PEMANFAATAN CENDAWAN Arthrobotrys oligospora DAN Duddingtonia flagrans UNTUK PENGENDALIAN HAEMONCHOSIS PADA RUMINANSIA KECIL DI INDONESIA Riza Zainuddin Ahmad Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
ABSTRAK Cendawan Arthrobotrys oligospora dan Duddingtonia flagrans dapat digunakan untuk pengendalian haemonchosis yang sulit ditanggulangi dan secara ekonomi merugikan pada ruminansia kecil di Indonesia. Penelitian pemanfaatan cendawan entomofagus telah dilakukan sejak tahun 1990-an dan hasilnya dapat diaplikasikan pada tahun 2000-an. Sebelum terpilih sebagai pengendali biologis, cendawan harus melalui beberapa tahap seleksi dan pengujian yaitu: isolasi dan identifikasi, seleksi stres saluran pencernaan, uji reduksi in vitro dan in vivo, serta aplikasi laboratorium, lapangan, dan oleh pengguna. Dari isolat yang berhasil ditemukan hanya sedikit yang terpilih sebagai cendawan nematofagus. Namun sejumlah temuan isolat yang telah diuji tersebut dapat digunakan untuk pengendalian haemonchosis pada ruminansia kecil di Indonesia. Kata kunci: Arthrobotrys oligospora, Duddingtonia flagrans, haemonchosis, Indonesia
ABSTRACT The use of Arthrobotrys oligospora and Duddingtonia flagrans fungi for controlling haemonchosis in small ruminant in Indonesia The fungi Arthrobotrys oligospora and Duddingtonia flagrans can be used to control haemonchosis. The disease is difficult to handle and causes economic loss in small ruminant in Indonesia. Research on using of nematophagous fungi was started in 1990s and the results were applied in 2000s. Before being chosen as a biological control agent, the fungi must pass some following stages, i.e., isolation and identification, in vitro stress selection for gastrointestinal tract, in vitro and in vivo reduction test to H. contortus, and application in laboratory, in field, and on users. From the isolates found only a few can be used as nematophagous fungi. However, the tested isolates eventually can be used to control haemonchosis in Indonesia. Keywords: Arthrobotrys oligospora, Duddingtonia flagrans, haemonchosis, Indonesia
P
enanggulangan penyakit haemonchosis pada kambing dan domba umumnya dilakukan secara berkala dengan menggunakan obat nematoda (antelmintik). Namun pemakaian antelmintik secara terus-menerus akan menyebabkan nematoda menjadi tahan (resisten) terhadap antelmintik. Resistensi lebih cepat terjadi bila dosis dan cara pemberiannya tidak tepat (Waller 1996; Haryuningtyas et al. 2001). Larsen (2000) juga menyatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini resistensi terhadap antelmintik telah meluas dan merupakan masalah serius khususnya pada ternak ruminansia kecil di daerah subtropis dan
Jurnal Litbang Pertanian, 24(4), 2005
tropis. Oleh karena itu perlu ada alternatif cara pengendalian lainnya. Pengendalian penyakit haemonchosis antara lain dapat dilakukan dengan imunisasi, manajemen pemeliharaan, pengembangan vaksin, seleksi ras yang resisten terhadap nematoda, dan pengendalian secara biologis. Salah satu pilihan dalam pengendalian secara biologis adalah dengan menggunakan cendawan nematofagus (Gambar 1). Sebelum dapat digunakan sebagai agen pengendali, cendawan perlu diseleksi dan diuji ketahanannya pada kondisi seperti dalam saluran pencernaan ternak, uji reduksi in vitro dan in vivo terhadap nematoda,
serta aplikasinya pada skala laboratorium, lapangan, dan oleh pengguna. Haemonchosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh nematoda Haemonchus contortus. Penyakit ini pada umumnya menyerang ternak ruminansia, terutama domba dan kambing. Haemonchosis merupakan masalah kronis dan sulit ditanggulangi di Indonesia antara lain karena sistem beternak masih dengan cara digembalakan serta pemberian antelmintik yang terus menerus dengan dosis rendah dan cara pemberian yang kurang tepat. Sebagai akibatnya, akan timbul galur nematoda yang tahan terhadap antelmintik sehingga perlu mencari 143
A. oligospora dan Duddingtonia flagrans untuk penanggulangan haemonchosis pada kambing dan domba di Indonesia.
Gambar 1.
Hifa
t
t
Larva-3 (tahap infektif)
Cendawan sempurna (membentuk jerat karena rangsangan nematoda)
Pengendalian biologis Haemonchus contortus oleh Arthrobotrys oligospora dan Duddingtonia flagrans pada domba.
antelmintik baru atau meningkatkan dosis antelmintik yang digunakan. Oleh karena itu perlu dicari cara penanggulangan yang lain seperti pengendalian secara biologis dengan memanfaatkan cendawan nematofagus. Haemonchosis merupakan kendala bagi peningkatan produktivitas kambing dan domba karena dapat menghambat pertumbuhan dan menyebabkan kematian, khususnya pada ternak muda (Beriajaya dan Stevenson 1985). Mengingat populasi domba dan kambing di Indonesia cukup besar, maka kerugian ekonomis yang ditimbulkannya juga cukup signifikan, yaitu mencapai US$16,60 juta pada tahun 1984. Pada saat itu populasi domba sekitar 4.365.000 ekor dan kambing 8.141.000 ekor (Parson dan Vere 1984). Pada tahun 2004 populasi kambing mencapai 13.441.699 ekor dan domba 8.245.871 ekor (Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan 2004) sehingga kerugian yang ditimbulkan akan 144
Larva-5
Pemberian cendawan spora per oral
Larva-2 (tahap prainfektif)
t
Spora
Larva-1
t
Telur (keluar bersama tinja)
Larva-4
Pengurangan re-infeksi
t
Larva-3 yang bergerak ke rumput di jerat H. concortus
t
Tahap pemilihan
bertambah besar bila masalah haemonchosis tidak ditanggulangi. Penelitian pengendalian nematoda saluran pencernaan dengan menggunakan cendawan nematofagus telah banyak dilakukan (Barron 1977; Gronvold et al. 1989). Teknik biologi molekuler telah pula digunakan dalam karakterisasi dan deteksi isolat cendawan nematofagus, serta identifikasi jenis cendawan berdasarkan gen RNA atau DNA (Larsen et al. 1998; Skipp et al. 2002). Cendawan nematofagus Arthrobotrys oligospora dan cendawan nematofagus lainnya telah banyak digunakan dalam pengendalian nematoda parasit pada saluran pencernaan ternak di berbagai negara (Waller dan Larsen 1996; Larsen 2000; Ahmad et al. 2002), dan jenis-jenis cendawan ini terdapat pula di Indonesia (Ahmad 2001; Ahmad dan Beriajaya 2003). Tulisan ini merupakan ulasan tentang penggunaan cendawan
BIOLOGI DAN PENGENDALIAN NEMATODA Haemonchus contortus H. contortus merupakan salah satu nematoda parasit terpenting pada ruminansia kecil (domba dan kambing). Nematoda ini hidup dalam abomasum ternak, dan mempunyai dua fase dalam siklus hidupnya, yaitu fase larva hidup di luar tubuh inang dan fase parasit dalam tubuh inang. Fase larva dimulai saat telur keluar bersama tinja inang. Selanjutnya pada suhu, kelembapan, dan curah hujan yang sesuai, telur menetas menjadi larva (larva1 dan larva-2) yang merupakan tahap prainfektif. Larva kemudian berkembang menjadi larva-3 yang dapat bergerak aktif dalam 4−6 hari. Larva-3 (bersifat infektif) kemudian naik ke rerumputan atau batang semak. Bila ada kambing atau domba yang memakan rerumputan tersebut maka larva ikut termakan ternak dan menjadi patogenik bila dapat hidup dalam inang. Di dalam tubuh inang, larva-3 yang infektif akan berkembang dan tumbuh menjadi larva-4 (pradewasa). Terakhir, larva-4 berkembang menjadi larva-5 (dewasa) yang siap bertelur pada hari ke-15 sampai ke-20 setelah infeksi (Urquhart et al. 1987). Nematoda ini mengisap darah dengan menggigit dinding saluran pencernaan bagian atas sehingga menyebabkan anemia primer. Domba yang terinfeksi H. contortus dapat mengalami hipoproteinemia, hipokalsemia dan hipofosfatemia, yang mengakibatkan turunnya bobot karkas (Soulsby 1986). Domba dikatakan menderita haemonchosis jika terinfeksi 5.000 larva H. contortus. Pada kasus akut ditemukan 2.000−20.000 larva dan pada kasus hiperakut ditemukan 30.000 larva. Gejala klinis yang terlihat pada domba dan kambing berupa anemia, edema, dan bulu rontok (Urquhart et al. 1987). Di Denmark, jenis nematoda Cooperia oncophora dan Ostertagia ostertagi banyak ditemukan di tanah pertanian (Gronvold et al. 1985) karena didukung oleh iklim subtropis. Di Bogor dengan iklim tropis, H. contortus mempunyai prevalensi tinggi di antara nematoda Trichostrongylus spp. Rata-rata jumlah telur Jurnal Litbang Pertanian, 24(4), 2005
genus Strongyle berfluktuasi, yaitu menurun setelah akhir musim panas dan meningkat pada bulan 3−4 setelah awal musim hujan. Di Jawa Barat, infeksi haemonchosis lebih tinggi dibandingkan infeksi nematoda jenis lain (Ridwan et al. 1996). Infeksi Haemonchus spp. dapat diobati dengan antelmintik seperti benzimidazol, imidazothiazol, ivermectin, organofosfat, piperazin, dan salisilanilide (Urquhart et al. 1987). Namun pemakaian antelmintik secara terus menerus dalam waktu yang lama dan dengan dosis yang kurang tepat dapat menyebabkan resistensi. Strategi manajemen merumput dapat mengurangi larva nematoda saluran pencernaan pada ternak (Larsen 2000), namun strategi ini tidak dapat sepenuhnya diadaptasi karena penggembalaan sulit dilakukan dengan berpindah-pindah. Seleksi ternak yang resisten terhadap nematoda cukup baik untuk diterapkan, namun cara ini masih dalam taraf pengembangan dan biayanya sangat mahal sehingga sulit diterapkan. Pengendalian yang berpeluang diterapkan adalah dengan menggunakan cendawan nematofagus, yaitu cendawan pengendali parasit nematoda.
PEMANFAATAN CENDAWAN NEMATOFAGUS Prinsip dasar pengendalian secara biologi adalah bukan memusnahkan hama, tetapi hanya menekan populasi hama di bawah kondisi yang membahayakan inang dengan memanfaatkan musuh alaminya. Suatu agen pengendali biologis yang termasuk agen biotik tidak memusnahkan organisme sasaran secara keseluruhan, tetapi hanya menguranginya (Larsen 2000). Cendawan pengendali biologis nematoda parasit hanya mengendalikan nematoda dalam bentuk larva di alam bebas (padang rumput, tanah) di luar tubuh inang. Oleh karena itu, pengetahuan tentang siklus hidup parasit ini perlu dipelajari. Prinsip utama dalam menyeleksi kandidat cendawan sebagai agen pengendali biologis adalah sebagai berikut: 1) Cendawan yang akan diteliti sebaiknya berasal dari cendawan yang tersedia di laboratorium, dan cendawan tersebut telah melalui berbagai pengujian untuk menghindari kemungJurnal Litbang Pertanian, 24(4), 2005
kinan cendawan kehilangan kemampuan sebagai cendawan nematofagus setelah mengalami pasase berulang kali. 2) Pada umumnya setiap negara mempunyai peraturan khusus dalam pemasukan dan pengeluaran organisme eksotik yang hidup. 3) Banyak cendawan nematofagus yang ditemukan tidak mampu bertahan hidup atau kehilangan kemampuan nematofagusnya setelah melalui pasase pada saluran pencernaan. 4) Isolat lokal lebih baik daripada isolat impor bila diaplikasikan untuk keperluan lokal, karena cendawan tersebut tidak memerlukan waktu untuk beradaptasi (Waller 1997). Aplikasi cendawan nematofagus sebenarnya bertujuan untuk mengendalikan parasit di lingkungan dengan cara mengurangi populasi larva infektif. Faktor lingkungan mempengaruhi kemampuan cendawan nematofagus, seperti mikroorganisme pesaing, cemaran pestisida, dan bencana alam seperti banjir. Faktor lingkungan ini perlu diperhatikan agar pemakaian agen pengendali biologis tersebut efektif. Tidak semua cendawan nematofagus dapat dimanfaatkan sebagai agen pengendalian karena tidak mampu melewati tekanan (stres) secara in vitro maupun in vivo, sehingga cendawan yang lolos uji seperti ini hanya sedikit. Di Australia, dari 1.742 sampel yang dikoleksi hanya 3% berhasil ditemukan dan lolos uji (Larsen et al. 1994). Di Brasil hanya ditemukan sekitar 4% dari 120 sampel yang dikoleksi yang terdiri atas predator 96% dan endoparasit 4% (Padilha 1998). Di Fiji, dari 2.459 sampel hanya 2% yang berupa isolat cendawan nematofagus (Manueli 1998). Sementara di Indonesia pada uji in vivo, dari 11% cendawan nematofagus yang ditemukan hanya 0,50% yang lolos uji (Ahmad 2001). Sedikitnya jumlah cendawan nematofagus yang ditemukan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain tidak semua cendawan tanah tahan terhadap tekanan enzim dan kondisi asam dan suhu seperti dalam saluran pencernaan. Hanya beberapa cendawan saja yang lolos uji seperti ini, antara lain Arthrobotrys spp. Setelah melewati uji, cendawan tetap harus mempunyai kemampuan membunuh larva nematoda (Ahmad 2001). Waller (1996) dan Faedo et al. (1998) juga menyatakan cendawan dapat kehilangan kemampuan
pemangsaannya akibat dipasase berkali-kali, seperti pada A. oligospora dan D. flagrans. Untuk mengatasi kemungkinan didapatnya sedikit cendawan nematofagus perlu dilakukan isolasi sampel sebanyak-banyaknya dalam kurun waktu yang relatif panjang, khususnya di daerah yang endemis haemonchosis. Waktu pengambilan sampel harus tepat, yaitu akhir musim hujan dan awal musim panas, karena pada saat itu cendawan mudah tumbuh dan banyak ditemukan. Selain itu, pengoleksian sampel perlu memperhatikan ekologi cendawan di daerah asal. Bila ada cendawan lain yang antagonis tumbuh dominan sebaiknya tidak dilakukan koleksi di daerah tersebut. Misalnya, bila Trichoderma spp. banyak ditemukan maka sebaiknya di daerah tersebut tidak dilakukan isolasi untuk Arthrobotrys spp., sedangkan untuk D. flagrans dapat dilakukan.
Cendawan A. oligospora A. oligospora membentuk jerat secara tidak spontan dengan konidiafor bercabang membentuk jerat yang lengket lebih dari satu. Konidia berumpun, bersepta berbentuk piriform dengan ukuran yang bervariasi, yaitu 22–32 µm x 12–20 µm (Barron 1977). Cendawan predator seperti A. oligospora membuat perangkap pada saat larva bergerak, dan bila menyentuh hifa maka cendawan ini akan mengeluarkan sekresi perekat yang mengandung zat kemoatraktan dan enzim pengurai kutikula sehingga larva akan melekat, lalu terjadilah penetrasi pada kutikula (Gronvold et al. 1993). Saat masuk ke dalam tubuh larva, cendawan membentuk gelembung yang selanjutnya tumbuh berkembang hingga akhirnya larva mati. Pada cendawan A. oligospora, jaring perangkap terbentuk dalam keadaan sedikit makanan dan rangsangan oleh faktor fisika, kimia atau biologi, seperti larva nematoda (Gronvold et al. 1988). Perangkap yang dibuat dapat berbentuk tunggal atau majemuk. Perangkap terbentuk secara optimal pada suhu 25oC, pH 5−6, kelembapan 90%, dan kadar oksigen murni 100% atau oksigen normal 21% (oksigen udara) (Barron 1977; Gronvold et al. 1988; 1989). Menurut Waller et al. (1994), beberapa medium seperti corn meal agar (CMA), faecal agar (FA), dan malt agar 145
(MA) dapat digunakan sebagai media pertumbuhan dan sporulasi cendawan nematofagus. Pada suhu sekitar 20oC, A. oligospora pada media CMA memperlihatkan pertumbuhan miselium yang optimal rata-rata 2 mm/hari (Gronvold et al. 1985). Cendawan ini bersifat inert atau tidak berfungsi dalam bentuk spora pada tumpukan tinja ternak, dan umumnya ikut dalam proses daur ulang tinja bersama mikroba lainnya. Cendawan tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan (Waller dan Larsen 1996). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian aplikasi A. oligospora secara oral pada domba dan kambing atau langsung ke padang rumput (Ahmad dan Beriajaya 2005).
Cendawan D. flagrans D. flagrans mempunyai ciri khas yang merupakan keunggulannya dibanding cendawan nematofagus lain, yaitu mampu membentuk klamidospora yang efisien dari hifanya sendiri. Cendawan tumbuh pada suhu 20–30oC. Pemberian 20 larva nematoda/cm2 akan menginduksi cendawan untuk membentuk perangkap, optimal pada suhu 30 oC yang akan menghasilkan 700– 800 jerat/cm2/2 hari. Cendawan menghasilkan dua jenis spora, yaitu yang berdinding tipis yang akan menghasilkan konidia spora dengan jumlah terbatas pada saat cendawan berumur muda, dan yang berdinding tebal berupa klamidospora yang dihasilkan hifa yang matang. Selama proses penuaan, jumlah klamidospora meningkat sampai batas tertentu (Gronvold et al. 1996). D. flagrans digunakan untuk mengendalikan nematoda parasit Osepohagostomum dentatus dan Hyostrongylus rabidus pada babi, Cysthostome, Strongylus vulgaris, dan S. edentatum pada kuda, serta Trichosngylus colubriformis pada domba dan sapi (Larsen et al. 1995, 1996; 1998; Nansen et al. 1996; Faedo et al. 1998). Cendawan memerangkap nematoda dengan jerat yang lengket. Jerat dibentuk oleh hifa vegetatif, dimulai dengan pertumbuhan cabang yang kokoh lalu tumbuh berbalik melingkar dan menempel beranastomosa dengan hifa induk atau membentuk jerat lainnya. Jerat berbentuk tunggal atau simpul (tiga jerat). Setelah memerangkap larva dan membentuk tabung penetrasi, tabung akan membeng146
kak membentuk gelembung setelah memenetrasi kutikula, lalu masuk ke dalam interior larva. Selanjutnya cendawan tumbuh dan berkembang di dalam larva yang kemudian merusak larva. Hasil penelitian membuktikan cendawan cukup optimal dalam membunuh larva nematoda infektif. Pemakaian D. flagrans dapat dikombinasikan dengan cendawan nematofagus lain seperti A. oligospora (Larsen 2000). Di Indonesia pemanfaatan cendawan nematofagus mempunyai prospek yang cerah dengan dukungan plasma nutfah dan kondisi ternak ruminansia kecil. Aplikasi 500.000 konidia D. flagrans mampu menurunkan larva H. contortus dari 7.280 menjadi 610 larva (Ahmad et al. 2002; Ahmad 2003).
Perkembangan Penelitian Penelitian pengendalian nematoda saluran pencernaan dengan menggunakan cendawan nematofagus dirintis oleh Barron (1977) dan Gronvold et al. (1989). Penelitian dimulai dengan isolasi dan identifikasi cendawan nematofagus, dilanjutkan dengan uji in vitro dan in vivo, khususnya terhadap nematoda saluran pencernaan H. contortus (Waller dan Faedo 1993; Waller et al. 1994). Di Indonesia penelitian pemanfaatan cendawan nematofagus dimulai pada tahun 1990-an dan memasuki tahap aplikasi pada tahun 2000-an (Tabel 1). Penelitian dimulai dengan isolasi dan identifikasi isolat cendawan dengan beberapa metode (Ahmad 1999). Setelah isolat ditemukan, dilakukan pengujian ketahanan hidup cendawan secara in vitro dengan kondisi menyerupai saluran
pencernaan, seperti kondisi asam, basa, enzim, dan suhu (Beriajaya dan Ahmad 1999). Selanjutnya dilakukan pencarian isolat-isolat baru yang diduga potensial sebagai cendawan nematofagus terhadap haemonchosis (Ahmad 2001; Ahmad et al. 2001; Beriajaya et al. 2001) disertai pengujian kemampuan mereduksi H. contortus secara in vitro. Cendawan yang lolos pada uji ini selanjutnya diuji secara in vivo pada ternak (Ahmad 2001; Beriajaya et al. 2001). Dilakukan pula pengujian beberapa media lokal untuk perbanyakan spora dalam rangka penerapannya di lapangan (Ahmad 2002). Terakhir dilakukan pengujian cara aplikasi, yaitu secara oral atau langsung pada padang rumput. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian secara oral lebih baik daripada langsung pada padang rumput (Beriajaya et al. 2001; Ahmad dan Beriajaya 2005). Berdasarkan hasil penelitian, daerahdaerah tertentu di Indonesia merupakan tempat penyebaran cendawan nematofagus (Ahmad dan Beriajaya 1998; Ahmad 2001; Ahmad dan Beriajaya 2003). Hasil penelitian in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa genus Arthrobotrys spp. dan D. flagrans lebih unggul dibanding spesies lainnya (Waller dan Larsen 1996).
IMPLEMENTASI PENGENDALIAN BIOLOGIS HAEMONCHOSIS Implementasi pengendalian haemonchosis secara biologis perlu didukung dengan pelatihan dan penyuluhan
Tabel 1. Perkembangan penelitian pengendalian haemonchosis secara biologi pada ternak ruminansia kecil. Penelitian Isolasi Verticillium spp. Metode isolasi cendawan nematofagus Reduksi A. oligospora terhadap H. contortus in vitro Reduksi A. oligospora terhadap H. contortus in vivo Media lokal cendawan nematofagus Reduksi Trichoderma sp. terhadap H. contortus in vitro Reduksi Fusarium poae terhadap H. contortus in vitro Potensi D. flagrans sebagai cendawan nematofagus
Sumber Ahmad dan Beriajaya (1998) Ahmad (1999); Ahmad et al. (2001) Beriajaya dan Ahmad (1999) Beriajaya et al. (2000, 2001) Ahmad (2002) Beriajaya dan Ahmad (2002) Ahmad dan Beriajaya (2002) Ahmad (2003)
Jurnal Litbang Pertanian, 24(4), 2005
terutama bagi pengguna atau peternak kecil yang biasanya berpendidikan rendah. Diharapkan melalui pelatihan dan penyuluhan, pengetahuan peternak akan meningkat sehingga dapat menerapkan teknologi dengan tepat. Bagi pengguna dengan tingkat pendidikan tinggi dan ekonomi kuat cukup diberikan penyuluhan dan buku petunjuk aplikasi dan bantuan akses komunikasi. Biasanya implementasi oleh pengguna berpendidikan tinggi dan ekonomi kuat lebih cepat dibandingkan pengguna lainnya. Umumnya pengguna lebih menyukai memberikan cendawan nematofagus secara oral dibanding langsung pada padang penggembalaan. Hal ini didukung
hasil penelitian bahwa aplikasi secara oral memberikan hasil yang memuaskan (Faedo et al. 1998; Larsen et al. 1998; Beriajaya et al. 2001). Dosis aplikasi cendawan yang tepat perlu memperhatikan kondisi ekosistem dan ekologi. Aplikasi dilakukan bersamaan dengan penggunaan antelmintik dan manajemen pemeliharaan yang baik.
KESIMPULAN DAN SARAN Haemonchosis merupakan penyakit penting pada ternak ruminansia kecil karena merugikan secara ekonomi. Penyakit dapat ditanggulangi dengan
memberikan antelmintik, menerapkan manajemen pemeliharaan yang baik, imunisasi, dan menggunakan cendawan nematofagus A. oligospora dan D. flagrans. Pengendalian terbaik adalah secara terpadu dengan pemberian antelmintik, penerapan manajemen pemeliharaan yang baik dan pengendalian biologis. Masalah-masalah yang timbul dalam pemanfaatan cendawan nematofagus dalam pengendalian haemonchosis dapat diatasi melalui kerja sama yang sinergis antara penelitian dan penyuluhan dengan dukungan pemerintah terutama dalam sosialisasi dan aplikasi cara pengendalian biologis ini.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, R.Z. dan Beriajaya. 1998. Isolasi Verticillium spp. untuk dipakai sebagai kontrol biologi nematoda-nematoda. Buletin IPKHI 7 (2): 13−16. Ahmad, R.Z. 1999. Pemakaian dua metode isolasi cendawan nematofagus dari tanah di daerah Bogor. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner jilid II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 1.027−1.029. Ahmad, R.Z. 2001. Isolasi dan seleksi cendawan nematofagus untuk pengendalian haemonchosis pada domba. Thesis Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ahmad, R.Z., F. Satrija, J. Ridwan, dan M. Larsen. 2001. Identifikasi kandidat cendawan nematofagus Arthrobotrys oligospora, cendawan endoparasit, dan Monacrosporium gephyropagum dari beberapa lokasi di daerah Bogor. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 2(1): 140−144. Ahmad. R.Z. 2002. Media lokal untuk pertumbuhan cendawan nematofagus sebagai sebuah model. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 444−449. Ahmad, R.Z. dan Beriajaya. 2002. Efek nematofagus cendawan Fusarium poae isolat lokal Larva3 Haemonchus contortus secara in vitro. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 3 (1 dan 2): 9−13.
Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia (4); 14−20/2004; 5(1−2): 14−20. Ahmad, R.Z. dan Beriajaya. 2003. Penyebaran dan jenis cendawan nematofagus sebagai pengendali parasit nematoda ternak di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 199−204. Ahmad, R.Z. dan Beriajaya. 2005. Kemampuan cendawan nematofagus A. oligospora lokal untuk mengurangi larva infektif H. contortus di padang gembalaan. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Barron, G.L.1977. The nematode destroying fungi. In Tropic Mycrobiology No.1. Canadian Biological Publication Ltd. Guelph, Ontario, Canada. Beriajaya and P. Stevenson. 1985. The effect of anthelmintic treatment on the weight gain of village sheep. Proceeding. the 3rd AAAP Animal Science Congress, Seoul, 6−10 May, (1): 519−521. Beriajaya dan R.Z. Ahmad. 1999. Cendawan Arthrobotrys oligospora untuk pengendalian nematoda Haemonchus contortus pada domba. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner Jilid II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 980−985.
Ahmad, R.Z., Beriajaya, dan S. Hastiono. 2002. Pengendalian infeksi nematoda-nematoda saluran pencernaan ruminansia kecil dengan cendawan nematofagus. Wartazoa 12 (3): 121−126.
Beriajaya, R.Z. Ahmad, dan E. Kusumaningtyas. 2000. Efikasi cendawan nematofagus pada domba dan kambing di daerah Kendal, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 498−503.
Ahmad, R.Z. 2003. Potensi Duddingtonia flagrans sebagai cendawan nematofagus.
Beriajaya, R.Z. Ahmad, dan E. Kusumaningtyas. 2001. Efikasi cendawan nematofagus pada
Jurnal Litbang Pertanian, 24(4), 2005
ternak domba dan kambing. Prosiding Hasil Penelitian Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan/ARMP II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 364−370. Beriajaya dan R.Z. Ahmad. 2002. Pengurangan larva nematoda Haemonchus contortus oleh konidia cendawan Trichoderma sp. secara in vitro. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 398−402. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2004. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta. Faedo, M., E.H. Barnes, R.J. Dobson, and P.J. Waller. 1998. The potential of nematophagous fungi to control the free-living stages of nematode parasites of sheep: Pasture plot study with Duddingtonia flagrans. Vet. Parasitol. 76: 129−135. Gronvold, J., H. Korshollm, J. Wolstrup, P. Nansen, and S.A. Henriksen. 1985. Laboratory experiments to evaluate the ability of Arthrobotrys oligospora to destroy infective larvae Cooperia spesies and to investigate the effect of physical factors on the growth of the fungus. J. Helminthol. 59: 119−125. Gronvold, J., P. Nansen, S.A. Henriksen, J. Thylin, and J. Wolstrup. 1988. The capability of the predacious fungus Arthrobotrys oligospora (Hyphomycetales) to reduce numbers of infective larvae of Ostertagia ostertagi (Trichostrongylidae) in cow pats and herbage during the grazing season in Denmark. J. Helminthol. 62: 271−280. Gronvold, J., S.A. Henriksen, P. Nansen, J. Wolstrup, and J. Thylin. 1989. Attemps to control infection with Ostertagia ostertagi
147
(Trichostrongylidae) in grazing calves by adding mycelium of the nematodetrapping fungus Arthrobotrys oligospora (Hyphomycetales) to cow pats. J. Helminthol. 63: 115−126. Gronvold, J., J. Wolstrup, P. Nansen, S.A. Henriksen, M. Larsen, and J. Bresciani. 1993. Biological control of nematode parasites in cattle with nematode-trapping fungi: a survey of Danish studies. Vet. Parasitol. 48: 311−325. Gronvold, J., S.A. Henriksen, M. Larsen, P. Nansen, and J. Wolstrup. 1996. Biological control, aspects of biological control with special reference to arthropods, protozoan and helminth of domesticated animals. Vet. Parasitol. 64: 47−64. Haryuningtyas, D., Beriajaya, dan G.D. Gray. 2001. Resistensi antelmintik golongan benzimidazole pada domba dan kambing di Indonesia. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor, 17− 18 September 2001. Larsen, M., M. Faedo, and P.J. Waller. 1994. The potential of nematophagous fungi to control the free-living stages of nematode parasites of sheep; survey for presence of fungi in fresh faeces of grazing livestock in Australia. Vet. Parasitol. 53: 275−281. Larsen. M., P. Nansen, J. Wolstrup, J. Gronvold, S.A. Henrikesn, and A. Zorn. 1995. Biological control of trichostrongyles in calves by fungus Duddingtonia flagrans fed to animals under natural grazing conditions. Vet. Parasitol. 60: 321−330. Larsen. M., P. Nansen, C. Grondhal, S.M. Thamsborg, J. Gronvold, J. Wolstrup, S.A. Henriksen, and J. Monrad. 1996. The capacity of fungus Duddingtonia flagrans to prevent strongyle infections in foals on pasture. Parasitology 113: 1−6.
148
Larsen. M., M. Faedo, P.J. Waller, and D.R. Hannessy. 1998. The potential of nematophagous fungi to control the freeliving stages of nematodes parasites of sheep: Studies with Duddingtonia flagrans. Vet. Parasitol. 76: 121−128.
Skipp. R.A., G. W. Yeates, L.Y. Chen, T.R. Glove. 2002. Occurrence, morphological characteristic and ribotyping of New Zealand isolates of Duddingtonia flagrans, a candidate for biocontrol of animal parasite. NZ J. Agric. Res. (45): 187−196.
Larsen, M. 2000. Prospects for controlling animal parasitic nematodes by predacious micro fungi. Parasitology 120: S121−S131.
Soulsby, E.J.L. 1986. Helmiths, Protozoa and Arthropods of Domesticated Animal. 7 th. Edition. Bailliere Tindall, London.
Manueli, P.R. 1998. Livestock production, effects of helminth parasites and prospects for their biological control in Fiji. Biological control of gastro-intestinal nematodes of ruminants using predacious fungi. Proceedings of a workshop organized by FAO and the Danish Centre for Experimental Parasitology Ipoh, Malaysia, 5−12 October 1997. p. 47−53.
Urquhart, G.M., J. Armour, J.L. Duncan, A.M. Dunn, and F.W. Jennings. 1987. Veterinary Parasitology. Departement of Veterinary Parasitology, Faculty of Veterinary Medicine, The University of Glasgow, Scotland. Longman Scientific & Technical. Published in USA by Churchill Livingstone Inc, New York.
Nansen. P., M. Larsen, A. Roepstorff, J. Gronvold, J. Wolstrup and S.A Henriksen. 1996. Control of Oesophagostomum dentatum and Hystongylus rubidus in outdoorreard pigs by daily feeding with the microfungus Duddingtonia flagrans. Parasitol. Res. 82: 580−584. Parson, S.A. and D.T. Vere. 1984. A benefit-cost analysis of the Bakitwan Project, Bogor, Indonesia. A report to the Australian Development Assistance Bureau. New South Wales. Department of Agriculture, Australia. p. 1− 20. Padilha, T. 1998. Studies on nematophagous fungi to reduce pasture infectifying with free-living stages of Trichostrongylid nematodes. FAO Animal Production and Health Paper 141. Ridwan, Y., S. Kusumamihardja, P. Dorny, and J. Vercruysse. 1996. The Epidemiology of Gastro-intestinal nematodes of sheep in West Java Indonesia. Hemerazoa 78: 8−18.
Waller, P. and M. Faedo. 1993. The potential of nematophagous fungi to control the freeliving stages of nematode parasites of sheep: Screening studies. Vet. Parasitol. 49: 285− 297. Waller, P., M. Larsen, and D.R. Henness. 1994. The potential of nematophagous fungi to control the free-living stages of nematode parasites of sheep: In vitro and in vivo studies. Vet. Parasitol. 51: 289−299. Waller P.J. 1996. Worm control of livestockthe biological alternative. Workshop on the Sustainable Parasite Control in Small Ruminants, Bogor, Indonesia, 22−25 April 1996. p. 160−164. Waller, P. and M. Larsen. 1996. Workshop summary: Biological control of nematode parasites of livestock. Vet. Parasitol. 64: 135−137. Waller, P.J. 1997. Sustainable helminth control of ruminants in developing countries. Vet. Parasitol. 71: 195−207.
Jurnal Litbang Pertanian, 24(4), 2005