PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI INDONESIA Periode 1990-1998
Skripsi ini Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh: Tauhid Hudini 20403320310328
Pembimbing
Dra, Haniah Hanafie, M. Si NIP. 19610524 200003 2 002
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2009 M
Pengesahan Panitia Ujian
Skripsi berjudul “PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM di INDONESIA PERIODE 1990-1998”, telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 25 Juni 2009. Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam. Jakarta, …. 2008 Sidang Munaqosyah Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Harun Rasyid, M.A NIP. 150 232 921
Drs. Rifqi Muchtar, M.A NIP. 1969 0822 199703 1 002 Anggota,
Penguji I,
Penguji II,
Dr. Sirojudin Ali, MA NIP. 150 299 478
Dr. M. Amin Nurdin, MA NIP. 150 262 447 Pembimbing,
Dra, Haniah Hanafie, M. Si NIP. 19610524 200003 2 002
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan in telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 26 Juni 2009
Tauhid Hudini
Pengesahan Panitia Ujian
Skripsi berjudul “PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM di INDONESIA PERIODE 1990-1998”, telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 25 Juni 2009. Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam. Jakarta, …. 2008 Sidang Munaqosyah Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Harun Rasyid, M.A NIP. 150 232 921
Drs. Rifqi Muchtar, M.A NIP. 1969 0822 199703 1 002 Anggota,
Penguji I,
Penguji II,
Dr. Sirojudin Ali, MA NIP. 150 299 478
Dr. M. Amin Nurdin, MA NIP. 150 262 447 Pembimbing,
Dra, Haniah Hanafie, M. Si NIP. 19610524 200003 2 002
ABSTRAKSI Tauhid Hudini 204033203128/Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Judul Skripsi “Perubahan Hubungan Militer dengan Umat Islam di Indonesia Periode 1990-1998” Skripsi ini menelaah tentang hubungan Islam dan militer di Indoneisa. Fenomena ini yang diambil sebagai studi kasus adalah peristiwa yang berlangsung selama masa tahun 1990-1998. Hal ini didasarakan pada asumsi bahwa pada masa tersebut berlangsung perubahan hubungan yang lebih baik diantara keduanya. Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal tahun 1990-an terjadi perubahan hubungan yang lebih baik antara umat Islam dengan militer. Pada masa itu, hubungan antara kedua kekuatan (Islam dan Militer) tersebut mengalamai kelenturan. Ketegangan yang berlangsung sejak awal 1970-an terlihat mulai mencair. Ada kedekatan-kedekatan hubungan, khususnya antara jajaran elit militer dengan elit umat Islam. Kedekatan tersebut disebabkan oleh banyak factor. Secara umum factor tersebut dapat diklarifikasikan dalam dua kategori, yaitu factor internal dan factor eksternal. Factor internal yang mendorong terjadinya perubahan antara kaum umat Islam dengan kalangan militer adanya tranpormasi orientasi y ng berlangsung baik di dalam kelompok Islam maupun militer. Di kalangan umat Islam berlangsung perubahan orientasi politik dari legalistic-formalistik, yaitu orientasi yang ingin menegakan Islam secara legal (konstitusional) dan formal (institusional) dalam tatanan bernegara yang pluralistic ini, ke orientasi substansialistik, yaitu oreantasi yang meletakan Islam sebagai ajaran universal yang harus di sosialisasikan
melalui sikap dan perilaku (budaya) seluruh lapisan masyarakat, seperti keadilan, persamaan dan musyawarah. Perubahan orientasi ini menjadi peretas bagi keinginan sebagain umat Islam untuk menampilkan Islam sebagai legal formal yang tidak disukai ileh militer. Mereka yang mempermasalahkan secara jelas-jelas terhadap azas tunggal Pancasila mulai berkurang. Lebih dari itu, muncul wacana yang melihat adanya korelasi antara ajaran Islam dengan Pancasila. Oleh sebab itu, munculnya perilaku politik yang lebih substantive itu menjadi perekat relasi militer dengan Islam. Begitu juga dikalangan milter muncul perubahan persepsi tentang SIslam yang radikal, anti integrasi, dan ancaman bagi stabiltas Negara. Hal ini terjadi terutama disebabkan oleh naiknya militer yang mempunyai latar belakang pemahaman keIslaman yang baik yang kemudian dikenal dengan istilah militer santri. Para militer muslim ini memandang Islam sebagai bagian dari Saptamarga yang harus diejahwantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara yang menjadi factor eksternal bagi terjadinya perubahan hubungan umat Islam dengan militer adalah adanya kebijakan Negara (political will) yang akomodatif baik terhadap umat Islam maupun terhadap militer yang memiliki latar belakang keislaman yang baik.
Kepentingan politik Negara
(penguasa) terhadap umat Islam dan militer muslim ini telah memungkinkan munculnya titik temu antara umat Islam dengan militer. Di samping itu, tuntutan global yang menghendaki adanya proses demokratisasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia diberbagai Negara juga ikut menjadi factor pendorong bagi perubahan politik yang berlangsung di
Indonesia. Berbagai peristiwa pelanggran HAM dan perilaku represif militer yang terjadi di Indonesia menjadi sorotan internasional. Tidak jarang berbagai pelanggaran itu mengundang ancaman
terhadap kelangsungan
kerjasama
Indonesia dengan dunia internasional. Kenyataan ini telah memaksa Negara untuk memperhatikan dan membiarkan proses demokratisasi itu berjalan di negeri ini. Berbagai factor itulah yang mempertemukan umat Islam dengan militer, khususnya sejak awalt hun 1990-an. Secara politik, keduanya dipertautkan oleh adanya pemahaman yang sama tentang Islam. Tidak berlebihan apabila seorang Indonesianis, Harold Crouch menggambarkan semarak keagamaan yang muncul di lingkungan militer pada awal tahun 1990-an sebagai fenomena baru yang belum terlihat pada masa sebelumnya.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil alamin, segala puji bagi ALLAH tak lupa penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang telah menampakan sifat keagunganNya kepada para kekasihNya, yang menyinari segenap hati dengan persaksian sifatsifat kesempurnaanNya, dan yang memperkenalkan kepada umatNya melalui kucuran nikmat rakhmat dan anugerah hidayahNya. Sebagai mahabah rasa syukur penulis atas segala rakhmat, nikmat, taufik dan hidayahNya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. skripsi ini merupakan salah satu Tugas Akhir dalam kurikulum jenjang pendidikan sarjana pada jurusan Pemikiran Politik Islam, UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA. Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan, bantuan dan bimbingan hingga terselesaikannya skripsi yang penulis beri judul PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI INDONESIA Periode 1990-1998. Sebagai sebuah karya, rasanya skripsi ini akan tidak memiliki makna apaapa apabila di dalamnya tidak merajut untaian terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian penulisan skripsi ini. Adapun ucapan terimakasih saya haturkan sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils dan Ibu Dra. Wiwi Sajaroh, M. Ag selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku Ketua dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Dra, Haniah Hanafie, M. Si selaku Dosen Pembimbing atas semua dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan arahan selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 6. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik Islam (PPI) yang telah sangat banyak mentransformasikan ilmu dan intelektualitas selama penulis duduk di bangku perkuliahan. 7. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Perpustakaan Miriam Budiardjo (Fakultas FISIP UI), Perpustakaan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), dan Perpustakaan Pusat Sejarah TNI, yang banyak memberikan kemudahan penulis dalam mengakses seluruh literatur yang tersedia dan juga yang rela “menunggui” penulis hingga larut. 8. Sebesar-besarnya kebanggaan ini penulis persembahkan kepada orang yang telah memberikan dan mengorbankan segala materi dan dukungan moral kepada penulis, Ayahanda H. Muahmmad Anwar, H. Emir dan Ibunda Hj. Lina. I Love You. Dan seluruh keluarga besar di Karawang, terimakasih atas segala curahan perhatian dan bantuannya. Dan mereka semua layak mendapat balasan surga dari Allah swt.
iii
Semoga Allah senantiasa memberikan kesabaran dan kemanfaatan dalam setiap jejak langkah yang akan ditempuhnya. 9. Adik ku satu-satunya Yogi yang suka ngeselin tapi tetap menjadi motivasi ku, terimakasih untuk segala do’anya semoga kita berdua menjadi anak yang sukses dan bertanggung jawab. 10. Kepada Laily Wulandari, Sinta Rahmawati, mereka semua tak pernah lelah memotivasi penulis untuk menjadi lebih baik, yang selalu memberikan kasih sayangnya, selalu memberikan motivasi belajar, mendo’akan, tak pernah bosan membantu. 11. Kepada seluruh teman-teman kelas PPI Angkatan 2004 Saiman (Medan), Sofian (Banten), Pujiono (Gresik), Iskak (Jateng), Tsani (Bekasi), Zulfikar (Bogor), Indra (Bekasi), Rei (Tangerang), Isti (Bekasi), Yulita (Lampung), Buhari (Ternate), Ucup (Betawi), Sa’di (Madura), Hudori (Betawi), Muhsin (Betawi), Aziz (Jawa), Fadil (Aceh), Galo (Batam), Iin Solihin (Banten), Ijudin (Betawi), Asep (Solo), Awe (Ciputat), Surono (Kebumen), Hadi (Betawi), Nyit-nyit (Thailand) dan semua sahabat, teman-teman seperjuangan. Keyakinan dan kesungguhan merekalah yang menjadi sumber inspirasi penulis. 12. Rekan-rekan yang tergabung dalam organisasi intra dan ekstra kampus,
rekan-rekan
aktivis.
Terimakasih
atas
jalinan
persaudaraannya, semoga cita-cita kita semua segera terengkuh. 13. Gemintang, rembulan, lampu-lampu jalan, hembusan angin, hujan, debu dan sinar matahari dan balutan semesta malam yang selalu setia
iv
menemani penulis selama menjalani perkuliahan di Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik-Nya, dan kita sebagai manusia sangat tidak layak untuk mengakui kesempurnaan itu. Begitu pula skripsi ini, yang tak luput dari kesalahan dan
kekurangan. Penulis berharap
ketidaksempurnaan itu, akan hadir kebaikan untuk semua.
v
dari
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………………………………………..i KATA PENGANTAR…………………………………………………………...ii DAFTAR ISI …………………………………………………………………….v
BAB I.
PENDAHULUAN..............................................................................1 A. Latar Belakang Masalah ...........................................................…1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..........................................14 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan....................................................14 D. Studi Kepustakaan.......................................................................15 E. Metodologi Penulisan..................................................................18 F. Sistematika Penulisan..................................................................19
BAB II.
KEBERADAAN UMAT ISLAM DI PENTAS POLITIK……...21 A. Pergerakan Politik Umat Islam pada masa Penjajahan.………..21 A.1 Pandangan dan Perilaku Kebangsaan SI…………………..27 A.2. Islam dan Soal Kebangsaan……………………………….28 A.3. Peletak Dasar Identitas Kebangsaan dan Perlawanan…….33 A.4. Icon Pembebas dan Emansipsi kaum Bumiputera………...37 A.5. Pendorong Persaudaraan dan Solidaritas Anak Bangsa…..41 A.6. Persoalan Pembebasan dan Emansipasi…………………...43 B. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Demokrasi Parlementer………………………………………………….....44 B.1. Kabinet Natsir 1950-1951………………………………...44 B.2. Kabinet Soekiman Wirdjosendjojo……………………….45 B.3. Kabinet Wilopo-Prawoto 1952-1953……………………..46 B.4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I dan II……………………...46 B.5. Kabinet Burhanuddin Harahap 1955-1959………………47 B.6. Nasib Majelis Konstituante………………………………48 C. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Demokrasi Terpimpin.
D. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Orba................. D.1. Gagalnya Pembentukan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). D.2. Gagalnya Rehabilitasi Partai Masyumi dan Berdirinya Parmusi D.3. Peran Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
BAB III.
PERUBAHAN
HUBUNGAN
UMAT
ISLAM
DENGAN
MILITER SEBELUM TAHUN 1990-1998………………………… A. Penyingkiran Symbol-simbol ....................... B. Peminggiran Islam Politik………………………… C. Islam dan Militer Sebuah Sejarah Pasang Surut
BAB IV.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HUBUNGAN ANTARA UMAT ISLAM DAN MILITER A. Kebangkitan Nilai-nilai Islam ........ ....................................... B. Pergeseran Jabatan Militer pada Awal Tahun 1990-an………. C. Hubungan Baru Islam dengan Militer…………………………
BAB V.
PENUTUP................................................................................... A. Kesimpulan ............................................................................... B. Saran .........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... .
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hubungan antara ABRI/TNI dan umat Islam sejak awal masa revolusi kemerdekaan mengalami dinamika dan romantika yang sangat menarik perhatian banyak kalangan. Dua kelompok masyarakat tersebut di Indonesia memang memiliki kekhasan (keunikan), tradisi, dan budaya sendiri-sendiri. 1 Namun keduanya tetap memiliki orientasi dan prinsip yang sama dan tunggal dalam kehidupan bernegara, yaitu dalam bentuk kebangsaan. Hal inilah yang menyebabkan mengapa umat Islam secara prinsipil senantiasa mempunyai komitmen dalam bidang pertahanan dan keamanan Negara, sehingga partnership antara kedua kelompok tersebut merupakan kekuatan nasional yang solid dan mantap dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasional. Dengan kata lain, keduanya saling melengkapi dan saling memperkuat. Dalam konteks inilah maka penerimaan dan pengakuan umat Islam terhadap dwifungsi ABRI/TNI adalah prinsipil dan hakiki. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah Islam, Umar bin Khathab adalah seorang perwira militer pada zaman Rasulallah Saw. Dia adalah seorang panglima perang, seorang jenderal. Ketika Rasulallah Saw meninggal dunia, diceritakan
1
Yahya A. Muhaimin adalah doctor ilmu politik dan dosen di FISIPOL Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Karyanya antara lain, Masalah-masalah Pembangunan Politik (sebagai editor), Perkembangan Militer di Indonesia 1945-1966, dan yang sempat menggemparkan – Bisnis dan Politik. Dia sebut-sebut sebagai seorang ahli dalam mengamati perkembangan militer di kancah perpolitikan di Indonesia
1
2
dalam sebuah tarikh,2 bahwa jenderal Umar bin Khathab sedang berada di pasar. Dia sedang berdagang atau sedang melakukan fungsi di bidang ekonomi. Dari cerita tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa “dwifungsi militer” di dalam Islam adalah fakta, bukan “rekaan”. Karena itu penerimaan dwifungsi ABRI oleh umat secara prinsipil adalah social-politik pada masa modern sekarang berbeda dengan kehidupan militer dan system social-politik Islam pada masa Rasulallah Saw memang sesuatu yang real. Dan kedua hal tersebut memerlukan modifikasi dan penyesuaian-penyesuaian pada tingkat praktis pada masyarakat modern saat ini. Peranan dan pengaruh umat Islam dalam sejarah perjalanan Republik Indonesia hingga sekarang mengalami fluktuasi yang cukup besar. Kita semua megetahui bahwa pada masa revolusi menegakan Republik Indonesia, umat Islam memberikan sumbangan dan pengabdian yang sangat besar dengan komitmen kebangsaan yang amat kuat. Konsep yang menekankan bahwa revolusi itu hanya dilakukan oleh TNI, sesungguhnya tidak tepat. Karena jika dilihat pada sejarahnya, rakyatlah berjuang. Perlawanan atau revolusi rakyat yang menekankan pada nasionalisme sudah dimulai sejak tahun 1908 dengan berdirinya Budi Utomo yang di pimpin oleh Dr. Soetomo. Kemudian di ikuti oleh organisasi kemasyarakatan, seperti Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh K.H. Samanhudi, 3 Sarekat Islam yang dipimpin oleh Cokroaminoto, 4 Partai Nasional
2
Kisah tarikh ini diterima oleh penulis dari seorang ulama di daerah, yaitu KH Abdul Kafie pada tahun 1986 3 Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh K.H. Samanhudi pada tahun 1911 adalah sebuah perkumpulan yang mula-mula tidak sebagai partai politik. Perkumpulan ini didirikan oleh golongan menengah dengan maksud untuk mempertinggi kehidupan ekonomi
3
Indonesia yang dipimpin oleh Sukarno dan lainnya. Mereka-mereka inilah yang telah memulai dan mempelopori perlawanan terhadap penjajahan. Kemudian setelah
merdeka,
barulah
ada
perlawanan
bersenjata.
Karena
sebelum
kemerdekaan, cikal bakal tentara nasional di kemudian hari pada dasarnya masih menjadi tentara KNIL atau Belanda, PETA (Pembela Tanah Air) dan Heiho. Kalaupun ada perlawanan bersenjata pada waktu kemerdekaan adalah lascarlaskar, seperti Hizbullah, 5 Anshar, BPRI, Kesatuan Kristen, dan lainnya. Percaturan Islam dengan ABRI/TNI tidak bisa terpisahkan dengan sejarah proklamasi dan dimulainya Orde Baru. Pada waktu kemerdekaan, timbul BKR yang kemudian menjadi TKR, dan akhirnya berubah menjadi TNI. Di samping itu ada juga lascar-laskar atau rakyat bersenjata seperti Hizbullah, Anshar, Kesatuan
rakyat, terutama untuk menghadapi bangsa Cina yang menguasai perdagangan perantara (Lihat, Leksikon Islam , penerbit Pustazet Perkasa, Jakarta, 1988, h. 660) 4 Sarekat Islam (SI) merupakan kelanjutan SDI yang corak dan haluannya di ubah menjadi partai politik, ini terjadi pada tahun 1912 dan kempemimpinannya diserahkan pada H. Oemar Said Cokroaminoto, seorang keturununan bangsawan yang berjiwa democrat. SI memperoleh pengaruh besar di kalangan rakyat. Tidak lagi membatasi kegiatannya pada kepentingan dan kegiatannya pada golongan menengah saja, tetapi campur tangan juga pada perubahan-perubahan upah, sewa tanah, dan perburuhan. Pada tahun 1923, SI terpecah menjadi SI merah (yang terpengaruh oleh paham komunis) dan SI putih. Dan pada tahun 1923 pula SI berubah nama menjadi Partai Sarikat Islam, dan pada awal 1929 berganti nama lagi menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) (lihat Ibid., h. 661) 5 Secara harfiah berarti pasukan Allah. Barisan semi militer yang didirikan khusus bagi pemuda Muslim sebagai cadangan barisan PETA. Hizbullah didirikan oleh Masyumi pada 4 Desember 1944 atas dasar keyakinan agama Islam. Cikal bakalnya berasal dari pesantren Nahdlatul Ulama yang kemudian dijadikan menjadi bagian dari Masyumi, bahkan menjadi milik umat Islam. Kontribusi para anggota Hizbullah, baik secara pribadi ataupun kelompok cukup besar dalam melucuti senjata tentara Jepang dan sebagai kader perjuangan bangsa selanjutnya, terutama sekali di Jawa. Ketika terbentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat), 22 Agustus 1945, banyak anggota Hizbullah yang memasuki badan ini. Demikian pula ketika pemerintah RI Menyerukan para pemuda mantan anggota PETA, Heiho, Gyu Gun, KNIL, dan lain-lain untuk bergabung menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 9 Oktober 1945; banyak pula diantara anggota Hizbullah yang ikut bergabung. Malahan di Yogyakarta satu batayon Hizbullah menjadi batalyon dari 25 Resimen dan 22 Divisi III TKR di bawah naungan komandan Mayor A. Basumi. Para anggota Hizbullah stidak masuk BKR/TKR masih terus berjuang di bawah naungan Masyumi (Lihat Ensiklopedi Islam, PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1933, jil. 2, h. 121-122)
4
Kristen dan lain-lainnya. Kemudian tahun 1948 diadakan rasionalisasi dan rekonstruksi (RERA) oleh Bung Hatta dan lascar-laskar itu ditiadakan. Kembali pada zaman penjajahan Jepang dengan terbentuknya PETA banyak daidancho (komandan batalyon) yang kebanyakan tokoh-tokohnya adalah orang Islam, seperti Mr. Kasman Singodemedjo, Jenderal Soedirman, Arudji Kartawinata dari Siliwangi, dan lainnya. Hal ini dapat terjadi karena sesuai dengan politik Jepang. Menurut mereka, orang Islam lah yang dianggap gigih dalam melawan penjajahan Belanda. Maka diangkatlah tokoh-tokoh Islam menjadi komandan batalyon. Ini sejarahnya. Hanya saja, ketika Negara Indonesia yang baru merdeka harus mematuhi perjanjian Renville, yang salah satu isinya mengharuskan tentara mengosongkan daerah Siliwangi dari Jawa Barat menuju Jawa Tengah. Ketika tentara Siliwangi hijrah timbullah Darul Islam dengan Tentara Islam Indonesia (TII) di Jawa Barat dan di bagian barat Jawa Tengah. Kemudian ketika kembali dari hijrah, tentara Siliwangi mendapatkan serangan dari DI/TII. Inilah yang menimbulkan trauma bagi TNI. Pergolakan yang ditimbulkan oleh umat Islam terkadang memang lalu mendapatkan cap macam-macam. Pergolakan Darul Islam, peristiwa di Lampung dan Aceh tentu ada pengaruhnya. Sekarang sudah ada asas Pancasila. Dan tindakan selanjutnya adalah harus ada pendekatan baru antara pemerintah, ulama dan umara. Jadi asas tinggal mendukung. Sikap kekurangpercayaan harus sudah dihapus. Tapi terjadilah tragedy Tanjung Priok. Paska kejadian itu melihat ABRI/TNI giat sekali mengadakan pendekatan kepada golongan Islam.
5
Sekarang ini demi kepentingan status quo, digunakanlah Pancasila untuk tuduhan-tuduhan kecurigaan. Disebutkan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang ingin
mengubah
atau
mengganti
UUD
1945
dan
Pancasila.
Dengan
digambarkannya bahwa keadaan Negara dalam keadaan darurat terus. Persatuan bangsa dalam keadaan bahaya. Padahal umat Islam pada umumnya sudah menerima asas Pancasila sebagai ideologi Negara. Dan dalam Pancasila itu, sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, causa prima. Dimana Pancasila sebagai ideology terbuka menerima baik pandangan dari semua aliran. Sehingga pada masa-masa berikutnya hingga dua dasawarsa pemerintahan Orde Baru, posisi Islam benar-benar “tersudutkan”. 6 Barangkali sebab pokoknya adalah karena “kecelakaan sejarah” yang merupakan konsekuensi dari perbedaan strategi dalam melawan kekuatan penjajah Belanda, yang kemudian menjurus ke arah konflik terbuka dan berkepanjangan antara ABRI/TNI (pemerintah) dengan beberapa tokoh perjuangan dari umat Islam yang kemudian berakibat pemberian cap “anti kebangsaan” kepada umat Islam. Jika pada masa revolusi umat Islam jelas begitu kental wawasan dan rasa kebangsaannya, maka pada “masa tersudutkan” itu umat Islam dikesankan oleh situasi begitu tipis wawasan kebangsaannya. Mungkin hal itu semakin diperparah karena kelompok komunis dengan sangat sistematis dan efektif membesar-besarkan dan menghiduphidupkan terus tentang “kecelakaan sejarah” yang strategis tadi, dan kelompok
6 Lihat George McT. Kahin, Nationalisme and Revolution-Indonesia (Ithaca, NY: Cornel University Press, 1966); Herberth Feith. The Decline of Constitutional Democracy-Indonesia (Ithaca, NY: Cornel University Press, 1962); Herbeth Feith, “The Dynamics of Guided Democracy-Indonesia”, dalam Ruth McVey (ed) (New Haven, NY: Yale University Press, 1967); Daniel S. Lev, Transition to Guided Democracy (Cornel, 1966); Karl D. Jackson, Politic, Power and Communication-Indonesia (Berkley: California University Press, 1982)
6
komunis berhasil membuat masyarakat lupa akan kiprah komunis terutama dalam pemberontakan Madiun pada Desember 1948. Disegi lain karena factor politik yang semakin mengeras, kelompok-kelompok lain di luar komunis yang tidak menyukai peranan umat Islam “memperhebat “ proses tersebut di atas. Hal itu masih ditambah dengan pergolakan pemberontakan dibeberapa daerah yang malangnya juga meletakan beberapa tokoh penting umat Islam Indonesia. Situasi ini secara timabl balik menyebabkan bersemainya perasaan-perasaan tertentu pada umat Islam terhadap pemerintah, khususnya ABRI/TNI. Hubungan umat Islam dengan ABRI/TNI secara perlahan dan “cukup mengejutkan” banyak kalangan non-muslim, mengalami perubahan substantive sejak dasawarsa yang lalu. Ada beberapa factor penting yang mendorong “perubahan dramatis” itu. Pertama, para generasi muda Muslim yang lahir kebanyakan pada masa 1940-an mulai bertindak berbeda dengan pendahulunya yaitu dengan melakukan antara mereka memang mendapat pendidikan tinggi di luar negeri dengan pengaruh kultur cosmopolitan yang berbeda dengan pendahulunya, namun aktualisasinya berbeda yakni lebih “terbuka”, lebih dialogis, dan lebih akomodatif daripada kebanyakan pendahulunya. Kedua, banyak perwira ABRI/TNI yang menempati posisi-posisi strategis dan mereka datang dari kelurga Muslim yang lebih rasional, lebih akomodatif dengan keseimbangan berpikir yang sangat kuat. Mereka juga lebih menyadari makna potensi yang sangat besar yang dimiliki umat Islam bagi pembangunan bangsa dan Negara.
7
Dua kelompok baru tersebut, dari kalangan generasi penerus umat Islam (sipil) dan para penerus ABRI/TNI, telah membuka wawasan umat Islam yang lebih luas dan lebih terang benderang serta memberikan kesempatan untuk selalu berpikir serta bertindak positif dan konstruktif pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagaimana juga dikalangan ABRI/TNI dan pejabat pemerintah umumnya. Dalam konteks ini beberapa tokoh ABRI/TNI menulis refleksinya terhadap umat Islam. Namun perlu juga kita mengingat terus bahwa kita selalu menyaksikan tendensi begitu kata-kata “umat Islam” disebutkan maka serta merta orang mengajukan pertanyaan “umat Islam yang mana?”7 sebab memang umat Islam sangatlah plural dengan tradisi berpikir yang luar biasa di kalangan umat Islam. Fenomena hubungan Islam dan militer di Indonesia khususnya pada masa Orde Baru, yang dalam satu dasawarsa ke belakang ini mengalami perubahan drastis. 8 Dalam menyoalkan Islam dan militer. Hubungan Islam dan militer (ABRI/TNI) bila ditelusuri korelasi antara keduanya ada 3 faktor yang menyebabkan terjadinya hubungan militer dan Islam di Indonesia. Misalnya, pertama, bukankah Islam9 dan militer10 pada jati dirinya kental dan sarat muatan politik? Artinya, wilayah politik bagi mereka adalah wilayah yang tidak mungkin mereka tinggalkan. Dalam pengertian lebih jauh
7
Untuk pembahasan singkat mengenai keberagaman umat Islam, lihat Jalaludin Rakhmat, “Islam di Indonesia Masalah Defenisi, dalam M. Amien Rais (ed), Islam di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, h. 37-57 8 Lihat kata pengantar Yahya Muhaimin dalam buku Islam di Mata Para jenderal 9 Meminjam istilah K.H.A Wahab Chasbullah yang kurang lebih menyebutkan bahwa hubungan Islam dan politik seperti gula dengan manisnya 10 Mengikuti Harold Crouch, militer di Indonesia telah menjadi organisasi kepentingan pada awal berdirinya yang kemudian menjadi kekuatan politik utama setelah tahun 1965. Lihat, Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta. 1986
8
tentang politik, yakni Negara (state), bukankah Negara bagi Islam merupakan institusi yang digunakan untuk memaksakan berlakunya
suatu
syariat11,
sedangkan bagi militer Negara adalah institusi yang digunakan untuk kehendak politiknya?
Dengan demikian,
bagi
keduanya
keperkasaan
Negara
atas
masyarakat mutlak diperlukan untuk melanggengkan kekuasaannya. Sehingga secara teoritis keduanya merupakan potensi ancaman serius bagi terciptanya civil society, sekaligus tegaknya demokrasi. Kedua, sekurang-kurangnya potensi politik yang berdasarkan keagamaan, (baca Islam) adalah, tampaknya, satu-satunya bentuk yang masih dapat bertahan untuk hidup. 12 Semua politik aliran (nasionalis, sosialis, komunis dan tradisionalis – Jawa) seperti apa yang diklasifikasikan oleh Lance Castle dan Herbeth Feith telah tiarap, walaupun geliatnya terkadang menyala. Sedangkan militer adalah pendiri sekaligus penyangga utama struktur pemerintahan pada masa Orde Baru. Ketiga, pada dasarnya militer di Indonesia, seperti bidang apapun, merupakan bagian dari masyarakat. Karena merupakan bagian dari masyarakat, maka ia tidak bisa mengelak dari bagian dikotomi primordialisme yang tumbuh di masyarakat. (Prisma, Harold Crouch: 1986). Sedangkan Islam menurut beberapa pengamat yang meyakininya adalah sumber primordialisme. Sehingga wajar kalau rumor yang beredar di tengah-tengah masyarakat tentang adanya ABRI hijau dan ABRI merah- putih kadang-kadang ditelan mentah-mentah tanpa serve13
11
Muhammad Natsir, Capita Selecta, Bulan Bintang, Bandung, 1973, h. 437-442 Oleh sementara lahirnya pihak ICMI, dianggap sebagai bangkitnya kekuatan politik Islam (baca Masyumi) 13 Naiknya Feisal Tanjung sebagai panglima ABRI dan Hartono sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) sebelum menjadi menteri penerangan oleh majalah Tiras dijadikan laporan utama sebagai kemenangan kaum santri sekaligus berakhirnya kekuasaan L.B. Moerdiani 12
9
Kajian pandangan militer terhadap Islam sebagai dasar Negara perlu dilakukan, karena dalam konteks awal Orde Baru, pemerintah pusat yang dikuasai oleh militer menolak untuk memberikan bagian kekuasaan yang lebih besar kepada Islam. 14 Karena menurut militer, agama merupakan salah satu bagian dari masalah yang merintangi persatuan bangsa dan persatuan ketentaraan. Pengertian agama dalam konteks tersebut adalah agama Islam yang doktriner, sebuah ajaran yang berusaha menata kembali nilai-nilai Indonesia sesuai dengan nilai-nilai Islam Timur Tengah. 15 Di samping itu selama pemerintahan pada masa Orde Baru, kasus-kasus keagamaan seperti Tanjung Priok, Aceh, Lampung, dan terakhir Haur Koneng di Jawa Barat, berakhir dengan pengadilan politik dan mengakibatkan jumlah tahanan politik Islam di Indonesia selama tahun 1985-1987 mencapai 200 orang lebih di berbagai lembaga pemasyarakatan.16 Mereka ditahan karena ingin mendirikan Negara Islam di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk melemahkan kelompok politik Islam dengan sedemikian rupa. Kemudian yang menjadi pertanyaan mengapa kasus-kasus dan pengadilan politik tersebut dapat terjadi? Apakah ini murni persoalan intern umat Islam? Sebab banyak diantara kalangan intelektual dan pemikir keagamaan yang menganggap
bahwa
kegiatan
mereka
harus
bebas
dari
politik
dikalangan tentara atau de-Benyisasi. Penilaian ini menurut saya kurang relevan karena klasifikasi polarisasi di intern tentara dengan adanya tentara hijau dan tentara merah-putih, atau Cilangkap dan Cendana,atau Cendana dengan Cijantung sering digunakan oleh masing-masing pengamat sangat berbeda-beda. Dengan kata lain, pendekatan model ini untuk “mengukur dan memproyeksikan” kekuatan politik tentara kadang-kadang tidak mendekati kenyataan 14 Dewi Fortuna Anwar. “Ka’bah dan Garuda: Dilema di Indonesia”, dalam Prisma, No. 4, April 1984. Tahun XII, L3S. Jakarta, h. 7 15 Howard M. Federspiel, “Militer dan Islam pada Masa Pemerintahan Soekarno di Indonesia”, dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Shidique, Yasin Hussain (ed), Islam di Asia Tenggara Perkembangan Kontemporer, LP3ES, Jakarta. 1990, h. 42-43 16 Lihat majalah GUGAH, diterbitkan Serikat Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, edisi pertama 1990, h. 8-9
10
(pemerintahan/kekuasaan). Karena itu, berteologi atau bahkan teologi itu sendiri sebagai bagian dari kegiatan mereka mesti bebas dari kepentingan ekonomi maupun politik. Tapi secara nyata hal ini dipastikan hampir tidak mungkin, sebab pengetahuan (termasuk teologi) yang mereka hasilkan adalah kekuasaan. Dengan kata lain, berteologi bagi umat Islam adalah sebuah praktik berpolitik. 17 Pandangan tertentu dari militer terhadap Islam sebagai dasar Negara sangat dimungkinkan karna beberapa hal. Pertama, Islam menjadi ideology alternative selain Pancasila di masa sidang BPUPKI dan konstituante. Kedua, ada relasi sejarah antara militer dan Islam dalam beberapa kasus artikulasi politik Islam di masa lalu. Seperti DI/TII Kartosuwiryo, Kahar Muzakar, Abdul Aziz, dan Daud Beureueh, misalnya. Akibat dari peristiwa ini, permintaan reahabilitasi partai politik Masyumi tidak bisa dipenuhi, karena pada masa Orde Lama Masyumi dituduh memprakarsai gerakan-gerakan separatis dan mendukung pemberontakan DI/TII yang dimusuhi dan menimbulkan kerugian besar bagi angkatan bersenjata serta pimpinannya (Nurcholis Madjid, 1979). Ketiga, makin melemahnya kekuatan politik Islam pada masa Orde Baru, untuk sebagian dapat dijelaskan oleh kenyataan bahwa ABRI dikuasai oleh golongan abangan/priyayi, yaitu kelompok yang selalu cemas dengan kekuatan Islam. 18
Sehingga wajar apabila pada awal Orde Baru tujuan militer untuk
melemahkan kelompok politik Islam sedemikian rupa sehingga efektivitas Islam sebagai ideology yang menentang falsafah Negara akan berakhir. Dan kekuasaan
17
Saiful Muzani, “Berteologi sebagai Praktik Politik, dalam Dr. Th. Sumartana dkk. (ed), Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat, Interfide, 1994, h. 175 18 Dewi Fortuna Anwar, “Ka’bah dan Garuda: Dilema di Indonesia”…..h. 7
11
pemerintah dapat berlanjut tanpa pertentangan ideologis. 19 Di samping itu juga, larangan yang cepat atas demonstrasi-demonstrasi politik yang dipimpin oleh beberapa organisasi mahasiswa Islam dalam masa peralihan tahun 1965. Memperlihatkan dengan jelas kekhawatiran ABRI/TNI terhadap kelompok Islam pada suatu saat akan merupakan ancaman terhadap dominasi politik ABRI/TNI itu sendiri. 20 Skripsi ini menelaah tentang perubahan yang terjadi dalam hubungan militer dengan umat Islam di Indoneisa. Fenomena ini yang diambil sebagai studi kasus adalah peristiwa yang berlangsung selama masa tahun 1990-1998. Hal ini didasarakan pada asumsi bahwa pada masa tersebut berlangsung perubahan hubungan yang boleh dikatakan lebih baik diantara kedua kelompok tersebut. Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal tahun 1990-an terjadi perubahan hubungan yang lebih baik antara umat Islam dengan militer. Pada masa itu, hubungan antara kedua kekuatan (Islam dan Militer) tersebut mengalamai kelenturan. Ketegangan yang berlangsung sejak awal 1970-an terlihat mulai mencair. Ada kedekatan-kedekatan hubungan, khususnya antara jajaran elit militer dengan elit umat Islam. Kedektan tersebut disebabkan oleh banyak factor. Secara umum factor tersebut dapat diklarifikasikan dalam dua kategori, yaitu factor internal dan factor eksternal. Factor internal yang mendorong terjadinya perubahan antara kaum umat Islam dengan kalangan militer adanya tranpormasi orientasi y ng berlangsung baik di dalam kelompok Islam maupun militer. Di kalangan umat Islam berlangsung 19 20
Dewi Fortuna Anwar, “Ka’bah dan Garuda: Dilema di Indonesia”…..h. 8 Dewi Fortuna Anwar, “Ka’bah dan Garuda: Dilema di Indonesia”…..h. 7
12
perubahan orientasi politik dari legalistic-formalistik, yaitu orientasi yang ingin menegakan Islam secara legal (konstitusional) dan formal (institusional) dalam tatanan bernegara yang pluralistic ini, ke orientasi substansialistik, yaitu orientasi yang meletakan Islam sebagai ajaran universal yang harus di sosialisasikan melalui sikap dan perilaku (budaya) seluruh lapisan masyarakat, seperti keadilan, persamaan dan musyawarah. Perubahan orientasi ini menjadi peretas bagi keinginan sebagian umat Islam untuk menampilkan Islam sebagai legal formal yang tidak disukai oleh militer. Mereka yang mempermasalahkan secara jelas-jelas terhadap azas tunggal Pancasila mulai berkurang. Lebih dari itu, muncul wacana yang melihat adanya korelasi antara ajaran Islam dengan Pancasila. Oleh sebab itu, munculnya perilaku politik yang lebih substantive itu menjadi perekat relasi militer dengan Islam. Begitu juga dikalangan milter muncul perubahan persepsi tentang Islam yang radikal, anti integrasi, dan ancaman bagi stabiltas Negara. Hal ini terjadi terutama disebabkan oleh naiknya militer yang mempunyai latar belakang pemahaman keIslaman yang baik yang kemudian dikenal dengan istilah militer santri. Para militer muslim ini memandang Islam sebagai bagian dari Saptamarga yang harus diejahwantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara yang menjadi factor eksternal bagi terjadinya perubahan hubungan umat Islam dengan militer adalah adanya kebijakan Negara (political will) yang akomodatif baik terhadap umat Islam maupun terhadap militer yang memiliki latar belakang keislaman yang baik. Kepentingan politik Negara
13
(penguasa) terhadap umat Islam dan militer muslim ini telah memungkinkan munculnya titik temu antara umat Islam dengan militer. Di samping itu, tuntutan global yang menghendaki adanya proses demokratisasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia diberbagai Negara juga ikut menjadi factor pendorong bagi perubahan politik yang berlangsung di Indonesia. Berbagai peristiwa pelanggran HAM dan perilaku represif militer yang terjadi di Indonesia menjadi sorotan internasional. Tidak jarang berbagai pelanggaran itu mengundang ancaman terhadap kelangsungan
kerjasama
Indonesia dengan dunia internasional. Kenyataan ini telah memaksa Negara untuk memperhatikan dan membiarkan proses demokratisasi itu berjalan di negeri ini. Berbagai factor itulah yang mempertemukan umat Islam dengan militer, khususnya sejak awal tahun 1990-an. Secara politik, keduanya dipertautkan oleh adanya pemahaman yang sama tentang Islam. Tidak berlebihan apabila seorang Indonesianis, Harold Crouch menggambarkan semarak keagamaan yang muncul di lingkungan militer pada awal tahun 1990-an sebagai fenomena baru yang belum terlihat pada masa sebelumnya. Penulis juga ingin mengetahui seberapa besar pengaruh perubahan yang terjadi diantara tahun itu. Penulis mengambil periodesasi mulai tahun 1990 sampai dengan tahun 1998 silam. Alasan periodesasi ini adalah karena pada masa-masa itulah terjadi sebuah perubahan hubungan pada sepak terjang politik militer Indonesia terhadap umat Islam Indonesia, yaitu dengan pendekatan-pendekatan yang dilakukan ABRI/TNI kepada kalangan umat Islam, para tokoh-tokoh Islam, yang diteruskan dengan
14
kerjasama diberbagai ormas-ormas Islam. Pembatasan ini juga dimaksudkan agar dalam pembahasan skripsi ini dapat lebih terfokus dan terarah. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Mengingat kompleksitas masalah yang akan diteliti dan keterbatasan yang dimiliki penulis, maka masalah yang dibahas oleh penulis akan dibatasi pada perubahan hubungan ABRI/TNI dengan umat Islam di Indonesia dalam wilayah politik melalui perkembangan sejarah yang terjadi antara tahun 1990-1998. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar
belakang dan batasan masalah di atas, maka
permasalahan penelitan ini dirumuskan sebagai berikut: a.
Bagaimana perubahan hubungan militer dengan ummat Islam antara tahun 1990-1998 ?
b.
Kebijakan politik Negara yang mepengaruhi hubungan diantara kedua kelompok tersebut terhadap proses politik di Indonesia.
c.
Bagaimana keberlangsungan hubungan ABRI/ TNI dengan orientasi Politik umat Islam di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian yang dilakukan ini adalah : a.
Mempelajari sejarah hubungan ABRI/TNI dengan umat Islam
b.
Menganalisa proses perubahan hubungan yang terjadi diantara kedua kelompok tersebut.
15
c.
Dalam konteks kekinian yang ideal, dari penelitian skripsi ini diharapkan dapat menghadirkan pandangan baru, tidak hanya dalam konteks militer dan Islam tetapi dalam konteks pandangan dari sudut pengaruh hubungan kedua kelompok tersebut terhadap kehidupan demokrasi di Indonesia sekarang ini.
2. Manfaat Penulisan Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, antara lain: 1.
Secara teoritis atau akademis, diharapkan dapat memperkaya khazanah kepustakaan perpolitikan, khususnya mengenai hubungan relasi militer dan Islam.
2.
Secara praktis, diharapkan dapat memberikan masukan bagi TNI agar dapat mewujudkan
TNI
yang
profesional
dan
sesuai
dengan
nilai-nilai
demokrasi. 21 3.
Secara teoritis dan praktis dapat memberikan pandangan dan pembelajaran bagi pergerakan politik Islam di Indonesia.
D. Studi Kepustakaan Kajian mengenai perubahan hubungan militer dan umat Islam, sejak awal masa revolusi kemerdekaan mengalami dinamika yang romantika yang sangat menarik perhatian banyak kalangan, bukanlah hal yang baru dalam khazanah kepustakaan politik Indonesia. Jika kita telusuri kepustakaan mengenai militer dan umat Islam di Indonesia, telah banyak penulis asing maupun lokal yang mengupas masalah tersebut, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun makalah. Namun demikian, kajian komprehensif yang mengupas secara menyeluruh mengenai 21
Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi (Jakarta: Magna Script, 2004), cet. 1, h. 73-75
16
perkembangan perubahan hubungan ABRI/TNI dan umat Islam – khususnya dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah– masih belum banyak dilakukan. Di bawah ini akan penulis sebutkan beberapa literatur (baik dalam bentuk buku atau skripsi) yang pernah membahas perihal perubahan hubungan ABRI/TNI terhadap umat Islam Indonesia. 1. Abdoel Fatah dengan judul buku Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, adalah judul disertasi S-3 di Universitas Kebangsaan Malaysia yang kemudian diterbitkan menjadi buku oleh LKIS pada tahun 2005. Buku ini dalam membicarakan sepak terjang TNI dalam peta perpolitikan Indonesia hingga reformasi internal yang dilakukan TNI dapat
dikatakan
lengkap.
Namun saya
menilai,
kekurangan buku ini adalah dalam hal keseimbangan informasi, data dan fakta mengenai banyak peristiwa yang dibahas. Karena buku ini terlalu banyak melihat dari sudut pandang kalangan internal militer. Hal ini dapat dimaklumi mengingat penulis dari buku ini adalah seorang anggota TNI Angkatan Laut. Dan dapat dipastikan kesan subjektif sangat kental dalam pembahasan buku ini. 2. Buku berjudul Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia (2005) dan Kesaksian Para Jenderal: Sekitar Reformasi Internal dan Profesionalisme TNI (2006), kedua buku ini ditulis oleh Yuddy Chrisnandi seorang anggota DPR yang cukup kritis. Khusus untuk buku pertamanya yang disebutkan di atas merupakan disertasi S-3 beliau di Universitas Indonesia dan diterbitkan oleh Pustaka LP3ES. Saya
17
mengakui, mungkin buku yang ditulis Yuddy ini merupakan buku yang paling pantas dijadikan rujukan primer jika kita ingin membahas persoalan seputar reformasi dalam tubuh TNI. 3. Untuk judul skripsi yang pernah mengulas permasalahan militer Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah skripsi yang ditulis oleh Ahmad Syauki dengan judul Konsep Hubungan Sipil-Militer
di
Indonesia Menurut A.H. Nasution dan ditulis pada tahun 2006. Dalam skripsi ini lebih banyak dibicarakan mengenai hubungan sipil-militer khususnya dalam pandangan A.H. Nasution. Yang menjadi titik tekan dalam skripsi ini adalah mengenai fakta sejarah yang ada, di mana militer sejak dahulu kala dapat memainkan peranan penting dalam setiap perebutan kekuasaan hingga Orde Baru. Dan Nasution adalah pelaku sejarah yang turut mengotaki terbentuknya kekuatan politik militer di Indonesia. Menurut saya skripsi ini belum menyinggung perihal hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia. 4. Skripsi kedua yang saya ketahui dan menjadikan militer sebagai latar belakang permasalahan utama adalah Saipul Umam dengan judul skripsi Militer dan Politik: Analisis Terhadap Peran Politik Militer Dalam Birokrasi Orde Baru pada tahun 2006. Skripsi ini menjadikan salah satu cabang yang dikuasai lembaga TNI secara penuh pada era Orba, yakni sistem birokrasi. Keterlibatan militer dalam politik yang sudah terlalu melebihi ambang kewajaran dapat dilihat dalam skripsi ini. Fokus utama Saipul adalah birokasi Orde Baru yang sudah dirasuki tangan-tangan
18
militer dan bagaimana dampak terhadap bangsa Indonesia. Sama halnya seperti skripsi yang pertama disebutkan, skripsi ini belum menyinggung persoalan aktual dari perkembangan TNI yakni tentang perubahan hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia. 5. Skripsi berikutnya yang di susun oleh Yusup Fadli adalah MILITER DAN POLITIK Suatu Tinjauan Atas Reformasi Internal TNI Dan Implikasinya Terhadap Transisi Demokrasi Di Indonesia 1999-2004. Di dalam pembahasan skripsi ini membahas keterlibatan institusi militer dalam belantara politik Indonesia membawa dampak yang begitu luas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tengah-tengah pusaran politik tersebut, kalangan militer kemudian menyalurkan syahwat politiknya dan menentukan arah bandul politik untuk melindungi kepentingan-kepentingan tentara.
Walaupun sudah cukup banyak literatur yang berbicara mengenai hubungan ABRI/TNI dan Islam, tetapi dalam studi yang ditulis dalam lingkup UIN perihal perubahan hubungan ABRI/ TNI terhadap Islam di Indonesia masih sangat terbatas. Dalam kerangka itulah penulis berusaha menempatkan penelitian skripsi yang dilakukan ini. Penulis meyakini bahwa persoalan yang akan diteliti dalam skripsi ini merupakan masalah yang aktual, relevan, dan belum secara khusus dikaji oleh penulis dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. E. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan datanya dilakukan dengan mencari data mengenai persoalan yang dibahas dengan
19
menelusuri melalui literatur buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya.22 Analisa data menggunakan
metode
deskriptif,
yaitu bersifat
eksploratif
dengan
menginterpretasikan data lalu mengambil sebuah konklusi. 23 Untuk pedoman penulisan skripsi, Penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta tahun 2007. F. Sistematika Penulisan Rencana sistematika penulisan skripsi ini terbagi dari lima 5 bab. Dari masing-masing bab merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dalam melihat persoalan yang dibahas dalam skripsi ini, yaitu tentang perubahan hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia, dalam hal ini diupayakan pemetaan secara teoritis untuk lebih memfokuskan penelitian. Dengan didukung oleh sebuah metode, penulisan skripsi ini berusaha menempuh langkah-langkah yang lebih efektif dan objektif dalam menelaah permasalahan skripsi ini.. Pertama, bab ini terdiri dari pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, pembatasan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Kedua, pembahasan dalam bab ini adalah pola hubungan militer dan Islam, yang terdiri dari, konsep hubungan militer dengan umat Islam Indonesia, serta militer di era transisi status quo. Bab kedua ini mengupas masalah Islam dalam pergumulan politik Orde Baru. Pada bab ini akan dikupas pergulatan politik umat Islam di Indonesia sejak awal Orde baru dan perkembangannya sampai pada akhir tahun 1980-an. Hal ini dikarenakan sebagaimana kita ketahui sepanjang masa tersebut 22 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 206 23
Arikunto, Prosedur Penelitian…h. 213
20
politik Islam di Indonesia mengalami masa-masa kesuramannya dan mendapatkan perlakuan diskriminasi. Karena pergulatan umat Islam tersebut merupakan kelanjutan dari hiruk-pikuk dari politik Orde Lama, maka akan sedikit dikupas pula bagaimana posisi umat Islam pada masa Orde Lama, khususnya menyangkut peran partai politik Islam di Indonesia. Ketiga, pada bab ini akan dibahas tentang perihal keterlibatan TNI dalam politik Indonesia, yang berisi tentang historiografi berdirinya TNI, dan sejarah masuknya TNI ke dalam wilayah politik yang mengungkap tentang sepak terjang militer sejak awal pemerintahan Orde Baru, termasuk dilegalkannya konsep dwifungsi ABRI/TNI oleh DPR. Konsep ini yang kemudian melegalkan semua kegiatan militer baik dalam bidang social maupun politik, bahkan berlanjut dalam masalah bisnis. Perkembangan ini sebenarnya tidak sepenuhnya tumbuh pada masa Orde Baru. Fenomena yang mengarah pada peran ganda militer telah diperhatikan pada masa Orde lama juga. Oleh sebab itu, mengupas peran militer pada masa Soekarno menjadi sangat penting untuk melacak akar keadaan sejarah keterlibatan militer dalam kehidupan social politik bangsa indonesia. Keempat, sebagai bab inti, bab ini secara khusus akan mengupas pola perubahan hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia pada awal Orde Baru. Pada bab ini akan diungkap pasang surut hubungan di antara kedua kelompok tersebut. Hubungan yang terjadi secara pasang surut ini tidak hanya terjadi pada masa Orde Baru, tetapi juga terjadi pada masa Orde Lama. Dari pengungkapan sejarah ini maka akan ditemukan titik temu hubungan di antara kedua kelompok tersebut dilihat dalam lintasan sejarah perjuangan bangsa
21
Indonesia, (baik pada
awal kemerdekaan maupun
dalam
perkembangan
selanjutnya). Sekaligus analisa tentang militer dan umat Islam menjelang masamasa berahirnya pemerintahan Orde Baru sampai awal Reformasi. Pada bab ini sekaligus diungkap berlangsungnya peristiwa yang menunjukan bagaimana pola hubungan antara militer dengan kelompok Islam di Indonesia sebagai indikator tingkat hubungan di antara mereka. Walaupun tidak semua bukti menunjukan kenyataan pola hubungan yang terlihat “harmonis” tetapi paling tidak, akan terlihat adanya pola hubungan baru antara militer dengan kelompok Islam. Kelima, bab ini adalah penutup sebagai konklusi dari keseluruhan analisa skripsi ini, yang berisikan kesimpulan dan saran-saran. Pada bab ini mengupas inti kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian skripsi ini yang menyangkut perubahan hubungan antara militer dengan umat Islam di Indonesia periode 19901998. Di samping itu akan disinggung secara kritis dampak langsung dari hubungan tersebut bagi kehidupan politik bangsa Indonesia yang “plural dan heterogen”, serta rencana agenda ke depannya yang harus direalisasikan oleh militer dan umat Islam di Indonesia dalam rangka mambangun system yang profesional di dalam organisasi militer dan membangun kehidupan yang madani bagi umat Islam Indonesia.
22
KETEGANGAN: Awal mula persinggungan umat Islam dengan militer adalah adanya “kecelakaan sejarah” yang merupakan konsekuensi dari perbedaan strategi dalam melawan kekuatan penjajah Belanda, yang kemudian menjurus ke arah konflik terbuka dan berkepanjangan antara ABRI/TNI (pemerintah) dengan beberapa tokoh perjuangan dari umat Islam yang kemudian berakibat pemberian cap “anti kebangsaan” kepada umat Islam yang dikesankan sangat tipis wawasan kebangsaannya. dan berujung pada tindakan pemberontakan disebagian kelompok umat Islam yang mendapat label separatis oleh militer…karena pada saat Orla, Soekarno masih terus berjuang untuk menjadikan Pancasila sebagai ideology tunggal dan menyingkirkan symbol-simbol Islam. Soeharto menganggap perlu penjinakan terhadap kekuatan politik Islam, yaitu dengan cara peminggiran politik Islam yang menimbulkan sikap sinis dan akahirnya Negara berhasil menundukan Islam secara politik, ideology dan intelektual. Hal itu dikarenakan pemerintahan rezim militer ORBA belajar dari pengalaman ORLA, bahwa kekuatan politik Islam mampu
membuat ketidakstabilan
politik dan
pemerintahan,
(ex):
Demonstrasi, perombakan cabinet, stabilitas hankam dan ekonomiyang menghambat laju pembangunan. Akibatnya selama puluhan tahun sejak kemerdekaan di proklamasikan, penindasan, peminggiran, diskriminasi dan ketidakadilan sosial menjadi fenomena sehari-hari yang tidak asing lagi. Bukan soal penindasan fisik akibat totalitarianisme orde baru tapi
23
juga soal penindasan kultural, symbol-simbol yang sesungguhnya belum pernah hilang dari kesadaran politik kolonial. Keibijakan Orba pada umat Islam hanya pada ranah ibadah ritual karena sejak masa rezim militer Orba, Pancasila sering dihadapkan dengan komunisme dan Islam. Bagi agenda politik Orba adalah depolitisasi (pembatasan ruang gerak) Islam, proyek ini didasarkan pada asumsi Islam yang kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modernisasi dan pembangunan. Hal ini yang menjadikan Orba bersikap memingggirkan politik Islam ketika Islam memasuki ranah doktrin ideology politik yang tercermin dalam “militansi Gerakan, islam dijadikan ideology manifest (nyata/wujud) dalam artian yang mengancam eksistensi rezim yang diwujudkan dalam bentuk komando Jihad, keberadaan symbol-simbol Islam dan kelompok Islam radikal. Hal ini sama dengan kebijakan Belanda yang mengebiri politik Islam sambil mempromosikan Islam Kultural. Belanda menganggap Islam sebagai kekuatan antikolonialisme. Karena itu Orba dengan rezim militernya membuat kebijakan yang mempromosikan Islam sebagai agama, membatasi pada tempat ibadah saja dan menjauhkan dari Negara. Dan dalam hal ini Islam diposisikan sama dengan PKI, bahkan lebih berbahaya. Sejak saat itu, keadaan umat Islam menjadi menjadi kekuatan yang selalu dipinggirkan secara politik dan kemesraan yang pernah terjalin dengan militer menjadi retak yang dalam sejarahnya dengan bantuan umat Islam ABRI/militer mampu menumpas PKI.
24
Militer pada tahun 1970 sampai awal 1980-an selalu menciptakan musuhmusuhnya sendiri, dengan beragam istilah untuk kemudian dihancurkan. Istilah umum yang sering dimunculkan adalah ekstrim kiri untuk menunjuk orang-orang yang terkait dengan Komunisme, dan ekstrim kanan untuk menuduh kelompok Islam radikal (Islam Politik). Tidaklah mengherankan jika pada masa Orba militer sangat menghegemoni kehidupan
berbangsa
pembangunan
militer
dan
bernegara.
melakukan
Atas
nama
penetrasi
ke
stabilitas
dan
masalah-masalah
kemasyarakatan, persolan politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, organisasi, dll. Tak jarang militer melakukan tindakan refresifitas terhadap para aktivis yang melakukan penolakan atas nama kebijakan Orba. Rezim militer yang tercermin dalam Orba Soeharto lebih dekat pada kekuatan
politik
dan
militer
Abangan
dan
non-muslim
yang
mengakibatkan kekuatan politik Islam terpinggirkan, dominasi elit militer yang dipimpin dari kalangan abangan dan non-muslim yang diwakili oleh Ali Moertopo, Soedomo, L.B. Moerdani mereka adalah orang-orang terdekat Soeharto dan memiliki peran yang sangat dominan dan strategis dalam pemerintahan Orba dan secara langsung mempengaruhi sikap militer terhadap umat Islam. hal ini yang menjadikan umat Islam menjadi radikal seperti tragedy Tanjung Priok, Lampung, Aceh dll…hal ini karena tingkat sikap represif militer terhadap umat Islam yang dirasakan sudah melewati ambang batas.
25
HARMONIS: 1970-an awal dari Tampilnya pembaharuan pemikiran politik Islam, perubahan yang terjadi tidak lepas dari peran serta para cendikiawan muslim yang berhaluan modernis. Yang sejak awal yang sejak awal telah memperjuangkan tersebarnya wacana Islam yang
lebih inklusif yang
menekankan pada nilai-nilai substansi ajaran Islam yang lebih universal daripada perjuangan yang bersifat formalistic-legalistik. Bagi mereka tokoh yang berhaluan modernis sosialisasi ajaran Islam bisa dilakukan melalui semua lembaga dan organisasi. lembaga pendidikan yang ditempuh oleh umat Islam telah menawarkan atmosfir baru bagi pencerahan pemikiran dalam memahami berbagai persoalan, termasuk masalah Negara dengan agama. Dalam hal ini pemikiran politik Islam yang berkembang kuat sejak awal adalah bahwa persoalan agama dan Negara merupakan realitas tunggal, keduanya memiliki hubungan yang menyatu untuk menegakan hukum atau ajaran Tuhan di muka bumi. Hubungan yang sempat terjadi tidak harmonisnya antara militer dengan umat Islam lebih disebabkan sebagai akibat dari keadaan struktur dan system (asas tunggal, fusi partai) politik pada saat itu yang menghendaki umat Islam sebagai kelompok yang marginal dan terbuang. Kedekatan hubungan yang dilakukan militer ditanggapi dengan proposional oleh kelompok muslim sebagai upaya untuk ishlah (melupakan masa lalu yang penuh dengan konflik) dan bersama-sama antara militer dan umat Islam membangun cita-cita bangsa.
26
Sejak naiknya beberapa militer yang memiliki latar belakang keislaman, muncul istilah militer hijau. Sulit dihindari bahwa sejak pertengahan tahun 1990-an semarak keagamaan di lembaga militer sangat terlihat. Hal ini merupakan bagian dari semarak gairah keagamaan yang muncul di berbagai tempat maupun lembaga. Kemesraan antara umat Islam dengan pemerintah, telah banyak berdampak dalam institusi militer. Militer tidak lagi memahami Islam sebagai agama radikal dan mengancam integrasi, tetapi sebagai suatu ajaran yang bisa
menunjang terhadap
laju
pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintahan Orde Baru. Feisal Tanjung menyebutkan bahwa kesatuan militer dengan umat Islam sebagai penduduk yang mayoritas negeri ini telah berurat akar dalam sejarah bangsa. Oleh sebab itu, militer dan umat Islam lah yang paling menderita bila terjadi malapetaka.
BAB II KEBERADAAN UMAT ISLAM DI PENTAS POLITIK
A. Pergerakan Politik umat Islam pada masa penjajahan Gerakan sosial politik pertama kali dipelopori oleh Syarikat Dagang Islam (SDI) tahun 1905 yang kemudian melahirkan Sarikat Islam (SI) sebagai gerakan partai politik Islam pertama kali di Indonesia kemudian berubah menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Peran politik umat Islam melalui partai-partai Islam dapat lihat, sejak masa Kolonial Belanda sampai kemerdekaan. Selain Sarekat Islam (SI) sebagai partai politik Islam pertama pada masa Kolonial Belanda, muncul juga Partai Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) dan Partai Islam Indonesia (PII). Bersama dengan kedua partai Islam tersebut, Sarekat Islam (SI) mengisi kehidupan politik umat Islam di Indonesia. Di antara ketiga partai itu, Sarekat Islam (SI) yang paling berperan dan dianggap sebagai partai umat Islam pada waktu itu. Setelah Belanda angkat kaki dari bumi Indonesia, datanglah Jepang dengan membawa janji-janji. Kehadiran Jepang, tak beda dengan pendahulunya sebagai penjajah bangsa Indonesia dengan mengeksploitasi umat Islam dan rakyat secara keseluruhan. Perbedaan diantara keduanya terletak pada akses yang diberikan. Pihak Jepang lebih terbuka menerima umat Islam dan memberikan akses secara terbuka bagi umat Islam untuk bergabung dalam kantor-kantor Departemen Agama bentukan Jepang seperti shumuka dan shumubu. Sedangkan
pihak Belanda tidak memberikan akses. Pada masa penjajahan Jepang, Masyumi
21
22
dibentuk pihak Jepang sebagai pengganti MIAI, dengan harapan Masyumi dapat menjadi wadah penyalur aspirasi umat Islam dan sekaligus sebagai mediator komunikasi antara pihak Jepang dengan rakyat Indonesia, khususnya umat Islam. tapi Masyumi bentukan Jepang tidak berperan sebagaimana yang diharapkan. Tetapi ada keuntungan dari Jepang yang diperoleh rakyat Indonesia khususya umat Islam yaitu pelatihan kemiliteran yang dapat digunakan untuk merebut dan meraih kemerdekaan. “Anda tidak dapat membayangkan bagaimana hebatnya kepanikan dalam bulan Mei dan Juni (1913) di kalangan orang Eropa mengenai Sarekat Islam” (Van der Wal) (Firman Noor, CIDES) Kepanikan luar biasa yang dirasakan oleh orang Eropa di nusantara saat datangnya institusi pengiring “ratu adil” di lembaran baru abad ke-20 merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dinafikan. Seperti gelegar auman harimau di tengah lelapnya malam, hadirnya pergerakan anak bangsa itu telah menciutkan hati kaum penjajah yang selama bertahun-tahun hidup dalam ketenangan tanpa ganguan berarti. Tidak pernah sebelumnya terjadi kekalutan yang demikian besar menghinggapi hati kaum penjajah. Tidak pula saat sekelompok elit Priyayai Jawa yang berkumpul di Batavia mendeklarasikan organisasi yang mereka namai Boedi Oetomo (BO) yang menuntut perluasan hak ajar bagi priyayi rendahan pada tahun 1908. 1 Barulah ketika mulai banyak
1
Bagi Penguasa Belanda Boedi Oetomo sama sekali tidak membahayakan. Selain karena berisikan kalangan pegawai pemerintah yang loyal (yang lebih suka berbahasa Belanda atau Jawa ketimbang Bahasa Indonesia dalam pertemuan-pertemuanya), tujuan organisasi ini pun dianggap tidak mengusik sama sekali penjajahan (karena hanya mencakup masalah perbaikan pendidikan yang sebenarnya telah dicanangkan oleh Belanda dengan politik etis) dan bersifat segmenter (tidak
23
pribumi – yang dianggap sebagai inlander, jongos, warga negara kelas terendah – melakukan perlawanan dengan berteriak “Sarekat Islam!” angin perubahan (the wind of change) dengan lambat tapi pasti mulai dirasakan. Menurut APE Korver fenomena kepanikan yang belum pernah dirasakan sebelumnya menunjukan awal dari datang sebuah masa menuju pembebasan nasional,
sekaligus
menjadi
bukti
bagaimana
sebuah
organisasi
yang
mengatasnamakan Islam mampu berperan sebagai motor emansipasi dalam perjuangan mengukuhkan jati diri dan merebut keadilan. 2 Sambutan yang demikian antusias dan cepat di seluruh penjuru tanah air, mulai dari Aceh, Palembang, Banten, Jakarta, Surabaya, Balikpapan, Makassar, hingga Donggala, menjadi bukti tingginya pengharapan anak bangsa terhadap SI. Fenomena ini telah
memaksa
Gubernur
Jenderal
Idenburg
dan
aparatnya
meningkat
kewaspadaan, sembari bertanya-tanya mengapa hal itu dapat terjadi. Hal yang pasti, jika BO mendapatkan pengakuan dengan mulusnya, maka SI dipaksa dipecah sejak kelahirannya. Dan tidaklah karena potensi pemersatunya itu, Idenburg melakukan kebijakan devide et impera terhadap SI. Dalam semangat zaman yang terbukti tidak akan pernah kembali itu, kehidupan berbangsa dan bernegara diwarnai oleh deru nafas milenaristis dari peluh keringat kaum tertindas bumiputera. Rasa persatuan dan kesadaran perlawanan “kaum koeli” memasuki tahapan baru yang dipicu dengan munculnya SI, sebuah perserikatan yang “tidak umum” dan radikal dimasanya. Sebuah perserikatan yang mampu menarik perhatian hampir semua golongan tidak saja berupaya menjadi alat persatuan seluruh anak bangsa) dengan hanya memfokuskan bagi upaya peningkatan perbaikan hidup orang Jawa dan Madura 2 A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil? (Jakarta: Grafiti Press, 1985), h. 1
24
kalangan Islam puritan, kaum pedagang dan rakyat jelata, namun pula orang abangan, para priyayi progresif dan bangsawan. Sebuah perkumpulan yang bersifat lintas-etnis karena tidak saja menggugah dan meningkatkan pengharapan orang Jawa, Madura, Pasundan, maupun Betawi, namun pula beragam suku mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sunda Kecil hingga Sulawesi. Tidak itu saja, di dalam organisasi yang muncul di jantung Pulau Jawa ini, berkumpulah tokoh-tokoh besar pergerakan (yang belakangan kemudian menjadi ideologi dari berbagai macam keyakinan politik) seperti Samanhudi, R HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Abdoel Moeis, KH Ahmad Dahlan, sampai dr Sukiman, Kartosoewiryo, Ki Hajar Dewantara, Semaoen, Darsono. Semuanya mengusung sebuah keyakinan akan pembebasan, persatuan, perlawanan, dan kemandirian atas dasar identitas dan keyakinan bersama dalam SI, meski kemudian beberapa di antara tokoh itu keluar atau dikeluarkan. Dengan luasnya cakupan
dukungan
itu
tidak mengherankan
jika
pada
tahun
keempat
keberadaannya organisasi ini telah mendapatkan anggota sekitar 700.000 orang yang tersebar di 180 cabang.3 Sebuah prestasi yang secara nominal tidak ada tandingnya kala itu dan secara substansial telah mengkokretkan makna persatuan atas dasar rasa senasib sepenanggungan, bukan status sosial atau keetnisan.
3
Banyak versi mengenai jumlah anggoat SI dalam periode awalnya (1912-1916). Deliar Noer misalnya menyebutkan angka 860.000 terkait dengan mereka yang hadir dalam Kongres Nasional pertama pada tahun 1916. Namun angka 700 ribu nampak relatif masuk akal dengan demikian besar dan pesatnya pertumbuhan organisasi ini di seluruh Indonesia. Di Sumatera Selatan misalnya 1 dari 3 laki-laki bumiputera pada tahun-tahun tersebut diyakini adalah anggota SI
25
Meski kemudian mengalami pasang surut, 4 namun peran dari organisasi massa dan cikal bakal partai politik tertua di Indonesia itu sulit dipisahkan dari upaya menghadirkan persatuan Indonesia. Dalam organisasi inilah segenap asa anak bangsa terkumpul dan derap awal pergerakan kemerdekaan nasional berawal. Rezim waktu
pun
memperlihatkan
pandangan-pandangan SI
bagaimana
demikian relevan
sikap, keberpihakan
dan
dalam menyemai bibit rasa
kebangsaan, solidaritas dan persaudaraan di bumi pertiwi. Sebagaimana umum diketahui, bahwa pada hakekatnya kebangsaan atau nasionalisme memiliki banyak makna dan pengertian. Benedict Anderson misalnya melihat nasionalisme sebagai sebuah institusi imajinatif yang mengikat beberapa kelompok masyarakat yang kerap tidak saling mengenal atas dasar persaudaraan, yang dari sana kemudian terciptalah bayangan tentang sebuah kedaulatan dengan sebuah batasan teritorial tertentu.5 Anderson memaklumi bahwa ikatan persaudaraan itu dapat beragam pemicunya, namun hal itu menjadi fundamen mutlak yang harus ada dalam menciptakan komunitas imajiner yang disebut bangsa itu. Sedangkan dalam pandangan Montserrat Guibernau dan John Rex, sejalan dengan pandangan “bapak teori nasionalisme” Ernest Rennan, dengan dilandasi oleh semangat untuk mengedepankan hak-hak masyarakat pada wilayah politik tertentu, nasionalisme sejatinya merupakan “kemauan untuk bersatu tanpa paksaan dalam semangat persamaan dan kewarganegaraan (trans
4
Mengenai fase perkembangan organsisasi sampai dengan tahun 1945 ini lihat dalam Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 70 dan 114 5 Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso Editions and NLB), 1983
26
etnis, pen)”. 6 Sementara itu, Ernest Gellner mendefinisikan nasionalisme sebagai prinsip legitimasi politik yang meyakini bahwa unit-unit keetnisan dan unit-unit politik dalam suatu negara hendaknya harus saling selaras.7 Dalam batasan ini kesediaan bersatunya kelompok-kelompok etnis menjadi sebuah prasyarat bagi hadirnya sebuah entitas kebangsaan. Lebih lanjut Gellner mengatakan bahwa nasionalisme yang sepatutnya dikembangkan adalah sebuah nasionalisme yang menghargai
prinsip-prinsip
kemanusiaan,
dalam
sebuah
makna
yang
komprehensif. 8 Maksudnya adalah sebagai sebuah nasionalisme yang mengajak (participative), tidak diskriminatif dan produktif bagi nilai-nilai kemanusiaan dan kesejahteraan. Kearah itulah sebenarnya makna keindonesiaan itu tertuju karena sifatnya yang jauh dari semangat chauvinistik. Adapun pengertian nation (bangsa) menurut Gellner adalah kondisi di mana sebuah komunitas memiliki budaya yang sama, termasuk kesamaan dalam konteks sistem ide, simbol, perkumpulan dan cara bertingkah laku dan berkomunikasi, dan mengakui bahwa mereka terikat oleh persaudaraan atas dasar kebangsaan. 9 Makna generik yang bersifat antropologis ketimbang normatif ini cukup relevan digunakan untuk mendefiniskan bangsa di manapun berada. Meskipun perdebatan apakah bangsa itu merupakan produk zaman kuno atau efek modernisasi tidak tercakup dalam batasan ini, dari berbagai pandangan tersebut dapat dilihat sebuah benang merah bahwa semangat untuk rela bersatu dan kepentingan masa depan merupakan esensi dari sebuah bangsa. 6
Montserrat Guibernau dan John Rex (eds.), The Ethnicity Reader Nationalism, Multiculturalism and Migrations (Cambridge: Polity Press, 1997), h. 8 7 Ernest Gellner, Nations and Nationalism (Oxford : Basil Blackwell, 1983), h. 1 8 Ernest Gellner, Nationalism (London: Phoenix, 1998), h. 11 9 Ernest Gellner, Nationalism (London: Phoenix, 1998), h. 7
27
Tentu saja batasan kebangsaan di atas bukanlah sesuatu yang final. Beberapa imbuhan perlu dimasukan ke dalam batasan generik itu. Dalam konteks pergerakan nasional, maka persoalan kebangsaan sejatinya terkait pula dengan masalah pembentukan identitas nasional, dengan misalnya kesedian membuat batasan yang jelas antara “kita” dan “mereka” dalam berhadapan dengan kekuatan kolonial. Batasan ini dibutuhkan dalam konteks praktis terutama dalam rangka memperjelas identifikasi masalah dan arah perjuangan. Penumbuhan semangat solidaritas dan persaudaraan dalam payung luka sejarah yang sama juga tidak dapat dilepaskan dalam batasan ini sebab belakangan akan turut menentukan ruh dari bangun imajiner kebangsaan. Lebih dari itu, semangat kebangsaan itu terkait pula dengan upaya dan keinginan untuk melakukan pembebasan, emansipasi dan partispasi politik bagi seluruh rakyat dan komitmen penentangan atau perlawanan terhadap sistem kolonial yang menghisap. Kesemuanya itu pada akhirnya tidak lain ditujukan untuk membangun kedaulatan yang seluas-luasnya. Dan dari batasan-batasan tersebut seperti komitmen SI mengenai penumbuhan semangat kebangsaan akan dilihat dalam beberapa indikator perjuangan umat Islam masa penjajahan yang terwakili oleh gerakan SI. A.1. Pandangan dan Perilaku Kebangsaan SI Para pemerhati gerakan kebangsaan Indonesia secara umum meyakini bahwa Sarekat Islam, yang umum disepakati lahir pada tahun 1912, merupakan organisasi pertama yang bersifat lintas kelas dan etnis, bahkan ideologi. 10 Dalam
10
Mengenai sejarah pembentukan Sarekat Islam yang didahului oleh Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi yang dibentuk oleh H. Samanhudi 1905 dan juga belakangan oleh R.M Tirtoadisuryo 1910, di bilangan Bogor, lihat misalnya Deliar Noer, Gerakan Modern
28
kapasitasnya tersebut organisasi ini dipandang sebagai sebuah agensi yang memiliki karakteristik pemersatu yang berjiwakan semangat nasional. Jika Budi Oetomo (BO) dilihat oleh sebagian kalangan sebagai organisasi pergerakan yang cenderung bersifat elitis dan bahkan punya kecenderungan menjadi pendukung terbentuknya “nasionalisme jawa”11, maka Sarekat Islam merupakan organisasi yang berkontribusi dalam menegakan akar kebangsaan dan persatuan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam episode paling dinamis dalam sejarah pergerakan awal politik bumiputera pada awal abad ke-20, baik dalam bentuk pemikiran-pemikiran maupun aksi dan gerakan politik. Meski pada awalnya SI menolak disebut sebagai gerakan politik, hal itu sesungguhnya hanya merupakan pandangan sesaat yang segera saja
bermetamorfosis.
Bahkan George McTurner
Kahin,
dengan
menimbang situasi politik kolonial saat itu, melihat langkah awal SI itu hanya sekedar kamuflase atau strategi jangka pendek untuk menghindari tekanan pemerintahan kolonial pada masa-masa awal pembentukannya. 12 A.2. Islam dan Soal Kebangsaan Terlepas dari itu, satu hal yang nampaknya menjadi sandungan bagi SI untuk
sepenuhnya
diakui
sebagai
pergerakan
kebangsaan
adalah
soal
keislamannya. Oleh karenanya memahami ke mana arah mana Islam yang dimaksud dari organisasi ini adalah penting adanya, sebelum melihat fakta-fakta sejarah seputar nilai-nilai kebangsaan SI. Islam di Indonesia 1900-1942… h. 14-18. Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil? …h. 11-21 11
Lihat misalnya pandangan sedemikian dalam Syafiq A Mughni, “Munculnya Kesadaran Nasionalisme Umat Islam”, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Menjadi Indonesia. 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara (Jakarta: Mizan, 2006), h. 527 12 George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Cornell University Press, Itacha, 1952), h. 8
29
Para pengamat gerakan Islam di tanah air, nampak sepakat untuk menempatkan organisasi ini sebagai bagian dari barisan gerakan modern Islam (Islam modernis). Dengan kapasitasnya tersebut SI ditempatkan sama dengan organisasi semacam Muhammadiyah, Persis dan juga belakangan Masyumi. Dalam pemahaman kelompok modernis Islam dipandang lebih dari sekedar agama privat yang bersifat individualistik dan mengatur semata hubungan antara tuhan dan ciptaannya. Sebaliknya, Islam diyakini merupakan agama yang memberikan ruh (spirit), kebijakan (wisdom) dan arah (way) bagi kehidupan sosial dan konstruksi peradaban Dan Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan baik tersirat (substansi) maupun tersurat (formal) tentang pengelolaan sebuah kehidupan sosial dan politik yang sesuai dengan tuntunan nilai-nilai ketuhanan semasa hidupnya. Atas dasar itulah Islam dalam pandangan SI merupakan pedoman yang relevan bagi kehidupan sosial, termasuk juga politik bagi setiap muslim. Dengan batasan pemahaman itu nilai-nilai politik Islam, baik yang tertulis dalam Al-Qur’an maupun yang tercontohkan dalam Negara Madinah, seperti keadilan sosial, semangat pembebasan, pengutamaan musyawarah, pengakuan terhadap
pluralisme
dan persamaan
manusia,
serta
pengedepanan
rasa
persaudaraan, menjadi landasan berpolitik bagi setiap umatnya, tidak terkecuali SI. Secara umum nilai-nilai itu menjadi legitimasi yang paling fundamental bagi SI untuk mengokohkan perjuangannya. Dalam konteks pergantian abad 20, nilainilai itu semakin nyata dan relevan dalam upaya melakukan perlawanan terhadap sistem kolonial sekaligus sebagai modal perjuangan bagi ummat Islam pada khususnya dan kepentingan bangsa pada umumnya. Dalam memahami nilai-nilai
30
keislaman, di sisi lain, kalangan Islam modernis tidak a priori anti terhadap pandangan-pandangan Barat. Atas dasar itulah secara umum kalangan ini dapat menerima konsep-konsep politik Barat seperti kedaulatan rakyat, demokrasi, negara-bangsa, atau juga sosialisme. Sedangkan secara khusus terdapat enam hal yang melandasi digunakannya Islam dalam pergerakan politik Indonesia. Pertama, kenyataan historis bahwa rakyat dengan tokoh-tokoh pejuang yang mempertahankan wilayahnya melawan kekuatan kolonial adalah umat Islam yang dipimpin oleh figur-figur ulama ataupun bangsawan muslim. Tidak mengherankan jika di beberapa tempat hikayat perjuangan mereka disamakan dengan hikayat perang sabil. Kedua, secara demografis umat Islam dengan latar belakang budaya yang beragam, yang berserak mulai dari ujung barat hingga ujung timur nusantara adalah kelompok mayoritas bumiputera. Kahin mencatat setidaknya lebih dari 90% bumiputera saat itu adalah muslim. 13 Dengan kondisi sedemikian, Islam merupakan sebuah elemen yang berpotensi besar sebagai tali pengikat yang menyatukan kaum bumiputera dibandingkan ideologi apapun saat itu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tjokroaminoto bahwa Islam adalah sarana bersatunya beragam suku dan budaya yang terpecah-pecah. 14 Ketiga, secara matematis-empiris kelompok marginal yang paling merasakan penderitaan lahir batin dan terhinakan selama bertahun-tahun adalah umat Islam. Dan dengan makin tidak diindahkannya martabat dan nilai-nilai kemanusiaan, sesungguhnya telah pula melecehkan esensi ajaran Islam itu sendiri. 13
George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Cornell University Press, Itacha, 1952), h.50 14 Lihat dalam “Kaoem Moeda”, 6 Juli 1915 dalam Korver, h. 66
31
Oleh karenanya umat Islam dituntut untuk melakukan perenungan maupun aksi nyata dalam rangka mematahkan segenap bentuk penghisapan sesama dan pelanggaran hak asasi manusia yang notabene bertentangan dengan ajarannya. Keempat, dalam konteks ideologis menguatnya penetrasi Barat dan kepentingan kapitalisme telah secara lambat namun pasti menggoyahkan sendisendi kehidupan asali kaum bumiputera. Peran agama yang telah demikian mengakar lambat laun digantikan oleh sudut pandang dan identitas yang bertentangan dengannya. Disinilah Islam kemudian dipandang relevan untuk dijadikan simbol pemulihan identitas dan jati diri anak bangsa. Kelima, makin menguatnya fragmentasi sosial antara pribumi dengan kalangan warga negara kelas dua (oosterlingen), terutama kalangan Cina, membutuhkan landasan filosofis dan praktis bagi upaya perlawanan dan persatuan kalangan bumiputera di tengah persaingan yang demikian keras. Keenam, secara politis makin tidak dapat diharapkannya peran kalangan elit pribumi – terutama para priyayi pro-status quo, maupun kalangan agamawan konservatif – untuk bersama-sama kaum tertindas berjuang menuntut hak-hak bumiputera. Dalam situasi sedemikian maka umat Islam dan tokoh-tokoh SI berusaha untuk menjelmakan diri untuk dapat menjadi media bagi rakyat dalam merebut keadilan dan kebebasan melalui sebuah pendekatan keislaman yang lebih aktual. Dalam perkembangannya, Islam kemudian membawa peran yang unik dalam percaturan pergerakan kebangsaan. Di satu sisi dia kerap dicurigai sebagai kekuatan ortodoks yang bersikap intoleran dengan keberagaman dan reaksioner
32
terhadap kemajuan zaman. Dalam satu tarikan nafas tidak jarang Islam dan ummatnya kemudian dianggap sebagai penghalang bagi tumbuhnya sebuah kekuatan kebangsaan yang modern. Demikianlah misalnya dapat didengar pandangan Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, yang mengatakan: “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya...sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan”. 15 Namun di sisi lain, secara lebih objektif, Islam dan ummatnya dipandang sebagai pilar utama bagi perkembangan rasa kebangsaan di nusantara. Dalam pandangan yang kedua inilah dapat kita lihat simpulan para pemerhati sejarah pergerakan kebangsaan yang memberikan penghormatan yang lebih proporsional akan peran Islam dalam membongkar
kebekuan kolonialisme sekaligus
mengangkat setinggi-tingginya hakekat perjuangan bangsa atas dasar kepentingan nasional di Indonesia. Satu kesimpulan nampaknya dapat mewakili fenomena yang lebih objektif
tentang peran Islam dalam pergerakan kebangsaan
menyatakan bahwa Islam tidak hanya menekankan pentingnya persatuan, tetapi juga mengembangkan sentimen dan solidaritas anti-kolonialisme asing dan mengilhami berbagai gerakan masyarakat menentang penjajahan. Sejurus dengan pandangan itu Fred Von der Mehden meyakini bahwa: “Islam karena itu lebih dari sekadar agama, tetapi juga sebagai faktor yang mendorong ekspresi perlawanan
15
Rizki Ridyasmara, www.eramuslim.com
“20
Mei
Bukan
Hari
Kebangkitan
Nasional”,
dalam
33
terhadap dominasi ekonomi, superioritas sosial dan kontrol politik rejim kolonial”. 16 Terlepas dari perdebatan itu, dalam pemaknaan Islam yang dimilikinya dan peran penting kesejarahannya yang telah terekam dengan jernihnya, maka dibawah ini akan diulas pijar-pijar semangat kebangsaan SI. Pijar-pijar kebangsaan yang terefleksikan dari empat hal utama, yakni sebagai peletak dasar identitas dan perlawanan nasional, sebagai media penyadaran akan arti pembebasan dan emansipasi politik, sebagai motor pendorong solidaritas dan persaudaraan, dan sebagai penganjur yang gigih upaya pembentukan model ekonomi yang mandiri dan berkeadilan. A.3. Peletak Dasar Identitas Kebangsaan dan Perlawanan Sebuah upaya besar yang diraih oleh SI dalam masa awal keberadaannya adalah penyadaran tentang identitas nasional. Identitas ini dilihat baik dari sudut pandang keagamaan, yakni sebagai seorang muslim yang bersaudara yang tengah mengalami tekanan dari mereka yang beragama lain, dalam konteks kelas sebagai kaum tertindas yang menjadi korban penjajahan negeri asing dengan antekanteknya, maupun sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang direndahkan martabatnya baik oleh kaum imperialis kulit putih maupun kulit berwarna lainnya. Dengan mengusung nilai-nilai Islam terangkumlah tiga kesadaran di atas yang kemudian memunculkan kesadaran sebagai sebuah entitas kebangsaan yang satu. Adanya kesadaran akan entitas bersama yang satu inilah yang kemudian
16
Fred R. von der Mehden, “Religion and Nationalism in Southeast Asia: Burma, Indonesia, The Philiphines” (Madison and London: The University of Wisconsin Press, 1968), hh 12-3 dalam Mughni, op.cit, h 529
34
menyadarkan sebagian besar bangsa kita tentang konstelasi sosio-politik Hindia Belanda dan kedudukan mereka dalam konstelasi itu. Adanya
pemahaman
mengenai
letak
kedudukan
mereka
yang
sesungguhnya itulah yang pada gilirannya makin menguatkan makna dikotomidialektik antara “kita” (kaum terjajah) dan “mereka” (para penjajah) dan memantapkan semangat solidaritas dan persaudaraan, yang kemudian semakin mendekati makna kebangsaan sebagaimana yang dinyatakan baik oleh Anderson, Gellner maupun Renan. Di sini Islam, sebagai sebuah agama menjadi selfassertion dalam melawan rejim kolonial. Demikianlah SI dengan prinsip “nasionalistisch-islamistisch” kemudian menjadi tumpuan bagi kerumunan mayoritas warga Hindia Belanda yang saat itu seolah hidup nyaris dengan atau tanpa kebanggaan identitas. Dan dengan semangat identitas baru itu SI tidak saja mampu mencanangkan sebuah upaya penyadaran untuk tidak lagi terpecah-pecah baik atas dasar status maupun etnis, namun pula menumbuhkan semangat perlawanan atas dasar kesadaran identitas itu. Disini berlakulah hukum identitas di mana adanya identitas akan membawa kebanggaan, kesetiaan sekaligus kesediaan untuk berkorban para pemiliknya. Rasa kebanggaan akan identitas itu dalam SI tercermin misalnya dari penggunaan bahasa Indonesia dalam pertemuan-pertemuan organisasi, Anggaran Dasar (statuten), dan dokumen-dokumen resmi;17 digunakannya istilah “kongres nasional” dalam acara pertemuan tahunan sejak 1916 yang memperlihatkan komitmen peruntukan SI bagi seluruh bangsa dan sebagai cerminan perjuangan 17
Penggunaan Bahasa Indonesia terlihat bukan sesuatu yang istimewa dalam kehidupan berorganisasi saat ini, namun pada masa itu halaman tersebut dipandang sebagai suatu keradikalan.
35
menuntut pemerintahan nasional sendiri, upaya yang gigih untuk meluruskan salah pengertian tentang jati diri orang Indonesia yang kerap direndahkan dan dipermalukan, sampai cita-cita yang disampaikan dalam pidato-pidato resmi tokoh-tokoh SI seputar kedaulatan bangsa Indonesia yang suatu saat nanti akan dapat diraih. Keinginan untuk merdeka itu dapat misalnya dilihat dari cuplikan pandangan Tjokroaminoto yang mengatakan di suatu saat nanti “tak boleh tidak kita kaum Muslim mesti mempunyai kemerdekaan umat atau kemerdekaan kebangsaan dan mesti berkuasa atas negeri tumpah darah kita sendiri”. Kesadaran semacam inilah yang menurut Kahin memperlihatkan agenda politik SI yang menghendaki pemerintah sendiri dan menuntut kemerdekaan sepenuhnya dari kaum penjajah. Sedangkan ekspresi semangat perlawanan dengan sikap menentang setiap kebijakan yang dianggap merugikan bumiputera yang secara kontinu dilakukan baik oleh Tjokroaminoto maupun Moeis dalam sidang-sidang Volksaard. Puncaknya adalah pada tahun 1921 ketika SI keluar dari Volksraad, sebuah instituisi perwakilan yang disebut oleh Agus Salim sebagai “komidi omong”. Bahkan sebelumnya Salim, sebagai tokoh teras SI menggunakan bahasa Indonesia dalam sidang Volksraad sebagai simbol protes terhadap tidak dipenuhinya tuntutan bumiputera. Tercatat dalam sejarah bahwa apa yang dilakukan Salim itu merupakan kali pertama bahasa Indonesia diperdengarkan secara formal dalam forum resmi Volskaard. Karakter perlawanan SI terlihat pula dengan kesediaan membela hak-hak pribumi dari keculasan sebagian saudagar Cina maupun kesewenang-wenangan
36
para pejabat Belanda, dengan kesediaan melakukan bentrok fisik hingga menjadi motor gerakan pemogokan buruh dan pekerja di beberapa jawatan. Selain dalam bentuk fisik, perlawanan dilakukan SI melalui opini di surat kabar seperti Kaoem Moeda, Pantjaran Warna, Sarotomo ataupun Oetoesan Hindia yang menentang dan mengkritisi setiap upaya mengedepankan kelemahan maupun stereotype yang tidak benar tentang pribumi, yang sering digambarkan sebagai “pemalas”, “jorok”, atau bahkan “primitif” oleh pers Eropa di Indonesia. 18 Dengan sikapnya inilah SI tengah mengasah diri untuk dapat memberikan alternatif pandangan dan sikap berdasarkan kepentingan dan landasan identitas kaum bumiputera. Berbeda dengan SI, BO tidak secara utuh memberikan rasa penguatan identitas keindonesiaan. Dalam Statuten Pasal 2 BO dikatakan bahwa “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis” (de harmonische ontwikkeling van land en volk van Java en Madura). Bahkan sebagai organisasi yang dibentuk oleh Priyayi yang pada umumnya masih setia dengan Kerajaan Belanda, BO tidak dialamatkan untuk menandingi atau bahkan menggantikan kedudukan Belanda. Bagi para tokohnya, BO sadar bahwa baik pada masa-masa senang maupun susah kaum pribumi Hindia Belanda harus tetap turut dengan keinginan dan kepentingan induk. Oleh karena itu, tidak saja setiap upaya radikal harus dijauhi, namun pula sedapat mungkin membela kerajaan Belanda manakala mendapat serangan dari pihak asing tanpa syarat. Demikianlah ide tersebut dapat dilihat dari pandangan tokoh BO Dwijosewoyo yang memandang wajib hukumnya rakyat Jawa membela
18
A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil?.....h. 44
37
Belanda dalam menghadapi kekuatan agresor pada Perang Dunia (PD) I. Dan memang dalam konteks pergerakan nasional sejatinya baru pada tahun 1918 BO menunjukan sikap perlawanannya dengan bergabung dalam radical concentrasi sebuah sayap sosialis dalam Volksraad. Sedangkan kesediaan BO untuk lebih sungguh-sungguh membuka diri bagi semua kalangan baru dilakukan sekitar tahun 1930-an. 19 A.4. Icon Pembebas dan Emansipsi kaum Bumiputera Dalam masa ketertindasan yang sudah akut yang melumpuhkan semangat hidup pada awal abad ke-20, SI muncul sebagai pemberi makna akan kehidupan. Dalam konteks psikologis yang mirip dengan yang dialami oleh rakyat Jerman menjelang kebangkitan NAZI dengan tokoh utamanya Adolf Hitler,20 SI dan Tjokroaminoto mampu menggugah dan menumbuhkan kembali asa kaum pribumi. Hal ini belakangan menyebabkan tokoh-tokohnya seperti Tjokroaminoto di Jawa dan R. Gunawan di Sumatera Selatan muncul sebagai sosok yang mesianistik. Tjokroaminoto bahkan dianggap sebagai “Ratu Adil” pembawa kejayaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat sebagaimana Ramalan Joyoboyo. Sehubungan dengan itu diberitakan di Situbondo misalnya massa yang menyemut bahkan rela mencium kaki Tjokroaminoto untuk mendapatkan berkahnya, suatu hal yang amat tidak disukai oleh si pemiliki kaki. Fenomena kecil itu sekadar memperlihatkan bagaimana kepercayaan dan pengharapan yang diberikan rakyat kepada SI cukup besar, jauh lebih besar dari yang didapatkan oleh organisasi
19
RZ Leirissa, Terwujudnya suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950 (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), h. 47 20 Mengenai pemaparan analitis akan situasi ini lihat misalnya Eric Fromm, Escape From Freedom (New York: Avon Books, 1965)
38
semacam BO. Hal ini terbukti kemudian dengan cepatnya pertumbuhan cabangcabang dan keanggotaan SI di hampir seluruh pelosok Hindia Belanda. Fenomena asing di tanah jajahan inilah yang kemudian meresahkan banyak kalangan reaksioner, termasuk para priyayi kulit coklat. 21 Menurut Kim So Yeon, dengan kemampuan menempatkan diri sebagai media “pengumpul asa anak bangsa”, SI dapat dikatakan sebagai organisasi pertama di nusantara yang bersifat agensi, yang berperan sebagai media yang mampu menyatukan dan menyalurkan aspirasi rakyat Indonesia dimasanya.22 Fenomena itu bukannya tidak disadari oleh para pimpinan SI, yang kemudian meresponnya sebagai sebuah penghargaan dan tanggung jawab. Rasa tanggung jawab itu tercermin dengan tidak saja mendidik anggota-anggotanya untuk menjadi figur-figur tangguh yang bersedia memperjuangan kepentingan kaum pribumi, namun lebih dari itu menjadikan upaya pembebasan dan emansipasi politik rakyat sebagai agenda pergerakan, meski kerap dilakukan secara terselubung. Dalam konteks semangat pembebasan, prinsip yang dikedepankan oleh SI adalah keyakinan bahwa setiap manusia pada dasarnya sama. Atas dasar kesamaaanya itu maka setiap manusia bebas untuk melakukan apapun sesuai dengan kepentingan dan kehendaknya. Oleh karena itu merupakan kewajiban moral bagi setiap muslim untuk turut serta dalam segenap upaya membebaskan manusia dari sistem yang mengungkung, diskriminatif dan melumpuhkan 21
Dalam kenyataanya lebih banyak pamong praja yang tidak mendukung atau anti-SI ketimbang bersikap positif terhadap organisasi yang dianggap “membahayakan ketenangan” itu. Lihat sikap para pamong praja dalam Korver, op.cit, h. 24-5 22 Kim So Yeon, Makna dan Keterbatasan Sarekat Islam dalam Pergerakan Nasional, tesis (Depok: Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, 2003)
39
semangat persamaan. Dalam hal ini SI tidak bersikap pasif dan nerimo demi melihat realitas kehidupan yang diskriminatif pada masa kolonial itu. Dalam laporan keterangan mengenai SI pada tahun 1913 disampaikan bahwa para elit organisasi menekankan berkali-kali bahwa “Sang manusia rendah diri” (pribumi, pen) harus melenyapkan kesadaran rasa rendah dirinya terhadap orang Eropa dan bangsa Timur Asing”. 23 Dapat diduga dengan semangat pembebasan inilah agenagen komunis, meski dengan alasan ideologis yang berbeda, merasa sejalan dan nyaman untuk menjadi bagian dari SI. Begitu pula sebaliknya, bagi sementara anggota SI yang tidak terlalu mendalam pemahamannya tentang Islam, Marxisme dipandang sebagai ajaran yang sah saja digunakan sebagai “landasan ilmiah” perjuangan pembebasan. Sementara dalam konteks emansipasi politik, SI memandang hal tersebut sebagai keharusan sejarah. Bagi SI, bentuk pemerintahan yang nantinya harus disusun dalam Indonesia Merdeka adalah pemerintahan perwakilan yang berparlemen. Dengan kata lain, SI sejatinya merupakan pendukung utama tegaknya demokrasi, yang menghargai arti kedaulatan rakyat dan persamaan.24 Naluri demokratis ini dapat dimaklumi hadir sebagai respon atas model pemerintahan draconian-kolonial,
yang sama
sekali tidak mengindahkan
kepentingan dan aspirasi rakyatnya. Dan dalam situasi sedemikian itulah penghisapan demi penghisapan yang membangkaikan anak bangsa berlangsung dengan marak dan sistematisnya.
23
A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil?.....h. 50 Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan (Semarang: IKIP Semarang, Press, 1995), h. 65 24
40
Sebagai cerminan dari upaya membebaskan bangsa dari keterkungkungan politik SI mendukung setiap upaya yang memungkian terakomodirnya aspirasi dan kepentingan rakyat banyak, termasuk upaya yang datang dari pihak kolonial sekalipun. Atas dasar itulah SI pada awalnya memandang positif berdirinya Volksaard, meski tetap diliputi rasa curiga beberapa anggota-anggotanya termasuk Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Dan dalam institusi Volksaard itulah SI, sebelum akhirnya mengundurkan diri pada tahun 1924, benar-benar menunjukan
kepada
semua
pihak
sebentuk
komitmen
untuk
terus
memperjuangkan hak-hak kaum tertindas dan menuntut lebih luas lagi hak-hak perwakilan bagi bumiputera dan pemerintahan sendiri (zelfbestuur). Komitmen untuk meluaskan lagi emansipasi rakyat juga tercermin dari sikap dan pandangan-pandangan tokoh SI dalam pertemuan-pertemuan Indie Weerbaar Actie (Aksi Ketahanan Hindia). Dalam pertemuan-pertemuan itu, berbeda dengan BO, SI secara tegas menyampaikan satu syarat mutlak berupa perluasan hak-hak politik pribumi jika keinginan Kerajaan Belanda untuk mendapatkan dukungan penuh rakyat Hindia Belanda dalam menghadapi PD I ingin terpenuhi.
Dalam
pertemuan-pertemuan
itu
SI bersikukuh
bahwa
“pemulihan kesamaan derajat” dan “keharusan rakyat Indonesia memiliki hak bicara” merupakan suatu hal yang logis didapatkan oleh rakyat bumiputera sebagai bagian dari upaya mempertahankan tanah air dari serangan musuh. 25 SI dengan cerdas melihat kebutuhan kolonial untuk mendapatkan bantuan dari negeri jajahan sebagai peluang untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih baik terutama
25
A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil?.....h. 58
41
menyangkut hak-hak politik, termasuk dapat mengurus dan menentukan nasibnya sendiri. Disamping itu dengan jitu memaknai ketahanan sebagai juga kemampuan untuk memenuhi segala hajat negeri tanpa bergantung pada negeri lain yang berarti sebentuk kemandirian. Sementara SI demikian memperhatikan perjuangan politik, BO sebagai organisasi kaum priyayi yang memfokuskan diri pada soal-soal rasionalitas pendidikan, nampak belum melihat kemandirian politik seluruh anak bangsa sebagai sesuatu yang benar-benar penting dan mendesak. Bahkan, dari sikap komunitas priyayi sebagai elemen utama pendukung BO, dengan mengutamakan prinsip harmonis-statusquois, terlihat gestur penolakan upaya emansipasi politik itu. Hal ini wajar mengingat salah satu elemen yang akan segera tergerus manakala hak-hak berpolitik rakyat terakomodir dengan seksama adalah diri mereka sendiri. Dalam atmosfir kepolitikan priyayi dan BO semacam itu tidaklah mengherankan jika apa yang dikehendaki oleh SI dianggap sebagai hal yang aneh dan radikal. A.5. Pendorong Persaudaraan dan Solidaritas Anak Bangsa Berdasarkan Statuten SI persoalan persaudaraan merupakan hal yang penting adanya. Disebutkan bahwa tujuan SI adalah bergaul dalam persaudaraan dan saling bantu tanpa membedakan asal bangsanya. Rasa persaudaraan ini tidak dapat dipungkiri dilandasi oleh prinsip-prinsip ajaran agama Islam, yang menekankan persaudaraan atas dasar kesamaan agama (Islamic brotherhood). Dengan rasa persaudaraan ini ditekankan sebuah komitmen tanpa pamrih untuk bergaul dan memperjuangkan kepentingan bersama. Dan ikatan primordial dalam
42
kasus SI amat kuat menyentuh kesadaran untuk dapat berbuat sesuatu atas kepentingan kolektif. Cikal bakal kebangsaan yang dilandasi oleh semangat sedemikian sejatinya akan jauh lebih kuat dan bermakna ketimbang yang dilandasai oleh kepentingan pragmatis-materialistis semata. Implementasi dari upaya mendorong solidaritas dan persaudaraan itu tercermin setidaknya dari aksi-aksi solidaritas maupun melalui pidato-pidato para tokohnya maupun tulisan-tulisan kritis di beberapa media massa mempersoalkan dan menyoroti banyak praktek dan ketimpangan yang merugikan pihak bumiputera. Aksi-aksi solidaritas itu diantaranya terkait dengan soal diskriminsai perlakukan hukum, ketimpangan sistem penggajian, perlakuan curang para saudagar Cina, hingga persoalan yang menyangkut harkat perempuan pribumi yang dijadikan gundik oleh pejabat-pejabat kolonial. Tidak jarang dalam menggalang solidaritas itu datanglah berduyunduyung anggota SI dengan jumlahnya yang bisa sampai ratusan menyambangi pihak yang membikin masalah dengan orang pribumi. Rapat-rapat raksasa kerap juga digelar sebagai media unjuk solidaritas atas satu kasus atau peristiwa yang merugikan masyarakat umum atau anggotanya. Tidak itu saja semangat solidaritas dan persaudaraan juga diperlihatkan dengan bagaimana anggota SI rela mengeluarkan uangnya demi untuk melunasi hutang ataupun kepentingankepentingan sosial keagmaan anggotanya yang lain. Menurut seorang pengamat atas dasar semangat tolong menolong yang diliputi oleh semangat persaudaraan dan solidaritas inilah SI mampu menarik banyak massa dan membuat ribuan orang masuk dalam barisannya.
43
Jika SI mampu melampaui batas-batas primordial dari berbagai suku bangsa (dengan segenap adat kebiasaan yang dimilikinya) dan merangkumnya dalam semangat kebersamaan atas dasar agama, maka BO belum menampakan gelagat yang sungguh-sungguh menuju arah yang sama. Hal ini tidak mengherankan karena seputar tahun 1908 fokus perjuangan BO masih seputar kepentingan mengharmoniskan dan mensejahterakan kehidupan orang Jawa dan Madura (dan belakangan dengan alasan geografis orang Bali). Bahkan pada suatu kongres pada tahun 1917 perkumpulan ini dengan tegas menolak sebuah usul untuk membuka keanggotaan bagi penduduk daerah lain, termasuk orang Betawi. 26 Pandangan eksklusif itu menyebabkan konsep persaudaraan dan solidaritas masih terbatas di ketiga suku bangsa itu saja ataupun setidaknya masih dalam bentuk-bentuk wacana yang tidak begitu konkret. Atas dasar inilah pandangan MC Ricklefs yang menyatakan bahwa BO sejatinya tidak pernah memperoleh basis rakyat yang nyata di kalangan kelompok kelas bawah nampak masuk akal. 27 Dan dengan demikian pula kecenderungan longgarnya rasa persaudaraan dan solidaritas dalam konteks bangsa cenderung menguat, mengingat segmen tujuan dan lingkup subjek tujuan BO yang juga terbatas. A.6. Persoalan Pembebasan & Emansipasi Emanispasi terbatas yang melibatkan kalangan priyayi di Jawa dan Madura. Emansipasi pendidikan merupakan hal yang penting, namun sejatinya menjadi hambar mengingat pembatasan cakupan kelas dan ikatan etnisnya merupakan agensi bagi persoalan ini dengan melibatkan diri baik pemikiran 26
A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil?.....h. 270 MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Jogjakarta:Gadjah Mada University Press, 1991), h. 250 27
44
maupun aksi untuk membebaskan kaum pribumi dari tekanan sistem kolonial yang tidak adil, sekaligus mendorong terciptanya emansipasi politik bagi bangsa Indonesia.
B. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Demokrasi Parlementer Di masa Demokrasi Parlementer, perjuangan umat Islam diwujudkan dalam bentuk perjuangan partai-partai, partai-partai tersebut berjumlah empat partai Islam yang diwakili oleh Partai Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Tarbiyah Indonesia (PERTI). Pemilihan keempat partai ini didasarkan pada keikutsertaan mereka dalam beberapa cabinet masa Demokrasi Parlementer, baik sebagai anggota menteri yang mewakili partai duduk dalam kabinet, maupun sebagai pemimpin kabinet itu sendiri. Lewat mosi integral Mohammad Natsir dan kawan-kawan dalam parlemen, pada 1950 dibentuk Negara kesatuan Republik Indonesia di bawah payung UUDS 1950. Kedudukan presiden menurut UUDS adalah sebagai Kepala Negara symbol yang tidak memimpin pemerintahan secara langsung. Kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri. Untuk Negara kesatuan RI, sebagai Perdana Menteri dipilih Mohammad Natsir, berdasarkan prestasi politiknya berupa pengajuan mosi integral yang terkenal itu. Meskpiun tidak berjalan lama, kelompok Islam pernah memimpin kabinet. B.1. Kabinet Natsir 1950-1951 Kabinet yang dipimpin Partai Masyumi ini pertama kali terbentuk pada tahun 1950 di bawah pimpinan M. Natsir 1950-1951, kabinet Natsir jatuh pada
45
April 1951, kejatuhan kabinet ini, karena mosi tidak percaya yang dilancarkan oleh Hadikusumo. Mosi tersebut menuntut agar “Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 1950 tentang pemilihan anggota-anggota lembaga perwakilan daerah dicabut”. 28 Kemudian dilanjutkan dengan pengunduran diri para Menteri dari PIR, akhirnya M. Natsir mengembalikan mandatnya kepada Presiden. Dalam masa pemerintahannya, M. Natsir merangkul berbagai partai antara lain berasal dari: Masyumi, PIR, Demokrat, PSI, Parindra, Katolik, Parkindo dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). B.2. Kabinet Soekiman Wirdjosendjojo Setelah M.
Natsir
mengundurkan
diri,
maka
kabinet
Soekiman
Wirdjosendjojo diangkat menjadi Perdana Menteri kedua dalam Negara kesatuan tahun 1951-1952. Diantara kedua Perdana Menteri itu, jabatan Menteri Agama tetap dipegang oleh KH Wahid Hasjim (unsur NU dalam Masyumi). Hal ini terlihat Partai Masyumi masih memainkan peranannya sebagai orang nomor satu. Nasib Soekiman serupa dengan M. Natsir, karena kabinetnya tidak bertahan lama. Kejatuhan kabinet Soekiman disebabkan perjanjian “san francisco”29 yang dianggap cenderung berpihak kepada ke luar negeri (Amerika). Hal ini berarti “meninggalkan politik luar negeri bebas aktif” yang telah menjadi komitmen sejak tahun 1945. Kabinet Soekiman menggandeng partai-partai lain untuk duduk di dalam kabinetnya. Partai-partai tersebut berasal dari Partai Masyumi sendiri, Partai
28
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980),
29
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia… h. 219
hal. 210
46
Nasional Indonesia (PNI), PIR, Katholik, Buruh, Parkindo, Demokrat dan Parindra. B.3. Kabinet Wilopo-Prawoto 1952-1953 Setelah Kabinet Soekiman berahir, maka mandat diberikan kepada PNI dengan Wilopo-Prawoto sebagai pengganti Kabinet Soekiman mulai April 19521953. Dalam Kabinet Wilopo, posisi Menteri Agama diserahkan kepada KH Fakih Usman (unsur Muhammadiyah dalam Masyumi). Ini yang menjadi sebab berpisahnya NU dari Masyumi karena tidak mendapatkan posisi Menteri Agama, meskipun sebab utamanya jauh lebih kompleks. Dalam cabinet Wilopo, unsur NU tidak terwakili sementara Masyumi mendapat empat kursi, dan PSII satu. Pada pertengahan 1953, Kabinet Wilopo jatuh, setelah Wilopo dijatuhkan, mandat tetap masih berada di tangan PNI. B.4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I dan II Kejatuhan Kabinet Wilopo kemudian digantikan oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang masih berasal dari kalangan PNI. Dalam kabinet ini, NU (setelah jadi partai) mula-mula mendapat tiga kursi. Setelah terjadi perubahan kabinet, kursi NU menjadi empat, meliputi kursi Wakil Perdana Menteri I, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Agraria. Sejak saat itu Masyumi menjadi partai oposisi terhadap Kabinet Ali. Pada saat itu, NU dan Masyumi sudah mulai saling berhadapan. Akibat perselisihan dengan Angkatan Darat Kabinet Ali I jatuh pada Juli 1955. Setelah pemilu tahun 1955, muncul kabinet koalisi yang dibentuk sesuai dengan hasil pemilu. Kabinet tersebut dinamakan Kabinet Ali Sastrosmidjojo II
47
dengan komposisi Ali-Roem-Idham. (PNI-Masyumi-NU). Di sini Nahdlatul Ulama (NU) mampu menunjukkan kemandiriannya dan kekuatan dukungan yang luas, sehingga mampu suara yang banyak dengan menduduki posisi ketiga. Karena semula Nahdlatul Ulama (NU) yang tergabung dengan Partai Masyumi. Pada periode inilah Partai Masyumi yang semula wakil umat Islam terakhir kali memainkan peran politiknya dan tidak dapat lagi mengatakan satu-satunya wakil umat Islam. Pada selanjutnya Umat Islam diwakili oleh Partai Masyumi, Partai NU, PSII, dan Perti dalam cabinet. B.5. Kabinet Burhanuddin Harahap 1955-1959 Setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo I dari Partai Nasional Indonesia (PNI), kini Partai Masyumi tampil kembali menggantikan posisi Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berturut-turut memegang posisi utama dan digantikan Kabinet Burhanuddin Harahap 1955-1959, kabinet ini adalah kabinet terakhir Masyumi sampai partai itu bubar pada 1960. Prestasi kabinet ini terutama terletak pada keberhasilannya dalam menyelenggarakan Pemilihan umum pertama dalam sejarah Republik Indonesia. Prestasi kedua ialah dibubarkannya Uni IndonesiaBelanda secara unilateral, suatu keberanian politik yang patut dicatat. Prestasi lainnya adalah mengembalikan wibawa pemerintah terhadap Angkatan Darat yang pada saat kabinet Ali I merosotnya citra pemerintahan di mata Angkatan Darat, prestasi internasionalnya adalah diselenggrakannya Konferensi Asia-Afrika (April 1955). Yang melahirkan Dasaila Bandung yang terkenal. Kabinet-kabinet dalam Demokrasi Parlementer mengalami jatuh bangun karena persaingan kelompok yang sangat tajam. Selain itu, Soekarno sendiri tidak
48
menyetujui dan mencela pemerintahan banyak partai. Penyebab lainnya adalah ditariknya dukungan Masyumi dan Perti atas kebijaksanaan kabinet dalam mengatasi krisis di daerah-daerah, sehingga muncul berbagai dewan yang membangkang dari pemerintahan pusat. B.6. Nasib Majelis Konstituante Perselisihan tajam muncul kembali dan bertumpu pada persoalan dasar negara pada sidang Dewan Konstituante. Setelah Pemilu tahun 1955 muncullah empat kekuatan besar, yaitu: PNI memperoleh 22,3%, Masyumi memperoleh 20,9%, NU 18,4% dan PKI 16,4%. Mereka beradu argumentasi kembali mengenai dasar negara. Ada tiga ideologi yang ditawarkan, yaitu Islam, Pancasila dan Sosial–Ekonomi. Perdebatan itu berlarut-larut dan pada akhirnya dibentuklah panitia perumus Dasar Negara yang terdiri dari 18 orang yang mewakili semua kelompok. Perdebatan akhir bertumpu pada pilihan antara Pancasila atau Islam sebagai dasar negara. Namun, sebelum panitia menyimpulkan hasil perdebatan yang dianggap berlarut-larut tersebut, Dewan Konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena sampai rapat berakhir tanggal 2 Juni 1959 belum menghasilkan satu keputusanpun. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Konstituante dinyatakan bubar dan Demokrasi Parlementer diganti dengan Demokrasi Terpimpin. Terdapat beberapa penilaian terhadap lembaga Konstituante. Harun Nasution dalam tesisnya yang dipertahankan di McGill University Canada, tahun 1965 menyimpulkan bahwa sidang Konstituante tidak menghasilkan apa-apa, baru merupakan forum perdebatan politik. Sementara Endang Syaefuddin Anshari
49
dalam analisisnya menyimpulkan bahwa tidak ada alasan kesimpulan yang menyatakan Majelis Konstituante tidak menghasilkan apapun yang bermakna. Menurutnya, seperti dikatakan Ketuanya, Wilopo "Sidang sudah menyelesaikan 90% tugasnya. Pembubaran Konstituante lebih banyak disebabkan koalisi ABRI dengan Soekarno yang merasa kepentingan politisnya terancam jika Demokrasi Parlementer terus-menerus
dilaksanakan." Demikian pula
Adnan Buyung
Nasution dalam disertasinya menyatakan bahwa tidak ada bukti yang mendukung bahwa Konstituante gagal merancang Konstitusi karena adanya perdebatan tentang Dasar Negara. Yang terjadi adalah Konstituante tidak memiliki kesempatan untuk menyimpulkan pertimbangan dalam masalah tersebut, sehingga tentang Dasar Negara dianggap prematur. Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia jatuh pada Demokrasi Terpimpin. Dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno bertindak seperti seorang diktator, hampir semua kekuasaan Negara baik eksekutif, legeslatif dan yudikatif berada pada kekuasaannya. Sutan Takdir Alisyahbana menyamakan Soekarno dengan raja-raja kuno yang mengklaim dirinya sebagai inkarnasi Tuhan atau wakil Tuhan di dunia. Demokrasi Terpimpin berakhir dengan meletusnya peristiwa G 30 S/PKI, dan kekuasaan Orde Lama beralih ke Orde Baru.
C. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Demokrasi Terpimpin Seminggu setelah Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno mengumumkan kabinetnya yang baru, menggantikan Kabinet Djuanda yang mengembalikan mandat pada 6 Juli. Kabinet Djuanda adalah kabinet peralihan dari periode Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpin. Dalam Kabinet Soekarno ini, Djuanda
50
tetap diberi posisi penting sebagai Menteri Pertama yang tugasnya tidak banyak berbeda dengan tugas Perdana Menteri. 30 Kabinet baru di bawah payung UUD 1945 ini diberi nama Kabinet Kerja. Kabinet inilah yang bertugas melaksanakan gagasan Soekarno dalam bentuk Demokrasi Terpimpin. Demokrasi gaya baru ini telah membawa Soekarno ke puncak kekuasaan yang memang sudah lama ia dambakan, tapi karena fondasinya tidak kokoh, system itu pulalah akhirnya membawanya kejurang kehancuran politik untuk selamanya. Dia terkubur bersama sistem yang diciptakannya, sekalipun jasanya dalam pergerakan kemerdekaan dan penciptaan kesatuan bangsa tidak akan dilupakan orang. Sekitar enam setengah tahun beroperasi dalam sejarah kontemporer Indonesia, secara politik umat Islam tidak saja berbeda pandangan, bahkan berpecah-belah berhadapan dengan sistem yang diciptakan Soekarno. Pilihan untuk turut atau tidak turut dalam suatu sistem kekuasaan telah membelah umat menjadi dua kubu yang saling berhadapan, sedangkan posisi politik mereka secara nasional sudah tidak diperhitungkan lagi. Sebenarnya sejak NU menarik diri dari Masyumi pada 1952 dan muncul sebagai partai politik, dalam menghadapi berbagai kasus, partai Islam baru ini lebih dekat dari PNI atau bahkan PKI ketimbang Masyumi. Sikap Masyumi yang menentang ide Demokrasi Terpimpin sementara NU, PSII dan Perti turut serta didalamnya semakin menempatkan partai kaum modernis itu pada posisi politik yang terpencil, khususnya pada era sesudah jatuh Kabinet Ali Roem Idham Maret 1957. Masyumi yang beraliansi dengan partai-partai kecil, seperti PSII dan Partai 30 Lihat J.D. Legge, Soekarno: A Political Biography, New York, (Washington: Praeger Publishers, 1972), h. 311
51
Katolik jelas tidak bisa menolong posisi politik dalam DPR yang semakin melemah. Memang, bila melihat dari cita-cita demokrasi, pilihan mereka adalah pilihan yang tepat, tapi budaya politik Indonesia yang sedang dikembagkan pada waktu itu adalah budaya politik otoriter yang dimainkan oleh Soekarno, PKI, dan pimpinan tertinggi Angkatan Darat sebagai pemain-pemain utamanya. Dalam situasi seperti itu, cita-cita demokrasi yang hanya didukung oleh suara minoritas dalam parlemen adalah seperti orang berteriak ditengah padang pasir. Tidak ada telinga yang memperdulikannya. Situasi bagi Masyumi semakin memburuk, setelah pada akhir 1957 beberapa tokoh partai ini menyertai pergolakan daerah di Sumatera Tengah, sekalipun mungkin dengan tujuan ingin menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sedang “diuji coba” oleh beberapa panglima daerah Angkatan Darat dalam usaha menentang pemerintah pusat dibawah pimpinan Soekarno dengan dukungan Jendral A.H Nasution. Bulan madu Soekarno-Nasution sekalipun tidak dapat dipertahankan terus, bagi karir politik Soekarno menjadi sangat menentukan. Tanpa sokongan Nasution plus pimpinan Angkatan Darat yang lain, tidak dapat dibayangkan bahwa Soekarno akan melangkah lebih jauh. Demokrasi terpimpin dalam praktiknya adalah sistem politik dengan baju demokrasi tapi minus demokrasi. Mengapa semua ini terjadi/ Salah satu penjelasnya dapat ditelusuri pada praktik politik masa demokrasi liberal, ketika partai-partai begitu berkuasa, sehingga kepentingan Negara secara keseluruhan sering terlantar. Barang kali sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia harus melelui proses jatuh bangun dalam uji coba sistem demokrasi. Dari sudut
52
kenyataan ini, kita melihat Masyumi sebagai partai yang kurang sabar, sehingga keputusan-keputusan
penting yang diambilnya sering didorong oleh idealisme
demokrasinya yang begitu dalam, sementara realitas politik sedang menempuh jalan lain. Tampaknya, idealisme politik yang tinggi inilah yang akhirnya menghadapakan partai ini pada batu karang sejarah yang tak mampu ditembusnya. Kita tidak tahu apakah Masyumi telah memperhitungkan semua ini sebelumnya. Saat itu, NU yang muncul sebagai salah satu dari Empat Besar setelah pemilu 1955 baru “belajar” berpolitik mandiri, tapi kiprahnya dalam menghadapi situasi politik
yang
sedang
tampak
lebih
lentur,
meskipun
tampak
orang
mempertanyakan apakah kelenturan ini disebabkan prinsip yang dianut atau prinsip itu sedang dicari dalam pengalaman bernegara. Saya lebih cendrung mengatakan bahwa NU berada dalam situasi yang terakhir: dia sedang bergumul dalam mencari pengalaman politik yang penuh kemungkinan itu. Penjelasan lain tentang mengapa harus Demokrasi Terpimpin, dapat pula dicari pada kenyataan bahwa Bung Karno tidak mau lagi jadi tukang stempel, dalam arti seorang presiden symbol sebagai mana ditentukan oleh UUDS 1950 yang menjadi dasar konstitusional bagi pelaksana demokrasi parlementer di Indonesia. Soekarno ingin langsung memimpin pemerintahan. Tampaknya Soekarno cukup kecewa ketika St. Sjahrir pada pertengahan November 1945 berhasil
“menyisihkan”
Soekarno-Hatta
dari pimpinan
eksekutif
dengan
membentuk kabinet parlementer pertama, sekalipun masih dibawah UUD 1945, yang menganut sistem kabinet presidensial. Dengan diselingi sebentar oleh Kabinet Hatta sebagai kabinet presidensial 1948/1949, perpolitikan Indonesia
53
sampai dengan Kabinet Ali-Roem Idham (1956-1957) dikuasai oleh kabinet parlementer yang tidak pernah berumur panjang. Keinginan Soekarno untuk berkuasa, langsung disampaikan pertama kali 28 Oktober 1956. Pada waktu itu, ia mengemukakan konsepsinya, yang antara lain berisi ide tentang pembentukan Dewan Nasional, dan keterlibatannya secara langsung dalam memimpin pemerintahan. Oleh sebagian orang, move politik semacam ini dipandang bertentangan dengan UUDS yang masih berlaku sampai saat itu. Diantara reaksi terhadap move itu diberikan oleh M. Isa Anshary anggota DPR dan salah seorang pemimpin Masyumi sayap radikal Isa Anshary menulis dalam majalah Daulah Islamiah sebagai berikut: Konsepsi Bung Karno adalah pelaksanaan ide beliau yang diucapkan pada 28 Oktober 1956 untuk menguburkan partai-partai dan pidato beliau dirapat Merah Putih di Bandung., di mana beliau menyatakan untuk turut aktif dalam pemerintahan. Jadi, dewan nasional bukanlah semata-mata dewan penasehat tetapi adalah dewan yang memungkinkan presiden ikut aktif dalam pemerintahan. Pemerintahan Soekarno itu berlaianan dari pemerintahan Demokrasi biasa, karena pemerintahannya adalah pemerintahan tanpa oposisi, dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Ketiga-tiganya, baik ikutnya
presiden
dalam
pemerintahan
secara
aktif,
maupun
tidak
bertanggungjawabnya kepada parlemen sebagai orang yang ikut memerintah atau tidak adanya oposisi dalam Negara, adalah bertentangan dengan
54
Undang-undang Dasar dan bertentangan dengan semangat demokrasi yang tumbuh di Indonesia. 31 Sistem yang di bawa oleh Soekarno ini bukanlah Demokrasi sebagaimana yang diminta oleh Pancasila dan UUD 1945, yang berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat. Dalam Demokrasi Terpimpin, ada perbedaan visi politik partai-partai Islam dalam menghadapi Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya. Perbedaan visi ini membawa nasib yang berbeda pula bagi partai-partai Islam pada saat itu, kelompok pertama, Masyumi yang memandang keikutsertaan dalam sistem politik otoriter sebagai penyimpangan dari ajaran Islam. Kelompok kedua, yakni liga Muslimin (NU, PSII, dan Perti), berpandangan bahwa turut serta dalam Demokrasi Terpimpin adalah sikap realistis dan pragmatis.
D. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Orde Baru (ORBA) Makna politik Orde Baru yang di tujukan kepada Islam, dalam rentang waktu sejarah sejak 1966-1998 adalah waktu yang cukup panjang bagi sebuah rezim yang berkuasa. Karena itu, perilaku politiknya pun sangat diwarnai oleh corak dinamika sejarah. Itu sebabnya, hubungan Islam dengan pemerintahan Orde Baru menunjukan grafik yang tidak lurus. Orde Baru memulai pemerintahannya setelah berhasil menumbangkan PKI pada tahun 1965 yang dibantu oleh seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali peranan umat Islam dalam menumpas PKI. Namun dalam perjalanannya rezim Orde Baru meninggalkan umat Islam yang di motori oleh militer yang dibantu dengan birokrasi dan Golkar. Periode pembentukannya diwarnai dengan corak yang sangat memusuhi Islam dalam 31
M.Isa Anshary, “Musyawarah Nasional”, Daulah Islamiyah, No. 9Th.1 (September) 1957), h. 5. Isa Anshary pernah mengikuti kursus politik dari Bung Karno
55
bentuk (peminggiran politik Islam), sedangkan di tengah kekuasaannya dicorakan sangat akomodatif terhadap Islam. Politik Islam di masa Orde Baru mengalami dinamika yang berbeda selama tiga dekade lebih dari kekuasaannya. Dalam rentang sejarahnya semenjak 1996-1998 telah menunjukan realitasnya. Rezim ORBA telah menunjukan dan memerankan panggung politiknya sendiri, yakni: peminggiran politik Islam dan akomodasi politik Islam. Kedua karakter inilah yang dialami umat Islam dalam menghadapi rezim Orde Baru. Awal-awal kepemimpinan Orde Baru berkuasa, pemerintah mengeluarkan dan menunjukan kebijakan yang meminggirkan peran politik umat Islam, sehingga memunculkan sikap antagonistik
dari umat Islam. Depoilitisasi dan
deideologisasi32 untuk mencapai kestabilan politik dalam rangka pembangunan ekonomi yang diterapkan oleh ORBA adalah suatu rekayasa politik (politic enginering) dengan tujuan untuk memperlemah posisi umat Islam, yang berpotensi sangat membahayakan pemerintahan yang masih baru. Naiknya rezim ORBA di panggung kekuasaan pasca- Soekarno sebenarnya telah memberikan harapan besar bagi umat Islam sejak dilarangnya Masyumi sebagai partai politik oleh Soekarno. Politik Islam sepertinya akan kembali bergairah di bawah kekuasaan ORBA.
Harapan
ini ternyata
tidak
terwujud setelah
rezim
Soehartoisme menunjukan sikapnya yang berlawanan dengan aspirasi umat Islam.
32
Orde Baru bercita-cita mengoreksi kekurangan dan kelemahan OrdeLama. Orde Baru memperbaiki kondisi sosio-ekonomi yang payah warisan dari Orde Lama, dimana inflasi mencapai 600% lebih pada dekade 1960-an, telah mendorong eksponennya untuk memprioritaskan pembangunan ekonominya. Ekonomisme menjadi keharusan, sedangkan politik sebagai panglima didekonstruksi menjadi depolitisasi dan deparpolisisasi. Lihat Herdi SRS, ”Islam Politik Dalam Kancah Demokrasi”, dalam Prisma 8 Agustus 1995, h. 89
56
D.1. Gagalnya Pembentukan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) Salah satu keinginan untuk membangkitkan romantisme kebangkitan politik Islam adalah pembentukan PDII yang dikemukakan oleh Muhammad Hatta mantan Wakil Presiden RI. Sebenarnya keinginan membentuk partai tersebut sudah sejak tahun 1959 dan didorong pula oleh ketidakpuasan pemuda Islam (HMI dan PII) terhadap sistem yang ada, karena sering diintimidasi PKI, sehingga sering meminta nasehat kepada Mohammad Hatta. Pada akhir tahun 1965, keinginan itu baru dimunculkan dengan maksud membentuk PDII. Kemudian pada tanggal 11 Januari 1967, Mohammad Hatta mengirim surat kepada Soeharto tentang niatnya tersebut, ternyata pemerintah tidak mengabulkan dengan alasan PDII belum mampu menjadi partai Islam yang diharapkan pemerintah. Dengan ditolaknya permohonan pembentukan PDII, menandakan bahwa pemerintah Orde Baru sengaja menutup jalan bagi partai politik Islam untuk tampil ke kompetisi politik, tanpa pengawasannya. D.2. Gagalnya Rehabilitasi Partai Masyumi dan Berdirinya Parmusi Hubungan politik yang tidak harmonis itu berdampak luas. Puncaknya, akses para aktivis politikus Islam ke koridor kekuasaan menyusut drastis dari posisi politik awal mereka merosot terutama sepanjang selama
25 tahun
pemerintahan ORBA. Beberapa ilustrasi yang sangat jelas adalah memperlihatkan kekalahan Islam politik itu adalah pembubaran partai Masyumi dan ditolaknya rehabilitasi partai itu (1960); Soeharto sebagai ketua presidium Kabinet Ampera menyurati Prawoto Mangkusasmito pada tanggal 6 Januari 1967 yang menyatakan bahwa pihak ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik Partai
57
Masyumi, upaya rehabilitasi Masyumi terhalang oleh Ali Moertopo yang ketika itu sangat berkuasa yang sekaligus sebagai pemegang Supersemar. 33. Tanggal 7 Mei 1967 melalui sidang Badan Koordinasi Amal Muslimin (BKAM) yang terdiri atas 16 organisasi Islam34 mengambil keputusan membentuk wadah politik baru bagi umat Islam yang dinamakan ”Parmusi”35 (Partai Muslimin Indonesia), tetapi diakhir perjalanan dimana tidak diperkenankannya tokoh-tokoh penting mantan Masyumi untuk memimpin PARMUSI dan tidak boleh dicalonkan dalam pemilu yang akan segera dilangsungkan, tanggal 7 April 1967, partai yang baru dibentuk untuk menggantikan Masyumi (1968); pemerintah ternyata memandang Masyumi masih berlumur dosa-dosa masa lalu.36 Keputusan pemerintah itu berlaku pada saat pemilihan Mohammad Roem sebagai ketua Parmusi pada Kongres di Malang tanggal 407 Nopember 1968. Akhirnya tanggal 5 Februari 1968 keluar keputusan pemerintah yang menyatakan berdirinya Parmusi dan SK Presiden No. 70 1968 yang menetapkan Djarnawi Kusumo dan Lukman harus sebagai ketua umum dan sekretaris jenderal. Duet ini tidak berlangsung lama, karena muncul H.J. Naro dan Imran Kadir yang menginginkan kepemimpinan di Parmusi yang mengakibatkan konflik. Memanfaatkan konflik yang direkayasa pemerintah, akhirnya pemerintah menerbitkan SK No. 77 tahun 1970 dengan menempatkan Mintareja sebagai ketua
33
Hartono Mardjono, Politik Indonesia 1996-2003, (Jakarta. Gema Insani Perss,1996), h.
32 34
Di antaranya adalah Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Persatuan Ummad Islam (PUI), Al-Ittihadiyah, Gasbiindo, (Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia). Lihat Hartono Marjdono, h. 31 35 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), h. 247 36 . Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, ... h. 246
58
partai sekaligus membatalkan SK No. 70 tahun 1968. Mintareja adalah pegawai tinggi pemerintah dan juga anggota PP Muhammadiyah. Menghadapai situasi dan keadaan yang runyam tersebut, Muhammadiyah pada tahun 1969 menyatakan keluar dari Parmusi dan tidak memiliki hubungan organisatoris dengan partai manapun. Untuk yang kedua kalinya umat Islam melalui partai Islam gagal meyakinkan pemerintah Orde baru untuk tampil ke gelanggang politik, tanpa pengawasan pemerintah. Kemudian ORBA memainkan strategi baru yaitu FUSI partai pada tanggal 5 Januari 1973 dengan dibatasinya jumlah partai politik Islam dari empat parpol yaitu (NU, MI, PSSI, dan PERTI) dan menjadi satu, dalam wadah PPP (1973); hal ini untuk semakin menjinakan potensi politik umat Islam, tidak cukup sampai disitu ORBA juga mengurangi jumlah wakil-wakil Islam yang duduk dalam parlemen dan kabinet. Imbas dari penghapusan politik Islam adalah gagalnya rehabilitasi Masyumi. Rehabilitasi ini diajukan untuk sebagai syarat pemberian dukungan terhadap pemerintahan ORBA dengan pertimbangan bahwa mereka telah memberikan andil dalam perjuangan menegakan demokrasi serta melawan Komunisme pada masa ORBA. D.3. Peran Partai Persatuan Pembangunan (PPP) PPP sebagai partai Islam adalah pemain tunggal (single fighter) dalam gelanggang politik Orde Baru, meskipun di dalamnya ada empat unsur parpol (NU, MI, PSSI, dan PERTI). Dengan demikian, tidaklah mudah memainkan peranannya, mengingat PPP tidak lagi berasaskan Islam hal ini lewat ”pengasastunggalan” Pancasila dimana tidak diperbolehkannya Islam sebagai asas organisasi sosial dan politik (1985).. apalagi banyak dari kalangan orang Islam
59
sendiri yang tidak mengakui dan mendukung PPP sebagai partai umat Islam, sehingga aspirasi mereka disalurkan ke Golkar atau Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Meskipun demikian, basis PPP tetap terletak pada mayoritas umat Islam, sehingga selayaknya partai ini tetap memperjuangkan aspirasi umat Islam. Peranan PPP dalam lembaga legislatif yaitu melakukan aksi walkout terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Aliran Kepercayaan. Selain itu, masalah-masalah yang diungkap oleh Abduk Azis Thaba dalam hubungan yang bersifat akomodatif, menurut penulis adalah hasil secara tidak langsung dari peran Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melalui Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP), misalnya tentang Rancangan Undang-Undang Pendidikan Nasional dan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama. Dalam hal ini PPP tetap menginginkan sebagai partai Islam yang survive yang tetap memperjuangkan kepentingan masyarakat muslim. Kemudian
lewat
”pengasastunggalan”
Pancasila
dimana
tidak
diperbolehkannya Islam sebagai asas organisasi sosial dan politik (1985). Sejalan dengan terus menerusnya untuk melestarikan Pancasila mulai tahun 1982. Motif utama pemerintah adalah untuk melindungi Pancasila sebagai ideologi nasional negara, dan untuk mensosialisasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu pemerintah merasa bahwa harus tidak ada ideologi lain yang menandingi Pancasila sebagai asas tunggal. Kebijakan ORBA ini bukan tanpa reaksi. Sejauh menyangkut umat Islam, paling tidak sejak 1982, mereka telah menunjukan reaksi terhadap usulan pemerintah karena ummat Islam takut dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal berarti Pancasila akan menggantikan
60
Islam, atau bahwa Pancasila akan disamakan dengan agama.37 Reaksi umat Islam terhadap asas tunggal Pancasila ini menimbulkan perdebatan serius. Bahkan, ummat Islam telah mengalami konflik yang paling serius dan rumit yang menghabiskan masa yang paling lama dalam memperdebatkan pergantian asas ini. Perdebatan ini terjadi dari pertengahan 1982-1985, disertai konflik internal dan konflik dengan pemerintah. Konflik ini harus dibayar mahal dengan pecahnya HMI menjadi HMI Dipunegoro dan HMI MPO, sedangkan PII terpaksa membubarkan diri karena menolak kebijakan tersebut.38 Pada mulanya hampir semua partai dan organisasi Islam menolak kebijakan ini. Namun akhirnya setelah mendapat tekanan dari pemerintah banyak ormas Islam yang mulai menerima asas tunggal. NU melalui Munas Situbondo 1983 dan Muktamar Surabaya 1984 menyatakan menerima asas tunggal sebagai asas organisasi sosial dan politik, kemudian disusul oleh Muhammadiyah melalui Muktamar ke-41 di Surakarta 1985 mengambil langkah yang serupa. Terkecuali PII yang menolak asas tunggal yang kemudian terpaksa dibubarkan oleh pemerintah pada tahun 1988. Keberhasilan
menghapuskan
ideologi
primordialistik
Islam
39
merupakan
pencapaian yang paling berharga buat rezim ORBA. Semua kekuatan dan ideologi telah berhasil ditundukannya. Yang lebih tragis dan menyedihkan lagi adalah, Islam politik telah menjadi sasaran kecurigaan ideologis. Oleh negara, para aktivis Islam politik sering dicurigai sebagai anti terhadap ideologi negara Pancasila. Hal
37
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru..... h.207 M Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, Agustus 1999), h. 184 39 Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 19651987 dalam Perspektif Sosiologis, (Jakarta: Rajawali Press., 1989), h 127 38
61
ini merupakan salah satu kesalahan strategi umat Islam, mestinya mereka berkompromi untuk kemudian bersama-sama memberi isi Pancasila. Sementara itu setelah stabilitas politik dikendalikan dan orientasi politik umat Islam berubah, ORBA merubah kebijakan politiknya dengan lebih akomodatif dan aspiratif terhadap Islam. Sikap akomodasi rezim ORBA terlihat dengan disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN) tahun 1989; diberlakukannya Undang-Undang Peradilan Agama tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam tahun 1991; diubahnya kebijakan tentang jilbab tahun 1991; dikeluarkannya keputusan bersama tingkat menteri berkenaan dengan badan amil zakat, infak dan shadaqoh (Bazis) tahun 1991; didirakannya bank Muamalat dan ICMI tahun 1991, dan dihapusnya Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) tahun 1993.40 Dalam perkembangannya, umat Islam pada tahun 1980-an memasuki fase satu kebangkitan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Pada akhir 1980-an, kebangkitan tersebut memunculkan tekanan politik baru ketika kelas menengah Muslim, pendidikan massa dan perkembangan kelas menengah Muslim memungkinkan munculnya tipe-tipe pemimpin Muslim baru. Para ”cendikiawan Muslim” yang baru ini merupakan figur-figur publik yang pandangan-pandangannya
tentang
politik
Islam banyak dipengaruhi
oleh
pendidikan umum, media cetak yang baru, dan persentuhannya dengan teori-teori Barat, selain tentunya dengan pendidikan pesantren dan legalisme klasik. Ini
40
. Lihat Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 273
62
mendesakkan repsentasi yang lebih besar lagi bagi ummat Islam dalam pemerintahan dan masyarakat. Pada akhirnya, kebangkitan tersebut memaksa Soeharto memikirkan kembali kebijakannya mengenai Islam. Beberapa penasihat dan orang dekat Soeharto masih tetap berbicara seolah-olah tidak ada sesuatu yang berubah dan mendesak pemerintah untuk tetap mempromosikan Islam ”kultural” sambil dengan tegas menekan Islam politik. Akan tetapi, kebangkitan ummat Islam itu sedemikian kuat, dan tidak mungkin ditarik kedalam bentuknya yang semula. Menghadapi tantangan baru ini, Soeharto akhirnya berupaya untuk merangkul kalangan Islam konservatif ke dalam kekuasaannya. Walau demikian ia harus belajar bahwa kekuatan Islam yang dirangkulnya tersebut mempunyai integritas moral dan politiknya sendiri. 41
41
Lihat Bachtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia..... h. 273
BAB III PERUBAHAN HUBUNGAN UMAT ISLAM DENGAN MILITER SEBELUM TAHUN 1990-1998
A. Penyingkiran simbol-simbol Islam Proses ini mengambil bentuk penyingkiran simbol-simbol Islam dari kegiatan-kegiatan
politik,
mengeliminasi
partai-partai
politik
Islam,
dan
menghindarkan arena politik dari politisi Islam. Depolitisasi Islam mencapai puncaknya, berkenaan dengan sarana politik dalam penggabungan semua partai politik Islam yang ada ke dalam PPP tahun 1973 dan berkenaan dengan ideologi politik dalam keharusan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas oleh semua orsospol dan ormas tahun 1985. Bahkan, sejatinya depolitisasi Islam adalah bagian dari proyek yang lebih besar yakni massa mengambang, yang mengurangi kesadaran politik rakyat akar rumput (grassroot) dan mengasingkan pemimpinpemimpin politik dari pendukung mereka. 1 Depolitisasi Islam tidak berarti Islamisasi dalam pengertian umum. Karena dalam kasus Indonesia, depolitisasi Islam dijalankan dengan ”domestifikasi” kekuatan-kekuatan politik Muslim melalui proses pelemahan partai-partai politik Islam. Tetapi proses tersebut dilakukan untuk mendorong pelembagaan kekuatan-kekuatan umat Islam lewat pembentukan banyak organisasi Islam ”korporatis” atau kuasi-korporatis. 2 Dengan kondisi yang demikian ini, pantaslah bahwa kiranya jika sepanjang tahun rezim ORBA, paling tidak hingga pertengahan atau akhir dekade 1980-an, politik 1 2
M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2000), h. 66-67 M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru..... h. 79-80
58
59
Islam merupakan sesuatu yang oleh negara harus diperlakukan bagaikan ”kucing kurap”. Para aktivis politik Islam, dalam format dan langgam, yang dimunculkan oleh generasi lama, merupakan pihak-pihak yang kepada mereka negara menerapkan kebijakan domestifikasi. Dengan mind-set seperti itu, dan sumber daya sosial ekonomi dan politik yang dimilikinya, negara berhasil menundukan Islam secara politik, ideologi dan intelektual. Situasi ”ideologis” yang tidak mengenakan inilah yang kemudian melahirkan antagonisme politik pemerintah terhadap umat Islam. Ini berarti, kecurigaan politik negara terhadap umat Islam merupakan kelanjutan dari adanya gesekan-gesekan ideologis. Bahkan,
kecurigaan
itu berkembang
menjadi
antagonisme politik yang semakin menyudutkan posisi umat Islam. Lebih parah lagi, kecurigaan dan antagonisme itu tumbuh di kedua belah pihak, Islam dan negara. Kenyataan seperti itu merupakan sesuatu yang ”aneh-sekali” dan ”membingungkan” mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Tapi, telah menjadi sebuah kelaziman, bahwa persepsi ideologi maupun politik adalah potensial untuk menumbuhkan kategorisasi untuk tidak mengatakan friksifriksi. 3 Tak berlebihan, jika Hartono Mardjono menuding ada kekuatan yang sikap dan tindakannya sangat tidak menyenangkan Islam serta berusaha menyingkirkan umat Islam dari pemerintahan yang mengelilingi Soeharto. Kelompok itu ada di bawah pimpinan Ali Moertopo, asisten pribadi bidang politik pimpinan ORBA di samping itu menjadi pemimpin Operasi Khusus (OPSUS), sebuah badan ekstrakonstitusional yang melakukan operasi khusus dengan cara-cara intelejen. Dalam
3
M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru..... h. 144
60
praktiknya, OPSUS merupakan invisible goverment yang dapat melakukan segala macam tindakan,
termasuk merekayasa
kehidupan sosio-politik sehingga
peranannya sangat besar dan ditakuti rakyat.4 Indonesia sebagai negeri dengan gugusan pulau-pulau dikenal memiliki beragam warna tradisi, bahasa, kebudayaan, ras, etnis, agama dan keyakinan. Tetapi sayangnya multikulturalisme sebagai suatu “datum” (suatu yang terberi) dan “factum” (sesuatu yang dibuat dan dihidupi) belum sepenuhnya menjadi wawasan dan kesadaran bersama. Akibatnya selama puluhan tahun sejak kemerdekaan di proklamasikan, penindasan, peminggiran, diskriminasi dan ketidakadilan sosial menjadi fenomena sehari-hari yang tidak asing lagi. Bukan soal penindasan fisik akibat totalitarianisme orde baru tapi juga soal penindasan kultural, symbol-simbol yang sesungguhnya belum pernah hilang dari kesadaran politik kolonial. Kondisi seperti inilah yang sebenarnya mengancam kehidupan yang plural dan demokrasi di Indonesia. Selain itu tentu saja kehidupan yang harmonis di negeri ini akan diwarnai oleh kecenderungan konflik sosial yang sewaktu-waktu akan membakar kebersamaan masyarakat kita. Tapi tepat persoalannya adalah ini bukan perkara nilai-nilai normatif yang kerap diperdengarkan dalam khotbah sang moralis, tetapi lebih melibatkan relasi-relasi macam apa yang diciptakan oleh nalar kekuasaan baik politik, pengetahuan maupun agama dalam diskursus publik. Bilakah pemerintah ber-Pancasila? Bilakah pemerintah ber-NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)? Adakah keduanya dilakukan secara bersamaan 4
30
Hartono Mardjono, Politik Indonesia 1996-2003, (Jakarta. Gema Insani Perss,1996), h.
61
oleh pemerintah? Artinya, ketika seorang demagog meneriakkan "selamatkan NKRI", maka dirinya dan orang-orang yang tersihir oleh kata-kata itu akan bertindak yang sesuai dengan spirit yang termaktub di dalam setiap sila Pancasila? Inilah pertanyaan-pertanyaan
pokok
yang dapat menjelaskan
bagaimana
pemerintah berideologi tunggal atau dualistik. Jawaban-jawaban itu juga akan menjelaskan asal-usul budaya dari siapa yang sedang memerintah rakyat Indonesia yang berjiwa 250 juta manusia ini. Sejak masa Orde Baru, Pancasila sering dihadapkan dengan komunisme dan Islam. Tragedi Tanjung Priok di Jakarta dan Talangsari di Lampung adalah rentetan dari upaya membenturkan Pancasila dengan symbol-simbol keislaman kelompok muslim tertentu. Sedangkan NKRI-isme dibenturkan dengan gerakan kemerdekaan yang muncul di Timor, Aceh, dan Papua. Lalu, ideologi apa yang dihadapkan oleh pemerintah RI dengan munculnya fenomena terorisme? Hal ini juga belum dijawab, baik oleh kaum politikus maupun serdadu yang merupakan bagian dari masyarakat politik dan alat politik pemerintah yaitu militer. Ternyatalah, kaum politikus, militer, dan pemerintah saat Orde Baru maupun saat setelah era reformasi ini belum berani mensilogiskan antara Komando Jihad, yang banyak muncul di Jawa dan digebuk di masa Orde Baru, dan jaringan terorisme yang juga berpusat di Jawa, yang muncul di era pascareformasi. Kudeta 1965 merupakan peristiwa yang dapat dibaca sebagai arena perbenturan antara komunisme dan Pancasilaisme. Kaum politikus yang memegang komunisme versus kaum serdadu yang merebut Pancasilaisme.
62
Sedangkan kaum muslim--khususnya di Jawa adalah kaum yang terbakar emosinya sehingga menjelma sebagai instrumen politik bagi kaum yang sedang menjadikan kaum komunis sebagai obyek kejahatan kemanusiaannya. Lalu, pertanyaannya,
adakah
tindakan-tindakan
terhadap
kaum
komunis
dan
keluarganya merupakan tindakan yang sesuai dengan spirit yang terdapat di dalam sila-sila Pancasila?
Apakah tindakan-tindakan penculikan,
penyembelihan,
pemenjaraan, penyiksaan, pemerkosaan, penghancuran dan perampasan harta benda yang dialami kaum komunis dan keluarganya bahkan umat Islam merasakan hal-hal yang tidak jauh berbeda hanya karena adanya symbol-simbol keislaman, serta penyingkiran sosial dan politik terhadap keturunan dan kerabat mereka, merupakan motif-motif yang disemburkan dari kondisi individu yang menjiwai Pancasila? Jawaban-jawaban yang tersedia cenderung berlandaskan logika yang tidak ideologis, dan lebih berdasarkan pada common sense yang bersifat reaksioner semata. Misalnya, karena mereka hendak menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara, maka kami haramkan ideologinya. Pada era itu negara sedang menjadi teater yang memanggungkan kejahatan kemanusiaan yang paling massal, masif, dan berkelanjutan. Jangankan Pancasila yang didekonstruksi menjadi alat gebuk politik, bahkan Islam pun yang tanpa disadari oleh sebagian besar kaum muslim terdekonstruksi teologinya jika dilihat dari relasi subyek dan obyeknya, ketika muslim yang satu (individual ataupun kelompok) membunuh muslim yang lain (individual ataupun kelompok yang diklaim menganut komunisme) maupun yang berlainan symbol dengan tanpa
63
prosesi fardu kifayah. Dalam konteks demikian, rezim yang telah berhasil merebut kekuasaan dan sekaligus Pancasila dari Soekarno dan rezimnya menisbahkan kesakralan pada Pancasila. Di sinilah letak kekhasan alam pikiran Indonesia bahwa ideologi menjadikan instrumen politik yang mistis, hal yang sangat kontradiktif dengan alam pikiran Barat yang menjadikan ideologi sebagai instrumen yang rasional. Jadilah Pancasila sebagai ideologi tunggal. Komunisme menjadi ideologi yang laten, dalam artian akan diungkit-ungkit ketika rezim tak begitu yakin akan kesinambungan ataupun hendak semakin mengukuhkan posisi politiknya. Lalu, Islam dijadikan ideologi yang manifest, dalam artian yang mengancam eksistensi rezim yang diwujudkan dalam bentuk komando-komando jihad, keberadaan symbol-simbol Islam dan kelompok-kelompok muslim radikal. Lalu, apakah akibat dari penghadapan rezim terhadap Islam sebagai bahaya yang manifest itu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila?. Perbedaan antara rezim dan kaum militer terletak pada rezim yang semakin menua, sementara kaum militer mengalami regenerasi. Ketika rezim tetap memonopoli Pancasila, kaum militer generasi baru dihadapkan dengan dua pilihan: merebut Pancasila dari rezim (atau generasi tua) atau menemukan ideologi baru. Pilihan yang pertama menjadi sulit karena relasi antara rezim dan kaum serdadu itu berbentuk patron-klien. Di satu sisi, rezim memerlukan dukungan politik dari kaum militer generasi baru sehingga diberlakukan pola ikatan kekerabatan dalam mereproduksi perwira. Di sisi lain, klien membutuhkan percepatan karir dalam militer, yang juga sekaligus penguasaan politik
64
(dwifungsi) sehingga mereka berebut masuk perangkap kekerabatan politik generasi tua itu. Namun, zaman akhirnya melahirkan spoiler-spoiler dari perwira generasi baru yang justru diikatkan melalui jalinan kekerabatan itu. Pada saat yang sama, generasi baru ini menemukan NKRI sebagai ideologi alternatif dari Pancasila. Sementara Pancasila menjamin ketunggalan alam, maka NKRI menjamin kemanunggalan teritorial sehingga terbentuklah keutuhan Indonesia sebagai sebuah negara. Sementara Pancasila milik militer generasi tua, NKRI adalah milik militer generasi yang lebih muda. Namun, janganlah tindakan atas dasar motifmotif NKRI-isme diukur menurut etika yang direfleksikan dari Pancasila, karena sama sekali tak memiliki afinitas. Meskipun demikian, soal jalinan antara Pancasila dan NKRI, generasi baru cenderung bekerja untuk memistifikasi NKRI daripada Pancasila. Wilayah Timor, Aceh dengan permasalahan keberatan Orde Baru terhadap symbol-simbol Islam, dan Papua merupakan arena teater mereka karena adanya gerakan kemerdekaan atau dikenal sebagai konflik vertical yang kemudian diperkenalkan oleh kaum serdadu dengan label separatisme. Sementara Pancasila menciptakan komunisme dan Islam sebagai lawan ideologinya, NKRI menemukan lawannya berupa separatisme. Para penganut NKRI-isme juga memiliki musuh ideologi yang sekunder, yakni symbol-simbol, yang sangat erat kaitannya dengan Islam, baik dari sisi teologis, historis, maupun jaringannya. Fenomena ini terdapat di wilayah-wilayah konflik horizontal seperti Aceh, Lampung, Poso dan Ambon yang simpulnya
65
terdapat di Jawa dan keberadaan tokohnya misterius, seperti sebuah jaringan operasi intelijen militer. Sementara itu, komunisme (baru) tetap merupakan musuh ideologi ketiganya. Hal ini dikampanyekan melalui spanduk-spanduk yang digantungkan di markas-markas kaum militer, juga ini mungkin sebuah keunikan lainnya dikampanyekan oleh komando-komando muslim yang "dibiarkan" mekar oleh kaum militer di perkotaan di Jawa. Namun, sebagaimana generasi tua, generasi muda kaum militer tetap saja terjebak dalam kekonyolan intelektual sehingga tak bisa membedakan antara Marx, Marxis, Marxisme, dan komunisme. Di Indonesia, ada sebuah keunikan yang bisa menjadi karakteristik alam pikiran keindonesiaan. Bahwa di dalam tubuh setiap rezim dan generasi bersemayam kekuatan yang mentransformasi segala sesuatu yang rasional menjadi sesuatu yang mistis dan mutlak. Hal ini sudah mulai terjadi setelah Soekarno merebut rumusan-rumusan Pancasila dari kaum ideolog yang sezaman dengan dirinya, lalu merumuskannya sebagaimana yang hadir hingga saat ini, maka Soekarno masih terus berjuang untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi tunggal dan menyingkirkan symbol-simbol Islam. Namun, Soekarno berada dalam kepungan wacana ideologi-ideologi yang sedang menguat, sehingga, dalam perspektif Geertz, Soekarno hanya dapat melakukan mistifikasi ideologis yang membuahkan staatreligion. Di satu pihak, rakyat yang tak kunjung sejahtera tersihir oleh kemampuan Soekarno sering disebut kejeniusan dalam mengintegrasikan konsep-konsep yang rasional ke dalam symbol-simbol keagamaan yang mistis khususnya Islam. Di lain pihak,
66
secara ideologis kegagalannya
hal
itu
merupakan upaya
menyejahterakan
rakyat
yang
rezim untuk semakin
memanipulasi
lapar, karena
itu
disampaikan secara agitatif untuk menyihir rakyat agar lupa pada kemiskinan yang semakin melilitnya. Soeharto tak memiliki daya sihir, melainkan daya memusnahkan ideologi lain dan memaksa dengan senjata. Karena itu, kesakralan Pancasila dibangun dari aliran darah berjuta manusia dan ritual-ritual kesaktian yang membutuhkan biaya besar. Namun, rakyat tetap saja tak tersertakan ketika kesejahteraan kaum elite lepas landas. Ketakutan yang mistis dari rakyat pun berubah menjadi arus balik yang menjatuhkan rezimnya. Sebenarnya, pensakralan NKRI memiliki tipologi yang sama dengan apa yang dilakukan Soeharto terhadap Pancasila, yakni melalui senjata dan pemutlakan penyingkaran symbol-simbol Islam.
B. Militer dan Peminggiran Islam Politik Peminggiran Politik Islam, posisi politik umat Islam setelah ORBA berkuasa tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. seperti halnya dengan rezim ORLA (Soekarno), ORBA juga menerapkan strategi politik yang tidak aspiratif terhadap Islam, dengan kata lain menekan potensi politik umat Islam. Hal ini dilakukan bertujuan untuk membonsai kekuatan politik Islam yang dianggap sebagai ancaman terhadap kelangsungan rezim ORBA. Akibatnya, kekuatan politik umat Islam yang direpresentasikan oleh partai politik Islam, seperti PARMUSI, NU, PERTI, dan PSSI di pemilu pertama ORBA berkuasa 1971 tidak memiliki kekuatan politik yang kuat untuk menandingi kekuasaan ORBA karena Soeharto telah memberikan Fusi partai Islam kedalam PPP.
67
Pada masa ORBA, mengharapkan terjadinya peningkatan kekuasaan politik komunitas muslim merupakan kesalahan perkiraan yang serius. Rezim militer yang dipimpin oleh Soeharto lebih khawatir dengan aspirasi-aspirasi Islam dalam bidang politik daripada Soekarno. 5 Itu sebabnya, agenda politik ORBA adalah depolitisasi Islam. Proyek ini didasarkan pada asumsi bahwa Islam yang kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modernisasi. Pandangan sesungguhnya mengandung logika politik bahwa, depolitisasi Islam adalah usaha mempertahankan kekuasaan dan melindungi kepentingan elite kekuasaan Orde Baru.6 Menurut pengamatan Michael R.J. Vatikiotis, pemerintahan ORBA meniru kebijakan Belanda yang mengebiri politik Islam sambil mempromosikan Islam
kultural.
Belanda
menganggap
Islam
menjadi
simbol
kekuatan
antikolonialisme. Karena itu, Snouck Hurgronje membuat kebijakan yang mempromosikan Islam sebagai agama, membatasi pada tempat ibadah (masjid) dan menjauhkan dari negara.7 Jika pada awal Orde Baru, militer memilih untuk melakukan pendekatan kompromi dengan berbagai kekuatan dalam masyarakat, itu disebabkan oleh masih kuatnya nuansa politik dalam kehidupan masyarakat. Lebih dari itu, beberapa partai politik, baik yang mewakili kelompok nasionalis seperti PNI, maupun yang mewakili kelompok Islam yang di wakili NU maupun aktivis
5
M Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 120 6 M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru..... h. 63 7 Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics Under Soeharto, Third Edition, (London: Routledge, 1998), h. 120
68
Masyumi masih memiliki kekuatan masa. Oleh sebab itu, jalan terbaik bagi militer untuk mengambil simpati masa adalah melakukan kompromi dengan kekuatan-kekuatan partai politik. Tetapi Golkar yang dibantu oleh militer dengan berbagai cara, termasuk dengan cara intimidasi, dan berhasil memenangkan pemilu pada
tahun 1971. 8 Walaupun
kemenangan Golkar
mengundang
kontroversi, tetapi dengan kemenangan tersebut pemerintah Orde Baru paling tidak merasa
telah
memiliki
legitimasi
kuat
untuk
menjalankan
roda
pemerintahan. Dengan demikian kompromi-kompromi yang dilakukan untuk mendekati parpol seperti yang dilakukan pada awal pergantian kekuasaan, tidak diperlukan lagi.9 Beberapa
pendekatan
yang
mengkristal
menjadi
kebijakan yang
memojokan Islam bisa diurut secara kronologis sejak awal Orde Baru. Sejak tahun 1970-an, dalam hal ini Ali Moertopo memiliki peranan penting di dalam lingkungan presiden. Misi dan kepentingan yang dibawa Ali Moertopo ini ternyata seirama dengan kepentingnan kelompok nasionalis dan kelompok nonMuslin (Katholik dan Protestan). Kesamaan pandangan, terutama menyangkut
8
Pada pemilu 1971 yang diikuti oleh 10 partai politik (NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Partai Katholik, Perti, Murba, IPKI, dan Golkar), Golkar berhasil meraih suara terbanyak, yaitu 62,80% suara (34,348 suara) atau 65,56 % kursi (227 kursi). Semetara urutan kedua dan ketiga ditemapati oleh NU dan Parmusi. R. William Liddle, Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3S, 1992. Baca juga, Seri Penerbitan Studi Politik, Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI, Evaluasi Pemilu Orde Baru, Bandung: Mizan, 1997 9 Campur tangan militer dalam memenangkan Golkar pada pemilu 1971 diungkapkan oleh Ernest Utrech: “The Second Indonesia elections, which were held on 3 July 1971, were won by the army sponsored Golongan Karya (Golkar). Using intimidation and threats, arresting opponents regarded as dangerous, misususing government facilities, and putting in to practice the fraudulent system of Bebas Parpol. Ernest Utrecht, “ The Military and Elections”, dalam Oey Hong Lee, Indonesia After The 1971 Elections, London: Oxford University Press, 1974, hlm 76, Sebagaimana dikutip oleh M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Sebuah Potret Pasang-Surut, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993
69
NKRI dan ideologi Pancasila tersebut telah menyatukan mereka. Hal ini berbeda dengan kelompok Muslim yang terobsesi untuk memunculkan ide-ide yang menurut kelompok Ali Moertopo sebagai ide sempit dan eksklusif, yaitu ideologi Islam. Sementara Ali Moertopo
dengan kepentingan
terhadap
kelompok
minoritas, termasuk etnis Cina dan Khatolik, untuk berhadapan dengan umat Islam yang sejak awal di curigai oleh Ali Moertopo sebagai kekuatan yang akan mengancam kekuasaan pasca dibubarkannya PKI. Dalam hal ini konteks konfrontasi terhadap Negara, Islam diposisikan sama dengan PKI, bahkan lebih berbahaya. 10 Sejak saat itu, keadaan umat Islam menjadi kekuatan yang selalu dipinggirkan secara politik dan kemesraan yang pernah terjalin dengan militer menjadi retak. Ironisnya, ummat Islam harus menanggung beban yang cukup berat menghadapi tiga kekuatan sekaligus, yaitu militer kedekatan di antara elit militer dengan ummat Islam, khususnya kalangan ulama pada waktu itu lebih disebabkan oleh dua hal. Pertama, kedekatan cultural, yaitu kedekatan karena adanya kesamaan pemahaman menyangkut Islam. Kedekatan cultural ini bisa dilihat dari beberapa militer yang memiliki latar belakang keislaman yang kuat yang kemudian tercermin dalam langkah dan kebijakan. Pada masa Orde Lama, terdapat Jenderal Soedirman yang berasal dari Muhammadiyah dan aktivis
10
Leo Suryadinata, Golkar dan Militer, Studi tentang Budaya Politik, (Jakarta: LP3S, 1995), h. 33
70
Hizbulwathan, juga ada A.H. Nasution yang dianggap memiliki pemahaman dan komitmen dalam keislamannya. 11 Pada
masa
Nasution
menjabat
sebagai
menteri
pertahanan,
ia
mnegusulkan penanaman nilai-nilai keislaman dalam tubuh militer. Walaupun ide tersebut mendapat banyak tanggapan baik yang setuju maupun yang tidak. Pada akhirnya sikap tersebut terealisir dalam bentuk penanaman ajaran keislaman. Kenyataan ini merupakan refleksi dari latar belakang keagamaan Nasution yang dikenal cukup kuat. Kedua, adanya kesamaan kepentingan. Kedekatan ini bersifat sementara dan lebih bersifat taktis politis. Hal ini dapat dilihat dalam kerjasama menumpas anggota PKI. Hal lain yang menunjukan kerjasama yang dilatarbelakangi kepentingan pada waktu itu, pemerintah yang dimotori oleh Ali Moertopo mengajukan UU Perkawinan. UU tersebut mendapat reaksi keras dari pemerintah. sementara itu, Soemitro menawarkan undang-undang tentang hal yang sama yang disampaikan pada kalangan pada kalangan ulama. Realitas ini semakin memperjelas adanya
dualisme
kapentingan di kalangan militer
menanggapi tentang UU yang terkait dengan ummat Islam. 12
dalam
Lebih dari itu,
militer pada tahun 1970-an sampai awal 1980-an selalu menciptakan musuhmusuhnya sendiri, dengan beragam istilah untuk kemudian dihancurkan. Istilah
11
Pembahasan mengenai sikap dan sosok Soedirman, termasuk tentang aktivitasnya di Muhammadiyah dapat di bacadalam buku; Salim Said, Genensis of Power, Genenral Soedirman and The Indonesia Military in Politics 1945-49, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993, h. 55-90 12 Mengenai munculnya persaingan atau perbedaan kepentingan di kalangan Militer, khususnya antara Ali Moertopo dengan Soemitro, secara tersirat diakui oleh Soemitro. Bahkan Soemitro merasa ada adu domba antara dirinya dengan Soeharto. Ramadhan K. H., Soemitro Mulawarman Sampai Pangkopkamtib, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994, h. 284-287
71
umum yang sering dimunculkan adalah ekstrim kiri untuk menunjuk orang-orang yang terkait dengan komunisme, dan ekstrim kanan untuk menuduh kelompok Islam radikal (Islam politik). Tidaklah terlalu mengherankan jika pada masa Orde Baru militer sangat menghegemoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui kepiawaian para perwira TNI dalam proses bernegara, nyaris tidak ada ruang kosong yang tidak terdeteksi dan terjamah oleh tangan-tangan militer Indonesia. Atas nama stabilitas dan
pembangunan
tentara
melakukan
penetrasi
ke
masalah-masalah
kemasyarakatan, mulai dari persoalan partai politik, penguasaan lahan ekonomi, kebudayaan, organisasi, pendidikan, dan lain-lain. Tak jarang TNI melakukan tindakan represifitas terhadap para aktifis yang melakukan penolakan atas kebijakan-kebijakan yang digelontorkan pemerintahan Soeharto. Untuk menguatkan posisi kekuasaannya, Soeharto menggunakan tentara untuk mendominasi jabatan-jabatan politik strategis dan membenarkan campur tangan tentara dalam politik. Pada akhir 1970-an, separuh anggota kabinet dan dua pertiga jabatan gubernur dijabat oleh militer. Pada tingkat bupati dan walikota, 56% adalah tentara, direktur jenderal 70% dan sekretaris menteri 84% diduduki oleh militer. Hampir separuh jabatan duta besar pada 1977 adalah berasal dari golongan tentara. Lebih lanjut tentang campur tangan militer dalam politik, cukup banyak kasus yang telah dilakukan oleh militer, antara lain campur tangan dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tahun 1996 yang kemudian melahirkan peristiwa 27 Juli 1996. Pada tahun 1993, Soeharto melakukan infiltrasi terhadap organisasi
72
Nahdhatul ‘Ulama (NU). Di mana Soeharto menolak terpilihnya Abdurrahman Wahid menjadi ketua NU pada Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat. Gus Dur tidak direstui Soeharto, karena Gus Dur adalah salah seorang pendiri Forum Demokrasi yang cukup kritis terhadap perkembangan situasi nasional.
C. Islam dan Militer Sebuah Sejarah Pasang Surut Secara global, dalam sejarah umat Islam persoalan militer selalu bermuara pada pembagian kekuasaan antara kedudukan khilafah (pemimpin) yang berpungsi hanya sebatas symbol, sementara pelaksanaannya adalah milter. Kenyataan ini di satu sisi, sering diterima oleh kalangan Islam sebagai realitas yang tidak terelakan, tetapi disisi lain sering mendapat perlawanan dari kelompok yang tidak puas dengan perlakuan yang militeristik. Ketidakpuasan itu kemudian mengkristal menjadi sebuah perlawanan cultural, yaitu bagaimana nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat bawah bisa diterima dan diserap oleh kelompok elit militer. Perlawanan ini biasanya dilakukan oleh kalangan aktivis tarekat yang membuat kelompok tandingan bagi kekuasaan yang militeristik. 13 Dalam konteks Indonesia, sejarah militer sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari konteks sosiologis bangsa. Pada masa perjuangan kemerdekaan, beberapa lascar yang dibentuk oleh ummat Islam mentrasformasikan diri ke dalam Badan Keamanan Nasional (BKN) yang kemudian terwujud dalam bentuk Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tidak heran jika sosok Soedirman yag aktivis Muhamadiyah menjadi tokoh cukup penting dalam sejarah militer Indonesia.
13
Adurahman Wahid, “Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah”, (Prisma, No. 12, Desember 1980), h. 65-71
73
Dalam perkembangannya, sebagaimana dalam sejarah militer pada umumnya, terjadi tarik menarik antara militer dan ummat Islam. Dalam tubuh militer sendiri terjadi perpecahan. Ada kelompok yang dekat dengan kaum nasionalis, ada pula sebagian militer yang mendukung dan terlibat dalam pemberontakan dengan mengatasnamakan Islam. Pada awal Orde Baru, kalangan elit militer selalu bersikap hati-hati bahkan mencurigai terhadap langkah politik ummat Islam, tetapi ada juga militer yang berusaha memahami langkah ummat Islam. Kenyataan ini memperkuat sejarah perjalanan militer di Indonesia yang selalu memiliki keterkaitan dengan Islam walau dalam batas-batas tertentu. Dalam sejarahnya, muncul militer-militer yang secara personal memiliki perhatian dan kedekatan terhadap kelompok Islam karena pemahamannya terhadap Islam itu sendiri. Kedekatan yang bersifat personal itu sering mengalami subordinasi ke dalam system komando yang menempatkan Islam sebagai kekuatan yang mengancam. Sehingga kedekatan personal ini tidak banyak memiliki arti dan pengaruh bagi perubahan interaksi antara militer dengan ummat Islam yang renggang. Di dalam perkembangannya
politik
praktis, perkembangan
Islam
sebenarnya mulai terlihat, hal ini bisa terlihat dari pembangunan atau penyediaan tempat ibadah seperti mushalla dan mesjid di beberapa instansi pemerintah. secara umum mulai ada perkembangan secara kuantitatif dalam aktivitas keagamaan jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Dalam hal ini secara cultural Islam masih
menunjukan
pengaruhnya.
Realitas
tersebut
tidak
serta
merta
mencerminkan adanya pendekatan akomodatif, khususnya dari pihak militer
74
terhadap ummat Islam. Dalam konteks ini, pengamalan ajaran agama dan nilainilainya yang bersifat non-politik, militer tidak banyak ikut campur. Lain hal dalam persolan yang bersifat politik militer tidak pernah memberikan ruang dan tempat. Pembangunan tempat ibadah pun di instansi pemerintah tidak lepas dari tuduhan Islam radikal. Hal ini sengaja diciptakan militer untuk memperlihatkan kesan bahwa Islam memang merupakan sebuah ancaman bagi integrasi bangsa. Pembicaraan tentang eksistensi ekstrim kanan komando jihad dan kegiatan terorisme di Padang dan Medan semakin menghangat. Soedomo sebagai Kaskopkamtib menuduh adanya Islam politik yang mendapat bantuan dana dari Lybia. Sebuah tuduhan yang mengindikasikan adanya kesungguhan sekelompok ummat Islam untuk mendirikan Negara Islam. Tuduhan-tuduhan ini diiringi dengan pengawasan dan pengendalian terhadap berbagai aktivitas ummat Islam. Setiap penceramah atau da’i terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari pihak keamanan sebelum menyampaikan isi ceramah pidatonya. Perlakuan yang refresif semacam ini telah memancing kemarahan dan
menimbulkan tindakan radikal
dikalangan ummat Islam. Jika dilihat dari sejarah kronologisnya, hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus yang melibatkan radikalisme di kalangan ummat Islam. Gerakan jama’ah Imran di Cimahi, Jawa Barat pada tahun 1980 yang kemudian berlanjut dengan pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla pada tanggal 28 Maret 1981 merupakan gerakan yang bercita-cita mendirikan Negara Islam. Gerakan ini dapat ditanggulangi dan para pemimpin organisasi ini mendapat hukuman mati.
75
Hal serupa terjadi pada kasus Tanjung Priok, peristiwa ini terjadi pada tanggal 7 September 1984, hal ini dipicu oleh ketidaksopanan tingkah sikap aparat keamanan, Hermanu terhadap sebuah tempat ibadah mushalla di Jakarta Utara. Perilaku tidak etis ini memancing amarah masyarakat muslim dan kekerasanpun terjadi yang pada saat itu keadaan memuncak seiring dengan rencana pemerintah untuk menerapkan asas tunggal. Kekerasan pun semakin berlanjut pada tanggal 24 Desember 1984 terjadi peledakan gereja Katholik di Malang yang berlanjut pengeboman candi Borobudur pada tanggal 21 Januari. Di Aceh pada tanggal 18 Mei 1987 muncul pasukan berjubah serba putih yang menyebabkan terjadinya kontak senjata dengan militer. Tindakan refresif lainnya diperlihatkan oleh militer pada tahun 1980, yaitu peristiwa Lampung yang dikenal dengan nama Jama’ah Mujahidin fi Sabilillah di bawah pimpinan Warsidi. Tragedi ini pun kembali menimbulkan korban jiwa. Berbagai tindakan dan gerakan radikal yang diperlihatkan ummat Islam ini menjadi alat pembenaran bagi kalangan militer yang pada waktu itu didominasi dari kalangan non-muslim dan abangan bersikap menekan represif terhadap ummat Islam dan semakin terjadinya peminggiran dan semakin renggangnya antara Orde Baru, militer dengan ummat Islam. Ummat Islam dianggap sebagai kelompok mayoritas yang menjadi ancaman besar bagi pemerintah dan militer apabila berkembang secara politik, hal ini yang menjadikan persitiwa di atas terjadi. Sikap militer yang represif terhadap ummat Islam tidak lepas karena dominasi elit militer yang dipimpin dari kalangan nonmuslim dan abangan seperti Ali Moertopo, Soedomo, dan L.B. Moerdiani mereka
76
adalah orang-orang yang dekat dengan Soeharto dan memiliki peran yang sangat dominan dan strategis dalam pemerintahan Orde Baru dan secara langsung mempengaruhi sikap militer terhadap ummat Islam. Di samping itu kepentingan pemerintah
yang
menginginkan
stabilitas
Negara
untuk
program
pembangunannya dan ingin menjadi kekuatan single mayority. Keadaan radikal yang dilakukan ummat Islam terjadi karena tingkat sikap represif militer terhadap ummat Islam yang dirasakan sudah melewati batas. Kekuasaan Negara yang semakin dominan ini telah memungkinkan militer yang menjadi penyangga utamanya bisa bertindak keras terhadap setiap kelompok khususnya ummat Islam yang dianggap mengancam kekuasaan dan keutuhan NKRI. Atas tindakan represif militer inilah terjadi radikalisme yang dilakukan sebagian ummat Islam yang berlangsung sampai 1990-an. Pada awal tahun 1990-an terjadi pergeseran di dalam tubuh organisasi TNI yang mulai memperlihatkan semakin terdesaknya Moerdiani. Dan perwira militer muslim mulai menempati posisi strategis. Tahun 1993 ketika posisi Pangab dipercayakan kepada Jenderal TNI Feisal Tanjung setelah ia dinilai cukup berhasil melakukan penyelidikan sebagai Dewan Kehormatan Militer (DKM) terhadap peristiwa kerusuhan Santa Cruz yang terjadi di Dili tanggal 12 November 1991 dan yang terlibat dan bertanggung jawab adalah orang binaan Moerdani. Kemudian disusul posisi KSAD diserahkan pada Jenderal TNI R. Hartono, munculnya Feisal Tanjung dan R.Hartono di dalam posisi strategis militer dianggap sebagai kehadiran dua Jenderal santri. Dari kedua jenderal ini hubungan Islam dan militer mulai berlangsung secara baik. Hal ini karena kedua
77
jenderal ini sangat dekat dengan berbagai kelompok
Islam, baik NU dan
Muhammadiyah, maupun dengan kelompok Islam lainnya yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman kedaulatan Negara.
BAB IV KEADAAN BARU HUBUNGAN UMAT ISLAM DENGAN MILITER
A. Nilai-nilai Islam yang Bangkit dan Negara yang Rapuh Awal tahun 1990-an muncul beberapa perubahan yang berlangsung dalam kebijakan nasional baik itu tataran konstelasi politik budaya. Negara mulai menerapkan keterbukaan politik yang selama ini represif terhadap umat Islam yang sebelumnya menjadi kelompok yang di marginalkan. Dilain keadaan, para cendikiawan muslim yang sejak awal tahun 1970-an bersamaan dengan pembangunan politik yang dilakukan pemerintahan Orde Baru waktu itu mampu membangkitkan nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam wacanawacana keislaman yang lebih terbuka yang dapat melampaui batas-batas hubungan Islam politik. Keadaan baru dalam konstelasi politik Orde Baru ini dengan sendirinya telah memperluas wilayah penyebaran nilai-nilai keislaman yang universal. Umat Islam tidak lagi terjebak pada ideology Islam yang secara politik hanya diwakili oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tetapi Orde Baru telah meletakan nilai-nilai Islam secara universal yang bisa diwujudkan dalam beragam bentuk wahana maupun lembaga dalam bentuk parpol yang tidak bersifat monolitik maupun lembaga kemasyarakatan lainnya dan organisasi keagamaan. Walaupun dilain pihak Orde baru memperbatas wilayah Islam politik yang lebih berorientasi pada tegaknya syariat Islam secara legal formal.
75
76
Perubahan yang terjadi ini tidak lepas dari peran serta para cendikiawan muslim yang berhaluan modernis diantara tokoh itu adalah Nurcholis Madjid, M.Amien Rais, M. Syafii Maarif, Abdurahman Wahid, Kuntowijoyo, Dawam Rahardjo dan beberapa tokoh lainnya yang sejak awal telah memperjuangkan tersebarnya wacana Islam yang lebih inklusif yang menekankan pada nilai-nilai substansi ajaran Islam yang lebih universal daripada perjuangan yang bersifat formalistic-legalistik. Bagi mereka tokoh yang berhaluan modernis sosialisasi ajaran Islam bisa dilakukan melalui semua lembaga dan organisasi. Dalam bentuk konkrit lainnya kebijakan NU untuk kembali ke khittah 1926 yang dicetuskan dalam muktamar di Situbondo tahun 1984 yang memungkinkan tersalurkannya suara dan aspirasi masyarakat NU di semua parpol yang lain yang memungkinkan tersalurkannya aspirasi umat Islam semakin luas. Ini merupakan salah satu konsekuensi logis yang positif dari pengembangan Islam yang lebih inklusif, substantive dan bersifat cultural.1 Sehingga warga NU tidak lagi terpaku untuk menyalurkan suaranya pada PPP sebagaimana pada tahun 1971-1977 dan awal tahun 1982. Kenyataan ini merupakan rangkaian dari proses alami dalam tumbuhnya kesadaran yang berlangsung dalam diri umat Islam. Kesadaran ini bukan merupakan hasil dari sudut pandang rekayasa Negara untuk memanjakan umat Islam, melainkan proses panjang penyebaran nilai-nilai keislaman yang lebih
1
Keputusan NU untuk tidak menjadi partisan partai tertentu berdampak pada menurunnya perolehan suara PPP yang sebelumnya banyak didukung oleh NU. Pada pemilu 1987, pada perolehan PPP menurun dari 27,78% suara (23,50% kursi) pada pemilu 1982 menjadi 15,97% suara (15,25% kursi) pada pemilu 1987. Menurut para pengamat penurunan ini sebagai akibat dari penggembosan yang dilakukan oleh NU terhadap PPP. R.William Liddle, Pemilupemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES, 1992
77
terbuka dan progresif. Sejak awal pertengahan tahun 1980-an fenomena kebangkitan Islam mulai terlihat khususnya di pulau Jawa. Hal ini ditandai dibeberapa wilayah Jawa yang sebelumnya dikenal sebagai pusat Islam Kejawen mulai menunjukan Islamisasi yang sebenarnya. Sebuah kejadian yang tidak pernah terlihat sebelumnya. 2 Kegairahan umat Islam ini mulai menyebar dengan sendirinya dan memperbesar munculnya sumberdaya manusia muslim yang berkualitas. Banyak umat Islam yang mulai memasuki wilayah pemerintahan dilembaga legislative dan eksekutif yang sebelumnya menjadi wilayah asing bagi mereka. Golkar yang merupakan partai pemerintah dan sejak awal didominasi oleh kelompok abangan dan non-muslim mulai banyak diwarnai oleh kelompok Islam. 3 Hal ini menyebabkan Negara tidak bisa lagi memperlakukan umat Islam seperti masa-masa sebelumnya yang selalu diintimidasi dan dicurigai atas alasan stabilitas Negara. Pada tataran kebijakan pemerintah Orde Baru mengeluarkan keputusan maupun peraturan yang mendukung terhadap keinginan umat Islam. Pada tahun 1988 disahkan undang-undang peradilan agama yang memberikan wewenang pada peradilan agama untuk menangani masalah pernikahan dan warisan. Kemudian pada tahun 1989 diumumkan undang-undang pendidikan nasional yang memasukan mata pelajaran agama dalam kurikulum sekolah negeri. Pada tahun 1990 terbentuknya Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), kebijakan ini dikeluarkan pemerintah menyangkut kebebasan siswa untuk memakai busana
2 Robert W. Hefner, Islam, Pasar, Keadilan, Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 251 3 Leo Suryadinata, Golkar dan Militer, Studi tentang Budaya Politik, (Jakarta: LP3ES, Agustus 1992), h. 158
78
pakaian muslimah jilbab pada tahun 1991. Lembaga pendidikan umum memasukkan pendidikan agama dan memasukan kurikulum umum di sekolahsekolah agama. Hal ini terlebih dulu telah di awali oleh K.H. A. Wahid Hasyim pada zaman kabinet Natsir tahun 1950-1951 dikeluarkan melalui peraturan No. 3/1950. Dalam hal ini, terbentuknya ICMI merupakan hal yang bisa menghapus kesan negative yang ditunjukan pada umat Islam sebagai kelompok ekstrim kanan. Kehadiran ICMI menjadi awal dari kebangkitan nilai-nilai keagamaan di berbagai lapisan masyarakat baik di kalangan elit Orde Baru maupun di kalangan militer. Sikap akomodatif pemerintah terhadap aspirasi umat Islam adalah penghapusan Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) pada tahun 1993.4 Dalam bidang ekonomi, pemerintah menetapkan badan amil zakat, infak, dan sedekah sebagai lembaga pengumpul dan pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI), sebuah lembaga keuangan yang dijalankan sesuai dengan syariat Islam. Perubahan ini menunjukan sebuah respon Negara terhadap perkembangan umat Islam yang telah tumbuh dari proses panjang yang dijalani oleh umat Islam. ini yang menjadi salah satu dari proses yang melahirkan perubahan dalam diri umat Islam Indonesia yang berkenaan dalam pendidikan. John L. Esposito dalam bukunya “Islam dan Politik” mengatakan, lembaga pendidikan yang ditempuh oleh umat Islam telah menawarkan atmosfir baru bagi pencerahan pemikiran dalam memahami berbagai persoalan, termasuk masalah Negara dengan agama. Dalam hal ini pemikiran politik Islam yang berkembang kuat sejak awal adalah bahwa persoalan agama dan Negara merupakan realitas tunggal, keduanya 4
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 236
79
memiliki hubungan yang menyatu untuk menegakan hukum atau ajaran Tuhan di muka bumi. Tahun 1990 adalah awal tahun terjadinya sejarah baru bagi umat Islam Indonesia yaitu kedekatan umat Islam dengan Negara dan merupakan peristiwa yang luar biasa di tengah keadaan pandangan politik yang cenderung memojokan Islam. kedekatan ini menimbulkan pandangan analisa dari berbagai institusi dan kalangan. Dari beberapa pandangan yang optimis dan pesimis yang menelaah perubahan tersebut.
Pertama, mereka yang menilai kedekatan tersebut lebih
disebabkan oleh factor proses yang alami yang melahirkan generasi muda muslim yang lebih berwawasan luas dan lebih bersikap terbuka yang pada akhirnya Negara bisa mengakomodir untuk menempatkan posisi strategis di dalam lembaga eksekutif. Pandangan optimis ini tidak lepas dari pandangan yang melihat bahwa kedekatan tersebut merupakan kelanjutan dari proses pembaruan pemikiran Islam yang telah dibangun sejak awal. Pembaruan pemikiran yang dikembangkan oleh para cendikiawan muslim modernis yang lebih menekankan aspek cultural telah menghilangkan kecurigaan pemerintah terhadap umat Islam yang diidentikan dengan gerakan kelompok radikal. Di samping itu, kepiawaian sikap berpolitik umat Islam dalam menyesuaikan diri dengan keadaan politik pemerintah. umat Islam berhasil membaca kesempatan yang ditawarkan oleh pemerintah untuk aktip masuk di lembaga pemerintahan pusat kekuasaan. Kedua, datang dari kalangan pesimis yang menilai kedekatan tersebut sebagai sebuah rekayasa pemerintah untuk kepentingan mempertahankan kekuasaannya. Hal ini didasarkan pada pandangan seperti, kepentingan penguasa
80
pada saat itu untuk melebarkan kekuasaannya, simbol-simbol Islam yang dipakai oleh pemerintah hanya strategi untuk mendapat dukungan politik dari umat Islam sebagai bagian dari usaha untuk memperkuat hegemoni kekuasaannya.5 Karena rapuhnya kekuasaan Soeharto, yang disebabkan berkurangnya dukungan militer terhadap kepemimpinannya. Oleh sebab itu, Soeharto memerlukan kekuatan baru untuk memperkuat dan mempertahankan kekuatan system politiknya dan umat Islam yang mayoritas di Indoensia menjadi pilihannya. Dukungan dari umat Islam ini menjadi penting bagi Soeharto, karena ia mulai mengalami krisis dukungan. Dalam sejarahnya, Negara di bawah pimpinan Soeharto pada akhir 1980-an sedang berada dalam kebangkrutan yang disebabkan karena berkurangnya dukungan dari institusi militer yang pada waktu itu menjadi pendukung utama Soeharto. Hal ini karena L.B. Moerdiani yang selama ini menjadi pengaruh besar dan memegang kendali militer melakukan perlawanan terhadap kepemimpinan Soeharto. Hal ini ditandai pada saat Sidang Umum MPR 1988 dimana dukungan terhadap pencalonan yang mendahului terhadap calon yang akan diajukan dan disetujui Soeharto, menjadi salah satu bukti dari adanya kerenggangan antara Soeharto degan militer. Kedua alasan optimis dan pesimis tersebut merupakan dua hal yang saling terintegrasi dan tidak bisa terpisahkan. Karena kedua factor tersebut merupakan hal yang saling mendukung yang memotivasi bagi munculnya kedekatan antara umat Islam dengan pemerintahan Soeharto.
perubahan
hubungan
dalam
perkembangannya yang terjadi di dalam umat Islam disambut dan berjalan 5
M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, Agustus 1999, hlm. 194. Baca juga I. Chalmers, “Introduction to this issue”, (Prisma, No. 49, 19900, h. 3
81
seirama dengan
kepentingan
pemerintahan
Soeharto untuk mendapatkan
dukungan dari kalangan Islam. hal ini dikarenakan umat Islam telah tumbuh pemikiran yang lebih terbuka dan pemerintah meresponnya.
B. Bergesernya Jabatan Militer pada Awal Tahun 1990-an Dalam tataran pandangan demokrasi, kekuasaan yang dikendalikan oleh militer akan terpuruk ke dalam system otoriter. Oleh sebab itu, militer dengan system komandonya merupakan dunia yang berdiri secara diametral dengan demokrasi. Selama ada kekuasaan militer maka selama itu pula demokrasi akan lumpuh. Di Indonesia, sejak bergulirnya tuntutan demokrasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia yang dihembuskan oleh Negara maju bergulir seiring dengan berakhirnya perang dingin. Tuntutan demokrasi yang begitu kuat telah memaksa berbagai Negara untuk menata diri dan menyesuaikan dengan arus perubahan besar itu termasuk Indonesia, yaitu adanya perubahan yang lebih baik di dalam institusi militer. Perubahan yang terjadi adalah berkurangnya keterlibatan militer dalam persoalan politik serta wilayah intervensi militer terhadap wilayah sipil mulai menyempit. 6 Di Institusi militer semakin banyak generasi-generasi baru yang lahir dari lembaga pendidikan formal seperti Akabri, Akmil. Kemunculan generasi baru ini membawa perubahan dinamika politik militer, hal ini dikarenakan dalam dunia pendidikan militer terdapat factor kognitif dan afektif sama seperti institusi pendidikan universitas yang bisa mempengaruhi pola tingkah laku dan sikap setiap individu. Banyak nilai-nilai kepemimpinan yang diajarkan dalam pendidikan Akabri/Akmil baik itu nilai-nilai budaya lokal Jawa 6
www.asiaweek.com edisi 20 Januari 1995. “No More Coups? Across Asia, the Rise of Democracy Is Changing the Military”
82
maupun tentang kepemimpinan Nabi Muhammad saw dalam Islam dan para Nabinabi pada umumnya termasuk para panglima perang Islam setelah Muhammad saw. Pola pendidikan yang dikembangkan Akabri/Akmil tidak lepas dari budaya lokal Indonesia dan penekanan pendidikan spiritual bagi kalangan militer, kegiatan tersebut dilakukan sebagai ekstrakurikuler yang dilakukan setiap habis melaksanakan shallat 5 (lima) waktu yang dilakukan oleh para senior militer dan pengajian berkala yang mendatangkan pengajar/penceramah dari luar kalangan militer. Hal ini untuk menumbuhkan militer yang mengerti nilai-nilai keislaman yang tumbuh bersama nilai-nilai kultural dalam setiap individu prajurit, walau demikian terjadi penekanan pada kepentingan Negara yang dimotori Orde Baru tertanam sangat dalam pada diri militer, sehingga terjadi paradoksalitas di dalam institusi militer yang berakibat sikap militer dikendalikan oleh Soeharto selaku pemegang kekuasaan yang terlihat dari keterlibatan militer santri dalam operasi militer yang sangat bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai keislaman yang menekankan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Generasi baru militer yang menempati posisi strategis baik sebagai perwira menengah dan tinggi pada tahun 1990-an lebih professional dalam memposisikan diri dan jabatannya. Hal ini berbeda dengan militer angkatan 45 yang tercermin dari sikap penyelesaian masalah angkatan 1945 lebih berpikir instan tanpa mempertimbangkan dampak akibat yang akan muncul di lain waktu dan hal ini dikarenakan dari keadaan pragmatis dan fleksibelnya angkatan militer 1945 yang berlainan visi, misi dan pandangan dengan generasi militer 1990-an. Hal ini didasarkan pada sebuah proses alamiah di dalam masyarakat langsung.
83
Militer angkatan 1945 tidak lahir dari tempaan sekolah formal tetapi hasil dari sebuah bagian langsung bersama masyarakat melawan penjajah. Generasi militer tahun 1990-an yang memiliki posisi strategis adalah militer yang berasal dari keluarga muslim. Hal ini tidak lepas dari perubahan sikap dari sebagain umat Islam di seluruh Indonesia yang memasukan anak mereka ke lembaga institusi pendidikan militer. NU pada tahun 1968 mengeluarkan himbauan bagi kalangan muda NU untuk masuk dunia militer. Karena fasilitas yang disediakan lembaga pendidikan militer dijamin oleh Negara, di samping itu juga peran strategis militer dalam konstelasi politik nasional. 7 Hal ini karena sejak awal dilaksanakannya pendidikan militer secara formal terjadi minat yang tinggi dari masyarakat untuk masuk pendidikan militer. Banyaknya taruna-taruna militer yang lahir berkepribadian religius tidak lepas dari latar belakang keluarga dan di topang ketika menjalani pendidikan keagamaan di lembaga militer yang intensif baik sebagai materi intra dan ekstra kurikuler. Diantara taruna Akmil yang memiliki ketertarikan dan komitmen terhadap masalah keislaman adalah Jenderal TNI R. Hartono, Jenderal TNI Feisal Tanjung,Letjen TNI Syarwan Hamid, dan Letjen TNI Hendropriyono. Mayjen TNI Syamsul Ma’arif,8 Mayjen Kivlan Zen, 9 Mayjen TNI Muchdi PR,10 Mayjen
7
Andree Feillard, NU vis-a-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 152 8 Syamsul Ma’arif menjabat Staf Pengamanan (SPAM) TNI AD di Jakarta (1993), Koordinator Staf Pribadi Pangab/Sekretaris Pangab (1994), Danrem (Surabaya) termuda diseluruh Indonesia (1995), Kasdam V/Brawijaya (1997), dan Gubernur Akmil (1998), www.tni.mil.id 9 Jabatan yang pernah dijabat adalah Kasdam VII/Wirabuana (1996), Kepala Staf Kostrad (1997), dan Koordinator Staf Ahli KSAD (1998). www.tni.mil.id 10 Alumni Akabri 1970 pernah menjabat Kasdam V/Brawijaya (1996), Pangdam VI/Tanjungpura (1997), Komandan Jenderal Kopassus (1998). www.tni.mil.id
84
TNI A Rahman Gaffar,11 Letjen TNI Suadi Marasabessy, 12 Mayjen TNI Sjafrie Sjamsuddin, 13 Mayjen TNI Zacky Anwar Makarim. Para jenderal ini menempati posisi-posisi yang sangat strategis menggantikan posisi yang dulu dipegang oleh kelompok L.B. Moerdiani. Selain dari para Jenderal tersebut lahir dari latar belakang keluarga dengan dasar keagamaan yang cukup agamis, ada juga sebagian prajurit militer yang meminati semangat keagamaan yang tumbuh pada saat mengikuti pendidikan di Akmil, Akabri seperti Letjen Prabowo Subianto. 14 Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama menjadikan umat Islam sebagai penduduk yang mayoritas, hal ini memberikan kesempatan yang sangat luas untuk aktif di berbagai lembaga Negara termasuk institusi militer. Umat Islam Indonesia memiliki kesempatan terbesar untuk masuk institusi militer. Sedangkan untuk suku yang memiliki porsi terbanyak masuk institusi militer adalah suku Jawa. Militer sangat terikat dengan sumpah Sapta Marga dan sumpah prajurit. Tampilnya militer yang memiliki latar belakang agama Islam yang kuat tidak sendirinya memperlakukan umat Islam secara istimewa. Keberadaan umat Islam dijadikan sebatas mitra dalam ikut serta menjaga stabilitas Negara. Gerakangerakan yang berbau separatis dan pendirian lembaga organisasi di luar ideology Pancasila tidak akan mendapat jalan. Kondisi politik Orde Baru dan kebijakan Negara yang sentralistik telah meletakan militer santri sekalipun dalam lingkaran
11
Menjabat Kasdam VIII/Trikora (1996), dan Pangdam I/Bukit Barisan (1997) Alumni Akabri 1971 pernah menjabat Asisten Operasi Kasdam IV?Diponegoro, Wakil Asisten Operasi Kasum ABRI, Asisten Operasi KSAD (1997), Pangdam VII/Wirabuana (1998). www.tni.mil.id 13 Sebagai Pangdam Jaya (1997). Sebelumnya komandan Paspampres. www.tni.mil.id 14 www.jawapos.com edisi Maret, 1998 12
85
yang sama. Militer menjadi kunci yang sangat menentukan bagi keberadaan sebuah parpol dan ormas, LSM yang ada di masyarakat dan menjadi kekuatan penekan kedaulatan rakyat. 15 Keberadaan militer santeri memang akan memiliki pengaruh terutama terhadap keberadaan umat Islam, tetapi sebagai militer mereka akan tetap berpegang teguh pada saptamarga dan sumpah prajurit. Oleh sebab itu, kebijakan mereka bertindak sebagai militer, bukan sebagai santeri. Bahwa dalam melaksanakan tugasnya latar belakang keagamaan tidak memiliki keterkaitan yang ketat dalam diri militer. Tentara tetap tentara yang akan menjalankan tugas dan ajaran agamanya. Oleh sebab itu bukanlah sesuatu yang aneh apabila tentara yang muslim rajin shallat. 16 Pandangan tersebut memperjelas posisi militer sebagai sebuah lembaga dengan agama Islam sebagai keyakinan yang bersifat personal dan perorangan. Tugas kemiliteran adalah tugas kelembagaan, sementara agama adalah panduan yang bersifat personal yang memungkinkan setiap indivu, tanpa mengenal kelas dan status sosial, memahami dan merefleksikannya dalam kehidupan sehari-hari mereka merupakan bagian dari struktur kekuasaan yang ada dan system politik yang dibangun oleh pemerintahan. Hanya saja secara kebetulan budaya mereka sama-sama berasal dari muslim. Hal ini yang menyebabkan kedekatan militer lebih bersifat persuasif agar umat Islam tidak menjadi radikal yang menyebabkan disintegrasi bangsa. Ada penekanan keagamaan dalam penanaman saptamarga dan sumpah prajurit. Setiap militer dituntut untuk menjadi penganut agama yang fanatik, yaitu 15
Benedict Anderson, Takashi S, dan Jams T. Siegel, “The Indonesia Military in the Mid1990s: Political Maneuvering or Structural Change?”, Indonesia, No. 63, April 1997. h. 104 16 William Liddle dan Sayidiman Soerjohadiprodjo, Gatra, 18 Februari 1995, h. 23
86
menjalankan ajaran agama begitupun tampilnya militer muslim yang sering diistilahkan militer
hijau, merupakan
refleksi dari usaha
militer
untuk
menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Agama bagi militer bukan berarti sesuatu
sepintas
lalu.
Namun
demikian
bukan
berati
militer
ingin
mencampuradukan persoalan tentara dengan agama. Agama merupakan penuntun bagi setiap pribadi, sementara sapta marga adalah panduan kelembagaan militer yang secara keseluruhan yang melintasi batas keagamaan, baik itu Islam, Kristen, Budha, Hindu dan agama lainnya. Hal ini berarti ada titik kesamaan antara satu agama dengan agama lainnya dalam mendekati masyarakat. 17 C. Hubungan Islam dengan Militer Terjadinya perubahan hubungan antara Islam dengan militer pada masa Soeharto tahun 1990-an yang dimulai dengan pertentangan di jajaran elit militer mendorong Soeharto untuk melakukan rekonsiliasi dengan kelompok Islam dan mengalihkan control militer dari tangan Moerdiani ke bawah kendali Soeharto. Pergeseran Moerdiani
ini
lebih
disebabkan
oleh
langkah-langkah
yang
dioperasikan Moerdiani bertentangan dengan apa yang diketahui Soeharto. Langkah Moerdiani tersebut akan menjadi ancaman bagi kekuasaan Soeharto karena Moerdiani memegang kendali militer pada saat itu. Oleh sebab itu, kendali tersebut harus diambil alih untuk mengarahkan loyalitas militer pada penguasa.18 Ada pergeseran posisi umat Islam dibandingkan dengan massa sebelumnya dari
17 Jenderal TNI (Purn.) R. Hartono, “Apa Saya Terlalu Mengerikan,” Tajuk, No. 23, Tahun I, 6 Januari 1999, h. 29 18 Marcus Mietzner, “From Soeharto to Habibie: the Indonesia Armed Forces and Political Islam during the Transition”, dalam Geoff Forrester (Editor), Post-Soeharto Indonesia, Renewel or Chaos?, Leiden: KITLV, 1999
87
posisi pinggiran ke tengah kekuasaan, begitu juga pada jajaran militer. Dengan sendirinya kelompok abangan sedikit demi sedikit tersingkir dari arena kekuasaan, setelah sekian lama menguasai. Pergeseran pejabat Negara yang abangan atau non-muslim ke aparat muslim tidak hanya terjadi dalam militer. Beberapa jabatan penting lainnya yang juga mengalami pergeseran posisi di kabinet. Diantara mereka yang tergeser adalah menteri keuangan yang dijabat oleh Radius Prawiro, J.B. Sumarlin, dan gubernur Bank Indonesia, Adrianus Mooy yang kemudian dikenal dengan sebutan RMS, juga Soedomo. Sejak awal tahun 1990-an posisi strategis militer ditempati oleh personel yang memiliki latar belakang keislaman yang cukup kuat dan peduli khususnya terhadap umat Islam. 19 Pergeseran di institusi militer pada awal tahun 1990-an merupakan naiknya militer santri dan berkurangnya dominasi militer abangan atau Kristen. Pada masa sebelumnya perwira yang berlatar belakang muslim ini tidak mendapatkan posisi jabatan strategis karena adanya kecurigaan Soeharto dan kalangan militer terhadap kelompok Islam. Seiring dengan adanya perubahan sikap Soeharto terhadap umat Islam, militer santeri mulai menempati posisi strategis. Namun demikian, penggunaan istilah militer hijau yang diidentikan dengan Islam sering dinilai secara sempit yang kemudian dihadapkan dengan istilah militer merah putih yang seakan menunjukan nasionalisme. Dilihat dari sisi sumpah prajurit yang berlaku bagi militer hijau dan merah putih maka hal ini sangat sulit untuk menerima adanya pengelompokan kedua faksi dalam militer. Militer merupakan kedua kekuatan sosial politik yang sarat dengan muatan politik
19
Indria Samego et all, “Bila ABRI Menghendaki”, h. 159
88
dan kepentingan, baik bagi faksi hijau atau merah putih sama-sama berdiri di atas kepentingan politiknya. Hanya saja pada tahun 1990-an, militer yang memiliki latar belakang keluarga muslim menempati posisi-posisi strategis. Faksi hanyalah bagian dari kenyataan faksi kepentingan, antara mereka yang punya posisi dan yang tersingkirkan. Di tengah naiknya posisi militer santeri, beberapa peristiwa pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan dan tindak kekerasan masih berlangsung. Beberapa peristiwa
yang menunjukan catatan pelanggaran HAM adalah
penyerbuan gedung PDI pada tanggal 27 Juli 1996. Penyerbuan ini melibatkan militer yang waktu itu dipegang dari militer santeri. Peristiwa lainnya yang mengundang dunia internasional adalah penculikan terhadap aktivis-aktivis pro demokrasi. Penculikan yang dilakukan menjelang pemilu 1997 ini merupakan rangkaian dari operasi militer untuk mengamankan kekuasaan Soeharto dengan memenangkan
Golkar
sebagai
kekuatan
mayoritas
dalam pemerintahan.
Terjadinya kerusuhan Liquisa, Timor-Timur pada tanggal 12 Januari 1995 dan kerusuhan di daerah lainnya. Naiknya militer santeri tidak menjadikan jaminan bagi keberlangsungan proses kehidupan yang lebih aman dan demokratis. Militer tetap menjadi alat kekuasaan dan mendukung penguasa dengan segala cara. Dalam konteks ini, yaitu dalam konteks politik, maka persoalan agama tidak lagi menjadi memberi makna. 20 Menurut catatan mantan Aster KSAD, Mayjen Saurip Kadi, dalam rentang waktu delapan tahun (dari tahun 1990 sampai Mei 1998) terjadi kurang lebih 20 aksi kekerasan yang melibatkan elit militer (TNI-AD) baik secara 20
Saurip Kadi, TNI-AD, Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan, (Jakarta: Grafiti, Juli 2000), h. 47
89
langsung maupun tidak langsung terhadap massa, baik mahasiswa, buruh, maupun masyarakat sipil lainnya. Dua puluh kasus ini hanya yang terekspos secara nasional, sementara kasus-kasus lain yang tidak terekspos bisa melebihi jumlah tersebut. Yang menjadi persoalan bukan pada jumlah, tetapi lebih pada dampak dari aksi kekerasan yang melahirkan luka dan menempatkan manusia secara diskriminatif. Oleh sebab itu, muncul pandangan bahwa segala langkah yang diambil oleh militer adalah bagian dari operasi penguasa untuk kepentingan penguasa. Keislaman militer sulit dijadikan indikator sebagai pengamalan dari system nilai-nilai Islam yang melekat pada dirinya di tengah system kekuasaan yang sentralistik. Salah satu cara untuk memahami secara objektif dan eksplisit kesadaran kultural yang tumbuh di dalam diri militer menyangkut pelaksanaan ajaran Islam, bisa dilihat pasca lengsernya Soeharto. Semangat keislaman yang terus berlangsung di lingkungan militer sampai saat ini bisa dipahami bahwa pelaksanaan ajaran Islam yang merupakan sebuah kesadaran yang tumbuh secara kultural di dalam diri militer, demikian juga hubungan militer dengan umat Islam. Semakin terlihat tipisnya jarak diantara militer dengan umat Islam saat ini menunjukkan tidak adanya kendala yang berat antara keduanya. Kenyataan ini tidak lepas dari semakin banyak militer yang berstatus muslim dan menempati posisi-posisi komando yang terus berlangsung dalam proses seleksi di dalam institusi militer sampai era reformasi sekarang ini. Ini membuktikan bahwa keislaman yang tumbuh di dalam diri militer bukan merupakan sebuah rekayasa untuk kepentingan politik status quo maupun saat ini.
90
D. Keadaan Baru Hubungan Islam dan Militer Sejak naiknya beberapa militer yang memiliki latar belakang keislaman, muncul istilah militer hijau. Sulit dihindari bahwa sejak pertengahan tahun 1990an semarak keagamaan di lembaga militer sangat terlihat. Hal ini merupakan bagian dari semarak gairah keagamaan yang muncul di berbagai tempat maupun lembaga. Kemesraan antara umat Islam dengan pemerintah, telah banyak berdampak dalam institusi militer. Militer tidak lagi memahami Islam sebagai agama radikal dan mengancam integrasi, tetapi sebagai suatu ajaran yang bisa menunjang terhadap laju pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintahan Orde Baru. Perubahan kepimpinan strategis yang terjadi di institusi TNI pada awal tahun 1990-an merupakan kejadian perubahan yang sangat menarik dibandingkan dengan
masa-masa
sebelumnya.
Pergeseran
kepemimpinan
yang
terjadi
memunculkan banyak pandangan tentang adanya faksi di institusi TNI. Faksi ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari pertentangan pada tingkat elit militer antara kelompok Cilangkap yang dikendalikan oleh L.B. Moerdani dengan Soeharto. Pertentangan antara keduanya mulai terlihat sejak pemilihan wakil presiden pada SU MPR 1988. Militer waktu itu mencalonkan nama lain dari yang dikehendaki Soeharto. Langkah dan kebijakan Moerdani yang berbeda dengan kekuasaan ini menjadi salah satu faktor penyempitan peran Moerdani di dalam institusi militer. Faksi ini dikaitkan dengan naiknya peran militer santeri dan dilain pihak berkurangnya dominasi militer dari kalangan abangan/Kristen. Pada masa sebelumnya perwira yang berlatar belakang muslim ini tidak mendapatkan posisi
91
jabatan strategis karena adanya kecurigaan Soeharto dan sebagian kalangan TNI terhadap kelompok Islam. Dalam perkembangannya dengan adanya perubahan sikap Soeharto terhadap umat Islam, para perwira TNI santeri mulai menempati jabatan strategis dalam institusi TNI. Dalam konteks peran posisi jabatan, pergeseran ini merupakan ancaman bagi kelompok abangan dan non-muslim yang telah lama mengendalikan militer. Pergeseran ini telah melahirkan kekecewaan yang kemudian memunculkan isitilah militer hijau yang identik dengan Islam yang eksklusif dan radikal dengan militer merah putih yang identik dengan kelompok nasionalis. Adanya faksi di dalam institusi TNI bisa dilihat dari pandangan mereka terhadap keberadaan Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Dalam hal ICMI ini, sebagian militer menyatakan dalam ketidaksetujuan sikapnya terhadap keberadaan ICMI. Menurut mereka, ICMI merupakan organisasi yang mengarah pada eksklusivitas dan sektarian. Keberadaan organisasi tersebut bisa mengarah pada diferensiasi sosial berdasarkan keberadaan agama yang pada akhirnya akan membangkitkan kecurigaan di antara umat beragama. Diantara militer yang tidak setuju dengan keberadaan ICMI adalah Letjen Harsudiono Hartas. Menurutnya ICMI merupakan organisasi yang tidak nasionalis dan menjadi tantangan potensial bagi Pancasila dan militer. Organisasi yang berlabel agama ini, menurut Letjen Harsudiono Hartas, menyerupai sebuah parpol dengan label keagamaan yang bisa digunakan untuk mencapai kepentingan golongan tertentu. 21
21
Douglas E. Ramage, Politics in Indonesia, Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance, (London: Routledge, 1995), h. 138
92
Pertentengan kedua kelompok militer ini terfokus pada kepentingan kekuasaan di dalam institusi militer. Bagi kalangan militer santri, dikotomisasi tersebut dianggap sebuah upaya penyempitan peran militer dari kepentingan nasional menuju kepentingan kelompok Islam. Di lain pihak ada kalangan militer yang bersikap positif terhadap kehadiran ICMI. Di antara mereka adalah Jenderal R. Hartono dan Jenderal Feisal Tanjung. Sejak pendirian ICMI di Malang, sikap Jenderal R. Hartono terhadap ICMI sangat akomodativ, begitu juga dengan Jenderal Feisal Tanjung yang memperlihatkan kedekatannya dengan tokoh-tokoh ICMI dan memberikan ruang bagi keberadaan organisasi ICMI. Faksi ini kemudian menguat menjadi istilah kelompok militer hijau yang mengacu pada kelompok pro ICMI (Habibie) dengan kelompok merah putih yang tidak setuju terhadap akselerasi yang dilakukan Habibie melalui ICMI. 22 Dalam hal ini tidak tertutup kemungkinan Habibie ikut andil dalam pergeseran di tubuh militer yang semakin menyempitkan peran kelompok militer Moerdani. Sangat wajar apabila kelompok Moerdani tidak suka dengan berbagai langkah yang diambil oleh B.J. Habibie yang menjadi anak emas Soeharto. salah satu bukti ketidaksukaan Moerdani terhadap Habibie ditunjukan oleh sikap Moerdani pada pemilu 1992 ketika ia mencalonkan Try Sutrisno sebagai wakil presiden. Hal ini dilakukan Moerdani karena pada waktu itu ada indikasi bahwa Soeharto akan mengangkat Habibie menjadi wakil presiden. Hal lain yang menjadikan menyempitnya peran militer Moerdani adalah peristiwa Santa Cruz, Dili, Timor-Timur yang terjadi pada tanggal 12 November 1991. Tragedy ini mengundang reaksi dunia 22
1995
Ulf Sundhaussen, “ABRI Ada Banyak Perubahan”, Tiras, No. 4, Tahun I, 23 February
93
internasional dan secara tidak langsung merupakan ancaman bagi posisi Soeharto selaku presiden sekaligus panglima tertinggi militer. Kejadian tersebut berimbas pada dihentikannya berbagai bantuan internasional, khususnya bantuan yang terkait dengan militer. Amerika Serikat yang sebelumnya mendukung integrasi Timor-Timur ke Indonesia berbalik mendukung terhadap kemerdekaan TimorTimur. Amerika Serikat menghentikan bantuan program International Military Education and Training (IMET) yang sejak lama diberikan bagi para militer Indonesia. Tidak cukup sampai disitu, Amerika Serikat berusaha menghalangi setiap usaha Negara-negara lain bekerjasama dalam masalah kemiliteran dengan Indonesia.23 Salah satunya adalah Amerika Serikat mencegah kerjasama militer dengan Indonesia dengan memberikan himbauan kepada Yordania untuk tidak menjual pesawat tempur F-5 kepada Indonesia. Peristiwa tragedy Santa Cruz yang terjadi merupakan bagian dari tanggungjawab militer yang waktu itu masih di bawah kendali Moerdani sebagai Menhankam, secara langsung berdampak pada posisi Soeharto,
hal
ini
menyebabkan kekecewaan Soeharto terhadap militer saat itu yang dianggap gagal meredam gejolak yang terjadi di masyarakat. Untuk menyelesaikan persoalan ini, Soeharto menyetujui dibentuknya Dewan Kehormatan Militer (DKM) yang terdiri dari Sembilan anggota dan diketuai oleh Mayjen Feisal Tanjung. Dewan Kehormatan Militer yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan KSAD Nomor Skep/509/XII/1991, tanggal 31 Desember 1991 ini beranggotakan Sembilan personel berpangkat mayor jenderal, yaitu Feisal Tanjung (ketua), Setiana (Wakil 23
h. 185
Indria Samego, “…Bila ABRI Menghendaki”, (Bandung, Mizan, Agustus 1998), cet. II,
94
Ketua), Toni Hartono (Sekretaris) merangkap anggota, Sutopo (anggota), Suparman Ahmad (anggota), Surjadi Sudirdja (anggota), Soewardi (cadangan), dan Soetedjo (cadangan). 24 Hal ini semakin memperjelas adanya konflik di dalam institusi TNI antara kelompok Soeharto dengan kelompok Moerdani yang menyebabkan pergeseran kepemimpinan militer akibat peristiwa Santa Cruz. Pergeseran peran Moerdani ini lebih disebabkan oleh langkah-langkah yang dioperasikan Moerdani bertentangan dengan apa yang diinginkan Soeharto. Langkah Moerdani tersebut akan menjadi ancaman bagi pemerintahan Soeharto karena Moerdani memegang kendali militer pada waktu itu. Oleh sebab itu, kendali tersebut harus direbut untuk mengarahkan loyalitas militer pada penguasa. Hal ini menyebabkan Soeharto melakukan langkah rekonsiliasi dengan kelompok Islam dan mengalihkan kontrol militer dari tangan Moerdani ke bawah kendali dirinya sendiri. 25 Terjadinya konfrontasi antara Soeharto dengan Moerdani menyebabkan pergeseran posisi umat Islam bila dibandingkan dengan masa sebelumnya dari posisi umat yang terpinggirkan merangkak ke tengah kekuasaan, termasuk dalam jajaran institusi TNI. Sejak awal tahun 1990-an posisi strategis TNI ditempati oleh perwira yang memiliki latar belakang keislaman yang cukup kuat dan memiliki kepedulian terhadap umat Islam. Pergeseran kekuasaan dari aparat Negara yang berstatus abangan/non-muslim ke aparat muslim tidak hanya terjadi dalam militer. Beberapa jabatan penting lainnya yang mengalami pergeseran
24
Kompas, 3 Januari 1992 Marcus Mietzner, “From Soeharto to Habibie: the Indonesian Armed Forces and Political Islam during the Transition”, dalam Geoff Forrestor (Editor), Post-Soeharto Indonesia, Renewel or Chaos?, Leiden: KITLV, 1999 25
95
posisi di kabinet, di antara mereka yang mengalami pergeseran adalah menteri keuangan yang dijabat oleh Radius Prawiro, J.B. Sumarlin, dan gubernur Bank Indonesia, Adrianus Mooy yang kemudian dikenal dengan sebutan RMS, terahir Soedomo. 26 Sejak awal, alur militer dengan system komandonya tidak sepenuhnya solid. Ada bentrokan kepentingan yang berbeda di dalam institusi militer, baik dalam satu korps angkatan maupun di luar korps antara angkatan darat, laut, dan udara (AD, AL, AU). Selama pemerintahan Orde Baru, faksi-faksi ini diredam sehingga masyarakat melihat Abri/TNI selalu dalam keadaan kompak menyatu dalam system komando. Pengelompokan faksi dan perbedaan pandangan yang terjadi dalam institusi militer adalah suatu proses keberagaman dan merupakan sebuah proses alami yang tidak bisa di hindari. Keadaan ini menjadi keuntungan juga agar dapat mencairnya ‘totalitarianisme” yang dengan sendirinya akan memberikan peluang adanya perbedaan pandangan bagi setiap orang dan di kalangan militer yang selama ini terikat penuh dalam system komando yang dikendalikan langsug oleh panglima tertinggi Abri/TNI, presiden. Di balik sisi positif ada hal negative, keberadaan faksi bisa berakibat pada melemahnya komitmen pada kepentingan dan keamanan nasional yang bisa menjadi kepentingan perorangan dan kelompok tertentu. Pada ahirnya rakyat sipil yang menjadi korban dari pertikaian faksi elit-elit militer. Umat Islam yang menjadi korban terbesar dan paling dirugikan di bidang politik, ekonomi, sosial dan
26
Indria Samego et all, “Bila ABRI Menghendaki”….. h. 159
96
budaya dari praktik menyimpang konflik kelompok militer tersebut dikarenakan umat Islam mayoritas rakyat Indonesia. Kehadiran perwira militer muslim dengan latar belakang tersebut telah memperkuat adanya faksi di dalam institusi TNI. Munculnya istilah militer hijau dan militer merah putih hanya memperkuat adanya pengelompokan kepentingan di dalam institusi TNI/ABRI. Sedangkan dalam praktiknya baik itu militer abangan maupun militer muslim tetap menjadi kendaraan Soeharto untuk kepentingan kekuasaannya. Mengambil dari Moerdani untuk mengalihkan kontrol terhadap militer dengan cara melakukan pergeseran yang menyeluruh. Dalam sejarahnya, penggantian yang berlangsung di dalam institusi militer pada awal tahun 1990-an merupakan pergeseran kepemimpinan yang terbesar
dan
menyeluruh dalam sejarah militer Indonesia. Sejak bulan Juli 1989 sampai Januari 1992 terjadi 92 pergantian di dalam institusi militer baik di tingkat pusat, kodam maupun korem. 27 Tampilnya militer TNI muslim di jajaran strategis disebabkan oleh dua factor. Pertama, proses pendidikan yang ditempuh oleh umat Islam sudah memasuki masa menghasilkan kader-kader, begitu juga yang memasuki akademi militer Negara seperti Akabri, Akmil. Sejak akhir tahun 1980-an sampai tahun 1990-an prajurit TNI muslim yang memiliki latar belakang keislaman mulai memasuki level kepangkatan perwira menengah (Mayor, Letkol, colonel) dan perwira tinggi
(Brigjen, Mayjen, Letjen, Jenderal TNI) kepangkatan tersebut
terkait dengan posisi strategis yang masing-masing mereka pimpin dalam institusi militer. Hal ini dikarenakan generasi militer yang masuk menempuh pendidikan 27
Benedict Anderson (Editor), “Current Data on the Indonesian Military Elite”, (July 1, 1989-January 1, 1992)”, Indonesia, No. 53, April 1992
97
militer pada awal tahun 1970-an, pada awal 1990-an sudah secara normal memasuki jenjang kepangkatan perwira menengah dan tinggi. Kedua, tidak lepas dari kepentingan penguasa pada saat itu yaitu Soeharto sebagai panglima tertinggi militer untuk menaikan militer muslim menggantikan posisi militer abangan/nonmuslim yang sebagian besar sudah memasuki masa-masa pensiun dan perbedaan kepentingan antara kelompok Moerdani yang sudah berbeda pandangan dengan Soeharto. Maka Soeharto harus mengalihkan kontrol militer dari Moerdani ke tangannya sendiri agar bisa tetap mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan Orde Barunya dengan memberikan jabatan strategis pada perwira TNI berlatar belakang muslim. Secara sudut pandang budaya, prajurit TNI muslim memiliki sudut pandang dan pengalaman yang berbeda dengan militer abangan/non-muslim dalam menilai umat Islam. Pada umumnya militer dari kalangan abangan/nonmuslim memiliki pandangan dan penilaian yang sangat mencurigai umat Islam dan selalu menampilkan Islam dengan kesan sebagai agama yang radikal yang mengancam kesatuan Negara republik Indonesia (NKRI), berbeda dengan para prajurit TNI muslim mempunyai pandangan yang berbeda dari kelompok abangan/non-muslim. Kalaupun ada kecurigaan diantara prajurit TNI muslim terhadap
umat
Islam lebih
rendah dibandingkan
dengan
mereka yang
abangan/non-muslim. Hal itu didasarkan karena prajurit TNI muslim menyadari ajaran Islam merupakan suatu agama yang mengajarkan untuk mencintai tanah air karena itu merupakan bagian dari iman. Mereka mempersepsikan Islam sebagai agama yang membawa rahmat dan memiliki kesamaan dengan misi militer.
98
Kalaupun dalam sejarahnya sempat terjadi perseteruan antara kelompok muslim dengan militer, mereka memahami sebagai akibat dari ulah pihak ketiga yang memiliki
agenda-agenda
dan
kepentingan
tersendiri. 28
Feisal
Tanjung
menyebutkan bahwa kesatuan militer dengan umat Islam sebagai penduduk yang mayoritas negeri ini telah berurat akar dalam sejarah bangsa. Oleh sebab itu, militer dan umat Islam lah yang paling menderita bila terjadi malapetaka. Tampilnya
militer
yang berlatar belakang muslim muncul secara
bersamaan dengan keinginan Soeharto untuk mendekati umat Islam. Keadaan ini tidak langsung memberikan harapan yang jauh lebih baik bagi perkembangan hubungan sipil-militer di Indonesia. Perubahan kepemimpinan di institusi militer yang menghasilkan kedekatan baru antara militer Negara dengan masyarakatnya yaitu umat Islam masih hanya sebatas pada hubungan formal dan simbolis, yaitu sebuah hubungan yang bersifat silaturahmi/personal antara elit militer dengan elit muslim tanpa menghasilkan dan mempengaruhi tataran kebijakan hubungan sipilmiliter. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa elit militer diantaranya Feisal Tanjung kedekatannya dengan pengurus Muammadiyah, R. Hartono dekat dengan kalangan ulama NU, Hendropriyono dekat dengan orang-orang mantan tahanan politik Islam yang dibebaskan yang tergolong muslim radikal. Prabowo yang dekat dengan pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang berawal dari inisiatif Prabowo pada akhir 1980-an untuk mendekati tokoh-tokoh muslim guna mendorong umat Islam maju ke dalam percaturan pemerintahan, hal ini didasarkan pada mayoritasnya umat Islam di negeri ini, umat Islam seharusnya
28
Feisal Tanjung, ABRI-Islam Mitra Sejati, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1997), h. 68
99
mendapatkan posisi yang proposional dalam pentas politik Indonesia. Kedekatan ini secara formal memperlihatkan sebuah keadaan baru dalam tradisi budaya militer Indonesia yang berhasil meyakinkan kedekatannya dengan umat Islam sebagai kedekatan sesama muslim dan satu akidah. Secara kelembagaan militer memiliki kebijakan yang mulai mengurangi kecurigaannya dan secara bersamaan mengurangi pendekatan represifitasnya terhadap berbagai lapisan masyarakat khususnya terhadap umat Islam. secara emosional kultural di tiap personal. Dengan naiknya militer santeri ke dalam jabatan strategis telah mempererat hubungan antara umat Islam dengan militer. Kehadiran mereka telah memberikan opini terhadap umat Islam untuk menerima hubungan dengan militer kearah yang lebih baik dari sebelumnya kerenggangan hubungan yang pernah terjadi. Perubahan yang terjadi dalam perkembangan muslim dengan militer tidak lepas dari kultur yang sama-sama berasal dari status muslim, munculnya Feisal Tanjung dan yang memiliki latar belakang muslim yang lekat dengan organisasi Muhammadiyah dan para elit perwira lainnya dalam jajaran elit militer telah mengurangi kecurigaan terhadap Islam. Hal ini dikarenakan bahwa Islam bukanlah ancaman sebagaimana dipersepsikan oleh kelompok abangan/nonmuslim. Para elit militer memahami langsung ajaran Islam yang sesungguhnya dari apa yang telah dipelajari oleh setiap masing-masing individu tentara mulai dari prajurit sampai perwira tinggi yang tidak lepas dari peran keluarga mereka. Ini yang menjadi garis besar dalam menelaah hubungan antara Islam dengan militer di Indonesia pada dekade 1990-an. Nilai-nilai keislaman di institusi militer
100
hanya sebatas pada kultur. Keislaman belum menjadi bagian dari system militer, dan tidak akan pernah menjadi bagian dari aktivitas institusi maupun kelembagaan. militer sesuai dengan saptamarga dan sumpah prajurit tidak akan pernah mentolerir keinginan pembentukan Negara Islam. Hal ini sesuai dengan slogan “Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) harga mati”. Hubungan yang sempat terjadi tidak harmonisnya antara militer dengan umat Islam lebih disebabkan sebagai akibat dari keadaan struktur dan system politik pada saat itu yang menghendaki umat Islam sebagai kelompok yang marginal dan terbuang. Kedekatan hubungan yang dilakukan militer ditanggapi dengan proposional oleh kelompok muslim sebagai upaya untuk ishlah (melupakan masa lalu yang penuh dengan konflik) dan bersama-sama antara militer dan umat Islam membangun cita-cita bangsa. Militer tidak lagi memahami Islam sebagai agama radikal dan mengancam NKRI, melainkan suatu ajaran yang bisa menunjang terhadap laju pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintah secara bersama-sama. Pada waktu kedepannya yang akan datang kedekatan hubungan antara militer dengan umat Islam sebagai proses alami dari keduanya akan banyak ditentukan oleh keseriusan militer untuk mereformasi, meredefinisi, dan mereposisi dirinya dari sebagai alat penguasa (pretorian) menjadi alat keamanan Negara (profesional). Di samping itu, hubungan tersebut akan ditentukan oleh keseriusan umat Islam, begitu juga masyarakat lainnya untuk menempatkan militer sebagai kekuatan pertahanan keamanan. Hal ini menjadi penting untuk ditekankan, karena selama ini yang menjadi alasan keterlibatan militer dalam
101
persoalan politik dan bisnis militer adalah karena ketidakmampuan sipil untuk menangani masalah politik dan ekonomi negeri ini. Masyarakat sipil yang mulai mengendalikan kekuasaan saat ini harus bisa menunjukkan profesionalitas kepemimpinan dan menempatkan militer sesuai dengan tugas primordialnya seagai alat pertahanan keamanan, sehingga alasan ketidakmampuan sipil yang selama ini ditunjukan oleh militer bisa terbantahkan. Militer adalah alat pertahanan Negara yang mengendalikan alat-alat kekerasan, dan umat Islam sebagai potensi bangsa
yang bekerja
untuk kepentingan bangsa
secara
keseluruhan. Keduanya merupakan komponen bangsa yang akan banyak menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia. Keduanya merupakan dua entitas yang memiliki wilayah kerja masing-masing. Umat Islam dan militer masing-masing memiliki peran berbeda sesuai dengan posisi dan status di dalam kehidupan sosial. Pada titik ini, hubungan di antara keduanya lebih bersifat fungsional, bukan didasarkan oleh ikatan emosional. Ini menjadi agenda penting kedepannya karena keduanya merupakan kelompok strategis yang secara ideal memiliki fungsi yang sama, yaitu menciptakan interaksi yang harmonis bagi kehidupan nasional yang plural dan heterogen. Militer harus mengorientasikan pengabdiannya pada Negara bukan pada penguasa, dan menurunkan tingkat intervensinya terhadap wilayah sipil. Inilah salah satu ciri militer yang oleh Almost Perlmutter dimasukkan sebagai cirri-ciri militer profesional. 29 Di samping itu, perlu diciptakan adanya hubungan yang professional dan fungsional di antara berbagai lapisan sosial, termasuk
29
Almost Perlmutter, Militer dan Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 35
102
antara militer dengan umat Islam, sehingga tidak muncul sejarah kelam karena ekstrimis kebencian terhadap kelompok lain di satu sisi, dan pemanjaan sepihak yang berlebihan terhadap kelompok lainnya. Keduanya, baik kebencian maupun pemanjaan yang ekstrim hanya mewariskan kecemburuan bahkan dendam dalam sejarah anak bangsa.
BAB V PENUTUP
A. Penutup Di akhir pembahasan bab ini, berbicara tentang hubungan antara militer dengan umat Islam di Indonesia pada periode 1990-1998 maka kita akan mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa militer sebagai sebuah lembaga ingin tetap menempatkan personil-personilnya dalam tampuk kekuasaan dan dengan demikian, tetap mengendalikan negara. Kepentingan politik militer tidak mengenal identitas keagamaan, baik militer santeri, abangan, maupun Kristen memiliki keinginan politik yang sama,
yaitu
mengendalikan
kekuasaan. Hubungan militer dengan umat Islam pada tahun 1990-an, terlihat bahwa terjadi perubahan hubungan di antara keduanya dibandingkan dengan masa sebelumnya. Tahun 1970-an dan 1980-an militer menempatkan kedua kakinya di dua dunia yang berbeda. Satu kaki berada dalam lingkaran penguasa. Hal ini bisa diartikan sebagai politik militer yang menempatkan militer sebagai alat penguasa dan melakukan berbagai tindakan untuk mempertahankan penguasa. Militer berada dalam sebuah sistem yang meletakan militer sebagai alat penguasa/pemerintah. Sedangkan kaki yang lain berada di lingkungan umat Islam. hal ini bisa disebut sebagai persamaan kultural. Militer yang berstatus muslim memiliki kedekatan secara kultural dengan umat Islam yang didasari pada kesamaan pandangan, khususnya menyangkut ajaran universal Islam (rahmatan lil’alamin) dan inklusif yang 99
100
tidak bertentangan dengan Pancasila. Menjadi titik temu dari kedekatan kedua kekuatan tersebut, tanpa menutup kemungkinan bahwa hal ini harus ditunjang oleh kepentingan struktural penguasa untuk mendekati umat Islam. Secara struktural militer menjadi pelayan kepentingan kekuasaan yang sedang merangkul umat Islam, sementara secara struktural mereka memiliki ikatan emosional keagamaan dengan umat Islam. Perubahan hubungan yang terjadi antara kedua kekuatan (Islam dan militer) mengalami kelenturan. Ketegangan hubungan yang berlangsung sejak tahun 1970-an sampai 1980-an terlihat mulai mencair di awal tahun 1990-an. Ada kedekatan yang terlihat dari hubungan antara jajaran elit militer dengan elit umat Islam. walaupun perubahan tersebut lebih pada tataran informal militer, tetapi mempunyai dampak dari perubahan tersebut sangat terasa khususnya bagi sekelompok muslim yang selama ini termarginalkan oleh militer. Secara umum perubahan tersebut merupakan sebuah pergeseran sikap baik di dalam diri militer maupun di kalangan umat Islam yang mengarah pada perbaikan hubungan. Perubahan hubungan yang terjadi antara keduanya disebabkan oleh banyak hal. Pertama, perilaku politik ummt Islam yang lebih menekankan pada penyebaran ajaran Islam yang substansial dan universal. Munculnya prilaku politik yang lebih substantif menjadi perekat militer dengan umat Islam. Langkah ini menjadi peretas bagi keinginan sebagian umat Islam untuk menampilkan Islam secara legal-formal yang tidak disukai oleh militer.
101
Kedua, perubahan persepsi umat Islam yang mengarah pada perbaikan hubungan dengan militer. Pada awal tahun 1990-an, umat Islam tidak lagi mempermasalahkan keberadaan militer, karena secara politik (militer) mulai mengurangi sikap represifitasnya terhadap umat Islam. Langkah-langkah militer menguntungkan terhadap umat Islam terutama mengenai pelepasan napol Islam. Ketiga, naiknya militer yang berlatar belakang santeri yang memiliki pemahaman keislaman yang baik yang menimbulkan perubahan pandangan tentang Islam yang radikal dan anti integrasi di dalam tubuh militer. Para militer muslim mempunyai pandangan bahwa Islam sebagai bagian dari Saptamarga yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, adanya kebijakan negara yang bersifat akomodatif baik terhadap umat Islam maupun militer dengan latar belakang keislaman yang baik. Kebijakan itu telah memungkinkan lahirnya titik temu antara militer dengan umat Islam. Tahun 1990-an adalah masa proses perubahan pergantian generasi di dalam institusi militer berlangsung begitu cepat. Militer angkatan tahun 1960- an mulai memasuki puncak-puncak jabatannya dan di bawahnya generasi 1970-an mulai mengikuti sebagian posisi jabatan strategis diantaranya adalah, Jenderal TNI R. Hartono, Letjen TNI Prabowo Subianto, Letjen TNI Suyono, Jenderal TNI Wiranto, Mayjen TNI Sjafrie Sjamsuddin. Hal ini berbeda dengan masa sebelumnya, posisi jabatan strategis militer selalu dipegang oleh kalangan militer abangan dan Kristen. Hal ini menjadi salah satu faktor
102
penentu mencairnya hubungan militer dengan umat Islam. Terjadinya kebangkitan umat Islam baik di kalangan sipil maupun militer, bersamaan dengan kepentingan penguasa untuk mengamankan kekuasaannya. Inilah yang menjadi titik temu umat Islam dengan militer. Keduanya dipertemukan, secara politik, oleh kepentingan penguasa, sementara di sisi lain, secara kultural, mereka sama-sama dipertemukan oleh adanya pemahaman yang sama tentang Islam. Harold Crouch menggambarkan bahwa semarak keagamaan yang muncul di lingkungan militer merupakan fenomena baru yang belum terlihat pada masa sebelumnya. Umat Islam maupun militer merupakan dua entitas yang bisa berdampingan baik secara kultural maupun secara politik. Semua ini bisa terjadi apabila militer tidak lagi menjadi alat kepentingan politik penguasa, dan umat Islam bisa menampkkan nilai-nilai ajaran Islam yang egaliter, inklusif, dan substantif. Masing-masing harus dikembalikan pada fungsi komunitas dan peran yang sesungguhnya. Untuk memahami hubungan antara umat Islam dengan militer dengan militer harus dilihat dari dua faktor, yaitu faktor kultural dan faktor politik.
B. Saran-Saran Berangkat dari beberapa poin yang penulis cantumkan, di penghujung bab ini akan dikemukakan saran-saran sebagai bahan masukan bagi semua pihak yang merasa memiliki keterkaitan dengan pembahasan dalam skripsi ini.
103
Ketika menulis tentang perubahan hubungan militer dengan umat Islam, penulis masih terkendala dalam mendapatkan litelatur tentang sisi lain perubahan hubungan militer dengan umat Islam, selama ini literatur yang bertebaran hanya membahas tentang militer dipentas politik, hubungan militer dengan sipil, Islam dan TNI dalam reformasi. Semoga dengan munculnya tulisan yang bertemakan perubahan hubungan militer dengan umat Islam menjadi celah lahirnya literatur baru yang membahas masalah hubungan militer dengan umat Islam. Selain itu, dengan kehadiran tulisan ini diharapkan pula akan membuka ruang dialektika bahwa perubahan hubungan militer dengan umat Islam dalam konteks Indonesia, bahwa peran militer dan umat Islam sangat menunjang dalam pembangunan dan pembentukan masyarakat madani/civil society yang berkesinambungan dan kuat. Dengan hadirnya tulisan ini diharapkan pula bisa melahirkan serta memperbanyak penelitian tentang Perubahan hubungan militer dengan umat Islam.
DAFTAR REFERENSI
Adillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna, Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap KonsepDemokrasi (1966-1993), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999 Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Pustaka Pelajar 1999 Anderson, Benedict, S, Takashi, dan Siegel, Jams T. “The Indonesia Military in the Mid-1990s: Political Maneuvering or Structural Change?”, Indonesia, No. 63, April 1997 Anwar, Dewi Fortuna, “Ka’bah dan Garuda: Dilema di Indonesia”, dalam Prisma, No. 4, April 1984. Tahun XII, L3S. Jakarta, h. 7 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002) A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil? (Jakarta: Grafiti Press, 1985) Bruinessen, Martin Van, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, Bentang 1999 Briton, Peter, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia, Jakarta: LP3ES, September, 1996 Crouch, Harold, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999 Crouch, Harold, Militer dan Politik di Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta. 1986 Dhakidae, Dhaniel, “Orde Baru dan Peluang Demokrasi“ Dalam Th. Sumartana, dkk (Tim editor), ABRI dan Kekuasaan,Yogyakarta: Interfidei, 1999 Efendi, Bahtiar, Islam dan Negara, Transformasi Pemikran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina’ 1998 Esposito, L. John, Islam and Politics, Syracause, New York: Syracause Universitiy Press, 1991,Edisi III Federspiel, M. Howard, “Militer dan Islam pada Masa Pemerintahan Soekarno di Indonesia”, dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Shidique, Yasin Hussain (ed), Islam di Asia Tenggara Perkembangan Kontemporer, LP3ES, Jakarta. 1990 Feillard, Andree, “Islam Tradisional dan Tentara dalam Orde Baru; Sebuah Hubungan yang Ganjil”, dalam Greg Fealy dan Greg Barton (ed) Vol. 46.
No. 3, 1973. NU vis-a-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999) Feith, Herbeth, “The Dynamics of Guided Democracy-Indonesia”, dalam Ruth McVey (ed) (New Haven, NY: Yale University Press, 1967) Hefner, Robert W, Islam, Pasar, Keadilan, Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKiS, 2000) http://korantempo.com/korantempo/2007/06/11/Opini/krn,20070611,53.id.html Kadi, Saurip, TNI-AD, Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan, (Jakarta: Grafiti, Juli 2000) Kahin, McT. George, Nationalisme and Revolution-Indonesia (Ithaca, NY: Cornel University Press, 1966); Herberth Feith. The Decline of Constitutional Democracy-Indonesia (Ithaca, NY: Cornel University Press, 1962) Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, Agustus 1999, hlm. 194 Legge, J.D. Soekarno: A Political Biography, New York, (Washington: Praeger Publishers, 1972) Liddle, R.William, Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES, 1992 Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Politik. Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Gema Insan Pers 1996 Mardjono, Hartono, Politik Indonesia 1996-2003, (Jakarta. Gema Insani Perss,1996) Mehden, Fred R. von der, “Religion and Nationalism in Southeast Asia: Burma, Indonesia, The Philiphines” (Madison and London: The University of Wisconsin Press, 1968) Mietzner, Marcus, “From Soeharto to Habibie: the Indonesian Armed Forces and Political Islam during the Transition”, dalam Geoff Forrestor (Editor), Post-Soeharto Indonesia, Renewel or Chaos?, Leiden: KITLV, 1999 Noer, Delia, Gerakan Modern Islam di iNdonesia 1900-1942, LP3ES 1982 Notosusanto, Nugroho, (ed),Pejuang dan Prajurit : Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI,Jakarta: Sinar Harapan, 1984 Nusa Bhakti, Ikrar, dkk, Tentara yang Gelisah, Hasil Penelitian Yipika Tentang Posisi ABRI dalam Gerakan Reformasi, Bandung: Mizan, 1999
Rakhmat, Jalaludin, “Islam di Indonesia Masalah Defenisi, dalam M. Amien Rais (ed), Islam di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press Salim, Said, Tumbuh dan Berkembangnya Dwifungsi. Perkembangan Politik Militer Indonesia 1958-2000 cet I, Aksara Karunia 2002 Samego, Indria, “Bila ABRI Menghendaki”, (Bandung, Mizan, Agustus 1998), cet. II Syamsudin, M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2000) Soebijono, dkk, Dwifungsi ABRI, Perkembangan dan Perananannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia, Yogyakarta: gadjah Mada University Press, 1997 Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer, Studi tentang Budaya Politik, (Jakarta: LP3ES, Agustus 1992) Tanjung, Feisal, Jenderal TNI, ABRI-Islam, Mitra Sejati, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997 Tiras, ABRI dan Islam, No. 21/VI/13 Februari 1993. Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1966) Wahid, Adurahman, “Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah”, (Prisma, No. 12, Desember 1980) Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi (Jakarta: Magna Script, 2004), cet. 1 www.asiaweek.com www.jawapos.com www.tni.com Perlmutter, Almost, Militer dan Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998) Yeon, Kim So, Makna dan Keterbatasan Sarekat Islam dalam Pergerakan Nasional, tesis (Depok: Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, 2003) Zahra, Abu (ed), Politik demi Tuhan. Nasionalisme Religius di Indonesia, Pustaka Hidayah 1999