Jurnal Matematika dan Sains Vol. 9 No. 2, Juni 2004, hal 233-239
Isolasi dan Karakterisasi Mutan sup45 Saccharomyces cerevisiae Sensitif Temperatur Akhmaloka, R. Hertadi, Senam, P. E. Susilowati, M. Sindumarta dan H. Sutedjo Departemen Kimia, FMIPA, Institut Teknologi Bandung Jl Ganesa 10, Bandung Diterima Desember 2002, disetujui untuk dipublikasikan Oktober 2003 Abstrak Salah satu pendekatan untuk mempelajari struktur-fungsi suatu gen adalah dengan mempelajari mutan-mutannya. Beberapa mutan sup45 telah diisolasi dari Saccharomyces cerevisiae galur BSC483/1a yang telah diinduksi dengan mutagen EMS (etil metan sulfonat). Mutasi dilakukan secara in vivo dan diperoleh konsentrasi EMS optimal 1,5% (v/v). Delapan mutan sensitif temperatur (ts) sup45 diperoleh dari hasil seleksi 515 mutan allosuppressor. Karakterisasi profil pertumbuhan mutan menunjukkan bahwa setiap mutan sup45 memiliki laju pertumbuhan dan pertumbuhan maksimum lebih rendah dari galur induknya. Selain itu, masing-masing mutan sup45 memiliki fenotipik yang bervariasi, diantaranya 6 mutan bersifat sensitif temperatur dan 2 mutan bersifat sensitif temperatur dan hipersensitif paromomisin. Semua mutan menunjukan sifat allosuppressor dalam media YEPD. Analisis tingkat allosuppresi dari mutan sup45 dengan menggunakan plasmid yang membawa gen fusi PGK-oligonukleotida (kodon terminasi)-LACZ, menunjukkan adanya variasi tingkat allosuppresi. Studi sensitifitas mutan-mutan sup45 terhadap temperatur menunjukkan adanya perbedaan letalitas pada temperatur yang berbeda. Satu mutan mati pada temperatur 32oC, 3 mutan mati pada 34oC, 1 mutan mati pada 35,5oC dan 3 mutan lainnya mati pada 37oC. Analisis lebih lanjut pada dua mutan menunjukkan adanya kenaikan tingkat allosuppresi dengan naiknya temperatur pertumbuhan. Seluruh hasil-hasil karakterisasi di atas menunjunkan bahwa mutan-mutan sup45 yang diperoleh bersifat allele specific. Kata kunci: allosuppressor, sup45, Saccharomyces cerevisiae. Abstract One of the approachs to understand the structure-function of the gene is by studying its mutants. A few of sup45 ts mutants was isolated from Saccharomyces cerevisiae strain BSC483/1a induced by EMS. The concentration EMS of 1.5% (v/v) was found to be the most effective concentration on this study. Eight of sup45 ts mutants were selected from 515 allosupressor mutants. All of the mutants showed lower growth rate and maximum growth compared to that of the wild type. In addition of allosuppression phenotype, six of the mutant showed temperature sensitive and the other two exhibited temperature and paromomycine sensitive. Quantitation of an allosuppression phenotype using plasmid-borned gene fusion, PGK-termination codon-LACZ, showed that the mutants have a variation level of allosuppression. Temperature sensitivity analysis of the mutants showed that one, three, and one mutants were unviable at 32, 34, and 37OC, respectively. Further analysis on two of the mutants showed that the allosuppression level increased by increasing temperature growth. All the data suggested that the mutants were allelic specific mutants. Keyword: allosuppressor, sup45, Saccharomyces cerevisiae. Mutasi pada lokus SUP45 menghasilkan berbagai allele dengan fenotipik yang spesifik disamping allosuppressor terhadap suppressor tRNA SUQ52), juga omnipotent suppressor, hipersensitif terhadap antibiotik aminoglikosida (paromomisin dan higromisin) dan sensitif temperatur3,4). Kloning dan analisis urutan nukleotida gen SUP45 telah dilakukan5,6). Dari hasil analisis urutan nukelotida diperoleh bahwa gen SUP45 mengkode protein dengan berat molekul 49 kD . Studi homologi pada E. coli menunjukkan bahwa protein ini memiliki homologi yang sangat rendah dengan protein ribosom7), tetapi urutan nukleotida pada daerah hulu dari gen SUP45 menyerupai daerah conserved lestari hulu 5’ pada gen yang mengkode protein ribosom pada S. cerevisiae. Analisis Western Blot ditemukan bahwa protein Sup45p terikat erat pada ribosom8,9).
1. Pendahuluan Studi terminasi translasi baik di sel prokariot maupun eukariot saat kini banyak dilakukan melalui pendekatan identifikasi sejumlah mutan yang dapat menaikan maupun menurunkan efisiensi pengenalan kodon terminasi. Sejumlah besar dari mutan ini telah diisolasi dan terbukti sangat bermanfaat dalam penelitian mekanisme terminasi translasi di Escherichia coli1). Mutan-mutan yang banyak dipelajari adalah mutan yang berperan sebagai nonsense suppressor dan/atau mutan yang mengubah efisiensi nonsense suppressor seperti antisuppressor dan allosuppressor. Mutan allosuppressor yang banyak dipelajari pada Saccharomyces cerevisiae adalah sup35 dan sup45. 233
234
Data ini menyarankan bahwa protein Sup45p memainkan peranan penting dalam proses translasi pada S. cerevisiae. Saat ini protein Sup45p telah diidentifikasi sebagai faktor terminasi pada S. cerevisiae10). Aktivitas protein ini bergantung pada produk gen lain, yaitu Sup35p11). Kedua protein dikenal sebagai eRF1 dan eRF3, berinteraksi satu sama lain untuk membentuk release factor yang fungsional11,12). Berbeda dengan faktor terminasi pada E. coli, kompleks protein eRF1-eRF3 mengenal ketiga kodon terminasi. Pada E. coli, kodon UAA dan UAG dikenal oleh RF1, sedangkan RF2 dan RF3 dikenal oleh RF2. Fungsi RF3 adalah untuk memediasi aktivitas RF1 dan RF213). Berdasarkan uraian di atas nampak adanya perbedaan mekanisme terminasi translasi di sistem eukariot dan prokariot. Penelitian lebih lanjut dengan tujuan untuk mengidentifikasi domain-domain eRF1 yang bertanggung jawab untuk fungsi dari protein ini dalam proses terminasi translasi telah dan masih banyak dilakukan14,15,16,17). Walaupun demikian mekanisme rinci dari proses terminasi translasi pada S. cerevisiae masih belum banyak diketahui. Pada tulisan ini dilaporkan karakterisasi mutan-mutan temperatur sensitif sup45 yang telah diisolasi melalui mutasi in vivo dengan menggunakan EMS. 2. Bahan dan Metode Penelitian 2.1. Bahan 2.1.1. Galur S. cerevisiae Galur S. cerevisiae yang digunakan adalah BSC483/1a (MATα, SUQ5, ade2-1, his5-2, lys1-1, can1-100, PNN1, ura3-1, [psi-]), sup45-22 dan MT453/3c (MATa, SUQ5, ade2-1, leu2-1, can1-100, ura3-1, [psi-]). BSC483/1a, diperoleh dari School of Biological Sciences, University of Kent, digunakan sebagai target sel untuk mutasi. Selain itu juga digunakan mutan H48 sup45 sensitif antibiotik yang diperoleh dari Laboratorium Rekayasa Genetika PPAU-Bioteknologi ITB. 2.1.2. Galur E. coli E. coli DH5α (supE44 ∆lacU169 (φ80LACZ M15) hsdR17 recA1 endA1 gyrA96 thi-1 relA1) digunakan untuk perbanyakan plasmid dan diperoleh dari Laboratorium Rekayasa Genetika PPAUBioteknologi ITB. 2.1.3. Plasmid Plasmid yang digunakan dalam penelitian ini adalah pUKC802 digunakan untuk uji komplementasi, sedangkan plasmid pUKC815, 817, 818 dan 819 digunakan untuk uji allosuppresi. Semua plasmid di peroleh dari School of Biological Sciences, University of Kent, Canterbury.
JMS Vol. 9 No. 2, Juni 2004
2.2. Metode 2.2.1. Media Pertumbuhan dan Kondisi Kultur Kultur S. cerevisiae ditumbuhkan pada media YEPD (Glukosa 2% (b/v), pepton bakteri 2% (b/v), ektrak ragi 1% (b/v)) pada suhu 30oC. Media SM (basa notrogen ragi tanpa asam amino 0,67% (b/v), glukosa 2% (b/v)) digunakan untuk uji auksotrop. Suplemen asam amino ditambahkan dengan konsentrasi akhir 200 mg/mL untuk histidin dan lisin. Selain itu urasil dan adenin ditambahkan dengan konsentrasi akhir masing-masing 100 mg/mL dan 200 mg/mL. Media padat Y8 dibuat seperti media YEPD dengan mengganti kadar glukosa menjadi 8% (b/v), sedangkan media YPG juga dibuat seperti YEPD dengan mengganti glukosa dengan gliserol dengan konsentrasi akhir 3% (b/v). Media pada yang mengandung paromomisin dibuat dengan menambahkan antibiotik paromomisin ke dalam media YEPD dengan konsentrasi akhir 300, 600, 800 dan 1000 µg/mL. Galur E. coli ditumbuhkan pada suhu 37oC dalam media LB (ektrak ragi 0,5% (b/v), NaCl 0,5% (b/v) dan tripton 1% (b/v)). Ampisilin 50 µg/mL ditambahkan ke dalam media LB untuk seleksi transforman. 2.2.2. Mutasi Sel S. cerevisiae yang akan dimutasi ditumbuhkan pada media YEPD hingga mencapai kerapatan optik 107 sel/mL. Sel kemudian diendapkan dan diresuspensi dalam bufer fosfat 0,1 M dengan pH 7. 1 mL kultur kemudian di tempatkan pada 5 tabung yang mengandung glukosa 2% (b/v) dan EMS dengan konsentrasi 0%, 1%, 1,5%, 2% dan 2,5% (v/v). Ke dalam campuran ini kemudian ditambahkan bufer fosfat 0,1 M pH7 hingga volume akhir 2 mL. Campuran kemudian diinkubasi pada suhu 30oC selama 1 jam kemudian reaksi dihentikan dengan menambahkan Na2S2O3 5% (b/v). Sel kemudian diendapkan dan diresuspensi dengan bufer fosfat 0,1 M. Campuran akhir kemudan ditumbuhkan pada media padat YEPD dengan pengenceran. 2.2.3. Karakterisasi mutan Untuk mengamati fenotipik hipersensitif terhadap antibiotik paromomisin, mutan sup45 ditumbuhkan pada media YEPD yang mengandung paromomisin 0,3 mg/mL dan diinkubasi pada suhu 30OC. Sedangkan untuk mengamati fenotipik sensitif temperatur, mutan sup45 ditumbuhkan pada media YEPD diinkubasi pada suhu 37OC. 2.2.4. Manipulasi DNA Prosedur transformasi sel, isolasi plasmid, pemotongan DNA dengan enzim restriksi, ligasi DNA dan elektroforesis gel agarosa dilakukan menurut protokol standar18).
JMS Vol. 9 No. 2, Juni 2004
235
2.2.5. Uji β-galaktosidase Galur S. cerevisiae yang telah ditransformasi dengan salah satu dari vektor pUKC815/817/818/ 819, kemudian ditumbuhkan pada media minimal yang diperkaya dengan asam amino dan kofaktor yang sesuai tetapi tanpa urasil. Metode pengujian βgalaktosidase dilakukan sesuai dengan metode yang dikembangkan sebelumnya19). 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Isolasi dan Kondisi Mutasi Dalam penelitian ini isolasi mutan allosuppressor sup45 dilakukan secara in vivo dengan menggunakan mutagen EMS (etil metana sulfonat). EMS telah dikenal sebagai mutagen kimia yang dapat mengalkilasi basa timin dan guanin sedemikian rupa sehingga terjadi perubahan orientasi ikatan hidrogen pada kedua nukleotida ini. Perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan pasangan basa pada replikasi DNA berikutnya, dimana GC → AT dan TA → CG. Oleh karena itu mutasi dengan EMS menghasilkan mutasi titik yang terjadi secara acak pada basa guanin dan timin. Meskipun EMS termasuk dalam kategori mutagen yang potensial, tetapi EMS tidak bersifat toksik terhadap S. cerevisiae, sehingga banyak digunakan untuk keperluan mutasi gen20). Untuk mendapatkan kondisi optimal, dalam penelitian ini dilakukan variasi konsentrasi EMS. Semakin tinggi konsentrasi EMS, diperoleh semakin tinggi efisiensi mutasi (Tabel-1). Akan tetapi kenaikan konsentrasi EMS juga diikuti dengan kenaikan tingkat letalitas sel. Pada [EMS] 1% (v/v), viabilitas sel cukup tinggi (87,60%) tetapi memiliki efisiensi mutasi yang rendah (14,88%). Sebaliknya pada [EMS] 2,5% (v/v) efisiensinya tinggi (73,55%) tetapi viabilitas selnya rendah (33,88%). Pada [EMS] 1,5% (v/v) dan 2,0% (v/v) memiliki efisiensi dan vibilitas sel yang moderat (Tabel-1). Akan tetapi, dengan membandingkan jumlah mutan yang viabel, maka kondisi mutasi optimal adalah pada [EMS] 1,5% (v/v), dimana viabilitas sel 67,77% dan efisiensi mutasi 37,19%, walaupun efisiensi mutasinya sedikit lebih rendah dibanding pada [EMS] 2,0% (v/v) yaitu 39,67%. Karena mutasi dengan EMS bersifat acak, maka mutasi dapat terjadi pada seluruh gen. Untuk itu diperlukan suatu dasar untuk menyeleksi mutan yang telah termutasi pada gen sup45 di antara sekian banyak mutan yang viabel.
Mutan allosuppressor diketahui memiliki kemampuan untuk meningkatkan efisiensi suatu nonsense suppressor21). Pada BSC483/1a yang merupakan target mutasi telah terdapat suatu suppressor tRNA SUQ5 yang dapat menekan mutasi nonsense. Selain itu BSC483/1a membawa mutasi ochre pada gen ade2-1 yang menyebabkan koloni ragi berwarna merah. Pada keadaan dimana produk gen SUP45 (eRF1) fungsional, mutasi pada gen ade2-1 tidak dapat ditekan oleh SUQ5, tetapi bila terjadi kerusakan pada fungsi gen SUP45, mutasi pada gen ade2-1 dapat ditekan oleh suppressor SUQ5 dan menyebabkan terjadinya perubahan warna koloni, dimana koloni ragi menjadi putih22). Perubahan warna koloni ini merupakan tanda bagi pemilihan mutan allosuppressor pada tahap awal. Dalam penelitian ini diperoleh 793 mutan yang mempunyai potensi sebagai mutan allosuppressor. Seleksi berikutnya dilakukan dengan penumbuhan mutan dalam media kaya (YEPD dengan glukosa 8%). Dari 793 mutan diperoleh 770 mutan yang stabil berwarna putih. Seleksi selanjutnya dilakukan dengan menumbuhkan mutan-mutan yang stabil pada media YPG, dimana pada media ini sumber karbonnya hanya gliserol. Dari 770 mutan yang diseleksi 515 diantaranya merupakan non-petite. Mutan petite tidak dapat menggunakan gliserol sebagai sumber karbon, sedangkan mutan-mutan allosuppressor non-petite dapat tumbuh dengan baik pada media ini23). Mutan-mutan allosuppressor yang lolos seleksi masih berupa campuran mutan, karena setidaknya terdapat enam lokus gen yang bertanggung jawab terhadap sifat allosuppressor, yaitu lokus SUP35 (kromosom IV), SUP42 (kromosom IV), SUP43 (kromosom XV), SUP44 (kromosom VII), SUP45 (kromosom II) dan SUP46 (kromosom II)24). Sehingga seleksi berikutnya ditujukan untuk mendapatkan mutan allosuppressor yang hanya mengalami kerusakan pada gen sup45. Untuk mendapatkan mutan allosuppressor sup45 dilakukan pengujian melalui proses komplementasi dengan galur MT453/3c (sup45-2). Diploid sup45 homozigot (sup45-2/sup45-x) akan memberikan warna putih, sedangkan diploid sup45 heterozigot (sup45-2/SUP45) akan memberikan warna merah. Hal ini terjadi karena mutasi pada gen SUP45 bersifat resesif. Dari 515 mutan allosuppressor yang diuji, hanya 8 mutan yang merupakan mutan allosuppressor sup45 atau hanya 1,55% dari total mutan yang diuji.
Tabel 1. Hubungan konsentrasi EMS dengan efisiensi mutasi, viabilitas dan jumlah mutan sup45. Koloni merah menunjukan sel wild type, koloni putih menunjukan sel mutan [EMS] (%v/v) 0,0 1,0 1,5 2,0 2,5
Σ Koloni Merah 4,84 x 105 4,12 x 105 3,04 x 105 2,92 x 105 1,28 x 105
Σ Koloni Putih 0 0,12 x 105 0,24 x 105 0,16 x 105 0,36 x 105
Σ koloni Total 0 4,24 x 105 3,28 x 105 3,08 x 105 1,64 x 105
% Viabilitas 100,00 87.60 67.77 63.64 33.88
% Efisiensi 0 14.88 37.19 39.67 73.55
236
JMS Vol. 9 No. 2, Juni 2004
Tabel 2. Sensitifitas mutan sup45 terhadap variasi temperatur dan paromomisin (-) tidak viabel, (+) viabel, (H) haploid, (D) diploid Temperatur (oC) Mutan BSC483/1a Sup45-30 Sup45-31 Sup45-32 Sup45-33 Sup45-34 Sup45-35 Sup45-36 Sup45-37
30
32
34
35,5
+++ ++ +++ ++ +++ ++ + +++ ++
+++ + +++ + +++ + ++ ++
+++ ++ ++ + +
++ + + +
3.2. Sensitifitas mutan sup45 terhadap temperatur dan paromomisin Pengujian sensitifitas mutan terhadap temperatur dan paromomisin didasarkan pada konsensus bahwa mutan sensitif temperatur adalah mutan yang mati pada temperatur 37OC, sedangkan mutan hipersensitif paromomisin didefinisikan sebagai mutan yang mati pada konsentrasi paromomisin 300 µg/mL. Selain itu untuk mengetahui sifat sensitif temperatur atau hipersensitif paromomisin disebabkan karena kerusakan pada gen sup45, telah dilakukan uji assosiasi dengan mengawinkan mutan sup45 dengan mutan sup45 tester yang telah diketahui memiliki fenotipik sensitif temperatur dan hipersensitif paromomisin. Diploid hasil perkawinan dan haploid mutan sup45 yang berassosiasi akan menunjukan fenotipik yang sama. Perbedaan fenotipik menunjukkan bahwa sensitifitas mutan sup45 terhadap temperatur dan parmomisin tidak disebabkan oleh kerusakan pada lokus SUP45. Hasil uji sensitifitas mutan terhadap temperatur dan parmomisin memberikan hasil yang bervariasi (Tabel-2). Satu mutan mati pada suhu 32OC, 3 mutan mati pada suhu 34OC, 1 mutan mati pada suhu 35,5OC dan 3 mutan lainnya mati pada suhu 37OC. Hasil ini menyarankan bahwa produk gen SUP45 penting untuk viabilitas sel. Selain itu hasil uji assosiasi mutan sup45 dengan mutan sup45-2 yang telah diketahui bersifat sensitif temperatur, diperoleh bahwa sifat sensitif temperatur dari semua mutan sup45 ini berassosiasi dengan kerusakan pada lokus SUP45. Sensitifitas mutan terhadap paromomisin juga menunjukkan hasil yang bervariasi, dimana dua mutan (sup45-33 dan sup45-34) mati pada konsentrasi paromomisin 300 µg/ml, sedangkan mutan lainnya tumbuh dengan tingkat kesuburan yang berbeda. Sifat hipersensitif paromomisin juga berassosiasi dengan kerusakan pada lokus SUP45, setelah dibuktikan melalui uji assosiasi mutan dengan tester sup45-28, yang telah diketahui bersifat hipersensitif paromomisin. Dengan demikian mutan sup45-33 dan sup45-34 memiliki fenotipik ganda
37 H + -
D -
Paromomisin 300 µg/mL H D +++ ++ ++ ++ + + + ++ ++ ++ ++ + +
(sensitif temperatur dan hipersensitif paromomisin). Letalitas mutan terhadap paromomisin disebabkan antibiotik ini dapat terikat pada ribosom 40S sehingga dapat menginduksi kesalahan interaksi kodon-antikodon25). Keadaan ini diperburuk dengan adanya mutasi pada gen SUP45 yang mengkode protein yang berperan dalam menjaga ketepatan translasi4), sehingga tingkat kesalahan menjadi lebih tinggi dan dapat menyebabkan kematian. Pola pertumbuhan mutan sup45 dan induknya BSC483/1a, ditentukan berdasarkan pengukuran OD (optical density) pada panjang gelombang 600 nm. Semua mutan sup45 mempunyai laju pertumbuhan dan pertumbuhan maksimum lebih rendah dari induknya (Gambar-1). Bahkan mutasi pada gen sup45, dapat menyebabkan laju pertumbuhan dan pertumbuhan maksimum mutan sup45-32 menjadi rendah sekali. Hasil ini menyarankan bahwa gen SUP45 merupakan gen yang esensial bagi viabilitas sel.
Gambar-1. Profil Pertumbuhan mutan sup45 beserta galur induknya. OD diukur pada panjang gelombang 600 nm. Variasi pola pertumbuhan mutan-mutan sup45 terlihat tidak berkaitan langsung dengan fenotipik dari mutan tersebut. Sebagai contoh pada mutan sup45-33 dan sup45-34 yang memiliki fenotipik sensitif temperatur dan hipersensitif paromomisin, semula diperkirakan akan memiliki laju pertumbuhan dan pertumbuhan maksimum lebih rendah dari mutan sup45 lain yang hanya memiliki
JMS Vol. 9 No. 2, Juni 2004
fenotipik hanya sensitif temperatur, tetapi data yang diperoleh menunjukan tidak ada perbedaan berarti pada laju pertumbuhan dibanding mutan lain, bahkan pertumbuhan maksimumnya cukup tinggi. Fenomena ini menyarankan bahwa posisi mutasi sangat menentukkan fungsionalitas dari produk gen SUP45 (eRF1), sehingga kemungkinan mutasi yang terjadi pada mutan sup45-32 pada daerah yang esensial, dimana protein eRF1 tidak dapat lagi bekerja dengan optimal dalam memediasi proses terminasi translasi. 3.3. Tingkat allosuppresi mutan sup45 Kedelapan mutan sup45 ts bersifat allosuppressor, hal ini ditunjukan dengan perubahan warna koloni dari merah menjadi putih. Walaupun demikian tingkat allosuppresi dari mutan mutan ini dapat berbeda. Untuk ini telah dilakukan kuantisasi allosuppresi dengan menggunakan plasmid yang membawa gen fusi PGK-oligonukleotida-LACZ26). Pada plasmid ini promotor diletakan didepan gen PGK dan pada oligonukleotida disisipkan kodon terminasi UAA, UAG dan UGA dan digabungkan dengan gen LACZ. Ekspresi gen LACZ hanya akan terjadi bila kodon terminasi pada plasmid dibaca salah (readthrough). Aktifitas β-galaktosidase yang dihasilkan setara dengan tingkat kesalahan pembacaan kodon terminasi. Kerusakan yang terjadi pada protein eRF1 menyebabkan terjadinya readthrough pada kodon terminasi yang terletak pada oligonukleotida sehingga gen LACZ dapat terekspresi. Supresi pada kodon UAA dilakukan oleh suppressor SUQ5, sedangkan ekspresi pada kodon UAG dan UGA kemungkinan dilakukan oleh suppressor tRNA alam, seperti tRNATrp27) dan tRNAGln28). Adanya supresi oleh supresor lemah di atas menunjukkan sifat allosuppressor dan omnipotent suppressor dari mutan sup45. Hasil pengukuran aktifitas β-galaktosidase menunjukan adanya kenaikan aktifitas dari mutanmutan yang diuji dibandingkan dengan induknya (Gambar-2).
Gambar 2. Tingkat Allosuppressi mutan mutan sup45 dan BSC483/1a. Penumbuhan sel dilakukan pada 30 oC.
237
Semua mutan sup45 memiliki tingkat supresi nonsense lebih tinggi dari galur induknya, BSC483/1a. Kondisi ini nampak jelas pada tingkat supresi kodon terminasi UAA dibanding kodon terminasi lainnya, hal ini disebabkan karena adanya aktifitas dari suppressor ochre SUQ5 yang dibawa oleh galur BSC483/1a. Mutan sup45-36 memiliki tingkat supresi tertinggi (14,5%, 5% dan 3% untuk UAA, UAG dan UGA), sedangkan yang terendah terjadi pada mutan sup45-30 (8%, 3% dan 1% untuk UAA, UAG dan UGA). Variasi tingkat allosupresi ini menyarankan bahwa mutan-mutan sup45 yang diperoleh pada penelitian ini bersifat allele specific. Besar kecilnya tingkat allosupresi nampaknya tidak memiliki korelasi langsung dengan fenotipik maupaun profil pertumbuhan dari mutan sup45. Mutan sup45-32 yang memiliki laju pertumbuhan dan pertumbuhan maksimum terendah yang semula diperkirakakan akan memiliki tingkat allosupresi rendah malah memiliki aktifitas βgalaktosidase moderat, sedangkan sup45-34 yang diperkirakan akan memiliki tingkat allosupresi yang tinggi karena memiliki fenotipik ganda malahan memperlihatkan tingkat allosupresi moderat. Fenomena ini menyarankan bahwa sifat fenotipik dan fungsionalitas eRF1 tidak memiliki hubungan langsung dan kemungkinan fungsi protein eRF1 tidak hanya ditujukan oleh satu fenotipe. Hasil studi sebelumnya menunjukkan bahwa sifat temperatur sensitif pada mutan sup45-2 terjadi karena adanya substitusi asam amino non polar pada daerah hidrofobik oleh asam amino polar6) yang menyebabkan ketidakstabilan struktur protein pada temperatur 37OC. Untuk mengamati kerusakan produk gen SUP45 (eRF1) terhadap variasi temperatur, telah dilakukan pengukuran tingkat allosupresi pada beberapa temperatur dengan mengambil dua mutan sup45 sebagai sampel, sup45-31 dan sup45-37. Kedua mutan sensitif temperatur ini mampu hidup hingga temperatur 35,5OC dan mati pada 37OC, sehingga memungkinkan untuk mengamati tingkat allosupresi hingga suhu ~35OC. Pada penelitian ini, pengujian dilakukan pada tiga temperatur yang berbeda, yaitu pada 30, 32 dan 34OC. Pengujian ini hanya dilakukan untuk kodon terminasi UAA agar perubahannya dapat diamati dengan jelas. Hasil yang diperoleh menunjukan adanya kenaikan tingkat allosuppresi yang signifikan dengan naiknya temperatur (Gambar-3), terutama pada temperatur 30OC dan 32OC. Hasil ini menyarankan bahwa kematian sel pada temperatur lebih tinggi kemungkinan disebabkan oleh terlalu tingginya tingkat kesalahan pembacaan kodon terminasi sehingga protein yang dihasilkan terlalu banyak yang salah. Disamping itu semakin tinggi temperatur, termostabilitas protein eRF1 mutan semakin menurun.
238
JMS Vol. 9 No. 2, Juni 2004
6.
7.
Gambar 3. Pengaruh kenaikan temperatur pada tingkat allosuppresi mutan sup45-31 dan sup45-37. Pengujian hanya dilakukan untuk kodon terminasi UAA. 4. Kesimpulan Delapan mutan sup45 ts telah diisolasi dari galur ragi BSC483/1a yang telah diinduksi dengan mutagen etil metana sulfonat. Disamping bersifat allosuppressor kedelapan mutan juga bersifat temperatur sensitif. Dua dari mutan-mutan di atas mempunyai fenotipik ganda, sensitif temperatur dan hipersensitif paromomisin. Semua mutan mempunyai kecepatan pertumbuhan dan pertumbuhan maksimum yang lebih rendah dibandingkan dengan induknya. Analisis tingkat kerusakan fungsi protein eRF1 menunjukan adanya variasi pada mutan-mutan yang diuji, hal ini menyarankan bahwa mutan yang diperoleh merupakan mutan allele spesific. Salah satu faktor yang menyebabkan kematian mutan pada temperatur 37oC adalah tingginya tingkat kesalahan protein eRF1 pada proses terminasi translasi.
8.
9.
10.
11.
Ucapan Terima Kasih Penelitian ini sulit dilakukan tanpa bantuan dari University Research for Graduate Education (URGE) Project, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
12.
Daftar Pustaka 1. Eggerstsson, G., & Soll, D., “Transfer Ribonucleic Acid-mediated Suppression of Termination Codon in E. coli” Microb. Rev. 52, 354-374, (1988). 2. Cox, B.S., “Allosuppressor in Yeast”, Gent. Res. Camb 30, 187-205, (1977). 3. Surguchov, A.P., Smirnov, V.N., Ter-Avanesyan, M.D., Inge-Vecthomov, S.G., “Ribosomal suppression in eukaryotes”, Phys. Chem. and Biol. Rev. 4, 147-205, (1984). 4. Crouzet, M., Igzu. F., Grant, C.M. & Tuite, M.F., “The Allosuppressor Gene SAL4 Encodes a Protein Important for Maintaining Translational Fidelity in S. cerevisiae” Cur. Gen. 18, 537-543, (1988). 5. Breining, P., & Piepersberg, W., “Yeast Omnipotent Suppressor SUP1(SUP45): Nucleotide Sequence of the Wild-Type and a
13. 14.
15.
16.
Mutant Gene”, Nucl. Ac. Res. 14, 5187-5197, (1986). Akhmaloka., “A Molecular Genetic Analysis of the Allosuppressor Gene SAL4 in Saccharomyces cerevisiae”, Ph.D. thesis, University of Kent at Canterbury, United Kingdom, (1991). Ryden, S.M., Isaksson, L.A., “A TemperatureSensitive Mutant of Escherichia coli That Shows Enhanced Misreading of UAG/A and Increased Efficiency For Some tRNA Nonsense Suppressors”, MGG 193, 38-45, (1984). Grant, C.M., “Conttrol of translational fidelity in yeast”, PhD Thesis, University of Kent, United Kingdom, (1990). Stansfield, I., Grant, C.M., Akhmaloka., Tuite, M.F., “Ribosomal Association of the Yeast SAL4 (SUP45) Gene Product: Implication For its Role in Translational Fidelity and Termination”, Mol. Microb. 6: 3469-3478, (1992). Frolova, L., Goff, X.L., Rasmussen, H.H., Cheperegin, S., Drugeon, G., Kress, M., Arman, I., Haenni, A., Celis, J.E., Phillipe, M., Justesen, J., and Kisselev, L., “A Highly Conserved Eukaryotic Protein Family Possessing Properties of Polypeptide Chain Release Factor”, Nature 372, 701-703, (1994). Stansfield, I., Jones, M. K., Kushnirov. V.V., Dagkesamanskaya, A.R., Poznyakovski, A.I., Paushkin, S.V., Nierras, C.R., Cox, B.S., and Tuite, M.F., “The Product of the SUP45 (eRF1) and SUP35 (eRF3) Genes Interact to Mediate Translation Termination in Saccharomyces cerevisiae”. The EMBO Journal 14, 4365-4373, (1995). Zhouravleva, G., Frolova, L., Goff, X.L., Guellec, R.L., Inge-Vectomov, S., Kisselev, L. and Philippe, M., “Termination of Translation in Eukaryotes is Governed by Two Interacting Polypeptide Chain Release Factors, eRF1 and eRF3” EMBO Journal 14, 4065-4072, (1995). Caskey, C., Th., “Peptide Chain Termination” TIBS, 234-237, (1980). Eurwilaithirt, L., Graves, G.P., Stansfield, I., and Tuite, M.F., “The C-terminus of eRF1 defines a functionally important domain for translation termination in Saccharomyces cerevisiae” Mol. Microb., 32, 485-496, (1999). Frolova, L.Y., Tsikovskii, R.Y., Sivobolova, G.F., Oparina, N.Y., Serspinsky, O.I., Blinov, N.M., Tatkov, S.I., and Kisselev, L.L., “Mutation ini highly conserve GGQ motif of class 1 polypeptide release factor abolish abilility of human eRF1 to trigger peptidyl-tRNA hidrolysis” RNA, 5, 1014-1020, (1999). Song, H., Mugnier, P., Das, A.K., Webb, H.M., Evans, D.R., and Tuite, M.F., “The crystal structure of human eukaryotic release factor eRF1- Mechanisms of stop codon recognition
JMS Vol. 9 No. 2, Juni 2004
17.
18.
19.
20.
21.
and peptidyl-tRNA Hydrolysis” Cell, 100, 311321, (2000). Nebi, S.A., Frolova, L. J., Justensen, J., and Kisselev, L., “Class 1 translation termination factors: invariant GGQ mini domain is essential for release activity and ribosom binding but not for stop codon recognition”. Nucleic Acids Res., 29, 3982-3987, (2001). Sambrook, J., Fritsch, E.F., Maniatis, T., “Molecular Cloning: a Laboratory Manual”. 2nd ed., Cold Spring Harbour Laboratory, Cold Spring Harbour, New York, (1989). Finkelstein, D.B. and Strausberg, S., “Heat Shock Regulated Production of E. Coli βGalactosidase in S. cerevisiae” Mol. Cell. Biol. 3, 1625-1633, (1983). Lawrence, W.C., “Classical Mutagenesis Techniques, in Guide to Yeast Genetics and Molecular Biology” Methods in Enzymology, 273-281, (1991). Sherman, F., “Suppression in the Yeast Saccharomyces cerevisiae. The Molecular Biology of the Yeast Saccharomyces cerevisiae: Metabolism and Gene Expression” Cold Spring Harbour Laboratory, New York, 463-486. (1982).
239
22. Tuite, M.F., “Protein Synthesis” Biological Laboratory of Kent at Canterbury. (1989). 23. Bolotin-Fukuhara, M. and Grivell, L.A., “Genetic Approaches to the Study of Mitochondrial Biogenesis in Yeast” Antonie van Leeuwenhoek 62, 131-153, (1992). 24. Wakem, L.P and Sherman, F., “Isolation and Characterization of Omnipotent Suppressor in the Yeast Saccharomyces cerevisiae” Genetics 124: 515-522, (1990). 25. Tuite M.F. and McLaughlin, C.S., “The Effects Of Paromomycine On The Fidelity Of Translation In A Yeast Cell-Free System”. Biochem. at Biophys. Acta 783, 166-170, (1984). 26. Firoozan, M., Grant, C.M., Duarte, J.A, and Tuite, M.F., “Quantitation of Readthrough of Termination Codons in Yeast using a Novel Gene Fusion Assay”. Yeast 7, 173-183, (1991). 27. Kim, D., Raymond, G.J, Clark, S.D., Vranko, J.A., and Johnson, J.D., “Yeast Transfer RNA Trp Genes with Anticodon Corresponding to UAA and UGA Nonsense Codons”. Nucleic Acids Res. 18, 4215-4221, (1990). 28. Edelman, I and Culbertson, M.R., “Exceptional Codon Recognition by Glutamin tRNAs in Saccharomyces cerevisiae”. The EMBO Journal 10, 1481-1491.(1991).