PENINGKATAN PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN KOPERASI (Anwar Sitompul)
PENINGKATAN PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN KOPERASI*) Anwar Sitompul**) Abstract Cooperatives and SMEs/CSMEs’ empowerment is necessary to support the stability and economic growth as well as a constitutional mandates of Law number 25/1992 and Law number 20/ 2008. In line with the various problems encountered in the empowerment of cooperatives and SMEs, the government should take policy as follows: 1) Build political commitment; 2) Implement the empowerment programs that support the ability to optimize resources owned by CSMEs; 3) Establish or revive the institutions supporting CSMEs’ development; 4) Develop a connectivity component to accelerate cooperative development by clearly revitalized; 5) Encourage competitiveness by conducting break through programs such as competency development of human resources and infrastructure; 6) Avoid the implementation of programs designed by merely project approach as well; 7) Avoid programs that are strategy follow structure. To implement the seven-point policy, it is necessary to reform the government bureaucracy supported by an innovative human resources and an adequate budget. Sooner or later, it is difficult to form a super ministry with the fragmentation of political power, but it is possible to build a super team of government bureaucracy. Keywords: Government, development of the Cooperatives and SMEs Abstrak Pemberdayaan KUMKM sangat diperlukan untuk mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi sekaligus merupakan amanat konstitusional, dari UU nomor 25/1992 dan UU nomor 20 tahun 2008. Sejalan dengan kepentingan tersebut maka pemerintah harus mengambil langkah-langkah kebijakan sebagai berikut: 1) membangun komitmen politik; 2) melaksanakan program-program pemberdayaan yang mendukung kemampuan KUMKM untuk mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki; 3) membangun atau menghidupkan kembali lembaga-lembaga pendukung pembangunan koperasi UMKM; 4) mengembangkan koneksitas komponen
*)
Artikel diterima 16 Maret 2012, peer review 20 April 2012, review akhir 14 Mei 2012
**) DR. Anwar Sitompul adalah Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK
137
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 137-157
akselerasi pembangunan koperasi yaitu unsur pendorong seperti kelembagaan harus direvitalisasikan secara jelas; 5) mendorong peningkatan daya saing dengan melakukan berbagai program terobosan seperti pengembangan kompetensi SDM dan penyediaan infrastruktur; 6) menghindari pelaksanaan program-program yang dirancang dengan pendekatan proyek serta; 7) menghindari program-program yang bersifat strategy follow structure. Untuk melaksanakan ketujuh poin tersebut maka perlu adanya reformasi birokrasi pemerintahan yang didukung dengan SDM yang inovatif dan APBN yang memadai. Ke depan memang sulit membentuk kementerian yang super dengan semakin terfragmentasinya kekuatan politik, tetapi sangat mungkin membangun suatu birokrasi pemerintahan yang super team. Kata Kunci : Pemerintah, Pengembangan KUMKM I.
Pendahuluan Krisis ekonomi yang berkembang menjadi krisis multidimensional tahun 1997, memberikan pelajaran bahwa orientasi pembangunan yang hanya bertumpu pada tujuan pertumbuhan, telah mempersulit usaha untuk menciptakan pemerataan. Demikian juga pembangunan yang disandarkan pada sisi penawaran (hanya memperbesar produksi barang), melalui pembangunan industri skala besar yang padat modal dan industri yang berbahan baku impor, menyebabkan perekonomian nasional terjebak dalam situasi perekonomian dunia yang tidak kondusif. Kelompok-kelompok usaha besar yang hanya mengandalkan modal pinjaman dan eksploitasi sumberdaya alam, ternyata tidak berdaya sama sekali tidak berdaya untuk keluar dari kemelut akibat resesi. Pada saat itulah koperasi usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah (KUMKM), menunjukkan kehandalannya dalam mendukung proses penyembuhan perekonomian nasional. Keunggulan KUMKM dalam hal ini dimungkinkan karena beberapa karakter spesifik KUMKM yaitu: 1.
138
Sebagian besar usaha KUMKM merupakan kegiatan padat karya, dengan memanfaatkan sumberdaya lokal, sehingga lonjakan nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah, tidak banyak mempengaruhi kelangsungan usaha KUMKM. Sebaliknya hasil penjualan produk KUMKM menjadi meningkat karena adanya peningkatan harga jual terutama untuk barang-barang yang laku dijual di pasar internasional, seperti hasil perkebunan, produk tekstil dan barang barang handycraft.
PENINGKATAN PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN KOPERASI (Anwar Sitompul)
2.
Selang waktu produksi (time lag), usaha KUMKM relatif singkat, atau produksi dapat dilakukan secara cepat sehingga turn over menjadi tinggi yang berarti efisiensi penggunaan modal menjadi besar.
Kenyataan di atas menyadarkan semua pihak bahwa pemberdayaan KUMKM sangat diperlukan untuk mendukung stabilitas dan pertumbuhan perekonomian nasional. Pemberdayaan koperasi dan UMKM oleh pemerintah juga merupakan amanat konstitusional, yang dituangkan dalam UndangUndang nomor 25 tahun 1992 dan UU nomor 20 tahun 2008. Kedua UU tersebut menugaskan kepada Pemerintah untuk: a) melakukan pembinaan kepada koperasi dan UMKM, dengan menciptakan dan mengembangkan iklim usaha yang kondusif; b) meningkatkan dan memantapkan kemampuan koperasi dan UMKM agar pelaku terbesar dari perekonomian nasional ini tumbuh sehat tangguh dan mandiri; c) mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan antara koperasi dan UMKM dengan badan usaha lainnya serta; d) membudayakan koperasi dalam masyarakat. Dalam UU 25 tahun 1992 disebutkan bahwa dalam rangka pembinaan kepada koperasi pemerintah berkewajiban: a) membimbing usaha koperasi yang sesuai dengan kepentingan anggotanya; b) mendorong mengembangkan dan membantu pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan penelitian perkoperasian; c) memberikan kemudahan dan memperkokoh permodalan koperasi, serta mengembangkan lembaga keuangan koperasi; d) membantu pengembangan jaringan usaha koperasi dan kerjasama yang saling menguntungkan antar koperasi serta; e) memberikan bantuan konsultasi guna memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh koperasi dengan tetap memperhatikan anggaran dasar dan prinsip koperasi. Khusus dalam hal pemberdayaan usaha kecil (termasuk di dalamnya usaha mikro), Undang-undang nomor 20 tahun 2008 menyebutkan bahwa pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah oleh pemerintah adalah ditujukan untuk: a) menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan UMKM menjadi usaha yang tangguh dan mandiri serta dapat mengembangkan daya saingnya untuk menghadapi pasar global; b) meningkatkan peranan UMKM dalam pembentukan produk kotor nasional (Gross National Product), perluasan kesempatan kerja dan berusaha serta meningkatkan nilai ekspor; c) peningkatan dan pemerataan pendapatan untuk mewujudkan dirinya sebagai tulang punggung pembangunan nasional serta; d) memperkokoh perekonomian nasional. Operasionalisasi dari amanat konstitusi tersebut adalah melaksanakan pemberdayaan koperasi dan usaha UMKM konsisten dan berkesinambungan. 139
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 137-157
Sejalan dengan peranan pemerintah dalam upaya memberdayakan Koperasi dan UMKM maka dibentuk lembaga Kementerian Koperasi dan UKM yang tugas pokoknya adalah melaksanakan sejalan peranan pemerintah yang ditetapkan dalam kedua UU tersebut. Adapun tugas-tugas Kementerian Koperasi dan UKM dapat dirinci sebagai berikut : a) mengkoordinasikan pelaksanaan pemberdayaan usaha menengah yang menjadi tugas dan dilaksanakan oleh semua instansi yang berkewenangan untuk melaksanakan tugas tersebut; b) bersama dengan instansi teknis/sektoral dan Pemerintah Daerah mengadakan pemantauan dan evaluasi secara terpadu terhadap berbagai kebijaksanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan usaha menengah serta; c) membantu pemberdayaan usaha menengah terutama berkaitan dengan masalah pembiayaan dan investasi. Mengingat permasalahan yang dihadapi dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM selama lebih dari empat dasawarsa terakhir ini sangatlah banyak dan rumit maka peran yang harus dilaksanakan oleh pemerintah bukanlah tugas yang ringan. Pekerjaan ini bersifat multidimensional antar sektor dari hulu sampai ke hilir, oleh sebab itu layaknya dilaksanakan oleh suatu sistem pembinaan yang terorganisir serta terkordinir. Demikian juga pembangunan Koperasi dan UMKM terkait dengan banyak aktor dan banyak variabel yang berpengaruh serta bersifat multy years, sehingga sulit diukur keberhasilannya sebagai buah karya suatu instansi atau suatu rezim pemerintahan. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya basis data. Dari adanya berbagai kesulitan dalam proses pemberdayaan koperasi tersebut di atas, menimbulkan pertanyaan peran apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah agar pemberdayaan koperasi dan UMKM dapat dilaksanakan secara optimal dalam rangka mencapai tujuan akhirnya yang menjadikan koperasi dan UMKM sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Hal ini dimungkinkan karena UMKM dan koperasi merupakan bagian dari pelaku ekonomi yang jumlahnya terbesar dan tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan usaha koperasi dan UKM ini juga paling besar. II.
Permasalahan Dalam Pembinaan Koperasi dan UKM Permasalahan yang dihadapi dalam upaya pemberdayaan koperasi dan UMKM sangat beragam antara sektor tempat dan waktu. Secara sistematis permasalahan yang dihadapi dalam pemberdayaan koperasi dan UKM dapat diuraikan sebagai berikut :
140
PENINGKATAN PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN KOPERASI (Anwar Sitompul)
1.
Rendahnya Komitmen Politik Pada dasarnya komitmen politik dari semua rezim adalah sama yaitu bagaimana menciptakan kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat (rakyat) secara adil dan merata. Perbedaannya hanya terletak pada operasionalisasi kebijakan dan program-program yang dilaksanakan yang dipengaruhi oleh situasi kondisional dan orientasi pembangunan ekonomi yang dianut dan diimplementasikan dalam rancangan dasar pembangunan ekonomi yang dilaksanakan. Kebijakan perekonomian pada era kolonialisme sebelum kemerdekaan telah melahirkan dualisme perekonomian yang sangat merugikan ekonomi rakyat yang dibangun oleh kelompok pribumi. Namun demikian bukti-bukti sejarah memberikan gambaran bagi kita bahwa dalam kondisi yang bagaimana koperasi dan UKM dapat eksis, hal inilah yang harus memberikan pelajaran untuk mencari solusi dalam rangka membangun akselerasi pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Pemberdayaan Koperasi dan UMKM bertujuan agar Koperasi dan UMKM berkemampuan untuk mendayagunakan sumberdaya yang dimiliki. Pemberdayaan tidak boleh berdasarkan belas-kasihan kelompok ekonomi yang kuat, tetapi harus didasarkan pada pengembangan potensi kalangan UMKM sendiri. Dalam hal ini harus dipahami bahwa menjadikan UMKM sebagai subyek pembangunan adalah dengan memberikan haknya untuk berpartisipasi dalam pembentukan dan pembangunan produksi nasional.
2.
Inkonsistensi Pelaksaaan Program Pemberdayaan Koperasi dan UMKM Masalah kedua yang mengurangi efektifitas peran pemerintah dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM adalah inkonsistensi pelaksanaan program-program terutama yang berupa fasilitasi dalam berbagai bentuknya. Inkonsistensi program-program pemerintah tersebut sering menyebabkan UMKM sulit berperan aktif dalam jangka panjang. Akibatnya, pembinaan dalam fasilitasi dan programprogram perkuatan, sering dianggap oleh koperasi dan UMKM sebagai judi (gambling). UMKM kerap tidak siap untuk mengikuti program yang sifatnya selalu kagetan dengan berbagai istilah atau nama. Ketidakkonsistenan pelaksanaan program fasilitasi tersebut menyebabkan tidak adanya bukti keberhasilan pemberdayaan UMKM sehingga mereka tidak mendapatkan insentif untuk meningkatkan kinerjanya sesuai dengan arah program tersebut.
141
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 137-157
3.
Kurangnya Pemahaman Kepentingan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM Kurangnya pemahaman stakeholder dalam memberdayakan koperasi dan UMKM antara lain juga terindikasi dari adanya targettarget fisik yang ditetapkan dalam penyusunan program-program pemberdayaan koperasi dan UMKM seperti: a) peningkatan jumlah koperasi dan anggota koperasi; b) peningkatan volume usaha dan dan SHU; serta c) peningkatan jumlah UMKM dan peranan UMKM dalam perekonomian nasional. Dalam kasus tersebut Syarif (2008) mengatakan jumlah anggota koperasi tidak bisa dijadikan indikator bahwa pembangunan koperasi telah berjalan baik. Orang mau menjadi anggota koperasi bukan karena mengharapkan adanya kemudahankemudahan ekonomi dan nilai tambah dari keanggotaannya di koperasi, tetapi karena banyak dorongan lainnya yang belum tentu sesuai dengan kondisi ideal dari keanggotaannya tersebut. Dalam kondisi ideal memang orang mau menjadi anggota koperasi, walaupun untuk itu dia harus mengorbankan sesuatu. Mereka menjadi anggota koperasi karena mengharapkan Net Benefit dari koperasi yang dapat meningkatkan kesejahteraannya. Dengan demikian memberdayakan koperasi berarti mengembangkan keunggulan comparative koperasi. Keunggulan comparative dalam koperasi dapat ditumbuhkan dengan peningkatan skala ekonomi dari koperasi. Oleh sebab itu, meningkatnya jumlah anggota koperasi idealnya akan meningkatkan skala ekonomi koperasi.
4.
Hambatan Struktural Pengamatan terhadap pembinaan dalam rangka pemberdayaan UMKM sejak era Orde Baru mengindikasikan bahwa satu masalah pokok yang belum teratasi sampai sekarang ini adalah adanya hambatan/kendala struktural dalam pemberdayaan UMKM, seperti: a) kewenangan/batas tugas dan tanggung jawab instansi pembina yang terlalu luas menyangkut aspek kebijaksanaan dan fisik; b) banyaknya unsur pembina menyebabkan sering terjadinya inkonsistensi kebijakan yang dikeluarkan baik di tingkat pusat maupun daerah; c) masalah koordinasi pembinaan yang belum benar-benar tertata, serta d) belum terbentuknya komitmen yang sama baik dikalangan pembina baik instansi pemerintah, dunia usaha maupun dalam masyarakat sendiri tentang kepentingan pemberdayaan UMKM.
142
PENINGKATAN PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN KOPERASI (Anwar Sitompul)
Dampak yang terlihat dari adanya kendala tersebut antara lain adalah adanya indikasi program-program pembinaan koperasi dan UMKM yang berjalan secara parsial, yang menyebabkan rendah tingkat keberhasilan program tersebut. Terjadinya tumpang tindih program yang berakibat rendahnya efektifitas dan efisiensi pembinaan atau pemborosan anggaran pembinaan, serta keberhasilan sektoral yang bersifat semu. 5.
Keterbatasan Data dan Informasi Wacana akselerasi pembangunan koperasi dan UMKM selalu menjadi topik menarik, karena luasnya bidang cakupan dan kompleksitas masalah yang dihadapi. Tidak adanya data dan informasi yang komprehensif dan akurat menyebabkan pemerintah dan unsur lain yang terkait kurang efektif dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM. Pembinaan dalam rangka pemberdayaan UMKM tidak bisa jika hanya mengandalkan data yang terbatas. Keterbatasan dalam proses penyusunan konsep-konsep pemberdayaan UMKM, akan menyebabkan program-program yang dihasilkan hanya bersifat temporer. Akibatnya pemberdayaan yang dilakukan hanya dapat mengobati symtom dan bukan akar permasalahan yang sebenarnya. Konsistensi dan kesinambungan program yang tidak jelas menyebabkan UMKM sulit berperan aktif dalam jangka panjang. Kondisi ini jelas menyebabkan UMKM sulit untuk menyiapkan diri mengikuti program yang sifatnya selalu kagetan dan dengan berbagai istilah atau nama kemasan yang baru. Ketidakkonsistenan program menyebabkan tidak adanya indikator keberhasilan pemberdayaan UMKM sehingga menyulitkan masyarakat berpartisipasi dalam program tersebut. Implikasinya UMKM tidak memiliki insentif untuk meningkatkan kinerjanya sesuai dengan arah program pemerintah.
III.
Strategi Pengembangan Peran Pemerintah 1.
Indikator Keberhasilan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM 1)
Peningkatan Permodalan dan Kemampuan Usaha Dengan asumsi-asumsi di atas, maka prediksi keragaan usaha koperasi dapat dikemukakan sebagai berikut: (1)
Volume usaha minimal akan bertambah sebanyak persentase pertambahan modal. Jika yang terjadi
143
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 137-157
adalah lebih besar, maka hal tersebut mengindikasikan membaiknya kondisi usaha koperasi, baik dari aspek pelayanan maupun manajemen. Kondisi tersebut juga kedudukan koperasi dalam sistem perekonomian setempat (lokal).
144
(2)
Penguatan modal UKMK pada dasarnya adalah untuk mengatasi masalah kesulitannya dalam mengakses sumber-sumber permodalan. Dukungan pemerintah untuk memperkuat akses UKMK tersebut, tidak hanya melalui pemberian bantuan modal (dalam tanda petik dengan subsidi bunga), tetapi juga melalui kebijakan yang menunjukan keberpihakan dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan moneter. Sebagai contoh UndangUndang nomor 10 tahun 1998, tentang Perbankan yang berlaku sekarang ini masih memberikan kesempatan bagi perbankan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian yang berlebihan (konsep The Five of C credit) yang sulit dipenuhi oleh UKMK. Untuk mengatasi hal tersebut nampaknya program penjaminan merupakan salah satu program yang perlu dikaji efektifitasnya.
(3)
Situs Bank Indonesia menyajikan data bahwa pada tahun 2005 Bank-bank nasional telah menyalurkan kredit sebanyak Rp 413 triliun. Dari dana sebanyak itu yang mampu langsung diserap oleh kelompok UKMK hanya sebesar Rp 26 triliun atau 6,3% (ada dana untuk UKMK yang disalurkan melalui Bank Perkreditan Rakyat dan melalui kartu kredit, yang jumlah cukup besar dan ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan bahwa Bank nasional harus menyalurkan dananya minimal 20% untuk kelompok UKMK). Seandainya pelaksanaan program penjaminan berjalan baik dan dapat disempurnakan, sehingga mampu memberikan jaminan sampai dengan 20% dari permintaan kredit UKMK, maka diharapkan kredit perbankan yang mampu diserap oleh UKMK mencapai Rp 82,6 triliun. Jumlah tersebut adalah lebih dari 40 kali lipat dibandingkan dengan dana perkuatan yang telah disalurkan oleh Kementerian Koperasi dan
PENINGKATAN PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN KOPERASI (Anwar Sitompul)
UKM sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 (yang menurut Jurnal SM-21 mencapai Rp 2,35 triliun). 2)
Peningkatan Kemampuan Penyerapan Tenaga Kerja Idealnya pertambahan modal akan menambah kapasitas produksi yang secara linier akan menambah penggunaan input produksi lainnya, termasuk tenaga kerja. Santoso (2003) mengatakan dengan asumsi bahwa setiap pertambahan produk senilai Rp 412 juta akan menambah peluang kerja sebanyak satu orang, maka adanya pertambahan modal UKMK sebesar Rp 992,21 juta, omset akan meningkat sebesar Rp 4.345 juta. Dengan adanya peningkatan omset ini, maka akan ada pertambahan penyerapan tenaga kerja sebanyak 10,55 orang per UMKM. Kalkulasi murni tersebut belum menghitung dampak ke belakang (backward effect) maupun dampak ke depannya (forward effect). Kenyataan mengindikasikan kondisi yang berbeda, seperti misalnya: 1)
Pertambahan tenaga kerja lebih kecil dari 10,55 orang per koperasi. Kondisi ini mencerminkan terjadinya: a) peningkatan efisiensi penggunaan tenaga kerja sebagai dampak dari penggunaan teknologi maju (capital intensif) atau terjadinya efisien dibidang manajemen tenaga kerja dan; b) UKMK tidak menggunakan semua bantuan pinjaman dari program perkuatan untuk diinvestasikan atau dibelanjakan bagi peningkatan usahanya dan; c) UKMK tidak mampu menggunakan pinjaman tersebut untuk kegiatan-kegiatan produktif, sehingga kondisinya menjadi sangat riskan, oleh sebab itu perlu adanya pengkajian yang komprehensif.
2)
Pertambahan tenaga kerja lebih besar dari yang diprediksikan maka dapat ditarik kesimpulan: a) UKMK melakukan atau mendistribusi bantuan pada kegiatankegiatan usaha yang bersifat padat karya; b) ada dampak ke depan dan dampak ke belakang dari kegiatan-kegiatan usaha yang dilaksanakan oleh Koperasi/UKM yang menerima bantuan perkuatan; dan c) ada penambahan kecepatan perputaran modal (turn over) dari kegiatankegiatan usaha yang dilaksanakan. Penambahan kecepatan
145
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 137-157
perputaran ini dapat disebabkan oleh meluasnya jangkauan usaha koperasi/UKM atau menguatnya kedudukan/posisi tawar (bargaining position) koperasi dan UKM tersebut dalam sistem perekonomian setempat. 3)
Peningkatan Sumbangan terhadap GDP Sama seperti kemampuan penyerapan tenaga kerja, pertambahan modal akan memperbesar usaha UKMK, yang secara linier akan meningkatkan nilai tambah produk UKMK. Peningkatan nilai tambah ini secara langsung akan meningkatkan sumbangan UKMK terhadap GDP. Dari data yang disajikan Jurnal-SM 21 terlihat bahwa untuk tahun 2000 saja ada pertambahan modal dari 3.013 koperasi/UKM rata-rata sebesar Rp 992,21 juta. Oleh karena jenis usaha UKMK penerima bantuan sangat beragam maka nilai tambah agregatifnya harus dicari lebih dahulu. Jika nilai sumbangan agregatif tersebut telah diketahui maka dapat ditetapkan angka indeks sumbangan dari kegiatan ekonomi UKMK tersebut. Dalam berbagai kebijakan yang mengatur pelaksanaan program perkuatan, tidak pernah dinyatakan tujuan program adalah untuk memperkuat modal luar UKMK. Analisis dengan menggunakan pendekatan modal luar akan menyesatkan karena besarnya modal luar akan berpengaruh pada analisis likuiditas, solvabilitas dan rentabilitas suatu perusahaan. Sebaiknya analisis seperti itu dihindari, apalagi kalau yang membaca adalah orang luar koperasi yang tidak banyak memahami program perkuatan yang dilaksanakan oleh Kementerian Koperasi dan UKM. Kalau digunakan pendekatan modal (bukan modal luar), mungkin masih bisa diterima sebagai indikator keberhasilan program perkuatan, karena perkuatan modal UKMK merupakan sasaran antara dalam program perkuatan Koperasi dan UKM. Apakah hanya dengan melaksanakan program perkuatan kita berkeyakinan dapat memperkuat permodalan UKMK? Mengapa kita tidak berusaha memecahkan akar persoalannya yaitu kebijakan pemerintah di bidang
146
PENINGKATAN PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN KOPERASI (Anwar Sitompul)
moneter, khususnya perbankan? Dalam hal ini masalah kesulitan koperasi untuk mengakses sumber-sumber permodalan hanya merupakan dampak dari adanya akar permasalahan di pasar uang nasional, yaitu prinsip kehatihatian perbankan yang dicantumkan dalam UU nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Adanya prinsip ini menyebabkan perbankan masih menerapkan konsep the five C of Credit, yaitu caracter, capital, colateral, capacity of repayment dan condition of economies yang sulit dipenuhi oleh UKMK. Dengan perkataan lain seharusnya analisis juga membandingkan antara tingkat keberhasilan perkuatan permodalan koperasi melalui program perkuatan, dengan kemudahan dalam mengakses modal bagi Koperasi dan UKM jika ada regulasi kebijakan di bidang perbankan bisa dilaksanakan. Adalah sangat ceroboh bila menyimpulkan bahwa rasio modal luar atau modal pinjaman dari pihak luar anggota koperasi terhadap bantuan perkuatan menjadi indikator kemampuan koperasi untuk menyerap modal dari luar. Diketahui bahwa jumlah dana yang diberikan dalam bentuk bantuan permodalan merupakan kebijakan dari pusat yang dikemudikan juga oleh pemerintah, dengan berbagai pendekatan, antara lain pendekatan pemerataan. Jika pemberian bantuan perkuatan tersebut ditentukan oleh pemerintah dengan demikian rasio bantuan perkuatan terhadap modal luar juga terbentuk karena adanya kebijaksanaan tersebut. Dengan kata lain maka kalau kesimpulan dimaksud digunakan dalam menilai kemampuan koperasi untuk menyerap modal dari luar adalah hal yang tidak logis, atau berarti pemerintahlah yang menempatkan koperasi pada suatu kategori atau kelas. Kalau mau dimasukkan sebagai koperasi kelas atas jangan diberikan bantuan perkuatan. Sebaliknya kalau mau dimasukkan sebagai koperasi kelas bawah, berikan saja bantuan perkuatan yang banyak.
147
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 137-157
2.
Strategi Pengembangan Peran Pemerintah Permasalahan yang dihadapi dalam rangka pemberdayaan Koperasi dan UMKM sampai sekarang ini masih bergelut pada masalahmasalah klasik seperti kesulitan akses terhadap permodalan, pasar, teknologi dan informasi. Kondisi yang demikian menyebabkan upayaupaya yang dilakukan terlihat masih berjalan ditempat. Oleh sebab itu, perlu adanya program-program terobosan yang memungkinkan percepatan pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Dengan mempertimbangkan faktor resiko yang akan dihadapi maka diperlukan adanya langkah awal berupa pemahaman tentang potensi permasalahan dan kendala yang ada, untuk itu diskusi ini akan memaparkan kesemua aspek tersebut untuk mendapatkan pikiran-pikiran baru tentang akselerasi pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Rumusan hasil diskusi diharapkan dapat menjadi solusi dalam menetapkan langkah operasional, bentuk dan pola akselerasi pemberdayaan koperasi dan UMKM dalam sisa waktu RPJM 2004 sampai dengan 2009 sekarang ini. Keberpihakan pemerintah sifatnya mutlak. Pemerintah harus menyediakan modal material, intelektual dan institusional. Koperasi dalam jangka panjang harus didorong untuk mampu bersaing dalam pasar global. Tetapi disini terlihat keberpihakan pemerintah masih sangat kurang. Kebijakan pemerintah dibidang perbankan merupakan salah satu bukti ketidakadilan. Demikian juga kita tidak mengetahui tujuan pembuatan kelompok usaha, seperti usaha mikro, kecil dan menengah, tetapi tidak ada konsekuensi logis yang diberikan pemerintah terhadap kelompok-kelompok usaha tersebut. Upaya memberdayakan koperasi dan UMKM adalah proses politik, oleh sebab itu seharusnya kita membuat isu politik untuk mempercepat (akselerasi) pemberdayaan koperasi dan UKM. Disini dituntut kemampuan untuk memberikan keyakinan kepada para pengambil keputusan agar lebih berpihak kepada pembangunan kelompok masyarakat banyak ini. Tampaknya tidak ada proses komunikasi politik yang langsung dibangun dan ditumbuhkan oleh para eksponen yang bergerak dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM. Dengan kondisi yang demikian jangan diharapkan akan ada tenggang rasa dari usaha besar kepada usaha kecil. Belajar dari
148
PENINGKATAN PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN KOPERASI (Anwar Sitompul)
masa lalu untuk bermitra dengan pengusaha kecil, pengusaha besar harus dipaksa dan dibalut aturan formal, itupun tidak dapat berjalan efektif. Pembangunan UMKM terkait dengan banyak aktor dan banyak variabel yang berpengaruh serta bersifat multy years sehingga sulit diukur keberhasilannya sebagai buah karya suatu instansi atau suatu rezim pemerintahan. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya basis data. Tujuan pembangunan nasional adalah untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi warga masyarakat agar mengaplikasikan kehidupan hidup mereka yang paling manusiawi (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan sekundernya). Untuk itu semua orang diberikan kesempatan bekerja yang sama. Kelompok UMKM merupakan bagian terbesar dari masyarakat yang kepentingannya sering tertutupi oleh kepentingan usaha besar, karena produktifitas dinilai rendah. Kepentingan mereka lebih banyak terlihat sebagai argumen normatif yang pengaplikasiannya terbatas pada program-program untuk mengangkat kemiskinan. Oleh sebab itu, sejak awal kajian ini akan diorientasikan pada pemahaman tentang tujuan pembangunan ekonomi dalam bentuk normatif yang diaplikasikan kedalam bentuk program-program positif yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah. Sejak era Orde Baru, sudah banyak program/kebijakan yang ditujukan untuk memberdayakan UMKM yang pada umumnya dikaitkan dengan program-program pembangunan sektoral, seperti programprogram pembangunan pertanian untuk mendukung revolusi hijau (yang bertujuan akhir mencapai swasembada pangan), atau program Perkebunan Inti Rakyat untuk mendukung pengembangan ekspor non migas. Semua program-program tersebut memang secara langsung menyentuh bidang-bidang usaha UMKM, tetapi target keberhasilan pembangunan sektoral disini lebih menonjol. Dengan demikian program-program tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung kurang menyentuh kehidupan UMKM sebagai pelaksana pembangunan. Dengan perkataan lain, program-program semacam itu mungkin telah berhasil mencapai target keberhasilannya dalam pembangunan sektoral, tetapi belum berhasil memperbaiki kondisi UMKM yang terlibat di dalamnya. Sebagai contoh misalnya, petani padi yang tidak meningkat penghasilannya walaupun produksi padinya meningkat karena biaya 149
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 137-157
pembelian sarana produksi padi yang tinggi, sedangkan harga padi lebih banyak ditentukan oleh para pedagang (pembeli). Demikian juga program PIR lebih banyak menguntungkan para pemilik pabrik pengolahan (inti) dari pada para pekebun sebagai plasma. Kasus yang sama terjadi pada Program Tebu Rakyat Intensifikasi yang lebih banyak menguntungkan pabrik gula daripada petani tebu. Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa untuk mengetahui seberapa jauh dan seberapa besar peran pemerintah dalam mendorong pemberdayaan UMKM melalui program-program pembangunan yang merupakan aplikasi dari tujuan pembangunan nasional. Program pembangunan nasional selalu disusun dalam bentuk kalimat normatif, untuk itu perlu dilakukan pengukuran seberapa besar konsekuensi dan konsistensinya dalam program/kebijakan di lapangan. Beberapa contoh permasalahan yang dikemukakan di atas (kasus revolusi Hijau, PIR dan TRI) memberikan indikasi positif bahwa pengaplikasian tujuan normatif ke program positif telah dilaksanakan dengan konsekuensi tinggi, tetapi konsistensinya masih diragukan karena pendekatan pembangunan yang dilaksanakan juga dipengaruhi oleh pendekatan yang digunakan dalam penyusunan program/kebijakan di lapang. Untuk lebih memperjelas konsepsi pemecahan masalah adalah seperti terlihat pada Bagan 1 di bawah ini. Sejalan dengan uraian di atas, maka salah satu upaya yang masih sangat diperlukan adalah penataan kembali sistem kelembagaan pembina pemberdayaan UMKM. Disadari pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan besar yang menuntut ketersediaan sumberdaya yang cukup besar dan kesiapan dari pemerintah, tetapi urgensi pelaksanaannya sangat diperlukan apalagi mengingat bahwa masalah pengangguran dan kemiskinan sangat potensial diatasi melalui perkuatan UMKM. Pemikiran tersebut juga cukup beralasan mengingat dalam sejarah pembangunan koperasi dan UMKM di Indonesia sejak lama pembinaannya lebih banyak dilakukan langsung oleh pemerintah dengan membangun instansi pembina yang sangat strategis, baik setingkat Menteri, setingkat Menteri Muda maupun setingkat Direktur Jendral. Pada masa orde lama pembinaan koperasi lebih sering dilakukan oleh instansi setingkat Menteri, tetapi karena kepentingan politis pada masa itu mendominasi pendekatan pembangunan, maka keberhasilan pembinaannya sulit terdeteksi. 150
setingkat Menteri, setingkat Menteri Muda maupun setingkat Direktur Jendral. Pada masa orde lama pembinaan koperasi lebih seringKOPERASI dilakukan PENINGKATAN PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN oleh instansi setingkat Menteri, tetapi karena kepentingan politis pada masa (Anwar Sitompul) itu mendominasi pendekatan pembangunan, maka keberhasilan pembinaannya sulit terdeteksi.
Bagan 1: Efektifitas dan Efisiensi Sistem Kelembagaan Pemberdayaan UMKM Bagan 1: EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI SISTEM KELEMBAGAAN PEMBERDAYAAN UMKM
Faktor External • • •
•
PROGRAM PEMBERDAYAAN UMKM
Kondisi perekonomian Pembinaan instansi sektoral Ketersediaan SDM pembangunan
Faktor Internal • •
Sistem kelembagaan pembinaan Koperasi dan UMKM
Pendekatan pembangunan
PEMBINAAN FISIK Komitmen Politik
Ketersediaan dan kualitas SDM Kondisi keuangan negara
REGULASI/ KEBIJAKAN
Keberhasilan Program Pembinaan Kop dan UMKM
• • • •
KEBERHASILAN SISTEM PEMBINA Ratio jumlah pembina dengan Koperasi dan UMKM Ratio jumlah anggaran dengan Koperasi dan UMKM Ratio kemampuan penyerapan tenaga dengan jumlah pembina Ratio peningkatan GDP dari UMKM dengan jumlah pembina dan anggaran
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa pembinaan pemberdayaan 11 Koperasi dan UKM, merupakan satu langkah strategis yang harus dipertimbangkan dalam rangka mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan yang sekaligus akan menciptakan pemerataan. Untuk tujuan tersebut permasalahan pokok yang akan dicarikan solusi pemecahannya adalah jawaban dari beberapa pertanyaan di bawah ini:
151
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 137-157
a)
Seberapa jauh dan seberapa besar pengaruh instansi Pembina dalam pemberdayaan Koperasi dan UMKM yang dicerminkan dari tingkat keberhasilan UMKM dalam mendukung perekonomian nasional dengan indikator kemampuan penyerapan tenaga kerja serta sumbangan UMKM dalam membangun Pendapatan Kotor Nasional (GNP) dan;
b)
Apakah ada pengaruh langsung jumlah dan bentuk kelembagaan utama pembina Koperasi dan UMKM
Sedangkan langkah operasional yang perlu dilakukan adalah:
152
a)
Menyusun pemahaman yang jelas bagi semua kalangan stakeholder kepentingan pemberdayaan Koperasi dan UMKM dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi nasional. Pemahaman tersebut adalah dalam bentuk penjabaran tujuan-tujuan pembangunan yang bersifat normatif kedalam bentuk pengertian positif yang bernilai ilmiah;
b)
Pemahaman tentang pendekatan pembangunan ekonomi yang diaplikasikan dalam konsepsi pembangunan nasional, yang sejalan dengan cita-cita reformasi, tetapi tidak secara mutlak melepaskannya dari aspek politik;
c)
Pemahaman tentang tujuan pembangunan UMKM yang merupakan bagian dari tujuan pembangunan ekonomi nasional;
d)
Kondisi ketersediaan sumberdaya nasional dan kondisi keuangan negara
e)
Kondisi perekonomian nasional dan kondisi UMKM dan sumbangan UMKM dalam mendukung perekonomian nasional;
f)
Strategi dan pola pembinaan UMKM yang telah dan sedang dilaksanakan serta tingkat keberhasilan pembinaan Koperasi dan UMKM pada masamasa sebelumnya;
g)
Penetapan kriteria keberhasilan pembangunan Koperasi dan UMKM serta kriteria keberhasilan pembinaan UMKM oleh instansi pembina;
h)
Pemahaman dampak dari berbagai faktor yang diduga secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keberhasilan pembinaan dalam rangka pemberdayaan Koperasi dan UMKM;
i)
Pendekatan, konsepsi dasar dan berbagai faktor yang dipertimbangkan dalam penetapan program-program pembinaan Koperasi dan UMKM;
PENINGKATAN PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN KOPERASI (Anwar Sitompul)
j)
Pola pelaksanaan pembinaan UMKM dan peran komponen pembina lainnya (terutama Pemerintah Daerah) dalam pemberdayaan UMKM dan;
k)
Bentuk-bentuk pembinaan baik fisik maupun non fisik yang telah, sedang dan perlu diberikan dalam rangka pemberdayaan UMKM.
Pendekatan pembangunan ekonomi yang diaplikasikan dalam programprogram pembangunan dalam era Orde Baru yang juga lebih mengutamakan kepentingan makro (mengejar pertumbuhan), tetapi kurang memperlihatkan keberpihakan pada pemberdayaan UMKM. Dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM sebagai pembina utama Koperasi dan UMKM tidak dapat berbuat banyak karena semua program tersebut dirancang dan dilaksanakan oleh instansi sektoral. Yang dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM dalam mendukung pelaksanaan program-program tersebut hanya sebatas menyediakan dan mendampingi Koperasi dan UMKM yang menjadi sasaran program. Peran yang dimainkan oleh Kementerian Koperasi dan UKM belum signifikan untuk mendukung pemberdayaan UMKM. Kurang berperannya Kementerian Koperasi dan UKM dalam menentukan program-program yang pelaksanaannya melibatkan Koperasi dan UKM memang merupakan ironi tetapi hal yang demikian harus diterima karena Kementerian Koperasi dan UKM tidak memiliki program-program sendiri sehingga pemahaman pembangunan untuk mendukung pemberdayaan UMKM menjadi terbalik yaitu UMKM yang menjadi pendukung pembangunan sektoral. Kondisi yang demikian memang sangat tidak menguntungkan bagi UMKM karena pemahaman kepentingan pemberdayaan UMKM dalam mendukung pembangunan nasional menjadi bias. Demikian juga peran dari Kementerian Koperasi dan UKM menjadi tidak relevan dengan kepentingan UMKM. Disamping masalah peran UMKM versus konsepsi dan pendekatan pembangunan yang juga perlu mendapat perhatian dalam kajian ini adalah kondisi ketersediaan dan sistem alokasi sumberdaya nasional, termasuk di dalamnya kondisi keuangan negara. Faktor ini menjadi sangat strategis dalam mengkaji seberapa jauh dan seberapa besar peran pembina dalam mendukung keberhasilan pemberdayaan UMKM. Signifikasi faktor ini juga terkait langsung dengan kondisi perekonomian nasional kondisi UMKM dan sumbangan UMKM dalam mendukung perekonomian nasional.
153
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 137-157
Lebih jauh diketahui bahwa strategi pembangunan UMKM merupakan derivasi dari konsepsi dasar pembangunan UMKM dan pendekatan yang digunakan dalam program-program pemberdayaan UMKM. Strategi pembinaan UMKM secara langsung terkait dengan pola pembinaan UMKM yang telah dan sedang dilaksanakan serta tingkat keberhasilan pembinaan Koperasi dan UMKM pada masa-masa sebelumnya. Belum signifikannya keberhasilan pembangunan UMKM dan koperasi dalam era orde salah satunya juga disebabkan oleh kesalahan penetapan strategi pembinaan yang hanya menumpang pada program-program pembangunan dari instansi lain (pembangunan sektoral). Kesalahan ini juga secara langsung harus dipertanggungjawabkan oleh sistem pembina Koperasi dan UKM yang berintikan Kementerian Koperasi dan UKM. Untuk mengkaji seberapa besar keberhasilan instansi pembina UMKM lebih dulu perlu ditetapkan kriteria tingkat keberhasilannya yang secara langsung berkaitan dengan keberhasilan pembangunan Koperasi dan UMKM. Demikian juga perlu dilakukan pengujian terhadap dampak dari berbagai faktor yang diduga secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keberhasilan pembinaan dalam rangka pemberdayaan koperasi dan UMKM. Kelemahan dalam penyusunan program-program seperti dikemukakan di atas cenderung tidak terlepas dari pendekatan dan konsepsi dasar dalam penyusunan program yang bersifat sektoral (dengan tujuan yang juga sektoral) serta adanya berbagai faktor yang idealnya perlu dipertimbangkan pengaruhnya bukan hanya pada tujuan sektoral tetapi juga untuk memberdayakan koperasi dan UMKM. Karena yang dilaksanakan oleh UMKM adalah programprogram sektoral maka tingkat keberhasilannya juga dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan dalam penetapan program-program yang bersifat sektoral yang cenderung kurang memperhatikan dampak program tersebut pada pemberdayaan UMKM. Sejalan dengan pendekatan dan teknis pelaksanaan program-program sektoral tersebut, pola pelaksanaannya juga tidak sepenuhnya bertujuan untuk pemberdayaan UMKM dan koperasi. Demikian juga komponen pembina yang berasal dari instansi sektoral dan Pemerintah Daerah tidak selalu cukup besar untuk mendukung pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Satu faktor lagi yang perlu mendapat perhatian adalah bentuk-bentuk pembinaan baik fisik maupun non fisik yang telah, sedang dan perlu diberikan dalam rangka pemberdayaan UMKM
154
PENINGKATAN PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN KOPERASI (Anwar Sitompul)
Akselerasi memang diperlukan dalam pembangunan Koperasi dan UKM sekarang ini, tetapi seharusnya diselaraskan dengan program-program yang sudah ada. Beberapa komponen yang bisa diakselerasikan yaitu komponen pendorong seperti kelembagaan harus direvitalisasikan secara jelas. Demikian juga dengan komponen penarik seperti SDM, kompetensinya perlu dikembangkan secara terarah dan berkesinambungan melalui pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan. Pengembangan SDM dapat dilakukan melalui pemberdayaan target grup secara komprehensif. Komponen yang perlu mendapat perhatian adalah unsur pemicu antara lain infrastruktur. Unsur ini harus dikembangkan secara baik sehingga potensi lainnya dapat digerakkan. Tanpa adanya infrastruktur yang memadai omong kosong jika potensi anggota masyarakat yang UKM dapat dikembangkan dalam mengejar ketertinggalannya dengan usaha besar. Perkembangan koperasi harus sesuai dengan kondisi ekonomi sosial dan politik. Banyak tidak sependapat jika program pemberdayaan dipaksakan dan tidak sesuai dengan kultur suatu daerah seperti pengembangan sapi perah di Sumatera Selatan yang terkesan sangat dipaksakan. Program-program dari pusat sangat terburu-buru, sehingga baik instansi maupun UMKM di daerah belum siap menerima program tersebut. Masalah data, monitoring dan evaluasi program memang hanya sampai di tingkat propinsi. Untuk sampai ke tingkat pusat tidak tersedianya sarana SDM dan dana sehingga proses monitoring dan evaluasi hanya dilakukan sekali-sekali tergantung ada tidaknya dan besar kecilnya dana yang tersedia di pusat. Faktor penarik lainnya yang harus diperhatikan adalah daya saing (comparative adventage) dan iklim usaha. Peningkatan daya saing dapat dilakukan dengan berbagai program terobosan seperti pengembangan kompetensi SDM dan penyediaan infrastruktur. Untuk mengembangkan kesempatan dan kompetensi SDM dilakukan dengan memperbaiki iklim usaha. Akselerasi ini akan terbentuk jika kondisi ketiga komponen penting tersebut dapat dibangun melalui pengembangan iklim usaha yang menyangkut aspek non fisik berupa regulasi peraturan perundang-undangan dan penyediaan infrastruktur telah dapat dilakukan dengan baik dan benar. IV.
Penutup 1)
Untuk mendukung pemberdayaan Koperasi dan UKM perlu adanya dukungan komitmen politik dari semua kelompok.
155
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 137-157
2)
Percepatan pemberdayaan koperasi dan UKM oleh pemerintah hanya mungkin dilakukan melalui program-program yang memberikan kesempatan kepada kelompok tersebut untuk memanfaatkan sumberdaya pembangunan sesuai potensi yang dimiliki.
3)
Membangun captive market dikalangan UMKM dalam jaringan organisasi koperasi, yang melahirkan nilai komparatif.
4)
Revitalisasi dan reorientasi lembaga-lembaga pendukung pembangunan koperasi seperti seperti Jamkrindo, Bank Bukopin dan Lembaga permodalan Madani (PT. PNM).
5)
Meningkatan daya saing Koperasi dan UKM dengan melaksanakan berbagai program terobasan seperti pengembangan kompetensi SDM dan penyediaan infrastruktur.
6)
Menghindari pelaksanaan program-program yang dirancang dengan pendekatan proyek yang banyak, tidak sistematis dan tidak terintegrasi.
7)
Menyiapkan mental intelektualitas SDM UKM serta institusional.
8)
Kebijakan pemerintah dibidang perbankan memperbaiki UU perbankan.
9)
Memberikan konsekuensi yang jelas atas pengelompokan usaha, seperti usaha mikro, kecil dan menengah.
DAFTAR PUSTAKA Ali, Suryadharma (2007). ”Kinerja UMKM Masih Lemah”, Harian Kompas Tanggal 26 November 2006. Anonymous (1992). “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian”. Kementerian Koperasi, Ditjen Bina Lembaga Koperasi, Jakarta; Anonymous (2001). “Policy Reform for Increasing Small and Medium”; Anonimous (2002). “Strategi Pengembangan Iklim Usaha dalam Pengembangan Usaha Kecil Menengah di Daerah”, Jurnal Ekonomi UNTAR, Vol. 7 Nomor 1, Jakarta; Anonymous (2004). “Laporan Pelaksanaan Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha UMKM”, Kementerian Koperasi dan UKM.
156
PENINGKATAN PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN KOPERASI (Anwar Sitompul)
Anonymous (2006). “Kajian Model Penumbuhan Unit Usaha Baru”, Deputi Pengkajian Sumberdaya UKMK, Jakarta; Anonymous (2008). “Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)”. Kementerian Koperasi dan UKM , Jakarta; Chatib Basri (2004). “Program 100 Hari Pemerintahan SBY Kalla”. Analisis Ekonomi Kompas,1 November 2004. Jakarta; Michael, H. Morris, Ramon A. Avila, Jeffrey Allen (1993). “Individualism and The Modern Corporation: Implications for Innovation and Entrepreneurship”, Journal of Management, 19(3); Tambunan, Manggara (2004). “Melangkah Ke Depan Bersama UKM”. Makalah pada Debat Ekonomi ESEI 2004, Jakarta Convention Centre 15-16 september 2004;
157