Manifesto Aidit dalam “Peranan Koperasi Dewasa Ini”
Ilustrasi: Moh. Dzikri Handika
Melalui buku Peranan Koperasi Dewasa Ini (PKDI), Aidit secara tegas meletakkan koperasi sebagai gerakan sosial dan ekonomi pasca kemerdekaan Indonesia. Menyusul kekecewaannya terhadap Komite Meja Bundar (KMB), Aidit terus menekankan bahwa, sekali lagi, Indonesia harus jeli membaca kepentingan neokolonialisme. Melalui latar belakang itulah, PKDI disusun sebagai manifesto Aidit untuk memposisikan koperasi sebagai gerakan rakyat pekerja. Buku ini tersusun dalam tiga naskah pidato Aidit, antara lain: (1) Tentang susunan ekonomi Indonesia yang hendak kita bangun sekarang, (2) Tentang peranan, lapangan kegiatan dan perkembangan gerakan koperasi, (3) Tentang peranan Pemerintah dalam mengembangkan gerakan koperasi dan beberapa persoalan UU Koperasi. Susunan Ekonomi Indonesia Pasca Kolonialisme Sebagai lembaga ekonomi, secara ideologis, koperasi mengemban cita-cita Revolusi Indonesia untuk menentang neokolonialisme Belanda. Koperasi juga dihadapkan pada perjuangan Indonesia melawan penanaman modal asing dalam SEATO serta sisa-sisa feodalisme. Guna mencapai cita-cita tersebut, Aidit pun menyatakan komitmen besarnya dengan menanggapi pidato Djalannya Revolusi Kita (Djarek) oleh Presiden Soekarno tentang tujuan dan tahapan revolusi Indonesia. Pertama, Indonesia harus bersih dari imperialisme Belanda dan feodalisme tuan-tuan tanah. Kedua, Indonesia harus bersih dari kapitalisme dengan menunjuk Amerika sebagai bahaya baru invasi modal asing. Komitmen itu juga tersurat dalam Panca Program Front Nasional[1] (PPFN) sebagai prioritas Revolusi Indonesia. Membaca konteks di atas, Aidit pun menafsirkan bahwa agenda perjuangan ekonomi Indonesia harus berasas demokrasi, anti imperialisme, anti feodalisme, dan gotong royong. Bentuk konkritnya terlihat dalam kelembagaan koperasi.Lewat koperasi, Aidit menemukan jalan tengah bagi perekonomian Indonesia yang belum “sosialis” tetapi menolak “kapitalis”. Melalui koperasi, para pemilik alat produksi kecil diharapkan bisa mengorganisir diri untuk mengatasi kesulitan ekonomi sekaligus
berpartisipasi dalam agenda revolusi. Gerakan Koperasi Indonesia “Kita harus menentang propaganda yang menyesatkan dari Dr. M. Hatta yang menyatakan bahwa koperasi adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kemakmuran bagi bangsa kita yang masih lemah ekonominya.” (Aidit, 1963: 13) Tanggapan Aidit terhadap Hatta di atas diungkapkan sebagai pengingat agar tujuan koperasi tidak menjauhi agenda revolusi. Bagi Aidit, koperasi harus menjadi wadah perjuangan melawan kapitalisme. Oleh karenanya, bentuk koperasi pun tidak bisa sembarang. Setidaknya ada tiga tingkat koperasi yang dibahas oleh Aidit sebagai pemakluman kelembagaan ekonomi pada masa transisi. Level pertama adalah tipe koperasi, sebagai contoh koperasi pertanian, yang saling bantu dalam pemenuhan sarana produksi pertanian. Level kedua, koperasi berani memasukkan tanah sebagai saham dalam koperasi pertanian. Hal ini dimaklumkan sebab tanah masih dimiliki oleh individu-individu. Level ketiga adalah koperasi pertanian yang sosialis di mana tanah dan alat produksi menjadi milik bersama. Mengacu pada TAP MPRS NO II/1960, Aidit menjelaskan bahwa “ekonomi sektor negara” harus bersifat progresif dengan cara mendukung penuh pihak swasta nasional serta koperasi. Bila sistem perekonomian Indonesia dianggap belum sosialis tetapi juga bukan kapitalis, lantas koperasi seperti apakah yang dibayangkan Aidit? Jawabannya adalah koperasi progresif. “Tegasnya, kita harus menjaga dan mencegah supaya koperasi itu tidak berkembang menjadi badan-badan kapitalis yang digunakan oleh kaum kapitalis, tani kaya atau tuan tanah untuk menghisap rakyat pekerja,” (Aidit, 1963: 16). Pengertian tersebut memberi beberapa konsekuensi seperti: Pertama, koperasi tidak menghapus kapitalis nasional seperti
pedagang kecil. Kedua, koperasi juga tidak bisa bergerak menggunakan praktik kapitalis yang berprinsip pada akumulasi modal. Ketiga, koperasi harus bersemangatkan kesukarelaan dan kebersamaan karena kepentingan yang sama. Aidit menegaskan bahwa koperasi harus dibangun oleh anggota yang memiliki alat produksi sama. Akan keliru bila koperasi kredit menerima anggota dari lintah darah sekaligus petani miskin. Bila situasi itu terjadi, maka koperasi dianggap gagal dalam mengidentifikasi kelas sosial berdasar kepemilikan alat produksi, terlebih bila kepentingan antar kelas sosial bertentangan. Aidit pun menyarankan, baik kepentingan petani kaya, petani miskin, tuan tanah atau buruh tidak bisa dipersatukan dalam koperasi yang sama. Hal ini dimaksudkan untuk memantabkan fungsi koperasi sebagai alat perjuangan kelas. Aidit juga menambahkan bahwa koperasi bisa menjadi lebih busuk dari kapitalis bila pengurusnya tidak demokratis. Salah satu contohnya, bila koperasi berperan sebagai pembeli tunggal dari hasil produksi para anggota. Maka situasi tersebut tak ubahnya kapitalis yang berkeinginan untuk memonopoli dan mengakumulasi modal. Terlebih bila pengurus koperasi memanipulasi harga dan barang. Oleh karena itu, Aidit kembali menekankan bahwa gerakan koperasi harus berfokus kepada lapisan terbesar masa rakyat pekerja, yaitu kaum tani. Koperasi bagi kaum petani dan petani adalah koperasi kredit, produksi dan konsumsi. Beberapa Persoalan UU Koperasi Selain meletakkan koperasi dalam skema perekonomian Indonesia dan menawarkan bentuk yang relevan, Aidit juga menuliskan peranan pemerintah dalam gerakan koperasi. Bagi Aidit, kehidupan koperasi bergantung pada fasilitas atau kelonggaran yang diberikan pemerintah. Hal itu bisa berwujud subsidi atau kredit finansial hingga mengusahakan pendidikan untuk petugaspetugas koperasinya. Selain itu, pemerintah juga memberikan dukungan regulatif seperti Undang-undang Koperasi No 79/1958
dan peraturan pelaksananya PP No 60/1959. UU Koperasi No79/1958 menyebutkan bahwa sebagai lembaga ekonomi, koperasi memiliki empat prinsip. Pertama, koperasi merupakan perkumpulan anggota dan bukan kapital. Kedua, anggota di perkumpulan tersebut memiliki hak sama (satu anggota satu suara). Ketiga, masuk keluarnya perkumpulan dilakukan secara sukarela. Keempat, perkumpulan memiliki tujuan dan kepentingan bersama di mana pelaksanaannya memerlukan kerjasama setiap anggota. Pada pasal 22 UU Koperasi juga menyatakan secara tegas bahwa kekuasaan tertinggi dalam koperasi adalah rapat anggota. Sekali lagi, Aidit menguraikan bahwa kerja koperasi harus terhindar dari kemungkinan monopoli pengurus. Caranya antara lain, prinsip koperasi harus tetap berporos pada semangat persatuan nasional. Bagi Aidit, prinsip tersebut menjadi relevan mengingat Indonesia berada dalam fase peralihan menuju ekonomi sosialis. Lantas, bagaimana cara yang dilakukan agar koperasi mampu menjadi alat perjuangan revolusioner menuju ekonomi sosialis? Pertama, koperasi progresif ditujukan sebagai gerakan ekonomi yang berjuang kesejahteraan anggota yang merupakan masa rakyat pekerja, buruh, petani kecil, buruh tani. Kedua, koperasi tidak hanya melakukan aktivitas ekonomi saja tetapi juga aktivitas revolusioner seperti melaksanakan agenda politik nasional. *** Bagaimana cara mengembangkan gerakan koperasi untuk mengurai kesulitan ekonomi rakyat? Sekiranya, Aidit mencoba menjawab pertanyaan di atas melalui pidatonya di Musyawarah Pembiayaan Koperasi. Di sini ia kembali menekankan bahwa koperasi harus selaras dengan agenda Manipol yang memosisikan ekonomi sektor negara sebagai komando. Selain itu, Aidit juga kembali mengingatkan perbedaan
konsep “rakyat untuk koperasi atau koperasi untuk rakyat”. Dua terminologi itu dianggap berbeda, sebab “rakyat untuk koperasi” merupakan pseudo koperasi yang membuka peluang secara kolektif untuk mengembangkan modal. Pada kesempatan yang sama, Aidit juga menguraikan pendapatnya tentang pembiayaan koperasi terutama persoalan permodalan dan pengkreditan koperasi. Dimana modal itu berasal? Aidit menjelaskan bahwa tidak ada istilah “koperasi lemah permodalannya”. Dalam skema koperasi progresif, modal koperasi harus didesak dari kredit pemerintah kepada kegiatan koperasi. Untuk mendukung itu, maka pemerintah perlu memperluas jaringan aparatur kredit dari bank-bank pemerintah yang diawasi oleh Departemen Koperasi. Selain itu, koperasi juga bisa mendapatkan modal dari “golongan swasta nasional progresif” yang tidak ingin menunggangi dan melemahkan gerakan koperasi. Hal ini dilakukan untuk mendukung perekonomian Indonesia yang tidak dialiri modal-modal asing (neo-kolonialisme).[] [1] (1) mengkonsolidasi perkembangan yang sudah dicapai yaitu perjuangan Irian Barat, keamanan dan di bidang-bidang lain (2) menanggulangi kesulitan ekonomi dengan mengutamakan kenaikan produksi (3) meneruskan perjuangan anti imperialisme dan neo kolonialisme dengan memperkuat gotong royong nasional yang berporos pada NASAKOM (4) meratakan dan mengamalkan indoktrinasi 7 bahan pokok indoktrinasi dilengkapidengan Resopim dan Takem yang memuat 9 wejangan presiden (5) melaksanakan rituling aparatur negara termasuk bidang pemerintahan dari pusat sampai ke daerah.