HARRY D. FAUZI
MENGENAL TRADISI PERTUNJUKAN WAYANG Bahan Apresiasi bagi yang Ingin Mengenal Tradisi Wayang
1
PENGANTAR
Wayang sebagai salah satu hasil budaya asli bangsa Indonesia hampir tidak dikenali lagi oleh generasi muda masa kini.
Gencarnya
hiburan yang bersifat global melalui berbagai media elektronik seolah menyisihkan wayang dari pengamatan masyarakat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang melesat telah memberikan banyak pilihan kepada masyarakat dalam memilih dan menentukan jenis hiburan yang akan dinikmatinya. Akhir-akhir ini memang ada usaha mengangkat kembali kesenian wayang, baik wayang kulit, wayang golek, maupun wayang orang. Berbagai media dan kesempatan mencoba menyajikan hiburan ini dengan berbagai kepentingan. Ini merupakan langkah yang sangat baik dalam upaya melestarikan kesenian wayang. Di sisi lain, ada pula usaha pendekatan yang dilakukan oleh para pelaku seni wayang dengan mengemas pertunjukan wayang lebih menarik. Tujuannya sama, agar masyarakat dapat menikmati kembali wayang seperti pada masa kejayaannya dulu. Salah satu upaya yang dilakukan dalam memperkenalkan wayang adalah melalui jalur pendidikan. Hingga saat ini masih sangat sedikit buku-buku bacaan mengenai seni tradisional, termasuk wayang, yang ada di perpustakaan-perustakaan sekolah. Padahal, kita sadar bahwa lingkungan pendidikan merupakan salah satu jalan yang paling efektif untuk memperkenalkan kesenian tradisional. Usia siswa SLTP dan SLTA masih diliputi rasa keingintahuan yang tinggi serta mudah memberikan apresiasi terhadap hal-hal yang dipahaminya. Penulisan
buku
ini
merupakan
salah
satu
upaya
untuk
mendekatkan kesenian wayang kepada generasi muda. Di dalam buku ini disajikan berbagai aspek mengenai wayang sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional Indonesia. Diawali dengan
2
pengertian-pengertian
dasar, sejarah pertumbuhan wayang, jenis pertunjukan wayang, sumber cerita wayang, hingga struktur pementasan wayang. Pembahasan dalam buku ini diupayakan lebih ringkas dan sederhana agar mudah dipahami, serta mampu merangsang para siswa untuk mengetahui lebih lanjut dengan mencari dan menemukan sumber-sumber lainnya. Pembahasan wayang dalam buku ini masih bersifat umum karena ingin mencakup pemahaman siswa tentang wayang golek, wayang kulit, dan wayang orang. Pada kenyataannya, perkembangan masing-masing jenis pertunjukan wayang tersebut memiliki kekhasan tersendiri, termasuk peristilahan yang digunakan, sesuai dengan lingkungan daerahnya. Oleh karena itu, ilustrasi yang digunakan dalam buku ini tidak mengacu kepada salah satu jenis pertunjukan wayang tersebut. Sebagai penjelasan, ilustrasi disajikan dari berbagai bentuk versi wayang. Ada yang menggunakan versi wayang kulit, wayang golek, wayang orang, ilustrasi komik, dan sebagainya. Akhirnya, mudah-mudahan isi buku ini dapat memberikan manfaat bagi peningkatan apresiasi siswa terhadap kesenian wayang. Agar jenis kesenian wayang ini tidak semakin terpinggirkan dan kalah oleh hiburanhiburan yang berasal dari luar negeri. Semoga.
Penulis
3
DAFTAR ISI 1. Pendahuluan 2. Jenis Pertunjukan Wayang 3. Sumber Cerita dalam Pertunjukan Wayang 4. Tokoh Panakawan atau Punakawan 5. Karakterisasi dalam Wayang 6. Struktur Lakon dalam Pertunjukan Wayang 7. Struktur Pementasan Wayang 8. Daftar Pustaka
4
PENDAHULUAN
Pengertian Wayang Wayang diyakini sudah ada sejak zaman dahulu, yaitu pada masa prasejarah (sekitar 1500 tahun SM). Masyarakat Indonesia pada masa itu memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Pada awalnya, beberapa orang ahli wayang menyatakan bahwa wayang berasal dari India. Hal ini didasarkan kepada kenyataan tentang sumber-sumber
cerita
wayang,
seperti
epos
Mahabharata
dan
Ramayana, datang dari India. Akan tetapi, tidak ada bukti-bukti yang menguatkan dugaan kesenian wayang berasal dari negeri tersebut. Setelah dilakukan penelitian lebih jauh, para ahli berkesimpulan bahwa wayang adalah kreasi asli orang Indonesia karena tidak ada pertunjukan yang sama ditemukan dalam budaya lain. Ada beberapa definisi berkaitan dengan pengertian wayang. Tiga di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Perkataan wayang berasal dari bahasa Jawa krama ngoko (bahasa Jawa halus dan kasar) yang berarti perwajahan yang terdiri dari barang dan lain sebagainya, yang terkena cahaya atau penerangan (Ismunandar, 1988). 2. Wayang terbuat dari kulit dan menceritakan peranan orang Jawa zaman dahulu. Disebut wayang karena dapat dilihat bayangannya pada kelir (layar), menggambarkan orang zaman dahulu yang terbayang dalam angan-angan (Mertosedono, 1990). 3. Wayang adalah orang-orangan yang terbuat dari kulit atau dari kayu
yang
diibaratkan
menjadi
5
tokoh-tokoh
dari
cerita
Mahabharata yang membentuk menjadi pementasan sandiwara boneka (Kamus Umum Bahasa Sunda). Secara harfiah wayang diartikan sebagai bayangan. Akan tetapi, sesuai dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman, pengertian wayang itu berubah, sehingga kini wayang dapat diartikan sebagai pertunjukan panggung atau teater atau dapat pula berarti aktor dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukan panggung yang melibatkan sutradara sebagai pemain. Orang yang menjadi sutradara dalam wayang golek disebut dalang. Asal-usul Wayang Sangat sulit untuk meruntut perkembangan wayang sejak zaman prasejarah karena hampir tidak ada catatan yang dapat menunjukkan perkembangannya. Akan tetapi, para ahli merasa yakin bahwa pada awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme dalam menyembah ‘hyang’. Kegiatan penyembahan ’hyang’ ini dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau menanam padi dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau agar desa terhindar dari segala malapetaka. Pada sekitar tahun 898 – 910 M, sesungguhnya wayang sudah menjadi wayang purwa, tetapi masih tetap ditujukan untuk menyembah para sanghyang bagaimana yang tertulis dalam Prasasti Balitung (tahun 907 Masehi) yang berbunyi: ”si galigi mawayang buat hyang, macarita bhimaya kumara” (terjemahan bebasnya kira-kira adalah ”menggelar wayang untuk para hyang menceritakan tentang Bima sang Kumara”). Prasasti Balitung yang berupa lempengan tembaga dari Jawa Tengah diduga berasal dari abad kesepuluh. Hal ini menunjukkan bukti bahwa episode-episode yang terdapat dalam Mahabharata dan Ramayana telah diperdengarkan melalui lantunan lagu pada peristiwa-peristiwa yang memiliki sifat ritual. Bhimaya Kumara mungkin sebuah cerita yang berhubungan dengan Bima. Cerita ini boleh jadi telah dipertunjukan
6
sebagai sebuah teater bayangan yang sekarang kita kenal dengan istilah wayang purwa. Pada jaman kerajaan Mataram Hindu ini, kitab epos Ramayana dari India berhasil dituliskan ke dalam bahasa Jawa Kuna (Kawi) pada masa raja Dharmawangsa, yang berkuasa pada tahun 996 – 1042 M. Selanjutnya, kitab Mahabharata yang berbahasa Sansekerta dan terdiri atas delapan belas parwa dapat dirakit menjadi sembilan parwa dalam bahasa Jawa Kuna. Kemudian, pada masa kekuasaan Raja Airlangga, yakni sekitar abad kesebelas, kisah Arjuna Wiwaha pun berhasil pula disusun oleh Mpu Kanwa. Pada jaman kerajaan Kediri dan Raja Jayabaya, Mpu Sedah pun menyusun serat Bharatayuda yang kemudian diselesaikan oleh Mpu Panuluh. Tak puas dengan itu saja, Mpu Panuluh lalu menyusun Serat Hariwangsa dan kemudian Serat Gatutkacasraya. Menurut Serat Centhini, Sang Jayabaya kemudian memerintahkan untuk menuliskan karya-karya Mpu Sedah, Mpu Panuluh, dan Mpu Kanwa tersebut ke atas rontal (lembaran-lembaran daun lontar yang disusun seperti kerai dan disatukan dengan tali). Pada zaman awal kerajaan Majapahit, wayang digambar di atas kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian. Karya ini kemudian dikenal sebagai bentuk wayang beber. Masa-masa awal abad kesepuluh ini bisa kita sebut sebagai periode globalisasi wayang tahap pertama di tanah Jawa. Pada periode ini kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama Hindu yang menempatkan tokoh ‘dewa’ berada di atas tokoh ‘hyang’. Selain itu, pada periode sekularisasi wayang
tahap
pertama
ini,
dikembangkan
berbagai
mitos
yang
mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa. Periode globalisasi wayang tahap pertama ini berlangsung sekitar abad kesepuluh hingga abad kedua belas, bahkan hingga abad kelima belas.
7
Gambar 1. Bentuk pementasan wayang beber. Perhatikan bermacam sesaji dihidangkan di depan dalang, http://yanabeing.blogspot.com/2011/04/wayang-beber.html
Pada abad kelima belas, terjadi lagi proses globalisasi wayang tahap kedua. Pada periode ini pengaruh budaya Islam mulai meresap masuk ke dalam seni wayang. Pada saat berdirinya kerajaan Demak (1500 – 1550 M), ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran Islam. Raden Patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotong-royong. Wayang beber, karya Prabangkara (yang telah ditulis pada jaman Majapahit) segera direka ulang, dibuat dan digambar kembali di atas permukaan kulit kerbau yang ditipiskan. Di wilayah kerajaan Demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut Hindu yang masih banyak. Gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau. Sunan Bonang bertugas menyusun struktur dramatika cerita wayang. Sunan Prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera, serta menambahkan beberapa bentuk cerita sempalan. Raden Patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan. Sunan Kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari
8
batang pisang, blencong, kotak wayang, dan
gunungan.
perkembangan
Pada
wayang
masa kulit
inilah dimulai.
Beberapa pembaharuan dan perbaikan dilakukan secara bertahap oleh Sunan Kudus dan Sultan Trenggana. Bahkan, Sunan Bonang menyusun cerita yang bersumber dari kerajaan Majapahit, seperti kisah
Damarwulan,
serta
dipentaskan
dalam bentuk wayang untuk konsumsi Gambar 2. Wayang kulit yang sekarang dikenal merupakan hasil perubahan bentuk yang dilakukan oleh para wali. (Sumber: http://www.jelajahunik.us/2012/ 02/mengenal-jenis-jenis-wayangdi.html)
rakyat jelata. Pada masa inilah Sunan Kudus mulai memperkenalkan bentuk wayang golek untuk
pertama
kalinya.
Penciptaan
pertunjukan wayang golek ini dimaksudkan untuk mengatasi kendala pertunjukan wayang (kulit) yang biasanya hanya dapat ditampilkan pada malam hari. Dengan adanya wayang golek, maka pertunjukan wayang dapat ditampilkan pada siang hari karena tidak memerlukan
layar
(kelir)
serta
pencahayaan.
Cerita-cerita
yang
ditampilkan pada pertunjukan wayang golek tidak jauh berbeda dengan pertunjukan wayang kulit serta wayang-wayang lainnya, yakni bersumber dari epos Mahabharata, Ramayana, Babad Lokapala, kisah-kisah raja Majapahit, dan raja-raja sebelumnya. Dengan demikian, mulailah periode pertumbuhan wayang golek purwa di tanah Jawa, yang kemudian lebih berkembang di daerah Jawa Barat, khususnya wilayah Priangan. Bentuk Wayang Pada
awal
perkembangannya,
wayang
memiliki
bentuk
sebagaimana wujud manusia sempurna. Namun, setelah kedatangan agama Islam, wayang berubah bentuk sesuai dengan aturan agama Islam.
9
Hal ini dilakukan karena Islam, melarang pemeluknya menciptakan sesuatu yang sangat mirip dengan manusia. Itulah sebabnya maka bentuk wayang berubah menjadi bentuk mahluk berbeda dari manusia tetapi masih mirip dengan manusia. Wajah dan tubuhnya dibuat sangat langsing, sedangkan tangannya tidak menampilkan ukuran perbandingan yang baik dengan bagian tubuh yang lain (biasanya tangannya dibuat lebih panjang dari ukuran yang seharusnya). Meskipun demikian, setiap boneka mewakili tokoh khusus. Penggambaran tokoh pada wayang golek ditandai dengan bentuk wajah, warna muka, serta pakaian yang dikenakan oleh masing-masing wayang. Akan tetapi, boneka tidak dapat menggambarkan perasaan tokoh, maka peran dalang dalam memainkan boneka, dalam mengemukakan ceritera dan dalam berkomunikasi dengan penonton sangat penting. Perasaan para tokoh juga dapat diperlihatkan melalui lagu yang ditembangkan para pesinden (penyanyi) dan musik yang dimainkan para nayaga (pemain musik), sedangkan karakter dasar dilambangkan melalui warna wajah yang beraneka rupa. Dalam bahasa Sunda, ada ungkapan yang berasal dari kepercayaan agama Islam, dan menyatakan “Wayang sakotak, dalangna ngan hiji”. Ungkapan ini dapat diartikan: ”wayangnya sekotak, hanya memerlukan seorang dalang” yang berarti bahwa begitu banyak manusia di dunia hanya memerlukan satu Tuhan. Wayang Purwa Istilah wayang purwa mengacu kepada cerita wayang yang berakar pada epos Mahabharata dan Ramayana, sehingga semua pertunjukan wayang kulit maupun wayang golek yang mengambil cerita dari kedua epos tersebut dinamakan sebagai wayang kulit purwa dan wayang golek purwa.
Kedua cerita tersebut merasal dari India yang masing-masing
ditulis oleh Vyasa (Mahabharata) dan Valmiki (Ramayana). Peristilahan wayang purwa ini untuk membedakan jenis wayang ini dengan wayangwayang lainnya.
10
Dalam tradisi wayang purwa di Indonesia, kedua cerita yang ditulis oleh dua pengarang berbeda itu diramu menjadi satu dan dihubungkan satu sama lain. Kedua cerita tersebut digabungkan seolah-olah terjalin dalam urutan waktu. Kisah Ramayana terlahir lebih dahulu, yang kemudian diakhiri dengan kisah Mahabharata. Di antara kedua cerita besar tersebut, kemudian disisipkan berbagai cerita rekaan yang dapat menghubungkan kedua epos tersebut. Awal Perkembangan Wayang Golek Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, wayang merupakan tradisi kuno, termasuk pertunjukan wayang kulit. Dahulu pertunjukan wayang kulit hanya dapat dilakukan pada malam hari, dengan memakai cahaya blencong (sejenis penerangan khusus yang menggunakan minyak tanah) serta penggunaan layar (kelir). Waktu pertunjukan wayang pada malam hari ini tentu saja membatasi jumlah penonton. Artinya, masyarakat yang berusaha menonton pertunjukan wayang kulit pada malam hari sangat terbatas. Hanya orang-orang tertentu saja yang mau dengan sengaja menyaksikan pertunjukan pada waktu malam hari.
Gambar 3. Bentuk pementasan wayang kulit yang menggantungkan pencahayaan pada blencong (tergantung di bagian tengah pentas mengarah ke permukaan kelir atau layar). Pada layar inilah pada umumnya warga masyarakat menghibur hatinya setelah penat bekerja sepekan. (Sumber: http://dabgenthong.wordpress.com/2011/01/14/wayangkulit-tontonan-dan-tuntunan-hidup/)
11
Sebagai sarana pendidikan kepada masyarakat, pertunjukan pada malam hari tentu kurang mencapai sasaran. Apa lagi, pada saat itu pertunjukan wayang kulit digunakan sebagai salah satu sarana da’wah Islam. Oleh karena itu, Sunan Kudus pada tahun 1583 mulai memperkenalkan boneka kayu sebagai alat pertunjukkan, dengan tujuan agar boneka ini dapat dimainkan pada siang hari. Pada mulanya, yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati pada tahun 1540-1650). Di daerah Cirebon disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) baru lahir pada sekitar tahun 1840-an.
Gambar 4. Wayang golek papak atau wayang cepak yang berkembang di daerah Cirebon merupakan cikal bakal perkembangan wayang golek gaya Priangan yang dikenal dewasa ini. Tokoh di atas merupakan salah satu karakter yang dimainkan dalam pertunjukan wayang cepak. (Sumber: http://wayangpabu.files.wordpress.com/)
12
Menurut C.M Pleyte, masyarakat di Jawa Barat mulai mengenal wayang pada sekitar tahun 1455 Saka atau sekitar tahun 1533 Masehi sesuai dengan yang tertera dalam Prasasti Batutulis. Naskah Ceritera Parahyangan yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta pada pertengahan abad ke-16 juga disebutkan berulang-ulang kata-kata Sang Pandawa Ring / Kuningan. Hal ini menunjukkan bahwa benar masyarakat Jawa Barat telah mengenal wayang sejak awal abad ke-16. Pada waktu kabupaten-kabupaten di Jawa Barat ada di bawah pemerintahan Mataram, yakni pada masa pemerintahan Sultan Agung (1601-1635), jumlah masyarakat penggemar seni pewayangan lebih meningkat lagi sehingga mampu meningkatkan penyebaran wayang di daerah Priangan. Di sisi lain, banyaknya kaum bangsawan Sunda yang datang ke Mataram untuk mempelajari bahasa Jawa untuk kepentingan pemerintahan, membantu pula penyebaran dan perkembangan seni wayang. Kebebasan penggunaan bahasa dalam pertunjukan wayang menambah pula petumbuhan wayang golek sehingga
menjangkau
hampir
seluruh
wilayah Jawa Barat. Dr.
Th.
Pigeaud,
seorang
ahli
sejarah, menyebutkan bahwa salah seorang bupati Sumedang mendapat gagasan untuk membuat wayang golek yang bentuknya meniru wayang kulit seperti dalam cerita Ramayana
dan
Mahabharata
yang
berkembang di Jawa Tengah. Perubahan bentuk wayang kulit menjadi golek ini berlangsung secara berangsur-angsur. Hal Gambar 5. Bentuk wayang golek gaya Priangan yang dikenal dewasa ini. (Sumber: http://www.kaskus.co.id/showthread.ph p?p=588909727)
itu terjadi pada sekitar abad XVIII – XIX. Penemuan ini diperkuat dengan adanya berita, bahwa pada abad ke-18, tepatnya
13
sekitar tahun 1794-1829, Dalem Bupati Bandung atau Dalem Wiranata Koesoemah
III
(disebut
juga
sebagai
Dalem
Karanganyar),
menugaskan Ki Darman, seorang juru wayang kulit asal Tegal yang bertempat tinggal di Cibiru (Ujungberung, Bandung), untuk membuat bentuk wayang golek purwa. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Bentuk atau wujud wayang golek yang dibuat Ki Darman ini kemudian mengalami perkembangan
dan
perbaikan
sesuai
dengan
kebutuhan
dan
perkembangan jaman. Pada akhir abad ke-20, wayang golek mengalami perubahan-perubahan bentuk yang semakin menjadi baik dan sempurna, sehingga mencapai bentuk wayang golek yang kita ketemukan sekarang ini. Wayang golek yang seperti ini kita sebut Wayang Golek Purwa Gaya Sunda atau Priangan. Pada awalnya perkembangannya, pertunjukan wayang golek diselenggarakan oleh para priyayi (kaum bangsawan Sunda) di lingkungan istana atau lingkungan kabupaten untuk kepentingan pribadi maupun untuk keperluan umum. Lambat laun, pertunjukan wayang golek ini menyebar pula ke lingkungan masyarakat umum. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai yang landai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
14
Gambar 6. Pertunjukan wayang golek dapat dilakukan untuk berbagai kepentingan, baik yang bersifat ritual khusus maupun tontonan hiburan (Sumber: http://antarafoto.com)
Fungsi
pertunjukan
wayang
tersebut
bergantung
kepada
permintaan, terutama para bangsawan pada waktu itu. Pergelaran wayang golek tersebut dilakukan untuk keperluan ritual khusus atau dalam rangka tontonan/hiburan. Pertunjukan wayang golek yang sifatnya ritual, walaupun ada tetapi sudah jarang sekali dipentaskan. Salah satu fungsi wayang dalam masyarakat Jawa Barat adalah ngaruwat, yaitu membersihkan dari kecelakaan (marabahaya). Beberapa orang yang diruwat antara lain: 1) Wunggal (anak tunggal); 2) Nanggung Bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia); 3) Suramba (empat orang putra); 4) Surambi (empat orang putri); 5) Pandawa (lima putra); 6) Pandawi (lima putri); 7) Talaga Tanggal Kausak (seorang putra dihapit putri); 8) Samudra hapit sindang (seorang putri dihapit dua orang putra), dan sebagainya. Di samping itu, acara pementasan bersifat ritual itu juga dilakukan dalam rangka selamatan rumah, upacara sedekah laut dan sedekah bumi, setiap tahun sekali. Pementasan yang masih semarak adalah pertunjukan wayang golek untuk keperluan tontonan. Biasanya diselenggerakan untuk keperluan memperingati hari jadi, HUT Kemerdekaan RI, syukuran dan lain
15
sebagainya. Di samping sebagai sarana hiburan yang sehat, ia juga berfungsi sebagai media penerangan dan pendidikan. Pementasan wayang pada umumnya berbicara tentang moralitas, etika, adat istiadat atau religi. Walaupun demikian, bukan berarti esensi yang terkandung dalam pertunjukan wayang golek sudah hilang, nilai-nilai tersebut tetap dipertahankan sesuai dengan kepentingannya. Bentuk Wayang Golek Media utama pergelaran Wayang Golek adalah boneka yang terbuat dari kayu (umumnya jenis kayu yang ringan), dipahat dan diukir, dicat, diberi busana dan karakter sesuai dengan ketentuan dan kebutuhan. Boneka kayu yang menyerupai manusia dengan stilisasi di sana-sini itu disebut wayang golek, dengan demikian nama benda peraga dan nama jenis pertunjukannya itu sendiri sama yakni Wayang Golek. Bentuk/badan wadag Wayang Golek sebenarnya dapat dipisahpisah menjadi 3 (tiga) bagian yaitu bagian kepala beserta leher, tangan, dan badan. Ketiga bagian tersebut dibuat secara terpisah untuk kemudian disambungkan sehingga bentuknya tampak utuh seperti “manusia”. Bagian leher dan kepala disambungkan oleh bambu yang telah diraut kurang lebih sebesar jari kelingking sehingga wayang tersebut dapat menengok ke kiri dan ke
kanan seperti manusia. Bagian bawah dari
bambu itu diruncingkan, menembus badan wayang sampai ke bawah dan akhirnya berfungsi sebagai kaki yang akan ditancapkan pada batang pisang sehingga dapat berdiri kokoh. Dari bagian pinggang ke bawah dipasang kain yang berbentuk sarung sehingga tangan Dalang yang memegang bambu tadi tidak tampak dari luar.
16
Gambar 7. Bagian kepala dan leher yang disambung dengan sebuah tongkat bambu lancip (Sumber: www.antarafoto.com)
Bagian tangan dibuat terpisah terutama pada sendi bahu dan sendi siku. Sendi-sendi itu dihubungkan dengan benang/tali sehingga wayang tersebut dapat digerakkan menyerupai manusia. Bagian tangan tokohtokoh wayang tertentu diberi kelat bahu (hiasan pangkal lengan) atau gelang. Demikian juga pada bagian-bagian tubuh wayang yang penuh dengan manik-manik, anting telinga, badong (hiasan punggung), keris dan sebagainya. Adapun bentuk badan raut wajah, pakaian, hiasan, disesuaikan dengan karakter dan kedudukan tokoh wayang yang bersangkutan.
17
JENIS PERTUNJUKAN WAYANG
Sejak wayang pertama kali dikenal oleh masyarakat Nusantara, telah terlahir cukup banyak jenis pertunjukan wayang yang berkembang di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Kurang lebih terdapat 30 jenis pertunjukan wayang yang berkembang dan tersebar di keempat daerah tersebut. Masing-masing pertunjukan wayang tersebut memiliki keunikan dan ciri tersendiri yang dapat memperkaya khasanah kebudayaan nasional. Jumlah tersebut belum termasuk bentuk-bentuk teater boneka yang berkembang kemudian akibat pengaruh budaya Nusantara Dari sekian banyaknya jenis pertunjukan wayang tersebut, beberapa di antaranya akan dijelaskan berikut ini. 1. Wayang Beber Jenis wayang ini dinamakan wayang beber karena terdiri atas lembaran-lembaran kain atau kulit lembu yang digambari dengan adeganadegan dalam cerita wayang. Sumber cerita yang disajikan dalam wayang beber bersumber dari epos Mahabharata dan Ramayana. Wayang Beber adalah seni wayang yang muncul dan berkembang di Jawa pada masa pra Islam dan masih berkembang di daerah daerah tertentu di Pulau Jawa. Wayang beber muncul dan berkembang di Pulau Jawa pada masa kerajaan Majapahit. Gambar-gambar tokoh pewayangan dilukiskan pada selembar kain atau kertas, kemudian disusun adegan demi adegan berurutan sesuai dengan urutan cerita. Gambar-gambar ini dimainkan dengan cara dibeber. Saat ini hanya beberapa kalangan di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunung Kidul, yang masih menyimpan dan memainkan wayang beber ini. Konon oleh para Wali, di antaranya adalah Sunan Kalijaga wayang beber ini dimodifikasi bentuk menjadi wayang kulit dengan bentuk-bentuk
18
yang bersifat hiasan yang dikenal sekarang, karena ajaran Islam mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup (manusia, hewan) maupun patung serta menambahkan Pusaka Hyang Kalimusada atau Layang Jamus Kalimusada. Wayang hasil modifikasi para wali inilah yang digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam dan yang kita kenal sekarang.
Gambar 8. Salah satu cuplikan adegan pada gulungan wayang beber yang biasa ditampilkan. (Sumber: http://julianarome.blogspot.com/)
Salah satu Wayang Beber tua ditemukan di Daerah Pacitan, Donorojo. Wayang ini dipegang oleh seseorang yang secara turun-temurun dipercaya memeliharanya dan tidak akan dipegang oleh orang dari keturunan yang berbeda karena mereka percaya bahwa itu sebuah amanat luhur yang harus dipelihara. Selain di Pacitan, ada juga sampai sekarang jenis wayang beber yang masih tersimpan dengan baik dan masing dimainkan di Dusun Gelaran Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunungkidul. Menurut Kitab Sastro Mirudo, Wayang Beber dibuat pada tahun 1283, dengan Condro Sengkolo, Gunaning Bujonggo Nembah Ing Dewo (1283), Kemudian dilanjutkan oleh putra Prabu Bhre Wijaya, Raden Sungging Prabangkara, dalam pembuatan wayang beber. Wayang Beber
19
juga memuat banyak cerita Panji, yakni Kisah Cinta Panji Asmara Bangun yang merajut cintanya dengan Dewi Sekartaji Putri Jenggolo. Usia teater tutur ini sudah amat tua, sekurang-kurangnya sudah ada sejak zaman Majapahit (menurut berita Cina tahun 1416). Sisa-sisanya masih terdapat di Pacitan dan kemungkinan hampir punah karena seni ini tidak dapat diajarkan kepada orang-orang lain kecuali keturunannya saja, takut terhadap pelanggaran pantangan nenek moyangnya. Wayang Beber hanya dipentaskan untuk upacara ruwatan atau nadar saja. Wayang ini berbentuk lukisan di atas kertas, dengan roman seperti wayang kulit purwa hanya kedua matanya nampak. Sikap wayang bermacam-macam, ada yang duduk bersila, sedang berjalan, sedang berperang dan sebagainya. Lukisan wayang beber berjumlah 6 gulung, dan tiap gulung berisi 4 jagong atau adegan.
Gambar 9. Pementasan wayang beber. Dalang tampak sedang membeberkan gambar sambil bercerita. Di belakang Ki Dalang tampak para penonton menyaksikan dan mendengarkan tuturan dalang. (Sumber: http://waybemetro.wordpress.com/)
Dalang menggelar tiap gulungan tiap gulungan dengan cara membeberkannya di atas kotak gulungan.
20
Urutan pertunjukkan : 1.
Dalang membakar kemenyan, kemudian membuka kotak dan mengambil tiap gulungan menurut kronologi cerita.
2. Dalang membeberkan gulungannya pertama dan seterusnya, dengan membelakangi penonton. 3. Dalang mulai menuturkan janturan (narasi). 4. Setelah janturan, mulailah suluk (lagu penggambaran) yang amat berbeda dengan umumnya suluk wayang purwa 5. Setelah
suluk,
dimulailah
pocapan
atau
penuturan
cerita
berdasarkan gambar wayang yang tengah dibeberkan. begitu seterusnya sampai seluruh gulungan habis dibeberkan dan dikisahkan. Seluruh pertunjukkan diiringi dengan seperangkat gamelan Slendro yang terdiri dari rebab, kendang batangan, ketuk berlaras dua, kenong, gong besar, gong susukan, kempul. Penabuhnya cukup 4 orang saja yakni sebagai penggesek rebab, petigendang, penabuh ketuk kenong, dan penabuh kempul serta gong. Patet yang digunakan hanya patet nem dan patet sanga. Lama pementasan hanya sekitar satu setengah jam saja, dapat dilakukan siang hari ataupun malam hari. Setiap pagelaran wayang beber harus ada sesaji yang terdiri dari kembang boreh, ketan yang ditumbuk halus, tumpeng dan panggang ayam, ayam hidup, jajan pasar (kue-kue) dan pembakaran kemenyan. Untuk upacara ruatan atau bersih desa perlu ada tambahan sesaji berupa sebuah kuali baru, kendi baru dan kain putih baru. 2. Wayang Kulit Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang
21
juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak atau blencong, sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang, penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
Gambar 10. Tata letak pentas pada pergelaran wayang kulit purwa. Perhatikan letak masing-masing, nayaga, pesinden yang seluruhnya berada di belakang dalang yang menghadapi kelir (layar). Di belakang kelir, tampak para penonton menyaksikan bayangan wayang yang dimainkan dalang. (Sumber: http://siswandikadamok.wordpress.com/).
Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana. Akan tetapi, seorang dalang tak dibatasi hanya dengan pakem (cerita baku) tersebut, ki Dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan sendiri), termasuk menyajikan cerita panji.
22
Wayang kulit dibuat dari bahan kulit kerbau yang sudah diproses menjadi kulit lembaran. Perbuah wayang membutuhkan sekitar ukuran 50 x 30 cm kulit lembaran yang kemudian dipahat dengan peralatan yang digunakan adalah besi berujung runcing berbahan dari baja yang berkualitas baik. Besi baja ini dibuat terlebih dahulu dalam berbagai bentuk dan ukuran, ada yang runcing, pipih, kecil, besar dan bentuk lainnya yang masing-masing mempunyai fungsinya berbeda-beda. Namun pada dasarnya, untuk menata atau membuat berbagai bentuk lubang ukiran yang sengaja dibuat hingga berlubang. Selanjutnya dilakukan pemasangan bagian-bagian tubuh seperti tangan, pada tangan ada dua sambungan, lengan bagian atas dan siku, cara menyambungnya dengan sekrup kecil yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Tangkai yang fungsinya untuk menggerak bagian lengan yang berwarna kehitaman juga terbuat berasal dari bahan tanduk kerbau dan warna keemasannya umumnya dengan menggunakan prada yaitu kertas warna emas yang ditempel atau bisa juga dengan dibronz, dicat dengan bubuk yang dicairkan. Wayang yang menggunakan prada, hasilnya jauh lebih baik, warnanya bisa tahan lebih lama dibandingkan dengan yang bronz. 3. Wayang Cepak Wayang di Cirebon dikenal dengan nama wayang cepak atau wayang papak. Cepak atau papak berarti datar, sama, atau lebih dekat. Bntuk hiasan kepala wayang golek jenis ini cenderung lebih datar jika dibandingkan dengan bentuk wayang golek yang tinggi dan bulat. Wayang ini terbuat dari kayu, yang ujungnya tidak runcing (cepak = bhs Sunda; papak = bhs Jawa). Itulah sebabnya maka wayang ini disebut wayang cepak atau wayang papak. Dilihat dari bentuknya, wayang cepak diperkirakan merupakan pengembangan dari wayang kulit, wayang golek atau wayang menak yang berpusat di daerah Cirebon. Wayang cepak biasanya membawakan lakonlakon Menak, Panji, cerita-cerita babad, legenda dan mitos. Tetapi, di
23
daerah Cirebon sendiri, wayang cepak lebih banyak melakonkan babad Cirebon, juga babad Mekah dan Pamanukan yang disampaikan dengan bahasa Jawa Cirebon. Sehingga muncul tokoh-tokoh seperti Nyi Mas Gandasari, Wiralodra, Ki Tinggil, Kuwu Sangkan, Bagal Buntung, dan lainlain. Wayang cepak dipercaya dibuat oleh Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Wayang cepak dapat terbuat dari kulit (wayang kulit cepak) atau dari kayu (wayang golek cepak). Bentuk wayang golek cepak diambil dari wayang kulit cepak. Ceritanya bersumber dari sejarah Jawa dan cerita Islam. Meskipun terkait dengan sejarah, cerita-cerita digubah dari sumber lisan kemudian dibuat menjadi cerita tersendiri. Dalam pertunjukannya di masyarakat, wayang cepak Cirebon memiliki struktur yang baku. Adapun susunan adegan wayang cepak Cirebon secara umum sebagai berikut : (1) Tatalu, dalang dan sinden naik panggung,
Gambar 11. Bentuk wayang golek cepak yang menggambarkan sosok Prabu Cakrabuana. Perhatikan bentuk bagian kepala wayang yang rata atau cepak. (Sumber: http://www.pitoyo.com/)
gending jejer atau gending kawit, murwa, nyandra, suluk atau kakawen dan biantara; (2) babak unjal, paseban, dan bebegalan; (3) nagara sejen; (4) patepah; (5) perang gagal; (6) panakawan atau goro-goro; (7) perang kembang; (8) Perang Raket; (9) Tutug. 4. Wayang Golek Purwa Wayang golek adalah wayang dengan bentuk tri matra (tiga dimensi). Kata golek secara harfiah berarti boneka, patung kecil, atau mencari (makna cerita). Kepala, badan, dan lengan boneka diukir dari kayu; tudhing (gagang penggerak) biasanya dibuat dari bambu, sama dengan gagang penyangga (sogo). Sogo dibuat menembus badan ke kepala
24
dan berfungsi sebagai pegangan. Wayang jenis ini memakai kain panjang yang terikat di pinggang dengan selendang tempat menyimpan keris. Menurut Serat Centhini (awal abad ke-19) dan Serat Sastramiruda (awal abad ke-20), wayang golek Jawa diperkenalkan pada tahun 1584. Sedangkan, wayang golek purwa gaya Sunda baru mulai diperkenalkan di Parahyangan awal abad ke-19. Pada dasarnya, struktur pertunjukan wayang golek tidak jauh berbeda dari pertunjukan wayang kulit. Bahkan, sumber cerita yang digunakan wayang
dalam golek
pertunjukan
sama
seperti
sumber cerita yang digunakan dalam pertunjukan wayang kulit, yakni
epos
Mahabharata,
Ramayana, dan Babad Lokapala. Hal
yang
membedakan
pertunjukan wayang golek dari wayang
kulit
adalah
(1)
pertunjukan wayang golek tidak mengenal kelir (layar) karena dipertunjukkan secara langsung, (2) pertunjukan wayang golek (khususnya
gaya
Priangan)
menggunakan bahasa Sunda, dan (3)
aspek
pertunjukan
karawitan
pada
wayang
golek
menggunakan karawitan Sunda.
Gambar 12. Wayang golek yang mewakili karakter Gatotkaca, salah seorang putra Bima (Sumber: http://www.datasunda.org/)
Wayang Golek adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang tumbuh dan berkembang di daerah Jawa Barat. Daerah penyebarannya terbentang luas dari Cirebon di sebelah timur sampai wilayah Banten di sebelah barat, bahkan di daerah Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Barat sering pula dipertunjukkan pergelaran Wayang Golek.
25
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda. 5. Wayang Krucil Wayang krucil adalah kesenian khas Ngawi, Jawa Timur dari bahan kulit dan berukuran kecil sehingga lebih sering disebut dengan Wayang Krucil. Wayang ini dalam perkembangannya menggunakan bahan kayu pipih (dua dimensi) yang kemudian dikenal sebagai Wayang Klithik. Di daerah Jawa Tengah wayang krucil memiliki bentuk yang mirip dengan wayang gedog. Tokoh-tokohnya memakai dodot rapekan, berkeris, dan menggunakan tutup kepala tekes (kipas). Sedangkan, di Jawa Timur tokoh-tokohnya banyak yang menyerupai wayang kulit purwa, rajarajanya bermahkota dan memakai praba. Di Jawa Tengah, tokoh-tokoh rajanya bergelung Keling atau Garuda Mungkur saja.
26
Cerita yang dipakai dalam wayang krucil umumnya mengambil dari zaman Panji Kudalaleyan di Pajajaran hingga zaman Prabu Brawijaya di Majapahit. Namun, tidak menutup kemungkinan wayang krucil memakai cerita wayang purwa dan wayang menak, bahkan dari babad tanah Jawa sekalipun. Gamelan yang dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang ini amat Gambar 13. Bentuk wayang krucil yang kecil dan berkembang di Jawa Tengah. (Sumber: http://wayangindonesiaraya.blogspo t.com/)
sederhana, berlaras slendro dan berirama playon bangomati (srepegan). Namun, ada kalanya wayang krucil menggunakan gending-gending besar.
6. Wayang Orang Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong (bahasa Jawa) adalah wayang yang dimainkan dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut. Wayang orang diciptakan oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731. Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit yang biasanya terbuat dari bahan kulit kerbau ataupun yang lain), tetapi menampilkan
manusia-manusia
sebagai
pengganti
boneka-boneka
wayang tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti hiasan-hiasan yang dipakai pada wayang kulit. Supaya bentuk muka atau bangun muka mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering kali pemain wayang orang ini diubah/dihias mukanya dengan tambahan gambar atau lukisan. Wayang Orang adalah suatu bentuk drama tari berdialog prosa yang ceritanya diambil dari epos Ramayana dan Mahabarata. Konsep
27
dasar wayang orang mengacu pada wayang purwa (wayang kulit). Oleh karena itu, wayang orang merupakan personifikasi wayang kulit.
Gambar 14. Penampilan kelompok Wayang Orang Bharata dalam menyajikan salah satu adegan pada epos Mahabharata (Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/File:Wayang_Wong_Bharata_Pandawa.jpg)
Bila ditelusuri tentang asal-usulnya, kesenian Wayang Orang sudah ada pada masa Jawa Kuna, sekitar tahun 930, dan dikenal dengan nama “Wayang Wong” seperti yang tercantum dalam prasasti Wimalasrama. Pada mulanya, yakni pertengahan abad ke-18, semua penari Wayang Orang adalah penari pria, tidak ada penari wanita. Jadi agak mirip dengan pertunjukan ludruk di Jawa Timur dewasa ini. Dalam berbagai buku mengenai budaya wayang disebutkan bahwa Wayang Orang diciptakan oleh Kangjeng Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I (1757 - 1795). Para pemainnya waktu itu terdiri atas abdi dalem istana. Pertama kali Wayang Orang itu dipentaskan secara terbatas pada tahun 1760. Namun, baru pada pemerintahan Mangkunegara V pertunjukan Wayang Orang itu lebih memasyarakat, walaupun masih tetap terbatas dinikmati oleh kerabat keraton dan para pegawainya. Pemasyarakatan seni Wayang Orang hampir bersamaan waktunya dengan lahirnya drama tari Langendriyan.
28
Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII (1916 -1944) kesenian Wayang Orang mulai diperkenalkan pada masyarakat di luar tembok keraton. Usaha memasyarakatkan kesenian ini makin pesat ketika Sunan Paku Buwana X (1893-1939) memprakarsai pertunjukan Wayang Orang bagi masyarakat umum di Balekambang, Taman Sri Wedari, dan di Pasar Malam yang diselenggarakan di alun-alun. Para pemainnya pun, bukan lagi hanya para abdi dalem, melainkan juga orang-orang di luar keraton yang berbakat menari. Penyelenggaraan pertunjukan Wayang Orang secara komersial baru
dimulai
pada
tahun
1922.
Mulanya,
dengan
tujuan
mengumpulkan dana bagi kongres kebudayaan. Kemudian pada tahun 1932, pertama kali Wayang Orang masuk dalam siaran radio, yaitu Solosche Radio Vereeniging, yang mendapat sambutan hebat dari masyarakat. Pakaian para penari Wayang Orang pada awalnya masih amat sederhana, tidak jauh berbeda dengan pakaian adat keraton seharihari, hanya ditambah dengan selendang tari. Baru pada zaman Mangkunegara VI (1881-1896), penari Wayang Orang mengenakan irah-irahan terbuat dari kulit ditatah apik, kemudian disungging dengan prada.
29
SUMBER CERITA DALAM PERTUNJUKAN WAYANG Sebuah pementasan wayang, baik itu wayang kulit, wayang golek, maupun wayang orang, selalu menyajikan cerita yang dapat dinikmati oleh penonton. Cerita yang dipaparkan dalam sebuah pertunjukan wayang pada umumnya telah dikenal dan dipahami oleh penontonnya. Oleh karena itu, penonton akan lebih dapat menikmati pertunjukan dari awal hingga akhir. Dalam tradisi wayang purwa di Jawa Tengah maupun di Priangan, terdapat sumber cerita yang dijadikan dasar pertunjukan wayang. Sumber cerita tersebut sebagian besar bersumber dari epos Ramayana dan Mahabharata. Akan tetapi, kedua cerita tersebut amatlah panjang dan rumit jika harus dipentaskan dalam satu kali pergelaran. Oleh karena itu, dalang biasanya mengambil bagian-bagian tertentu dari cerita Ramayana atau Mahabharata untuk ditampilkan. Sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita-cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Meskipun demikian, ada kalanya juga dalang mengembangkan sendiri cerita yang diambil dari naskah baku tersebut sesuai dengan penafsirannya. Maksud pengembangan dalam pementasan ini agar cerita lebih menarik dan disukai penonton. Pengembangan ini kemudian menjadi makin meluas, sehingga tidak sedikit dalang-dalang berkreasi dengan mengarang sendiri cerita untuk dipentaskan. Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan Mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman
30
itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang di luar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem. Penggunaan cerita yang bermacam-macam, dan ada kalanya menyimpang dari sumber cerita yang sesungguhnya, menyebabkan munculnya pembagian kelompok cerita. Pada cerita pedalangan, terdapat tiga bentuk lakon atau cerita yang biasa ditampilkan dalam pertunjukan wayang, yakni cerita atau lakon pakem, lakon sempalan, dan lakon carangan. Ketiga bentuk cerita atau lakon inilah yang kemudian menjadi standar pementasan wayang baik di Jawa maupun di Sunda. 1. Lakon Pakem Tradisi cerita wayang di Jawa dan Sunda pada awalnya bersumber dari mitologi Hindu-Jawa. Dalam ajaran Hindu, terdapat tiga kekuatan yang saling berkaitan satu sama lain, yakni kesatuan Siwa – Brahma – Wisnu. Wisnu sebagai sang pemelihara jagad, berbeda dengan Brahma sang pencipta dan Siwa sang penghancur. Wisnu dalam menjalankan tugasnya perlu bertumimbal hidup – lahir tua dan mati – bersama para "titah" atau "dumadi" atau "makhluk". Oleh karena itu, dalam dunia pewayangan, setiap babakan kisah atau "babad" akan dipimpin oleh titisan atau "awatara" Wisnu yang berganti-ganti. Menurut mitologi Hindu-Jawa, ada sepuluh "babad" atau babakan kisah penitisan Wisnu di dunia, yaitu diawali dengan Wisnu menitis sebagai "matsya" atau ikan besar, dan ditutup kelak menitis sebagai danawa Kalki pada awal "kaliyuga" atau "jaman kalabendu", jaman serba sengsara. Tetapi dari sepuluh babakan kisah itu, hanya tiga di antaranya yang dikisahkan dalam rangkaian lakon, untuk digunakan sebagai
31
"wayang", bayangan, "gegambaran" atau suri tauladan, dan selanjutnya diperagakan dengan "boneka" atau "anak wayang" sebagai wahana. Tiga babakan kisah itu ialah semasa penitisan Wisnu yang keenam, yaitu ketika Wisnu
menitis
bersenjata
sebagai
kampak
brahmana
atau
yang
Parasurama;
penitisan Wisnu yang ketujuh, yaitu Wisnu menitis sebagai Rama raja Ayudhya; dan penitisan Wisnu kedelapan, yaitu Wisnu menitis sebagai Kresna, raja Dwarawati. Dalam dunia pedalangan wayang Jawa,
Gambar 15. Penggambaran Wisnu dalam wayang kulit (Sumber: http://id.wikipedia.org/)
penitisan pertama terhimpun dalam pakem lakon atau Babad Lokapala, yakni ketika Wisnu menjelma dalam raga Prabu Harjunasasrabahu. Penitisan kedua terjadi dalam pakem lakon Ramayana, ketika Wisnu menjelma dalam raga Raja Ramawijaya. Sedangkan penitisan ketiga terjadi dalam pakem lakon Mahabharata, ketika Wisnu menjelma dalam raga Prabu Kresna. Ketiga-tiga "sumber" lakon wayang itulah yang dinamai "pakem". Secara ringkas isi dari ketiga pakem cerita dalam pewayangan Jawa dan Sunda tersebut adalah sebagai berikut. a. Babad Lokapala atau Serat Arjuna Sasrabahu Istilah Babad Lokapala merupakan istilah yang digunakan dalam lingkungan
Pedalangan
Sunda,
sedangkan
di
lingkungan
Pedalangan Jawa disebut sebagai (Serat) Arjuna Sasrabahu. Lakon ini dapat dikatakan lebih tua daripada Ramayana, tetapi “sebenarnya” merupakan kisah awal kelahiran Rahwana menuju kapada Cerita Ramayana. Karena mahirnya para pujangga, kisah ini seolah-olah runtut, dari kisah paradewa, lahirnya Rahwana, kisah
32
Subali-Sugriwa, serta kisah Arjuna Sasrabahu begitu juga hubungan kekeluargaan dari tokoh-tokoh dalam alur Cerita Babad Lokapala. Kandungan kisah dalam Babad Lokapala: -
Kisah kelahiran Rahwana Kerajaan Lokapala dipimpin oleh Prabu Danaraja atau Danapati. Beliau adalah putra Begawan Wisrawa dan Dewi Lokati. Ada keinginan Sang Prabu untuk mempersunting Dewi Sukesi, putri Prabu Sumali dari kerajaan Alengka. Begawan Wisrawa pun hendak melamar Sekar Kedaton Alengka tersebut sebagai permaisuri prabu Danapati. Kecantikan Dewi Sukesi ini membuat Prabu Sumali tidak terlalu kesulitan untuk mencarikan jodoh bagi putrinya tersayang. Namun syarat yang diajukan oleh Dewi Sukesi amatlah berat, yakni ia bersedia menerima pria manapun asalkan pria tersebut mampu mengajarinya Ilmu Sastra Jendra. Demi Sang Danaraja, maka berangkatlah Begawan Wisrawa menuju Kerajaan Lokapala. Sesampainya di sana Sang Begawan menyampaikan maksud kedatangannya itu kepada Prabu Sumali. Sesuai dengan permintaan putrinya Dewi Sukesi, maka Prabu Sumali berkata kepada Sang Begawan bahwa putrinya akan menerima siapa saja yang mampu mengajarinya ilmu rahasia dewa tersebut. Sang Begawan menyanggupi permintaan Dewi Sukesi tersebut asalkan Sang Dewi mau dijadikan menantunya.
Beliau
juga
menambahkan
bahwa
untuk
memberikan wejangan ilmu rahasia itu harus di tempat yang benar-benar sunyi dan di taman yang hanya ditumbuhi bunga kenanga saja. Kesepakatan antara kedua belah pihak pun dibuat. Kemudian dipanggilah Dewi Sukesi menghadap Sang Begawan yang saat itu sudah bersiap-siap di taman yang agak jauh dari istana. Taman tersebut benar-benar sunyi dan hanya bunga
33
kenanga yang tumbuh di sana sebagaimana permintaan Sang Begawan. Setelah Dewi Sukesi memberikan hormat kepada Sang Begawan, maka dimulailah wejangan ilmu “Sastra Jendra” seperti yang diminta oleh Sang Dewi.
Gambar 16. Begawan Wisrawa tengah mengajarkan ilmu Sastra Jendra kepada Dewi Sukesi. (Sumber: http://tomyarjunanto.wordpress.com/)
Menurut patunjuk para dewa, ilmu sastra jendra tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang. Terlebih-lebih dari pria kepada wanita, karena akan berakibat buruk. Begawan Wisrawa yang mengajarkan ilmu sastra jendra pada Dewi Sukesi ini mendapat murka dari Batara Guru. Seketika Batara Guru menitis ke dalam diri Begawan Wisrawa dan Batari Uma menjelma ke dalam diri Dewi Sukesi. Dengan demikian, Dewi Sukesi bertekad hanya mau melayani Begawan Wisrawa. Begawan Wisrawa yang telah dirasuki Betara Guru pun tidak menolak.
34
Begitulah akhirnya, Dewi Sukesi dikawini sendiri oleh Begawan Wisrawa dan melahirkan 4 orang anak, yakni Rahwana atau Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakenaka dan Gunawan Wibisana. Betapa kagetnya Dewi Lokati melihat suaminya menikah lagi dengan putri yang seharusnya menjadi permaisuri putranya. Prabu Danaraja menerima keadaan itu sebagai suratan takdir dengan iklhas legawa. Namun malapetaka terus berlanjut ketika Dasamuka membunuh Dewi Lokati dan Prabu Danaraja. Sebagai penghargaan atas keluhuran budi Prabu Danaraja, para dewa di kahyangan mengangkat arwahnya menjadi dewa kekayaan dengan gelar Batara Kuwera. Di sana Batara Kuwera diberi wewenang untuk menjaga Kembang Dewaretna, bunga yang berfungsi untuk membagi rejeki di alam raya. Rahwana kemudian menjadi raja Alengka dan menjalankan pemerintahan dengan cara angkara murka. Rahwana menguasai dunia dengan keji karena kesaktian yang dimilikinya. -
Kisah Subali dan Sugriwa Menurut versi Ramayana, Subali dan Sugriwa adalah sepasang Wanara kembar yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi berbeda ayah. Keduanya sama-sama putra dewa. Subali adalah putra Indra, sedangkan Sugriwa merupakan putra Surya. Berbeda dengan versi aslinya, dalam pewayangan Jawa, Subali dan Sugriwa pada mulanya terlahir sebagai manusia normal. Keduanya masing-masing bernama Guwarsi dan Guwarsa. Mereka memiliki kakak perempuan bernama Anjani. Ketiganya merupakan anak Resi Gotama dan Dewi Indradi yang tinggal di Pertapaan Agrastina. Pada suatu hari Anjani, Guwarsi, dan Guwarsa berselisih memperebutkan cupu milik ibu mereka yang luar biasa indahnya. Hal itu diketahui oleh Gotama. Indradi pun dipanggil
35
dan ditanya dari mana cupu tersebut berasal. Gotama sebenarnya mengetahui kalau cupu itu adalah benda kahyangan milik Batara Surya yang bernama Cupumanik Astagina. Indradi yang ketakutan diam tak mau menjawab. Gotama yang marah karena merasa dikhianati mengutuk istrinya itu menjadi tugu. Ia lalu melemparkan tugu tersebut sejauh-jauhnya, sampai jatuh di perbatasan Kerajaan Alengka. Meskipun kehilangan ibu, ketiga anak Gotama tetap saja memperebutkan Cupu Astagina. Gotama pun membuang benda itu jauh-jauh. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Cupu Astagina jatuh di sebuah tanah kosong dan berubah menjadi telaga. Guwarsi dan Guwarsa begitu sampai di dekat telaga itu segera menceburkan diri karena mengira cupu yang mereka cari jatuh ke dalamnya. Seketika itu juga wujud keduanya berubah menjadi wanara atau kera. Sementara itu Anjani yang baru tiba merasa kepanasan. Ia pun mencuci muka menggunakan air telaga tersebut. Akibatnya, wajah dan lengannya berubah menjadi wajah dan lengan kera. Anjani, Guwarsi, dan Guwarsa menghadap Gotama dengan perasaan sedih. Ketiganya pun diperintahkan untuk bertapa mensucikan diri. Anjani bertapa di Telaga Madirda. Kelak ia bertemu Batara Guru dan memperoleh seorang putra bernama Hanoman. Sementara itu Guwarsi dan Guwarsa yang telah berganti nama menjadi Subali dan Sugriwa masing-masing bertapa di Gunung dan Hutan Sunyapringga. Ketiga anak Gotama tersebut berangkat ke tempat tujuan masing-masing. Sesuai petunjuk ayah mereka, Anjani bertapa dengan gaya berendam telanjang seperti seekor katak, Subali menggantung di dahan pohon seperti seekor kelelawar, sedangkan Sugriwa mengangkat sebelah kakinya seperti seekor kijang.
36
Anjani, setelah melahirkan Hanoman, kembali seperti semula dan diangkat menjadi dewi di kahyangan. Sedangkan Subali dan Sugriwa tetap menjalani tapanya sampai kemudian dipanggil oleh dewa untuk melawan Mahesasura di Goa Kiskenda. -
Kisah Arjuna Sasrabahu Kisah Arjunasasrabahu terdapat dalam babad Mahespati. Babad Mahespati ini merupakan kelanjutan petualangan Rahwana dalam melakukan perbuatan angkaranya, yang harus diimbangi dengan kewajiban Batara Wisnu dalam mengamankan dunia. Karena itulah, maka Batara Wisnu menitis ke dalam raga Prabu Arjunasasrabahu atau yang disebut Prabu Arjuna Wijaya salah seorang keturunan Hyang Tunggal, yang menjadi raja di Mahespati. Silsilah Mahespati ini masih terkait dengan Resi Gotama yang ada di pertapan Grastina, dan Resi Suwandageni di pertapan Jatisrana. Resi Bargawa adalah seorang Brahmana yang menjalani kehidupannya dengan jalan berkelana, untuk mencari kematiannya di tangan Batara Wisnu. Peristiwa-peristiwa
penting
yang
terjadi
dalam
babad
Arjunasasrabahu adalah pengabdian Bambang Sumantri yaitu putra
Begawan
Suwandageni
dari
pertaapan
Jatisrana,
pernikahan Prabu Arjunasasrabahu dengan Dewi Citrawati yaitu putra Prabu Citradarma dari negara Manggada, penaklukan raja Rahwana oleh Prabu Arjunasasrabahu di mana Rahwana berjanji akan menjadi manusia yang baik, kematian Bambang Sumantri setelah diangkat menjadi patih di Mahespati dengan gelar Patih Suwanda. Baik babad Mahespati maupun cerita Ramayana, menonjolkan Dewa Wisnu sebagai sumber peranan, sumber kesaktian dalam mengamankan dunia.
37
Gambar 17. Ilustrasi pertarungan Rama Bargawa dengan Arjunasasrabahu (Sumber: http://mitrabangsa-seni.blogspot.com/)
Prabu Arjunasasrabahu kemudian gugur oleh Begawan Rama Bargawa, yang menyangka bahwa Prabu Arjunasasrabahu adalah titisan Batara Wisnu. Setelah Prabu Arjunasasrabahu mangkat, Rahwana mengingkari sumpahnya dan kembali mengumbar angkara murka. Memang benar bahwa Prabu Arjunasasrabahu adalah titisan Batara Wisnu, tetapi pada saat bertempur melawan Begawan Rama Bargawa, Batara Wisnu sudah meninggalkan raga Prabu Harjunasasrabahu.
Menurut
beberapa
kitab,
Prabu
Arjunasasrabahu adalah titisan Batara Wisnu, karena memiliki ciri-ciri yang sama dengan Batara Wisnu, salah satunya yaitu bisa ber-Triwikrama. -
Kisah Ramaparasu RAMA BARGAWA, atau yang lebih dikenal dengan nama Rama Parasu, merupakan salah satu tokoh wayang lintas batas, artinya ada dicerita Ramayana dan Mahabarata. Brahmana yang juga
38
pertapa sakti bertekad menjungkirbalikkan tata nilai dan anggapan masyarakat kala itu yang terlalu mengagungkan golongan ksatria. Bertahun-tahun ia berkelana mengelilingi dunia hanya untuk mencari perkara dan alasan agar dengan kesaktian yang dimilikinya. ia dapat membunuh ksatria sebanyak-banyaknya.
Gambar 18. Rama Bargawa atau Parasu Rama, seorang begawan atau resi yang terkenal sangat membenci satria. (Sumber: http://batararama.multiply.com/)
Nama Rama Bargawa diperolehnya karena ia merupakan keturunan Maharesi Bregu yang ternama. la juga dinamakan Rama Parasu, karena senjata andalannya adalah kapak. Parasu berarti kapak. Kelak, Rama Bargawa akan berhadapan dengan Rama Wijaya dalam kisah Ramayana, serta mengajarkan ilmu kesaktian kepada Bisma, Durna, dan Karna dalam kisah Mahabharata. b. Kisah Ramayana Ramayana pada wayang golek purwa, mengacu kepada kisah asli; Ramayana, yang terdiri atas tujuh “kanda”. Istilah kanda yang
39
digunakan dalam kisah Ramayana dapat diartikan sebagai babak atau bagian. 1) Bala kanda, mengisahkan Kusya dan Lawa, menjadi pencerita tentang kisah Rama yang telah tega mengusir Dewi Sinta yang sedang hamil. Sinta kemudian dipelihara oleh Resi Walmiki sampai
melahirkan
Kusya
dan
Lawa.
Rama
kemudian
menyadari perilakunya. 2) Ayodya kanda, cerita Kusya dan Lawa tentang leluhur Rama. Kisah Dasarata yang akan melantik Rama menjadi raja yang digagalkan Dwei Kakeyi yang menuntut anaknya Barata dijadikan raja. Padahal Barata tidak menghendakinya. Akhirnya, Rama harus dibuang ke dalam hutan. 3) Arania kanda: yang mengisahkan kehidupan Rama, Sinta dan Laksmana di hutan Dandaka. Kanda ini diakhiri dengan diculiknya Dewi Sinta oleh Rahwana, dan Rama mencari permaisurinya. 4) Kiskenda kanda, mengisahkan pertarungan Resi Sobali dan Sugriwa. Dengan pertolongan Rama, Sobali dapat dibunuh. Dengan matinya Sobali, Sugriwa mengerahkan rakyatnya membantu Rama. 5) Sundara kanda, Anoman diutus memberikan cincin Batara Rama kepada Dewi Sinta. Anoman memberikan cincin Rama di taman Soka, dan Sinta memberikan konde (cundamanik). Anoman dikepung oleh wadiabala Alengka. Anoman membakar sebagian Alengka. Babak ini sering disebut Anoman Duta.
40
Gambar 19. Salah satu adegan dalam Sendratari Ramayana yang menggambarkan kisah Hanoman Duta (Sumber: http://sonces.blogspot.com/)
6) Yuda kanda, mengisahkan perang antara Rama dan Rahwana, yang diakhiri dengan kematian Rahwana, karena dihimpit gunung Sondara-Sondari. Diakhiri dengan kembalinya Dewi Sinta ke Ayodya, disertai Dewi Trijata. 7) Utara kanda, kisah yang berisi pembakaran Sinta untuk membersihkan tudingan masyarakat, karena prasangka akan kesucian Dewi Sinta. Karena Sinta merupakan isteri setia, Sinta tetap tanpa cacat walaupun dibakar. Masyarakat percaya dan Rama menerima Sinta sebagi permasurinya. Babak ini sering disebut dengan Sinta Labuhgeni atau Sinta Obong. Namun masyarakat tetap berburuk sangka, setelah Sinta dinyatakan suci, Sinta kembali ke hutan dan dipelihara oleh Resi Walmiki, sampai melahirkan Kusa dan Lawa. Sinta diminta untuk kemali ke Ayodya, tetapi Sinta malah memasuki Patala dan diterima oleh Dewi Pratiwi. c. Kisah Mahabharata Seperti halnya Ramayana, Mahabarata juga digunakan sebagai acuan, dan terdiri dari 18 parwa atau bagian.
41
1)
Adiparwa, mengisahkan leluhur Pandawa dan Korawa, diantaranya juga mengisahkan Raja Duswanta-Dewi Sakuntala (orangtua Barata). Juga dikisahkan riwayat kelahiran Destarata dan Pandu serta kelahiran anak-anaknya dan perangainya. Asal
muasalnya
perselisilah
Pandawa
dan
Korawa.juga
sayembara di pancala. Parwa ini sering disebut LULUHUR PANDAWA. 2)
Sabha parwa, persidangan para putra mahkota, perjudian dengan dadu yang berakibat Pandawa harus masuk hutan Kamiaka slama 12 tahun. Parwa ini sering disebut PANDAWA DADU.
Gambar 20 Drupadi menerima penghinaan yang sangat keji dari Dursasana ketika Pandawa kalah bermain dadu dengan Kurawa. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sabhaparwa)
3)
Wana parwa, kehidupan selama pengembaraan Pandawa di hutan.
4)
Wirata parwa, penyamaran Pandawa selama satu tahun di negara Wirata. Pada bagian ini dikisahkan juga tentang terbunuhnya Kaecaka.
42
Gambar 21 Penyamaran Pandawa selama satu tahun di negara Wirata tanpa diketahui oleh Kurawa maupun raja Wirata (Sumber: http://baltyra.com/2012/07/18/draupadi-5/)
5)
Udyoga parwa, persiapan Baratayuda, meminta bantuan negara sahabat. Kresna menjadi duta Pandawa untuk meminta Amarta. Dalam padalangan Sunda, Sering disebut bab KRESNA DUTA.
6)
Bisma parwa, mengisahkan keperwiraan Resi Bisma dalam memimpin bala Korawa. Bisma dikalahkan Dewi Srikandi yang merupakan titisan Dewi Amba.
7)
Drona parwa, mengisahkan taktik perang yang digunakan bala Korawa dibawah pimpinan Resi Dorna. Resi Dorna gugur karena
kecintaannya
kepada
anaknya
Aswatama
yang
didengarnya sudah gugur dan percaya akan kata-kata Samiaji. 8)
Karna parwa, pertempuran Karna sebagai Mahasenapati Korawa melawan Arjuna. Akhirnya Karna gugur. Cerita ini lebih terkenal dengan nama KARNA TANDINGAN atau KARNA TINANDING.
43
Gambar 22. Pertempuran antara Karna dan Gatotkaca yang menyebabkan gugurnya Gatotkaca oleh senjata Konta milik Karna (Sumber: http://www.santaisejenak.com/cerita-rakyat/suluhan-gatotkaca-gugur/)
9)
Salya parwa, pertempuran Mahasenapati Salya. Salya terkena panah Samiaji akibat supata Resi Bagaspati, mertua Salya.
10) Sauptika
parwa,
penyerbuan
tiga
pahlawan
Korawa,
dipimpin Aswatama dan berhasil membunuh Drestajumena, Srikandi dan Pancawala. Aswatama dikutuk oleh Batara Kresna, sehingga sukmanya “berada di dalam tanah”. 11) Stri parwa, mengisahkan kesedihan janda-janda dari kedua belah pihak. 12) Santi parwa, nasihat kewajiban dan tugas Kepala Negara dari Kresna, serta dari Bisma, agar tenang tenteram mengurus negara, serta persiapan kurban kuda. 13) Anusasana parwa, nasihat Resi Bisma sebelum meninggal. 14) Aswamedika parwa, korban kuda, upacara pelantikan Semiaji jadi raja. 15) Asramawasana parwa, Destarata, Dewi Gandari dan Dewi Kunti, bertapa di hutan, dan meninggal akibat kebakaran hutan.
44
16) Mausala
parwa,
mengisahkan
meninggalnya
Prabu
Baladewa dan Batara Kresna. Negara Meralaya ditelan ombak, rakyat Meralaya musnah akibat saling gada. Batara Kresna meninggal akibat terpanah kakinya. 17) Mahasprahastanika
parwa,
mengisahkan
Semiaji
menyerahkan tahta Astina kepada Parikesit. Selanjutnya Pandawa mengadakan perjalanan suci ke Himalaya. Masingmasing Pandawa meninggal kecuali Semaji. 18) Swargarohana parwa, buku terakhir. Semaji melihat saudara-saudaranya di neraka dan Korawa di sorga yang kemudian bertukar tempat, Pandawa berada di sorga. Dalam kisah Mahabarata terdapat cerita/lakon yang tidak dapat dengan begitu saja dipergelarkan, yaitu Bharata Yudha (Perang Barata), namun kisah-kisah ini paling menarik masayarakat. Sehingga Baratayuda ini penyajian pagelarannya dibagi dalam 24 lakon. 1) KRESNA DUTA, Kresna menjadi utusan Pandawa meminta kembali kerajaan Amarta atau Indraprahasta, tetapi Korawa tetap pada pendiriannya, yang akhirnya diputuskan untuk tetap berperang. 2)
JAYA SETA, berkisah tentang gugurnya Seta oleh Resi Bisma.
3)
JAYA RENYUAN, berkisah tentang gugurnya Abimanyu oleh Jayadrata, oleh senjata Gagakrancang, sehingga tubuhnya dipenuhi panah.
4)
JAYA TIGASAN, berkisah tentang Arjuna sedih atas kematian Abimanyu, dan membalas dendam kepada Jayadrata. Jayadrata gugur oleh Arjuna.
5)
JAYA PERBANGSA, berkisah tentang gugurnya Gatotkaca akibat senjata Konta yang digunakan Adipati Karna.Konta
45
menghilang bersama sukma Gatotkaca, layaknya sebuah keris yang masuk ke dalam warangkanya, karena warangka Konta ada dalam pusar Gatotkaca. 6)
JAYA JAMABAKAN, berkisah tentang matinya Dursasana oleh Bima. Darah Dursasana digunakan untuk mencuci rambut Dewi Drupadi serta juga diminum Bima.
7)
KARNA TINANDING, berkisah tentang gugurnya Adipati Karna oleh Arjuna.
8)
JAYA LENGLENGAN, berkisah tentang gugurnya Prabu Salya oleh Darmakusumah, yang juga dibantu oleh supata Resi Bagaspati (mertua Salya)
9)
JAYA LENGGAKAN, berkisah tentang gugurnya resi Dorna oleh Drestajumena, setelah dibohongi bahwa Aswatama mati.
10) JAYA SEBITAN, berkisah tentang binasanya Patih Sangkuni oleh Bima, dengan menghantam mulut Sangkuni. 11) JAYA PUPUAN, berkisah tentang gugurnya Prabu Suyudana oleh Bima. Suyudana membilas badannya dengan minyak Renggatala/Kamandungu sehingga kebal, tetapi paha (PUPU) kirinya tidak kena minyak, karena sudah habis. Paha Suyudana menjadi titik matinya Suyudana, dan dipukul Bima. 12) JAYA
GANGSIRAN,
berkisah
tentang
dibunuhnya
Drestajumena, Pancawala dan Srikandi oleh Aswatama, pada saat tidur di kemah. Aswatama dikutuk Kresna, sukmanya beredar di dalam tanah. 13) JAYA SUNGGAL, berkisah tentang matinya anak-anak Raja Wirata : Wratsangka terbunuh oleh Resi Dorna dan Utara oleh Prabu Salya. 14) JAYA AMPUWALIKAL, berkisah tentang gugurnya Irawan, anak Arjuna, oleh Kalasrenggi. Kalasrenggi dibunuh Arjuna
46
15) JAYA PRABATA, mengisahkan Sang Prabata, wasu bungsu yang menitis kepada Bisma melawan Srikandi titisan sukma Dewi Amba. Resi Bisma dipenuhi panah-panah Srikandi. 16) JAYA LALEWA, berkisah tentang Dewi Siti Sondari, melakukan satia - labuh geni, karena meninggalnya Abimanyu. 17) JAYA GANDOLAN, mengisahkan gugurnya Burisrawa oleh Padmanagara/ Sencaki. 18) JAYA GITIKAN, mengisahkan kematian Antaraeja, akibat menjiat tapak kakinya. 19) JAYA KALAMUNCUL, berkisah tentang saat Arjuna dan Dipati
Karna
bertempur,
muncul
ular
yang
bernama
Ardawalika, yang ingin membalas dendam kepada Arjuna, karena ayahnya dibunuh Arjuna. Dengan nasihat Batara Kresna, Ardawalika dapat dibunuh. 20) JAYA RUNIAGA, mengsahkan Dewi Surtikanti melakukan satia-labuhgeni akibat gugurnya Dipati Karna. 21) JAYA WINAGUN, Arjuna melawan Walmuka, tetapi Kresna marah dan pulang ke Dwarawati. 22) JAYA SUMINGGAR, berkisah tentang Wisata mendakwa Batara
Kresna,
bahwa
pelaku
licik
dibiarkan.
Kresna
mengatakan sukar melaksanakannnya karena perang yang hebat, tak dapat lagi membedakan mana yang benar dan yang curang. 23) JAYA WIGEGELA, berkisah tentang Prabu Salya bertengkar dengan Aswatama, karena Salya “curang” ketika menjadi kusir Dipati Karna. 24) JAYA SUMINGKAL, berkisah tentang Resi Abiasa mengusir siluman dan para setan.
47
2. Lakon Carangan Lakon carangan, atau disebut dengan carangan saja, adalah cerita gubahan dalang yang hanya garis pokoknya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang. Lakon carangan boleh dikatakan sebagai lakon asli yang diberi tambahan atau bumbu-bumbu berupa carangan (carang dalam bahasa Jawa berarti dahan). Lakon Carangan yang lazim dipentaskan di antaranya adalah kisah Babad Alas Mertani, Partakrama, Aji Narantaka, Abimanyu Lahir, dan sebagainya. 3. Lakon Sempalan Lakon sempalan merupakan lakon atau cerita yang sama sekali terlepas dari pakem pewayangan. Alur cerita dalam lakon sempalan merupakan karangan utuh dalang atau pengarang. Hanya nama dan tempat saja yang digunakan dalam lakon jenis ini. Misalnya cerita Dawala Gugat, yang mengisahkan gugatan Dawala atau Petruk terhadap Batara Guru yang telah menelantarkan hidupnya, padahal dirinya memiliki hak yang sama dengan para dewa lainnya. 4. Lakon Lain-lain Pengggolongan lakon atau cerita dalam pewayangan juga ada yang didasarkan kepada jenis ceritanya, di antarannya: lakon lahiran, lakon raben, lakon gugur, lakon wahyu, lakon banjaran, lakon gugat dan lakon brubuh. •
Lakon Lahiran biasanya mengisahkan tentang lahirnya seorang tokoh dalam pewayangan, sebagai contoh lahirnya Dasamuka, lahirnya Wisanggeni, lahirnya Gatotkaca, dan sebagainya.
48
Gambar 23. Gatotkaca terlahir dengan nama Jabang Tutuka. Kelahiran Gatotkaca menjadi salah satu cerita sempalan yang menarik untuk diperhatikan. (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/)
•
Lakon Raben biasanya mengisahkan tentang seorang ksatria yang menyunting seorang puteri untuk dijadikan istrinya. Lakon Raben yang paling terkenal adalah Rabine Premadi.
•
Lakon Gugur biasanya menceriterakan wafatnya seorang tokoh wayang, misalnya Salya Gugur, Bisma Gugur, Duryudana Gugur, dan sebagainya.
•
Lakon Wahyu menceriterakan mengenai keberuntungan seorang ksatria yang mendapatkan anugerah dari dewata karena kesucian hatinya dalam memaknai setiap cita-citanya. Lakon wahyu yang paling terkenal yakni Wahyu Makutharama. Lakon wahyu ini sangat banyak dan tergolong paling disukai masyarakat penggemar wayang. Karena sifatnya yang ringan, banyak humor, berpetuah, dan ramai dalam sajian, serta diyakini akan membawa berkah kebaikan pada penanggap pasca mengadakan pergelaran wayang.
•
Lakon Banjaran merupakan kreativitas baru terutama dari Dalang Ki Timbul Hadiprayitno. Banjaran serupa visualisasi riwayat hidup seorang tokoh, lengkap dari lahir sampai mati. Maka
49
lakon Banjaran Sangkuni menceritakan lahirnya Sangkuni dan nama aslinya, bagaimana ia mendapat jabatan patih di Astina, bagaimana ia menyulut pembakaran para Pandawa, sampai kematian Sangkuni dalam perang Baratayudha. Lakon Banjaran lainnya adalah Banjaran Durna, Banjaran Bhisma, Banjaran Salya, Banjaran Pandu dan sebagainya. •
Lakon Gugat merupakan semacam representasi visualiasi protes pada keadaan yang tidak beres atau ketidak-adilan. Misalnya, Pandawa Gugat, Pandu Gugat, Gatotkaca Gugat. Walaupun tidak menggunakan kata "gugat" namun lakon Petruk Jadi Ratu menampilkan gugatan orang kecil pada majikannya.
•
Lakon Brubuh menceritakan hancurnya suatu kerajaan. Maka ada lakon Brubuh Alengka dan Brubuh Astina
50
TOKOH PANAKAWAN ATAU PUNAKAWAN
Panakawan (diambil dari bahasa Jawa) atau punakawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebutan umum untuk para pengikut ksatria dalam khasanah kesusastraan Indonesia, terutama di Jawa. Pada umumnya para panakawan ditampilkan dalam pementasan wayang, baik itu wayang kulit, wayang golek, ataupun wayang orang sebagai kelompok penebar humor untuk mencairkan suasana. Namun di samping itu, para panakawan juga berperan penting sebagai penasihat ksatria yang menjadi asuhan mereka. Istilah punakawan berasal dari kata pana yang bermakna "paham", dan kawan yang bermakna "teman". Maksudnya ialah, para panakawan tidak hanya sekadar abdi atau pengikut biasa, namun mereka juga memahami apa yang sedang menimpa majikan mereka. Bahkan, seringkali mereka bertindak sebagai penasihat majikan mereka tersebut.
Gambar 24. Sosok pakakawan versi wayang kulit Jawa Tengah. Dari kiri ke kanan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (Sumber: http://id.wikipedia.org/)
Para tokoh dalam kelompok Punakawan ini memiliki karakter yang menarik karena mewakili simbol kerendahhatian dan penebar hikmah. Mereka adalah tokoh multiperan yang dapat menjadi penasihat para
51
penguasa/ksatria bahkan dewa, penghibur, kritikus hingga menjadi penyampai kebenaran dan kebajikan. 1. Sejarah Punakawan dalam Pewayangan Pementasan wayang hampir selalu dibumbui dengan tingkah laku lucu para panakawan. Pada umumnya kisah yang dipentaskan bersumber dari naskah Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari India. Meskipun demikian, dalam kedua naskah tersebut sama sekali tidak dijumpai adanya tokoh panakawan. Hal ini dikarenakan panakawan merupakan unsur lokal ciptaan pujangga Jawa sendiri. Menurut sejarawan Slamet Mulyana, tokoh panakawan muncul pertama kali dalam karya sastra berjudul Ghatotkacasraya karangan Empu Panuluh pada zaman kerajaan Kediri. Naskah ini menceritakan tentang bantuan Gatotkaca terhadap sepupunya, yaitu Abimanyu yang berusaha menikahi Sundari, putri Sri Kresna.
Gambar 25. Ilustrasi panakawan dalam komik di Indonesia menggambarkan Semar bersama ketiga anaknya yang tiada henti bersenda gurau (Sumber: http://wayang.wordpress.com/)
Dikisahkan Abimanyu memiliki tiga orang panakawan bernama Jurudyah,
Punta,
dan
Prasanta.
52
Ketiganya
dianggap
sebagai
panakawan pertama dalam sejarah kesusastraan Jawa. Dalam kisah tersebut peran ketiganya masih belum seberapa, seolah hanya sebagai pengikut biasa. Panakawan selanjutnya adalah Semar, yang muncul dalam karya sastra berjudul Sudamala dari zaman Kerajaan Majapahit. Dalam naskah ini, Semar lebih banyak berperan aktif daripada ketiga panakawan di atas. Pada zaman selanjutnya, untuk menjaga keterkaitan antara kedua golongan panakawan tersebut, para dalang dalam
pementasan
wayang
seringkali
menyebut
Jurudyah
Puntaprasanta sebagai salah satu nama sebutan lain untuk Semar. 2. Tokoh Semar dalam Pewayangan Sebagaimana disebutkan di atas bahwa nama Semar pertama kali ditemukan dalam sebuah karya sastra berjudul Sudamala yang ditulis pada masa dalam
kerajaan
Majapahit.
Selain
bentuk
kakawin,
kisah
Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439. Nama Semar kemudian dikukuhkan
sebagai
salah
satu
panakawan dalam cerita pewayangan Gambar 26. Sosok Semar versi wayang golek gaya Priangan (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/)
Jawa dan Sunda. Semar dikisahkan sebagai abdi atau
hamba
tokoh
utama
cerita
tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang. Pada
zaman
berikutnya,
ketika
kerajaan-kerajaan
Islam
berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai
53
salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam ingatan masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, yakni Sunan Kalijaga, mempertahankan keberadaan tokoh Semar ini. Bahkan, peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala. Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan penjelmaan Batara Ismaya, kakak kandung dari Batara Guru, raja para dewa. Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar, yakni versi Serat Kanda, versi Paramayoga, versi Purwakanda, dan versi Purwacarita. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa. Dalam tradisi pewayangan Jawa dan Sunda, nama Semar dilengkapi dengan Badranaya sehingga menjadi Semar Badranaya. Kata Badranaya ini berasal dari kata Bebadra yang berarti ”membangun sarana dari dasar” serta kata naya = nayaka = utusan mangrasul. Jadi, kata badranaya mengandung makna ”mengemban sifat
membangun
dan
melaksanakan
perintah
Allah
demi
kesejahteraan manusia”. Badannya pendek, tambun, berkulit hitam pekat tetapi wajahnya putih kepalanya berkuncung sejumput rambut berwarna putih. Tokoh ini bernama Semar. Jabatannya lurah di Desa Karang Tumaritis termasuk wilayah Kabupaten Madukara, Pandawa. Karena itu ia sering pula disebut Lurah Semar atau Lurah Kudapawana.
54
Abdi dalem Kerajaan Pandawa itu hidup amat sederhana bersama istrinya, Dewi Sutiragen (Sudiragen) seorang putri raja serta tiga anaknya. Ada perbedaan urutan
anak-anak
pewayangan
Jawa
Semar dan
di
dalam
Sunda.
Dalam
pewayangan Jawa, anak sulung Semar bernama Gareng kemudian Petruk dan yang bungsu bernama Bagong. Sedangkan dalam pewayangan Sunda, anak sulung bernama Cepot alias Sastrajingga alias Bagong. Kedua bernama Dawala dengan nama kecil Udel, dan yang bungsu bernama Gareng alias Nalagareng.
Gambar 27. Cepot atau Astrajingga versi wayang golek Sunda (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/)
3. Semar dan Anak-anaknya Baik dalam versi Jawa Tengah maupun versi Sunda, anak-anak Semar seluruhnya ada tiga orang sebagaimana telah disebutkan di atas. Akan tetapi, pada versi Cirebon terdapat lebih banyak anak-anak Semar. Urutan anak Semar pada wayang versi Jawa Tengah adalah Gareng, Petruk, dan Bagong. Gareng dianggap anak tertua, yang disusul oleh Petruk, dan si bungsu Bagong. Sementara itu, pewayangan gaya Jawa Timuran menyebut pasangan Semar hanya Bagong saja, serta anak Bagong yang bernama Besut. Menurut versi Sunda, Cepot atau Astrajingga adalah anak tertua, disusul oleh Dawala atau Petruk, dan anak bungsu Gareng atau Nalagareng. Baik Cepot, Dawala, maupun Gareng tidak terlahir dari perkawinan Semar dengan Sutiragen, melainkan hasil ciptaan Semar sendiri. Banyak versi tentang kelahiran ketiga anak Semar ini, salah satu di antaranya adalah sebagai berikut.
55
Sanghyang Antaga, adik dari Sanghyang Ismaya, menyatakan bahwa ia tidak sanggup memelihara Pusaka Jamus
Layang
Kalimasada.
Antaga
menyerahkan pusaka itu kepada Semar. Tetapi,
Antaga
teman.
Togog
kemudian kemudian
meminta memohon
dengan cara mujasmedi seraya meminta dari
pusaka.
Muncullah
seorang
makhluk yang mirip Togog, hanya agak kurus, dan dinamai Sarawita. Togog dan Gambar 28. Dawala alias Petruk, anak kedua Semar, versi wayang golek (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/).
Sarawita meninggalkan Semar, menuju ke arah barat. Sepeninggal Togog atau Antaga
beserta anaknya, Semar menangis sendiri beserta pusaka Layang Jamus Kalimasada. Tiba-tiba datanglah hujan yang sangat deras. Semar berlari-lari mencari tempat berteduh, dan menemukan dangau sehingga ia masuk ke dalam dangau tersebut. Tiba-tiba hujan berhenti dan seketika terang benderang. Semar sangat gembira dan merasa ditolong oleh dangau, lalu ia meminta kepada pusaka yang dipegangnta agar dangau itu dijadikan teman. Seketika muncullah orang yang mirip Semar namun agak kecil, dan dinami Astra (Asta) Jingga, asta artinya lengan – jingga jenis warna, yang berarti bibit kehidupan. Dalam perjalanannya Semar dan Astrajingga menemukan patok, yang diubah melalui pemujaan oleh Semar, yang menjelma menjadi manusia jangkung berhidung panjang dan dinamai Petruk yang artinya patok di jalan. Pada perjalanan berikutnya, Petruk memiliki nama lain yang lebih populer, yakni Dewala atau Udel.
56
Semar bersama kedua anaknya terus berjalan dan memasuki sebuah tempat perlindungan sehingga semua binatang buas tak
mampu
mengganggu.
Tempat
perlindungan itu kemudian di”puja” dan menjelma menjadi orang pendek, bertangan bengkok dan berperut buncit dan dinamai Nalagareng, artinya hati yang kering. Bersama ketiga anaknya inilah Semar mengabdi
kepada
satria-satria
yang
memiliki budi luhur.
Gambar 29. Gareng atau Nalagareng, anak bungsu Semar, versi wayang golek Sunda. (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/)
4. Togog Tejamantri Togog adalah tokoh wayang yang digunakan pada lakon apapun juga di pihak raksasa. Ia sebagai pelopor petunjuk jalan pada waktu raksasa yang diikutinya berjalan ke negeri lain. Pengetahuan Togog dalam hal ini, karena ia menjelajah banyak negeri dengan
menghambakan
dirinya,
dan
sebentar kemudian pindah pada majikan yang lain hingga tak mempunyai kesetiaan. Karena
itu
kelakuan
Togog
sering
diumpamakan pada seseorang yang tidak setia pada pekerjaannya dan sering berganti majikan. Gambar 30. Togog, penjelmaan Sanghyang Antaga, versi wayang golek Sunda (Sumber: http://wayang.wordpress.com /)
Togog
adalah
penjelmaan
dari
Sanghyang Antaga, saudara dari Sanghyang Ismaya atau Semar. Selama hidupnya, Togog hanya mengabdi kepada raja-raja yang
angkara murka, tetapi dia sendiri tidak pernah terpengaruh. Tugasnya
57
hanya menasihati raja angkara murka tersebut bukan mengikuti kemauannya. Akibatnya, setiap kali raja angkara murka tidak dapat dinasihati, maka Togog dan putranya pun meninggalkannya. Togog bermata keran (juling), hidung pesek, mulut mrongos (jongang), tak bergigi, kepala botak, rambut hanya sedikit di tengkuk. Bergelang. Kain slobog (nama batik), berkeris dan berwedung. Togog bersuara besar, cara menyuarakannya dengan suara dalam leher dibesarkan. Punakawan atau panakawan ternyata tidak hanya terdapat dalam cerita pewayangan saja. Pada cerita-cerita lain pun kerap ditemukan tokohtokoh yang bisa dianggap sebagai panakawan. Dalam cerita-cerita panji dikenal beberapa panakawan seperti Sabdapalon dan Nayagenggong. Dalam kisah-kisah babad di Sunda dikenal adanya tokoh Lengser.
58
KARAKTERISASI DALAM WAYANG
Pertunjukan wayang, baik wayang kulit, wayang golek, maupun wayang orang, adalah bentuk teater total. Seluruh unsur teater terdapat dalam proses pertunjukan wayang, termasuk karakterisasi tokoh-tokoh yang berlaku di dalamnya. Jika
di
dalam
pementasan
teater
modern
permasalahan
karakterisasi menjadi bagian dari penafsiran aktor, maka dalam pertunjukan wayang justru tidak. Karakterisasi dalam wayang merupakan unsur pokok yang sudah ditetapkan aturannya. Pengembangan karakter dasar tokoh Gatotkaca oleh semua dalang pasti sama dan tidak boleh berubah. Demikian pula halnya dengan pengembangan karakter para panakawan. Guyonan dan humor hanya boleh dilontarkan melalui tokohtokoh panakawan serta para raksasa. Sedangkan para satria tidak diperbolehkan melahirkan guyonan. Sosok satria menurut pakem pewayangan merupakan suatu keharusan yang tidak boleh diubah dan dipermainkan semau dalang. Selain melalui pemahaman dan pengembangan karakter melalui ucapan dan gerak dalang, pada wayang golek karakter wayang dapat dilihat dari bentuk fisik serta warna wajah golek yang bersangkutan. Wajah-wajah wayang golek ada yang putih, ada yang berwajah krem, biru, merah, hijau, dan lain-lain. Setiap warna tersebut melambangkan karakter dasar dari sosok wayang tersebut. Warna merah mewakili sifat-sifat keberingasan, sifat toma (angkara murka), ketidaksabaran, rasa wera (amarah). Warna hitam dan biru mewakili sifat-sifat ketentraman, kebangkitan rohani, kedewasaan. Warna putih mewakili sifat-sifat kemurnian, budi luhur dan tatakrama, sedangkan warna mas atau kuning (krem) mewakili karakter para narapati dan kaum ningrat.
59
Di samping itu, karakter dasar masing-masing tokoh dalam pewayangan telah ditetapkan dan seorang dalang harus menguasainya dengan lengkap. 1. Tokoh-tokoh pada Babad Lokapala Pada babad Lokapala terdapat beberapa tokoh penting yang perwatakannya harus diperhatikan. -
Resi
Wisrawa
adalah
putra
Resi
Supadma dari pertapaan Giri Jembatan, masih keturunan Bathara Sambodana, putra Bathara Sambu. Resi Wisrawa sangat sakti dan termashur dalam ilmu Kasidan.
Ia
dengan
kemudian
saudara
dinikahkan
sepupunya.
Dewi
Lokawati, putri Prabu Lokawana raja negara
Lokapala
dengan
permaisuri
Dewi Lokati. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra bernama Wisrawana yang kemudian menjadi raja Lokapala bergelar Prabu Danapati atau
Gambar 31. Begawan Wisrawa (Sumber: http://wayang.wordpress.com)
Danaraja. -
Sukesi adalah putri sulung Prabu Sumali, raja negara Alengka dengan permaisuri Dewi Desidara. Ia mempunyai adik kandung bernama Prahasta. Walau ayahnya berwujud raksasa Dewi Sukesi berwajah cantik seperti ibunya, seorang hapsari/bidadari. Ia mempunyai perwatakan, sangat bersahaja, jujur, setia dan kuat dalam pendirian. Setelah dewasa Dewi Sukesi menjadi lamaran para satria dan raja. Untuk menentukan pilihan, Dewi Sukesi menggelar sayembara : barang siapa yang bisa menjabarkan ilmu “Sastra Harjendra Yuningrat” dialah yang berhak menjadi suaminya. Selain itu, pamannya, Ditya Jambumangli putra Ditya
60
Maliawan, yang secara diam-diam mencintai Dewi Sukesi ikut mengajukan satu persyaratan; bahwa hanya mereka yang dapat mengalahkan dirinya yang berhak mengawini Dewi Sukesi. Sayembara akhirnya dimenangkan oleh Resi Wisrawa, brahmana dari pertapaan Girijembatan, yang meminang Dewi Sukesi atas nama
putranya,
Wisrawana/Danaraja,
Prabu raja
negara
Lokapala. Selain dapat menjabarkan ilmu “Sastra Harjendra Yuningrat”, Resi Wisrawa juga berhasil membunuh Ditya Jambumangli. Dewi Sukesi yang menolak
dinikahkan
dengan
Prabu
Danaraja, akhirnya menikah dengan Resi
Wisrawa.
Dari
perkawinan
tersebut, ia memperoleh empat orang putra,
masing-masing
bernama
Rahwana, Arya Kumbakarna, Dewi Sarpakenaka dan Arya Wibisana. -
Prabu Sumali adalah putra Prabu
Gambar 32. Dewi Sukesi yang bersikukuh ingin menguasai ilmu Sastra Jendra (Sumber: http://wayang.wordpress.com/)
Suksara, raja raksasa negara Alengka dengan permaisuri Dewi Subakti. Ia mempunyai adik kandung bernama Ditya Maliawan. Prabu
Sumali
menjadi
raja
negara
Alengka
menggantikan
kedudukan ayahnya, Prabu Suksara yang mengundurkan diri hidup sabagai brahmana. Prabu Sumali adalah raja Aditya yang berwatak brahmana. Ia memerintah negara dengan arif dan bijaksana, adil dan jujur. Prabu Sumali menikah dengan Dewi Desidara, seorang hapsari keturunan Bathara Brahma dari permaisuri Dewi Sarasyati. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra masingmasing bernama Dewi Sukesi dan Prahasta. -
Arjunasasrabahu adalah seorang raja yang gagah perkasa, tinggi kesaktiannya, serta merupakan salah satu titisan Wisnu. Karakter
61
dasar Arjunasasrabahu adalah karakter satria gagah tetapi santun. Kartawirya atau Sahasrarjuna adalah nama seorang tokoh dalam mitologi Hindu yang dikenal sebagai raja Kerajaan Hehaya yang beribu kota di Mahismati. Konon, ia dilukiskan memiliki seribu lengan sehingga dikenal pula dengan sebutan Arjuna Sahasrabahu, atau "Arjuna yang Berlengan Seribu". Kartawirya Arjuna merupakan pemuja setia Dewa Dattatreya. Ia pernah mengalahkan Rahwana, musuh besar Sri Rama dalam kisah Ramayana. Ia sendiri akhirnya mati di tangan awatara Wisnu yang bernama Parasurama. Akan tetapi, dalam pewayangan Jawa yang disebut sebagai awatara Wisnu justru Kartawirya Arjuna sendiri. Dalam versi ini, Kartawirya Arjuna lebih sering disebut dengan nama Arjuna Sasrabahu, yang dikenal sebagai raja Kerajaan Mahespati.
Gambar 33. Dua versi sosok Arjuna Sasrabahu yang digambarkan sebagai avatar Wisnu (Sumber: http://archive.kaskus.co.id/thread/11302687/40)
-
Bambang Sumantri atau Patih Suwanda, adalah seorang satria perkasa yang memiliki sifat agak angkuh. Dia hanya tunduk kepada Arjunasasrabahu. Karakternya kuat, bicaranya ringan, tetapi tetap santun. Bambang Sumantri adalah keponakan Rama Bergawa. Dia
62
mempunyai adik bernama Sukrasana yang buruk rupa. Dia pernah dihukum oleh Arjuna Sasrabahu karena ingin menikahi calon istri Arjuna Sasrabahu, yaitu diperintah untuk memindahkan Taman Sriwedari ke alun-alun kota. Berkat bantuan adiknya taman itu bisa dipindahkan. Namun karena malu punyak adik buruk rupa akhirnya secara tidak sengaja Sukrasana terbunuh oleh kakaknya sendiri. Sumantri mati oleh Sukrasana yang menjelma menjadi buaya ketika Sumantri berkelahi dengan Rahwana. -
Sukasrana, adalah adik dari Sumantri. Tubuhnya berwujud raksasa kerdil dan sangat mencintai kakaknya. Sukasrana adalah tipe tokoh yang jujur, rendah hati, sangat setia, dan sakti mandraguna. Ia putra Resi Suwandagni dari pertapaan Argasekar dengan permaisuri Dewi Darini, seorang hapsari keturunan Bathara Sambujana, putra Sanghyang Sambo. Ia mempunyai seorang kakak bernama Bambang Sumantri, yang berwajah sangat tampan.
2. Tokoh-tokoh pada Periode Ramayana Pada periode Ramayana terdapat beberapa tokoh
penting
yang
harus
diperhatikan
perwatakannya. -
Sri Rama adalah pewaris tahta kerajaan Kosala. Ia merupakan titisan Wisnu. Karakter dasarnya adalah lemah lembut, santun, dan penuh wibawa. Sri Rama atau Ramacandra adalah salah satu tokoh utama dalam wiracarita Ramayana. Ia adalah putera dari Prabu Dasarata (raja Ayodhya) dipandang
dengan
Kosalya.
sebagai
Rama
Gambar 34. Sri Rama versi wayang golek (Sumber: http://saungreyodastrajingga. blogspot.com/)
Maryada
Purushottama, yang berarti manusia sempurna. Ia juga diyakini sebagai awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun pada zaman
63
Tretayuga. Rama beristrikan Dewi Sita atau Dewi Sinta, yang merupakan inkarnasi dari Dewi Laksmi. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai dua anak kembar yaitu Kusa dan Lawa. -
Laksmana atau Laksmanawidagda adalah putra Prabu Dasarata, raja negara Ayodya dengan permaisuri kedua Dewi Sumitra, putri Prabu Ruryana raja negara Maespati. Ia mempunyai empat orang saudara seayah lain ibu masing-masing bernama Ramawijaya/ Ramadewa, dari permaisuri Dewi Kusalya, dan Barata, Satrugna serta Dewi Kawakwa ketiganya putra Prabu Dasarata dengan permaisuri Dewi Kekayi. Laksmana bertempat tinggal di kesatrian Girituba. Ia seorang satria brahmacari (tidak kawin). Mempunyai watak halus, setia dan tak kenal takut. Sejak kecil Laksmana sangat rapat dan sangat sayang kepada Ramawijaya. Laksmana diyakini sebagai titisan Bathara Suman, pasangan Bathara Wisnu.
-
Dewi Sinta adalah putri Prabu Janaka, raja negara Mantili atau Mitila (Mahabharata). Dewi Sinta diyakini sebagai titisan Bathari Sri Widowati, istri Bathara Wisnu. Selain sangat cantik, Dewi Sinta merupakan putri yang sangat setia, jatmika (selalu dengan sopan santun) dan suci trilaksita (ucapan, pikiran dan hati)nya. Dewi Sinta menikah dengan Ramawijaya, putra Prabu Dasarata dengan Dewi Kusalya dari negara Ayodya, setelah Rama memenangkan sayembara mengangkat busur Dewa Siwa di negara Mantili. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra masingmasing bernama Lawa dan Kusya.
-
Hanoman atau disebut juga Anoman Perbancana Suta, atau Hanoman, kera berbulu putih putra Batara Guru dari dewi Anjani. Ia pernah menjabat sebagai senapati kerajaan Mahespati, mengabdi kepada Batara Rama dalam kisah Ramayana.Ia juga memiliki umur yang sangat panjang, karena mempunyai tugas menyimpan sukma Rahwana di dalam cupunya. Itu menurut Pustaka Rajah Purwa
64
Ramayana, yang berbeda dengan versi Ramayana dari India. Anoman memiliki beberapa ajian. Aji Pancasona, kekuatan menerima bacokan musuh. Bayu Bajra, pukulan dengan tenaga ratusan kali sehingga bisa menjepit gunung sonara-sonara untuk menjepit tubuh dasamuka. Pancanaka, kuku ibu jarinya yang bisa digunakan sebagai senjata pembunuh yang hebat. Bayu Rota, kekuatan atau kecepatan secepat angin. Sirna Bobot, aji untuk meringankan tubuh saat terbang atau pun loncat.
Gambar 35 Penggambaran sosok Hanoman dalam dua versi wayang golek (Sumber: http://batararama.multiply.com/)
-
Gunawan Wibisana adalah adik bungsu Rahwana. Wibisana sangat berbudi luhur dan membela keadilan dan kebenaran. Oleh sebab itu, dia meninggalkan kakaknya Rahwana untuk memihak Sri Rama karena melihat bahwa kakaknya salah dan keblinger, bertindak tidak adil dan mau menang sendiri.
-
Sugriwa dikenal pula dengan nama Guwarsa (pedalangan). Ia merupakan
putra
Erraya/Grastina
bungsu
dengan
Resi
Dewi
65
Gotama
dari
Indradi/Windardi,
pertapaan bidadari
keturunan Bathara Asmara. Sugriwa mempunyai dua orang saudra kandung masing-masing bernama Dewi Anjani dan Subali. -
Rahwana adalah tokoh utama yang
bertentangan
Rama
dalam
terhadap
Sastra
Ramayana.
Dalam
merupakan
Raja
Hindu,
kisah,
ia
Alengka,
sekaligus Rakshasa atau iblis, ribuan tahun yang lalu. Rawana dilukiskan dengan
dalam
kesenian
sepuluh
kepala,
menunjukkan bahwa ia memiliki pengetahuan dalam Weda dan sastra. Karena punya sepuluh kepala
ia
diberi
nama
Dasamukha (bermuka sepuluh), Dasagriva
(berleher
Gambar 36. Rahwana atau Prabu Dasamuka (Sumber: http://batararama.multiply.com/)
sepuluh)
dan Dasakanta (berkerongkongan sepuluh). Ia juga memiliki dua puluh tangan, menunjukkan kesombongan dan kemauan yang tak terbatas. Ia juga dikatakan sebagai ksatria besar. -
Kumbakarna adalah putra kedua Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi, putri Prabu Sumali, raja negara Alengka. Ia mempunyai tiga orang saudara kandung bernama; Dasamuka/Rahwana, Dewi Sarpakenaka dan Arya Wibisana. Kumbakarna juga mempunyai saudara lain ibu bernama Wisrawana/Prabu Danaraja raja negara Lokapala, putra Resi Wisrawa dengan Dewi Lokawati. Kumbakarna mempunyai tempat kedudukan di kesatrian/negara Leburgangsa. Ia berwatak jujur, berani karena benar dan bersifat satria. Pada waktu mudanya ia pergi bertapa dengan maksud agar dapat anugerah Dewa berupa kejujuran dan kesaktian. Kumbakarna pernah ikut serta Prabu Dasamuka menyerang Suralaya, dan
66
memperoleh Dewi Aswani sebagai istrinya. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama; Kumba-kumba dan Aswanikumba. -
Sarpakanaka adalah putri ketiga Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi, putri Prabu Sumali, raja negara Alengka. Ia mempunyai tiga orang saudara kandung masing-masing bernama; Dasamuka/ Rahwana, Arya Kumbakarna dan Arya Wibisana. Sarpakenaka juga mempunyai saudara seayah lain ibu bernama Prabu Danaraja/ Danapati, raja negara Lokapala, putra Resi Wisrawa dengan Dewi Lokawati. Tabiat Sarpakenaka adalah manja dan keji.
-
Indrajit alias Megananda adalah salah satu putera Rahwana dan menjadi putera mahkota Kerajaan Alengka. Indrajit merupakan ksatria yang sakti mandraguna, dalam perang antara pihak Rama dan Rahwana, Indrajit sering merepotkan bala tentara Rama dengan kesaktiannya. Ia punya senjata sakti yang bernama Nagapasa, apabila senjata tersebut dilepaskan, maka akan keluar ribuan naga meyerang ke barisan musuh.
3. Tokoh-tokoh pada Periode Mahabharata Pada periode Mahabharata terdapat banyak sekali tokoh yang berperan. Akan tetapi, tokoh-tokoh penting yang harus diperhatikan perwatakannya adalah sebagai berikut. a. Para Pandawa yang terdiri atas -
Yudhistira (disebut juga Dharmakusuma atau Samiaji) adalah raja yang sangat bijaksana, sangat jujur dan tidak pernah berbohong, setia terhadap saudaranya, serta luhur budi pekertinya. Sifat-sifat ini digambarkan dalam perilaku yang halus, lemah lembut tetapi tegas, serta penuh wibawa.
67
Gambar 37. Prabu Yudhistira, putra tertua Pandawa (Sumber: http://datasunda.org/)
-
Bima atau Bratasena atau Werkudara adalah anak kedua dari lima Pandawa bersaudara. Ia adalah titisan (inkarnasi, turunan) Batara Bayu. Bima diwujudkan dengan tubuh yang besar kokoh (dalam wayang kulit di Jawa, perbedaan ukurannya sangat besar, ketimbang di Bali). Dalam wayang wong (wayang orang), tentu, pebedaannya tidak bisa jauh sekali, walau untuk peran Bima juga dipilih penari yang paling tinggi-besar. Dalam semua gaya (gagrag) wayang, yang khas dari Bima adalah memiliki Kuku Pancanaka, Gelang Candrakirana, dan Dodot Bintuluaji (Bangbintuluaji), dengan pola kotak-kotak seperti papan catur, dengan 4 warna: putih, kuning, merah, hitam.
68
Gambar 38. Penggambaran sosok Bima dalam beberapa versi wayang golek dan wayang kulit (Sumber: http://wayang.wordpress.com/)
-
Arjuna adalah putra Pandu yang ketiga dari ibu Dewi Kunti. Disebut juga panengah Pandawa. Tinggal di Madukara, bagian dari
kerajaan
tampan,
Amarta.
banyak
Memiliki
Berparas
disukai
senjata
pusaka
wanita. keris
Pancaroba, Ali-ali Ampal dan panah Pasopati. Arjuna sangat taat kepada gurunya, yaitu Resi Drona dari kerajaan Astina.
Dalam
Arjuna
memiliki
cerita
pewayangan,
kedekatan
khusus
dengan Sri Kresna, sehingga mereka diibaratkan
sebagai
dwitunggal.
Memiliki putra salah satunya adalah Abimanyu. -
Nakula adalah putra Pandu yang
Gambar 39. Arjuna, panengah Pandawa (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/)
keempat. Disebut juga Pandawa yang keempat. Memiliki saudara kembar yaitu Sadewa. Nakula dikenal sebagai seorang ahli pertanian. Karakternya lebih dewasa dan lebih teliti daripada Arjuna, kakaknya. -
Sadewa adalah saudara kembar Nakula, putra kelima Pandu, atau Pandawa kelima. Sadewa terkenal sebagai ahli peternakan.
69
Gambar 40. Nakula dan Sadewa, dua Pandawa kembar, yang dilahirkan melalui Dewi Madrim. (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/).
b. Tokoh-tokoh yang mendukung Pandawa seperti: -
Sri Kresna adalah anak Dewaki dan Wasudewa, termasuk suku Yadawa, keturunan Yadu. Ia lahir dari kehamilan yang ke delapan, jelmaan dewa Wisnu. Semasih kecil hingga remaja bernama Narayana. Raden Narayana setelah menjadi raja bernama Prabu Harimurti Padmanaba, karena ia titisan Begawan Padmanaba. Disebut juga Prabu Dwarawati, karena menjadi raja di negeri Dwarawati, dan disebut juga Prabu Kresna, karena berkulit hitam dan lain-lain. la dapat bertahta di Dwarawati karena mengalahkan seorang raja raksasa bernama Prabu Kunjana Kresna di negeri tersebut, dan nama Kresna itu dipakainya juga sebagai namanya sendiri, yakni Prabu Kresna. Prabu Kresna sebagai pengasuh Pandawa atau disebut dalang, ialah seorang yang pandai menjalankan siasat politik negara, peperangan dan lain-lain. Prabu Kresna mempunyai senjata cakra, senjata yang hanya dikuasai oleh titisan Wisnu, dan mempunyai
azimat
kembang
Wijayakusuma,
untuk
menghidupkan orang mati, yang belum sampai pada takdirnya.
70
Dalam perang Baratayudha Sri Kresna yang memegang daya upaya kemenangan Pandawa. Usia Prabu Kresna lanjut, hingga sehabis perang Baratayudha.
Gambar 41. Penggambaran sosok Kresna versi wayang golek dan wayang kulit (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/ dan http://wayang.wordpress.com/)
-
Gatotkaca adalah putera Wrekudara atau Bima yang kedua. Ibunya seorang putri raksasa bernama Dewi Arimbi di Pringgandani. Waktu dilahirkan Gatotkaca berupa raksasa, karena sangat saktinya tidak ada senjata yang dapat memotong tali pusatnya. Kemudian tali pusat itu dapat juga dipotong dengan senjata Karna yang bernama Kunta, tetapi sarung senjata itu masuk ke dalam perut Gatotkaca, dan menambah lagi kesaktiannya. Dengan kehendak dewa-dewa, bayi Gatotkaca itu dimasak seperti bubur dan diisi dengan segala kesaktian. Karena itu, Gatotkaca berurat kawat, bertulang besi, berdarah gala-gala, dapat terbang di awan dan duduk di atas awan yang melintang. Kecepatan Gatotkaca pada waktu terbang di awan bagai kilat dan liar bagai halilintar. Kesaktiannya dalam perang, dapat mencabut leher musuhnya dengan digunakan pada saat
71
yang penting. Gatotkaca diangkat jadi raja di Pringgadani dan ia disebut kesatria di Pringgadani, karena pemerintahan negara dikuasai oleh keturunan dari pihak perempuan. Dalam perang Baratayudha Gatotkaca tewas oleh senjata Kunta yang ditujukan kepada Gatotkaca. Ketika Gatotkaca bersembunyi dalam awan. Gatotkaca jatuh dari angkasa dan mengenai kereta kendaraan Karna hingga hancur lebur. Gatotkaca beristerikan saudara misan, bernama Dewi Pregiwa, puteri Raden Arjuna.
Gambar 42. Gatotkaca, putra Bima, yang tewas di tangan Karna dalam Bharatayudha. (Sumber: http://batararama.multiply.com/)
-
Antareja adalah putera Raden Wrekudara atau Bima yang tertua dengan Dewi Nagagini, puteri Hyang Antaboga, Dewa ular di Saptapratala. Antasena juga bernama Antareja, terhitung sebangsa dewa. Ia dapat hidup dalam bumi dan dapat terbang di awan. Tetapi ia tetap tinggal di dalam bumi, hanya keluar ke dunia jika perlu. Kesaktian Antasena mengalahkan kesaktian Wrekudara ayahnya. Kesaktiannya yang luar biasa, ialah menyembur bagai ular dan berbisa sekali. Jika dijilatnya bekas telapak kaki seseorang, matilah orang yang punya jejak itu. Oleh terang tilik Sri Kresna, Antasena ditipu supaya menjilat jejak
72
kakinya sendiri, Antasena tewas karenanya. Kehendak Sri Kresna itu karena nanti pada perang Baratayudha Antasena tak akan mendapat lawan.
Gambar 43. Antareja, putra sulung Bima dari Dewi Nagagini. Badan Antareja digambarkan bersisik. (Sumber: http://www.pitoyo.com/ dan http://wayang.wordpress.com/)
-
Abimanyu. Raden Angkawijaya semasa mudanya bernama Bambang Abimanyu, putera Raden Arjuna dengan Dewi Wara Sumbadra. Isteri Abimanyu yang pertama adalah Dewi Siti Sundari, puteri Prabu Kresna, namun tidak berputra. Isteri kedua Dewi Utari, puteri Prabu Matswapati, berputera Prabu Parikesit, ialah penghabisan turunan Pandawa dalam zaman Purwa. Perkawinan Angkawijaya dengan Dewi Utari ini adalah tidak sepadan, karena Dewi Utari itu seumur dengan bapak kakek (nenek moyang atau Jawa:. embah buyut) Angkawijaya, tetapi oleh kuasa Dewa, Dewi Utari tidak berubah sifatnya, tetap muda. Raden Angkawijaya sebagai kesatria agung, bersemayam di negeri Plangkawati, asalnya negeri itu negeri seorang raksasa yang dikalahkan oleh Angkawijaya.
73
c. Para Kurawa yang diwakili oleh tokoh-tokoh: -
Duryudana atau disebut juga Suyudana adalah putera Prabu Destarastra di Hastinapura, ia seorang Kurawa yang tertua. Korawa atau Kurawa berarti suku bangsa Kuru. Setelah dewasa Duryudana bertahta di Hastinapura bergelar Prabu Duryudana. Kurawa meskipun bersaudara misan dengan Pandawa namun senantiasa bermusuhan, hingga terjadi perang
saudara,
yang
disebut
Baratayudha. Negeri Hastinapurapura terhitung kerajaan besar, binatara, maka
waktu
perang
Baratayudha
dapat bantuan dari kerajaan lain. Sebenarnya Prabu Duryudana seorang yang sakti, tetapi tak pernah kelihatan kesaktiannya.
Duryudana
memiliki
sifat-sifat angkara murka dan mudah terhasut oleh pamannya, yaitu Patih Sangkuni,
untuk
memusnahkan
Pandawa. -
Dursasana
adalah
putera
Gambar 44. Duryudana, tertua dari Kurawa, Raja Hastina yang berupaya melenyapkan Pandawa (Sumber: http://wayang.wordpress.com/)
Prabu
Destarastra yang ke dua di Hastinapura, seorang Kurawa kesatria yang tinggal di kesatrian Banjarjungut, karena itu ia disebut juga kesatria Banjarjungut. Dursasana sangat disayangi oleh rama ibu dan saudara tuanya, Sri Duryudana. Apa yang diperbuatnya tidak dilarang dan selalu dibiarkan saja. la suka dipuji dan bertabiat sesuka-sukanya. Tidak ada seorang pun yang kuasa melarangnya. Perkataan Dursasana kasar diikuti dengan tertawa dan ia tak pernah tenang. Pada waktu berjalan melenggang-lenggang panyang, pun waktu duduk ia berbuat begitu juga, suatu adat yang ganjil sekali.
74
Gambar 45. Para Kurawa yang berjumlah 100 orang, merupakan putra-putra dari Drestarata dari Dewi Gendari. Seluruh Kurawa diasuh oleh Sangkuni dengan cara-cara yang salah. (Sumber: http://wayang.wordpress.com/)
-
Citraksa putra Prabu Destarastra di Hastinapura, seorang Kurawa, saudara Sri Duryudana. Citraksa berbicara gagap, beradat congkak. la seorang Kurawa yang. terpilih. Dalam perang Baratayudha Citraksa tewas oleh Arjuna pada waktu Arjuna
mengamuk
dalam
perang
itu,
sesudah Angkawijaya meninggal. d. Tokoh-tokoh yang mendukung Kurawa -
Sangkuni atau Sakuning merupakan paman dari Kurawa dan adik dari Gandari. Sengkuni
ini
bersifat
licik
dan
suka
menghasut. Kurawa mendapat pengaruh buruk karena dimanja oleh Sengkuni. -
Resi
Drona
semasa
atau Dahyang
mudanya
bernama
Durna Bambang
Kumbayana, beroman cakap dan sakti, asal dari Atasangin. Sebenarnya ia seorang pendeta bijaksana, guru Pandawa dan Kurawa. muridnya
Wrekudaralah yang
sejati.
seorang Adapun
75
Gambar 46. Patih Sangkuni, pengasuh Kurawa yang licik. (Sumber: http://batararama.multiply.com /).
anak pada
mulanya
memang
Wrekudara diperdayanya, diperintahkan terjun ke dalam laut supaya mati. Tapi segala petunjuk Durna yang demikian itu malahan menjadikan kesempumaan ilmunya atas petunjuk Dewa Ruci, dewanya Wrekudara yang sebenarnya. Dalam perang Baratayudha, Durna tewas oleh Raden Drustajumena kena tusukan keris yang telah kemasukan jiwa Prabu Palgunadi, yang membalas dendam pada Durna.
Gambar 47. Resi Durna, guru para Pandawa dan Kurawa, seorang resi sakti mandraguna (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/)
-
Aswatama adalah putra Resi Drona (guru Pandawa dan Kurawa) dari Dewi Wilotama. Putra satu-satunya, menjadikan Aswatama sangat disayang oleh ayahnya.
-
Karna adalah putera Dewi Kunti dengan Betara Surya, tetapi melalui kejadian yang gaib, sebab pada waktu Dewi Kunti masih gadis. Ia mempunyai ilmu dari seorang pendeta Begawan Druwasa. Ilmu itu tak boleh dirapal ketika ia sedang kena sinar
76
matahari. Tetapi Dewi Kunti lengah, ia melangar pantangan itu, maka hamillah puteri itu. Oleh pertolongan dan kesaktian Begawan Druwasa, bayi dalam kandungan itu dapat dikeluarkan dari telinga (telinga bahasa Kawinya: Karna), dan setelah anak itu dewasa bernama Karna juga. Konon waktu dilahirkan di kedua telinganya terselip sepasang anting-anting.
Gambar 48. Karna, semula bernama Aradea, putra Dewi Kunti dari Batara Surya yang dibuang kemudian dipungut oleh kusir Adirata. Karna diangkat menjadi Adipati Awangga oleh Duryudana. (Sumber: http://wayang-golekantik.blogspot.com/ dan http://www.tembi.com.)
Oleh banyak orang kemudian ia dianggap sebagai anak tak berbapa, karena itu ia dibuang oleh neneknya di tepi samudra. Bayi itu kemudian ditemukan oleh seorang kusir Astina bernama Adirata. Bayi itu kemudian diberi nama Aradea. Karena Karna juga anak angkat Betara Surya maka ia bernama juga Suryaputra. Walaupun Karna saudara tertua Pandawa, tetapi ia tak berpihak pada saudara-saudaranya itu, malah ia memihak kepada kerajaan Hastinapura, yang rajanya terhitung saudara misannya. Karna berbuat demikian karena dia merasa disia-siakan oleh orang tuanya pada waktu masih bayi. Hingga Baratayudha Karna tetap memandang Pandawa sebagai musuh yang mutlak. Dalam Baratayudha Karna berperang tanding
77
dengan Arjuna hingga tewas, menepati kesetiaannya pada kerajaan Hastinapura. e. Tokoh lain di luar Pandawa dan Kurawa -
Raden Kakrasana waktu jadi raja di Madura bergelar Prabu Baladewa. Ia naik tahta setelah menjadi menantu Prabu Salya, raja di Madraka. Ketika itulah ia mendapat gelar Prabu Baladewa, karena pada waktu kawin dihadiri oleh para dewa. Ia mendapat hadiah dari Betara Guru berupa senjata Algora dan diberi nama oleh dewa Kusumawalikita, Balarama, Basukiyana. Hyang Narada memberi nama Alayuda.
Gambar 49. Prabu Baladewa dalam dua versi wayang kulit dan wayang golek Sunda (Sumber: http://punakawan-suroboyo.blogspot.com/ dan http://blvckshadow.blogspot.com/)
Setelah menjadi raja ia memihak pada Kurawa dan memusuhi Pandawa, saudara misannya sendiri. Karena kesaktian Prabu Baladewa itu dipandang oleh Sri Kresna tidak akan tertandingi, maka menjelang perang Baratayudha, ia ditipu oleh Sri Kresna supaya bertapa di Grojogan Sewu. Setelah Prabu Baladewa mendapat nasehat Sri Kresna, ia menuju tempat yang ditunjuk dan bertapa di Grojogan Sewu. Pada saat bertapa di air terjun, terlihat darah mengalir dan mengertilah ia bahwa perang
78
Baratayudha telah terjadi. Setelah perang, Prabu Baladewa kembali Ke Hastinapura, dan mengetahui kekalahan Kurawa dan binasa di medan perang. Kemudian Prabu Baladewa mengikuti Pandawa mengasuh Prabu Parikesit hingga ajalnya. Prabu Baladewa mempunyai senjata bernama Nanggala, kesaktiannya tak seorang pun yang mampu menahannnya sekalipun ia dewa. -
Raden Wratsangka, putera bungsu raja di Wirata, Prabu Matswapati, saudara Raden Seta. Wratsangka beristerikan Dewi Sindusari, puteri Prabu Tasikraja di Tasikretna, sebagai hadiah, karena ia dapat mengalahkan musuh seorang raja raksasa di Bulukapitu,
bernama
Prabu
Prawata.
Dalam
perang
Baratayudha, setewasnya Raden Utara, Wratsangka diangkat menggantikan sebagai panglima perang. Kemudian ia mati juga oleh Bisma. Kematian ketiga kesatria ini dalam sehari, sangat mengharukan sekalian yang seisi negeri. Hingga ibu para kesatria itu datang ke medan perang menangisi jenazah puteranya yang berkumpul jadi satu. Rasa duka ibu ini tak terhingga dengan memandang wajah putra-putranya. Tetapi besar juga dalam hati, karena kematian kedua putera lantaran berbakti kepada negeri tumpah darah yang merebut kebenaran. Selain tokoh-tokoh di atas, pada setiap cerita masih terdapat sejumlah tokoh dan karakter yang berpengaruh terhadap jalan cerita. Bahkan, tokoh-tokoh dewa pun digambarkan secara nyata dalam bentuk wayang sebagaimana tokoh-tokoh lainnya. -
Batara Guru merupakan dewa yang merajai kahyangan. Ia merupakan perwujudan dari dewa Siwa yang mengatur wahyu, hadiah, dan berbagai ilmu kepada para tokoh wayang lainnya. Batara Guru mempunyai istri Dewi Uma, dan mempunyai beberapa anak. Betara Guru digambarkan sebagai wayang
79
bertangan empat, dua tangan di antaranya memegang senjata trisula dan bunga teratai. Hewan kendaraan Batara Guru adalah sang lembu Nandini.
Gambar 50. Batara Guru versi wayang golek dan wayang kulit (Sumber: http://batararama.multiply.com/ dan http://blvckshadow.blogspot.com/)
-
Batara Brahma juga disebut Brahma atau Batara Agni. Penguasa api. Ayah dari Dewi Dresanala, yang kemudian melahirkan anak bernama Wisanggeni, satu-satunya keturunan bangsa manusia, yang berani dan mampu menggugat kekuasaan bangsa dewa. Dewa Brahma beristri Dewi Saraswati, yang menurunkan segala ilmu pengetahuan ke dunia.
-
Batara Wisnu adalah dewa mempunyai tunggangan seekor burung garuda bernama Brihawan. Dia adalah seorang dewa yang suka memelihara ketentraman mayapada dari ancaman para angkara murka, semua ini terbukti beberapa kali ia menitis kepada para raja dan kesatria atau berwujud apa saja, guna menumpas angkara murka. Seperti terlukis dalam ceritera Ramayana, di sini Batara Wisnu berujud prabu Rama yang menumpas prabu Rawana beserta bala tentaranya, dan Batara
80
Wisnu selalu menjadi musuhnya Batara Kala, ini sebagai lambang Budi Wening dan Angkara Murka. -
Batara Indra adalah putra Batara Guru dari Dewi Uma. Batara Indra mempunyai kekuasaan atas para dewa dan para bidadari di sorga. Selain itu sering memberikan anugrah atau hadiah pada siapa saja yang gemar bertapa dan membantu ketentraman dunia serta permintaan titah yang sedang bertapa. Batara Indra mempunyai kekuasaan memerintah para Dewa atas perintah Hyang Guru. Batara Indra mempunyai keahlian berperang dan banyak mempunyai panah sakti. Betara Indra merupakan dewa yang menyebabkan kelahiran Arjuna melalui Dewi Kunti.
-
Batara Surya adalah seorang dewa yang menguasai gerak Matahari. Serta dalam lakon lahirnya Karna Betara Surya adalah salah satu dewa yang menurunkan raden Suryaputra dengan ibunya dewi Kunti. Menurut silsilah pewayangan di Jawa dan Sunda, Batara Surya merupakan salah seorang putra dari Sanghyang Ismaya atau Semar.
-
Batara Narada adalah tangan kanan Batara Guru di negeri Jonggring Saloka. Memiliki postur tubuh yang khas, bulat gemuk, kepala selalu tengadah dan jalan berjingkat-jingkat. Dilahirkan di sebuah alam kasat mata Sidi Udaludal. Walaupun kehadirannya selalu merupakan wakil dari Batara Guru, tapi tidak jarang bangsa dewa ini selalu berselisih paham dengan dewa lainnya. Terutama kritisinya atas sikap Batara Guru yang selalu ingin mengatur kehidupan di Macapada.
81
STRUKTUR LAKON DALAM PERTUNJUKAN WAYANG Struktur lakon atau cerita wayang berkaitan erat dengan struktur pertunjukan wayang secara keseluruhan. Struktur lakon wayang ini tentu sangat terikat oleh kebutuhan pentas sehingga polanya diatur sedemikian rupa agar dapat menyajikan peristiwa demi peristiwa secara runtut. Penyajian epos Ramayana dan Mahabharata secara utuh bukanlah hal yang mudah dan tidak akan menarik. Oleh karena itu, diperlukan keterampilan khusus bagi para penyanggi cerita untuk menyusun peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita agar menarik. Aspek menarik di sini mengandung makna dapat diikuti dengan mudah mengingat penikmat pertunjukan wayang bukan hanya dari kalangan pelajar saja, melainkan juga kalangan masyarakat secara luas. Menurut kaidah dramatik, sebuah cerita pada dasarnya terbagi atas tiga bagian: awal cerita, tengah cerita, dan akhir cerita. Awal cerita akan menentukan perkembangan bagian tengah cerita, dan peristiwa-peristiwa yang berlangsung pada bagian tengah cerita akan sangat menentukan bagian akhir cerita. Bagian awal cerita wayang terdiri atas pemaparan tentang tempat, waktu, tokoh, serta situasi yang sedang berlangsung. Pada bagian pendahuluan ini muncul motif-motif yang kemudian mulai saling berbenturan dengan kondisi dan situasi di sekelilingya atau tokoh lain. Bagian tengah cerita merupakan pengembangan atas motif-motif yang muncul pada bagian awal. Motif-motif tersebut kemudian saling berbenturan dengan motif-motif lain sesuai dengan kepentingannya. Pada bagian inilah yang dinamakan dengan konflik cerita. Konflik ini bisa saja dapat merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak lain.
82
Ketika salah satu pihak kian terdesak dan sulit melepaskan diri dari tekanan pihak lain, muncul solusi berupa pertolongan yang dapat menyelesaikan masalah. Pihak yang tertekan kemudian bangkit dan melawan pihak yang menekan. Bagian akhir cerita digambarkan pihak yang asalnya tertekan memperoleh kemenangan. Bagian akhir ini juga akan diisi dengan penjelasan-penjelasan tentang peristiwa yang telah berlangsung, serta nasihat-nasihat bagi semua penonton. Dalam struktur cerita wayang terdapat beberapa pola cerita yang lazim digunakan. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut. Pola Mintaraga
Wisnu Nitis
Bagian
Deskripsi Cerita
Awal
Sang pahlawan (ksatria) memperoleh panggilan gaib atau panggilan dewata.
Tengah
Sang pahlawan berangkat menuju dunia lain, dunia di luar kesehariannya. Di sana ia diuji dan setelah lulus ia memperoleh anugerah dewata.
Akhir
Anugerah ini kemudian ia gunakan untuk menyejahterakan sesamanya.
Awal
Sang Wisnu turun ke dunia dan menitis pada satu tokoh dan bertugas untuk memerangi angkara murka.
Tengah
Tokoh yang dititisi Wisnu mencari identitas dirinya secara metafisikal. Kemudian ia memerangi angkara murka yang mengancam dan akan merusak ketenteraman dunia dan kesejahteraan manusia.
Akhir
Angkara murka dapat diberantas dan keadaan dunia kembali aman sejahtera.
83
Pola Mencari Ayah
Bagian
Deskripsi Cerita
Awal
Salah seorang putra Arjuna di pertapaan kakeknya bertanya tentang siapa sebenarnya ayah kandungnya. Sang Kakek mengatakan bahwa ayahnya adalah Arjuna.
Tengah
Sang ksatria pun pergi ke Amarta mencari ayahnya. Ia kemudian diuji melalui pelaksanaan dharmanya sebagai ksatria.
Akhir
Setelah lulus, resmilah ia dakui sebagai putra Arjuna.
Selain pola-pola di atas, masih dapat kita temukan pola-pola lain dalam drama klasik yang dapat kita pelajari dan kita kembangkan. Misalnya saja Pola Mencari Pengetahuan, Pola KejayaanKejatuhan, Pola Mengalahkan Kejahatan, dan sebagainya.
84
STRUKTUR PEMENTASAN WAYANG
Dalam sebuah pementasan wayang, baik wayang kulit, wayang golek, maupun wayang orang, selalu terlibat sejumlah unsur yang harus dipenuhi. Unsur-unsur tersebut terdiri atas cerita, bahasa dan sastra pedalangan, unsur tarian, unsur antawacana, dan aspek dramatik. 1. Unsur Cerita Unsur cerita, sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, bersumber dari epos Mahabharata, Ramayana, dan Babad Lokapala. Meskipun demikian, terdapat juga sejumlah cerita yang bersumber dari kisah-kisah lain seperti perjuangan Islam (pada wayang menak) serta cerita-cerita panji (pada wayang golek Jawa Tengah). 2. Bahasa dan Sastra Pedalangan Bahasa pedalangan mengacu kepada bahasa yang digunakan dalang dalam pementasan. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa tuturan yang sesuai dengan tingkatan atau derajat kedudukan tokoh wayang. Misalnya, bahasa yang digunakan oleh para ksatria lungguh akan berbeda dari bahasa yang digunakan oleh para raksasa. Bahasa komunikasi Arjuna akan berbeda dari bahasa komunikasi yang digunakan si Cepot. Termasuk humor dan guyonan yang dilakukan oleh para tokoh dalam wayang. Akan janggal rasanya kalau tiba-tiba mendengar Arjuna dan Kresna bersenda gurau sebagaimana layaknya si Cepot dan si Dawala. Sastra
pedalangan
mengacu
kepada
bentuk-bentuk
murwa,
nyandra, kekawen, renggan, dan sendon yang digunakan dalang. Murwa adalah lirik yang dinyanyikan oleh dalang pada adegan permulaan yang dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan suatu adegan. Murwa ini bermacam-macam bentuknya. Di antara murwa yang sering dilantunkan oleh dalang di tatar Pasundan dan Jawa Tengah adalah
85
Kembang Sungsang, Murwa Jejer Keraton (Patet Lasem), Murwa Pertapaan (patet Sanga), Murwa Taman Bunga (patet Manyura Ageng), Murwa Astina, serta Murwa adegan Sawarga. Lirik dari murwa tersebut biasanya sudah ditetapkan dan merupakan pustaka acuan bagi para dalang. Contoh murwa Kembang Sungsang: Kembang sungsang, gotaka rawis wayang Rap kidap, purwa mandra-mandra winulan Sosoroti kadya sang Diwangkara Kadya sangiang Latri kapajut gumbira lawan ancala Setelah murwa, biasanya dilanjutkan dengan nyandra. Nyandra adalah prosa lirik yang dipergunakan dalang untuk melukiskan keadaan suatu adegan sebagai pengarahan bagi penonton. Di Jawa Tengah, bagian ini sering dinamakan dengan Janturan, sedangkan di Cirebon disebut Ngretawara atau Prasanta. Panjang atau pendeknya nyandra sangat tergantung kepada kemampuan dalang dalam mereka bahasa dan sastra pedalangan. Ada dalang yang lebih suka menggunakan bahasa yang panjang, dan sebagian lainnya adal yang lebih pendek. Nyandra merupakan penggambaran setting atau latar. Latar ini dapat berupa tempat (negara, keraton, pertapaan, medan pertempuran), waktu, atau keadaan. Oleh karena itu, setiap jejer atau latar memiliki nyandra masing-masing, seperti jejer Amarta, Jejer Astina, Jejer Sawarga, dan sebagainya. Kakawen berasal dari kata ka-kawi-an. Artinya, ungkapan atau lantunan lagu yang menggunakan tiruan bahasa Kawi. Istilah kakawen hanya dikenal di Jawa Barat saja. DI Jawa Tengah digunakan istilah suluk. Suluk atau kakawen adalah syair yang dinyanyikan oleh dalang, berisi simbol-simbol atau pepatah, nasihat, penerangan bagi masyarakat. Kakawen disajikan setelah gending akhir pengiring selesai dimainkan. Kakawen atau suluk yang disajikan pad akhir gending pengiring jejer ini dinamakan
dengan
sebrakan.
Beberapa
86
sebrakan
yang
sering
dinyanyikan oleh para dalang di antaranya adalah Saur Nira, Betet Ijo, Sri Timon, dan sebagainya. Contoh kakawen: Sri Timon Sri timon pasewakan, busana maneka warna Kebak puspiteng udiana, miang hanjrah sarwa rukma Renggeng manik narawata, narawata Narawungkang ajuwala, ajuwala Kakawen berikutnya adalah untuk menggambarkan adegan yang disertai dengan menancapkan gunungan atau kayon. Suluk atau kakawen yang digunakan di antaranya adalah Kayu Agung, Gedong Duwur, Toya Mijil, Gunung Kelir, dan Tinungsang. Kakawen Kayu Agung: Kayu agung babar wite, samia rebel godonge, ya godonge Samia rogol yang pangpange, sekar mekar ing galihe Pandele si pandan arum. Kakawen digunakan juga untuk menggambarkan jabatan seperti pandita, keputren, denawa, sinatria, dan pandawa. Kakawen juga digunakan untuk menggambarkan tokoh-tokoh tertentu seperti Arjuna, Kresna, Semar, Gatotkaca, Durna, Kumbakarna, dan sebagainya. Kakawen Semar: Semar – semar ya gegelar Wayang agung sumalindung Semar – semar ya gegelar Semar sana danar guling. atau Semar semar ya winangnong Semar kuncung pakuning alam Semar-semar ya gegelar Wayang Agung sumalindung. Sendon adalah vokalia yang disajikan dalang dan berfungsi untuk mendukung suasana sedih yang dialami oleh tokoh pada suatu adegan.
87
Kesedihan tersebut diungkapkan melalui syair dan melodi tertentu. Ada bentuk sendon umum (digunakan dalam berbagai situasi sedih oleh sembarang tokoh), sendon lara tangis (digunakan untuk menggambarkan tangisan
penuh
kedukaan),
sendon
papaten
(digunakan
untuk
menggambarkan kesedihan karena kematian), dan sendon penanggalan (digunakan khusus untuk menggambarkan kerinduan Sinta terhadap Sri Rama dalam kisah Ramayana). Sendon Umum yang sering digunakan: Rebang rebang cinandak layang kakerin, Wis tinancak perlambange, perlambange sinungkemi. Renggan adalah vokalia yang digunakan untuk menggambarkan suatu adegan atau suasana dalam suatu adegan. Misalnya renggan taman bunga (menggambarkan keindahan taman bunga), renggan gembira (menggambarkan kegembiraan yang diperoleh karena suatu sebab), renggan kaget, renggan tamu datang, renggan sukma atau ruh keluar dari jasad, dan renggan denawa. Renggan Gembira: Bingah amarwata suta, bingah kagiri-giri Aningal dayu kang nembe rawuh, solendra katon pawarna. Renggan Kaget: Kaget den nira ningali Ningali kang nembe rawuh solendra katon pawarna Renggan sukma keluar dari jasad: Nur cahya sekaring wawang Sukma medal saking raga Solendra katon pawarsa. Greget Saut adalah vokalia yang menggambarkan kemarahan seorang tokoh tertentu. Misalnya greget saut Arjuna, greget saut Kresna,
88
greget saut Bima, greget saut Karna, greget saut Gatotkaca, dan sebagainya. 3. Unsur Tarian Unsur tarian dalam pergelaran wayang golek dan wayang kulit adalah keterampilan dalang dalam memainkan wayang, baik dalam menari, berjalan, berperang, dan sebagainya. Sedangkan pada wayang orang adalah keterampilan masing-masing pemain dalam melakukan gerak-gerak yang diperlukan dalam proses pemeranan tokoh wayang. Dalam pergelaran wayang golek terdapat bentuk-bentuk ibing (tarian) bagi berbagai tokoh seperti ibing raja, ibing satria lungguh, ibing satria dangah, ibing satria ladak, ibing putri halus, ibing putri dangah, ibing topeng, ibing danawa, ibing panakawan, ibing semar, ibing cepot, ibing dawala, ibing gareng, dan sebagainya. Selain itu, terdapat pula berbagai gerak perang baik tanpa senjata maupun dengan senjata. 4. Unsur Antawacana Antawacana adalah penampilan suara dalang yang diolah untuk membeda-bedakan dialog atau paguneman setiap wayang berdasarkan warna suara, nada dasar (surupan), serta logat atau aksen. Di Jawa Tengah dikenal dengan nama Catur atau Paguneman. Warna suara dalam istilah pedalangan dimaksudkan sebagai perbedaan karakter suara bagi masing-masing tokoh wayang. Warna suara ini diperoleh melalui keterampilan dalang dalam mengolah suaranya berdasarkan teknik-teknik vokal tertentu. Ada tiga teknik pengembangan warna suara yang digunakan sebagai karakter suara, yakni suara biasa, suara gangsa, dan suara bengek. -
Suara biasa adalah suara dasar yang dimiliki dalang yang disesuaikan dengan nada-nada tertentu pada gamelan. Jenis suara ini biasanya dimiliki oleh Arjuna, Yudhistira, Abimanyu (Amarta); Duryudana dan Lesmana Mandrakumara (Astina); Sri
89
Rama, Laksmana, Sinta (Ayodya); Pandu Dewanata, Kunti Nalibrata, Arimbi, Rukmini, serta satria-satria yang setara. -
Suara gangsa diperoleh dengan cara pengolahan suara dada dan suara perut yang ditekan pada tenggorokan. Jenis suara ini digunakan untuk penyuaraan wayang-wayang yang berkarakter kasar, gagah, berwibawa, berani atau serakah. Di antaranya adalah Antareja, Antasena, Bima, Gatotkaca, Udawa (Amarta); Aswatama, Baladewa, Jayadrata, Bisma, Salya, Suyudana (Astina); Indrajit, Prahasta, Kumbakarna, Rahwana, Somali (Alengka);
Bayu,
(Swargaloka);
Indra,
Brajamusti,
Basuki,
Yamadipati,
Brajawisesa,
Sambu
Brajalambatan
(Banyu Mudal); ponggawa-ponggawa lain seperti Anoman, Anggada, Dursala, Gandamanah, dan sebagainya. -
Suara Bengek diperoleh melalui pengolahan suara dada atau suara perut yang ditekan ke tenggorokan dan dikeluarkan melalui rongga hidung. Jenis suara ini digunakan untuk menggambarkan penyuaraan wayang-wayang yang bersifat lantang, lincah, putri lungguh. Penampilan suara ini pun diselaraskan dengan nada dasar yang sesuai dengan gamelan. Di antara wayang yang menggunakan jenis suara ini adalah jenis Satria Ladak seperti Aradea, Arayana, Bambang Somantri, Citragada, Drestajumena, Ekalaya, Irawan, Janaka, Kresna, Karna, Narasoma, Samba, Eisanggeni. Kemudian jenis Putri Lincah seperti Banowati, Erawati, Surtikanti, Kakeyi, Rukmini, Setiawati, dan lainnya. Selanjutnya Putri Lungguh seperti Larasati, Lara ireng, Mustakaweni, Subadra, Supraba, Windardi, dan sebagainya. Jenis suara ini juga digunakan untuk penyuaraan tokoh-tokoh Kombayana, Bilung, Semar, Togog, serta denawa tertentu.
90
-
Selain ketiga jenis suara di atas, kadang-kadang digunakan juga suara falseto (cop stem). Jenis suara ini digunakan untuk wayang-wayang yang bersifat lucu.
Unsur nada dasar juga menentukan jenis suara wayang. Perbedaan penggunaan nada dasar (surpan) akan sangat terasa jika tengah menyuarakan dua karakter wayang yang sama. Misalnya paguneman atau pembicaraan yang terjadi antara Bima dan Gatotkaca yang memiliki suara gangsa. Untuk membedakannya biasanya digunakan nada dasar yang berbeda. Misalnya Bima menggunakan nada dasar Barang rendah (B ageng), sedangkan Gatotkaca menggunakan nada dasar Loloran atau Kenongan ageng. Unsur terakhir yang menentukan karakter suara tokoh wayang adalah logat atau aksen bicara. Ada logat yang memberi kesan lemah lembut seperti pada tokoh Arjuna dan Yudhistira; ada pula yang berlogat enteng, lincah, hidup, gembira seperti yang diterapkan kepada Karna, Kresna, Ekalaya, dan sejenisnya. Ada pula tokoh wayang yang berbicara gugup seperti pada tokoh Dursasana, Rahwana, dan Burisrawa. Ada pula yang berbicara dengan logat yang memiliki kesan keras, tegas, dan tegap seperti yang diterapkan kepada tokoh Gatotkaca, Bima, Bisma, Indrajit, Salya, dan sebagainya. Hal yang sama juga diterapkan kepada wayang-wayang putri sesuai dengan karakter masing-masing. Wayang-wayang panakawan juga menggunakan berbagai logat sebagaimana disebutkan di atas tetapi diselaraskan dengan karakter masing-masing. 5. Aspek Dramatik Aspek dramatik pedalangan berkaitan dengan struktur pertunjukan yang disajikan. Aspek dramatik yang langsung dapat dinikmati oleh penonton adalah susunan pengadegan serta konstruksi pentas.
91
a. Susunan Pengadegan dalam Pergelaran Wayang Susunan pengadegan tidak lain adalah pembabakan dalam cerita yang dikaitkan dengan proses pertunjukan. Secara umum struktur pertunjukan terdiri atas adegan-adegan berikut. (1)
Tatalu
adalah
bagian
permulaan
pementasan
ketika
pertunjukan akan segera dimulai. Tatalu berarti memainkan gamelan
dalam
rangka
memberitahu
masyarakat
bahwa
pertunjukan akan segera dimulai. Pada saat ini, dalang dan sinden naik panggung. Dalang kemudian memukul campala dan gending kawitan atau gending jejer pun ditabuh. Setelah selesai, dilanjutkan dengan murwa, kemudian nyandra, dan kakawen. (2) Adegan pertama atau Jejer yang merupakan penjelasan dalang tentang latar sesuai dengan tempat peristiwa berlangsung. Misalnya kerajaan Amarta, kerajaan Hastina, kerajaan Maespati, dan sebagainya. (3) Kadatonan, yakni adegan yang mengisahkan raja yang sedang membicarakan permasalahannya bersama keluarganya. (4) Paseban adalah adegan bermusyawarah bersama seluruh tokoh dan narapati kerajaan di paseban. (5) Jaranan mengisahkan persiapan perjalanan pasukan kerajaan dengan menggunakan berbagai kendaraan. Biasanya adegan ini dilakukan melalui narasi dalang. (6) Bebegalan mengisahkan keadaan barisan pasukan yang dicegat oleh para denawa penghuni hutan. Peperangan terjadi yang dimenangkan oleh pasukan kerajaan. (7) Pagedongan merupakan adegan pembatas yang ditandai dengan menancapkan gunungan. Pada saat ini sepintas dalang menjelaskan perpindahan adegan melalui narasi.
92
(8) Negara Sejen mengisahkan keadaan yang ada di negara lain. Adegan ini dapat berupa adegan kerajaan, pertapaan, atau tempat lain yang ada sangkut pautnya dengan cerita yang digelar. Topik permasalahan yang dibicarakan pada adegan negara sejen ini berkaitan dengan permasalahan yang dibahas pada awal cerita, baik bertentangan ataupun sejalan. (9) Perang Gagal mengisahkan peperangan antara pasukan kerajaan dengan pasukan negara sejen. Peperangan diakhiri dengan salah satu keputusan: pasukan kerajaan mengalami kekalahan, dilakukan perundingan, melakukan kerja sama, atau tindakan lain yang sesuai dengan kepentingan cerita. (10) Adegan sambilan (di Jawa Tengah disebut dengan Gorogoro) menceritakan suatu adegan (kerajaan, pertapaan, atau tempat lain) yang ada kaitannya dengan alur cerita. Manurut kebiasaan, adegan ini diawali dengan keluarnya para panakawan, yaitu Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng sebagai pengawal atau pengasuh. Dalam adegan ini biasanya dipenuhi dengan gelak tawa
penonton
karena
menyaksikan
senda
gurau
para
panakawan.
Gambar 51. Adegan sambilan atau Goro-goro biasanya ditandai dengan munculnya para panakawan (Sumber: http://www.wayangprabu.com/)
93
Apabila adegan ini menggambarkan suatu pertapaan, maka satria yang
diasuh
kesaktiannya
panakawan sehingga
sudah
tamat
diperbolehkan
menuntut
untuk
ilmu
membaktikan
kemampuannya. Pada bagian ini tumbuh penjelasan tentang pertolongan bagi pihak yang benar. (11) Adegan penyelang merupakan adegan yang akan memberikan pertolongan kepada pihak yang benar. Pada adegan ini terjadi pertemuan antara pihak yang menolong dan pihak yang meminta pertolongan. Setelah selesai perundingan, maka penolong dan yang ditolong berangkat menuju pertempuran dengan negara sejen. (12) Perang Kembang mengisahkan perang-perang awal dari pelaku utama dalam membela kebenaran. Adegan ini biasanya merupakan peperangan antara panakawan dengan pengikut pasukan musuh. (13) Perang ruket merupakan perang sesungguhnya antara pelaku utama dengan musuh. Akhir dari peperangan ini adalah kemenangan bagi kebenaran. Pasukan musuh lari tunggang langgang, dan musuh utamanya menyatakan takluk atau perlaya. (14) Adegan pamungkas merupakan adegan penutup yang berisi akhir cerita yang melukiskan kemenangan pihak yang benar dan kekalahan pihak yang salah. b. Konstruksi Pentas Panggung pertunjukan wayang golek dan wayang kulit adalah dua batang gedebog pisang yang ada di hadapan dalang, bukan ruang dengan empat dinding sebagaimana tempat permainan bagi teater. Kedua batang pisang ini harus dapat diolah dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat menampilkan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam cerita.
94
Dalang menempatkan wayang-wayang yang dimainkannya pada dua batang pohon pisang sesuai dengan kaidah yang dipahaminya. Secara sederhana, komposisi standar penempatan wayang adalah sebagai berikut.
Gambar 52 Konstruksi pentas pada pertunjukan wayang golek dan wayang kulit.
Keterangan: X = gedebog bagian luar sebagai tempat bagi tokoh berkedudukan tinggi dan dihormati. Y = gedebog bagian dalam sebagai paseban. Sedangkan abjad-abjad A, B, C, D, E, dan F merupakan tokohtokoh yang dimainkan dengan ketentuan sebagai berikut. Adegan
A
B
C
D
E
F
Amarta
Yudhistira
Bima
Kresna
Arjuna
Nakula
Sadewa
Sawarga
Batara Guru
Batara Narada
Batara Indra
Batara Bayu
Batara Sambu
Kamajaya
Alengka
Rahwana
Togog
Prahasta
Indrajit
Bukbis
Marica
Hastina
Duruyudana
Karna
Pandita Durna
Banakeling
Dursasana
Aswatama
Bloking atau penempatan wayang di atas sesungguhnya didasarkan atas pengalaman para dalang yang kemudian diikuti
95
sebagai ketentuan. Pada adegan-adegan lain, penempatan tokoh disesuaikan pula dengan tingkat atau strata sosial tokoh masingmasing. Hal lain yang menjadi fakta menarik adalah posisi wayang pada tangan dalang ketika melakukan perang tanding. Tokoh yang akan menang dalam perang tanding, atau tokoh yang berada di pihak yang benar, akan selalu berada pada sebelah kanan dalang. Sedangkan tokoh yang akan kalah perang tanding, atau tokoh yang berada di pihak salah akan berada di sebelah kiri dalang.
96
DAFTAR PUSTAKA
Agus Pramono 2005. Mbah Daman Darmono, Dhalang Wayang Krucil Saka Trenggalek : Aku Kepingin Pentas nang Pendapa. Majalah Jayabaya No.45 Tahun 2005. Surabaya: PT Jayabaya Prabu Gendrayana. Akbar Kaelola. 2010. Mengenal Tokoh Wayang Mahabharata. Jakarta: Cakrawala. Amrin Rauf. 2010. Jagad Wayang. Jogyakarta: Garailmu. Amir Mertosedono. 1986. Sejarah Wayang, Asal-usul, Jenis dan Cirinya. Semarang. Dahara Prize. Anom Sukatno. 1993. Serat Pedhalangan Lampahan Bimo Suci. SukoharjoSurakarta: CV Cendrawasih. Ardian Kresna. 2009. Arjuna Sang Pembunuh. Jogyakarta: DIVAPress. Ardian Kresna. 2009. Pahlawan Pilihan Kresna. Jogyakarta: DIVAPress. Atik Sopandi. 1984. Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan. Bandung: Pustaka Buana
Bastomi, Suwaji. 1993. Nilai-nilai Seni Pewayangan. Semarang: Dahara Prize. Bondhan Harghana SW. 2003. Janturan Jangkep Wayang Purwo. Sukoharjo-Surakarta: CV Cendrawasih. Bondhan Harghana SW. 1998a. Serat Ramayana, Reroncen Balungan Pakem Cariyos Ringgit Purwo. Sukoharjo-Surakarta: CV Cendrawasih. Damardjati Soepadjar 1994. Krida Graita. Jogyakarta: Krida Martana. Djoko Mulyono. 1993. Kalender Pawukon 200 Tahun, 1900-2100, The 200Year Pawukon Calendar. Jakarta: TMII dan Pepadi Pusat. Edi Sedyawati, Sapardi Djoko Damono (1983). Seni Dalam Masyarakat Indonesia, Bunga Rampai. Jakarta: PT Gramedia. Gamal Komandoko. 2009. Bharatayudha, Banjir darah di Tegal Kurusetra. Jogyakarta: Narasi. Ghulam – Sarwar Yousof. 1992. Panggung Semar, Aspects of Traditional Malay Theatre. Selangor Darul Ehsan. Tempo Publishing (M) Sdn Bhd.
97
Hardjowirogo. 1968. Sejarah Wayang Purwa. Jakarta: PN Balai Pustaka Haryanto, S. 1992. Bayang-bayang Adiluhung. Filsafat, Simbolis dan Mistik Dalam Wayang. Semarang: Dahara Prize. Heru S. Sudjarwo, Sumari, et.al. 2010. Rupa & Karakter Wayang Purwa. Edisi I Cetakan Pertama. Jakarta: Kaki Langit Kencana. Majalah Jayabaya 2005. Wara Sumbadra, Garwa Sing Banget Setya. Edisi Nomor 45 Tahun 2005. Surabaya: PT Jayabaya Prabu Gendrayana. Masud Thoyib.ed. 1996. Jagad Pedalangan dan Pewayangan. Cempala. Edisi Gatotkaca. Jakarta: Humas PEPADI Pusat Megandaru W. Kawuryan. 2006. Tata Pemerintahan Negara Kertagama Kraton Majapahit. Jogyakarta: Panji Pustaka. Mohammad Syuropati. 2010. Buku Cerdas 1818 Peribahasa Jawa (Bacaan Wajib Masyarakat Jawa). Jogyakarta: IN AzNa Books Niels Mulder. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan. Nyoman S. Pendit. 2010. Mahabharata. Cetakan ke sepuluh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Nyoman S. Pendit. 2010. Ramayana. Cetakan ke sepuluh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Pandam Guritno 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Pekan Wayang Indonesia VI. 1993. Sarasehan Wayang Indonesia Tahun 1993. Jakarta: Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (SENAWANGI). Pitoyo Amrih. 2006. Antareja Antasena. Jalan Kematian Para Ksatria. Jogyakarta: Pinus Book Publisher. Pitoyo Amrih. 2007a. Ksatria Pembela Kurawa. Jogyakarta: Pinus Book Publishers. Pitoyo Amrih. 2007b. Mengungkap Kisah-kisah Tersembunyi Kebaikan Kurawa. Jogyakarta: Pinus Book Publishers. Pitoyo Amrih. 2008c. Perjalanan Sunyi Bisma Dewabrata. Sukohardjo, Solo: EBook Publishing. Pitoyo Amrih. 2010. Sebuah Novel: Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna. Jogyakarta: Pinus Book Publishers.
98
Purwadi. 2007. Mengenal Gambar Tokoh Wayang Purwa Keterangannya. Sukoharjo-Surakarta: CV. Cendrawasih.
dan
Purwadi, Dr., M.Hum. 2007. Seni Pedhalangan: Wayang Purwa. Jakarta: Tanpa Penerbit. Ranggawarsita, R. Ng. 1988. Serat Jayengbaya. Jakarta: Balai Pustaka. Sabdawara. 1997. Kumpulan Balungan Lakon. Sukoharjo-Surakarta: CV Cendrawasih. Seno Sastroamijoyo. 1967. Tjeritera Dewa Rutji, dengan arti Filsafatnya. Tjetakan ke-2. Jakarta: Kinta. Sindunata. 2007. Manusia & Kebatinan Petruk Jadi Guru. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Syamsoedjin Probohardjono 1964. Seni Pedhalangan Gaya Surakarta. Surakarta: Pawiyatan Kabudayan Kraton Surakarta. Sri Mulyono, Ir. 1987. Tripama Watak Satria dan Sastra Jendra. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Gunung Agung. Sri Mulyono, Ir. 1982. Apa & Siapa Semar. Jakarta: Gunung Agung. Soekatno, BA 1992. Mengenal Wayang Kulit Purwa. Semarang: Aneka Ilmu. Sudibioprono, Rio. 1994. Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compendium). Jakarta: Proyek Pembinaan Kesenian Direktorat Pembinaan Kesenian, Ditjen Kebudayaan Departemen P&K. Suratno Guno Wiharjo. 1994. Kempalan Balungan Lampahan Wayang Kulit Purwa. Sukohardjo-Surakarta. CV Cendrawasih. Tuwuh Raharjo. 2002. Serat Pedhalangan (Kawruh Wayang Purwa). Sukoharjo-Surakarta: Cendrawasih. Victoria M. Clara van Groenendael. 1987. Dalang Di balik Wayang. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Wijanarko. Tanpa Tahun. Selayang Pandang Wayang Menak. Bogor: Amigo.
99
SUMBER-SUMBER DARI INTERNET
Artikel-artikel pada http://www.wayangprabu.com/ Artikel-artikel pada http://wayang.wordpress.com/ Artikel-artikel pada http://www.pitoyo.com/ Artikel-artikel pada http://batararama.multiply.com/ Artikel-artikel pada http://id.wikipedia.org/ Artikel bebas ”Asal-usul Wayang Indonesia” (On-line) terdapat pada http://serbaserbihindu.blogspot.com/2012/05/asal-usul-wayangindonesia.html Artikel bebas ”Seni Pewayangan” (On-line) terdapat pada http://nazhroul.wordpress.com/2010/05/22/seni-pewayangan/ Gambar-gambar yang bersumber dari: 1. http://yanabeing.blogspot.com/2011/04/wayang-beber.html 2. http://www.jelajahunik.us/2012/02/mengenal-jenis-jenis-wayangdi.html 3. http://dabgenthong.wordpress.com/2011/01/14/wayang-kulittontonan-dan-tuntunan-hidup/ 4. http://wayangpabu.files.wordpress.com/ 5. http://www.kaskus.co.id/ 6. http://antarafoto.com 7. http://julianarome.blogspot.com/ 8. http://waybemetro.wordpress.com/ 9. http://siswandikadamok.wordpress.com/ 10. http://www.pitoyo.com/ 11. http://www.datasunda.org/ 12. http://wayangindonesiaraya.blogspot.com/
100
13. http://en.wikipedia.org/wiki/ 14. http://tomyarjunanto.wordpress.com/ 15. http://mitrabangsa-seni.blogspot.com/ 16. http://batararama.multiply.com/ 17. http://sonces.blogspot.com/ 18. http://baltyra.com/2012/07/18/draupadi-5/ 19. http://www.santaisejenak.com/cerita-rakyat/suluhan-gatotkacagugur/ 20. http://2.bp.blogspot.com/ 21. http://saungreyodastrajingga.blogspot.com/ 22. http://www.tembi.com 23. http://punakawan-suroboyo.blogspot.com 24. http://blvckshadow.blogspot.com/
101