Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 2, Juni 2012
KONSEP RASA DALAM PERTUNJUKAN WAYANG KULIT PURWA*) SENSE OF CONCEPT IN THE WAYANG PERFORMANCE Sunardi Jurusan Pedalangan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Surakarta, Jalan Ki Hajar Dewantara No 19, Kentingan, Jebres - Surakarta Email:
[email protected] Abstrac: This article aims to discuss the concept of rasa in a wayang performance. The concept of rasa is used as the main basis in presenting and appreciating a wayang performance. Rasa is presented by the puppeteer (dalang) through the expression of the wayang performance elements, such as language, movement, and music in the unity of puppet story. There are four dominant rasa, which always emerge in every wayang performance, that is rasa regu (exalted), sedhih (sad), greget (enthusiasm), and prenes (love and humor). In a wayang performance, these rasa present in a various patterns, such as coupled opposition and cycle. The rasa has become the key concept in understanding a wayang performance. Keywords: the sense of concept, wayang performance, puppeteer, and aesthetic patterns Abstrak: Tulisan ini bertujuan membahas konsep rasa dalam pertunjukan wayang kulit purwa. Konsep rasa dipergunakan sebagai landasan utama dalam menyajikan dan mengapresiasi pertunjukan wayang. Rasa dihadirkan dalang melalui ekspresi unsur-unsur pertunjukan wayang, yaitu bahasa, gerak, dan musik dalam kesatuan lakon wayang. Ada empat rasa dominan yang selalu muncul dalam pertunjukan wayang, yaitu rasa regu (agung), sedhih (sedih), dan greget (semangat), serta prenès (asmara dan humor). Dalam pertunjukan wayang, rasa hadir dalam berbagai pola, seperti: oposisi berpasangan dan siklus. Rasa menjadi konsep kunci untuk memahami pertunjukan wayang. Kata kunci: konsep rasa, pertunjukan wayang, dalang, dan pola estetika
Pendahuluan
karena seni diciptakan untuk melahirkan gelombang
Wayang kulit purwa merupakan salah satu jenis seni
kalbu rasa keindahan (Haryono, 2008).
pertunjukan yang hidup dan berkembang dalam
Nilai estetis yang bermuara pada tercapainya
budaya Jawa. Hal ini disebabkan kandungan nilai-nilai
katarsis diri penonton telah ditunjukkan dalam
religius, etis, dan estetis yang tercermin dalam
peristiwa pertunjukan wayang semenjak abad XI,
wayang, secara ideasional diakui menjadi acuan bagi
pada masa pemerintahan Raja Airlangga (1029-
tindakan masyarakat Jawa. Refleksi nilai religius
1042) di Kahuripan (Kediri dan Singhasari). Dalam
tergambarkan melalui perilaku tokoh wayang dalam
Kitab Arjuna Wiwaha, gubahan Empu Kanwa,
mencapai kesatuan dengan Tuhan, yang sering kali
terutama dalam Sêkar Agêng Skhariòî sarga V bait-9
diistilahkan manunggaling kawula gusti (Mangku-
diterangkan sebagai berikut: “Ada orang menonton
negoro VII, 1933). Pada tataran nilai etis, masyarakat
wayang, menangis, sedih, dan kacau hatinya. Telah
Jawa diberikan paparan tentang pola perilaku dan
tahu pula, bahwa kulit yang dipahatlah yang bergerak
watak-watak tokoh wayang dalam sebuah lakon
dan bercakap itu . . .”(Wirjamartana, 1990). Kutipan
(Anderson, 2000). Presentasi nilai estetis dalam
ini memberikan pemahaman bahwa telah terjadi
wayang diperlihatkan pada keindahan unsur-unsur
komunikasi estetik dalam pertunjukan wayang.
pertunjukan wayang dan rasa estetik yang disampai-
Brandon (1967) menyatakan bahwa pertunjukan
kan. Sebagai salah satu bentuk kesenian, pertunjukan
wayang telah mencapai derajat estetik yang tinggi,
wayang, merupakan sesuatu yang hidup senafas
seperti dicontohkan para penonton dapat tergerak
dengan mekarnya rasa keindahan dalam sanubari
hatinya sampai menangis, karena meresapi adegan-
manusia yang hanya dapat dinilai dengan ukuran rasa,
adegan kesedihan yang ditampilkan oleh dalang.
*)
Diterima tanggal 13 Pebruari 2012 - dikembalikan tanggal 13 April 2012 - disetujui tanggal 1 Juni 2012
192
Sunardi, Konsep Rasa dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa
Perasaan penonton yang hanyut dengan peristiwa
(feeling) dan makna (meaning). Sebagai perasaan,
yang terjadi di atas layar, menunjukkan bahwa dalang
rasa diartikan sebagai salah satu pancaindra orang
sebagai pencipta dan penyalur kesan rasa estetik,
Jawa, yaitu merasakan dari keempat pancaindra
memiliki kemampuan yang luar biasa.
yang lain, yakni mendengar, berbicara, membaui, dan
Di dalam pertunjukan wayang dikenal tiga
melihat. Dari pancaindra ‘merasakan’ mengandung
komponen yang menjadi dasar pencapaian derajat
tiga segi ‘perasaan’ sehingga pandangan tentang
estetik, yaitu dalang, pertunjukan wayang, dan
kelima indra itu terpisah, yakni pencecapan cita–rasa
penonton. Seniman dalang dituntut keterampilan
pada lidah, sentuhan pada badan berkaitan dengan
teknis menggarap bahasa, gerak, dan musik wayang
pancaindra peraba, dan perasaan emosional di dalam
yang dikemas dalam satu lakon wayang secara utuh
hati seperti kesedihan dan kebahagiaan. Cita rasa
dengan sentuhan estetik yang mendalam. Hasil sajian
sebuah pisang, misalnya adalah rasa–nyata
pertunjukan wayang yang estetis dari dalang
(pancaindra pengecap-lidah); suatu firasat adalah
selanjutnya dikomunikasikan kepada penonton. Di
suatu rasa (pancaindra ‘perasaan’), kesakitan adalah
sini terjadi jalinan komunikasi sambung rasa yang
suatu rasa; dan rasa adalah suatu nafsu atau emosi.
menghasilkan kesan estetik dari dalang kepada
Sebagai makna, terkadang rasa diterapkan pada
penontonnya. Berdasarkan uraian tersebut, rasa
kata-kata di dalam sebuah surat, dalam sebuah puisi.
didudukkan sebagai orientasi estetik dari pertunjukan
Rasa juga diterapkan pada tingkah laku pada
wayang. Itulah sebabnya kajian mengenai konsep rasa dalam pertunjukan wayang menarik untuk dilakukan. Hal signifikan yang perlu dibahas pada risalah ini, yaitu: 1) konsep rasa; 2) unsur-unsur pertunjukan wayang; 3) rasa dalam pertunjukan wayang; dan 4) pola rasa estetik dalam pertunjukan wayang. Tujuan utama dari tulisan ini adalah mengungkap konsep rasa dalam pertunjukan wayang yang dapat dipergunakan sebagai dasar dramatisasi pertunjukan wayang bagi dalang ataupun sebagai acuan menilai pertunjukan wayang bagi penonton.
umumnya: untuk menunjukkan muatan implisit, perasaan konotatif dari gerakan-gerakan tari, dan gerak-gerik tata-krama. Dalam arti kedua, arti semantis, rasa juga berarti makna terakhir, yakni makna terdalam yang dicapai seseorang dengan usaha mistis dan yang kejelasan-nya menjernihkan segala ambiguitas dari kehidupan duniawi. Rasa adalah kehidupan, apa saja yang memiliki rasa itu hidup dan apa saja yang hidup itu memiliki rasa. Rao (2000) membedakan interpretasi rasa dalam tiga kategori, yaitu: 1) rasa fisik; 2) rasa psikis; dan 3) rasa metafisik. Pemilahan tingkatan rasa ini mengacu pada pengertian rasa dalam literatur Hindu, yaitu: rigvéda, atharvavéda, dan taittiriya upanishad.
Kajian Literatur dan Pembahasan Konsep Rasa
Dalam rigvéda dan atharvavéda, rasa dipahami secara imanen, yakni selera yang timbul dari sesuatu;
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, rasa berarti:
sedangkan dalam upanishad, rasa lebih dipahami
1) apa yang dialami oleh lidah atau badan (ketika
secara transendental yakni merupakan hakekat
kena sesuatu); 2) sifat suatu benda dan sebagainya
tertinggi dari alam semesta. Tiga kategori rasa dalam
yang mengadakan rasa; 3) apa yang dialami oleh
pandangan Rao tidak jauh berbeda dengan rasa
hati atau batin; keadaan hati atau batin; 4) pertim-
dalam kehidupan manusia Jawa, yang dibagi menjadi
bangan pikiran (hati) mengenai baik-buruk, benar-
beberapa tingkatan, yaitu: 1) rasa pangrasa, yakni
salah dan sebagainya; pendapat; dan 5) kira-kira;
rasa badan wadag, seperti yang dihayati manusia
agaknya; rupa-rupanya; barang kali (Poewadarminta,
melalui indranya: rasa pedas, gatal, sakit, enak dan
1984). Pemahaman mengenai rasa ini berpedoman
lain-lain; 2) rasa rumangsa, yakni rasa éling, rasa
pada klasifikasi rasa dalam budaya Jawa, yaitu rasa
cipta, dan rasa grahita; 3) rasa sejati, yakni rasa
lahiriah dan rasa batiniah. Rasa lahiriah berhubungan
yang masih mengenal rasa yang merasakan, dan
dengan berbagai rasa yang berasal dari efek sentuhan
rasa yang dirasakan. Sudah manunggal, tetapi masih
badan dan pencecapan lidah manusia. Sedangkan
dapat disebut. Rasa damai, rasa bebas, rasa abadi,
rasa batiniah lebih erat dengan perasaan yang berada
termasuk dalam pilihan ini; 4) sejatining rasa, yakni
dalam hati dan pikiran manusia. Senada pandangan
rahsa, yang berarti hidup itu sendiri yang abadi
ini, Geertz (1973) menyatakan bahwa rasa dalam
(Hadiwijono, 1983).
budaya Jawa memiliki arti ganda, yaitu perasaan
193
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 2, Juni 2012
Baik Rao maupun Hadiwiyono memberikan
kesadaran praktis sampai perenungan estetik. Teori
penegasan bahwa rasa bertalian erat dengan
estetika yang muncul di India yang disebut rasa
penginderaan fisik, perasaan psikis, dan penghayatan
(bhâva) adalah suatu konsep estetik yang digunakan
mistik. Dalam hal ini, terutama jika dikaitkan dengan
oleh seniman. Dengan kata lain, rasa dilahirkan dari
budaya Jawa, rasa sering kali diimplementasikan
manunggalnya situasi yang ditampilkan bersamaan
menjadi bentuk etika, estetika, dan religi. Stange
dengan reaksi-reaksi dan keadaan batin para pelaku
(1984) menegaskan bahwa potensi khusus konsep
yang secara terus menerus berubah. Vatsyayan
rasa bersumber pada spektrum pengertian yang
(1971) mengungkapkan teori rasa memiliki dua
dikaitkan padanya. Karena rasa menghubungkan
aspek, yaitu: 1) raúavâstha dan sthâyibhâva
penginderaan fisik dari selera (pencicipan) dan
(suasa na-suasana hati y ang dominan); dan
sentuhan emosi, perasaan dari hati, dan penghayatan
2) vyabhicaribhâva (peralihan sebagai sarana
mistik terdalam dari pengertian yang hakiki. Orang
presentasi artistik). Aspek pertama menyangkut
Jawa telah memperpadukan pengertian rasa dari
pengalaman dan ekspresi artistik, sedangkan aspek
Sanskrit diasosiasikan dengan “rasa” (rasa lidah,
kedua menyangkut bahan yang digunakan oleh
aroma, saripati, kenikmatan, sentimen, kecenderung-
seniman. Raúavâstha adalah keadaan yang sengaja
an) dan rahasya (rahasia, misteri). Interpretasi Jawa
dihadirkan dan mengandung kenikmatan surgawi
mengandung penekanan yang berbeda dengan
transendental yang dapat dialami oleh para
bahasa Sanskritnya, yang di dalamnya rasa, terutama
penghayat seni, merupakan tujuan akhir dari semua
bersifat estetis dan bukan psikologis.
pengalaman dan pengungkapan artistik. Sedangkan
Rasa dalam ilmu keindahan budaya Jawa
sthâyibhâva berfungsi memberikan seniman suatu
diartikan sebagai berpadunya ide yang digiring oleh
cara khas untuk mengabstraksi dan mensemestakan
serangkaian pengertian akal, dengan penerimaan
karya seni.
indera yang dilontarkan oleh wujud, gerak, atau suara
Rasa dialami oleh orang yang memiliki kepekaan,
terpola yang melambangkan pengertian tertentu
timbul dari adanya pengaruh kuat sattva (bagian dari
(Sedyawati, 1981). Rasa merupakan konsep seni
jiwa seseorang yang tidak terlihat dan wujud dengan
yang terbukti bertahan sebagai konsep kunci. Melalui
sendirinya), campuran perasaan riang dan kesadaran
berbagai paparan analitis dinyatakan bahwa rasa
yang dalam, tak tersentuh oleh apa saja yang
merupakan sasaran akhir dari satu ungkapan seni.
nampak, dan menakjubkan. Rasa merupakan konsep
Berangkat dari pemaparan para penulis terdahulu
sophisticated mengenai respons terhadap karya seni.
tentang konsep sentral dalam kesenian seperti,
Inilah sebabnya rasa dapat dikatakan sebagai
Benamou, Kuntara Wiryamartana, Zoetmulder,
penjelmaan emosi yang disajikan dalam karya seni.
Kulkarini, Mason dan Patwardhan, dan Suvarnalata
Ke semb ilan perasaa n ut ama ( st hâyi bhâv a)
Rao menyatakan bahwa rasa merupakan sasaran
merupakan kecenderungan jiwa yang ada dalam diri
akhir dari sebuah ungkapan seni. Dalam hal ini
manusia yang merupakan bagian dari kodrat
Sedyawati (2007) menyimpulkan bahwa rasa adalah
manusia. Sthâyibhâva tetap tinggal sebagai perasaan
pengalaman penghayatan seni di mana kesiapan akal,
di dalam diri manusia dan tidak akan keluar kecuali
budi, dan emosi menyatu untuk mewujudkan
mendapatkan stimulus dari luar. Sthâyibhâva
penikmatan seni. Kunci tercapainya rasa adalah pada
merupakan keadaan jiwa kekal dan universal, setiap
hadirnya unsur ketepatan dan kepantasan dalam
orang mempunyai kemampuan terpendam untuk
suatu karya. Maka, yang harus dicermati ialah
menjelmakan rasa. Kesembilan sthâyibhâva ini saling
kepantasan suatu pola untuk mewakili suatu
mempengaruhi, namun hanya orang berbakat dan
pengertian, dan ketepatan pemakaian suatu pola
terlatih yang dapat menjelmakan rasa di dalam karya
untuk menggambarkan watak tertentu atau suasana
seni dan dapat merangsang timbulnya sthâyibhâva.
tertentu. Rasa itu dapat terungkap secara spontan
Bharata menjelaskan bahwa tidak ada kesan yang
ketika jiwa dalam keadaan hening dan seluruh ke-
timbul tanpa rasa (Hadi W.M, 1998). Rasa muncul
kuatan rasa terpusat (pameleng) (Sedyawati, 1981).
dari gabungan unsur bhava, yaitu: 1) vibhâva
Bharata (dalam Hartoko, 1984) menulis penger-
(penentu), keadaan atau situasi dan objek yang
tian mendalam tentang seluk beluk batin manusia
membangkitkan emosi; 2) anubhâva (kesan akibat),
dan gelombang-gelombang emosinya, mulai dari
ekspresi ra sa y ang dike hend aki hadi r; d an
194
Sunardi, Konsep Rasa dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa
3) vyabicharibhâva (keadaan jiwa pelengkap),
rasa merupakan orientasi estetik yang paling
keadaan mental yang bersifat sementara yang timbul
signifikan untuk memahami gending (musik Jawa).
sebagai penyerta dalam proses terbentuknya rasa.
Pengertian rasa dibedakan atas: 1) rasa sebagai
Apabila ketiga hal ini bergabung, maka munculah
kualitas; 2) rasa sebagai bakat; dan 3) rasa sebagai
sthâyibhâva (emosi dasar yang dominan dan
kemampuan persepsi. Sebagai kualitas, rasa di dalam
potensial ada pada diri manusia) yang berkembang
karawitan Jawa dianalogikan dengan persepsi rasa
menjadi rasa (Suka Yasa, 2000). Sankula (dalam
pada lidah, seperti: cemplang, langu, enak, empuk,
Hartoko, 1984) menegaskan bahwa raœa itu
renyah, manis, getir, pedas. Dalam karawitan, rasa
merupakan bayangan atau penggandaan keadaan
menunjuk per asaan dan mood khusus yang
batin yang diperoleh penonton dari pembawaan si
dinamakan dengan rasaning gending. Rasa sebagai
pelaku beserta gerak-geriknya, sebuah pengalaman
bakat, artinya bahwa bakat mengungkapkan rasa
estetik yang berada di luar bidang kebenaran dan
musikal secara tepat, tidak hanya tergantung rincian
ketidakbenaran. Rasa itu persepsi yang langsung, self
garap pada keseluruhan permainan instrumen, tetapi
evident, gamblang tidak perlu dibuktikan lagi. Karena
yang lebih utama adalah interpretasi yang sesuai
estetika adalah bukan suatu putusan (judgement),
dengan konteksnya. Rasa sebagai kemampuan
melainkan suatu gambar. Sementara itu, Mason dan
persepsi menunjuk pada kepekaan dalam men-
Patwardhan (1969) menambahkan bahwa hanya
dengarkan, merasakan, dan memahaminya melalui
penghayat yang peka (sahrdaya) yang mampu
intuisi. Dari pendapat tersebut dapat dimaklumi
mengalami kebahagiaan estetik. Penghayat yang
bahwa rasa merupakan sumber improvisasi dan
peka ini memiliki kemampuan untuk menurunkan
dasar evaluasi bagi seorang pengrawit dalam
kelemahan, bakat, ketakutan, hasrat diri, kepribadian,
penyajian gending-gending Jawa. Dalam penyajian
atau ego-nya yang dimiliki oleh mistik. Inilah yang
gending, rasa didudukkan sebagai landasan ekspresi
menjadikan dirinya mampu memiliki persepsi yang
untuk menghasilkan garap gending yang estetik. Rasa
jelas mengenai obyek seni. Peran penghayat yang
sangat terkait erat dengan teks dan konteks
peka ini mengalami penggabungan mistis dengan
penyajian gending. Dalam kaitan dengan teks, rasa
Tuhan melalui penikmatan terhadap keindahan seni,
bertalian dengan karakteristik gending, pitch, waktu,
dirinya memandang bahwa karya seni
dinamika, timbre, dan syair vokal. Secara konteks,
sebagai
ungkapan realita yang paripurna.
rasa berkorelasi dengan pengrawit, penghayat, dan
Bharata dalam Nâtyaúâstra, membagi rasa
konteks sosial. Benamou (1998) menyusun kategori
menjadi delapan macam yang berpedoman pada
rasa menjadi enam kelompok, yaitu: regu, sereng,
delapan emosi dasar (stâhyibhâva). Kedelapan rasa
sedhih, prenès, bérag, dan gecul.
yang dimaksud, yaitu: 1) úºògâra (asmara); 2)
Dalam risalah ini konsep rasa tidak merujuk dari
hâsya (komik); 3) karuòa (belas kasihan); 4) raudra
pendapat Benamou yang berjumlah enam kelompok
(ganas); 5) vîra (kepahlawanan); 6) bhayânaka
rasa maupun pendapat dalam Natyasastra yang
(khawatir); 7) bîbhatsa (ngeri); dan 8) adbhuta
berjumlah sembilan tetapi memodifikasi dari kedua
(takjub). Kedelapan rasa ini mengacu pada delapan
pendapat tersebut ke dalam empat rasa, yaitu rasa
emosi dasar, yaitu: 1) rati (cinta); 2) hâsa (humor);
regu, sedhih, greget, dan prenès. Regu memiliki
3) œoka (sedih); 4) krodha (marah); 5) utsâha
indikasi utama sebagai suasana serius, sedhih memiliki
(teguh); 6) bhaya (takut); 7) jugupsâ (muak); dan
nuansa utama sebagai suasana sedih, greget memiliki
8) vismaya (heran). Abhinavagupta menambahkan
indikasi utama sebagai suasana semangat; dan
satu rasa yaitu úantâ (damai) yang berpedoman
prenès lebih mengarah pada suasana lucu dan
pada emosi œama (tenang). Úantâ merupakan rasa
asmara. Keempat rasa ini didudukkan sebagai rasa
tertinggi yang mengatasi kedelapan rasa lainnya
dominan yang terjadi dalam pergelaran wayang.
(dalam Wirjamartana, 1990).
Rasionalitas penulis dalam pengelompokan rasa
Ahli lain, Benamou (1998) mengemukakan
ke dalam empat kelompok didasari oleh beberapa
konsep rasa dalam estetika karawitan Jawa. Dalam
pertimbangan. Pertama, enam kelompok rasa yang
hal ini, rasa dipergunakan sebagai kunci utama untuk
ditawarkan Benamou menurut penulis sesungguhnya
mem aham i ge nding-ge nding Ja wa. Deng an
dapat diringkas ke dalam empat kategori rasa ini,
pemaparan menarik, Benamou menjelaskan bahwa
yaitu rasa regu, sedhih, greget (yang merupakan
195
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 2, Juni 2012
penggabungan rasa sereng dan bérag), dan prenès
bléncong (lampu), kothak, cempala, keprak, gamelan,
(yang merupakan kombinasi antara rasa prenès dan
dan pengeras suara. Semua peralatan memiliki
gecul). Kedua, kategori rasa yang disajikan Bharata
kontribusi bagi terbentuknya estetika pertunjukan
dalam Natyasastra pun dapat diringkas ke dalam
wayang. Selain itu, estetika pertunjukan wayang juga
empat kategori, yaitu rasa regu (meliputi vira,
tidak terlepas dari respons penonton. Dalam hal ini,
adbhuta, dan santa), rasa sedhih (meliputi karuna
penonton menjadi orang yang meresapi setiap
dan bhayanaka), rasa greget (meliputi raudra dan
adegan yang disajikan dalang. Respons penonton
bibhatsa), dan rasa prenès (meliputi srnggara dan
dipergunakan sebagai indikasi mengenai berhasil
hasya).
tidaknya suatu pertunjukan wayang yang dilakukan
Keempat kesan rasa ini merupakan hasil
dalang.
kombinasi antara teknik dan ekspresi dalang dalam
Hal signifikan yang juga harus ada dalam
sajian pertunjukan wayang. Rasa dalam hal ini
pertunjukan wayang adalah unsur garap pakeliran
merupakan manifestasi dari ungkapan perasaan yang
yang merupakan bahan utama yang diramu oleh
diekspresikan dalang. Kesan rasa merupakan
dalang menjadi sebuah pertunjukan lakon wayang.
orientasi akhir dari komunikasi seni pedalangan
Unsur yang dimaksud yakni catur (bahasa), sabet
kepada publiknya. Dalang
(gerak), dan karawitan pakeliran (musik).
mengekspresikan rasa
tertentu dalam suasana adegan atau situasi batin
Bahasa da n sast ra ped alanga n menurut
tokoh pada pertunjukan wayang dengan sangat
Murtiyoso (1981/1982) memiliki kedudukan
menjiwa, hidup, dan berkarakter. Pencapaian kualitas
dominan dalam pertunjukan wayang, karena dalang
rasa tertentu menunjukkan kekuatan dalang dalam
mengekspresikan tokoh, suasana hati, dan peristiwa
menjiwakan pertunjukan wayang. Rasa greget dapat
dalam lakon wayang melalui wacana yang dinamakan
diungkapkan dengan menjiwa, hidup, atau krasa,
catur. Ini artinya, catur di dalam pertunjukan wayang
begitu pula rasa regu, prenès, dan sedhih.
dimaknai sebagai semua wujud bahasa yang
Dengan demikian, kesan rasa dapat dihasilkan
diucapkan dalang dalam pertunjukan wayang. Catur
dari akumulasi pemilihan materi, teknik menyajikan,
pada umumnya diucapkan dalang ke dalam bentuk
dan luapan ekspresi dalang. Kesan rasa muncul dari
narasi dan dialog wayang. Narasi memiliki istilah
berbagai unsur garap pakeliran, seperti catur (bahasa
khusus, yaitu: janturan dan pocapan, sedangkan
pedalangan), sabet (gerak wayang), dan karawitan
dialog merupakan ginem tokoh wayang. Janturan
pakeliran (musik). Tiap-tiap unsur garap pakeliran
merupakan pencandraan peristiwa dalam lakon
dapat memunculkan kesan rasa regu, sedhih, greget,
wayang yang dilakukan dalang dengan diiringi alunan
dan prenès. Masing-masing rasa memiliki sub rasa
musik secara lirih, sedangkan pocapan pencandraan
yang merupakan pengejawantahan dari keempat
dari dalang tanpa iringan musik gamelan. Adapun
rasa utama tersebut.
ginem berarti percakapan antara tokoh wayang yang dilakukan dalang.
Unsur-unsur Pertunjukan Wayang Kulit Purwa
Seni pertunjukan wayang, selain menampilkan
Pertunjukan wayang kulit purwa dibentuk oleh unsur-
aspek bahasa dan sastra pedalangan secara auditif,
unsur penting seperti dalang, kelompok karawitan,
juga didukung oleh kehadiran gerak wayang secara
peralatan, serta penonton. Dalang merupakan unsur
visual. Keseluruhan penampilan dan gerak boneka
sentral dalam pertunjukan wayang. Keberhasilan
wayang
dalang karena dukungan dari kelompok karawitan
suasana hati, dan peristiwa yang terjadi dalam
dan peralatan pertunjukan. Kelompok karawitan
pertunjukan wayang dinamakan sabet. Penampilan
terdi ri dari a tas pengra wit, pesindhèn, d an
dan gerak wayang meliputi cara memegang boneka
penggérong. Pengrawit bertugas memainkan
way ang (cep enga n), penyusunan kom posi si
instrumen gamelan. Pesindhèn bertugas menyajikan
pencaca kan bone ka w ayang pa da g edeb og
vokal perempuan dalam alunan gending ataupun
(tancepan), gerak-gerik boneka wayang (solah), cara
tembang, dan penggérong bertugas menyajikan
menampilkan boneka wayang di kelir (penampilan),
vokal laki-laki. Untuk menyajikan pertunjukan
dan cara menggerakkan boneka wayang ke luar dari
wayang juga diperlukan kehadiran peralatan
kelir (entas-entasan) (Sumanto, 2007).
penunjang seperti boneka wayang, kelir (layar),
196
yang
dilakukan dalang
sesuai tokoh,
Sunardi, Konsep Rasa dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa
Adapun karawitan pakeliran merupakan salah
suasana; dan 5) karawitan pakeliran bersifat
satu unsur yang memiliki kedudukan sebagai
khidmat, berbentuk gending dengan irama agung;
pendukung atau penguat bagi unsur catur dan sabet
sulukan jenis pathetan; dhodhogan-keprakan pelan,
wayang. Karawitan pakeliran merupakan bunyi vokal
mantap dan terkesan agung.
dan instrumental yang disajikan pada pertunjukan
Rasa sedhih dapat diindikasikan pada: 1) adegan
way ang, mencakup sul ukan, ge nding, d an
yang ditampilkan bersifat formal (kerajaan, kahyang-
dhodhogan-keprakan. Sulukan merupakan lagu vokal
an) ataupun nonformal (pertapan, pesanggrahan,
yang dilantunkan dalang dalam pertunjukan wayang
perjalanan, dan sebagainya), memiliki kesan tlutur,
untuk mendukung suasana tertentu (Murtiyoso dkk,
èmeng, susah, kasmaran, rindu, nges, tistis,
2004). Gending merupakan musik instrumental yang
sederhana, tentrem, khidmat, terharu, memelas,
dibawakan kelompok karawitan untuk mendukung
atau ngeres; 2) narasi janturan atau pocapan bernada
pertunjukan wayang. Adapun dhodhogan-keprakan
sedang dengan lagu cenderung naik turun, irama
adalah bunyi instrumental dari cempala dan keprak
pelan berkesan sedih, menggunakan pilihan kata yang
unt uk m endukung sua sana ter tent u da lam
mendukung suasana adegan sedih; 3) dialog tokoh
pertunjukan wayang. Sulukan dan dhodhogan-
wayang bersifat sedih, diucapkan dengan tersendat-
keprakan secara langsung diekspresikan dalang,
sendat bernada sedih dengan menggunakan pilihan
adapun gending merupakan ekspresi musikal dari
kata yang mendukung suasana sedih; 4) gerak
kelompok karawitan.
wayang bersifat sedih, gerak dan tancepan cenderung
Unsur garap pakeliran ini diekspresikan dalang
menunduk, tidak banyak gerakan. Tanda kesedihan
untuk menciptakan kesan estetik seperti rasa regu,
tokoh wayang putra dengan posisi tangan depan
sedhih, greget, dan prenes. Berbagai kesan rasa
disampirkan pada pinggang belakang; sedangkan
estetik ini terungkap berdasarkan peristiwa adegan
tok oh w ayang putri de ngan posisi tang an
dan suasana hati tokoh wayang dalam suatu lakon
disampirkan pada pundak belakang; dan 5) karawitan
tertentu. Dengan unsur garap pakeliran, seorang
pakeliran bersifat sedih, berbentuk gending, dengan
dalang menyusun satu lakon wayang dalam
irama tlutur; sulukan jenis sendhon; dhodhogan-
pergelaran yang mendasarkan pada konsep rasa
keprakan pelan, terkesan sedih.
estetik. Ini menunjukkan bahwa konsep rasa
Rasa greget dapat diindikasikan pada: 1) adegan
dijadikan acuan utama dalam mengekspresikan
yang ditampilkan bersifat formal (kerajaan,
unsur garap pakeliran menjadi lakon wayang.
kahy angan) ataupun nonf ormal ( pertap aan, pesanggrahan, perjalanan, dan sebagainya), memiliki
Rasa dalam Pertunjukan Wayang
kesan tegang, kasar, marah, nafsu, menakutkan,
Rasa regu, sedhih, greget, dan prenes hadir dalam
wibawa, gagah, polos, kaku, sereng, bérag, senang,
setiap pertunjukan wayang. Di sini, dalang meng-
sedih, ringan, umum, renyah, enak, bregas, prenès,
ekspresikan rasa sesuai dengan peristiwa adegan dan
rongèh, sigrak, lanyapan, semangat, ramé, atau
suasana batin tokoh wayang dalam lakon wayang.
gecul; 2) narasi janturan atau pocapan bernada
Rasa regu dapat diindikasikan pada: 1) adegan
sedang, dengan lagu cenderung naik turun, irama
yang ditampilkan bersifat formal (kerajaan,
cepat berkesan greget, menggunakan pilihan kata
kahyang an) a taup un non formal (pe rtap an,
yang mendukung suasana adegan greget, kata yang
pesanggrahan, perjalanan, dan sebagainya), memiliki
dipilih bersifat puitis atau lugas dengan struktur kalimat
kesan serius, agung, gagah, lugu, tenang, mendalam,
pendek; 3) dialog tokoh wayang bersifat lantang,
berat, khidmat, klasik ataupun wingit; 2) narasi
keras, ataupun menegangkan, diucapkan dengan
janturan atau pocapan bernada sedang, dengan lagu
menggeb u-ge bu b erna da semangat deng an
cenderung mendatar, irama pelan berkesan mantap,
menggunakan pilihan kata yang mendukung suasana
menggunakan pilihan kata yang mendukung suasana
greget dengan ritme suara cepat; 4) gerak wayang
adegan serius; 3) dialog tokoh wayang bersifat serius
bersifat mantap, lincah, beringas, kasar, tergesa-
dengan menggunakan bahasa resmi dan pilihan kata
gesa, tancepan cenderung menengadah, dengan
yang mendukung suasana serius; 4) gerak wayang
banyak gerakan. Tanda untuk tokoh wayang putra
bersifat serius, mantap, secukupnya dengan ragam
dengan posisi tangan perkacak pinggang, ataupun
gerak yang menggambarkan keagungan tokoh dan
tangan digetarkan sebagai tanda semangat; dan
197
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 2, Juni 2012
(5) karawitan pakeliran bersifat tegang, berbentuk
kebahagiaan dengan menangkap gejala rasa estetik
gending dengan irama greget; sulukan jenis ada-ada;
yang diekspresikan dalang. Sesuatu yang tak
dhodhogan-keprakan keras, diulang-ulang.
terdefisinikan inilah yang dapat meningkatkan derajat
Rasa prenès dapat diindikasikan pada: 1) adegan
kemanusiaan penonton wayang. Mereka men-
yang ditampilkan bersifat non formal dengan setting
dapatkan pemurnian kejiwaan karena ekspresi estetik
tempat di mana saja, memiliki kesan sem, ènthèng,
yang dibawakan dalang.
gembira, gecul, asmara, trenyuh, menggoda,
Rasa regu, sedhih, greget, dan prenès dapat hadir
kemayu, bebas, ramé, rongèh, sigrak, mbranyak,
sebagai rasa dominan di dalam pertunjukan wayang
renyah, popular, seger, bérag, gembira, sigrak,
pur wa. Ar tinya, bahwa rasa terse but da pat
ngglécé, atau lucu; 2) narasi janturan atau pocapan
representatif menggambarkan kesan estetik pada
bernada sedang, dengan lagu cenderung naik turun,
suatu adegan dalam lakon wayang. Pada jejer
irama sedang berkesan mantap, menggunakan
kerajaan, rasa regu dihadirkan secara dominan,
pilihan kata yang mendukung suasana adegan
sedangkan rasa yang lain menjadi rasa tambahan
prenès, kata yang dipilih bersifat lugas dengan
atau pelengkap. Pada adegan mengenai kesedihan
struktur kalimat pendek; 3) dialog tokoh wayang
tokoh wayang, rasa sedhih mendominasi kese-
bersifat lucu, diucapkan dengan santai, tidak serius
luruhan adegan, adapun rasa yang lainnya dihadirkan
dengan menggunakan pilihan kata yang mendukung
sebagai penyeimbang dan pelengkap dalam adegan.
suasana prenès; 4) gerak wayang bersifat lucu,
Dalam adegan perang, greget lebih mendominasi
lincah, dan santai, dengan vokabuler gerak lucu; dan
keselurahan kesan rasa estetik, dan berbagai rasa
5) karawitan pakeliran bersifat bebas, dapat
yang lain muncul sebagai akibat atau penyerta dari
berbentuk gending dengan irama greget, biasanya
dominan. Pada adegan percintaan, rasa prenès
disertai tembang.
mewarnai keseluruhan nuansa estetiknya, sedangkan
Berbagai rasa estetik yang diekspresikan dalang dalam pertunjukan wayang direspons penonton
berbagai rasa yang lain memberikan penguatan dan pelengkap dari adegan tersebut.
sebagai pengalaman estetik mereka. Apabila
Pada pertunjukan wayang purwa, rasa seringkali
penonton memiliki bekal dan kepekaan tinggi dalam
mewujud secara berpasangan, sehingga membentuk
merespons rasa estetik, maka dirinya dapat
kesatuan adegan atau suasana hati tokoh wayang.
menemukan kepuasan batin yang luar biasa hingga
Di sini, rasa hadir secara bergantian dan masing-
mencapai katarsis. Di sini, katarsis merupakan
masing memiliki peran saling melengkapi. Mengenai
tingkatan penghayatan tertinggi yang dapat dicapai
hal ini, dapat dicontohkan beberapa adegan dalam
oleh penonton. Aspek rasa menjadi dasar utama dari
lakon wayang, seperti: adegan jejer kerajaan;
terjadinya situasi katarsis. Ketika rasa estetik yang
adegan peperangan; adegan tokoh wayang jatuh
diekspresikan dalang berpadu dengan kepekaan rasa
cinta; adegan sanga sepisan (pertapaan); adegan
estetik yang dimiliki penonton, maka peristiwa
tokoh berpamitan maju perang; adegan pertemuan
katarsis terjadi. Menurut Warder (1972) bahwa di
Bima dengan Dewa Ruci, dan sebagainya.
dalam rasa terjadi sublimasi emosi dari tataran
Pada jejer kerajaan, digambarkan peristiwa
psikologis ke tahap estetik. Pada proses ini, emosi
keagungan yang tercermin melalui pencandraan
ind ivid ual ditr ansf orma sika n me njad i ra sa,
kebesaran raja dan negaranya, ataupun etika dan
pengalaman estetik nonindividual, universal,
suasana persidangan. Setelah terjadi pembicaraan
menembus ruang dan waktu, serta dalam keadaan
antara raja dan para penggawanya, muncul persoalan
partikular. Di sini, individu lupa akan dirinya, serta
penting yang seringkali merubah suasana hati raja
mencapai titik pandang universal yang membawa
menjadi ragu ataupun sedih. Hal ini dapat diamati
kebahagiaan tertinggi.
pada berbagai lakon wayang yang dipergelarkan
Di dalam penghayatan pertunjukan wayang,
dalang.
sering kali penonton terhanyut dalam permainan
Adegan peperangan melukiskan peristiwa
dalang. Proses ahanyutan inilah yang kemudian
perkelahian antara tokoh wayang. Ada dua peristiwa
membuka ego penonton untuk menerima nuansa
yang dominan, yaitu kemenangan tokoh wayang
rasa estetik yang universal. Mereka merasa
yang satu dan kekalahan tokoh wayang lainnya.
mendapatkan sesuatu yang berdampak pada
Perang digambarkan sebagai kondisi yang hiruk pikuk,
198
Sunardi, Konsep Rasa dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa
semangat, dendam, dan keberanian. Pada tokoh
Berbagai contoh kasus pada adegan-adegan
wayang yang menang memunculkan rasa senang,
dalam lakon wayang di atas menunjukkan bahwa
gembira, dan semangat, akan tetapi tokoh yang
rasa estetik dapat hadir secara bergantian yang
mengalami kekalahan menderita kesedihan, bahkan
menjadikan kesatuan nuansa estetik pada lakon
kematian. Dalam lakon wayang peperangan ditunjuk-
wayang. Selain itu, dalam pertunjukan wayang
kan melalui adegan perang gagal, perang kembang,
ditemukan kehadiran rasa regu, sedhih, greget,
perang inti lakon ataupun perang amuk-amukan.
prenès secara berkesinambungan. Rasa hadir secara
Dalam lakon wayang, seringkali muncul suatu
bergantian untuk membentuk suasana adegan yang
adegan tentang tokoh wayang yang sedang jatuh
ditampilkan dalang. Untuk menunjukkan hadirnya
cinta. Umumnya adegan ini dinyatakan sebagai
berbagai rasa estetik dapat dicontohkan dari adegan
adegan gandrungan, yaitu keinginan tokoh wayang
jejer dan adegan ksatria menghadap pendeta,
untuk mempersunting tokoh lainnya. Suasana hati
ataupun adegan peperangan dalam lakon wayang.
pada tokoh wayang jatuh cinta adalah gandrung dan
Adegan jejer, secara keseluruhan menghadirkan
semangat tinggi untuk memiliki pujaan hatinya.
berbagai peristiwa, yaitu: 1) suasana agung pada
Antara asmara dan senang mewarnai suasana hati
penggambaran kebesaran raja dan negaranya yang
tokoh wayang yang sedang jatuh cinta. Suasana ini
dapat diketahui dari janturan jejer; gambaran
dilukiskan dalang pada adegan denawa gandrung,
persidangan agung yang khidmat yang diketahui dari
Gathutkaca gandrung, Burisrawa gandrung, dan
komposisi tancepan, sabetan, gending, sulukan jenis
sebagainya.
pathetan, dan ginem; 2) suasana ragu atau
Pada adegan sanga sepisan, yaitu ketika seorang ksatria menghadap pendeta untuk minta petunjuk, mengandung suasana yang agung. Kekhidmatan suasana padepokan dan kharisma sang pendeta mendominasi kesan estetik pada adegan ini. Pada umumnya, adegan ksatria menghadap pendeta diikuti Panakawan yang memberikan nuansa lucu. Banyolan para abdi dari ksatria ini memunculkan suasana segar dan menggelikan. Artinya, suasana agung dan segar menyatu dalam keseluruhan adegan pendeta dan ksatria. Pertunjukan wayang lakon dengan tema perang besar, di dalamnya memunculkan adegan-adegan ketika senapati akan maju perang, seperti: Kumbakarna berpamitan kepada isterinya untuk maju perang; Karna pamit kepada Surtikanthi untuk menuju medan perang; dan sebagainya. Pada
kesedihan pada diri sang raja ketika mendapatkan persoalan, yang diketahui dari sulukan jenis sendhon dan ginem wayang; 3) suasana senang atau bersemangat karena raja mendapatkan jalan untuk mengatasi masalah yang ditunjukkan pada ginem bersemangat, sulukan jenis ada-ada; dan 4) suasana meriah atau gembira pada saat terjadi lelucon sebagai selingan suasana tegang, yang diketahui dari ginem tokoh wayang. Sejajar dengan jejer, pada adegan sanga sepisan yang melukiskan ksatria menghadap pendeta mengandung berbagai suasana yang secara mengalir menjadi satu kesatuan adegan, yaitu: 1) suasana agung yang dilukiskan melalui pencandraan padepokan dan kharisma pendeta, didukung sulukan jenis pethetan, gending, dan dialog pendeta;
peristiwa ini dilukiskan suasana mesra antara tokoh
2) suasana sedih pada diri ksatria karena keinginan
wayang dan suasana sedih karena perpisahan. Antara
untuk menemukan orang tuanya, dilukiskan dengan
mesra dan kesedihan menjadi kesatuan suasana
sulukan sendhon tlutur dan ginem kesedihan ksatria;
yang dibangun dari adegan-adegan tersebut.
3) suasana senang, ketika ksatria memperoleh
Suasana senang dan takjub pada tokoh wayang
petunjuk dari pendeta mengenai orang tuanya,
diperlihatkan dalang melalui adegan dalam lakon
tercermin pada ginem pendeta dan ksatria serta
wayang. Misalnya, pada adegan perjumpaan Bima
sulukan jenis ada-ada; 4) suasana lucu yang muncul
dengan Dewa Ruci, dilukiskan semangat diri Bima
dari banyolan para Punakawan yang menyertai
mencari air kehidupan dengan menceburkan diri ke
ksatria dalam menghadap pendeta, dilukiskan melalui
dalam samudra. Setelah melalui berbagai godaan
ginem Punakawan, dan gerak geriknya.
akhirnya Bima menemukan Dewa Ruci dengan
Pada adegan peperangan, seperti: perang inti
perasaan takjub. Kondisi kejiwaan Bima yang semula
lakon, ditemukan berbagai suasana yang memiliki
senang dan bersemangat menjadi takjub dan heran
pertalian dalam membentuk kesatuan adegan
karena dapat menemukan apa yang dicarinya.
tersebut. Sebagai contoh, perang inti lakon ketika
199
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 2, Juni 2012
Bisma gugur di medan laga. Di sini terdapat beberapa
ini menurut Zimmer (2003) alam semesta dibangun
rasa yang saling terkait, yaitu: 1) suasana tegang,
di atas landasan dikotomi yang tidak terpecahkan
bersemangat pada waktu Bisma memasuki medan
antara purusa (sel kehidupan) dan prakreti (materi
perang dan mampu mengalahkan para senapati.
tak bernyawa). Oposisi biner menurut Ahimsa-Putra
Suasana ini dilukiskan melalui gerakan peperangan,
(2001) memiliki dua pengertian. Pertama, oposisi
sulukan jenis ada-ada, ginem menegangkan, ataupun
biner yang bersifat eksklusif, misalnya pada kategori
gending yang mengiringi; 2) suasana kesedihan,
menikah dan tidak menikah. Pengertian kedua adalah
terjadi ketika Bisma terbunuh oleh Srikandi. Suasana
oposisi biner yang tidak eksklusif yang ditemukan
ini diketahui dari ginem tokoh sedih, gerak wayang
dalam berbagai macam kebudayaan, misalnya
dan komposisi tancepan, gending kesedihan, dan
oposisi air-api, gagak-elang, siang-malam, matahari-
sulukan jenis ada-ada tlutur; 3) suasana agung dan
bulan dan sebagainya. Pola oposisi berpasangan pada
khidmat dihadirkan ketika terjadi penghormatan
rasa dalam pertunjukan wayang dapat diperlihatkan
terhadap arwah Bisma. Hal ini dilukiskan melalui
pada Diagram 1.
gending regu ataupun ginem tokoh; dan 4) suasana
Merujuk pada berbagai contoh adegan-adegan
menggelitik yang muncul dari perilaku Punakawan
dalam lakon wayang yang dipaparkan sebelumnya,
yang ikut memberikan penghormatan kepada Bisma.
pola oposisi berpasangan paling signifikan dapat
Ginem dan gerak gerik Punakawan memunculkan
diperlihatkan pada gambaran rasa regu – prenès dan
lelucon yang menggelitik.
rasa greget – sedhih. Di sini, regu berlawanan dan berpasangan dengan prenès; adapun greget
Pola Rasa Estetik dalam Pertunjukan Wayang
berpasangan dan berlawanan dengan sedhih. Dengan
Berdasarkan contoh-contoh adegan di atas, rasa
demikian, ada dua oposisi berpasanganan yang
estetik dapat diterangkan dalam dua pola penting,
memiliki makna mendalam.
yaitu: 1) pola oposisi berpasangan; dan 2) pola siklus.
Pertama, rasa regu yang berlawanan dan
Pada pola pertama, terdapat rasa estetik yang saling
berpasangan dengan rasa prenès. Regu dan prenès
berlawanan dan berpasangan, seperti: regu - prenès;
menunjukkan dimensi rasa estetik yang bermakna
prenès - sedhih; sedhih – greget; greget – regu;
serius yang disandingkan dengan rasa guyon. Serius
regu – sedhih; dan prenès – greget. Pola kedua,
memiliki indikasi peristiwa formal, tertata, dan
yakni siklus memperlihatkan adanya empat rasa
khidmat, sedangkan guyon ditandai dengan peristiwa
dominan yang saling melengkapi satu sama lain. Rasa
santai, improvisasi, dan bercanda. Kedua rasa ini ada
regu meningkat menjadi rasa sedhih, kemudian
dalam satu ikatan, sehingga menjadikan nuansa rasa
berlanjut pada rasa greget yang meningkat menjadi
yang saling berlawanan dan berpasangan. Rasa serius
rasa prenès atau sebaliknya.
yang berlebihan berimplikasi pada terjadinya suasana
Pol a oposisi berp asang an. Pola oposi si
tegang dan kaku, sehingga dibutuhkan rasa guyon
berpasangan (oposisi biner) merupakan kategori
yang memiliki implikasi pada terjadinya suasana cair
dalam alam pikiran manusia yang membagi segala
dan lentur. Sebaliknya rasa guyon yang berlebihan
sesuatu dalam sistem pembagian atas dua. Pada
akan dapat terkendali oleh hadirnya rasa serius. Jadi
alam pikiran Timur, terdapat konsep filsafat samkhya
regu dan prenès menjadi satu kesatuan nuansa rasa
dengan faham duaita, yakni sistem ganda. Dalam
yang saling berlawanan (kontradiksi) dan ber-
filsafat agama Jawa kuno, konsep duaita dinamakan
pasangan (saling membutuhkan).
rwa bhineda atau dua hal yang dibedakan. Konsep
Regu
Prenès
Greget
Sedhih
Diagram 1. Pola Oposisi Berpasangan pada Rasa Estetika Pertunjukan Wayang (Sunardi, 2012)
200
Sunardi, Konsep Rasa dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa
Kedua, pola oposisi berpasangan antara rasa
Pola siklus. Rasa memiliki pola siklus, yakni pola
sedhih dengan rasa greget. Sedhih menunjukkan
melingkar dari nuansa rasa yang satu menuju nuansa
dimensi rasa sedih, sedangkan greget berhubungan
rasa lain dan akan kembali pada nuansa rasa awal.
dengan nuansa rasa semangat. Pada rasa sedhih
Lingkaran rasa ini berorientasi pada inti lingkaran.
memiliki indikasi peristiwa kesedihan, putus asa, dan
Dalam estetika pedalangan, nuksma dan mungguh
tangisan, sedangkan greget diindikasikan dengan
menempati inti lingkaran yang membawahi berbagai
peristiwa kegembiraan, semangat, dan sorak-sorai.
rasa yang ada di luarnya, yakni rasa regu, prenès,
Rasa greget memiliki implikasi pada terjadinya nafsu,
sedhih, dan greget. Pada pergelaran wayang, nuansa
sedangkan kesedihan lebih mengarah pada peristiwa
rasa ini memiliki gerakan secara melingkar yang
putus asa. Kehadiran rasa greget dalam berbagai
terimplementasi pada peristiwa adegan ataupun
peristiwa dapat dikendalikan oleh adanya nuansa rasa
situasi batin tokoh wayang. Pola siklus dalam hal ini
sedhih, demikian pula rasa sedhih yang berkepan-
memiliki kesamaan dengan pola pangider ataupun
jangan akan dapat dikendalikan oleh rasa greget.
pola kéblat papat lima pancer. Pola siklus pada rasa
Dalam hal ini ada pasangan rasa, yakni antara nafsu
estetik dapat dilihat Diagram 2.
dan iba atau putus asa dan semangat. Oposisi berpasangan dalam rasa dapat di-
Regu
implementasikan pada peristiwa adegan ataupun situasi batin tokoh dalam lakon wayang. Rasa regu dalam adegan kerajaan dihadirkan dengan diselingi nuansa rasa humor pada pembicaraan tokoh wayang. Hal ini juga dapat dilihat pada adegan pendeta
hadirnya nuansa rasa prenès dari pembicaraan Panakawan. Ini berarti rasa regu dan rasa prenès
Rasa
Sedhih
nuansa rasa regu, seringkali diimbangi dengan
Prenès
ketika memberikan petuah kepasa ksatria dengan
Estetik
dihadirkan secara bergantian untuk mewujudkan keseimbangan nuansa estetik dalam lakon wayang. Rasa regu membutuhkan kehadiran rasa prenès, begitu pula sebaliknya rasa prenès dapat dikendalikan dengan rasa regu menuju harmonisasi rasa. Di sini,
Greget
dalang menghadirkan p ola-pola rasa secara berpasangan, seperti: formal-informal, serius-guyon, beku-cair, dan sebagainya.
Diagram 2. Pola Siklus pada Rasa Estetika Pertunjukan Wayang (Sunardi, 2012)
Rasa greget dan rasa sedhih menjadi kesatuan rasa yang saling berpasangan dan berlawanan pada
Dalam diagram 2 tersebut pola siklus, rasa
peristiwa adegan ataupun situasi batin tokoh wayang.
bergerak dalam dua kategori, yakni daksinayana
Pada adegan perang, munculnya rasa greget sering-
(searah jarum jam) dan utarayana (berlawanan
kali diimbangi dengan rasa sedhih. Pada tokoh yang
jarum jam). Pola siklus pertama (daksinayana)
menang, rasa senang dan kegembiraan muncul,
menunjukkan adanya proses murti (menjadi), yaitu
sedang pada tokoh yang kalah muncul rasa sedhih
dari lembut menjadi keras atau dari halus menjadi
dan menderita. Puncak dari rasa greget, yakni
kasar. Gerakan murti menurut Suka Yasa bersifat
munculnya nafsu yang dapat dikendalikan dengan
sentripugal. Berdasarkan siklus ini, rasa bergerak dari
timbulnya rasa iba. Ini berarti bahwa rasa greget dan
regu menjadi sedhih, sedhih menjadi greget, greget
rasa sedhih hadir secara harmonis dalam suatu
menjadi prenès, dan prenès menjadi regu. Pola siklus
peristiwa ataupun situasi batin tokoh wayang. Rasa
kedua (utarayana) menunjuk pola kebalikan, yakni
semangat-putus asa, kejam-kasihan, gembira-sedih,
adanya proses somya (kembali/ruwat). Sedangkan
dan semacamnya mewarnai dinamika rasa dalam
gerakan somya juga masih menurut Suka Yasa
lakon wayang.
(2006) bersifat sentripetal. Rasa bergerak dari kasar tersublimasi menjadi halus, keras menjadi lembut
201
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 2, Juni 2012
(Suka Yasa, 2006). Siklus ini memberikan pemaham-
sedhih ketika Bisma gugur dalam pertempuran. Rasa
an bahwa rasa bergerak dari rasa greget menjadi
sedhih beralih kepada rasa regu karena peristiwa
sedhih, sedhih menjadi regu, regu menjadi prenès,
penghormatan arwah secara khidmat, selanjutnya
dan prenès menjadi greget.
rasa regu menjadi rasa prenès akibat pembicaraan
Pergerakan rasa dalam lakon wayang sangat
dan perilaku Punakawan. Pergerakan rasa secara
ditentukan oleh peristiwa ataupun situasi batin tokoh
siklus pada peristiwa Bisma gugur cenderung
yang dihadirkan. Dalam pola siklus, adegan jejer yang
melemah, yaitu: rasa greget – sedhih – regu – prenès
berisi peristiwa persidangan di kerajaan dimulai dari
- dan seterusnya.
nuansa rasa regu yang menggambarkan kewibawaan raja dan khidmatnya persidangan, bergerak menjadi
Simpulan dan Saran
rasa sedhih, di mana konflik mulai mengemuka, baik
Simpulan
konflik yang terindra maupun konflik batin sang raja
Konsep rasa menjadi kunci utama untuk memahami
atau tokoh yang hadir. Pada puncaknya, rasa sedhih
pertunjukan wayang. Rasa didudukkan sebagai intisari
menjelma menjadi rasa greget, ketika keputusan
dari ekspresi estetik dalam pertunjukan wayang.
dapat diambil dengan tegas. Dalam hal ini akan ada
Konsep rasa bermanfaat bagi da lang dalam
tindakan yang mengharuskan semangat dari raja dan
mengekspresikan pertunjukan wayang. Pemahaman
para penggawa. Rasa greget ini diselingi dengan
mengenai konsep rasa memberikan kekuatan dalang
hadirnya rasa prenès untuk mengimbangi ketegang-
untuk menyajikan lakon wayang yang estetik. Selain
an. Perputaran rasa pada adegan jejer mengikuti
itu, konsep rasa dapat dijadikan landasan bagi
kategori pertama, yaitu daksinayana. Hal demikian
penonton untuk menghayati pertunjukan wayang.
juga berlaku pada adegan sanga sepisan, yang
Semakin tinggi pemahaman mereka terhadap konsep
bermula dari rasa regu karena kharisma pendeta dan
rasa, semakin kuat sensibilitasnya dalam merespons
suasana pertapaan, bergerak menjadi rasa sedhih
pertunjukan wayang. Konsep rasa juga memberikan
karena suasana hati ksatria. Pergerakan rasa sedhih
petunjuk mengenai kualitas estetik dari pertunjukan
berlanjut menjadi rasa greget karena ksatria
wayang. Keberhasilan implementasi rasa dalam
memperoleh petunjuk dari pendeta. Selanjutnya, rasa
pertunjukan wayang memberikan rangsangan estetik
greget diselingi rasa prenès dari pembicaraan dan
bagi penonton untuk mencapai katarsis bagi mereka.
tingkah laku Panakawan. Adegan jejer dan adegan
Pertunjukan wayang yang memiliki rasa berarti hidup
sanga sepisan menunjukkan pergerakan rasa secara
dan menjiwai.
siklus pada kategori daksinayana. Di sini diperlihatkan pergerakan rasa regu – sedhih – greget – prenès –
Saran
dan seterusnya.
Di dalam mempertunjukkan wayang, seyogyanya
Pergerakan rasa pada kategori utarayana diper-
para dalang memahami konsep rasa agar sajian
lihatkan pada contoh kasus adegan perang inti lakon
wayang berkualitas. Selain itu, para penonton wayang
ketika Bisma gugur di medan laga. Pergerakan
sebaiknya juga memahami konsep rasa agar dalam
bermula dari rasa greget karena semangat Bisma
melakukan penilaian pertunjukan wayang dapat
dalam berperang, kemudian beralih menjadi rasa
proporsional dan profesional.
Pustaka Acuan Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press. Anderson, Benedict R O’G. 2000. Mythology and The Tolerance of The Javanese. Terjemahan Ruslani. Yogyakarta: Qalam. Benamou, Marc. 1998. Rasa in Javanese Musical Aesthetics. USA: UMI. Brandon, James R. 1967. Theatre in Southeast Asia. Cambridge, Messachussetts:Havard University Press. Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Culture. New York: Basic Book Inc. Hadi W M, Abdul. 1998. Teori Rasa, Azas Kritikan India, dalam Seni. VI/2-Nopember 1998. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta. Hadiwijono, Harun. 1983. Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
202
Sunardi, Konsep Rasa dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa
Hartoko, Dick. 1984. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius. Haryono, Timbul. 2008. Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni. Surakarta: ISI Pres Solo. Malik Vatsyayan, Kapila. 1971. Aesthetic Theories Underlying Asian Perfoming Arts. dalam J.R. Brandon (ed) The Performing Arts in Asia. Unesco Press. Mangkunegoro VII, K.G.P.A.A. 1933. On the Wayang Kulit (Purwa) and Its Symbolic and Mystical Elements. Terjemahan Claire Holt Original Text published in Jawa. Vol. XIII. Mason, J.L. dan M.V. Patwardhan. Santarasa and Abhnavagupta’s Philosophy of Aesthetics. Poona: Bhandarkar Oriental Research Institute, 1969. Murtiyoso, Bambang. 1981/1982. Pengetahuan Pedalangan. Surakarta: Akademi Seni Karawitan Indonesia, Proyek Pengembangan IKI. Murtiyoso, Bambang, Waridi, Suyanto, Kuwato, dan Harijadi Tri Putranto. 2004. Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta: Etnika. Poewadarminta, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Rao, Suvarnalata. 2000. Acoustical Perspective on Raga-Rasa Theory. New Delhi: Munshiram Manohartal Publishers Pvt. Ltd. Sedyawati, Edi. 2007. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan. Stange, Paul. 1984. The Logic of Rasa in Java. Ithaca: Cornell Southeast Asia Program. Suka Yasa, I Wayan. 2006. Teori Rasa: Memahami Taksu, Ekspresi, dan Metodenya. Denpasar: Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia Denpasar bekerjasama Widya Dharma Denpasar. Sumanto. 2007. Dasar-dasar Garap Pakeliran dalam Bambang Murtiyoso, Sumanto, Suyanto, Kuwato. Teori Pedalangan Bunga Rampai Elemen-elemen Dasar Pakeliran. Surakarta: ISI Surakarta dan CV Saka Production. Warder, A.K. 1972. Indian Kavya Literature. Vol I: Literary Criticism. Delhi, Patna, Paranasi: Motilal Banarsidass. Wiryamartana, I Kuntara. 1990. Arjunawiwaha Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana Press. Zimmer, Heinrich. 2003. Sejarah Filsafat India. Terjemahan Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
203