PERANAN DIALOG YANG BERETIKA UNTUK MENUMBUHKAN JIWA PERSATUAN BANGSA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh: BINCAR NASUTION NPM: 200903006
LOMBA KARYA TULIS ILMIAH PERINGATAN HARI AMAL BHAKTI (HAB) KEMENTERIAN AGAMA KE-68 TINGKAT KOTA PADANGSIDIMPUAN 2013
KATA PENGANTAR
Sungguh Allah “Sang Pencipta Agung” telah menciptakan manusia, dan Dia sangat mengetahui tentang cipta-Nya itu. Dengan begitu juga Rahmat yang telah diberikan-Nya kepada penulis berupa kesehatan, kesempatan dan ide yang cemerlang hingga tercipta karya tulis ini. Sebab tanpa karunia-Nya juga pantang berlari kedepan menggapai masa demi masa yang gemilang. Sengaja penulis mengambil judul “Peranan Dialog Yang Beretika Untuk Menumbuhkan Jiwa Persatuan Bangsa Dalam Perspektif Islam” ini merupakan solusi dalam mengetengahkan pemecahan permasalahan yang sedang berkembang dimasa sekarang ini. Ucapan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Erwin Masrul Harahap, MS sebagai Rektor di Universitas Graha Nusantara Padangsidimpuan yang memberikan informasi dan bimbingan kepada saya hingga selesai penulisan karya tulis ini, Ibu saya Nurhayati Hutasuhut dan Ayah saya Sobar Nasution yang sangat saya sayangi selalu memberi do’a restu dan dukungan, Kartini Brilliyani Simatupang teman baik saya yang juga membantu saya baik pemikiran, ide dan menyemangati dalam proses penulisan karya tulis ini. Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan maaf karena tidak ada manusia yang tidak bersifat khilaf. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk “Mewujudkan Kehidupan Beragama Yang Inklusif” khususnya di Kota Padangsidimpuan dan umumnya di
negara kita Indonesia yang
bersemboyan Bhineka Tunggal Ika. Padangsidimpuan,
Desember 2013
Penulis,
BINCAR NASUTION NPM: 200903006
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN ABSTRAK ....................................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................... iii BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................... 1 1.1.Latar Belakang ........................................................................... 1 1.2.Rumusan Masalah ...................................................................... 3 1.3. Tujuan ......................................................................................... 3
BAB II
PEMBAHASAN .............................................................................. 4 2.1. Kemungkinan Pluralitas ............................................................ 4 2.2. Peranan Sebuah Dialog yang Beretika ...................................... 8 2.3.Dialog dan Persatuan Bangsa .................................................... 12
BAB III PENUTUP ...................................................................................... 14 3.1. Kesimpulan ............................................................................... 14 3.2. Saran ..........................................................................................14 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 16
ii
BIODATA PENULIS
Bincar Nasution, lahir di Bandar Tarutung pada tanggal 03 Maret 1989. Anak pertama dari Sobar Nasution dan Nurhayati Hutasuhut. Menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri No. 145573 Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2001, melanjutkan sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 2 Padangsidimpuan pada tahun 2004, lalu menyelesaikan pendidikan sekolah menengah kejuruan di SMK Negeri 2 Padangsidimpuan pada tahun 2007. Kemudian melanjutkan ke strata satu (S1) di program studi Pendidikan Bahasa Inggris pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Graha Nusantara Padangsidimpuan.
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dalam perspektif historis, perjalanan politik bangsa Indonesia memang selalu menghadirkan heterogenitas dalam setiap prosesnya. Tak terkecuali dalam preambul UUD 1945 yang disahkan tanggal 22 Juni 1945. Salah satu sila di dalam Pancasila hasil rumusan Kh Abdul Wahid Hasyim dan kawan-kawan tercantum kata-kata “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Dan ternyata rumusan ini diperdebatkan dengan segala pandangan yang benar-benar berbeda. Dalam menyikapinya, pemikiran luar biasa dari Kh Abdul Wahid Hasyim adalah bahwa segala perselisihan yang timbul bisa diselesaikan secara musyawarah hingga semua dapat terselesaikan dengan baik. Kontradiksi dengan pernyataan tersebut, perpecahan bangsa di era reformasi sekarang dirasa malah sudah menjadi suatu patogen pembangunan kelas akut. Pembangunan secara ekonomi yang sudah mapan selama berpuluh-puluh tahun ternyata bisa luluh lantak dalam sekejap dikarenakan disintegrasi bangsa, khususnya dalam masyarakat multiagama dan etnisitas seperti Indonesia. Disintegrasi ini umumnya berawal dari perbedaan pandangan serta prinsip, ataupun perbedaan ide dan persepsi (Ikhtilaf dan Khilaf)1. Perbedaan mereka dalam menyikapi segala ranah kehidupan, meliputi akidah, ide, pemikiran, etika, budaya sampai kepada pemahaman terhadap Fikih dan tata cara melakukan ritual (Ibadah) kepada Tuhannya (Hidayat, 2008). Permasalahan-permasalahan mengenai isu-isu perpecahan sangat marak terjadi. Seperti gerakan-gerakan sosial militan Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) yang ditemukan di Makassar Sulawesi Selatan sejak akhir abad ke-20 atau tepat mulai tahun 1999 (Anonimous, 2008). Gerakan sparatis tahun 1950, yaitu Darul Islam (Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan). Munculnya kelompok PERMESTA di Sulawes1i. Ataupun pada tahun 2000-2001
1
Ikhtilaf yaitu Pendapat-pendapat yang lahir dari ulama mujtahahidin dalam masaalah-masaalah ijtihadiyyah yang tiada nas qat'ei padanya , Khilaf ialah suatu yang lahir dari hawa nafsu yang 1
2
terjadi kasus Poso yang mengusung permasalahan antar agama, serta kasus sampit di Kalimantan yang mengusung masalah etnis pada beberapa tahun setelahnya (Helmanita, 2003:29). Dari realitasnya, Indonesia memiliki dasar keragaman etnis sejak awalnya. Yaitu melayu (pribumi), kemudian ada etnis minoritas seperti China, India dan Arab, serta lebih dari 300 etnis dimana setiap etnis mempunyai prinsip dan cara pandang tersendiri (Yustika, 2009:336).Dalam konsepsi multikulturalisme, semua ini dapat membawa persoalan-persoalan agama yang sifatnya privat dan individual untuk memasuki wilayah umum atau publik/ Negara (L.Berger et.al.,1988:35), dan penekanan permasalahan adalah pada level ini. Dari penjelasan tadi, titik permasalahannya sebenarnya terdapat pada perbedaan pandangan yang ekstrem, dalam artian tidak dicarikan titik temu antara dua atau beberapa kalangan. Untuk mampu menyatu, maka harus dilakukan dialektika dengan segala problematika yang muncul, ia dituntut untuk peduli dan menempati barisan terdepan dalam mencari solusi terhadap problematika tersebut. Mencari solusi, pada gilirannya akan berurusan dengan tema dialog, diskusi, dan benturan-benturan ide. Karena dialog merupakan salah satu cara untuk saling memahami, mencari titik temu, dan menyelesaikan permasalahan (al- Qarni, 2006:1). Serta ada beberapa etika (adab)2 yang harus dipatuhi oleh masingmasing pihak agar sebuah dialog membuahkan hasil dan manfaat dengan cepat dan mudah. Karya tulis ini mencoba menguraikan tentang peranan sebuah dialog yang beretika untuk menumbuhkan jiwa persatuan bangsa dalam pandangan Islam. Peranan serta etika dialog dalam Islam ini diharapkan tidak semata ditujukan untuk kalangan umat Islam saja, tetapi sangat mungkin diaplikasikan dalam segenap elemen masyarakat dalam kehidupan berbangsa. Sehubungan dengan itu, sebenarnya terdapat suatu kesatuan umat manusia sebagaimana digambarkan oleh firman Allah: ”Tiada manusia itu melainkan semula merupakan umat yang tunggal kemudian mereka berselisih.” (QS Yunus (10):19).
menyesatkan dan bukan hasil dari mencari objektif syarak dengan mengikut dalil-dalinya|AlImam al-Syatibi 2 Etika (adab) ialah Sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran | Frans Magnis Suseno
(1987)
3
1.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut, maka rumusan masalah adalah: 1. Bagaimana perspektif Islam menyikapi berbagai perbedaan pandangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? 2. Bagaimana peranan dialog yang beretika untuk menumbuhkan jiwa persatuan bangsa dalam perspektif Islam? 1.3. Tujuan 1. Menemukan solusi dalam meredam suatu konflik dengan prinsip sebuah kesepahaman, kesepakatan, dan kesetaraan. 2. Menyajikan cara memaksimalkan suatu dialog3yang beretika untuk menumbuhkan jiwa persatuan berbangsa dan bernegara dalam perspektif Islam.
3
Dialog adalah Komunikasi yang mendalam, memiliki tingkat dan kualitas yang tinggi sekaligus mencakup kemampuan untuk mendengarkan serta saling berbagi pandangan| http://artikelsahabat.com/
BAB II PEMBAHASAN 2.1. Kemungkinan Pluralitas Allah SWT menyerukan umat manusia untuk bersatu dan tidak berbedabeda dalam beragama, berpadu dan tidak berselisih faham dalam menegakkan syari'ah-Nya (QS. 3:102-103). Allah SWT memperingatkan umat Islam agar tidak terjebak dalam perselisihan beragama seperti yang pernah terjadi pada umat sebelumnya. (QS. 3:105). Dalam hal ini, kehidupan dunia menimbulkan banyak sekali perselisihan dan perbedaan pendapat sehingga bila tidak berhati-hati, kita bisa berpecah pendapat dan berujung perselisihan. Perbedaan pendapat adalah sesuatu yang lazim yang terjadi di dalam masyarakat, Allah s.w.t. berfirman: “Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka”. (QS. HUD: 118-119). Baik dahulu maupun sekarang kaum Muslimin selalu berbeda pendapat di dalam cara bagaimana menentukan permasalahan yang bersifat kabur, contohnya adalah pemilihan imam dan khalifah. Ataupun mengenai hukum Islam, yang berkaitan dengan prinsip-prinsip aqidah4 dan syari’at5,maupun fiqh6. Dari permasalahan ini muncul perselisihan mengenai soal kecil antara kaum Mu‟tazilah dan kaum Sunnafi (Al-Ghazali; dalam Al-Ridlawi, 1984:17). Pada jaman dahulu perbedaan pendapat tersebut lebih banyak berwujud dalam tataraan kenyataan praktis dibandingkan pada tingkatan teori dan pemikiran. Sehubungan dengan itu pula, terdapat suatu kenyataan tentang pluralisme dalam berkehidupan. Pandangan Islam terhadap pluralitas adalah cara/sudut pandangan pemeluknya mau mengerti, dan memahami perbedaan (Helmanita, 2003:12). Menurut Mohamed Fathi Osman, dalam Helmanita (2003), pluralisme adalah sebuah pendekatan serius menuju kesepahaman lain dan upaya bersama 4
Aqidah ialah Kepercayaan atau keyakinan yang kuat syari’at ialah Hukum atau peraturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat
5
Muslim 6
Fiqh ialah Salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya| http://id.wikipedia.org
4
5
untuk mengonstruksi pemahaman yang lebih komprehensif terhadap perbedaan. Istilah lain yang erat hubungannya dengan pluralisme adalah inklusifisme. Kata ini secara definisi Islam adalah sebagai cara pandang bahwa Islam merupakan agama terbuka yang menolak ekslusivisme dan absolutisme. Karena inklusifisme dalam Islam berarti memberikan apresiasi tinggi terhadap adanya pluralisme (Helmanita, 2003:13). Firman Allah yang berkaitan dengan ini: "Maka disebabkan rahmat dan Allahlah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah
mereka,
mohonkaniah
ampunan
bagi
mereka,
dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadaNya." (QS. Ali Imran: 159). “Dan katakanlah, kami beriman dengan ajaran (kitab suci) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu. Tuhanku dan Tuhanmu adalah satu, dan kita (semua) pasrah kepadaNya” (Al-Ankabut (29):46). Al-Quran mengajarkan toleransi dalam melihat kemajemukan, dan tidak saling berbantahan. Dengan demikian, Islam memandang perbedaan itu merupakan sunnatullah7, karena Allah dengan sengaja menciptakan keragaman (pluralitas). Sesungguhnya, perbedaan dalam alam semesta adalah sunnatullah yang membuat kehidupan menjadi harmonis. Perbedaan bentuk membuat kehidupan menjadi bervariasi. Berbagai bentuk pastilah mempunyai keragaman yang berbeda-beda dengan segala keindahannya. Demikanlah harmoni kehidupan, alam semesta menjadi indah ketika ada perbedaan wujud dan fungsinya. Perbedaan pada wasa'ilulhayat (sarana hidup). Dalam menyikapi hal ini, permasalahan muncul ketika perbedaan terjadi pada minhajul hayah (jalan hidup). Perbedaan itu menjadi amat membahayakan 7
Sunnatullah ialah Tradisi Allah dalam melaksanakan ketetapan-Nya sebagai Rabb yang terlaksana di alam semesta atau dalam bahasa akademis disebut hukum alam| http://id.wikipedia.org
6
bila terjadi pada dzatuddin (esensi agama), atau perbedaan yang terjadi pada ushul (dasar-dasar) yang telah ditetapkan oleh Al Qur'an, AS Sunnah, maupun Ijma'. Sebab prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh Al Qur'an, As Sunnah maupun Ijma' adalah sudah menjadi substansi dasar agama yang mempersatukan antara Islam dan ajaran para Nabi sebelumnya, kemudian perbedaan tanawwu' (penganeka ragaman) dalam pelaksanaan syari'ah, antara wajib atau sunnah. Wajib ain8 atau kifayah9, dan seterusnya. Hal ini pulalah yang bisa diambil pelajaran dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bukan hanya internal Islam saja. Bahwa dalam bernegara sekalipun terdapat banyak perbedaan, seperti dzatuddin dalam Islam berarti dapat disamakan dalam perbedaan antar umat beragama (esensi antar umat beragama). Ushul berarti dapat disamakan dalam kasus beragamnya ideology (dasar) dalam bermasyarakat, beragama dan berpendapat. Sedangkan model tanawwu’ berarti terdapatnya aneka ragam budaya dan etnisitas. Selain itu, dialog diperlukan terhadap persoalan-persoalan masyarakat sehingga dengan dialog itu masyarakat tidak bisa mengelak dari keharusan berlaku patuh kepada ketentuan yang berlaku (Yani, 2007). Allah Swt berfirman yang artinya. “Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka” (QS 42:38). Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa harus diperlukan suatu dialog (hiwar) dalam menyikapi perbedaan pendapat dan pandangan, khususnya dalam era pembangunan suatu bangsa untuk menuju penguatan integrasi kesatuan. Spirit perbedaan itu harus tetap berada dalam semangat mahabbah fillah (cinta karena Allah) ta'awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran, dengan tetap menjauhkan diri dari fanatisme pribadi.
8
Wajib ain adalah suatu kewajiban untuk melaksanakan suatu perintah Allah SWT yang bersifat wajib mutlak dan berlaku pada setiap orang manusia atau individu di muka bumi ini 9 Wajib kifayah adalah suatu kewajiban untuk melaksanakan suatu perintah Allah SWT yang bersifat wajib mutlak dan berlaku hanya pada satu, beberapa atau sebagian orang saja, asalkan pada suatu lingkungan atau komunitas ada yang telah atau dapat melaksanakannya | http://www.organisasi.org
7
Dalam menyikapi hal tersebut, Islam sesungguhnya mempunyai teologi non kekerasan dalam memecahkan suatu masalah lewat sebuah dialog, dan teologi itu berlaku untuk semua umat manusia, tanpa membedakan agama, etnik, golongan, atau asal-usul bangsa. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa spirit non-kekerasan merupakan titik konvergensi10 paling nyata antara semua umat (Helmanita, 2003:32). Disinilah perlu dibuka kran lebar-lebar untuk bersikap inklusif dalam melihat kemajemukan dengan bijak, diterima dengan sadar bahkan dikaji dengan seksama tanpa harus menyalahkan pilihan lain yang berbeda.
2.2. Peranan Sebuah Dialog yang Beretika Dialog menunjukkan suatu upaya pencarian sebuah kesepahaman, kesetaraan, dan kesepakatan dalam suatu pendekatan interaksi personal yang lembut dan bijaksana (al-Qarni, 2006:4). Allah s.w.t. menyinggung masalah dialog ini dalam firmanNya: “Kawannya berkata kepadanya mengajaknya untuk berdialog” (QS. Al- Kahfi: 37) “Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. Al-Muja‟dilah: 1) Dialog kita perlukan untuk mencari sebuah kebenaran. Dan dalam penerapannya, dialog dapat dilakukan pada siapa saja, termasuk dengan para ahlu kitab sekalipun. Bila diterapkan dalam konteks bernegara, dialog dapat dilakukan dengan para ahli jabatan/teknokrat, politikus, ekonom, dan beberapa ahli yang sangat berpengaruh dalam suatu negara: “Katakanlah: Hai Ahli Kitab! Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah!” (QS. Ali Imran: 64). Terhadap
kaum
musyrik
pun,
dialog
sangat
diperlukan
dalam
memperdebatkan sebuah wacana dalam kebenaran dan memahamkan mereka 10
Konvergensi ialah keadaan menuju satu titik pertemuan; memusat | http://www.artikata.com
8
akan kebenaran tersebut. Kaum musyrik dalam Islam berarti kaum yang tidak sejalan/seideologi dan menentang ajaran Islam (fasik). Bila diterapkan dalam berbangsa, maka hal ini dapat disamakan dengan kelompok-kelompok tertentu yang berbeda pandangan. Hal ini bertautan dengan kesadaran individu/ kelompok untuk menyatukan diri dalam sebuah ikatan (baik longgar maupun ketat). Konsep ini mengacu pada ungkapan “kami” dan “mereka” (Yustika, 2009:320). Sehingga cara berdialog dengan orang yang berbeda pandangan sangatlah penting. Terhadap kaum musyrikin, Allah berfirman: “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya” (QS. At-Taubah: 6) Oleh karenanya, kita harus mengakui bahwa perbedaan pendapat memang sebuah kelaziman dan tidak dapat dihindari di tengah-tengah masyarakat. Perbedaan ini ada dua bentuk: 1. Perbedaan pendapat yang mengarah pada keberagaman, yaitu furu’ iyah (cabang). Hal ini masih dibenarkan dan bahkan perlu didialogkan dalam berbagai permasalahan yang masih dapat dikatakan nisbi. Perbedaan ini muncul pada wilayah aplikatif, setelah terjadi kesepakatan pada masalah- masalah dasar prinsipil dan kaidah. Perbedaan aplikasi ini sangat mungkin terjadi karena memang Allah telah jadikan furu' (cabang) syari'ah agama terbuka untuk dianalisa dan dikaji aplikasinya.. Maka perbedaan apapun yang muncul dalam tataran aplikasi/ furu'iyyah11 harus dikembalikan kepada kitab Allah, dan rasul-Nya semasa hidup atau kepada Sunnahnya setelah rasul wafat. Dalam konteks bermasyarakat, berarti hal ini dikembalikan kepada pedomanpedoman hukum yang sifatnya tertulis maupun hukum formal. 2. Perbedaan
pendapat
yang
mengarah
pada
pertentangan
dan
permusuhan. Bentuk perselisihan seperti ini sangat tercela, bahkan Allah s.w.t. berfirman: 11
furu'iyyah artinya Perbedaan | Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
9
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai- berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali „Imran: 105). Kebanyakan dari mereka yang berbeda dalam hal ini adalah mereka yang tidak tahu nan bodoh tentang dasar-dasar agama, mereka selalu berbeda dalam mendialogkan hal-hal yang sudah pokok (qath’i). Perlu ditegaskan disini adalah bahwa islam itu sudah jelas dan nyata. Dari penjelasan tadi, maka perlu dirumuskan adab/ etika yang harus dipegang oleh setiap orang dalam melakukan penelitian masalah, dengan demikian hal ini dapat diintegrasikan dalam segenap sendi kehidupan berbangsa. Spirit perbedaan itu harus tetap berada dalam semangat mahabbah fillah (cinta karena Allah) ta'awun (kerja sama) untuk mencapai kebenaran. Sebelum berdialog, perlu diperhatikan bahwa berdialoglah yang bermutu dan bermanfaat saja. Menurut al-Qarni (2006:7), Langkah pertama yang harus diperhatikan adalah mencari titik-titik kesamaan dalam berbagai ragam dialog. Titik kesamaan disini adalah persamaan persepsi, yang sama-sama mengatakan “persetujuan”. Lakukanlah dialog secara bertahap dan urut sesuai dengan permasalahan yang ada. Perlu ditegaskan adalah; bagi yang tengah melakukan dialog dan mengalami kebuntuan karena berbeda pendapat, hendaknya ia menghentikan dialognya, karena ada sebagian manusia yang tetap keras kepala, congkak dan tidak mau menerima dalil-dalil dan argument yang sahih dan kuat. Namun, kita juga tidak boleh serta merta meninggalkannya dan memperlakukan secara kasar. Yang lebih penting lagi disini adalah tidak mendahului fardhu ain (yang harus dikerjakan setiap orang) dengan fardhu kifayah yang menjadi otoritasnya dalam standar syar'iy12. Ada ulama yang mengatakan : Barang siapa yang belum melaksanakan fardhu ain lalu ia menyibukkan diri dengan fardhu kifayah, dan menganggapnya mencari kebenaran, maka anggapannya itu dusta. Disini akan dipaparkan berbagai adab/ etika pokok dalam berdialog:
12
syar'iy adalah ilmu yang diturunkan oleh Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya berupa keterangan dan petunjuk | http://almanhaj.or.id
10
1. Ikhlas Hendaknya kedua/ lebih pihak menyingkirkan ego masing-masing (fanatisme sempit). Logikanya, orang yang terlalu fanatik terhadap kelompoknya, madzhabnya, atau pemikirannya, tidak akan menerima pendapat orang lain dengan lapang dada. Dalam hal ini, perlu diperjelas lagi bahwa tujuan dari sebuah dialog adalah mencari kebenaran. Dengan demikian, sikap ikhlas disini mutlak diperlukan. 2. Mempunyai Dalil yang Kuat Dengan dalil yang kuat, sesorang akan mempertahankan pendapatnya dengan penuh keyakinan. Dalil dapat digolongkan menjadi dua, yaitu dalil aqli (logika) yang kuat dan dalil naqli (Al-Qur‟an dan Hadis) yang benar. Dalam berdialog, seorang pendialog pun harus dituntut dapat menjelaskan letak keabsahan dalil yang digunakan. 3. Kebenaran Suatu pendapat Adalah Kabur Pendapat seorang itu tidaklah benar seratus persen. Maka janganlah kita menyombongkan diri dengan pendapat yang kita lontarkan, dengan meremehkan pendapat orang lain. Terkait dengan hal ini, Ibn Qudamah menulis di dalam al-Mughni: Orang-orang yang berilmu tidak akan memusuhi orang yang berlainan pendapat dengannya dalam masalah- masalah yang dapat diperdebatkan. 4. Tidak Melakukan Diskusi Kecuali Dengan Orang yang Dianggap Akan Dapat Diambil Ilmunya. Janganlah sekali-kali mencari lawan dialog yang bodoh dan bebal, serta keras kepala karena dampak negatifnya lebih besar dibanding dengan manfaatnya, bahkan untuk kemaslahatan umat. Hal ini pula yang digunakan para ahli bid’ah13 dalam menyalurkan kesesatannya melalui dialog yang dilakukan pada orang-orang bodoh sehingga merekapun mengikutinya. Jelas, bahwa tingkat keilmuan keagamaan mutlak diperlukan dalam sebuah dialog. 5. Melakukan Dialog Dengan Baik dan Sopan 13
Bid’ahperbuatan dalam beribadah yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan, termasuk menambah atau mengurangi ketetapan. Secara linguistik, istilah ini memiliki arti inovasi, pembaruan, atau doktrin sesat | http://id.wikipedia.org
11
Kesopanan merupakan etika dialog yang harus tetap selalu dipelihara. Dalam kitab Ihya‟ nya, Abu Hamid al Ghazali mengingatkan: “Kalian hanya mengajaknya berdialog. Maka jangan sekali-kali menyinggung masalah pribadinya, kedudukannya ataupun akhlaknya. Tetaplah pada masalah yang diperdebatkan”. Jelas bahwa disini terkandung pokokpokok kesopanan dengan menghormati lawan bicara dengan baik dan sungguh-sungguh. 2.3. Dialog dan Persatuan Bangsa Pada kenyataannya, pluralisme14 memang terus berkembang. Tapi sayangnya masyarakat belum siap secara mental, sosial dan kultural untuk hidup berdampingan dalam ruang keanekaragaman/ pluralitas. Sehubungan dengan itu, sering terjadi perseteruan antar kelompok, seperti kasus Ambon, Aceh, Sampit, Poso, dan kerusuhan lainnya masih sering terjadi, bahkan sampai saat ini. Semua ini tidak hanya mencemaskan masyarakat sekitarnya, tetapi juga pada level bangsa Indonesia. Banyak analisis mengatakan kesemua itu disebabkan oleh persoalan ekonomi, kelompok politik, dan ketidak sepahaman atas ideologi yang mereka anut. Bila ini dibiarkan terus-menerus, maka akan membahayakan dan menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa. Dari berbagai persitiwa tadi, sesungguhnya sangat diperlukan suatu dialog serta kerjasama antaragama, etnis, golongan, ataupun yang lainnya menjadi jalan tengah dalam meminimalisai ketegangan. Sekalipun pemahaman teologi berbeda, tidak ada jalan buntu untuk mencoba mengerti perbedaan itu, dan dialog menjadi sangat penting dilakukan. Dialog dapat dikatakan sebagai jalan untuk menemukan bahasa yang sama, tetapi dengan kata-kata yang berbeda. Dialog yang beretika tentu akan melahirkan kedewasaan dalam melihat atmosfir perbedaan. Tidak lagi apriori apalagi menghujat kelompok agama dan etnis lain, kerana itu merupakan malapetaka persatuan kehidupan berbangsa kita (Helmanita, 2003:40-41).
14
Pluralisme adalah keadaan seorang pluralis; memiliki lebih dari satu tentang keyakinan | http://id.wikipedia.org
BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan 1. Dialog merupakan jalan dalam meredam suatu konflik sehingga menyajikan suatu permasalahan ke arah kebenaran. Melalui dialog, kita bisa mengarahkan akal manusia kepada Allah. Dialog yang beretika juga akan membuat kita dapat diterima, didengar, dan dihormati manusia. 2. Berbagai bentuk dialog sangat perlu dilakukan dan dimaksimalkan. Diantaranya yang bisa dilakukan adalah secara kontinuitas dan berkesinambungan. Serta rasa pengertian dalam kerjasama (ta’awun), yang dalam pandangan Islam adalah suatu keindahan. Kerjasama disini digunakan untuk mengakomodir berbagai kepentingan yang berbeda dari sudut pandang etnis, ras, dan agama. Karena masalah kerjasama itu sendiri lahir dalam kaitan perbedaan yang berhubungan langsung dengan ras maupun agama. 5.1. Saran 1. Diperlukan dialog sebagai terapan aplikatif, yang dapat mengembalikan esensi dari kehidupan beragama pada tindakan yang tidak mengharuskan hukum, serta dogmatisme masing-masing agama. Hal ini dapat diwadahi oleh lembaga tertentu sebagai mediatornya. 2. Dibutuhkan pemahaman beragama yang bersifat fungsional konkret sosial (berteologi
dalam
konteks),
sehingga
sangat
bermanfaat
dalam
memecahkan suatu permasalahan. 3. Dibutuhkan pemahaman sejak dini dalam pembelajaran keagamaan serta kemasyarakatan pada diri individu. Disini bukan hanya dari kalangan orang tua dan keluarga, tetapi juga perlu dilakukan oleh segenap pihak elemen masyarakat, para tokoh dan pemerintah, sehingga tujuan persatuan dalam menopang pembangunan berkelanjutan dapat terwujud.
12
DAFTAR PUSTAKA Al-Quran dan Terjemahannya Aisyah, Siti. 2009. Kritik Implementasi Dialog Islam, (Online), (www.scribd.com, dikases tanggal 23 Desember 2013). Al-Ghazali, Syeikh Muhammad.1984. Tentang Perbedaan yang Ada. DalamAl-Ridlawi, Sayyid Murtadla (Ed.), Membina Kerukunan Muslimin (halaman 17-19). Jakarta: Anggota IKAPI. ___________________.1984.Seruan ke Arah Persatuan Islam. DalamAl-Ridlawi, Sayyid Murtadla (Ed.), Membina Muslimin (halaman 17-19). Jakarta: Anggota IKAPI.
Kerukunan
Al-Qarni, Aidh. 2006. Terampil Berdialog, Etika dan Strateginya. Terjemahan. Yodi Indrayadi. 2006. Jakarta: Anggota IKAPI DKI. Al-Razi. 1990. Dialog Tentang Tuhan dan Nabi. Terjemahan. Masykur Ab, Ahmad Shaleh. 1990. Jakarta: Gema Insani. Anonimous. 2006. Dialog Dalam Semangat Permusuhan, (Online), (www.swaramuslim.net, diakses tanggal 24 Desember 2013). Anonimous. 2008. Etika Dalam Berkomunikasi, (Online), (www.organisasi.org, diakses tanggal 24 Desember 2013). Anonimous. 2008. Teori Integrasi (Online), (subpokbarab.wordpress com.htm, diakses tanggal 24 Desember 2013). Anonimous. 2009. Etika Profesi dan Budi Pekerti, (Online), (www.filsafat.ugm.ac.id, diakses tanggal 25 Desember 2013). Anonimous. 2009. Pluralitas dan Pluralisme Agama, (Online), (http://id.wikipedia.org, diakses tanggal 25 Desember 2013). Charris Zubair, Achmad. 2009. Agama Menurut Sudut Tinjauan Etika Dalam Wacana Politik Indonesia, (Online), (www.endosri.co.cc, diakses tanggal 25 Desember 2013). Goldberg, A. Alvin, & Larson, Carl. E. 1985. Komunikasi Kelompok, Prosesproses Diskusi dan Penerapannya. Terjemahan.
13