No. 9/TH. III MEI - JULI 2009
ISI Tajuk Fokus Wawancara Advetorial Opini Rak Buku Aktivitas
hal.1 hal.1 hal.3 hal.4 hal.5 hal.7 hal.8
FOKUS
Berebut (Suara) Umat
TAJUK
M
enjadi umat Islam Indonesia sebagai yang mayoritas mungkin suatu kebanggaan. Betapa tidak, ia menjadi primadona di kalangan partai yang berlaga di pemilu sejak 1955. Umat dijadikan barang dagangan untuk menggapai kekuasaan atau alat penawar negosiasi politik. Tetapi kemalangan nampaknya mengikuti kebanggaan. Setelah dijual, di monopoli, umat ditinggalkan. Umat, yang mulanya percaya pada partai Islam, kemudian putar haluan. Mereka menjadi pemilih rasional; mereka memilih bukan berdasarkan ideologi lagi. Sandaran pilihannya, menurut analisa para pengamat politik, adalah program dan visi partai atau kandidat tertentu. Analisa lainnya, pilihan didasarkan pada pragmatisme; ada uang, ada barang. Yang bersetuju ini menyatakan agar umat jangan disalahkan. Pragmatisme tersebut adalah balasan terhadap para politikus yang tidak amanah. Kini umat dibawa (lagi) sebagai modal kampanye politik pemilihan presiden (pilpres) 2009. Pelakunya, tetap saja, partai-partai Islam itu. Nawala edisi kali ini, yang telah mengalami perubahan tampilan, membahas “umat” dan isu “umat” yang digadanggadang oleh mereka. Tentu saja, perilaku semacam ini tidak elok untuk diteruskan. Saatnya umat memilih yang paling tepat. Jangan mau diperalat oleh mereka yang menjual “umat”. Akhirnya, selamat membaca.
Kritik dan Saran: Jl. Taman Amir Hamzah No 8 Jakarta 1030, Indonesia Phone: +6 1-39833, 3145671|Fax: +6 1-39850 Email:
[email protected] Website: www.wahidinstitute.org
Salah satu spanduk isu jilbab dalam Pilpres 2009/Foto Dok. detik.com
S
etelah didesak kanan-kiri, diberi saran sana-sini, Calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menentukan pilihan calon wakil presiden (cawapres) sendiri. “Yang beruntung” itu ternyata Boediono, sang debutan baru. Cawapres dari partai-partai Islam, yang berkoalisi dengan Partai Demokrat, tak dilirik sama sekali. Tetapi mereka tak mau menerima pilihan bulat-bulat. Mereka merapat dan memutuskan menolak. Alasannya, Boediono tidak mewakili umat. Boediono memang seorang muslim, tapi bukan representasi dari ”umat” yang memilih partai-partai Islam tersebut. Adalah Tifatul Sembiring, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang membawa-bawa kata “umat“. SBY bahkan terlihat kepayahan, karena PKS ngotot setengah mati agar cawapresnya mewakili “umat“. Baru detik terakhir mereka mau menerima. Dengan negosiasi sana-sini, tentu. Isi negosiasi, hanya SBY dan PKS yang tahu. Apakah umat hanya jualan politik yang musnah begitu saja ketika terjadi kesepakatan “harga”? Siapa sejatinya yang berhak mengklaim mewakili umat? Memang, dalam jagad politik, “umat” mengalami pengkerutan (contraction) dan pemuaian (expansion) tergantung situasi dan selera politisi.
Umat: Pengkerutan dan Pemuaian Dalam Ensiklopedi Islam (007), secara leksikal “umat” memiliki makna beragam. Pertama, setiap generasi umat manusia yang kepada mereka diutus seorang rasul, seperti umat Ibrahim AS, umat Isa AS, dan umat Muhammad SAW. Kedua, suatu jamaah atau segolongan manusia yang menganut suatu agama, seperti umat Yahudi, umat Kristen, dan umat Islam. Ketiga, suatu jamaah manusia dari berbagai kelompok sosial yang diikat oleh ikatan sosial yang membuat mereka menjadi satu. Keempat, seluruh golongan atau jenis bangsa manusia adalah umat yang satu, maka disebut umat manusia. Secara gramatikal, umat juga memiliki makna beragam. Bagi Fazlur Rahman, sebagaimana ditulis Sidney Jones (1997), umat bermakna bangsa (nation) atau masyarakat (people). Umat, lanjut Rahman, memiliki konotasi politis, karena maknanya mencakup semua orang yang menerima kehendak Ilahi sebagaimana terekspresi di dalam syariah yang dengan demikian memunculkan kebutuhan akan institusi-institusi untuk memberlakukan hukum tersebut. Kehendak Tuhan itu akan hanya bisa diimplementasikan melalui suatu tatanan politik. Meskipun wewenang kea-
REDAKTUR AHLI: YENNY ZANNUBA WAHID, AHMAD SUAEDY | SIDANG REDAKSI: RUMADI, SUBHI AZHARI, GAMAL FERDHI, ALAMSYAH M. DJA’FAR, BADRUS SAMSUL FATA REDAKTUR PELAKSANA: NURUN NISA’ | DESAIN: ULUM ZULVATON
No. 9/TH. III/MEI-JULI 2009
gamaan dan sekular dalam dunia Islam dipisahkan segera sesudah Nabi wafat, namun eksistensi umat sebagai komunitas politik tetap merupakan fiksi dan kuat, sebab hanya di dalam umat kebenaran menemukan tempatnya; ”Umatku tidak akan pernah menyetujui suatu kesalahan,” sabda Nabi. Dengan definisi ini, umat mengandaikan pemeluk Islam di seluruh dunia yang melampaui batas teritorial. Konsep ini senada dengan pengertian ”komunitas Islam”, mengutip Bahtiar Effendy (1998), sebuah konsep politik Islam yang tidak mengenal batasbatas politik atau kedaerahan. Umat Islam adalah universal tetapi ia tersebar; ada umat Islam Indonesia, umat Islam Mesir, umat Islam Amerika untuk sekedar contoh. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah, konsep umat—menyitir Jones—”mengkerut” dan ”memuai”. Faktor penentuya adalah lingkungan politik dan ekonomi lokal tempat umat berada dan lingkungan Islam internasional yang terkait dengannya. Pembentuk konsep umat yang paling penting, kata Jones, mungkin ibadah haji yang mondial. Ibadah haji ini menjadikan kota Mekah berperan penting dalam mengabadikan keyakinan terhadap realitas fisik mengenai umat secara global. Syarif Husein, pemimpin Mekah hingga 1925, menikmati status khusus sebagai ibu kota kekuasaan dinasti Arab, Persia maupun Turki. Mekah menjadi tempat tinggal bagi para ulama yang bertindak sebagai hakim terhadap perbedaan-perbedaan dalam umat dan yang bisa memberi Dominasi Mekah—yang artinya ”umat” menjadi mengkerut—berakhir setelah kejatuhan dinasti Syarif dan bergabungnya Arab Saudi menjadi negara bangsa. Persaingan ideologi yang kian marak juga mendorong terjadinya hal ini. Umat Jawa—kini Indonesia—turut terpengaruh. Pada abad 19, umat Islam Jawa tidak menautkan diri mereka dengan komunitas Islam internasional Mekah. Mereka tetap sebagai Jawa. Jawa yang berbahasa Melayu di Mekah. Sebabnya, peran dunia Arab sudah digantikan Eropa. Akan tetapi, ”umat” yang mengkerut ini justru diikuti dengan peningkatan mereka yang menunaikan ibadah haji. Setelah masa Indonesia merdeka, definisi umat tambah mengkerut. Ketika organisasi massa Islam Muhammadiyah (lahir 1912) dan NU (lahir 1926), ”umat” adalah mereka yang menjadi dua anggota ormas tersebut. Lalu kurun 1950-1960-an, mengutip Bahtiar, klaim umat absah adalah hanya bagi mereka yang berga LIPUTAN KHUSUS bung dengan organisasi sosial politik Islam. Dengan definisi ini, ”umat” hanya berlaku bagi partai politik yang menjadikan Islam sebagai basis ideologi. Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), Partai NU (Nahdlatul Ulama), Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) layak disebut dalam tautan ini. PPP, yang merupakan fusi partai-partai Islam yang telah disebut, paling dapat disorot di masa Orde Baru. Makna terkahir ini tampaknya masih menjadi acuan politisi partai Islam hingga kini. Pada masa Orde Baru, PPP pernah memonopoli makna umat, karena PPP-lah satu-satunya partai politik Islam. Aroma monopoli ini tampak pada kekhawatiran PPP tentang adanya upaya orsospol (organisasi sosial politik) yang menjauhkan “umat Islam” dari PPP. Indikasinya, adanya gerakan politik Golkar dan PDI yang ketika itu agresif mendekati kantong-kantong umat Islam; Harmoko, Ketua Golkar, rajin berkunjung ke pesantren dan Megawati selaku Ketua PDI bergandengan dengan tokoh semacam Gus Dur. Dengan gerakan ini, klaim PPP sebagai suara ”umat” mulai terdegradasi. Kini, di era reformasi, definisi umat mengalami pemuaian seiring menjamurnya partai yang mengatasnamakan Islam. Banyak partai-partai umat Islam yang menuliskan “umat” sebagai basis perjuangan partainya, dalam bentuk visi maupun misi. PBB (Partai
Bulan Bintang) tegas mengatakan partainya sebagai ”aset umat” dan mempelopori penyatuan-penyatuan partai Islam sebagai strategi partai. PMB (Partai Matahari Bangsa) mengandalkan jargon “Satukan Umat, Makmurkan Bangsa”. PKS memiliki visi sebagai ”partai dakwah penegak keadilan dan kesejahteraan dalam bingkai persatuan umat dan bangsa”. PPP tidak mencantumkan ”umat” barang satu kata pun, tetapi PPP merupakan satu-satunya partai yang memonopoli umat pada masanya. Umat dalam Pilpres 2009 Umat dijual lagi kali ini. Dengan total suara di kisaran 24%, dihitung dari suara partai Islam yang lolos parliamentary treshold, muncul gagasan untuk membuat poros baru. Din Syamsuddin menamainya dengan Poros Tengah II untuk menandingi SBY dari Partai Demokrat—Poros Tengah I dimotori Amien Rais yang berupaya menjegal Megawati selaku wakil partai PDI-nasionalis. Tetapi nama ini dinilai tidak tepat karena oleh Tifatul Sembiring, Presiden PKS. “Saya nggak ngerti Poros Tengah. Tidak ada Poros Tengah, adanya Poros Umat,” kata Tifatul di sela acara Jakarta Political Club di Jakarta, Selasa (16/12/08) sebagaimana dikutip inilah.com. Poros Umat akhirnya hilang ditelan arus ketika PAN (Partai Amanat Nasional), PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PPP, dan PKS merapat ke kubu SBY. Namun mereka masih membawa umat sebagai syarat penerimaan koalisi. “Kami dari partai-partai Islam atau berbasis Islam (PPP, PKS, dan PAN) terus mengadakan komunikasi untuk mempertegas sikap kami bahwa kami tidak bersedia dalam satu perahu dengan Pak Boediono yang bukan representasi Islam,” kata Wasekjen DPP PPP T Taufiqulhadi kepada detik.com, Jumat (15/5/2009) menanggapi penunjukan mantan Gubernur BI itu. Hingga detik-detik mendekati waktu deklarasi pasangan capres/cawapres SBY, partai-partai Islam pendukung koalisi Partai Demokrat (PD) ini terus berkoordinasi. Mereka, menurut Taufiq, meminta SBY mempertimbangkan cawapres dari kalangan umat Islam atau yang dipandang dapat mewakili umat Islam. Memang, dengan pendekatan sana sini, penolakan itu berbuah penerimaan. Tetapi isu-isu yang membangkitkan sentimen umat terus dihembuskan. Isu jilbab, aliran sesat, agama istri seorang kandidat menjadi bahan kampanye. Mulanya adalah komentar Zullkieflimansyah, Wasekjen PKS. Ia menyatakan bahwa pendukung PKS lebih sreg dengan pasangan lain yang beristrikan perempuan berjilbab. “Sebagian besar hati kader PKS ada di JK-Wiranto karena istrinya berjilbab. Dan isu bahwa istri Pak JK dan Pak Wiranto berjilbab, walau sederhana tapi di akar rumput berpengaruh besar,” aku Zulkiefli, sebelum mengisi sebuah diskusi sebagaimana dikutip Kompas.com (25/05/09). Saat kabar itu menyebar, muncul di seberang kantor PKS spanduk berlatar hijau dengan isi yang cukup provokatif; “Saudaraku, banggakah ketika ibu negara kita menutup aurat dengan sempurna?”. Spanduk tersebut dilengkapi dengan gambar Mufidah (istri Jusuf Kalla) dan Rugaya (istri Wiranto) yang berjilbab. Publik mau tak mau membaca spanduk ini sebagai tekanan agar AniYudhoyono dan Herawati Boediono memakai jilbab. PKS sendiri membantahnya. Ketua DPP Bidang Kewanitaan PKS, Ledia Hanifa, sendiri membantah anggapan kalau di tataran akar rumput PKS, terutama kalangan perempuan, yang menolak SBY-Boediono karena istri mereka tidak berjilbab. “Mereka tidak komplain soal ini,” tambahnya. Isu agama lainnya adalah soal pembubaran Ahmadiyah. “Haram bagi FPI untuk memilih SBY,” kata Sekjen FPI Ahmad Shobri, antara lain, karena SBY sampai saat ini belum membubarkan Ahmadiyah. “Saya lebih senang mendengarkan orang asing sehingga Ahmadiyah
No. 9/TH. III/MEI - JULI 2009
tidak dibubarkan,” jelasnya kepada RMOnline (0/06/09). Apakah isu ini berpengaruh terhadap perolehan suara kandidat caprescawapres? Isu Agama Kehilangan Pesona Salah satu perkembangan penting dalam politik pasca reformasi adalah semakin berkurangnya sentimen agama untuk menentukan pilihan politik. Memang hal ini sering menimbulkan tanda tanya, mengapa pilihan politik selalu berjarak dengan isu agama? Alihalih dalam rumah Islam yang begitu besar, dalam NU saja pilihan politik warganya sangat variatif. Survey Litbang Kompas yang menyoal ”Rumah Politik Nahdliyin” yang hasilnya dirilis pada 1 April 009. Orang-orang NU, ternyata tidak menjadikan NU dan juga Islam sebagai sentimen pilihan politik. Partai Demokrat dipilih oleh 9,8 % responden warga NU dan 19,4 % untuk PDI-P pada Pemilihan Umum 009. Anehnya, PKB hanya meraih 5,9 % suara dari responden warga NU dan 1,3 % responden yang lain mengaku memilih PKNU. Di sisi lain kaum santri, sebagai contoh juga memiliki perilaku yang berubah; mereka tidak lagi manut kyai. “Dulu, kyai mengeluarkan ”fatwa” membela PKB identik dengan membela NU dibuktikan dengan kataatan warga NU memenangkan PKB Jatim pada pemilu 1999 dan 004,” terang Muhammad Faisol dalam artikel ”Desakralisasi Politik NU” di Kompas (1/04/09). Kini, Jawa Timur telah dibirukan oleh Partai Demokrat. Apakah ini tanda bahwa pemilih semakin rasional dalam menyeleksi partai? Siti Zuhro, peneliti LIPI, menyatakan bahwa bahwa pemilih semakin rasional dari waktu ke waktu, meskipun belum ada penelitian untuk membuktikannya. ”Dari studi kasus di Jatim saja, terjadi pergeseran dari pemilu tradisional ke pemilih rasional,” jelas alumnus University of Adelaide seperti dimuat pikiranrakyat. com (16/06/09).Tentu saja yang dimaksud adalah pendukung PKB yang membelot ke Partai Demokrat. Rasionalitas ini, merujuk pada Zuhro, nampaknya berbasis pada program SBY-JK yang kian
kinclong seperti pemberantasan korupsi. Namun, bagi sebagian kalangan rasionalitas yang dimaksud hanya sebatas pragmatisme. ”Mereka menjatuhkan pilihan berdasarkan pertimbangan rasionalitas. bahasa kasarnya; ada uang ada barang,” sergah Akhamd Zaini dalam artikelnya yang bertajuk ”Desakralisasi Politik Santri” di Jawa Pos (3/06/09). Akan tetapi santri tidak layak dijadikan terdakwa utama. Mereka, menurut Zaini, hanyalah korban yang kemudian nekat melakukan serangan balasan kepada wakil rakyat (dari kalangan santri) yang tidak amanah dan korup—tidak ada bedanya dengan para politisi yang bukan datang dari kalangan santri. Intinya, bagi Zaini, telah terjadi desakralisasi di kalangan kaum santri. Mereka tidak lagi mengikuti kyai-nya dalam urusan politik. Urusan politik adalah hal duniawi yang praktis. Meskipun, tentu saja, santri yang ”taat” juga masih tetap ada. Dengan adanya desakralisasi ini, kata Anas, orang memilih partai politik bukan karena soal yang ilahiyah tapi itu pilihan dunia terhadap pikiran yang rasional yang tidak ada hubungannya dengan agama. Di luar kalangan NU, nampaknya terjadi gejala senada. Rasionalitas pemilih tampaknya telah membuat definisi umat menjadi dinamis. Dulu, umat dalam ranah politik diklaim semata milik PPP sebagai satu-satunya partai Islam di masa Orde Baru. Kini, ketika PPP mendapat saingan partai Islam yang cukup banyak—mereka juga merasa memiliki umat yang sama—definisi ini memuai. Umat Islam (secara politik) tidak bisa diklaim lagi milik partai umat Islam semata. Umat Islam (Indonesia) kini milik semua partai melampaui batas ideologi dan ormas yang diikutinya. Partai yang mengklaim umat itu sendiri akhirnya menggadaikan umatnya sendiri ketika bergabung dengan kandidat capres-cawapres yang berasal dai partai yang tidak ”memiliki” umat. Isu jilbab, tidak mewakili umat ternyata ditelan kembali demi pragmatisme politik. Oh, PKS! Wallahu A’lam Bisshawab [] (Rumadi, Nurun Nisa’)
WAWANCARA
Anas Saidi:
Isu Agama Hanya Isu Lokal Seperti siklus yang selalu berulang, isu berbau agama dibawa kembali ke gelanggang politik menjelang pemilihan presiden bulan Juli nanti. Soal jilbab, aliran sesat, dan Ahmadiyah dijual di ruang publik sebagai modal kampanye dan negoisasi. Apakah isu ini tetap relevan di tengah arus pemilih yang makin rasional? Berikut petikan wawancara Nurun Nisa’ dari the WAHID Institute kepada Anas Saidi, peneliti LIPI terkait tema tersebut:
Penggunaan isu agama masih dimainkan dalam pemilihan presiden ini, meskipun tidak begitu vulgar. Bagaimana pendapat Anda? Meskipun digunakan, isu agama sebenarnya tidak relevan. Sebabnya, pertama, kalau kita lihat dari tren partai saja, suara partai Islam (yang kerap memakai isu agama) makin lama makin turun. Sekarang hanya 18% saja. Kalau ditambah PKB dan PAN akan menjadi 38%. Sejak tahun 1955, suara mereka terus turun. Kedua, secara faktual, isu agama itu sudah tidak akan menarik di pemilu mendatang. Kalau itu toh digunakan, saya kira itu tidak efektif dan tidak signifikan. Mengapa isu agama tidak signifikan dan relevan? Ada kesan kuat bahwa masyarakat justru semakin takut terhadap isu
agama. Isu syariat Islam (SI) dan yang sejenisnya di tingkat empiris tidak ada korelasinya dengan kemakmuran ekonomi. Isu yang lain, misalnya, isu jilbab itu sifatnya hanya sementara. Kalau toh itu dimunculkan sifatnya hanya sebentar saja, tidak akan bisa membikin orientasi pilihan (berubah). Ada partai yang “menekan” kandidat presiden tertentu untuk memakai jilbab, misalya. Apakah itu berarti hanya gertak sambal karena isu agama
Foto.Dok.Witjak/WI
3
No. 9/TH. III/MEI-JULI 2009
tidak signifikan efeknya? Saya kira bukan gertak sambal. Bagi kader, pengikut PKS, saya kira ya. Kader-kader PKS yang di kampus, misalnya, yang cenderung tekstual itu masih mempersoalkan jilbab.Tapi persentasenya PKS itu berapa kalau kita hitung dari (suara) partai nasionalis itu. Selain itu, di PKS kan ada faksi-faksi. Ada faksi simbol (yang mengutamakan simbol) dan ada faksi moderat. Kalau menghitung variabel agama sebagai jilbab, Megawati juga kadang berjilbab, kadang tidak. Ibu SBY (Ani Yudhoyono) kadang berjilbab dan kadang tidak, tergantung pada situasi dan kondisinya. Tetapi yang mau saya katakan bahwa simbolisasi agama itu semakin lama semakin tidak popular di dalam masyarakat lain. Indikator lain saja, misalnya, survey yang dimuat di Kompas, yang menyatakan bahwa orang NU yang bisa disebut “pasti orang Islam,” itu yang memilih Partai Demokrat itu ternyata mencapai hampir 9,8%. Yang memilih PKB sendiri tenyata hanya 5,9% dan yang memilih PKNU itu hanya 1,3%. Itu menunjukkan bahwa isu agama itu sudah tidak begitu relevan. Tapi ada satu pergeseran rasionalisasi politik yang lebih kuat, di kelompok Islam tradisionalis sekalipun. Jadi kecenderungan yang memanipulasi agama, menurut saya, tidak terlalu efektif. Bagaimana dengan FPI yang mengharamkan memilih SBY karena tidak membubarkan Ahmadiyah dan kontrak politik JK dengan FDMI (Forum Da’i Muda Indonesia) terhadap soal pemberantasan aliran sesat dihubungkan dengan irrelevansi isu agama? Saya juga melihat kecenderungan yang tidak terlalu relevan. Te-
man-teman FPI atau kubu-kubu yang keras dalam soal semacam itu karena mereka punya panggung untuk menyuarakan opini. Sementara kelompok mayoritas tidak peduli. Mereka cenderung tidak menginginkan bahwa sesuatu yang sifatnya primordial itu diselesaikan dengan kekerasan. Suara FPI tidak mewakili dari sebuah suara mayoritas atau suara kecil saja. Tidak efektifnya fatwa MUI terhadap fatwa haram pluralisme, sekularisme, dan liberalisme dapat dipakai untuk menunjukkan bahwa kekhawatiran tentang dukungan kalau SBY tidak membubarkan (Ahmadiyah), tidak ada yang memilih, itu hanya kelompok-kelompok minoritas. Itu saja. Andaikata kelompok itu betul, cuma berapa persen sih? Lalu siapa yang diuntungkan dengan keadaan begini? Dengan tidak lakunya isu ini, maka dapat dilihat beberapa hal. Pertama, di satu sisi, rakyat relatif cerdas untuk persoalan janji. Akan lebih signifikan sebenarnya jika kita mengamati seberapa jauh tiga calon presiden memlihara psikologi massa. Misalnya, SBY kalau hati-hati untuk mempertimbangkan (sebuah isu), tidak terlalu reaktif, tetap bersifat low profile, bersikap rasional, dia (akan) jauh memperoleh simpatik ketimbang isu agama. Tetapi kalau misalnya SBY di dalam perkembangannya misalnya agak sedikit sombong, memaksa, menyerang, akan riskan. Kedua, memang ada sebagian masyarakat yang memang sifatnya sangat pragmatis sehingga kemungkinan hal yang berbau money politics seperti pembelian suara masih bisa dimungkinkan terjadi. Tapi kalau itu pun terjadi, skalanya tidak bisa signifikan. Jadi masih performance dan janji-janji yang rasional itu lebih diminati masyarakat. Kaum minoritas yang membawa-bawa agama tidak menikmati keuntungan, baik dari segi
ADVETORIAL Judul Buku
: Perspektif Pesantren: Islam Indonesia, Gerakan Sosial Baru, Demokratisasi Penulis : Ahmad Suaedy Penerbit : the WAHID Institute Tahun Terbit : 2009 Jumlah Halaman : xxxiv + 388 hlm. uku ini mengulas sosial baru Islam dalam memantapkan demokrasi yang lebih banyak isu, mulai dari substansial di Tanah Air. Gerakan sosial baru (new social movegerakan sosial baru ment) di lingkungan masyakarat muslim, terutama di lingkungan Islam, HAM, hingga, tema- Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dipercaya oleh Suaedy tema spritualitas. Isu tentang mampu melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. neoliberalisme juga dibahas Namun banyak tantangan yang menghadang. Selain neoliberadalam kaitannya dengan Is- lisme, tantangan yang tengah menghadang adalah menjamurnya lam dan hak asasi manusia. gerakan Islamisme, kekerasan agama, dan beragam regulasi yang Salah satu “kelihaian” sistem neoliberalisme, menurut Suaedy, mengekang kebebasan beragama di Tanah Air. Problem masih adalah kemampuannya hidup dan “berkembang biak” dalam ra- belum sinerginya gerakan yang tersebar di Nusantara ini adalah gam sistem, mulai dari semidemokratis, otoriter, hingga teokra- masalah internal yang juga patut dipertimbangkan (Alamsyah tis. Gap yang menganga antara kaum kaya dan miskin, negara M. Dja’far) kaya dan negara miskin, itulah yang melahirkan dampak lanjutan berupa lahirnya gerakan fundamentalisme dan terorisme. Buku ini bisa diperoleh di toko buku theWAHID Institute dengan harga Secara umum buku ini diikat oleh wacana penguatan gerakan Rp. 75.000.-
B
4
No. 9/TH. III/MEI - JULI 2009
ekonomi atau segi agama. Bagaimana irrelevansi isu agama jika dikaitkan survey Gallup Poll kepada 1,3 miliar muslim di seluruh dunia di negara-negara yang mayoritas muslim tentang penerimaan demokrasi tetapi mengandaikan peran syariah di dalamnya? Ini terkait dengan teori dalam fiqh siyasah (fikih politik) yang memiliki dua aliran. Pertama, Islam dianggap sebagai al-din wa aldaulah, Islam itu satu paket antara agama dan negara. Karena itu, isu tentang syariah Islam itu sebuah kewajiban yang diperjuangkan oleh PKS dan oleh partai-partai yang lain. Kedua, Islam itu dinilai tidak punya cetak biru tentang demokrasi tetapi memiliki prinsipprinsip umum tentang demokrasi seperti al-musawa (persamaan), musyawarah, al-adl (keadilan), al-hurriyah (kemerdekaan). Inilah argumen yang digunakan orang-orang muslim seperti Gus Dur, Cak Nur, yang menganggap Pancasila sebagai yang final karena itu dianggap sebagai sesuatu yang sesuai dengan politik Islam. Survey untuk mahasiswa di universitas umum, terutama di UI (Universitas Indonesia) dan UGM (Universitas Gadjah Mada), menunjukkan setidaknya 86% itu mengatakan perlunya SI. Tapi dalam survey pada masyarakat umum oleh PPIM (Pusat Penelitidan Islam dan Masyarakat), terungkap bahwa 84% masyarakat tetap menginginkan Pancasila. Karena itu saya optimis bahwa isu keagamaan itu sebenarnya berstatus atau bersifat lokalitas. Jadi untuk mahasiswa, isu agama benar (relevan) karena sebagian mahasiswa umum itu umumnya tekstual dalam soal pemahaman keagamaan. Ini memang merisaukan tetapi dalam skala yang lebih umum, isu keagamaan tetap tidak relevan dan tetap tidak begitu laku dijual
sebagai suatu upaya untuk melakukan pemilahan terhadap pemilihan presiden itu. Kalaupun ada, konsentrasinya cukup kecil. Ketika isu agama tidak lagi penting, apakah berarti sedang terjadi sekularisasi dalam masyarakat? Sekarang ini, isu sudah tidak ada gaungnya lagi. Orang sudah merasa bahwa SI itu ternyata tidak signifikan dengan apa yang disebut good governance (pemerintahan yang baik), misalnya.Tidak ada kaitannya dengan pemberantasan korupsi. Untuk apa jika cuma buat sekedar simbol. Sekularisasi tidak sampai seperti itu. Sekularisasi itu intinya membedakan bahwa agama itu sepenuhnya bersifat privat, tetapi kita (di Indonesia) masih tetap menghargai bahwa persoalan keagamaan itu masih diperbolehkan di ranah publik. Negara masih dibutuhkan untuk persoalan agama tetapi tidak boleh melampaui tapal batas. Dengan demikian, apakah berarti desakralisasi telah dijalankan oleh masyarakat? Desakralisasi ini sekarang itu sudah dan harus berjalan; bahwa partai-partai Islam atau partai-partai agama itu tidak memiliki kewibawaan untuk “memaksa” para konstituen untuk memilih partai Islam tertentu dengan ditakuti masuk neraka atau masuk surga. Sekarang orang NU bisa memilih SBY, bukan Hasyim Muzadi (selaku kandidat pesaing SBY) yang ketua NU. Inilah yang disebut rasionalisasi politik; bahwa hubungan ikatan organisasi keagamaan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan pilihan politik. Sudah ada satu pergeseran rasionalisasi politik yang lebih kuat, bahkan di kelompok Islam tradisionalis sekalipun.
OPINI
Dari Sekularisme ke Politisasi Agama
Oleh Sumanto Al Qurtuby*
D
alam konferensi the Middle East Studies Association of North America tahun 1993, feminis Mesir, Nawal Sa’dawi (l. 1931) mengatakan, “There are no secular states. All states are religious”, tidak ada negara sekuler, semua negara adalah negara agama. Pernyataan Sa’dawi ini sebuah sindiran terhadap rezim politik, birokrat dan tokoh partai yang tampil “agamis” tidak hanya di negara-negara berbasis muslim, tapi juga untuk negara-negara Foto.Dok. Pribadi Barat, khususnya Amerika Serikat (AS). AS yang dianggap kampium demokrasi dan sarang sekularisme, dalam realitas politiknya juga tampil sangat “religius”; tidak hanya pendukung Partai Republik yang memang dikenal sangat agamis dan konservatif, bahkan bagi para pendukung Partai Demokrat itu sendiri yang dipandang liberal juga tampil religius.
Fenomena ini seperti membenarkan jargon “Nietzche telah mati”. Doktrin Nietzche yang menyatakan meramalkan “kematian Tuhan” seperti sudah tidak relevan. Memang sejak 1990-an, agama kembali menjadi sorotan publik intelektual setelah sekian lama mati suri “dibunuh” oleh ajaran sekularisasi. Pemicunya tentu saja adalah munculnya gelombang gerakan-gerakan sosial dan politik yang bermerek agama sejak 1980-an dari fundamentalisme Islam di Timur Tengah dan Afghanistan sampai teologi pembebasan Katolik di Amerika Latin. Sejak era itu, agama-agama di seluruh dunia “keluar dari sarang”: dari ruang privat ke kehidupan publik—sebuah fenomena yang menyebabkan munculnya “deprivatisasi agama” atau, meminjam istilah Peter Berger (1999), “desekularisasi dunia” dalam kehidupan modern. Merespon fenomena ini, banyak ilmuwan membuat tulisan dan buku semisal Jose Casanova yang bertajuk Public Religions in the Modern World atau buku editan Robert Hefner, Remaking Muslim Politics: Pluralism, Contestation, and Democratization. Secara garis besar, buku-buku ini mempertanyakan kembali tesis-tesis klasik teori sekularisasi yang berakar pada tradisi intelektual Eropa abad ke-19 yang meramalkan bangkrutnya peran agama di sektor publik seiring
5
No. 9/TH. III/MEI-JULI 2009
dengan proses modernisasi dan sekularisasi. Tesis-tesis teori sekularisasi yang meramalkan “kematian agama” ini kemudian mendapat kritik tajam, bahkan dari para pendukungnya sendiri. Faktor-faktor yang menjadi basis untuk mengkritik teori sekularisasi itu dan mendukung teori revitalisasi agama ini beragam. Misalnya, munculnya fenomena “vitalitas agama” di panggung publik seperti trend konservatisme Kristen AS, gerakan spiritualitas New Age di Eropa Barat, revivalisme kaum Evangelis di Amerika Latin dan Asia Timur, kekerasan berbasis agama di berbagai belahan dunia. Dan, tentu saja, pertumbuhan gerakan fundamentalisme dan neofundamentalisme agama—mengutip istilah Oliver Roy—serta kaum Salafi dan partai-partai berbasis agama di dunia Islam. Sejak dua dasawarsa terakhir, agama memang kembali menjadi faktor penting dan identitas budaya yang paling diperhitungkan dalam kehidupan politik. Dalam konteks sejarah Islam modern, suksesnya Imam Khomeini dalam menumbangkan ikon sekuler rezim Pahlevi dalam Revolusi Islam Iran tahun 1979 menjadi titik awal bangkitnya gerakan-gerakan keagamaan yang mengusung simbolsimbol, ideologi, dan identitas keislaman. Nilai-nilai konservatisme Syi’ah ini dilestarikan oleh para rezim politik pasca-Khomeini. Hanya mantan Presiden Khatami yang berakar pada tradisi moderat Syi’ah. Kesuksesan Khomeini ini disusul oleh gemilangnya pasukan Mujahidin di bawah komando Abdullah Azam (pendiri Hamas) dan para “tuan tanah” Afghan seperti Ahmad Sjah Massoud, Gulbuddin Hekmatyar, dan Abdul Rasul Sayyaf yang mampu memukul mundur “Tentara Merah” Uni Soviet dari Afghanistan dan Pakistan Utara pada akhir tahun 1980-an. Kekalahan telak Uni Soviet menyebabkan bercokolnya kaum Islamis impor dari Arab di negera yang mendapat sebutan “jalan raya penaklukan” itu. Sejak itulah Osama Bin Laden mulai nenanamkan otoritasnya dengan menjadikan Taliban dan Mullah Omar sebagai “pion”-nya. Kemenangan tentara Mujahidin ini memberi inspirasi munculnya sayap “Islam garis keras” yang membentang dari Mesir Pilipina Selatan, Saudi Arabia sampai Indonesia. Gerakan Islam politik juga kembali mendapatkan momentum signifikan di Turki, negara yang menjadi ikon sekularisme dunia Islam, setelah Adalet ve Kalkınma Partisi atau AKP (Justice and Development Party) berhasil dengan gemilang meyakinkan publik sekuler Turki sejak akhir 1990-an/awal 2000-an, dan berturut-turut dalam setiap pemilu mampu menjungkalkan rezim Kemalis-SekulerNasionalis yang sejak pendirian negara Turki modern tahun 1923 menjadi blok penguasa. Meskipun AKP tidak bisa dikatakan sepenuhnya sebagai partai Islamis karena dasar-dasar pergerakannya yang pro-Barat dan jauh dari proyek “Islamisasi” masyarakat dan negara, tapi daya tarik mereka terhadap simbol-simbol keislaman. Sementara itu di negara-negara Arab dan Timur Tengah terutama di kawasan berbasis Sunni, meskipun kelompok Islam politik belum berhasil menggoyang rezim sekuler, mereka mendapat dukungan publik sangat signifikan seperti dialami kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir atau kelompok Hamas di Palestina. Di negara-negara di mana Syi’ah menjadi kelompok agama utama seperti Iran, Irak, dan Lebanon, kelompok Islam politik juga bergaung dengan kencang. Bagaimana dengan Indonesia? Gerakan Islamisme di Indonesia mulai tumbuh subur sejak akhir tahun 1980-an/awal 1990-an. Mereka tumbuh ketika Suharto mengubah kebijakan politik yang semula sangat ketat terhadap kelompok umat Islam dan lebih menyukai gaya kepemimpinan yang sekuler-abangan, menjadi pro-muslim. Saat itu, Suharto menoleransi organisasi dan gerakan-gerakan keislaman sepanjang tidak berorientasi pada kegiatan politik yang mengancam eksistensi negara dan rezim Orde Baru. Maka mulai bersemilah kelompok Islamis, kaum Salafi, atau gerakan Tarbiyah. Gerakan
Tarbiyah dan Islamisme yang semula berorientasi pada dakwah dan kesalehan individual ini kemudian aktif secara politik sejak 1998 ketika Orde Baru tumbang. Penting untuk dicatat bahwa gerakan Islamisme di Indonesia bukanlah sebuah gerakan monolitik. Gerakan ini sangat variatif baik dari segi motif, kepentingan, niat, interpretasi, strategi, aksi, serta formasi dan struktur organisasi keagamaannya: dari Jama’ah Islamiyah yang ‘sembunyi’ dan radikal sampai Hizbut Tahrir yang, meskipun sangat ideologis, menggunakan strategi dan aksi yang relatif damai (dan “pro-militer”), dari Front Pembela Islam (FPI) dan kelompok sejenis yang frontal dan urakan sampai PKS yang berpura-pura tampil simpatik memperjuangkan demokrasi dan toleransi, meskipun sebetulnya berwatak islamis-idelogis dan intoleran. Gerakan PKS yang pseudo-democratic ini mirip dengan fenomena Hizbul Wasat (“Partai Tengah”), sebuah pecahan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Seperti ditulis oleh Anthony Bubalo dan Greg Fealy di Join ing Caravan? The Middle East, Islamism, and Indonesia, ada persamaan mendasar antara PKS dan Hizbul Wasat sehingga mendorong asumsi adanya pengaruh gerakan kader-kader muda Ikhwanul Muslimin (IM) Mesir ini di tubuh PKS. Beberapa persamaan itu antara lain: pertama, keduanya sama-sama partai berbasis kader. Kedua, PKS dan Hizbul Wathan juga menggunakan “layanan komunitas“ untuk memikat rakyat banyak seperti pelayanan kesehatan, bencana alam, dan lainnya. Ketiga, keduanya meninggalkan strategi dan taktik para pendahulu mereka (IM untuk Hizbul Wasat dan kelompok Tarbiyah untuk PKS) yang kental dengan kosakata keislaman dalam semua urusan publik ke bahasa demokrasi dan reformasi ekonomi serta sedikit membuka diri terhadap kelompok non-muslim (Bubalo dan Fealy (2005: 70-3). Jika Hizbul Wasat membuka “pendaftaran” untuk kaum Kristen Koptik, PKS juga melakukan hal yang sama dengan membuka peluang buat kelompok non-Muslims meskipun kemudian mendapat protes keras dari kader-kadernya sendiri. Sementara kelompok Tarbiyah menganggap islamisasi masyarakat, ekonomi, dan negara sebagai “batu loncatan” perjuangan mereka, PKS “mengesamping kan” isu-isu ini—setidaknya dalam setiap kampanye pemilu—dan secara retoris memfokuskan diri pada tema-tema sekuler seperti perang melawan korupsi, perjuangan persamaan sosial-ekonomi dan reformasi politik. Hal itu bukan berarti para pemimpin PKS telah meninggalkan “komitmen keislaman” dan mengabaikan “identitas Islam.” Apa yang mereka lakukan hanyalah bagian dari strategi, taktik, atau “ritual” dalam “panggung politik” untuk mengais dan mendapatkan dukungan publik semata. Dengan demikian, kita harus membaca gerak-gerik para tokoh dan elit politik secara hati-hati. Mereka saling memamerkan simbol dan identitas untuk menampilkan citra agamis, toleran, dan pro-rakyat. Tokoh atau elit politik parpol setiap menjelang pemilu tiba-tiba berubah menjadi islami, saleh, demokratis, toleran, dan pro-rakyat kecil, juga harus kita sikapi dengan penuh kewaspadaan dalam setting panggung teater politik tadi.Warga negara yang cerdas adalah warga yang mampu membaca dan membedakan antara on stage (di atas panggung politik) dan off stage (di belakang panggung). Dengan demikian, menguatnya peran agama di dunia politik dan kehidupan publik seperti diuraikan di atas harus kita baca dalam kerangka “politisasi agama” yang bermuara pada kepentingan pragmatis individu, kelompok, atau aktor agama tertentu, dan bukan demi kepentingan agama, apalagi Tuhan.[] * Mahasiswa Ph.D bidang antropologi agama dan politik di Boston University
No. 9/TH. III/MEI - JULI 2009
RAK BUKU
BERADAB DENGAN KONSTITUSI Oleh: Zacky Khoirul Umam*
Kalau saja Allah hendak menjadikan seluruh manusia sebagai sebuah umat yang tunggal, seperti termaktub dalam ayat Qur’ani (Yunus:99), niscaya semuanya mengikuti iman yang sama. Tapi Dia memiliki kuasa yang lain: kemajemukan sebagai fitrah manusia di manapun. Tafsir teologis ayat tersebut tak hendak menjadikan manusia sebagai makhluk satu dimensi, sebaliknya itu lebih sebagai pemicu agar dialog menjadi jembatan bagi perbedaan yang ada. Jangankan hubungan antaragama, per soalannya kemudian bagaimana supaya kenisbian internal di dalam umat muslim tumbuh lebih baik. Kita bisa bertolak dari “Fitnah Besar” di akhir kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib yang menyembulkan sekte-sekte Islam dengan konflik politik yang sengit. Utamanya Khawarij yang lalu membatasi kebenaran tung gal dengan me-liyan-kan kelompok di luarnya sebagai kafir. Dari sini, istilah darul-Islam dan darul-harb mulai berkembang dan lalu menjadi fikih politik di kemudian hari. Terlepas dari borok sejarah yang tak ter elakkan itu, penting dilihat bahwa bangunan politik zaman Nabi hingga kekhalifahan Abbasiyah menegakkan Islam sebagai identitas kekuasaan yang paling memungkinkan sebagai memori kolektif diperbandingkan dengan tribalisme Arab yang cenderung lebih memecahbelah. Kondisi sosiologis itu yang membikin Islam secara formal sekaligus dipraktekkan dalam kenegaraan. Ketimbang non-muslim yang lalu dipayungi dengan sebutan dzimmi dengan kewajiban membayar pajak, umat Islam kala itu menjadi “warga negara kelas pertama”. Gambaran umum mengenai hal tersebut, apabila hendak ditimbang dengan konteks kekinian, tentu saja amat diskriminatif terlepas dari latar sosiologis-politisnya. Sejak bentuk negara-bangsa menyeruak, hubungan antarmanusia terkait di dalam kekuasaan politik yang berdaulat ditentukan dengan konstitusi yang menghargai hak-hak kewarganegaraan. Berbeda dengan pembagian “wilayah-Islam” atau “non-Islam”, dalam sudut pandang kewarga negaraan, setiap orang apapun latar belakangnya, terlebih agama, dianggap sama di hadapan hukum tanpa kecuali. Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebagai bagian dari hak asasi manusia, bersifat non-derogable alias tidak dapat dibatasi, kecuali terkait dengan pembatasan pemerintah atas hubungan antarmanusia seperti pendirian rumah ibadah, misalnya. Keluwesan Islam dengan tidak melembagakan dirinya sebagai otoritas politik yang baku, membuat wacana hak asasi manusia
Judul Penulis Penerbit Tahun Terbit Tebal
: Islam, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia; Problematika Hak Kebebasan : Ahmad Suaedy et.al : The WAHID Institute : 2009 : x + 270 hlm
dan demokrasi mudah diterima. Alih-alih mengikuti universalisme Barat yang kerap dipaksakan, sesungguhnya umat Islam memiliki kesadaran untuk melihat wacana tersebut dari tilikan yang maju. Untungnya, Indonesia yang lahir dengan sekularisme uniknya memaksa umat muslim berpikir serius mengenai hubungan agama dan negara, demokrasi, dan juga HAM. Bagi kalangan muslim progresif, menerima konsep-konsep Barat itu terutama dilihat sebagai nilai-nilai kemaslahatan umum yang memungkinkan tujuan berislam, yakni keadilan sosial, tersampaikan dengan, tentu saja, menaruhnya dalam neraca partikularitas lokal. Khusus mengenai kebebasan untuk ber agama dan berkeyakinan, konstitusi dasar kita telah menjaminnya secara penuh. Nyaris tak ada larangan bagi warga negara di republik ini untuk menjalankan kepercayaannya masingmasing. Daripada menyebut Indonesia sebagai sebuah kedaulatan Islam, ulama-ulama NU misalnya menyebut gugusan Nusantara ini sebagai darus-salam, “negeri perdamaian,” sebagai sebuah solusi bagi jaminan kemajemukan. Secara teoretis, hukum positif menjadi hukum bersama.Tidak ada agama satu pun yang secara absah melembaga dalam konstitusi, sehingga setiap jengkal langkah seseorang ditentukan oleh ayat-ayat konstitusional. Sayangnya, dalam praktek, tak semua nilai yang amat ideal itu terwujud. Buku ini meliput
banyak data dan fakta tentang pelanggaran kebebasan beragama, terutama pasca-Orde Baru. Titik masalahnya terletak pada ketegangan hubungan antara agama dan negara. Pemerintah yang gamang dalam melindungi hak warga negara luput bahwa banyak undang-undang yang mengancam kehidupan beragama, seperti pasal penodaan alias pemitnahan agama (blasphemy), berkuasanya sekelompok kekuasaan elite agama dalam pengarusutamaan agama, kelompok minoritas masih diawasi kepercayaannya, dan sebagainya. Pemerintah masih berpihak sebelah dalam membela semua warga negara tanpa prinsip kesetaraan. Mereka gagal mengelola politik multikultural. Ditambah lagi dengan tumpang tindihnya antara konsitusi dasar yang menjamin kebebasan itu dengan beberapa UU (Undang-Undang), surat keputusan bersama, dan perangkat hukum di bawahnya, hingga membuat syariahisasi buta itu merajalela. Bahwa negara kita juga telah meratifikasi Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) pada 2005, pada kenyataannya tampak lebih sebagai diplomasi politik daripada kesungguhan untuk melindungi warga negara. Beragam bahaya penudingan terhadap pasal penodaan agama—dengan mengangkat isu kemurtadan dan kekafiran sebagai konsumsi politik publik—dan pelanggaran kebebasan untuk memeluk suatu agama, termasuk ateis sekalipun, tidak hanya mengancam politik kewarganegaraan, melainkan juga budaya kemajemukan di negeri ini. Kasus Ahmadiyah dan penghancuran rumah ibadah Gereja Kristen Indonesia, contohnya, karena itu penting dipikirkan ulang. Buku hasil penelitian ini amat tepat dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah, penggiat hukum dan hak asasi manusia, dan juga kalangan umat Islam secara luas, untuk memahami bahwa keimanan menuntut kesetiaan pada konstitusi demi penyelenggaraan kehidupan berbangsa yang beradab. Kanjeng Nabi telah mempraktekkan kesadaran konstitusional itu sewaktu membangun masyarakat di Madinah. Melihat perkembangan lokalmondial yang semakin rumit sekarang ini, hal itu malah menjadi kebutuhan pokok untuk mengelola kemajemukan secara lebih baik dilihat dari cara bagaimana kita berbangsa dan bernegara: bahwa tidak ada pemaksaan dalam beragama! * Peneliti Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia
AKTIVITAS
Focus Group Discussion (FGD) “Problematika Tempat Ibadah” di Hotel Kanira Bandung (02 Mei 2009) kerjasama INCRES dan The WAHID Institute
Pendidikan “Jurnalisme Damai” di Gedung Self Access Center (SAC) Surabaya (24 Mei 2009) kerjasama KAPPAS, FLA, dan The WAHID Institute
Assesment Beasiswa Riyanto di 10 Kabupaten di Jawa Timur (Mei-Juni 2009)
Soft Launching Buku Islam, Konstitusi, dan HAM: Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia di Aula Perpustakaan Nasional RI (01 Juni 2009), sekaligus Seminar “Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dan Fundamentalisme” kerjasama The WAHID Institute- ANBTI
Gus Dur sebagai salah satu narasumber dalam acara launching buku Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Transnasional di Indonesia; di Hotel Gran Melia, Jakarta pada 16 Mei 2009
FGD “Dilema Pluralisme Agama, Eksklusivisme, Kekerasan, dan Pelanggaran Kebebasan Beragama” di Hotel Santika Semarang (06 Juni 2009) kerjasama eLSA Semarang - The WAHID Institute
Ahmad Suaedy (Direktur Eksekutif the WAHID Institute) bertemu dengan Abhoud Syed M. Lingo (Executive Director Institute of Bangsamoro Studies-IBS) di Cotabato, Filipina Selatan dalam perjalanan misi perdamaian pada 05-09 Juni 2009
FGD “Identitas Lokal dalam Bingkai Otonomi Daerah” di Hotel Arum Banjarmasin (20 Juni 2009) kerjasama LK3 Banjarmasin dan the WAHID Institute
Live Event Video Conference “Being a Young Indonesian Muslim” (13 Juni 2009) kerjasama The WAHID Institute, Peace Tech, EL-AI-EM Maluku, dan Yayasan Selasih Solo