KONSEP MITOLOGI HINDU DALAM KESENIRUPAAN WAYANG KULIT PURWA
Ponimin
Abstract: The influence of the Hindu-Buddhist culture of the past has been a determining factor in shaping Javanese artistic variations, including that of wayang kulit purwa or Javanese shadow puppets, both as performing art and fine art. The influence on shadow puppetry can be seen on the characteristic appearance of the puppets as well as in their symbolic values. This influence has gone through the process of acculturation with the local culture, resulting in the overall artistic form of shadow puppetry as a juxtaposition of the Hindu-Buddhist mythology with the intrinsic power of the local genius. Key words: Hindu-Buddhist culture, shadow puppetry, local genius.
Pada hakikatnya suatu kebudayaan akan selalu mengalami perubahan, dengan demikian kebudayaan tersebut justru dapat berkembang dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru, karena kebudayaan pada dasarnya memiliki sifat terbuka terhadap pengaruh-pengaruh budaya yang datang dari luar. Demikian pula kebudayaan Jawa memiliki kemampuan luar biasa membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang berasal dari luar. Demikian halnya ciri khas yang terkandung dalam kebudayaan Jawa adalah bahwa pengaruh kebudayaan luar tersebut, kebudayaan Jawa justru mampu mempertahankan keasliannya. (Frans Magnis Suseno, 1996). Kebudayaan Jawa justru tidak dapat menemukan jati dirinya dan berkembang kekhasannya di dalam keterisolasian, melainkan dalam perencanaan masukan-masukan cultural dari luar, kebudayaan Jawa mampu berkembang dan menemukan bentuk khasnya (Frans Magnis Suseno, 1996). Ponimin adalah dosen Jurusan Seni & Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
283
284 BAHASA DAN SENI, Tahun 33, Nomor 2, Agustus 2005
Hinduisme, Budhisme bahkan Islam mampu dicerna dengan baik dipadukan dengan unsur-unsur budaya lokal, atau dengan kata lain dijawakan , sehingga pada akhirnya melahirkan suatu bentuk kebudayaan hasil perpaduan antar unsur kebudayaan, yang kemudian dikenal sebagai Hindhu Jawa, Budha Jawa, Islam Jawa dan sebagainya. Salah satu contoh bentuk kebudayaan hasil perpaduan antar unsur kebudayaan pra-Hindhu dengan unsur kebudayaan Hindhu adalah pertunjukan wayang kulit purwa untuk keperluan ruwatan yang tetap lestari (Koentjaraningrat, 1984:348) dan masih banyak dilakukan masyarakat yang sampai saat ini. Penyelenggaraan upacara-upacara ruwatan tersebut merupakan bukti aktivitas manusia yang didasari oleh konsep tentang dunia mistis, terutama ditandai dan diwarnai oleh rasa takut manusia terhadap daya-daya purba (kekuatan gaib) dalam hidup dan alam raya. Oleh sebab itu manusia mencari semacam strategi guna menemukan hubungan yang tepat antara manusia dengan daya-daya purba atau kekuatan gaib tersebut. (C. A. Van Peursen, 1976:55). Bentuk upacara diatas secara umum menggambarkan suatu keterpaduan antara upacara keselamatan yang berangkat dari tingkat pemikiran masyarakat primitif animistis (menghormati dan menyembah roh-roh nenek moyang), namun dalam pelaksanaan upacara ritual mempergunakan media wayang yang sangat dipengaruhi oleh mitologi Hindhu yang dilandasi pemikiran akan keberadaan dewa-dewa yang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Terlepas dari contoh yang telah dikemukakan, di dalam pertunjukan wayang kulit meski dapat dirasakan sangat besar pengaruh mitologi Hindhu, ternyata muncul pula warna budaya asli Jawa, misalnya keberadaan tokohtokoh: Ismoyo (Semar), Gareng, Petruk, Bagong, Togog (Hananto), Mbilung Sorowito, Dewi Urang Ayu, Wisang Geni dan sebagainya. Dalam wayang kulit purwa, dewa-dewa hasil dari konseptual murni masyarakat Jawa, demikian pula konsep tentang sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur alam, bersatu pula dengan konsep masyarakat tentang kepercayaan akan adanya kekuatan-kekuatan maha besar yang dimiliki alam. Oleh sebab itu, memungkinkan terjadi pergeseran persepsi dan berakibat timbulnya perbedaan sehubungan dengan aspek perwujudan (visualisasi) dewadewa yang dihormati tersebut. Pengaruh kebudayaan Hindhu di Indonesia meski cukup menyebar, tetapi pengaruh kebudayaan Hindhu terbesar adalah di pulau Jawa dan Bali,
Ponimin, Konsep Mitologi Hindu 285
karena itu dalam pembicaraan selanjutnya lingkup permasalahan dibatasi pada aspek mitologi Hindhu yang terdapat di pulau Jawa, terutama permasalahan yang berkaitan dengan perwujudannya dalam wayang kulit purwa. PEMBAHASAN Kehidupan Religi Pra-Hindhu dan Hindhu Indonesia Animisme dan Dinamisme Kehidupan religi bangsa Indonesia khususnya masyarakat pada masa pra-Hindhu, diawali dan diwarnai oleh pemujaan arwah nenek moyang (animisme). Nenek moyang (WF. Stutterheim, 1959:11) pada masa hidupnya adalah orang-orang yang banyak pengalaman. Oleh sebab itu arwahnya dipercaya masih mengandung kekuatan gaib. Berdasarkan pemikiran itu, maka anak cucu selalu berdaya upaya menjalin hubungan baik melalui sesaji dan berbagai upacara ritual agar memperoleh berkah, perlindungan dari roh nenek moyang serta terhindarkan dari malapetaka. Komunikasi antara manusia dengan roh nenek moyang dapat dilakukan dengan cara, sebagai misal melalui perantara seorang dukun. Menurut kepercayaan, roh leluhur dapat hadir melalui tubuh dukun dengan sarana pengucapan mantra-mantra disertai penyediaan rangkaian sesaji dan penyelenggaraan upacara-upacara tertentu. Komunikasi antara manusia dengan roh nenek moyang dapat pula dilakukan melalui media seni, sebagai misal seni tari dan jenis seni tradisi lainnya meminjam istilah yang dipergunakan oleh Imade Bandem, saat datangnya (masuknya) roh leluhur ke dalam tubuh seorang penari yang disebut kerawuhan yang lazim didapati pada seni tari tradisi yang ditunjukkan untuk kepentingan religi (I Made Bandem, 1996:24). Bentuk kerawuhan (trance) dalam seni tradisi sering disertai dengan kegiatan-kegiatan simbolik yang kadangkala sulit diterima dan ditelaah oleh nalar manusia. Dalam tatian Sang Hyang Celeng di Bali, penari yang telah kerasukan roh trance melakukan pembersihan dengan memakan segala kotoran yang ditemui sepanjang jalan, misalnya: berupa kulit pisang dan sebagainya. Pembersihan tersebut sebagai simbol membersihkan segala kotoran yang ada di masyarakat (Jane Belo, 1960:207). Hal serupa terjadi pada pertunjukan rakyat Reog Ponorogo , pada saat penari mengalami trance (kerasukan) seakan-akan bagaikan orang yang tidak sadar dan memiliki kekuatan
286 BAHASA DAN SENI, Tahun 33, Nomor 2, Agustus 2005
gaib, tidak saja mampu memakan hasil-hasil bumi seperti singkong, umbi jalar, buah kelapa dengan mengandalkan kekuatan gigi, bahkan penari reog mampu pula makan kaca pecahan balon lampu dan sebagainya. Di samping kepercayaan animisme, dalam kehidupan masyarakat jawa terdapat jenis kepercayaan dinamisme. Apabila animisme (berasal dari kata dalam bahasa Latin, anima=arwah) merupakan suatu keyakinan/kepercayaan akan keberadaan roh-roh nenek moyang, maka dinamisme (dari kata dalam bahasa Yunani, dynamis=kekuatan) adalah kepercayaan akan adanya kekuatan gaib (WF. Stutterheim,12-13). Roh-roh nenek moyang diyakini masih berada dan tinggal disekitar desa, roh-roh tersebut tinggal dimana saja, seperti: di pohon-pohon, sungai-sungai, gunung-gunung, batu dan sebagainya. Keagamaan orang-orang desa (yang masih melestarikan budaya primitif) ditentukan oleh kepercayaan bahwa apa saja yang ada berhayat dan berjiwa, kekuatan-kuatan rohani; kepercayaan terhadap eksistensinya jiwa pribadi manusia yang sesudah kematiannya tetap tinggal di dekat desa dan tetap memperhatikan kehidupannya. Oleh karenanya penghormatan terhadap nenek moyang mempunyai kedudukan penting dalam kehidupan masyarakat desa (Bernhard H.M. Vlekke, 1959:12-14). Dilandasi adanya pemikiran bahwa roh nenek moyang memiliki kekuatan gaib yang luar biasa dan dapat membawa akibat baik bagi manusia, namun dapat pula membawa akibat buruk atau petaka bagi manusia, maka akibatnya tidak saja masyarakat taat melaksanakan upacara upacara ritual, bahkan pada perkembangannya rasa hormat serta kepercayaan akan kekuatan gaib tidak saja tertuju pada roh-roh nenek moyang, alam, tetapi juga pada benda-benda pusaka maupun alat-alat yang dipergunakan dalam upacara-upacara ritual. Sebagai misal, orang-orang berebut tlethong (kotoran) kerbau bule Kyai Slamet dari kraton Kasunan Surakarta Hadiningrat, karena adanya keyakinan bahwa dengan mendapatkan kotoran kerbau tersebut mereka akan memperoleh berkah berupa kebahagiaan, kesejahteran, keselamatan, umur panjang, apabila kotoran tersebut disebarkan di sawah ataupun ladang mereka kelak akan memperoleh hasil yang melimpah. Rasa hormat terhadap roh leluhur dan takut akan petaka tercermin pula pada pertunjukan wayang kulit purwa, biasanya pada setiap pertunjukan wayang kulit yang mementaskan cerita-cerita perang Bharata Yudha (oleh dalang dan sementara masyarakat dianggap gawat) seperti Dorna Gugur atau Duryudana Gugur sebelum dan sesudah pagelaran diselenggarakan upacara
Ponimin, Konsep Mitologi Hindu 287
ritual. Pada pertunjukan wayang tersebut biasanya disertai sesaji komplit dilengkapi kepala kerbau, pada saat tokoh yang akan gugur dipergunakan diberi kalung bunga melati dan diasapi dupa terlebih dahulu, kemudian usai pertunjukan tokoh wayang tersebut dilarung (dihanyutkan ke laut). Mitologi Hindhu Mitologi Hindhu selalu dikaitkan dengan konsep dewa serta sifat-sifat yang memiliki alam. Antara satu dengan lainnya menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Agar lebih jelas, maka akan diuraikan tentang segala sifat yang terkandung pada unsur alam serta konsep dewa dalam ke budayaan Hindhu serta visualisasinya, antara lain sebagai berikut: Sifat-sifat Alam a. Sifat Sungai Ajaran agama Hindhu memandang air sebagai unsur alam yang mahabesar peranan dan arti pentingnya bagi kehidupan manusia dan mahkluk hidup lainnya. Pandangan tersebut sesungguhnya bersifat universal, sebab dalam budaya dan agama apapun air menjadi kebutuhan pokok dan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia serta segala aktivitasnya. Secara garis besar, pandangan budaya Hindhu, air mempunyai beberapa sifat utama, yakni: air memiliki kekuatan penyembuhan (supranatural power), memberi kehidupan, membersihkan, mensucikan, dan memiliki kebijaksanaan (E. Washburn Hopkins, 1986:3). Dewa menyembuhkan orang sakit dan menghidupkan (membangkitkan) dari kematian cukup dengan sarana air disertai mantra-mantra sakti (E. Washburn Hopkins,1986:3-4). Air membersihkan manusia dari kotor dan dosa. Dalam suatu upacara pembabtisan (permandian) air memegang peranan penting. Seorang pendeta utama, dalam menyatakan penghapusan dosa dengan menyiramkan air suci dari tangannya. (E. Washburn Hopkins, 1986:4). Air bersifat bijaksana dan tidak pernah berbuat kesalahan, meski menerima segala sumpah serapah dan segala kotoran ditumpahkan kepadanya (E. Washburn Hopkins, 1986:4). Dalam kisah Ramayana diceritakan bahwa pada saat Rama bingung hatinya, karena keinginannya pergi ke Alengka terhalang oleh lautan yang sangat luas, maka Rama berkehendak melepaskan
288 BAHASA DAN SENI, Tahun 33, Nomor 2, Agustus 2005
panah saktinya (dalam versi pedalangan Jawa panah tersebut bernama Guwijaya) dewa yang menguasai kehidupan air, Rama dimarahi dan akhirnya diberi wejangan sifat-sifat kebijaksanaan air yang selalu bersedia menampung segala tindakan tidak adil manusia terhadapnya, tetapi air selalu membalasnya dengan darma (kebaikan), air membersihkan kembali air yang sudah kotor. Air membersihkan kembali dirinya kepada semua mahkluk hidup baik kepada manusia, tumbuh-tumbuhan maupun binatang. Seperti halnya memberi tempat hidup dan kehidupan pada ikan-ikan di sungai dan lautan yang pada akhirnya diperlukan pula bagi kelangsungan hidup manusia dan mahkluk hidup lainnya. Sifat Gunung Gunung dipandang sebagai pusat kehidupan, karena segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan mahkluk hidup semuanya berasal dan bersumber dari gunung. Setiap gunung bersifat potensi sebagai tempat tinggal yang baik bagi dewa-dewa dan raksasa-raksasa (Gandharvas=istilah dalam bahasa Hindhu) dan sebagainya (E. Washburn Hopkins, 1986:8).
Gambar 1. Bentuk Gunungan sebagai simbol alam semesta dalam perwujudan wayang kulit Purwa.
Ponimin, Konsep Mitologi Hindu 289
Di India terdapat tujuh gunung yang dianggap suci doors of heaven, yaitu: Mainaka, Sailaguru (dalam pewayangan Jawa sering disebut Sawelagiri), Kulaparvatas (dalam pewayangan Jawa disebut Kulaparwasta), Mahendra (dalam pewayangan Jawa disebut Indrakila), Kilasa (dalam pewayangan Jawa disebut Ngarga Kelasa), Malaya (Himalaya) dan gunung sahya (E. Washburn Hopkins, 1986). Menurut versi pendalangan, secara etimologis nama kahyangan Jonggringsalaka tempat bersemayamnya rajanya para dewa yaitu Batara Guru atau Syiwa (Syiva), berasal dari ujung Giri Kailasa, yaitu puncak gunung Kailasa di pegunungan Himalaya yang termasuk dalam wilayah Tibet (China). Gunung ini tingginya 6.714 meter di atas permukaan laut, bukan merupakan tempat tertinggi di Himalaya, karena masih ada belasan puncak yang lebih tinggi, diantaranya yang paling tinggi adalah Mount Everest (8.848) yang terletak diperbatasan Nepal dan Tibet. Meskipun bukan merupakan puncak tertinggi, tetapi gunung Kailaa (Mount Kailasa), sebagai tempat paling suci oleh pemeluk agama Hindhu (Sujamto, 1995:25). Konsep Dewa Dewa Trimurti yang terdiri dari dewa Syiwa (Syiva), Brahma (Brahman) dan Wisnu (Wisnu) adalah dewa-dewa yang paling dihormati dari sekian banyak dewa. Akan tetapi dewa Syiwa justru dianggap sebagai dewa tersebar, karena peranannya sebagai dewa perusak yang harus selalu berhadapan dewa Wisnu selaku dewa penjaga keamanan bumi (E. Washburn Hopkins, 2-3). Konsep perupaan dewa-dewa dalam agama Hindhu sangat bertolak belakang dengan konsep ideoplastis dewa bangsa Yunani. Bangsa Yunani dalam menggambarkan dewa-dewanya didasarkan pada idealisasi bentuk keindahan tubuh manusia ideal, mereka tidak memperlihatkan atau memberi arti yang supra ideal. Adalah berbeda dengan konsep penggambarannya dewa menurut agama Hindhu, walaupun bentuk pada umumnya menyerupai manusia, tetapi tidak dikonsepsi dari pola atau tipe keindahan manusia, sehingga terwujudlah patung-patung dewa Durga dengan tangan sepuluh ataupun dewa Brahma mempunyai empat muka dan sebagainya. Dewa-dewa tidak dianggap sebagai manusia-Tuhan, tetapi sebagai ekspresi eksternal dalam bentuk atau warna dari ide spiritual atau pesan aspiritual. (SN. Dasgupta, 1951:52-54). Agar dewa-dewa yang digambarkan tersebut dapat lebih
290 BAHASA DAN SENI, Tahun 33, Nomor 2, Agustus 2005
komunikatif dan cepat dimengerti maka diperlukan adanya tanda-tanda sebagai atribut sesuatu dewa yang dimaksudkan, misalnya: Syiwa Mahadewa mempunyai atribut memiliki mata ke tiga di dahi, bertangan empat memegang tasbih, anak panah, aksamala dan cangka. Perwujudan Mitologi Dalam Wayang Kulit Purwa Kebudayaan India (Budhis dan Hindhuistis) masuk ke Indonesia diperkenalkan terjadi setelah abad IV Masehi (setelah tahun 400 Masehi melalui Sumatra, kemudian masuk ke Jawa dan Bali (Jean Richardson, 1972:152). Di Jawa dan Bali agama Budha dan Hindhu berkembang pesat dan sangat besar pengaruhnya di berbagai bidang khususnya bidang seni dan religi. Dari sumber-sumber China dapat diketahui bahwa pada abad VI dan abad VII Masehi terdapat beberapa kerajaan Hindhu di Jawa, Kalimantan dan Sumatra, bahkan tercatat bahwa di kerajaan Sriwijaya yang terletak di pulau Sumatra bagian Selatan telah berdiri pusat Budhisme Hinayana yang terkenal secara internasional. Perkembangan agama Hindhu dan Budha serta pengaruhnya yang sangat besar diberbagai bidang berlangsung sampai akhir abad XV Masehi, memasuki abad XV Masehi agama Islam menggeser posisi agama Hindhu dan Budha, agama Islam berkembang dengan pesat dan besar pengaruhnya terhadap kehidupan politik, sosial, seni dan budaya (Franz Magnis, 22). Wayang kulit merupakan hasil sinkretisme budaya (hasil perpaduan), akibat terjadinya akulturasi antara kebudayaan pra-Hindhu dengan kebudayaan Hindhu yang mempengaruhi serta kebudayaan Islam yang mempengaruhi kemudian. Oleh sebab itu tidak mengherankan, bila pada akhirnya terjadi perbedaan yang cukup jauh bentuk wayang kulit purwa bila dibandingkan dengan cara-cara penggambarannya tokoh-tokoh yang terdapat pada relief-relief candi pada masa sebelumnya. Apalagi harus diingat bahwa bentuk wayang kulit purwa telah mengalami pembaharuan yang cukup jauh semenjak pusat kerajaan Jawa (kerajaan Hindhu Majapahit) berpindah ke Jawa Tengah dengan berdirinya kerajaan Islam Demak.
Ponimin, Konsep Mitologi Hindu 291
Gambar 2. Perwujudan wayang kulit gaya Bali dan wayang kulit purwa yang diilhami bentuk-bentuk relief candi Jawa Timur. Selanjutnya bentuk-bentuk wayang karya budaya masa Hindhu mengilhami perwujudan wayang kulit Purwa.
Gambar 3. Bentuk Anoman dan Kala bersumber pada cerita Ramayana dari kebudayaan India yang telah mengalami perubahan dalam konsep bentuk wayang kulit Purwa.
292 BAHASA DAN SENI, Tahun 33, Nomor 2, Agustus 2005
Perubahan yang dimaksud, antara lain meliputi: a. Pertambahan Tokoh Dewa Perkembangan yang terjadi, boleh jadi sebagai akibat berubahnya kepercayaan masyarakat dari percaya pada banyak dewa seperti dalam agama Hindhu, menjadi percaya pada suatu Tuhan sesuai dengan ajaran Islam serta faktor lain yang dapat mempengaruhi. Pertambahan tokoh dewa yang dimaksud, misalnya: 1. Dewa Syiwa (batara Guru) tidak lagi sebagai dewa tertinggi, paling berkuasa, karena ada dewa yang lebih tinggi derajatnya, lebih berkuasa, yakni Sang Hyang Wenang (Sang Hyang Tunggal). 2. Munculnya tokoh dewa hasil kreasi konseptual asli Jawa, seperti Sang Hyang Ismoyo, Sang Hyang Hananto, yang dalam cerita dikaitkan sebagai rakyat jelata, tetapi sesungguhnya penjelmaan dewa Ismoyo yang tak terkalahkan. Demikian pula halnya dengan Togog adalah penjelmaan dewa Hananto. Perbedaannya, Semar sebagai pamong (pengasuh) satria yang berbudi baik, sedang Togog sebagai pamong (pengasuh) satria berwatak angkara murka. b. Aspek Visualisasi Perwujudan mitologi dalam wayang kulit mengalami penyesuaian dan perubahan yang cukup jauh dibandingkan dengan penggambaran tokohtokoh dimaksud dalam relief-relief candi. 1. Dewa penyangga bumi Sang Hyang Nagaraja diwujudkan dalam bentuk seekor naga besar, namun menggunakan pakaian kebesaran dewa. 2. Munculnya tokoh-tokoh yang sebelumnya tidak ada misalnya: wilkataks ini yang bertugas menjaga wilayah perairan Alengka. Wilkataks ini berwujud raksasa yang berperawakan tinggi besar namun berkepala buaya. 3. Munculnya tokoh-tokoh kera prajurit Sri Rama yang beraneka macam wujudnya: Kapi Menda seekor kera berkepala kambing, kapi kingkin seekor kera berkepala yuyu. 4. Busana dan atribut dewa-dewa, mengalami penyesuaian, berupa: penggunaan tutup kepala berupa udeng (serban), penggunaan jubah serta sepatu.
Ponimin, Konsep Mitologi Hindu 293
SIMPULAN Mitologi adalah salah satu hasil kebudayaan yang telah lama tertanam dalam pola pikir dari sebagian masyarakat. Namun dikarenakan derasnya pengaruh kabudayaan lain, mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan meski terjadi secara lambat dan memerlukan waktu yang cukup lama. Lamakelamaan akan terjadi perpaduan antara unsur budaya lama dengan budaya yang mempengaruhinya, sehingga muncul bentuk baru sebagai bentuk sinkretis, wujud baru sebagai hasil penyesuaian-penyesuaian yang terjadi. Dengan demikian sudah sewajarnya apabila perwujudan mitologi Hindhu dalam wayang kulit purwa mengalami penyesuaian dengan kondisi yang ada, mengingat semenjak agama Islam berkembang di pulau Jawa pengaruhnya terutama terhadap wayang sangat besar. Adanya perpaduan tersebut justru sangat menguntungkan dalam wayang terkandung unsurunsur yang masih tampak warna masing-masing, tetapi menjadi kesatuan yang utuh dan bahkan memunculkan ciri khas sebagai identitas yang dapat membedakan dari sumber lainnya. DAFTAR RUJUKAN Bandem, I. M.. 1996. Evolusi Tari Bali, Kanisius, Yogyakarta. Belo, J. 1960. Trance in Bali, Columbia University Press, New York. Dasgupta, S. N. 1951. Fundamentals Indian Art, Bhavan s Books University, New Delhi. Hopkins, E. W. 1986. Epic Mythology, Motilal Banarsidas, New Delhi. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta. Peursen, C. A. Van. 1976. Strategi Kebudayaan, terjemahan Dick Hartoko, BPK Gunung Mulia, Jakarta. Suseno, F. M. 1996. Etika Jawa, Gramedia, Jakarta. Suwaji, B. (editor). 1993. Nilai-nilai Pewayangan, Dahara Prize, Semarang. Stutterheim, W. F. 1953. Sejarah Kebudayaan Indonesia, terjemahan Priyohutomo, JB. Wolters, Jakarta, Groningen. Richardson, J. 1972. Indian Art, Octopus Books, London-New York SidneyHongkong. Vlekke B. H. M, Nusantara. 1959. A History of Indonesia, Wholly revised edition, The Haque/Van Hoeve, Bandung.