Penilaian atas Kajian Lingkungan Hidup Strategis Berbasis Ekosistem: Studi Kasus Muaro Jambi September, 2013 K a b u p ate n M u ar o J a m bi merupakan salah satu kabupaten dimana terdapat Taman Nasional Berbak, sebuah kawasan yang dilindungi sebagai Situs dari Konvensi Ramsar dan habitat unggas air yang diakui secara internasional. Lahan gambut yang terdapat di kawasan taman nasional sekitar 110.000 hektar, sedangkan yang terdapat di kawasan Taman Hutan Raya atau Tahura seluas 60.000 hektar . Penggunaan lahan di kabupaten ini didominasi oleh lahan pertanian kering (293.256 hektar) diikuti oleh perkebunan kelapa sawit (87.992 hektar) dan lahan pertanian sawah (17.000 hektar). Pertanian dan pertambangan (sebagian besar pertambangan minyak bumi) merupakan sektor ekonomi utama dan masing-masing memberikan kontribusi sebesar 30 % dan 26 % dari produk ekonomi regional bruto (BPS, 2012). Perkebunan kelapa sawit merupakan penyumbang terbesar PDRB dari sektor pertanian. Pendapatan yang tinggi dari kelapa sawit dan hasil pertanian lainnya menimbulkan tekanan pada hutan di Muaro Jambi. Faktor-faktor lain yang mendorong degradasi hutan di Muaro Jambi adalah adanya perizinan penggunaan lahan yang tidak efektif pada masa sebelum pembentukan kabupaten baru yang diwariskan kepada Kabupaten Muaro Jambi, tata batas hutan yang membingungkan, sengketa lahan, pembalakan liar, dan kebakaran lahan gambut akibat kekeringan. Antara tahun 1990 -2000 , laju deforestasi per tahun adalah 2,44% di dalam Taman Nasional Berbak dan 4,66 % di luar taman (persentase ini juga dipengaruhi oleh peningkatan tajam akibat kebakaran pada akhir tahun 1990 ) Perubahan tutupan lahan Muaro Jambi berperan penting dalam tingkat emisi gas-gas rumah kaca, terutama karbondioksida dan metana. Hutan gambut menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar. Secara historis hutan-hutan ini menutupi lebih dari 40% luas kabupaten. Seperti peta penggunaan lahan di bawah ini menunjukkan tutupan hutan yang telah berkurang dalam beberapa tahun terakhir. Hutan telah mengalami peningkatan laju deforestasi dari kebakaran hutan diperburuk oleh penebangan liar dan pembukaan lahan untuk dijadikan lahan pertanian (Chen et al. 2008).
1
Legenda Pedesaan
Tutupan Lahan (Tahun 2011)
Areal Lahan Perkebunan
Ijin Perkebunan Kelapa Sawit
Pemukiman
Persawahan
Areal Hutan
Hutan Rawa Primer
Pertanian Lahan Kering
Hutan Konservasi
Hutan Rawa Sekunder
Air
Hutan Lindung
Rawa/Semak/Belukar
Lain-lain
Hutan Produksi
Hutan Tanaman
Lahan Tandus
Hutan Produksi Terbatas
Tujuan dari studi kasus Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah untuk menginformasikan potensi investasi rendah emisi di Muaro Jambi:
Membuat penilaian ekonomi terhadap alokasi penggunaan lahan saat ini dan potensi perubahan penggunaan lahan di Muaro Jambi.
2
Kebijakan yang saling menguntungkan (win-win) guna mengurangi emisi dari energi alternatif dan deforestasi serta degradasi hutan tidaklah mudah dicapai ketika manfaat sosial dari konservasi hutan dan manfaatmanfaat finansial dari pemanfaatan lahan bertambah dalam skala kelembagaan yang berbeda (yaitu, masyarakat luas dibandingkan masyarakat lokal). ManfaatManfaat finansial atas tanah menunjukkan hasil langsung dari lahan bagi para pemangku kepentingan dan manfaatmanfaat ekonomi menunjukkan manfaatmanfaat sosial secar penuh atas tanah (termasuk dampak dari emisi gas-gas rumah kaca). Adanya perbedaan signifikan dalam manfaatmanfaat tersebut akan mengakibatkan penggunaan berlebihan sumber daya yang tidak memberikan hasil langsung, yaitu hutan dan lahan gambut. Hal lain yang menyebabkan degradasi sumber daya alam adalah ketika masyarakat lokal tidak memiliki informasi yang memadai tentang manfaat dan nilai ekonomi dan non-ekonomi sumber daya alam bagi masyarakat. Nilai ekonomi sumber daya alam yang tidak diberikan kepada masyarakat atau diberikan namun tidak disadari oleh masyarakat - dibahas secara rinci dalam konteks Muaro Jambi . 3
Analisis menilai penggunaan lahan saat ini, hasil atau manfaatmanfaat dari tanah untuk beragam pemanfaatan, dan entitas dimana hasil atau manfaatmanfaat tersebut diberikan, dalam upaya memahami apakah manfaatmanfaat finansial dan sosial sudah selaras.
ManfaatManfaat Finansial atas Lahan Pemanfaatan utama lahan di Muaro Jambi memberikan manfaatmanfaat finansial langsung kepada para pemangku kepentingan nya. Peta di bawah menyajikan nilai ekonomi tahunan (menggunakan tingkat diskonto 10%) dari manfaatmanfaat finansial atas beragam pemanfaatan lahan di Muaro Jambi. ManfaatManfaat finansial dari hutan lindung dan hutan produksi termasuk pemanfaatannya secara langsung adalah:
Pendapatan dari retribusi pengunjung
Penebangan kayu (hanya penebangan kayu legal yang dapat diperkirakan)
Hasil hutan non-kayu (hanya ekstraksi legal yang dapat diperkirakan)
Perkebunan kelapa sawit, kebun karet, dan tanaman seperti padi dan jagung masing-masing memiliki manfaatmanfaat finansial yang lebih tinggi dari hutan. Kawasan hutan yang bukan merupakan taman nasional terancam desakan untuk dijadikan lahan pertanian.
Jika hanya mempertimbangkan manfaatmanfaat finansial, manfaatmanfaat finansial atas 4
lahan hutan sangatlah rendah, ditambah dengan tekanan pemanfaatan lahan untuk pertanian.
ManfaatManfaat Ekonomi atas Lahan Manfaat ekonomi atas lahan mencakup juga nilai-nilai lain dari kebaikan ekosistem (di samping penggunaan langsung dari tanah), termasuk (Hein et al. 2006):
Nilai kemanfaatan tidak langsung: Ini termasuk manfaat dari kebaikan yang disediakan oleh ekosistem ketika mereka mempengaruhi iklim, hidrologis, dan proses lainnya.
Nilai-nilai pilihan: Memiliki pilihan untuk menggunakan sumber daya di masa depan.
Nilai-nilai non-manfaat: Berasal dari atribut yang melekat pada suatu ekosistem. Termasuk dalam golongan ini adalah nilai eksistensi, nilai hibah (manfaat masa depan untuk keturunan seseorang), dan nilai altruistik (mengetahui bahwa orang lain akan memperolah manfaat).
Lihat Lampiran teknis studi kasus ini untuk rincian tentang perhitungan manfaatmanfaat finansial dan ekonomi atas lahan di Muaro Jambi.
ManfaatManfaat ekonomi atas lahan hutan di Muaro Jambi adalah yang tertinggi Manfaat Finansial dan Ekonomi atas Pemanfaatan Lahan
5
Legenda
Legenda
Penilaian Finansial (dalam Rp dengan tingkat diskonto 10%)
Penilaian Ekonomis (dalam Rp dengan tingkat diskonto 10%)
Rawa/semak: 0
Lahan Tandus: 0
Lahan Tandus: 0
Perkebunan Besar (Karet): 2.273.027
Hutan Sekunder & Perkebunan Hutan: 892.848
Rawa/Semak: 2.752.500
Hutan Primer: 1.205.000
Sawah: 3.206.000
Areal Perkebunan (Karet): 3.348.425
Perkebunan Lahan Kering/Ladang (Jagung): 3.503.333
Sawah: 5.456.000
Perkebunan Kelapa Sawit milik Masy: 8.468.410
Perkebunan Lahan Kering/Ladang (jagung): 5.753.333
Kebun Kelapa Sawit Skala Besar: 11.316.648
Perkebunan Kelapa Sawit milik Masy.: 12.189.404
Hutan Sekunder atau Perkebunan Hutan: 15.572.848
Kebun Kelapa Sawit Skala Besar: 15.037.643
Hutan Primer: 36.753.065
Menilai Manfaat Hutan Gambut Penyerapan Karbon (Sekuistrasi Karbon)
Manfaat ekonomi dari perlindungan hutan gambut sangatlah besar (Rp. 6,7 juta/ hektar/tahun). Komponen utama dari manfaat tersebut adalah nilai penyerapan karbon dari hutan (sebuah nilai kegunaan tidak langsung). Agus et al. (2009) melaporkan waktu rata-rata stok karbon di biomassa hutan gambut adalah sebesar 200 ton/hektar yang dapat dikonversi menjadi penyerapan karbondioksida sebesar 734 ton/hektar. Van Beukering et al. (2003) menggunakan perkiraan Rp. 50.000 per ton untuk perkiraan nilai penyerapan karbondioksida di Indonesia . Ini berarti nilai Rp.36,7 juta/hektar/tahun untuk layanan yang disediakan bagi penyerapan karbondioksida oleh hutan gambut. Meskipun bukti terbaru menunjukkan nilai tersirat yang lebih rendah untuk penyerapan karbondioksida, diharapkan bahwa dalam jangka panjang, sebagai realisasi dari dampak emisi karbondioksida secara lokal menjadi lebih jelas, penilaian karbondioksida di masa mendatang akan jauh lebih tinggi. Karena hutan produksi diperkirakan relatif kurang rimbun dibanding hutan lindung, kita mengasumsikan bahwa penyerapan karbondioksida dari hutan 6
produksi adalah 40 % dari penyerapan dari hutan lindung, senilai Rp 14,7 juta/hektar/tahun. Untuk hutan dan semak terdegradasi, waktu rata-rata stok karbon dalam biomassa adalah 15 ton/hektar (Agus et al. 2009), yang dapat diubah menjadi penyerapan karbondioksida dari 55 ton/hektar , menghasilkan nilai Rp 2,8 juta/ha/tahun.
Habitat kritis
Taman Nasional Berbak juga menyediakan habitat bagi harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) serta flora dan fauna lainnya yang terancam punah. Van Beukering et al. ( 2003) memperkirakan net present value (NPV) untuk pariwisata di Kawasan Ekosistem Leuser ( di Sumatera Utara ) adalah sebesar 171-828 juta dolar (dalam dolar AS, dengan menggunakan tingkat diskonto 4 % dan jangka waktu 30 tahun). Nilai ini termasuk beberapa jenis satwa liar, termasuk Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), beberapa jenis primata, mamalia, dan burung. Dari nilai menggunakan rujukan Chadès et al. (2008), diekstrapolasi bahwa 30 tahun NPV Ekosistem Leuser untuk mendukung populasi harimau secara layak adalah Rp. 1,515 miliar. Ini setara dengan nilai tahunan Rp. 86,7 miliar untuk seluruh ekosistem. Karena daerah Ekosistem Leuser adalah seluas 2.500.000 hektar (Van Beukering et al. 2003), diperkirakan bahwa nilai habitat per hektar adalah Rp. 35.049/hektar/tahun. Kajian dan telaah ini menggunakan nilai tersebut sebagai batas atas, karena kesediaan untuk membayar untuk habitat harimau di Muaro Jambi tidak dihitung secara langsung .
Fungsi Hidrologis
Tidak tersedia data untuk menilai fungsi penting yang disediakan oleh lahan gambut dan memberikan manfaat bagi pertanian dan perikanan ini. Sejauh ini, perkiraan kami adalah batas bawah dari nilai sebenarnya.
Menilai Biaya Sosial dari Pemanfaatan untuk Pertanian
7
Emisi Bersih Penyerapan Nilai ekonomi untuk kelapa sawit, karet, dan produksi padi mencakup nilai sosial bersih penyerapan emisi karbondioksida. Untuk masing-masing tiga penggunaan lahan pertanian, emisi lebih besar dari penyerapan, sehingga menghasilkan biaya sosial bersih. Kami menggunakan estimasi berikut untuk emisi tahunan bersih karbondioksida per tahun dari konversi hutan gambut untuk setiap jenis penggunaan lahan: 86 ton/hektar untuk perkebunan kelapa sawit (Hooijer et al. 2010); 41 ton/hektar untuk perkebunan karet (Agus et al. 2009), dan 45 ton/hektar untuk pertanian padi (Agus et al. 2009). Kami menggunakan perkiraan Van Beukering et al. (2003) yaitu Rp. 50.000/ton karbondioksida untuk menghargai emisi ini. Pemanfaatan lahan pertanian dapat memiliki dampak lingkungan negatif lain, yang telah dihitung dampak emisi metana dari perkebunan kelapa sawit (nilai tahunan sebesar Rp. 2,0 juta/hektar/tahun). Namun, tidak dilakukan penghitungan dampak negatif terhadap lingkungan atas penggunaan pupuk.
Manfaat Lahan berdasarkan Pemangku kepentingan Penilaian tentang bagaimana manfaat bagi lahan akan didistribusikan di antara pemangku kepentingan dengan menentukan insentif bagi para pemangku kepentingan untuk menjaga lahan yang digunakan saat ini, serta insentif untuk mengkonversi lahan yang akan mengakibatkan degradasi lahan. Lahan pertanian, perkebunan kelapa sawit (perkebunan besar atau kecil ), dan perkebunan karet memberikan manfaat finansial yang terhutang kepada petani dan produsen (lihat Lampiran teknis untuk rincian). Meskipun sebagian besar manfaat dari perkebunan kelapa sawit masuk ke perusahaan induknya, manfaat tersebut juga memberikan rezeki kepada masyarakat baik dalam bentuk upah dari bekerja di perkebunan atau secara langsung menanam kelapa sawit tersebut. Contoh, di Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, 70 persen masyarakatnya bekerja di perkebunan kelapa sawit. Pemerintah juga mengumpulkan pajak-pajak atas penghasilan dari pertanian. Kebanyakan minyak sawit yang diproduksi di perkebunan besar diekspor, tarif pajak ekspor untuk kelapa sawit adalah 9% pada Januari 2013 . (Lihat Lampiran B untuk rincian lebih lanjut tentang Manfaat Bagi Lahan oleh kelompok pemangku kepentingan).
Untuk taman nasional, manfaat finansial bagi pemerintah adalah dalam bentuk retribusi 8
kunjungan. Manfaat dari penyerapan karbondioksida yang disediakan hutan hanya untuk kepentingan global, dan tidak kepada masyarakat, hal ini menyiratkan kurangnya insentif bagi masyarakat untuk mengelola hutan. Hutan memiliki manfaat ekonomi tinggi yang sebagian besar berasal dari fungsi penyerapan karbondioksida yang disediakannya dan pelestarian keanekaragaman hayati. Namun demikian manfaat-manfaat tersebut tidak diberikan langsung kepada para pemangku kepentingan lokal.
Perbedaan cara pandang dalam hal manfaat finansial dan ekonomi bagi lahan dan distribusi yang tidak merata diantara para pemangku kepentingan memunculkan desakan atas konversi lahan dari hutan (yang memiliki manfaat ekonomi tinggi yang dirasakan pemangku kepentingan diluar masyarakat) menjadi lahan pertanian (yang memiliki manfaat finansial yang dirasakan langsung langsung oleh pemangku kepentingan setempat).
Masyarakat menyadari adanya manfaat yang besar dari lahan perkebunan kelapa sawit dan pertanian lainnya dan hanya mendapat manfaat finansial yang relatif rendah dari hutan.
Di stri b u si Ma nf a at b er da s ar k a n Pe m a n g k u Ke p e nti ng a n
9
Pertanian, Perkebunan Karet, Perkebunan Kelapa Sawit, Hutan Lindung, Hutan Produksi Biru: Masyarakat, Hijau: Swasta, Merah: Pemerintah, Ungu: Kepentingan Global
Hutan memberikan manfaat langsung bagi pertanian di daerah sekitarnya, namun manfaat ini tidak disadari oleh masyarakatnya. Alasan lain terjadinya degradasi sumber daya alam adalah bahwa manfaat dari ketersediaan ekosistem yang diberikan oleh sumber daya ini tidak secara kasat mata diberikan kepada para pemangku kepentingan dan dengan demikian tidak diakui oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab. Di Muaro Jambi, masyarakat belum menyadari bahwa hidrologi lahan gambut sangat penting bagi air yang dibutuhkan untuk tanaman pertanian. Keputusan mereka atas hutan lahan gambut (misalnya penebangan) didasarkan pada kepentingan ekonomi jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi jangka panjang dari perubahan hidrologi tersebut (Parish et al. 2008).
Lahan gambut yang terjaga memiliki kadar air tanah sebesar 80%, menyediakan pasokan air yang berharga. Namun, subsidence (penurunan permukaan lahan gambut) memungkinkan permukaan air untuk mencapai dan naik di atas tingkat permukaan baru lebih cepat dan lebih sering, sementara limpasan air menjadi lebih cepat (Page et al. 2009; Schrier-Ujil et al. 2013 ). Hal ini menyebabkan banjir di daerah sekitarnya dan di daerah hilir, mengakibatkan kerusakan pada rumah-rumah, bisnis, pertanian, dan kerugian ekonomi lainnya. Mempertahankan aliran air yang penting bagi produktivitas pertanian di lahan gambut terdegradasi bisa jadi sulit dan mahal, seringkali malah mengakibatkan penurunan kualitas air dan hasil panen secara keseluruhan menjadi lebih sedikit (Otham et al. 2011; Parish et al. 2008).
Nilai ekonomis mitigasi banjir dan fungsi penyediaan air lahan gambut cukup besar, yaitu:
Whiteman dan Fraser (1997) memperkirakan nilai fungsi-fungsi tersebut di angka $ 91,60 per hektar per tahun, atau Rp 925.253 per hektar per tahun.
10
Suyanto et al. (2005) memperkirakan bahwa rumah tangga di dekat Taman Nasional Lore Lindu di Indonesia memiliki kemauan untuk membayar dari $ 2 menjadi $ 3 (Rp 20.00030.000) per tahun untuk melestarikan layanan mitigasi kekeringan yang diberikan oleh fungsi hidrologis taman.
Lahan gambut yang dikeringkan juga sangat rentan terhadap kebakaran yang sangat merusak selama musim kemarau. Kebakaran tahun 1997 yang membakar 2% hingga 3% dari luas daratan di Indonesia memiliki dampak ekonomi minimal $ 9 miliar, setara dengan Rp 90,909 miliar Rp (Van Eijk dan Leenman 2004). Kebakaran ini menyebabkan dampak ekonomi yang merugikan dengan musnahnya kayu komersial, perkebunan, dan lahan pertanian, menurunnya kunjungan wisata, penutupan sementara perdagangan, industri, dan perjalanan, serta peningkatan biaya perawatan kesehatan (Sastry 2000). Selain kerusakan akibat kebakaran, asap dan kabut mengganggu fotosintesis, menurunkan produksi pertanian dan kehutanan di daerah yang tidak terbakar. Kebakaran juga memusnahkan benih dan bibit, dan selanjutnya menurunkan fungsi hidrologis, serta menyebabkan erosi tanah (Schrier-Uijl et al. 2013; Tacconi 2003). Terakhir, kebakaran yang berulang menyebabkan terjadinya subsiden tanah dan risiko banjir, yang kemudian akan merusak tanaman dan meningkatkan emisi karbondioksida.
Emisi Akibat Perubahan Penggunaan Lahan di Muaro Jambi Perubahan tutupan lahan di Muaro Jambi berperan penting dalam jumlah emisi gas-gas rumah kaca. Seperti disebutkan di atas, hutan gambut menyimpan karbondioksida dalam jumlah besar, 11
namun hutan ini mengalami laju peningkatan deforestasi akibat kebakaran hutan dan pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan (Chen et al. 2008). Untuk memperlihatkan dampak transisi pola penggunaan lahan terhadap emisi, kami mengambil data Sistem Informasi Geografis (SIG) mengenai tutupan lahan dan data tentang perubahan penggunaan lahan di Muaro Jambi 1989-2007 dan membuat proyeksi pemanfaatan lahan di masa datang di kabupaten ini, sesuai pola yang ada dan tingkat deforestasi historis - yaitu , penggunaan basis data atas tanah. Tabel 1 di bawah ini menunjukkan perkiraan saat ini dan proyeksi penggunaan lahan untuk basis data skenario tutupan lahan. Kami menggunakan data ini, bersama dengan perkiraan cadangan dan tingkat emisi karbondioksida yang terdapat dalam literatur yang ada, untuk memperkirakan emisi dengan menggunakan model perkiraan emisi REDD ABACUS SP (lihat Lampiran Teknis untuk rincian). Karena variabilitas dalam stok karbondioksida dan faktor-faktor emisi, data tutupan lahan untuk pemukiman, lokasi tambang, dan badan air dikeluarkan dari model. Dengan tidak menyertakan kategori-kategori ini Awal berartidan bahwa sangat mungkin model tersebut memperkirakan Tabel 1. Penggunaan Lahan Proyeksinya di Muaro Jambi, Menggunakan Asumsi Perubahan dengan lebih rendah keseluruan emisiTingkat karbondioksida untukHistoris kabupaten Muaro Jambi. Penggunaan Lahan
Luas 2011
Persen dari Total 50,456.0 10.0% tingkat konversi, pada
Luas 2031
Persen dari Total
Hutan rawa gambut primer 16,175.02013 area 3.2% Berdasarkan sejarah tahun lahan dalam kategori hutan rawa gambut primer akan berkurang Hutan rawa gambut sekunder 51,131.4 10.2% 47,577.4 9.5% sampai lebih dari separuh.52,473.9 Areal lahan Hutan terdegradsi/semak belukar 10.4%perkebunan 20,368.5 kelapa sawit 4.1% akan sebesar 35%, dibandingkan 28%7.5%pada 2011. Ladang 37,577.3 35,378.9 7.0% Rawa
57,724.7
11.5%
44,359.1
8.8%
141,565.7
28.2%
174,927.1
34.8%
63,017.7
12.5%
92,750.4
18.5%
Perkebunan Kopi
105.4
0.0%
154.2
0.0%
Perkebunan Coklat
615.1
0.1%
902.4
0.2%
1,456.3
0.3%
2,125.9
0.4%
11,847.1
2.4%
17,909.0
3.6%
767.3
0.2%
1,190.1
0.2%
33,467.8
6.7%
48,381.0
9.6%
Perkebunan Kelapa Sawit Perkebunan Karet
Perkebunan Lain Padi Jagung Pertanian lainnya
12
Penurunan sebesar 50% dalam konversi hutan gambut primer menjadi penggunaan lahan lain akan menghasilkan penurunan sebesar 10% dalam emisi kumulatif dibandingkan jika tidak melakukan aksi apapun. Lahan gambut tropis, seperti yang ditemukan di Muaro Jambi, mengandung lapisan tebal materi tanaman yang padat karbon, yang sebagian atau seluruhnya terendam air. Pengeringan lahan gambut untuk pertanian menyebabkan lapisan gambut menjadi busuk. Dengan membusuknya gambut, karbondioksida dilepaskan ke atmosfer (Hooijer et al. 2010). Oleh karena itu, menjaga lapisan gambut ini tetap terendam adalah kunci untuk mengurangi emisi karbondioksida di masa depan. Emisi kumulatif berguna bagi perbedaan dalam biomassa tanaman akibat perubahan penggunaan lahan, emisi dari dekomposisi gambut, dan emisi dari limbah pabrik kelapa sawit (POME).
Kami menyusun beberapa skenario potensial untuk pengurangan emisi karbondioksida dengan membatasi degradasi hutan gambut primer dan sekunder di masa datang. Dalam keempat skenario ini pengurangan laju deforestasi berkisar dari 50% untuk hutan gambut primer sampai dengan gabungan pengurangan hingga 100% deforestasi hutan primer dan pengurangan 50% deforestasi hutan gambut sekunder. Semua skenario alternatif juga mengasumsikan bahwa 15% emisi metana dari kelapa sawit dapat tertangkap. Pengurangan emisi karbondioksida kumulatif dalam skenario alternatif dibandingkan dengan ukuran dasar berkisar dari 10 sampai 24 persen. Tabel 2 memberikan gambaran tentang kawasan hutan yang dilestarikan dibandingkan dengan 13
skenario dasar, emisi karbondioksida kumulatif, dan persentase pengurangan untuk masingmasing skenario pada periode ini. Semua skenario alternatif mengasumsikan suatu periode deforestasi berjangka tiga tahun pada tingkat historis sebelum tingkat deforestasi yang lebih kecil diberlakukan. Setiap skenario alternatif juga mengasumsikan bahwa para pejabat di Muaro Jambi akan mampu secara efektif menghentikan deforestasi di masa mendatang dalam area Taman Nasional Berbak.
14
Tabel 2 Emisi Kumulatif untuk Skenario Pengurangan Deforestasi di Muaro Jambi Emisi Kumulatif Pengurangan Skenario Tambahan Emisi Hutan yang 6 (10 ton CO 2) Dilestarikan (ton CO2) (ha) Skenario Dasar Skenario 1: Pengurangan Deforestasi 50% (Hanya Hutan Gambut Primer) Menangkap 15% metana dari kelapa sawit Skenario 2: Pengurangan Deforestasi 100% (Hanya Hutan Gambut Primer) Menangkap 15% metana dari kelapa sawit Skenario 3: Pengurangan Deforestasi 50% (Hutan Gambut Primer dan Sekunder) Skenario 4: Pengurangan Deforestasi 100% dari Hutan Gambut Primer & Pengurangan Deforestasi 50% dari Hutan Gambut Sekunder Menangkap 15% metana dari kelapa sawit
Pengurangan Emisi (%)
13,240.7
119.3 106.9
12.5
10.4%
30,882.9
96.0
23.3
19.6%
38,697.8
99.1
20.3
17.0%
47,745.5
90.7
28.6
24.0%
15
Gambar 1. Emisi CO2 kumulatif untuk Skenario Deforestasi tertentu
Penggunaan lahan pertanian, khususnya perkebunan kelapa sawit, dan deforestasi menyumbang bagian terbesar dari emisi CO2 secara keseluruhan. Gambar di bawah menunjukkan emisi kumulatif per hektar dari deforestasi hutan gambut di setiap skenario.
16
Gambar 2. Tingkat Emisi Kumulatif berdasarkan Penggunaan Lahan di Muaro Jambi .
Kopi, Coklat, Jagung, Perkebunan Lainnya, Rawa, Padi, Karet, Pertanian Lainnya, Ladang, Hutan Rawa Gambut Sekunder, Hutan Terdegradasi/Semak belukar, Kelapa Sawit.
Opsi Pembangunan Rendah Emisi Pembangunan rendah emisi harus memperhitungkan penggunaan lahan saat ini, rencana pengembangan penggunaan lahan yang ada, manfaat/manfaat dari penggunaan lahan, dan pemahaman para pemangku kepentingan guna mendapatkan manfaat dari realisasi manfaat. Tabel 3 di bawah ini menyajikan perubahan penggunaan lahan, manfaat/manfaat tahunan dari setiap bentuk penggunaan dan opsi-opsi pembangunan rendah emisi yang potensial.
17
18
Table 3 Penggunaan Lahan Utama dan Nilai Lahan di Muaro Jambi a Alokasi
Area th 2009 (hektar)
Hutan Rawa (primer dan sekunder)
101.601
Rawa atau rawa semak Semak belukar
100.045
Perkebunan hutan Perkebunan Kelapa Sawit
10.948 83.941
10.154
Karet Kakao Perkebunan Lain Pertanian Lahan Kering (primer dan sekunder) Padi Jagung Kelapa Singkong Kedelai Ubi Pertanian nonperkebunan lainnya
Area th 2012 (hektar)
188.811 130.260
57.985 566
157.953
Manfaat Opsi Pembangunan Rendah per Emisi Tahun (Rp/hekt ar/tahun) 36.700.00 Memelihara luas hutan dengan 0 mengurangi tekanan untuk melakukan konversi, meningkatkan insentif dan pembayaran untuk pelestarian melalui Pembayaran Layanan Ekosistem (payment for ecosystem services/PES); menggiatkan pengelolaan komunitas Tahura. Memelihara area rawa melalui pengelolaan berbasis masyarakat, keberlanjutan ekologi penggunaan lahan seperti misalnya padi sawah.
3.174.700 – 4.665.600 7.467.000
40.967
9.466 738
8.198.000 11.666.70 0
Memelihara …. Mendorong produksi karet . kakao dan sawit yang lebih ramah lingkungan, menangkap metana dari perkebunan sawit untuk mengurangi dampak emisi. Membatasi perluasan area perkebunan dan mengurangi insentif untuk konversi wilayah berijin menjadi perkebunan. Mengurangi tekanan untuk melakukan konversi hutan dan rawa yang bertujuan meningkatkan manfaat dari penggunaan saat ini melalui intensifikasi pertanian.
928 392 160 141 29.142
19
Ladang atau tanah kosong
37.577
Mendorong pengelolaan oleh masyarakat atas lahan untuk mengurangi degradasi.
Pemukiman 11.528 Lain-lain 7.776 Area lahan yang digunakan pada tahun 2009 berasal dari ouput GIS. Untuk area tahun 2012 bersumber dari Provinsi Muaro Jambi dalam Angka 2012.
Pertimbangan Lain untuk Pilihan Investasi Rendah Emisi Isu Batas Wilayah yang Tidak Tepat dan Tata Ruang Wilayah dapat menghambat rencana untuk investasi.
Ketidakjelasan penatabatasan antara kawasan-kawasan hutan lindung, Taman Nasional Berbak , dan lahan masyarakat sekitarnya telah menimbulkan sengketa tanah . Masyarakat tidak tahu batas-batas tanah yang dapat (dan tidak dapat ) digunakan untuk pertanian
Tidak terselesaikannya sengketa lahan memuncak antara petani dan perusahaan konsesi di Muaro Jambi. PT Wira Karya Sakti (WKS) memegang konsesi akasia seluas 3.400 hektar, sementara petani dari desa Danau Lamo telah mengklaim tanah tersebut sebagai milik mereka.
Sebuah rancangan peraturan daerah tentang diTata Ruang dan Wilayaj Muaro Jambi (Perda RTRW) sedang dalam proses penyusunan. Seperti halnya kabupaten dan provinsi lainnya, penyusunan peraturan daerah tentang rencana tata ruang bisa berkepanjangan karena harus menselaraskan peta penggunaan lahan dengan rencan Kementerian Kehutanan dan Rencana Tata Ruang Provinsi .
Namun demikian, di tingkat lokal, instansi pemerintah dan masyarakat desa menyambut baik kejelasan batas wilayah antar desa untuk meningkatkan peluang aksi positif daerah melalui peningkatan hak dan tanggung jawab dari kepastian tata ruang yang lebih besar, mulai dari petani sampai dengan perlindungan sumber daya air melalui pengelolaan saluran air yang lebih 20
baik. Perlu diperhatikan bahwa batas desa secara informal diakui dan umumnya di sepanjang kanal dan saluran air . Tingkat elektrifikasi menentukan permintaan untuk investasi pembangkit listrik off-grid.
Pada tahun 2005, tingkat ketersaluran listrik di Muaro Jambi adalah 62,72% dan meningkat menjadi 86,73% pada tahun 2011.
Rumah tangga yang tidak terlayani tersebar di tempat-tempat yang sulit untuk dijangkau jaringan listrik. Masyarakat menggunakan generator diesel baik untuk konsumsi dan produksi, menyiratkan manfaat dari proyek-proyek pembangkit listrik off-grid.
Tingkat elektrifikasi yang rendah (ditunjukkan dengan warna lebih gelap) di kawasan hutan dan di mana kepadatan pemukiman kecil menyiratkan bahwa:
21
Infrastruktur, transportasi, dan potensi energi terbarukan penting untuk dipertimbangkan sebelum melakukan investasi rendah emisi. Tabel 4 menyajikan rangkuman isu-isu penting yang relevan dengan investasi ini.
22
Tabel 4 Rangkuman Isu-isu penting yang Relevan dengan Investasi Rendah Emisi di Muaro Jambi Isu Penting
Lokasi
Isu-isu tata ruang, penggunaan lahan dan isu-isu lain yang bersentuhan dengan kedual hal tersebut Peraturan Daerah tentang Tata Ruang dan Kabupaten Muaro Jambi Wilayan Muaro Jambi (Perda RTRW) sedang disusun Batas-batas wilayah yang tidak jelas antara Wilayah yang berbatasan dengan hutan dan hutan dan pemukiman Taman Nasional Berbak (Kecamatan Kumpeh Ilir and Kumpeh Ulu) Konversi penggunaan lahan dari lahan (Tidak ada yang tersedia karena tidak ada pertanian menjadi perkebunan kalapa sawit kewajiban formal untuk melaporkan hal ini) Sengketa lahan Kecamatan Sungai Bahar Pengangguran
Di seluruh kabupaten
Tingkat pemberdayaan perempuan yang rendah Isu-isu infrastruktur dan transportasi
Di seluruh kabupaten
Kurangnya infrastruktur pengendali banjir
Kecamatan Jaluko, Sekernan, Marosebo, Taman Rajo, Kumpe Ulu dan Kumpe Ilir
Rencana Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera Isu-isu energy terbarukan
Jalan arteri utama di Muaro Jambi
Cakupan layanan listrik yang rendah
Di seluruh kabupaten
Potensi energy terbarukan selain Di seluruh kabupaten pembangkit tenaga air belum dikembangkan secara optimal (geothermal, biomass, biogas) Isu-isu pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan Masyarakat sangat tergantung pada sumber daya alam di wilayah hutan
Kecamatan Kumpeh Ilir dan Kumpeh Ulu
Perluasan pembangunan perkebunan kelapa sawit Pembangunan saluran air
Kecamatan Kumpeh Ilir dan Kumpeh Ulu
Polusi sungai yang disebabkan oleh limbah rumah tangga dan industri Kekurangan sumber daya manusia untuk mengelola sumber daya alam
Sepanjang aliran sungai Batanghari
Kecamatan Kumpeh Ilir dan Kumpeh Ulu
Di seluruh kabupaten 23
Pertambangan tak terdaftar
Di seluruh kabupatan
Kebakaran lahan gambut Penurunan habitat alami
Lahan gambut di Muaro Jambi Tahura, Taman Nasional Berbak
Masyarakat di Muaro Jambi akan memerlukan informasi dan insentif untuk melindungi hutan gambut di sekitar mereka. Ini termasuk kesadaran yang lebih besar tentang dampak lingkungan dari eksploitasi lahan gambut, terutama pada tata air yang mempengaruhi risiko bencana kebakaran dan penurunan permukaan tanah (subsidensi) serta memberikan peluang-peluang bagi peningkatan produktivitas pertanian. Kesimpulan Di Muaro Jambi, salah satu sumber utama emisi gas-gas rumah kaca adalah konversi hutan gambut untuk berbagai bentuk penggunaanlahan. Konversi hutan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit memiliki dampak terbesar terhadap emisi karbondioksida kumulatif . Pada saat yang sama, insentif untuk melakukan konversi yang tinggi karena manfaat dari mempertahankan lahan sebagai hutan tidak dibebankan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam konversi. Skema insentif seperti pembayaran jasa lingkungan mungkin diperlukan untuk menyelaraskan insentif swasta dengan insentif sosial. Selain itu, beberapa layanan yang disediakan hutan kepada masyarakat - mempertahankan permukaan air dan mengendalikan kekeringan dan banjir - tidak disadari oleh masyarakat. Masalah ini akan membutuhkan kegiatan yang membangkitkan kesadaran. Bisa dibilang potensi terbesar untuk meningkatkan kesadaran dalam bentuk aksi di tingkat lokal dan dalam waktu singkat adalah dengan membuat argumen yang beresonansi baik, misalnya, dengan kebutuhan penting daerah untuk memelihara sumber daya alam – contoh, benang biru umumnya lebih bergaung dibandingkan benang hitam (bahaya logam). Intensifikasi pertanian juga dapat mengurangi tekanan atas tanah dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, bagaimanapun, penyelarasan insentif perseorangan dan sosial diperlukan dengan terus adanya iming-iming manfaat yang lebih tinggi atas alternatif penggunaan lahan yang menekan wilayah hutan. 24
Akhirnya, membatasi laju deforestasi hanya merupakan satu aspek skema potensi pengurangan emisi untuk Muaro Jambi. Karena dibutuhkan periode pertumbuhan yang panjang sebelum hutan dapat dianggap primer, model yang digunakan dalam proyek ini tidak memperhitungkan setiap reboisasi hutan gambut primer. Hutan gambut primer menyimpan stok karbon terbesar dari setiap penggunaan lahan yang mungkin di lingkungan kabupaten; praktik pengelolaan lahan yang akan mempromosikan reboisasi dan memungkinkan hutan sekunder untuk matang menjadi hutan primer bisa membantu mengurangi sebagian emisi karbondioksida jangka panjang yang berasal dari penggunaan lahan pertanian. Penggunaan lahan dengan kandungan karbon rendah, seperti hutan terdegradasi, untuk pertanian juga bisa membantu mengurangi emisi di masa depan.
Penangkapan metana untuk pembangkit energi dari limbah perkebunan kelapa sawit juga memiliki potensi untuk mengurangi dampak emisi budidaya sawit. Namun, sejauh ini hasil tambahan dari pembangkit energi meningkatkan manfaat dari perkebunan, hal tersebut dapat memberikan tekanan lebih lanjut atas tanah untuk dikonversi ke penggunaan ini.
25
Referensi Agus, F., E. Runtunuwu, T. June, E. Susanti, H. Komara, H. Syahbuddin, I. Las, dan M. van Noordwijk. 2009. Emisi Karbon Dioksida dalam Transisi Penggunaan Lahan menjadi Perkebunan – Jurnal LitbangPertanian 28(4): 119-126.
BPS-Statistik Kabupaten Muaro Jambi. 2012. Kabupaten Muaro Jambi dalam Angka. Katalog BPS No. 1102.1505.
Chadès, I., E. McDonald-Madden, M.A. McCarthy, B. Wintle, M. Linkie, dan H.P. Possingham. 2008. Kapan menghentikan pengelolaan atau survey spesies yang terancam. PNAS 105(37): 13936-13940.
Chen, P., J. Miettinen, S.C. Liew, dan L.K. Kwoh. 2008. Sebuah Studi Kasus Pengindraan Jarak Jauh atas Penggunaan Lahan/Perubahan Tutupan Lahan di Lahan Gambut Muaro Jambi, Indonesia, antara 1989 – 2007. Pusat Pencitraan, Pengindraan dan Proses Jarak Jauh, Universitas Nasional Singapura.
Hein, L., van Koppen, K., de Groot, R. S., dan van Ierland, E. C. 2006. Skala tata ruang, pemangku kepentingan dan penilaian layanan ekosistem. Ekonomi Ekologi 57: 209-228.
Hooijer, A., S. Page, J.G. Canadell, M. Silvius, J. Kwadijk, H. Wosten dan J. Jauhiainen. 2010. Emisi CO2 kini dan nanti dari lahan gambut yang dikeringkan di Asia Tenggara. Biogeosciences, 7: 1505–1514.
26
Otham, H., A.T. Mohammed, F.M. Darus, M.H. Harun, dan M.P. Zambri. 2011. Praktik Manajemen Terbaik untuk Pembudidayaan Kelapa Sawit di lahan gambut: Memelihara Permukaan Air Tanah dikaitkan dengan Penurunan Lahan Gambut dan Perkiraan Emisi CO2 di Sessang, Sarawak. Jurnal Riset Kelapa Sawit 23: 1078-1086. Page, S., A. Hoscilo, H. Wosten, J. Jauhaiainen, M. Silvius, J. Rieley, H. Ritzema, K. Tansey, L. Graham, H. Vasander, dan S. Limin. 2009. Restorasi Ekologi Lahan Gambut di dataran rendah tropis di Asia Tenggara: Restoration Ecology of Lowland TropiclaPeatlands in Southeast Asia: Pemahaman Saat ini dan Arah Penelitian di Masa Datang. Ekosistem 12: 888-905.
Parish, F., Sirin, A., Charman, D., Joosten, H., Minayeva, T., Silvius, M. dan Stringer, L. (Eds.) 2008. Kajian atas Lahan gambut, Biodiversitas dan Perubahan Iklim: Laporan Utama. Pusat Lingkungan Hidup Global, Kuala Lumpur dan Wetlands International, Wageningen. Sastry, N. 2000. Kebakaran Hutan, Polusi Udara, dan Kematian di Asia Tenggara. Asia.Rand DRU-2406-FF.
Schrier-Uijl, A.P., Silvius, M., Parish, F. Lim, K.H., Rosediana, S. dan Anshari, G. 2013. Dampak Lingkungan dan Sosial dari Budidaya Kelapa Sawit pada lahan gambut tropis – Sebuah Kajian Ilmiah. Laporan Akhir. Perundingan mengenai Keberlanjutan Minyak Sawit.
Suyanto, S. B. Leimona, R.P. Permana, dan F.J.C. Chandler. 2005. Reviu Pasar Layanan Pembangunan Lingkungan di Indonesia. World Agroforestry Centre. Tacconi, L. 2003. Kebakaran di Indonesia: Sebab, Kerugian dan Implikasi Kebijakan. DIFOR Occasional Paper No. 38.
Van Beukering, P.J.H., S.J. Herman Cesar, dan M.A. Janssen. 2003. Penilaian Ekonomis dari Taman Nasional Leuser di Sumatera, Indonesia. Ecological Economics 44: 43-62.
Van Eijk, P. dan P. Leenman. 2004. Regenerasi Kebakaran yang merusak Hutan Rawa Gambut di Taman Nasional Berbak dan Pelaksanaan program penanaman kembali. Proyek Air untuk Pangan dan
27
Ekosistem mengenai: Promosi DAS dan Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Berkelanjutan dari Hutan Gambut Dataran Rendah di Asia Tenggara.
Whiteman, A., dan A. Fraser. 1997. Nilai hutan di Indonesia.Program Pengelolaan Bersama Hutan Tropis Indonesia-UK, Jakarta.
Disusun oleh beragam tim yang dipimpin oleh Dr. Tulika Narayan. Anggota tim terdiri dari Dr. Elena Besedin, Matt Hyson, Jacqueline Haskell, Kelly Peak, Dr. AriefWicaksono, Dr. Rizal Bahtiar, dan beberapa staf URDI.
Disusun untuk: Millennium Challenge Corporation 875 15th St., NW Washington, D.C. 20005
Diserahkan oleh: Abt Associates Inc. 4550 Montgomery Avenue Suite 800 North Bethesda, MD 20814
Bekerja sama dengan: URDI, Indonesia ICRAF, Indonesia
28