PENGENDALIAN POTENTIAL RECALL DENGAN PENDEKATAN BATCH DISPERSION MODEL PADA INDUSTRI PENGOLAHAN UDANG BEKU STUDI KASUS DI PT RED RIBBON INDONESIA, JAKARTA
ARIN KUSUMA PRATIWI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN ARIN KUSUMA PRATIWI. C34060443. Pengendalian Potential Recall dengan Pendekatan Batch Dispersion Model pada Industri Pengolahan Udang Beku Studi Kasus di PT Red Ribbon Indonesia, Jakarta. Dibimbing oleh ANNA C ERUNGAN dan BUSTAMI IBRAHIM Udang sebagai salah satu bahan pangan yang memiliki potensi pasar yang sangat besar. Akan tetapi udang memiliki kelemahan yaitu mudah mengalami pembusukan atau kemunduran mutu. Selain permasalahan mutu dan keamanan pangan yang dihadapi, masalah yang sering terjadi adalah adanya kontaminasi baik fisik (plastik, rambut dll) atau mikrobiologi (Escherichia coli, Salmonella dll) maupun kimia seperti kloramfenikol pada produk udang. Sehingga hal ini menyebabkan kerugian bagi perusahaan yaitu terjadinya penolakan terhadap produk udang serta mengakibatkan biaya operasional yang cukup besar. Solusi untuk mengetahui penyebab dari penolakan produk udang tersebut antara lain adalah dengan menerapkan sistem traceability untuk menelusuri asal bahan baku dan lokasi produk dalam rantai pasok. Sistem traceability yang digunakan merupakan sistem internal traceability yaitu menelusuri pada tahapan proses produksi dengan pengggunaan konsep batch dispersion. Batch merupakan sejumlah makanan yang diproduksi dalam keadaan yang seragam atau sama. Jika suatu batch produk didistribusikan kepada berbagai pembeli, maka akan menyebabkan terjadi penyebaran batch yang cukup banyak. Penyebaran batch yang terlalu banyak kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi terhadap produk akan lebih meningkat. Sehingga dengan penggunaan konsep batch dispersion dengan metode penggabungan batch pada satu periode dan penggabungan batch yang beda periode dengan analisis datanya menggunakan model matematika yaitu dengan prinsip Heuristik diharapkan dapat meminimalisasi terjadinya penyebaran batch serta meminimalkan biaya produksi dan mengurangi potensi penarikan kembali. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk meminimalkan potensi penarikan kembali pada produk akibat kemungkinan terjadinya masalah penurunan mutu atau keamanan pangan maupun kontaminasi (fisik, kimia atau biologi), sedangkan tujuan khususnya adalah menggabungkan batch-batch bahan baku pada periode yang sama dan menggabungkan batch-batch bahan baku pada periode yang berbeda, pada proses produksi serta menentukan metode yang baik untuk meminimalisasi biaya produksi. Penelitian ini berlangsung pada bulan Juni-Agustus 2010 bertempat di PT Red Ribbon. Perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan yang memanfaatkan udang sebagai bahan baku utama untuk membuat produk udang headless (HL) block. Produk udang tersebut dijual ke beberapa negara seperti Jepang, USA, dan lain-lain. Produksi batch di perusahaan berdasarkan pada supplier yang terdiri dari tiga supplier yang memiliki kode berbeda-beda untuk menghindari terjadinya pencampuran antara bahan baku yang berasal dari masingmasing supplier yang tersebut. Hasil yang diperoleh setelah dilakukan analisis dengan menggunakan konsep batch dispersion menunjukkan bahwa dengan metode penggabungan batch yang berasal dari periode yang sama dapat meminimalkan terjadinya potensi penarikan kembali dengan mengurangi jumlah
retailler yang dilayani oleh batch yang sama sehingga kemungkinan penurunan mutu dan masalah keamanan pangan dari produk udang dapat diminimalisasi. Hal tersebut juga dapat mengakibatkan biaya produksi dapat diminimalkan,yaitu dari rata-rata biaya total sebesar US$ 490.865,60 menjadi sebesar US$ 327.248,63.
PENGENDALIAN POTENTIAL RECALL DENGAN PENDEKATAN BATCH DISPERSION MODEL PADA INDUSTRI PENGOLAHAN UDANG BEKU STUDI KASUS DI PT RED RIBBON INDONESIA, JAKARTA
ARIN KUSUMA PRATIWI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul
Nama NRP
: Pengendalian Potential Recall dengan Pendekatan Batch Dispersion Model pada Industri Pengolahan Udang Beku Studi Kasus di PT Red Ribbon Indonesia, Jakarta : Arin Kusuma Pratiwi : C34060443
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Anna C Erungan, MS NIP : 19620708 198603 2 001
Dr.Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc. NIP : 19611101 198703 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP. 1958 0511 1985 03 1 002
Tanggal Lulus : ............................
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengendalian Potential Recall dengan Pendekatan Batch Dispersion Model pada Industri Pengolahan Udang Beku Studi Kasus di PT Red Ribbon Indonesia, Jakarta” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Februari 2011
Arin Kusuma Pratiwi C34060443
KATA PENGANTAR Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, dengan judul skripsi “Pengendalian Potential Recall dengan Pendekatan Batch Dispersion Model pada Industri Pengolahan Udang Beku Studi Kasus di PT Red Ribbon Indonesia, Jakarta”. Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada : 1. Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS selaku dosen pembimbing I, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis. 2. Bapak Dr. Ir. Bustami Ibrahim MSc selaku dosen pembimbing II, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis. 3. Bapak Ir.Heru Sumaryanto, M.Si selaku dosen penguji, atas saran dan masukan yang diberikan kepada penulis. 4. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, Mphil selaku ketua Departemen Teknologi hasil Perairan. 5. Pimpinan PT. Red Ribbon Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di perusahaannya. 6. Mba Fira, mba Elvi, mba Hera, mba Dwi, Pak Mamat, dan Bu Nanik yang telah membimbing saya selama penelitian di perusahaan. 7. Ibu dan Bapak, adikku (Widya Kusuma Dewi), dan keluarga besar tercinta atas doa dan dukungannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 8. Teman-teman satu PS (Holland, Idmar, Molly, Fitri M, Hilda, Tika, dan Septin) yang telah memberikan semangat kepada penulis dan berbagi keluh kesah. 9. Teman-teman Acie, Ratna, Memey, Anggi, Rida, Era, Cece, Icha, Patma, Ely, Minal, Ijal, Anjar, Bang Rio, Wahyu, Deksu, Joha, Spy,
viii
Budi, Nico yang telah mendukung dan membantu penulis selama penyusunan skripsi. 10. Teman-teman THP 43 yang telah mendukung dan memberikan semangat kepada penulis, terima kasih atas semuanya. 11. Teman-teman THP 44 dan 45 yang telah memberikan semangat kepada penulis. 12. “Ekyers” (Itha, mba Eka, Iin, Vita, mba Ita, Oci, Vivi, Sabti, Betari, Bani, Ayu, Endah, Yuli dan Ivo) terima kasih atas keceriaan selama ini membuat penulis semangat. 13. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan nama satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membanguan untuk perbaikan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Februari 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banjarnegara, pada tanggal 12 Maret 1988, anak pertama dari dua bersaudara dari Bapak Ma’mum S.Pd dan Ibu Taryati S.Pd. Memulai jenjang pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri 01 Karangjambe dan lulus pada tahun 2000. Kemudian melanjutkan Sekolah Menegah Pertama di SMP Negeri 2 Wanadadi dan lulus pada tahun 2003. Serta melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Banjarnegara dan lulus pada tahun 2006. Tahun 2006, lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Selaksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI), memilih program studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani pendidikan akademik penulis mengikuti organisasi FPC (Fish Processing Club) pada tahun 2007-2009 dan beberapa kepanitian. Selain itu juga aktif sebagai asisten paraktikum mata kuliah Penanganan Hasil Perairan pada tahun 2009 dan tahun 2010 serta sebagai asisten praktikum mata kuliah Teknologi Produk Tradisional Hasil Perairan pada tahun 2010, juga pernah mengikuti pelatihan ISO 22000 yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) pada tahun 2009. Penulis juga telah menyelesaikan laporan praktek lapang yang berjudul “Studi Kelayakan Dasar pada Pengolahan Udang Putih (Penaeus merguensis) Beku, Headless Block di PT. Toxindo Prima Cilacap- Jawa Tengah” Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis melaksanakan penelitian dari bulan Juli 2010 sampai dengan Agustus 2010 bertempat di PT Red Ribbon Indonesia Muara baru-Jakarta. Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengendalian Potensial Recall dengan Pendekatan Batch Dispersion Model pada Industri Pengolahan Udang Beku Studi Kasus di PT Red Ribbon Indonesia, Jakarta”.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv 1. PENDAHULUAN........................................................................................
1
1.1
Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2
Tujuan ................................................................................................
3
2. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
5
2.1
Deskripsi dan Klasifikasi Udang (Penaeus sp) ..................................
5
2.2
Mutu dan Keamanan Pangan ..............................................................
6
2.3
2.2.1 Mutu......................................................................................... 2.2.2 Keamanan pangan ................................................................... Persyaratan Mutu Udang ...................................................................
6 7 8
2.4
Kemunduran Mutu Udang ................................................................ 11
2.5
Pembekuan ......................................................................................... 13
2.6
Traceability ........................................................................................ 14
2.7
Batch Dispersion ............................................................................... 16
3. METODE PENELITIAN ............................................................................ 19 3.1
Waktu dan Tempat ............................................................................... 19
3.2
Kerangka Pemikiran ............................................................................. 19
3.3
Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 22
3.4
Tahapan Penelitian ............................................................................. 22
3.5
Metode Pengumpulan Data ................................................................. 23
3.6
3.5.1 Pengumpulan data primer ....................................................... 23 3.5.2 Pengumpulan data sekunder ................................................... 23 Metode Analisis Data ......................................................................... 23
3.6.1 Analisis deskriptif ................................................................... 23 3.6.2 Analisis batch dispersion........................................................ 23 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 32 4.1
Keadaaan Umum Perusahaan ............................................................. 32 4.1.1 Lokasi perusahaan .................................................................. 32 4.1.2 Sejarah dan perkembangan perusahaan .................................. 32 4.1.3 Struktur organisasi perusahaan ............................................... 33
xi
4.2
4.1.4 Tenaga kerja dan kesejahteraan karyawan ............................ 33 4.1.5 Fasilitas perusahaan ................................................................ 34 Tahapan Proses Produksi ..................................................................... 36
4.3
Batch Dispersion .................................................................................. 43
4.3.1 Penggabungan batch-batch dalam satu periode ....................... 47 4.3.2 Penggabungan batch-batch dari berbagai periode ................... 48 5. KESIMPULAN dan SARAN ...................................................................... 52 5.1
Kesimpulan ......................................................................................... 52
5.2
Saran.................................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 53 LAMPIRAN ....................................................................................................... 56
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1
Komposisi kimia udang Vannamei ......................................................
2
Persyaratan mutu dan keamanan pangan udang beku .......................... 11
3
Tenaga kerja PT Red Ribbon Indonesia .. ............................................ 34
4
Standar size dan susunan udang .. ......................................................... 40
5
Jumlah produksi udang berdasarkan retailler, mutu dan periode (kg) .. 44
6
Tingkat mutu dan harga jual udang (US$).. ........................................... 45
7
Penurunan harga jual udang akibat penurunan mutu (%).. .................... 45
8
Biaya produksi yang dipengaruhi oleh mutu produk (US$) .. .............. 46
9
Biaya total pelayanan retailler (US$) .. ................................................. 47
9
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1
Morfologi udang ...................................................................................
5
2
Ilustrasi ukuran dispersi batch ............................................................... 17
3
Ilustrasi dari upward dispersion dan downward dispersion jika terjadi masalah ....................................................................................... 20
4
Diagram alir kerangka pemikiran .......................................................... 21
5
Diagram alir tahapan metode penelitian mengenai pendekatan batch dispersion ..................................................................................... 22
6
Tingkat mutu yang dibutuhkan untuk sekelompok retailler.................. 29
7
Diagram alir proses produksi batch udang headless.............................. 42
8
Ilustrasi penyebaran batch ..................................................................... 43
9
Hubungan anatara α, dispersi, dan ukuran batch ................................... 49
10
Hubungan biaya dispersi dan biaya produksi ........................................ 50
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1
Sertifikat ISO PT Red Ribbon Indonesia, Jakarta ............................ 57
2
Struktur Organisai PT Red Ribbon Indonesi, Jakarta ........................ 58
3
Data jumlah udang per supplier ........................................................ 59
4
Data volume ekspor udang................................................................ 60
5
Perhitungan penurunan harga jual akibat penurunan mutu ............... 61
6
Perhitungan biaya produksi yang dipengaruhi oleh mutu ................. 62
7
Perhitungan biaya disperse dan biaya setup ..................................... 63
8
Perhitungan biaya produksi metode penggabungan batch dalam satu periode.... ....................................................................... 64
9
Perhitunngan nilai dispersi dan α ..................................................... 65
10
Perhitungan biaya produksi metode penggabunngan batch dari periode yang berbeda ............................................................... 66
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi pangan saat ini yang mampu mengawetkan, merubah bentuk, serta membuat makanan lebih bergizi dan mempermudah dalam penyajian dan persiapan tidak terlepas dari peran manusia yang menciptakannya. Kemajuan teknologi yang pesat tersebut banyak kaitannya dengan kemajuan ilmu kimia, mikrobiologi dan keteknikan, serta bioteknologi. Seiring dengan adanya berbagai macam kemajuan teknologi pangan yang ada, kesalahan-kesalahan yang muncul dari penerapan teknologi yang ada baik yang disengaja maupun tidak disengaja dapat menyebabkan berbagai peluang yang dapat mengancam kesehatan dan keamanan konsumen. Contohnya kontaminasi timbal (Pb) dan merkuri, intoksikasi dan infeksi, zat warna yang berbahaya, radio nukleotida, zat-zat karsinogenik, pemalsuan dan kadaluwarsa (Winarno 2004). Selain itu, penyebab kontaminasi juga dapat disebabkan oleh mikroba seperti Escherichia coli, Salmonella dll, serta dapat disebabkan oleh cemaran fisik seperti plastik, batu, rambut dll (BSN 2007). Industri hasil perikanan merupakan salah satu industri pengolahan dengan bahan baku yang mudah mengalami kemunduran mutu. Sehingga dalam mengatasi hal tersebut dapat menerapkan teknologi-teknologi pangan agar dapat menghasilkan produk yang bermutu tinggi dan sesuai dengan kebutuhan konsumen dalam hal ini yang berkaitan dengan keamanan pangan. Isu keamanan pangan saat ini telah menjadi perhatian bagi semua kalangan industri pangan. Khususnya pada bidang perikanan karena dianggap sebagai industri yang memerlukan kondisi perlakuan yang khusus di dalam proses pengolahan produknya, karena bahan bakunya mudah rusak dan daya tahannya terbatas (Larsen 2002). Udang merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi baik yang berasal dari laut maupun tambak. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produksi udang yang cukup fluktuatif pada tahun 2006 mencapai 227.164 ton, tahun 2007 mencapai 258.976 ton serta pada tahun 2008 mencapai 236.922 ton (KKP 2009). Data produksi tersebut berpengaruh terhadap jumlah
volume ekspor yang juga terus mengalami fluktuatif. Hal ini dapat terlihat dari data ekspor udang ke Negara Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa selama tiga tahun yaitu tahun 2006 secara berurutan mencapai 50.581 ton, 61.235 ton, 35.232 ton, tahun 2007 mencapai 40.334 ton, 60.399 ton, 28.845 ton, tahun 2008 mencapai 39.582 ton, 80.479 ton, 26.825 ton (KKP 2009). Seiring dengan peningkatan permintaan jumlah udang, udang yang berasal dari Indonesia sering terkena masalah seperti kasus antibiotik. Berdasarkan laporan dari RASFF, udang yang terkena kasus antibiotik seperti kloramfenikol untuk tahun 2004 sampai 2006 mencapai 24 kasus sedangkan kasus yang diakibatkan oleh cemaran mikrobiologi mencapai 13 kasus (FDA 2007) yang mengakibatkan terjadinya penolakan. Selain mengenai kasus antibiotik, masalah lain yang sering dihadapi adalah mengenai penurunan mutu udang dan kontaminasi. Penurunan mutu udang dan kontaminasi dapat terjadi pada proses penyimpanan dan distribusi, untuk itu dibutuhkan penanganan yang khusus pada batch produk selama proses produksi. Produk udang yang mengalami penurunan mutu akan ditolak oleh pembeli, maka perusahaan akan melakukan penarikan kembali terhadap produk udang yang ditolak, selain itu juga dapat mengakibatkan peningkatan pada biaya operasional. Dengan dilakukannya penarikan kembali, dapat diketahui penyebab dari penolakan tersebut. Solusi untuk mengetahui penyebab dari penolakan produk udang oleh pembeli tersebut antara lain adalah dengan menerapkan sistem traceability atau penelusuran untuk menetapkan asal bahan baku dan lokasi produk dalam rantai pasok (Dupuy et al. 2005). Dalam rantai pasok, sistem traceability berarti kemampuan untuk menelusuri dan mengikuti makanan dan pakan hewan melalui semua tahapan produksi dan distribusi (FSA 2002). Moe (1998) dalam Grunow et al. (2008) mengelompokkan traceability pangan menjadi dua yaitu chain traceability dan internal traceability. Chain traceability adalah rantai atau trek untuk menelusuri produk melalui rantai produksi dari panen sampai transportasi, penyimpanan, pemrosesan, distribusi dan penjualan. Sedangkan internal traceability adalah menelusuri produk melalui internal batch di salah satu tahap dalam rantai misalnya adalah proses produksi. Jika suatu batch produk didistribusikan kepada berbagai pembeli, maka akan menyebabkan terjadi
penyebaran batch yang cukup banyak. Penyebaran batch yang terlalu banyak kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi terhadap produk akan lebih meningkat. Apabila suatu produk mengalami kontaminasi baik secara fisik, kimia maupun biologi akan mengakibatkan produk tersebut mengalami penarikan kembali dan dilakukan penelusuran penyebab dari kontaminasi tersebut. Pelaksanaan sistem traceability yang diterapkan dalam perusahaan sering kali kurang efisien sehingga masih sering terjadi penarikan kembali produk yang diekspor. Untuk itu Dupuy et al. (2005) menggunakan konsep batch dispersion pada internal traceability dilakukan dalam prosses produksi. Batch dispersion merupakan jumlah downward dispersion bahan baku dan upward dispersion produk jadi. Downward dispersion adalah jumlah batch produk jadi yang mengandung bagian dari batch bahan baku. Upward dispersion adalah jumlah perbedaan batch bahan mentah yang digunakan untuk menghasilkan batch produk jadi. Menurut Grunow et al. (2008), penggunaan konsep batch dispersion diharapkan dapat mengurangi jumlah peluang penarikan kembali dengan memperkecil masalah keamanan pangan yang sering terjadi akibat kontaminasi pada beberapa produksi batch. Konsep ini dapat diterapkan dengan cara pembatasan ukuran batch, pembatasan jumlah retailler yang dilayani oleh batch yang sama, akan tetapi dalam memutuskan ukuran batch harus memperhatikan mutu dari produk yang bersifat perishable karena dapat mengakibatkan degradasi mutu produk selama dalam penyimpanan.
1.2 Tujuan a. Umum Mengurangi potensi produk udang yang mengalami penarikan kembali (recall) akibat kemungkinan terjadinya masalah penurunan mutu atau keamanan pangan maupun kontaminasi (fisik, biologi, maupun kimia) produk selama proses produksi.
b. Khusus 1. Menggabungkan batch-batch bahan baku pada periode yang sama dan menggabungkan batch-batch bahan baku pada periode yang berbeda, pada proses produksi. 2.
Menentukan metode yang baik untuk meminimalisasi biaya produksi.
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Deskripsi dan Klasifikasi Udang (Penaeus sp) Tubuh udang dibentuk oleh dua cabang (birasmus), yaitu exopodite dan
endopodite. Udang memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting) (Haliman dan Adijaya 2006). Berikut merupakan tata nama atau klasifikasi udang (Fast dan Lester 1992). Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Subfilum
: Crustasea
Kelas
: Malacostraca
Subkelas
: Eumalacostraca
Superordo
: Eucarida
Ordo
: Decapoda
Subordo
: Dendrobrachiata
Famili
: Penaeidae
Genus
: Penaeus sp
Kulit badan berwarna putih polos atau kuning muda bertotol-totol merah tipis. Terdapat bintik-bintik coklat pada ujung ekor. Pada sungut yang pendek (antennula) terdapat belang-belang merah sawo. Kaki jalan dan kaki renangnya berwarna kekuning-kuningan atau kadang-kadang kemerahan (Fast dan Lester 1992). Adapun bentuk morfologi dari udang dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Morfologi udang Sumber : Baldwin (2010)
Sirip ekor kipas (uropod) berwarna merah sawo matang dengan ujung kuning kemerahan atau kadang-kadang sedikit kebiruan. Rostrum mempunyai rumus gerigi 8/5. Panjang tubuh dapat mencapai 25 cm dengan berat sekitar 25 gram, jika ditambak hanya memcapai 15 cm dengan berat 15 gram (Hariyadi 1994).
2.2
Mutu dan Keamanan Pangan
2.2.1 Mutu Mutu merupakan keseluruhan karakteristik suatu benda atau produk yang dapat memuaskan kebutuhan konsumen yang terekspresikan dan secara implisit. Pengertian lain dari mutu menurut Juran(1988) dalam adalah suatu produk atau jasa harus dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Sedangkan menurut ISO 9000 dalam Muhandri dan Kadarisman (2008) definisi dari mutu adalah derajat dari serangkaian karakteristik produk atau jasa yang memenuhi kebutuhan atau harapan yang dinyatakan. Menurut Feigenbaum (1996) pengertian mutu adalah keseluruhan gabungan karateristik produk dan jasa dari pemasaran, rekayasa, pembuatan, dan pemeliharaan yang membuat produk dan jasa yang digunakan memenuhi harapan-harapan pelanggan. Berdasarkan definisi tersebut maka Hadi (2007) menyimpulkan bahwa mutu sangat tergantung pada situasi dan kondisi serta orang yang terlibat dalam menentukan suatu mutu. Konsep mutu yang berorientasi pada kepuasan pelanggan secara terpadu, bersamaan dengan biaya mutu yang masuk akal, harus dibentuk sebagai salah satu tujuan implementasi dan perencanaan bisnis dan produk yang primer dan pengukuran prestasi dari pemasaran, kerekayasaan, produksi, hubungan industrial, dan fungsi pelayanan dari perusahaan (Feigenbaum 1996). Ketentuan hukum yang berlaku mengenai mutu pangan yang tercantum dalam UU No 7 Tahun 1996 mengenai Pangan pada Bab 3 Pasal 24 Ayat (1) mengenai standar mutu pangan dan pada Pasal 25 Ayat (1) adalah mengenai persyaratan sertifikasi mutu pangan yang diperdagangkan, sedangkan pada pasal 26 adalah setiap orang dilarang memperdagangkan pangan tertentu apabila tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan sesuai dengan peruntukannya, pangan
yang mutu berbeda atau tidak sama dengan mutu yang dijanjikan, dan pangan yang tidak memenuhi persyartan sertifikasi mutu pangan. 2.2.2 Keamanan pangan Keamanan pangan menurut Committee of Food Safety (1999) dalam Sulaeman dan Syarief (2007) adalah semua kondisi dan upaya yang diperlukan selama produksi, pengolahan, penyimpanan, distribusi, dan penyiapan makanan untuk memastikan bahwa makanan tersebut aman, bebas dari penyakit, sehat, dan baik untuk konsumsi manusia. Definisi lain dari keamanan pangan menurut UU No 7 Tahun 1996 Tentang Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia Keamanan pangan merupakan masalah yang kompleks sebagai hasil interaksi antara toksisitas mikrobiologi, toksisitas kimiawi, dan status gizi (Wirakartakusumah 1994). Makna keamanan pangan tidak cukup hanya diartikan sebagai bebas dari ketiga jenis macam cemaran, tapi juga harus bebas dari cemaran yang dapat menyebabkan pangan tidak halal yang dapat mengganggu ketenangan batiniah (Sulaeman dan Syarief 2007). Isu keamanan pangan pun saat ini diangkat dalam perdagangan dengan dua pendekatan, tergantung pada sudut pandang masing-masing negara. Beberapa negara menjadikan masalah keamanan pangan sebagai isu yang perlu diatur secara wajib (mandatory), tetapi beberapa negara lain tetap menggunakan mekanisme pasar yang mengaturnya secara sukarela (voluntary) (Thaheer 2005). Keamanan pangan tidak bisa dipisahkan dari mutu pangan. UU No 7 Tahun 1996 menyebutkan bahwa mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman. Oleh karena itu, Sulaeman dan Syarief (2007) menyatakan bahwa, keamanan pangan harus selalu menjadi bahan pertimbangan dan sebaliknya. Adapun ketentuan mengenai keamanan pangan yang tercantum dalam UU No 7 tahun 1996 pada Pasal 4 ayat (1) adalah menetapkan persyaratan sanitasi dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan yang merupakan persyaratan minimal yang wajib dipenuhi dan ditetapkan serta diterapkan secara
bertahap dengan memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem pangan. Pada Pasal 20 menyebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan sistem jaminan mutu, sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi dan pangan tersebut terlebih dahulu diuji secara laboratoris sebelum peredarannya. Peraturan umum keamanan pangan internasional yang tercantum dalam ISO 22000:2005 antara lain adalah perusahaan harus menentukan ruang lingkup sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan produknya atau kategori produk, proses dan produksi. Sehingga perusahaan harus (a) memastikan bahwa bahaya keamanan pangan yang mungkin terjadi dalam kaitannya dengan produk dapat diidentifikasi dan dievaluasi, (b) memberikan informasi yang tepat di seluruh rantai makanan mengenai isu-isu keamanan pangan, (c) memberikan informasi mengenai pembangunan, implementasi dan memperbaharui sistem manajeman keamanan pangan diseluruh perusahaan, (d) melakukan evaluasi secara berkala dan memperbaharui jika diperlukan dalam sistem manajeman keamanan pangan untuk memastikan bahwa sistem mencerminkan kegiatan perusahaan dan memasukkan informasi mengenai bahaya keamanan pangan sehingga dapat terkontrol. Sedangkan dalam CAC (2001) antara lain adalah menyediakan makanan yang aman dan cocok untuk konsumen, menyediakan program pendidikan mengenai prinsip-prinsip keamanan pangan baik untuk industri maupun untuk konsumen. Serta harus menetapkan kondisi kebersihan yang diperlukan pada saat memproduksi makanan yang aman. Keamanan pangan menjadi sangat penting saat ini karena dua faktor yaitu (1) pangan merupakan cara utama transmisi agen penyebab penyakit (bakteri, virus, dan kuman lainnya) dan (2) pangan berhubungan dengan pembangunan, karena hal tersebut bukan hanya menentukan kesehatan individu dan masyarakat dan karenanya produktivitas nasional, namun juga mempunyai potensi ekspor dan dapat menghasilkan devisa (Sulaeman dan Syarief 2007).
2.3
Persyaratan Mutu Udang Udang sebagai salah satu produk perikanan yang memiliki sifat mudah
busuk (highly perishable), tetapi kandungan gizi yang terdapat di udang cukup
tinggi. Daging udang mempunyai asam amino esensial yang penting bagi manusia, dimana kandungan asam amino tirosin
sebesar 0,592 g, triptofan
sebesar 0,247 g dan sistein sebesar 0,199 g (USDA 2006). Komposisi kimia udang Vannamei dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia udang Vannamei No Komposisi kimia Jumlah komposisi 1 Kadar air (%) 81,35 2 Kadar abu (%) 0,64 3 Lemak (%) 0,15 4 Karbohidrat (%) 0,44 5 Protein (%) 17,43 Sumber : Irawan (2006)
Bentuk-bentuk olahan udang yang dibekukan tergantung dari jenis udang, mutu bahan baku dan pesanan dari konsumen. Adapun bentuk olahan dari udang beku di Indonesia (Purwaningsih 1995), adalah: 1) Head On (HO) Produk head on adalah produk udang beku yang utuh lengkap dengan kepala, badan, kulit dan ekor.
Produk head on ini harus dibuat dari udang yang
mempunyai tingkat kesegaran yang tinggi. Biasanya udang yang diolah head on adalah udang yang berukuran besar. 2) Headless (HL) Produk headless adalah produk udang beku yang diproses dalam keadaan kepala sudah dipotong, tetapi masih memiliki kulit, kaki dan ekor. 3) Peeled Produk peeled adalah produk udang beku tanpa kepala atau dengan ekor bentuk pengolahan secara peeled ada 5 jenis. Berikut ini kelima produk olahan tersebut: a) Peeled Tail On (PTO) Peeled tail on adalah produk udang beku tanpa kepala dan kulit dikupas mulai dari ruas pertama sampai dengan ruas kelima, sedangkan ruas terakhir dan ekor disisakan.
b) Peeled Devined Tail On (PDTO) Produk peeled devined tail on adalah produk udang kupas (hampir sama dengan PTO), tetapi pada bagian punggung udang diambil kotoran perut (vein). Kotoran perut tersebut diambil dengan cara membelah bagian punggung mulai dari ruas pertama atau kedua hingga ruas kelima. Cara lainnya yaitu menarik keluar kotoran perut dari punggung udang dengan menggunakan tusukan dari bambu. c) Peeled and Devined (PD) Produk peeled and devined ini adalah produk udang beku yang dikupas seluruh kulit dan ekornya dan bagian punggungnya dibelah untuk mengambil kotoran ekor. d) Peeled and Undevined (PUD) Produk peeled and undevined adalah produk udang beku yang dikupas seluruh kulit dan ekornya seperti pada produk PD, tetapi tanpa pengambilan kotoran ekor. e) Butterfly Produk butterfly adalah produk udang beku hampir sama dengan produk PDTO dimana kulit udang dikupas mulai dari ruas pertama sampai dengan ruas kelima, sedangkan ruas terakhir dan ekor disisakan. Kemudian bagian punggung dibelah sampai pada bagian perut bawahnya, tetapi tidak sampai putus dan kotoran perutnya dibuang. Mutu udang terutama ditentukan oleh keadaan fisik dan organoleptik (rupa, warna, bau, rasa dan tekstur) dari udang tersebut. Kemudian, ukuran dan keseragaman udang juga dapat menentukan tingkat mutunya. Oleh karena itu, tidak boleh ada cacat, rusak atau defect yang akan mengurangi nilai dari mutu udang (Hadiwiyoto 1993). Persyaratan mutu dan keamanan pangan udang beku dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Persyaratan mutu dan keamanan pangan udang beku Jenis Uji
Satuan
Persyaratan
a. Organoleptik b. Cemaran mikroba: • ALT • Escherichia coli • Salmonella • Vibrio cholerae • Vibrio parahaemolyticus (kanagawa positif)* c. Cemaran kimia*: • Kloramfenikol • Nitrofuran • Tetrasiklin d. Fisika: Suhu pusat, maks. e. Filth
angka (1-9)
minimal 7
koloni/g APM/g APM/25g APM/25g
maksimal 5,0 x 105 maksimal < 2 Negatif Negatif
APM/g
maksimal < 3
Ppb Ppb Ppb
maksimal 0 maksimal 0 maksimal 100
°C Jenis/jumlah
maksimal -18 maksimal 0
*: Bila diperlukan Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2007)
2.4
Kemunduran Mutu Udang Udang yang digunakan dalam industri pengolahan hanyalah udang yang
memiliki mutu segar. Penilaian mutu udang dapat dilihat secara organoletik (visual). Mutu udang sebagai bahan baku akan mempengaruhi produk akhir. Udang yang memiliki kesegaran yang baik akan menghasilkan produk akhir yang baik pula atau sebaliknya. Berdasarkan kesegarannya, udang dapat dibedakan menjadi empat kelas mutu, yaitu (Hadiwiyoto 1993): a) Udang mempunyai mutu prima (prime) atau baik sekali, yaitu udang yang benar-benar masih segar, belum ada perubahan warna, transparan, dan tidak ada kotoran atau noda-nodanya. b) Udang yang mempunyai mutu baik (fancy) yaitu udang yang ditandai dengan adanya kulit udang yang sudah tampak pecah-pecah atau retakretak, tubuh udang lunak tetapi warnanya masih baik dan tidak terdapat kotoran atau noda-nodanya. c) Udang bermutu sedang (medium, black, dan spot) yaitu udang yang kulitnya pecah-pecah lebih banyak daripada udang yang bermutu baik. Udang sudah tidak utuh lagi, kakinya patah, ekornya hilang atau sebagian tubuhnya putus. Daging udang sudah tidak lentur lagi, pada
permukaan tubuhnya sudah tampak banyak noda berwarna hitam atau merah gelap. d) Udang yang bermutu rendah (jelek dan rusak) yaitu kulit udang banyak yang pecah atau mengelupas, ruas-ruas tubuh sudah banyak yang putus dan udang sudah tidak utuh lagi. Proses penurunan mutu udang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari badan udang itu sendiri dan faktor lingkungan. Proses penurunan mutu udang beku antara lain. 1. Penurunan mutu secara autolisis Penurunan mutu secara autolisis merupakan suatu proses penurunan mutu yang terjadi karena kegiatan enzim dalam tubuh udang yang tidak terkendali sehingga senyawa kimia pada jaringan tubuh yang sudah mati terurai secara kimia. Perubahan enzimatis pada komoditas hasil perikanan dapat berlangsung terus pada suhu beku (Purwaningsih 1995). Proses enzimatik yang terjadi sangat mempengaruhi rupa udang yaitu pembentukan bercak hitam (melanosis) dengan gejala terjadinya penghitaman pada kepala, ruas-ruas dan ekor. Proses melanosis ini segera dan cepat dipengaruhi oleh keadaan kering, adanya oksigen, suhu tinggi dan faktor waktu (Ilyas 1993). Cara mengatasi proses autolisis pada produk udang beku adalah dengan membekukan udang tanpa kepala karena bagian ini banyak terdapat enzim, terutama yang berhubungan dengan pencernaan (Purwaningsih 1995). 2. Penurunan mutu secara kimiawi Penurunan mutu secara kimiawi atau oksidasi adalah reaksi oksidasi terhadap asam lemak yang dihasilkan dari penguraian lemak oleh enzim. Oksidasi asam ini akan menyebabkan timbulnya bau tengik (oksidative rancidity), disamping itu juga rupa udang dan daging berubah warnanya kecoklat- coklatan dan kusam (Hadiwiyoto 1993). Kecepatan laju oksidasi dapat diperlambat dengan penambahan antioksidan dan untuk produk udang beku dapat diatasi dengan glazing (memberikan lapisan es tipis pada produk) (Purwaningsih 1995).
3. Penurunan mutu secara bakterial Penurunan mutu udang secara bakteriologis terlihat bahwa kandungan udang akan bakteri sangat bervariasi tergantung pada kebersihan udang waktu ditangkap, cara penanganan setelah panen, dll (Ilyas 1993). Bakteri yang terdapat pada udang umumnya adalah bakteri Vibrio, Micrococcus, Serratia dan Flavobacterium. Petumbuhan sebagian besar bakteri selama keadaan beku akan terhambat atau terhenti, tetapi pada saat produk akhir dicairkan dan suhunya naik maka bakteri akan tumbuh aktif. Cara untuk mengatasi kemunduran mutu udang yang disebabkan akivitas bakteri adalah dengan membekukan udang tanpa kepala, karena pada kepala masih ditemukan jumlah bakteri yang cukup banyak (Purwaningsih 1995).
2.5
Pembekuan Pembekuan merupakan suatu unit operasi dimana suhu produk diturunkan
sampai titik beku, dan proporsi air mengalami perubahan menjadi kristal es. Proses pembekuan dapat digolongkan menjadi dua yaitu pembekuan lambat (slow freezing) dan pembekuan cepat (quick freezing). Pembekuan cepat harus direduksi suhunya dari 0oC sampai (-5 oC) dalam jangka waktu 2 jam atau kurang dan untuk menurunkan suhu sampai titik beku produk disimpan pada suhu -30oC (Clucas dan Ward 1996). Keuntungan pembekuan cepat antara lain : mencegah pembusukan oleh bakteri, mempertinggi produktivitas, di pabrik-pabrik yang besar memungkinkan penggunaan ban-ban berjalan (conveyer) dan peralatan otomatis,
memungkinkan
pemakaian
freezer
secara
máksimum,
bisa
menghasilkan produk yang terkemas seragam dan penampilan menarik; sedangkan pembekuan lambat secara umum hasilnya tidak sebaik cara pembekuan cepat sehingga jarang dipraktikkan secara komersil (Moeljanto 1992). Tipe pembekuan yang telah umum digunakan dapat dibedakan menjadi tiga kategori berikut (Clucas dan Ward 1996). a)
Tipe pembekuan yang aliran udara dinginnya menyerap energi panas dari produk pada saat melewatinya, yang diikuti dengan penurunan suhu. Tipe ini biasanya dikenal dengan air blast freezer.
b)
Tipe pembekuan dengan panas yang diserap ketika produk ditempatkan kontak langsung dengan permukaan yang direfrigerasi. Tipe ini biasanya dikenal dengan contact freezer.
c)
Tipe pembekuan dimana panas diserap secara cepat dari produk yang dikelilingi oleh cairan dingin atau disemprot dengan cairan. Tipe ini dikenal dengan immersion freezer.
2.6
Traceability Pengertian traceability menurut peraturan undang-undang makanan umum
Uni Eropa (EU), adalah kemampuan untuk menelusuri dan mengikuti makanan, pakan, produksi makanan hewan atau zat melalui semua tahapan produksi dan distribusi (Smith, et al.. 2006). Sedangkan menurut International Organisation for Standards (ISO 22005:2007), traceability merupakan kemampuan untuk menelusuri makanan atau pakan melalui tahapan-tahapan produksi, pengolahan dan distribusi. Moe (1998) mendefinisikan traceability adalah kemampuan untuk menelusuri batch produk dan sejarahnya melalui keseluruhan atau bagian, dari rantai produksi dimulai dari panen, transportasi, penyimpanan, pengolahan, distribusi dan penjualan (chain traceability) atau internal di salah satu tahapan dalam rantai misalnya tahapan produksi (internal tracebility). Pengertian traceability menurut CAC (1999) dalam Bertolini et al. (2006) adalah kemampuan untuk menelusuri sejarah, aplikasi, atau lokasi suatu entitas dengan cara mencatat identifikasi dari suatu produk. Menurut Derrick dan Dillon (2004), sistem traceability memiliki tiga komponen yaitu supplier tracebility (memastikan bahwa sumber dari semua bahan baku dapat diidentifikasi dari catatan dan dokumentasi yang ada), process traceability (memastikan untuk mengidetifikasi semua bahan untuk masing-masing produk yang dihasilkan oleh pabrik), customer tracebility (memastikan bahwa pelanggan dapat mengidentifikasi semua produk yang didapat). Grunow et al. (2008) menyatakan bahwa, sistem traceability ini dikembangkan untuk menelusuri produk diseluruh rantai suplai, dan memberikan kemungkinan untuk menelusuri produk dari berbagai rantai. Sistem ini membatasi dampak masalah keamanan pangan potensial. Dengan adanya sistem ini dapat
diketahui dengan pasti produk yang terkena dampak dan mengetahui jaringan pemasok yang terlibat. Akan tetapi traceability tidak dapat mengubah keamanan dan kualitas produk Prinsip dari traceability menurut (ISO 22005:2007) adalah sebagai sistem telusur yang berkontribusi untuk mencari penyebab dari ketidaksesuaian dan kemampuan untuk menarik produk jika diperlukan. Selain itu juga sistem traceability ini harus diterapkan secara konsisten, berorientasi hasil, biaya yang efektif dan praktis untuk diterapkan. Dalam mengembangkan sistem traceability ini diperlukan tujuan yang spesifik dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip tersebut. Adapun tujuannya adalah untuk mendukung keamanan pangan dan atau sasaran mutu, untuk memenuhi spesifikasi para pelanggan, untuk menentukan sajarah atau asal produk, untuk memfasilitasi penarikan produk, mengidentifikasi organisasi yang bertanggung jawab dalam pakan dan rantai makanan, serta untuk memudahkan verifikasi informasi spesifik tentang produk. Peraturan Uni Eropa (European Regulation-EC) No. 178/2002 pada tanggal
28 Januari 2002, merupakan peraturan dasar yang menjelaskan tentang
prinsip-prinsip umum dan persyaratan traceability. Peraturan Uni Eropa No. 178/2002 pada artikel 18 merupakan kunci dari pelaksanaan traceability pangan di Uni Eropa. Artikel 18 tersebut menyatakan (1) kemampuan penelusuran makanan, pakan, produksi makanan hewan dan bahan lainnya yang akan digunakan dalam pembuatan makanan atau pangan harus direkam pada setiap tahapan produksi, pengolahan, dan distribusi; (2) produsen makanan dan pakan diharapkan dapat mengidentifikasi setiap orang yang memasak bahan baku pangan, pakan ternak dan zat lain yang akan digunakan untuk makanan dan pakan. Selain itu produsen diharuskan mempunyai prosedur dan sistem yang mampu menelusuri informasi bahan baku yang dapat dipertanggungjawabkan; (3) produsen pangan dan pakan harus mempunyai sistem penelusuran dan prosedur untuk mengenali pasar sehingga mengetahui distribusi pasar. Informasi yang didapatkan harus dapat dipertanggungjawabkan; (4) produk makanan dan pakan yang berada dipasaran harus mempunyai label atau identitas yang memadai sehingga dapat dilacak asal produk tersebut melalui dokumentasi yang relevan dan pengawasan yang spesifik dan terperinci.
Sistem traceability merupakan suatu konsep, tools, prosedur kerja dan peralatan untuk tracking dan/atau tracing (T&T) dalam lingkungan produksi dan distribusi (Verdenius dalam Smith et al. 2006). Sistem konvensional T&T akan menghasilkan data lokasi dan identifikasi produk yang digunakan untuk manajemen recall. Sistem T&T yang berorientasi mutu (quality-oriented tracking and tracing, QTT), akan menambah manfaat untuk memperoleh data parameter yang relevan dengan mutu produk misalnya suhu atau kelembaban relatif, yang dapat digunakan untuk mengontrol aliran produk pada rantai makanan. Terdapat 5 elemen dalam sistem QTT yaitu (1) tujuan dan keuntungan, (2) manajemen penawaran dan permintaan, (3) kualitas informasi pelacakan dan penelusuran, (4) kualitas teknologi pelacakan, dan (5) proses dan produk.
2.7
Batch Dispersion Batch produksi lazim terdapat di industri pangan. Batch produksi ini
kadang-kadang berdasarkan dari kapasitas peralatan pengolahan, tetapi juga bisa berdasarkan pada efisiensi kebutuhan. Proses produksi batch sering kali menimbulkan masalah keamanan pangan seperti penurunan mutu dan kontaminasi baik fisik, kimia maupun mikrobiologi. Masalah tersebut kemungkinan diakibat oleh adanya penyebaran batch atau batch dispersion yang terlalu banyak karena melayani beberapa pembeli atau pengencer (Grunow et al. 2008). Batch dispersion merupakan jumlah downward dispersion bahan baku dan upward dispession produk jadi. Downward dispersion adalah jumlah batch produk jadi yang mengandung bagian dari batch bahan baku. Upward dispersion adalah jumlah perbedaan batch bahan mentah yang digunakan untuk menghasilkan batch produk jadi (Dupuy et al. 2005). Berikut merupakan ilustrasi dari upward dispersion dan downward dispersion jika terjadi masalah. Suatu konsep dispersi batch telah diperkenalkan oleh Grunow et al. (2008) untuk menafsir pengaruh keputusan yang dibuat dalam produksi dan distribusi yang didasarkan pada jumlah retailler yang dilayani oleh suatu batch produksi. Pengukuran dispersi batch, Db didefinisikan :
dimana n adalah jumlah retailler yang dilayani batch. Batch dispersion hanya terjadi jika pelayanan suatu batch lebih dari satu retailler. Dalam pengukuran dispersi peningkatan jumlah retailler yang dilayani dari batch tunggal merupakan suatu peningkatan kuadratik. Definisi batch dispersion pada cara ini tidak hanya menunjukkan tujuan pencegahan distribusi batch ke retailler yang banyak tapi juga membuat lebih mudah untuk memasukkannya dalam formulasi model (Grunow et al. 2008). Ilustrasi ukuran dispersi batch dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2 Ilustrasi ukuran dispersi batch. Sumber : Grunow et al. (2008)
Masalah keamanan pangan juga mengakibatkan perusahaan untuk meminimalkan biaya. Jika masalah keamanan pangan berasal dari batch bahan baku, maka perusahaan akan mengidentifikasi dan menarik semua produk yang mengandung bahan baku dari batch bahan baku. Jika hal tersebut menyangkut pada produk akhir, maka perusahaan akan mengidentifikasi batch bahan baku dan menarik kembali semua produk akhir. Jadi untuk meminimalkan biaya krisis keamanan pangan perusahaan harus meminimalkan jumlah produk yang ditarik kembali (Dupuy et al. 2005). Identifikasian produk sangat penting untuk sistem traceability, tanpa adanya identifikasi produk maka tidak dapat mencapai sistem penelusuran (tracebillity). Terdapat tiga tingkat identifikasi produk yaitu batch, unit perdagangan dan unit logistik. Sebuah batch menunjukkan pada produk yang diproduksi atau dipanen pada kondisi yang sama, dimana satu batch dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti waktu, luas, volume, atau gangguan produksi. Produk dari satu batch dapat ditempatkan atau dikemas dalam satu atau lebih unit perdagangan atau kontainer. Tingkat kedua adalah unit perdagangan yaitu berupa
gabungan produk dari satu batch atau lebih. Setiap unit perdagangan harus memiliki ID (Identity) yaitu berupa nomor khusus yang diberikan untuk setiap unit perdagangan, sehingga setiap unit perdagangan memiliki ID yang berbedabeda yang membantu untuk penelusuran produk. Sedangkan tingkat ketiga adalah unit logistik merupakan penggabungan antara unit perdagangan satu dengan unit perdagangan yang lainnya yang dikemas ke dalam unit yang lebih besar (ARM 2005).
19
3. METODE PENELITIAN
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga Agustus 2010, bertempat di
PT Red Ribbon Indonesia, Muara Baru Jakarta. 3.2
Kerangka Pemikiran Keamanan pangan dan mutu merupakan isu yang sangat penting dalam
pemasaran produk perikanan di tingkat internasional. Isu ini kembali mencuat ketika beberapa negara pengimpor melakukan penolakan terhadap produk perikanan Indonesia. Penyebab terjadinya penolakan produk perikanan antara lain adalah adanya kandungan antibiotik seperti kloramfenikol yang melebihi batas yang telah ditetapkan oleh negara yang bersangkutan serta dikarenakan oleh sifat dari produk perikanan yang mudah mengalami penurunan mutu. Penurunan mutu udang dapat terjadi selama proses produksi, peyimpanan dan distribusi, sehingga perlu dikelola dan dikontrol secara langsung oleh pihak perusahaan. Dengan adanya penolakan atau penarikan kembali dapat mengakibatkan peningkatan biaya operasional total dari perusahaan. Penolakan atau penarikan kembali terhadap produk perikanan tersebut dapat diminimalisasi dengan memperbaiki sistem produksi batch atau lot dan pelayanan terhadap pembeli atau retailler. Batch atau lot merupakan suatu jumlah makanan yang diproduksi dan dikelola dibawah kondisi yang seragam atau sama. Batch dapat sejumlah kemasan kecil, peti, kantong, drum atau karton yang ditandai dengan nomor batch yang sama (ARM 2005). Suatu batch biasanya melayani permintaan dari banyak retailler sehingga ukuran batch yang ada sangat besar. Dengan ukuran batch yang besar tersebut kemungkinan dapat mengakibatkan kontaminasi pada produk yang dapat mempengaruhi mutu dari produk yang dihasilkan. Sehingga untuk mengatasi masalah tersebut perusahaan dapat menerapkan konsep batch dispersion. Konsep ini dapat diterapkan dengan mengurangi jumlah retailler yang dilayani oleh batch yang sama sehingga dapat meminimalkan penyebaran batch.
Batch disini merupakan jumlah produksi produk udang berdasarkan supplier nya. Berikut merupakan ilustrasi dari upward dispersion dan downward dispersion jika terjadi masalah. Periode Penerimaan bahan baku Sortasi
S1(batch1) G1
G2
S2(batch2)
S3(batch3)
G3
G5
G4
G6
Pembekuan
A: G1 G3 G5
B: G2 G4
C: G1 G3 G6
Pengemasan
A dan B
A dan C
B dan C
Distribusi
Jepang
Amerika
Lain-lain
U p w a r d d i s p e r s i o n
D o w n w a r d d i s p e r s i o n
Gambar 3 Ilustrasi dari upward dispersion dan downward dispersion jika terjadi masalah. Keterangan : S1 = Supplier 1, S2 = Supplier 2, S3 = Supplier 3, G = Mutu,
= Kontaminasi
Ilustrasi diatas memperlihatkan penelusuran apabila terjadi masalah baik diproduk akhir maupun dibahan baku. Apabila terjadi masalah baik penurunan mutu atau keamanan pangan maupun kontaminasi pada produk akhir maka akan dilakukan penelusuran (upward dispersion), sedangkan apabila terjadi masalah baik penurunan mutu atau keamanan pangan maupun kontaminasi di bahan baku maka akan dilakukann penelusuran (downward dispersion). Penyebaran batch yang terlalu banyak maka banyak pula dokumendokumen yang dicatat untuk proses penelusuran, akan tetapi apabila terjadi masalah akan sulit karena terlalu banyak formulir pencatatan selain itu juga apabila terjadi penarikan kembali akan memerlukan biaya operasional yang lebih tinggi. Menurut Derrick dan Dillon (2004) banyaknya formulir pencatatan akan mempersulit proses penarikan kembali terhadap produk sehingga sistem traceability yang dibentuk atau yang ditetapkan kurang efektif. Untuk itu perlu
dilakukan
pencegahan
penyebaran
batch
yang
terlalu
banyak
dengan
menggunakan konsep batch dispersion. Penelitian mengenai model pendekatan batch dispersion ini akan meninjau jumlah batch, ukuran batch (kg), batch yang digunakan untuk memenuhi permintaan setiap retailler pada setiap periode (waktu produksi satu minggu), biaya set up (biaya total), biaya penyimpanan, biaya produksi. Selain itu juga dilakukan identifikasi pada setiap batch produk dengan batch ID, untuk memperoleh informasi tentang jumlah batch, jenis produk, waktu produksi, dan lokasi produksi. Pendekatan model batch dispersion yang dimaksud adalah untuk menganalisis efisiensi biaya produksi dan mencegah penurunan mutu produk yang dapat mengakibatkan penarikan kembali produk yang terjadi di perusahaan, sehingga kerugian yang dialami perusahaan dapat dihindari atau dikurangi. Penarikan kembali (recall) terhadap batch produk dapat diminimalisasikan dengan menggunakan model pendekatan batch dispersion. Model pendekatan tersebut menggunakan model matematika yaitu MILP (Mixed-integer linear programming) kemudian model tersebut berkembang menjadi prinsip heuristik. Cara menganalisis data dengan prinsip heuristik terdiri dari dua pendekatan yaitu penggabungan batch-batch dalam satu periode produksi dan penggabungan batch dari berbagai periode. Dengan penerapan metode pendekatan tersebut maka perusahaan dapat memperbaiki sistem produksi untuk mencegah terjadinya penurunan mutu dan penarikan kembali (recall). Diagram alir dari kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. Isu keamanan pangan dan mutu terhadap produk perikanan Penolakan terhadap produk udang beku Perbaikan dalam sistem produksi batch dan pelayanan terhadap retailler Penerapan metode pendekatan batch dispersion Gambar 4 Diagram alir kerangka pemikiran
3.3
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Jenis data primer terdiri dari jumlah batch, ukuran batch (kg), batch yang digunakan untuk memenuhi permintaan setiap retailler pada setiap periode biaya set up (biaya keseluruhan antara batch satu ke batch yang lain), biaya penyimpanan, biaya produksi (US$), jenis produk (HL), waktu produksi (lima minggu), harga jual (US$) dan tingkat mutu yang sesuai dengan permintaan pembeli, jumlah retailler, serta jumlah permintaan produk. Sedangkan data sekunder yang digunakan antara lain adalah data jumlah supplier perusahaan. Data-data tersebut diperoleh dari perusahaan dan beberapa literatur dari penelitian-penelitian sebelumnya. 3.4
Tahapan Penelitian Tahapan dari penelitian ini diawali dengan pengamatan langsung terhadap
proses produksi pembekuan udang. Selanjutnya dilakukan tahapan pengumpulan data dengan mencatat batch berupa jumlah produk udang yang diproduksi berdasarkan suppliernya serta mencatat data-data yang lain. Setelah data yang dibutuhkan terkumpul maka akan dilakukan analisis data. Diagram alir dari tahapan penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut. Mulai Pengamatan langsung proses produksi Pengumpulan data Analisis deskriptif perusahaan Analisis batch dispersion Selesai Gambar 5 Diagram alir tahapan metode penelitian mengenai pendekatan batch dispersion
3.5
Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam melaksanakan penelitian ini adalah
pengumpulan data primer dan data sekunder. 3.5.1 Pengumpulan data primer a. Observasi, yaitu pengamatan langsung kegiatan penanganan, proses produksi pembekuan udang di perusahaan. b. Wawancara dengan pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan kegiatan pembekuan udang. c. Partisipasi
langsung
di
perusahaan
mengenai
kegiatan
yang
berhubungan dengan pembekuan udang. 3.5.2 Pengumpulan data sekunder a. Pengumpulan data informasi dari data perusahaan, lembaga dan instansi terkait dalam kegiatan penelitian ini. b. Studi pustaka dari berbagai literatur tentang proses pembekuan udang, sebagai pelengkap dan pembanding dalam penulisan skripsi.
3.6
Metode Analisis Data
3.6.1 Analisis Deskriptif 1. Keadaan umum perusahaan Keadaan umum perusahaan dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan
keadaan
perusahaan di lapangan. Keadaan dari
perusahaan tersebut akan dijelaskan secara rinci dimulai dari lokasi perusahaan sampai dengan dampak dari keberadaan perusahaan tersebut. 2. Produksi batch Produksi batch pada perusahaan dianalisis deskriptif untuk mengetahui proses berlangsungnya dalam memproduksi produk dalam kondisi yang sama. Produksi batch ini akan dijelaskan sesuai dengan hasil wawancara terhadap para pekerja di perusahaan. 3.6.2 Analisis Batch Dispersion 1. Model Matematika Model yang digunakan merupakan model matematika yaitu MILP (MixedInteger linear programing). Model ini selain memperkenalkan biaya setup juga
memperkenalkan biaya dispersi yang berkaitan dengan masalah keamanan pangan. Kemudian menghubungkan traceability dan batch dispersion secara rinci dengan perumusan model MILP dibawah ini (Grunow et al. 2008). a.
Asumsi-asumsi Untuk melengkapi model ada beberapa asumsi yang diperlukan yaitu :
• Penurunan mutu terjadi secara linier terhadap waktu pada suhu tertentu. Mutu berubah secara integer pada tingkat mutu tertentu per periode. • Untuk memenuhi permintaan dari periode 1 sampai periode T, dibutuhkan lead time ωmax
pada selang perencanaan (Spitter et al. 2005). Jadi interval
perencanaan mencakup periode [1 - ωmax, T]. • Penetapan biaya dari batch ke batch dianggap konstan, yaitu tidak tergantung sekuen. • Kapasitas produksi dianggap mencukupi. • Biaya marginal (biaya tambahan) dianggap 1% . • Biaya penyimpanan dianggap 4,01%. b.
Notasi Notasi-notasi yang digunakan dalam model :
Indices B J P Q T Sets P R Q St,p
Penanda batch produk Penanda retailer Penanda jenis produk Penanda tingkat mutu Penanda waktu, menunjukkan waktu dalam satu periode atau titik waktu. Himpunan dari jenis produk Himpunan dari retailers Himpunan dari tingkat mutu Himpunan penanda batch untuk produk p yang diproduksi dalam periode waktu t, Himpunan penanda batch untuk produk p yang diproduksi dalam seluruh periode waktu.
Sp
S
Himpunan penanda batch untuk semua produk yang diproduksi dalam seluruh periode waktu
Parameters nilai positif besar M cdispersion biaya disperse biaya set up dari batch ke batch csetup biaya produksi 1 unit produk p dengan tingkat mutu q cp,q permintaan produk p (dengan permintaan mutu minimum) oleh dj,p,t retailler j dalam periode t, biaya holding untuk 1 unit produk dalam penyimpanan pabrik H qp,max tingkat mutu maksimal untuk produk p, qp,j,min tingkat mutu minimal untuk produk p yang diminta retailler j tingkat mutu minimal untuk produk p di pabrik, yang dapat memuaskan permintaan mutu sedikitnya satu retailler. penurunan mutu produk p selama satu periode dalam fasilitaas Δqp penyimpanan pabrik Δqj,p penurunan mutu produk p selama transportasi dari pabrik ke retailler j, Jumlah periode yang dibutuhkan untuk mentransportasikan produk dari uj pabrik ke retailler j Decision variables inventory dari penanda batch b dengan tingkat mutu q di pabrik pada Ib,q,t akhir periode t kuantitas aliran penanda batch b pada arah (i,j) dalam periode t dengan xb,j,q,t tingkat mutu awal q, variable biner yang menandakan apakah batch ID b dengan tingkat yb,q mutu q diproduksi volume produksi penanda batch b dengan tingkat mutu q zb,q variable biner yang menandakan apakah penanda batch b dari produk p θb,j melayani retailler j, variable biner yang menandakan apakah penanda batch b melayani dua Ob,j,k retailler berbeda j dan k secara simultan c.
Formulasi model Perencanaan produksi dan distribusi multi produk dengan multi periode
untuk memperbaiki traceability dapat diformulasikan sbb:
Fungsi tujuan formulasi (2) diatas bertujuan untuk meminimasi biaya total yang terdiri dari biaya dispersi, biaya set up batch, biaya produksi (yang bervariasi menurut mutu produk yang diproduksi) serta biaya penyimpanan. Bagian pertama dalam formulasi (2) menunjukkan biaya dispersi
yang
ditentukan menurut formula (1). Untuk menghitung dispersi Db, variable biner Ob,j,k dijumlahkan, yang menandakan apakah batch digunakan untuk mensuplai multiple retailler. Constraint :
Konstrain (3) dan (4) memodelkan keseimbangan inventory untuk batch produk individu. Dalam persamaan tersebut penurunan mutu selama penyimpanan diperhitungkan. Produk bisa berasal dari inventory pada periode sebelumnya (3) atau dari produksi periode saat ini (4).
Konstrain (5) menetapkan bahwa
permintaan dan kebutuhan mutu harus disesuaikan. Konstrain (6) dan (7) meyakinkan bahwa batch produk hanya memiliki satu tingkat mutu pada saat produksi. Konstrain (8) mengecek apakah batch spesifik dikirim ke retailler. Konstrain (9) menetapkan Ob,i,k = 1 jika batch produk b melayani dua retailler yang berbeda secara simultan. Konstrain (10)-(14) menetapkan domain dari variable keputusan.
Merurut Grunow et al (2008) penyelesaian model bila
dikerjakan dengan menggunakan MILP sangat sulit sehingga disarankan menggunakan pendekatan Heuristik.
2. Analisis Data a.
Prinsip Heuristik Pendekatan heuristik dimulai dari batch bahan baku kecil dari produk
secara individu yang melayani setiap retailler dalam setiap periode berdasarkan pada waktu produksi terakhir dari batch produk. Jika ada permintaan untuk retailler j dalam periode t, hal ini menunjukkan produksi batch dalam periode tuj, dimana waktu transportasi diperhitungkan. Batch kecil-kecil digabungkan kedalam batch besar yang dapat melayani multiple retailler dengan multiple periode berdasarkan pada perhitungan antara biaya set up, biaya dispersi dan biaya produksi (Grunow et al. 2008). Diasumsikan bahwa biaya produksi dari produk p adalah fungsi linier dari mutu produk dan bahwa biaya marjinal untuk penambahan tingkat mutu produk adalah
Δcp (Δcp > 0). Untuk alasan penyederhanaan, bagian konstan dari
hubungan linier diabaikan; dianggap sama untuk semua produk. Untuk menjamin eksistensi dari kelayakan solusi, dibutuhkan mutu awal produk cukup tinggi untuk memuaskan retailler:
Perbedaan antara mutu, dikombinasi dengan penurunan mutu, menunjukkan jumlah periode produk dapat disimpan di pabrik. Keterangan notasi: Ω, Ω1,Ω2 subset dari R (kelompok retailler) Ukuran batch dari batch untuk produk p yang diproduksi dalam periode t, yang Bj,p,t melayani retailler j BΩ,p,t Ukuran batch dari batch untuk produk p yang diproduksi dalam periode t, yang melayani retailler Ω ⊆ R (|Ω| ≥ 1). tingkat mutu dari batch untuk produk p yang diproduksi dalam periode t, yang Nj,p,t melayani retailler j. NΩ,p,t tingkat mutu dari batch untk produk p yang diproduksi dalam periode t, yang melayani retailler Ω ⊆ R (|Ω| ≥ 1). 1.
Penggabungan batch-batch dalam satu periode produksi (Grunow et al 2008) Dalam setiap periode t, kita memilih persatuan batch yang disebarkan ke
retailler yang berbeda berdasarkan urutan menurun dari Nj,p,t (lihat Gambar 6). Kita definisikan
R(j) sebagai retailler yang ke- j dalam kelompok yang dipesan.
Jika sebuah batch melayani retailler-retailler Ω ⊆ R secara simultan, lalu biaya dispersi dihitung dengan :
Ukuran batch dihitung dengan:
Gambar 6 Tingkat mutu yang dibutuhkan untuk sekelompok retailler. Tingkat mutu untuk batch harus dipertahankan level tertinggi untuk batch tersebut dalam melayani setiap retailler
, yaitu sehingga biaya
produksinya adalah :
Jika batch yang melayani retailler Ω digabung dengan batch tambahan yang melayani retailler yang ke- j, maka biaya total untuk pelayanan retailler |Ω|+1
adalah: Jika batch yang melayani retailler Ω tidak digabung dengan batch yang melayani retailler ke j, biaya total untuk pelayanan retailler |Ω|+1 adalah :
Membandingkan (19) dengan (20) dapat menguntungkan (yaitu costeffective) dan seharusnya dilakukan jika :
Prosedur ini ditunjukkan secara iteratif sampai penambahan satu-persatu batch tidak menjadi cost-efective lagi, yaitu jika (21) tidak sesuai.
2.
Penggabungan batch dari berbagai periode (Grunow et al 2008) Jika ingin menggabungkan dua batch produksi yang berbeda dari periode
t1 dan t2 (t2>t1), maka penggabungan harus diproduksi pada periode t1. Berarti bahwa batch asli dari periode t2 harus ditingkatkan ke tingkat atau level yang mengakomodasi untuk degradasi kualitas antara t1 dan t2. Batch dari periode t1 dan t2 melayani retailler Ω1 كR dan retailler masing Ω2 كR, dimana menggunakan Ω = Ω1 Ω2. Berbeda dengan bagian 1, pada bagian ini menggunakan formulasi yang lebih umum dimana ke dua batch dibawah pertimbangan akan digabungkan dengan batch selanjutnya, sehingga digunakan dua set. Untuk memenuhi semua persyaratan kualitas, tingkat kualitas, dan tingkat kualitas batch akhir harus digabung.
Dimana dibutuhkan
untuk memastikan bahwa kualitas produk
maksimum tidak melebihi potensial. Hal ini juga yang membatasi perbedaan waktu antara t1 dan t2. Apabila dapat terpenuhi maka penggabungan dapat dilakukan. Jika dua batch tidak dapat digabungkan, maka biaya total untuk batch adalah
(23)
Jika dua batch digabungkan, maka biaya totalnya adalah (24)
Kemudian, dengan membandingkan (23) dan (24), biaya efektifnya adalah
(25)
Penggabungan kedua batch ini dapat dilakukan jika sesuai dengan keadaan yang berlaku. Formulasi (25) merupakan kondisi umum untuk menggabungkan dua batch baik yang dimulai pada periode yang sama atau pada periode berbeda, dan (21) adalah khusus untuk kasus (25).
32
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Perusahaan 4.1.1 Lokasi perusahaan PT Red Ribbon Indonesia didirikan diatas tanah ±3000 m2 dengan luas bangunan ±1500 m2. Seluruh bangunan proses digunakan untuk memproduksi udang beku, paha kodok beku, tempura dan produk breaded. Alamat dari PT Red Ribbon Indonesia adalah di Perum Prasarana Perikanan Samudra Blok K No.5 dan terletak di Jl. Muara Baru Ujung, Jakarta Utara, Indonesia. PT Red Ribbon Indonesia-Jakarta merupakan cabang dari PT Red Ribbon Indonesia-Medan yang beralamat di Jl. K.L Yos Sudarso Km.10,5 Medan Industrial Estate 20242, Medan, Indonesia. Secara geografis PT Red Ribbon Indonesia-Jakarta berbatasan dengan : a.
Sebelah utara
: kawasan industri yang berbatasan
b.
Sebelah timur
: Laut Jawa.
c.
Sebelah selatan
: kawasan indusri.
d.
Sebelah barat
: akses jalan Muara Baru dan Laut
dengan Laut Jawa.
Jawa. Lokasi perusahaan sangat menguntungkan karena terletak di kawasan perikanan yang dekat dengan tempat penyewaan truk container dan cold storage. Selain itu lokasi perusahaan jauh dari tempat penampungan limbah industri maupun limbah rumah tangga. Kondisi perusahaan cukup bersih karena selalu dibersihkan oleh pekerja bagian sanitasi. 4.1.2 Sejarah dan perkembangan perusahaan PT Red Ribbon Indonesia pertama kali didirikan pada tahun 1976 di Medan dengan produksi hasil laut seperti tiram, udang, kepiting, dan ikan. Kemudian PT Red Ribbon Indonesia mengembangkan industrinya dengan membuka cabang di Jakarta pada tanggal 4 Desember 1992, dengan kelengkapan surat ijin usaha sebagai berikut: a. Ijin Usaha dari Departemen Industri dan Perdagangan dengan No 300/229/02117/PB/XII/1992.
b. Ijin Usaha tetap perikanan dengan No 159/IUP/SE/93. PT Red Ribbon Indonesia bergerak dibidang cold storage (penyimpanan beku) dan marine product (pengolahan hasil laut). Produk awal dari PT Red Ribbon Indonesia pada tahun 1992 adalah paha kodok beku, kemudian berkembang pada tahun 2004 memproduksi udang beku dan udang olahan. Pada tahun 2010 mulai memproduksi cuttle fish. Pada bulan Juli 2010, PT Red Ribbon Indonesia mendapatkan sertifikat ISO dengan No. FMS-2010-0013 dapat dilihat pada Lampiran 1. PT Red Ribbon mengkhususkan hasil produksinya untuk komoditi ekspor. Negara tujuan ekspor dari PT Red Ribbon terbesar di kawasan Asia, Amerika, dan Eropa. 4.1.3 Struktur organisasi perusahaan Perusahaan mempunyai suatu organisasi yang mengatur agar perusahaan tersebut dapat bertahan dan mampu bersaing dengan perusahaan lain. Struktur dalam organisasi tersebut memiliki wewenang dan tanggung jawab masingmasing. Struktur organisasi yang terdapat di PT Red Ribbon Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 2. 4.1.4 Tenaga kerja dan kesejahteraan karyawan Tenaga kerja yang menjadi karyawan di perusahaan berasal dari daerah sekitar Muara Baru. Tenaga kerja diperusahaan pada umumnya terdiri atas tiga golongan di antaranya: 1. Pekerja tetap, merupakan pekerja harian tetap yang sudah bekerja diperusahaan dan memperoleh gaji setiap sebulan sekali. 2. Pekerja borongan, merupakan pekerja yang bekerja pada saat perusahaan sedang berproduksi dengan kapasitas bahan baku yang cukup banyak. Sistem pembayaran gaji pekerja borongan disesuaikan dengan banyaknya hasil produksi yang mereka peroleh dalam sehari dan dibayarkan setiap 10 hari sekali. 3. Pekerja kontrak, merupakan para pekerja yang bekerja berdasarkan perjanjian kontrak dengan perusahaan. Biasanya kontrak berjalan selama enam bulan dengan sistem gaji sama dengan pekerja tetap. Jumlah tenaga kerja di perusahaan berdasarkan status kerja dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Tenaga kerja PT Red Ribbon Indonesia Karyawan Tetap
Periode gaji Bulanan
Bagian HRD Kasir Finance Administrasi GA PPIC Laboratorium QA Produksi QC Kurir Mekanik
Jumlah 2 1 1 4 1 1 4 1 4 4 3 5 32
GA HRD Mekanik Nobashi Udang beku Breaded Tempura Sanitasi Kodok QC
11 2 4 60 31 50 42 16 36 6 258
Udang beku
20 20 310
Total karyawan Tetap
Per dua minggu
Total karyawan Tidak Tetap
Per satu minngu Total karyawan Total keseluruhan
Sumber : PT Red Ribbon Indonesia (2010)
Kesejahteraan karyawan di perusahaan mendapat jaminan melalui program JAMSOSTEK. Pemeriksaan kesehatan dilakukan setiap 2 kali dalam seminggu oleh dokter yang khusus datang ke perusahaan serta penyediaan obat-obatan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K). 4.1.5 Fasilitas perusahaan Fasilitas produksi yang terdapat di perusahaan ini terdiri dari peralatan dan perlengkapan yang digunakan selama produksi. Peralatan dan perlengkapan yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Meja kerja
Meja kerja yang ada mempunyai bentuk dan fungsi yang berbeda-beda. Meja kerja terbuat dari bahan anti karat (stainless steel) yang terdiri dari meja penerimaan, meja pemotongan kepala, meja susun, meja sampling, meja kupas, meja pecah, meja sortir, meja sotir final, meja timbangan final, meja cuci final, meja packing. 2. Timbangan Timbangan yang digunakan di PT Red Ribbon Indonesia ada 3 macam yaitu : a. Timbangan jarum digunakan untuk menimbang udang pada saat penerimaan dengan kapasitas 60 kg. b. Timbangan meja digunakan untuk mengecek size udang pada saat disortir dengan kapasitas 3 kg. c. Timbangan digital digunakan untuk menimbang udang yang akan disusun dengan kapasitas 3 kg. Ada juga timbangan digital yang kapasitasnya 1 kg. 3. Keranjang plastik Keranjang plastik memiliki ukuran yang berbeda-beda, bergantung fungsinya. Keranjang dengan ukuran yang besar digunakan untuk mengangkut bahan baku, es curai, hasil kerja dan sampah sedangkan keranjang yang berukuran kecil dipakai untuk proses penyusunan dan mengambil udang dari dalam boks fiber. Ada juga keranjang yang digunakan untuk sampah dengan kapasitas 25 kg. 4. Boks fiber Boks fiber digunakan untuk mengangkut bahan baku dari tempat panen, untuk wadah air dan es produksi, tempat timbun sementara dan timbun final, dan tempat pencucian /pembersihan inner pan dan long pan. Boks fiber yang digunakan ada 2 macam yaitu Boks fiber besar berkapasitas 200 kg dengan volume 1300 liter dan boks fiber sedang berkapasitas 150 kg dengan volume 1300 liter. 5. Kereta dorong (Lori) Kereta dorong terdapat 2 macam
a. Kereta dorong (lori) kecil. Lori ini dugunakan untuk mengangkut udang dalam keranjang-keranjang yang akan dipindahkan dari satu tahapan proses ke tahapan proses lainnya dalam ruang produksi. b. Kereta dorong (lori) besar. Lori ini digunakan untuk mengangkut udang yang telah disusun dalam pan yang dibekukan, produk yang telah dikemas, dan mengangkut udang blok setelah dibekukan dan akan dikemas. 6. Pan (inner pan dan long pan) Inner pan digunakan sebagai wadah unutk produk udang blok beku sedangkan long pan digunakan untuk tempat inner pan sebelum dimasukkan ke dalam contact plate freezer. 7. Mesin pembeku Mesin pembeku yang dimiliki PT Red Ribbon Indonesia adalah jenis contact plate freezer (CPF) dengan suhu pembekuan (-43)-(-45)oC. 8. Gudang beku Gudang beku yang di milili PT Red Ribbon mempunyai kapasitas ± 4000 master carton dengan suhu -18oC. 9. Strapping band Strapping band digunakan untuk mengikat dan memperkuat ikatan pada master carton. Warna yang digunakan yaitu kuning untuk udang Vannamei, biru untuk udang Black Tiger, dan pink untuk udang second grade 10. Mesin pembuat es Mesin ini digunakan untuk membuat es berbentuk serpihan. Mesin ini berkekuatan 75 kw/h dalam 1000HP. 11. Metal detektor Alat ini digunakan untuk mendeteksi logam yang terbawa di dalam produk. Metal detektor dapat mendeteksi logam besi dan non besi. Jumlah alat ini ada 2 unit. 4.2 Tahapan Proses Produksi
Bahan baku berupa udang, dalam pengolahannya dibedakan, berdasarkan suppliernya dengan diberi tanda yang berisi kode supplier, tanggal, dan size sehingga tidak terjadi percampuran dengan bahan baku yang berasal dari supplier lainnya. Produk yang diproduksi merupakan udang blok dalam bentuk headless. Selain produk headless terdapat juga produk udang breaded, serta paha kodok. Proses produksi dari headless tersebut meliputi : 1. Penerimaan Bahan Baku (receiving) Bahan baku yang diproses di PT Red Ribbon Indonesia yaitu udang jenis Black Tiger atau yang lebih dikenal dengan udang windu (Penaeus monodon) dan udang vannamei (Litopenaeus vannamei). Udang tersebut berasal dari supplier yang mendatangkannya langsung dari tambak di daerah Lampung. Bahan baku yang diterima harus mempunyai tingkat kesegaran yang baik, dimana udang tersebut harus memenuhi kriteria udang segar seperti kulitnya masih utuh tidak terjadi perubahan warna. Kegiatan yang berlangsung di ruang penerimaan yaitu pencucian I, penirisan, penimbangan kotor dan pengambilan contoh. Pembayaran kepada supplier dilakukan setelah bahan baku ditimbang. Selanjutnya diberi label yang berisi kode supplier, tanggal penerimaan, asal udang, serta jenis udang. Bahan baku yang diterima diuji kandungan senyawa antibiotik dan jumlah mikroorganisme yang terdapat pada udang tersebut. Bahan baku yang telah diterima dipertahankan suhunya tetap pada kisaran yang rendah (max 50C). PT Red Ribbon Indonesia memiliki laboratorium yang cukup lengkap. Di laboratorium ini dilakukan pengujian terhadap Coliform, antibiotik, Salmonella, Staphylococcus, Vibrio dan juga uji organoleptik. 2. Pencucian I Udang yang telah dibongkar, dimasukkan ke dalam washing tank yang berisi air dengan kadar klorin 50 ppm dan es. Suhu udang dalam mesin pencuci tersebut dipantau oleh QC untuk memastikan suhu air kurang dari 50C kemudian dicatat dalam record of process temperature. Pada tangki ini, udang akan dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel juga kerikil-kerikil yang terbawa saat panen. Setelah dicuci, udang ditampung di dalam wadah atau keranjang plastik. 3. Penirisan
Udang yang sudah dicuci dimasukkan ke dalam keranjang berlubang berkapasitas ± 30 kg. Tujuan dari penirisan ini adalah untuk mengurangi kadar air pada tubuh udang setelah pencucian. 4. Pengambilan contoh (sampling) Pengambilan contoh ini dilakukan dengan mengambil 3 kg udang yang ada di dalam keranjang penirisan, kemudian dihitung jumlahnya. Dengan cara ini dapat diketahui size dari udang tersebut. Sample ini juga dipakai dalam pengujian mikrobiologi dan antibiotik. Pengujiannya dilakukan secara internal di laboratorium milik perusahaan dan hasilnya dicatat dalam record of laboratory test microbiology dan record of laboratory test antibiotic. Sedangkan untuk hasil penerimaan bahan baku dicatat dalam record of receiving raw material. 5. Penimbangan kotor Tahap ini dilakukan setelah sampling, penimbangan per 30 kg untuk mencocokkan jumlah timbangan pesanan dengan hasil timbangan di perusahaan. Pada saat penimbangan dilakukan juga pencatatan di dalam nota timbang mengenai supplier, berat udang, size udang, asal udang, tanggal penerimaan dan nama karyawan yang melakukan pencatatan. Penimbangan ini dilakukan untuk menentukan harga udang sebelum dibayarkan. 6. Pemotongan Kepala (Deheading) Udang dari proses penerimaan bahan baku dibawa ke meja pemotongan kepala. Pemotongan kepala dilakukan dengan cara mematahkan kepala udang dari bawah dan proses ini berlangsung dalam rantai dingin dengan menambahkan es pada keranjang udang yang sudah dipotong kepalanya maupun udang yang ada di meja. Suhu tetap dijaga kurang dari 50C dan dicatat dalam record of process temperature. Udang yang telah dipotong kepala ditampung dalam keranjang plastik berkapasitas 6 kg dan dicatat berdasarkan jumlah yang dihasilkan setiap meja serta diberi label berisi berat udang, size udang, tanggal penerimaan, jenis produk, setelah itu dimasukkan ke dalam bak fiberglass. 7. Pencucian II Pencucian II dilakukan di ruang potong kepala menggunakan keranjang berlubang berkapasitas ± 30 kg yang dicelupkan ke air dingin dan air yang
dicampur klorin 50 ppm, setelah itu ditiriskan. Air dingin dan air klorin diganti setiap tiga kali pencucian udang. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan lendir dan kotoran-kotoran yang menempel setelah kepala dipotong. Suhu pencucian tetap dipantau dan dicatat pada record of process temperature. 8. Sortasi Kegiatan sortasi ini dapat dilakukan secara manual maupun dengan menggunakan mesin sortasi. Sortasi yang pertama kali dilakukan adalah sortasi size, kemudian baru dilakukan sortasi mutu. Sortasi mutu terdiri atas 3 tingkatan kualitas udang yaitu: a.
First quality atau kualitas utama yaitu udang benar-benar segar, tidak cacat, tidak lembek, tidak ada noda hitam, tidak ada perubahan warna, sambungan antar ruas masih kuat dan anggota badan masih lengkap.
b.
Second quality atau kualitas kedua yaitu kondisi udang masih cukup segar, agak lembek, mengalami sedikit perubahan warna dan ekor masih utuh dan kuat.
c.
Broken yaitu udang yang tidak masuk kualitas 1 atau 2. Biasanya udang ini kondisinya sudah rusak, ada noda hitam, bagian badan banyak yang patah, warna sudah pudar, kondisi daging lembek dan sambungan antar ruas longgar.
9. Pencucian III Udang yang telah disortasi kemudian dimasukkan ke dalam keranjang dan dicuci dengan air yang kadar klorinnya 20-30 ppm dan suhunya 50C. Pencucian ini bertujuan untuk membersihkan udang dari sisa kotoran. 10. Penimbangan Setelah dilakukan sortasi maka udang dapat langsung ditimbang untuk disusun per blok, berat udang per blok adalah 1800 gr. Pada penimbangan ini berat udang ditambah sekitar 2-3% atau sekitar 26-35 gr yang tujuannya adalah untuk menjaga kehilangan berat pada blok udang selama penyimpanan di cold storage dan selama ekspor. Suhu udang tetap dijaga dingin dan dipantau oleh QC. Selanjutnya udang diberi label berisi keterangan size, jenis produk, jenis udang dan asal supplier. 11. Pencucian IV
Pencucin IV terdiri dari dua proses yaitu pencucian pertama dengan konsentrasi klorin 5-10 ppm dan pencucian kedua dengan air tanpa klorin. Lalu udang di masukkan dalam wadah keranjang plastik berkapasitas ± 3 kg dengan ditambah es untuk menjaga suhu tetap dingin. 12. Penyusunan Proses selanjutnya adalah udang disusun dalam triple pan, lalu udang disusun mengikuti pola perut bertemu punggung udang dan ekor bertemu ekor. Penyusunan udang dilakukan berdasarkan standar yang telah ditetapkan untuk mendapatkan bentuk dan tatanan rapi. Standar size dan susunan udang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Standar size dan susunan udang Size 6-8 8-12 13-15 16-20 21-25 26-30
Black Tiger (ekor)/1lbs 5 8 10 11 12 13
Headless Jumlah Baris 2 2 2 2 3 3
Jumlah Per blok (ekor)/4lbs (1800 gram) 28-30 43-45 56-58 75-77 95-97 114-116
Sumber: Bagian Produksi PT Red Ribbon Indonesia (2010)
Pada tahap ini dilakukan pengecekan susunan udang, kerapian penyusunan dan ada tidaknya kotoran yang tertinggal (foreign material checking). Suhu tetap dipantau QC dan dicatat dalam record of process temperature. Udang yang telah disusun ditumpuk diatas lori untuk dibawa ke ruang pembekuan. 13. Pembekuan Sarana pembekuan yang dimiliki oleh perusahaan adalah satu unit Contact Plate Freezer (CPF) yang berkapasitas 100 triple pan dengan menggunakan bahan pendingin (refrigeran) amoniak, waktu pembekuan 3,5 dengan suhu -430C sampai – 450C jam dan digunakan untuk produk udang blok beku. Sebelum dilakukan pembekuan, triple pan ditutup dengan tutup stainless steel berlubang untuk memudahkan pengisian air. Air ditambahkan dengan menuangkan air dengan gayung secara perlahan. Tujuan penambahan air dingin ini adalah sebagai media pembekuan dan menghasilkan blok udang yang bagus. Triple pan yang sudah diisi air dilapisi plastik dan tutup pan agar pembekuan merata, kemudian
disusun dalam contact plate freezer (CPF). Laporan tahapan proses pembekuan ini dicatat dalam record of freezing temperature.
14. Glazing Glazing langsung dilakukan setelah proses pembekuan contact plate freezer. Glazing dilakukan dengan menggunakan air dingin untuk menjaga udang dari dehidrasi, produk beku dilapisi oleh air dingin ± 5ºC selama 2 detik untuk mendapatkan permukaan blok yang rata dan licin. Tujuan utama dari glazing adalah mencegah pelekatan antar bahan baku, melindungi produk dari kekeringan selama penyimpanan dan mencegah ketengikan selama oksidasi. 15. Pendeteksian Metal Pendeteksian logam adalah suatu kegiatan mendeteksi adanya benda asing terutama dari logam pada produk. Pendeteksian ini dilakukan dengan memasukkan produk yang sudah dikemas ke dalam polybag ke atas ban konveyor mesin pendeteksi logam. Apabila terdapat logam maka ban konveyor berhenti dan mesin akan berbunyi, kemudian produk akan dipisahkan dan diperiksa oleh pengawas. 16. Pengemasan Udang yang sudah dibekukan biasanya langsung dikemas dengan cepat, tepat, dan saniter. Inner carton dan master carton yang digunakan sudah sesuai dengan persyaratan bahan pengemas dan pelabelan. Dalam satu master carton terdapat enam inner carton. Setiap bahan pengemas yang dipakai memuat label yang berisi merek produk, size udang, berat bersih produk, jenis udang, kode produksi, dan tanggal produksi. Berikut merupakan contoh kode produksi yang terdapat di PT Red Ribbon Indonesia. 1
01 100426 05 01 07
a
b
c
Keterangan : a = kode produk (jenis udang) b = grade produk
d
e
f
c d e f
= tanggal produksi = supplier = daerah = tambak
17. Penyimpanan. Produk akhir yang sudah dikemas langsung disimpan dalam cold storage yang bersuhu -220C sampai -250C. Cara penyimpanan disusun sedemikian rupa sehingga seluruh permukaan master carton dapat terselubungi oleh hembusan dingin dan mengunakan sistem First In First Out (FIFO). 18. Pemasukan ke dalam container dan pendistribusian. Produk kemudian akan dimasukkan ke dalam peti kemas (container) dan diekspor. Jenis produk, tanggal pengisian, suhu peti kemas, nomor peti kemas dan kode produksi dicatat dalam record of stuffing. Pelaksanaan distribusi dilakukan dengan cepat dan hati-hati. Alat angkut yang digunakan untuk mengekspor produk beku adalah container yang ada pendingin dan kondisinya bersih. Diagram alir dari proses produksi batch udang headless dapat dilihat pada Gambar 7. Udang Penimbangan Penerimaan bahan baku Pencucian IV Pencucian I Penirisan Pengambilan contoh Penimbangan kotor Pemotongan kepala
Penyusunan Pembekuan Glazing
Pendeteksian metal Pengemasan
Pencucian II Sortasi Pencucian III
Udang HL Blok Penyimpanan Pendistribusian
Gambar 7 Diagram alir proses produksi batch udang headless
4.3 Batch Dispersion Batch atau lot merupakan suatu jumlah produk yang diproduksi dan dikelola dibawah kondisi yang seragam atau sama. Produksi batch yang dilakukan di perusahaan tergantung dengan bahan baku yang datang pada setiap hari. Bahan baku tersebut berasal dari berbagai supplier yang berasal dari daerah Lampung. Pengolahan dari bahan baku tersebut dilakukan terpisah berdasarkan suppliernya. Apabila ada bahan baku yang tersisa akan digabungkan dengan bahan baku yang baru datang pada hari berikutnya. Periode 1 Penerimaan bahan baku Sortasi
S1(batch1) G1
G2
S2(batch2) G3
G4
Periode 2
S3(batch3) G5
G6
S1(batch1) G1
G2
S2(batch2) G3
G4
S3(batch3) G5
G6
Pembekuan
A: G1 G3 G5
B: G2 G4
C: G1 G3 G6
A: G1 G3 G5
B: G2 G4
C: G1 G3 G6
Pengemasan
A dan B
A dan C
B dan C
A dan B
A dan C
B dan C
Distribusi
Jepang
Amerika
Lain-lain
Jepang
Amerika
Lain-lain
Gambar 8 Ilustrasi penyebaran batch di PT Red Ribbon Indonesia Keterangan : S1 = Supplier 1, S2 = Supplier 2, S3 = Supplier 3, G = Mutu
Ilustrasi diatas memperlihatkan penyebaran batch terhadap beberapa retailler. Batch tersebut berdasarkan supplier bahan baku yang terdiri dari tiga penyuplai. Proses produksi batch dilakukan pada setiap hari apabila bahan baku datang. Periode diatas menunjukkan bahwa waktu produksi pada satu minggu.
Dari gambar ilustrasi diatas setiap batch melayani tiga retailler sehingga penyebaran batch yang terjadi sangat banyak.
Analisis batch dispersion dilakukan berdasarkan produksi batch yang terdapat di perusahaan. Data batch yang digunakan merupakan data bahan baku udang berdasarkan supplier, terdapat tiga supplier yang memasok bahan baku. Jenis udang yang diproduksi berupa udang Black Tiger dan Vannamei dalam bentuk headless. Produk tersebut di distribusikan oleh perusahaan Indonesia kepada tiga retailler yaitu Jepang, Amerika dan lain-lain. Data produksi udang yang digunakan berupa data produksi selama lima minggu (30 hari). Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah produksi udang berdasarkan retailler, mutu dan periode (kg) Periode 1 2 3 4 5 Total
Jepang q1 1.679,64 818,10 2.597,12 3.156,55 1.708,90 9.960,31
q2 91,15 25,05 69,39 97,85 65,65 349,09
USA q1 211,99 2.855,50 2.022,00 1.087,40 3.260,00 9436,89
Lain-lain Total q1 q2 23,31 3.268,00 5.274,09 12,00 189,50 3.900,15 39,72 243,00 4.971,23 77,19 2.097,60 6.516,59 30,14 1.328,00 6.392,69 182,36 7.126,00 27.054,75
Ket : q1 = mutu super q2 = mutu sedang Sumber : PT. Red Ribbon Indonesia (2010)
Tabel diatas memperlihatkan jumlah produksi udang selama lima periode setiap periodenya terdiri dari satu minggu atau enam hari. Jumlah tersebut merupakan ukuran batch yang melayani tiga retailler yaitu Jepang, USA, dan lain-lain. Ukuran batch tersebut didasarkan pada kelompok supplier dari bahan baku yaitu udang jenis black tiger dan vannamei. Produk tersebut dalam bentuk udang headless beku. Dari data ukuran batch tersebut diperlihatkan bahwa ukuran yang paling tinggi adalah ukuran batch yang melayani retailler ke Jepang. Tingkat mutu udang yang dijual merupakan tingkat mutu pertama maupun mutu kedua sesuai dengan permintaan retailler.
Tingkat mutu dari udang juga berpengaruh terhadap harga jual dari produk udang tersebut. Tabel 6 merupakan harga jual udang ke berbagai negara berdasarkan tingkat mutunya.
Tabel 6 Tingkat mutu dan harga jual udang/per kg (US$) Tingkat mutu Mutu super (q1) Mutu sedang (q2)
Jepang 33,58 29,18
USA 13,8 -
Lain2 13,48 11,34
Sumber : KKP (2010)
Data harga tersebut berdasarkan harga pada tahun 2010 yaitu merupakan harga rata-rata dari semua harga per size. Harga jual rata-rata yang paling tinggi adalah harga jual ke retailler negara Jepang sedangkan yang paling rendah adalah harga jual ke retailler lainnya. Tingkat mutu produk udang di PT Red Ribbon yang dijual atau yang di ekspor merupakan udang dengan mutu pertama yaitu udang yang memiliki ciri-ciri udang benar-benar segar, tidak cacat, tidak lembek, tidak ada noda hitam, tidak ada perubahan warna, sambungan antar ruas masih kuat dan anggota badan masih lengkap, dan mutu kedua yaitu udang yang memiliki ciri-ciri kondisi udang masih cukup segar, agak lembek, mengalami sedikit perubahan warna dan ekor masih utuh dan kuat. Harga jual dari udang blok tersebut dapat dipengaruhi oleh tingkat mutu. Tingkat mutu yang bagus nilai jualnya tinggi begitu juga sebaliknya mutunya rendah nilai jualnya juga rendah. Mutu dari produk udang blok dapat mengalami kemunduran sehingga dapat menurunkan harga jual dari produk udang tersebut. Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 5 mengenai penurunan harga jual produk udang, Tabel 7 merupakan penurunan harga jual udang akibat dari penurunan mutu. Tabel 7 Penurunan harga jual udang akibat penurunan mutu (%). Periode 1 2 3 4 5
Jepang q1 4,21 4,21 4,21 4,21 4,21
q2 3,66 3,66 3,66 3,66 3,66
USA q1 1,73 1,73 1,73 1,73 1,73
Lain2 q1 1,69 1,69 1,69 1,69 1,69
q2 1,42 1,42 1,42 1,42 1,42
Total 12,73 12,73 12,73 12,73 12,73
Total
21,08
18,32
8,66
8,46
7,12
63,66
Mutu sangat mempengaruhi harga jual dari produk udang. Apabila terjadi penurunan mutu maka akan berakibat penurunan pada harga jual dari produk udang. Penurunan mutu dari produk udang dapat terjadi pada saat produksi, penyimpanan dan pendistribusian. Dalam penyimpanan dapat diakibatkan tempat penyimpanan (cold storage), kebersihan dari tempat penyimpanan, dan lama penyimpanan dari produk tersebut. Sedangkan dalam pendistribusian penurunan mutu produk udang dapat disebabkan oleh suhu yang digunakan dalam transportasi, sarana transportasi, kebersihan dari sarana transportasi, dan waktu yang digunakan untuk transportasi (Loc VTT 2006). Nilai penurunan harga mutu tersebut diperoleh dengan mengalikan harga tiap mutu dengan persentase level mutu. Penurunan harga jual tersebut paling tinggi di alami oleh retailler Jepang mencapai 4,21%. Sehingga dengan penurunan harga jual tersebut bisa menimbulkan kerugian bagi pihak retailler maupun pihak penjual. Kerugian yang dialami pihak penjual dari penurunan harga jual akan berdampak pada biaya produksi yang semakin meninggi. Dengan mutu yang baik maka akan mendapatkan keuntungan yang banyak sehingga dapat menutup biaya produksi yang tinggi begitu juga sebaliknya dengan mutu yang kurang baik maka keuntungan yang didapat sedikit dan tidak dapat menutupi biaya produksi yang tinggi. Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 6, biaya produksi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor mutu dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Biaya produksi yang dipengaruhi oleh mutu produk (US$) Periode 1 2 3 4 5 Total
Jepang(R1) q1 2378,85 1158,66 3678,26 4470,57 2420,29 14106,6
q2 97,48 26,78 74,20 104,64 70,20 373,33
USA(R2) Lain2(R3) q1 q1 50,71 5,32 683,01 2,73 6074,61 56,25 260,09 17,61 762,54 6,87 7830,96 88,78
Total q2 527,83 2532,36 30,60 1871,19 39,24 9883,33 338,79 4852,92 214,49 3259,91 1150,98 22399,70
Tabel diatas menunjukkan biaya produksi, biaya produksi yang paling tinggi terdapat pada retailler 1, hal ini terjadi karena permintaan dari retailler 1
yang paling tinggi sehingga membutuhkan biaya produksi yang lebih tinggi, sedangkan untuk biaya produksi yang terendah terdapat pada retailler 3 dengan jumlah permintaan yang paling sedikit. Dilihat dari periodenya atau waktu produksinya dari kelima periode tersebut yang membutuhkan biaya yang paling tinggi adalah pada periode ke tiga, hal ini karena jumlah permintaan pada periode tersebut meningkat untuk retailler 2 dan retailler 3. Biaya produksi tersebut dipengaruhi oleh ukuran batch (kg), harga (per kg), persentase level mutu serta biaya tambahan (biaya marginal) yang diasumsikan sebesar 1%, apabila lebih dari 1% maka biaya produksinya akan lebih besar sehingga diasumsikan 1%. Biaya produksi untuk tiap tingkatan mutu dari produk berbeda dengan biaya produksi untuk tiap batch yang melayani masing-masing retailler. Biaya produksi total untuk tiap batch dapat diminimalis dengan dua cara yaitu dengan menggabungkan batch-batch dalam satu periode produksi dan menggabungkan batch-batch dari berbagai periode. 4.3.1 Penggabungan batch-batch dalam satu periode Batch-batch yang digabungkan merupakan batch yang melayani retailler yang berbeda-beda. Biaya produksi untuk pelayanan tiap retailler berbeda-beda. Untuk meminimalis biaya pelayanan tersebut maka salah satu caranya adalah dengan menggabungkan batch-batch dalam satu waktu produksi. Perusahaan Red Ribbon melayani tiga retailler yaitu Jepang, USA, dan Lain2. Berdasarkan pada perhitungan di Lampiran 8, biaya total untuk pelayanan retailler yang terdiri dari lima periode dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Biaya total pelayanan retailler (US$) Periode Digabungkan Tidak digabungkan 1 327250,75 490869,50 2 327245,15 490862,80 3 327246,59 490863,60 4 327250,91 490865,40 5 327249,73 490866,60 rata-rata 327248,63 490865,60 Tabel diatas menunjukan bahwa biaya total untuk pelayanan ketiga retailler (Jepang, USA, lain-lain), yang terdiri dari lima periode. Biaya tersebut diperoleh dengan menggabungkan setiap batch yang melayani ketiga retailler
serta diperoleh dengan tidak menggabungkan dari setiap batch yang melayani ketiga retailler. Batch yang digabungkan merupakan batch per hari sehingga dalam satu periode terdapat enam hari atau terdapat enam batch. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dengan menggabungkan batch dalam satu periode memerlukan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan batch yang tidak digabungkan. Jika batch yang digabungkan maka rata-rata biaya total tiap berproduksi adalah US$ 327.248,63 tetapi jika batch yang melayani ketiga retailler tidak digabungkan maka rata-rata biaya total tiap berproduksi adalah US$ 490.865,60. Biaya total tersebut dipengaruhi oleh biaya set up, biaya disperse, jumlah retailler, ukuran batch, persentase level mutu serta biaya tambahan. Sehingga dengan menggabungkan batch yang melayani retailler dalam satu waktu produksi akan mengurangi biaya produksi yang dikeluarkan oleh perusahaan. Dengan demikian dapat menghemat biaya produksi setiap berproduksi. Selain itu juga mutu dari produk akan lebih terjaga. 4.3.2 Penggabungan batch-batch dari berbagai periode Metode kedua yang digunakan dalam penelitian ini untuk meminimalisasi biaya produksi adalah dengan menggabungkan batch yang melayani ketiga retailler (Jepang, USA, dan lain-lain) dari berbagai periode atau dari periode yang berbeda. Hasil yang diperoleh berdasarkan perhitungan pada Lampiran 10 dengan menggabungkan batch yang terdiri dari empat periode menjadi dua periode menunjukkan hasil yang tidak berbeda jauh yaitu untuk periode 1 dan 2 biaya totalnya mencapai US$ 491.016,41sedangkan untuk periode 3 dan 4 biaya totalnya mencapai US$ 491.121,33. Hal ini dikarenakan jumlah batch yang diproduksi tiap periode tersebut tidak jauh berbeda sehingga menghasilkan biaya total yang tidak berbeda jauh. Biaya tersebut jika dibandingkan apabila kedua batch dalam periode yang berbeda tidak digabungkan menunjukkan perbedaan yang signifikan yaitu untuk periode 1 dan 2 biaya totalnya mencapai US$ 654.491,50 sedangkan untuk periode 3 dan 4 biaya totalnya mencapai US$ 981.734,40. Dengan biaya total tersebut maka lebih menguntungkan untuk menggabungkan batch yang berbeda periode menjadi satu periode. Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya total tersebut sama seperti metode penggabungan batch pada periode yang sama akan
tetapi ada tambahan biaya yaitu biaya penyimpanan yang diperoleh dari KKP (2010) yang diasumsikan sebesar 4,01% dari jumlah produk yang disimpan, serta persentase penurunan mutu. Metode ini memiliki kelemahan yaitu penurunan mutu dari produk akan lebih cepat terjadi selain itu juga mutu produk dari batch periode satu harus bergabung dengan kualitas tertinggi produk dari batch yang disediakan sehingga kemungkinan terjadinya kontaminasi akan lebih tinggi (Grunow et al. 2008). Berdasarkan hasil biaya total pelayanan terhadap ketiga retailler (Jepang, USA, dan lain-lain), metode untuk meminimalis biaya produksi pada setiap batch yang paling efektif adalah dengan menggabungkan batch yang diproduksi dalam periode yang sama. Hal ini karena apabila menggabungkan batch dari periode yang berbeda harus menggunakan bahan baku yang berkualitas baik untuk mengantisipasi penurunan kualitas atau mutu selama penyimpanan, jika terjadi penurunan mutu dari produk maka jumlah batch untuk setiap periode harus diturunkan (Grunow et al. 2008). Selain itu juga berdasarkan hasil perhitungan biaya total pelayanan ketiga retailler yang lebih sedikit adalah dengan menggabungkan batch dari periode yang sama. Gambar 9 menunjukan hubungan antara α, dispersi, dan ukuran batch.
Gambar 9 Hubungan antara α, dispersi, dan ukuran batch. Gambar diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai α (nilai perbandingan antara biaya disperse dengan biaya setup) maka nilai dispersinya akan meningkat. Hal ini terjadi karena retailler yang dilayani oleh setiap batch di
PT Red Ribbon terlalu banyak yaitu 3 retailler sehingga dengan nilai α yang meningkat maka untuk nilai dispersi juga meningkat. Untuk itu perlu dilakukan pengurangan retailler yang dilayani oleh batch yang sama dalam satu periode. Karena menurut Grunow et al. (2008) nilai α meningkat dengan dispersion menurun untuk retailler yang dilayani oleh batch yang sama dalam satu periode lebih sedikit. Sehingga dengan jumlah retailler yang dilayani cukup banyak dalam batch yang sama maka perlu dilakukan penurunan jumlah batch untuk menghindari terjadinya penyebaran batch. Pencegahan penyebaran batch tersebut untuk memudahkan penelusuran apabila terjadi masalah. Apabila terdapat permintaan dari retailler yang lain dapat dilayani pada batch berikutnya. Dupuy et al. (2005) menyatakan bahwa jika masalah keamanan pangan berasal dari batch bahan baku, maka perusahaan akan mengidentifikasi dan menarik semua produk yang mengandung bahan baku dari batch bahan baku. Jika hal
tersebut
menyangkut
pada
produk
akhir,
maka
perusahaan
akan
mengidentifikasi batch bahan baku dan menarik kembali semua produk akhir. Jadi untuk meminimalkan biaya krisis keamanan pangan perusahaan harus meminimalkan jumlah produk yang ditarik kembali. Untuk itu dengan mengurangi penyebaran batch yang ada dapat mengurangi potensi penarikan kembali terhadap produk yang telah terjual.
Gambar 10 Hubungan biaya dispersi dan biaya produksi. Gambar diatas menunjukan bahwa semakin tinggi biaya total dispersi maka biaya produksi akan meningkat. Seperti terlihat di grafik sebelumnya ketika
nilai α meningkat nilai dispersi juga meningkat mengakibatkan biaya totalnya akan meningkat sehingga biaya produksinya akan meningkat juga. Biaya produksi tersebut dapat dikurangi dengan mengurangi dispersi. Menurut Grunow et al. (2008) biaya berkurang karena penurunan dispersi sehingga memungkinkan untuk mengurangi persyaratan kualitas batch. Dengan penurunan kualitas dapat mencegah pelayanan retailler yang lebih banyak karena tingkat kualitas awal dari produk baik dan harus bergabung ke persyaratan kualitas yang kurang baik dari salah satu retallier yang dilayani. Sehingga kemungkinan akan terjadinya kontaminasi sangat tinggi yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan mutu. Menurut Moe (1998) dalam Bentolini et al. (2006) dengan mengendalikan kualitas internal dan ketelusuran dari sebuah proses produksi yaitu batch produk akan memberikan keuntungan yaitu menghindari terjadinya pencampuran bahan baku yang tidak ekonomis dengan bahan baku yang berkualitas tinggi serta memudahkan dalam proses auditing kualitas bahan baku yang digunakan.
31
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Produksi batch di perusahaan didasarkan pada bahan baku yang berasal dari tiga supplier dengan jenis bahan bakunya berupa udang Vannamei dan Black tiger dalam bentuk HL. Produksi tersebut dilakukan dalam lima periode, masingmasing periode terdiri dari satu minggu sehingga terdapat ± 6 batch dalam satu periodenya. Penggabungan batch yang dilakukan terdiri dari dua metode yaitu penggabungan batch pada periode atau minggu yang sama dan batch pada periode yang berbeda. Penggabungan batch dari periode yang sama dengan mengurangi jumlah retailler yang dilayani oleh batch yang sama dapat meminimalkan terjadinya potensi penarikan kembali sehingga kemungkinan penurunan mutu dan masalah keamanan pangan dari produk udang dapat diminimalisasi. Selain itu juga berdasarkan perhitungan terhadap biaya produksi yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa dengan menggabungkan batch pada periode yang sama yaitu pada tiap minggunya biaya produksinya dapat diminimalkan dengan rata-rata biaya produksi dari US$ 490.865,60 menjadi US$ 327.248,63 sedangkan dengan metode penggabungan batch pada periode yang berbeda yaitu batch pada periode 1 dan 2 serta 3 dan 4 biaya produksi yang diperoleh lebih besar yaitu dari US$ 654.491,50 dan US$ 981.734,40 menjadi US$ 491.016,41 dan US$ 491.121,33.
5.2 Saran PT Red Ribbon sebaiknya dapat mengurangi jumlah retailler yang dilayani oleh batch yang sama untuk mencegah terjadinya masalah keamanan pangan pada produk udang beku tersebut. Apabila terdapat permintaan dari retailler yang lain dapat dilayani pada batch berikutnya. Selain itu juga metode pendekatan batch dispersion perlu dipelajari lebih lanjut sehingga dapat diterapkan di perusahaan.
54
DAFTAR PUSTAKA Baldwin A. 2010. Infrorder Caridea (Shrimps and Prawns) of British Columbia. www.efauna.bc.ca [2 Januari 2010]. [AMR] Archipelago Marine Research. 2005. An analysis of the Requirements, Current Condition and Opportunities for Traceability in the British Columbia Seafood Sector. Assessing the State Readiness. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2007. SNI 01-2705.1-2006. Udang Beku. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional. Bertolini M, Bevilacqua M and Massini R. 2006. FMECA approach to product traceability in the food industry. Food control, 17,137-145. [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2001. Recommended international code of practice general principles of food hygiene. FAO Corporate. Clucas IJ. dan Ward AR. 1996. Post-Harvest Fisheries Development: A Guide to Handling, Preservation, Processing and Quality. British: Natural Resource Institute (NRI) Derrick S dan Dillon M. 2004. A Guide to Traceability Within the Fish Industry. Swiss: Eurofish/SIPPO. Dupuy C, Botta-Genoulaz V, and Guinet A. 2005. Batch dispersion model to optimize traceability in food industry, Journal of Food Engineering, 70:333-339. European Regulation (EC). 2002. Laying Down the General Principles and Requirements of Food Law, Establising the European Food Safety Authority and Laying Down Procedures in Matters of Food Safety. Official Journal of the European Communities, L. 11-31. Fast AW and Lester LJ. 1992. Penaeid Taxonomy,Biology and Zoogeography. Marine shirmp culture: principles and practices. Elsevier Sciences : Amsterdam. [FDA] Food and Drugs Administration.2007. Notification of RASFF of Indonesian Fishery Products. www.fda.gov. [18 Januari 2011]. Feigenbaum AV. 1996. Kendali Mutu Terpadu. Jakarta : Erlangga. [FSA] Food Standards Agency. 2002. Traceability in the Food Chain. A preliminary study: Food Chain Strategy Division. Grunow M. Rong A. and Akkerman R. 2008. Reducing Dispersion in Food Distribution. Proceeding of the 9th Asia Pasific Industrial Engineering & Management System Conference. Bali Indonesia, 618-628.
Hadi A. 2007. Pemahaman dan Penerapan ISO/IEC 17025:2005. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Hadiwiyoto. 1993. Teknologi pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: Liberty. Haliman RW. dan Adijaya D. 2006. Udang vannamei. Jakarta: Penebar Swadaya. Hariyadi S. 1994. Pengolahan Udang Beku. Surabaya: Karya Anda. Ilyas S. 1993. Teknik Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid II. Jakarta : Paripurna. Irawan A. 2006. Kandungan mineral cumi-cumi (Loligo sp) dan udang vannamei (Litopenaeus vannamei) serta pengaruh perebusan terhadap kelarutan mineral. [skripsi]. Bogor : Program Studi Teknologi Hasil Perairan, FPIK, IPB. [ISO] International Organization for Standardization 22000:2005 (E). Food safety management system-Requirments for any organization in the food chain. Geneva. [ISO] International Organization for Standardization 22005:2007. Tracebility in the feed and food chain-genera principles and basic requirements for system design and implementation. Geneva. [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2009. Statistika Perikanan Tangkap. Jakarta: KKP 2010.
Statistik
Ekspor
Hasil
2010.
Infofish
Trade
News,
Perikanan. Jakarta: KKP. No.12/2010. Jakarta : KKP. Larsen E. 2002. Crisis Management “A Practical View on Handling Crisis in the Fish Sector”, Seminario de Comercialization de product del Mar. AECOC, Baiona, Spain. Loc VTT. 2006. Seafood Supply Chain Quality Management : The Shrimp Supply Chain Quality Improvement Perspective of Seafood Companies in the Mekong Delta, Vietnam. Rijksuniversiteit Groningen, Netherlands. Moe T. 1998. Perspective on Traceability in Food Manufacture. Food Science and Technology 9:211-214. Moeljanto .1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan.Jakarta : Penebar Swadaya Muhandri T. dan Kadarisman D. 2008. Sistem Jaminan Mutu Industrial Pangan. Bogor: IPB Press. Purwaningsih S. 1995. Teknologi Pembekuan Udang. Jakarta : Penebar Swadaya.
Smith I. and Furness A., 2006. Improving Traceability in Food Processing and Distribution. Woodhead Publishing Limited Cambridge England. Spitter JM, Hurkens CAJ, de Kok, AG, Lenstra JK, and Negenman EG. 2005 Linear programming models with planned lead times for supply chain operations planning, European Journal of Operational Research, 163:706720. Sulaeman S. dan Syarief H. 2007. Tinjauan Ekonomi Penanganan Mutu dan Keamanan Pangan. IPB : Southeast Asian Food Science & Technology (SEAFAST) Center. Tall A. 2003. Tracebillity Procedure Based on FDA dan CFIA Regulation, an Understanding. www.globefish.org. [10 Mei 2010]. Undang-Undang No 7 Tahun 1996. Pangan. http://www.pom.go.id. [13 Juni 2010]. USDA. 2006. Shrimp Nutrition Information. www.personalhealthzone.com. [13 Juni 2010]. Winarno FG. 2004.Kemanana Pangan Jilid 1. Bogor, M-BRIO PRESS, Cetakan1 Wirakartakusumah MA. 1994. Rekayasa Proses Menghadapi Tantangan Masa Depan Industri pangan Indonesia. IPB: Orasi Ilmiah.
51
LAMPIRAN
57
Lampiran 1 Sertifikat ISO PT. Red Ribbon Indonesia, Jakarta
58
Lampiran 2 Struktur Organisasi PT. Red Ribbon Indonesia, Jakarta General Manager
Branch Manager
Factory Manager
General Affairs
Production Manager A
Production Manager B
Quality Analysist
PPIC
Production A1
Production B1
QC
Manager
Staf HRD
Production A2
Production B2
LAB
Cold Storage
Operator
Inventory
HRD Manager
GA Manager Mechanic
Production A1
59
Lampiran 3 Data jumlah udang per supplier BT juli VNM Juli dan agustus supplier grade 1 grade 2 supplier grade1 N(31) 553,66 9,4 K 211,99 RD 422,5 4 K 2.855,50 RD 235,49 0,23 K 2.022 RD 280,99 4,24 K 1.087,40 RD 153,46 1,35 K 3.188 RD 79,12 2 RD 12,5 RD 292,03 4,41 N 193,03 7,32 RD 106,15 4,34 RD 562,48 4,35 RD 79,59 3,02 N 688 4 N 491,7 4,93 RD 476,17 11,76 RD 443,54 4,3 N 237,39 9,92 N 1.037,15 25,43 N 527,64 10,82 N 910,87 26,72 N 746,32 15,37 N 962,58 14,77 juni N RD RD
504,47 370,2 146,98
8 10 1,08
Sumber : PT Red Ribbon Indonesia (2010)
Keterangan : - RD : Ronald/ David N : Ninik K: Kamsudi
60
Lampiran 4 Volume ekspor udang
No
1 2 3
Negara tujuan Jepang Amerika Serikat Uni Eropa
Sumber : KKP (2010)
Tahun - Year 2005
2006
2007
Volume Nilai
2008
2009
Volume
Nilai
Volume
Nilai
Volume
Nilai
(US$ 1.000)
(Ton)
(US$ 1.000)
(Ton)
(US$ 1.000)
(Ton)
(US$ 1.000)
50.581
420.252
40.334
334.982
39.582
337.681
35.875
264.861
327.819
61.235
418.556
60.399
420.720
80.479
550.773
62.173
362.971
159.292
35.232
196.430
28.845
178.195
26.825
177.855
19.786
104.808
Volume
Nilai
(Ton)
(US$ 1.000)
(Ton)
46.051
373.534
50.698 27.179
61
Lampiran 5. Perhitungan penurunan harga jual akibat penurunan mutu.
62
Lampiran 6. Perhitungan biaya produksi dipengaruhi oleh mutu.
63
Lampiran 7. Perhitungan biaya disperse dan biaya setup
64
Lampiran 8. Perhitungan biaya produksi metode penggabungan batch dalam satu periode.
65
Lampiran 9. Perhiungan nilai dispersi dan α.
66
Lampiran 10. Perhitungan biaya produksi metode penggabungan batch dari periode yang berbeda.