Peranan Wayang Kulit Dalam Pengembangan Budaya Islam Woro Zulaela (07140034) Mahasiswa Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang ABSTRAK Latar belakang dari penelitian ini adalah : wayang kulit adalah salah satu warisan dari walisangga dalam penyebaran agama Islam. Di Kendal ulama yang berperan dalam penyebaran ajaran-ajaran agama Islam adalah Sunan Katong yang masih mempunyai silsilah keluarga dengan Sunan Kalijaga. Pertunjukkan wayang yang jalan ceritanya digubah dari kitab aslinya yaitu kitab Mahabharata dan Ramayana, semuanya mempunyai tujuan utama yaitu memberi petunjuk kepada manusia ke jalan yang baik dan benar, ke jalan yang dikehendaki oleh Allah SWT untuk memacu cipta, rasa dan karsa manusia. Oleh karena itu wayang kulit sangat berpengaruh dalam pengembangan budaya Islam khususnya di Kecamatan Patean Kabupaten Kendal. Masalah yang dirumuskan adalah : (1) Bagaimana sejarah masuknya wayang kulit di Kendal ?, (2) Bagaimana eksistensi wayang kulit di Kendal ?, (3) Bagaimana perkembangan agama Islam di Kendal ?, (4) Bagaimana pengaruh wayang kulit terhadap pengembangan budaya Islam di Kendal ?, (5) Bagaimana narasi pertunjukkan wayang kulit dalam pengembangan budaya Islam ? Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah : (1) Untuk mengetahui tentang masuknya wayang kulit di Kendal, (2) Untuk mengetahui eksistensi wayang kulit di Kendal, (3) untuk mengetahui perkembangan agama Islam, (4) untuk mengetahui pengaruh wayang kulit terhadap pengembangan budaya Islam di Kendal, (5) Untuk mengetahui narasi pertunjukkan wayang kulit dalam pengembangan budaya Islam. Metode penelitian kualitatif dengan lokasi penelitian di Desa Wirosari Kecamatan Patean Kabupaten Kendal. Sasaran penelitian ini adalah paguyuban Suko Raras. Peneliti menggunakan trianggulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data. Trianggulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik analisa data dengan menggunakan metode interaktif model analisis terdiri dari tiga komponen yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. proses ini dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai suatu siklus. Dari penelitian ternyata dapat diambil kesimpulan bahwa pertunjukkan wayang kulit mempunyai peranan terhadap pengembangan budaya Islam di Kecamatan Patean Kabupaten Kendal. Hal tersebut dapat dilihat dari makna dan simbolisme pada wayang seperti makna gunungan atau kayon yang merupakan simbolisme jagad semesta alam yang penuh melambangkan awal dan akhir kehidupan manusia juga sebagai wujud budaya Islam dalam arsitektur bangunan Masjid yang mustakanya berbentuk kerucut. Makna dari kelir yang diartikan sebagai jagad raya (dunia) dimana semua kehidupan berada didalamnya, Blencong melambangkan cahaya matahari, gedebog lambang dari bumi tempat kita berpijak. Makna dari kelir, blencong dan gedebog merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam pertunjukkan wayang kulit karena ketiganya saling berkaitan yaitu melambangkan alam semesta dan matahari. Dalam budaya Islam diwujudkan dengan tekun beribadah dimana muslim yang mengimami, menghayati, mengilmui, mengamalkan dan mendakwahkan Islam serta sabar dalam berIslam sehingga hidap di Dunia ini akan mendapatkan ketenangan dan cahaya hidup. Sedangkan para punakawan adalah seorang pemomong yang bekerja tanpa pamrih memberi nasehat kepada para Pandawa, semua menuju pada kebaikan baik dari agama, kebatinan atau etika yang merupakan wujud budaya Islam dari pengajian, orang yang sering mendengarkan pengajian akan merasa tertuntun hatinya karena mengambil dari al-Qur’an dan alHadits. Kata Kunci : Wayang Kulit, Budaya, Islam
Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang
| 89
PENDAHULUAN Kendal adalah salah satu Kabupaten di Jawa Tengah. Dengan mempunyai luas wilayah sebesar 1.002,23 Km2 dan terletak diantara 109040’-110018’ Bujur Timur dan 6032’-7024’ Lintang Selatan, dan terbagi menjadi 2 (dua) daerah dataran sehingga kondisi tersebut mempengaruhi kondisi iklim wilayah Kabupaten Kendal. Bagian utara yang didominasi oleh daerah dataran rendah dan berdekatan dengan laut Jawa, maka kondisi iklim di daerah tersebut cenderung lebih panas dengan suhu rata-rata 270C. Sedangkan bagian selatan yang merupakan daerah pegunungan dan dataran tinggi, kondisi iklim didaerah tersebut lebih sejuk dengan suhu rata-rata 250C. Sebagai salah satu wilayah Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Kendal memiliki karakteristik daerah yang cukup baik dan menjanjikan untuk dikembangkan dalam berbagai sektor pembangunan, juga merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di jalur utama Pantai Utara Pulau Jawa atau yang lebih dikenal sebagai daerah Pantura dan juga merupakan julur Deandels. Sebagian besar penduduk Kabupaten Kendal adalah pemeluk agama Islam. Hal ini tidak lepas dari peran seorang ulama yang pada akhirnya dikenal dengan nama Sunan Kantong. Sunan Kantong inilah yang mewarnai Kendal dengan ajaran-ajaran Islam. Dengan menyebarkan ajaran Islam didaerah Kendal, Sunan Kantong terkenal sangat arif dan bijaksana. Nilai-nilai warisan budaya lama serta tradisi yang ada di masyarakat dihargai dan dihormati selagi tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan budaya yang sudah ada diperkaya dengan nilai-nilai budaya Islam. Kendal juga terkenal dengan sebutan kota Santri, dimana banyak terdapat pondok pesantren dan tempat Pendidikan ilmu agama Islam. Khusus di Kecamatan Kaliwunggu menjadikan salah satu tujuan wisata khususnya wisata rokhani di Jawa Tengah. Kecamatan ini tidak pernah sepi dari kehidupan keislaman. Banyak pesantren dengan santri dari berbagai kota dari beberapa wilayah negeri. Kota ini selalu khas dengan berlalu-lalangnya orang-orang yang berpakaian muslim, dengan sarung dan penutup kepala ( peci atau kerudung ) dengan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan atau kitab-kitab tertentu ditangan. Selain itu alunan ayat-ayat suci Al-Qur;an senantiasa mengema sepanjang hari dihampir setiap sudut kotanya. Kehidupan Kendal yang agamis tidak terbatas pada Kaliwunggu yang letaknya berdekatan dengan pusat kota, melainkan sampai ke pinggiran. Salah satunya adalah di Kecamatan Patean. Dimana Kecamatan Patean yang terletak di sebelah selatan kota Kendal ± 44 Km dari pusat kota. Kecamatan Patean yang berbatasan dengan Kecamatan Pageruyung disebelah utara, berbatasan dengan Kabupaten Temanggung (Kecamatan Bejen) di sebelah selatan, di sebelah barat dibatasi Kecamatan Sukorejo, di sebelah timur dibatasi dengan kecamatan Singgorojo, merupakan satu dari 20 Kecamatan di Kabupaten Kendal yang mempunyai sejarah tersendiri bagi perkembangan budaya Islam di era 70an. Salah satu keunikan dari perkembangan budaya Islam yang dimiliki oleh Patean adalah adanya seni pertunjukan yang terkenal dengan nama Wayang Kulit, yang merupakan salah satu warisan dari walisangga dalam menyebarkan ajaran agama Islam. Walisanggalah yang mempelopori dakwah Islam di Bumi Jawa. Walisangga dianggap sebagai tokoh-tokoh sejarah kharismatik yang membumikan Islam di tanah Jawa yang sebelumnya Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang
| 90
berkembang bersama tradisi Hindu-Budha. Masing-masing tokoh walisangga mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi kerajaan Hindu Majapahit, Sunan Giri yang disebut “Paus dari timur” hingga sunan Kalijaga atau Pangeran Tuban atau Syeh Malaya yang mencipta yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa, yakni Hindu dan Budha. Sebagai penyeru agama, sunan Kalijaga termasyur kemana-mana. Mubalik keliling yang daerah operasinya sangat luas. Banyak kaum bangsawan serta kaum cendikiawan yang tertarik kepada tablignya, karena dalam berdakwah ia amat pandai menyesuaikan diri dengan keadaan. Ia berusaha menggabungkan adat istiadat Jawa dengan kebudayaan Islam, dan menjadikannya media meluaskan syiar Islam. Salah satu karya besarnya adalah menciptakan bentuk ukiran Wayang Kulit yang bentuknya dirubah sedemikian rupa, sehingga tidak menyalahi hukum Islam. Dalam pertunjukan Wayang sang wali selalu mengadakan di halaman masjid, yang disekelilingnya diberi parit melingkar berair jernih. Guna parit ini tak lain adalah untuk melatih penonton Wayang untuk wisuh atau mencuci kaki mereka sebelum masuk masjid. Simbolisasi wudhu yang disampaikan secara baik. Pertunjukan Wayang yang jalan ceritanya banyak digubah dari kitab aslinya, yaitu kitab Mahabarata dan Ramayana, semuanya mempunyai tujuan utama yaitu memberi petunjuk kepada manusia ke jalan yang baik dan benar, ke jalan yang dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk memacu cipta, rasa dan karsa manusia. Dengan demikian, pertunjukan Wayang tidak hanya sebagai tontonan dan alat penghibur, tetapi juga memuat tuntunan kehidupan manusia. Dalam pementasannya kemajuan teknologi modern juga sangat besar peranannya dalam sejarah perkembangan Wayang. Penggunaan alat-alat pengeras suara, alat-alat pemancar radio, televisi tape recorder, dan piringan hitam, semuanya sangat memperlancar perluasan pergelaran Wayang sehingga dapat menjangkau khalayak pengemarnya sampai berlipat ganda. Sistem tata suara dan tata sinar yang dimanfaatkan setiap kali ada pertunjukan Wayang telah meningkatkan jumlah penonton. Sedangkan dahulu sebelum ada alat-alat modern, jumlah penonton setiap ada pertunjukan Wayang sangat terbatas, karena voluma suara dhalang tidak dapat mencapai jarak terlalu jauh. Sinar blencong (lampu minyak khusus untuk pertunjukan Wayang Kulit) terbatas pula untuk menerangi pakeliran, apalagi jika dilihat dari tempat agak jauh, maka Wayang-wayang yang ditampilkan serta bayangannya hanya tampak remang-remang sehingga kurang dapat mencekam perhatian penonton sepenuhnya. Sekarang walaupun jumlah penonton sampai ribuan, pertunjukan Wayangsudah mampu mengikat perhatian karena tata surya dan tata sinar yang cukup memadai serta tempat duduk dan ruangan yang lapang dapat membetahkan penonton untuk tinggal selama pertunjukan berlangsung. Kegemaran Wayang dikalangan masyarakat terlihat juga pada banyaknya ragam hias Wayang sebagai dekorasi dalam segala bentuk kebudayaan material. Wayang juga merupakan sumber inspirasi bagi para seniman untuk berkarya dalam bidang seninya masing-masing yang meliputi seni pahat, seni lukis, seni gerak, seni sastra dan sebagainya. Bagi masyarakat Jawa khususnya, alam pewayangan sering dijadikan Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang
| 91
sandaran atau pedoman sikap dan tingkah laku, begitu kuat mempengaruhi alam pikiran sehingga merupakan sistem nilai budaya yang dianutnya, didukung secara beruntun dari satu generasa ke generasi berikutnya.
TINJAUAN PUSTAKA Wayang Kulit Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di daerah Jawa, dimainkan oleh seorang dhalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok niyaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dhalang memainkan wayang kulit dibalik kelir yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara dibelakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Kesenian wayang bermula dari kesenian yang dikembangkan oleh Brahmana Hindu ketika menyiarkan ajaran agama Hindu di Pulau Jawa abad IV M ; yakni dengan menggunakan daya tarik kedua kitab besar yaitu Ramayana dan Mahabharata. Kebudayaan Islam Budaya merupakan kekuatan batin dalam daya upayanya menuju kebaikan atau kesadaran batin menuju kebaikan bahkan ada yang mengartikan daya upaya manusia untuk menciptakan suatu keindahan. Dari sifat-sifat di atas itulah yang melahirkan adanya rasa budaya manusia sehingga pernyataan bahwa manusia adalah makhluk budaya mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran hidup danm tingkah laku manusia.
METODE PENELITIAN Bentuk Penelitian Penelitian ini memfokuskan pada fakta-fakta sejarah yang berkaitan dengan masalah-masalah serta dugaan-dugaan yang ditarik dari kajian pustaka. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah dalam bentuk kualitatif dengan menggunakan metode literatur dan sumber lisan sebagai pelengkap. Kecuali sumber tertulis tidak ada, barulah sumber lisan dijadikan sumber utama. Lokasi penelitian Penentuan tempat penelitian dilakukan atas dasar pertimbangan tujuan penelitian dimana lokasi atau tempat penelitian difokuskan pada Desa Wirosari Kecamatan Patean. Pemilihan Lokasi ini sebagai lokasi penelitian didasarkan pada beberapa aspek, antara lain : a. Desa Wirosari sebagai salah satu pusat pengembangan budaya Islam di Kecamatan Patean b. Eksistensi Wayang Kulit ditengah kemajemukan bentuk modernisasi Budaya
Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang
| 92
Sumber Data Sumber data yang akan dimanfaatkan dalam penelitian ini meliputi : a. Sumber Lisan b. Sumber Tertulis c. Sumber Lapangan
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sejarah Masuknya Wayang Kulit di Kendal Seperti yang penulis sebutkan pada bab I Pendahuluan, bahwa Wayang Kulit merupakan salah satu warisan dari walisangga dalam menyebarkan ajaran agama Islam. Walisangga mempelopori dakwah agama Islam di tanah Jawa yang sebelumnya berkembang bersama tradisi Hindu Budha. Dakwah dengan menggunakan wayang kulit, cara itu digunakan oleh Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga ketika diangkat sebagai seorang wali yang salah satu tugasnya adalah berdakwah serta menanamkan akidah-akidah agama Islam cukup berat pada masa itu. Rakyat dan penduduk rakyat Jawa pada saat itu masih kuat dalam memegang adat dan istiadatnya yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha atau kepercayaan nenek moyang mereka dahulu, sehingga seolah tidak mungkin dan dengan mudahnya kepercayaan mereka dialihkan. Karena itu harus secara sabar dan perlahanlahan serta tidak dengan kekerasan dalam menanamkan ajaran agama Islam yang diembannya. Disamping itu juga karena rakyat Jawa masih berpegang erat pada akar budaya yang masih dipengaruhi oleh kepercayaan animisme yang sangat diyakini pada saat itu. Melihat kondisi semacam itu Sunan Kalijaga membiarkan adat istiadat dan budaya yang telah ada berjalan ditengah-tengah masyarakat. Sedikit demi sedikit tradisi tersebut dimasuki ajaran agama Islam baik yang menyangkut tauhid maupun syariat serta Akhlakul Karimah. Sunan Kalijaga terkenal sebagai sosok yang bijaksana. Oleh karenanya, dalam mengajak masyarakat untuk memeluk agama Islam, beliau mencari metode yang tepat sehingga dengan kesadarannya sendiri masyarakat mengikuti ajaran agama Islam. Beliau menggunakan jalan bertabligh dengan menyuguhkan kesenian wayang kulit yang pada masa itu keseniantersebut sangat digemari oleh masyarakat Jawa termasuk masyarakat Kendal. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan berpendapat bahwa : Wayang Kulit masuk ke Kabupaten Kendal bebarengan dengan masuknya agama Islam yang dibawa oleh Sunan Kantong sebagai penerus perjuangan sunan Kalijaga. Pada mulanya agama Islam berkembang di pesisir-pesisir daerah bawah terutama Kaliwunggu, Kendal, Patebon, Pegandon sampai ke daerah pedalaman. Sunan Kantong menggunakan peralatan Wayang dan Dhalang sebagai perantara penyebaran agama Islam. Wayang Kulit pada prakteknya adalah dakwah dengan menggunakan gamelan (musik) untuk menarik minat masyarakat. Dakwah melalui wayang sampai sekarang, cara-cara seperti itu masih dilakukan oleh para dhalanguntuk menyelipkan ajaran agama Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang
| 93
Islam dengan wayangan. Contohnya, Ntus Suswono di Tegal, dengan memberikan kostum pada waranggononya (sinden) bersanggul jilbab, juga menyelipkan beberapa kandunagan ayat al-qur’an. Hal itui juga dilakukan oleh dhalang-dhalang lain di Kabupaten Kendal seperti dhalang Riyono yang merupakan salah satu dhalang dari Paguyuban Suko Raras di Desa Wirosari Kecamatan Pateanyang bila pentas membawa seorang seniman yang kyai (wawancara dengan Tariman, 20 April 2011) Berbeda dengan Tariman, Murdowa mengatakan masuknya wayang kulit di Kendal bebarengan dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa. Berawal dari runtuhnya kerajaan Majapahit akibat sepeninggal Gajah Mada. Setelah itu pamor kerajaan Majapahit pudar dan semakin goyah. Masa anti klimaknya pada tahun 1400 Caka atau 1478 Masehi karena mendapat serangan dari Girindrawardana II, penguasa Keling Kediri dan kerajaan Majapahit semakin terpuruk pada tahun 1498/1499 setelah Girindrawardana II diserang balik oleh Prabu Udhara, anak Patih Mpu Tahan. Tidak lama kemudian, kerajaan Majapahit benar-benar hancur setelah Prabu Udhara kalah perang melawan Raden Patah (1513-1518). Setelah itu berdirilah kerajaan Islam di Bintara Demak dibawah Sultan Akbar Al Fatah putera Prabuwijaya yang mendapat dukungan dari Walisangga. Demak merupakan kerajaan Islam, dan Walisangga yang bertugas menyiarkan ajaran agama Islam. Salah satunya adalah Sunan Kalijaga atau Pangeran Tuban atau Syekh Malaya yang menciptakan karya kesenian wayang kulit dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa yaitu Hindu Budha. Karya kesenian yang Sunan Kalijaga ciptakan salah satunya adalah kesenian wayang kulit. Pertunjukkan wayang kulit sangat mendapatkan antusias dari masyarakat dan dalam perkembangannya masuklah wayang kulit di Kabupaten Kendal karena sangat digemari masyarakatnya. (wawancara dengan Murdowo 8 Juni 2011) Sedangkan menurut Triyono, sejarah masuknya kesenian wayang kulit di Kabupaten Kendal berawal dari ketertarikan masyarakat dengan kesenian wayang kulit sebagai media hiburan. Wayang yang dimainkan oleh seorang dhalang yang menokohkan para perilaku atau tokoh dan masing-masing pelaku wayang digambarkan sebagaimana tingkah laku manusia, mulai dari tingkah laku jahat seperti lakon kurawa yang jumlahnya ada 100 lakon terdiri dari 99 laki-laki dan 1 perempuan, kemudian tingkah laku baik, bahkan ada yang menggambarkan tingkah laku ksatria seperti tokoh kurawa yang berjumlah 5 lakon yaitu Prabu Puntadewa, Raden Werkudara, Raden Arjuna, Raden Nukula dan Raden Sadewa. (wawancara dengan Triyono, 26 Juli 2011) Jadi dapat disimpulkan bahwa masuknya wayang kulit di Kabupaten Kendal bebarengan dengan masuknya agama Islam di Kendal yang dibawa oleh Sunan katong sebagai penerus Sunan Kalijaga. Masyarakat Kendal bisa menerima dan menyukai kesenian wayang kulit karena pada waktu itu sangat jarang ada hiburan.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang
| 94
Eksistensi Wayang Kulit di Kendal Keeksitensian wayang kulit di Kabupaten Kendal dipengaruhi oleh persepsi masyarakat tentang pertunjukkan wayang kulit. Selain itu juga kemajuan IPTEK dan masuknya kebudayaan luar juga mempengaruhi keeksitensian pertunjukkan wayang kulit. a. Persepsi Masyarakat tentang Pertunjukkan Wayang Kulit Masyarakat di Desa Wirosari mempunyai persepsi yang berbeda tentang makna pertunjukkan wayang kulit. Perbedaan persepsi dalam memberikan makna yang terkandung dalam pementasan wayang kulit tersebut disebabkan oleh perbedaan pandangan, keyakinan, pemahaman serta tingkat pendidikannya. Hal-hal yang dipersepsikan oleh masyarakat Desa Wirosari dan dianggap mempunyai pengaruh bagi kehidupan masyarakat menyangkut perilaku dan nilai-nilai yang terdapat pada pementasan wayang kulit tersebut, mendapat tanggapan positif dan negatif yang mempengaruhi keeksistensian pertunjukkan wayang kulit. Bagi para tokoh budayawan serta pemerhati wayang yang negatif terhadap pementasan wayang kulit di Desa Wirosari
memberikan persepsi yang
masih tetap berharap agar wayang
kulit kembali ke fungsi semula agar pertunjukkan wayang kulit akan tetap eksis. Perkembangan Agama Islam di Kendal Seperti penulis sebutkan pada bab 1, bahwa perkembangan agama Islam tidak lepas dari peran seorang ulama yang pada akhirnya dikenal dengan nama Sunan Kantong. Sunan Kantong inilah yang mewarnai Kendal dengan ajaran-ajaran Islam sampai akhirnya Kendal dikenal dengan sebutan kota santri. Siapakah Sunan Katong itu? Sunan Katong adalah leluhur asal ponorogo. Nama aslinya Pangeran Adipati Ponorogo atau Kiai Adipati Ponorogo, cucu Bathara Katong yang berarti cicit Prabu Brawijaya. Awal perkembangan agama Islam di Jawa Tengah terutama di Kabupaten Kendal dimulai sejak datangnya anisir-anisir Islam dari manca daerah pada abad XIV untuk keperluan niaga dan agama. Salah satunya adalah Sunan Katong, leluhur asal Ponorogo. Beliau berdakwah di Kendal selain mengajak masyarakat mengucap dua kalimah syahadat dan kemudian melaksanakan syariatsyariatnya, setelah itu dilanjutkan dengan membangun masyarakat secara utuh (mu’mina wal muslimina kaffah) dengan target utama terwujudnya masyarakat yang islami. Pengaruh Wayang Kulit terhadap Perkembangan Budaya Islam Pertunjukkan Wayang Kulit berpengaruh terhadap budaya Islam. Bagi orang Jawa khususnya pemeluk agama Islam, dunia pewayangan mengandung ajaran-ajaran filsafat dan simbolisme dalam kehidupan manusia. Hasil karya cipta yang sarat akan simbolisme terdapat pada beberapa hal di bawah ini : a. Bentuk gunungan atau kayon Dari beberapa hasil wawancara, peneliti telah mendapatkan beberapa informasi tentang makna simbolis yang terdapat pada gunungan/kayon. Gunungan disebut juga kayon berasal dari Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang
| 95
bahasa Arab khayyu yang berarti hidup, melambangkan bentuk kehidupan yang terdapat di dalam jagad raya (dunia). Di dalamnya terdapat berbagai macam makhluk antara lain : Tanam tuwuh (pepohonan) yang diartikan sebagai pohon kalpataru yang mempunyai makna pohon hidup, sumber kehidupan, sumber kebahagiaan. Gambar binatang dan berbagai macam unggas merupakan gambaran dari berbagai macam tingkat kehidupan di dunia. Pintu gerbang yang diapit dua raksasa melambangkan pintu masuk ke dalam kebahagiaan abadi dan untuk memasukinya harus melalui kedua penjaga (raksasa) sebagai lambang nafsu indera. Gunungan yang berbentuk segi lima menggambarkan lima panca indera manusia yaitu mata, hidung, telinga, mulut dan yang semuanya mengarah pada satu tujuan ke Yang Maha Esa dengan ujungnya yang lancip mengarah ke atas. (wawancara dengan Tariman , 20 April 2011) Sedangkan cara penggunaan kayon sesuai dengan jam saat pagelaran wayang adalah menggunakan 3 pathet yaitu pathet 6 (enem), pathet 9 (sanga), dan pathet manyura. Kedudukan kayon sebagai berikut : Pathet 6 (enem), mengawali pertunjukkan wayang istilahnya bedhol kayon menandakan lahirnya bayi dari kandungan sang ibu. Posisi kayon adalah miring ke kiri, melambangkan matahari yang terbit, masa kecil anak. Pathet 9 (sanga), posisi kayon tegak lurus melambangkan anak memasuki masa dewasa atau akil balik dimana anak mulai menginjak dewasa dan kehidupan mulai berkembang. Pathet manyura, kayon dalam posisi miring ke kanan yang diartikan sebagai selesainya tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya. (wawancara dengan Riyono, 22 Juli 2011) Gunungan atau kayon penuh dengan makna simbolis yang didalamnya terdapat nilai filosofis, yang berisi tentang berbagai ajaran ketuhanan gunungan yang di dalamnya terdapat ornamen berbagai macam tumbuhan dan binatang. Menggambarkan betapa keagungan Tuhan dalam menciptakan alam dan segala macam isinya harus betul-betul kita jaga dan kita rawat. Pemasangan kayon pada awal mulanya wayang dimainkan saat talu jam 09.10 pathet 6 dalam posisi miring ke kiri melambangkan bahwa awal kehidupan manusia dimulai pada waktu masih kanak-kanak. Pada pukul 24.00 pathet 9 kayon. Tegak lurus mengambarkan anak memasuki masa dewasa, akal balik. Kayon yang lurus diartikan sebagai “menambah marang sing maha kuasa artinya manusia”. Pukul 03.00-05.00 pathet manyuma kayon miring ke kanan melambangkan manusia dalam keadaan yang isinya memasuki masa tua. Diakhiri tancep kayon yang akhirnya selesailah sudah tugas dan kewajiban manusia di dalam semesta ini. (wawancara dengan Triyono, 26 Juli 2011) Sedangkan seorang tokoh dhalang yang berdomisili di Desa Wirosari memberiksn tanggapan tentang makna gunungan/kayon.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang
| 96
Gambar atau ukuran yang terdapat pada gunungan yang terpenting adalah pohon yang penuh dengan cabang da gunung (bukit) yang didalamnya terdapat adanya kepala kala, sebuah pintu gerbang dan raksasa sebagai penjaganya. Pohon melambangkan sebagai sumber pengetahuan. Sedangkan unggas lambang kedamaian (merpati) atas keadaan sakit dan mati, pintu gerbang melambangkan tempat untuk ke dalam dunia gelap. Dengan kata lain kekayon menggambarkan suatu sumber kehidupan dan untuk memasukinya penuh dengan tantangan. (wawancara dengan Riptoko 17 Juli 2011) Jadi gunungan atau kayon merupakan simbolisme jagad semesta alam yang penuh melambangkan awal dan akhir kehidupan manusia. Awal kehidupan dilambangkan dengan bedol kayon, sedangkan akhir kehidupan dilambangkan dengan tancap kayon. Mengajarkan kepada manusia segala sesuatu di dunia ini yang awalnya tidak ada kemudian ada dan akhirnya kembali tidak ada, semua itu atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa. b. Kelir, Blencong, gedebog (pohon pisang) Kelir diartikan sebagai jagad raya (dunia) dimana semua kehidupan berada didalamnya. Seorang dhalang yang menggunakan kelir yang terbentang lebar, mengganbarkan bahwa dia memandang dunia ini sebagai sesuatu yang begitu luasnya sehingga ia dengan bebas memainkan wayang tersebut. Blencong melambangkan cahaya matahari, gedebog (pohon pisang) lambang dari bumi tempat berpijak. (wawancara dengan Murdowo, 8 Juni 2011) Kelir yang terbuat dari kain putih melambangkan alam semesta. Kelir digunakan sebagai penyekat antara dhalang dan penonton. Blencong melambangkan cahaya matahari, dimuka kelir terlihat terang yang diartikan sebagai siang dibelakang gelap yang melambangkan malam. Pohon pisang diartikan sebagai tempat makhluk hidup atau permukaan bumi. (wawancara dengan Kirniawan, 10 Juni 2011) Sedangkan M. Rais yang juga pemerhati wayang kulit mengartikan kelir sebagai sesuatu yang terbentang luas, blencong melambangkan sinar matahari sedangkan pohon pisang melambangkan tanah atau bumi. (wawancara dengan M. Rais 14 Agustus 2011) Kelir, blencong dan gedebog merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam pertunjukkan wayang kulit karena ketiganya saling berkaitan yang melambangkan alam semesta dan matahari. c. Punakawan Kehadiran Punakawan di dalam tengah-tengah pementasan wayang kulit memberikan arti tersendiri selain sebagai selingan juga memberikan pesan-pesan yang penting. Punakawan yang terdiri atas Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Berperan sebagai seorang pamong bagi para ksatria sedang dalam keadaan bahaya, memberi nasehat di kala para ksatria berbuat kesalahan. Maskipun para punakawan itu kedudukkannya sebagai pamong tetapi ksatria negara tidakmenganggap rendah mereka. (wawancara dengan M. Rais 14 Agustus 2011)
Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang
| 97
Berbeda dengan M. Rais, seorang tokoh budayawan Riyono memberikan makna sendiri terhadap para punakawan yang terdiri atas kelompok pertama di pihak kebenaran yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Kelompok yang berlawanan terdiri dari Tejomoyo dan Sorowito yang memihak kejahatan. Punakawan di pihak kebenaran dengan tokohnya Semar secara etimolagi penjelmaan dewa yang bernama Bathara Maya. Bathara Maya mempunyai saudara bernama Bathara manik serta Bathara Hantaga. Mereka bertiga putera dari sang Hyang Tunggal yang terjadi dari keajaiban telur. Kuning telur menjelma menjadi Bathara Manik atau Bathara Guru, putih telur menjadi Bhatara Ismaya atau Semar, sedangkan kulit telur menjelma menjadi Bathara Hantaga atau Tejomoyo atau Togog. Akibat perebutan kekuasaan antara Hantaga (Togog) dan Ismoyo (Semar), atas penguasaan tahta kahyangan Ondar-Andir Buwana, menyebabkan murkanya Sang Hyang Weneng, sehingga akhirnya Hantaga diperintahkan menjadi pamong para raksasa dan Ismaya menyusup menjadi satu dalam badan Kyai Lurah Badranaya atau Semar yang kemudian menjadi pamong para ksatria yang berbudi luhur di Marcapada, sedang Bathara Manik (guru) menetap di Khayangan menguasai para dewa. Sedangkan menurut Riptoko, keempat figur nama-nama tersebut sama sekali tidak terdapat dalam epos Hindu Ramayana dan Mahabarata sebagai sumber cerita pewayangan aslinya. Munculnya figur Punakawan tersebut merupakan hasil kreasi dari Wali Sanget Tinelon untuk memperagakan serta mengabdikan fungsi watak, tugas konsepsional Walisangga dan para Mubaligh Islam. Nama Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong berasal dari bahasa Arab : a. Semar Semar dari Ismar. Ismar adalah paku, berfungsi sebagai penokohan yang goyah. Ibarat ajaran Islam yang didakwahkan para Walisangga diseluruh kerajaan Majapahit, yang pada waktu itu sedang dalam pergolakan dengan berakhirnya didirikan kerajaan Demak ole Raden Patah. Hal itu sesuai dengan hadits Al-Islamuismaruddumnya yang artinya Islam adalah pengokoh (paku pengokoh) keselamatan dunia. b. Nala Gareng Nala Gareng dari Naala Qoriin yang berarti memperoleh banyak teman, dan tugas konsepsional para Walisangga sebagai juru dakwah (dai) ialah untuk memperoleh sebanyakbanyaknya kawan untuk kembali ke jalan Tuhan dengan sikap arif dan harapan yang baik. c. Petruk Petruk dari Fatruk. Kata tersebut merupakan kata pangkal kalimat pendek dari sebuah wejangan tasawuf tinggi yang berbunyi : Fat-ruk kulla maa siwallahi yang artinya tinggalkan semua apapun yang selain Allah. Wejangan tersebut kemudian menjadi watak pribadi para wali dan mubaligh pada waktu itu.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang
| 98
d. Bagong Bagong dari Baghaa yang berarti berontak, yaitu berontak terhadap kebathilan atau kemungkaran suatu tindakan anti kesalahan dalam versi lain berasal dari kata baqa’ (Arab) yang berarti kekal, langgeng artinya semua makhluk nantinya di akherat hidup kekal. Dapat ditinjau dari makna serta isi seni Wayang, jelas bahwa panakawan adalah bentuk lambang atau visualisasi dari ide masyarakat Jawa. Panakawan yang merupakan pemomong Pandawa adalah bahwa manusia sebutulnya memerlukan pamomong dalam perjalanan hidup. Jadi dapat disimpulkan bahwa sebetulnya tokoh punakawan tersebut tidak terdapat pada cerita aslinya di Ramayana dan Mahabharata. Munculnya figur Punakawan tersebut merupakan hasil kreasi dari Wali Sanget Tinelon untuk memperagakan serta mengabdikan fungsi watak, tugas konsepsional Walisangga dan para Mubaligh Islam yang menggambarkan figur seorang Semar sebagai pamong para Pandhawa dan ksatria. Para punakawan adalah adalah seorang pamong yang bekerja tanpa pamrih, memberi nasehat kepada para Pandhawa. Semua menuju pada kebaikan baik dari agama, kebatinan atau etika. 1. Narasi Pertunjukan Wayang Kulit dalam Pengembangan Budaya Islam Berdasarkan penelitian dengan mengadakan wawancara terhadap dhalang, tokoh budayawan, cerita-cerita terdapat pada wayang banyak mengandung tuntunan batin bagaimana orang harus bertingkah laku karena suri teladan yang diungkapkan pada beberapa lakon atau episode. Cerita-cerita wayang tersebut ada yang diambil dari buku pokoknya (Ramayana dan Mahabharata) yang sering disebut pakem, ada juga yang bersifat “carangan” atau ciptaan seseorang yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi jaman, bermaksud menanamkan nilainilai- budi pekerti luhur “kawruh” atau pengetahuan kehidupan yang bersifat ketuhanan mempunyai arti ngelmu seperti ilmu pengetahuan sangkan paraning dumadi (asal-usul manusia). Cerita yang berkaitan dengan kawruh adalah lakon Dewa Ruci. Bahwa dalam cerita tersebut mengandung suatu pesan moral yang berkaitan dengan keimanan seseorang terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Pembahasan Desa Wirosari yang mempunyai keadaan geografis dan keadaan sosial kemasyarakatan yang terdiri atas beraneka ragam sangat kompleks baik dari keagamaan, politik, keamanan dan ketertiban, ekonomi dan perhubungan maupun pendidikan dan kebudayaan. Khususnya di bidang kebudayaan tumbuh berbagai jenis kebudayaan salah satu diantaranya adalah wayang kulit. Seni budaya Jawa yang berupa wayang kulit tersebut disebut juga wayang purwa yang telah dimodifikasi oleh para wali di pulau Jawa pertunjukkannya mula-mula digunakan sebagai sarana menyampaikan pesan-pesan untuk menyebarkan agama Islam atau syi’ar Islam.
Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang
| 99
Pertunjukkan wayang kulit semakin berkembang sesuai dengan kemajuan jaman. Wayang kulit selain sebagai sarana dakwah juga mempunyai berbagai macam simbolis baik dari wayang itu sendiri maupun dalam cerita-ceritanya. Pertunjukkan wayang kulit dapat diterima oleh masyarakat Kendal. Eksistensi wayang kulit Desa di Kendal dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap pementasan wayang kulit, juga karena kemajuan IPTEK dan masuknya kebudayaan luar yang lebih modern dan lebih bisa diterima masyarakat. Ada sebagian masyarakat memberikan persepsi yang positif sehingga wayang kulit perlu dilestarikan agar tidak punah (tetap eksis) disamping kesenian tradisional yang lain karena mengandung nilai-nilai luhur. Ada juga masyarakat yang memberikan persepsi yang negatif disebabkan sebagian besar waktu pertunjukkan wayang kulit digunakan sebagai sarana hiburan. Perkembangan agama Islam di Kabupaten Kendal cukup berkembang pesat. Hal itu dapat di lihat dengan mayoritas penduduk Kendal adalah beragama Islam, selain itu adanya bukti fisik dan non fisik semakin memperkuat bukti bahwa perkembangan agama Islam di Kendal cukup berkembang pesat. Pengaruh wayang kulit terhadap perkembangan budaya Islam di Kendal dapat dilihat dari makna dan simbolisme pada wayang seperti gunungan, kelir, blencong dan tokoh punakawan. Makna gunungan atau kayon merupakan simbolisme jagad semesta alam yang penuh melambangkan awal dan akhir kehidupan manusia. Awal kehidupan dilambangkan dengan bedol kayon, sedangkan akhir kehidupan dilambangkan dengan tancap kayon. Mengajarkan kepada manusia segala sesuatu di dunia ini yang awalnya tidak ada kemudian ada dan akhirnya kembali tidak ada, semua itu atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Makna dari kelir, blencong dan gedebog merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam pertunjukkan wayang kulit karena ketiganya saling berkaitan yang melambangkan alam semesta dan matahari. Sedangkan Para punakawan adalah adalah seorang pamong yang bekerja tanpa pamrih, memberi nasehat kepada para Pandhawa. Semua menuju pada kebaikan baik dari agama, kebatinan atau etika. Cerita-cerita wayang ada yang diambil dari buku pokoknya (Ramayana dan Mahabharata) yang sering disebut pakem, seperti cerita Dewa Ruci yang ternyata sarat dengan cerita-cerita ketuhanan dan benar-benar berisi “kawruh” atau pengetahuan yang membuat manusia menyadari bagaimana seharusnya ia bersikap terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.
KESIMPULAN Bardasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut : 1. Masuknya wayang kulit di Kabupaten Kendal bebarengan dengan masuknya agama Islam di Kendal yang dibawa oleh Sunan katong sebagai penerus Sunan Kalijaga. Masyarakat Kendal bisa menerima dan menyukai kesenian wayang kulit karena pada waktu itu sangat jarang ada hiburan. 2. Keeksisan wayang kulit di Kendal, terutama di Desa Wirosari dipengaruhi karena adanya kemajuan IPTEK dan masuknya budaya luar. Walaupun demikian para pemerhati wayang tetap Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang
| 100
berharap agar dalam pementasan wayang kulit ditambah kreativitasnya dan dalam penampilannya ditambah peralatan yang lebih modern agar pertunjukan wayang semakin disukai masyarakat dan untuk selanjutnya akan tetap eksis. 3. Perkembangan agama Islam di Kendal cukup berkembang pesat. Hal itu dapat di lihat dengan mayoritas penduduk Kendal adalah beragama Islam, banyaknya pondok pesantren yang bukan hanya ada di kota saja, tetapi sudah ada di daerah pedalaman-pedalaman. Selain itu adanya bukti fisik dan non fisik semakin memperkuat bukti bahwa perkembangan agama Islam di Kendal cukup berkembang pesat. 4. Pengaruh wayang kulit terhadap perkembangan budaya Islam di Kendal dapat dilihat dari makna dan simbolisme pada wayang seperti gunungan, kelir, blencong dan tokoh punakawan. Makna gunungan atau kayon merupakan simbolisme jagad semesta alam yang penuh melambangkan awal dan akhir kehidupan manusia. Awal kehidupan dilambangkan dengan bedol kayon, sedangkan akhir kehidupan dilambangkan dengan tancap kayon. Mengajarkan kepada manusia segala sesuatu di dunia ini yang awalnya tidak ada kemudian ada dan akhirnya kembali tidak ada, semua itu atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Makna dari kelir, blencong dan gedebog merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam pertunjukkan wayang kulit karena ketiganya saling berkaitan yang melambangkan alam semesta dan matahari. Sedangkan Para punakawan adalah adalah seorang pamong yang bekerja tanpa pamrih, memberi nasehat kepada para Pandhawa. Semua menuju pada kebaikan baik dari agama, kebatinan atau etika. 5. Narasi yang dibawakan oleh seorang dhalang bersumber pada kitab aslinya yaitu kitab Mahabarata dan Ramayana tetapi versi Islam. Di dalam mengetahui hikmah suatu cerita wayang, tidak bisa diambil secara mentah tetapi perlu ada pemahaman yang mendalam, seperti cerita Dewa Ruci yang ternyata sarat dengan cerita-cerita ketuhanan dan benar-benar berisi “kawruh” atau pengetahuan yang membuat manusia menyadari bagaimana seharusnya ia bersikap terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.
DAFTAR PUSTAKA
Bastomi, Suwaji. 1992, Seni dan Budaya Jawa. Semarang : IKIP Press. Budiono Herusatoto, 1983. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : PT Hanindita. Cholid Narbuka, Abu Ahmadi, 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta : Bumi Aksara. Edy Sedyawati, 1979. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta : Sinar Harapan. Hadi, Sutrisno, 2004. Metodhologi Research. Yogyakarta : Andi. Ibnu Hajar, 2000. Metode Penelitian Kualitatif dalam Pendidikan. Jakarta : Gramedia. Margono, 2004. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang
| 101
Koentjaraningrat, 2002. Pengantar Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta. M. Amien Rais, 1986. Islam di Indonesia. Jakarta : CV. Rajawali. Mulyono
Joyomartono,
1991.
Perubahan
Kebudayaan
dan
Masyarakat
dalam
Pembangunan. Semarang : IKIP Press. Philip K. Hitti, 2001. Dunia Arab. Yogyakarta : Iqra Pustaka. Sarwiji Suwandi, 2010. Penelitian Karya Ilmiah. Surakarta : Yuma Pustaka. Soerjono Soekanto, 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Suharsini Arikonto, 2002. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT Rineka Cipta. Sujamto, 1992. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang : Dahara Prize. Sukmadinata, Nana Syaodin, 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. Susetya Wawan, 2007. Dhalang, Wayang dan Gamelan. Yogyakarta : Penerbit Narasi. WJS. Poerwodarminto, 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : PN Balai Pustaka
Jurnal Ilmiah Pendidikan Sejarah IKIP Veteran Semarang
| 102