imelda, pak Deni N, ibu Nastiti K dan om Lukman atas masukannya sebagai penambah wacana bagi penulis.
-
Staf perpustakaan FKH-IPB dan LSI-IPB juga staf penangkaran atas kerelaannya membantu penulis mendapatkan informasi.
-
Serta semua pihak dan fasilitas, yang telah membantu penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu penulis menerima dengan senang hati kritik dan saran yang bersifat membangun. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya. Bogor, Penulis
2009
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR …………………………..………………………...
vii
DAFTAR ISI ………………………………...…………………………….
viii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………...
x
DAFTAR TABEL …………………………………………………...…….
xi
PENDAHULUAN ……………………………………………..………….
1
PENDEKATAN MASALAH …………………………...………………...
4
METODOLOGI ……………………………………...……………………
6
BIOLOGI ULAR SANCA ……………………...………………………...
7
Sejarah, Klasifikasi dan Morfologi ……...…………………………….
8
Habitat dan Persebaran ……………………………………………......
9
Perilaku, Makanan dan Perburuan ……………………………...……..
10
Nilai Ekonomi dan Status Konservasi ……………………...…………
11
Fisiologi Reproduksi …………………………………...……………...
13
Anatomi Organ Reproduksi …………………………………….....
14
Penentuan Jenis Kelamin ………………………………………….
15
Siklus Reproduksi ……………………………………………....…
18
Fisiologi Reproduksi Betina …………………………………...……...
20
Faktor Asupan ………………………………………………...…...
21
Kebutuhan makanan dan bobot badan …………...………..
21
Kebutuhan energi bereproduksi ……………...……….…...
22
Faktor Intrinsik …………………………………………………….
22
Regulasi hormonal ………………………………...……….
23
Siklus lemak dan pematangan folikel ………...……………
25
Perkawinan ……………………………...…………………
28
Fisiologi kebuntingan ……………………..……………….
29
Inkubasi telur ……………………………………………....
30
Daya hidup anakan …………………………………...……
32
Fisiologi Reproduksi Jantan ………………………………...…………
34
Faktor Asupan ……………………………………...……………...
34
Faktor Intrinsik …………………………………………………….
35
Faktor-faktor Lingkungan …………………….……………………….
36
Suhu ………………………………..………………………………
36
Cuaca …………………………...………………………………….
37
Photoperiod ………………………………...……………………...
37
Musim ……………………………………………………………...
38
Kelembaban …………………………………………………..……
38
Ketersediaan Air …………………………………………..……….
39
KELAINAN-KELAINAN REPRODUKSI …………………………..…...
40
Distokia ………………………………………………………..………
40
Prolapsus Hemipenis ……………………………………..……………
41
RANGKUMAN DAN SARAN …………………………..………………..
43
Rangkuman …………………..…………………….………………….
43
Saran ……………….…………………………….……………………
43
DAFTAR PUSTAKA ……………………………..……………………….
44
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1
Vestigial pelvic gridles dan Pelvic spurs pada ular sanca .....
7
Gambar 2
Ular sanca batik / kembang (Python reticulatus) ……...…...
9
Gambar 3
Sungai kecil sebagai salah satu habitat yang disukai ular sanca batik (Python reticulatus) ….……………...…….
10
Gambar 4
Perilaku membelit pada pola makan ular sanca ……………
11
Gambar 5
Probe untuk sexing pada ular dan tehnik probing pada ular …………………………………………….....…...
17
Gambar 6
Analogi sexing pada ular dengan menggunakan tangan …...
17
Gambar 7
Fase Intromisi pada perkawinan ular sanca batik …...……..
20
Gambar 8
Hipotesa pengaruh dari corpus luteum (CL) terhadap proses pematangan ovum sampai pelepasan telur …...……..
24
Gambar 9
Tahap-tahap pada pematangan folikel ……………...…..….
27
Gambar 10
Tahap-tahap pada siklus lemak dan pematangan folikel dalam siklus reproduksi ular ……………………………….
Gambar 11
Hipotesa kerja dari corpus luteum dan pengaruh hormon reproduksi betina pada ular …………..…………………….
Gambar 12
28 30
Perbandingan volume kuning telur pada telur ular dengan telur ayam ………………………………………….
31
Gambar 13
Pengeraman telur oleh induk ular sanca batik ………….….
32
Gambar 14
Anakan ular sanca yang baru menetas (Neonate) hasil penangkaran, terlihat vermiculite sebagai alas dalam inkubator ……………………………………………….…..
33
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Tujuan utama perdagangan satwaliar berdasarkan kelompok takson ………………………………………..
Tabel 2
12
Spesies ular Indonesia yang diperdagangkan ke luar negeri dengan menggunakan konvensi CITES serta kuota per spesies tahun 2000 ……………………………
Tabel 3
13
Kedalaman probe pada determinasi sex ular sanca dengan metode probing (ukuran dengan satuan sisik subkaudal) …………………………………………
Tabel 4
18
Parameter lingkungan yang optimal pada beberapa spesies ular sanca ………………………………………..
36
PENDAHULUAN Indonesia diakui sebagai salah satu negara biodiversity, artinya negara ini memiliki keragaman jenis spesies baik dari tumbuhan maupun satwanya. Para ilmuwan percaya bahwa negara ini memiliki 10-20% dari tumbuhan dan satwa yang ada di dunia. Dalam dokumen Bappenas yang berjudul “Biodiversity Action Plan for Indonesia” tercatat bahwa pada tahun 1993 Indonesia memiliki sekitar 10% jenis tumbuhan berbunga dunia (25000 jenis), 12% jenis mamalia dunia (515 jenis, dimana 36% merupakan satwa endemik), 16% dari jenis reptil dunia, 17% dari jenis burung dunia (1531 jenis, dimana 20% merupakan satwa endemik) dan sekitar 20% jenis ikan dunia (Soehartono dan Ani 2003). Dalam ilmu pengetahuan yang semakin berkembang, penelitian dengan aspek biologi hewan lebih banyak terfokus pada kelas mamalia.
Hal ini
berlangsung karena mamalia dirasakan lebih mempunyai banyak manfaat dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, dewasa ini beberapa jenis reptil mulai banyak dijadikan sebagai satwa kesayangan. Sehingga perlu adanya peningkatan kegiatan pengkajian dan penelitian pada satwa reptil, agar masyarakat umum mengetahui keuntungan dan kerugian satwa reptil ini. Nenek moyang reptil diperkirakan ada pada periode Permian, sekitar 250 juta tahun yang lalu dimana kura-kura dan penyu merupakan bangsa reptil tertua sedangkan ular merupakan bangsa termuda. Reptil diklasifikasikan dalam 3 ordo dan 4 subordo. Ada sekitar 3000 spesies kadal, 2700 spesies ular, 200 spesies kura-kura dan penyu, 140 kadal tak berkaki dan satu jenis tuatara (Soehartono dan Ani 2003). Kemungkinan bertambahnya daftar spesies maupun perubahan dalam taksonomi bukanlah hal yang mustahil karena para peneliti masih terus mengkaji beberapa spesies yang belum terklasifikasikan. Sebagai contoh, sebelum tahun 2000 ular sanca digolongkan dalam keluarga Boidae, setelah tahun 2000 ular sanca digolongkan dalam keluarga Pythonidae. Masyarakat Indonesia di pedalaman telah lama memanfaatkan satwa reptil, khususnya ular.
Masyarakat Papua di sekitar hutan memburu reptil sebagai
sumber protein dan kulitnya dimanfaatkan untuk membuat tifa (salah satu alat musik tabuh dalam tradisi suku pedalaman di Papua).
Sebagian penduduk
Sumatra, Kalimantan dan Jawa berburu reptil untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku obat-obatan tradisional.
Namun, tidak sedikit masyarakat yang
menganggapnya sebagai satwa berbahaya yang dapat melukai bahkan membunuh manusia dan hewan ternak sehingga mereka sering diburu dan dibunuh. Keberadaan ular di alam merupakan fenomena yang unik sekaligus mengundang banyak pertanyaan. Selain karakter dari salah satu jenis reptil ini cukup unik dan penuh misteri juga pengembangan studi yang amat minim memunculkan paradigma masyarakat awam tentang ular cenderung negatif. Namun demikian, berdasarkan mitos yang diceritakan turun-temurun ular juga mendapat tempat sebagai satwa pujaan. Dunia medis pun mengambil lambang ular sebagai maskot. Beberapa jenis satwaliar Indonesia telah lama menjadi “duta” bagi negaranya. Banyak dari orang asing yang belum pernah berkunjung ke Indonesia, tetapi mereka telah mengetahui Indonesia melalui hidupanliar Indonesia, terutama jenis-jenis yang endemik. Komodo (Varanus komodoensis) sebagai contoh, telah lama dipelihara di beberapa kebun binatang Amerika Serikat dan di beberapa negara Eropa. Mereka telah pula mendapatkan pengetahuan mengenai Indonesia dari pelajaran mengenai ekologi dan biologi hidupanliar yang mereka peroleh di bangku sekolah atau perguruan tinggi.
Hidupanliar juga berperan dalam
mekanisme terjalinnya hubungan internasional dalam mempererat kerjasama negara-negara yang menjadi anggota di dalamnya. Convention on International Trade in Endanggered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) contohnya, disusun sebagai perjanjian internasional guna melindungi dan mengkonservasikan hidupanliar dan habitatnya yang kemudian dirumuskan dalam beberapa strategi konservasi untuk diimplementasikan (Soehartono dan Ani 2003). Hidupanliar harus senantiasa diperhatikan, dijaga dan dilestarikan demi kelangsungan spesies tersebut. Ketidakhadiran salah satu spesies di alam akan menggeser kesetimbangan yang telah ada. Hal ini disebabkan spesies-spesies tersebut memiliki tugas dan fungsinya masing-masing yang tidak tergantikan di alam. Konservasi satwaliar sangat berperan penting dalam menjaga kelangsungan hidup spesies-spesies tersebut di alam dan hal ini merupakan tanggung jawab manusia sebagai makhluk paling sempurna di muka bumi ini.
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mendapatkan data dasar biologi reproduksi pada ular sanca (Python reticulatus) agar dapat digunakan sebagai pengetahuan dasar atau acuan pengetahuan dalam menangkarkan ular sanca. Selanjutnya dalam penulisan diuraikan pembahasan mengenai biologi reproduksi pada ular betina dan jantan antara lain siklus lemak, pematangan folikel, induksi perkawinan dan pengaruh faktor-faktor lingkungan.
PENDEKATAN MASALAH Peningkatan permintaan satwaliar khususnya reptil baik dalam bentuk olahan maupun hidup yang melebihi kuota pemanfaatan hidupanliar sesuai data dan kesepakatan yang telah ada pada perjanjian-perjanjian di level nasional, regional, maupun internasional akan menyebabkan degradasi populasi dari spesies-spesies yang ada. Manusia pun telah banyak mengeksploitasi alam yang menjadi habitat dari satwaliar. Menyebabkan angka degradasi populasi beberapa spesies menjadi semakin besar, yang menjadikan spesies tersebut langka kemudian punah. Banyaknya permintaan akan ular terutama ular sanca baik dalam keadaan hidup maupun dalam bentuk olahan dikhawatirkan akan menambah daftar satwaliar yang terancam punah. Sementara fungsi dari upaya-upaya konservasi belum dapat maksimal terlaksana, maka perlu adanya pengoptimalan upaya-upaya konservasi dengan kerjasama dari seluruh stake holder terkait konservasi ini. Dalam usaha menjaga kelestarian spesies ular sanca maupun spesies lainnya dilakukan pemeliharaan satwa dengan habitat buatan yang dimodifikasi agar mirip aslinya dinamakan penangkaran (captive breeding). Sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 8 tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar, penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwaliar dengan tetap memperhatikan kemurnian jenisnya. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwaliar, pengembangbiakan jenis di luar habitatnya wajib memenuhi 4 syarat: menjaga kemurnian jenis, menjaga keanekaragaman genetik, melakukan penandaan dan sertifikasi serta membuat buku daftar silsilah (studbook). Salah satu hal penting dalam penangkaran adalah kemampuan reproduksi dari satwa tersebut, sehingga diperlukan adanya data dasar pengetahuan reproduksi pada ular sanca sebagai acuan dalam manajemen reproduksi pada lembaga-lembaga konservasi khususnya dalam menangkarkan ular.
Sebagaimana diketahui, pengenalan tentang ular dalam buku, jurnal, maupun artikel ilmiah lainnya telah banyak ditulis akan tetapi informasi yang disajikan tidaklah menyeluruh.
Sehingga diperlukan informasi yang lebih
komprehensif dalam suatu penulisan.
METODOLOGI Tulisan ini disusun dengan membandingkan data-data yang sudah ada dari beberapa buku, jurnal, maupun hasil-hasil tulisan yang disusun secara ilmiah yang dimiliki beberapa lembaga pendidikan dan atau konservasi serta data hasil korespondensi personal pada beberapa penangkaran di Indonesia.
Koleksi
pustaka lebih banyak membahas aktivitas ular sanca di penangkaran, sehingga secara umum data reproduksi ular sanca yang akan dibahas lebih banyak menggambarkan kondisi pada penangkaran. Karya ini disusun terhitung mulai Desember 2008 hingga Maret 2009 berlokasi di kampus Fakultas Kedokteran Hewan - Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB).
Pustaka didapatkan dari
perpustakaan
perpustakaan
Taman
Safari
Indonesia
(TSI),
FKH-IPB,
perpustakaan pusat Institut Pertanian Bogor (IPB) dan beberapa jurnal yang didapat melalui situs internet.
BIOLOGI ULAR SANCA Ular adalah reptil yang tidak memiliki kaki dan bertubuh panjang. Ular memiliki sisik seperti kadal yang kemudian sama-sama digolongkan ke dalam reptil bersisik (squamata). Perbedaannya adalah kadal pada umumnya berkaki, memiliki lubang telinga, dan kelopak mata yang dapat dibuka tutup. Akan tetapi untuk kasus tertentu ada kadal tak berkaki misalnya Ophisaurus spp. (Redaksi Ensiklopedia Indonesia 2003). Ular merupakan salah satu subordo dari ordo squamata yang paling sukses berkembang di dunia. Satwa ini hidup di sebagian besar belahan dunia kecuali antartika (Fowler 1986), menghuni berbagai habitat, mulai dari gunung, hutan, gurun, dataran rendah, lahan pertanian, lingkungan pemukiman, sampai ke lautan (Mehrtens 1987). Pythonidae merupakan salah satu keluarga ular yang mencakup ular besar seperti ular sanca batik (Python reticulatus) dan ular sanca bodo (Python molurus molurus/ bivittatus) dan juga ular kerdil seperti New World Python / Loxocemus bicolor. Ular sanca batik termasuk ular primitif dengan adanya vestigial pelvic gridles dan sisa penjuluran ekstremitas yang terbentuk sepasang berupa pelvic spurs (Gambar 1). Pelvic spurs berlokasi di samping kloaka, dengan fungsi lebih berkembang untuk jantan sebagai alat bantu dalam percumbuan dan kopulasi. Semua ular sanca ovipar (bertelur) berbeda dengan sepupunya ular boa ovovivipar (bertelur dan beranak) (Mehrtens 1987).
Gambar 1
(a) Vestigial pelvic gridles dan (b) pelvic spurs pada ular sanca (Mader 2006).
Sejarah, Klasifikasi dan Morfologi Python reticulatus (Gambar 2) memiliki banyak sebutan baik di antero dunia dan beberapa daerah di Indonesia. Di Inggris disebut reticulated python, di Jerman disebut netzpython, di Prancis disebut python rěticulě, di jawa disebut ular puspo kajang dan di Ambon disebut ular petola (Soespandi 2004; Moris 1975). Selain nama-nama di atas, satwa ini memiliki beberapa nama umum berdasarkan keunikan dari corak dan warna sisik seperti ular sanca kembang dan ular sanca batik. Sebutan ini diberikan karena coraknya yang menarik, tetapi ada sedikit perbedaan interpretasi masyarakat dalam mendeskripsikan dan menarasikan corak tersebut. Sebutan lainnya yaitu ular sanca / piton karena ular ini merupakan ular besar yang paling banyak dapat ditemui di lingkungan masyarakat. Ular sanca batik memilki klasifikasi sebagai berikut (Iskandar dan Colijn 2002): Domain
: Eukarya
Kingdom
: Animalia
Subkingdom : Eumetazoa Superphylum : Deuterostomia Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Reptilia
Subclass
: Lepidosauria
Ordo
: Squamata
Subordo
: Serpentes
Infraordo
: Alethinophidia
Family
: Pythonidae
Subfamily
: Pythoninae
Genus
: Python
Species
: Python reticulatus
Gambar 2
Ular sanca batik / kembang (Python reticulatus) (Anonim 2009a).
Ular sanca batik memiliki corak sisik yang sangat unik dan indah yang merupakan perpaduan antara warna coklat, emas, hitam dan putih (Tweedie 1984 dan Mehrtens 1987).
Ular sanca batik merupakan ular terpanjang di dunia
bersaing dengan Anaconda (Eunectes murinus) dalam rekor ular terbesar yang pernah hidup (Mehrtens 1987). Selama masa hidup ular sanca, panjang tubuhnya dapat mencapai 11 meter (Pope 1949; Mehrtens 1987) dan bobot badan dapat mencapai 158 Kg (Mexico 2000).
Habitat dan Penyebaran Banyak jenis-jenis ular yang sepanjang hidupnya hampir tidak pernah menyentuh tanah (arboreal), jenis yang lain hidup melata di atas tanah atau menyusup dibawah serasah atau tumpukan bebatuan (terestrial). Sementara yang lain hidup akuatik atau semi akuatik di sungai-sungai, rawa, danau dan laut. Ular sanca batik memiliki habitat hutan yang lebat rumputnya dan termasuk hutan
tropis, banyak ditemukan di dekat sungai dan area yang dekat dengan sungaisungai kecil maupun danau (Mehrtens 1987) sebagaimana terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3
Habitat ular sanca batik (Python reticulatus) (Anonim 2009b).
Ular sanca tersebar di wilayah Asia Tenggara dan pulau-pulau di sekitar laut pasifik antara lain ditemukan di Filipina, Borneo, Jawa, Sumatra, Timor Timur dan Seram (Ross dan Marzec 1990; Mattison 2005 dan Mehrtens 1987). Selain itu, ular sanca juga dapat ditemukan di beberapa pulau-pulau kecil dalam teritorinya seperti yang sering terlihat oleh penduduk di sungai atau dermaga di urban area (Mehrtens 1987).
Perilaku, Makanan dan Perburuan Ular sanca batik termasuk satwa ektotermik, yaitu satwa dengan produksi panas tubuh sebagai hasil aktivitas metabolisme yang sangat terbatas dan mekanisme kontrol pengembalian produksi panas sangat rendah (Aiello 1998), sehingga untuk mencukupi kebutuhan panasnya, satwa ini harus mengambil panas dari lingkungan. Perenang handal ini (Mehrtens 1987) berjemur di bawah sinar matahari langsung yang biasa disebut basking untuk mendapatkan panas. Setelah mendapatkan panas tubuh, metabolisme segera akan berlangsung terutama dalam proses mencerna makanan. Suhu yang dibutuhkan ular sanca batik untuk dapat beraktivitas antara 26,7-30,0 0C, dengan suhu optimal pada 30 0C (Tabel 4, Stoops dan Wright 1996). Selain itu, ular lebih banyak diam (Moris dan Moris 1965) untuk meminimalisasi energi yang terpakai dari hasil proses pencernaan makanannya.
Satwa buruan ular sanca sangat bervariasi dari mamalia dan burung / unggas. Bahkan sesekali mereka menyantap kadal besar seperti biawak (Varanus sp.) (Mehrtens 1987). Semua reptil muda termasuk ular di habitatnya telah dapat berburu mencari makanannya sendiri (Browning 1973). Berbeda dengan ular-ular yang mampu membunuh mangsanya dengan bisa, ular sanca membelit untuk melumpuhkan mangsanya (Gambar 4). Setelah mendapatkan sasaran mangsanya, ular sanca mengejar kemudian dengan ekornya membelit mangsanya dan dengan mulutnya yang lebar menggigit dan mencengkram mangsanya. Mangsa yang terbelit selain sudah tidak dapat lagi bergerak karena sudah tidak dapat lagi menggunakan alat geraknya (otot dan tulang), mangsa juga kesulitan bernafas karena rongga dadanya yang tertekan kuat (Daniel 1992). Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membunuh mangsa dengan ukuran cukup besar seperti rusa / kambing, tetapi ketika mangsa mencoba melepaskan diri ular sanca akan semakin mengencangkan belitannya. Setelah mangsa benar-benar mati, ular sanca menyantapnya dimulai dari kepala agar lebih mudah dalam proses menelan (Daniel 1992; Grzimek 1975).
Gambar 4
Perilaku membelit pada pola makan ular sanca (Robsons 1996). Nilai Ekonomi dan Status Konservasi
Satwa reptil banyak dimanfaatkan oleh manusia sebagai hewan peliharaan (pet animal) atau koleksi kebun binatang / zoo yang berguna dalam tujuan pendidikan masyarakat. Daging dan organ dalamnya dimanfaatkan sebagai bahan makanan, seperti sate ular yang tersedia di beberapa restoran hingga pedagang
kaki lima di beberapa kota seperti Jakarta dan Yogyakarta. Darah dan empedunya turut dimanfaatkan dalam industri obat-obatan tradisional yang dipercaya menambah vitalitas pria, sebagian besar di ekspor ke Cina. Sedangkan dari kulitnya dapat dibuat aksesoris seperti tas, ikat pinggang, sepatu, jaket, maupun produk olahan lainnya. Rincian mengenai tujuan utama perdagangan satwaliar dapat dilihat pada Tabel 1. Undang-undang di Indonesia belum mengkategorikan ular sanca batik sebagai satwa dengan status dilindungi. Akan tetapi sejak tahun 1975 CITES telah memasukannya dalam kategori satwa appendix II (UNEP-WCMC 2009). Tabel 1
Tujuan utama perdagangan satwaliar berdasarkan kelompok takson (Soehartono dan Ani 2003).
Jenis Mamalia Burung Reptil Amphibi Ikan Koral Sarang Walet Serangga
Tujuan utama perdagangan satwaliar berdasarkan kelompok takson Atraksi kebun binatang, hewan peliharaan, diambil bulunya, penelitian biomedis, perhiasan, alat peraga pendidikan Hewan peliharaan, perhiasan, kebun binatang dan pertunjukan taman burung, alat peraga pendidikan Hewan peliharaan, obat-obatan, pakaian, tas, sepatu, dompet, ikat pinggang, atraksi kebun binatang, terraria, alat peraga pendidikan Hewan peliharaan, makanan, obat-obatan, diambil kulitnya Hiasan akuarium Hiasan akuarium, aksesoris Bahan dasar obat-obatan dan obat kuat Perhiasan, koleksi
Dalam CITES ada 3 appendix yakni: Appendix I. Daftar jenis tumbuhan dan satwaliar yang paling terancam dalam kepunahannya. CITES melarang perdagangan internasional dari jenis ini kecuali dengan tujuan untuk ilmu pengetahuan dan riset dengan syarat kepemilikan izin untuk ekspor dan impor; Appendix II.
Daftar jenis tumbuhan dan satwaliar yang belum mendekati
kepunahan. Akan tetapi, perdagangan internasional dari jenis ini memerlukan perizinan (ekspor dan impor) juga terdapat kuota perdagangannya; Appendix III. Daftar kelompok jenis tumbuhan dan satwaliar yang dibutuhkan beberapa negara dan telah diperdagangkan secara internasional (yang masuk dalam anggota CITES). Regulasi perdagangannya juga ditetapkan oleh CITES untuk mencegah adanya eksploitasi.
Tabel 2
Spesies ular Indonesia yang diperdagangkan ke luar negeri dengan menggunakan konvensi CITES serta kuota per spesies tahun 2000 (Soehartono dan Ani 2003).
Jenis ular Sanca Irian Liasis papuana Boa New Guinea Candoia aspera Boa Pohon Irian Candoia carinata Sanca Bibir Putih Morelia albertisii Orane-bellied Black Water Python Liasis fuscus Sanca Air Indonesia Liasis mackloti Sanca Batu Morelia amethistina Sanca Hitam Morelia boleani Sanca Karpet Morelia spilota variegata
Kuota 270 ekor (hidup) 1170 ekor (hidup) 1108 ekor (hidup) 450 ekor (hidup) 270 ekor (hidup) 450 ekor (hidup) 450 ekor (hidup) 110 ekor (hidup) 360 ekor (hidup) 441760 lembar kulit, 3240 ekor (hidup) 158400 lembar kulit, 3600 ekor (hidup) 132300 lembar kulit, 2700 ekor (hidup) 90 ekor (hidup)
Sanca Darah Python curtus Sanca Batik Python reticulatus Ular Sinduk Naja sputatrix Sinduk Raja Ophiophagus Hannah
Appendix II II II II II II II II II II II II II
Pada tabel 2 dapat dilihat jenis-jenis ular di Indonesia yang diperdagangkan ke luar negeri dengan konvensi CITES serta kuotanya pada tahun 2000. Salah satunya ular sanca batik / kembang (Python reticulatus) pada tahun 2000 kuota ekspor sebesar 158400 lembar kulit dan 3600 ekor hidup. Para penangkar reptil lebih banyak memperdagangkan kelompok satwa appendix II, kelompok satwa appendix I hanya 1-2 kali dalam satu tahun.
Selain karena perizinan dari
perdagangan satwa-satwa appendix I sangat rumit, permintaan pasar pun lebih banyak pada satwa kelompok appendix II daripada satwa appendix I.
Fisiologi Reproduksi Perilaku berkembang biak dan kesuburan adalah dua aspek yang sangat sensitif terhadap bermacam-macam faktor eksternal / lingkungan dan juga penting berkenaan dengan perkembangbiakan satwaliar di penangkaran atau lembagalembaga konservasi eksitu lainnya.
Faktor internal / fisiologis dari satwa
merupakan faktor yang penting untuk mengawali satwa dalam proses reproduksi. Pada tahun 1990, ular sanca tidak banyak ditemukan berkembang biak pada penangkaran (Ross dan Marzec 1990).
Namun, setelah tahun 2000 banyak
penangkar yang telah berhasil menangkarkan ular sanca termasuk ular sanca batik.
Anatomi Organ Reproduksi Bentuk ovarium pada kelas reptilia, tidak seperti pada mamalia. Beberapa reptil memiliki bentuk ovarium yang berkantung-kantung (saccular), sedangkan jenis lainnya, salah satunya ular, tidak berkantung dan memanjang mengikuti bentuk tubuhnya yang memanjang dan sempit. Ular sanca memiliki sepasang ovarium dan besar ukuran ovariumnya tergantung pada ukuran dari satwa itu sendiri. Akan tetapi, terdapat perbedaan ukuran antara ovarium kanan dimana lebih berkembang daripada yang kiri. Selain itu, ovarium terletak di anterior dari ginjal, dimana ginjal kanan lebih anterior daripada ginjal kiri, sehingga posisi ovarium kanan lebih anterior dibandingkan ovarium kiri (Meredith dan Redrobe 2002). Beberapa ova (sel telur) akan matang secara serempak, walaupun ada beberapa ova yang matang lebih cepat dan mempunyai ukuran yang lebih besar daripada ova yang belum matang. Pada waktu ovulasi ovum akan keluar dari ovarium dan memasuki duktus Mullerii / oviduk dimulai dari celah sempit (slitlike ostia) yang berfungsi sebagai pintu masuk (Murphy et al. 1981). Oviduk pada kelas reptilian terbagi atas tiga bagian dimana setiap bagian memiliki perbedaan fungsi.
Pada bagian pangkal oviduk umumnya terdapat
banyak kelenjar yang akan mengsekresikan albumin. Namun pada jenis ular kelenjar-kelenjar ini sangat kurang, sehingga telur yang dihasilkan memiliki jumlah albumin yang sangat sedikit. Bagian ujung dari oviduk merupakan lokasi dimana ovum yang telah terbuahi diberikan cangkang oleh kelenjar-kelenjar khusus (Murphy et al. 1981), pada ular yang melahirkan anakannya bagian ini berfungsi dalam proses pembentukan plasenta (Fowler 1986).
Dinding pada
oviduk memiliki silia (penjuluran-penjuluran halus, kecil, dan pendek. Silia ini membantu perjalanan ovum dari ostium hingga ke bagian ujung dari oviduk. Oviduk juga memiliki sulcus spermaticus, suatu legokan sebagai jalur yang dilalui spermatozoa didalam oviduk, yang merupakan mekanisme tersendiri dimana sperma dapat mencapai ovum untuk membuahi sebelum ovum tersebut masuk pada bagian pembungkusan dengan cangkang (Fowler 1986). Ukuran oviduk bertambah besar seiring mendekati musim kawin, selain itu oviduk memiliki struktur otat halus yang dapat berkontraksi kuat untuk mengeluarkan telur-telur
pada waktunya. Kebanyakan reptil memiliki ukuran oviduk kanan lebih besar daripada kiri (Murphy et al. 1981). Bagian ujung dari oviduk langsung berhubungan dengan kloaka. Sepasang oviduk memasuki kloaka melalui pintu masing-masing.
Selain itu, kloaka
merupakan pintu dari 3 saluran yakni saluran reproduksi yang berasal dari oviduk, saluran pencernaan yang berasal dari usus besar dan saluran urinasi yang berasal dari ureter (Fowler 1986). Jumlah testis pada jantan terdiri dari sepasang menggantung dalam rongga tubuh seperti halnya ovarium. Testes terletak di anterior dari ginjal, dimana ginjal kanan lebih anterior daripada ginjal kiri, sehingga posisi testis kanan lebih anterior dibandingkan testis kiri (Meredith dan Redrobe 2002). Memiliki bentuk oval dan akan bertambah besar ukurannya pada musim kawin (Goin et al. 1911). Mesonephros pada masa embrional yang telah mengalami degenerasi menyebabkan duktus Wolfii tidak lagi berfungsi sebagai saluran sekresi, akan tetapi hanya berfungsi sebagai saluran reproduksi yang berperan dalam jalur transportasi dan pematangan sperma yang disebut tubuli seminiferi (Goin et al. 1911). Alat kopulasi pada ular jantan yaitu hemipenis, memiliki dua sisi dan hanya satu sisi yang digunakan pada saat kopulasi (Meredith dan Redrobe 1981). Hemipenis memiliki bentuk berduri, diperkirakan berfungsi dalam membantu merangsang betina pada saat kopulasi. Jantan akan mengeluarkan salah satu dari hemipenisnya pada saat betina sudah menerima.
Mekanisme pengeluaran
hemipenis disebabkan oleh meningkatnya vaskularisasi pembuluh darah pada hemipenis. Setelah kopulasi selesai, jantan akan kembali memasukkan hemipenis, mekanisme ini dibantu oleh musculus retractor hemipenis (Fowler 1986).
Penentuan Jenis Kelamin Pentingnya pengetahuan tentang penentuan jenis kelamin pada ular sangat diperlukan dalam manajemen reproduksinya. Alat kelamin pada reptil berada dalam rongga tubuhnya, tidak seperti umumnya mamalia yang alat kelaminnya dapat diamati kasat mata (testes, kelenjar mamae dan vulva).
Tiga metode yang dapat dipakai untuk mengetahui jenis kelamin (sexing) pada ular. Pada ular-ular yang tergolong primitif termasuk sanca, pengamatan jenis kelamin dapat dibandingkan dari ukuran pelvic spurs.
Hal adalah
merupakan metode pertama yakni pengamatan bagian tubuh ular. Pada jantan bagian ini lebih panjang daripada betina. Pelvic spurs digunakan jantan pada waktu perkawinan, sedang betina tidak.
Sehingga, pada jantan terlihat lebih
berkembang dan panjang. Metode kedua dilakukan dengan mengamati proporsi bentuk bagian belakang (setelah kloaka) pada ular.
Hemipenis pada jantan
menyisip pada ekor, sehingga bagian belakang akan terlihat bengkak. Jadi, bagian belakang terlihat lebih datar untuk jantan, sedangkan pada betina terlihat membentuk legok tepat setelah kloaka. Metode ketiga sekaligus metode yang paling akurat dan sering digunakan umumnya adalah dengan probing, yaitu dengan memasukan probe (alat yang meruncing, halus dan tumpul pada ujungnya, Gambar 5a) ke dalam kloaka untuk mengetahui anatomi dari kloaka. Metode ini berbasis dari pengetahuan tentang perbedaan kedalaman antara kelenjar kloaka, yang berperan dalam mensekresi feromon yang berfungsi dalam menandai teritori dan memberi tanda kepada jantan bahwa betina siap kawin, pada betina dengan diverticulum hemipenis, yang dibentuk antara hemipenis kanan dan kiri (Fowler 1986), pada jantan. Langkah dari probing adalah, probe dimasukkan pada kloaka kearah kaudal setelah dilumuri pelicin, kemudian kedalaman probe yang dapat masuk diukur dengan satuan sisik subkaudal pada ular (Gambar 5b, Ross dan Marzec 1990). Kedalaman probe pada determinasi sex pada beberapa spesies ular sanca dengan metode probing dapat dilihat pada Tabel 3.
Probe yang dapat masuk Probe yang telah diberi pelicin
Hemipenis
Satu sisik subkaudal
Gambar 5
(a) Probe untuk sexing pada ular dan (b) tehnik probing pada ular (Mader 2006).
Terdapat juga perbedaan antara betina dan jantan ketika probe dimasukkan. Terasa dangkal dan lebar pada betina, tetapi pada jantan terasa panjang dan menyempit. Ini dapat dianalogikan dengan jarak antara ibu jari dengan telunjuk dan jarak antara telunjuk dengan jari tengah. Analogi sexing pada ular dengan menggunakan tangan disajikan pada Gambar 6.
Jantan Betina
Gambar 6
Analogi sexing pada ular dengan menggunakan tangan (Ross dan Marzec 1990).
Tabel 3
Kedalaman probe pada determinasi sex ular sanca dengan metode probing (ukuran dengan satuan sisik subkaudal) (Ross dan Marzec 1990).
Jenis Ular Chondropython viridis (ular sanca hijau) Liasis albertisii (ular bibir putih) Liasis boa (ular sanca cincin/gelang) Liasis boeleni (ular sanca “boelen”/hitam new guinea) Liasis children (ular sanca “children”) Liasis fuscus (ular sanca air Australia/ air coklat) Liasis mackloti (ular sanca air Indonesia/”maklot”) Liasis olivaceus (ular sanca “olive”) Liasis papuanus papuanus (ular sanca papua) Morelia amethistina amethistina (ular sanca amethystine Indonesia) Morelia amethistina kinghorni (ular sanca amethystine Australia) Morelia oenpelliensis (ular sanca “oenpelli”) Morelia spilota spilota (ular sanca berlian) Morelia spilota variegata (ular sanca karpet) Python curtus (ular sanca darah) Python molurus bivittatus (ular sanca Burmese/bodo) Python molurus molurus (ular sanca India/bodo) Python regius (ular sanca raja/bola) Python reticulates (ular sanca batik/kembang) Python sebae (ular sanca batu) Python timorensis (ular sanca timor)
Jantan 9-10 10-13 10-11 7-8 10-12 10-12 12-14 10-12 10-12 10-12 10 14 9-10 9-10 9 10-16 10-12 10 9-10 9-12 15
Betina 2 3 2-3 3 3-4 3-4 3-4 4 4 4-5 3-4 5 3-5 3-5 3-4 3-5 3-5 3 2-3 2 3
Siklus Reproduksi Pada hewan vertebrata umumnya siklus reproduksi merupakan rantaian proses yang dimulai dengan dewasa kelamin (pubertas) dimana terjadi pematangan gamet berupa spermatogenesis pada jantan dan siklus estrus (fase follikular dan fase luteal) pada betina, perkawinan yang bertujuan membuahi gamet betina (ovum) oleh gamet jantan (spermatozoa), kebuntingan, melahirkan anakan dan perkembangan anakan hingga dewasa kelamin. Dewasa kelamin pada ular sanca pada umur antara 2-4 tahun dengan panjang tubuh pada jantan antara 2,1-2,7 meter dan betina 3,4 meter (Mexico 2000). Ular sanca di penangkaran mencapai dewasa kelamin dengan panjang tubuh antara 2,0-2,5 meter pada jantan dan 3,0 meter pada betina. Namun, umur pubertas ular yang kurang asupan makanan dapat lebih terlambat. Perilaku gelisah dan menolak makan merupakan gambaran ular betina yang sedang berahi di penangkaran. Ular-ular yang tetap makan pada masa berahi, persentase produksi anakan yang sehat akan lebih tinggi. Pola perilaku menjelang masa kawin sangat penting diamati, sebagai peringatan dan langkah dalam mempersiapkan perjodohan karena pada masa ini ular akan sangat agresif.
Bahkan sering terjadi pertarungan baik antara jantan dengan jantan lainnya untuk memperebutkan betina, maupun antara jantan dengan betina yang siap kawin. Sebagai contoh pada kandang kelompok, ular yang lebih resesif akan terluka sehingga perlu dipisahkan, pengenalan antara betina dan jantan perlu dilakukan apalagi untuk ular-ular yang baru (dalam penangkaran), pemilihan indukan dan pejantan yang baik (misalnya tidak terlalu muda, memiliki bobot yang optimal dan dalam keadaan sehat) (Ross dan Marzec 1990). Adapun fase perilaku kawin pada ular antara lain: Fase pengejaran. Pada fase ini jantan akan mengejar betina yang sudah siap kawin.
Betina akan berjalan pelan di depan jantan.
Kemudian jantan akan
menjulurkan lidahnya ke seluruh tubuh betina dan bergerak erotis sangat pelan dan menggunakan spursnya untuk merangsang sambil menaiki betinanya. Jika usaha jantan ditolak, maka betina akan pergi meninggalkan jantan; Fase pencarian ekor. Fase ini betina akan mengangkat ekornya, sehingga ekor jantan akan bergerak mengelilingi ekor betina untuk mencari kloakanya. Jantan juga menggunakan spursnya untuk membantu betina mengangkat ekor ketika betina menolak untuk mengangkatnya; Fase penjajaran. Berikutnya jantan menyejajarkan ekornya dengan ekor betina sehingga kloakanya bertemu. Sekali lagi, spurs pada jantan digunakan untuk menyejajarkan ekor pasangan ini; Fase intromisi (Gambar 7).
Ketika betina sudah memberi tanda bahwa dia
menerima jantan, maka jantan akan memasukkan salah satu bagian hemipenisnya ke dalam kloaka betina. Penggunaan spurs oleh jantan terlihat pada ketiga fase awal. Jantan akan memasukan spurs pada kulit di antara sisik dan spurs akan bergetar 1-2 kali tiap detiknya untuk merangsang betina (Murphy et al. 1978). Ular tidak memiliki suara seperti katak yang memilki nyanyian dalam perilaku kawinnya, hanya beberapa spesies yang memiliki desisan akan tetapi hanya digunakan sebagai peringatan untuk predator dan mangsanya (Goin et al. 1911). Pada penangkaran, modifikasi dari suhu lingkungan dan photoperiod (intensitas pencahayaan) menunjukkan aktivitas perkawinan (Frye 1991a). Berarti, suhu lingkungan dan photoperiod dapat menginduksi dari siklus reproduksi.
Adapun pembahasan
tentang pengaruh suhu lingkungan dan photoperiod pada reproduksi ular, akan dibahas pada bab selanjutnya.
Gambar 7
Perkawinan ular sanca batik (Anonim 2008a).
Ular sanca bunting selama 4,5 bulan. Selama masa kebuntingan, induk ular akan mencari lokasi sarang yang cocok dan optimal untuk perkembangan telurtelurnya.
Setelah
meletakkan
telur-telurnya,
induk
ular
sanca
akan
mengeraminya.
Fisiologi Reproduksi Betina Ular betina menunjukkan fleksibilitas yang mengesankan dan beragam dalam cara-cara mereka bereproduksi. Sebagai contoh, betina dapat memilih pasangan kawin dan mekanisme kompetisi sperma yang akan mementukan genotip dari anakannya.
Ular betina juga memperlihatkan pemilihan dalam
membuat sarang bertelur, fisiologi dan regulasi suhu dan perilaku pada masa kebuntingan dan pengeraman sehingga dapat menentukan fenotip dari anakannya (Shine 2003).
Reproduksi memiliki keuntungan dan kerugian bagi kondisi
organisme yang akan bereproduksi (Bonnet et al. 2002). Keuntungannya sangat nyata, yaitu menghasilkan keturunan sebagai pelestari spesiesnya, sedangkan kerugiannya dapat meningkatkan angka kematian bagi betina ular yang akan menjadi induk (Plummer 1997 dan Gregory et al. 1999). Diantaranya faktor
kelaparan karena ular betina yang bereproduksi akan berpuasa sejak awal perkawinan hingga telur-telurnya tertetas, rentan menjadi mangsa dari predator karena selain harus mempertahankan dirinya dia juga harus mempertahankan telur-telurnya dari predator juga stress secara fisiologis karena pengaruh lingkungan yang suboptimal (Shine 2003).
Faktor Asupan Reproduksi pada ular betina berdampak pada keseimbangan energinya. Sebagai konsekuensi untuk mempersiapkan masa kebuntingan dan pengeraman, juga untuk mengatur suhu tubuh selama masa kebuntingan dan pengeraman tersebut berlangsung, ular betina harus memiliki cadangan lemak yang cukup dan mendapatkan asupan sebelum perkawinan berlangsung.
Dikarenakan selama
masa bunting dan mengeram nafsu makan ular sanca sangat menurun, hal ini menyebabkan rendah atau tidak adanya asupan makanan seperti pada masa tidak bereproduksi (Shine 2003). Terdapat korelasi positif antara pengaruh kebutuhan makanan dan bobot badan ular betina terhadap keberhasilan konsepsi setelah perkawinan. Sehingga penting untuk mengetahui hubungan antara kebutuhan makan dan bobot badan sebagai sumber energi untuk bereproduksi.
Kebutuhan makanan dan bobot badan.
Para ilmuwan dan ahli
herpetologi telah mengobservasi bahwa ada hubungan antara bobot badan dengan keberhasilan reproduksi pada reptil khususnya ular. Dimana betina yang kurang bobot badannya kurang sukses pula dalam perkawinan, bahkan proses ovulasi dapat terhambat.
Betina yang tidak cukup suplai makanannya akan menjadi
anorexia / kelaparan (Ross dan Marzec 1990), sehingga kemungkinan terjadinya kematian sebelum masa kebuntingan berlangsung.
Sebagai pilihan alternatif
untuk tetap bertahan hidup, induk hanya menghasilkan telur-telur yang infertil, tetapi tidak dapat menetas, ataupun menghasilkan telur yang anakannya kekurangan nutrisi. Alternatif ini merupakan sebuah mekanisme fisiologis yang dapat mempengaruhi dari fertilitas dan fekunditas. Kurangnya asupan makanan pada ular sanca bunting dikarenakan mereka puasa. Di habitatnya, ular sanca yang bunting dapat puasa selama 6-8 minggu sedangkan ular boa dapat puasa
hingga lebih dari 9 bulan.
Sehingga induk ular akan memanfaatkan seluruh
deposit lemak yang dimilikinya untuk dapat bereproduksi dan tetap bertahan hingga masa mengeram selesai (Ross dan Marzec 1990). Dapat disimpulkan bahwa di habitatnya ular yang kurang mendapatkan asupan makanan tidak dapat bereproduksi dan yang beruntung masih dapat bereproduksi walaupun hanya memiliki satu kali kesempatan mendapatkan musim yang baik dimana saat mangsa melimpah maka ular dapat menumpuk lemak dan kembali dapat bereproduksi.
Penerapan kontrol kuantitas dan frekuensi
pemberian pakan pada ular-ular yang akan dikawinkan di penangkaran dilakukan agar reproduksi terlaksana. Kebutuhan energi bereproduksi. Energi yang tinggi diperlukan untuk ular betina bereproduksi. Energi tersebut digunakan ntuk pematangan folikel, vitellogenesis, regulasi hormon, dan alokasi energi untuk menghangatkan lingkungan sarang pada saat mengerami telur-telurnya. Energi yang diperlukan didapatkan dari hasil metabolisme cadangan lemak yang dimilikinya dan dari asupan yang didapat sebelum masa perkawinan. Hal ini menjadi alasan mengapa ular betina yang siap bereproduksi nafsu makannya sangat meningkat. Jumlah dan ukuran telur dan anakan yang dihasilkan sangat dipengaruhi besar makanan yang didapatkan induk sebelum memulai masa kawin. Oleh karenanya pada habitat dimana melimpah makanannya, populasi kelompok ular akan sangat tinggi dan habitat dimana populasi predator rendah akan menyebabkan jumlah telur dan anakan yang dihasilkan akan jauh lebih tinggi dibandingkan habitat yang populasi predatornya masih tinggi, walaupun sumber makanan rendah (Sun et al. 2002). Fenomena ini telah teruji pada laboratorium dimana keterlimpahan sumber makanan di habitat dapat mempengaruhi hasil reproduksi (Ford dan Seigel 1994; Seigel dan Ford 1991).
Faktor Intrinsik Telah disebutkan di awal, banyak faktor-faktor yang mempengaruhi reproduksi tetapi kondisi internal dari indukan merupakan faktor yang terpenting sebagai kontrol dan adaptasi dari input seperti banyaknya asupan makanan yang
dibutuhkan, proses seperti banyaknya energi yang digunakan dalam setiap tahap reproduksi dan output seperti pengaruh suhu lingkungan pada telur-telur yang dierami. Regulasi hormonal. Hormon reproduksi utama pada ular betina adalah progesteron (P4), estradiol (E2) salah satu macam estrogen dan oksitosin (OT). Selain itu, siklus perkembangan dari ovarium sangat erat hubungannya dengan aktivitas hipofise yang mempengaruhi hormon-hormon gonad dan juga dipengaruhi oleh hormon tiroid serta sekresi korteks adrenal (Frye 1991a). Kerja dari progesteron pada mamalia telah dipelajari pada alat-alat reproduksi betina (ovarium, saluran reproduksi, kelenjar susu) dan otak, dimana P4 berfungsi sebagai regulator dan modulator yang saling berhubungan dengan estradiol. Pada satwa non-mamalia, kerja hormon P4 belum dapat dipastikan terlibat pada proses ovulasi.
Akan tetapi pada satwa non-mamalia P4
dipublikasikan dapat berfungsi mempersiapkan oviduk dalam penerimaan sperma, menginduksi pemetangan ovum yang belum matang, memberikan negative feed back kepada hipofise guna menurunkan sekresi gonadotropin (GTP) untuk membatasi jumlah ovum yang akan dimatangkan, menginduksi sekresi albumin untuk telur, menurunkan kontraksi otot oviduk dan memfasilitasi proses pembentukkan cangkang telur. Kerja dari P4 dapat saja sinergis dengan kerja E2, tetapi dapat juga berlawanan tergantung dari rasio hormon, waktu sekresi dan kondisi fisiologis tubuh. (Custodia dan Callard 2002). Pengaruh dari corpus luteum (CL) terhadap proses pematangan ovum sampai pelepasan telur disajikan pada Gambar 8. Estradiol berfungsi dalam kerja hati pada proses vitellogenesis dimana hati mengubah lipid dalam tubuh menjadi vitellogenin sebagai bahan dasar kuning telur (Mader 2006). Diketahui pula peran E2 pada beberapa reptil seperti buaya, kadal dan kura-kura / penyu dimana terlihat jelas pada proses penentuan jenis kelamin anakan masa embrional dalam telur (Ieau dan Dorizi 2004). Proses penentuan jenis kelamin ini dipengaruhi oleh faktor suhu pengeraman, dimana pada suhu pengeraman yang relatip tinggi hasil rasio perbandingan kelamin anakan yang tertetas antara jantan:betina = 99:1 dan berkebalikan pada suhu yang
relatip rendah yakni 1:99 (Frye 1991b). Namun, belum banyak tulisan yang menjelaskan mekanisme ini pada ular.
Ovarium
Oviduk dan Kelenjar Aksessoris
Telur di dalam oviduk
Uterus
Kloaka
Telur yang telah dikeluarkan
Gambar 8
Hipotesa pengaruh dari corpus luteum (CL) terhadap proses pematangan ovum sampai pelepasan telur (Browning 1973). CLA = CL atresia, CLO = CL ovulasi, IO = Immature Ovum / Ovum yang belum matang, VO = Vitellogenic Ovum / Ovum yang telah mengandung kuning telur, MO = Mature Ovum / Ovum yang telah matang, FO = Fertilized Ovum / Ovum yang telah dibuahi, EC = Egg Capsule / Cangkang telur, OE = Oviposited Egg / Telur yang telah dikeluarkan. (a) Inhibisi oleh CL pada pematangan oosit. (b) CL merangsang proses penyusunan telur dan pencangkangan telur dalam oviduk. (c) Inhibisi oleh CL pada kontaksi oviduk.
Fungi dan regulasi oksitosin (OT) pada reptil khususnya ular belum banyak diteliti. Namun, aplikasi di penangkaran pada kasus-kasus distokia menggunakan preparat OT (yang umumnya digunakan untuk mamalia) untuk membantu
meningkatkan kontraksi otot polos. Terdapat perbedaan hasil dengan aplikasi pada mamalia dimana pada reptil OT memiliki efektivitas kurang dari 50% dan hanya digunakan pada 48 jam pertama kasus distokia (Mader 2006). Jadi, ada tiga hormon yang secara langsung mempengaruhi reproduksi pada ular.
Progesteron mempengaruhi oviduk berperan sebagai inhibitor kontraksi
otot-otot oviduk , persiapan menerima sperma, dan stimulator kelenjar aksesorius pada oviduk, serta mempengeruhi ovarium dalam membantu pematangan ovum yang belum matang juga mempengaruhi hipofise sebagai negative feed back sekresi dari GTP dalam proses pematangan ovum. Estradiol mempengaruhi ovarium dalam proses pematangan folikel dan ovum serta penentuan jenis kelamin pada masa embrional. Oksitosin mempengaruhi oviduk berperan dalam proses partus / pengeluaran telur. Siklus lemak dan pematangan folikel. Corpus luteum dimiliki oleh semua hewan bertulang belakang. Terdapat 2 tipe yaitu, corpus luteum atresia (CLA) dan corpus luteum ovulasi (CLO). Corpus luteum atresia terbentuk dari oosit yang telah matang tetapi tidak mengalami ovulasi kemudian membentuk CLA, sehingga CLA selalu ditemukan dalam siklus reproduksi betina. Corpus luteum ovulasi berasal dari folikel yang telah mengalami ovulasi dan terjadi pembuahan (Callard et al. 1978). Ovum yang telah matang terdiri atas sel ovum dan kuning telur. Vitellogenesis (proses produksi kuning telur / egg yolk) umumnya berhubungan dengan ketersediaan stok lemak pada betina. Betina yang kurus / kurang bobot badannya, proses vitellogenesis tidak akan terjadi dan sang induk menjadi infertil (Ross dan Marzec 1990).
Namun demikian, betina yang defisiensi deposit
lemaknya tetap dapat menghasilkan ovum dalam jumlah yang lebih sedikit atau ovum dengan viabilitasnya yang buruk (Ross dan Marzec 1990). Oleh karenanya inilah yang menjadikan alasan kenapa secara alami, ketika mendekati musim kawin, betina yang siap kawin lebih banyak makan. Pematangan folikel adalah proses pembentukan folikel-folikel di germinal epitel dari ovarium yang kemudian melepaskan ovum yang telah matang. Proses pematangan folikel sangat dekat hubungannya dengan siklus lemak, dimana siklus
lemak adalah proses pembentukan dan penambahan dari jumlah lemak tubuh diikuti proses vitellogenesis yang mengakibatkan penurunan dari bobot badan. Gambaran tahap-tahap pematangan folikel dan siklus lemak disajikan pada Gambar 9 dan 10. Tahap dari pematangan folikel (sel telur yang dikelilingi sel folikel) dimulai dengan kehadiran folikel kecil yang belum berkembang di ovarium (Gambar 9a). Kemudian folikel-folikel tersebut membesar ukurannya dan dilanjutkan dengan proses vitellogenesis.
Ketika telah matang, folikel-folikel tersebut akan
melepaskan ovum yang akan memasuki oviduk melalui corong oviduk (Gambar 9b). Bila betina kawin, ovum yang telah memasuki oviduk akan terbuahi oleh sperma dan dilanjutkan dengan pemberian dinding / membran dan cangkang telur. Pada ular sanca, pemberian dinding telur terjadi setelah pembuahan ovum sedangkan pada ular-ular yang tergolong ovovivipar pemberian dinding sebelum pembuahan ovum (Gambar 9c). Siklus lemak dan pematangan folikel pada ular dimulai dengan pematangan folikel berukuran yang sangat kecil pada saat mendekati musim kawin (Gambar 10a).
Folikel-folikel tersebut berkembang dan membesar
ukurannya akan tetapi belum dapat terpalpasi. Setelah folikel matang, ovum didalamnya mengalami pematangan bersamaan dengan akumulasi kuning telur dari cadangan lemak tubuh (Gambar 10b). Kemudian setelah folikel-folikel telah matang, ovum dilepaskan dan memasuki oviduk. Folikel yang telah melepaskan ovum berkembang menjadi CL yang berperan dalam mengatur jumlah ovum yang akan dilepaskan dalam satu periode reproduksi (Gambar 10c). Ular yang telah mendapatkan pasangannya melakukan kopulasi. Pada ular sanca, ovulasi terjadi setelah kopulasi sedangkan beberapa spesies lainnya ovum telah dilepaskan dan menunggu dibuahi di oviduk (Gambar 10d).
Setelah terjadi fertilisasi dan
kemudian induk ular bunting (Gambar 10e). Setelah menemukan lokasi yang tepat, induk mengeluarkan telur-telurnya (ular-ular sanca) atau melahirkan anakannya (ular-ular boa) (Gambar 10f).
Betina yang telah menyelesaikan
tugasnya sebagai induk menjadi sangat kurus karena deposit lemak tubuh telah terpakai sejak masa bunting (ular-ular boa dan sanca) dan mengeram (ular-ular sanca). Betina tersebut tidak dapat memulai siklus pematangan folikel hingga
deposit lemaknya terisi kembali (Gambar 10g). Ular kembali menumpuk lemak tubuhnya dengan memakan mangsanya (Gambar 10h). Setelah lemak tubuhnya terisi kembali, betina tersebut telah siap untuk memulai siklus berikutnya (Gambar 10i).
Folikelfolikel yang telah matang
Corong Uterus
Folikelfolikel yang belum matang Fertilisasi Ovum di oviduk
Vena
Arteri
Oviduk
Ginjal
Gambar 9
Usus
Tahap-tahap pada pematangan folikel (Ross dan Marzec 1990).
Siklus lemak yang sangat bergantung pada kuantitas lemak yang terkumpul dalam tubuh, dimana dipengaruhi oleh asupan makanan, sangat jelas mempengaruhi proses pematangan folikel dan ovum. Sehingga, reproduksi pada ular sangat bergantung pada makanan.
Gambar 10 Tahap-tahap pada siklus lemak dan pematangan folikel dalam siklus reproduksi ular (Ross dan Marzec 1990). Perkawinan.
Umumnya, perkawinan pada ular ditentukan oleh betina.
Betina yang telah siap kawin akan memberikan tanda-tanda diawali dengan adanya sekresi feromon yang dapat dideteksi oleh jantan. Setiap tahunnya tidak semua betina produktif dapat bereproduksi (Shine 2003). Hal ini disebabkan oleh kesiapan betina untuk dapat kawin dan bereproduksi terhadap pengaruh asupan makanan dan lingkungan. Akan tetapi, normalnya ular sanca dapat bereproduksi setahun sekali.
Fisiologi kebuntingan. Kurang banyaknya penelitian tentang reproduksi ular sanca, khususnya ular- ular yang bereproduksi secara ovipar menyebabkan data fisiologi kebuntingan ular betina kurang dapat diakses.
Namun, sudah
banyak penelitian fisiologi kebuntingan pada ular-ular yang bereproduksi ovovivipar.
Karena pada awal proses pembentukan telur adalah sama, yang
berbeda hanyalah cara pengeluaran pada kelompok ovipar berupa telur (telur menetas diluar tubuh induk) sedangkan ovovivipar melahirkan anak (telur menetas didalam tubuh induk). Oleh karenanya data kelompok ovovivipar akan digunakan sebagai acuan. Pada Gambar 11 disajikan hipotesa dari kerja corpus luteum (CL) dan pengaruh hormon pada reproduksi ular betina. Beberapa aktifitas CL dengan mensekresi P4 antara lain; merangsang oviduk untuk persiapan penerimaan sperma (Gambar 11a), merangsang pematangan ovum-ovum lainnya dan proses ovulasi selanjutnya (Gambar 11b), merangsang oviduk dan kelenjar aksesoris untuk melengkapi telur dengan albumin dan cangkang (Gambar 11c), inhibisi / Negative feed back ke hipofise sehingga menurunkan sekresi Gonadotropin (GTP) untuk mencegah pematangan oosit berlebihan (Gambar 11d), inhibisi ke oviduk untuk mengurangi motilitas oviduk berhubungan dengan mengurangi resiko retensio dari telur-telur dan menyusun telur-telur yang ada agar mudah dalam mengeluarkannya (Gambar 11e), merangsang oviduk sebagai persiapan dalam menerima telur-telur yang sudah dibuahi agar selama dalam oviduk telur tetap mendapatkan nutrisi (Gambar 11f). Lama waktu kebuntingan antara 65-105 hari (Ross dan Marzec 1990), sedangkan lama waktu kebuntingan ular betina di penangkaran antara 2,0-4,5 bulan.
Induk yang bunting akan lebih sering berjemur / basking.
Perilaku
basking ini dapat mempengaruhi lama periode kebuntingan induk ular. Periode kebuntingan yang panjang memerlukan suhu basking yang diperlukan antara 1931 0C sedangkan suhu basking untuk periode kebuntingan yang pendek antara 2531 0C (Ross dan Marzec 1990). Induk ular yang telah bunting akan memilih lokasi dengan mikrohabitat yang optimal bagi kebuntingan dan telur-telur yang dieraminya (Ross dan Marzec 1990).
Berbeda dengan keadaan di penangkaran, penangkar harus dapat
memodifikasi kandang agar mirip habitatnya sehingga ular tetap dapat nyaman untuk berkembang biak. Hipothalamus dan Hipofise
Ovarium
Oviduk dan Kelenjar Aksessoris
Telur dan Embrio
Uterus
Kloaka
Gambar 11 Hipotesa kerja dari corpus luteum dan pengaruh hormon reproduksi betina pada ular (Browning 1973). GTP = Gonadotropin, MO = Mature Ovum / Ovum yang telah matang, IO = Immature Ovum / Ovum yang belum matang, ET = Embryotrophe. Inkubasi telur. Telur-telur pada reptil memiliki kuning telur yang dominan (polylecithal; Gambar 12a) dan tidak memiliki chalaza layaknya pada telur unggas (Gambar 12b). Bagi anakan yang telah menetas sudah tampak seperti miniatur induk yang belum berkembang sehingga diperlukan kuning telur yang cukup banyak sebagai deposit nutrisi hingga mereka dapat mencari mangsanya sendiri (Goin et al. 1911). Ukuran dan banyaknya telur yang dihasilkan induk
ditentukan dari luasan / volume tubuh induk. Semakin besar volume induk, maka lebih banyak dan besar telur yang akan dihasilkan (Weiguo et al. 2005). Jumlah telur yang dapat dihasilkan induk ular sanca batik di penangkaran dalam satu kali reproduksi antara 15-50 butir, ukurannya tergantung kapasitas induk dan jumlah telur yang akan dihasilkan. Produksi telur pada saat ovulasi dipengaruhi secara hormonal oleh P4.
Albumin
Korion Dinding Membran
Embrio
Titik
Amnion
Perkembangan
Cangkang Telur Albumin Allantois
Kantung Udara
Khalaza
Khalaza Kantung Kuning Telur
Cangkang Telur
Kuning Telur
Batang Kuning Telur
Kuning Telur
Gambar 12 Perbandingan volume kuning telur pada (a) telur ular dengan (b) telur ayam (Ross dan Marzec 1990). Semua induk ular sanca memberikan kehangatan / panas untuk telurtelurnya dengan cara mengeraminya, walaupun masa mengerami tidak penuh waktu hingga telur menetas.
Mereka menghangatkan telur-telur dengan
menaikkan suhu eksternal sampai 5 0C dengan membuat gesekan dari kontraksi otot-otot perut. Fenomena kenaikan suhu pengeraman oleh induk benar-benar terjadi dan telah didemonstrasikan di laboratorium sebagai satwa ektothermik (Mehrtens 1987). Suhu inkubasi telur antara 31–33 0C dan lama pengeraman antara 86–95 hari (Ross dan Marzec 1990). Di penangkaran, suhu yang diatur pada 30 0C dengan menggunakan inkubator dengan lama inkubasi 2,5 bulan. Beberapa spesies meninggalkan sarang telurnya untuk minum dan istirahat sejenak. Kira-kira seminggu sebelum telur-telur tersebut menetas, para induk meninggalkan sarang telurnya. Ini menunjukan sifat soliter yang dimiliki ular secara umum. Akan tetapi, proses mengerami telur diatas menunjukan kasih
sayang yang diberikan induk kepada calon generasi pelestari spesiesnya yang sangat besar yang sama dilakukan dengan burung / unggas, bahkan untuk setingkat satwa primitif.
Gambar 13 Pengeraman telur oleh induk ular sanca batik (Anonim 2008b). Suhu pengeraman pada reptil, termasuk ular, dapat mempengaruhi proses pembentukan gonad atau penentuan jenis kelamin. Pengaruh ini dikontrol oleh E2 dalam perkembangan embrional ular (Ieau dan Dorizi 2004). Pada pengeraman dengan inkubator (di penangkaran), diperlukan bahan-bahan pelengkap seperti; vermiculite, sphagnum moss, tanah, kertas koran dan batu kerikil. Selain suhu, kelembaban inkubasi juga merupakan faktor penting terhadap daya tahan telur. Jika suhu dan kelembaban inkubasi telur tidak optimal akan berefek kematian pada telur atau terjadi anomali anakan yang menetas (Ross dan Marzec 1990). Telur-telur yang dihasilkan oleh induk akan dierami bersamaan, telur-telur tersebut akan saling berdekatan. Dalam penangkaran tercatat bahwa telur yang terpisah dari komunitasnya akan menjadi infertil. Dapat disimpulkan bahwa, ukuran dan jumlah telur yang dapat dihasilkan oleh induk sanca batik tergantung kapasitas dari induk. Sedangkan kemampuan daya tahan telur-telur, tergantung dari suhu dan kelembaban inkubasi.
Daya hidup anakan.
Jumlah, ukuran dan kemampuan untuk bertahan
hidup anakan bergantung dari kondisi kesehatan, ukuran dari induk (Weiguo et al. 2005) dan variasi ukuran dari telur-telur yang dihasilkan (Shine 2003). Terdapat 3 mekanisme pengaruh ukuran dari induk kepada anakan:
a. Berdasarkan bobot badan induk: induk akan menentukan rasio tetap bobot anakan (Seigel dan Fitch 1984); b. Berdasarkan volume badan induk: induk akan memproduksi telur-telur dengan ukuran optimal yang sesuai dengan kapasitas dari tubuhnya (Vitt dan Congdon 1978; Shine 1992); c. Berdasarkan parameter ukuran badan lainnya dari induk: induk mungkin mengatur produksi telur-telur berdasarkan parameter tubuhnya yang lain seperti panjang tubuh, luasan kerangka tubuh, dan lainnya (Weiguo et al. 2005). Ketika masa menetas tiba, induk telah pergi meningggalkan sarangnya dan proses perobekan cangkang telur dilakukan sendiri oleh anakan-anakan yang akan lahir.
Anakan yang pertama menetas akan menstimulasi telur-telur untuk
menetas. Gambar anakan yang baru menetas dari telur disajikan pada Gambar 15.
Gambar 14 Anakan ular sanca yang baru menetas (Neonate) hasil penangkaran, terlihat vermiculite sebagai alas dalam inkubator (Anonim 2008c). Anakan ular sanca yang baru menetas rentan untuk dapat bertahan hidup jika proses pengeraman belum sempurna. Sebagai contoh, telur ular yang kurang masa pengeramannya (antara 1 minggu), embrio yang tumbuh di dalamnya akan kekurangan pigmentasi (Ross dan Marzec 1990).
Fisiologi Reproduksi Jantan Proses perkawinan pada jantan juga menunjukkan fleksibilitas yang unik dan beragam. Sebagai contoh, sistem vomeronasal merupakan mekanisme internal ular yang berfungsi untuk mendeteksi kehadiran feromon dengan organ Jacobson yang terletak pada rongga dibawah hidung, dimana dapat berarti menandai teritori spesiesnya maupun menandakan betina yang siap kawin pada spesiesnya. Sehingga ular jantan tidak hanya dapat mengetahui lokasi betina reproduktif, tetapi juga dapat memfasilitasi dan membantu memilih betina/ pasangan kawin dengan mengenali feromon pasangannya (Shine 2003).
Faktor Asupan Kebutuhan makan dan nutrisi yang seimbang diperlukan satwa agar tetap dalam kondisi prima, kekurangan atau ketidakseimbangan nutrisi akan menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh sehingga menyebabkan lebih rentan menjadi sakit. Pada ular jantan ditemukan penyakit yang dapat menggangu organ reproduksi pada jantan. Selain itu, kebutuhan asupan makanan dan nutrisi diperlukan juga bagi jantan untuk bereproduksi. Ular jantan yang siap kawin akan sangat banyak makan sebelum musim perkawinan (Madsen dan Shine 2000). Hal ini berkaitan dengan kebutuhan energi untuk proses metabolisme dan regulasi hormonal dan juga proses perkawinan. Berbeda dengan betina, ular jantan tidak memerlukan batas ambang simpanan energi untuk memulai reproduksi (Bonnet dan Naulleau 1996; Aubret et al. 2002), hal ini dikarenakan pasca perkawinan, ular jantan akan tetap makan.
Dapat
disimpulkan bahwa kebutuhan akan asupan makanan pada ular jantan untuk bereproduksi tidak sebesar yang dibutuhkan ular betina, akan tetapi resiko kematian tetap ada (Aldridge dan Brown 1995). Selain itu, ada kemungkinan jantan yang tidak cukup suplai makanannya menyebabkan libidonya rendah sehingga tidak dapat melakukan proses perkawinan.
Faktor Intrinsik Pada jantan, faktor-faktor internal berpengaruh dalam proses pematangan sperma dan pengadaan media hidup sperma (plasma semen) agar dapat bertahan hidup hingga mencapai dan membuahi ovum. Setelah dewasa kelamin setiap jantan akan siap mengawini betina reproduktif
setiap waktunya, karena kesiapan jantan dalam reproduksi
berdasarkan perkembangan organ kelaminnya / testis (Saint 1982). Sehingga, sangat jarang frekuensi kesiapan betina untuk bereproduksi tidak diterima jantan. Akan tetapi, ada variasi kondisi dalam setiap reproduksi yang mempengaruhi dapat tidaknya jantan untuk mengawini pasangannya atau bahkan mendapatkan pasangannya. Kondisi tersebut antara lain: a.
Lokasi; Apabila lokasi betina yang siap kawin tidak dapat dijangkau
oleh jantan, atau jantan tidak dapat menemukan lokasi betina yang siap kawin. Umumnya, jantan akan lebih banyak bergerak ketika musim kawin akan tiba bahkan sampai keluar dari teritorinya (Duvval et al. 1985). Perilaku ini dilakukan jantan untuk mencari betina siap kawin di sekitarnya.
Ketika jantan telah
menemukan tanda-tanda betina yang siap kawin melalui feromon, dia akan mengikuti feromon tersebut hingga mendapatkan sang betina (Mason 1993; Mason et al. 1989; Greene et al. 2001; LeMaster et al. 2001). b.
Pertarungan; Ketika betina yang siap kawin mengeluarkan feromon
sebagai tanda yang spesifik bagi spesiesnya. Feromon ini hanya dapat dideteksi oleh beberapa pejantan dalam satu spesiesnya. Kemungkinannya lebih dari satu ekor jantan yang mengikuti betina siap kawin. Jika untuk satu betina didatangi lebih dari satu jantan, maka jantan akan memulai pertarungan untuk memperebutkan betina dan yang menang (jantan dominan) yang berhak mendapatkannya. Hal ini dapat diabaikan bagi ular garter (Thamnophis sirtalis) yang memiliki kekhasan spesies multiple mating dimana betina dapat menerima pejantan dalam jumlah ribuan dalam satu waktu (Shine 2003). Ada pula tercatat bahwa jantan yang telah mengawini betina akan menjaga pasangannya dari pejantan lainnya yang akan mengawini, sehingga tidak terjadi multiple mating sebagai contoh; ular adder eropa (Vipera berus).
Tercatat di penangkaran bahwa banyaknya jantan dapat meningkatkan frekuensi perkawinan pada betina. Fenomena ini ditunjukkan oleh ular sanca darah (Python curtus) dimana, apabila terdapat lebih dari satu pejantan pada kandang perkawinan, maka betina dapat siap dikawini oleh pejantan tersebut / multiple mating (DeNardo dan Auntumn 2001).
Faktor-faktor Lingkungan Hampir semua lingkungan yang dapat dihuni ular menunjukan fluktuasi perubahan kondisi, sehingga ular yang berhabitat didalamnya harus dapat beradaptasi terhadap kondisi tersebut agar tetap dapat bertahan hidup dan siklus reproduksi tetap berlangsung untuk menghasilkan keturunan (Callard et al. 1976). Nampak bahwa faktor-faktor lingkungan juga merupakan pertimbangan penting dalam manajemen reproduksi reptil di penangkaran. Parameter lingkungan yang optimal pada beberapa spesies ular sanca disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4
Parameter lingkungan yang optimal pada beberapa spesies ular sanca (Stoops dan Wright 1996).
Genus (Nama umum) Calabaria Ular sanca calabar Chondropython Ular sanca hijau Liasis Ular sanca air Liasis/ Morelia Ular sanca gurun
Python Ular sanca batik Python Ular sanca afrika
Tipe Kandang Terestrial dengan alas kandang berupa serasah (daun) Arboreal dengan aksesoris ranting pohon Arboreal dengan aksesoris ranting pohon dan tempat bersembunyi Terestrial dengan alas kandang pasir dan aksesoris tempat bersembunyi Terestrial dengan aksesoris pohon (kanopi) dan tempat bersembunyi serta area terbuka Terestrial dengan aksesoris tempat bersembunyi
Suhu (0C) 24-30
Metode Pencapaian Kelembaban Bak berendam dan penyemprotan
27
Penyemprotan
30
Penyemprotan dan bak berendam yang lebih luas
30-32
Bak berendam
27-30
Bak berendam yang lebih luas
27-30
Bak berendam dan penyemprotan
Suhu Pengaruh faktor suhu pada reproduksi ular sanca batik ditunjukkan dengan adanya hubungan antara suhu, kesuburan dan hasil reproduksi.
Jika suhu
lingkungan suboptimal, akan berpengaruh buruk pada pematangan folikel, dan perkembangan embrio dalam telur. Sehingga hasilnya akan menurunkan derajat kesuburan dari induk dan kualitas anakan yang dihasilkan.
Selain itu, suhu
lingkungan yang suboptimal akan berpengaruh buruk terhadap proses spermatogenesis (Ross dan Marzec 1990). Ular sanca batik berhabitat di hutan tropis dimana suhu lingkungan berkisar antara 26,7-33,3 0C (Mexico 2000), sehingga teradaptasikan pada perilaku dan kebutuhan panas pada ular sanca batik yakni; suhu optimal ular sanca batik untuk beraktivitas adalah 30,0 0C (Stoops dan Wright 1996), suhu optimum untuk basking pada masa kebuntingan antara 25,0-31,0 0C (Ross dan Marzec 1990) dan suhu optimum pengeraman telur dimana banyak diaplikasikan di penangkaran adalah 30,0 0C.
Cuaca Berdasarkan pengamatan pada penangkaran, induksi kopulasi dapat dipengaruhi oleh kondisi cuaca lingkungan. Akan tetapi, pengaruh cuaca terhadap induksi kopulasi ular menunjukkan adanya perbedaan antara ular-ular hasil tangkapan dengan ular-ular hasil breeding.
Pada penangkaran, ular-ular hasil
tangkapan pada kandang kelompok, ketika udara di sekitar kandang bertekanan rendah, menunjukan perilaku kopulasi secara tiba-tiba walaupun bukan pada musim kawin (Ross dan Marzec 1990). Fakta di atas telah banyak diobservasi pada beberapa spesies, salah satunya ular sanca hijau (Chondropython viridis / Morelia viridis). Akan tetapi, fenomena di atas tidak terjadi pada ular yang lahir di penangkaran / hasil breeding, sehingga belum dapat dijadikan parameter dalam faktor-faktor yang mempengaruhi reproduksi pada ular. Namun demikian, dapat dijadikan pegangan dalam penangkaran untuk lebih memperhatikan kandang kelompok ketika cuaca berubah.
Photoperiod Photoperiod adalah panjang intensitas dari pencahayaan dalam 1 harinya. Pada zona tropika memiliki perbandingan Dark:Light = 12:12 (dalam satuan jam), sedangkan pada zona subtropis / beriklim sedang memiliki perbandingan
Dark:Light = 18:6 pada musim semi dan Dark:Light = 6:18 pada musim dingin. Walaupun ular sanca dan kebanyakan spesies ular lainnya merupakan satwa nokturnal; yakni satwa yang aktif di malam hari, manipulasi dari photoperiod dapat menginduksi terjadinya reproduksi.
Perlu diketahui bahwa pemberian
cahaya berlebihan (over photoexposure) dapat menyebabkan ular stress sehingga anorexia dan kawin (Frye 1991a).
Musim Kebutuhan akan batas minimum suhu untuk embriogenesis dalam telur pada zona beriklim dingin (4 musim) hanya didapat pada bulan-bulan di musim yang lebih hangat seperti pada musim semi. Fenomena ini menunjukkan adanya musim kawin (Vitt dan Vangilder 1983). Pada zona tropika yang lebih banyak memiliki bulan-bulan hangat selayaknya dapat memenuhi kebutuhan suhu untuk perkembangan embriogenesis dalam telur. Sehingga dapat ditarik asumsi bahwa ular dapat kawin sepanjang tahunnya. Akan tetapi, ular-ular yang terdapat pada zona tropika juga menunjukkan musim kawin (Fitch 1982; Vitt dan Vangilder 1983) dan yang sangat terlihat jelas pada ular sanca batik (Shine et al. 1999). Gambaran ini diperkirakan dari adanya variasi sumber daya alam, rataan jumlah anakan yang dapat bertahan hidup setelah menetas dan atau kerugian dari reproduksi itu sendiri (Shine 2003).
Ular-ular yang hidup di daerah tropis,
termasuk ular sanca batik, dimana hanya terdapat musim hujan dan musim kering / kemarau, mereka melakukan perkawinan sebelum musim hujan.
Sehingga
ketika periode pengeraman telur, sumber daya alam yang dibutuhkan induk dan anakan tersedia melimpah di alam seperti makanan dan air (Ross dan Marzec 1990).
Kelembaban Perbedaan kelembaban di hutan tropis dengan gurun sangat tinggi, dimana di hutan tropis lebih lembab dibandingkan gurun. Pada spesies-spesies yang hidup pada hutan hujan beradaptasi dengan kelembaban relatif antara 80-90%, satwa yang hidup di gurun harus dapat beradaptasi dengan kelembaban relatip sekitar 50%. Sedangkan kelembaban terbaik adalah pada zona beriklim sedang
dimana kelembaban relatif antara 60-75%. Ular sanca batik yang berhabitat di hutan tropis dan memiliki perilaku berenang membutuhkan kelembaban antara 8090%. Aplikasi pada penangkaran, metode pencapaian kelembaban kandang pada ular sanca batik dapat dengan menyediakan bak yang luas untuk berendam dan berenang sebagaimana terlampir pada Tabel 4 (Stoops dan Wright 1996).
Ketersediaan air Bagi ular sanca yang berhabitat di wilayah hutan tropis, air mudah didapatkan untuk kelangsungan hidup dan perkembangan telur-telur yang dieraminya. Melimpahnya air pada wilayah hutan tropis selain dapat menjadi keuntungan dapat juga menjadi kerugian bagi induk ular sanca yang akan mengerami telur-telurnya.
Keuntungannya adalah induk ular membutuhkan
waktu yang cukup singkat untuk pergi meninggalkan sarang dalam mengambil air. Hal ini dikarenakan sarang yang ditinggalkan induk akan menjadi sangat rentan terhadap serangan pemangsa / predator seperti ular pemakan telur, sejenis berangberang pemakan telur dan lainnya, sehingga induk harus membuat kandang yang dekat dengan sumber air. Kerugiannya adalah keterlimpahan air yang terlalu banyak didekat sarang akan menyebabkan telur-telur kelebihan air dan sarang bertambah lembab.
Kondisi tersebut sangat tidak menguntungkan bagi
kelangsungan hidup telur-telur ular, dimana manifestasi dari mikroba, jamur dan parasit perusak telur akan mendominasi, yang dapat menjadikan telur infertil. Sehingga induk harus dapat menentukan lokasi sarang yang tidak terlalu dekat dengan sumber air.
KELAINAN-KELAINAN REPRODUKSI Selain banyak faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reproduksi pada ular, di penangkaran tercatat banyak kasus-kasus kelainan dan gangguan reproduksi. Baik dari anomali anatomi hingga kasus gangguan hormonal. Namun, dalam bab ini hanya akan diulas kasus distokia pada betina dan prolapsus hemipenis pada jantan.
Distokia Distokia adalah ganguan reproduksi pada betina berupa kesulitan dalam partus atau pengeluaran telur dari saluran reproduksi (oviduk). Secara etiologi, distokia dibagi menjadi 2 yaitu obstruktif dan non obstruktif. Penyebab terjadinya distokia obstruktif adalah abnormalitas dari fetus dan induk. Ukuran telur yang terlalu besar dan kelainan anatomis dari telur / fetus dikategorikan dalam abnormalitas fetus, sedangkan abnormalitas induk terkait dengan penyempitan pada oviduk, abses, corpus alienum dan cystic calculi. Penyebab dari distokia non obstruktif adalah infeksi, kesalahan dalam manajemen penangkaran (tidak tersedianya sarang untuk bertelur, malnutrisi dan dehidrasi) dan kondisi fisik induk yang buruk / ketidakmampuan oviduk berkontraksi. Penanganan kasus-kasus distokia selayaknya sesuai penyebabnya, namun sangat sulit diketahui penyebabnya sebelum telur-telur tersebut berhasil dikeluarkan dan dievaluasi. Umumnya di penangkaran preparat oksitosin (OT) digunakan dalam penanganan kasus ini, dimana OT akan digunakan untuk merangsang kontraksi otot polos pada oviduk. Preparat yang digunakan biasanya menggunakan preparat OT dari mamalia yang hanya memiliki efektivitas kurang dari 50% dan hanya untuk kasus distokia pada 48 jam pertama. Fakta dilapangan menunjukan bahwa pemberian oksitosin pada kasus distokia tidak terlihat terlalu berpengaruh dalam membantu induk mengeluarkan telurnya, sehingga dibantu dengan pemijatan.
Diketahui terdapat preparat Arginine vasotocin (AVT)
merupakan hormon yang disekresikan dari neurohipofise burung / unggas yang berperan pada proses pengeluaran telur (Takahashi dan Kawashima 2003).
Preparat ini memiliki efektivitas kerja hingga 73%, karena preparat ini 10 kali lebih sensitif terhadap reseptor OT pada ular (Mader 2006). Namun, preparat ini belum terdaftar dalam daftar obat hewan di Indonesia / DOHI. Sangat penting pengetahuan dan pencegahan serta penanganan kasus distokia dalam reproduksi ular. Karena, jika tidak segera ditangani, oviduk induk akan
mengalami
kerusakan
dan
menyebabkan
ketidakmampuan
untuk
bereproduksi pada periode selanjutnya.
Prolapsus Hemipenis Prolapsus hemipenis pada ular adalah ketidakmampuan pejantan untuk menarik kembali salah satu atau keseluruhan dari hemipenisnya. Secara etiologi, prolapsus hemipenis dibagi menjadi 2 yaitu (Mader 2006); 1. Ketidakmampuan Musculus retractor hemipenis untuk menarik kembali hemipenis. 2. Hemipenis
tidak
dapat
masuk
kembali
dikarenakan
adanya
pembengkakan. Hemipenis yang mengalami prolapsus akan terjadi pembengkakkan karena terkumpul darah, sehingga menyumbat kloaka. Pada kasus ini, hemipenis akan dengan cepat terkontaminasi oleh kotoran-kotoran dari kandang, bila ada nekrose akibat gesekan dapat terjadi infeksi bahkan pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian (Mader 2006; Ross dan Marzec 1990). Tehnik pembedahan dipakai dalam penanganan kasus prolapsus hemipenis dikarenakan pembengkakkan.
Pemantauan persembuhan / pasca pembedahan
pada kasus ini sangat penting, hingga pejantan dapat kembali bereproduksi. Sedangkan penanganan kasus prolapsus hemipenis dikarenakan ketidakmampuan Musculus retractor hemipenis untuk menarik kembali hemipenis berupa terapi pemberian preparat kalsium (Ca2+). Untuk dapat berkontraksi, otot membutuhkan Ca2+. Terbukti, pada saat otot berkontraksi, konsentrasi Ca2+ dalam sitoplasma meningkat.
Mekanisme tersebut terjadi karena pembukaan kanal dari Ca2+
(Murray et all. 1990). Dalam mekanisme kontraksi otot, Ca2+ dibutuhkan untuk memberikan arus sinaptik dan mensekresikan asetilkolin sebagai neurotransmitter pada motor end plate dan proses terikatnya kepala dari filamen miosin dengan
filamen aktin pada serabur-serabut otot tersebut. Proses terikatnya filamen miosin dengan filamen aktin dapat berlangsung lebih dari 5 kali dan dibutuhkan 500 kepala
filamen
miosin
yang
otot
sebesar
mengkontraksikan
berikatan 10
nm
dengan (Koolman
filamen dan
aktin
untuk
Rohm
1994).
Kesimpulannya, defisiensi dari Ca2+ dapat mengakibatkan ketidak mampuan otot untuk berkontraksi. proses tersebut.
Sehingga, asupan Ca2+ dapat membantu mengembalikan
DAFTAR PUSTAKA Aiello SE. 1998. The Merck Veterinary Manual; 8th ed. Merck & Co,. Inc. New Jersey. Aldridge RD and Brown WS. 1995. Male reproductive cycle, age at maturity, and cost of reproduction in the timber rattlesnake (Crotalus horridus). J. Herpetol. 29: 399–407. Anonim. 2008a. Collection. http://www.constrictors.com/Collection/Reticulated Pythons/TigerReticulatedMateAlbino.html. [2 Des 2008]. Anonim. 2008b. Collection. http://www.constrictors.com/Collection/Reticulated Pythons/Incubating.html. [2 Des 2008]. Anonim. 2008c. Collection. http://www.constrictors.com/Collection/Reticulated Pythons/TigerReticulatedPython.html. [2 Des 2008]. Anonim. 2009a. The Reticulated Python, one of the worlds largest snakes. http://www.itsnature.org/trees/reptiles-trees/reticulated-python/.html. [22 April 2009]. Anonim. 2009b. Habitat and Geography. http://bioweb.uwlax.edu/bio203/s2008/ young timo/Habitat%20and%20Geography.html. [22 April 2009]. Aubret F, Bonnet X, Shine R, and Lourdais O. 2002. Fat is sexy for females but not males; the influence of body reserves on reproduction in snakes (Vipera aspis). Horm. Behav. 42: 135–147. Bonnet X, Naulleau G. 1996. Are body reserves important for reproduction in male dark green snake?. Herpetologica. 52: 137-146. Bonnet X, Naulleau G, Shine R, and Lourdais O. 2002. Reproduction in a typical capital breeder; cost, currencies dan compilation in Aspic Viper. Ecology. 83: 2124-2135. Browning HC. 1973. The evolutionary history of corpus luteum. Biology of Reproduction. 8: 128-157. Callard IP, Callard GV, Lance V, and Eccles S. 1976. Seasonal changes in testicular structure, function and the effects of gonadotropins in the freshwater turtle (Chrysemys picta). Gen. Comp. Endocrinol. 30: 347-356. Callard IP, Callard GV, Lance V, Bolaffi JL, and Rosset JS. 1978. Testicular regulation in nonmamalian vertebrates. Biology of Reproduction. 18: 1643. Custodia LN and Callard IP. 2002. Progesterone and progesterone receptors in reptils. Endocrinology. 127(1): 1-7.
Daniel JC. 1992. The Book of Indian Reptiles. Oxford University Press. Oxford. DeNardo DF and Auntumn K. 2001. Effect of male presence on reproductive activity in captive female Blood Pythons (Python curtus). Copeia. 2001: 1138–1141. Duvall D, King MB, and Gutzweiler KJ. 1985. Behavioral ecology and ethology of The Prairie Rattlesnake. Nat. Geogr. Res. 1: 80–111. Fitch HS. 1982. Reproductive cycles in tropical reptiles. Occ. Pap. Mus. Nat. Hist. Univ. Kans. 96: 1–53. Ford NB and Seigel RA. 1994. An experimental study of the trade-offs between age and size at maturity—effects of energy availability. Funct. Ecol. 8: 91–96. Fowler ME. 1986. Zoo and Wild Animal Medicine; 2nd ed. W.B. Saunders Company. Philadelphia. Frye FL. 1991a. Reptil Care; An Atlas of Disease and Treatment; Volume 1. T.F.H. Publications, Inc. New Jersey. Frye FL. 1991b. Reptil Care; An Atlas of Disease and Treatment; Volume 2. T.F.H. Publications, Inc. New Jersey. Goin CJ, Olive BG, and George BZ. 1911. Introduction to Herpetology 3rd ed. W.H. Freeman dan Company. San Fransisco. Greene MJ, Stark SL, and Mason RT. 2001. Pheromone trailing behavior of The Brown Tree Snake (Boiga irregularis). J. Chem. Ecol. 27: 2193–2201. Gregory PT, Crampton LH, and Skebo KM. 1999. Conflicts and interaction among reproduction, thermoregulation and feeding in viviparous reptils; are gravid snake anorexic?. Journal Zoology (London) 284: 231-241. Grzimek B. 1975. Grzimek Animal Life Encyclopedia. Van Hostrdan Reinhold Company. New York. Ieau C and Dorizzi M. 2004. Oestrogens and temperature-dependent sex determination in reptils; all is in the gonads. Journal of Endocrinology 181(3): 367-377. Iskandar DT and Colijn ED. 2002. A Checklist of Southeast Asian and New Guinean Reptils Part 1; Serpentes. Binamitra. Jakarta. Koolman J and Rohm KH. 1994. Color Atlas of Biochemistry. Georg Thieme Verlag. Stuttgart. LeMaster MP, Moore IT, and Mason RT. 2001. Conspecific trailing behavior of Red-sided Garter Snakes (Thamnophis sirtalis parietalis), in the natural environment. Anim. Behav. 61: 827–833. Mader. 2006. Reptile Medicine and Surgery; 2nd ed. Saunders Elsevier. Missouri.
Madsen T and Shine R. 2000. Rain, fish and snakes; climatically driven population dynamics of arafura filesnakes in tropical australia. Oecologia. 124: 208–215. Mason RT, Fales HM, Jones TH, Pannell LK, Chinn JW, and Crews D. 1989. Sex pheromones in snakes. Science. 245: 290–293. Mason RT. 1993. Chemical ecology of The Red-sided Garter Snake (Thamnophis sirtalis parietalis). Brain Behav. Evol. 41: 261–268. Mattison C. 2005. Encyclopedia of Reptils and Amphibians. The Grange. Near Rochester. Mehrtens JM. 1987. Living Snakes of The World; in Color. Sterling Publishing Co., Inc. New York. Meredith A and Redrobe S. 2002. British Small Animal Veterinary Association (BSAVA); Manual of Exotic Pets 4th ed. British Small Animal Veterinary Association. Gloucester. Mexico T. 2000. Python reticulatus. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/ accounts/information/Python_reticulatus.html. [14 Feb 2009]. Moris R and Moris D. 1965. Men and Snakes. McGraw-Hill Book Company. San Fransisco. Moris D. 1975. Collins Encyclopedia of Animals. William Collins Sons & Co. Ltd. London & Glasgow. Murphy JB, Barker DG, and Tyron BW. 1978. Miscellaneous notes on the reproductive biologi of reptils 2; eleven spesies of the family Boidae, genera Candoia, Liasis, dan Python. Journal Herpetology 12: 385-390. Murphy JB, Lamoreaux WE, and Barker DG. 1981. Miscellaneous notes on the reproductive biologi of reptils 4; eight spesies of the family Boidae, genera Acrantophis, Aspidites, Candoia, Liasis, dan Python. Trans. Kansas Academy of Science: 39-49. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, and Rodwell VW. 1990. Harper’s Biochemistry 22nd ed. Aplleton and Lange Publising. California. Plummer MV. 1997. Speed and endurance of gravid and nongravid Green Snake (Opheodrys aestivus). Copeia. : 191-194. Pope CH. 1949. Snake Alive and How They Live. Viking Press. New York. Redaksi Ensiklopedia Indonesia. 2003. Ensiklopedia Indonesia Seri Fauna. PT. Ikrar Mandiri Abadi. Jakarta. Robson D. 1996. Mengamati Ular . Kesaint Blanc Indah Corp. Jakarta. Ross RA and Marzec G. 1990. The Reproductive Husbdanry of Pythons and Boas. Institute for Herpetological Research Publishing, Inc. California.
Saint GH. 1982. Reproductive cycles of male snakes and their relationships with climate and female reproductive cycles. Herpetologica. 38: 5–16. Shine R. 1992. Relative clutch mass and body shape in lizards and snakes; is reproductive investment constrained or optimized?. Evolution. 46: 828– 833. Shine R, Ambariyanto, Harlow PS, and Mumpuni. 1999. Reticulated Pythons in Sumatra; biology, harvesting and sustainability. Biol. Conserv. 87: 349357. Shine R. 2003. Reproductive Strategies in Snakes. Review Paper. The Royal Society. Seigel RA and Fitch HS. 1984. Ecological patterns of relative clutch mass in snakes. Oecologia. 61: 293–301. Seigel RA and Ford NB. 1991. Phenotypic plasticity in the reproductive characteristics of an oviparous snake, Elaphe guttata: implications for life history studies. Herpetologica. 47: 301–307. Soespandi. 2004. Identifikasi Ular. Profauna Indonesia. Jakarta. Soehartono T dan Ani M. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Perpustakaan Nasional. Jakarta. Stoops ED and Wright AT. 1996. Boas and Python Breeding and Care . T.F.H. Publications, Inc. Neptune City. Sun LX, Shine R, Zhao DB, and Tang ZR. 2002. Low cost, high output; reproduction in an insular Pit Viper (Gloydius shedaoensis) from northeastern China. J. Zool. (Lond). 256: 511-521. Takahashi T and Kawashima M. 2003. ArginineVasotocin Induces Bearing Down for Oviposition in The Hen. Poultry Science. 82: 345-346. Tweedie MWF. 1984. The Snake of Malaya. Singapore National Printers. Singapura. UNEP-WCMC. 2009. UNEP-WCMC Species Database; CITES-Listed Species. http://sea.unep-wcmc.org/isdb/CITES/Taxonomy/tax-common-result.cfm /isdb/CITES/Taxonomy/tax-common-result.cfm?source=animals&display language=eng&Common=22687&Country=ID&tabname=legal. [6 Maret 2009]. Vitt LJ and Congdon JD. 1978. Body shape, reproductive effort, and relative clutch ass in lizards; resolution of a paradox. Am. Nat. 112: 595–608. Vitt LJ and Vangilder LD. 1983. Ecology of a snake community in northeastern Brazil. Amphib.-Reptil. 4: 273–296.
Weiguo Du, Xiang Ji, and Shine R. 2005. Does body volume constrain reproductive output on lizard?. Biol. Lett. 1: 98-100.