Mikka Wildha Nurrochsyam, Kresna Duta: Akar-akar Kekerasan dalam Pertunjukan Wayang
KRESNA DUTA: AKAR-AKAR KEKERASAN DALAM PERTUNJUKAN WAYANG KRESNA DUTA: THE ROOTS OF VIOLANCE IN WAYANG PERFORMANCE Mikka Wildha Nurrochsyam Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Balitbang, Kemdikbud Jalan Jenderal Sudirman-Senayan, Gedung E Lantai IX, Jakarta 12041 email:
[email protected] Diterima tanggal: 31/05/2013; Dikembalikan untuk revisi tanggal: 01/06/2013; Disetujui tanggal: 02/09/2013 Abstrak: Kekerasan terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tidak mengenal batas ruang, usia, dan status sosial. Kekerasan dapat dilakukan, baik individu maupun kelompok. Kekerasan dapat terjadi karena legitimasi hukum atau politik; bahkan kekerasan dapat mengambil bentuk simbolis, baik secara struktural maupun kultural. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan bentuk-bentuk kekerasan dalam kisah Kresna Duta yang digelar oleh Ki Nartosabdo dan 2) mencari akar-akar kekerasan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam kisah ini. Penelitian ini menggunakan metode hermeneutik, yaitu metode penafsiran sehingga terungkap akar-akar kekerasan dalam kisah Kresna Duta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga akar kekerasan dalam kisah ini, yaitu: hasrat untuk berkuasa; hasrat untuk bersikap adil; dan hasrat untuk membalas budi. Selanjutnya, solusi untuk mengatasi kekerasan dicontohkan oleh sikap Kresna yaitu, melalui tindakan komunikatif dengan dialog dan sikap demokratis dalam menghadapi konflik. Kata kunci: mediator, rivalitas, kekerasan, dan metode hermeneutik Abstract: Violence occurred in everyday life, not knowing the limits of space, age, and social status. Violence can be done either individually or in groups. Violence can occur because of law or political legitimacy, and even violence can take the form of symbolic both structurally and culturally. This study aims to: 1) describe the forms of violence in the story of Kresna Duta that was held by Ki Nartosabdo, and 2) look for the roots of violence committed by the main characters in this story. This study uses a hermeneutic method, the method of interpretation to uncover the roots of violence in the story of Kresna Duta. Results of research show that there are three roots of violence in this story, namely: the desire for power; desire to be fair, and the desire to moral duty. Furthermore, a solution to overcome the violence exemplified by the attitude of Kresna, through communicative action with dialogue and democratic attitude in the face of conflict. Keywords: mediator, rivalry, violence, and hermeneutic methode
Pendahuluan
dalang membuat cerita menjadi lebih hidup.
Apa yang seringkali kita dengar dengan kata
Melalui ketrampilan dalang dalam menggerakkan
“wayang” tidak menunjuk pada rupa wayang
wayang (sabet), tokoh-tokoh wayang dapat kita
tetapi mengacu pada pergelaran wayang. Melalui
am ati sika p, t ingk ah l aku dan pand anga n-
pergelaran wayang, cerita atau lakon wayang
pandangan mereka secara langsung.
akan mendapat penguatan, karakter tokoh-
Wayang merupakan media seni tradisional
tokohnya akan tampil secara maksimal karena
yang secara visual dipandang sebagai tangible
didukung oleh iringan musik yang sesuai dengan
heritage (warisan-budaya-bendawi), tetapi juga
suasana. Dialog dan penggambaran suasana oleh
bersifat intangible heritage (warisan-budaya-tak-
397
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 3, September 2013
benda).
Dal am
w arisan-b udaya-ta k-be nda
digelar oleh Ki Nartosabdo dan 2) mencari akar-
wayang dihargai karena mengandung pikiran-
akar kekerasan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
pikiran, ide-ide, dan gagasan-gagasan serta
utama dalam kisah Kresna Duta.
se cara khusus meli hat penting nya sebuah paradigma, yaitu cara pandang sebuah komunitas
Kajian Literatur
masyarakat. Dalam warisan-budaya-tak-benda
Pergelaran wayang menjadi kajian dari berbagai
itu, wayang terkandung struktur mendasar dari
perspektif keilmuan, Benedict R. O’G. Anderson
realitas yang berhubungan dengan pandangan
seorang ilmuwan politik menghasilkan sebuah
tentang manusia, alam, dan Tuhan. Pandangan-
karya yang berjudul Mythology and The Tolerance
pandangan tersebut menyangkut stabilitas batin
of The Javanese (2009) yang melihat wayang
sebuah komunitas. Perubahan atas pandangan
dalam perspektif sosiologi. Soedarsono (1999)
itu ber arti menguba h kondisi ba tin sebuah
dalam bukunya Metode Seni Pertunjukan menye-
masyarakat pendukungnya. Berbeda dengan
butkan beberapa perspektif dalam memandang
warisan-budaya-bendawi jika rusak secara fisik
seni pe rtunjuka n, d i antara nya dise butk an
tidak akan merubah pandangan dunia masyarakat
perspektif antropologi, seperti dalam karya Victoria
yang bersangkutan (Nurrochsyam, 2007).
M. Clara van Groenendael dengan judul Dalang di
Dalam realitas di masyarakat, pertunjukan
Balik Layar. Soedarsono juga menyebutkan bahwa
wayang menampilkan dan bercerita tentang
seni pertunjukan wayang dapat dilihat dalam
persoalan-persoalan sosial, tentang keadilan,
perspektif ilmu komunikasi, seperti yang ditulis
loy alit as, dan keke rasa n se rta persoala n-
ole h Ka nti Walujo d alam diserta sinya ya ng
persoalan sosial lainnya. Secara khusus penulisan
berjudul Peranan Dalang dalam Menyampaikan
artikel ini ingin menyingkap persoalan kekerasan
Pesan Pembangunan.
dalam wayang.
Asal usul wayang telah menjadi perdebatan
Kekerasan menyelinap setiap kesempatan
klasik dalam perspektif ilmu sejarah. Perdebatan
dalam kehidupan sehari-hari. Kekerasan tidak
te rbag i da lam dua pend apat , ya kni anta ra
mengenal ruang, usia dan status sosial. Keke-
kel ompok il muwa n ya ng m endukung bahwa
rasan tidak hanya terjadi dalam masyarakat,
wayang berasal (asli) Jawa dan kelompok yang
tetapi juga terjadi di lingkungan sekolah, seperti
menolaknya. Sri Mulyono (1975) dalam bukunya
tawuran pelajar, school bullying yang dilakukan
mengatakan bahwa G.A.J Hazeu dalam diser-
oleh pelajar, guru, atau orang-orang di lingkungan
tasinya berkesimpulan bahwa wayang berasal
sekolah. Dalam kehidupan keluarga seringkali
dari (asli) Jawa. Argumen Hazeu ini ditolak oleh
dijumpai kasus-kasus kekerasan terhadap anak.
Rassers, sekaligus Rassers melengkapi teori yang
Di lingkungan kerja juga rawan kekerasan, seperti
dikemukakan oleh Hazeu.
working bullying yang dilakukan oleh atasan, rekan kerja, ataupun kelompok pekerja.
Lakon wayang juga menjadi inspirasi dalam ka rya sast ra, sepe rti sebuah novel kar ya
Kekerasan secara fisik dapat dilakukan oleh
Sindhunata (2010) dalam Anak Bajang Menggiring
individu atau kelompok, bahkan oleh negara.
Angin. Agusta T. Wibisono (1990) dengan karyanya
Kekerasan juga dapat dilakukan secara psikologis
Balada Cinta Abimanyu dan Lady Sundari. Beberapa
dengan melakukan penghinaan, pelecehan dan
sastrawan menulis cerpen bertemakan wayang,
int imid asi. Kek erasan d apat ter jadi kar ena
di antaranya NH. Dini menulis Jatayu; Gunawan
leg itim asi
da pat
Muhammad (2010) menulis puisi Parikesit dalam
dilegitimasi karena politik, bahkan kekerasan
antologi puisinya yang terbit dalam sebuah buku
dapat berarti kekerasan simbolik, yaitu kekerasan
berjudul Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001; dan
yang terjadi secara struktural dan kultural.
masih b anya k
hukum.
K eker asan
jug a
Rumusan permasalahan penelitian, yaitu
ka rya sast ra l ainnya y ang
terinspirasi dari lakon wayang.
bagaimana memutuskan mata rantai kekerasan?
Selain wayang dilihat dari perspektif seni,
Mengacu pada rumusan masalah, maka penelitian
sastra dan ilmu pengetahuan wayang dapat
ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan bentuk-
dilihat dari perspektif filsafat moral atau etika,
bentuk kekerasan dalan kisah Kresna Duta yang
seperti dalam tulisan Franz Magnis Suseno (1982)
398
Mikka Wildha Nurrochsyam, Kresna Duta: Akar-akar Kekerasan dalam Pertunjukan Wayang
dal am b ukunya K ita dan Waya ng me lihat
upaya fisik untuk melukai pada seksual/reproduksi
perspektif etika dalam wayang. Wayang dilihat
ata upun seranga n psik ologi s (keg iatan me-
dalam perspektif etika dikemukakan pula oleh
rendahkan dan menghina) yang diarahkan pada
Hazim Amir, dalam bukunya Nilai-Nilai Etis dalam
peng hayata n seksual sub yek; 3) keker asan
Wayang.
psik olog is
yak ni
p enye rang an
harga
dir i,
Wayang dalam perspektif filsafat ditemukan
penghancuran motivasi, perendahan, kegiatan
dalam buku Filsafat Wayang (2009), buku ini
mempermalukan, upaya untuk membuat takut,
adalah karya tim penulis dari disiplin ilmu filsafat
teror dalam banyak manifestasinya seperti kata-
dan akademisi seni pedalangan yang diberi kata
kata kasar, ancaman, penghinaan; dan banyak
pengantar oleh Solichin, seorang pakar pewa-
bentuk kekerasan fisik/seksual yang berdampak
yangan. Pada awalnya buku ini muncul karena
psikologis, misalnya penelanjangan, pemerko-
respon dari tulisan Zoetmulder dalam Majalah
saan; 4) kekerasan deprivasi, yaitu penelantaran
DJawa dengan judul Bukan Falsafah Sendiri (1940)
(misalnya anak), penjauhan dari pemenuhan
yang mempertanyakan mengenai filsafat asli di
kebutuhan dasar (makan, minum, buang air, udara,
Indonesia. Tulisan itu lalu memunculkan upaya
bersosialisasi, bekerja, dan lain-lain) dalam
untuk menggali khasanah filsafat asli itu dalam
berbagai bentuknya.
seni pertunjukan wayang.
Banyak teori digunakan untuk menjelaskan
Tulisan ini melihat seni pertunjukan wayang
tentang kekerasan, Maurizio Passerin (1994)
dalam perspektif etika. Franz Magnis Suseno
mengupas secara mendalam pemikiran Hannah
(1987) membedakan antara etika dan ajaran
Arendt dalam bukunya yang berjudul The Political
moral. Menurutnya ajaran moral adalah ajaran-
Philosophy of Hannah Arendt yang menjelaskan
ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah,
kekerasan dari perspektif politik. Ia mengatakan
pa toka n-pa toka n, k ump ulan per atur an d an
bahwa modernitas merupakan era munculnya
ketetapan, entah itu lisan atau tertulis, tentang
pem erintaha n
bag aima naka h
d an
Stalinisme, sebagai perwujudan dari pelem-
bertindak agar ia menjadi manusia yang baik.
bagaan teror dan kekerasan. Adapun, Karl Marx
Adapun etika menurutnya adalah filsafat atau
(18 18-1 883)
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-
kekerasan dari sudut pandang ekonomi dalam
ajaran dan pandangan moral (Franz Magnis
karyanya Das Capital, yang terdiri dari dua ajaran
Suseno,1987). Aspek-aspek tingkah laku, sikap,
pokok, yaitu ajaran mengenai “nilai lebih” dan
dan ucapan tokoh-tokoh utama dalam kisah ini
“k ehancura n ot omat is siste m ka pita lism e”
akan dikaji secara kritis.
(Hardiman, 2007). Kekerasan dalam perspektif
ma nusi a
ha rus
hidup,
Pem ikir an t enta ng a kar- akar kek erasan
totali tari an,
ber upay a
Nazi sme
me njel aska n
dan
ak ar
psikologi dibahas di antaranya oleh Erich Fromm
dalam kisah wayang belum pernah ada yang
dal am
me nuli snya . Ad a be bera pa t ulisan t enta ng
De structiv eness, ia me lak ukan pe nde kat an
kekerasan dalam wayang, di antaranya yang
psikoanalisis untuk menawarkan
ditulis oleh Suwaji Bastami (2003) dalam makalah
tentang agresi. Dalam bukunya itu, ia memak-
seminar yang disampaikan di UIN Walisongo,
sudkan agresi dalam 2 (dua) pengertian, yaitu
Semarang. Namun, dalam tulisan tersebut tidak
agresi reaktif-defensif sebagai agresi lunak dan
mel acak
secara jauh
bukuny a
The
Anat omy
of
Hum an
pemahaman
mengena i ak ar-a kar
kedestruktifan dan kekejaman sebagai kecen-
kekerasan. Karena itu, tulisan saya dengan judul
derungan khas manusia untuk merusak dan untuk
“Kresna Duta: Mencari Akar-akar Kekerasan Dalam
memperoleh kekuasaan mutlak atau agresi jahat
Wayang” dijamin keasliannya.
(Fromm, 2008).
Apakah kekerasan? Kristi Poerwandari (2004)
Untuk meneliti akar-akar kekerasan,
penulis
dalam disertasinya mengatakan bahwa ada 4
menggunakan teori Rene Girard seorang pemikir
(empat) bentuk kekerasan, yaitu: 1) kekerasan
ternama pada abad ini. Ia dilahirkan di Avignon,
fisik, dengan melakukan pemukulan, pengero-
Prancis pada 1923. Girard dikenal dengan teori
yokan, dan penggunaan senjata; 2) kekerasan
mimesis dan kambing hitam. Dalam tulisan ini
seksualitas, reproduksi yakni serangan atau
penulis mengambil salah teorinya, yaitu tentang
399
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 3, September 2013
mimesis. Teori mimesis ini sering disebut dengan
teori Rene Girard tentang mimesis atau hasrat
teori hasrat segitiga (Girard, 2000). Teorinya
segitiga untuk menyingkap akar-akar kekerasan
tentang mimesis ditandai dengan diterbitkannya
dalam sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh utama
bukunya yang berjudul Deceit, Desire, and the
dalam kisah ini.
Novel. Self and Other in Literary Structure.
Teori ini mengandung 2 (dua) pokok penger-
Menurut Sindhunata (2006), Rene Girard
tian, yaitu bahwa: 1) hasrat itu tidak langsung
me lakukan penj elasan seca ra f unda ment al
menuju obyeknya, tetapi selalu melewati pola
tentang akar-akar kekerasan melalui karya sastra
segitiga, yaitu bahwa manusia menghasratkan
dari pengarang-pengarang terkenal yakni: Miguel
sesuatu melalui mediator; dan 2) hasrat segitiga
de Cervanter (1547-1616), Gustave Flaubert
itu menyimpan rivalitas, mediator yang semula
(1821-1880), Stendhal (1783-1842), Marcel Proust
sebagai model lalu dianggap sebagai rivalitas.
(1871-1922), dan Fyodor Dostojevsky (18211881). Pemikiran Girard ini saya gunakan untuk
Hasil dan Pembahasan
menganalisis kisah dalam pergelaran wayang
Tulisan berikut ini menguraikan bentuk-bentuk
untuk meng etahui a kar -aka r ke kera san di
kekerasan dalam kisah Kresna Duta seperti yang
dalamnya.
dilakukan oleh tokoh-tokoh utamanya, yaitu, Duryudana, Baladewa, dan Karna berdasarkan
Metode Penelitian
atas teori mimesis atau hasrat segitiga menurut
Penelitian ini menggunakan metode hermene-
teori Rene Girard. Tokoh utama lain, yaitu Kresna
utika, yaitu penafsiran. Apa yang akan dicapai
dalam tulisan ini ditampilkan sebagai sosok yang
dalam penafsiran, yaitu membuka pemahaman
da pat
terhadap sesuatu yang samar menjadi jelas dan
kekerasan.
memb erik an solusi
a tas
terj adinya
terang benderang. Budi Hardiman (2003) dalam bukunya menyebutkan 3 (tiga) pengertian terkait
Duryudana
dengan hermeneutika. Pertama, hermeneutika
Secara jelas kisah ini menggambarkan rivalitas
dipahami sebagai semacam peralihan dari sesuatu
Duryudana terhadap saudara sepupunya Pan-
yang relatif abstrak dan gelap, yaitu pikiran-
dawa. Duryudana dalam kisah ini digambarkan
pikiran, ke dalam bentuk ungkapan-ungkapan
sebagai seseorang yang mempunyai ambisi untuk
yang jelas, yaitu dalam bentuk bahasa. Kedua,
mencapai kekuasaan tetapi sedikit bebal. Ia lebih
hermeneutika dipahami sebagai “menerjemah-
me liha t be ntuk penampa kan fisi k da ripa da
kan”, yaitu usaha untuk mengalihkan diri dari
substansi yang sebenarnya. Oleh karena itu,
bahasa asing yang maknanya gelap bagi kita ke
seringkali salah persepsinya dalam menyikapi
dalam bahasa kita sendiri yang maknanya jelas.
sebuah persoalan. Karakternya digambarkan
Ketiga, hermeneutika dalam pengertian bahwa
angkara murka, keras, angkuh dan sombong, ia
seseorang mengubah pikiran yang kurang jelas
pun dilukiskan sebagai orang yang pembual dan
menjadi bentuk pemikiran yang jelas.
suka berkata bohong. Karena ambisinya terhadap
Metode hermeneutika ini dipergunakan untuk
kekuasaan itu, ia termasuk tokoh dalam kelompok
memahami atau menafsirkan obyek penelitian,
kiri yang jahat. Sikapnya terhadap Pandawa selalu
yaitu sikap-sikap yang diperlihatkan oleh tokoh-
menyudutkan, menindas, bahkan segala cara
tokoh utama dalam kisah Kresna Duta dalam
dilakukannya untuk mempermalukan, menyakiti,
kaitannya dengan kekerasan. Obyek penelitian ini
bahkan membunuh Pandawa demi untuk keku-
berupa pergelaran wayang semalam suntuk yang
asaan.
dip erge lark an oleh Ki N artosabd o, seora ng
Kisah ini menggambarkan hasrat Duryudana
maestro dalam seni pedalangan, yang terkenal
untuk memenangkan perang Baratayuda. Medi-
sekitar tahun 1980-an. Rekaman kaset tersebut
ator bagi Duryudana yakni Kresna sebagai simbol
saya transkrip dalam teks dengan memperhatikan
kemenangan. Siapa yang didukung oleh Kresna
sikap dan tingkah laku, serta ucapan tokoh-tokoh
dijamin mendapatkan kemenangan dalam perang.
wayang yang terkait dengan kekerasan. Selanjut-
Duryudana telah memulai langkah awal dengan
nya, saya menjelaskan dengan menggunakan
cara yang salah. Namun, lebih konyol lagi ia
400
Mikka Wildha Nurrochsyam, Kresna Duta: Akar-akar Kekerasan dalam Pertunjukan Wayang
bertindak tanpa memiliki pengetahuan. Di sini
psikologis yang dilakukan Duryudana terhadap
tampak bahwa kekuasaan tidak didasari oleh
Kresna. Kekerasan psikologis dapat dilihat dari
pengetahuan telah melahirkan kekerasan. Kresna
sikap Duryudana dalam memperlakukan Kresna
yang bertapa tidur di Makambang dihentak-
sebagai seorang Duta. Kresna mendapat perla-
hentakkan kakinya dengan kasar. Dalam adegan
kuan kasar dan disepelekan harga dirinya di
ini tampak bahwa Duryudana melakukan keke-
hadapan publik sedangkan kekerasan fisik dapat
rasan secara fisik. Hasratnya untuk menguasai
dilihat dari tindakan Duryudana hendak mem-
Kresna dilakukan dengan kekuatan fisik agar
bunuh Kresna. Namun, sebelum menyentuh tubuh
membuat Kresna terbangun dari semedi.
Kr esna , Duryud ana jatuh te rsungkur lem as
Duryudana salah dalam mempersepsi tentang
karena daya dari kesaktian Kresna.
bangunnya Kresna. Karena frustasi usahanya gagal, maka Duryudana bersama-sama Kurawa
Baladewa
membuat keributan. Pada saat itu, Kresna terjaga
Ba lade wa d igam bark an seba gai orang ya ng
dari tidurnya, tetapi bukan karena keramaian yang
bertemperamen keras, gampang marah tetapi
ditimbulkan oleh Kurawa. Kresna terbangun
mem puny ai sifat adi l, j ujur dan bai k ha ti.
karena meditasi yang dilakukan oleh Arjuna. Di
Wataknya yang pemberang seringkali menutup
sini lalu m uncul konflik kepenti ngan antara
dirinya tidak obyektif dalam memutuskan tindakan.
Duryudana dan Arjuna. Duryudana bersikeras
Baladewa digambarkan mudah untuk dikelabuhi
bahwa dia yang membuat Kresna terjaga. Demi
oleh orang lain.
ha srat nya
K resna,
Dalam adegan ini ditampilkan Duryudana
Duryudana bersikap keras kepala dan tidak mau
untuk
me nda patk an
sedang meminta bantuan Baladewa untuk mem-
mengalah.
ba ngunkan Kresna y ang sed ang bert apa di
Kresna menyelesaikan konflik ini secara adil
Makambang karena akan diboyong ke Hastina.
dengan memberikan kebebasan pilihan. Duryu-
Baladewa menyetujui asalkan Duryudana mene-
dana dipersilahkan untuk memilih, apakah dirinya
pati janji untuk mengembalikan hak Pandawa
atau bantuan kepadanya sejumlah raja seribu
sesuai dengan perjanj ian yang dulu pernah
negara. Cara Kresna untuk memberikan kebe-
ditandatanganinya. Duryudana menyanggupi,
basan pilihan adalah sikap yang sangat adil,
tetapi kata-katanya hanya dibibir saja, sedangkan
karena tidak memihak Pandawa maupun Kurawa.
dalam lubuk hatinya terselubung motif jahat
Kresna cukup demokratis karena memberikan
karena keberadaan Kresna di Hastina dimaksud-
kesempatan Duryudana menentukan pilihannya
kan unt uk m engukuhk an d ominasinya a tas
sendiri tetapi karena kurangnya pengetahuan
Pandawa.
pilihannya keliru. Duryudana lebih menginginkan
Adegan ini menggambarkan bahwa Duryu-
kuantitas dengan banyaknya bantuan kepadanya
dana dianggap sebagai mediator bagi Baladewa
sejumlah raja seribu negara daripada Kresna
yang harus dibantu untuk mendapatkan Kresna.
seorang diri. Persepsinya tertutup untuk melihat
Hasrat Baladewa untuk membantu Duryudana
potensi Kresna yang sesungguhnya jauh lebih
benar-benar tulus, agar hak Pandawa segera
unggul ketimbang kekuatan dari raja seribu
dikembalilan. Di samping itu, alasannya membela
negara. Dengan demikian Kresna yang semula
Duryudana semata-mata didasari sikap adil. Baik
menjadi mediator kini membalik menjadi lawan
Kurawa dan Pandawa adalah sama-sama saudara
bagi Duryudana.
sepupu mereka. Kresna telah berpihak pada
Rivalitas Duryudana dengan Kresna berlanjut, digambarkan dalam adegan saat Duryudana
Pandawa, maka akan menjadi tidak adil jika Baladewa berpihak pada Pandawa.
menerima kedatangan Kresna sebagai utusan
Hasrat Baladewa untuk membantu Duryu-
Pandawa. Secara jelas dalam kisah ini mediator
dana telah mengakibatkan kekerasan dengan
telah berubah total menjadi rivalitas, dimana
terjadinya perang tanding melawan Kresna. Sikap
Kresna yang semula diharapkan sebagai peno-
Baladewa ini justru menuai tindakan-tindakan
longnya kini malah ingin dibunuhnya. Adegan ini
kekerasan, Baladewa terlibat perang dengan
menggambarkan bentuk kekerasan fisik maupun
saudaranya sendiri, yaitu Kresna. Dalam adegan
401
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 3, September 2013
ini menggambarkan bentuk kekerasaan fisik yang
Da lam adeg an i ni d igam bark an t enta ng
dilakukan oleh Baladewa terhadap Kresna, tetapi
bentuk kekerasan secara fisik yang dilakukan oleh
Kresna tidak tinggal diam. Tindakan Baladewa
Karna, yaitu tindakan membuka secara paksa
mendapat perlawanan dari Kresna.
gerbang pintu Makambang yang dijaga oleh
Setelah gigih memperjuangkan Duryudana,
Setyaki, Patih Udawa, dan Setyaka. Lalu, terjadi
Baladewa lalu disadarkan oleh Kresna bahwa
perang fisik antara Karna dan Setyaki. Meskipun
dirinya telah berpihak pada kejahatan. Duryudana
Setyaki bukanlah tandingan Karna, tetapi Setyaki
sebagai mediator yang semula dibelanya - setelah
berani menghadapi Karna secara elegan. Hasrat
sadar bahwa tindakannya keliru - maka Baladewa
untuk membalas budi telah mengakibatkan Karna
tidak membalik menjadi rival bagi Duryudana,
melakukan kekerasan-kekerasan.
tetapi Baladewa lebih bersikap netral, ia tidak lagi
Hasrat Kar na untuk balas bud i semakin
memihak Duryudana maupun Pandawa. Apa yang
menguat, seperti terlihat dalam sebuah adegan
diusahakan Baladewa merupakan upaya untuk
musyawarah di antara para elit Hastina, mengenai
memenuhi keadilan itu sendiri. Bukan persoalan
hak-hak Pandawa atas kerajaan Amarta yang
membela yang jahat atau yang baik, tetapi sikap
dikuasai oleh Duryudana. Duryudana memilih
tidak memihaknya itu dapat dikatakan bahwa ia
untuk tidak memberikan hak-hak Pandawa. Karna
merupakan tokoh yang adil.
sepakat dengan Duryudana. Dalam sidang itu Salya tampil dengan lantang berbicara agar
Karna
Duryudana memberikan seluruh hak-hak Pandawa
Karna telah mendapat pertolongan beberapa kali
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
dari Duryudana, di antaranya Karna diangkat
Salya mempunyai prinsip bahwa mengambil hak
sebagai saudara oleh Duryudana dan diberi
orang lain secara tidak sah, itu tidak adil maka
kedudukan sebagai Adipati. Kebaikan Duryudana
seluruh hak yang diambilnya harus dikembalikan
telah mengubah hidup Karna dari anak pungut
kepada pemiliknya. Pendapat Salya ini mendapat
kusir menjadi kesatria yang mulia dan terhormat.
tentangan keras dari Karna yang berpendirian
Karna merasa berhutang budi pada Duryudana,
bahwa hak Pandawa seluruhnya harus tetap di
karena itu ia merasa mempunyai kewajiban untuk
klaim oleh Duryudana. Karna justru menginginkan
membalas kebaikan Duryudana. Di sini tampak
ag ar k onfl ik K uraw a d an Panda wa semak in
bahwa Duryudana sebagai mediator, yang meng-
meruncing. Karna tampaknya sengaja membakar
gerakkan tindakan dan sikap Karna. Loyalitas
emosi para hadirin agar segera terjadi perang
ditunjukkan Karna de ngan berpihak kepada
antara Kurawa dan Pandawa. Sikap Karna sama
Duryudana ketika terjadi perang besar Barata-
dengan sikap Sengkuni yang licik, Karna setuju
yuda antara Kurawa dan Pandawa. Karna tidak
dengan pendapat Sengkuni bahwa Pandawa bisa
berpihak pada Pandawa yang notabene adalah
mendapat haknya jika menempuh jalan pepe-
saudara kandungnya sendiri, tetapi Karna justru
rangan. Bahkan, Karna melanggar tata keso-
membela Duryudana yang jahat. Di sini Karna
panan dengan menantang duel dengan Prabu
mengalami dilema etis, karena dia berperang
Salya.
me lawa n sa udar a-sa uda rany a se ndir i de mi loyalitasnya kepada Duryudana.
Sikap Karna terhadap Duryudana sebagai mediator ini mirip dengan kisah Don Quixote dalam
Dala m adega n ini, m ediator bagi K arna
novel karya Miguel de Cervantes (1547-1616) yang
adalah Duryudana yang dianggap telah berjasa
mengimitasi kesatria pujaannya, Amadis. Amadis
mengubah hidupnya menjadi mulia. Duryudana
telah memilihkan hasrat Don Quixote itu untuk
bagi Karna harus dibela mati-matian. Upaya untuk
bertindak seperti seorang pahlawan. Maka, akan
membalas budi ini justru menjadi pemicu yang
kita lihat bahwa banyak tindakan Don Quixote
mengund ang keke rasa n da lam sika p Ka rna
yang konyol, ketika ia masuk ke sebuah pengi-
terhadap peristiwa-peristiwa yang terkait dengan
napan yang dikiranya sebuah istana, ia berlutut
Duryudana. Apapun yang dilakukan Duryudana
di kaki pel ayan unt uk m elantiknya sebag ai
akan dibelanya.
seorang kesatria. Don Quixote juga menghajar tukang pedati yang menyingkirkan baju zirahnya
402
Mikka Wildha Nurrochsyam, Kresna Duta: Akar-akar Kekerasan dalam Pertunjukan Wayang
karena hendak mengambil air di kolam. Don
harus dilindungi, sedangkan Duryudana dengan
Quixote sebagai kesat ria terhormat merasa
saudara-saudaranya (Kurawa) sebagai pihak
tersinggung lalu menghajar tukang pedati itu,
yang angkara murka, maka harus dimusnahkan.
me skip un d ia harus me nang gung resikonya
Sebagai seorang titisan Dewa, Kresna mempunyai
dengan dilempari batu oleh teman-teman si
kesaktiannya tak tertandingi, bahkan oleh Dewata
tukang pedati.
sekalipun. Ia juga mempunyai kebijaksanaan dan
Etika balas budi bukan tidak bermasalah.
pengetahuan yang luas tiada tara.
Pada kasus Karna dengan mediatornya Duryu-
Meskipun berpihak pada Pandawa dalam
dana tela h mem icu ti ndakan-tind akan y ang
perang Baratayuda Kresna tidak turun ke medan
menjurus pada sikap kekerasan. Meskipun, sikap-
laga. Jika ia turut berperang dipastikan Kurawa
sikapnya yang kontroversial, Karna dipandang
akan kalah dengan mudah karena tidak ada
sebagai kesatria utama. Hati kecilnya sesung-
kekuatan apapun menandingi kehebatannya. Di
guhnya membela Pandawa sebagai pihak yang
sini tampak hasrat Kresna untuk memenangkan
be nar. Nam un, kare na fakt or nasib tel ah
Pandawa dibatasi dengan kebijaksanaan sehing-
membawanya untuk berada pada kubu Kurawa
ga korban kekerasan langsung yang diakibatkan
yang jahat.
karena kekuatan dan kesaktiannya yang dahsyat
Karna justru menginginkan kemenangan bagi
itu dapat dihindarkan. Tugas Kresna hanya mem-
pihak Pandawa karena itu seluruh upaya untuk
perlancar proses dialektika antara kebaikan dan
berkompromi dan mendamaikan perseteruan
kejahatan agar masing-masing orang menemukan
Pandawa dan Kurawa selalu ditentangnya karena
karmanya. Urusan Pandawa dan Kurawa harus
akan memperlambat terjadinya perang Barata-
diserahkan kepada keputusan dan tindakannya
yuda. Perang Baratayuda ini dianggap sebagai
sendiri. Keputusan Kresna ini cukup adil karena
ajang karma bagi mereka yang jahat pasti perlaya.
tidak berat sebelah. Pandawa dan Kurawa diberi-
Duryudana dan Kurawa sudah dapat dipastikan
kan kebebasan untuk memperjuangkan nasibnya
akan binasa. Di sini tampak bahwa Duryudana
sendiri.
yang dianggap sebagai mediator yang harus
Sang Hyang Narada, Sang Hyang Kanwa,
dilindungi dan dibela mati-matian, tetapi secara
Sang Hyang Janaka dan Sang Hyang Rama Parasu
implisit justru menjadi lawan Karna yang harus
hendak menjadi saksi perundingan antara Kresna
dihancurkan.
dan Duryudana memberi pesan kepada Kresna
Kar na m erup akan seorang tok oh y ang
agar tidak mencegah apapun yang dikatakan
melegenda karena karakternya yang kontro-
Duryudana karena yang ter ucap dari mulut
versial. Ia seorang yang tahu membalas budi
Duryudana akan menjadi keputusan terjadinya
meskipun berakibat harus berperang melawan
perang Baratayuda. Pesan Dewata ini dilaksa-
saudaranya sendiri. Ibarat mutiara dalam lumpur.
nakan Kresna dengan baik. Kresna tidak serta
Meskipun di tengah-tengah Kurawa yang jahat ia
merta memaksakan kehendaknya kepada Duryu-
tetap memelihara darmanya sebagai seorang
dana tetapi memberikan kebebasan keputusan
kesatria. Karena sikap-sikapnya itu maka dalam
itu pada Dury udana . Di sini tamp ak ba hwa
Serat Tripama, karya Mangkunegara VII, meng-
Duryudana dipandang bukan sebagai lawan yang
abadikannya sebagai salah satu contoh seorang
harus dikelabuhi atau ditindas, tetapi Kresna
pemimpin yang patut diteladani.
bersikap cukup bijaksana, yaitu memberikan kebebasan pilihan.
Kresna
Kresna menunjukkan sikap adil dan bijaksana
Kresna disebut avatar, yaitu titisan Dewa Wisnu
saat bertugas sebagai duta. Ketika dilecehkan
yang berkewajiban untuk menjaga dan meme-
ol eh D uryudana Kre sna teta p be rsab ar. Ia
lihara keselamatan dan perdamaian dunia. Kresna
sesungg uhnya dapat mengukur kem ampuan
sebagai avatar bertugas mengupayakan perda-
dirinya dengan kesaktian Duryudana. Jika mau
maian dunia dengan memerangi dan melebur
Kre sna seca ra m udah dap at m enak lukk an
angkara murka. Bagi Kresna, Pandawa dipandang
Duryudana dan bala Kurawa seorang diri, tetapi
sebagai mediator sebagai pihak yang benar yang
tindakan ini tidak dilakukannya. Kresna bersikap
403
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 3, September 2013
bijak terhadap rivalnya ia tidak serta merta
netral ketika hasrat itu mengakibatkan penindasan
melakukan kekerasaan. Saat dikeroyok oleh
dan kerugian orang lain. Melalui hasrat-hasrat ini
Kurawa, Kresna bertriwikrama menjadi raksasa
kekerasan-kekerasan dapat muncul. Ada bebe-
yang mengerikan namun ia tidak berkeinginan
ra pa hasra t da ri t okoh-tokoh utam a ya ng
mengambil jalan kekerasan terhadap Kurawa,
diperlihatkan dalam kisah ini. Pertama, hasrat
tetapi hanya sekedar mencari jalan untuk lewat
untuk berkuasa diperlihatkan oleh sikap-sikap
karena dihalang-halangi Kurawa yang hendak
Duryudana. Kedua, hasrat untuk bersikap adil
membunuhnya. Kresna bersikap sangat elegan,
diperlihatkan oleh Baladewa. Ketiga, hasrat untuk
yaitu menahan diri dengan tidak menggunakan
membalas budi diperlihatkan oleh Karna.
kekerasan dan kekuatannya yang dahsyat untuk membinasakan Kurawa.
Hasrat untuk be rkua sa d alam kisah i ni menjadi penyebab munculnya kekerasan-keke-
Kresna sebagai duta berupaya untuk mela-
rasaan, seperti yang diperlihatkan oleh Duryu-
kukan diplomasi. Bukan dengan jalan kekerasan
dana. Kekerasan dilakukan secara langsung,
konflik dapat diselesaikan tetapi dengan dialog.
misalnya tindakan yang kasar dan melecehkan
Kresna menghindarkan diri dari kekerasan fisik
pada Kresna sebagai duta, bahkan Duryudana
dengan upaya-upaya damai. Ketika jalan damai
hendak membunuhnya. Hasrat untuk berkuasa
telah diusahakan tetapi mengalami jalan buntu
telah m embawanya pad a tindak kek erasan-
sedangkan ketidakadilan tetap merajalela maka
kekerasan, baik yang dilakukan secara langsung
kep utusan p erang me njad i pi liha n te rakhir.
maupun secara tidak langsung telah meng-
Bahkan ketika terjadi perang Baratayuda, Kresna
akibatkan orang lain celaka. Karena itu, kita meski
tetap konsisten pada pendiriannya. Ia tidak
hati-hati terhadap kekuasaan, karena kekuasaan
melibatkan perang secara fisik untuk membela
cenderung korup dan bisa menjadi alat penindas
Pandawa. Kresna hanya bertindak sebagai pena-
bagi orang lain.
sihat Pandawa dalam perang tersebut.
Kekerasan juga dapat muncul karena hasrat untuk bersikap adil. Keadilan tidak saja dipandang
Simpulan dan Saran
sebagai nilai yang baik secara moral, tetapi juga
Simpulan
dipandang sebagai biang terjadinya kekerasaan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
Seperti yang diperlihatkan oleh Baladewa, dengan
bahwa terdapat 2 (dua) bentuk kekerasan yang
hasratnya untuk mengupayakan keadilan itu
dilakukan oleh tokoh-tokoh utama dalam kisah ini,
justru dirinya terjebak dalam kekerasan. Karena
yaitu kekerasan fisik dan kekerasan psikologis.
itu, kita meski hati-hati dalam mengupayakan
Kekerasan fisik diperlihatkan baik oleh Duryudana,
keadilan, jangan sampai keadilan itu justru
Baladewa maupun Karna. Duryudana melakukan
menjadi dalih atau alat penindas bagi orang lain.
kekerasan fisik ketika membangunkan Kresna
Kekerasan dapat muncul dari hasrat untuk
yang bertapa tidur maupun tindakannya untuk
membalas b udi. Sikap membalas budi yang
membunuh Kresna. Di samping melakukan keke-
dilakukan Karna kepada Duryudana mengaki-
rasan secara fisik Duryudana melakukan bentuk
batkan tindak kekerasan-kekerasan, seperti
kekerasan psikologis, yaitu mempermalukan dan
sikapnya yang kasar dilakukan kepada Setyaki,
menghina
Dut a.
Patih Udawa, dan Setyaka. Sikap yang kasar dan
Baladewa melakukan kekerasan fisik yaitu dengan
tidak mengenal sopan santun juga dilakukan
menyerang Kresna, sedangkan Karna melakukan
Karna kepada Salya dan Bisma sesepuh Hastina
kekerasan fisik dengan sikap memaksa dan
yang harus dihormati. Jadi, niat baik saja tidak
menyerang Setyaki, Patih Udawa, dan Setyaka.
cukup. Karena itu, kita meski waspada terhadap
Kr esna
seb agai
seorang
Apa yang menjadi akar kekerasan dalam kisah
niat baik kita untuk melakukan sesuatu, jangan
ini, yaitu muncul dari hasrat para tokoh-tokoh
sampai niat baik itu dikotori dengan upaya-upaya
utama untuk menginginkan sesuatu. Pada dasar-
yang menjurus pada tindak kekerasan.
nya hasrat akan sesuatu itu bersifat netral, dalam
Akhirnya, kisah Kresna Duta menawarkan
pengertian bahwa apa yang dihasratkan itu tidak
sikap yang memadai untuk memutuskan rantai
merugikan atau menindas orang lain. Menjadi tidak
kekerasan, yaitu yang diperlihatkan Kresna dalam
404
Mikka Wildha Nurrochsyam, Kresna Duta: Akar-akar Kekerasan dalam Pertunjukan Wayang
menyelesaikan masalah secara adil dan bijaksana.
bijaksana dalam bertingkah laku; 2) Dalam
Be bera pa sikap Kre sna anta ra l ain, meng-
kehidupan pribadi, kisah wayang memberikan
upa yaka n ja lan dial og d an d iplomasi unt uk
pesan agar kita senantiasa berhati-hati terhadap
menyelesaikan perang; Kresna sebagai seorang
hasrat dalam diri kita, baik hasrat yang baik
Duta menghindari diri dari kekerasan fisik ketika
maupun, buruk karena kalau tidak dikendalikan
hendak dibunuh oleh Duryudana; Kresna juga
dengan hasrat itu bisa menjadi tindak kekerasan;
tidak melibatkan diri secara langsung dalam arena
3) Dalam kehidupan bermasyarakat, kisah wayang
perang Baratayuda. Dalam kisah ini memperli-
dapat menjadi referensi untuk menyelesaikan
hatkan bahwa setiap persoalan harus disele-
konflik dalam relasi sosial, seperti penyelesaian
saikan secara bijak, bukan dengan jalan keke-
dengan jalan damai, dialog, dan sikap demokratis
rasan tetapi dengan jalan dialog, diplomasi dan
serta tinda kan komunikatif; 4) Pertunjukan
si kap demokrat is. Sika p Kr esna hendaknya
wayang dapat dipakai sebagai sarana pendidikan
menjadi inspirasi dalam kehidupan kita sehari-hari
bagi generasi muda untuk menanamkan kesa-
dalam masyarakat untuk mengupayakan jalan
daran bahwa tindakan kekerasan merupakan
damai, tindakan komunikatif dengan dialog dan
cara-cara yang tidak bermartabat dalam bersikap
sikap demokratis dalam menghadapi konflik.
terhadap orang lain; dan 5) Perlu dilakukan pengkajian secara ilmiah mengenai wayang untuk
Saran
mengungkapkan cahaya terang pikiran-pikiran,
Mengacu pad a si mpul an d i at as b erik ut i ni
ide-ide dan gagasan-gagasan yang dapat men-
disampaikan beberapa saran: 1) Wayang meru-
jadi referensi untuk kehidupan bermoral secara
pakan kearifan lokal yang mengandung pengeta-
pribadi maupun sosial.
huan sekaligus memberikan petunjuk cara-cara
Pustaka Acuan Anderson, Benedict R. O’G. 2009. Mythology and The Tolerance of The Javanese. Singapore: Equinox Publishing (Asia) Ltd. Bastami, Suwaji. 2003. Kekerasan dalam Pewayangan, Semarang: Seminar IAIN Walisongo. Dini, NH. Jatayu. Diakses dari http://cip.cornell.edu/DPubS?service=Repository &version=1.0&verb=Disseminate&view=body&content type=pdf_1&handle=seap.indo/ 1107105573#, diunduh tanggal 22 September 2013. Fromm, Erich. 2008. Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, terjemahan: The Anatomy of Human Destructiveness. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Groenendael, Victoria M. Clara van. 1987. Dalang di Balik Layar. Jakarta: Pustaka Grafiti Utama. Girard, Rene. 2000. The Girard Reader. New York: The Crossroad Publishing Company Hardiman, F Budi. 2007. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Hardiman, F Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Maurizio Passerin d’Enteves. 1994. The Political Philosophy of Hannah Arendt. Diterjemahkan oleh M. Sawan dengan judul Filsafat Politik Hannah Arendt. Yogyakarta: CV Qalam. Muhammad, Gunawan. 2001. Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001. Jakarta:Metafor Publishing.
405
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 19, Nomor 3, September 2013
Mulyono, Sri. 1975. Wayang, asal-usul, filsafat & masa depannya, Jakarta: Badan Penerbit Alda. Nurrochsyam, Mikka Wildha. 2007. Keadilan dalam Wayang. Thesis Program Studi Magister Ilmu Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (tidak dipublikasikan). Poerwandari, E. Kristi. 2004. Mengungkap Selubung Kekerasan, Telaah Filsafat Manusia. Bandung: Kepustakaan Eja Insani. Sindhunata. 2006. Kambing Hitam Teori Rene Girard. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Sindhunata. 2010. Anak Bajang Menggiring Angin. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Slamet Sutrisno, Joko Siswanto, Kasidi Hadiprayitno, Mikka Wildha N, Purwadi, Iva Ariani. 2009. Filsafat Wayang. Jakarta: SENA WANGI. Soedarsono, R.M. 1999. Metodologi Penelitian: Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, bekerja sama dengan art.line atas bantuan Ford Foundation, Bandung. Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Suseno, Franz Magnis. 1982. Kita dan Wayang. Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional. Walujo, Kanti W. 1994. Peranan Dalang dalam Menyampaikan Pesan Pembangunan: Analisa Komprehensif Peranan Wayang dalam Komunikasi Pembangunan. Jakarta: Direktorat Publikasi, Ditjen Pembinaan Pers dan Grafika, Departemen Penerangan, Republik Indonesia. Wibisono. Agusta T. 1990. Balada Cinta Abimanyu dan Lady Sundari. Jakarta: Pustakakarya Grafikatama. Zoetmulder, P. 1940. Bukan Falsafah Sendiri. Judul Asli: Geen Eigen Wijsbegeerte. Majalah Djawa, Java Institute Deel XII, No 6.
406