“Menuju PTAIS Berbasis Riset dan Lokalitas Budaya” Oleh: Drs. H. Badrodin, MSI Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Bakti Negara (STAIBN) Tegal
D
ewasa ini, Perguruan Tinggi Agama Islam se makin dituntut untuk me lakukan integrasi dan akselerasi dengan dinamika kehidupan ma syarakat. Dalam konteks moder nisasi, Perguruan Ting gi Agama Islam sejatinya telah mendapatkan fasilitasi berikut payung hukumnya dalam menjalankan tuntutan ter sebut. Ini nampak terlihat dari misi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Islam –selaku institusi yang menaungi PTAI—berupa fasilitasi dan pemberdayaan Per guruan Tinggi Agama Islam me lalui program yang meliputi : a) akademik, b) ketenagaan, c) Sarana Prasarana dan kemahasiswaan, d) kelembagaan, e) penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
Dalam perjalanannya, isu utama dalam peningkatan mutu PTAI adalah peningkatan kompetensi dan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan melalui standar kualifikasi pendidikan, peningkatan kompetensi serta pro fesionalisme. Dengan demikian peningkatan mutu pendidikan dan kelembagaan PTAI dapat terwujud sebagai penyelenggara Pendidikan Tinggi Agama Islam yang menjunjung tinggi nilainilai amanah, tafaqquh fi ’l-dīn, profesional, transparan, akuntabel dan berkualitas1. Perguruan tinggi merupakan salah satu subsistem pendidikan nasional yang tidak dapat di pisahkan dari subsistem lainnya, baik di dalam maupun di luar sistem pendidikan. Keberadaan
1. Machasin, dkk, Strategi Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi Agama Islam Berbasis Balanced Scorecard, Jurnal Walisongo, IAIN Walisongo, Volume 19, Nomor 2, November 2011, hal. 485 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
3
Drs. H. Badrodin, MSI
perguruan tinggi dalam keseluruh an kehidupan berbangsa dan ber negara, mempunyai peran yang sangat besar. Peran tersebut ter ungkap dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasa1 20 ayat 2 yang mengungkapkan bahwa perguruan tinggi ber kewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan peng abdian kepada masyarakat. Sisi lainnya, eksistensi Per guruan Tinggi Agama Islam, selain memangku amanat akademik sebagai mana tersistematisasi oleh regulasi yang ada, juga mengemban amanat teologis dalam merajut kehidupan sosial-kemasyarakatan agar dicintai Tuhan. Karenanya konseptualisasi “baldatun thoy yibatun wa rabbun ghofur” juga menjadi perkerjaan besar yang harus diimplementasikan oleh Per guruan Tinggi Agama Islam. Seiring dengan perkembangan zaman yang diikuti dengan ber dirinya Perguruan Tinggi Agama Islam di berbagai daerah atau kota-kota kecil, merupakan salah satu indikator ghirrah yang kuat dari masyarakat Indonesia dalam melaksanakan pendidikan tingkat tinggi. Meski di sisi lain, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi perguruan tinggi yang ber sangkutan maupun lembaga negara yang menaungi perguruan tinggi islam tersebut. 4
Salah satu tantangan klasik yang mengepung Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta di daerah adalah bidang penelitian dan pengabdian masyarakat. Dalam bidang penelitian beberapa persoalan seyogyanya segera di_ tuntas kan. Diantaranya, pertama, baik dosen maupun mahasiswa belum memiliki tool research yang memadai dalam mencandra fe nomena sosial keagamaan yang berkembang di masyarakat lokal. Padahal eksistensi Perguruan Tinggi Agama Islam di ranah lokal, sejatinya adalah laborat sosialkeagamaan yang darinya menyerap dan kemudian melakukan kon septualisasi kompleksitas per masalahan sosial keagamaan. Permasalahan penelitian sebenar nya cukup banyak untuk di inven taris dan ditindaklanjuti dengan penelitian. Akan tetapi permasalahan penelitian tersebut habis tertelan waktu seiring minimnya perangkat penelitian yang dimiliki para dosen maupun mahasiswa. Kedua, persoalan lain yang menyertai keringnya budaya penelitian di Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta di daerah adalah masih adanya anggapan bahwa penelitian tidak lebih penting dibandingkan dengan mengajar mahasiswa di kelaskelas reguler. Padahal dalam kenyataanya, waktu yang tersedia
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
“Menuju PTAIS Berbasis Riset dan Lokalitas Budaya”
di dalam kelas sangatlah ter batas dalam melakukan transfer of knowledge. Artinya ada keter batasan ruang dan waktu untuk mematangkan kapasitas dosen dalam transfer ilmu pe ngetahuan berikut peningkatan responsibility terhadap persoalan sosial keagamaan2 Dengan mem perhatikan kenyataan ter sebut, jelaslah bahwa kebutuhan untuk menguji teori ataupun ilmu pe ngetahuan dalam rentang waktu yang lebih lama dan tempat yang lebih luas di tengah masyarakat merupakan kebutuhan mendasar bagi kehidupan akademik di Perguruan Tinggi Agama Islam. Hal ini pula yang kemudian memungkinkan para dosen dalam memberikan materi kuliah juga mengintegrasikan budaya lokal sebagai landscape pengembaraan intelektualitas, baik di kelas maupun di luar kelas. Ketiga, mental inferiority com plex atau merasa lebih rendah di bandingkan dengan dosen atau peneliti dari luar daerah atau peneliti yang berada di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri. se perti ini masih bergelanyut pada beberapa dosen di daerah. Beberapa kesempatan yang disediakan oleh Diktis dalam mengembangkan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, baik berupa Short Course Metodologi Penelitian, Call of Paper, Seminar Nasional maupun Internasional tak jarang terlewatkan begitu saja. Nampak dalam persoalan ini para dosen atau peneliti pada Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta merasa status kepegawaian atau jabatan di bawan dosen negeri menjadi penyumbang terbesar dalam hal inferiority complex. Hasilnya, minder untuk melakukan kontestasi ide, gagasan maupun konsep dalam mengurai tema-tema sosial kemasyarakatan dalam sebuah penelitian. Padahal, Dewasa ini, Diktis sebagai “payung” perguruan tinggi telah memberikan angin segar kepada para dosen ataupun peneliti dari Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta. Terbukti beberapa kali kegiatan penelitan dan pengabdian masyarakat yang dilaksankan telah mengakomodasi dosen dan peneliti perguruan ting gi agama islam swasta. Tentu hal ini harus terus disambut dengan penuh energi. Keempat, minimnya pelatihan atau silaturahmi gagasan di dalam internal Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta. Baik dosen maupun mahasiswa larut dalam ritual
2. Seorang master penelitian bidang etnografi, James Spradley, mengatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya berkepentingan untuk ilmu pengetahuan itu sendiri. ia harus menjadi kontributor dalam melakukan La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
5
Drs. H. Badrodin, MSI
akademik yang melulu berkutat pada persoalan kognitif dan capaian-capaian nilai perkuliahan. Waktu yang tersedia untuk mengasah kemampuan menulis dan meneliti belum tersedia secara memadai. Karenya semangat menge ksplorasi permasalahan pe nelitian berbasis lokalitas budaya dalam bidang pendidikan, hukum dan ekonomi haruslah dipahami sebagai kenyataan yang jika diseriusi menjadi sebuah
6
tema yang unik, original dan tentu memberikan sumbangan akademik dalam menyusun sebuah penelitian sekaligus pijakan dalam melakukan pengabdian kepada masyarakat. Jurnal La Tahzan dari Sekolah Tinggi Agama Islam Bakti Negara Tegal merupakan salah satu ikhtiar menuju perguruan tinggi agama islam swasta berbasis riset dan lokalitas budaya. Selamat membaca.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendekatan Wilayah dalam Studi Islam Oleh: Rusli Dosen STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa Aceh
ABSTRAK
P
endekatan wilayah dalam studi Islam sangat menarik untuk dikaji baik wilayah timur tengah maupun wilayah lainya. Hal ini dilihat dari luasnya wilayah yang ditempati umat Islam hari ini. Perkembangan wilayah ini memberikan berangamnya budaya yang dimiliki oleh umat Islam. Masing-masing wilayah dalam memahami agamanya sesuai dengan iklim wilayahnya sendiri dan ini berbeda diantara satu dengan wilayah lainnya, ditengah perbedaan tersebut Islam dengan karakteristik yang luwes mengadopsi budaya lokal dalam memperkaya khazanah pengalaman keislamanya. Islam berkembang melalui beberapa pen
La-Tahzan
dekatan atau tahapan-tahapan, di wilayah Timur-Tengah ada tiga fase pendekatan pertama pen ciptaaan sebuah komunitas baru, kedua fase penaklukkan wilayah, ketiga fase Kesultanan. Di Asia Tenggara penyebaran Islam melalui tiga metode yaitu: pertama adalah jalur perdagangan yang damai, kedua melalui dakwah, ketiga selain menggunakan cara-cara per suasive, menempuh juga dengan cara penyebaran agama dengan memaklumkan perang terhadap negara-negara yang tidak atau belum beriman secara benar (Islam).
Kata Kunci : Pendekatan Wilayah, Budaya dalam Studi Islam.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
7
Rusli
A. PENDAHULUAN Pendekatan Wilayah dalam Studi Islam merupakan salah satu sarana untuk penyebaran Islam di berbagai wilayah agar Islam berkembangan menjadi lebih luas. Fokus kajian dalam makalah ini ialah wilayah yang terdiri Timur Tengah, Timur Dekat, Asia Tenggara, dan Indonesia. Berbicara dengan studi Islam tidak terlepas dari daerah yang penduduknya mayoritas Islam, para ilmuan Islam yang telah memulai pengkajian dengan beberapa pendekatan studi wilayah tidak begitu mun cul dalam peta keIslaman, hal ini disebabkan karena faktor perkembangan politik, sejarah dan budaya sangat dinamis, dan juga disebabkan kurangnya umat Islam mengkaji studi agamanya, padahal kita yang lebih berkompetensi untuk mengkajinya secara il miah dan profesional, sehingga inf ormasi-informasi penting ten tang studi Islam terabaikan, se baliknya mengetahui Islam secara menyeluruh terutama studi wilayah, dapat memberikan kontribusi dan motivasi dalam beragama dan menjalankan roda kehidupan yang lebih maju. Menurut Amin Abdullah, studi
Islam terutama jika dilihat dari sudut pandang Religionswissenchaft, mengharuskan para pengkajinya untuk memperhatikan secara penuh apa yang dimaksud dengan “beragama” dan “agama” dalam masyarakat Muslim dan oleh para sarjana Muslim. Studi Islam membutuhkan bantuan metodologis untuk menggungkap data-data keagamaan guna memahami lebih arif bahwa semua agama yang memiliki kenderaan historis-empiris yang khusus (particular) dapat memiliki elemen keagamaan yang sama, yang di pahami secara transcendentaluniversal. Data-data keagamaan yang bersifat normatif-teologi ini pada saat yang sama mempunyai muatan historis, sosial, budaya, dan politik. Jadi dalam bentuknya yang historis-empiris, agama selalu menjadi bagian dari setting historis dan sosial dari komunitasnya, dan pada saat yang sama, secara fenomenologis, agama mempunyai pola umum (general pattern) yang dapat dipahami secara intuitif dan intelektual sekaligus oleh umat manusia dimana pun mereka berada.1 Oleh karena itu fakta dan datadata keagamaan yang bersifat normatif-teologi merupakan faktor
1. Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam, Menelusuri Jejak Historis Kajian Islam ala Sarjana Orientalis, (Bandung : Pustaka Setia, 2008) h. 13 8
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendekatan Wilayah dalam Studi Islam
terpenting dalam perkembangan pendekatan wilayah dalam studi Islam baik di dunia Islam sebagai objek kajian maupun wilayahwilayah lain yang memberikan signifikansi, kontribusi, dan pro blematika studi wilayah ke studi lokal.
B. PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG Istilah “Pendekatan” merupa kan kata terjemahan dari bahasa Inggris, approach. Maksudnya adalah suatu disiplin ilmu untuk dijadikan landasan kajian sebuah studi atau penelitian.2 Pendekatan yang dimaksud disini ialah pen dekatan wilayah dalam studi Islam sebagai objek kajian. Studi wilayah (area studies) terdiri dari dua kata, area dan studi. Area mengandung arti “Religion of the earth’s surfaces”,3 artinya adalah : daerah permukaan bumi, juga bermakna: luas, daerah kawasan setempat dan bidang.4 Sedangkan studi mengandung pengertian “Devotion of time and thought to getting knowledge”,5 artinya pemanfaatan waktu dan
pemikiran untuk ilmu pengetahuan.
mendapatkan
Studies adalah bentuk jamak dari studi, kata ini menunjukkan bahwa kajian yang dilakukan terhadap sebuah wilayah tidak hanya terbatas pada suatu bidang kajian, melainkan terdiri dari berbagai bidang. Secara ter minologi studi wilayah adalah pengkajian yang digunakan untuk menjelaskan hasil dari sebuah penelitian tentang suatu masalah menurut wilayah dimana masalah tersebut terjadi.6 Studi Islam di Barat dikenal dengan Istilah Islamic Studies, secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam. Dengan perkataan lain “usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan Agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktikpraktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan seharihari, sepanjang sejarah.7
2. Ibid. h. 13 3. A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary (Oxford : Oxford University Press, 1986), h.40. 4. Peter Salim, Webster’s New World Dictionary (Jakarta: Modern English Press, t.t). h. 31. 5. Hornby, Oxford, h. 859. 6. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1999), h.142.
La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
9
Rusli
Dengan demikian Pendekatan Wilayah dalam Studi Islam me rupakan salah satu usaha untuk mengkaji, mengetahui, me mahami dan membahas secara mendalam tentang hal-hal yang berhubungan dengan Agama Islam dari pendekatan dalam suatu wilayah tertentu untuk men dapatkan sebuah khazanah ilmu pengetahuan tentang Islam. Pendekatan kewilayahan (areal studies) tumbuh seiring dengan berkembangnya daerahdaerah hunian umat Islam dan penyebaran di seluruh antero dunia. Tentunya, pertumbuhan dan perkembangan jumlah pen duduk umat Islam disertai pula dengan perkembangan peradaban dan budayanya. Hal ini yang menunjukkan keunikan dikalangan pengkaji Islam, kendatipun sumber dan rujukan Islam adalah AlQur’an dan As-Sunnah yang sama, namun beragam pemahaman dan tradisi yang dijalani umat Islam antara wilayah yang satu dengan yang lainnya. Latar belakang masuknya Islam di suatu wilayah menjadi catatan penting bagi peneliti masyarakat Muslim di suatu wilayah. Umat Islam di Cina
memiliki peradaban dan budaya yang unik bila dibandingkan dengan umat Islam di Indonesia, Mesir, ataupun di Arab Saudi.8 Islam di Jazirah Arab se peninggalnya Nabi Muhammad SAW sudah sedemikian luas. Ini merupakan permulaan dari peradaban Islam. Rencana penak lukan yang direncanakan Nabi yang belum tercapai dilanjutkan oleh para sahabat, maka para sahabat terus melakukan ekspansi kebeberapa wilayah. Dalam waktu yang relatif singkat, yakni pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a dan Umar r.a wilayah Islam sudah mencapai Yaman, Oman, Bahrain, Irak bagian selatan, Persia, Syiria, pantai Laut Tengah dan Mesir. Ekspansi wilayah ini kemudian dilanjutkan oleh Usman bin Affan hingga ke Sijistan, Khurasan, Azzerbaijan, dan Armenia.9 Islam masuk ke Spanyol (Cor dova) pada tahun 93 H (711 M) di bawah pimpinan Tariq bin Ziyad yang memimpin angkatan perang Islam untuk membuka Andalusia. Andalusia dapat ditaklukkan dengan mudah oleh Tariq bin Ziyad bersama panglimanya yang bernama Mughith Ar-Rumi
7. Jamali Sahrodi, Metodologi… h. 60-61 8. Jamali Sahrodi, Metodologi… h. 60-61 9. M.A. Shaban, Islamic History :A New Interpretation (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), h. 16.
10
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendekatan Wilayah dalam Studi Islam
Ke Cordova yang membawa 700 orag pasukan berkuda.10 Setelah penaklukkan wilayah ini yang dilakukan oleh kaum muslimin pada waktu itu, Islam mempunyai peran penting dalam kemajuan ilmu pengetahuan di Spanyol. Sejak pertama kali Islam menginjakkan kakinya di tanah Spanyol hingga jatuhnya kerajaan terakhir di sana sekitar tujuh setengah abad lamanya, Islam memainkan peranan yang besar, baik bidang kemajuan inteletual (filsafat, sain, fikih, musik, dan kesenian, bahasa dan sastra), kemegahan bangunan fisik (Cor dova dan Granada).11 Spanyol juga menjadi pusat perkembangan ilmu, pengetahuan, kesenian, dan kesusastraan di seluruh Eropa. Pada tahun (1912-961 M) Abdul Rahman An-Nashir mendirikan Universitas Gordova, berbagai bidang studi pelajaran di lembaga pendidikan tersebut antara lain Astronomi, geografi, kimia dan sejarah alam, matematika, kedokteran, filasafat, hukum. Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusdy, ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di
universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti unversitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuan-ilmuan Muslim. Pusat penerjemah itu adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya mereka mendirikan sekolahsekolah dan universitas yang sama. Universitas pertama di Eropa adalah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231 M, tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibn Rusdy. di zaman pertengah Eropa, baru berdiri 18 universitas. Di dalam universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari adalah pemikiran AlFarabi, Ibn Sina dan Ibn Rusdy.12 Dengan penaklukan wilayah Andalusia yang dilakukan kaum muslimin, sehingga penganut agama Kristen yang berada di wilayah Barat menyadari akan kekuatan kaum muslimin. Pada tahun 1236 M kekuatan gabungan gereja Spanyol mengambil alih kembali Cardova dan disusul
10. Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jarkarta : Kencana, 2008) h. 110-111 11. Ibid 12. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004). h. 109-110. La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
11
Rusli
dengan Sevilla pada tahun 1248 M. Granada dibawah kekuasaan Bani Ahmar dapat bertahan lebih kurang dua belas abad lamanya. Pada saat itulah kaum Kristen mulai gencar melakukan serangan untuk menaklukan wilayahwilayah yang telah dikuasai kaum muslim. Dengan dilatar belakangi berbagai tujuan, mereka melakukan pelayaran-pelayaran ke berbagai belahan dunia untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka. Melalui ekspansi politik dan kultural terhadap wilayahwilayah Islam, maka kajian wilayah merupakan sebuah usaha yang terus digalakkan untuk memahami agama Islam. Apalagi Islam sebagai agama yang suci dan memiliki nilai moral yang sangat tinggi dan terdapat isyaratisyarat ilmu pengetahuan serta mengungkapkan tentang keajaiban alam semesta.
C. DUNIA ISLAM SEBAGAI OBJEK KAJIAN STUDI WILAYAH 1. Timur Tengah Masyarakat Islam dibangun diatas framework peradaban Timut Tengah kuno yang telah mapan sebelumnya. Masyarakat Islam berkembang dalam sebuah lingkungan yang sejak masa awal sejarah ummat manusia telah menampilkan dua aspek yang fundamental, yaitu asal-usul dan struktur sejarah yang telah berlangsung.13 Menurut sastra barat, Timur Tengah adalah negaranegara di Asia barat daya, dari Iran (persia) ke Mesir, semenanjung Sinai yang berada di Asia umumnya dianggap sebagai bagian dari Timur Tengah, walaupun sebagian wilayah tersebut sercara geografis berada di Afrika utara. Wilayah tersebut mencakup beberapa suku dan budaya termasuk suku Iran, Arab Yunani, Yahudi, Berber, Asyria, Kurdi dan suku Turki. Bahasa utamanya bahasa Persia, Arab, Ibrani, Kurdi dan Turki.
13. Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, jil. I (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1999) h. 3. 12
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendekatan Wilayah dalam Studi Islam
Selanjutnya sungai Eufrat yang membatasi antara Persia dan wilayah Bizntium telah musnah dan Transxonia untuk pertamakalinya dalam sejarah disatukan dalam imperium Timut Tengah. Dunia perdagangan semakin maju mengilhami eks pansi Arab ke Asia Tengah dan India, dan pengembangan kotakota di Syiria utara, Iran, Iraq, Basra dan belakangan Baghdad menjadi pusat perdagangan dunia.14 Timur Tengah adalah ter jemahan dari “Middlle East” suatu istilah yang sejak perang dunia II digunakan orang Inggris dan Amerika Serikat untuk menyebut kawasan sebagian besar terletak di Asia barat daya dan Afrika timur laut. Istilah itu berasal dari perluasan wilayah komando militer Inggris yang mula-mula mencakup negara-negara disebelah timur terusan Suez, sebagai persiapan perang. Dalam perang itu istilah tersebut menjadi lazim dan hampir sama sekali menggantikan istilahistilah yang lebih tua seperti Near East dan Levant, secara kasar Timur Tengah dibagi menjadi dua, yaitu dunia Arab dan dunia bukan Arab, sedangkan secara detail tidak ada kata sepakat negara-negara mana yang termasuk kawasan Timur
Tengah. Timur Tengah mempunyai posisi geografis yang khas dan lain daripada yang lain. Kawasan ini merupakan wilayah yang terletak pada pertemuan Eropa, Asia, dan Afrika, dan dengan demikian ia menguasai jalur-jalur strategis yang menuju ke ketiga benua tersebut. Banyak orang yang tergoda untuk menyebutnya pusat belahan timur. Sejak masa lampau sebelum tarikh masehi, jalan darat dan jalan laut terdekat dan yang paling nyaman dari Eropa ke Asia adalah melalui Timur Tengah. Di masa lalu, hal ini terkenal dengan istilah “Silk Road” (Jalur Sutera). Dalam kaitannya dengan per_ kembangan peradaban dunia, setelah awal kemunculannya di abad ke-7 Masehi, Islam telah meletakkan fondasi yang kokoh selama beratus-ratus tahun kemudian dalam membangun suatu peradaban yang teramat tinggi di kawasan Timur tengah. Karena Islam menjadi nafas utama dalam peradaban ini. Dewasa ini Timur Tengah adalah kawasan yang telah mengalami perubahan revolusioner dan tampak sekali dalam kehidupan politik dalam negeri, ekonomi, struktur masyarakat, dan hubungan internasionalnya,
14. Ibid. h. 68.
La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
13
Rusli
paham sekularisme telah me rasuk sedemikian rupa ter hadap sendi-sendi kehidupan bernegara, kawasan ini sedang mengalami peralihan umum dari tradisionalisme menuju modernisme, Timur tengah bukan lah suatu kesatuan yang bulat, bahkan kerapkali terj adi perselisihan, dan dalam hubungannya dengan dunia Barat terjadi pro dan kontra, selain itu terdapat pula negara-negara yang panatis-konservatif dan moderatrevolusioner terhadap Islam. Sepertinya sulit untuk menciptakan persatuan di kalangan para pemimpin negara Arab. Hal ini diakibatkan oleh beberapa faktor, yaitu perasaan Tribalisme yang masih kuat di kalangan bangsa Arab, sulitnya mencari figur yang bisa dijadikan pemimpin bangsa Arab, karena besarnya ego para pemimpin negara-negara Arab, perbedaan aliran dan kredo dalam agama Islam itu sendiri yang seringkali menjadi masalah yang amat sensitif (khususnya antara Sunni dan Syi’ah) serta adanya campur tangan pihakpihak asing, khususnya negaranegara Barat yang berkepentingan demi menjaga kelancaran pasokan minyak ke negara mereka masing-
masing. Apa yang disebut dengan Pan Arabisme masih merupakan cita-cita, liga Arab yang yang dibentuk sebagai alat pemersatu masih terbentur dengan perbedaan kepentingan yang kontradiktif. Perjalanan penting Islam di Timur Tengah berlangsung sekitar tahun 622 sampai 1200 M, yang berlangsung selama 3 fase yaitu :15 −− Fase penciptaaan sebuah komunitas baru yang bercorak Islam di Arabia sebagai hasil tranformasi wilayah peripheral (Pinggiran) dengan sebuah masyarakat kekerabatan yang telah berkembang sebelumnya menjadi sebuah tipe monotheistik Timur Tengah. −− Fase penaklukan Timur Tengah oleh masyarakat Arab Muslim yang baru terbentuk dan mendorong kelahiran Imperium dan kebudayaan Islam (selama priode kekhalifahan yang pertama sampai tahun 945 M). −− Fase kesultanan (945-1200 M). pola dasar kultural dan institusional dari era kekhalifahan berubah menjadi pola negara dan institusi Islam. Dalam dipahami
fase pertama dapat bahwa fase ini
15. Ibid h.14
14
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendekatan Wilayah dalam Studi Islam
merupakan fase kelahiran Islam pertama dalam masyarakat ke sukuan. pada fase kedua ini adalah memandang Islam sebagaimana ia menjadi agama dari sebuah negara kerajaan dan kalangan elit perkotaan. Sedangkan fase ketiga, nilai-nilai Islam ternyata telah mengubah mayoritas masyarakat Timur tengah. Adapun pemikiran Islam Timur Tengah menurut Baulatta membagi kepada dua kecen drungan, pertama: Progresifmodernis, yaitu gerakan pemikiran yang mengidealkan tatanan masyarakat Arab yang modern, artinya berorientasi kemasa depan (future oriented). Gerakan pemikiran ini mayoritas diwakili oleh kalangan yang pernah belajar dan berinteraksi dengan pemikiran Barat. Kedua: kelompok konservatif- tradisional, adalah gerakan pemikiran yang memiliki pola pikir dengan frame klasik. Mereka membanggakan kemajuan dan kejayaan Islam masa lampau, dan untuk memajukan peradaban Islam dimasa depan, maka pemikiran Islam harus berbasis pada metodologi pemikiran Islam klasik.16
Muhammad Imarah ber pendapat bahwa pemikiran Islam Timur Tengah itu ada tiga variasi, pertama Tradisional-Konservatif, kedua Reformis dan ketiga Sekuler.17 Dalam Kajian wilayah Timur-Tengah dalam studi Islam yang penulis uraikan dalam makalah ini ialah Irak (Baghdad) dan Mesir (Kairo) sebagai wilayah pusat peradaban Islam dan ilmu pengetahuan. a.
Irak (Baghdad)
Kota Baghdad didirikan oleh Khalifah Abasiyah kedua, AlMansur (754-755 M) pada tahun 762 M. setelah mencari-cari daerah yang strategis untuk ibu kotanya, pilihan jatuh pada daerah yang sekarang dinamakan Baghdad, terletak dipinggir sungai Tigris. Baghdad berarti “taman keadilan”. Taman itu lenyap bersama 18 hacurnya kerajaan Persia. Setelah kehancuran kerajaan Persia kota ini menjadi pusat peradaban Islam yang mencapai puncak kejayaannya. Sejak berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengatahun dalam Islam.
16. Issa.J. Baulatta, Dekontruksi Tradisi, Gelar Pemikiran Arab Islam (Yokyakarta: LKIS, 2001), h.23. 17. Muhammad Imarah, Al-‘Alamaniyah baina al-Gharb wa al-Islam (Kuwait: Dar al-Da’wah. 1996), h.40. 18. Badri Yatim, Sejarah Peradaban… h 277 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
15
Rusli
itulah sebabnya, Philip. K. Hitti menyebutkan sebagai kota inte lek tual. Menurutnya, di atara kota-kota di dunia, Baghdad me rupakan professor masyarakat Islam. Al-Mansur memerintahkan penerjemah buku-buku ilmiah dan kesusatraan dari bahasa asing : India, Yunani lama, Bizantium, Persia, dan Syria.19 Pada masa Al-Mansur, kota Baghdad sebagai pusat pengem bangan ilmu pengetahuan dan pusat peradaban Islam, banyak ilmuan-ilmuan berdatangan ke kota ini ingin mempelajari ilmu pengetahuan tentang Islam, ke mudian Baghdad di pimpin oleh Khalifah Harun Al-Rasyid. Sejarah dan berbagai legenda menyebutkan bahwa zaman keemasan Baghdad terjadi selama masa kekhalifahan Harun AlRasyid (786-809 M). Meskipun usianya kurang dari setengah abad, Baghdad pada saat itu muncul menjadi pusat dunia dengan tingkat kemakmuran dan peran internasional yang luar biasa. Baghdad menjadi saingan satu-satunya bagi Bizantium. Kejayaan berjalan seiring dengan kemakmuran kerajaan, terutama ibukotanya. Saat itulah Baghdad
manjadi “kota yang tiada bandinga nya di seluruh dunia”.20 Pada Khalifah Al-Ma’un beliau membangun perpustakaan yang dipenuhi dengan beribu-ribu buku ilmu pengetahuan. Perpustakaan tersebut di namakan Bai alHikmah. Dalam berbagai bidang ilmu pengatahuan dalam Islam, di bidang sastra misalnya yang terkenal pada waktu itu ialah Alf Lailah wa Lailah, atau kisah seribu satu malam. Di Kota Baghdad ini, lahir dan muncul para saintis, ulama, filososf, dan sastrawan Islam yang tekenal, seperti al-Khawarizm (ahli astronomi dan matematika, penemu ilmu aljabar), al- Kindi (filososf Arab pertama), al-Razi (filosof, ahli fisika dan kedokteran), al-Farabi (filosof besar yang dijuluki dengan al-Mu’allim al-Tsani, guru kedua setelah aristoteles), tiga pendiri mazhab hukum Islam (Abu Hanifah, Syafi’I, dan Ahmad ibn Hambal), Al- Ghazali (filosof, teolog, dan sufi besar dalam Islam yang di juluki dengan Hujjah alIslam), Abd Al-Qadir Al-Jilani (pendiri tarekat qadiriyah), Ibn Muqaffa’ (sastrawan besar), dan lain-lain.21
19. Ibid h. 278 20. Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta : PT. Seambi Ilmu Semesta, 2008) h. 375 21. Badri Yatim, Sejarah Peradaban… h. 279 16
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendekatan Wilayah dalam Studi Islam
Semua kemajuan, kemegahan, keindahan dan kehebatan yang di capai kota Baghdad pada masa khalifah Al-Mansur sekarang tinggal kenangan, setelah kota ini dibumihangus kan oleh tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 1258M. Semua bangunan kota, termasuk istana emas tersbut dihancurkan. Pasukan Mongol juga menghancurkan perpustakaan yang merupakan gudang ilmu dan membakan bukubuku yang ada di dalamnya. Pada tahun 1400 kota ini juga di serang oleh pasukan Timur Lenk, dan tahun 1508 M oleh tentara kerajaan safawi. b.
Mesir (Kairo)
Kota Kairo di bangun pada tanggal 17 Sya’ban 358 H/969 M oleh panglima perang dinasti Fathimiyah beraliran Syi’ah, Jawhar Al-Sigili, atas perintah Khalifah Fathimiayah, Al-Mu’izz Liddinillah (953-975 M) sebagai kota dinasti tersebut.22 Mesir merupakan satu-satunya Negara yang paling lama merasakan kekuasaan Fatimiyah. Di tanah itulah para penerus Ubaydullah alMahdi menamakan karakteristik khas budaya mereka yang
sangat berpengaruh. Ketegangan hubungan antara beberapa provinsi di barat laut Afrika dan Asia Barat dengan Kairo mempersulit dinasti ini untuk meletakkan jejakjejak kebudayaannya di daerahdaerah itu.23 Mesir merupakan pusat kebudayaan pada masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah, setelah itu perkembangan ilmu pengetahuan berupa seni, dan arsitektur. Ibn Killis adalah seorang tokoh dan pelopor perkembangan pendidikan pada kekhalifahan Fatimiyah di Mesir. Ia mendirikan sebuah universitas dan meng habiskan ribuan dinar per bulan untuk membiayainya. Di bawah kekuasaanya tersebutlah seorang dokter yang sangat terkenal bernama Muhammad al-Tamin, yang lahir di Yarusalem dan pindah ke Mesir sekitar 970. Sebelum itu, di bawah kekhalifahan Iksidiyah, muncul seorang sejarawan ternama yakni Muhammad Ibn Yusuf alKindi.24 Meskipun pada priode ini tidak melahirkan ilmuan-ilmuan dan penulis yang handal dalam sain dan sastra, seperti pada kekhalifahan lainnya di Baghdad dan Kordova, Al-Aziz merupakan seorang penyair dan sangat menyenangi pendidikan, dia yang
22. Ibid h. 281 23. Philip K. Hitti, History of The… h. 797 24. Ibid h. 800-801 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
17
Rusli
mengembangkan Masjid Agung alAzhar menjadi universitas. Salah satu pondasi terpenting yang dibangun pada masa Fatimiyah adalah pembangunan Dar al-Hikmah (rumah kebijak sanaan) atau Dar al-Ilm (rumah ilmu) yang didirikan oleh alHakim pada 1005 sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran ajaran Syiah ekstrim. Untuk mengembangkan institusi ini, al- Hakim menyuntikkan dana besar yang 257 dinar di antaranya digunakan untuk menyalin ber bagai naskah, memperbaiki buku dan pemeliharaan umum lainnya.25 Dari berbagai upaya yang dilakukan oleh al-Hakim untuk pengembangan ilmu pengetahuan, diantaranya lahir beberapa tokoh ilmuan di Mesir pada waktu itu ialah Ali Yunus (w. 1009), seorang astronom paling hebat, Abu Ali al-Hasan (bahasa Latin, Alhazen), ibn al-Haitsam, yang merupakan peletak dasar ilmu fisika dan optik. Ibn al-Haitsam juga menulis sebanyak seratus karya yang meliputi bidang matematika, astronomi, filsafat, kedokteran dan al-Muntakhab fi ilaj al-Ayn (karya pilihan tetang Penyembuhan Mata) yang di tulis oleh Ammar ibn Ali al-Maushili.
Pada priode Disnasti Fatimiyah di tandai dengan munculnya karya penting yaitu Arsitektur, bangunan tua yang masih bertahan hingga kini adalah Masjid al-Azhar yang didirikan oleh Jawhar pada 972, Masjid al-Hakim yang dibangun oleh ayahnya pada 990 dan selesai sekitar 1012 dan Masjid al-Aqmar yang dibangun pada 1125. Di masjid al-Aqmar di bagian depan bangunan ini kemungkinan dirancang oleh beberapa arsitektur Kristen dari Armenia. Di masjid ini kita dapat melihat beberapa figur awal, yang kelak menjadi cirri khas arsitektur Islam yaitu ceruk (muqarnas) stalaktit. Pintu-pintu gerbang besar yang mempertontonkan kemengahan gedung-gedung periode Fatimiyah yang masih bertahan hingga kini ada tiga buah, yaitu : bab zawilah, bab al-Nashr dan bab al-Futuh. Pintupintu gerbang yang sangat besar di Kairo, yang di bangun oleh arsitekarsitek Edessa, dengan rancangan ala Bizantium termasuk diataranya sebagian jejak Fatimiyah di Mesir yang bertahan hingga kini.26 Dalam bidang seni Fatimiyah menjadi perhatiannya walaupun mengikuti pola-pola seni yang berasal dari Iran. Dengan demikian
25. Ibid h. 801 26. Ibid. h. 805 18
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendekatan Wilayah dalam Studi Islam
seni merupakan sesuatu yang indah yang menjadi suatu karya pada masa itu. Dalam catatanya tentang harta kekayaan peninggalan Fatimiyah, al-Maqrizi mendaftar beberapa contoh seni keramik dan karya logam, termasuk tembikar yang bergaya Cina. Contoh tersebut merupakan bukti kemunculan pertama keramik ala Cina di wilayah Arab Timur. Nashir-iKhusraw menegaskan bahwa orang-orang Mesir membuat produk keramik menjadi “sangat bagus dan makjubkan, sehinggga seseorang bisa melihat tangan orang lain melaluinya”.27 Senin menjilid buku di dunia Islam yang pertama dikenal yaitu yang datang dari Mesir sekitar abad kedelapan atau Sembilan. Dinasti Fatimiyah berakhir setelah ditumbangkan oleh dinasti Ayyubiyah yang didirikan oleh Shalah al-Din, kemudia kekuasaan dinasti al-Ayyubiayah diambilalih oleh Dinasti Mamalik oleh Baybars pada tahun (1260-1277). Pada masa itu Kairo menjadi satusatunya pusat peradaban Islam yang selamat dari serangan bangsa Mongol. Oleh karenanya Kairo menjadi pusat peradaban dan kebudayaan terpenting. Kejayaan dinasti Mamalik memang agak
lama. Pada tahun 1517 M, dinasti ini dikalahkan oleh kerajaan Usmani yang berpusat di Turki dan sejak itu Kairo hanya menjadi ibu kota provinsi dari kerajaan Usmani tersebut.
2. Timur Dekat Pada Konsepnya Timur Dekat Muncul dibagian barat dunia yang ditemukan di zaman canggih yang dimulai pada abad ke 15 dengan penjajahan untuk menemukan sebuah jalan menuju ke timur dengan meningkatnya kontak, area terjauh dari Eropa kemudian disebut Timur Jauh, sedangkan tanah di pantai timur Maditerania yang terbentang diantara Eropa dan Timur Jauh menjadi dalam bahasa umum yang dipakai adalah Timur Dekat istilah ini umumnya digunakan untuk men gambarkan tanah yang datang untuk memerintah sebahagian dari kekaisaran Ottoman setelah 1453. Istilah serupa yang kadang-kadang digunakan untuk Marely berasal dari bahasa Perancis.28 Adapun Negar-negara yang termasuk kedalam wilayah Timur dekat juga terdiri dari wilayah Arab kawasan Barat, yaitu Magribi dan Maroko, dan negara-negara Arab
27. Ibid. h. 806 28. Don Peretz, The Middle East Today, ( New York : Praeger Publisher, 1984) h.3 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
19
Rusli
seperti Israel dan Turki. Dalam pembahasan Islam di wilayah Timur dekat ini ialah Turki. a.
Turki
Sebahagian pendapat mengata kan bahwa pada mulanya orangorang Turki hdup disebelah timur orang-orang mongol. Konon, kata “Turki” berarti “kekuatan, kekuasaan.29 Kata Turki dalam bahasa Cina di sebut Tu-Kue, digunakan pertama kali untuk menyebut sekelompok nomad yang pada abad ke-6 M telah mendirikan sebuah kerajaan yang membentuk wilayah segi tiga mulai Mongolia ke perbetasan Cina bagian utara dan Laut Hitam.30 Dalam hal ini Turki merupakan sebuah kerajaan yang memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menguasai wilayah-wilayah yang berdekatan dengan daerahnya. 1) Turki Sebelum Islam Wilayah Turki sebelum Islam mereka terdiri dari berbagai suku bangsa dan kelompok-kelompok yang terbagi di atas beberapa wilayah yang berimigrasi dari suatu tempat ke tempat yang lain untuk mempertahankan hidup. Selanjutnya daerah perpindahan
bangsa Turki tersebut juga me rupakan daerah transit serta berbagai pertemuan antar berbagai ragam budaya bangsa yang sedang berimigrasi. Kelompok Turki di selatan yang terisolasi menetap di wilayah Bizantium bahkan sebelum serangan Saljuq, baik di Asia Kecil maupun di Balkan. Di daerah yang terakhir itu tentu masih ada penduduk, yang hidup mingrasi Turki Utara sebelumnya yang datang ke sana melalui utara Laut Hitam. Tetapi baru pada pertengahan abad ke-11 kita mengetahui imigrasi besar-besaran bangsa saljuq, yang berlanjut sampai akhir abad ke-13. Bangsa Turki berasal dari sebuah rumpun bangsa yang dikenal dengan Ural Altaic, yang disebut juga rumpun bangsa berkulit kuning. Mereka hidup di kaki pergunungan Altaic, bagian barat dari padang rumput Mongolia.31 Dalam hal ini bangsa Turki pada saat itu selalu berpindah-pindah dari suatu daerah ke dearah yang lain guna untuk mempertahankan hidup mereka dikarenakan kondisi geografis pada saat itu tidak menentu. Adapun kenyakinan mereka menganut kepercayaan
29. Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, (Jakarta : Logos, 1997), h.8. 30. Ibid. 10 31. Ibid h. 5. 20
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendekatan Wilayah dalam Studi Islam
Syaman. Kenyakinan ini, para pe nganutnya menyembah unsurunsur alam dengan perataraan totem dan roh.
pusat dunia islam pada tahun 1038 M. Kemudian selain Bani Saljuk, dinasti Usmaniyah juga berkuasa (1290-1922 M).
Penyebaran bangsa Turki dengan berbagai macam elemen nya yang meliputi wilayah yang sangat luas telah berdampak pada hilangnya identitas budaya wilayah yang mereka kuasai. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh kuat dari berbagai budaya besar seperti Cina, Persia, dan Bizantium. Akibatnya wilayahwilayah yang berdekatan dengan budaya besar itu terpengaruh olehnya. Sementara mereka yang masih tetap tinggal di wilayah laut Aral dan Siberia, dimana mereka jauh dari peradaban besar, tetap menjadi kelompok primitif dan belum mengenal budaya baca tulis.32
Turki memiliki andil yang besar dalam sejarah umat Islam, terutama dalam pengembangan wilayah (fathul) Islam. Pada masa kerajaan Ottoman Turki pernah menjadi negara adikuasa dan kunci keberhasilan Turki pernah menaklukan Konstatinopel (Istan bul) tahun 1453 M, mengakhiri kekuasaan Kaisar Romawi timur (Bizantium) dan selanjutnya membawa Islam ke Eropa. Puncak keemasan kerajaan Ottoman pada masa pemerintahan Sulaiman I (1520-1566 M) yang terkenal dengan sebutan “Sulaiman Agung”. Dibawah pemerintahannya berhasil menak lukan wilayah Afrika Utara, Mesir, Hedjaz, Irak, Armenia, Asia Kecil, Balkan, Yunani, Bulgaria, Bosnia, Rumania sampai ke batas Sungai Danube.33
2) Penyebaran Bangsa Turki Munculnya dinasti Turki, Islam mengalami fragmentasi ke kuasaan pada priode kedua pemerintahan Abasyiah (sekitar abad ke-9 M), bangsa Turki muslim pertama-tama membangun dinasti adalah bani saljuk mulai tampak pengaruhnya di Baghdad sebagai
3) Islamisasi Bangsa Turki Sejak akhir abad ke-7 M bangsa Turki yang mendiami wilayah Asia Tengah mulai mengenal agama baru, Islam. Media yang
32. Ibid. h.7 33. Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Houve, Cet IV,1997), h. 113. La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
21
Rusli
memperkenalkan mereka dengan Islam adalah adanya hubungan dagang. Bangsa Arab piawai dalam perdagangan sejak sebelum Islam telah berperan besar dalam perdangan di wilayah jalur sutera.34 Dengan adanya hubungan dagang antara bangsa Turki yang berdomisili dibagian selatan dengan pedagang muslim dari Arab, telah memperkenalkan Islam kepada bangsa Turki. Pada abad pertama hijriah suku-suku di Turki menjadi penganut dan pembela Islam. Pada masa pemerintahan Khalifah terakhir Daulah Abasyiah yakni pada masa Al-Musta’zim (640-656), Islam di Turki pernah mengalami kemajuan dan kemunduran. Bangsa Turki yang kuat dan berkuasa dengan berbagai imperiumnya mencerminkan tipe masyarakat muslim lainnya, seperti mewarisi pola masyarakat Saljuk Iran dan memberikan sebuah corak inovatif serta menjadikan negara sebagai institusi yang dominan, lalu menjadikan kalangan elit keagamaan, warga nomadik Turki di Anatolia dan seluruh rakyat dibawah kekuasaan negara.35
4) Pemikiran Islam di Turki Pemikiran Turkisme atau Nasionalisme tidak terlepas dari tokoh Ziya Gokalp (1876-1924) ia adalah seorang pendukung dan perumus utama Turkisme (Nasionalisme). Ide pemikiran Nasionalisme atau Turkisme dalam pandangan Gokalp bersumber dari budaya atau menggunakan pendekatan sosiologi.36 Sebagaimana kita ketahui pada awalnya bangsa Turki menjadikan agama sebagai dasar dalam berbangsa dan bernegara, maksudnya agama mempunyai andil dalam setiap konsep kenegaraan. Turki mengalami fase kemunduran setelah pemerintahan Sulaiman Al-Qanuni, daerahdaerah kekuasaannya lepas satu-persatu, hingga memasuki modernisasi Islam. Republik Turki diproklamasikan setelah kesultanan dihapuskan pada tanggal 29 oktober 1923. Adapun tokoh pendiri Turki modern adalah Mustafa Kamal Attarurk, beliaulah presiden yang pertama. Sampai tahun 1945 partai yang berkuasa adalah Partai Rakyat Republik (The Republikan Peoples Party, RPP). Sejak tahun 1928 Turki
34. Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan… h. 11 35. Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial…, h. 468. 36. Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), h.268
22
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendekatan Wilayah dalam Studi Islam
berubah menjadi negara sekuler dengan dihapusnya Islam sebagai agama resmi negara dalam undangundang yang berlaku. Kendatipun Turki sebagai negara sekuler namun kemajuan pembangunan agama sangat meningkat, hal itu terlihat melalui banyaknya bukubuku Islam, kaset-kaset agama laris dipasaran, belum lagi bangunan mesjid yang bertaburan.37 Di Turki hingga saat sekarang ini, partai politik yang berbaur agama dan organisasi keagamaan masih dilarang. Beda halnya dengan negara sekuler, mereka mempunyai “dianet isleri” ( kantor urusan agama) yang bernaung dibawah menteri negara.38 Para generasi muda Turki merasa bosan dan tidak menerima kondisi seperti ini, dan pada akhirnya mereka menggunakan media cetak sebagai sarana informasi dalam penyampaian kepada masyarakat. Muncullah beberapa penerbitan keagamaan yang memiliki cirri-ciri arus pemikiran yang berbeda, seperti: penerbitan yang disponsori Dianet Islery yang memiliki ciri negara Islam, penerbitan yang disponsori tarekat kuno, penerbitan yang
disponsori tarekhat baru, pener bitan yang disponsori oleh kaum fundamentalis.
3. Asia Tenggara Sejalan dengan majunya perkembangan ilmu, berkembang pula pendekatan yang digunakan di kalangan para sarjana pemerhati kajian keislaman. Kemajuan ini berdampak pada luasnya kajian Islam dilihat dari berbagi disiplin ilmu, munculnya atropologi, sosiologi, psikologi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya yang menambah khazanah kajian Islam. Di samping itu, kajian keislaman tidak lagi terfokus pada wilayah Timur Tengah (Middle East oriented) saja, melainkan berkembang merambah pada wilayah-wilayah lain yang banyak di huni oleh umat Islam, semisal Asia Tenggara- Indonesia, Malasyia, Thailand, Singapura, Filipina, dan Brunei Darussalam-.39 Sejarah kedatangan Islam di Asia Tenggara masih sangat kabur baik menganai waktu kedatangannya yang berkisar paling akhir pada abad ke13 dan paling awal pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7
37. Dewan, Ensiklopedi, h.114-115. 38. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h.183. 39. Jamali Sahrodi, Metodologi…h. 61 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
23
Rusli
Masehi maupun mengenai tempat asal kedatangan Islam ke wilayah Asia Tenggara ini juga sangat beragam. Ada ahli yang mengatakan berasal dari Arab langsung (Hadramaut), atau dari India (Gujarat) bahkan juga ada yang mengatakan berasal dari Benggali (Bangladesh sekarang) sedikit banyak tentunya daerahdaerah ini telah mempengaruhi corak ke-Islaman Asia Tenggara yang sangat plural hingga kini. Bahkan ada beberapa catatan menyebutkan asal-usul Islam dari Cina yaitu dari orang-orang Ta’shih. 40 Secara umum Islam disebarkan di Asia Tenggara melalui kegiatan kaum pedagang dan sufi. Wilayah- wilayah Islam yang dikatagorikan dalam Asia Tenggara ialah Indonesia, Patani (Thailand), Mindanau (Fhilipina Selatan). 41
kita melihat situasi Malaka dan kepulauan Nusantara di sepanjang jalur perdagangan utama antara Asia Barat dan Timur Jauh serta kepulau rempah-rempah Maluku. Pedagang Muslim dan barangbarang dagangannya disambut baik di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Penyebaran Islam, seiring dengan laju perkembangan kapitalisme, telah memberi pengaruh pada “budaya dagang” system ekonomi pribumi. Hal ini mengindikasikan bahwa proses penyebaran Islam secara penetration pacifique, dengan jalan damai dan persuasif. Selain dengan peningkatan dan kekayaan para pedagang Muslim, mereka juga tampil semakin penting sebagai mitra dagang dan sekutu politik para penguasa lokal seiring dengan lenyapnya kekuasaan-kekuasaan lokal hindu.
Islam disebarkan di Asia Tenggara ini melalui tiga metode :42 Pertama penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pedangan Muslim dalam jalur perdagangan yang damai. Peranan para pedangan ini sangat penting, tidak hanya pada tahun-tahun awal penyebaran Islam, terutama jika
Kedua Islam menyebar dengan program dakwah yang dilakukan oleh para da’i yang datang dari India atau Arab yang sengaja bertujuan mengislamkan orangorang “kafir” dan meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman. Para penyebar agama Islam ini bergerak tanpa kenal
40. Al-Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam Studi Harakah Darur Islam dan Moro National Liberation Front, (Jakarta : Darul Falah, 1999), h. 22-23 41. Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarak, Metodologi Islam ( Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2000), h. 167. 42. Al-Chaidar, Wacana Ideologi Negara… h 23-24 24
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendekatan Wilayah dalam Studi Islam
lelah, mobilitas fisik, sosial dan intektual mereka terus bertambah seiring dengan berjalannya waktu dan usia perjalanan dakwah mereka. Sebagai hasilnya, mereka kemudian dapat ikut serta dalam pemerintahan penguasa, bertindak sebagai penasehatpenasehat spiritual dan politik. Selanjutnya sebagaimana di teladan kan oleh Nabi Musa Alaihissalam mereka mendirikan kelompok yang menjadi oposisi terhadap kekuasaan lokal sekuler. Tulisan-tulisan dan dakwah-dakwah pada da’i yang telah berpengalaman di Timur Tengah menyebabkan penduduk setempat menjadi tersentu dengan masyarakat dunia yang lebih luas, mendunia (mondial). Ketiga, Islam pada akhirnya, selain menggunakan cara-cara persuasif, menempuh juga dengan cara penyebaran agama dengan memaklumkan perang terhadap negara-negara yang tidak atau belum beriman secara benar (Islam). Penyebaran ini dilakukan apabila sudah terbentuk suatu kekuatan Islam (apakah itu disebut negara atau kerajaan ataupun dinasti). Sulit diambil satu kesimpulan Islam disebarkan hanya dengan satu cara saja. Para da’i memulai karir sebagai pedagang, yang selanjutnya bisa berubah bentuk menjadi negarawan atau pejuang dalam perang suci (jihad) untuk La-Tahzan
melawan orang-orang kafir. Ada satu cara lagi yatu penyebaran Islam dengan cara bahwa para da’i dan para mubaligh tersebut mengawini gadis-gadis pribumi, baik dari kelas sosial penguasa atau dari kelas sosial rakyat biasa, dan menebus budak-budak untuk mengembalikan martabat dirinya. Setelah proses penyebaran Islam yang berlangsung selama berabadabad di kawasan Asa Tenggara ini, Islam berhasil menjadi agama utama di Indonesia dan Malaysia dan juga berhasil juga menembus negara-negara yang agamanya non Islam seperti Thailand yang mayoritas Budha dan Filipina yang manyoritas Katolik pada waktu itu agama Hindu. Dengan masuknya Islam di Asia Tenggara ini, maka terjadilah perubahan besar-besaran sosial budaya masyarakat Nusantara Asia Tenggara. Dari berbagai metode yang dilakukan oleh para pendatang Muslim ke Asia Tenggara menjadi transpormasi masyarakat yang tercipta berkat sosialisasi Islam sangat meluas dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pendidikan, ilmu dan teknik pelayaran, tata sosial dan orde hukum serta prinsip-prinsip pemerintahan yang berkeadilan.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
25
Rusli
4. Indonesia
agama di Indonesia dikuasai orang India, pada abad ke XVI barulah pengaruh Arab masuk ke Indonesia. Bukti fisiknya adalah makam cicit khalifah Abbasyiah yang ada di Aceh, bukan orang Arab asli akan tetapi peranakan India keturunan Arab, yang melarikan diri ke Delhi pada saat kerajaan diserbu oleh Hulagu Khan pimpinan tentara Mongol pada tahun 1898. Hurgronje bersikeras bahwa dianya orang India, namun kaum muslimin memandang ia orang Arab.43
Para sejarahwan agak sukar mendeteksi sejarah masuknya Islam di Indonesia, dalam hal ini diantara sejarahwan memberikan pendapat yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan karena sejarahwan memiliki kepentingan-kepentingan politik terutama sejarahwan barat, kedua disebabkan oleh kom pleksitas disekitar Islam itu sendiri, sebagaimana direfleksikan oleh kaum muslimin di kawasan ini. Masuknya Islam ke Indonesia menurut Azyumardi ada tiga pendapat:42 a. Bahwa Islam langsung datang dari Arab, yang dibawa oleh orang-orang mesir yang bermazhab Syafi’i. b. Bahwa Islam datang dari India yang di kemukakan oleh Pijnapel (1872) yang menyimpulkan bahwa orangorang Arab yang bermazhab syafi’i dari Gujarat dan Malabar lah yang membawa Islam ke Indonesia. Pendapat ini mendapat dukungan se kaligus bantahan dari Snouck Hurgronje, menurutnya sel ama empat abad pimpinan
c. Bahwa Islam datang ke Indonesia dari Benggali (Banglades), karena kebanyak an orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali. Menurut pengakuan Marcopolo yang telah melakukan perjalanan dari Cina menuju Persia pada tahun 1292, sekaligus mengunjungi kerajaan di pulau Sumatera, hanya satu kerajaan yang dianggap telah Islam yaitu kerajaan Perlak (Aceh).45 Jadi Islam sampai ke Indonesia sejak abad ke 7/8 M, akan tetapi untuk eksis sebagai kekuatan politik, ia memerlukan
43.Azyumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), h.12. 44. Hamid Al-Qadri, Islam dan Keturunan Arab (Jakarta: Sinar Harapan,Cet. I, 1988), h.95. 45. Atang, Metodelogi, h. 168. 26
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendekatan Wilayah dalam Studi Islam
waktu hingga enam abad sampai terbentuknya kerajaan Islam di Sumatera pada abad ke 13 M. belum sampai dua abad Islam tampil sebagai kekuatan politik di nusantara, datanglah kekuatan tandingan dari Barat yang berupa Imperalisme yang secara berangsur-angsur, walaupun men dapat perlawanan ternyata berhasil mengurangi peranan Islam di Nusantara.
adalah bagaimana para pakar yang ada mampu memasyarakatkan hasil-hasil pemikirannya yang bernilai srategis Qur’ani ke tengahtengah umat tanpa menimbulkan kegoncangan-kegoncangan yang tidak ada artinya.
Taufik Abdullah menyatakan bahwa dalam proses perjalanan Islam dibumi Nusantara, Islam merupakan suatu dasar pembentukan tradisi kultur baru.46 Jika bangsa Indonesia ingin pembentukan kultural baru, maka harus didapatkan sebuah landasan intelektual yang kokoh. Dalam artian kajian ke- Islaman di Indonesia, selain mendalami subtansi ajaran, pendekatan yang berorientasi kemasa depan me rupakan kebutuhan mutlak secara iman dan akademik.
1. Signifikansi
Tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini adalah masih langkanya pakar kajian Islam yang mampu menulis diatas landasan wawasan ke Islaman dan kemanusiaan yang luas. Selanjutnya yang terpenting
Seringkali praktik-praktik ke agamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat
D. Perkembangan dari Studi Wilayah ke Studi Lokal (local Islam) Studi Islam mempunyai sig nifikansi yang sangat besar perananya dalam khazanah Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Studi Islam dengan pendekatannya me rupakan pembahasan ilmiah yang mempunyai sistematika. Dari penelitian yang sistematis akan menghasilkan interprestasi yang positif dan normative tentang studi Islam melalui pendekatan sosiologi, historis, antropologis, filosofis, psikologis, teologis dan kultural.
46. Taufiq Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Islam (Jakarta: LP3S, 1987), h.241. La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
27
Rusli
sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya. Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakatbaik dalam wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci dan konstruksi manusia, terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya primordial yang telah melekat didalam dirinya. 28
Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya.
2. Kontribusi Konstibusi perkembangan dari studi wilayah ke studi lokal memberikan sumbangsih kepada perubahan dan pengaruh terhadap studi wilayah ini memberikan suatu upaya untuk menggali ilmu pengetahuan dan mengembangkannya sesuai dengan rumusan Islam. Pendekatan kewilayahan (region) dalam studi Islam amat diperlukan dalam upaya memahami Islam secara universal, pendekatan kewilayahan bukan hanya didekati dari sisi kewilayahan administratif, akan tetapi juga pendekatan-pendekatan kewilayahan lainnya yang sesuai dengan kondisi wilayah dan potensi masyarakat, ada beberapa pendekatan kewilayahan lainnya, seperti pendekatan wilayah dari sisi historis masuknya agama Islam ke wilayah tersebut, pendekatan wilayah dari sosial budaya, pendekatan wilayah dari segi linguistic (sastra dan kebahasaan), pendekatan wilayah dari segi politik dan dasar negara dan pendekatan kewilayahan lainnya. Dengan ini studi Islam bahagian dari studi wilayah, tetapi studi
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendekatan Wilayah dalam Studi Islam
wilayah tidak hanya fokus pada kawasan Timur dan Barat semata. Karena studi wilayah juga dapat dilakukan “kedalam”, maksudnya ke kawasan sendiri, guna melihat perkembangan budaya dan peradaban dalam negeri dan lain-lain untuk kepentingan pem bangunan kedepan sebagai mana disebutkan diatas. Bila dikaitkan dengan agama maka “ruang gerak” agama sangat terkait dengan iklim kawasan, karena setiap wilayah/negara tidak sama dalam memposisikan agama, baik dari sudut pemerintahan, politik, dan dasar negara. Akan lebih berbeda lagi bila konteks ruang gerak agama itu dikorelasi dengan sosial budaya. Budaya dan kultural masyararakat beretnis heterogen tentu berbeda dengan yang beretnis homogen, afiliasi pemerintah kepada mazhab (teologi/fiqh) tertentu akan berbeda aplikasi/pengamalan agamanya dengan wilayah/region yang sama sekali tidak mengurusi hal itu. Maka dapatlah dikatakan bahwa kajian Islam dengan berbasis wilayah menggiring kepada suatu kesimpulan bahwa masing-masing wilayah memahami agama sesuai dengan iklim wilayahnya sendiri. Di tengah-tengah perbedaan itu, Islam dengan karakter yang luwes mengadopsi budaya lokal untuk memperkaya khasanah pengalamannya keislamanya. La-Tahzan
Perbedaan dalam menerjemahkan keislaman diberbagai wilayah termasuk di Indonesia se sung guhnya adalah, meminjam istilah Marshal Hodgson, “mosaik” yang memberikan keindahan gambar Islam dalam bentang budaya yang plural. Makanya tidak mengherankan jika Asia Tenggara mempunyai variasi karakter ke islaman yang khas; ada Melayu, Aceh, Jawa, Bugis, Banten, Sunda, Patani, Mindanau, Brunei dan sebagainya. Demikian juga timur tengah dan eropa dengan gaya dan cirri khas masing-masing.
3. Problematika Studi Wi layah Studi Islam pada saat ini belum maksimal, khususnya di Indonesia dan Asia Tenggara, hal ini disebabkan banyaknya ahli keIslaman yang tidak tahu tentang Indonesia dan wilayah-wilayah lainnya, dan sebaliknya para pakar ahli wilayah tidak mengetahui tentang Islam. mengapa hal ini bisa terjadi ? penyebabnya adalah masih timbul tanda tanya para ahli, apakah studi Islam (termasuk studi wilayah) dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan. Amin Abdullah menjelaskan bahwa kajian Islamic Studies tidak berkembang atau mendapat kesulitan karena berakar pada seorang agamawan yang sukar membedakan antara
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
29
Rusli
normative dengan historisitas. Pada dataran normative Islam kurang cocok untuk disebut sebagai disiplin ilmu, sedangkan pada historisitas tampaknya tidak salah.47 Oleh karena itu studi slam tidak berkembang ketika dilihat dari sudut normative, karena Islam adalah sebuah agama yang didalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan muamalah, sebaliknya ketika Islam dilihat dari segi historis, Islam tampil sebagai disiplin ilmu. Adapun kelemahan lain ialah banyak para ahli yang berasal dari Barat yang melihat Islam di kawasan Asia Tenggara dan yang lainnya dengan menggunakan tolak ukur yang berasal dari Barat, sehingga dalam kesimpulan penelitiannya tidak selalu benar. Selanjutnya memang sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan. Karenannya kajian tentang pemahaman realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan agama itu
sendiri. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah “takdir sosial” yang tak perlu lagi dipahami. Selanjutnya pendekatan wilayah dalam kajian islam membutuh disiplim ilmu lain, seperti sejarah, antropologi, sosiologi, politik, ekonomi, arkeologi, linguistic, dan disiplin ilmu lainya yang mendukung proporsionalnya pe mahaman tentang wilayah/negara yang dimaksudkan.
E. Penutup. Islam memiliki daya tarik luar biasa sebagai sumber inspirasi yang tidak habis-habisnya dikaji. Terbukti, sejak lama Islam menjadi objek studi, tidak saja di kalangan muslim tetapi juga di kalangan non muslim, untuk tujuan dan kepentingan beragam. Titik perhatian studi Islam juga beragam, baik pada tingkat Islam sebagai sistem keyakinan maupun Islam sebagai suatu sistem sosial. Artinya, banyak kalangan yang mempelajari Islam pada level doktrin (Islam normative), demikian juga banyak kalangan
47. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindi Persada, 2008), h. 150.
30
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendekatan Wilayah dalam Studi Islam
yang mempelajari Islam dari sisi manifestasinya dalam kehidupan sosial atau Islam yang ‘menyejarah’ (Islam histories). Objek studi ini berkembang sangat pesat dalam tradisi keilmuan Timur maupun Barat. Hal ini mengambil bentuk pada disiplin kajian Islam (Islamic studies), yakni suatu frame scientific yang menelaah dialektika dan sintesa doktrin dan dimensi kesejarahan dalam masyarakat Islam. Dengan kata lain bahwa kajian Islam sasarannya adalah ajaran Islam dan masyarakat Islam itu sendiri. Pendekatan yang digunakan dalam kajian Islam juga beragam, sebagaimana dipresentasikan dan diartikulasikan melalui tradisi islamic studies di Timur (dunia Islam) dan Barat. Kajian Islam di dunia Timur, lebih didominasi oleh pendekatan yang berorientasi pada penguasaan substansi materi dan penguasaan atas hazanah keislaman klasik. Itulah sebabnya, obyek utama kajian Islam dalam tradisi keilmuan Timur, lebih berpusat pada studi teologi (ajaran) yang bersifat historis, bukan pada artikulasi atau fenomena keberagaman masyarakat yang bersifat historis. Dari pendekatan ini, akhirnya lahir para ahli ilmu agama yang hanya menguasai substansi doktrin atau ajaran agama, seperti ahli tafsir, ahli hadis. La-Tahzan
Berbeda dengan ini, Islamic studies di Barat, kajiannya lebih berorientasi pada Islam, sebagai realitas atau fenomena sosial, yakni Islam yang telah menyejarah, meruang dan mewaktu. Islam dikaji dan dipelajari hanyalah sebatas Islam sebagai ilmu pengetahuan, pendekatan yang digunakan lebih dominasi oleh penggunaan disiplin ilmu-ilmu sosial dan humanities, bukan pada kajian teologis doktriner sebagaimana studi keislaman di Islam berkembang melalui proses perjalanan sejarah yang panjang dan kultur yang berbeda melihat dimana Islam itu berkembang. Perbedaan latar belakang sejarah dan budaya mempunyai ukuran yang sama tentang ke-Islaman. Pandangan agama dapat berubah dan dibenarkan berbeda karena per bedaan waktu, zaman, lingkungan, stuasi dan sasaran serta tradisi yang sesuai dengan suatu kaidah. Maka studi ke-Islaman di wilayahwilayah secara objektif akan menghasilkan pandangan dan aplikasi Islam yang benar dan tidak harus sama dengan apa yang dilakukan dan diterapkan di wilayah lainnya. Islam berkembang melalui beberapa pendekatan atau tahapantahapan, di wilayah Timur-Tengah ada tiga fase pendekatan pertama penciptaaan sebuah komunitas
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
31
Rusli
baru, kedua fase penaklukkan wilayah, ketiga fase Kesultanan. Di Asia Tenggara penyebaran Islam melalui tiga metode yaitu: pertama adalah jalur perdagangan yang damai, kedua melalui dakwah oleh da’i, ketiga selain menggunakan cara-cara persuasive, menempuh juga dengan cara penyebaran agama dengan memaklumkan perang terhadap negara-negara yang tidak atau belum beriman secara benar (Islam). Penyebaran ini dilakukan apabila sudah terbentuk suatu kekuatan Islam (apakah itu disebut negara atau kerajaan ataupun dinasti). Ada satu cara lagi yatu penyebaran
32
Islam dengan cara bahwa para da’i dan para mubaligh tersebut mengawini gadis-gadis pribumi, baik dari kelas sosial penguasa atau dari kelas social rakyat biasa, dan menebus budak-budak untuk mengembalikan martabat dirinya. Oleh karena itu, sangat di dambakan untuk munculnya pusat-pusat studi Islam untuk dapat menyahuti persoalan yang terus berkembang di masa mendatang kerana Islam telah tersebar seluruh dunia, sebagai solusi untuk dapat menyelesaikan semua persoalan-persoalah yang terjadi di dunia Islam hari ini.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendekatan Wilayah dalam Studi Islam
DAFTAR PUSTAKA
Abd, Hakim Atang dan Mubarak Jaih. Metodologi Islam. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2000.
Imarah Muhammad, Al‘Alamaniyah baina al-Gharb wa alIslam, Kuwait: Dar al-Da’wah. 1996.
Abdullah, Amin. Studi Agama Normativitas atau Historitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Lapidus, Ira. M. Sejarah Sosial Islam. terj. Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1999.
Abdullah, Taufiq. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Islam. Jakarta: LP3S, 1987.
Mughni A. Syafiq, Sejarah Kebudayaan Islam di Kawasan Turki, Jakarta : Logos, 1997
Azra, Azyumardi. Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.
Muhaimain dkk. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: prenada Media, 2005.
Chaidar-Al, Wacana Ideologi Negara Islam Studi Harakah Darur Islam dan Moro National Liberation Front, Jakarta : Darul Falah, 1999.
Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindi Persada, 2008.
Dewan Redaksi. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Houve, Cet. IV, 1997. Hitti K. Philip, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta : PT. Seambi Ilmu Semesta, 2008. Hornby,A.S. Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Oxford : Oxford University Press, 1986.
La-Tahzan
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1999. Peretz Don, The Middle East Today, New York : Praeger Publisher, 1984 Qadri, Al- Hamid. Islam dan Keturunan Arab. Jakarta: Sinar Harapan, Cet. I, 1988. Sahrodi Jamali , Metodologi Studi Islam, Menelusuri Jejak Historis Kajian Islam ala Sarjana Orientalis, Bandung : Pustaka Setia, 2008.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
33
Rusli
Salim, Peter. Webster’s New World Dictionary. Jakarta: Modern English Press, tt. Shaban, M.A. Islamic History: A New Interpretation. Cambridge: Cambridge University Press, 1971.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jarkarta : Kencana, 2008. Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II,Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004.
Supriyadi Dedi, Sejarah Peradaban Islam,Bandung : Pustaka Setia, 2008
34
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Membincang Fundamentalisme Agama dalam Ranah Lokal Oleh: Moh. Masuni, MSI
ABSTRAKSI
D
alam Islam, funda men Meski masih banyak kalangan talisme biasanya di ter yang mempersoalkan hubungan jemah kan dengan al- Islam dan fundamentalisme, Ushuliyyah al-Islamiyah (funda namun dalam keadaan bagaimana mentalisme Islam), al-Salafiyah fun damentalisme diterapkan da (warisan leluhur), al-Shahwah allam Islamlah yang sebenarnya Islamiyah (kebangkitan Islam), allebih penting dijelaskan. Oleh Ihya al-Islam (kebangunan kembali karenanya, perlu menjenguk se Islam ), al-Badil al-Islam (alternatif jarah kelahiran istilah ini agar Islam). Sedangkan dalam dunia diperoleh pemahaman yang barat istilah fundamentalisme bisa komprehensif dan kemudian digantikan dengan revivalisme, menjadi alat telisik kita dalam ekstrimisme, Islamisme, inte menelusuri benang merah antara grisme. Meski peristilahan tersebut fundamentalisme dan Islam mempunyai fariasi makna namun yang kemudian bermuara pada tetap pada koridor yang mengarah formalisasi Syariat Islam. pada “menonjolkan keislaman” Kata Kunci: Fundamentalisme, pada segala konteks yang ada. Islam dan Barat
La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
35
Moh. Masuni, MSI
H
arus diakui bahwa funda mentalisme tidak lahir dalam tradisi Islam melainkan Kristen. Ia lahir sebagai reaksi atas penyimpangan yang terjadi dalam ajaran Kristiani. Istilah fundamentalisme pertama kali lahir dalam The Shorter Oxford English Dictionary pada tahun 1923 setelah terbit dua belas risalah teologi yang berjudul The Fundamentals: A Testimony to Truth. Tulisan tersebut oleh para penerjemahnya dilaporkan memakai Scientific Critical Approach oleh ahli-ahli Protestan terhadap studi injil1. Berkaitan dengan hal tersebut, fun damentalisme Kristen mem punyai kecenderungan-kecen de rungan umum. Disebutkan dalam Bible Conference Concervative Protestant yang diadakan pada tahun 1895 di Niagara bahwa fundamentalisme tercermin dalam The Five Point Of Fundamentalism yang isinya antara lain; 1. Kitab suci tidak pernah salah kata demi kata 2. Ketuhanan Yesus 3. Kelahiran perawan
Yesus
dari
ibu
4. Ketentuan baru dalam pene busan dosa 5. Kebangkitan dan Yesus secara fisik.
kelahiran
Dan istilah fundamentalisme lebih popular lagi setelah di keluarkan 12 risalah berjudul The Fundamentals pada tahun 1909, yang kemudian ditulis oleh sejumlah tokoh Kristen Evangelic dan disebarkan ke media seluruh dunia. Pada tahun 1919 didirikan World Cristian Fundamentals Associ ation untuk mengokohkan kebera daan kaum fundamentalis.2 Demikian kecenderungankec end erungan umum funda mentalisme Kristen yang Dalam batas-batas tertentu juga relevan untuk melihat fundamentalisme Islam dengan ciri-cirinya antara lain: 1. Memberi penekanan pada interpretasi literal terhadap teks-teks suci agama. Mereka menolak pemahaman hermeneutic. 2. Setiap gerakan fundamen talisme hampir selalu dapat dihubu n g k a n d e n g a n f a n a t i s m e , eksklusivisme, intoleran, radikalisme, dan militanisme. Oposisionalisme
1. Riffat Hassan, Mempersoalkan Istilah Fundamentalisme, dalam Jurnal Ulumul Qur’an edisi No.3 volume IV tahun 1993, hal.32. 2. Rumadi, Renungan Santri; Dari Jihad Hingga Kritik Wacana Agama , (Jakarta: Erlangga, 2002), hal.32 36
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Membincang Fundamentalisme Agama
kaum fundamentalis dalam berbagi agama mengambil bentuk per lawanan terhadap ancaman yang dipandang mem bahayakan eksistensi agama. 3. Fundamentalisme hampir selalu memberi penekanan kepada pembersihan agama dari isme-isme modern seperti liberalisme, modernisme dan humanisme. 4. Ada monopoli kebenaran atas tafsir agama. Kaum fundamentalis biasanya cen derung menganggap dirinya sebagai penafsir agama yang paling abash dan paling benar, sehingga cenderung memandang sesat kepada kelompok yang tidak “sealiran” dengan mereka. 5. Menolak terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalis, pluralisme me rupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks suci3. Dari kecenderungan-kecen derungan umum tersebut, terdapat salah satu ayat Al-Qur’an yang menjadi landasan teologis yang berbunyi;
$tΒuρ 3 ÞΟ≈n=ó™M}$# «!$# y‰ΨÏã š⎥⎪Ïe$!$# ¨βÎ)
ωÎ) |=≈tGÅ3ø9$# (#θè?ρé& š⎥⎪Ï%©!$# y#n=tF÷z$#
$J‹øót/ ÞΟù=Ïèø9$# ãΝèδu™!%y` ω÷èt/ $tΒ .⎯ÏΒ «!“$# ÏM≈tƒ$t↔Î/ öàõ3tƒ ⎯tΒuρ 3 óΟßγoΨ÷t/
É>$|¡Ïtø:$# ßìƒÎ | ©!$# χÎ*sù
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada9x.sŒberselisih orang-orang ⎯ÏiΒ /ä3≈oΨø)n=yz $¯ΡÎ) â¨$¨Ζ9$# $pκyang š‰r'¯≈tƒ telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, Ÿ≅Í←!$t7s%uρ $\/θãèä© öΝä3≈oΨù=yèy_uρ 4©s\Ρé&uρ karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang $# y‰ΨÏã ö/ayat-ayat ä3tΒtò2r& ¨βAllah Î) 4 (#þθèùu‘Maka $yètGÏ9 kafir «! terhadap Sesungguhnya Allah sangat cepat 7yz; îΛAli ⎧Î=tãImran: ©!$# ¨βÎ) 19). 4 öΝä39s)ø?r& hisab-Nya”×Î(Qs.
Di Indonesia sendiri, seba gai mana tercermin dalam kecen derungan umum di atas berikut dorongan ߉ô©”9$# t⎦¨⎫teologis t6¨? ‰s% ( È⎦⎪Ïe$!$#(theological ’Îû oν#tø.Î) ω sophistication) dari ayat ini— dan pastinya ÏNθäó≈©Ü9$$Î/ayat-ayat öàõ3tƒ ⎯yϑsùlain 4 Äc©xöø9$#yang z⎯ÏΒ sejenis-- kaum fundamentalis berusaha sekuat mungkin men y7|¡ôϑtGó™$# ωs)sù «!$$Î/ -∅ÏΒ÷σãƒuρ jadikan syariat sebagai sumber regulasi Negara atau formalisasi ª!$#uρ 3 $oλInilah m; tΠ$|ÁÏproblem Ρ$# Ÿω 4’s+øOâθbesar ø9$# Íοuρóyang ãèø9$$Î/ syariat. harus segera diatasi mengingat îΛ⎧Î=tæ ììyang ‹Ïÿxœ Indonesia adalah Negara
3. Rumadi, ibid,, hal. 34
La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
37
Moh. Masuni, MSI
majemuk, baik dari segi agama dan kepercayaan maupun budaya. Problem kemajemukan, baik agama dan budaya hingga kini belum selesai di belahan dunia manapun, termasuk Indonesia. Kini banyak pemikir mencari jalan-jalan guna menyikapi keadaan yang semakin buruk terkait dengan kemajemukan yang semakin tidak di hargai dan dalam batas tertentu justru disikapi, baik pemerintah maupun lembaga non pemerintahan, dengan defensive. Baik dalam tataran pernyataan (terror mental), sikap, dan kebijakan lainnya yang tidak toleran (intolerant) terhadap perbedaan dan kemajemukan.
Fundamentalisme; Relasi Agama dan Negara di Indonesia
Apa yang dikatakan Peter L Berger dalam bukunya “Kabar Dari Langit” tentang gejala sakralisasi agama atau desekularisasi dunia sampai sekarang memang masih perlu kita perhatikan. Dimana dalam pandangan sosiolog agama ini, dewasa ini “hasrat” intensifikasi agama dalam perkara duniawi semakin kuat terasa. Imbasnya, dunia tidak berjalan ke arah sekularisasi-rasionalisasi, tapi sakralisasi. Segala persoalan dunia dilarikan kepada “Kesakralan”. Tentu saja pada tataran tertentu, 38
hal ini akan mengeliminir akal manusia alias pendapat manusia tidak berlaku dalam penyelesaian persoalan profane, termasuk di dalamnya urusan pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, gejala ini semakin mendapatkan momentumnya di era reformasi. Isu formalisasi syariat Islam mengemuka setelah reformasi bergulir. Isu ini menemukan momentumnya ketika UU No.2 tahun 1999 tentang otonomi daerah digulirkan yang memberi keleluasaan kepada daerah untuk mengelola kehidupannya. Sedangkan di tingkat nasional, isu syariat Islam dan pencantuman kembali piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945 selalu saja muncul dalam setiap sidang tahunan MPR. Sedangkan di tingkat local momentum ini dimanfaatkan untuk melakukan formalisasi symbol-simbol agama dengan ekspresi yang beragam. Sungguh menyandingkan agama dan Negara bukanlah perkara mudah. Dalam wacana politik dua hal tersebut selalu dalam bingkai tarik ulur. Berawal dari tarik ulur tersebut muncul teori tentang kedaulatan. Pertama, paham teokrasi yang mengatakan bahwa kedaulatan berada di tangan Tuhan. Paham ini menghendaki agar Tuhan (yang termanifestasi dalam agama dan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Membincang Fundamentalisme Agama
elit agama) bisa mengatasi semua realitas, termasuk realitas Negara. Pengelolaan sebuah Negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip keagamaan. Akar dari paham ini adalah teosentrisme yang mengatkan bahwa Tuhan adalah pusat segala sesuatu. Kedua, paham demokrasi yang berpendapat bahwa kedaulatan ada di tangan manusia (rakyat). Pengelolaan sebuah Negara harus didasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan, tanpa campur tangan agama. Agama dipandang sebagai wilayah privat yang tidak boleh ditarik ke wilayah publik. Bahkan, Negara harus dapat “menjinakkan” agama agar tidak mengintervensi wilayah publik. Akar dari pendapat ini adalah antroposentrisme yang memandang manusia adalah pusat segala sesuatu. Dalam dua teori di atas, nampak jelas adanya watak “intervensionis”, bahkan berusaha saling menafikan antara satu dengan yang lain. Ketiga, teo-demokrasi. Teori yang dikemukakan Abdul A’la al-Maududi ini sebenarnya ingin menengahi dua pendapat di atas. Secara sederhana, paham teodemokrasi adalah paham bahwa kedaulatan berada di tangan tuhan
dan manusia sekaligus. Artinya, meskipun dalam sebuah Negara yang menentukan pengelolaannya adalah rakyat, namun rakyat tidak bisa lepas. Dari sini dapat dilihat, meskipun agak “berkelok-kelok”, paham teo-demokrasi sebenarnya lebih dekat ke teokrasi daripada ke paham demokrasi, karena apabila terjadi pertentangan anatara apa yang dianggap sebagai “pendapat Tuhan” (God reason) dengan pendapat manusia (human reason) maka pendapat Tuhan yang harus dimenangkan. Hal ini menunjukan bahwa dalam paham teo-demokrasi, pendapat rakyat tetap tersubordinasikan dalam “pendapat Tuhan”4. Melihat gejala yang sedang melanda perpolitikan Indonesia, kita tidak bisa menilai dengan serampangan Indonesia sedang menggunakan fragmen apa, demokrasi, teokrasi atau teodemokrasi. Kenyataan yang berjalan Indonesia masih berada di simpang jalan. Dalam tataran konsep memang Indonesia telah menyebutkan diri sebagai Negara demokrasi yang meniscayakan kedaulatan rakyat hidup subur. Inilah impian yang menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Artinya proyek
4. Rumadi, ibid, hal. 255-256 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
39
Moh. Masuni, MSI
demokratisasi5 menjadi pekerjaan mulia yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang pada saat yang sama juga bergerak mengikis pemahaman fundamentalisme yang bermuara pada formalisasi syariat alias pembentukan Negara teokrasi. Karena jika demikian, bangsa kita akan mengalami kejadian yang sama di Eropa pada abad pertengahan, yang kala itu menjadi Negara teokrasi. Akibat sistem teokrasi yang didominasi oleh kalangan pendeta dan borjuis, rakyat jelata menjadi korban. Kalangan pendeta dan borjuis menjadi masyarakat kelas elit bebas pajak, sementara rakyat jelata yang telah hidup dalam kubangan penderitaan harus menerima pembebanan pajak yang sangat berat6. Inilah kenyataan yang harus kita sadari bersama. Bahwa di
era reformasi bola peradaban di Indonesia menggelinding ke arah teokrasi, padahal reformasi adalah era yang diniscayakan bangkitnya demokrasi7. Pengalaman buruk tentang demokrasi memang pernah dialami oleh beberapa Negara berpenduduk muslim. Sebut saja Turki8. Di negeri ini kedaulatan rakyat yang dicita-citakan dalam bentuk pemerintahan republik dengan demokrasi sebagai mainstreamnya tidak menunjukan contoh yang baik. Di bawah kekuasaan Musthafa Kemal atTaturk demokrasi bukan lagi sebagai sistem yang meniscayakan kedaulatan bagi rakyat. Demokrasi masih jauh api dari panggang dalam kaitannya dengan penggunaan hak-hak rakyat sebagaimana tercermin dalam istilah demokrasi. Di sini demokrasi lahir sebagai kekuatan despotic. Demokrasi Turki di bawah nahkoda Mustafa Kemal at-
5. Demokratisasi berarti proses yang tidak pernah berhenti sejenak pun untuk mengelola negar dengan kedaulatan rakyat menjadi landasan utamanya. Disini juga memungkinkan pembentukan alat Negara yang selama masih sejalur dengan cita-cita rakyat harus diterima dengan baik. 6. Zaki Mubarok, Membagi Ruang Agama Dan Negara, dalam Jurnal Justisia Fakultas Syariat IAIN Walisongo Semarang Tahun 2006 edisi 26 hal. 4. 7. Demokrasi adalah anak kandung sekularisme yang mana dalam hal ini demokrasi menghendaki sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tentu saja hal ini sangat jauh berbeda teokrasi yang mana sistem teokrasi menghendaki pemerintahan dijalankan oleh “Tangan Tuhan” dengan kaum agamawan sebagai manifestasi-Nya. 8. Dalam Undang-Undang Dasar Turki tahun 1924 disebutkan dengan jelas bahwa bentuk republik, nasionalis, kerakyatan, kenegaraan, sekularis dan nasionalis. Pasal 3 menyatakan bahwa kedaulatan dengan tanpa syarat ada di tangan rakyat. Sedangkan pasal 8 menyatakan bahwa semua warga Turki tanpa membedakan agama dan suku disebut sebagai bangsa Turki. Langkah berikutnya Turki mengeluarkan undang-undang penyatuan pendidikan yang mana di dalamnya diatur penghapusan pendidikan agama di sekolah. Kebijakan ini kemudian menimbulkan banyak perlawanan dari kaum muslim garis kanan hingga tahun-tahun berikutnya. Ikhwanul muslimin menjadi pioneer perlawanan tersebut yang disambut dengan represi oleh rezim Mustafa. 40
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Membincang Fundamentalisme Agama
Taturk telah memangsa rakyat. Namun demikian, demokrasi tidak lantas bisa dipersalahkan dengan serampangan. Dalam pandangan saya, kasus Turki merupakan problem ideologisasi yang ter tanam dalam diri sang nahkoda. Demokrasi Turki adalah demokrasi setengah hati yang misguided. Dan ini adalah persoalan internal yang dialami oleh pemimpin Turki tersebut. Persoalan yang juga bisa dialami pemerintahan mana saja ketika sistem control tidak berjalan sebagaimana mestinya. Berbekal pengalaman tersebut dan berbagai pengalaman di berbagai Negara lainnya yang diasumsikan sebagai Negara korban sistem demokrasi, kaum fundamentalis dengan semangat membara ingin menerapkan syariat Islam sebagai alternative sistem pemerintahan yang diharapkan mampu dan mau mengangkat harkat dan hak-hak sipil lainnya. Dalam pandangan kaum fun damentalis, syariat Islam adalah seperangkat konsep hidup yang lengkap. Termasuk di dalamnya adalah konsep pemerintahan yang di ridlai Tuhan. Hal tersebut selalu dikaitkan dengan zaman ideal yang di jalan kan pada masa rosul dan khulafaurrasyidin. Kaum fun damentalis mengidealkan zaman sekarang adalah zaman yang bisa “disulap” menjadi zaman yang La-Tahzan
berlangsung sebagaimana zaman Nabi dan para sahabat. Lagi-lagi persoalan syariat Islamlah yang menjadi pijakan argumentatifnya. Zaman ideal tersebut berjalan karena sistem yang ada meng gunakan syariat Islam.
Menimbang Formalisasi Syariat Islam di Indonesia Ketika melihat kondisi Indo nesia, yang harus disadari adalah bahwa kemajemukanlah yang menyebabkan bangsa ini menjadi anggota dalam rumah tangga dunia. Dengan optic kema jemukanlah kita harus melihat Indonesia. Di negeri ini, karena kemajemukan ruang-ruang kosong peradaban bangsa dapat isi. Satu entitas bangsa tidak bisa mengisi, maka entitas yang lain akan mengisinya. Bangsa Indonesia yang multi ini akan semakin menjadi bangsa yang mandiri dan kuat ketika kemajemukan tersebut dirawat dengan baik. Begitu pula dalam sistem pemerintahan. Perlu keseriusan khu s us ketika menanggapi niat formalisasi syariat Islam. Me l ihat kuantitas bangsa ini yang mayoritas muslimpun kita tidak dapat membenarkan bahwa Indonesia adalah Negara muslim, melainkan Negara bependuduk mayoritas muslim. Namun dorongan ideologis
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
41
Moh. Masuni, MSI
menjadikan sekelompok ma nusia memaksakan syariat Islam menjadi sumber hukum di Indonesia. Setelah melalui beberapa etape perjuangan akhirnya beberapa daerah di Indonesia berkenan meng integrasikan syariat Islam dalam segenap produk regulasi lainnya. Kita bisa melihat beberapa daerah di Indonesia telah menggunakan regulasi yang berdasarkan pada syariat agama. Jelasnya peraturan da erah syariat yang dapat kita ambilkan contohnya di Aceh. Secara umum, dalam pen capaian cita-cita formalisasi itu sering ditampilkan dengan perjuangan yang yang keras. Ini yang kemudian akrab disapa dengan radikalisme9. Melihat kenyataan ini, beberapa daerah sepertinya tengah mempersiapkan diri untuk mengikuti jejak daerahdaerah lainnya yang lebih dahulu. Mungkin inilah argumentasinya, pertama, UUD 1945 menetapkan kebebasan beragama dan menjalan kan agamanya. Ini diekspresikan dalam Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, bagi warga muslim punya hak untuk
memberlakukan syariat Islam sebagai salah satu manifestasi penerapan keberagamannya. Kedua, para founding fathers banyak berasal dari kalangan Muslim. Dan, perjuangan merebut kemerdekaan tidak lepas dari andil besar dari para pejuang muslim yang mati di medan perang. Ketiga, mayoritas penduduk negara ini adalah Muslim. Bangsa yang besar haruslah menghargai sejarahnya. Pun demikian dalam hal ini. Sejarah bangsa ini mencatat pada saat perjuangan kemerdekaan panjipanji perjuangan di bawah binaan kaum muslim melakukan pekerjaan pemerdekaan yang tidak sedikit meninggalkan pengorbanan. Kita bisa menyaksikan sejarah bagaimana kaum santri melakukan perjuangan tanpa melibatkan struktur kekuasaan yang waktu itu ada. Perjuangan mereka lebih didasarkan pada semangat survival collective yang dikomandaoi oleh patron client yang ada, sebut saja kyai. Akan tetapi, dalam pengertian apa dulu ketiga alasan yang sering diungkapkan kaum funda mentalis ini ditempatkan? Ketiga
9. Untuk menjelaskan radikalisme perlu melihatnya dari berbagai sumber. Karena kata ini bisa dimunculkan dari berbagai golongan untuk mengidentifikasi golongan lain lengkap dengan kepentingan yang ada. Berkaitan dengan hal tersebut, radikalisme disini diartikan sebagai gerakan tanpa kompromi yang membenarkan dirinya sendii sekaligus menyalahkan pihak lain yang tidak sejalan dengan kaum radikal. 42
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Membincang Fundamentalisme Agama
alasan tersebut tidak bisa mewakili kemajemukan rakyat Indonesia yang pada saat yang sama melakukan perjuangan kemer dekaan. Ini yang harus disadari bahwa perjuangan bukan saja dilakukan kaum muslim hingga bangsa ini menjadi besar dan diakui dalam percaturan dunia internasional. “Salah satu ciri menonjol negeri kita ialah keanekaragaman, baik secara fisik maupun sosialbudaya….demikian juga secara keagamaan. Sekalipun Islam merupakan agama terbesar di Indonesia, namun ia mengenal perbedaan intensitas pemahaman dan pelaksanaan yang besar dari daerah ke daerah. Selain Islam, empat di antara agama-agama besar di dunia diwakili di negeri kita: Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha 10“ Menjelang kemerdekaan tahun 1945, kemajemukan agamaagama yang ada dan pemahaman akan nilai-nilai luhur agama me lahirkan komitmen para pendiri bangsa (the Founding Fathers) untuk menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk
agamanya dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu, meskipun dalam perjalanannya Negara dan masyarakat tidak selalu mampu menegakkannya dalam kebijakan dan kenyataan. Disepakatinya prinsip kebe basan beragama dalam UUD 1945 dan Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai ideologi Negara memperlihatkan dan sekaligus menutupi kenyataan sebenarnya tentang bagaimana kehidupan beragama di negeri kita (reveals and conceals the truth). Ideologi dan Konstitusi Indonesia ini di satu sisi menunjukkan adanya jaminan konstitusi, tapi di sisi lain dapat menutupi kenyataan masih tegangnya hubungan antara komunitas agama dan antara pemerintah dan kelompokkelompok masyarakat hingga saat ini. K e n ya t a a n ke m a j e m u ka n dalam sejarah nusantara telah ada sejak datangnya ke daerah-daerah berkepercayaan animis para penganut Hindu, lalu Buddha, dan belakangannya baru Islam, Protestan, Katolik dan sebagainya. Proses Indianisasi/Hinduisasi, lalu
10. “Dalam kenyataan, tidak ada suatu masyarakat yang benar-benar tunggal, uniter (unitary), tanpa ada unsur-unsur perbedaan didalamnya… persatuan dapat terjadi dan justru kebanyakan terjadi dalam keadaan berbeda-beda (unity in diversity, E Pluribus Unum, Bhinneka Tungggal Ika. La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
43
Moh. Masuni, MSI
Islamisasi, dan Kristenisasi pun berlangsung tidak merata dan perlahan-lahan11.Masalah yang mengganjal hubungan MuslimKristen di Indonesia khususnya adalah kenyataan dan persepsi keterkaitan antara Kristenisasi dan Kolonialisme (Portugis, Inggris, dan Belanda). Kebijakan umum pemerintah kolonial Belanda, khususnya selama dasawarsa per tama abad ke-20, ialah mendukung pertobatan kepada agama Kristen dengan membatasi pengaruh agama Islam, seperti terjadi di Flores, Sumba, Timor, Toraja, dan Papua12. Potret sejarah tersebut dalam konteks demoktratisasi tidak perlu dipandang sebagai dendam sejarah yang harus diulang hanya sekedar untuk menunjukan siapa yang benar dan menang. Demokratisasi mensyaratkan kemenangan dan kebenaran didasarkan pada ke butuhan kedaulatan rakyat untuk bisa hidup berdampingan dan saling menghargai perbedaan. Sejarah hitam sudah seharusnya menjadi pijakan untuk melakukan rekonsiliasi atas dasar semangat hidup bersama.
Benturan Demokrasi dan Teokrasi Hingga akhirnya bangsa ini menggunakan sistem demokrasi, persoalan formalisasi syariat Islam tidak berhenti begitu saja. Namun tetap berjalan meski dalam pojok-pojok peradaban Indonesia. Perdebatan formalisasi syariat kembali menghangat ketika reformasi bergulir. Harus diakui bahwa sekularisasi yang melahirkan demokkrasi juga menjadi pemicu kelahiran semangat fundamentalisme untuk menjadikan syariat Islam sebagai kontestan dalam perebutan sistem kekuasaan di Indonesia. Lagilagi demokrasi dianggap gagal merealisasikan cita-cita kedaulatan yang tela menjadi impian mahal. Dalam perkembangannya, fundamentalisme yang ada di Indonesia menjelma dalam berbagai gerakan. Sebut saja Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI) dan masih banyak gerakan-gerakan Islam lainnya yang mempunyai kecenderungankecenderungan yang sama, Islamisasi. Kehadiran lembaga-
11. Sebelum agama-agama dunia, nusantara menganut agama-agama tribal atau etnik yang bersifat lokal, percaya terhadap ruh (spirit belief) seperti Dayak, Nias, Bugis-Makassar, dan hampir semua suku lain. 12. Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942, jilid 2, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2006), hal. 149. 44
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Membincang Fundamentalisme Agama
lembaga ini menjadikan gerakan Islamisasi lebih terkonstruk dengan rapi. HTI misalnya, dalam garis organisasinya menyatakan sebagai organisasi politik, bukan jama’ah pengajian. Maka tidak mengherankan jika langkah-langkah yang di ambil n ya selalu bermuara pada perebutan kekuasaan atas sistem kekuasaan yang sedang berlangsung. Ditambah dengan distribusi kader dalam berbagai lembaga kenegaraan yang ada, HTI mengupayakan Negara Islam berskala internasional. Artinya, bumi adalah kesatuan Negara Islam. Di Indonesia hanya HTI yang masih eksis memperjuangkan Negara pan Islam. Sebuah impian yang harus dihargai dengan tawaran rasionalisasi yang panjang. Sejarah manusia adalah per tentangan kelas. Apa yang dikatakan Karl Marx dalam sejarah kemanusiaan akan selalu menemukan konteksnya masingmasing. Dari konteks tersebut akan melahirkan pengalaman sejarah yang akan menjadi pertimbangan dalam langkah sejarah manusia
berikutnya. Dan inilah sejarah tentang pertentangan kelas di Mesir yang didasarkan pada perselisihan Islamisme radikal dan kebebasan beragama. Misalnya, di Mesir meskipun tidak ada undang-undang khusus bagi kaum minoritas, golongan minoritas agama dan etnik tetap hidup, termasuk Kristen, Bahai, Yahudi, Syiah, Nubia, Yunani, dan kaum Badui Arab. Pemeluk Kristen Ortodoks Koptik, berjumlah sekitar 10 persen dari sekitar 60 juta penduduk Mesir, yang hadir lebih dahulu dari Islam, secara umum dapat mempraktikan keyakinan mereka, menjalani hidup, bekerja, dan menikmati kemakmuran. Namun, sejak awal 1970-an, kebangkitan Islam politik, Ikhwanul Mus limin13, menimbulkan ke tegangan - ketegangan baru dan memperburuk hubungan mayoritas-minoritas di negeri itu14. Kaum Islam politik menuntut non-Muslim sebagai dzimmi, Klaim-klaim yang dikeluarkan Ikhwanul Muslimin seperti dzimmi tidak hanya berimplikasi pada
13. Ikhwanul muslim merupakan referensi dari gerakan Islamisme di belahan dunia, termasuk Indonesia, baik secara kultural maupun struktural. 14. Indonesia mengalaminya. Yaitu pada era Soeharto yang mengambil polarisasi agama resmi dan tidak resmi. Ini mengakibatkan “agama kecil” maupun kepercayaan-kepercayaan yang ada tidak mendapatkan perlakuan sebagaimana yang diperoleh “agama besar”. Baru pada era Abdurrahman Wahid situasi demikian dapat dicairkan dengan pengakuan Konghucu sebagai salah satu agama resmi Indonesia. Begitu pula dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada mendapatkan ruang gerak yang lebih luas. La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
45
Moh. Masuni, MSI
ranah teologi, dengan klaim tersebutlah hak-hak rakyat secara politis tidak bisa diberikan. Karena dalam konteks syariat mereka yang termasuk dalam golongan dzimmi adalah kelompok yang dilindungi, tapi bukan warga Negara penuh15. Inilah perbedaan mendasar fundamentalisme dan pluralisme yang dapat berjalan dengan demokrasi. Ketertutupan fundamentalisme dalam menerima kelompok lain menyebabkan intoleransi yang berkepanjangan dan beranak pinak di pelataran peradaban kita. Seolah bahwa dunia berwarna seragam.
yang tepat untuk memberikan “injeksi positif” yang dibutuhkan pada setiap perubahan zaman.
Privatisasi, bukan Formalisasi Syariat
Hal tersebut dimaksudkan untuk menyikapi ideologisasi yang mapan oleh sebuah rezim tertentu yang karenanya menjadikan visi sekuler-demokrasi terhapuskan. Sehingga tiap kali ada persoalan yang dianggap kurang memenuhi standar bagi kedaulatan rakyat masih memungkinkan terjadinya dialog maupun penyikapan lain yang diarahkan pada pemenuhan harkat rakyat. Dengan demikian visi demokrasi adalah proses yang terus menerus dilakukan untuk
Sebenarnya usulan sekularisme telah lama dicanangkan. Sekitar tahun 1817-1906 George Jacob Holyoake menginspirasikan untuk memisahkan ruang bagi agama dan Negara. Yang duniawi digarap oleh Negara dan yang bersifat spiritual digarap oleh agama. Dengan spirit tersebut, proyeks seulerisasi menjadi pekerjaan yang tidak pernah selesai. Ia selalu berproses mencari tiap titik persinggahan
Dan pengertian tentang se kularisasi jika menurut Cak Nur adalah proses yang selalu terjadi. Analoginya adalah sebagaimana rasionalisasi dan rasionalisme. Rasionalisasi berarti proses yang selalu berjalan, beda halnya dengan rasionalisme. Yang ter akhir menunjukan ideology yang telah mapan dan tertutup. Oleh karenanya sekularisasi berarti proses yang tidak berhenti untuk menafsirkan, memperbaharui atas segala proses penyelenggaran hubungan agama dan Negara16.
15. Dalam kerangka kerja lebih lanjut, klaim-klaim kafir dan dzimmi yang merupakan klaim teologi menjadi amunisi politis yang mana jika ingin mendapatkan hak-hak sebagaimana layaknya muslim harus secara sah menjadi muslim. Tentu saja ini tidak sejalan dengan semangat kebebasan beragama. 16.Banyak perdebatan tentang sekularisme. Namun masih dalam koridor pemisahan antara agama dan Negara. Di sini mendasarkan pengertian sekuler pada Cak Nur. 46
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Membincang Fundamentalisme Agama
menjalankan roda pemerintahan yang bertumpu pada gerak simultan demi hak-hak sipil. Beda halnya dengan Fun damentalisme. Ia memberikan pengertian sebagai “sesuatu” yang telah mapan dan tidak akan berproses meskipun locus dan tempus telah sedemikian bergeser dengan berbagai variable yang mengisinya. Oleh karenanya, ada beberapa alasan yang menjadikan fundamentalisme di Indonesia pada akhirnya akan mengalami kemandegan. 1. Fundamentalisme tidak dapat memenuhi harapan dalam menciptakan hubunganhu bungan yang harmonis antarpemeluk agama maupun antarfaksi-faksi paham dalam agama tertentu. 2. Dalam banyak kasus, fun damentalisme justru mening katkan polarisasi. manusia seharusnya mencari sintesis dan equilibrium baru yang seimbang, bukannya menciptakan konflik-konflik yang mengganggu hubungan antar sesama. 3. Metode kaum fundamentalis yang eksklusif, doktriner, dan menekankan fanatisme pada
dasarnya tidak membantu manusia untuk hidup tenteram dalam masyarakat yang pluralistic. 4. Sikap kaum fundamentalis yang selalu mengklaim “sesat” kelompok diluarnya, akan mendorong manusia menjadi anti intelektualisme. Atas dasar itu, perlu segera kita sadari bahwa “agama adalah tafsir”, karenanya tak seorangpun berhak menganggap tafsirnya paling benar. Kebenaran hanya milik Tuhan, sedang manusia hanyalah mencari sebagian dari “Kebenaran Tuhan” tersebut17. Di sinilah kegiatan menafsirkan kehendak Tuhan (divine instruction) lebih diutamakan daripada harus membungkus dan “paketisasi” syariat. Tuhan dengan alam semesta sebagai salah satu meanifestasinya hendak memerintahkan dan sekaligus menguji kepekaan manusia dalam mengelola karuniakarunia-Nya. Ini didasarkan pada konsepsi Teologi Politis (Politische Theologi). Sebuah konsepsi yang berarti pertanggung jawaban secara rasional kritis sikap keberagamaan yang jika mau sunggguh-sungguh bertanggungjawab pada zaman modern harus bersifat politis. Artinya, jika konsep ini diikuti
17. Rumadi, ibid, hal. 68 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
47
Moh. Masuni, MSI
disitu teologi tidak lagi merupakan kegiatan intelektual semata untuk “Berbicara tentang Tuhan” (TheosLogos), melainkan lebih merupakan panggilan demi memperjuangkan visi kehidupan bersama18. Alam dan segala sesuatu yang berada di atasnya yang serba majemuk adalah anugerah Tuhan yang harus dijaga dan dirawat dengan baik. Formalisasi syariat Islam di Aceh yang salah satunya termanifestasi dalam hukum cambuk sebenarnya memberikan penjelasan kepada kita bahwa syariat lebih diartikulasikan pada peran-peran simbolik. Yang menjadi barometer dalam tanah rencong ini adalah doktrindoktrin agama sekunder. Dengan kalimat lain, pemaknaan syariat sebenarnya tidak menyentuh esensi, melainkan hanya euphoria yang sifatnya simbolik. Agama tidak lagi dipahami sebagai esensi, substansi, dan komitmen tetapi arab centric. Fenomena yang tidak kalah mengerikan adalah dibentuknya “manusia-manusia pengawal syariat” yang menjelma dalam polisi syariat. Berkaitan dengan ini, formalisasi syariat akan bermuara pada ideologosisasi syariat yang mana dalam pelaksanaan syariat
Islam akan sangat tergantung pada kondisi para polisi syariat tersebut. Sangat mungkin terjadi tindakan represif dan anarkisme maupun kesewenang-wenangan lainnya. Karena lembaga pengawal syariat ini justru tidak mendapat pengawasan dari pihak lain. Dan akhirnya, adagium the power tend to corrupt akan semakin banyak dijumpai di daerah formal syariat. Kekuatan, apalagi kekuatan yang telah dilegalkan, akan bertendensi pada perusakan manakala tidak mendapat control dari pihak lain. Inilah gejala yang selalu ditawarkan kaum fundamentalis dalam formalisasi syariat Islam. Selalu melarikan proses penyelenggaraan hukum yang didasarkan pada tradisitradisi Arab. Dan jika syariat diaplikasikan dalam sistem hukum di Indonesia, bukan tak mungkin Indonesia akan mengulangi masa kelabu dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang menjadikan syariat sebagai komoditas politik. Kita bisa melihat bagaimana Perda Aceh No. 3/2003 tentang hukum cambuk bagi penjudi, pemabuk, dan pezina dalam tataran praksis hanya diberlakukan pada kaum mustad’afin, termasuk di dalamnya golongan ekonomi
18. Trisno Sutanto, Ateis Siapa Takut?, Dalam Jurnal Justisia Edisi Ke-26 Terbitan LPM Justisia Fakultas Syariat IAIN Walisongo, hal. 73. 48
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Membincang Fundamentalisme Agama
lemah. Sedangkan bagi mereka yang berada dalam kondisi yang mapan dan pastinya dekat dengan kekuasaan akan bebas melenggang ketika melanggar regulasi syariat.
Pembaharuan Syariat Islam Adalah Max Weber, seorang sosiolog yang mengungkapkan bahwa agama, dalam hal ini Islam dan syariatnya, adalah media yang paling ampuh dalam melakukan tranformasi social. Akan tetapi kenyataan yang terjadi agama terlalu sering berdiam diri melihat kenyataan yang rusak. Disinilah agama sangat tergantung dalam pengelolaannya. Melihat kenyataan-kenyataan diatas, Aceh sebagai contoh daerah-daerah lain sebagai safe area, pemberlakuan syariat sangat memungkinkan terjadinya penistaan terhadap agama itu sendiri. Charles Kurzman dalam buku Liberal Islam; A Source Book memetakan syariat liberal dalam tiga visi. 1. Liberal syariat dalam pengertian bahwa syariat dalam teks tertulis bersifat liberal jika dipahami dengan benar. Sikap liberal itu bukan semata-mata karena pilihan manusia, tetapi perintah tuhan yang termaktub dalam al-Qur’an. 2. Silent syariat, dalam pe ngertian bahwa tidak semua La-Tahzan
persoalan hidup ter tampung dalam syariat. Karena dalam kenyataannya, syariat tidak menyediakan jawaban atau konsep tentang masalah tertentu, sehingga penye lesaiannya diserahkan kepada manusia atau meng gunakan mekanisme ijtihad. 3. Interpreted syariat, dalam pengertian bahwa praktik syariat dipahami dan dijelaskan oleh penafsiran manusia. Interpretasi manusia terhadap syariat sebagai model kreativitas intelektual terhadap doktrin agama yang memang membutuhkan penafsiran karena tidak tercakupnya pro blem kemanusiaan. Menarik sekali apa yang pernah diperkenalkan Fazlur Rahman, yaitu teori Double Movement dalam menafsirkan teks agama (syariat). Teori ini berisi, pertama dari yang khusus ke (partikular) menuju yang umum (general). Artinya sebelum penafsir (mufassir) mengambil kesimpulan hukum, ia harus mengetahui terlebih dahulu arti yang dikehendaki secara tekstual dalam suatu ayat dengan mengetahui terlebih dahulu arti yang dikehendaki secara tekstual dalam suatu ayat dengan meneliti alasan-alasan hukumnya (ratio legis-‘illat). Baik secara eksplisit
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
49
Moh. Masuni, MSI
maupun implicit. Kedua, dari umum ke yang khusus. Artinya pesan-pesa atau prinsip al-Qur’an yang ditemukan lewat gerakan pertama itu diproyeksikan, diformulasikan dan diterjemahkan ke dalam konteks kekinian untuk mengukur sekaligus menjawab persoalan kontemporer. Syariat Islam yang selalu didengungkan oleh kawankawan fundamentalis sebenarnya adalah tawaran atas keadaan yang kacau. Namun berangkat dari kondisi sosio-politik Indonesia, sekularisasi menjadi pilihan yang patut dipertimbangkan. Dalam pandangan saya, sekulerisasi dapat dipercaya menyelamatkan tata negara di satu sisi dan agama di sisi yang lain. Dari sekularisasi yang melahir kan demokrasi dan humanismelah hak-hak sipil termasuk dalam hal penyelenggaraan kegiatan keagamaan dapat berjalan se bagai mana mestinya. Dengan kata lain, kesekuleran (dalam arti nalar keduniawian) tersebut memeberi bingkai kepada komitmen-komitmen agama untuk mengimplementasikan panggilan dan misi agamanya19.
Sekulerisasi akhirnya menjadi alternative dalam mendudukan masalah Negara dalam koridor kemanusiaan, tidak mempunyai hubungan formal dengan Negara. Negara yang baik dan mengedepankan keadilan social serta kesejahteraan rakyatnya secara otomatis telah melaksanakan perintah agamanya20. Dengan demikian, sekulerisasi tidaklah menghendaki pengusiran agama. Dalam sekulerisasi masih memungkinkan sekali proses take and give yang di dasarkan pada temporalitas dan lokalitas. Agama masih mampu memberikan inspirasi pada pribadi-pribadi pelaksana kenengaraan tanpa menjadikan agama sebagai barang absolute dalam mengatur kinerja pemerintahan. Karena itu pula, letak pokok masalahnya adalah, bagaimana memahami syariat yang tertuang dalam al-Qur’an. Itu sebabnya, konteksnya bukan formalisasi syariat Islam, melainkan me mahami Islam dalam visi liberal sehingga syariat Islam tidak bertentangan dengan demokrasi dan pluralisme di dunia modern.
19. Pengantar Th. Sumartana dalam Robert Audi, Agama Dan Nalar Sekuler Dalam Masyarakat Liberal, (Yogyakarta; Universitas Islam Indonesia), hal. Xv. 20. Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Yogyakarta; Ar-Ruz,2004, hal. 199-200. 50
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Membincang Fundamentalisme Agama
Yang dimaksudkan dengan syariat liberal adalah menafsirkan syariat Islam secara substansial dalam konteks kekinian. Perlu dicatat, bahwa kata “liberal” yang dilekatkan pada kata “syariat” sama sekali penggagahan, apalagi konspirasi manipulatif terhadap syariat Islam itu sendiri. Melainkan, meminjam istilah ulil abshar, menafsirkan syariat Islam secara non-literal, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peadaban manusia yang sedang dan terus berubah. Misalnya hukum potong tangan yang menjadi salah satu bentuk hukuman dalam syariat dalam Tafsiran Muhammad al-Jabiri adalah sebatas kebutuhan temporal yang pada saat berikutnya akan mengalami perubahan bentuk hukuman namun masih sejalan dengan esesnsi hukuman tersebut, yaitu memberi efek jera. Dalam pandangan al-Jabiri penerapan hukuman tangan lebih disebabkan pada persoalan, pertama, hukum tangan sudah ada dalam dunia arab. Kedua, dalam tradisi masyarakat Badui dikenal tradisi nomaden sehingga sangat sulit bagi pelaku pencurian untuk dipenjara. Dan dalam konteks hokum Indonesia sebagaiama dilator belakangi kondisi sosiopolitis yang ada, hukuman potong tangan tidak memenuhi standar hokum. Pengertian potong tangan yang sesuai dengan kondisi La-Tahzan
Indonesia disesuaikan dengan penafsiran hokum yang sejalan dengan kebutuhan hokum rakyat Indonesia sendiri. Sedangkan pengertian potong tangan dalam arti leksikalnya cukuplah menjadi konsumsi kegiatan intelektual yang di konsumsi untuk kepentingan pribadi saja. Bagaimanapun juga Islam adalah objek. Artinya Islam adalah entitas yang hidup dalam realitas social yang selalu berubah. Islam harus ditempatkan sebagai “sesuatu yang mengalir”. Yang dengan aliran tersebut dapat mengobati dahaga ummat manusia. Untuk itu, mengembalikan agama ke dalam ruang privat adalah pilihan bijak dalam menghormati agama itu sendiri. Menurut Rumadi, ruang publik adalah ruang dimana setiap orang tanpa melihat agama, suku,ras dan golongan dapat melakukan kontestasi secara bebas dan fair. Kata kunci ruang publik adalah kesamaan dan kesetaraan pola relasi masing-masing pihak yang terlibat dalam konteks tersebut. Dengan demikian, dalam konteks politik ruang publik dapat dipahami sebagai ruang bagi warga Negara, yakni individu bukan sebagai anggota ras, agama atau etnik, akan tetapi sebagai anggota politis atau rakyat (demos).
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
51
Moh. Masuni, MSI
Ruang privat adalah ruang dimana seseorang bisa hidup dalam dirinya sendiri tanpa campur tangan pihak lain. Inilah wilayah independent dimana orang bisa secara bebas melakukan pilihanpilihan (atau juga tidak memilih) atas segala sesuatu. Dalam ruang tersebut memungkinkan individu mengembangkan dan menyempurnakan dirinya di luar campur tangan institusi luar. Sebagai akibat pemisahan agama dan Negara, agama menemukan locusnya di ruang privat21. Jika menggunakan teori ini, betapa terhormatnya agama dari pada menyeretnya ke dalam ranah yang penuh jebakanjebakan kepentingan yang ber nama formalisasi syariat. Dalam kerangka itu, ada baiknya kita mendengar pendapat Charles Kimball22, guru besar studi agama di Universitas Wake Forest, AS. Dalam pandangannya, ada lima sebab mengapa agama menjadi bencana. 1. Bila agama mengklaim ke benaran secara mutlak dan tidak menyisakan sedikitpun ruang kebenaran kepada kelompok agama lain. Agama kemudian berubah menjadi Tuhan yang
selalu diagung-agungkan dan disembah. Pemeluk agama tidak lagi menyembah tuhan tapi menyembah agama itu sendiri. Hal ini merupakan problem serius setiap pemeluk agama, karena klaim kebenaran biasanya menjadi fondasi yang mendasari seluruh struktur agama, terutama bagi agama missi seperti Islam, Kristen, dan Yahudi. 2. Ketaatan buta pada seorang pemimpin agama yang di anggap mempunyai oto ritas. Hal demikian bukan saja terjadi di kalangan masyarakat tradisional yang begitu taat pada kharisma seorang pemimpin, tapi juga dalam masyarakat modern yang mengalami kegersangan spiritual. 3. Pemeluk agama yang selalu merindukan zaman ideal yang pernah ada di masa lalu dan bertekad merealisasikan di zaman sekarang. Cita-cita ini biasanya terkait dengan asumsi dasar yang ada dalam semua tradisi agama. Ada sesuatu yangbenar-benar salah (di sini dan kini); kita hidup di zaman yang tidak ideal.
21. Rumadi, Sekularisme; Dimusuhi dan Dipeluk, dalam Jurnal Justisia Fakultas Syariat IAIN Walisongo Semarang edisi ke-29 tahun 2006, hal. 71. 22. Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, (bandung; mizan), 2003. 52
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
É>$|¡Ïtø:$# ßìƒÎ| ©!$# χÎ*sù Membincang Fundamentalisme Agama
4. Apabila agama membiarkan terjadinya tujuan dengan menghalalkan segala cara. Atas nama kesucian agamanya, seorang pemeluk agama tidak segan-segan melakukan sesuatu yang secara hakiki bertentangan dengan missi agama itu sendiri. 5. Apabila perang suci atas nama agama telah dipekikkan, tidak sulit mencari bukti tragedy agama sepanjang sejarah yang mengatasnama perang suci. Tidak terhitung lagi perintiwa peperangan, baik antar agama maupun konflik intern agama, yang mengggunakan semangat “perang suci” sebagai spiritnya.
9x.sŒ ⎯ÏiΒ /ä3≈oΨø)n=yz $¯ΡÎ) â¨$¨Ζ9$# $pκš‰r'¯≈tƒ
Ÿ≅Í←!$t7s%uρ $\/θãèä© öΝä3≈oΨù=yèy_uρ 4©s\Ρé&uρ
«!$# y‰ΨÏã ö/ä3tΒtò2r& ¨βÎ) 4 (#þθèùu‘$yètGÏ9 ×Î7yz; îΛ⎧Î=tã ©!$# ¨βÎ) 4 öΝä39s)ø?&r
Artinya: Hai manusia, Se sungguhnya Kami menciptakan kamu dari߉ô©seorang ”9$# t⎦¨⎫t6¨? laki-laki ‰s% ( È⎦⎪Ïe$!$#dan ’Îû oν#tseorang ø.Î) ω perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku ÏNθäó≈©Ü9$$Î/ öàõ3tƒ ⎯yϑsù 4 Äc©xöø9$# z⎯ÏΒ supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling |¡ôϑtGó™kamu $# ω) s sùdisisi «!$$Î/ -∅ ãƒuρ mulia y7 diantara AllahÏΒ÷σialah orang yang paling taqwa diantara ª!$#uρ 3 $oSesungguhnya λm; tΠ$|ÁÏΡ$# Ÿω 4’Allah s+øOâθø9$#Maha Íοuρóãèø9me $$Î/ kamu. ngetahui lagi Maha Mengenal.
îΛ⎧Î=tæ ìì‹Ïÿxœ
Membingkai Syariat dalam Demokrasi Dalil-dalil Al-Quran juga menunjukkan bahwa kema jemukan atau pluralitas ummat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Simaklah salah satu ayat Tuhan dalam al-Qur’an surat al-hujurat ayat 13 yang berbunyi sebagai berikut;
Jika dalam Kitab Suci disebutkan bahwa manusia diciptakan ber bangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai maka pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu23. Dengan segenap kemampuan
23. Gamal (Jamal) Al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran, terj. Al-Ta’addudiyah fi alMujatama al-Islamy, Taufik Damas (Bekasi Timur: Penerbit Menara, 2006), hal. 14-21. La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
53
Moh. Masuni, MSI
yang ada segala bentuk kreatifitas didasarkan pada kecenderungankecenderungan umum yang tetap dalam koridor penjagaan stabilitas kemajemukan tersebut. Kebebasan berekspresi dalam demokrasi liberal tidak melarang warga negaranya menggunakan bahasa keagamaan dalam wilayah publik (publik sphere). Dengan syarat kebebasan berbicara dengan suara rakyat (civic choice), dalam diskusi-diskusi publik tentang hukum dan kebijakan publik. Dalam pandangan Robert Audi keijakan publik dibagi menjadi dua kategori sifat; pertama, kebiasaankebiasaan politik yang seksama. Diantaranya adalah hakhak dan kualitas masyarakat yang cenderung terus memberi kontribusi pada masyarakat dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Kedua, kategori kejujuran, loyalitas, dan ukuran kebaikan terhadap sesama warga Negara. Ini yang disebut sifat nilai kemanusiaan (civically essential virtues) cakupannya lebih luas dibandingkan dengan cakupan kekuasaan. Dan Islam sebagai syariatnya merupakan salah satu anggota rumah tangga Indonesia. Nilai universal Islam yang sarat dengan kebajikan menjadikan Islam sebagai salah satu entitas yang diharapkan dapat menjaga 54
kehormatannya di satu sisi dan kehormatan bangsanya di sisi lain. Begitu pula dengan kebajikan umum yang merupakan nilainilai universal dari agama-agama merupakan titik temu etika agama dan politik yang mana ketika semua kekuatan komponen agama dan politik dapat menunjukan tanggung jawab yang sama dan komitmen bersama dalam konteks kemajemukan. Sekali orang menetapkan arti “masyarakat Islami” adalah masyarakat yang adil maka ia tidak akan melupakan syariat dan konsepsi-konsepsi lain tentang keadilan. Konsep-konsep murni Islami tetap harus dihargai dan hidup namun konsepsi (yang dianggap) politik sudah saatnya dianulir mengingat perkembangan zaman yang menuntut penyikapan yang relevan dengan kondisi disini dan kini. Pemaksaan yang dilakukan orang atau Negara terhadap orang atau kelompok lain untuk beragama dengan cara tertentu yang tidak sesuai dengan pikiran dan nuraninya sendiri dapat menimbulkan ketidaklanggengan. Begitupula, larangan terhadap orang untuk pindah agama, keluar dari satu agama dan masuk kepada agama lain, justru akan berakibat buruk terhadap orang tersebut dan masyarakat pada umumnya. Ayat Al-Quran yang paling jelas
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Ÿ≅Í←!$t7s%uρ $\/θãèä© öΝä3≈oΨù=yèy_uρ 4©s\Ρé&uρ
«!$# y‰ΨÏã ö/ä3tΒtò2r& ¨βÎ) 4 (#þθèùu‘$yètGÏ9
menyatakan hal ini adalah Ayat al×Î7yz; îΛ⎧Î=tã ©!$# ¨βÎ) 4 öΝä39s)ø?r& Qur’an pada surat al-baqarah ayat 256 yang berbunyi;
߉ô©”9$# t⎦¨⎫t6¨? ‰s% ( È⎦⎪Ïe$!$# ’Îû oν#tø.Î) ω
ÏNθäó≈©Ü9$$Î/ öàõ3tƒ ⎯yϑsù 4 Äc©xöø9$# z⎯ÏΒ y7|¡ôϑtGó™$# ωs)sù «!$$Î/ -∅ÏΒ÷σãƒuρ
ª!$#uρ 3 $oλm; tΠ$|ÁÏΡ$# Ÿω 4’s+øOâθø9$# Íοuρóãèø9$$Î/
îΛ⎧Î=tæ ìì‹Ïÿxœ
Artinya; Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Membincang Fundamentalisme Agama
Adalah Abdullah Yusuf Ali, seorang pakar tafsir yang menafsirkan bahwa pemaksaan (compulsion) tidak sesuai dengan semangat agama24. Ada beberapa hal yang menjadikan pemaksaan tidak sesuai dengan agama. Diantaranya adalah 1. Agama berdasarkan pada keyakinan dan kehendak (faith and will) dan agama tidak akan ada gunanya (meaningless) apabila dijalankan dengan kekuatan paksa (force). 2. Kebenaran dan Kesalahan telah begitu jelas ditunjukkan melalui kasih sayang Tuhan sehingga tidak perlu ada keraguan 3. Perlindungan Tuhan ber langsung terus menerus dan Rencana-Nya adalah mengajak manusia untuk menghindari dari Kegelapan kepada 25 Cahaya .
24. Seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain dan Kami tidak akan menyiksa sampai Kami mengutus seorang rasul” (Q. 17:15). Jalan hidup untuk beriman dan tidak beriman ditentukan manusia sendiri. Jelas sekali firman Allah berikut: “Kebenaran datang dari Tuhan kalian, siapa yang ingin beriman, berimanlah, dan siapa yang ingin ingkar, ingkarlah.” (Q.18:29). Tidak hanya itu. Nabi sekalipun tidak memiliki otoritas untuk menentukan keimanan seseorang. “Kamu tidak punya wewenang memberi petunjuk kepada mereka..” (Q., 2:272) Nabi diutus untuk mengajar dan membimbing manusia. Dia tidak diutus untuk memaksakan kehendak, atau untuk menghukum mereka, kecuali sejauh ada wewenang dan alasan yang membenarkan dalam konteks interaksi sosial. Hukuman adalah hak prerogatif Allah saja (Q..88:21-23). Tuhan sekalipun tidak menghendaki semua manusia beriman kepada-Nya. “Jika Tuhanmu menghendaki, maka berimanlah semua orang yang ada di muka bumi ini. Apakah engkau ingin memaksa manusia untuk beriman semuanya?” (Q, 10:99). Untuk lebih lengkapnya baca Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Quran, Q.88:21-23, catatan no.6107, hal.1642. 25. Q.2:256. Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Quran, revised edition (Mayland: Amana Publikations, 1989), penjelasan no.300, hal. 106.
La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
55
Moh. Masuni, MSI
Legitimasi teologis terhadap metode yang baik, sering dipinggir kan dengan ayat-ayat Al-Quran lain seperti ayat ketidakrelaan kaum Yahudi dan Nasrani terhadap kaum Muslim hingga menganut agamaagama mereka, bahwa “Agama disisi Allah adalah Islam”, ayat jihad fi sabilillah terhadap syirik dan kekufuran dan semacamnya. Ayat-ayat kelompok ini diambil secara parsial dan tekstual, tanpa memperhatikan sebab-sebab dan konteks ayat-ayat tersebut diturunkan serta ayat-ayat lain yang dapat memberi pemahaman berbeda yang lebih terbuka26. Memandang Islam dalam pergaulannya dengan pluralitas
sebagai sebuah anugerah dari Allah SWT merupakan pondasi untuk melakukan serangkain sikap dan tindakan yang didasarkan pada perawatan dan perbaikan atas anugerah tersebut. Dan dengan demokratisasi perawatan itu akan berjalan dengan baik. Karena ia selalu melakukan “proses perawatan” dan “perbaikan” yang tidak pernah berhenti. Abu Sulaiman, The Islamic Theory of International Relations. Dalam Mohammad Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 1996),
26. Penjelasan lebih lanjut bagaimana kepentingan politik dan militer mempengaruhi penafsiran para ahli fiqh Islam pada abad pertengahan, lihat Abu Sulaiman, The Islamic Theory of International Relations. Dalam Mohammad Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), catatan kaki no.190, hal.140. 56
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Membincang Fundamentalisme Agama
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Quran, revised edition (Mayland: Amana Publikations, 1989)
Rumadi, Sekularisme; Dimusuhi dan Dipeluk, dalam Jurnal Justisia Fakultas Syariat IAIN Walisongo Semarang edisi ke-29 tahun 2006
Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, (Bandung; Mizan, 2003)
Riffat Hassan, Mempersoalkan Istilah Fundamentalisme, dalam Jurnal Ulumul Qur’an edisi No.3 volume IV tahun 1993
Gamal (Jamal) Al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran, terj. Al-Ta’addudiyah fi al-Mujatama al-Islamy, Taufik Damas (Bekasi Timur: Penerbit Menara, 2006 Jamhari dan Jajang Jahroni (eds), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004). Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942, jilid 2, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2006) Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Yogyakarta; Ar-Ruz, 2004)
Th. Sumartana dalam Robert Audi, Agama Dan Nalar Sekuler Dalam Masyarakat Liberal, (Yogyakarta; Universitas Islam Indonesia) Trisno Sutanto, Ateis Siapa Takut?, Dalam Jurnal Justisia Edisi Ke-26 Terbitan LPM Justisia Fakultas Syariat IAIN Walisongo. Zaki Mubarok, Membagi Ruang Agama Dan Negara, dalam Jurnal Justisia Fakultas Syariat IAIN Walisongo Semarang Tahun 2006.
Rumadi, Renungan Santri; Dari Jihad Hingga Kritik Wacana Agama , (Jakarta: Erlangga, 2002)
La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
57
Kode Etik dan Profesionalitas Guru dalam Sistem Pendidikan Rekonstruksi Konsep Pendidikan Menurut Al-Mawardi (364-450 H) Oleh: Chaerul Amin, MSI Dosen STAIBN Tegal
I. PENDAHULUAN
Y
ang dimaksud dengan Kode Etik guru dalam sistem pendidikan modern adalah sebuah tata nilai yang berbasis pada nilai-nilai spiritual dan nilainilai lokal yang musti dipegang oleh guru (sebagi pendidik) di era modern, bukan sistem pendidikan dalam arti metodologi. Tata nilai ini bagian yang tak bisa ditinggalkan dalam proses belajar dan mengajar di dalam sisitem pendidikan di seluruh jenjang. Kode etik guru merupakan suatu keniscayaan dalam sistem pendidikan di era sekarang ini. Betapa tidak, sebab atmosfir pendidikan modern sedikit demi sedikit telah mengarah pada tenggelamnya nilai (volue) karekteristik di hampir semua lini, 58
yang pada akhirnya mengarah pada sistem pendidikan liberal yang bebas nilai (volue free). Jika demikian, seorang pendidik mau tidak mau harus mampu mengembalikan gagasan-gagasan etika para konseptor pendidikan pada masa ke-emasan Islam (Abad 5 – 9 M), dimana pada saat itu sistem pendidikan sangat kental diwarnai dengan sistem etika yang tinggi (Abudinata: 2000). Apa yang disampaikan oleh Prof. Mastuhu benara adanya. ketika berbicara mengenai pemebrdayaan sistem pendidikan Islam ia menyinggung adanya dikotomi pendidikan. Terkesan bahwa dewasa ini pendidikan terdapat pemisahan antara ‘pendidikan umum’ dan ‘pendidikan agama’. Pendidikan umum terkesan jauh dari perhatian nilai agama, dan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Chaerul Amin, MSI
pendidikan agama terkesan tanpa intervensi oleh iptek (Mastuhu: 1999). Namun lebih lebih dari pada itu - terkecuali pendidikan di pesantren – nuansa pendidikan formal apa lagi satuan pendidikan yang nota bene ‘umum’ semakin tidak terlihat bagaimana kode etik siswa dengan guru, dan begitu sebaliknya. Tak terkecuali, nuansa tersebut juga terlihat pada satuan pendidikan formal yang berbasis agama sekalipun. Seorang pendidik disamping mampu menciptakan kreasi dan inovasi dalam pengembangan metodologi, juga dituntut mampu menerapkan dengan teguh kode etik yang dapat mengantarkan kepada sistem pendidikan dan pengajaran yang bermutu dan bermartabat. Pendidikan yang bermutu bukan hanya dicapai melalui ketersediaan sarana-dan prasarana yang memadai, akan tetapi juga ditopang oleh adanya Sumber Daya Manusia khususnya pada aspek pendidik yang mempunyai kemampuan seimbang antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan intelektual sebagai hasil dari merespon dan mencerap sisi keilmuan, sedangkan kecerdasan emosional dan sepiritual berfungsi mengarahkan untuk menggapai setatus keilmuan dan ilmuwan yang bermartabat. La-Tahzan
Apabila dilihat dari sisi definisi dan tujuan pendidikan, seharusnya hasil yang dicapai berbanding lurus dengan tujuan sesungguhnya dalam pendidikan. Katakan saja difinisi pendidikan menurut para fiosof Yunani dan para pakar pendidikan muslim (baca Pokokpokon Pendidikan dan Pengajaran: Prof M.Yunus), bahwa pendidikan diartikan sebagai upaya merubah manusia dari yang buruk menjadi baik, dari tidak nyaman menjadi nyaman. Pada posisi ini, pendidikan berfungsi sebagai sisitem per ubahan intelektual seseorang yang besentuhan dengan nilainilai agama, sekaligus revolusi mental secara sporadis. Maka sistem pendidikan ideanya dapat menjadi agen perunahan intelktual sekaligus agen perubahan mental dan spiritual. Belum lagi pendidikan dewasa ini telah diwarnai dengan arus globalisasi di semua sektor. Dimana tatanan kehidupan tak terkecuali pendidikan mau-tidak mau mampu mengikuti kondisi dan kebutuhan global. satu hal yang sangat bersinggungan dalam era globalisasi, terlihat sekali pada perubahan dasar kepribadian (basic personaliti) bangsa Timur termasuk dunia Islam. Kepribadian bangsa Timur termasuk mayoritas muslim Indosesia yang berpegang teguh pada nilai-nilai agama sebagai basic pendidikan rupa-rupanya
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
59
Kode Etik Dan Profesionalitas Guru
sedikit demi sedikit mulai bergeser ke arah kehidupan materalistik dan pragmatis. Dunia pendidikan telah banyak tercoreng oleh peraktek kriminalitas, katakan saja tawuran antar pelajar, pergaulan bebas di kalangan pelajar, pembunuhan pelajar oleh teman sendiri, peraktek aborsi, pengedaran sekaligus penggunaan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa bahkan dosen dan karyawan, dan lain sebagainya. Pergeseran nilai ini tentunya akan berpengaruh pada tujuan pendidikan sesungguhnya, yakni menciptakan manusia cerdas secara intelektual dengan didasari dengan nilai-niliai luhur agama. Kode etik guru, sebagai salah satu instrumen untuk menciptakan guru yang profesional dan ber martabat, ternyata telah digagas oleh seorang Hakim Agung yang juga konseptor pendidikan yaitu Imam al-Mawardi (364-450) yang hidup pada masa pemerintahan Abasiyah khalifah Al-Qaim (10311074 M). Tokoh ini memberikan kontribusi besar dalam sistem pedidikan, terutama terhadap etika seorang guru dalam kegiatan belajar mengajar. Ia banyak menyinggung mengenai guru yang baik, guru yang profesional, hubungan murid dengan guru, yang semuanya berdasarkan pada nilai-nilai agama. Konsistensi seorang guru terhadap nilai-nilai agama 60
dalam peraktek belajar mengajar, menurut pandangan al-Mawardi akan menjadikan guru profesional. Tulisan ini, akan me-rekonstruksi beberapa pemikiran al-Mawardi mengenai; bagaimana kode etik seorang guru dan bagaimana upaya menjadi guru yang profesional.
II. PEMBAHASAN A. Kode Etik Guru Menurut Pemikiran Al-Mawardi Sebelum dikemukakan pe mikiran Al-Mawardi mengenai kode etik guru, di sini perlu disampaikan terlebih dahulu makna etimologi ban terminologi kode etik guru secara definitif.
1. Definisi Kode Etik Guru Kode etik dapat diartikan sebagai tata nilai atau pedoman etis dalam melakukan suatu pekerjaan dan prilaku. Sedangkan definisi guru menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 205 adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Maka kode etik guru dapat diartikan sebagai tata nilai atau pedoman etis (guidelines) yang dijadikan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Chaerul Amin, MSI
dasar oleh guru dalam mendidik, mengajar hingga mengevaluasi peserta didik di tingkat pendidikan dini, dasar dan menengah. Definisi etika menurut para ilmu wan Barat lebih bersinggungan dengan antroposentrik, yakni berkisar sekitar manusia. sedang kan etik dalam pandangan ajaran agama Islam bersinggungan dengan theosentrik, yaitu ber hubungan dengan sistem nilai ketuhanan (Musnamar, 1986: 88)), atau biasanya disebut dengan akhlak, yakni suatu tata nilai yang dijadikan pedoman dalam berprilaku yang berdasrkan agama. Maka kode etik guru dalam pandangan agama Islam adalah sebuah tata nilai yang dijadikan dasar oleh guru dalam mendidik anak didiknya berdasarkan nilai-nilai agama. Dalam Islam, kode etik guru menjadi hal yang sangat penting dalam sistem pendidikan. Katakan saja sperti, etika menuntut ilmu, etika murid dengan guru, etika guru dalam proses belajar mengajar, etika guru dalam masyarakat, bagaimana mendapatkan ilmu yang manfaat, dan lain sebagainya (Baca Azzarnuji dalam metode pembelajaran). Kode etika guru mempunyai fungsi dalam proses pendidikan, fungsi-fungi tersebut menurut Sutan Zahri dan Syahmiar Syahrun (1992) ada empat: Pertama, Agar guru terhindar dari penyimpangan La-Tahzan
tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Kedua, Untuk mengatur hubungan guru dengan murid, teman sekerja, masyarakat dan pemerintah. Ketiga, Sebagai pegangan dan pedoman tingkah laku guru agar lebih bertanggung jawab pada profesinya. Keempat, Pemberi arah dan petunjuk yang benar kepada mereka yang meng gunakan profesinya dalam melaksanakan tugas. Fungsifungsi inilah menurut Annahlawi yang akan mengantarkan profe sionalitas guru agar mencapai tujuan pendidikan yang dapat mengarahkan, mengatur, dan mem perbaiki sistem pendidikan yang bermartabat sesuai dengan tujuan pendidikan Islam (Annahlawi: 1996).
2. Biografi Al-Mawardi. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Hasan Ali Ibn Muhammad ibn Habib al-Basyri. Ia dilahirkan di Basrah pada tahun 364 H. bertepatan dengan tahun 974 M., dan wafat di Baghdad pada tahun 450 H.,bertepatan dengan tahun 1054 M. (As-Saqa: 1995). Ia hidup pada masa kejayaan Islam, dimana pada masa tersebut terdapat revolusi keilmuan dalam dunia Islam. Ia bukan hanya ahli dalam bidang pendidikan saja, akan tetapi juga menguasi dalam ilmu fiqih, tata bahasa, syair, bahkan juga ia ahli dalam bidang hukum.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
61
Kode Etik Dan Profesionalitas Guru
Ia mendapatkan pendidikan di negeri kelahirannya sendiri yaitu basyarh. Ia belajar hadits dengan beberapa ulama Basrah seperti AlHasan ibn Ali ibn Muhammad ibn al-Jabaly, Abu Khalifah al-Jumhy, dan yang lainnya. Di samping belajar hadits ia juga mempelajari fiqih kepada Syaikh Abu al-Hamid al-Isfarayany sehingga ia menjadi salah seorang pembesar di mazhab Syafi’i. Keahlian lain al-Mawardi terlihat juga dalam bidang tata bahasa (nahwu), syair, filsafat dan ilmu sosial, namun belum dapat diketahui secara pasti dari mana ia mendapatkan ilmu kebahasaan tersebut. walaupun ia seorang pembesar mazhab Syafi’i, namun dalam pemikiran kalam termasuk rasional. Salah satu contoh ketika ia muncul persoalan mengenai tafsir antara ahlussunah dan Mu’tazilah, ia lebih menggunakan metodologi Mu’tazilah yang lebih mengedepankan akal fikiran. Namun betapapun al-Mawardi dalam metodologi penefsiran lebih rasional, menurut Abudinata ia belum pasti menganut paham Mu’tazilah, sebab banyak pendapa beliau yang tidak senada dengan Mu’tazilah, contohnya seperti pendapatnya tentang alQur’an itu qadim atau huduts, ia berpandangan bahwa al-Qur’an itu qadim sebagaimana pendapat golongan Ahlissunnah.
62
3. Karier Al-Mawardi Al-Mawardi adalah salah satu tokoh Islam yang mempunyai multi-talen khususnya di bidang ilmu-ilmu agama.,seperti fiqih, tafsir, tata bahasa (nahwa), ilmu tauhid, dan juga pendidikan. Dari beberapa bidang ilmu yang ia kuasai menjadi latar belakang dalam meraih kariernya. Menurut informasi dari Eliade dalam bukunya The Encyclopedia of Religion sebagaimana dikutip oleh Abudinata, Ia pernah menjadi hakim di beberapa kota seperti di Utsuwa (derah Iran) dan di Baghdad (Abudin Nata: 2000). Bahkan dengan tanlenta di bidang hukum, al-Mawardi pernah diminta untuk menyusun kompilasi hukum alam madzhab Syafi’i yang dinamai al-Iqra. Ia juga pernah ditunjuk oleh khalifah Al-Qaim (11031-1074 M) menjadi duta diplomatik untuk melakukan negoisasi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dengan para tokoh pemimpin Bani Buwaihi Saljuk Iran. Pada masa ini al-Mawardi diberi gelar afdal-alQudhat (Hakim Agung). Namun pemberian gelar tersebut banyak mendapatkan protes dari para ahli fiqih pada zamannya, oleh karena ia mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan kebanyakan ulama fiqih pada umumnya.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Chaerul Amin, MSI
Kepiawean al-Mawardi di bidang pendidikan, mengantarkan kepada kariernya ke dalam dunia akanemisi. Di selah-selah kesibukannya sebagai hakim, Al-Mawardi juga meluangkan waktunya untuk mengajar di institusi pendidikan selama bebrapa tahun ketika ia berada di Basrah dan di Baghdad. Hingga melahirkan beberapa ulama terkenal seperti Ahmad ibn Ali alKhatib (392-463 H) seorang ahli hadits yang terkenal di masa itu.
Konstantiniyah dan perpustakaan Baryali dan Rampul India. Kitab lain yang masih dalam rumpun pengetahuan agama adalah alHawy al-Kabir. Kitab ini adalah kitab fiqih dalam madzhab Syafi’i memuat 4000 halaman dan terbagi menjadi 20 bagian. Karya ilmiyah lain yang jiga kelompok pengetahuan agama adalah alIqra (ringkasan kitab alHawy alKabir), Adab al-Qadi, dan A’lam an-Nubuwwah yang naskahnya masih tersimpan di Dar al-Kutab al-Misriyah.
4. Karya-Karya Ilmiyah alMawardi
Kedua, adalah kelompok penge tahun politik dan ketatanegaraan. Kitab-kitab kelompok ini antara lain Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Nasihat al-Muluk, Tashil al-Nazar wa Ta’jil az-Zafar, dan Qawanin al-Wizarah wa as-Siyasat al-Malik. Kitab al-Ahkamah as-Sulthaniyah merupakan karya al-Mawardi yang terpopuler di kalangan dunia Islam, bahkan juga menjadi rujukan oleh kalangan ilmuwan Barat. Buku ini juga sudah aluhbahasakan ke dalam beberapa bahasa dan diterbitkan di beberapa negara.
Sebagai seorang yang ahli di berbagai bidang keilmuan, AlMawardi juga menulis banyak karya-karya ilmiyah. Menurut catatan sejarah, bahwa Al-Mawaedi mempunyai karya ilmiyah tidak kurnag dari dua belas judul yang dikelompokan menjadi tiga kelompok pengetahuan. Pertama, kelompok pengetahuan agama. Kelompok pengetauan agama ini antara lain kitab tafsir berjudul AnNukat wa al-‘Uyun. Namun kitab ini menurut catatan sejarah belum pernah diterbitkan. Karya ini menurut informasi dari Abudinata dalam bukunya yang berjudul ‘Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam’, masih berbentuk nakskah (manuskrip) dan masih tersimpan di perpustakaan Collage ‘Ali La-Tahzan
Ketiga, adalah kelompok pengetahuan bidak etika (akhlak). Antara lain adalah An-Nahwu, berisi tentang tata bahasa san sastra, al-Awsat wa al-Hikam, berisikan 300 hadits, 300 hikmah, dan 300 buah syi’ir. Naskahnya masih tersimpan di Leiden Beland, dan alBughyah fi Adab ad-Dunya wa ad-
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
63
Kode Etik Dan Profesionalitas Guru
Din, berisi tentang pendidikan dan merupakan kitab yang dirujuk oleh kalangan ilmuwan Timur maupun Barat, juga pernah ditetapkan oleh pemerintah Mesir sebagai buku pegangan di sekolah-sekolah Tsanawiyah delama tiga puluh tahun. Kita tersebut setidaknya menjadi bukti sejarah bahwa alMawardi telah berkontribusi besar dalam sistem pendidikan agama maupun pendidikan umum.
5. Etika Guru Menurut alMawardi Menurut al-Mawardi keber hasilan suatu pendidikan sangat dipengaruhi oleh guru (tenaga pendidik). Maka guru mestinya menjadi model terhadap anak didiknya. Model ini bukan hanya pada metode pembelajaran saja, akan tetapi juga dibarengo dengan nilai-nilai etika agar tercipta insan akademik yang mempunyai kecerdasan intelektual sekaligus mempunyai kecerdasan spiritual. Sehingga akan tercapai hasil pendidikan yang berkualitas dan bermartabat. Di bidang etika, Al-Mawardi menawarkan konsep guru yang baik dan profesional, antara lain: Pertama, guru harus mempunyai sifat tawadhu (andap asor) kepada anak didiknya. Guru tidak boleh bersikap sombong 64
kepada anak didiknya, karena sikap sombong akan berdampak pada ketidak-harmonisan antara guru dengan murid. Sifat tawadhu bukan berarti merendahkan diri di hadapan orang lain, akan tetapi yang dimaksud dengan tawadhu adalah memposisikan ‘sama’ dengan oarang lain. Berkaitan dengan hubungan guru dengan anak didik, tawadhu diartikan sebagai persamaan derajat dengan anak didiknya. Fenomena ini sudah banyak teruji di dalam dunia pendidikan. Sifat rendah hati semakin diperaktekan oleh guru, maka semakin terhormat posisi guru di hadapan anak didiknya. Etika hubungan guru dengan peserta didik menuntut terciptanya hubungan berupa helping relationship (Brammer, 1979), yaitu hubungan yang bersifat membantu dengan mengupayakan terjadinya iklim belajar yang kondusif bagi perkembangan peserta didik. Dengan ditandai adanya perilaku empati,penerimaan dan penghargaan, kehangatan dan perhatian, keterbukaan dan ketulusan serta kejelasan ekspresi seorang guru.Seorang guru apabila ingin menjadi guru yang professional harus mendalami serta memiliki sifat tawadhu (rendah hati). Hubungan guru dengan murid atau sebaliknya dengan mempossisikan derajat yang
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Chaerul Amin, MSI
‘sama’ nampaknya sudah jarang terjadi di dunia pendidikan. Acap kali predikat guru di hadapan muridnya menjadi hal yang bersifat prestise (sangat berharga). Katakan saja, seorang guru agar terlihat wibawa dan dihormati oleh anak didiknya ia harus bersikap menjaga jarak bahkan terkadang jarang mersosialisasi di waktu-waktu yang dianggap informal. Padahal semakin dekat dengan anak didiknya baik waktu formal mauipun informal justru menambah rasa demokratis dan terjalinnya suasana batin, sepanjang dapat menjaga predikat masing-masing dari misalnya, akhlak murid dengan guru dan akhlak guru dengan murid. Namun demikian prilaku tawadhu (andap ashor) masih kita jumpai di beberapa lembaga pendidikan yang bersifat informal, seperti pondok pesantren, majelis ta’lim, lembaga-lembaga dzikir dan lain sebagainya. Hanya terkadang sikap tawadhu seorang murid terhadap gurunya dilakukan dengan berlebihan. Misalkan, seorang murid tidak boleh bertanya kepada gurunya selama belum dipersilahkan untuk bertanya. Etika tersebut diinterpretasikan secara ektrim sehingga menimbulkan ‘kejumudan’ pada pola pikir peserta didik. Sikap tawadhu (rendah hati) yang ditawarkan oleh AlLa-Tahzan
Mawardi dalam hubungannya guru dengan murid dan sebaliknya bukanlah demikian. Akan tetapi ‘mensejajarkan’ derajat antara keduanya dibangun atas dasar pertimbangan kemanusiaan, dan agar suasana belajar mengajar dapat dilakukan secara demikratis, keritis, saling melengkapi dan jauh dari sifat ujub, sombong dan takabur. Sikap demoktaris dalam proses belajar mengajar bertujuan untuk menggali dan menumbuhsuburkan potensi peserta didik, karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai potensi. Maka dalam hal ini posisi guru bukan hanya sekedar mentrransfer ilmu, di samping guru mempunyai fungsi pengajarn, ia juga sebagai advesori agency, supporting agency, dan mediation agency. Fungsi- fungsi tersebut akan menjadi penghargaan terhadap diri murid dan menjadikan sistem belajar yang aktif. Kedua, etika guru dengan murid menurut al-Mawardi adalah guru harus mempunyai sifat ikhlas dalam mengajar. Ikhlas secara etimoligi artinya menghindari dari riya. Sedangkan secara terminologi berarti membersihkan hati dari segala yang mengotorinya. Maka ilmu yang ditransfer kepada anak didiknya semata-mata hanya mengharap pahala dan ridha Allah SWT, bukan atas dasar materi dan lainnya.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
65
Kode Etik Dan Profesionalitas Guru
Sifat ikhlas dalam mengajar menurut al-Mawardi berdampak pada kecintaan guru terhadap pekerjaannya. Sebagaimana juga disampaikan oleh imam Az-Zarnuji, bahwa salah satu untuk mendapatkan ilmu yang manfaat adalah mencintai ilmu. Dengan sebab mencintai ilmu dan pekerjaannya akan menjadikan guru yang profisional.
6. Guru Profesional Menurut Al-Mawardi Tuntutan guru profesional bukan baru didengungkan di era sekarang ini dengan munculnya Undang-undang Guru dan Dosen. Akan tetapi profesionalitas seorang guru telah lama terkonsep dalam agama Islam sejak berabadabad lamanya. Salah satu contoh teori guru profsional adalah sebagaimana gagasan Al-Mawardi. Menurutnya, indikator guru profesional antara lain: Pertama, selalu mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan guna mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar, seperti penguasaan terhadap bahan pelajaran. Setidaknya sebelum masuk kelas guru harus mau belajar tentang materi yang akan disampaikan, karena kesiapan guru inilah yang sangat berpengaruh dalam pembelajaran.
66
Kedua, disiplin terhadap peraturan dan waktu. Guru yang ikhlas mampu mengatur waktu bekerja dan waktu lainnya dengan perencanaan yang rasional serta disiplin yang tinggi. Contoh kecilnya, seorang guru yang datang 10 menit sebelum bel masuk berbunyi. Karena guru yang seperti ini merasa perilakunya kelak akan juga diteladani oleh muridnya. Tidak menjadi guru yang asalasalan datang. Ketiga, penggunaan waktu luangnya akan diarahkan untuk kepentingan profesionalnya. Guru yang ikhlas dalam keseluruhan waktunya akan digunakan secara efisien, baik dalam kaitannya dengan tugas keguruan, bila sebagian waktunya digunakan diluar tugas pokoknya maka guru akan memanfaatkannya secara produktif dan bijaksana serta tidak menganggu tugas pokoknya. Keempat, ketekunan dan keuletan dalam bekerja. Oleh karenanya ia akan selalu berusaha menghadapi kegagalan tanpa putus asa dan mengatasi segala kesulitan dengan penuh kesabaran, sehingga akhirnya program pendidikan mencapai sasaran. Guru yang baik adalah guru yang selalu ingin berkembang dengan tujuan untuk memajukan muridnya sebagai bentuk tujuan pendidikan.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Chaerul Amin, MSI
Bagaimana guru akan sukses menyampaikan pelajaran apabila ia sendiri tidak mengerti apa yang akan disampaikan? Guru cenderung hanya menyampaikan materi tanpa mau tahu bagaimana materi tersebut dikuasai oleh siswanya atau tidak, sehingga guru yang demikian tidak ada pengaruhnya dalam proses pembelajaran.
lenggarakan dengan tugas yang amat bervariasi. Jika seorang guru telah berpegang dengan ketentuan dan amat bervariasi sehingga di dapatkan guru dapat mewujudkan suasana yang belajar dan mengajar.
B. Penerapan Kode Etik Guru Dalam Pelaksanaan Tugasnya.
4. Guru sebagai perencana (planner)
Penerapan kode etik guru dalam tugasnya begitu luas untuk dipaparkan secara keseluruhan, karena banyak masalah dan kendala yang dialami dalam melaksakan tugasnya. Akan tetapi dalam bahasny ini pemaparan akan tugas utama sebagai guru yaitu;
6. Guru Sebagai Pemandu (direktur).
1. Multi Peran dan Tugas Guru dalam Proses Pembelajaran
11. Sebagai penilai (evaluator)
Tugas guru dalam profesinya bahwa guru sebagai pendidik dan sebagai pengajar. Akan tetapi dari kedua peran tersebut sehingga dapat terjadi arena pemmbelajaran yang dengan tujuan bahwa guru dapat menciptakan suasana yang dan sitasi yang dapat diterima dalam belajar. Guru memainkan multi peran dalam proses pembelajaran yang menye La-Tahzan
1. Guru sebagai konservator (pemelihara) 2. Guru sebagai tramitor (penerus) 3. Guru sebagai transformator (penerjemah) 5. Guru sebagai manajer proses pembelajaran 7. Guru sebagai organisator (penyelenggara) 8. Guru sebagai komunikator 9. Guru sebagai fasilitator 10. Guru sebagai motivator
2. Penerapan Kode Etik Guru dalam Pelaksanaan Tugasnya. Pemahaman atas tugas dan peran guru dalam penyelenggaraan system pembelajaran seyogianya menjadi kerangka dalam berfikir dalam bahasa tentang penerapan Kode Etik Guru sebagaimana mestinya.Kode Etik Guru Indonesia dalam plaksanaan tugasnya sesuai dengan AD/ART PGRI 1994
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
67
Kode Etik Dan Profesionalitas Guru
a.
Guru berbakti membimbing peserta didik untuk mem bentuk manusia Indonesia yang berjiwa pancasila.
b.
Guru memiliki dan melak sanakan kejujuran profesional
c.
Guru dalam berusaha mem peroleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan bimbingan dan pembinaan
d.
Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya untuk menunjang berhasilnya pembelajaran.
e.
Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat seitarnya untuk membina peran serta dan tanggung jawab terhadap pendidikan.
C. Penerapan Kode Etik Guru Dalam Masyarakat Dalam menjalankan tugas profesinya seorang guru akan berinteraksi dengan masyarakat. Keterkaitan lain antara guru dan masyarakat bahwa guru berperan sebagai pendidik yang banyak bertanggung jawab dalam (1) memelihara system nilai (2) penerus system nilai (3) penerjemah system nilai. Masyarakat dengan pendidikan dapat ditinjau dengan 3 segi yaitu ; 1. Masyarakat sebagai lenggara pendidikan
penye
2. Masyarakat juga iut andil dalam peran dan fungsi di lembaga kemasyarakatan secara langsung maupun tidak.
f.
Guru secara pribadi dan bersama-sama men gem bangkan dan mening katkan mutu dan profesinya
3. Dalam masyarakat tersedia berbagai sumber belajar, baik yang dirancang maupun dimanfaatkan.
g.
Guru memelihara hubungan sejawat keprofesian, se mangat, kekeluargaan dan kesetiakawanan social.
Paparan diatas menunjukan bahwa (1) Masyarakat merupakan tempat melaksanakan tugas keprofesian seorang guru (2) masyarakat menjadi sumber belajar dan mendidik seorang guru (3) masyarakat sebagai konsumen dan pengguna jasa dan hasil pendidikan. Guru dan tenaga kependidikan telah dipaparkan diatas yaitu bahwa masyarakat itu merupakan pelanggan jasa pelayanan pen didikan dan pengguna hasil kependidikan.
h. Guru secara bersama-sama memelihara dan mening katkan mutu organisasi sebagai sarana perjuangan. i.
68
Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Chaerul Amin, MSI
1. Masyarakat dan Karak teristiknya
oleh penemuanbaru yang lebih canggih lagi.
Masyarakat selalu mencakup kelompok-kelompok orang yang berinteraksi antara sesame, saling ketergantung dan terikat oleh nilai dan norma yang dipatuhi bersama. Karakteristik masyarakat umum perlu di pahai betul karena akan keunikannya atas suku bangsa, bahasa, dan lain sebagainya.
Gambaran masyarakat masa depan adalah ditandai dengan terjadinya proses globalisasi yang amat cepat. Untuk melukiskan kejadian semacam itu Kenichi Ohmac menulis bku yang berjudul The Borderless World atau Dunia Tanpa Tapal Batas (Dedi supriadi, 1990 : 60).
Pada umumnya ada 2 ciri umum keunikan masyarakat Indonesia yakni :
Yang perlu diperhatikan secara serius yaitu masyarakat yang membutuhkan layanan professional dalam berbagai kehidupan. Karakteristik semacam itu diwarnai oleh dua hal yaitu : Pertama, karena perkembangan Iptek yang semakin canggih dan daya piker masyarakat yang semakin kritis. Kedua, karena semakin terspesialisasikannya berbagai bidang pekerjaan.
1. Secara Horizontal ditandai oleh kesatuan-kesatuan social atau komunikasi yang berbeda 2. Secara Vertikal ditandai dengan perbedaan pola kehidupan mereka yang bermacammacam. Keunikan masyarakat justru perlu di pandang sebagai potensi yang sangat bermanfaat dalam menunaikan tugasnya. Perbedaan itu adalah suatu kewajaran dan sekaligus kekayaan yang berharga. Selain itu seorang guru juga jangan gamang dalam menerapkan kode etik, karena akan dikawatirkan guru akan mengalami future shock ( keterkejutan masa depan), sebab di masa depan kemungkinan terjadi fenomena bahwa benda yang hari ini di anggap paling canggih besok lusa bias menjadi sudah dimuseumkan karena terimbar\s La-Tahzan
2. Penerapan Kode Etik Guru dalam Kehidupan Bermasyarakat Dalam pembahasan diatas yang menyebutkan karakteristik masyarakat Indonesia dan Kecenderungan dapat dijadikan kerangka berfikir dalam bahasan penerapan kode etik guru sebagaimana mestinya. Kalau guru dan tenaga kependidikan lainya ingin exist di masyarakat, ketika berinteraksi dengan mereka ia
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
69
Kode Etik Dan Profesionalitas Guru
harus berpgang teguh pada kode etiknya. Perilaku yang ditampilkan harus mencerminkan nilai-nilai luhur kode etik itu sehingga kandungannya menjelma dalam perilakunya. Berdasar AD / ART PGRI 1998, berikut ini diuraikan penerapan kode etik guru dalam masyarakat. 1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa pancasila. 1. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran professional 2. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan. 3. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar. 4. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan. 5. Guru secara pribadi dan bersama-bersama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya. 70
6. Guru memelihara hubungan sprofesi, semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan social 7. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi sebagai sarana perjuangan. 8. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan
D. Fungsi Kode Etik Ke guru an Dalam Tugas Dan Berbagai Bidang Kehidupan. Keluarga adalah kelompok masyarakat terkecil berupa pengelompokan primer yang terdiri atas sejumlah kecil. Pendidikan keluarga bagi anak merupakan pendidikan pertama dan utama sehingga akan sangat sulit untuk dihilangkan. Pendidikan keluarga bagi perkembangan anak oleh pemerintah telah dituangkan dalam UU No. 2 tahun 1989, Pasal 10 ayat 4 yang menyatakan bahwa pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga. Melihat pentingnya keluarga bagi perkembangan anak dan pentingnya keutuhan dan keharmonisan dalam keluarga. Sesungguhnya kode etik guru
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Chaerul Amin, MSI
telah dijadikan pedoman perilaku bagi guru dimana dan dalam arena apapun dan jika seorang guru telah melaksanakan kode etik ketika ia melaksanakan pendidikan dalam keluarga ia akan terhindar dari unsure subjektivitas. Didalam keluarga guru berperan sebagai model dengan berupaya mengejawantahkan nilai luhur kode etik perilakunya. Guru juga berperan sebagai actor pencipta suasana demokratis, ia harus banyak mengajak diskusi guna untuk mengembangkan keluarga dan masalah dalam keluarga. Jadi pada dasarnya kode etik guru dalam keluarga berperan sebagai pedoman yang mengarahkan dalam membentuk anggota kelaurga menjadi manusia yang seutuhnya. Empat peran dan fungsi kode etik guru dalam
La-Tahzan
keluarga. Dan semua itu memiliki fungsi sebagai berikut : 1. Membentuk anggota keluarga menjadi manusia seutuhnya yang berjiwa pancasila 2. Menanamkan kejujuran pada anggota keluarganya. 3. Memupuk semangat ang gota kekeluargaan dan kesetiakawanan anggota ke luarga 4. Mendorong partisipasinya anggota keluarga dalam mensukseskan jalannya pen didikan. As-Saqa, Mustofa, Pengantar Adab al-Duanya wa ad-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995). Az-Zekkery Khairuddin, al-A’lam, (Beirut: Dar al-Ilm li Malayin, t.t.).
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
71
Kode Etik Dan Profesionalitas Guru
DAFTAR PUSTAKA Ahmd ibn Ali al-Khatib alBagdady, Tarikh Bagdad, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.). Ad-Dimasqy, Sybhan, Qadi Ibnu, Tabaqat as-Syafi’iyah, ( India : Kementerian Pendidikan Negara Pusat, t,t). Abu al-Falah Abd al-Haly al‘Imah, Syazarat az-Zahab fi Akhbar Min Mazhab, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.). Abu l-Fadhl, Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-Asqalny, Lisana- Mizan ( Beirut: Dar al-Fikr, 1997). Khalikan,Ibn, Wafayat al-‘Ayan, (Beirut: Daras-Saqafah, t.t.).
Usana Offset Printing, 2003) hlm. 3 John M. Echols dan Hasan Sadly, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: PT Gramedia, 2006) hlm. 107 M. Furqon Hidayatullah , Guru Sejati; Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas (Surakarta: Yuna Pustaka, 2010). Najib Sulhan, Pendidikan Berbasis Karakter: Sinergi antara Rumah dan Sekolah dalam Membentuk Karakter Anak (Surabaya: PT. Jepe Press Media Utama , 2010). Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Press, 2006).
Al-Mawardi, Adab ad-Dunya wa ad-Din, (Beirut; Dar al-Fikr, t.t.). Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab at-Ta’rifat, (Beirut: Dar alKutub al-Miyah, 1978), cet. ket-3, hlm. 13. Lihat Muhammad Athiyah al-Abrasy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978). Tim Dosen FIP-IKIP, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan (Surabaya:
72
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Sirah Nabawiyah dan Dekonstruksi Pendidikan Karakter Oleh: Moh. Toriqul Chaer STIT Islamiyah Karya Pembangunan Paron, Ngawi, Jawa Timur
ABSTRAK
P
enelitian ini berupaya meng hadirkan pengelolaan pen didikan agar tidak hanya bertumpu pada sisi normatif; hanya menyatakan dan meng gambarkan (description), tetapi perlu di transformasikan dalam bentuk tindakan performatif; yaitu tindakan aktual dan kong krit. Salah satu upaya adalah mensinergikan pendidikan karak ter pembebasan berbasis Sirah Nabawiyah. Strategi ini -bukan mustahil- dapat menjadi solusi alternatif bagi persoalan-persoalan pelik kehidupan manusia moden saat ini. Dinamika zaman yang terus bergulir diperlukan upayaupaya mendekonstruksi teks-teks La-Tahzan
jumud yang selama ini berkelindan dalam dunia pendidikan. Upaya menggagas tema pen didikan berbasis pendidikan moral dan etika pada Sirah Nabawiyah bersinergi dengan konsep karak ter pembebasan Paulo Freire, setidaknya dapat menjadi alter natif. Hal ini dikarenakan tujuan pendidikan adalah pen didikan moral dan kemampuan untuk menumbuhkan spirit pembebasan atas ketimpangan dan diskriminasi sosial yang terjadi di masyarakat. Diharapkan nantinya tematema Sirah Nabawiyah mampu menjadi “spirit ocean full of love” dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
73
Moh. Toriqul Chaer
Faktor penting lainnya adalah, sosok pendidik. Secara ideal guru harus memiliki pemahaman yang baik dari cara beragamanya. Pendidik harus memiliki pe mahaman dialektis antara teks dan konteks, disamping kemampuan akademik dalam proses penyam paian materi pembelajaran. Di harapkan dengan pemahaman komprehensif ini pendidik dapat mengeliminir potensi-potensi penyimpangan perilaku peserta didik sejak dini. Pengertian dan pemahaman kontekstual yang baik pada peserta didik tentunya berdampak pada pemahaman pada perilaku, perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada akhirnya harapan pendidikan mampu mengadvokasi peserta didik dalam mensikapi gegar budaya yang terjadi di masyarakat secara arif dan bijaksana. Dan tentunya mengedepankan nilainilai kearifan lokal (local wishdom) yang egaliter dan humanis. Key Words; Sirah Nabawiyah, Pendidikan Karakter, Pembebasan
A. PENDAHULUAN Filsuf Postmodern Jean Baudrillard menyatakan bahwa dunia yang dilanda demam modernisasi dan globalisasi ber implikasi pada adanya pergeseran nilai. Era ini ditandai dengan mencairnya batas- batas normatif sehingga apa yang dinamakan “tabu” atau sakral menjadi semakin hilang, semua persoalan dan informasi menjadi ranah publik yang bebas diperbincangkan dan dikonsumsi secara umum. Persoalan dalam perspektif sosial keagamaan masuk kedalam wilayah tabu dan sakral, saat ini terdekonstruksi secara massif. Manusia dilihat hanya sebagai simbolisasi angka- angka statistik demografis yang dipandang dan dihadirkan tanpa perasaan dan hati nurani. Jiwa manusia direduksi sedemikian rupa bagaikan sosoksosok robot mekanis yang tunduk (deterministik) pada kekuatan pasar, mesin industri dan mekanisme birokrasi.1 Sebagai fenomena universal dan komparatif, modernisasi menurut Inkeles (1966) dicirikan
1. As’aril Muhajir, Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2001, hlm. 38. Fromm (1972) menyebut keadaan sebagaimana tersebut diatas sebagai “nestapa manusia modern”, yang hidup serba dilematis-pragmatis, pesimis, hipokrit dan materialistik, Lihat Erich Fromm, Psychoanalysis and Religion, Yale University Press, 1972, p. 32 74
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Sirah Nabawiyah dan Dekonstruksi
oleh sejumlah kecenderungan, yaitu : (1) menyetujui gagasan baru dan berani menguji coba metode dan teknik baru, (2) kesiapan menyatakan pendapat, (3) berorientasi pada masa kini dan mendatang daari pada masa silam, (4) menghargai ketepatan waktu, (5) melakukan perencanaan, organisasi, dan efisiensi, (6) melihat dunia ini sebagai hal yang dapat di kalkulasi, (7) percaya akan sains dan teknologi, (8) melihat pentingnya pemerataan keadilan. Modernisasi yang mantap dicirikan oleh munculnya kedelapan kriteria tersebut secara kolektif dalam sebuah pranata sosial. Kedelapan pasal tersebut menjadi sikap sekaligus keyakinan semua unsur masyarakat, baik personal maupun institusional, termasuk di dalamnya dunia pendidikan. Dengan demikian, sebagai sebuah institusi, pendidikan pada prinsipnya memikul amanah “etika masa depan”.2 Etika masa depan timbul dari dan dibentuk oleh kesadaran bahwa semua manusia, sebagai individu maupun kolektif akan menjalani sisa hidupnya di masa depan bersama dengan sesama
makhluk hidup lainnya yang ada di muka bumi. Hal ini berarti bahwa etika masa depan menuntut manusia untuk tidak mengelakkan tanggung jawab atas konsekuensi dari setiap perbuatan yang dilakukannya di masa sekarang. Etika masa depan sebagaimana dimaksud di atas tidak sama dengan etika di masa depan; etika masa depan adalah etika masa kini untuk masa depan. Sebab di masa depan, tanpa adanya etika masa depan sekarang ini, semuanya sudah menjadi terlambat. Oleh karena itu, dalam etika masa depan terkandung keharusan agar manusia berani menjawab tantangan terhadap kemampuan yang khas yang manusiawi untuk mengantisipasi, merumuskan nilainilai, dan menetapkan prioritasprioritas dalam suasana yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang menjadi semakin tidak terkendali di zaman mereka di kemudian hari.3 Berbicara mengenai konteks etika masa depan, maka sudah seharusnya visi pendidikan lahir dari kesadaran bahwa manusia sebaiknya jangan menanti
2. Inkeles. ”The Modernization of Man,” dalam Weimer (ed) . Modernization : The Dynamics of Growth. Voice of Amerika Forum Lectures, 1966, p. 151 3. Daoed Joesoef, Daoed, “Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran”, dalam Sularto (ed). Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Antara Cita dan Fakta. Jakarta: Kompas, 2001, hlm. 197 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
75
Moh. Toriqul Chaer
apapun dari masa depan, karena sesungguhnya masa depan itulah mengharap-harapkan dari kita, kita sendirilah yang seharusnya menyiapkannya. Suyudi (2005:54) berpendapat bahwa pendidikan merupakan seluruh aktivitas atau upaya sadar yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik terhadap semua aspek perkembangan kepribadian baik jasmani maupun rohani, secara formal, informal maupun non formal yang berjalan terus menerus untuk mencapai kebahagiaan dan nilai yang tinggi, baik nilai insaniyah maupun Ilahiyah.4 Freire dalam Subagi (1985), mengatakan bahwa pendidikan harus mampu mengubah paradigma pemikiran masa lalu sebagai sekat yang menghimpit, yang membuat manusia “terbuai” dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan membosankan, sedang masa lalu dan masa akan datang belum disadari . Pendidikan bukan melanggengkan status quo kebudayaan bisu dimasyarakat, akan tetapi pendidikan seharusnya memberikan kesadaran dan
pemberdayaan (self-empowering) bagi manusia terhadap pe nindasan. Salah satu kritik Freire mengatakan bahwa adalah pendidikan yang pada awalnya merupakan upaya membebaskan kaum tertindas pada kenyataannya hanya mencetak peserta didik untuk menjadi penindas baru. Bagi Freire pembebasan kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia bangkit menjadi penindas baru, tetapi supaya sekaligus membebaskan para penindas dari kepenindasannya.5 Berdasar uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pen didikan adalah suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia untuk membina kepribadian se suai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan yang berjalan seumur hidup. Pendidikan tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi berlangsung pula di luar kelas. Pendidikan sebagai upaya untuk memberikan solusi per kembangan dan perubahan kema nusiaan secara dinamik dan
4. Suyudi, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an. Yogyakarta: Penerbit Mikraj, 2005, hlm. 54. Sedangkan menurut Zuhairini, sebagaimana yang dikutip oleh Muhaimin menjelaskan bahwa dalam Islam pada mulanya pendidikan disebut dangan kata “ta’lim” dan “ta’dib” mengacu pada pengertian yang lebih tinggi, dan mencakup unsur-unsur pemgetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan bimbingan yang baik (tarbiyah) Lihat Muhaimin, Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002, hlm. 36). 5 Subagi. 1985. Kritik Atas: Koensientasi dan Pendidikan, Teropong Paulo Freire dan Ivan Illich dalam Martin Sardy (ed). Pendidikan Manusia. Bandung: Alumni, 1985, hlm. 154
76
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Sirah Nabawiyah dan Dekonstruksi
gradual berkaitan erat dengan sosok pendidik. Pendidik sebagai penolong, berusaha memberikan bantuan kepada peserta didik untuk mengembangkan dirinya secara utuh sebagai manusia berdasarkan kasih. Pendidik berdiri diantara peserta didik dan Tuhan yang memberinya tanggungjawab. Pendidik dengan ilmu pengetahuan yang telah dan terus- menerus dikuasainya beserta dengan seluruh pengalamannya membimbing, memproses dan mengantarkan peserta didik kearah pengenalan akan ciptaan Tuhan dengan segala hukum- hukumNya. Atau dengan kata lain pendidikan disisi yang lain merupakan upaya manusia untuk lebih mengerti dan memahami pengamalan keyakinan dan keimanannya dalam kehidupan di dunia. Asrorun Niam Sholeh dalam bukunya Membangun Profesionalitas Guru Analisis Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen, mengungkapkan bahwa dalam proses pendidikan, pendidik tidak hanya menjalankan fungsi alih ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tapi juga berfungsi untuk menanamkan nilai (values) serta membangun karakter (character building) peserta didik
secara berkelanjutan. Dalam terminologi Islam, pendidik diistilahkan dengan murabbi, satu akar kata dengan rabb yang berarti Tuhan. Jadi, fungsi dan peran pendidik dalam sistem pendidikan merupakan salah satu manifestasi dari sifat ketuhanan. Demikian mulianya posisi pendidik, sampaisampai Tuhan, dalam pengertian sebagai rabb mengidentifikasi diriNya sebagai rabbul’alamin Sang Maha Guru. Untuk itu, kewajiban pertama yang dibebankan setiap hamba sebagai murid Sang Maha Guru adalah belajar, mencari ilmu pengetahuan. Setelah itu, setiap orang yang telah mempunyai ilmu pengetahuan memiliki kewajiban untuk mengajarkannya kepada orang lain. Dengan demikian, profesi mengajar adalah sebuah kewajiban yang merupakan manifestasi dari ibadah. Sebagai konsekuensinya, barang siapa yang menyembunyikan sebuah pengetahuan maka ia telah melang kahkan kaki menuju jurang api neraka.6 Upaya revitalisasi dan opti malisasi sistem pendidikan me merlukan konsistensi, konsekuensi dan komitmen yang tidak mudah, hal ini dikarenakan pendidikan merupakan kegiatan yang
6. Sholeh, Asrorun Niam Sholeh, Membangun Profesionalitas Guru Analisis Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen, Jakarta: eLSAS, 2006, hlm. 3 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
77
Moh. Toriqul Chaer
kompleks, meliputi berbagai komponen yang berkaitan satu dengan yang lain. Inisiasi pen didikan agar dapat berjalan secara terencana dan teratur, maka berbagai elemen yang terlibat dalam pendidikan perlu dikenali. Konsep pendidikan yang me nge depankan nilai- nilai huma nistik berbasis etika kenabian, progressif, serta berpijak pada pendidikan karakter berbasis pembebasan diharapkan nantinya pendidikan dapat hadir sebagai suara pembaharuan dan perubahan bagi kehidupan manusia. Strategi pendidikan yang komprehensif, sistematis, aktual dan kontekstual perlu diupayakan. Selain itu strategi untuk mem persiapkan pendidik sebagai media transformasi pembelajaran perlu diberdayakan pada bidang kompetensi akademik, kecakapan, profesionalisme, pemahaman cara beragama serta kemampuan analisa-kritis-kontekstualnya sehingga apa yang diamanatkan dalam tujuan pendidikan Nasional dapat tercapai. Selain itu upaya dekonstruksi pendidikan ini diharapkan dapat “hadir” meminimalisir dampak yang terjadi akibat deras laju globalisasi, yang cenderung liberalis-kapitalistik, serta budaya anarkis- desktruktif atas nama kebenaran agama, atas nama HAM adalah menggagas ide-ide kreatif, 78
bagaimana mendekonstruksi dunia pendidikan sebagai upaya untuk mengadvokasi problematika yang berkembang di masyarakat. Hal ini perlu di upayakan agar pendidikan pada setiap prosesnya dapat menumbuhkan, mendorong dan memberdayakan potensi-potensi yang ada pada diri peserta didik serta dapat menjadikan pendidikan sebagai suatu proses pembebasan manusia yang “tertindas”. Disamping itu upaya untuk menggagas idealita sosok pendidik juga perlu diupayakan, hal ini dikarenakan pendidik merupakan faktor penting dalam dunia pendidikan, dimana ia memiliki kapasitas (capability), kemampuan untuk memberikan pendidikan, pengajaran, pemahaman dan pengertian kepada peserta didik agar dapat melihat realita yang ada dengan pendekatan kontekstual yang membebaskan.
B. PEMBAHASAN “Education is not a preparation of life, but it’s life it self”. Demikian pendapat John Dewey ketika beliau berusaha menjelaskan tentang ranah pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan adalah proses kehidupan. Seringkali dalam proses pendidikan sering kali peserta didik tercerabut dari dunia dalam pembelajaran. Proses pendidikan secara umum masih
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Sirah Nabawiyah dan Dekonstruksi
mendewakan kemampuan kognitif dibandingkan aspek afektif dan psikomotorik. Penghargaan berlebih terhadap salah satu aspek kemampuan pada diri peserta didik, menjadikan pendidikan laksana pisau-pisau tajam yang siap memotong, memutus sisi lain kecerdasan yang dimiliki peserta didik. Penghargaan berlebih akan kemampuan kognitif terbukti dari banyaknya upaya yang dilakukan peserta didik maupun orang tua terjebak pada “grade-minded”. Walaupun saat ini banyak kritik yang dilontarkan atas carut-marutnya dunia pendidikan, masih ada asa, harapan dan keyakinan kontribusi positif dari (proses) pendidikan terhadap nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa depan. Sebagaimana keyakinan Shane dalam Freire (1984), ia mengatakan bahwa pendidikan mampu memberikan kontribusi terhadap perkembangan kebudayaan yang lebih baik (education must shift into the future).7 Penguatan pendidikan moral (moral education) atau pendidikan karakter (character education) dalam konteks saat ini merupakan upaya untuk mengatasi krisis moral. Krisis tersebut antara lain
berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, por nografi, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas, oleh karena itu betapa pentingnya pendidikan karakter.
Prof. Suyanto Ph.D dalam artikelnya “Urgensi Pendidikan Karakter” menyatakan bahwa pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.8
7. Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, di Indonesiakan oleh Alouis A. Nugroho. Jakarta: PT. Gramedia, 1984, hlm. 39 8. http://waskitamandiribk.wordpress.com/2010/06/02/urgensi-pendidikan-karakter/ diakses pada tanggal 27 Juli 2014 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
79
Moh. Toriqul Chaer
Mendiknas Moh. Nuh terkait dengan pentingnya pendidikan karakter, menyatakan bahwa; Pertama, pendidikan karakter dianggap akan mampu mewu judkan keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa kesuksesan seseorang 80 % ditentukan oleh aspek yang terkait dengan karakter atau kepribadian seseorang. Sisanya, 20 % terkait dengan pengetahuan atau wawasan, serta ketrampilan yang bersifat hardskill. Kedua, tentu saja terkait peristiwa terkini mengenai adanya fenomena radikalisasi di kalangan generasi muda, terutama yang menyangkut atas pemahaman keagamaan dan sikap toleransi dalam bermasyarakat. 9 Pendidikan sebagai proses pembentukan karakter peserta didik setidaknya melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang bersinergi secara utuh. Jika salah satu tidak ada maka pendidikan karakter tidak akan berjalan secara efektif. Dari proses kesadaran seseorang mengetahui tentang nilai-nilai
yang baik (knowing the good), lalu merasakan dan mencintai kebaikan (feeling and loving the good) itu sehingga terpatri dalam jiwanya yang akhirnya menjadi berkakter kuat untuk melakukan kebaikan. Feeling and loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi power yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Lickona (1992) berpendapat bahwa watak atau karakter anak dalam hal ini peserta didik dapat dibentuk atau dikenal dengan educating for character. Dalam pembentukan karakter tersebut, Lickona mengacu pada pemikiran filosof Michael Novak yang berpendapat bahwa watak atau karakter seseorang dibentuk melalui tiga aspek meliputi: moral knowing, moral feeling, dan moral behavior. Melalui tiga kerangka berpikir tersebut hasil pembentukan sikap atau karakter anak dapat dilihat. Masingmasing aspek dalam tiga kerangka pembentukan moral anak yang dikemukakan Lickona di atas memiliki unsur atau aspek-aspek tersendiri.10
9.http://ismails3ip.staff.fkip.uns.ac.id/2012/04/05/pendidikan-karaktersebuah-usulan/ diakses pada tanggal 27 Juli 2014 80
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Sirah Nabawiyah dan Dekonstruksi
Menurut D.K. Albertus (2010) pendidikan karakter yang efektif senantiasa menyertakan tiga basis pendekatan, yaitu pendidikan karakter berbasis kelas, kultur sekolah, dan komunitas. Pen dekatan karakter berbasis kelas biasanya diwujudkan dalam integrasi kurikulum dan pem belajaran. Pendekatan kultur sekolah merupakan interaksi komunitas sekolah dengan keterikatan pada aturan norma, moral, dan etika bersama yang berlaku di sekolah. Sedangkan, pendekatan komunitas merupakan interaksi sehari-hari anak didik dengan lingkungan keluarga dan masyarakat yang memelihara moralitas kehidupan. Inti dari pendidikan karakter adalah mengembangkan potensi anak didik sebagai pembelajar yang baik (good knower) yang selalu terikat dalam berfikir (fikir), merasakan (dzikir) dan bertindak (fi’il) terhadap nilai-nilai kebaikan. Lebih dari itu untuk lingkungan pendidikan Islam tentu menjadi basis spiritual-goodness yang
biasanya dikenal di lingkungan pesantren, madrasah, diniyah, dan sekolah Islam dengan materi aqidah-akhlak. Bagaimana aqidahakhlak ini tidak hanya berhenti pada knowing, tapi juga menjadi feeling dan action. Strategi paling efektif adalah mengajar dengan “keteladanan dan inspirasi berbasis moral atau karakter”.11 Q-Anees dan Hambali (2008) mengungkapkan bahwa setidak nya ada beberapa opsi pendidikan karakter diantaranya; (1) knowing the good, (2) feeling and loving the good, (3) acting the good. Pembelajaran dari aspek knowing the good, feeling and loving the good dan acting the good pembelajar butuh keteladanan dari lingkungan sekitarnya. Manusia lebih banyak belajar dan mencontoh dari apa yang ia lihat dan alami. Dalam hal ini nilai-nilai keteladanan (akhlak) yang dicontohkan Rasulullah SAW dalam Sirah Nabawiyah merupakan modal dasar pendidikan karakter peserta didik.
10. T. Lickona, Educating for Character. New York: Bantam Books, 1992, p. 219. Selanjutnya Lickona mengatakan bahwa Aspek konsep moral (moral knowing) mencakup kesadaran moral (moral awarness), pengetahuan nilai moral (knowing moral value), pandangan ke depan (perspective taking), penalaran moral (moral reasoning), pengambilan keputusan (decision making), dan pengetahuan diri (self knowledge). Aspek sikap moral (moral feeling) meliputi: kata hati (conscience), rasa percaya diri (self esteem), empati (emphaty), cinta kebaikan (loving the good), pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (huminity). Aspek perilaku moral (moral behavior) mencakup: kemampuan (compalance), kemauan (will), dan kebiasaan (habbit). 11. D. K. Albertus, Pendidikan Karakter Integral. Dalam koran Harian KOMPAS, 11 Februari , 2010 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
81
Moh. Toriqul Chaer
Sirah Nabawiyah12 yang berisi perincian kisah hidup Rasulullah, yakni asal-muasal, suku dan nasab, dan keadaan masyarakatnya, sebelum beliau dilahirkan. Kemudian berlanjut kepada kelahiran beliau, masa kecil, remaja, dewasa, pernikahan, menjadi Nabi, serta perjuangan-perjuangan beliau dalam menegakkan Islam hingga akhir hayatnya. Pembahasan tentang bagaimana sifat pribadi, akhlak serta cara beliau menjalani kehidupan sehari merupakan gambaran ideal karakter kepribadian yang patut diteladani. Pendidikan yang mengajarkan bagaimana sifat Nabi yang memiliki ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritualindividual, tetapi juga menjadi
pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan harus senantiasa diupayakan. Syaikh Shafiyyur-Rahman AlMubarakfury (2000); menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran Islam merupakan sosok yang memiliki akhlak yang sangat terpuji. Sifatsifat yang dituliskan dalam sejarah hanyalah sebagian kecil dari gambaran kesempurnaan dan keagungan sifat-sifat beliau. Hal-hal yang berupa akhlak beliau adalah juga merupakan ‘pendidikan akhlak’ (baca: ‘pendidikan karakter’) yang termaktub di dalam hadits yang
12. Sirah nabawiyah ialah sejarah perjalanan hidup Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam. Kata “ sirah“ berasal dari kata dalam bahasa arab “ saara-yasiiru “ yang artinya berjalan. Kemudian kata tersebut digabungkan dengan kata “nabawiyah” sehingga bermakna seri perjalanan hidup Nabi sholallahu alaihi wassalam, yang kemudian menjadi istilah untuk penyebutan seri perjalanan hidup Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Seringkali sirah dimaksudkan sebagai Sirah Nabawiyah, menurut istilah syar’i maksud dari As-Sirah AnNabawiyah adalah Ilmu yang kompeten yang mengumpulkan apa yang diterima dari fakta-fakta sejarah kehidupan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam secara komprehensif dari sifat-sifatnya, etika dan moral. Sirah Nabawiyah berisi perincian kisah hidup Rasulullah, yakni asal-muasal, suku dan nasab, dan keadaan masyarakatnya, sebelum beliau dilahirkan. Kemudian berlanjut kepada kelahiran beliau, masa kecil, remaja, dewasa, pernikahan, menjadi Nabi, serta perjuangan-perjuangan beliau dalam menegakkan Islam hingga akhir hayatnya. Bicara sejarah berarti bicara tentang peristiwa, pelakunya, waktu dan tempat kejadiannya. Sementara bicara sirah maka akan bicara tentang sosok seseorang yang sedang jadi pembahasan mulai kelahirannya, kepribadiannya, peristiwa yang dialaminya, dan pelajaran apa yang bisa diambil darinya (http://dainusantara.com/urgensi-mempelajari-siroh-nabawiyah /#sthash. MBWrESuU.dpuf, diakses pada tanggal 27 Juli 2014). Ibnu Mandzur dalam kitab Lisanul Arab menyatakan arti As-Sirah menurut bahasa adalah kebiasaan, jalan, cara, dan tingkah laku. Menurut istilah umum, artinya adalah perincian hidup seseorang atau sejarah hidup seseorang. Seringkali sirah dimaksudkan sebagai Sirah Nabawiyah, menurut istilah syar’i maksud dari As-Sirah AnNabawiyah adalah Ilmu yang kompeten yang mengumpulkan apa yang diterima dari fakta-fakta sejarah kehidupan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam secara komprehensif dari sifatsifatnya, etika dan moral (http://asiri.net/seerah/seerah.htm, diakses pada tanggal 27 Juli 2014) 82
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Sirah Nabawiyah dan Dekonstruksi
sejatinya harus diteladani oleh umat Islam.13 Pendidikan Sirah Nabawiyah merupakan upaya agar peserta didik menndapatkan gambaran sosok ideal dan contoh mulia dalam seluruh aspek kehidupannya. Sebagai apapun status orang di tengah masyarakat, ia akan mendapati contoh terbaik itu ada pada diri Rasulullah Muhammad SAW Karena Allah telah menjadikannya qudwah bagi seluruh manusia sebagaimana tercantum dalam Firman Allah Surat Al-Ahzab ayat 21. Per tanyaannya adalah bagaimana pendidikan karakter berbasis sirah nabawiyah mampu memberdayakan kemampuan peserta didik dalam menjawab persoalan kehidupan manusia? Salah satu upaya adalah memperkuat basis pembelajaran Sirah Nabawiyah dengan pendidikan karakter berbasis paradigma pembebasan; yaitu pendidikan tentang nilai-nilai yang baik (knowing the good), merasakan
dan mencintai kebaikan (feeling and loving the good) yang termanifestasi dalam wujud upaya mengadvokasi manusia tertindas dari situasi penindasan dan ketertindasan. Manusia dalam hal ini peserta didik harus dibangkitkan kesadarannya sebagai subyek dan bukan objek, ia harus terlibat dalam realitas dan mampu menangkap tema realitas zaman, atau dalam pengertian bahwa peserta didik harus mampu hadir ditengah- tengah masyarakat dengan segenap potensi kreatifitas dan nalar kritisnya. Dalam pendidikan berbasis pembebasan harus mengupayakan agar sikap kritis peserta didik terjaga dengan baik dan mampu menyesuaikan diri dan terintegrasi dengan semangat zamannya. Salah satu tokoh pendidikan pembebasan adalah Paulo Freire. Ia tokoh pendidikan Brasil dan teoretikus pendidikan yang berpengaruh di dunia. Freire juga dikenal sebagai tokoh pendidikan yang sangat kontroversial.14 Ia menggugat sistem pendidikan yang
13. Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury. 2000. “Sirah Nabawiyah”, Pustaka AlKautsar. Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury adalah seorang ulama kontemporer dari Benares, India dalam bukunya “Sirah Nabawiyah”, yang memenangkan juara pertama lomba penulisan sejarah Nabi Muhammad yang diadakan oleh Rabithah al-‘Alam al-Islami atau Liga Dunia Islam pada tahun 1976. 14. Pikiran-pikirannya kerap dikutip karena adanya sementara anggapan bahwa praktik pendidikan di negeri ini baik karena lingkungan kultural maupun kebijakan politik pendidikan selama kurun rezim Orde Baru. Orde Baru yang identik dengan penguasa otoriter telah melahirkan sistem pendidikan yang tidak mampu melakukan pemberdayaan masyarakat secara efektif, meskipun secara kuantitatif telah menunjukkan prestasi yang luar biasa. Sistem pendidikan dijadikan salah satu instrumen untuk menciptakan safety net bagi pelestarian kekuasaan. La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
83
Moh. Toriqul Chaer
telah mapan dalam masyarakat Brasil. Freire dilahirkan di Recife, se buah kota pelabuhan bagian selatan Brasil pada 19 September 1921. Recife merupakan sebuah kota yang terbelakang dan miskin. 15 Robert W. Pazmiño (1988) mengatakan bahwa secara filo sofis, pemikiran Freire banyak dipengaruhi oleh aliran pemikiran Fenomenologi, Personalisme, Eksis tensialisme, dan Marxisme. Sebagai tokoh pendidikan, ia dikenal
sebagai salah satu tokoh utama Rekonstruksionisme. Beberapa karya Paulo Freire antara lain; Pedagogy of the Oppressed, Pedagogy of the City, Pedagogy of Hope, Pedagogy of the Heart, Pedagogy of the Freedom dan Pedagogy of Indignation. 16 Dalam ulasannya Freire mengatakan bahwa pendidikan yang dibutuhkan sekarang ini adalah pendidikan yang mampu menempatkan manusia pada posisi sentral dalam setiap perubahan yang terjadi, mampu mengerahkan dan mengendalikan
Sedangkan visi dan misi pelestarian kekuasaan melahirkan kebijakan pendidikan yang bersifat straight jacket yang kemudian menjadi penyebab kesenjangan terhadap pendidikan. Lihat Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hlm. 8. Pemikiran Freire juga hampir tidak jauh berbeda dengan Chili dan Brazil, tempat Freire melakukan refleksi sekaligus aksi pendidikannya, Lihat Abd. Malik Haramain, et.al. Pemikiran-pemikiran Revolusioner (Yogyakarta: Averroes Press, 2001), hlm. 158-159. 15. Denis Colins, Paulo Freire His Life, Works and Thought. New York: Paulist Press, 1977, p. 5. Kedua orang tuanya, Joachimk Themistocles Freire, ayahnya dan Edultrus Neves Freire, ibunya, berasal dari golongan menengah, menyadari apa artinya lapar bagi anak sekolah dasar. Seperti dikemukakan Richard Shaull, bahwa pada tahap inilah Freire memutuskan untuk mengabdikan hidupnya pada “ perjuangan melawan kelaparan sehingga tidak ada anak lain yang akan merasakan penderitaan yang ia alami”. Kesadaran ini tumbuh berkat lingkungan sosial yang tidak memihak kepada orang-orang miskin, terlantar dan tertindas. Lihat Collins, Paulo Freire; His Life, hlm. 6. Freire hidup di tengah masyarakat Amerika Latin yang di dalamnya berdiri suatu struktur piramida kerucut yang menandakan hirarki penindasan. Rakyat kebanyakan jatuh miski, tertindas, serta menggantungkan diri pada kaum elit yang minoritas dan terlahir sebagai kelompok penindas. Pada masyarakat kerucut demikian, kesadaran rakyat tenggelam dan saling menggantungkan diri. Ketergantungan tersebut, menurutnya, dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, ketergantungan ekonomis yang ditandai dengan terpusatnya modal baik secara kuantitatif maupun kualitatif di tangan sedikit orang saja, yakni kaum elit dan kaum metropolitan. Kedua, ketergantungan kelas yang ditandai dengan polarisasi dua kelas di mana kelas yang satu bergantung sama sekali dengan yanglain. Lihat Murtiningsih, Pendidikan Alat Perlawanan, hlm. 21. 16. Pazmino, Robert. W, Pazmino, Foundational Issues in Christian Education: An Introduction in Evangelical Perspective. Grand Rapids: Baker, 1988, p. 68. Pemikiran Freire ada yang langsung bisa dibaca dari karya-karyanya yang sudah diterjemahkan, tapi ada yang ditulis orang lain. Jenis karya pertama, misalnya, “The Politic of Education: Culture, Power and Liberation (terj.,1999), Pedagogy of the Oppressed (terj, 1985), Educacao Como Pratica da Liberdade (terj. 1984)”. Tentang Freire yang ditulis orang lain adalah karya Denis Collins, Paulo Freire; His Life, Works, and Thought, terj. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1999) dan Siti Murtiningsih, Pendidikan Alat Perlawanan, Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire (Yogyakarta: Resist Book, 2004). 84
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Sirah Nabawiyah dan Dekonstruksi
perubahan tersebut. Adalah sebuah keniscayaan apabila kultur budaya akademik yang interaktif dan kritis yang mampu menyemai pribadi- pribadi yang independen. Freire berkeyakinan bahwa manusia tidak hanya berperan sebagai “ada” dalam dunia tetapi terlibat dalam hubungan bersama dunia, maka pendidikan harus diarahkan agar subjek mampu memahami realitas. Kesadaran kritis yang diintegrasikan pada diri dengan realitas akan menimbulkan kesadaran, pemahaman akan aksi dan tindakan. Untuk membuka kesadaran terhadap realitas, Freire mengajukan konsep pendidikan yang disebut dengan “problem posing of education”, yaitu pendidikan yang bersifat menghadapkan subjek didik kepada persoalanpersoalan problematik dengan cara berpikir kreatif dan inovatif dalam pemecahannya. Schipani (1988) mengatakan bahwa bendidikan problem posing of education (hadap-masalah) merupakan pendidikan alternatif yang ditawarkan Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada peserta La-Tahzan
didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik. Konsep pendidikan ini menurutnya akan mampu mendekonstruksi paradigma pendidikan yang selama ini berbasis pada “banking concept of education”, yaitu pendidikan tidak lebih seperti menaruh investasi atau menjejalkan sejumlah materi kepada anak didik yang pada akhirnya pendidikan hanya sebuah proses mekanisasi dan dehumanisasi manusia. Salah satu prasyarat yang dibutuhkan untuk ketercapaian “problem posing of education” adalah iklim demokratis. Freire dalam hal ini setuju dengan proposisi Karl Manheim, yang menyatakan bahwa “semakin proses demokratisasi menyebar secara massif, maka akan semakin susah untuk menyuruh rakyat tinggal dalam kebodohan”, maka konsekuensi logis dari proposisi ini diperlukan konstruksi bangunan dalam pendidikan yang dialogisegaliter, rendah hati, kasih sayang, penuh harapan, kepercayaan dan sikap kritis. Dalam hal ini pendidik (guru) memegang peranan penting bagaimana mewujudkan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
85
Moh. Toriqul Chaer
pembelajaran yang ideal. Per kembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengharuskan orang untuk belajar, lebih-lebih pendidik yang mempunyai tugas mendidik dan mengajar. Oleh karena itu, kemampuan pendidik harus senantiasa ditingkatkan untuk mengimbangi atau mengikuti kemajuan zaman tersebut.17 Selain itu permasalahan-per masalahan sosial, keagamaan yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat menjadi tugas pokok seorang pendidik untuk menterjemahkan, memberikan apre siasi berdasar pada analisa konstekstual, pemahaman, pe naf siran yang benar dan pro porsional, berimbang kepada peserta didiknya. Atas tuntutan pengelolaan peserta didik yang komprehensif dan integral, maka seorang pendidik dituntut untuk memiliki kedalaman normatif dan ketajaman visi.18 Kedalaman normatif dan ketajaman visi menuntut syarat sebagai berikut; pertama, dibutuhkan profil pendidik yang dapat mendeskripsikan secara mendasar dan mendalam tentang
manusia yang ingin dihasilkan. Ketajaman visi diperlukan sebagai upaya agar proses pendidikan dapat berkesinambungan dengan perubahanperubahan yang terjadi di era kekinian dan masa depan, sehingga peserta didik yang dihasilkan adalah pribadipribadi yang mempunyai kesiapan dalam menghadapi tantangan masa depan. Kedua, proses pendidikan yang dilakukan tidak berorientasi pada ruang hampa, tetapi relevan dengan problematika dan realitas sosial, budaya dan agama yang berkembang. Oleh karenanya sistem pembelajaran yang terbuka (open minded) diharapkan mampu mengatasi kegagapan sikap, perilaku peserta didik pada setiap perubahan yang terjadi di masyarakat. Tugas pendidik adalah bagaimana membangun proses pemberdayaan dan pembangunan (empowering) peserta didik sehingga mereka mampu dengan secara kritis melakukan perubahan dan perbaikan persoalan- persoalan hidup menjadi lebih baik.19 Rogers dalam Tilaar memberikan panduan
(1999) agar
17. Schipani, Daniel. Schipani, Religious Education Encounters Liberation Theology. Alabama: Religious Education, 1988, p. 3 18.Malik, Fajar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta: LP3NI, 1998, hlm. 213 19. Dalam kajian teori filsafat pendidikan Progressivisme, proses pemberdayaan dan pembangunan melalui pendidikan ini merupakan upaya untuk “the liberal road to culture”, yaitu bagaimana pendidikan sebagai upaya membangun pandangan hidup yang memiliki karakteristik sifat- sifat seperti: fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh suatu doktrin 86
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Sirah Nabawiyah dan Dekonstruksi
pendidik sebagai fasilitator pem belajaran, hendaknya memberikan metode inquiry atau belajar menemukan (discovery learning) oleh karenanya pendidik dituntut untuk merubah paradigma berpikir dalam mengajar, dan hal terpenting pendidik perlu menyediakan ragam kegiatan pembelajaran yang berimplikasi pada banyak nya ragam pengalaman belajar sehingga siswa mampu mening katkan daya analitis-kritis, siswa mampu mengembangkan kom petensinya. Pemahaman yang komprehensif tentang hakekat pembelajaran, dan bagaimana menciptakan pembelajaran yang interaktif, analitis kritis yang dapat me numbuh kembangkan potensipotensi yang ada pada siswa dapat terakomodasi dengan baik. Jika itu telah terpenuhi pada setiap jiwa pendidik maka bukan tidak mungkin pendidikan mampu mencetak pribadipribadi yang independen yang mampu mewujudkan masyarakat madani (civil society). Masyarakat berperadaban yang menjunjung tinggi nilai- nilai kemanusiaan, yang sadar akan hak dan kewajibannya,
demokratis, bertanggungjawab, ber disiplin, menguasai sumber informasi dalam bidang iptek dan seni, budaya dan agama.20 Pendidik menurut Freire tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada peserta didik, tetapi mereka juga harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural worker). Mereka -pendidik- harus sadar bahwa pendidikan itu memiliki dua kekuatan sekaligus; sebagai aksi kultural untuk pembebasan yang mengadvokasi nilai- nilai agama dan pendidikan terhadap ketimpangan sosial atau sebagai aksi kultural untuk dominasi, hegemoni dan pembenaran atas problematika kultural; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru, yang progresif atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo. Jika pendidikan dipahami oleh seorang pendidik sebagai aksi sosial kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam memberikan solusi atas budaya kekerasan, budaya kemiskinan
tertentu), curious (ingin mengetahui, ingin menyelidiki), toleran (egaliter) dan open-minded (mempunyai hati terbuka) (Lihat Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004, hlm. 27). 20. H.A.R.Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Penerbit Tera Indonesia, 1999, hlm. 116 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
87
Moh. Toriqul Chaer
dan budaya korupsi agar tercipta kehidupan publik yang santunberetika, adil, demokratis dan menjunjung tinggi nilai religiusitas beragama. Untuk itu dalam pandangan Freire, “ reading a word cannot be separated from reading the world and speaking a word must be related to transforming reality”. Dengan demikian harus ada kontekstualisasi pembelajaran dikelas. Teks yang diajarkan dikelas harus dikaitkan untuk mengadvokasi problematika di kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada dialektika antara teks dan konteks, teks dan realitas. Dialektika teks dan konteks adalah upaya pembelajaran dengan mengaitkan apa-apa yang telah diajarkan pendidik dengan peristiwa, pikiran atau perasaan yang diperoleh dari kehidupan rumah, sosial, atletik, musik, seni, rekreasi atau akademik peserta didik. Konsep pembelajaran “bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka” ini dikenal –juga- sebagai pembelajaran kuantum yang merupakan pengembangan dari teori konstruktivisme.21 Sebagai penutup dari kajian ini, penulis hadirkan kisah drama Pygmalion dari George Bernard
Shaw yang mengisahkan upaya seorang profesor membantu seorang wanita “murahan” bernama Eliza Doolitle menjadi seorang wanita terhormat. Cerita ini mengisahkan upaya yang dilakukan sang profesor memperlakukan Eliza Doolitle benar-benar seperti memperlakukan seorang wanita terhormat. Pada bagian akhir cerita si wanita benar-benar memenuhi harapan yang diletakkan sang profesor terhadap dirinya. Drama Pygmalion ini menginspirasi film “Pretty Woman” yang dibintangi Julia Robert dan Richard Gere, dengan setting alur cerita antara jalinan kisah kasih asmara antara seorang pelacur dengan seorang flamboyan kaya-raya. Goethe menyatakan prinsip diatas dengan kalimat sebagai berikut; “Perlakukanlah seseorang se bagaimana dirinya terlihat maka ia pasti akan menjadi lebih jelek. Tapi perlakukanlah seseorang sebagaimana yang dimungkinkan oleh potensinya, maka pasti ia akan menjadi demikian”.
Kesimpulan Pendidikan bukan hanya sekedar proses penerimaan pengetahuan yang diberikan atau yang diperintahkan orang lain, melainkan ada keterlibatan diri dalam proses pengetahuan,
21. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/275458.htm diakses Senin, 8 Juli 2014 88
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Sirah Nabawiyah dan Dekonstruksi
kemajuan kearah raison d’etre realitas. Makin kritis peserta didik menyoroti masa lalu dan masa kini, dalam dan dengan dunianya, atau semakin peserta didik kreatif dan kritis dalam mensiasati hidup memudahkan penyadaran mereka bahwa dunia bukanlah “blind alley”, jalan buntu, bukan situasi determinan yang hanya menimpa mereka. Maka dengan demikian pendidikan dalam pandangan Freire, merupakan sebagai keadaan “menjadi” bukan sesuatu yang selesai dan pendidikan harus dapat menyesuaikan diri dengan laju derap realitas, agar tetap bertahan dalam keadaan menjadi.22 Pembelajaran Sirah Nabawiyah dengan pendidikan karakter berbasis paradigma pembebasan; berbasis nilai-nilai yang baik (knowing the good), merasakan dan mencintai kebaikan (feeling and loving the good) yang termanifestasi dalam wujud upaya mengadvokasi manusia tertindas dari situasi
penindasan dan ketertindasan. Manusia dalam hal ini peserta didik harus dibangkitkan kesadarannya sebagai subyek dan bukan objek, ia harus terlibat dalam realitas dan mampu menangkap tema realitas zaman, atau dalam pengertian bahwa peserta didik harus mampu hadir ditengah- tengah masyarakat dengan segenap potensi kreatifitas dan nalar kritisnya. Dalam pendidikan berbasis pembebasan harus mengupayakan agar sikap kritis peserta didik terjaga dengan baik dan mampu menyesuaikan diri dan terintegrasi dengan semangat zamannya. Pendidikan bukan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, masyarakat yang mengerti potensi-potensi diri bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestige sebagai
22. Wahyudi, Pendidikan Islam Berparadigma Pembebasan: Sebuah Solusi Pengembangan Sumber Daya Manusia Menuju Masyarakat Madani, dalam Jurnal Edukasi, Volume 4, Nomor 3, Juli-September, 2006, hlm. 126-128. Substansi pemikiran pendidikan Freire terletak pada pandangannya tentang manusia dan dunianya yang kemudian ditransformasikan ke dalam dunia pendidikan. Model pendidikan yang ditawarkannya adalah model pendidikan yang membebaskan. Pembebasan bermakna transformasi atas sebuah sistem realitas yang saling terkait dan kompleks, serta reformasi beberapa individu untuk mereduksi konsekuensi-konsekuensi negatif dari perilakunya. Langkah awal yang paling menentukan dalam upaya pendidikan pembebasannya adalah proses penyadaran yang inherent dan merupakan proses inti atau hakikat dalam keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Untuk mewujudkan hal tersebut, kebiasaan pendidikan deskriptif diharapkan digeser ke arah pendidikan dialogik-transformatif, agar pendidikan tidak dirasakan sebagai pendidikan yang membelenggu. Pendidikan diharapkan dapat menghasilkan perubahan terdiri siswa baik perubahan dalam kualitas berfikir, kualitas pribadi, kualitas sosial, kualitas kemandiriannya dan kualitas kemasyarakatannya La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
89
Moh. Toriqul Chaer
akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Pendidikan tidak harus selamanya dikorbankan dengan tuntutan perubahan yang terjadi dimasyarakat, pendidikan sudah seharusnya dilihat sebagai proses utuh dan komprehensif diri dan keterlibatannya dengan konteks kongkret setempat yang diharapkan pada akhirnya peserta didik tidak tercerabut dari akar sejarah hidup masyarakatnya. Diperlukan sebuah komitmen moral untuk membangun dunia pendidikan yang humanis, egaliter, kreatif, egaliter dan demokratis dengan mengedepankan nilainilai kearifan lokal, sehingga peserta didik tidak menjadi sosok- sosok liyan (terasing) pada lingkungannya.
Disamping itu seorang pendidik dituntut memiliki kemampuan (capability), kompetensi akademik yang memadai sebagai upaya memberikan ruang, jalan bagi pemahaman agama yang baik dan benar terhadap peserta didik agar tidak terkontaminasi bias-bias dinamika modernitas yang hipokrit dan permisif. Sehingga nantinya pendidik bisa menjadi pemandu, pembimbing bagi peserta didik dalam menterjemahkan dan memahami nilai-nilai idealisme pendidikan, terutama pendidikan agama secara kontekstual, dengan pendekatan yang humanis, inklusif dan egaliter, sebagaimana dalam ajaran Islam bahwa Islam datang dan hadir sebagai rahmatan lil alamiin.23
23. Gambaran tentang rangkaian etika akademis yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan dan seorang pendidik, lihat Ibn Jama’ah, Tazkirah al- Sami’ wal Mutakkalimun fi Adab al- A’lim wal Mutta’alim (1354 H). Dalam bukunya Ibnu Jamaah menempatkan dua belas poin penting yang dapat dijadikan acuan kepribadian untuk menjadi ilmuwan, intelektual dan pendidik yang baik (Lihat Asari, Hasan Asari, MA, Etika Akademis dalam Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008: 41-51). 90
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Sirah Nabawiyah dan Dekonstruksi
DAFTAR PUSTAKA
Albertus, D.K. 2010. Pendidikan Karakter Integral. Dalam koran Harian KOMPAS, 11 Pebruari Ali, Mukti. 1971. Beberapa Masalah Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Nida Asari, Hasan. 2008. MA, Etika Akademis dalam Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana Colins, Denis. 1977. Paulo Freire His Life, Works and Thought. New York: Paulist Press Fajar, Malik. 1998. Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta: LP3NI Freire, Paulo. 1984. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, di Indonesiakan oleh Alouis A. Nugroho. Jakarta: PT. Gramedia
Inkeles. ”The Modernization of Man,” dalam Weimer (ed) . Modernization : The Dynamics of Growth. Voice of Amerika Forum Lectures Joesoef, Daoed. 2001. “Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran”, dalam Sularto (ed). Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Antara Cita dan Fakta. Jakarta: Kompas. Subagi. 1985. Kritik Atas: Koensientasi dan Pendidikan, Teropong Paulo Freire dan Ivan Illich dalam Martin Sardy (ed). Pendidikan Manusia. Bandung: Alumni Lickona, T. 1992. Educating for Character. New York: Bantam Books.
Fromm, Erich. 1972. Psychoanalysis and Religion, Yale University Press
Muhaimin. 2002. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Haramain, Abdul Malik, et.al. 2001, Pemikiran-pemikiran Revolusioner, Yogyakarta: Averroes Press,
Muhajir, As’aril. 2001. Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Imron, Ali. 1995. Pembinaan Guru di Indonesia. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya La-Tahzan
Murtiningsih, Siti, 2004, Pendidikan Alat Perlawanan, Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire, Yogyakarta: Resist Book
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
91
Moh. Toriqul Chaer
Pazmino, Robert. W. 1988. Foundational Issues in Christian Education: An Introduction in Evangelical Perspective. Grand Rapids: Baker Sanaky, Hujair AH, 2003, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia Yogyakarta: Safiria Insania Press Schipani, Daniel. Religious Education Liberation Theology. Religious Education
S. 1988. Encounters Alabama:
Sholeh, Asrorun Niam. 2006. Membangun Profesionalitas Guru Analisis Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen. Jakarta: eLSAS
Zuhairini, dkk. 2004. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara Internet h tt p : / / w w w . k o m p a s . c o m / kompas-cetak/0305/05/275458.htm h tt p : / / i s m a i l s 3 i p . s t a ff . fk i p . uns.ac.id/2012/04/05/pendidikankaraktersebuah-usulan/ h tt p : / / w a s k i t a m a n d i r i b k . wordpress.com/2010/06/02/ urgensi-pendidikan-karakter/ h tt p : / / d a i n u s a n t a r a . com/urgensi-mempelajarisirohnabawiyah/#sthash. MBWrESuU. dpuf
Suyudi. 2005. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an. Yogyakarta: Penerbit Mikraj Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Penerbit Tera Indonesia Wahyudi.2006. Pendidikan Islam Berparadigma Pembebasan: Sebuah Solusi Pengembangan Sumber Daya Manusia Menuju Masyarakat Madani, dalam Jurnal Edukasi, Volume 4, Nomor 3, Juli-September, 2006 Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury. 2000. “Sirah Nabawiyah”, Pustaka Al-Kautsar
92
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Moderasi Pemikiran Gender KH. M.A. Sahal Mahfudh Oleh: Dr. Jamal Ma’mur, MA Peneliti Fiqh Sosial Institute STAIMAFA Pati, Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU) Jawa Tengah.
ABSTRAK
P
andangan mayoritas ulama Nahdlatul Ulama (NU) me nempatkan perempuan da lam posisi marginal. Pandangan ini tidak lepas dari paradigma berpikir yang tekstual, absolut, dan final dalam memahami teksteks kitab kuning. Pandangan para ulama NU yang memarginalkan kaum perempuan ini menjadi masalah serius dalam konteks perjuangan menuju keadilan gender. Menurut Mufidah, ke tidakadilan gender disebabkan tiga hal, yaitu budaya patriarkhi, teks agama yang dipahami bias gender, dan kebijakan negara yang tidak berpihak kepada perempuan. Dalam konteks ini, kehadiran KH. MA. Sahal Mahfudh dengan
La-Tahzan
pandangan gender yang moderat dan progresif menjadi angin segar bagi perjuangan menuju keadilan gender. Pengaruh besar dan otoritas keilmuan KH. MA. Sahal Mahfudh dalam komunitas NU dan bangsa secara umum menjadikan pandangannya di terima banyak kalangan dengan legitimasi keagamaan yang sangat kuat. Sampai akhir hayatnya, KH. MA. Sahal Mahfudh adalah Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Ketua Umum MUI Pusat. Penelitian ini termasuk penel itian sejarah pemikiran, yaitu sejarah pemikiran yang meng kaji teks, konteks sejarah, dan hubungan teks dengan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
93
Dr. Jamal Ma’mur, MA
konteks. Teori yang digunakan menggunakan maqasidus syariah, tujuan aplikasi syariat Islam yang mendatangkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan. Analisis data menggunakan wacana kritis, yaitu pisau analisis yang menggali dimensi konteks sosial, sejarah, kekuasaan, dan ideologi seorang aktor dalam pergumulan pemikiran dan mobilitas sosialnya. Banyak sekali pandangan gender KH. MA. Sahal Mahfudh yang bercorak moderat dan progresif. Sebagian pandangan tersebut antara lain: laki-laki dan perempuan adalah sama-sama makhluk Allah yang mempunyai peluang dan kesempatan yang sama untuk memainkan peran di sektor publik, perempuan boleh menjadi pemimpin jika mempunyai kapabilitas, wali mujbir harus meminta ijin anak perempuan, dan mendukung program Keluarga Berencana (KB) untuk meningkatkan kualitas keluarga dan kader masa depan. Kata kunci: KH. MA. Sahal Mahfudh, moderasi, keadilan gender
A. PENDAHULUAN Pemikiran dan gerakan yang memp erjuangkan keadilan dan kesetaraan gender yang sedang booming di era globalisasi sekarang ini menjadi tantangan serius ulama Nahdlatul Ulama (NU). Mereka tidak bisa lari dari masalah ini, karena diskursus gender sudah masuk secara sistematik dalam semua bidang, baik struktural maupun kultural. Secara struktural, di birokrasi, adanya Menteri Peranan Wanita adalah contoh konkret perhatian besar negara dalam pemberdayaan kaum perempuan. Secara kultural, lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Kajian dan Penerbitan yang fokus pada kajian keadilan dan kesetaraan gender, seperti Rahima Jakarta, Woman Crisis Center di Jombang Jawa Timur, dan Fahmina Institut Cirebon, gencar mengusung agenda gender. Gender adalah konstruksi sosial tentang peran, tugas, dan kedudukan perempuan dan laki-laki.1 Dalam konteks merespons gerakan gender ini, para ulama NU menjadikan kitab kuning yang berhaluan Aswaja sebagai referensi utama. Forum yang
1. Rahayu Relawati, Konsep dan Aplikasi Penelitian Gender, Bandung : Muara Indah, 2011, hlm. 3 94
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Moderasi Pemikiran Gender
fokus pada kajian persoalan aktual dalam perspektif kitab kuning adalah bahtsul masâ’il al-diniyah (mengkaji masalah-masalah aga ma) yang diselenggarakan oleh Lem baga Bahtsul Masa’il (LBM) yang melibatkan para kiai, baik yang menjadi pengasuh pondok pesantren atau tidak, santri pondok pesantren, akademisi dari kampus, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lain-lain. Menurut Ahmad Zahro, LBM NU tidak lepas dari tradisi pemikiran fikih mazhabi, yaitu fikih yang mengikuti pendapat salah satu mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam memecahkan masalah, fikih empat mazhab ini menjadi acuan utamanya.2 Epistemologi hukum NU dalam konteks bermazhab ini adalah qauli, yaitu menjawab persoalanpersoalan yang terjadi dengan pendapat-pendapat (aqwal) para ulama yang ada dalam kitab kuning. Bermazhab secara qauli membuat pola pemahaman hukum NU menjadi tekstual, rigid, absolut, dan final. Dalam konteks gender, bermazhab secara qauli menghasilkan produk pemikiran yang diskriminatif karena menempatkan perempuan dalam
posisi inferior, sebagai makhluk domestik dan subordinat kaum lakilaki. Inilah yang disebut kelompok konservatif, karena memelihara pemikiran ulama masa lalu tanpa mengkaji relevansinya dengan realitas kekinian dan kurang mengakomodir perkembangan dunia yang berjalan secara dinamis. Dalam konteks inilah, penelitian terhadap pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh sangat urgens, karena menggali pemikiran salah satu tokoh pembaharu NU yang mempunyai pemikiran-pemikiran gender yang moderat dan progresif dalam konteks pemberdayaan kaum perempuan. Pemikiranpemikiran gender KH. MA. Sahal Mahfudh bisa dijadikan salah satu model pemikiran gender yang mempunyai legitimasi teks klasik yang sangat kuat dan legitimasi sosial yang berorientasi pada pemberdayaan potensi kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan. Sosialisasi pemikiran tokoh pembaharu kaum tradisionalis ini sangat mendesak karena eksistensinya diterima oleh semua kalangan dalam komunitas NU, bahkan bangsa, mengingat posisinya sebagai Rais Am PBNU dan Ketua Umum MUI Pusat sampai akhir hayatnya.
2. Ahmad, Zahro, Tradisi Intelektual, Yogyakarta : LKiS, 2004, hlm. 1 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
95
Dr. Jamal Ma’mur, MA
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk pe nelitian sejarah pemikiran yang dilahirkan oleh individu. Sejarah pemikiran mengkaji teks, konteks sejarah, dan hubungan teks dan masyarakat.3 Penelitian ini masuk dalam ruang lingkup penelitian budaya yang mencakup penelitian tentang naskah-naskah (filologi), benda-benda purbakala agama (arkeologi), penelitian tentang sejarah agama, penelitian tentang pemikiran tokoh agama berikut nilai-nilai yang dianutnya.4 Penelitian ini sangat signifikan karena berusaha untuk mengetahui pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh sebagai tokoh kaum tradisionalis dalam merespons tantangan pemikiran dan gerakan gender. Tampilnya KH. MA. Sahal Mahfudh dalam merespons pemikiran dan gerakan gender sebagai bukti nyata dinamika progresif yang terjadi dalam komunitas kaum tradisionalis. Menguak pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh menjadi signifikan untuk memahami dinamika internal kaum tradisionalis dan mengetahui metodologi apa yang digunakan sehingga pemikiran
KH. MA. Sahal Mahfudh mampu mengakomodir kalangan tradi sionalis yang kental dengan tradisi kitab kuning dan kalangan modernis yang mengedepankan dimensi rasionalitas. Sebagai seorang pemimpin dan pemikir garda depan NU, KH. MA. Sahal Mahfudh mempunyai pengaruh besar dalam komunitas NU, sehingga hasil penelitian ini menjadi kontribusi besar dalam menggerakkan perubahan progresif dalam tubuh NU dalam merespons pemikiran dan gerakan gender dengan kekayaan tradisinya. Penelitian ini juga untuk menjawab tuduhan sepihak kalangan luar yang menganggap NU sebagai organisasi yang pasif, stagnan, dan ortodoks. Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh ini menunjukkan bahwa pemikirpemikir NU adalah sosok yang dinamis, responsif, akomodatif, dan progresif dalam menjawab tantangan zaman dengan pemikiran-pemikiran bernas yang sesuai dengan ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sumber data dalam penelitian ini adalah dokumentasi. Dokumentasi adalah sumber data yang dijadikan rujukan utama peneliti dalam
3. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003, edisi 2, hlm. 191 4. M. Atho Mudzhar Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 11-14 96
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Moderasi Pemikiran Gender
melaksanakan penelitiannya, baik berupa buku, kitab, tulisan di media masa, makalah, dan lain-lain yang berkaitan dengan pemikiran gender KH. MA. Sahal Mahfudh. Dalam dokumentasi ini digunakan model historis faktual, yaitu meneliti substansi teks berupa pemikiran maupun gagasan tokoh sebagai karya filsafat atau memiliki muatan kefilsafatan.5 Dokumendokumen yang diteliti adalah kitab dan buku karya KH. MA. Sahal Mahfudh sebagai refrensi utama dan karya-karya lain yang mendukung. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan wacana kritis. Wacana kritis berasal dari analisis wacana. Dalam analisis wacana ada tiga aliran mengenai bahasa. Pertama, menurut aliran positivisme empiris, bahasa adalah jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Seseorang tidak perlu mengetahui makna subyektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, karena yang paling penting adalah sebuah pernyataan disampaikan secara benar sesuai kaidah sintaksis dan semantik. Kedua, aliran konstruktivisme yang banyak dipengaruhi oleh fenomenologi menolak pandangan
empirisme-positivisme yang memisahkan subyek dan obyek bahasa. Menurut aliran ini, bahasa tidak hanya alat untuk memahami realitas obyektif, justru faktor sentral dalam kegiatan wacana dan relasi sosial adalah subyeknya. Adapun pandangan kritis muncul untuk mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif terhadap proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis dan institusional. Karakter utama wacana kritis adalah menghubungkan bahasa dengan tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi.6 Wacana kritis digunakan untuk melihat kiprah, konteks sosial, dimensi kesejarahan, kekuasaan, dan ideologi yang diperjuangkan KH. MA. Sahal Mahfudh dalam memperjuangkan pemikiran gender.
C. KERANGKA TEORI Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori maqâsid al-syarî’ah (tujuan implementasi syariat Islam). Maqasith syari’ah adalah tujuan-tujuan umum syari’ah yang terdiri dari : menjaga agama (hifdz al-din), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga akal
5. Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung : Rosda Karya, 2001, hlm. 109-110 6. M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, Jakarta: Kencana Prenada, 2008, cet. 2, hlm. 1971980 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
97
Dr. Jamal Ma’mur, MA
(hifdz al-aql), menjaga harta (hifdz al-mal), dan menjaga keturunan (hifdz al-nasl).7 Maqâshidus syarî’ah (tujuan syariat Islam) bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba, menjaganya, dan menolak bahaya. Maqâshid al-Syarî’ah terbagi menjadi tiga. Pertama, dharuriyyât (primer), yaitu kemaslahatan yang menjadi pondasi kehidupan manusia, seperti menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kedua, hâjiyât (sekunder), yaitu sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk menghindari kesempitan dan kesusahan, seperti bolehnya berbuka bagi orang yang sakit dan bepergian, dan diperbolehkannya akad salm, istishna’, ijarah, dan muzara’ah. Ketiga, tahsîniyyât (komplementer), yaitu sesuatu yang menjadikan manusia berada pada etika yang luhur dan akhlak
yang lurus, seperti memakai pakaian yang bagus ketika masuk masjid, mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah sunah, dilarang menjual najis, dan berlebih-lebihan.8 Ali Jum’ah Muhammad mem buat urutan yang berbeda dalam kajian maqâsid al-syarî’ah. Menurutnya, urutan maqâsid alsyarî’ah yang terdiri dari lima hal adalah menjaga jiwa, akal, agama, keturunan, dan harta. Jiwa didahulukan karena tujuan utama Islam sebagai agama yang mendorong orang-orang yang berpikir sehat untuk menggapai prestasi yang lebih baik di dunia dan akhirat. Akal ditempatkan pada nomor dua, karena dengan akal manusia diberi taklîf (beban) hukum. Agama ada pada nomor tiga, karena dengan jiwa dan
7. Kajian maqasith al-syari’ah ini masuk dalam terminologi maslahah. Menurut Ahmad alRaisuni, maslahah dibagi dalam beberapa aspek. Pertama, maslahah adalah segala sesuatu yang mengandung kebaikan dan manfaat bagi sekelompok manusia dan juga individu. Kedua, maslahah adalah mencegah mafsadah. Oleh sebab itu, dalam mencapai kemaslahatan harus dihidnarkan segala kerusakan baik sebelum dan sesudahnya, atau mengikuti dan menyertainya. Ketiga, bentuk maslahah sangat beragam, yaitu kemaslahatan agama, kemaslahatan jiwa, kemaslahatan reproduksi dan berkeluarga, kemaslahatan terhadap akal, dan kemaslahatan terhadap harta benda. Keempat, maslahah dan mafsadah mempunyai tingkatan yang berbeda secara kualitas dan kuantitas. Para ulama membaginya menjadi dharuriyah (primer), hajiyyah (sekunder), dan tahsiniyat (komplementer). Kelima, kemaslahatan karena perkembangan zaman dapat menjadi sesuatu yang merusaknya atau sebaliknya. Keenam, belajar dari kasus kontroversi kebiajakan Umar dalam pembagian tanah rampasan perang, dapat diambil kesimpulan, bahwa kemaslahatan hakiki adalah kemaslahatan yang membawa manfaat dan kebaikan yang dapat dirasakan oleh kelompok elit dan umum secara bersamaan. Ketujuh, ketika terjadinya kemaslahatan satu dengan kemaslahatan yang lain saling bertentangan, maka harus diletakkan pada porsinya masing-masing, kemudian dianalisis dari segala sudut pandang yang telah disebutkan. Lalu kelihatan mana kemaslahatan yang lebih baik didahulukan dan diakhirkan. Ini demi menemukan kemaslahatan secara benar. Baca Ahmad Al-Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad, antara teks, realitas dan kemaslahatan sosial, Jakarta : Erlangga, 2002, cet. 1, hlm. 19-22 8. Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1987, hlm. 378381 98
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Moderasi Pemikiran Gender
akal yang sehat, seseorang bisa menegakkan ajaran agama yang berhubungan dengan Tuhan dan sesama manusia. Kemudian menjaga keturunan dan sejenisnya, seperti menjaga harga diri dan hak-hak asasi manusia yang mulia. Setelah itu baru menjaga harta yang menjadi syarat pembangunan dunia yang menjadi pondasi pembangunan.9
D. PEMBAHASAN 1. Pandangan Konservatif Secara umum, pandangan mayoritas ulama NU sesuai keterangan yang ada dalam kitab kuning, menempatkan perempuan dalam posisi yang marginal. Pandangan mayoritas ini tidak lepas dari paradigma berpikir para ulama NU yang tekstual, final, dan absolut dalam memahami pemikiran para ulama yang termaktub dalam kitab kuning. Sebenarnya ada pandangan progresif dari pemikir masa lalu, namun tidak memperoleh dukungan yang kuat, seperti Imam Abu Hanifah yang
memperbolehkan kepemimpinan perempuan dalam bidang hukum kecuali dalam masalah pidana (hudûd) dan Imam Ibn Jarir alThabari yang memperbolehkan kepemimpinan perempuan secara mutlak.10 Pandangan progresif nondiskriminatif ini lebih mendekati doktrin al-Qur’an yang menurut Fazlurrahman menitikberatkan kepada moral yang terwujud dalam cita-cita sosial dan keadilan ekonomi. Al-Qur’an memberikan perhatian kepada besar kepada perempuan dengan sebagai seorang manusia, anak, istri, dan anggota masyarakat, dan membatasi poligami menjadi empat.11 Untuk memperoleh gambaran sekilas tentang pemikiran gender mayoritas ulama NU, di bawah ini dicantumkan sebagian hasil bahtsul masa’il dalam forum Muktamar, Munas (Musyawarah Nasional), dan Konbes (Konfrensi Besar), yang diselenggarakan sejak tahun 1926 sampai 2010:
9. Ali Jum’ah Muhammad, al-Madkhal, Kairo : Al-Ma’had al-Alami li al-Fikri al-Islami, 1996, hlm. 127 10. Abi Abdillah Abdussalam Allawisy, Ibânah al-Ahkâm Syarah Bulûghul Marâm, Juz 4, Beirut : Dar al-Fikr, 2004, juz 4, hlm. 274 dan Ahmad Muhammad Al-Hufi, al-Thabari, Kairo: Lajnah Ta’rif bi al-Islam, 1970, cet. 1, hlm. 245 11. Fazlur Rahman, Islam, Chicago: The University of Chicago, 1979, hlm. 33-38 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
99
Dr. Jamal Ma’mur, MA
NO
MASALAH
PANDANGAN ULAMA NU
DASAR PENGAMBILAN
1
Mendatangi kegiatan keagamaan
Haram dan dosa besar jika yatim fitnah atau tidak mendapat ijin suami; haram dan dosa kecil ketika tidak yakin adanya fitnah; haram makruh jika takut fitnah; boleh jika yakin tidak ada fitnah dan tidak melalui lakilaki lain
Is’ad al-Rafiq, Juz 2, h. 136; Futuhat alWahhab, jilid 1, h. 503
2
Keluar dengan wajah terbuka, kedua tangannya dan kedua kakinya
Haram menurut pendapat mu’tamad; boleh untuk jual beli dan terbuka muka dan kedua telapak tangan menurut pendapat lain; boleh, bahkan dengan terbuka kakinya jika tidak ada fitnah
Maraq al-Falaq, h. 45; Hasyiyah al-Bajuri, jilid 2, h. 97
3
Pidato keagamaan di hadapan lakilaki
Haram kecuali dapat menutup aurat dan selamat dari fitnah
Ittihaf al-Sadah alMuttaqin, jilid 6, h. 495; Syarah Sittin, h. 109.
4
Belajar naik sepeda
Tidak dilarang
Tidak menyebutkan dasar
5
Bersama wanita lain menunaikan shalat hari raya
Sunnah bagi yang tua, perempuan yang tidak beraksi, atau cantik dengan tidak berpakaian necis dan tidak memakai wangiwangian atau berpakaian necis; makruh bagi perempuan yang beraksi atau cantik dengan tidak berpakaian necis dan tidak memakai wangi-wangian atau takut fitnah; dan haram bagi perempuan yang beraksi atau cantik apabila berpakaian necis atau pakai wangi-wangian atau menyangka adanya fitnah, atau tidak seizin suami
Fatawa al-Imam al-Nawawi, h. 43; alMinhaj al-Qawim, jilid 2, h. 57; Is’ad al-Rafiq, juz 2, h. 136; Hasyiyah al-Syarwani, jilid 1, h. 467.
100
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Moderasi Pemikiran Gender
6
Membuka aurat karena darurat
Tidak boleh, karena darurat adalah situasi bahaya atau mendekati yang menimpa seseorang jika melakukan larangan
Al-Asybah wa alNazha’ir, h. 60-61
7
Berpakaian seragam tentara
Tidak ada batas, sama dengan laki-laki, tapi harus menutup aurat
Fath al-Mu’in, Hamisy I’anah al-Thalibin, Juz 4, h. 196-197.
8
Menjadi anggota DPR/DPRD
Boleh dengan syarat ‘afifah (bisa menjaga diri), mempunyai keahlian, menutup aurat, mendapat izin dari yang berhak memberi izin, aman dari fitnah, dan tidak menjadi sebab timbulnya kemungkaran menurut agama. Jika tidak memenuhi syarat hukumnya haram.
Mughni al-Muhtaj, jilid 4, h. 371
9
Berjabat tangan dengan laki-laki tanpa tutup ketika baiat
Tidak boleh kecuali muridnya itu muhrimnya sendiri
Fath al-Mu’in,h. 98; Tafsir al-Qur’an alAzhim, jilid 4, h. 419.
10
Menjadi kepala desa
Tidak boleh, kecuali dalam keadaan memaksa. Menurut mazhab Hanafi diperbolehkan dalam urusan harta benda. Menurut Imam Ibn Jarir memperbolehkan dalam segala urusan apa saja
Bidayah al-Mujtahid, juz 2, h. 707; al-Mizan al-Kubra.juz 2, h. 189
11
Menangguhkan haid supaya menyelesaikan ibadah
Boleh asal tidak membahayakan dan hukum hajinya sah
Ghayah Talkhis alMurad min Fatawa Ibn Ziyad, h. 247; Qurrah al-‘Ain fi Fatawa alHaramain, h. 30.
12
Bekerja malam hari di luar rumah
Haram, kecuali aman dari fitnah dan mendapat izin dari suami atau wali. Jika diduga ada fitnah, hukumnya haram dan dosa; dan jika takut terjadi fitnah, maka hukumnya makruh
‘Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, juz 20, h. 218, Is’ad alRafiq, juz 6, h. 125.
La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
101
Dr. Jamal Ma’mur, MA
15
Khitan perempuan
Ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan sunnah, dan yang mengatakan mubah. Namun, menurut al-Syafi’i hukumnya wajib, seperti hukum khitan bagi laki-laki.
Keputusan ini bisa dilihat dalam Ahkamul Fuqaha’, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010) yang diterbitkan Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) dan Khalista Surabaya tahun 2011. Pandangan mayoritas ulama NU yang memarginalkan peran perempuan ini menjadi masalah serius dalam perjuangan menuju keadilan gender. Hal ini mengkonfirmasi pandangan Mufidah bahwa ketidakadilan gender disebabkan tiga hal, yaitu budaya patriakhi, teks agama yang dipahami secara bias gender, dan kebijakan politik negara yang tidak berpihak kepada perempuan.12 Dalam konteks ini, pandangan mayoritas ulama NU yang konservatif melanggengkan budaya patriakhi dengan tafsir teks yang bias gender.
Fath al-Bari, juz 10, h. 417-418; Shahih Muslim bi Syarh alNawawi, Juz 3, h. 147-148.
2. Pandangan Moderat KH. MA. Sahal Mahfudh Di sinilah pentingnya revi talisasi pandangan gender ulama NU supaya mampu merespons dinamika zaman yang berjalan sangat kencang yang menuntut formula yang dinamis dan progresif, tidak terjebak dalam romantisme historis, tapi mampu memadukan semangat ajaran yang ada dalam kitab kuning dan spirit global yang meniscayaan kesetaraan gender. Dalam konteks ini, ada seorang ulama dan aktivis NU yang memegang pemimpin puncak dalam lembaga kaum sarungan ini yang mempunyai pandangan moderat-progresif dalam merespons problema perempuan. Moderat adalah golongan yang berijtihad dengan tetap mengacu kepada produk pemikiran ulama salaf. Hukum dikaji dengan menggunakan kaidah-kaidah ijtihad, kepentingan
12. Mufidah, Pengarusutamaan Gender Pada Basis Keagamaan, Pendekatan Islam, Struktural, & Konstruksi Sosial, Malang: UIN Malang Press, 2009, hlm. 9-10 102
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Moderasi Pemikiran Gender
maslahah, dan ketentuanketentuan nash dengan perspektif dinamika sosial. Dalam proses penetapan hukum, pendapat ulama salaf dijadikan rujukan utama jika pendapat tersebut dianggap paling benar dan relevan dengan tuntutan dinamika sosial. Masalah-masalah sosial direspons dengan aktif.13 Beliau adalah Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh (al-Maghfurlah) yang sampai meninggal masih menjabat sebagai Rais ‘Am Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Begawan fikih sosial ini mempunyai pikiran-pikiran menarik tentang gender yang bisa dijadikan model pemikiran gender ideal dalam konteks keindonesiaan yang plural. Tidak hanya itu, KH. MA. Sahal Mahfudh juga memperjuangkan keadilan gender dalam aksi nyata di masyarakat, sehingga manfaatnya bisa dirasakan umat secara luas. Disinilah pentingnya mengkaji pemikiran gender KH. MA. Sahal Mahfudh untuk mendapatkan otentisitas dan autentisitas pan dang an - pandangannya tentang gender. Menurut Robert F. Berkhofer, melacak pemikiran
dan perilaku seorang aktor sangat menentukan untuk menemukan konsep kebudayaan dan sosial sebagai rujukan spesial yang sifatnya empiris.14 Dalam konteks tipologi pemikiran dalam tubuh NU, pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dimasukkan dalam ti pologi sosial - kontekstual ka rena memahami fikih yang berorientasi pada pemecahan problem masyarakat. Tipologi ini mengembangkan pola mażhab manhaji (metodologis). Tipologi yang lain adalah formalistiktekstual karena selalu merujuk teksteks kitab mażhab yang merupakan paradigma mayoritas ulama NU. Sedangkan tipologi terakhir adalah kritis-emansipatoris karena mengacu kepada tujuan hukum (maqāṣid as-syarī’ah) yang bertujuan menggapai kemaslahatan.16 Pemikiran gender KH. MA. Sahal Mahfudh meliputi beberapa aspek, antara lain tentang hakikat perempuan, peran perempuan, dan kepemimpinan. Untuk lebih memahami pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh, di bawah ini disebutkan sebagian pemikirannya:
13. Asmawi Mahfudz, Pembaruan Hukum Islam, Telaah Manhaj Ijtihad Shah Wali Allah Al-Dihlawi, Yogyakarta: Teras, 2010, hlm. 245-246 14. Robert F. Berkhofer, JR., A Behavioral Approach To Historical Analysis, New York: The Free Press, 1969, hlm. 98 15. Ahmad Arifi, Pergulatan Pemikiran Fiqih Tradisi Pola Mazhab, Yogyakarta: Elsaqpress, 2010, cet. 2, hlm. 346-348 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
103
Dr. Jamal Ma’mur, MA
NO
Pandangan klasik
Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh
1.
Laki-laki lebih utama dari perempuan
Perempuan dan laki-laki adalah sama, baik secara pribadi atau dalam kehidupan keluarga
2.
Menikah sebagai sunnah Rasul
Menikah bukan sekedar kebutuhan biologis, tapi sebagai sunnah Rasul, dimana laki-laki dan perempuan berperan bersama dalam menciptakan sakinah, mawaddah, wa rahmah secara mutualismutandis
3.
Perempuan hanya di dalam rumah, kecuali hal-hal yang sifatnya fardlu a’in
Perempuan boleh berperan besar dalam keluarga dan lingkungan, baik sebagai istri, ibu rumah tangga, pendidik, juru dakwah, maupun sebagai penggerak sosial.
4.
Perempuan tidak perlu tinggi-tinggi mengembangkan SDM
Perempuan harus serius menyiapkan pengembangan sumber daya manusia dan terus memacu diri dengan kecepatan tertentu untuk mengimbangi ketertinggalannya selama ini yang meliputi wawasan, keterampilan, dan sikap perilaku
5
Keluarga didorong mempunyai banyak anak
Mendukung program Keluarga Berencana (KB) untuk meningkatkan kualitas keluarga dan kader masa depan. menggunakan alat KB dengan tujuan mengatur, bukan memutus kehamilan adalah boleh
6.
Istri harus menuruti kemauan suami
Boleh menundanya maksimal 3 hari, bukan menolak yang menyinggung perasaan, jika kondisi istri kurang atau tidak siap. Namun kalau perintah suami untuk melakukan kemaksiatan (hubungan anal seks), meninggalkan shalat, atau istri ada udzur syar’i atau sakit, maka boleh menolak dan menentang.
7.
Kemutlakan otoritas suami
Sebagai pemimpin keluarga, namun suami dipagari batasan-batasan yang jelas, antara lain tidak boleh mempergunakan kewenangannya sampai melebihi batas kewajaran
8
Larangan aborsi
Larangan aborsi, namun boleh dengan pertimbangan dokter
9
Tenaga Kerja Wanita (TKW) dilarang
TKW diperbolehkan jika sudah masuk dalam kategori bekerja wajib, yaitu ia sebagai penanggungjawab ekonomi keluarga, atau dirinya sendiri, tidak ada lapangan pekerjaan di daerah atau di negaranya, dan kondisinya tidak mengkhawatirkan
104
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Moderasi Pemikiran Gender
10
Khitbah (nontoni) sebatas wajah dan kedua telapan tangan
Khitbah dilakukan untuk mengetahui calon istri, maka boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan dan istisyarah, yaitu menanyakan apa saja yang meliputi karakter, sifat, kepribadian dan sebagainya yang berkaitan dengan keberadaan perempuan atau laki-laki, baik kepada saudara-saudaranya, teman karib maupun orang lain yang mengetahui
11
Anak zina tidak punya hubungan nasab dengan ayah biologisnya
Anak zina tidak mempunyai hubungan nasab dengan ayah biologisnya, sehingga ia tidak mempunyai hak waris dan ayah biologisnya tidak boleh menjadi wali nikah jika anak zina tersebut perempuan pada saat pernikahan
12
Laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan
Q.S. An-Nisa’ 4:34 menjelaskan kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam konteks keluarga, itupun karena kelebihan yang ada pada laki-laki dalam memberikan nafkah. Namun jika perempuan mempunyai kapasitas intelektual dan aktivitas, maka perempuan bisa menjadi pemimpin bagi kaum lakilaki
13
Pernikahan sepupu diperbolehkan
Pernikahan sepupu diperbolehkan, namun lebih baik dihindari untuk mencegah segala kemungkinan negatif yang terjadi
14
Pembagian harta gono-gini disesuaikan kontribusi dan partisipasi
Dibagi sesuai partisipasi suami-istri dalam modal dan pengelolaan.
15
Neloni dan mitoni saat kehamilan dianjurkan
Sangat dianjurkan sedekah pada saat-saat kritis, karena sedekah bisa menghindarkan diri dari bencana dan musibah
16
Pacaran dilarang
Pacaran dilarang karena melakukan hal-hal yang tidak baik, seperti saling memandang, berdua-duaan (khalwat-menyendiri), bersentuhan, dan lain-lain
17
Memotong kuku waktu haidl tidak boleh
Tidak boleh kalau disengaja, dan harus disucikan kalau bisa sesuai syarat mandi besar
18
Memberi nafkah keluarga dari hasil riba tidak boleh kalau tahu
tidak apa-apa jika istri tidak tahu, dan ikut menanggung dosa jika istri tahu
19
Wali mujbir boleh memaksa anak perempuan menikah
Wali mujbir tetap harus minta izin kepada calon perempuan supaya bangunan yang dirajut bisa sakinah, mawaddah wa rahmah
La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
105
Dr. Jamal Ma’mur, MA
20
Boleh memukul istri bila melakukan nusyuz (pembangkangan)
Boleh namun dengan unsur ta’dîb (mendidik), tidak motivasi nafsu, namun lebih baik diam dan mengedepankan dialog untuk mencari solusi efektif dan menghindari cara-cara kekerasan
Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh ini diambil dari bukunya Dialog Dengan KH. MA. Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat), Wajah Baru Fiqh Pesantren, Pesantren Mencari Makna, dan Nuansa Fiqih Sosial. Kalau kita kaji produk pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh di atas, maka sangat kelihatan spirit dinamisasi dan kontekstualisasinya agar relevan dengan dinamika zaman yang tidak lepas dari tuntunan wahyu. Pemikiran gender KH. MA. Sahal Mahfudh ada yang sama dengan pemikiran klasik, ada yang menyempurnakan, dan bahkan ada yang berbeda sama sekali. KH. MA. Sahal Mahfudh tidak taklid buta terhadap pemikiran ulama masa lalu, tapi mencoba memahami secara kontekstual, kemudian melihat tantangan zaman, dan melakukan kontekstualisasi dan fungsionalisasi pemikiran lama agar mampu merespons era globalisasi yang serba kompleks. Moderasi pemikiran sangat kelihatan dari apresiasinya terhadap khazanah klasik yang banyak dikaji di pesantren dan menjadi referensi utama kaum tradisionalis. Namun, Kiai Sahal 106
tidak hanya menerima taken for granteed khazanah klasik tersebut, tapi mengembangkannya secara dinamis agar relevan dengan tantangan dunia modern, dalam hal ini adalah gerakan keadilan gender. Dimensi rasionalitas dan dinamika zaman sangat kuat dalam pemikiran Kiai Sahal. Dari sinilah pemikiran Kiai Sahal diterima oleh kalangan konservatif dan liberal.
E. PEMIKIRAN GENDER KH. MA. SAHAL MAHFUDH MENEGAKKAN MAQASIDUS SYARIAH Pemikiran gender KH. MA. Sahal Mahfudh merupakan angin segar bagi kaum perempuan untuk mengembangkan potensi secara maksimal agar mampu menunjukkan eksistensi dan aktualisasi diri di ruang publik dalam rangka memberikan kemanfaatan yang besar bagi kemajuan bangsa dan negara. Jika hal ini terjadi, maka masyarakat akan merasakan manfaat besar dari kehadiran perempuan dalam semua aspek kehidupan, seperti
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Moderasi Pemikiran Gender
pendidikan, ekonomi, politik, budaya, sosial, teknologi, dan lainlain. Fakta empiris menunjukkan kontribusi besar seorang pe rempuan dalam bidang-bidang di atas. Dalam kabinet kerja Presiden Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla, ada delapan sosok perempuan yang tampil sebagai Menteri dengan kapabilitas masing-masing. Realitas menunjukkan kompetensi besar perempuan yang bisa didedikasikan untuk transformasi bangsa ke arah yang lebih baik. Loyalitas, kerja keras, kreativitas, dan progresivitas perempuan menjadi keunggulan perempuan dalam berkompetisi di era global. Dalam konteks ini, pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh mendorong kaum perempuan untuk membumikan ajaran Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam dengan optimalisasi kemanfaatan publik dan mencegah kerusakan dalam segala bidang. Inilah yang dimaksud dengan maqasidus syariah, artinya, pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh mempercepat aplikasi ajaran Islam yang sesuai dengan maqasidus syariah, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Selain itu, pemikiran gender KH. MA. Sahal Mahfudh juga menjadi sintesa dari pertarungan wacana kaum konservatif dan liberal yang sama-sama memaksakan La-Tahzan
kebenaran ideologinya dalam ranah publik. Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh membangun sinergi dan integrasi dengan dua corak pemikiran tersebut dengan bangunan pemikiran yang kokoh. Kaum konservatif dianggap membawa model Islam Arab ke Indonesia, sedangkan kaum liberal dituduh membawa agenda kaum kapitalis liberal dalam wacana keislaman. Maka, pemikiran gender KH. MA. Sahal Mahfudh ingin membangun fiqh perempuan yang sesuai dengan corak budaya bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi etika dan budaya luhur tanpa meninggalkan spirit emansipasinya. Hal ini dapat dilihat dari pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh yang meneguhkan pandangan bahwa perempuan adalah sama dengan laki-laki sebagai makhluk Allah yang mempunyai tugas sebagai ‘abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah (mandataris Allah) yang bertanggungjawab untuk mengelola bumi ini sesuai dengan aturan yang ditetapkan Allah. Dengan pemikiran ini, KH. MA. Sahal Mahfudh mendorong perempuan untuk meningkatkan kapabilitasnya secara profesional sebagai syarat untuk mengambil estafet kepemimpinan di muka bumi. Selain itu, perempuan juga harus memperkokoh integritas moralnya agar terhindar
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
107
Dr. Jamal Ma’mur, MA
dari dekadensi moral yang dikhawatirkan oleh banyak pihak. Perempuan harus membuktikan diri mampu menjadi pemimpin, baik dari aspek kualitas maupun moral, sehingga publik menerima kepemimpinan perempuan dengan tangan terbuka sebagaimana pemimpin-pemimpin perempuan yang sukses, seperti Wali Kota Surabaya. Tantangan inilah yang harus dijawab kaum perempuan dalam aktualisasinya di ruang publik. Selain itu, soliditas keluarga sebagai pondasi utama harus dijaga, karena sehebat apapun potensi seorang perempuan, rumah tangga adalah sumber segala kebahagiaan, sehingga peran domestik dan publik harus berjalan bersama secara harmonis. Pemikiran integral inilah yang mendekatkan pemikiran fiqh kepada maqasidus syariah yang meneguhkan kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus.
F. PENUTUP Mayoritas ulama NU masih menempatkan perempuan dalam posisi inferior. Pemahaman ini mereka peroleh dari teks-teks kitab kuning yang dipahami secara absolut dan tekstual, tanpa telaah kritis terhadap dimensi historissosiologisnya. Dalam konteks ini, pemikiran moderat dan progresif KH. MA. Sahal Mahfudh sebagai 108
tokoh pembaharu NU sangat penting dimunculkan untuk memberikan pendidikan publik secara luas, bahwa perempuan ternyata mempunyai tugas dan tanggungjawab yang besar dalam pembangunan di sektor publik bersama-sama dengan kaum lakilaki. Perempuan mempunyai potensi besar menjadi seorang lokomotif perubahan bangsa dan negara di segala sektor kehidupan. Pemikiran gender KH. MA. Sahal Mahfudh secara otomatis mendorong kaum perempuan untuk mengejar ketertinggalannya dalam aspek pengetahuan, skills, dan kemampuan berorganisasinya supaya mampu mengembangkan potensi dan menggerakkan perubahan besar di tengah proses transformasi dunia yang berjalan dengan sangat cepat. Meskipun demikian, integritas moral harus tetap menjadi pondasi utama perempuan dalam berkarir, sehingga aktualisasi potensi kaum perempuan membawa kemaslahatan publik dan terhindar dari ekses negatif yang dikhawatirkan kalangan konservatif. Tugas domestik kaum perempuan harus diprioritaskan, sehingga tugas publiknya berjalan dengan sukses. Moderasi domestik dan publik menjadi kunci kesuksesan perempuan dalam berkarir. Kesuksesan peran publik
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Moderasi Pemikiran Gender
tanpa menjaga peran domestik akan mengakibatkan dampak negatif yang besar bagi eksistensi perempuan di ruang publik dan menjadi senjata balik yang mematikan bagi kaum konservatif untuk melarang kaum perempuan berkiprah di sektor publik karena
membawa kehancuran rumah tangga dan mendorong terjadinya demoralisasi akut. Oleh sebab itu, moderasi sektor domestik dan publik menjadi keharusan yang tidak boleh diabaikan demi tegaknya kebahagiaan substansial.
DAFTAR PUSTAKA Allawisy, Abi Abdillah Abdussalam, Ibânah al-Ahkâm Syarah Bulûghul Marâm, Juz 4, Beirut : Dar al-Fikr, 2004, juz 4 Arifi, Ahmad, Pergulatan Pemikiran Fiqih Tradisi Pola Mazhab, Yogyakarta: Elsaqpress, 2010, cet. 2 Bungin, M. Burhan, Penelitian Kualitatif, Jakarta: Kencana Prenada, 2008, cet. 2 Al-Hufi, Ahmad Muhammad, al-Thabari, Kairo: Lajnah Ta’rif bi alIslam, 1970, cet. 1 JR., Robert F. Berkhofer, A Behavioral Approach To Historical Analysis, New York: The Free Press, 1969 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003, edisi 2 Mahfudh, KH. MA. Sahal, Pesantren Mencari Makna, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999. La-Tahzan
-------------, Thariqatul Husul ala Ghayatil Wushul. Pati: Mabadi Sejahtera, 2012, cet. 2. -------------, Wajah Baru Fiqh Pesantren. Jakarta: Citra Pustaka, 2014. -------------, Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LkiS, 1994. -------------, Dialog Dengan Kiai Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Umat. Surabaya: Ampel Suci & LTN NU Jatim, 2003. Mahfudz, Asmawi, Pembaruan Hukum Islam, Telaah Manhaj Ijtihad Shah Wali Allah Al-Dihlawi, Yogyakarta: Teras, 2010 Muhammad, Ali Jum’ah, alMadkhal, Kairo : Al-Ma’had alAlami li al-Fikri al-Islami, 1996 Mudzhar, M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
109
Dr. Jamal Ma’mur, MA
Mufidah, Pengarusutamaan Gender Pada Basis Keagamaan, Pendekatan Islam, Struktural, & Konstruksi Sosial, Malang: UIN Malang Press, 2009 Rahman, Fazlur, Islam, Chicago: The University of Chicago, 1979 Al-Raysuni, Ahmad dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad, antara teks, realitas dan kemaslahatan sosial, Jakarta : Erlangga, 2002, cet. 1
110
Relawati, Rahayu, Konsep dan Aplikasi Penelitian Gender, Bandung : Muara Indah, 2011 Suprayogo, Imam dan Tobroni, Metodologi penelitian Sosial-Agama, Bandung : Rosda Karya, 2001 Zahro, Ahmad, Tradisi Inte lektual, Yogyakarta : LKiS, 2004 Zaidan, Abdul Karim, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Muassasah arRisalah, 1987
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendidikan Multikultural Pesantren Oleh: Akhmad Zaeni Dosen STAIN Pekalongan Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan 2014 Jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan
A. PENDAHULUAN
U
ntuk mengidentifikasi Pendidikan Islam, se benarnya tidak begitu mudah, sebab masih banyak yang mempertanyakan kapan dan dimana pendidikan Islam. Zarkowi Soejoeti memberi batasan pendidikan Islam, Pertama : Pen didikan Islam adalah jenis pen didikan yang pendirian dan pe nyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilainilai Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya. Kedua; Jenis pendidikan yang memberikan
perhatian dan sekaligus menjadi kan Islam sebagai penge tahuan untuk program studi yang di selenggarakan. Ketiga; Jenis pen didikan yang mencakup kedua pengertian tersebut di atas. Kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai sekaligus sebagai bidang studi yang ditawarkan lewat program yang diselenggarakan.1 Untuk menjawab apakah lem baga pendidikan Islam tersebut di atas, ada baiknya dikembalikan pada esensi pendidikan Islam itu sendiri. Secara ringkas esensi pen didikan Islam terdiri dari Iman, ilmu, dan amal dalam totalitas teori dan praktek yang integritas dan harmonis.2
1. A. Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, (Jakarta, Mizan, kerjasama dengan YASMIN, 1999), hlm. 1 – 2 2. Lihat ! Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, (Surabaya, Al-Ikhlas, 1993) , h. 80. Bandingkan dengan : M. Chabib Thoha. Et.all, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, bekerjasama dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1998). hlm. 307. La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
111
Akhmad Zaeni
Keterkaitan tiga unsur tersebut sangat erat hubungannya, Iman tidak akan sempurna kecuali dengan ilmu.3 Sedangkan iman dan ilmu tidak akan berarti bagi kehidupan kecuali diwujudkan dalam bentuk amal atau pengabdian, sebaliknya amal tidak akan sempurna kecuali berdasarkan ilmu, dan ilmu akan mengarah pada kesesatan manakala tidak didasari dengan iman.4 Di Indonesia, yang biasa di identifikasi dengan pendidikan Islam, sekurang - kurangnya ada tiga macam diantaranya pesantren, madrasah dan sekolah yang dikelola oleh organisasi Islam dalam setiap jenis dan jenjang. Alasan ketiga lembaga pendidikan tersebut, diidentifikasi sebagai lembaga pendidikan Islam bersifat realita historis, dimana ketiganya telah membentuk satu barisan yang menantang sistem pendidikan kolonial dan i’tikad penyelenggaraannya untuk kepentingan umat Islam dalam arti yang seluas-luasnya.5 Dengan mempraktikkan berbagai ragam
ras, jenis (etnis), bahasa, agama, strata sosial yang bersatu padu dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika.
B. GAGASAN Dalam pengembangan ins titusional pesantren, Departemen Agama telah banyak berperan pada pesantren tradisional de ngan menegrikan madrasah milik pesantren. Ekses penger tian institusi pendidikan di lingkungan pesantren sangat beragam penafsiran, satu sisi merupakan keuntungan umat Islam dalam mendalami ilmu pengetahuan agama di pesantren dan mempelajari ilmu pengetahuan umum di madrasah, pada sisi lain merupakan suatu kerugian, karena secara ope rasional penyelenggaraan men jadi wewenang Departemen Agama, pesantren tidak memiliki kewenangan campur tangan penge lolaan sehingga terasa kehilangan jatidiri pesantren dan aset yang telah dimiliki.
3. Dalam Surat Al-Mujadalah Ayat 11 “Allah akan mengangkat derajat manusia manakala memiliki potensi iman dan ilmu”. Hasby Ash-Shidiqi, Al-Qur’an dan Terjemahannya. (Jakarta, Depag, RI, 1977). 4. Menurut Ahmad Ludjito: Ajaran Islam dikenal dengan taksonomi iman, Islam, Ilmu, Amal, Ikhsan dan Ikhlas, yang saling kait mengait antara satu dengan lainnya. M. Chabib Thoha, eta. ll, Reformulasi Filsafat…., hlm. 307. Bandingkan Rusdi Hamka, Etos Iman, Ilmu dan Amal, (Jakarta, Panji Masayarakat, 1986), hlm. 8 – 18. 5t. Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta, Binbaga Depag RI, 1996), hlm. 44. 112
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendidikan Multikultural Pesantren
Era reformasi berimbas pada dunia pendidikan sehingga muncul istilah otonomi pendidikan, dimana sekolah atau madrasah memiliki kewenangan untuk mengelola dan menyelenggarakan secara mandiri. Pemerintah dalam hal ini Departemen terkait hanya sebagai fasilitator dan dinamisator sehingga muncul institusi pendidikan di lingkungan pesantren secara bebas untuk memberdayakan potensi para santri dan menyiapkan out come atau out put yang marketable serta mampu bersaing di era globalisasi informasi sarat tantangan dan harapan dalam menghadapi perubahan zaman. Kritik dan penilaian terhadap rendahnya mutu pendidikan di pesantren tradisional sudah saatnya dipahami sebagai cambuk kesadaran untuk melihat secara obyektif keadaan dan potret pendidikan pesantren tradisional langkah-langkah rekonstuktif. Bukan lagi bersikap apologik. Hal ini penting karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada banyak kelemahan yang ada dalam praktek pendidikan pesantren. Dapat di sebut diantaranya; Lemahnya sumber daya manusia yang diindikasikan dari prosentase
yang lebih kecil antara Kyai dan Ustad yang memiliki kecukupan prasyarat akademis dengan yang tidak, atau dengan kata lain rasio standar kompetensi profesi rendah. Bahkan tidak jarang pula terjadi jumlah Kyai dan Ustad yang ada di sebuah pesantren tidak sesuai dengan standar atau rasio kebutuhan Kyai dan Ustad minimal. Ini artinya, baik secara kwalitatif maupun kwantitatif, kebanyakan pesantren mengalami masalah sumber daya manusia.6 Problem sumber daya manusia ini pada gilirannya memunculkan problem lanjutan, seperti ; Mutu atau kualitas proses belajar mengajar yang rendah. Karena Kyai dan Ustad tidak memiliki kecakapan akademis dan metodologis yang mencukupi, sehingga proses belajar mengajar hanya pada tingkat transfer pengetahuan, dari pengetahuan yang dimiliki Kyai dan Ustad kepada murid. Oleh sebab itu, agak sulit diharapkan anak didik atau santri memiliki ilmu pengetahuan yang baru. Apalagi bersamaan dengan itu, pendekatan pendidikan kreatif dan libaratif, sebagai sebuah pendekatan pendidikan menuju kemandirian berfikir anak, tidak pernah dikembangkan.
6. Informasi tentang ini lebih lengkapnya dapat dilihat; Statistik Departemen agama dan Departemen pendidikan Nasional tahun 2000 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
113
Akhmad Zaeni
Demikian juga teknologi-teknologi pembelajaran mutakhir lainnya.7 Di tingkat manajemen sebagian pesantren juga mengalami masalah yang secara umum memiliki kemiripan, misalnya tidak berjalannya fungsi-fungsi manajemen (Planning-OrganizingActuating-Controling), dan administrasi secara efektif, tidak adanya sebuah mekanisme birokasi pendidikan yang jelas dan terarah, hal ini sampai pada unggulan pengelolaan sumber daya pesantren yang tidak konseptual. Masalah-masalah ini diduga memiliki hubungan yang signifikan dengan ketersediaan fasilitas dan perangkat pendidikan yang selama ini dirasa kurang. Misalnya anggaran pengembangan pendidikan yang sudah kecil, instrumen teknologi pembelajaran yang minim dan cenderung konvensional, sampai pada persoalan kesejahteraan Kyai dan Ustad. Diantara deretan masalah dalam rumpun ini, persoalan
kesejahteraan di samping menjadi masalah di beberapa pesantren sesungguhnya juga menjadi 8 masalah nasional. Bahkan bisa saja semua dikembalikan pada logika politik bahwa permasalahanpermasalahan itu semua berawal dari citra politik pemerintah yang kurang memberikan apresiasi yang mencukupi bagi dunia pendidikan. Di sisi lain juga bisa dianalisis, bersamaan dengan itu politik pendidikan juga tidak tumbuh sehat. Kalau menengok sejarah perjalanan pendidikan di Indonesia cukup banyak didapati masalah dalam konteks ini, seperti cukup kentalnya tarikmenarik kepentingan politik di dunia pendidikan hingga ketidakmandirian pendidikan misalnya intitusi pendidikan pernah menjadi instrumen 9 kepentingan politik. Karena citra pesantren tradisional (Taqlidi) kurang menguntungkan, misalnya
7. Baca M.S. soekartawi dkk, meningkatkan Rancangan Intruksional (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1965) 8. Menurut catatan anggaran pendidikan selalu lebih kecil dari pos anggaran belanja pembangunan nasional lainnya. Lebih jauh lagi, anggaran untuk madrasah selalu lebih kecul dari anggaran untuk sekolah di bawah pengelolaan diknas. Misalnya indeks biaya persiswa Diknas dan Depag tahun 1999/2000 berbanding berikut; Anggaran per siswa MIN Rp. 19.000 sedang SDN Rp. 100.000. anggaran per siswa MTsN persiswa Rp. 32.000 sedang untuk SMP Rp. 46.000. lihat dan baca; Bulletin Masyarakat Pendidikan, Vol. 1 No. 2 Tahun 2001., hlm. 10 9. Philip Robinson, Beberapa Perpektif Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Rajawali Pers, 1986), 50 114
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendidikan Multikultural Pesantren
dianggap second school, tidak produktif oleh karenanya berupaya mengembangkan diri sehingga muncul pesantren modern (Al Ashry) dan Pesantren terpadu (Mutakaamil) guna mengakodasi tuntutan dan tantangan zaman serta membangun kemitraan. Mestinya jika kelompok mitra dan stakeholders ini berjalan maksimal dari sisni dapat diharapkan turut menangani upaya pengambangan pesantren, mulai dari memikirkan problem hingga menyusun kerangka acuan pengambangan pesantren. Pendekatan lain untuk mem bentuk dan mengefektifkan kelompok mitra dan stakeholders (School council dan school board) untuk memberi kontribusi bagi pengembangan sekolah. Misalnya hubungan sekolah dengan orang tua tidak saja untuk membicarakan urusan pembiayaan sekolah, tetapi juga melibatkan secara proporsional, orang tua pada fungsi dan misi pendidikan sekolah, demikian juga hubungan dengan pihak-pihak terkait, seperti otoritas politik setempat (lurah, camat dan bupati). Jika beberapa pendekatan ini dapat tercipta maka menjadi usaha awal untuk membangun sebuah lembaga yang efektif untuk melakukan misi-misi pendidikan. Masalah ini menambah daftar benang kusut
La-Tahzan
dalam upaya pengembangan pesantren tradisional. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di pesantren, sering dilakukan up grading seperti inservice training. Studi komparatif, diskusi materi sebagai upaya pendekatan dalam mengatasi problem di atas. Hal ini dilakukan untuk memacu produktifitas sumber daya manusia dalam memberi layanan pendidikan yang berkualitas bagi santri pesantren. Kelompok yang telibat dalam kegiatan ini mulai pengurus pesantren sebagai manajer, ustad hingga staf pesantren. Selain itu, kajian terhadap kurikulum sebagai instrumen pokok dalam pendidikan juga terus dikembangkan. Belum lagi kajian-kajian ter hadap kurikulum diorientasikan pada upaya menyusun desain dan rekayasa kurikulum tepat sasaran, inovasi materi dan metodlogi pembelajaran. Untuk mendesain kurikulum tepat sasaran beberapa pertimbangan mendasar penting untuk diperhatikan. Pertimbangan sosiologis digunakan untuk melihat hubungan antara dinamika masyarakat dengna kebutuhan pendidikan, perspektif akademis. Sedangkan perspektif akademis digunakan untuk menyusun inovasi dan contens material bahan belajar yang padat, bernuansa
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
115
Akhmad Zaeni
ilmiah dan fungsional bagi upaya pemecahan masalah-masalah.10 Dari sederet problematika yang dihadapi pesantren kelihatannya merupakan masalah yang bersistem, artinya satu unsur atau komponen yang ada bermasalah akan membawa dampak pada komponen yang lain. Karena pesantren merupakan sebuah organisasi formal11 yang memiliki sistem kerja, kasus seperti ini tidak dapat diselesaikan hanya pada satu bagian saja, namun harus diurai sampai tuntas dan bersifat holistic.
C. POLA PENDIDIKAN KULTURAL PESANTREN 1. Masjid Kata masjid 12 bentuk isim makan dari kata sajada (bahasa Arab) yang berarti tempat sujud.
Jika melihat dari fisik bangunan masjid sebagai tempat sujud (ibadah) kepada Allah SWT. Secara mutlak, maka bertentangan dengan firman Allah yang mengungkapkan bahwa Allah telah menjadikan jagad ini sebagai masjid (tempat sujud) tanpa memandang terhenti untuk melaksanakan kewajiban Tuhan dalam ibadah, yang penting tempat itu memenuhi persyaratan untuk beribadah. Bergitu pula Rasul Allah menyebutkan bahwa seluruh jagad telah dijadikan bagiku sebagai masjid.13 Masjid sebagai salah satu elemen pondok pesantren mempunyai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, sholat jum’at dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Kedudukan
masjid
sebagai
10. Subandijah, Pengembangan Kurikulum dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 55 11. Organisasi formal adalah sebuah system yang terkoordinasi melalui kesepakatan untuk melakukan aktivitas yang terdiri dari dua orang atau lebih. Lihat; Philip Selznick, “foundation of The Theory of Organization” dalam ; Jay M. Shafritz and J. Steven Ott, Classic of Organization Theory (USA : Harcourt Brace & Company, 1996), hlm. 127 12. Pengembalian kata masjid oleh bahasa Indonesia pada umumnya membawa proses perubahan bunyi dari a menjadi e, sehingga terjadi mesjid. Perubahan bunyi ma menjadi me, disebabkan tanggapan awalan me dalam bahasa Indonesia, padahal proses peng-Indoensiaan kata seperti ini salah, namun karena sudah lumrah (biasa) digunakan maka dianggap benar. Sidi Gazalha, Mesjid Sebagai Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1989), h. 118. 13. Lihat : Al Qur’an surat dan hadits Rasul riwayat Imam Bukhori. 14. Abdurrahman an Nahlawi menyatakan bahwa manjid pada masa Rasul berfungsi sebagai pangkalan angkatan perang dan gerakan kemerdekaan, pembebasan umat dan bangsa dari penyembahan terhadap manusia, berhala-berhala dan para taghut, agar mereka hanya menyembah Allah dan berfungsi sebagai markan pendidikan. Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyatil Islamiyah wa Asalibuha, alih bahasa Herry Noer Ali, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung: Diponegoro, 1989), h. 190. 116
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendidikan Multikultural Pesantren
pusat pendidikan,14 dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dalam kata lain kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di mesjid sejak mesjid al-Qubba didirikan pada masa Nabi Muhammad tempat belajar sejak Rasul Allah hidup selalu mengalami perubahan dan perkembangan sesuai situasi dan kebutuhan umat. Pada masa awal Islam, kegiatan belajar bertempat di rumah Al-Arqom, 15 kemudian berkembang di mesjid. Di mesjid, Rasul Allah berkhutbah dengan menyampaikan materi pelajaran tentang wahyu dengan membentuk halaqah bagi para peserta didik yang beragam, bahkan dari mesjid muncul dai-dai guna menyampaikan risalah Rasul (agama) yang siap untuk mengajak umat dibelahan bangsa Arab.16
2. Pondok Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam,17 dimana para siswa (santri) tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang atau lebih guru (Kyai/Ustadz). Asrama para siswa berada pada lingkungan komplek pesatren dimana Kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan mesjid atau mushola sebagai tempat ibadah, belajar dan kegiatan-kegiatan ibadah yang lain.18 Untuk membatasi zona pesantren dengan tempat lain dibatasi dengan pagar atau tembok keliling, bahkan untuk membatasi pondok puteri dengan pondok putera dibatasi dengan tembok keliling juga, dengan tujuan mudah untuk mengawasi keluar dan masuknya para santri sesuai dengan tata tertib yang berlaku.19
15. Hasan langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987), h.111. 16. Sidi Gazalba, Mesjid …..,h. 208 Soeharno, Sejarah Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 1987), h.72. 17. Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai, (Malang : Kalimasahada Press. 1993), h. 3 18. Keadaan pondok dalam masa kolonial digambarkan oleh Hurgronje adalah sebuat bentuk bangunan yang berbentuk persegi, dibangun dari bambu tetapi di desa-desa makmur tiangtiangnya terdiri dari kayu dan batangnya terbuat dari kayu, tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh sederetan batu titian, sehingga santri kebanyakan tidak bersepatu dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya. Pondok yang sederhana hanya terdiri dari ruangan besar yang didirikan bersama. Pondok agak sempurna didapat gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu per kamar yang sempit, sehingga memasukinya dengan membungkuk dengan jnedela yang kecil-kecil dan memakai terali, perabotannya sangat sederhana, terdapat tikar dan meja pendek dari bambu sebagai alas kitab dan menulis. Abu Bakar Atjech. Sejarah Hidup KHA. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar. (Jakarta : Panitia Peringatan Al-Marhum KHA Wahid Hasyim, 1957), h. 173 19. Pemisahan pondok putera dan pondok puteri dengan peraturan yang ketat. Pada hakekatnya untuk menjaga agar tidak dapat berhubungan satu dengan yang lain kecuali dengan kawan sejenisnya.Imron Arifin, Kepemimpinan……h. 6 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
117
Akhmad Zaeni
Pemilikan pesantren tempo dahulu, hampir seluruhnya milik pribadi Kyai dan keluarga yang mendirikan, namun dalam perkembangan berikutnya, pesantren milik masyarakat, dengan badan hukum yang didaftarkan pada badan yang berwenang (notaris), sehingga terbentuk Yayasan Pesantren. Sebagai akibat pembentukan badan hukum Yayasan Pesantren maka pemilikan aset pesantren tidak lagi milik perorangan (Kyai), tetapi diwakafkan untuk kepentingan umat Islam tanpa memandang ras, etnis dan suku yang penting ikut andil dalam bentuk wakaf.
3. Kitab Kuning Dalam pondok pesantren istilah kurikulum belum begitu dikenal, pada umumnya lebih mudah menyebutnya dengan mata pelajaran pondok pesantren. Namun untuk memaparkan dalam lingkup instelektual, ketrampilan dan perilaku yang berkaitan dengan peserta didik atau Santri lebih mengena dengan istilah kurikulum.20
Istilah kurikulum menurut para ahli terjadi pergeseran secara horizontal. S. Nasution menegaskan bahwa kurikulum dipahami sebagai sejumlah mata pelajaran di sekolah yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkat.21 Definisi kurikulum diperluas tidak sebatas pada mata pelajaran sekolah untuk mempengaruhi proses belajar mengajar baik berlangsung di dalam sekolah maupun di luar sekolah,22 sehingga bisa meliputi kegiatan-kegiatan intra-kurikuler, extra-kuriuler dan juga aktivitas para Santri maupun aktifitas para Kyai sebagai pendidik. Ketika proses belajar mengajar pendidikan Islam masih ber langsung di mushola atau surau dan masjid, kurikulum pengajian masih dalam bentuk sederhana yaitu berupa inti pelajaran Islam yang mendasar. Rangkaian tiga komponen ajaran Islam yang meliputi Iman, Islam, dan Ikhsan menjadi perhatian Kyai perintis pesantren sebagai isi kurikulum yang diajarkan pada para Santri, dalam batas pengetahuan belaka. Namun setelah berkembang men
20. Kegiatan yang terpogram dan mengantarkan proses belajar mengajar dikenal dengan kurikulum. Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung : Tri Genda Karya, 1993), h. 183 21. Nasution.S, Asas-Asas Kurikulum. (Bandung : Jemmars, 1992), h. 7-8 22. Oemar Hamalik, Pembinaan Pengembangan Kurikulum, (Bandung : Pustaka Martina, 1978), h., 2 Lihat ! H.M. Arifin , Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1984), h. 4-85 118
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pendidikan Multikultural Pesantren
jadi pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak sekedar pengetahuan isi kurikulum yang diajarkan namun mengarah pada disiplin ilmu. Dari materi yang bersifat doktrinal menjadi interpretatif walau sangat terbatas. Mahmud Yunus menyebutkan bahwa mula-mula yang diajar kan di pondok pesantren : ilmu shorof dan nahqu, imu fiqh,tafsir, ilmu kalam (tauhid) dan tasawuf.23 Keterbatasan isi kurikulum pesantren pada masa awal perkembangan pe santren mempengaruhi pola intelektual peserta didik (Santri) dan kepribadian Santri. Dalam pengembangan berikutnya para Santri mengharapkan agar materi pelajaran (kurikulum) pesantren tidak sebatas pada ilmu-ilmu yang menyangkut ritual keseharian semata, melainkan ilmu-ilmu yang berbau penalaran ilmiah yang menggunakan referen wahyu Allah seperti ilmu kalam bahwa imu-ilmu yang menyingkap rahasia ketuhanan sekaligus metode pendekatan ilmiah yang lebih mengena kepada Allah SWT seperti tasawuf. Namun semua itu dapat terujud, jika
terdapat kecenderungan Kyai selaku penyelenggara sekaligus sebagai pendidik di lingkungan pesantren,24 berkehendak untuk mengembangkan materi pe lajaran. Sebab pada awalnya, pondok pesantren berdiri dan proses pengajarannya sebatas kemampuan dan profesionalisme Kyai belaka, pada disiplin ilmu yang dikuasai. Para Kyai umumnya memilki kecenderungan yang kuat pada disiplin ilmu fiqh dan tasawuf yang merupakan pewarisan para leluhurnya yang merupakan mata rantai transmisi ajaran wali. Karakteristik kitab kuning yang ditulis dengan sistematika klasik berbahasa Arab tanpa syakal menuntut keahlian khusus dalam disiplin ilmu tertentu sebelum mengkaji, agar tidak mengalami kesulitan dan tidak terlalu banyak coretan pada baris kitab, begitu pula kemampuan dari segi mafradat (kosa kata). Namun jika menemui kosa kata baru para Santri memberi makna menggunakan pena runcing dan tipis untuk menghindari kekotoran. Kitab kajian
kuning untuk
salah satu mempelajari
23 Ayu Sofia, et.all., Pedoman Penyelenggaraan Pusat Informasi Pesantren, Proyek Pembinaan dab Bantuan Kepada Pondok Pesantren (Jakarta, Depag RI, 1985/1986), h. 32 24. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1985), h. 232. Lihat ! Soeparlan Soeryopranoto dan M Syarif, Kapita Selekta Pondok Pesantren, (Jakarta : PT. Paryu Barkah, 195), h. 10 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
119
Akhmad Zaeni
agama Islam, menjadi materi di pondok pesantren dan menjadi koleksi kepustakaan para Kyai dan Santri.25 Seorang Kyai akan disebut alim (menguasai ilmu) manakala benar-benar memahami, mengamalkan dan mengajarkan kitab kuning. Kyai semacam ini menjadi panutan masyarakat pada umumnya, ketimbang para sarjana yang menguasai ilmu agama, tetapi tidak memiliki referensi kitab kuning dan tidak menguasai dan membaca kitab kuning yang ditulis gundul. Walaupun secara akad telah menyandang gelar kesarjanaan sebagai supermasi kehormatan intelektual.
D. Penutup Dari uraian tersebut diatas bahwa pendidikan pesantren ada
lah lembaga pendidikan yang mem pelopori pendidikan multikultural yang belakangan ini cukup santer dibicarakan. Multikultural pendidikan pe san tren nampak pada kom po nen-komponen pendidikan pe santren diantara masjid sebagai tempat belajar yang menampung peserta diidk tanpa memilahmilah jamaahnya, pondok sebagai asrama dimana penghuninya dari berbagai daerah yang memiliki karekter berbeda-beda, kitab kuning menjadi acuan kurikulum pen didikan pesantren memiliki karekteristik yang unik dan dapat dikaji dengan berbagai bahasa dan budaya si pembaca, hal ini mencerminkan multikultural pe santren.
25. Ali Yafie, Kitab….. h. 4 120
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Supervisi Pendidikan Oleh: Ahmad Tasir
A. Pengertian supervisi pen didikan, tujuan, fungsi, ruang lingkup, tata cara pelaksanaan, teknik – teknik, alat supervisi, te naga supervisi, hubung an administrasi dan su pervisi. 1. Pengertian supervisi me nurut beberapa hal : Arti supervisi menurut asal usul ( etimologi ) bentuk perkataan ( mofologi ) maupun isi yang terkandung dalam perkataan itu ( Semantik ) Secara morfologi supervisi berasal dari dua kata Bahasa Inggis yaitu super dan visior, super berarti di atas dan vision berate melihat. Masih serumpun dengan inspeksi, pemeriksaan dan pengawasan dalam arti kegiatan yang dilakukan oleh atasan orang yang posisi diatas, pimpinan terhadap hal – hal yang ada di bawahnya, supervise juga
La-Tahzan
merupakan kegiatan pengawasan tetapi sifatnya lebih Human, manusia, kegiatan supervisi bukan menyari kesalahan tetapi lebih banyak mengandung unsur – unsur pembinaan agar kondisi pekerjaan yang sedang di supervisi dapat diketahui kekurangannya (bukan semata – mata kesalahannya ) untuk dapat diberi tahun bagian yang perlu dibaiki. Secara sematif supervisi pendidikan adalah pembinaan yang berupa bimbingan atau tuntunna kearah perbaikan situasi pendidikan pada umumnya dan peningkatan mutu mengajar dan belajar pada khususnya. Secara etimologi supervisi diambil dari perkataan bahasa inggris supervision artinya pengawasan dibidang pendidikan. Orang yang melakukan supervisi disebut supervisor.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
121
Ahmad Tasir
2. Pengertian supervisi me nurut pendapat para ahli : a.
Good Carter
Memberi pengertian supervisi adalah usaha dari petugas swkolah dalam memimpin guru – guru dan petugas lainnya. Dalam mem perbaiki pembelajaran ter masuk menstumulir menyeleksi per tumbuhan jabatan dan perkem bangan guru dan merefisi tujuan – tujuan, pendidikan bahan pengajaran dan metode mengajar, pengajaran good carter melihatnya sebagai usaha memimpin guru – guru dalam jabatan mengajar. b.
Boordman
Menyebutkan supervisi adalah satu usaha menstumulir, meng kordinir dan membimbing secara kontinyu pertumbuhan guru disekolah baik secara individu maupun secara kolektif agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pe ngajaran dengan demikian mereka dapat menstumulir dan membimbing pertumbuhan tiap – tiap murid secara kontinyu pertumbuhan guru – guru di sekolah baik secara individu maupun secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungus pengajaran dengan demikian mereka dapat menstimulir dan membimbing pertumbuhan tiap – tiap murud secara kontunyu 122
serta mampu dan lebih cakap berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi. Boordman melihat supervisi sebagai lebih sanggung berpartisipasi di masyarakat modern. c.
Wilem Manca ( 2007 )
Mendatakan bahwa supervisi diartikan sebagai kegiatan supervisor ( jabatan resmi ) yang dilakukan untuk kebaikan proses belajar mengajar, ada dua tujuan ( tujuan ganda ), yang harus diwujudkan oleh supervisi yaitu perbaikan ( guru dan murid ) peningkatan pendidikan, Wilem Manca supervisi sebagai kegiatan untuk kegiatan untuk perbaikan ( guru dan murid). d.
Kimball Wiles ( 1967 )
Konsep supervisi modern dirumuskan sebagai berikut “ Supervision is assistance in the development of a better teaching learning situation”. Kimball Wiles beranggapan bahwa factor manusia yang memiliki kecakapan skil sangat banyak untuk menciptakan suasana belajar yang lebih baik. e.
Mulyasa ( 2006 )
Supervisi sesungguhnya dapat dilaksanakan oleh kepala sekolah yang berperan sebagai supervisor, tetapi dalam system organisasi modern diperlukan supervise khusus yang lebih independen yang dapat meningkatkan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Supervisi Pendidikan
opyektifitas dalam pembinaan dan pelaksanaan tugas. f.
Ross ( 1980 )
Mendefinisikan bahwa supervisi adalah layanan kepada guru – guru yang bertujuan menghasilkan perbaikan pembelajaran, peng ajaran dan kurikulum. Ross me mandang supervisi sebagai pekerjaan kepada guru – guru yang bertujuan menghasilkan perbaikan. g.
Purwanto ( 1987 )
Supervise ialah suatu aktifitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah dalam melakukan pekerjaan secara efektif. Kegiatan supervisi dahulu banyak dilakukan adalah inspeksi, pemeriksaan, pengawasan, atau penilikan, supervisi masih serumpun dengan inspeksi. Pemeriksaan dan pengawasan dan penilikan dalam arti kegiatan yang dilakukan oleh atasan orang – orang yang berposisi diatas pimpinan terhadap yang ada dibawahnya “ Inspeksi : Inspentie ( Belanda )” yang artinya meriksa dalam arti melihat untuk mencari kesalahan orang yang menginspeksi disebut inspektur. Inspektur dalam hal ini mengadakan : 1. Kontroling : memriksa apakah dijalankan semes tinya. La-Tahzan
2. Korekting : memprik sa apaka h semuanya sudah sesuai yang ditugasakan 3. Jadging : mengadili dalam arti memberikan pengertian atau keputusan sepihak . 4. Directing : pengarah an menentukan ketetapan / garis. 5. Demontrasi : memper lihat kan mengajar dengan baik Pemerikasaan artinya melihat apa yang terjadi dalam kegiatan sedangkan pengawasan adalah melihat apa yang positif dan negarif. Adapun supervisi juga merupakan kegiatan pengawasan tetapi sifatnya lebih human, manusia. Kegiatan supervisi bukan mencari kesalahan tetapi lebih banyak mengandung unsur pembinaan agar kondisi pekerjaan yang sedang disupervisi dapat diketahui kekurangan ( bukan semata – mata kesalahan ). Untuk dapat diberitahu bagian yang lebih diperbaiki supervisi dilakukan untuk melihat bagaimana dari kegiatan sekolah yang masih negative untuk diupayakan menjadi positif dan melihat mana yang sudah positif untuk ditingkatkan untuk menjadi lebih positif lagi dan yang penting adalah pembinaan. Orang yang melakukan supervisi disebut supervisor dibidang pendidikan.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
123
Ahmad Tasir
Menurut keputusan Mentri Pen didikan dan Kebudayaan nomor 0134/0/1977 ternasuk katagori supervisi supervisor dalam pen didikan adalah kepala sekolah, penilik sekolah dan para pengawas di tingkat kabupaten dan kodya serta sekat di kantor yang ada di tiap – tiap propinsi. Jika supervisi dilakukan oleh kepala sekolah maka ia harus mampu melakukan berbagai pengawan dan pengen dalian untuk meningkatkan kinerja tenaga kependidikan.
3. Tujuan Superisi Tujuan supervisi ialah mengem bang kan situasi belajar mengajar yang lebih baik melalui pembinaan dan peningkatan profesi mengajar. (Buku II kurikulurn 1975). Tujuan supervisi dapat kita perinci sebagai berikut: 1. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi belajar rneng ajar. 2. Mengendalikanpenyelengga raan bidang teknis edukatif di sekolah sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan kebijakan yang telah ditetapkan. 3. Menjamin agar kegiatan sek olah berlangsung sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga berjalan lancar dan memperOleh 124
hasil dan optimal. 4. Menilai keberhasilan se kolah dalam pelaksanaan tugasnya. 5. Memberikan bimbingan lang sung untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan, dan kekhilafan serta membantu memecahkan masalah yang dihadapi sekolah, sehingga dapat dicegah kesalahan yang lebih jauh. Perumusan tujuan ini dapat diuraikan bahwa supervisi bertujnan untuk menciptakan situasi dan kondisiyang memung kin kan guru menemukan cara – cara yang paling tepat untuk : 1. Memahami karakteristik dan kernampuan siswa – siswi secara individual dalam proses belajar. 2. Menciptakan suasana yang men dorong siswa aktif belajar sendiri, serta berusaha mencoba dan mene mukan sendiri jawaban soal (masalah) serta memberi makna kepada mereka terhadap pengalaman belajar. 3. Menjadikan kegiatan be lajar di sekolah bersifat dina mis dan kreatif, serta mempunyai arti untuk ke hidupan manusia.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Supervisi Pendidikan
4. Fungsi Supervisi Berdasarkan pedoman supervisi yang tertera dalam kurikulum 1975, maka fungsi supervisi adalah sebagai berikut: 1. Mengadakan penilaian ter hadap pelaksanaan kuri kulum dengan segala sarana dan prasarananya. 2. Membantu serta membina guru/kepala sekolah de ngan cara mem berikan petunjuk, penerangan dan pelatihan agar mereka dapat meningkatkan keterampilan dan kemampuan meng ajarnya. 3. Membantu kepala sekolah/ guru untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah. Beberapa fungsinya yaitu: 1. Fungsi pelayanan (service activity) : kegiatan pelayanan untuk peningkatan pro fesionalnya. 2. Fungsi penelitian : untuk memperoleh data yang ob jektif dam relevant misalnya untuk menemukan ham batan belajar. 3. Fungsi kepemimpinam: usaha untuk memperoleh orang lain agar yang disupervisi dapat memecankan sendiri masalah yang sesuai de ngan tanggung jawab profesionalnya. La-Tahzan
4. Fungsi manajemen: supervisi dilakukan sebagai kontrol atau pengarahan, sebagai aspek dari manajernen. 5. Fungsi evaluasi: supervisi dilakukan untuk meng evaluasi hasil atau kemajuan yang diperoleh. 6. Fungsi supervisi: sebagai bim bingan. 7. Fungsi supervisi: sebagai pendidikan dalam jabatan (in service education) khususnya bagi guru muda atau siswa sekolah pendidikan guru.
5. Ruang Lingkup Supervisi Ruang lingkup tugas supervisi di sekolah meliputi berbagai aspek kehidupan sekolah, khususnya yang berhubungan dengan penye lenggaraan proses beajar mengajar, sebagai implementasi kurikulum yang berlaku. Dengan demikian, program supervisi meliputi penelitian dan pentbinaan tentang: Pelaksanaan kurikulum. 1. Ketenagaan. 2. Ketatausahaan. 3. Sarana dan prasarana pen didikan. 4. Hubungan sekolah dengan masyarakat.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
125
Ahmad Tasir
6. Tata Cara pelaksanaan su pervise
lam format – format, seperti checklist atau ratingscale.
Siapa yang bertugas sebagai supervisor sekolah? Yang terutama bertugas sebagai supervisor sekolah ialah kepala sekolah yang bersangkutan. Ada beberapa tata cara yang perlu diperhatikan dalam melakukan tugas supervisi, yaitu:
6. Penilaian masing – masing kom ponen / kegiatan yang dititik beratkan dan aspek nya, agar dicari nilai rata – ratanya.
1. Supervisi hendaknya dilak sana kan dengan persiapan dan pe rencanaan yang sistematis. 2. Supervisor hendaknya mem beritahukan kepada orang – orang yang bersangkutan tentang rencana supervisi nya. 3. Agar memperoleh data yang lengkap, supervisor hendaknya jangan hanya menggunakan satu macam teknik, melainkan beberapa macam teknik, seperti wawancara, observasi se kolah, kunjungan kelas, dan sebagainya. 4. Laporan hasil supervisi hendaknya dibuat rangkap, satu lembar untuk pejabat yang akan diberi laporan dan satu lembar lagi untuk sekolah yang di supervisi. 5. Penilaian dalam supervisi hendaknya dituangkan da
126
7. Kemudian berdasarkan nilai semua komponen, dibuat rekapitulasi dari seluruh hasil penilaian mengenai sekolah yang bersangkutan.
7. Prinsip – prinsip Super visi Agar supervisi dapat dilaksana kan secara efektif dan efisien, perlu diperhatikan prinsip – prinsip ber ikut ini : 1. Praktis : artinya dapat di kerjakan, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. 2. Fungsional: artinya supervisi dapat berfungsi sebagai sumber informasi bagi pengembangan manajemen pendidilkan dan pening katan proses belajar meng ajar. 3. Retevansi: artinya pelak sanaan supervise - seharus nya sesuai dan menunjang pelaksanaan yang berlaku. 4. Ilmiah: artinya supervisi Perin dilaksanakan secara:
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Supervisi Pendidikan
−− Sistematis, terprogram dan berkesinambungan. −− Objektif, sangka.
bebas
dari
pra
−− Menggunakan prosedur dan instrurnen yang sah dan terandalkarr(vand dan reliable). −− Didasarkan pada pendekatan sistem. 5. Demokrasi: bila supervisi sesuai dengah prinsip demo krasi maka proses yang ditempuh untuk peng ambilan kepittusan ialah melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. 6. Kooperatif prinsip kooperatif mengharuskan adanya se mangat kerja saran antar supervisor dengan supervisi (guru).
meningkatkan kemampuan per sonil sekolah, yaitu: 1. Kunjungan sekolah (kun jungan supervisi), di lakukan oleh kepala sekolah atau pengawas/penilik. 2. Pembicaraan individual, me rupakan teknik supervisi yang efektif, sebab member kesempatan Seluas – luasnya bagi kepala sekolah atau pengawas/penilik untuk ber bicara langsung dengan guru tentang masalah yang berkaitan dengan profesional pribadi mereka. 3. Diskusi kelonipok, merupakan suatu kegiatan kelompok dalam situasi tatap rnuka, bertukar informasi atau untuk memutuskan suatu keputusan tentang masalah tertentu.
7. Konstruktif dan Kreatif : supervisi yang didasarkan atas prinsip konstruktif dan kreatif akan. mendorong kepada Orang yang dibim bingnya untuk mem perbaiki kelemahan atau kekurangannya serta secara kreatif berusaha mening katan ,prestasi kerjanya.
4. Demontrasi mengajar, rencana demontrasi sebaiknya di susun secara teliti dan meng utamakan penekanan yang dianggap penting.
8. Teknik – teknik supervisor
Agar lebih berdaya guna perlu diperhatikan hal – hal berikut:
Ada banyak teknik supervisi yang dapat dipergunakan dalam La-Tahzan
5. Kunjungan kelas antar guru, kunjungaii kelas antara gutu bisanya lebih efektif dan disukai karena menciptakan keakraban antara sesama guru.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
127
Ahmad Tasir
a. Sebehun kunjungan dilaku kan, terlebih dahului me nyusun tujuan dan hal – hal yang akan diobsebrasi. b.
Memberikan seluas – luasnya kesempatan kepada guru baru yang kurang berpeng alaman untuk mengadakan kunjungan kelas.
c. Memberitahukan lebih dulu sebelum melakukan kun jungan kepada guru yang akan dikunjungi. d.
Orientasi persona, yaitu menjelaskan tugas setiap orang dari tingkat yang terendah sampai tertinggi, haik di dalam maupun di luar lembaga.
b.
Orientasi terhadap progtam, menjelaskan rencana dan kegiatan yang herkenaan dengan lingkungan orga nisasi.
c.
Orientasi terhadap fasilitas, menjelaskan fasilitas yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan efisiensi pekerjaan, terutama: yang berhubungan dengan tugas.
d.
Orientasi lingkungan, mem perkenalkan situasi dan kondisi yang ada sekitar sekolah yang berhubungan dengan kegiatan – kegiatan sekolah.
Membuat catatan yang sesuai dengan tujuan kunjungan.
e. Mendiskusikan basil kun jungan dengan guru kelas yang dikunjungi dan kepada sesama guru lainnya. 6. Lokakarga, merupakan suatu kesempatan untuk bekerja sama; mempertemukan ide – ide, mendiskusikan masalah bersama atau meningkatkan kemampuan pribadi guru dalam bidang profesi masing – masing. 7. Orientasi pada situasi baru, sebelum melaksanakan tugasnya pada lingkungan baru, guru perlu diberi kesempatan untuk ber adaptasi terhadap ling kungan baru. Orientasi ini mencakup be berapa aspek: 128
a.
8. Alat Supervisi Agar kegiatan supervisi dapat lebih lancar, sebaiknya diikuti dengan pemakaian alat-alat bantu supervisil. Alat-alat itu antara lain: a.
Perpusatakaan, inerupakan somber informasi yang penting dalam membantu pertumbuhan profesional personil sekolah.
b.
Buletin pakan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
supervisi, Meru alat ko munikasi La-Tahzan
Supervisi Pendidikan
c.
yang efektifdan ber memberikan bantuan dalam isi pengumuman, ber rnenyelesaikan masalah – bagai penelitian, re sensi masalah yang dihadapi oleh buku-buku baru, kesim para guru. pulanpertentuan organisasi Contoh – contoh instrumen profesional maupun per (lembaran) yang berhubungan kernbangan dalam berbagai dengan pengetahuan/teknik dan bidang studi. alat supervise : Pengembangan kurikulum, 1. Kunjunganiobservasi kelas memberi kesempatân yang (S.1), baik kepada guru untuk 2. Data sikap profesional guru tingkat lebih jauh dalam (S.2), perencanaan kurikulum. Dengan mengetahui kuri kulum, guru dapat mem persiapkan diri untuk me lakukan tugasnya dengan balik.;
d. Penasehat ahli, yaitu mereka yang mendapat kepercayaan dari kepala sekalah untuk
3.
Laporan data sikap profesio nal guru dari kepala sekolah kepada penilik TK/SD (S.3),
4. Petunjuk penggunaan lem baran S.1 (kunjungan/obser vasi kelas).
Perhatikan contoh berikut ini ! Lembaran S1 Lembaran Supervisi Kelas Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar Nama Sekolah
: ……………………………………………………
Alamat Sekolah
: ……………………………………………………
Kecamatan
: ……………………………………………………
Kab / Kota Madya : …………………………………………………… Propinsi
: ……………………………………………………
Tanggal Supervisi : …………………………………………………… Nama Guru
: ……………………………………………………
Mengajar di Tingkat : ………………………………………………..… La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
129
Ahmad Tasir
No 1.
Aspek yang dinilai
A
B
C
D
E
Perencanaan Kegiatan : 1.1 Penyusunan rencana pelaksanaan unit 1.2 Perumusan tujuan Instruksional 1.3 Pengaturan waktu kegiatan 1.4 Pembuatan persiapan 1.5 Kelengkapan pelaksanaan Observasi / Evaluasi Proses Belajar Mengajar 2.1 Hubungan guru dan anak 2.2 Penggunaan modote yang tepat 2.3 Perhatian terhadap anak 2.4 Penampilan guru 2.5 Ketertiban terhadap anak Ketatalaksanaan Kelas : 3.1 Kerapihan 3.2 Kontinuitas 3.3 Keteraturan
2
3
Mengetahui yang bersangkutan
…………………, 20………
Kepala Sekolah
(………………………) (………………………) NIP 9. Tenaga Supervisi Yang menjadi tenaga supervisi ialah: a. Kepala sekolah terhadap guruguru. b. Penilik TK/SD, SLB terhadap kepa la/guru TK. SD, SLB, dan kebudayaan. c.
Kepala seksi TK, SD. SLB (Tingakat Kabupaten/ Kodya) terhadap penilik TK, SD, SLB/kepala sekolah dan kebudayaan.
d. Kepala Bidang Pendidikan Dasar/Pendidikan Guru terhadap Kepala Seksi TK, 130
SD, SLB/Penilik berdasarkan struktur mekanisme yang berlaku. e. Kepala Bidang Pendidikan Menengah Umum terhadap kepala sekolah SMP, SMU. 10. Hubungan Administrasi Dan Supervisi Administarsi dan supervisi tnempunyai hubungan yang erat. Sebenarnya administrasi dan supervisi tidak dapat dipisahkan, tetapi dalam hal-hal tertentu keduanya dapat dibedakan :
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Supervisi Pendidikan
a. Kegiatan administrasi didasar kan pada kekuasaan, sedang kan supervisi di dasarkan pada pelayanan bimbingan dan pembinaan. b. Tugas administrasi meliputi keseluruhan Bidang tugas di sekolah, termasuk ma najemerin Sekolah, sedang kan supervisi hanya seba gian meliputi dari tugas pengarahan (directing): yang merupakan satu segi dari manajemen sekojah. c. Administrasi bertugas me nyediakan semua kondisi yang diperlukan untuk pelaksanaan program pen didikan, sedangkan super visi inenggunakan kon disi-kondisi yang telah di sediakan untuk peningkatan kualitas belajar mengajar. 11. Permasalahan Supervisi Dalam Praktek Sehari – Hari Seperti telah dibahas di mules supervisi adalah bantuan yang diberikan kepada personil sekolah untuk mengembangkan kemampuannyan dalam mening katkan kualitas proses belajar mengajar di sekolah antara lain : 1. Peningkatan itu merupakan hal yang sifatnya imperative, yang ditunjukan untuk menghindari sikap rutinitas dalam personil sekolah. La-Tahzan
2.
Mengingat posisi guru yang sangat menentukan dalarn proses belajar mengajar atau secara spesipik untuk men ingkatkan kualitas pendidikan peserta didik, menyebabkan semakin perlunya para guru dipersiapkan agar senantiasa responsif terhadap tuntutan dan harapan masyarakat dan sekolah.
3.
Adanya harapan agar para guru bersifat kreatif, ima ninatif, dan progresif me nuntut adanya sifat – sifat tertentu dari para ad ministrator pendidikan.
4. Diakui bahwa seirama dengan kernajuan dalam masyarakat, para guru perlumengadakan perubahan dalam proses belajar mengajar. Pengangkatan tenaga supervisor ini dapat mencapai sasaran bila memperhatikan beberapa hal berikut ini, yakni: a.
Tugas supervisor adalah memberi bantuan kepada personil sekolah, dan bukan menilai konduite personil sehingga dapat meningkatkan kualitas proses belajar mengajar di sekolah.
b. Untuk meningkatkan kualitas guru dalam proses belajar
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
131
Ahmad Tasir
– mengajar bukan hanya merupakan tugas dan ke wajiban supervisor, me lainkan melibatkan banyak pihak seperti: pengawas, kepala sekolah, dan se bagainya. Di Indonesia telah diakui perlunya supervisi bagi para per sonil, namun dalam prak teknya, gagasan itu belum dapai direalisasikan sebagaimana yang diharapkan karena berbagai hal. Berbagai buku mendefinisikan supervisi berbeda satu sama lain. Daresh (1989), misalnya mendefinisikan supervisi sebagai suatu proses mengawasi kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan organisasi. Wiles 11955) mendefinisikannya sebagai bantuan dalam pengembangan situasi belajar-mengajar. Lucio dan McNeil (1978) mendefinisikan tugas supervisi, yang meliputi: a.
Tugas perencanaan, yaitu untuk menetapkan kebijak sanaan dan program.
b.
Tugas administrasi, yaitu pengambilan keputusan serta pengkoordinasian melalui konferensi dan konsultasi yang dilakukan dalam usaha mencari perbaikan kualitas pengajaran.
c.
Partisipasi secara langsung dalam pengembangan
132
kuri kulum, yaitu dalam kegiatan merumuskan tujuan, membuat penuntun mengajar bagi guru, dan memilih isi pengalaman belajar. d. Melaksanakan demonstrasi mengajar untuk guru-guru, serta. e.
Melaksanakan penelitian.
Sergiovanni dan Starratt (1979) berpendapat bahwa tugas utama supervisi adalah perbaikan situasi pengajaran. Ada dua jenis supervisi dilihat dari peranannya dalam perubahan itu, yaitu: 1.
Supervisi traktif, artinya supervisi yang hanya berusaha melakukan perubahan kecil karena menjaga kontinuitas. Supervisi traktif ini misalnya dapat dilihat dari kegiatan rutin seperti pertemuan rutin dengan guru-guru untuk membicarakan kesulitan-kesulitan kecil, memberikan informasi tentang prosedur yang telah disepakati dan memberikan arahan dalam prosedur standar operasi (PSO) dalam suatu kegiatan.
2.
Supervisi dinamik, yaitu supervisi yang diarahkan untuk mengubah secara lebih intensif praktek-praktek pengajaran tertentu. Tekanan dalam perubahan ini diletakkan kepada diskontinuitas, gangguan terhadap praktek yang ada sekarang untuk diganti dengan yang baru. Program demikian merupakan program baru yang mempengaruhi perilaku murid, guru, dan semua personel sekolah.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Supervisi Pendidikan
Pada bagian ini akan diuraikan tugas supervisor dan wewenang supervisor dalam pengajaran. Dalam kaitannya dengan perbaikan situasi belajar – mengajar ini, tugas seorang supervisor (Harris, 1975) adalah membantu guru dalam hal: a.
Pengembangan kurikulum. Kurikulum perlu diperbaiki dan dikembangkan secara terus-menerus.
b. Pengorganisasian pengajaran. Supervisor bertugas mem bantu pelaksanaan peng ajaran sehingga siswa, guru, tempat, dan bahan pengajaran sesuai dengan waktu yang disediakan serta tujuan instruksional yang ditetapkan. c.
Pemenuhan fasilitas sesuai dengan rancangan proses belajar mengajar
d. Perancangan dan perolehan bahan pengajaran sesuai dengan rancangan kuri kulum. e.
Perencanaan dan im ple mentasi dalam mening katkan pengajaran.
La-Tahzan
f. Pelaksanaan orientasi tentang suatu tugas atau cara baru dalam proses belajarmeangajar. g.
Pengkoordinasian antara kegiatan belajar-mengajar dengan kegiatan layanan lain yang diberikan sekolah/ lembaga pendidikan kepada siswa.
h.
Pengembangan hubungan dengan masyarakat dengan mengusahakan lalu lintas informasi yang bebas tentang hal yang berhubungan dengan kegiatan pengajaran.
i. Pelaksanaan evaluasi peng ajaran, terutama dalam perencanaan, ,pembua tan instrumen, pe ng organisasian, dan pe netapan prosedur untuk pengumpulan data, analisis dan interpretasi hasil pe ngumpulan data, serta pembuatan keputusan untuk perbaikan proses pengajaran. ( Harris (1975) menggambarkan kegiatan itu seperti pada gambar berikut.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
133
Ahmad Tasir
TUGAS PENDAHULUAN - -
Mengembangkan kurikulum Menyediakan fasilitas
TUGAS OPERASIONAL
- - Balikan
- -
TUGAS PERKEMBANGAN
Mengorganisasikan pengajaran Memberikan orientasi kepada guru Mengusahakan bahan Meng hubungkan layanan khusus murid dan layanan lain Mengembangkan hubungan masyarakat
- -
Mengatur pendidikan dalam jabatan Melakukan evaluasi pengajaran
Balikan Gambar 9.3. Tugas-Tugas Supervisor (Harris, 1975; p. 13) Di bawah ini diuraikan satu per satu pendekatan dan teknik dalam supervise yang didasarkan atas aliran – aliran psikologi yang menjelaskan tentang proses belajar. 1.
Pendekatan Humanistik
Salah satu pendekatan yang seringkali dipakai dalam melaks anakan supervise adalah pendekatan humanistic. 134
Pendekatan humanistic timbul dari keyakinan bahwa guru tidak dapat diperlukan sebagai alat semata – mata untuk meningkatkan kualitas belajar – mengajar. 2.
Pendekatan Kompetensi
Pendekatan kedua yagng dapat dipakai dalam melaksanakan supervise adalah pendekatan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Supervisi Pendidikan
kompetensi. Pendekatan ini mempunyai makna bahwa guru harus mempunyai kompetensi tertentu untuk melaksanakan tugasnya. Pendekatan kompetensi didasarkan atas asumsi, bahwa tujuan supervise adalah membentuk kompetensi minimal yang harus dikuasai guru. 3.
Pendekatan Klinis
Pendekatan ketiga dalam supervisi adalah pendekatan klinis. Asums.i dasar pendekatan ini adalah bahwa proses belajar guru untuk berkembang dalam jabatannya tidak dapat dipisahkan dari proses belajar yang dilakukan guru itu. Pendekatan ini mengombinasikan target yang terstruktur dan perkembangan pribadi. a.
Pegertian Supervisi Klinis
Supervisi klinis adalah suatu proses tatap muka antara supervisor dengan guru yang membicarakan hal mengajar dan yang ada hubungannya dengan itu. Goldharnmer, Anderson, dan Krajewski (1980) mengemukakan sembilan karakteristik supervisi klinis, yaitu: 1.) Merupakan teknologi dalam memperbaiki peng ajaran. 2.) Merupakan intervensi secara sengaja ke dalam proses pengajaran. La-Tahzan
3. Berorientasi kepada tujuan, mengombinasikan tujuan sekolah, dan me ngembangkan kebutuhan pribadi. 4.) Mengandung pengertian hubungan kerja antara guru dan supervisor. 5.) Memerlukan saling keper cayaan yang di cerminkan dalam pengertian, dukung an, dan komitmen untuk berkembang. 6.) Suatu usaha yang sis tematik, namun memer lukan keluwesan dan perubahan metodologi yang terus-menerus. 7.) Menciptakan ketegangan yang kreatif untuk men jembatani kesenjangan aritara keadaan real dan ideal. 8.) Mengasumsikan bahwa supervisor mengetahui lebih banyak dibandingkan dengan guru. 9.) Memerlukan latihan untuk supervisor. 4.
Pendekatan Profesional
Pendekatan keempat dalam supervisi adalah pendekatan pro fesional. Kata profesional menunjuk pada fungsi utama guru yang melaksanakan pengajaran secara profesional. Asumsi ini
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
135
Ahmad Tasir
dikembangkan dalam bentuk praktek di beberapa sekolah di Cianjur, dan berlangsung antara tahun 1979-1984. Kegiatan ini kemudian terkenal dengan nama Proyek Cianjur. Dari penelitian terbatas tetapi mendalam (iluminative indepth study) yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen P dan K pada awal tahun 1979 diketahui bahwa terdapat kelemahan di berbagai segi pengajaran antara lain: 1.)
136
Guru mengalami kesulitan di dalam menyusun per siapan mengajar, me laksanakan pengajaran di kelas, mengelola kelas, dan
mengelola peserta didik. 2.)
Terdapat kecenderungan bahwa pengajaran me nekankan pada pengem bangan aspek kognitif rendah (recall) sehingga tidak atau kurang mengembangkan proses berpikir divergen.
3.) Kurang diperhatikannya per betaan individual pe serta didik sehingga me reka yang lambat be lajar tidak dapat mengikuti pelajaran sedangkan mereka yang berkemampuan lebih tinggi tidak dapat mencapai hasil optimal.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Islam, Agama dan Fenomena Sosial Budaya Oleh: H. Ahmad Hufron, Lc., MSI
Dosen STAIBN Tegal
A. PENDAHULUAN Gerakan Reformasi ( perbaikan agama ) yang dilakukan oleh Marthin Luther dan Calvin di negara Eropa, gerakan renaisance yang menjadi bekal kemajuan Eropa sampai sekarang ini, gerakan menghancurkan sistem feodalisme dan membebaskan diri dari kekuasaan-kekuasaan bangsawan, gerakan emansipasi dan pernyataan hak-hak asasi manusia yang tampak jelas pada Magna Charta di Inggris dan Revolusi Perancis di Perancis, aliran empirisme yang menjadi dasar keagungan Eropa dalam lapangan ilmu pengetahuan yang menjadi titik tolak penemuanpenemuan ilmiah yang maha besar pada masa modern dan gerakangerakan besar yang semisalnya dikira oleh sementara mayoritas orang sebagai prinsip-prinsip La-Tahzan
dalam perkembangan sejarah. Padahal semua gerakan-gerakan tersebut mengambil dari arus besar Islam yang mengilhaminya dan mempengaruhinya secara fondamentil dan mendalam. Ahmad Amin menyebutkan bahwa di kalangan orang-orang Masehi timbul corak-corak pikiran yang menunjukkan pengaruh Islam pada mereka, diantaranya adalah pada abad ke delapan Masehi di Septamina suatu propinsi lama di Perancis Barat Daya dipinggir Laut Tengah timbul suatu gerakan yang menyerukan untuk mengingkari pengakuan berdosa di muka tokoh agama sementara tokoh agama tidak mempunyai hak untuk berbuat demikian dan juga menyerukan kepada mereka agar tunduk kepada Allah semata-mata untuk memohon ampunan akibat dosa yang telah diperbuatnya. Itu semua merupakan bukti
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
137
H. Ahmad Hufron, Lc., MSI
penyerahan diri manusia kepada Sang Pencipta. 1 Al-Qur’an ( Islam ) adalah suatu ajaran yang berkepentingan terutama untuk menghasilkan sikap moral yang benar bagi tindakan manusia, baik dalam tindakan politik, keagamaan maupun dalam tindakan sosial budaya. Al-Qur’an memandang tindakan-tindakan tersebut sebagai ibadah. Oleh karena itu Islam mengutamakan semua penekananpenekanan moral dan faktor-faktor psikologis yang dapat melahirkan kerangka berfikir yang benar bagi tindakan manusia. Jadi jelas bahwa dorongan dasar Al-Qur’an ( Islam ) adalah untuk membebaskan sebesar mungkin energi manusia yang kreatif. Seperti dalam ilmu sosial, agama selain berfungsi sebagai legitimatif, ia juga dapat berfungsi sebagai kontrol secara kritis apabila agama bisa independen dari struktur yang mungkin menjeratnya. Dalam setiap tingkat perkembangan sosial, kemungkinan lahirnya struktur yang menjerat agama itu masih tetap ada, walaupun pada mulanya agama telah menjadi motivator atas perubahan itu
sendiri. Seorang tokoh agama dengan keberaniannya berhasil mampu melakukan perubahanperubahan yang terjadi di masyarakat dengan berbagai macam penawaran tema-tema moral dan konsolidasi spiritual, tetapi dalam proses berikutnya tidak mustahil cenderung terjebak sendiri dalam rutinitasi karismanya saja ketika ia melihat perlunya mengambil langkah-langkah stabilisasi atau pembirokrasian. Sebab, memang ada masanya ide-ide keagamaan yang ideal itu kemudian harus diterjemahkan ke dalam kehidupan nyata sambil memperhitungkan segala kendala trasdisi atau kapasitas formal yang ada pada kehidupan dan budaya masyarakat.2 Sejalan dengan hal tersebut, agama seharusnya selalu berani tampil dalam setiap keadaan dan bukan saja untuk menunjukkan hal-hal yang positif tetapi juga hal-hal yang negatif. Mekanisme kritis agama terhadap perubahanperubahan masyarakat di bidang budaya maupun di bidang sosial dalam Islam sangat ditekankan.
1. lihat karya beliau “Dhuha El-Islam, Cairo, hal. 164 2. Max Weber, The Sociology Of Religion…, 1963 138
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Islam, Agama dan Fenomena Sosial Budaya
B. SOSIAL BUDAYA DAN MASYARAKAT Secara garis besar dapat dikatakan bahwa budaya atau sering kita sebut kultural adalah sistem yang berkaitan dengan ide-ide dan nilai-nilai yang dianut oleh sekelompok masyarakat tertentu. Sedangkan sosial adalah suatu sistem yang berkaitan dengan interaksi sejumlah peranan kelompok-kelompok dalam masyarakat.3 Kendati batas antara budaya dan sosial lebih bersifat idealisasi, namun dalam sistem tindakan para anggota masyarakat dalam divisi-divisi tertentu dapat dilihar secara nyata. Universitas dan Pemerintahan misalnya, masing-masing mempunyai orientasi yang dapat dibedakan. Dalam hal ini universitas lebih berorientasi kultural dibandingkan dengan pemerintahan, begitu juga sebaliknya pemerintahan lebih berorientasi sosial dibandingkan dengan universitas. Oleh sebab itu dari sudut divisi-divisi sosial ini, batas antara budaya dan sosial sebenarnya terletak pada tingkat penekanan orientasi, mana yang lebih menenkankan kultural dan mana yang berorientasi sosial. 4 Kadang-kadang, bagi yang suka mengamati perkembangannya,
kebudayaan itu terkesan statis dan tidak bisa berubah. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak ada suatu persekutuan budaya yang tidak bergerak ke arah perubahan. Perkembangan teknologi pertanian dan penjajahan bangsabangsa Barat atas kelompokkelompok kebudayaan tertentu telah mempercepat perubahan kebudayaan. Salah satu konsep teoritis tentang terjadinya perubahan kebudayaan adalah adanya keinginan beradaptasi bersentuhan antar kebudayaan. Walaupun kadang-kadang sebagian masyarakat tidak menghendaki adanya adaptasi antar kebudayaan, akan tetapi karena kepentingan ingin memperoleh kehidupan yang lebih baik, adaptasi itu tidak bisa terelakan lagi. Dalam situasi semacam ini, kebudayaan minoritas biasanya menyerap pengaruh budaya yang lebih perior dan dominan. Dan pada segi yang lain, dorongan utama perubahan kebudayaan timbul karena adanya innovation ( penemuan baru ). Suatu penemuan baru biasanya selalu berkaitan dengan lahirnya gagasan-gagasan baru yang muncul dengan sendirinya akibat adanya proses kreativitas. Penemuan-penemuan
3. James L. Peacock, The Human Direction., 1973 4. Ibid La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
139
H. Ahmad Hufron, Lc., MSI
tersebut akan diterima apabila masyarakat yang bersangkutan menganggapnya dengan resmi dapat diintegrasikan ke dalam kebudayaannya. Oleh sebab itu, tidak semua ide-ide baru dapat diterima oleh suatu kelompok masyarakat bahkan kadangkadang akan ditolak secara sadis jika dianggap bertentangan dengan tata nilai budaya mereka yang telah mapan. Pada dasarnya, proses perubahan kebudayaan atau perubahan sosial berlangsung kompleks. Akan sangat sulit mengatakan bahwa salah satu aspek, seperti agama memiliki peranan dan respon yang paling berpengaruh dalam perubahan itu. Dan untuk kepentingan analisis agama seringkali disebut sebagai faktor pendorong tapi juga sebagai penahan terhadap perubahan serta kadang-kadang dalam situasi tertentu agama secara simultan bereaksi sebagai “pendorong dan penahan” sekaligus. 5 Kendati sebenarnya perubahan kebudayaan itu sendiri sesuatu yang netral, namun seringkali kita merasa perlu melakukan penilaian dan sharing terhadapnya. Pengaruh agama itu sendiri terhadap perubahan seringkali
memang tidak langsung. Bahkan dalam menghadapi perubahan itu, ada sementara gerakan agama yang melakukan transformasi. Suatu gerakan agama tradisional, seperti gerakan sufi atau tarekat yang berwajah mistis, sangat mungkin mampu mengadakan transformasi dirinya terhadap realitas dan juga melakukan perubahan masyarakat secara radikal seperti di dalam bidang ekonomi, kesehatan atau kerja-kerja sosial. 6 Dalam menghadapi proses perubahan itu, agama mengalami apa yang disebut pembidangan institusional. Agama harus menegaskan tempatnya sebagai institusi. Sebab dalam masyarakat yang masih sederhana, agama biasanya berfungsi sebagai segalagalanya. Sistem kepercayaan agama, nilai-nilai dan praktekpraktek keagamaan memiliki pengaruh langsung terhadap tingkah laku sosial masyarakat. Sebaliknya dalam masyarakat yang semakin maju, setiap institusi sosial melakukan pembidangan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan kehidupan sosial dalam bentuk lembaga-lembaga sosial inilah yang oleh para sosiolog agama disebut sekularisasi. Artinya ada pembidangan yang terpisah antara
5. Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, hal. 179 6. Ibid, hal. 180 140
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Islam, Agama dan Fenomena Sosial Budaya
institusi agama dan institusi sosial lainnya. Namun dalam suasana perbedaan ini, bisa juga agama mendorong setiap individu untuk memiliki kesadaran keberagamaan yang lebih mendalam. Pada zaman lampau sejarah telah membuktikan bahwa agama bukanlah sebagai pengahalang bagi pembangunan sosial budaya bahkan sebaliknya ia sebagai pendorong dan penggerak. Oleh karena itu pada zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern sekarang ini, agama juga harus demikian. Akan tetapi, untuk itu, perlu ditegaskan bahwa metode berfikir tradisional dan teologi tradisionalnya yang telah lama dipakai oleh umat Islam Indonesia harus secepat mungkin diusahakan untuk mengubahnya secara nasional hingga metode berfikir rasional, filosofis dan ilmiah dengan teologi rasionalnya tumbuh dan berkembang. Jadi jelas, tidak benar jika bahwa agama mesti menimbulkan pandangan yang sempit dan fanatik serta sebagai penghalang bagi pembangunan nasional termasuk di dalamnya pembangunan sosial budaya.
C. PERUBAHAN SOSIAL DALAM ISLAM Agama pada umumnya mempunyai ajaran-ajaran yang bersifat mutlak benar dan tidak La-Tahzan
berubah-ubah. Paham mutlak benar dan tidak berubah-ubah ini mempunyai pengaruh terhadap sikap mental dan tingkah laku pemeluknya. Oleh karena itu, umat beragama tidak mudah menerima perubahan dan cenderung untuk mempertahankan tradisi yang berlaku. Dari kenyataan ini timbullah anggapan bahwa agama menentang perubahan dan menghambat kemajuan masyarakat. Agama Islam juga tak luput dari anggapan semacam ini, apalagi ajaran-ajaran agama Islam seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an tidak hanya terbatas pada soal pengabdian kepada Tuhan Pencipta Alam Semesta, tetapi juga mencakup soal-soal hidup kemasyarakatan umat, perkawinan, perceraian, perdagangan, perseroan, pengadilan dan lain sebagainya. Umat Islam pada abad-abad pertengahan ( 1250-1800 M ) memang banyak terikat pahampaham keagamaan. Masyarakat pada waktu itu diatur oleh jiwa keagamaan tanpa membedakan antara agama yang sebenarnya dan ajaran bukan agama. Tradisi yang timbul terlepas dari agama, tetapi karena telah direstui oleh pemukapemuka agama ia dianggap juga sebagai ajaran agama yang bersifat absolut dan tidak boleh diubah. Tidak mengherankan memang,
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
141
H. Ahmad Hufron, Lc., MSI
kalau masyarakat pada waktu itu bersifat statis. Perubahan ditentang bukan hanya karena dianggap berlawanan dengan agama, tetapi juga karena perubahan akan merusak keseimbangan yang ada dalam masyarakat. Dan perubahan akan menimbulkan keguncangan dan kekacauan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, tugas penguasa pada masa tersebut adalah memelihara keseimbangan dalam masyarakat dengan mempertahankan status quo dan tradisi yang berlaku. Tiap anggota masyarakat menetap dalam posisi sosial tradisionalnya. Anak petani akan menjadi petani dan tidak diharapkan akan mengerjakan pekerjaan lain, begitu pula anak pedagang akan menjadi pedagang, anak guru akan menjadi guru dan anak pejabat akan menjadi pejabat serta demikian seterusnya. Keadaan statis dan tidak berubahubah ini diperkuat lagi oleh filsafat hidup yang bersifat fatalisme, yang hanya didasarkan atas keyakinan teologi tertentu. Paham fatalisme yang kita kenal dengan nama faham “Jabariyah” memang terdapat dalam ilmu kalam atau teologi Islam. Ada anggapan bahwa paham ini disokong dan dianjurkan oleh raja-raja Islam
pada periode pertengahan dengan maskud agar rakyat yang mereka perintah mudah dapat dikuasai. Timbullah faham di kalangan umat Islam bahwa segala-galanya telah ditentukan oleh Tuhan sejak zaman azali dan manusia hanya menunggu nasib atau takdir yang telah ditentukan oleh-Nya. Al-Qur’an ( Islam ) mengakui bahwa fenomena segala sesuatu di alam semesta ini terus berubah, termasuk masyarakat manusia. Yang tidak pernah berubah adalah Sang Kholik sendiri seperti yang tersurat dalam Al-Qur’an : “Semua yang ada di muka bumi itu akan binasa sementara Dzat Tuhanmu Yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan akan tetap kekal abadi” 7 dan nilai-nilai ketauhidan. Sunatullah pun akan terus berlaku sepanjang masa tanpa mengalami perubahan. “Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nantinantikan melainkan berlakunya sunatullah kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapatkan perubahan pada sunatullah dan sekali-kali juga kamu tidak akan mendapatkan penyimpangan dari sunatullah itu”. 8)
7 QS. Al-Rahman : 27 8 QS. Fathir : 43 142
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Islam, Agama dan Fenomena Sosial Budaya
Bila kita berbicara tentang perubahan sosial (social change) pada umumnya, kita akan bertemu dengan tiga macam pendekatan; konservatif, radikal dan revolusioner dan pendekatan reformis. 9
1. Pendekatan Konservatif Dalam pandangan Islam, pendekatan konservatif jelas tidak diunggulkan karena biasanya didukung oleh kaum formalis dan para pembela buta terhadap tradisi serta mereka yang yang tergolong kaum ulama obskurantis. Konservatisme mengarah pada pelestarian adat istiadat yang sesungguhnya sudah lapuk dan berwatak irasional. Pendekatan ini meremehkan perlunya perubahan dari modernisasi karena dianggap dapat merusak tradisi yang sudah berjalan berabad-abad. Dan pendekatan cara ini mencukupkan diri dengan apa-apa yang sudah diterima dari para nenek moyang atau leluhur tanpa mau meninjau kembali substansi yang lebih esensial. Sikap seperti ini telah dicela oleh Islam “Apabila dikatakan kepada mereka : marilah mengikuti apa yang telah diturunkan Allah dan mengikuti Rasul, mereka menjawab; Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati dari bapak-bapak kami mengerjakannya. Dan apakah
mereka juga akan mengikuti jejak neneng moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk”. 10
2. Pendekatan Revolusioner
Radikal-
Pendekatan ini akan mengarah pada pencerabutan tradisi sampai ke akar-akarnya dan menganggap pelestarian tradisi sebagai penyebab stagnasi sosial. Padahal tidak semua tradisi berkonotasi dan bersubstansi negatif destruktif. Perubahan sosial yang diupayakan secara radikal atau revolusioner kiranya jelas bertentangan dengan metode Al-Qur’an, karena Islam tidak membenarkan gerakangerakan yang menjebol asal menjebol tanpa perspektif yang jelas dan menggunakan falsafah “tujuan menghalalkan cara”. Pendekatan radikalisme kerap lahir karena adanya proses sosiologis obyektif dalam masyarakat. Juga karena kesenjangan-kesenjangan sosial yang tajam dalam suati masyarakat. Mereka yang menghubungkan radikalisme dengan Islam selain salah alamat dan tidak bertanggung jawab juga gagal memahami ajaran Islam yang justru mempu menangkal radikalisme.
9 M. Amien Rais, Cakrawala Islam, hal. 136 10 QS. Al-Maidah : 104 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
143
H. Ahmad Hufron, Lc., MSI
3. Pendekatan Reformis Pendekatan Reformis merupakan jalan tengah antara kedua pendekatan tersebut ( konservatisme dan radikalisme ). Pendekatan dengan cara ini memang lebih dekat dengan ajaran Islam, namun belum sepenuhnya mencerminkan pendekatan perubahan sosial sebagaimana diajarkan oleh Islam melalui Nabi Muhammad SAW. Reformisme menekankan perubahan perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit. Akan tetapi dalam praktek seringkali tidak dapat diterapkan karena kekuatankekuatan internal dan external yang anti perubahan dan anti kemajuan memperoleh waktu yang longgar untuk menyusun kekuatan guna menghalangi dan menjegal reformisme. Sejarah memang tidak memperlihatkan banyak contoh yang menunjukkan keberhasilan pendekatan reformis dalam perubahan sosial. Dengan demikian pendekatan Islam sudah terbukti teruji dalam panggung sejarah umat manusia : Pertama, perubahan sosial hanya akan berjalan baik sesuai dengan cita-cita luhur masyarakat bila lebih dahulu diadakan
perubahan mental dan orientasi manusianya. Dalam hal ini Islam bertentangan diametral dengan Marxisme dalam menghadapi perubahan sosial pada masyarakat. Karena Marxis pada umumnya berpendapat bahwa pada dasarnya substruktur masyarakat, yakni cara berproduksi dan cara berekonomi masyarakat merupakan hal yang menentukan cara berfikir dan sikap mental masyarakat. Sebaliknya Islam berpendapat bahwa sikap mental, kondisi psikologis dan orientasi masyarakatlah yang lebih dahulu harus digarap agar perubahan sosial dapat berjalan baik “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri sendiri”.11 Kedua, Islam telah memperhatikan bahwa sebagian besar tradisi dapat dilestarikan bentuknya, tetapi dengan mengubah maknanya secara revolusioner. Islam melestarikan wadah dan format tradisi yang sudah berakar berabad-abad dan turun temurun dari generasi ke generasi, namun ia mengubah isi dan substansinya. Spirit dan arah tradisi itu diperbarui dan diluruskan sehingga tidak perlu membuat shock masyarakat kebanyakan. Kita ambil contoh
11 QS. Al-Ra’ad : 11 144
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Islam, Agama dan Fenomena Sosial Budaya
dalam hal ini adalah masalah Ibadah Haji. Sebelum Islam datang haji merupakan ritual masyarakat politis arab sebagai sarana menyembah berhala, namun setelah Islam datang substansi haji diubah sama sekali dan diganti dengan tauhid dan kesadaran tentang kesatuan umat manusia. Ketiga, Islam sangat menganjurkan perubahan sosial bahkan perubahan hukum 12 secara bertahap. Dalam sejarah hukum Islam sendiri tampak jelas bagaimana Allah SWT menurunkan hukumnya secara perlahan-lahan dan bertahap. Seperti dalam masalah larangan meminum minuman keras ( khamr ). Pertama-tama ditanamkan pengertian bahwa mudharat khamr lebih banyak ketimbang manfaatnya. Kemudian dijelaskan bahwa peminum khamr dilarang mendekati sholat / mengerjakan sholat yang akhirnya peminum khamr adalah teman syaitan sehingga khamr ditegaskan haram hukumnya. Jiwa metode seperti ini juga diakui oleh Islam sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Dan seorang muslim harus cukup cerdas untuk menentukan kapan perubahan yang bertahap lebih diutamakan dari pada perubahan
yang cepat dan demikian pula sebaliknya.
D. ISLAM DAN BUDAYA Islam merupakan suatu ajaran yang universal, maka hal itu tidak saja menghasilkan pandangan bahwa ia berlaku untuk semua tempat dan waktu juga menghasilkan pandangan dari segi lain yaitu bahwa kebenaran Islam dapat didekati melalui angle berbagai pola budaya. Logikanya, jika Islam itu agama yang universal dan apabila keuniversalannya menghasilkan diutusnya para Rasul untuk setiap bangsa dan masa, maka berarti bahwa kebenaran juga dapat diketemukan pada setiap bangsa dan masa, kapan saja dan di mana saja sebagai warisan para Utusan Tuhan yang pernah datang ke bangsa yang bersangkutan. Akan tetapi perlu kita sadari bahwa meskipun kebenaran itu universal, namun acapkali tampil dalam penampilan lahiri yang berbedabeda dari masa ke masa dan dari tempat ke tempat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai segi yang salah satunya adalah persoalan “bahasa” dalam pengertian yang seluasluasnya termasuk di dalamnya bahasa “kultural”. Dan relevan
12 Mana’ Qattan, Tarikh Tasyri’ Al-Islamy, Beirut, hal. 54 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
145
H. Ahmad Hufron, Lc., MSI
dengan ini adalah penegasan AlQur’an bahwa para Rasul itu diutus dengan menggunakan bahasa mereka masing-masing. “Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka”. 13 Oleh karena itu kebenaran Islam yang Universal itu selalu memiliki kemampuan untuk beradaptasi kepada lingkungan budaya di mana ia tumbuh dan berkembang secara otetik dan kreatif. Dalam kajian tentang peradaban Islam seperti yang dilakukan oleh Ibnu Khaldun, diinsafi sedalam-dalamnya bahwa peranan lingkungan baik geografis, klimatologis dan lain-lain yang bersifat alamiah dan fisik mampu merubah tatanan kehidupan masyarakat lebih penting lagi faktor sosio-kultural. Di kalangan kaum muslimin Indonesia sendiri, pandangan mengenai agama dan budaya itu kebanyakan belum jelas benar yang dapat berpengaruh langsung kepada bagaimana penilaian tentang absah atau tidaknya suatu ekspresi kultural yang khas Indonesia, seperti telah menjadi kesadaran mayoritas orang
muslim bahwa antara agama dan budaya tidak dapat dipisahkan.14. Tetapi juga sebagaimana telah diinsafi oleh banyak ahli bahwa agama dan budaya itu meskipun tidak dapat dipisahkan namun keduanya dapat dibedakan dan tidak dibenarkan mencampur aduk antara keduanya. Agama bernilai mutlak dan tidak berubah-ubah menurut perubahan waktu dan tempat. Berbeda dengan budaya sekalipun ia berdasarkan agama, ia dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Dan sementara kebanyakan budaya berdasarkan agama namun tidak pernah terjadi agama berdasarkan budaya. Oleh karena itu agama adalah primer dan budaya adalah sekunder. Perlu kita sadari bahwa agama banyak mempengaruhi corak kebudayaan suatu bangsa, baik yang primitip maupun yang maju. Ia tidak lepas dari pengaruh agama yang hidup di masyarakat bersangkutan, bahkan banyak kebudayaan yang berkembang karena didorong oleh agama. Sebagai misal dapat diambil kebudayaan Mesir zaman Fir’aun, kebudayaan India dan kebudayaan Islam. Jadi wajar saja kalau agama
13 QS. Ibrahim : 4 14 Komarudin Hidayat, Wajah Agama Dalam Bingkai Kultural, Media Indonesia, 30 Desember 2001 146
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Islam, Agama dan Fenomena Sosial Budaya
sangat dominan sekali dalam mempengaruhi kebudayaan. Tetapi kalau agama dipengaruhi kebudayaan maka akan terdengar agak aneh sebab agama adalah wahyu Tuhan dan bersifat absolut. Sementara kebudayaan merupakan hasil pemikiran manusia dan bersifat relatif. Dan sesuatu yang bersifat relatif tidak bisa merubah sesuatu yang absolut walaupun pada kenyataannya tidak bisa dipungkiri bahwa agama dan kebudayaan saling mempengaruhi.15 Kalau dikatakan agama mempengaruhi kebudayaan, maka yang dimaksud dengan agama ialah agama dalam arti ajaranajaran dasar yang diwahyukan Tuhan. Ajaran-ajaran dasar itulah yang mempengaruhi kebudayaan umat yang menganut agama bersangkutan. Dan jika dikatakan kebudayaan mempengaruhi agama, maka yang dimaksud dengan agama ialah agama dalam arti ajaran-ajaran yang dihasilkan oleh pemikrian manusia tentang
perincian dan pelaksanaan ajaranajaran dasar. Dalam agama Islam, kedua kelompok ajaran yang telah diuraikan di atas dapat dibedakan dengan jelas. Ajaran yang merupakan wahyu dan bersifat absolut dalam Islam terdapat dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat yang mengandung ajaran absolut itu pada umumnya hanya dalam garisgaris besarnya saja sedang perincian dan tata cara pelaksanaannya dipikirkan oleh para ahli Islam yang dikenal dengan “IJTIHAD”. Dan karena ajaran dasar agama yang bersifat absolut hanya minoritas dan yang mayoritas adalah ajaran bukan dasar yang tidak bersifat absolut, maka tidak perlu dikhawatirkan bahwa agama akan menghambat perkembangan kebudayaan bahkan ia akan selalu mendorongnya. “Wallahu A’lamu bi al Showab”
15 Harun Nasution, Islam Rasional, hal. 238 La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
147
H. Ahmad Hufron, Lc., MSI
DAFTAR PUSATAKA
Sunaryo Cs, Departemen Agama Republik Indonesia, AlQur’an dan terjemahannya, CV. Samara Mandiri, Jakarta, 1999 Ahmad Amien, Dhuha Al-Islam, Cairo Ahmad Syafi’I Ma’arif, Membumikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Mizan, Bandung, Cetakan II, 1995 James L. Peacock, The Human Direction, New York, 1973 Komarudin Hidayat, Wajah Agama Dalam Bingkai Kultural, Media Indonesia, Ahad, 30 Desember 2001
148
M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Mizan, Bandung, 1996 Max Weber, The Sociology Of Religion, Boston, 1963 Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, Pustaka Firdaus, Jakarta, Cetakan II, 1995 Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1995 Sayed Qutub, Inilah Islam, International Islamic Federation Of Student Organizations, Salimiah Kuwait, 1988
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Pola-Pola Hubungan Tuhan dan Makhluk dalam Tasawuf Falsafi Oleh: Iffan Ahmad Gufron, M.Phil Kandidat Doktor Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dosen STAI Bunga Bangsa Cirebon
A. PENDAHULUAN
P
erkembangan pola-pola hubungan Tuhan dan makhluk dalam sejarahnya mengalami evolusi terus menerus. Bisa dikatakan konsep-konsep yang ditawarkan atau dilontarkan para tokoh sufi filsuf dalam karyakaryanya mengenai hubungan Tuhan dan makhluk ada keterkaitan atau kesamaan, walau cara pemaparannya berbeda. Sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa pemikiran satu tokoh dengan tokoh sebelum dan sesudahnya terdapat kesinambungan baik dengan menyepakati, mengkritisi ataupun menyangkal pemikiran tokoh sebelum maupun sezamannya. Dalam Islam, ada dua pembedaan mengenai Tuhan yang di ciptakan dan Tuhan yang
sebenarnya. Tuhan yang diciptakan adalah Tuhan dalam gambaran penganut, berupa gambar, bentuk, pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang-Nya. Dengan demikian “wajah” Tuhan seperti ini diwarnai dan ditentukan oleh pengetahuan, penangkapan, dan persepsi manusia yang mempunyai kepercayaan kepadaNya. Mengutip Al-Junaid, Ibn ‘Arabi berkata: Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya”. Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui sebuah hadits qudsi Berfirman: “Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku”. Tuhan disangka bukan diketahui. Makanya dalam lanjutan hadits qudsi, Tuhan Berfirman: “Maka hendaklah ia (hamba) bersangka baik tentang Aku”.1
1. Dosen STAI Bunga Bangsa Cirebon, Kandidat Doktor Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
149
H. Ahmad Hufron, Lc., MSI
Adapun mengenai Tuhan Yang Sebenarnya adalah Tuhan pada diri-Nya. Dzat Tuhan tidak diketahui dan tidak dapat diketahui oleh akal manusia. Tuhan dalam arti ini adalah Munazzah ( tidak dapat dibandingkan) dengan alam, sama sekali berbeda dengan alam, dan transenden terhadap alam. Karena Dzat Tuhan tidak dapat diketahui oleh siapa pun, maka Ibn ‘Arabi mengecam orang-orang yang melanggar larangan berpikir tentang tentang Dzat Tuhan dan menuduh mereka telah menambah kesalahan dengan al-khawdl (melakukan spekulasi serampangan), baginya upaya mereka itu adalah sia-sia.2 Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Tuhan dalam arti yang sebenarnya atau Dzat Tuhan bersifat transenden terhadap alam, sekarang yang menjadi pertanyaan “Bagaimana mungkin Tuhan yang transenden terhadap alam dan manusia (makhluk) adalah imanen dalam alam dan manusia? Bagaimana mendekati dan mencintai Tuhan yang tidak diketahui? Bagaimana mungkin Tuhan yang sama sekali berbeda dengan alam dan manusia dapat hadir dalam alam manusia?”.3
B. PEMBAHASAN Dialog pemikiran tentang polapola hubungan kesatuan Tuhan dan makhluk atau kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos tidak pernah surut untuk diperbincangkan dalam ranah filsafat, apalagi saat ini sedang ada trend tentang filsafat yang abadi yang dikenal dengan filsafat Perennial. Disamping itu modelmodel riyadah dalam mendekati Tuhan terus berkembang dalam ranah tasawuf, terlepas dari banyaknya kritik para fukaha yang terus merongrong kenyamanan orang dalam mendalami tasawuf. Untuk itu sebelum memasuki bentuk-bentuk pola kesatuan Tuhan dan makhluk yang paling berpengaruh dalam sejarah tasawuf falsafi, penulis akan memulainya dengan sejarah mula-mula tasawuf yang kemudian dikonsepsikan dengan term-term filsafat sehingga dikenal kemudian dengan tasawuf falsafi. Tasawuf mula-mula me rupakan perilaku zuhud4 yang dipraktekkan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW. merujuk kepada perilaku kesehariannya.
2. Kautsar Azhari Noer. “Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan Yang Sebenarnya”. Dalam Jurnal Paramadina, Volume I Nomor 1, Juli-Desember 1998. hlm. 130-132. 3. Ibid., hlm. 137-138. 4. Ibid., hlm. 141. 150
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Islam, Agama dan Fenomena Sosial Budaya
Pada waktu itu perilaku zuhud para sahabat bersifat individual. Baru pada awal abad ke-7 Masehi, terkait erat dengan kemunculan sufi-sufi yang mengabdikan diri mereka bagi kesucian hidup (wara’), ketekunan beribadah (khusyu ’), dan perenungan (fikr) terhadap keadaan manusia dan hubungan hamba dengan Tuhannya. Maka bermunculanlah kemudian ke lompok-kelompok sufi dan orangorang yang menjauhi kemegahan duniawi, semisal al-Hasan al-Basri (w. 110 H./ 728 M.).5 Segera setelah itu, banyak para zahid yang berkerumun di sekitar al-Hasan al-Basri, diantaranya Rabi’ah al-‘Adawiyyah (w. 185 H./ 801 M.), seorang sufi yang memperkenalkan konsep cinta ilahi sebagai sendi utama bagi kehidupan keagamaan. Pada abad berikutnya, muncullah tokohtokoh sufi dari Bagdad, pusat gerakan mistis pada waktu itu menggantikan Basrah, seperti alMuha sibi (w. 857 M.), Ibn Abi al-Dunya (w. 894 M.), Ma’ru f alKarkhi (w. 815 M.), dan Abu al-Qa sim al-Junaid (w. 911 M.).6
Al-Junaid, salah seorang pemuka dalam sejarah tasawuf, disamping al-Muha sibi tentunya, mengatakan bahwa asas kehidupan spiritual yang mendasari tasawuf adalah perjanjian (mi saq) yang telah ditetapkan oleh Allah sebelum penciptaan manusia. Dari perjanjian ini, tampak bahwa esensi kehidupan spiritual manusia adalah keinsyafan hamba (bahkan sebelum penciptaan) atas jarak yang terbentang antara dirinya dan Tuhan. Al-Junaid menjadikan keinsyafan ini sebagai pemisahan (ifrad) Yang Abadi dari yang fana’, sekaligus sebagai bentuk pengakuan atas ketauhidan Tuhan.7 Ajaran inilah yang kemudian memantik timbulnya tasawuf panteistik sebagaimana yang tampak dalam ajaran ittihad Abu Yazi d al-Bistami (w. 875 M.), ajaran hulul Husayn ibn Mansur al-Hallaj, wahdah al-wujud Muhyi al-Din ibn al-‘Arabi (w. 1240 M.). Pemikiran falsafi dalam tasawuf muncul sesudah diantara para sufi pemikir mencapai puncak penghayatan fana’ dan
5. Menurut Abu Yazi d al-Bistami , Zuhud adalah tidak mempunyai apa-apa dan tidak dipunyai oleh apa-apa. Lihat, Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Penerbit Panjimas, 1994), hlm. 68. 6. Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 84. 7. Majid Fakhry, op. cit., hlm. 85. La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
151
H. Ahmad Hufron, Lc., MSI
makrifat mereka, kemudian berusaha menyoroti aspek-aspek ajaran Islam. Dari sudut paham kemistikan mereka, maka muncul konsep ittihad, hulul, wahdah alsyuhud, wahdah al-wujud, dan sebagainya.8
karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit untuk dipraktekkan masih perlu untuk dianalisis lebih lanjut. Yang jelas uraian tentang ittihad justru dapat kita jumpai dalam tulisantulisan kaum orientalis.10
Ada beberapa pola hubungan Tuhan dan Makhluk, namun pada tulisan ini, penulis hanya menjelaskan empat jalan yang dalam tasawuf falsafi paling sering dibicarakan, yaitu: ittihad, hulul, wahdah al-syuhud, wahdah al-wujud.9
Menurut Harun Nasution, yang dimaksud dengan ittihad adalah satu tingkatan dalam tasawuf pada saat seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan; ketika yang mencintai dan dicintai menjadi satu. Sehingga salah satu darinya bisa memanggil yang lainnya dengan panggilan “Hai Aku”. ‘Abd al-Rahman Badawi menjelaskan bahwa dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, walaupun sesungguhnya ada dua wujud yang berpisah satu sama lain. Ketika yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud saja, maka dalam keadaan ittihad ini, bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan yang dicintai (Khalik dan makhluk). Identitas sebagai khalik dan identitas sebagai makhluk telah hilang, karena keduanya telah menjadi satu. Sufi yang telah
1. Ittihad Ittihad adalah tahapan lanjutan yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’. Namun dalam literatur klasik pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan, pengarangpengarang klasik tentang tasawuf seperti Abu Bakr Muhammad alKala bazi (w. 995 M.) dalam AlTa’arruf li-Mazhabi Ahli al-Tasawwuf dan Abu al-Qa sim ‘Abd al-Kari m al-Qusyairi (w. 1073 M.) dalam Al-Risalah al-Qusyairiyyah tidak menulis tentang ittihad. Apakah
8. Perjanjian ini disebut dalam QS. al- A’raf (7): 172, berbunyi: “Tuhan berseru kepada umat manusia untuk memberi kesaksian pada diri mereka sendiri, Apakah Aku Tuhanmu? dan mereka menjawab, Ya! Sesungguhnya kami telah bersaksi atas-Nya”. Lihat Ibid., hlm. 86 dan Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm 250. 9. Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 140-141. 10. Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 140-141. 152
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Islam, Agama dan Fenomena Sosial Budaya
mencapai keadaan ittihad setelah fana’-nya telah tidak mempunyai kesadaran lagi, berbicara dengan nama Tuhan. Tokoh yang paling berpengaruh terhadap faham ittihad adalah Abu Yazi d al-Bista mi (w. 261 H./ 875 M.).11 Al-Bista mi lahir di Bista m sekitar tahun 200 H., ia dikenal sebagai seorang sufi yang pertama kali mengenalkan faham fana’ dan baqa’ dalam tasawuf yang senantiasa ingin dekat dengan Tuhan. Dengan fana’, al-Bista mi meninggalkan dirinya dan pergi menuju kehadirat Tuhan.12 Al-Bista mi dinilai mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan, hal ini lantaran ia mengungkapkan syatahat13 yang menunjukan al-Bistami mengalami atau menghayati kesatuan (unitivestate/ hal al-wahdah). Seperti misalnya pernyataanpernyataannya yang dikutip oleh A. Rivay Siregar dan Simuh, di bawah ini:
Allah berfirman, “Semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Aku pun (Abu Yazi d) berkata: Aku adalah Engkau, dan Engkau adalah Aku”.14 Maha suci aku, maha suci aku, alangkah agungnya urusanku… Sungguh aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain aku, maka hendaklah engkau sekalian menyembah aku…Tidak ada di dalam jubah ini kecuali Allah”.15 Menurut al-Bista mi , manusia yang pada hakikatnya seesensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu meleburkan eksistensi (keberadaannya) sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana’ al-nafs); hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke dalam iradat Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan Dzat Allah).16 Dalam
ittihad
yang
dilihat
11. M.Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 101-102. 12. Margaret Smith mengatakan bahwa al-Bistami banyak diterangkan para penulis belakangan dan pengaruhnya amat penting bagi perkembangan ajaran tasawuf ke arah paham panteistik. Lihat Simuh, op. cit., hlm. 143. 13. Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 82-83. 14. Ucapan-ucapan ganjil sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittih a d, kata-kata ini tidak dikenakan hukum, karena orang yang berkata pada waktu itu sedang “mabuk” dalam fana ’-nya dan tenggelam dalam lautan tafakkur. Lihat, M. Solihin dan Rosihon Anwar, op. cit., hlm. 198 dan Hamka, op. cit., hlm. 95. 15. A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 154. 16. Simuh, op. cit., hlm. 143-144. La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
153
H. Ahmad Hufron, Lc., MSI
dan dirasakan hanya satu. Ittihad disebut al-Bista mi sebagai tajrid fana’al-tauhid, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun. Ungkapan alBista mi sebagaimana dinukil oleh A. Rivay Siregar: Pada suatu ketika saya dinaikkan kehadirat Allah seraya Ia berkata, hai Abu Yazi d, makhluk-Ku ingin melihatmu. Aku menjawab hiasilah aku dengan ke-Esaan-Mu, dan pakaikanlah aku sifat-sifat ke-dirian-Mu, dan angkatlah aku ke dalam ke-Esaan-Mu sehingga apabila makhluk-Mu melihat aku mereka akan berkata: kami telah melihat engkau, tetapi sebenarnya yang mereka lihat adalah Engkau karena sesungguhnya pada saat itu aku tidak berada disana.17 Proses terjadinya ittihad bagi alBista mi adalah alam makrifat dan selanjutnya memasuki alam fana’alnafs sehingga ia berada sangat dekat dengan Tuhan dan akhirnya terjadi perpaduan. Secara harfiah, ungkapanungkapan al-Bista mi itu adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya, dengan ucapannya
aku adalah Engkau bukan ia maksudkan akunya al-Bista mi pribadi. Dialog yang terjadi ketika itu pada hakikatnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan melalui lidah al-Bista mi yang sedang dalam keadaan fana’ alnafs. Pada saat bersatunya al-Bista mi dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang ada pada ketika itu hanya satu wujud yaitu Tuhan, sehingga ucapan-ucapan itu pada hakikatnya adalah katakata Tuhan, dalam hal ini al-Bista mi menjelaskan: “sebenarnya Dia berbicara melalui lidah saya, sedangkan saya sendiri dalam keadaan fana’”.18 Oleh karena itu al-Bista mi tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan seperti Fir’aun. Proses ittihad menurutnya adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat ilahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan tidak menyadari dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang dilihat.19
17. A. Rivay Siregar, op. cit., hlm. 145-146. 18. Ibid., hlm. 153. 19. Ibid., hlm. 155. 154
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Islam, Agama dan Fenomena Sosial Budaya
2. Hulul Sesudah Abu Yazi d al-Bista mi , lahirlah seorang sufi kenamaan yakni Husayn ibn Mansur alHallaj (w. 399 H./ 922 M.), yang menampilkan teori al-hulul (reinkarnasi Tuhan). Kata hulul, berdasarkan pe ngertian bahasa berarti menempati suatu tempat.20 Pengertian hulul secara singkat adalah bahwa Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana’.21 Adapun menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’, hulul bermakna faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifatsifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh itu dilenyapkan.22 Al-Hallaj terlahir di Baida, daerah yang terletak di tepian teluk Persia pada tahun 244 H./ 858 M., karena ia (dikatakan) bisa membaca pikiran-pikiran manusia yang rahasia, maka terkenal dengan Hallaj al-Asrar, penenun ilmu gaib.23
Menurut al-Hallaj, Allah mem punyai dua sifat dasar, yaitu ke-Tuhanan atau la hut dan kemanusiaan atau nasut. Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian makhluk dalam bukunya yang berjudul Tawasin.24 Sebelum Tuhan menjadikan makhluk. Dia hanya melihat diriNya sendiri. Dalam kesendirianNya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri. Dialog yang didalamnya tidak terdapat kata-kata (huruf-huruf). Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian ZatNya. Disamping itu Ia pun cinta kepada Zat-Nya sendiri, akibat cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia mengeluarkan dari yang tiada (exnihilo) copy dari diri-Nya (surah min nafsihi), yang mempunyai segala sifat dan namaNya, copy itu adalah Adam. Ia mengagungkan dan memuliakan serta mencintai Adam, karena pada diri Adam-lah Allah muncul dalam bentuk-Nya.25 Dalam sebuah syair al-Hallaj menjelaskan teorinya itu sebagaimana dikutip Harun Nasution:
20. Ibid.. 21. M. Solihin dan Rosihon Anwar, op. cit., hlm. 78. 22. A. Rivay Siregar, op. cit., hlm. 156. 23. Harun Nasution, op. cit., hlm. 88. 24. Simuh, op. cit., hlm. 144. 25. Harun Nasution, loc. cit.. La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
155
H. Ahmad Hufron, Lc., MSI
Maha suci Zat yang sifat kemanusiaan-Nya membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang, kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum”.26 Sebaliknya manusia juga mem punyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Ini dapat dilihat dari tafsiran al-Hallaj tentang perintah Tuhan kepada malaikat untuk bersujud kepada Adam dalam Surat al-Baqarah ayat 34,27 yang menurut pemahaman al-Hallaj, Allah memberi perintah kepada para Malaikat untuk semuanya bersujud kepada Adam, karena pada diri Adam Allah menjelma sehingga ia harus disembah sebagaimana menyembah Allah.28 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan dan dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan. Dengan demikian
persatuan antara Tuhan dan Manusia dapat terjadi dalam bentuk hulul (mengambil tempat). Untuk dapat bersatu manusia terlebih dahulu harus menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya de ngan fana’. Setelah hilang dan yang tertinggal hanya sifat-sifat ketuhanannya, barulah Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia. Oleh karena itu alHallaj mengatakan dalam syairnya yang dinukil Harun Nasution: Jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur di satukan dengan air suci.Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, dia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku. Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku, Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh. Jika
26. Dasar teologis bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam “copy-Nya” adalah QS. S ad: 72, yang artinya: “Maka apabila Telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”. Ayat ini menerangkan bahwa Adam mempunyai dua unsur, yakni jasmani dan rohani, unsur jasmani dari materi, sedang unsur rohaninya berasal sari roh Tuhan. Selain ayat diatas, ada sebuah hadis yang sangat berpengaruh di kalangan sufi, yang artinya: “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya”. Lihat Ibid., hlm. 89 dan Amin Syukur dan Masharuddin, Intelektualisme Tasawuf, Studi Intelektualisme Tasawuf al-Gaza li (Semarang: Lembkoha dan Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 23. 27. Ibid. 28. Lihat QS. al-Baqarah (2): 34, yang artinya: “Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat: Sujudlah kepada Adam, semuanya bersujud kecuali Iblis, yang enggan dan takabbur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Madinah: Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, 1413), hlm. 14. 156
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Islam, Agama dan Fenomena Sosial Budaya
engkau lihat aku, engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat kami.29 Dengan cara inilah menurut al-Hallaj seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan. Persatuan ini tidak menyebabkan diri hilang sebagaimana kehancuran al-Bista mi dan yang ada hanya diri Tuhan. Perbedaan antara ittihad alBistami dengan hulul al-Hallaj adalah bahwa dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, sedang dalam hulul ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh. Jadi al-Hallaj tidak mengakui dirinya Tuhan, sebagaimana dapat dilihat dari ucapannya yang berbunyi: “Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku, aku hanya satu dari yang benar maka bedakanlah antara kami”.30 Dan al-Hallaj ketika mengatakan “Ana al-Haqq” (sayalah kebenaran itu) sebenarnya bukanlah dia yang mengucapkan kata itu, tetapi Tuhan yang mengambil tempat pada dirinya.
3. Wahdah al-Syuhud Kematian al-Hallaj31 merupakan peringatan keras bagi bahaya laten yang terkandung dalam doktrin penyatuan (ittihad dan hulul). alHallaj sendiri menyatakan bahwa doktrin hulul-nya dimaksudkan sebagai cara seorang sufi menjadi alat Tuhan yang berbicara dan menulis atas nama-Nya. Namun hakim yang memvonis mati dirinya tidak mau mendengarkan dalih itu dan menganggap pernyataan tadi sebagai penuhanan-diri. Para sufi berikutnya, semisal Abu Ha mid al-Gazali (w. 505 H./ 1111 M.) dan Muhyi alDin Ibn ‘Arabi (w. 638 H./ 1240 M.), telah mengambil pelajaran dari kasus hukuman mati yang diberikan kepada al-Hallaj tersebut. Interpretasi mereka atas pengalaman mistis, betapa pun aneh dan menyimpangnya, tidak pernah mencapai klaim penyatuan diri dengan Tuhan (ittihad). Konsep ini ditukar oleh al-Gazali dengan ikrar keesaan Tuhan (tauhid) dan oleh Ibn ‘Arabi dengan konsep kesatuan wujud (wahdah al-wujud). Menurut al-Gazali , para peng ikut ajaran sufi adalah orang-orang yang secara sungguh-sungguh
29. A. Rivay Siregar, op. cit., hlm. 157. 30. Harun Nasution, op. cit., hlm. 90. 31. Ibid., hlm. 90-91. La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
157
H. Ahmad Hufron, Lc., MSI
menapaki jalan Tuhan, akan tetapi jalan sufi tidak membenarkan peng hinaan terhadap hukum-hukum agama. Tidak pula mengabaikan kewajiban agama dan ibadah, apalagi mempersamakan Tu han dengan makhluk seperti yang dilakukan oleh sufi yang kebablasan. Bagi al-Gazali dan guru spiritualnya (al-Junaid), hakikat tasawuf hanyalah sebatas ikrar tentang keesaan Tuhan (tauhid) yang kadang diekspresikannya sebagai pemusnahan (diri) dalam tauhid. Tauhid adalah meyakini bahwa Tuhan adalah wujud pelaku dan cahaya tunggal di alam semesta. Wujud ini tidak bisa dikenali melalui pemikiran rasional yang spekulatif, sebagaimana sangkaan para filsuf. Dia juga tidak dapat dikenali menggunakan jalan penyatuan-diri dengan-Nya, se bagaimana sangkaan al-Bista mi dan al-Hallaj. Mengenali wujud hanya mungkin apabila Dia membukakan Diri-Nya (kasyf) bagi mereka yang bersedia lewat pencermatan terus menerus (musya hadah) dalam pancaran cahaya
ilahi,32 inilah yang kemudian kita kenal dengan konsep wahdah-alsyuhud. Konsep wahdah al-syuhu d ini kemudian dikembangkan oleh Umar Ibn al-Fa rid (w. 632 H.). Menurutnya, wahdah al-syuhud adalah pernyataan diri bahwa yang disaksikan hanya satu wujud, yaitu wujud Yang Maha Esa.33 Kembali kepada al-Gazali sebagai pelopor konsep wahdah alsyuhud, lebih lanjut dalam salah satu karya mistisnya yang terkenal, Misykat al-Anwar, al-Gazali secara panjang lebar menafsirkan Q.S. al-Nu r (24): 35. Ayat ini berbicara tentang cahaya langit dan bumi serta melukiskan Tuhan sebagai cahaya diatas cahaya. Segala entitas yang yang eksis, dari malaikat hingga benda-benda bumi, bersumber dari-Nya. Namun menurut al-Gazali , semua entitas ini hanya eksis secara metaforis atau figuratif. Sebab dibandingkan dengan wujud sejati, semua itu hanya bersifat semu bahkan pada hakikatnya tidak ada.34 Dalam karyanya itu sebagaimana dikutip Majid Fakhry, ia menulis:
32.Tentang kematian al-H alla j, ia dicambuk seribu kali tanpa mengaduh kesakitan, lalu dipenggal kepalanya. Namun sebelum dipancung, ia meminta salat dua raka’at. Setelah selesai salat, kaki dan tangannya dipotong, badannya digulung dalam tikar bambu lalu dibakar dan abunya ditaburkan di pemukaan sungai Tigris, sedang kepalanya dibawa ke Khurasan untuk dipertontonkan. Ia wafat tahun 922 M/ 309 H. Lihat M. Solihin dan Rosihon Anwar, op. cit., hlm. 66. 33. Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 89-90. 34. A. Rivay Siregar, op. cit., hlm. 162. 158
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Islam, Agama dan Fenomena Sosial Budaya
Pada titik ini, seorang sufi akan mampu menaikkan taraf kesadarannya dari yang metaforis pada yang nyata. Bahkan, hingga bisa secara visual menyaksikan ketiadaan wujud selain wujud Tuhan dan kebinasaan semuanya kecuali Wajah-Nya. Kebinasaan demikian tidak terjadi hanya karena tamatnya kehidupan, tetapi justru karena ia tidak bisa tidak bersifat fana secara abadi. Dilihat pada dirinya sendiri, segala sesuatu selain Tuhan itu sebenarnya tiada. Namun, apabila sudut asal-usulnya dari realitas pertama yang kita lihat, tampaklah ia seakan bereksistensi. Dengan perkataan lain, eksistensinya itu nampak apabila “diarahkan” pada Wajah Penciptanya. Sebab, segala sesuatu memiliki dua wajah. Wajah yang terarah pada dirinya sendiri dan wajah yang terarah kepada Tuhannya. Sejauh menyangkut wajah yang terarah pada dirinya sendiri, segala sesuatu itu pada dasarnya tiada. Akan tetapi, sejauh menyangkut wajah yang terarah pada Wajah Tuhannya, ia tampak eksis. Karena itu, tak ada yang benar-benar eksis kecuali Tuhan
Yang Maha Kuasa dan Wajah-Nya. Dan segala sesuatu pastilah binasa secara azali dan abadi, kecuali ZatNya.35 Dari pemaparan diatas bahwa yang eksis secara hakiki hanya Wajah Allah dan wujud mungkin lainnya hanya merupakan bayangan dari Wajah-Nya dan sekali-kali akan eksis selama ia memandang kepada Wajah-Nya. Penulis menganggap konsep wahdah al-syuhud mendapatkan landasannya dari konsep makrifat al-Gazali yaitu “memandang ke pada wajah Allah” (al-nazr ila wajhillah ta’a la )36 atau “konsentrasi dalam zikir kepada Allah SWT.” (istighra q al-Qolb bi-zikrillah).
4. Wahdah al-Wujud Gerakan pembaharuan untuk mengintegrasikan dan mendamai kan tasawuf dengan syariat yang dipelopori Abu Sa’i d al-Kharraz (w. 286 H./ 899 M.), Abu al-Qasim al-Junayd (w. 298 H./ 911 M.), Abu Bakr Muhammad al-Kala bazi (w. 385 H./ 995 M.), Abu al-Qa sim
34. Lihat QS. al-Qas as (28): 88, yang artinya: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali WajahNya (Allah)”. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Madinah: Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, 1413), hlm. 625. 35. Majid Fakhry, op. cit., hlm. 90. 36. Harun Nasution, op. cit., hlm. 78. La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
159
H. Ahmad Hufron, Lc., MSI
‘Abd al-Kari m al-Qusyayri (w. 465 H./ 1073 M.), dan Abu Hamid al-Gazali (w. 505 H./1111 M.), sempat menyurutkan modelmodel tasawuf yang memiliki kecenderungan panteisme yang sebelumnya berkembang dengan al-Bistami (ittihad) dan al-Hallaj (hulul) sebagai tokohnya. Namun itu tidak berlangsung lama, sebab tasawuf yang cenderung kepada panteisme muncul kembali dalam bentuknya yang lebih jelas dalam ajaran wahdah al-wujud Ibn ‘Arabi . Berbeda dengan al-Bista mi dan al-Hallaj, yang mengungkapkan perkataan-perkataan aneh se bagai ledakan emosional tak ter kendalikan ketika ada dalam keadaan tak sadarkan (syatahat), karena itu masih bisa dimaafkan oleh kebanyakan para pengecam mereka, Ibn ‘Arabi , adalah seorang sufi teosofis yang mengeluarkan pendapat-pendapatnya sebagai hasil kejeniusan dan perenungannya yang mendalam dan imajinatif. Makanya kecaman terhadapnya lebih keras dan Ibn ‘Arabi disebut oleh lawanlawannya sebagai penganut paham
panteisme atau monisme. Bahkan Ibn Taymiyyah menuduhnya zindik dan kafir.37 Ibn ‘Arabi dilahirkan di Murcia, Andalusia (Spanyol), pada tanggal 17 Ramadan 560 H., bertepatan dengan tanggal 28 Juli 1165 M. lantas mengembara hampir ke seluruh negeri Timur Islam sebelum akhirnya menetap di Damaskus, tempatnya meninggal pada hari Jum’at tanggal 28 Rabi’ alAwwal 638 H., bertepatan dengan 16 November 1240 H..38 Karyakarya Ibn ‘Arabi diperkirakan berjumlah 846 buah dan 550 buah diantaranya masih tersimpan dalam bentuk manuskrip. Diantara karya-karyanya itu al-Futuhat alMakkiyyah dan Fusus al-Hikam yang paling terkenal dan merupakan magnum opus-nya. Doktrin wahdah al-wujud biasanya dihubungkan dengan Ibn ‘Arabi karena tokoh ini dianggap sebagai pendirinya. Karena itu tak heran kalau selama ini anggapan yang lebih umum berlaku ialah bahwa istilah wahdah al-wujud berasal dari atau diciptakan oleh
37. Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi ; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 1-4. 38. Konon Ibn ‘Arabi meninggal di saat menulis ayat ke 65 surat al-Kahfi, yang merupakan bagian dari penuulisan karya terakhinya berupa tafsir al-Qur’an dengan nama Tafsir al-Kabir. Lihat Fauzan Naif, “Epistemologi Ibn ‘Arabi”, Jurnal Penelitian Agama, no. 17, 1997, hlm. 67-69. 160
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Islam, Agama dan Fenomena Sosial Budaya
Ibn ‘Arabi .39 Namun sebenarnya, doktrin yang kira-kira sama atau senada dengan aliran Ibn ‘Arabi telah diajarkan oleh beberapa sufi jauh sebelum Ibn ‘Arabi . Seperti Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 H./ 815 M.), Khwaja ‘Abdallah Ansari (w. 481 H./1089 M.), bahkan Abu Ha mid al-Gazali (w. 505 H./ 1111 M.) dan saudaranya Ahmad al-Gazali (w. 520 H./ 1126 M.) serta ‘Ayn alQudat Hamadani (w. 526 H./ 1132 M.) lebih kurang mengemukakan pernyataan-pernyataan yang dianggap mengandung doktrin wahdah al-wujud.40 Dalam memahami pengertian wahdah al-wujud, terlebih dahulu harus dimengerti istilah wujud. Kata wujud secara bahasa, merupakan bentuk masdar dari wajada atau wujida, yang berasal dari akar wjd. Jadi kata wujud mempunyai dua pengertian, yaitu, “obyektif’ dan “subyektif”. Dalam pengertian “obyektif”, kata wujud adalah masdar dari wujida, yang berarti ditemukan. Sedang dalam pengertian “subyektif”-nya, kata wujud adalah masdar dari wajada, yang berarti “menemukan.”
Dalam sistem Ibn ‘Arabi , kedua aspek ini menyatu secara harmonis. Kesatuan kedua pengertian dan kedua aspek ini terlihat dengan jelas ketika Ibn ‘Arabi membicarakan wujud dalam hubungannya dengan Tuhan. Pada satu pihak, wujud, atau lebih tepat satu-satunya wujud, adalah wujud Tuhan sebagai realitas absolut, dan pada pihak lain, wujud adalah “menemukan” Tuhan yang dialami oleh Tuhan sendiri dan oleh pencari rohani (orang yang mengalami penyingsingan tabir yang memisahkannya dari Tuhan, hingga akhirnya ia menemukan Tuhan dalam alam dan dirinya sendiri). Kata wujud digunakan Ibn ‘Arabi untuk menyebut wujud Tuhan dan sebagaimana tersebut diatas, satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan. Ini berarti kata wujud tidak dapat diberikan kepada segala sesuatu selain Tuhan, alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Namun, Ibn’Arabi juga memakai kata wujud untuk menunjuk segala sesuatu selain Tuhan, walaupun
39. Penyelidikan baru-baru ini menjelaskan bahwa Ibn’Arabi tidak pernah menggunakan istilah wahdah al-wujud untuk menyebut konsep atau doktrinnya. Istilah ini pula tidak ditemukan dalam karya-karyanya. Penelitian awal W.C. Chittick menyebut S adr al-Di n al-Qu nawi (w. 673 H./ 1274 M.), murid Ibn ‘Arabi adalah orang pertama yang menggunakan istilah wahdah alwujud, walaupun tidak dimaksudkan untuk menunjukkan suatu istilah teknis yang independen. Lihat Kautsar Azhari Noer, op. cit., hlm. 34-36. 40. Ibid.. La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
161
H. Ahmad Hufron, Lc., MSI
dalam pengertian metaforis (maja zi ) agar tetap mempertahankan bahwa wujud hanya milik Tuhan. Sedang wujud yang ada pada alam, pada hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan padanya. Hubungan antara Tuhan dan alam sering digambarkannya dengan hubungan antara cahaya dan kegelapan. Karena wujud hanya milik Tuhan, maka ketiadaan (‘adam) adalah “milik” alam. Sehingga wujud adalah cahaya dan ‘adam adalah kegelapan.41 Hubungan ontologis antara Tuhan dan alam merupakan persoalan yang sangat penting kaitannya dengan pemahaman tentang konsep wahdah al-wujud Ibn ‘Arabi . Ia sendiri mengaku kesulitan dalam memahaminya, ini disebabkan hubungan tersebut selalu bersifat ambiguitas, mengandung pertentangan-per tentangan dalam dirinya tetapi merupakan suatu kesatuan utuh yang harmonis. Kesatuan per tentangan itu disebut dengan kesatuan antara pertentanganpertentangan (al-Jam’ bayna al-Adda d), yang dikenal dalam filsafat barat
dengan coincidentia oppositorum.42 Dalam pandangan Ibn ‘Arabi , alam adalah penampakan diri (tajalli ) al-Haqq dan dengan demikian segala sesuatu dan semua peristiwa di alam ini adalah entifikasi (ta’ayyun) alHaqq. Karena itu, Tuhan dan alam, keduanya tidak dapat dipahami kecuali sebagai kesatuan antara kotradiksi-kontradiksi ontologis. Kontradiksi-kontradiksi ontologis ini bersifat horizontal dan vertikal. Kontradiksi-kontradiksi ini dapat dilihat dalam kontradiksi antara Yang Awal (al-Awwal) dan Yang Akhir (al-Akhir), antara Yang Satu (al-Wahid) dan Yang Banyak (al-Kasir), dan antara tanzih (ketidaksetaraan) dan tasybih (keserupaan). Realitas bagi Ibn ‘Arabi adalah satu, tetapi mempunyai dua sifat yang berbeda: sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Kedua sifat tersebut hadir dalam segala sesuatu yang ada di alam. Teori ini diadopsi dari al-Hallaj, yang mengatakan sifat ketuhanan (lahut) hanya hadir pada manusia, tidak
41. Ibid., hlm. 41-43. 42. Dalam menunjukkan “ambiguitas radikal” dalam wujud, Ibn ‘Arabi sering mengutip QS. 8: 17. ayat ini berkenaan dengan peristiwa ketika Nabi saw., melempar pasir ke arah musuh dalam perang Badar, yang dimenangkan kaum muslimin. Ayat ini berbunyi: “Engkau tidak melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar”. Ayat ini menegaskan realitas individual Nabi Muhammad SAW., lalu menafikannya dengan mengatakan bahwa Allah sebenarnya adalah satu-satunya realitas di balik peristiwa yang tampak itu. Lihat Ibid., hlm 48-49. 162
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Islam, Agama dan Fenomena Sosial Budaya
pada makhluk-makhluk yang lain, dan sifat kemanusiaan (nasut) hadir pada Tuhan. Kemudian diubah oleh Ibn ‘Arabi secara total dan diberinya aplikasi yang lebih luas. Jika dalam teori al-Hallaj masih terdapat dualitas (Tuhan dan manusia), maka dalam teori Ibn ‘Arabi dualitas itu tidak ada kecuali dualitas semu, yang ada adalah keesaan. Kemudian kalau pada al-Hallaj persoalan yang diajukan adalah hubungan antara Tuhan dan manusia, maka dalam teori Ibn ‘Arabi persoalan yang diajukan adalah hubungan antara Tuhan dan alam, teori al-Hallaj tentang hubungan antara al-lahut dan al-nasutt diubah oleh Ibn ‘Arabi menjadi teori tentang hubungan antara al-Haqq dan al-khalq. Baik al-Haqq (Tuhan) maupun alkhalq (alam) dapat dipandang dari dua aspek, dalam Fusus al-Hikam, Ibn ‘Arabi berkata sebagaimana dikutip Kautsar Azhari Noer: Tidakkah anda memahami bahwa al-Haqq tampak melalui sifat-sifat segala sesuatu yang baru, ketika Dia memberitakan diri-Nya dengan demikian, bahkan melalui sifat-sifat kekurangan dan sifat-sifat kesalahan atau celaan? Tidakkah anda memahami bahwa
al-makhluq tampak melalui sifatsifat al-Haqq dari awalnya sampai akhirnya, semuanya itu adalah benar baginya sebagaimana sifatsifat segala sesuatu yang baru adalah benar bagi al-Haqq.43 Dilihat dari satu aspek, Allah adalah satu, tetapi dilihat dari aspek yang lain Dia adalah semuanya (kull) yang mengandung keanekaan. Begitupun dengan alam, mempunyai dua aspek yang berbeda: pertama, aspek ketuhanan, yaitu realitas absolut itu sendiri, dan kedua, aspek kemakhlukan, yaitu segala sesuatu yang relatif, yang lain dari realitas absolut. Ibn ‘Arabi menggunakan se jumlah simbol dalam menjelaskan hubungan ontologis antara Tuhan dan alam. Salah satu simbol yang paling terkenal adalah simbol cermin, yang telah juga digunakan jauh sebelum Islam. Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa al-khalq adalah cermin bagi al-Haqq dan al-Haqq adalah cermin bagi al-khalq. Perumpamaan bahwa alkhalq adalah cermin bagi al-Haqq mempunyai dua fungsi: per tama, untuk menjelaskan sebab
43. Ibid., hlm. 50. La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
163
H. Ahmad Hufron, Lc., MSI
penciptaan alam dan kedua, untuk menjelaskan bagaimana munculnya yang banyak dari Yang Satu dan hubungan onto logis antara keduanya. Untuk menjelaskan fungsi pertama, Ibn ‘Arabi menjelaskan dalam Fusus al-Hikam sebagaimana dinukil kautsar: Al-Haqq ingin melihat entitasentitas dari Nama-nama terindahNya yang jumlahnya tidak terbatas, dan jika anda senang, anda dapat mengatakan bahwa Dia ingin melihat entitas-Nya sendiri… Dia menciptakan keseluruhan alam sebagai wujud kekaburan yang tidak berbentuk tanpa ruh padanya, karena itu ia laksana cermin yang tidak jelas…Maka perintah Tuhan mengharuskan kebeningan cermin alam, dan Adam adalah entitas kebeningan cermin itu dan ruh bentuk itu.44 Tujuan Tuhan menciptakan alam ini selain untuk melihat diriNya, juga ingin memperlihatkan diri-Nya. Dia adalah “harta simpanan tersembunyi” (kanz makhfi ) yang tidak dapat dikenali kecuali melalui alam ini. Tentang fungsi yang kedua, yang menjelaskan munculnya
yang banyak dari yang satu dan hubungan antara keduanya, Ibn ‘Arabi berkata sebagaimana dikutip kautsar : Sesungguhnya manusia adalah keseluruhan alam dari segi bahwa ia adalah buahnya, dan ia adalah rahasianya dari segi keunikannya dari alam, karena ia adalah cermin tajalli al-Haqq bersama alam dengan penampakan nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya…Ingatlah bahwa tajalli yang penuh dan sempurna dengan keseluruhan nama-nama Tuhan tidak terjadi kecuali melalui wujud Adam, yaitu jenis manusia. Maka para Nabi AS. adalah cermin yang paling sempurna di antara anda (hamba), kemudian seharusnya anda mengetahui bahwa sebagian para nabi melebihi sebagian yang lain. Maka mesti cermin-cermin para nabi itu satu sama lain saling melebihi, dan cermin yang paling utama, sempurna dan kokoh adalah cermin Muhammad SAW.. Maka alHaqq menampakkan diri-Nya pada cermin Muhammad itu dengan penampakan diri-Nya yang paling sempurna. Maka berusahalah dengan keras untuk melihat al-Haqq yang menampakkan diri-Nya pada cermin Muhammd saw, supaya al-
44. Ibid., hlm. 54. 164
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
Islam, Agama dan Fenomena Sosial Budaya
Haqq tercetak pada cermin anda, lalu anda akan melihat al-Haqq pada cermin Muhammad dengan penglihatan Muhammad dan anda tidak akan melihat-Nya dalam bentuk anda.45 Dapat dikatakan disini bahwa “Yang Melihat”, yaitu al-Haqq (Tuhan), adalah satu, tetapi bentuk atau gambar-Nya banyak sebanyak cermin tempat bentuk atau gambar itu terlihat. Kejelasan gambar pada cermin tergantung tingkat kualitas kebeningan cermin itu. Cermin yang paling bening akan memantulkan gambar yang paling jelas dan sempurna. Manusia adalah cermin yang paling sempurna bagi al-Haqq, disebabkan manusia memantulkan keseluruhan namanama dan sifat-sifat al-Haqq pada dirinya, sedangkan makhluk lain hanya memantulkan sebagiannya saja dari nama-nama dan sifat-sifat itu. Diantara manusia yang paling sempurna kualitasnya adalah para nabi, dan diantara para Nabi Muhammad-lah yang merupakan cermin yang paling sempurna. Tentang perumpamaan bahwa al-Haqq adalah cermin bagi alkhalq, timbul sebuah pertanyaan apakah manusia dapat melihat al-Haqq. Jika alam merupakan
“tempat penampakan diri” (majla) al-Haqq, maka manusia dapat melihat al-Haqq melalui alam. Menurut Ibn ‘Arabi , penerima tajalli termasuk manusia, tidak melihat selain bentuknya sendiri dalam cermin al-Haqq. Manusia tidak mungkin melihat al-Haqq meskipun ia mengetahui bahwa ia tidak mungkin melihat bentuknya yang sebenarnya kecuali padaNya. Alam dan apa yang ada di dalamnya adalah tanda-tanda alHaqq. Al-Haqq diketahui melalui alam, tanpa alam, Dia tidak dapat diketahui. Mengenai perumpamaan bah wa al-Haqq adalah cermin bagi alkhalq, antara lain Ibn ‘Arabi berkata sebagaimana dinukil oleh Kautsar: Maka adalah benar bahwa yang baru (al-khalq, alam), sebagai yang baru, yang membutuhkan, dan yang ada kemudian, adalah cermin bagi yang kadim (al-Haqq, Tuhan) yang mesti melihat nama-namaNya. Dan adalah benar bahwa Yang Kadim adalah cermin bagi yang baru yang melihat diri atau penampakan-Nya baginya. Salah satu dari keduanya bukan lain dari yang lain.46
45. Ibid., hlm. 55. 46. Ibid., hlm. 56. La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
165
Al-Haqq adalah cermin bagi alam. Mereka tidak melihat dalam cermin itu selain bentuk-bentuk mereka sendiri. Dan mereka itu dalam bentuk-bentuk mereka bertingkat-tingkat. Maka Dia (alHaqq) adalah cermin bagi anda ketika anda melihat diri anda yang sebenarnya dan anda adalah cermin bagi-Nya ketika Dia melihat nama-nama-Nya dan penampakan sifat-sifat dari nama-nama itu, yang tidak lain dari diri-Nya sendiri. Dari pemaparan diatas, jelas bahwa penggunaan simbol cermin menunjukkan dua aspek: ontologis dan epistemologis. Perumpamaan al-khalq sebagai cermin bagi alHaqq menekankan aspek onto logis, sedang perumpamaan alHaqq sebagai cermin bagi al-khalq menekankan aspek epistemologis. Kedua aspek tersebut dalam sistem Ibn ‘Arabi tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab al-Haqq dan alkhalq, keduanya, adalah subyek dan obyek secara serentak. Keduanya juga mempunyai peran yang sama secara timbal balik, hanya saja alHaqq mempunyai wujud dan peran yang mutlak, sedangkan al-khalq mempunyai wujud dan peran yang relatif. Doktrin ontologis wahdah alwujud, yang bertumpuk pada ambi guous: “Dia dan bukan Dia” (huwa
la huwa) sangat sesuai dengan konsep tanzih dan tasybih. Makanya jawaban atas persoalan apakah alam identik dengan Tuhan, ada dua bagian jawaban: bagian positif, yaitu “Dia” dan bagian negatif, yaitu “bukan Dia.” Bagian pertama menyatakan bahwa alam identik dengan Tuhan. Bagian ini menegaskan aspek tasybi h Tuhan. Berbeda dengan bagian pertama, bagian kedua merupakan kebalikan, menyatakan bahwa alam tidak identik dengan Tuhan. Ini menegaskan aspek tanzih Tuhan. Jadi konsep tasybi h dan tanzih yang ditafsirkan Ibn ‘Arabi sejalan dengan prinsip al-jam’ bayn al-addad (coincidentia oppositorum), yang memadukan kontradiksikontradiksi, misalnya antara Yang Satu dan Yang Banyak, unitas dan multiplisitas, Yang Lahir dan Yang Batin.47 Dari pemaparan diatas, bisa diambil kesimpulan bahwa doktrin wahdah al-wujud tidak bisa dipandang sebagai yang menyimpang dari ajaran tauhid, karena wahdah al-wujud mene kankan tidak hanya imanensi (tasybi h) Tuhan, tetapi juga transendensiNya. Malah wahdah al-wujud bisa dikatakan mengepresikan tauhid yang paling tinggi, karena dalam doktrin ini wujud Tuhan betul-
47. Ibid., hlm. 89-90. 166
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
betul Esa, tiada wujud yang hakiki kecuali Tuhan. Alam hanya hanya merupakan penampakan-Nya.48
C. PENUTUP Pola-pola hubungan antara Tuhan dan makhluk yang dikenal dalam tasawuf falsafi, di awali oleh Abu Yazi d al-Bista mi , dengan konsep ittihad, kemudian muncul konsep Tuhan berinkarnasi ke pada manusia yang dikenal dengan ajaran hulul. Al-Hallaj, sang pencetus konsep ini sudah merubah konsep penyatuan deng an proses fana’ yang terangkai dalam ittihad menjadi inkarnasi Tuhan. Ibn ‘Arabi merubah konsep al-lahut (sifat ketuhanan) dan alnasutt (sifat kemanusiaan) pada
al-Hallaj dengan konsep yang lebih luas cakupannya menjadi konsep al-Haqq dan al-khalq. Pada Ibn ‘Arabi -lah, penyatuan yang tadinya bercorak spiritual dengan ungkapan-ungkapan aneh (syatahat) menjadi bercorak filosofis melalui perenungan yang mendalam dan imajinatif. Pemikiran Ibn ‘Arabi inilah yang kemudian dikenal dengan wahdah al-wujud. Sebelum Ibn ‘Arabi , sempat muncul pemikiran yang menentang konsep ittihad dan hulul, dan ingin menghindari penyatuan panteistik, konsep ini lebih berhatihati dan hanya menitik beratkan pada makrifat Allah, inilah konsep wahdah al-syuhud, dengan tokohnya al-Gazali .
48. Ibid., hlm. 224-225. La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
167
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya. Madinah: Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, 2002. Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, Terj. Zaimul Am. Bandung: Mizan, 2002. Hamka. Tasaup Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, 1994. Naif, Fauzan. “Epistemologi Ibn ‘Arabi”, dalam Jurnal Penelitian Agama, no. 17. Yogyakarta: Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga, 1997. Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995. Noer, Kautsar Azhari. Ibn al‘Arabi ; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan. Jakarta: Paramadina, 1995.
168
_______. “Tuhan yang Diciptakan dan Tuhan yang Sebenarnya”, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina. Jakarta: Paramadina, 1998. Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996. Siregar, A. Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000. Solihin, M. dan Rosihon Anwar. Kamus Tasawuf. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. Syukur, Amin dan Masharuddin. Intelektualisme Tasawuf, Studi Intelektualisme Tasawuf al-Ghazali. Semarang: Lembkoha dan Pustaka Pelajar, 2002.
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
La-Tahzan
La-Tahzan
Volume VI Edisi September 2014-Januari 2015
169