PERANAN TELEMATIKA DALAM PENINGKATAN UMAT ISLAM Marsudi W. Kisworo
“imagine a self-regulating society, with virtually unlimited access to information, where the wise rule and the people actively participate in determining their destiny, a caring society with the notion of human dignity forming the cornerstone of the individual’s inalienable right against poverty and starvation” (Dr. Mohd. Azzman Shariffadeen in Beyond Information Literary)
alam dekade terakhir ini kita telah menyaksikan berbagai perubahan yang luar biasa dan mendasar dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi yang kemudian ternyata menjadi kekuatan untuk suatu lompatan besar dari masyarakat global. Indikasi dari lompatan besar ini adalah kemajuan teknologi dan penetrasi pemakaian teknologi yang makin meluas. Kemajuan yang dramatis ini juga disertai dengan makin mudahnya akses terhadap teknologi informasi, baik karena kemudahan pemakaiannya maupun makin murahnya teknologi informasi. Salah satu hasil dari kemajuan yang dramatis tersebut adalah konvergensi antara telekomunikasi, media, dan informatika (telematika) yang merupakan pengindonesiaan dari information, telecommunication, and content (ITC). Revolusi telematika ini telah merubah tatanan ekonomi, membuka cara-cara baru dalam berbisnis, dan bahkan mempengaruhi perubahan sosial (Gates, 1999). Konvergensi yang mendorong kepada lahirnya abad informasi. Sayangnya tanggapan umat Islam terhadap lahirnya abad informasi ini amatlah rendah. Rendahnya tanggapan ini ternyata bukanlah karena faktor demografi atau faktor ekonomi, tetapi lebih disebabkan oleh dilema yang terjadi antara kultur masyarakat Muslim dengan modernisasi abad
Jurnal Universitas Paramadina Vol.1 No. 3, Mei 2002: 265-279
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 265-279
informasi yang seolah-olah bertolak belakang (Huff, 1997). Selain itu juga ada beberapa isu internasional seperti yang terjadi di Syria misalnya yang sampai Januari 2000 tidak memiliki satu pun Internet Service Provider karena dianggap sebagai negara tempat teroris sehingga Amerika Serikat melarang masuknya peralatan-peralatan seperti Internet router atau server ke negara tersebut. Pada makalah ini akan dikaji kondisi telematika di negara-negara Muslim sampai saat ini, serta peranan telematika dalam mendukung kebangkitan kembali umat Islam, terutama dalam demokratisasi.
Abad Informasi dan Transformasi Peradaban di Negara-Negara Muslim Kahin dan Nesson (1997) menyatakan bahwa telematika memiliki dampak-dampak yang radikal terhadap sosial, ekonomi, dan politik. Mereka menyatakan bahwa meluasnya penggunaan perangkat-perangkat penyebar dan penerima informasi akan membawa masyarakat ke alam demokrasi secara meluas dan dalam kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan fenomena-fenomena sebelumnya. Masyarakat akan dapat mengerti hak-hak dan tanggung-jawabnya dengan lebih baik karena meluasnya dan cepatnya difusi informasi. Karena itu, revolusi telematika adalah suatu pergeseran paradigma yang pada dasarnya adalah fenomena sosial dan kultural yang merupakan konsekuensi dari lahirnya abad informasi di mana masyarakat adalah aktor yang melakukan social pull dan telematika adalah aktor technology push. Penzias (1995) menggambarkan kelahiran abad informasi ini sebagai proses tiga fase, yang dimulai dari fase kuantitas, fase kualitas, dan akhirnya matang menjadi fase harmoni. Fase kuantitas ditandai dengan paradigma produksi masal yang merupakan warisan dari kultur masyarakat pada abad industri. Pada fase selanjutnya, kualitas, ditandai dengan bergesernya fokus dari kuantitas ke kualitas dengan mendayagunakan keunggulan kompetitif. Fase ini sebetulnya merupakan reaksi dari kompetisi internasional terutama dari negara-negara industri baru Asia yang mulai
266
Marsudi W. Kisworo “Peranan Telematika dalam Peningkatan Umat Islam”
mengancam dominasi negara-negara maju. Karena itulah pada fase ini kita dapat melihat berbagai pemanfaatan teknologi informasi untuk meningkatkan keunggulan kompetitif sehingga fokusnya adalah pada produk teknologi yang kemudian melahirkan kemajuan yang sangat luar biasa dalam bidang teknologi
informasi,
di
mana
salah
satunya
adalah
meleburnya
telekomunikasi, media, dan informatika ke dalam konvergensi digital (Hagel dan Armstrong, 1997). Fase akhir adalah pada fase harmoni di mana terjadi pergeseran lokasi nilai-nilai dari produk individual ke layanan terintegrasi, di mana masyarakat menjadi partner dalam penciptaan nilai-nilai dengan cara ikut berpartisipasi dalam rantai nilai. Pergeseran lokasi ini kemudian menciptakan koherensi yang lebih baik dalam proses penciptaan nilai-nilai karena teknologi lebih selaras dengan pemakai dan lingkungan sekitarnya (Currie, 2000). Artinya disini terjadi asimilasi antara teknologi, masyarakat, dan budaya, yang pada akhirnya mendorong ke suatu transformasi peradaban. Konsekuensi dari transformasi peradaban ini adalah meleburnya modernisasi dan globalisasi. Kita dengan jelas dapat melihat bahwa modernisasi dalam berbagai bidang seperti pendidikan, bisnis, atau pemerintahan sangat terpengaruh oleh globalisasi dari informasi dan penguasaan telematika. Dengan demikian modernisasi sangat dipengaruhi oleh kata kunci - kata kunci abad informasi seperti misalnya standar internasional, keterbukaan, demokrasi, akuntabilitas publik, HAM, dan isu-isu lain (Castells, 2000). Wujud dari demokrasi sangat dipengaruhi oleh arah dari arus informasi. Telematika memungkinkan arus informasi tidak hanya masuk ke dalam suatu negara, tetapi juga ke arah sebaliknya yaitu ke luar dari negara tersebut. Dengan demikian sangatlah sulit bagi pemerintah suatu negara untuk menyembunyikan dan memanipulasi informasi yang dapat menggerus legitimasinya dari pihak-pihak asing sehingga norma-norma demokrasi akan berkembang. Ini disebabkan oleh karena informasi yang keluar dari suatu negara melalui sarana internet tidak dapat lagi dikendalikan. Jika pemerintah
267
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 265-279
tidak dapat lagi mengendalikan informasi yang keluar dari negara tersebut, maka akan menarik pihak-pihak luar untuk mendukung kelompok-kelompok oposisi serta meningkatkan tekanan-tekanan asing terhadap perubahan pemerintahan. Telematika mempengaruhi demokrasi dengan berbagai cara, yaitu dengan menambahkan jumlah kanal informasi di mana masyarakat dapat memperoleh informasi dan menyampaikan pandangan-pandangannya, serta mengatur siapa yang memiliki, memproduksi, dan mengendalikan isi informasi tersebut. Karena itu sangatlah masuk akal kalau meluasnya telematika
akan
menimbulkan
konsekuensi
yang berupa terkikisnya
sentralisasi dan meningkatnya keterbukaan di masyarakat. Studi yang dibuat Kedzie (1997) menunjukkan adanya korelasi antara fenomena “third wave” dari Toffler dan dari Huntington. Korelasi ini secara konsisten menunjukkan bahwa interkonektivitas adalah sebuah variabel prediktor yang sangat kuat dari demokrasi melebihi prediktorprediktor tradisional lainnya. Menurutnya telematika telah memfasilitasi terjadinya demokratisasi secara berarti. Namun dibalik manfaat telematika didapati juga dampak negatif terhadap masyarakat negara-negara berkembang. Dampak negatif ini menurut Marien (1996) di antaranya adalah terjadinya kelebihan-beban informasi yang dikenal sebagai “infoglut” yang mengakibatkan terjadinya kehilangan
rasa
bermasyarakat,
jaringan
sebagai
kedok,
cyber-
autoritarianism, hilangnya kreativitas, mundurnya literacy, berkurangnya rasa sosial, lunturnya kemanusiaan dan moralitas, pengangguran, makin melebarnya gap sosial, serta komoditasi informasi. Dalam sudut pandang yang lain, Barber (1996) yang meneliti apakah telematika akan memusatkan dan mengkonsentrasikan kekuasaan ataukah sebaliknya akan mendesentralisasikan dan meredistribusikan kekuasaan, baik dalam sistem politik formal atau dalam kehidupan bermasyarakat menyatakan:
268
Marsudi W. Kisworo “Peranan Telematika dalam Peningkatan Umat Islam”
"Telecommunications
[or
other]
technology
has
the
capability
for
strengthening civil society, but it also has a capacity for unprecedented surveillance and can be used to impede and manipulate as well to access information." Ini berarti bahwa telematika hanyalah sebuah alat yang dapat digunakan oleh siapa saja untuk keperluannya. Jadi isu pemusatan atau desentralisasi, konsentrasi atau distribusi, tidak relevan dengan telematika karena telematika hanyalah suatu alat yang dapat digunakan oleh siapapun untuk tujuan apapun.
Telematika di Negara-Negara Muslim Untuk memahami bagaimana abad informasi menyentuh negaranegara Muslim mari kita melakukan kajian terhadap kondisi telematika pada negara-negara tersebut. Kita definisikan bahwa yang disebut sebagai negara Muslim adalah negara di mana mayoritas (lebih dari 75%) dari populasinya beragama Islam. Dengan mengambil sumber dari Spiegelman (2001) diperoleh 35 negara yang memenuhi kriteria tersebut (Tabel 1). Yang menarik adalah bahwa ke 36 negara tersebut ternyata sangat bervariasi baik secara demografis, melingkupi 4 region (Asia, Afrika, Eropa Timur, dan Timur Tengah), Shi’a dan Sunni, kaya dan miskin, maupun secara politis, demokratis dan kurang demokratis, negara Islam dan negara sekuler, maju dan berkembang. Marilah kita melihat penetrasi telematika di negara-negara Muslim tersebut. Untuk itu kita akan menggunakan beberapa variabel. Variabel pertama adalah persentase dari populasi yang online (Per_Surf). Variabel kedua adalah persentase dari populasi yang memiliki komputer personal (Per_PC), sedangkan variabel ke tiga adalah persentase populasi yang memiliki telepon. Data diambil dari Information Society Database (Norris, 2000). Sebagai pembanding digunakan juga index Old_Media yang merupakan skor penetrasi media konvensional (surat kabar, radio, televisi, dan telepon) dan index New_Media yang merupakan skor dari media baru
269
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 265-279
(telepon seluler dan Internet). Index media ini adalah skor dari 0 sampai dengan 120. Hasil tabulasinya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Demografi negara-negara Muslim (Spiegelman, 2001). Untuk keperluan makalah ini, negara Muslim didefinisikan di sini sebagai negara dengan lebih dari 75% populasinya beragama Islam sehingga dampak telematika terhadap kehidupan sosial nampak nyata. Negara Afghanistan Algeria Azerbaijan Bahrain Bangladesh Comoros Djibouti Egypt Gambia Guinea Indonesia Iran Iraq Jordan Kuwait Kyrgyzstan Libya Maldives Mali Mauritania Morocco Oman Pakistan Qatar Saudi Arabia Senegal Somalia Syria Tajikstan Tunisia Turkey Turkmenistan U.A.E Uzbekistan
270
Demografi agama Sunni Muslim 84%, Shi'a Muslim 15%, lain-lain 1% 99% Muslim (Sunni), 1% Nasrani dan Yahudi 93.4% Muslim, 2.5% Russian Orthodox, 2.3% Armenian Orthodox, 1.8% lain-lain 100% Muslim (75% Sh’ia, 25% Sunni) 88.3% Muslim; 10.5% Hindu; 1.2% lain-lain 98% Sunni Muslim, 2% Roman Catholic 94% Muslim; 6% Nasrani 94% Muslim (Sunni); 6% Nasrani dan lain-lain 90% Muslim, 9% Nasrani, 1% agama lokal 85% Muslim, 8% Nasrani, 7% agama lokal 88% Muslim; 8% Nasrani; 2% Hindu; 1% Buddhist; 1% lain-lain 99% Muslim (89% Shi'a, 10% Sunni); 1% lain-lain 97% Muslim (60%-65% Shi'a, 32%-37% Sunni), 3% Nasrani dan lain-lain 96% Muslim (Sunni); 4% Nasrani 85% Muslim (45% Sunni, 40% Shi'a); 15% Nasrani, Hindu, Parsi, dan lain-lain 75% Muslim, 20% Russian Orthodox, 5% lain-lain 97% Muslim (Sunni) 100% Sunni Muslim 90% Muslim, 9% agama lokal, Nasrani 1% 100% Muslim 98.7% Muslim; 1.1% Nasrani; 0.2% Yahudi Muslim (Ibadi -- 75%, Sunni, Shi'a), Hindu 97% Muslim (77% Sunni, 20% Shi'a); 3% Nasrani, Hindu, dan lainlain 95% Muslim 100% Muslim 92% Muslim, 6% agama lokal, 2% Nasrani Muslim (Sunni) 74% Muslim (Sunni); 16% Alawite, Druze, dan lain-lain Muslim sects, 10% Nasrani 80% Sunni Muslim, 5% Shi’a Muslim 98% Muslim; 1% Nasrani; 1% Yahudi dan lain-lain 99.8% Muslim (Sunni), 0.2% lain-lain (Nasrani dan Yahudi) 89% Muslim, 9% Eastern Orthodox, 2% lain-lain 96% Muslim (16% Shi'a); 4% Nasrani, Hindu, dan lain-lain 88% Muslim (mostly Sunnis), 9% Eastern Orthodox, 3% lain-lain
Marsudi W. Kisworo “Peranan Telematika dalam Peningkatan Umat Islam”
Yemen
99.9% Muslim (53% Sunni, 46.9% Shi'a); 0.1% lain-lain
Dari Tabel 2 nampak dengan jelas bahwa difusi telematika di 35 negara-negara Muslim tersebut sangatlah lamban. Persentase tertinggi dari negara-negara Muslim tersebut adalah di UAE yang mencapai 8.8% populasi terdaftar sebagai pengguna Internet reguler, meskipun jumlah pemakai Internet totalnya mencapai 31% (lihat Tabel 3). Angka rata-rata dari negaranegara
Muslim
adalah
1.58%.
Angka
ini
sangatlah
rendah
kalau
dibandingkan misalnya dengan rata-rata pengguna terdaftar di negaranegara maju yang mencapai 19%. Apakah rendahnya difusi telematika ini disebabkan oleh Islam? Tabel
2.
Difusi telematika di negara-negara Muslim (Norris, 2000). Per_Serf=persentase dari populasi yang online, Per_PC=persentasi pemilikan PC, Per_Tel=persentase pemilikan telepon, Old_Media=index penetrasi media konvensional, New_Media=index penetrasi media baru.
Negara Afganistan Algeria Bahrain Bangladesh Djibouti Egypt Indonesia Iran Iraq Jordan Kuwait Libya Malaysia* Morocco Oman Pakistan Qatar Saudi Arabia Somalia Syria Tunisia Turkey U.A.E Yemen USA*
Per_Surf N/A .01 5.42 .01 .15 .62 .04 .15 N/A .82 3.69 N/A 2.86 .45 1.74 .04 4.58 .58 N/A .07 .52 .95 8.88 .04 39.11
Per_PC .90 .53 9.34 N/A N/A .91 .82 .00 3.19 1.29 10.49 N/A 5.86 .72 2.10 .39 12.09 4.96 N/A 1.30 1.47 2.32 10.62 .12 45.86
Per_Tel .14 5.32 24.55 .30 1.27 6.02 2.70 11.18 3.10 8.55 23.59 8.36 19.76 5.44 9.23 1.94 25.99 14.26 .14 9.54 8.06 25.41 38.90 1.34 66.13
Old_Media N/A 10.7 N/A 1.7 N/A 13.3 8.5 13.8 8.8 12.1 46.1 11.2 25.4 11.8 33.1 6.3 N/A 19.8 N/A 11.3 13.1 21.6 34.0 3.0 100.6
New_Media N/A .5 14.9 N/A N/A 1.5 .9 .2 N/A 2.1 14.4 N/A 8.7 1.2 3.9 .4 16.7 5.6 N/A 1.4 2.0 3.5 20.4 .2 100.1
271
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 265-279
*Amerika Serikat dan Malaysia meskipun tidak termasuk sebagai negara Muslim per definisi dalam makalah ini tetapi dimasukkan sebagai pembanding.
Menurut kajian Spiegelman (2001) yang melakukan uji korelasi terhadap 165 negara di dunia ternyata korelasi antara variabel jumlah umat Muslim di suatu negara dengan variabe presentasi penggunaan Internet adalah lemah negatif (-0.25). Lebih jauh lagi dia melakukan uji regresi di mana variabel terikatnya adalah persentase dari pengguna Internet dan variabel bebasnya adalah persentase umat Muslim di 165 negara tersebut, diperoleh koefisien regresi –0.03 yang berarti bahwa makin tinggi persentasi Muslim, makin rendah difusi telematikanya dengan tingkat konfidens 95%. Temuan ini sangat menarik. Karena itu untuk mencari penjelasan dari fenomena tersebut dilakukan uji korelasi lebih mendalam lagi dengan menggunakan metoda ground up research. Ternyata ditemukan bahwa korelasi antara variabel Old_Media dan New_Media sangatlah kuat (0.82). Di negara-negara Muslim nilai index Old_Media rata-rata adalah 12.9 (dari skala 0 sampai 120). Bandingkan misalnya Amerika Serikat yang mencapai 100.6. Ini berarti bahwa rendahnya penetrasi telematika di negara-negara Muslim juga dialami oleh Old_Media. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa media iinformasi apapun ternyata difusinya di negara-negara Muslim sangat rendah, bukan karena New_Media adalah teknologi tinggi yang sulit direngkuh oleh umat Muslim. Perkecualian adalah Qatar yang memiliki New_Media lebih besar dari Malaysia tetapi ternyata persentase pengguna Internet Malaysia lebih tinggi dibandingkan Qatar. Hal ini disebabkan oleh komitmen Pemerintah Malaysia pada tahun 1996 untuk membangun “multimedia supercoridor” untuk membawa Malaysia meloncat ke abad informasi dengan cara-cara inkonvensional untuk menuju Visi 2020. Dengan menggunakan indeks demokrasi dari Freedom House Index (nilai 1 artinya sangat demokratis, nilai 7 artinya sangat otoriter) yang merupakan kombinasi antara rating Hak-hak Politik dan indeks Kebebasan Sipil, diperoleh bahwa ke 35 negara-negara Muslim tersebut memiliki indeks demokrasi antara 4 sampai dengan 7, dengan rata-rata 5.7. Artinya secara umum pemerintahan negara-negara Muslim tersebut tidak atau hanya
272
Marsudi W. Kisworo “Peranan Telematika dalam Peningkatan Umat Islam”
sebagian saja demokratis, bahkan ada beberapa yang masuk ke dalam kategori otoriter. Setelah dilakukan uji korelasi ternyata ditemukan korelasi yang sangat kuat antara persentase pengguna Internet dengan indeks demokrasi. Makin rendah demokrasi ternyata makin rendah pula difusi Internetnya maupun laju pertumbuhannya (Lihat Tabel 3).
Tabel 3. Perkembangan pemakai Internet dalam 4 tahun terakhir dan persentase pemakai Internet terhadap total populasi. (Diolah dari http://www.nue.ie dan Microsoft Bookshelf 2001).
Negara
1998
1999
2000
2001
Afganistan N/A .90 .14 N/A Algeria 750 20.000 50.000 180.000 Bahrain N/A 32,500 40.000 105.000 Bangladesh N/A 7.000 20.000 N/A Djibouti 100 300 900 1000 Egypt 61.000 260.000 450.000 560.000 Indonesia 80.000 400.000 1.450.000 4.400.000 Iran N/a N/A 100.000 200.000 Iraq N/A N/A N/A 125.000 Jordan 20.000 50.000 127.000 210.000 Kuwait 42.350 62.800 100.000 165.000 Libya N/A N/A 7.500 20.000 Malaysia* 137.000 600.000 1.500.000 3.700.000 Morocco 6.000 32.000 120.000 220.000 Oman 20.000 40.000 50.000 90.000 Pakistan N/A N/A N/A 1.200.000 Qatar 17.295 27.500 45.000 75.000 Saudi Arabia N/A 112.500 300.000 570.000 Somalia N/A N/A N/A 200 Syria N/A 20.000 30.000 32.000 Tunisia 15.000 48.000 110.000 280.000 Turkey N/A N/A 600.000 2.000.000 U.A.E 88.552 204.300 400.000 735.000 Yemen 2.000 6.300 12.000 14.000 USA* 73.000.000 106.000.000 146.900.000 166.140.000 *Malaysia dan Amerika Serikat dimasukkan sebagai pembanding.
% pop 0.57 10.07 0.02 N/A 0.81 1.93 0.38 0.05 4.07 8.08 0.24 16.98 0.72 3.55 0.85 9.75 2.5 N/A 0.19 2.89 3.05 31.02 0.08 59.75
Di negara-negara Muslim yang relatif tidak demokratis (Freedom House Indexnya antara 5-7), pemerintahnya umumnya menerapkan regulasi atau sensor untuk menghalangi difusi Internet, baik secara langsung atau
273
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 265-279
secara tidak langsung. Regulasi langsung misalnya dengan melarang ISP lokal (misalnya Iraq), atau tidak langsung misalnya dengan struktur beban biaya Internet maupun telekomunikasi yang sangat tinggi sedemikian rupa sehingga tidak dapat dinikmati oleh publik. Alasan yang sering digunakan sebagai dasar regulasi ini adalah alasan religius, misalnya untuk mencegah masuknya informasi amoral (misalnya pornografi, ajaran-ajaran agama yang dianggap sesat, dan lainlain) yang dapat merusak warganya. Namun Huff (2001) menemukan bahwa alasan religius tersebut hanyalah kedok di balik kebijakan pemerintah untuk menekan oposisi, menyensor kritik, serta ketakutan akan hilangnya kontrol penguasa terhadap informasi. Sebuah contoh yang menarik adalah pernyataan resmi Pemerintah Saudi Arabia pada tahun 1998 yang menyatakan bahwa belum dibukanya akses Internet untuk publik adalah karena Pemerintah sedang mencari suatu sistem yang dapat mengontrol arus informasi digital yang masuk dan mencegah arus informasi yang tidak dikehendaki oleh Pemerintah. Bisa disimpulkan di sini bahwa faktor utama dari rendahnya difusi telematika adalah ketakutan pemerintah negara-negara Muslim terhadap kelanggengan kekuasaanya sehingga mengorbankan suatu media
yang
sebetulnya
dapat
memajukan
rakyatnya.
Benarkah
kekhawatiran tersebut?
Telematika dan Masa Depan Umat Islam Transformasi peradaban di negara-negara Muslim tidak berjalan seperti yang terjadi di negara-negara Barat. Negara-negara Muslim umumnya menganggap diri mereka berada di dunia yang terpisah dan berbeda, memiliki pandangan yang unik, dan filsafat hidup yang berbeda dengan negara-negara non-Muslim (Huff, 2001). Munculnya Internet misalnya telah menimbulkan berbagai pertanyaan dari mereka, yang tidak hanya bersifat religius, tetapi juga politis dan ekonomis. Internet dianggap sebagai suatu resiko dan ancaman karena sifatnya yang terbuka, setara, dan tidak mengenal batas-batas negara.
274
Marsudi W. Kisworo “Peranan Telematika dalam Peningkatan Umat Islam”
Reaksi pemerintah negara-negara Muslim terhadap mengalirnya arus informasi secara bebas melalui sarana telematika ini oleh Clement Henry (1998) dinamakan sebagai “information shy”. Pemerintah negaranegara tersebut tidak siap sehingga menjadi ketakutan terhadap terbukanya kanal-kanal informasi bebas yang diasosiasikan dengan Internet. Sumber utama dari ketakutan ini adalah problem kekaburan antara domain publik dan domain privat yang merupakan praktek umum pemerintahan negara-negara Muslim. Dia mengatakan bahwa: “Even the distinction between the “public” and the “private” sectors of most countries in the region is problematic; public officials may be less informed than ostensibly private actors enjoying close personal relations with government officials. Most economic as well as political information is kept out of any public domain, even that of government officials. Under such conditions, political reform may be a precondition for sustainable economic development”. Sebenarnya dengan alasan untuk memelihara praktek pengkaburan domain publik dan domain privat inilah maka pemerintah negara-negara tersebut berusaha untuk mengendalikan arus informasi. Karena itulah maka tidak aneh kalau menurut laporan World Bank (2001) penetrasi Internet di negara-negara Muslim rata-rata hanya 1/200 dari penetrasi rata-rata dunia yang mencapai 12 host/seribu penduduk. Rendahnya penetrasi ini karena hampir semua penguasa politik negara-negara Muslim memiliki ketakutan dan kekhawatiran terhadap akses Internet untuk publik yang dianggap dapat mengancam kekuasaan mereka. Padahal Hill dan Hughes (1998) yang meneliti berita-berita yang berkaitan dengan negara-negara Muslim tersebut di Usenet newsgroup menemukan bahwa hanya 33% berita-berita bersifat politis. Dari seluruh berita-berita politis tersebut sekitar 24% adalah berita-berita anti pemerintah, dan 19% mendukung pemerintah, dan sebagian besar lainya adalah diskusi-diskusi ilmiah tentang politik. Sedangkan dari seluruh Usenet, posting-posting masyarakat yang oposisi atau anti terhadap pemerintah mereka ternyata hanya 8.5%. Ini berarti bahwa meskipun Internet adalah suatu media yang
275
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 265-279
merdeka, bebas, dan anti represi, ternyata ketakutan terhadap informasi yang merupakan ekspresi publik yang dikhawatirkan dapat menggoyahkan pemerintah adalah ketakutan yang berlebih-lebihan. Disamping itu Hill dan Hughes (1998) juga menemukan bahwa posting-posting anti pemerintah makin sedikit terjadi terhadap pemerintah yang memiliki indeks demokrasi yang baik, dan makin banyak pada pemerintah yang makin otoriter. Negara-negara Muslim sebagian besar adalah negara berkembang. Di negara-negara berkembang, di mana korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merupakan praktek yang banyak dilakukan oleh pejabat-pejabatnya, maka
telematika
dapat
membuat
proses-proses
administrasi
pemerintahannya lebih transparan (Talero, 1997). Kesimpulan ini didasarkan atas kajian-kajian Katz dan Lieber (1985) yang menyimpulkan bahwa: “Where our existing information systems seek to choke the flow of information through taboos, costs, and restrictions, the new digital world celebrates the right of the individual to speak and be heard - one of the cornerstones behind democracy. Where our existing political institutions are viewed as remote and unresponsive, this online culture offers the means for individuals to have a genuine say in the decisions that affect their lives. Where conventional politics is suffused with ideology, the digital world is obsessed with facts. Where our current political system is irrational, awash in hypocritical god-and values talk, the Digital Nation points the way toward a more rational, less dogmatic approach to politics. The world's information is being liberated, and so, as a consequence, are we”. Jelas di sini bahwa eksposur yang meluas dari telematika merupakan kontributor besar terhadap demokratisasi negara-negara Muslim yang pada akhirnya meningkatkan tingkat partisipasi rakyatnya dalam proses-proses politik dan pemerintahan di negara-negara tersebut. Penguasaan telematika akan menghasilkan ketersediaan suatu alat yang sangat ampuh dalam penyebaran informasi di kalangan umat Islam. Penetrasi
telematika
yang
meluas
di
negara-negara
Muslim
akan
mengurangi legitimasi pemerintah negara-negara Muslim untuk bertindak
276
Marsudi W. Kisworo “Peranan Telematika dalam Peningkatan Umat Islam”
sewenang-wenang, otoriter, dan kuasi-berdaulat karena telematika akan menjadi sarana di mana rakyat bisa berpartisipasi dalam kebijakan-kebijakan publik serta menjadi sarana di mana masyarakat bisa belajar dan memahami hak-hak dan tanggung jawab social dan politiknya.
Azzman (1995)
mengatakan bahwa: “Economic and social value will increasingly accrue from human assets. Intelligence and creativity of the people will determine the economic and political status of whole nations. Henceforth the generation and
application
of
new
knowledge
and
technology
will
set
the
competitiveness level of their industries”.
Penutup Dari uraian di atas maka jelaslah bahwa tidak ada korelasi antara agama Islam dan penetrasi telematika. Sedangkan korelasi antara jumlah umat Islam dengan penetrasi juga berkorelasi sangat rendah. Namun korelasi antara demokrasi dan telematika sangat tinggi, sehingga rendahnya difusi telematika di negara-negara Muslim disebabkan oleh rendahnya demokrasi di negara-negara tersebut. Padahal sebaliknya juga terlihat bahwa telematika adalah variabel fasilitator yang sangat kuat pengaruhnya terhadap demokratisasi. Meskipun ditemukan bahwa telematika memiliki dampak yang negatif dan dapat mengancam legitimasi pemerintah-pemerintah otoriter, namun telematika adalah juga sebuah kanal terbuka yang memungkinkan meningkatnya partisipasi rakyat dalam kebijakan-kebijakan publik sehingga pemahaman masyarakat terhadap hak-hak dan tanggung-jawabnya dapat meningkat. Peningkatan ini secara langsung akan berdampak meningkatnya kualitas aset manusia karena meningkatnya kecerdasan dan kreativitas yang pada akhirnya meningkatkan status ekonomi dan politik suatu bangsa umumnya, dan umat Islam khususnya.
277
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 265-279
Daftar Pustaka Azzman, M. (1995). “Moving toward a more intelligent use of human intelligence”. INFOTECH 95, Kuala Lumpur, Malaysia. Barber, B. R. 1996. Jihad vs. McWorld: How globalism and tribalism are reshaping the world. Ballantine. Castells, M. (2000) The Rise of the Network Society, Blackwell. Currie, W. (2000) The Global Information Society. John Wiley & Sons. Gates, B. (1999) Business @ the speed of thought. Penguin. Hagel, J. dan Armstrong, A. (1997) Net gain: Expdaning markets through virtual communities. Harvard Business School Press. Henry, C. (1998), “Challenge of global capital markets to information-shy regimes: The case of Tunisia.” UAE: The Emirates Center for Strategic Studies and Research Occasional Papers #19. Hill, K dan Hughes, J (1998). Cyberpolitics. Citizen Activism in the Age of the Internet. Roman and Littlefield. Huff, T (1997). “Science and the public sphere: Comparative institutional development in Islam and the West,” Social Epistemology , vol.11 no. 1, hh. 25-37. Huff, T. (2001) “Globalization and the Internet: Comparing the Middle Eastern and Malaysian experiences”. The Middle East Journal, vol. 55, no. 3, hh 1-20. Norris, P. (2000). Information Society Database. Pippa Norris. Kahin, B. dan Nesson, C. (ed). (1997). Borders in Cuberspace: Information Policy and he Global Information Infrastructure. Harvard Univ. Press. Katz, E. dan Lieber, T. (1985). "Mutual aid in the decoding of Dallas: Preliminary notes from a cross-cultural study." Dalam Drummond dan Paterson (Ed) Television in ransition: Papers from theFirst International Television Studies Conference. London, British Film Institute. Kedzie, C. (1997). "The third wave", Dalam B. Kahin and C. Nesson (ed). 1997. Borders in Cuberspace: Information Policy and the Global Information Infrastructure. Harvard. Marien, M. (1996). "New communications technology: A survey of impacts and issues" Futuresco 7. Paris, UNESCO.
278
Marsudi W. Kisworo “Peranan Telematika dalam Peningkatan Umat Islam”
Penzias, A. (1995) Harmony: Business, Technology & Life After Paperwork. Harper Business. Spiegelman, S. (2001). “Islam and Internet: The correlation between Islamic religion and Internet diffusion”. Information dan Autonomy: The Relationship Between Individual and Government in the Digital Age. Deborah Hurley ed., J. F. Kennedy School of Government, Harvard University. Talero, E. (1997). "National information infrastructure in developing economies" in B. Kahin and E.J. Wilson III (ed). 1997. National Information Infrastructure Initiatives: Vision and Policy Design. MIT Press. World Bank (2001). World Development Report 2000/2001, Table 19, hh. 310-11.
279