PENGEMBANGAN KEBIJAKAN AMDAL DALAM MENCEGAH KERUSAKAN LINGKUNGAN PADA KEGIATAN USAHA MIGAS
YUSNI YETTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
2
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Pengembangan Kebijakan AMDAL dalam Mencegah Kerusakan Lingkungan pada Kegiatan Usaha Migas adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, April 2008 Yusni Yetti P062040304
3
ABSTRACT Yusni Yetti. 2008. Policy Development of EIA in Protecting Environmental Damage on Oil and Gas Activities. Under Advisory Committee of Syamsul Ma’arif as Chairman. Surjono Hadi Sutjahjo and Imam Santosa as Members. Environment Impact Assessment (EIA) is a study for high and important impact any development process. The objectives of the research were to formulate the EIA policy to protect the negative impact on the environment in the oil and gas activities. The methods of the research were: 1) principle component analysis, 2) analytical hierarchy process, 3) focus group discussion and 4) total economic valuation. The results of the research was found that the important components to develop EIA policy of oil and gas were arranging efficiency, completing of document, document substantial, community involvement mechanism, compiler team of EIA, developing of EIA method, environment economic value, emergency, waste management technology, simplification of arrangement, increasing of human resources, law enforcement and contribution of oil and gas activities. Formulation to policy development on effective and efficient of EIA to environment damage protection on oil and gas activities consist of, 1) strategy to quality improvement of EIA document with developing EIA method including ecology, economic and social aspects. Method of main issue on Term of Reference of Environmental Impact Analysis, method of estimation and impact evaluation on Environmental Impact Analysis document, alternative technology on Environmental Management Planning and institution on Environmental Monitoring Planning. Complier quality improving EIA consist of independent, competence, and composition aspects, and then necessary integration of emergency on technical guide of arrangement of EIA, 2) strategy to law enforcement and institution consist of quality improving of human resources, center EIA commission specially (environmental ministry ), and technical team (energy and resources ministry), implementation of administration and punishment sanction (c.g Law No. 23/1997 about is Environmental Management), community involvement mechanism improving, and supervise institution of environmental management planning and environmental monitoring planning implementation 3) strategy to arrangement procedure completing of EIA oil and gas consist of time of arrangement to document agreement, time of community publication and agreement to EIA study arrangement by independent institution. Key words: Policy, EIA, Oil and Gas
4
RINGKASAN Yusni Yetti. 2008. Pengembangan Kebijakan AMDAL dalam Mencegah Kerusakan Lingkungan pada Kegiatan Usaha Migas. Di bawah bimbingan Syamsul Ma’arif, Surjono Hadi Sutjahjo dan Imam Santosa. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting dari suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan tersebut. AMDAL merupakan bagian kegiatan studi kelayakan perencanaan usaha atau kegiatan serta merupakan syarat untuk mendapatkan izin usaha. AMDAL di Indonesia telah diterapkan lebih dari 20 tahun, namun demikian berbagai hambatan dan masalah dalam penerapannya masih terjadi. Kualitas komisi penilai AMDAL yang sangat beragam kemampuannya sangat berpengaruh terhadap proses penilaian dokumen AMDAL selama ini, tidak adanya kriteria dan indikator penilaian yang standar, menjadikan proses penilaian AMDAL menjadi sangat subyektif. Tujuan penelitian adalah merumuskan kebijakan AMDAL yang efektif dan efisien dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan tahapan penelitian sebagai berikut: review kebijakan AMDAL saat ini, analisis kualitas dokumen AMDAL migas, analisis kinerja lingkungan implementasi AMDAL kegiatan migas, analisis kebutuhan stakeholders terhadap kebijakan AMDAL migas dimasa mendatang dan merumuskan strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari sampai September 2007. Penelitian dilakukan pada tujuh lokasi kegiatan usaha migas, yakni: 1) Pertamina Plaju Palembang Sumatera Selatan, 2) PT. CPI Duri Riau, 3) Suryaraya Teladan Muara Enim Sumatera Selatan, 4) Lapindo Berantas Sidoarjo Jawa Timur, 5) Expan Toili Morowali Sulawesi Tengah, 6) BP Tangguh Sorong Papua dan 7) Hess Pangkah Gresik Jawa Timur. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian terdiri atas: 1) principle component analysis, 2) analytical hierarchy process, 3) focus group discussion dan 4) total economic valuation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan AMDAL saat ini memiliki beberapa kelemahan dalam hal pedoman dan petunjuk teknis penyusunan AMDAL, PP No.27 tahun 1999, Permen LH No.11 tahun 2006, Permen LH No.08 tahun 2006, Kepmen ESDM No.1457 tahun 2000, Kepdal No.229 tahun 1996 dan Kepdal No.08 tahun 2000, antara lain: penentuan dampak penting, efisiensi dalam penyusunan, kedudukan komisi AMDAL, metode pelingkupan dan metode studi yang digunakan, aspek sosial ekonomi, mekanisme keterlibatan masyarakat, serta belum diaplikasikannya analisis valuasi ekonomi lingkungan dan pengkajian keadaan darurat. Hasil analisis kualitas dokumen diperoleh enam dokumen dikategorikan kurang baik yakni dokumen AMDAL PT.CPI Duri, Pertamina Plaju, Suryaraya Teladan, Lapindo Brantas, BP Tangguh dan Hess Pangkah, serta satu dokumen dikategorikan cukup baik yakni dokumen AMDAL Expan Toili, sedangkan hasil analisis kinerja lingkungan implementasi AMDAL pada enam lokasi kegiatan usaha migas diperoleh kualitas limbah cair, kualitas udara dan kebisingan di bawah baku mutu, untuk aspek sosial ekonomi menunjukkan peningkatan yang signifikan khususnya kontribusi PDRB,
5
sementara pendidikan dan kesehatan tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. Kebutuhan stakeholders AMDAL migas di masa mendatang antara lain: RKL/RPL secara dinamis dapat diperbaharui seiring dengan perubahan teknologi yang digunakan, simplifikasi pembahasan dan persetujuan dokumen AMDAL migas, peningkatan SDM komisi AMDAL pusat, mekanisme keterlibatan masyarakat lokal yang jelas, AMDAL sebagai dokumen yang berkekuatan hukum, pengembangan metodologi AMDAL migas, perlu akreditasi lembaga penyusun AMDAL migas, pengkajian nilai ekonomi lingkungan, serta perlunya mengintegrasikan kajian keadaan darurat dengan dokumen AMDAL. Pengembangan kebijakan AMDAL dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas dirumuskan kebijakan AMDAL yang efektif dan efisien meliputi: a) Peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas dengan memperbaiki metode-metode di dalam penyusunan AMDAL untuk aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Metode penentuan isu pokok untuk kerangka acuan, metode prakiraan dan evaluasi dampak untuk dokumen ANDAL, teknologi alternatif untuk RKL dan institusi/kelembagaan untuk RPL. Selain itu juga diperlukan peningkatan kualitas penyusun AMDAL migas yang mencakup independensi, kompotensi dan komposisi serta perlunya pengintegrasian kajian keadaan darurat/emergency di dalam AMDAL dan dicantumkan dalam pedoman teknis penyusunan AMDAL migas. b) Penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL migas meliputi penguatan sumberdaya manusia, khususnya komisi AMDAL pusat (KLH) dan tim teknis AMDAL migas, penerapan sanksi administrasi dan pidana sesuai UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perbaikan mekanisme keterlibatan masyarakat dan kelembagaan pengawas pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada kegiatan usaha migas. c) Penyempurnaan prosedur penyusunan AMDAL meliputi waktu penyusunan persetujuan dokumen, waktu pengumuman masyarakat serta penunjukan pelaksana studi AMDAL oleh lembaga independen.
6
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
7
PENGEMBANGAN KEBIJAKAN AMDAL DALAM MENCEGAH KERUSAKAN LINGKUNGAN PADA KEGIATAN USAHA MIGAS
Oleh:
Yusni Yetti P062040304
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
8
Penguji Ujian Tertutup : Dr. Ir. Etty Riani, MS. (Sekretaris PS. PSL SPs IPB) Penguji Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. H. Kahar Mustari, MS. (Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UNHAS) : Dr. Ir. Irwandi Idris, M.Si. (Sekretaris Direktorat Jenderal KP3K DKP.RI)
9
Judul Disertasi : Pengembangan Kebijakan AMDAL dalam Mencegah Kerusakan Lingkungan pada Kegiatan Usaha Migas Nama
: Yusni Yetti
NIM
: P062040304
Program Studi : Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Syamsul Ma’arif, M.Eng. Ketua
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. Anggota
Dr. Ir. Imam Santosa, MS. Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS.
Tanggal ujian: 29 Februari 2008
Dekan SPs
Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal lulus:
10
KATA PENGANTAR Disertasi ini merupakan penelitian kebijakan (policy research) dengan metode deskriptif dan teknik analisis decission making. Obyek penelitian adalah kebijakan AMDAL pada kegiatan usaha migas. Melalui bidang kebijakan publik diterangkan dan dievaluasi peran AMDAL dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Untuk menentukan alternatif kebijakan yang efektif dan efisien dilakukan melalui aplikasi analytical hierarchy process. Deskripsi ringkas dari konteks bidang dan fokus obyek dan tujuan penelitian tercermin dalam judul disertasi “Pengembangan Kebijakan AMDAL dalam Mencegah Kerusakan Lingkungan pada Kegiatan Usaha Migas”. Karya ilmiah yang dipublikasikan adalah: Analisis kebijakan AMDAL dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas (Jurnal Ilmiah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2008); Pengembangan kebijakan AMDAL dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas (Jurnal LEMIGAS, 2008); Analisis Valuasi Ekonomi Lingkungan dalam pengembangan kebijakan AMDAL migas (Jurnal Ilmiah PPLH UGM, 2008). Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada ketua komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Syamsul Ma’arif, M.Eng, dan anggota komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS, dan Dr. Ir. Imam Santosa, MS yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi ini. Begitu pula kepada Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor yang banyak memberikan arahan dan bantuan selama penulis menempuh studi hingga akhir penulisan disertasi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Suryo Suwito. P, Pertamina Direktorat Eksplorasi dan Produksi, pimpinan Ditjen Migas dan staf Lindungan Lingkungan Ditjen Migas, pimpinan dan staf PT.CPI, pimpinan dan staf Amerada Hess, pimpinan dan staf INRR yang telah banyak memberikan bantuan dan data untuk keperluan penelitian. Terima kasih pula kepada ananda Amanda tersayang yang selalu memberikan dorongan dan semangat serta segenap keluarga atas doa dan motivasi selama ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang turut membatu, semoga amal ibadahnya mendapat ridho ALLAH SWT. Amin. Akhirnya penulis berharap bahwa dengan penelitian ini diperoleh outcomes berupa kebijakan AMDAL yang lebih efektif dan efisien pada kegiatan usaha migas di masa datang.
Bogor, April 2008 Yusni Yetti
11
RIWAYAT HIDUP Yusni Yetti. Penulis lahir di Padang Sumatera Barat, menyelesaikan pendidikan SD, SMP dan SMA di Sumatera Barat, yang kemudian dilanjutkan di jurusan biologi fakultas MIPA Universitas Andalas Padang Sumatera Barat dan memperoleh gelar sarjana (S1) pada tahun 1983. Penulis menyelesaikan pendidikan magister (S2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan tahun 2000. Pada tahun 2005 mengikuti pendidikan Doktor (S3) Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Penulis juga mengikuti pendidikan informal antara lain: Oil Spill Preventing and Combating Technology Course IMO-Marpol Asia Pacific (1990), Environmental Impact Assesment UI (1991), Technology Management Oil Field Corrosion Control PT.CPI (1991), Oil Drift Modelling ASCOPE (1993), Environmental Audit ITB (1994), Exploration and Production Health, Safety and Environment Training, Texaco dan Chevron, USA (1994-1995), Fire Fighting Program, Texas A&M University System, USA (1995), Oil Spill Control Course, Centre for Marine Training and Safety Galveston Island, Texaco, USA (1995), Intensive English Program for 314 hours, Caltex Pacific Indonesia (1995), Environmental Segment of Safety Health and Environmental Training Train The Trainers, Caltex Pacific Indonesia (1997), The Safety and Industrial Hygiene Segment of Safety Health, Caltex Pacific Indonesia (1997), ISO 14000 Training Course Environmental International and Industry Lestari Environmental (1997), Indonesia Society of Technolgy Course, UNPAD (1999), Training Course on Challenge to Environmental Pollution Control in Refineries, Japan Cooperation Centre Petroleum, Jepang (2001), Condensate/Oil Spill Response Training Course Level I, Global Alliance EARL (2003), Studi banding pemotongan kepala sumur, Norwegia (2005), Studi banding bioremediasi pengelolaan limbah minyak dan tanah terkontaminasi oleh Minyak Bumi, Perancis (2007). Selain itu penulis juga mengikuti beberapa seminar yang berkaitan dengan lingkungan hidup antara lain: National Seminar Coservation Technology, Jakarta (1996), International Seminar on Sustainable Development of Coastal and Marine Resources, Bogor (1996) dan National Seminar Toxicology, Jakarta (1997). Mendapat penugasan di bidang lingkungan antara lain: Inspeksi pengujian bejana tekan, Perancis (2003), Inspeksi kompresor gas, USA (2004), Inspeksi bejana tekan, USA (2004), Inspeksi pengujian bejana tekan, Korea (2004), Inspeksi pengujian bejana tekan, Jepang (2004), Inspeksi barge, Singapura (2004), Inspeksi barge, New Zealand (2005), Inspeksi barge, Singapura (2005), Pengujian bejana tekan peralatan pemurnian gas, Perancis (2007). Riwayat pekerjaan penulis yaitu sebagai Dosen di Fakultas MIPA jurusan Biologi Universitas Pakuan Bogor dari tahun 1983 sampai 1995. Mulai bekerja di Migas tahun 1989 sampai sekarang. Saat ini, penulis menjabat sebagai Kepala Sub Direktorat Lindungan Lingkungan Direktorat Teknik dan Lingkungan Direktorat Jenderal Migas Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Penulis pernah mendapatkan tanda jasa dan penghargaan antara lain Satya Lancana Karya Satya Pengabdian 10 tahun. Bogor, April 2008 Yusni Yetti
12
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI.................................................................................................... DAFTAR TABEL............................................................................................ DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
x xii xiii xiv
I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1.2 Kerangka Pemikiran............................................................................ 1.3 Perumusan Masalah ........................................................................... 1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................ 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................. 1.6 Kebaruan Penelitian ............................................................................
1 1 6 8 11 11 11
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 2.1 Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup ........................................ 2.2 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan .......................................... 2.2.1 Definisi AMDAL ....................................................................... 2.2.2 Landasan Hukum Pelaksanaan AMDAL ................................... 2.2.3 Prosedur Pelaksanaan AMDAL ................................................. 2.3 Kegiatan Minyak dan Gas Bumi ........................................................ 2.4 Konsep Valuasi Ekonomi.................................................................... 2.5 Hasil Penelitian Terdahulu..................................................................
12 12 17 17 20 21 30 31 36
III. KEGIATAN MIGAS DI INDONESIA .................................................... 3.1 Sejarah Kegiatan Migas di Indonesia ................................................. 3.2 Potensi Minyak dan Gas Bumi Indonesia ........................................... 3.3 Produksi Minyak dan Gas Bumi Indonesia......................................... 3.4 Kontribusi Migas terhadap Devisa Negara ........................................ 3.5 Permasalahan dalam Kegiatan Migas ................................................
41 41 43 44 46 49
IV. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................. 4.2 Tahapan Penelitian .............................................................................. 4.3 Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 4.4 Rancangan Penelitian ......................................................................... 4.4.1 Metode Pengumpulan Data ........................................................ 4.4.2 Metode Analisis Data ................................................................ 4.4.2.1 Analisis Komponen Utama ............................................ 4.4.2.2 Analytical Hierarchy Process ........................................ 4.4.2.3 Focus Group Discussion ................................................ 4.4.2.4 Analisis Total Economic Valuation ...............................
53 53 54 55 56 56 57 57 58 58 59
13
V. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................... 5.1 Kebijakan AMDAL............................................................................. 5.1.1 Peraturan Pemerintah tentang AMDAL...................................... 5.1.2 Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup ...................................................................... 5.1.3 Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan... 5.2 Kualitas Dokumen AMDAL Migas .................................................... 5.3 Kinerja Lingkungan Kegiatan Usaha Migas ....................................... 5.3.1 Tumpahan Minyak ..................................................................... 5.3.2 Kualitas Limbah Cair ................................................................. 5.3.3 Kualitas Udara dan Kebisingan.................................................. 5.3.4 Aspek Sosial Ekonomi ............................................................... 5.3.5 Nilai Ekonomi Lingkungan........................................................ 5.4 Kebutuhan Stakeholders ..................................................................... 5.5 Komponen Utama Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas.......... 5.6 Strategi Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas.......................... 5.6.1 Peningkatan Kualitas Dokumen AMDAL Migas ....................... 5.6.2 Penyempurnaan Prosedur Penyusunan AMDAL Migas............. 5.6.3 Penguatan Hukum dan Kelembagaan AMDAL Migas............... 5.7 Prioritas Strategi Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas ............ 5.8 Rumusan Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas ........................
63 63 63 72 75 79 106 107 110 115 120 128 137 142 148 149 153 156 160 166
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 169 6.1 Kesimpulan ........................................................................................ 169 6.2 Saran.................................................................................................... 170 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 172 LAMPIRAN..................................................................................................... 178
14
DAFTAR TABEL Tabel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Teks
Halaman
Hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan AMDAL dan valuasi ekonomi................................................................................................... Cadangan minyak bumi dan kondesat Indonesia tahun 2006 ................. Cadangan gas bumi Indonesia tahun 2006.............................................. Kegiatan usaha migas yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan yang diwajibkan menyusun AMDAL Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.17 tahun 2001 .......................... Skala banding secara berpasangan dalam AHP ...................................... Review kebijakan AMDAL dengan substansi penentuan dampak penting..................................................................................................... Review kebijakan AMDAL dengan substansi kerangka acuan............... Review kebijakan AMDAL dengan substansi ANDAL.......................... Review kebijakan AMDAL dengan substansi RKL................................ Review kebijakan AMDAL dengan substansi RPL ................................ Review kebijakan AMDAL dengan substansi kedudukan komisi penilai AMDAL ...................................................................................... Review kebijakan AMDAL dengan substansi pembiayaan .................... Kelemahan-kelemahan kebijakan AMDAL............................................ Analisis kualitas dokumen AMDAL....................................................... Frekuensi dan jumlah tumpahan minyak (barrel) periode 2003 –2005 .. Tumpahan minyak (barrel) periode 2000-2007 ...................................... Nilai ekonomi total ekosistem mangrove Ujung Pangkah, 2007............ Nilai ekonomi total ekosistem hutan sekunder Mandau, 2007 ...............
36 43 44 51 58 64 65 67 68 69 70 71 77 103 107 108 129 133
15
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31.
Teks
Halaman
Kerangka pikir penelitian........................................................................ Aktivitas pembangunan menimbulkan dampak ...................................... Perkembangan produksi minyak bumi indonesia ................................... Perkembangan produksi gas bumi indonesia .......................................... Tahapan penelitian .................................................................................. Volume tumpuhan minyak pada kegiatan hulu dan hilir migas.............. Kandungan minyak lemak di enam lokasi kegiatan usaha migas ........... Kandungan H2S di enam lokasi kegiatan usaha migas ........................... Kandungan COD di enam lokasi kegiatan usaha migas ......................... Kandungan Amoniak di enam lokasi kegiatan usaha migas................... Kandungan SO2 di enam lokasi kegiatan usaha migas ........................... Kandungan H2S di enam lokasi kegiatan usaha migas ........................... Kandungan NOx di enam lokasi kegiatan usaha migas........................... Kebisingan di enam lokasi kegiatan usaha migas ................................... Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kabupaten Bengkalis .............................................................................. Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kota Palembang ...................................................................................... Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kabupaten Sidoarjo................................................................................. Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kabupaten Muara Enim .......................................................................... Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kabupaten Musi Banyuasin .................................................................... Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kabupaten Morowali............................................................................... Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kabupaten Sorong................................................................................... Nilai ekonomi total ekosistem mangrove Ujung Pangkah, 2007............ Nilai ekonomi total ekosistem hutan sekunder Mandau, 2007 ............... Diagram alir penentuan komponen utama .............................................. Hasil analisis penentuan komponen utama ............................................. Diagram strategi peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas.......... Prosedur penyusunan AMDAL migas saat ini........................................ Diagram strategi penyempurnaan prosedur AMDAL migas .................. Diagram strategi penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL............ Strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas ................................ Diagram strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas ..................
7 18 45 46 55 109 111 112 113 114 116 117 118 119 121 122 123 124 125 126 127 132 134 143 144 150 154 155 156 160 168
16
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Teks
Halaman
Peta cadangan minyak bumi Indonesia ................................................... Peta cadangan gas bumi Indonesia.......................................................... Peta lokasi penelitian KKKS HESS Gresik Jawa Timur ........................ Peta lokasi penelitian PT. CPI Mandau Riau .......................................... Perkembangan aspek sosial ekonomi Kabupaten Bengkalis .................. Perkembangan aspek sosial ekonomi Kota Palembang .......................... Perkembangan aspek sosial ekonomi Kabupaten Sidoarjo..................... Perkembangan aspek sosial ekonomi Kabupaten Muara Enim .............. Perkembangan aspek sosial ekonomi Kabupaten Musi Banyuasin ........ Perkembangan aspek sosial ekonomi Kabupaten Morowali................... Perkembangan aspek sosial ekonomi Kabupaten Sorong....................... Nilai manfaat langsung ekosistem hutan mangrove Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur ............................................... Nilai manfaat tidak langsung ekosistem hutan mangrove Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur .................................... Nilai ekonomi total ekosistem mangrove Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur............................................................... Nilai manfaat langsung ekosistem hutan sekunder Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau...................................................... Nilai manfaat tidak langsung ekosistem hutan sekunder Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau...................................................... Nilai ekonomi total ekosistem hutan sekunder, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau..................................................................... Output analisis komponen utama pengembangan kebijakan AMDAL di masa datang dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas ............................................................................................. Hasil analytical hierarchy process strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas dalam mencegah kerusakan lingkungan .......................
178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 189 189 190 190 190 191 195
17
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang turut aktif dalam
menandatangani kesepakatan internasional tahun 1972 di Stockholm Swedia, terkait dengan penerapan konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu integrasi aspek lingkungan ke dalam proses pembangunan. Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dirumuskan sebagai suatu upaya mengelola sumberdaya alam dan lingkungan secara arif dan bijaksana untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan generasi yang akan datang dengan tanpa merusak dan menurunkan kualitas lingkungan (WCED, 1987). Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi negara terus meningkat dan fungsi lingkungan tetap lestari serta kondisi sosial masyarakat tetap stabil, harmonis dan sejahtera (Munasinghe, 1993). Pemanfaatan sumberdaya alam harus diusahakan secara cermat dan bijaksana agar tidak merusak kelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal tersebut berarti bahwa dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan, integrasi pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan merupakan syarat mutlak yang harus dianut dalam proses pembangunan disemua sektor. Salah satu upaya dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan adalah hasil pertemuan para pemimpin dunia yang sepakat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang diatur dalam Kyoto Protokol tahun 1997 dan telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 17 tahun 2004 tentang ratifikasi Kyoto Protokol. Keputusan Kyoto Protokol yang paling utama adalah kesepakatan negaranegara maju untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dengan mengurangi tingkat emisi sebanyak 5% dari tahun 1990. Keputusan lainnya adalah turut sertanya negara-negara berkembang dalam menjaga dan memelihara hutan melalui pemberian insentif karbon yang dapat dipakai untuk mengelola lingkungan (Murdiyarso, 2003). Tindakan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca merupakan bukti kesadaran manusia terhadap lingkungan yang kondisinya makin memperhatinkan.
18
Pemanasan global yang berdampak sangat besar terhadap lingkungan menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup manusia di muka bumi. Karbon dioksida (CO2) di atmosfer merupakan senyawa gas yang berpotensi menimbulkan pemanasan global. Gas tersebut dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia dalam pembangunan, diantaranya adalah produksi dan konsumsi energi serta aktivitas industri. Aktivitas produksi dan konsumsi energi merupakan penyumbang terbesar penghasil gas rumah kaca (GRK) berupa gas CO2 yang sangat berperan dalam peningkatan pemanasan global yakni sekitar 57%. Aktivitas tersebut mencakup pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak, gas dan batu bara sebagai sumber energi bagi keperluan rumah tangga, industri dan transportasi (Kristanto, 2002). Tingginya kontribusi gas CO2 di atmosfer yang bersumber dari penggunaan bahan bakar fosil tidak lain disebabkan oleh kebutuhan dunia terhadap energi yang sangat tinggi yakni diperkirakan mencapai 88% atau sekitar 13.700 metrik ton pada tahun 2030. Kondisi tersebut akan menyebabkan peningkatan emisi CO2 sekitar 43 miliar metrik ton. Disisi lain kontribusi kegiatan usaha migas dalam perubahan iklim adalah bersumber dari pembakaran sisa gas bumi dengan flare stake yang merupakan salah satu teknologi pengelolaan lingkungan namun masih menghasilkan gas CO2. Data Ditjen Migas (2007) menunjukkan bahwa pada tahun 2006 gas bumi yang dibakar di flare stake adalah sebesar 111.831.560 MSCF (306.388 MSCFD). Jumlah tersebut berasal dari kegiatan usaha migas di daratan sebesar 73.336.374 MSCF (200.922 MSCFD) dan di lepas pantai 38.495.185 MSCF (105.466 MSCFD). Menyadari akan pentingnya kebutuhan energi di satu sisi dan kelangsungan hidup manusia di sisi lain, maka upaya penurunan emisi gas CO2 sebagai upaya pelestarian fungsi lingkungan menjadi tanggung jawab semua pihak baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Upaya pencegahan kerusakan lingkungan hidup harus senantiasa dilakukan dengan prediksi dan antisipasi terhadap berbagai potensi dampak penting yang akan terjadi akibat adanya kegiatan pembangunan tersebut, sejak tahap perencanaan, tahap konstruksi, tahap operasi hingga tahap pasca operasi. Selanjutnya berbagai alternatif solusi untuk mencegah dan menanggulangi dampak, harus dirumuskan sejak awal yakni pada
19
tahap perencanaan kegiatan serta dievaluasi secara terus menerus pada tahapan kegiatan selanjutnya. Limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan migas juga sangat berpengaruh terhadap kualitas lingkungan perairan, berupa kandungan minyak dan H2S terlarut. WHO merekomendasikan kadar sulfat yang diperkenankan pada air minum sekitar 400 mg/liter dan kadar hidrogen sulfida (H2S terlarut) sekitar 0,05 mg/liter (Moore, 1991). Disamping itu, sulfur yang diemisikan dari bahan bakar fosil (minyak bumi) yang berlebihan di atmosfir (kualitas udara) dapat juga membentuk gas hidrogen sulfida (H2S) yang bersifat asam. Secara ekonomi kegiatan migas memberikan pengaruh yang besar terutama dalam peningkatan pendapatan penduduk karena dapat menyerap peluang tenaga kerja dari masyarakat setempat. Dengan demikian kegiatan minyak dan gas tersebut menjadi salah satu sumber perekonomian bagi masyarakat yang berada di sekitarnya. Namun bila dilihat secara ekologis dan kesehatan
lingkungan,
keberadaan
kilang
minyak
tersebut
berpotensi
menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat di sekitar lokasi. Permasalahan lingkungan yang terjadi di lokasi kegiatan migas diantaranya berupa peningkatan kadar debu, kebisingan, bau dan gangguan kenyamanan. Hasil survey PPLH UNRI (2004) menunjukkan bahwa penyakit ISPA yang disebabkan oleh debu merupakan penyakit yang paling banyak terjadi di masyarakat sekitar lokasi kilang minyak yaitu sebesar 42,7%. Kondisi tersebut semakin memprihatinkan, sehingga dibutuhkan kesadaran dan kepedulian akan pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya terpadu dalam pemanfaatan sumberdaya alam, sejalan dengan kebijakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sebagaimana yang diamanahkan dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, bahwa setiap orang berkewajiban memelihara pelestarian lingkungan, mencegah dan menanggulangi lingkungan. Demikian pula dinyatakan dalam UU No. 21 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, bahwa upaya preventif yang dilakukan adalah dengan mewajibkan semua kegiatan usaha migas untuk melakukan penanggulangan pencemaran lingkungan sejak tahap perencanaan hingga pasca operasi dan menjamin keteknikan yang baik.
20
Salah satu upaya pengelolaan lingkungan yang dapat dilakukan dalam mencegah terjadinya kerusakan lingkungan adalah dengan melakukan studi AMDAL. Dalam PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL dinyatakan bahwa analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan. AMDAL berfungsi sebagai upaya preventif dalam menjaga dan mempertahankan kualitas lingkungan serta menekan pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi serendah mungkin. Oleh karena itu dokumen AMDAL bersifat mengikat berbagai pihak yang terlibat di dalamnya serta mempunyai konsekuensi bagi status perijinan dari usaha dan atau kegiatan (Suratmo, 2002). Proses AMDAL kemudian bersifat wajib (mandatory) untuk dilakukan bagi setiap rencana usaha dan atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak penting. AMDAL terdiri atas kerangka acuan (KA), analisis dampak lingkungan (ANDAL), rencana pengelolaan lingkungan (RPL) dan rencana pemantuan lingkungan (RPL). KA adalah dokumen pertama yang berisi pedoman penyusunan ANDAL. ANDAL adalah kajian utama tentang dampak besar dan penting dari suatu usaha atau kegiatan. RKL adalah dokumen alternatif solusi yang dibuat dalam pengelolaan dampak lingkungan dari suatu kegiatan. RPL adalah dokumen yang berisikan alternatif pemantauan dampak dari suatu kegiatan. Dengan demikian AMDAL yang terdiri atas empat dokumen tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain, fleksibel dan terbuka untuk selalu dikoreksi dan menjadi salah satu sistem manajemen lingkungan (SML). SML adalah suatu sistem atau cara dalam menangani lingkungan hidup yang mencakup: 1) organisasi dan kebijakan lingkungan, 2) perencanaan, 3) implementasi dan operasi, 4) pengawasan dan tindakan koreksi, dan 5) pengkajian manajemen. SML lainnya dalam upaya pengelolaan lingkungan yang dapat dilakukan bagi perencana dengan penerapan ISO 14000. Namun penerapan ISO 14000 hanya bersifat voluntary (sukarela), sementara AMDAL bersifat mandatory (wajib).
21
AMDAL diperkenalkan pertama kali pada tahun 1969 oleh National Environmental Policy Act di Amerika Serikat. Penerapan sistem evaluasi laporan AMDAL di Kanada untuk proyek-proyek federal dikeluarkan oleh kabinet pada tanggal 20 Desember 1973. Sedangkan penerapan AMDAL di Indonesia dilakukan sejak dikeluarkannya PP No. 29 tahun 1986. Untuk sektor migas, studi lingkungan telah dimulai sejak tahun 1987 yang dikenal dengan dokumen studi evaluasi mengenai dampak lingkungan (SEMDAL) bagi kegiatan yang sudah berjalan dan dokumen AMDAL bagi kegiatan yang akan dilaksanakan berdasarkan PP No. 29 tahun 1986 (periode 1986-1993). Dokumen studi evaluasi mengenai dampak lingkungan (SEMDAL) terdiri atas: KA-SEL, SEL, RKL/RPL, sedang dokumen AMDAL terdiri atas: KA-ANDAL, ANDAL, RKL/RPL. Dokumen SEMDAL yang telah disetujui dalam periode 1986-1993 sebanyak 23 dokumen dan dokumen AMDAL sebanyak 16 dokumen. Sejak tahun 1993 studi SEMDAL ditiadakan, sehingga studi lingkungan keseluruhan dikenal dengan studi AMDAL untuk kegiatan yang berdampak penting berdasarkan PP No. 51 tahun 1993 (periode 1993-1997), jumlah dokumen yang telah disetujui sebanyak 22 dokumen. Pada tahun 1999 sampai sekarang dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka terjadi perubahan PP No. 51 tahun 1993 menjadi PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL, dengan perubahan mendasar antara lain komisi pusat AMDAL yang tadinya berada pada masing-masing sektor dibagi menjadi dua yakni: komisi pusat AMDAL berkedudukan di kementerian lingkungan hidup dan komisi daerah yang berkedudukan di propinsi dan kabupaten. Khusus untuk sektor migas karena merupakan industri yang strategis, sehingga berada di bawah komisi pusat AMDAL KLH. Sesuai PP No. 27 tahun 1999, bahwa kegiatan yang mempunyai dampak besar dan penting terhadap lingkungan harus menyusun dokumen AMDAL. Dokumen AMDAL yang telah disetujui hingga saat ini sebanyak 30 dokumen. Walaupun kebijakan AMDAL telah diterapkan pada kegiatan usaha migas lebih dari 20 tahun, namun masih terdapat persepsi negatif dari masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan kegiatan migas dan masih terdapat isu pencemaran lingkungan serta sering terjadi emergency (antara lain: tumpuhan
22
minyak). Mengingat pentingnya kegiatan pengelolaan lingkungan berdasarkan uraian di atas, maka kajian mengenai pengembangan kebijakan AMDAL dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas menjadi sangat penting untuk dilakukan. 1.2
Kerangka Pemikiran Kegiatan usaha migas di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1968.
Kegiatan tersebut meliputi: eksplorasi, eksploitasi, pengolahan pengangkutan dan pemasaran/niaga. Hingga saat ini terdapat sebanyak 115 kegiatan usaha migas yang beroperasi di Indonesia, sekitar 30% beroperasi di lepas pantai (off shore) dan 70% beroperasi di darat (on shore). Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam migas untuk memenuhi devisa dalam negeri dilakukan dengan berbagai upaya inovasi teknologi terutama dalam mencari sumber-sumber baru, teknik eksploitasi, teknik pengolahan, serta sistem ketataniagaan yang efektif dan efisien. Di sisi lain kegiatan tersebut juga menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan manusia. Kondisi demikian menjadi sangat dilematis. Oleh karena itu, mutlak dilakukan pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya sinergitas antara aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Dalam Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 dinyatakan bahwa setiap usaha dan atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting wajib dilengkapi dokumen AMDAL. Namun dalam peraturan perundang-undangan tersebut belum diatur secara komprehensif sejauh mana kedalaman studi AMDAL tersebut, yang merupakan studi ilmiah yang mengkaji dampak besar dan penting yang ditimbulkan dari suatu kegiatan terhadap komponen biologi, geologi, fisik, kimia serta sosial ekonomi dan budaya. Meskipun kebijakan AMDAL telah diterapkan sejak diterbitkannya PP No. 29 tahun 1986, PP No. 51 tahun 1993 dan PP No. 27 tahun 1999, namun hingga saat ini masih banyak permasalahan lingkungan yang muncul seperti pencemaran, degradasi lahan dan sumberdaya alam serta konflik sosial. Kondisi tersebut disebabkan karena masih lemahnya hasil kajian studi AMDAL yang dilakukan oleh pihak-pihak terlibat. AMDAL berperan sebagai instrumen SML untuk mencegah kerusakan lingkungan hidup. AMDAL merupakan kajian kelayakan lingkungan hidup
23
mengenai dampak besar dan penting tentang perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar dari suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup. Pesatnya aktivitas manusia dan pembangunan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan manusia hampir pasti selalu diiringi dengan timbulnya dampak lingkungan. Untuk menghindari timbulnya dampak lingkungan negatif yang tidak dapat ditoleransi tersebut, maka perlu dipersiapkan langkah-langkah operasional rencana pengendalian dampak lingkungan tersebut sekaligus dengan rencana pemantauannya dalam bentuk dokumen RKL dan RPL. Dengan demikian,
AMDAL
bertujuan
untuk
menjamin
tujuan-tujuan
proyek
pembangunan dalam upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat tanpa merusak kualitas lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan analisis efektifitas dan efisiensi kebijakan AMDAL dalam mencegah terjadinya kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Hasil analisis kebijakan diharapkan menghasilkan rumusan kebijakan implementatif yang lebih efektif dan efisien. Kegiatan Usaha Migas (1960)
Review Kebijakan AMDAL saat ini
Kegiatan Usaha Migas Berwawasan Lingkungan
Kebijakan AMDAL (1986)
Permasalahan Lingkungan
Perlu Kajian Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas yang
Pencemaran
Kualitas Dokumen AMDAL saat ini
Penilaian Kinerja Lingkungan Implementasi AMDAL
Konflik Sosial
Kebutuhan Stakeholders
Komponen Utama Kebijakan AMDAL Migas Strategi Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas
Prioritas Strategi Kebijakan AMDAL Migas
Rumusan Kebijakan AMDAL Migas yang Efektif dan Efisien dalam Mencegah Kerusakan Lingkungan
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
24
1.3
Perumusan Masalah Mencermati amanat dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan
lingkungan hidup dan PP No. 27 tahun 1999 tentang analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) maka permasalahan pengelolaan lingkungan pada dasarnya merupakan tanggung jawab semua pihak baik sebagai pelaku pembangunan maupun masyarakat. Sasaran pengelolaan lingkungan adalah terjaminnya mutu hidup generasi masa kini dan generasi yang akan datang tanpa merusak sumberdaya alam dan lingkungan. Namun kenyataannya selama kurang lebih 25 tahun sejak diterbitkannya undang-undang lingkungan hidup (UU No. 04 tahun 1982) dan telah lebih 20 tahun diterapkannya kebijakan AMDAL (PP No. 29 tahun 1986), kemajuan dari pengelolaan lingkungan hidup sangat lambat bahkan kualitas lingkungan cenderung turun, yang ditandai dengan seringnya terjadi gejolak-gejolak masyarakat, dan isu pencemaran serta seringnya terjadi tumpahan minyak, limbah B3 yang semakin menumpuk dan belum jelasnya solusi pengelolaannya. Akhir-akhir ini banyak sorotan bahwa dokumen AMDAL hanya bersifat formalitas karena yang seharusnya dokumen AMDAL disusun sebelum kegiatan berjalan yang merupakan studi kelayakan lingkungan tetapi dalam kenyataannya, dokuemen AMDAL disetujui oleh komisi AMDAL setelah kegiatan berjalan. Tiga faktor penting yang sangat berpengaruh dalam dokumen AMDAL: (a) peraturan perundang-undangan, (b) penyusun AMDAL dan pemrakarsa, (c) komisi penilai AMDAL dan tim teknis serta instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang terkait dari pusat dan daerah. Tiga faktor ini berpengaruh dalam penerapan prosedur dan substansi dokumen AMDAL untuk menentukan kualitas dokumen AMDAL. Apabila tiga faktor ini berjalan dengan baik maka kualitas AMDAL akan baik dan dapat bersifat operasional. Selanjutnya masuk tahap implementasi (pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan) serta pengawasan pelaksanaannya yang dilakukan oleh instansi terkait dan penegakan hukum. Prosedur penyusunan AMDAL yang telah berjalan selama ini adalah tim penyusun dokumen AMDAL ditunjuk oleh Pemrakarsa dan belum terakreditasi oleh pemerintah. Dalam hal ini pemrakarsa dimungkinkan dapat mempengaruhi
25
tim penyusun (tidak bersifat independen). Substansi dokumen AMDAL mengenai kajian-kajian analisis ekonomi, kajian dampak terhadap ekosistem sangat minim dan tidak memperhitungkan dampak perubahan lingkungan yang potensial (eksternalitas) yang tidak diatur secara jelas di dalam peraturan perundangundangan atau kebijakan saat ini sehingga dokumen AMDAL yang telah disetujui sulit untuk diimplementasikan oleh pemrakarsa. Penentuan isu pokok di dalam kerangka acuan (KA-ANDAL), serta penentuan dampak besar dan penting di dalam dokumen ANDAL masih bersifat umum, tidak dikaji secara komprehensif dan belum memasukkan kajian-kajian aspek ekologi, ekonomi dan sosial, sehingga penentuan dampak penting seringkali kurang tepat dan pada akhirnya dokumen AMDAL kualitasnya diragukan dan tidak bersifat operasional. Hal tersebut menyebabkan dokumen AMDAL yang merupakan acuan di dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan selama kegiatan berlangsung tidak dapat diterapkan di lapangan, sehingga mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan bahkan kerusakan lingkungan. Sesungguhnya dokumen AMDAL merupakan hasil studi kelayakan lingkungan yang mengkaji secara cermat dan mendalam tentang berbagai dampak penting yang akan terjadi, sehingga dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang akan dilaksanakan tidak layak atau layak lingkungan, maka kegiatan dapat ditolak dan atau sebaliknya. Proses persetujuan dokumen AMDAL dari KA-ANDAL, RKL dan RPL membutuhkan waktu paling cepat 2-3 tahun. Penilaian AMDAL yang dibantu oleh tim teknis dan para pakar hanya pada waktu rapat komisi seterusnya evaluasi untuk persetujuan AMDAL dilaksanakan oleh komisi dan disetujui oleh komisi. Dokumen AMDAL yang efektif dan efisien ditentukan dari peraturan perundangan dan atau kebijakan yang dipakai sebagai acuan di dalam penyusunan dokumen AMDAL tersebut, prosedur penyusunan AMDAL, waktu penyusunan, kualitas penyusun AMDAL dan pemrakarsa, kinerja komisi penilai dan tim teknis AMDAL serta kualitas dokumen AMDAL (substansi dokumen AMDAL) maka dirumuskan hal-hal sebagai berikut: 1. Kebijakan AMDAL yang ditetapkan selama ini belum efektif dan belum efisien, kekurangan dari peraturan perundangan yang sudah ada antara lain:
26
PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL yang tidak mengatur substansisubstansi untuk prakiraan dampak penting dan evaluasi dampak penting sehingga muncul isu bahwa dokumen AMDAL hanya bersifat formalitas dan mahal. 2. Kinerja komisi penilaian AMDAL belum efektif dan belum efisien yang menyebabkan kualitas AMDAL diragukan. keputusan menteri negara lingkungan hidup No. 40 tahun 2000 tentang pedoman tata kerja komisi penilai AMDAL, tim teknis tidak ikut memberikan evaluasi dalam penerbitan persetujuan AMDAL hanya ikut diwaktu penilaian sidang komisi. 3. Pelaksanaan dan waktu pengumuman masyarakat serta waktu penerbitan persetujuan dokumen AMDAL terlalu lama. Keputusan kepala Bapedal No. 08 tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat dalam proses AMDAL, menentukan waktu terlalu lama untuk mengumpulkan pendapat masyarakat dan berdasarkan PP. 27 tahun 1999 tentang AMDAL bahwa dokumen KAANDAL disetujui selama 75 hari kerja dan dokumen ANDAL, RKL, RPL disetujui juga selama 75 hari. 4. Kualitas tim penyusun AMDAL tidak independen dan ditunjuk langsung oleh Pemrakarsa. Sampai saat ini belum ada landasan hukum yang mengatur tentang konsultan penyusun AMDAL. 5. Pedoman penyusunan AMDAL lebih terfokus pada sistematika penulisan dokumen, sedangkan penentuan isu pokok dan prakiraan dampak besar dan penting serta evaluasi dampak penting tidak terdapat arahan metode-metode yang baku untuk aspek ekologi, ekonomi dan sosial, tidak memasukkan metode valuasi ekonomi (sesuai Kepdal No. 229 tahun 1996). Namun hanya disebutkan secara garis besar memakai metode formal/non formal, baik di dalam peraturan menteri negara lingkungan hidup No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan AMDAL maupun di dalam keputusan menteri energi sumberdaya mineral No.1457 tahun 2000 tentang pedoman penyusunan AMDAL kegiatan usaha migas. Dengan demikian maka pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
27
1. Bagaimana efektivitas dan efisiensi kebijakan AMDAL migas yang ada saat ini ? 2. Bagaimana merumuskan kebijakan AMDAL migas yang efektif dan efisien di masa mendatang ? 1.4
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah merumuskan kebijakan AMDAL yang efektif dan
efisien dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Untuk mencapai tujuan tersebut secara operasional dilakukan tahapan penelitian meliputi: 1. Mereview kebijakan AMDAL saat ini. 2. Menganalisis kualitas dokumen AMDAL migas. 3. Menganalisis kinerja lingkungan implementasi AMDAL kegiatan migas. 4. Menganalisis kebutuhan stakeholders terhadap kebijakan AMDAL migas dimasa mendatang 5. Merumuskan strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas. 1.5
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dari sisi ilmiah adalah sebagai upaya pengembangan
ilmu dan pengetahuan, khususnya kajian lingkungan yang menyangkut analisis mengenai dampak lingkungan dalam kegiatan usaha migas. Manfaat penelitian dari sisi praktis adalah sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan kebijakan AMDAL yang efektif dan efisien pada kegiatan usaha migas di masa datang serta sebagai acuan atau pedoman dalam penyusunan dokumen AMDAL migas. 1.6
Kebaruan Penelitian Kebaruan dari penelitian ini berupa kajian terhadap kebijakan AMDAL
yang efektif dan efisien yang terfokus pada substansi, prosedur dan kelembagaan di dalam AMDAL kegiatan usaha migas. Kebaruan dari aspek metode pendekatan yang digunakan yakni melibatkan semua stakeholder dengan teknik analisis yang terintegrasi antara FGD, PCA dan AHP serta valuasi ekonomi.
28
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan dan makhluk hidup termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (UU No. 23 tahun 1997). Lingkungan hidup sebagai suatu sistem yang terdiri atas: lingkungan alam (ecosystem), lingkungan buatan (technosystem) dan lingkungan sosial (sociosystem) dimana ketiga sub sistem ini saling berinteraksi dan membentuk suatu sistem yang dinamis. Ketahanan masingmasing sub sistem akan memberikan jaminan berkelanjutan yang tentunya akan memberikan peningkatan kualitas hidup setiap makhluk hidup didalamnya (Hendartomo, 2001). Masalah lingkungan hidup pada dasarnya timbul karena dinamika penduduk, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang kurang bijaksana serta kurang terkendalinya pemanfaatan akan ilmu pengetahuan dan teknologi maju. Dampak negatif yang sering timbul dari kemajuan ekonomi yang seharusnya positif dan memberikan manfaat yang besar terhadap manusia seringkali terjadi sebaliknya, manusia menjadi korban akibat dampak yang ditimbulkan dari aktivitas ekonomi yang dilakukan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup merupakan dua permasalahan yang paling banyak timbul, sebagai dampak dari kegiatan ekonomi dan pembangunan. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan
hidup
tidak
dapat
berfungsi
sesuai
dengan
peruntukannya, sedangkan kerusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (UU No. 23 tahun 1997). Dalam perspektif ekonomi lingkungan dipandang sebagai asset gabungan yang menyediakan berbagai jasa/fungsi yakni untuk mendukung kehidupan
29
manusia dan memenuhi kebutuhan manusia. Lingkungan menyediakan bahan baku yang ditransformasikan ke dalam bentuk barang dan jasa melalui proses produksi dan energi selanjutnya menghasilkan residual yang kembali ke lingkungan (Kusumastanto, 2000). Hubungan timbal balik antara aspek ekonomi dan sumberdaya alam dan lingkungan kemudian menjadi sangat penting. Ekstraksi terhadap sumberdaya alam yang dilakukan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan menghasilkan benefit dan limbah. Aktivitas manusia secara langsung maupun tidak langsung telah dan akan memberikan dampak terhadap resistensi sumberdaya alam dan lingkungan. Manusia melakukan aktivitas ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan sumberdaya alam (air, udara, tanah, hutan, minyak, dan ikan) namun disisi lain pemanfaatan tersebut juga menimbulkan residual (limbah) yang kembali ke lingkungan, dan berdampak terhadap kualitas lingkungan tersebut. Sebagai salah satu negara yang luas di dunia, Indonesia tidak hanya memiliki wilayah daratan dan perairan yang luas tetapi juga kaya dengan sumberdaya alam. Hutan tropis yang luasnya diperkirakan mencapai 144 juta hektar sangat kaya dengan ribuan jenis burung, ratusan jenis mamalia dan puluhan ribu jenis tumbuhan. Perairan yang luas menjadi tempat bagi perkembangan populasi ikan dan hasil perairan lainnya. Demikian pula dengan buminya yang mengandung deposit berbagai jenis mineral dalam jumlah yang tidak sedikit. Pengelolaan sumberdaya alam merupakan suatu hal yang sangat penting dibicarakan dan dikaji dalam kerangka pelaksanaan pembangunan nasional kita. Dengan potensi sumberdaya alam yang berlimpah sesungguhnya kita dapat melaksanakan proses pembangunan bangsa ini secara berkelanjutan tanpa harus dibayangi rasa cemas dan takut akan kekurangan modal bagi pelaksanaan pembangunan tersebut. Pemanfaatan secara optimal kekayaan sumberdaya alam ini akan mampu membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh bangsa Indonesia. Namun demikian perlu kita sadari eksploitasi secara berlebihan tanpa perencanaan yang baik bukannya mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan
30
namun malah sebaliknya akan membawa malapetaka yang tidak terhindarkan. Akibat dari pengelolaan sumberdaya alam (SDA) yang tidak memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan dapat kita lihat pada kondisi lingkungan yang mengalami degradasi baik kualitas maupun kuantitasnya. Hutan tropis yang kita banggakan setiap tahun luasnya berkurang sangat cepat, demikian juga dengan jenis flora dan dan fauna di dalamnya sebagian besar sudah terancam punah. Perairan yang sangat luas sudah tercemar sehingga ekosistemnya terganggu. Demikian juga dengan dampak eksploitasi mineral yang terkandung dalam perut bumi juga mulai merusak keseimbangan dan kelestarian alam sebagai akibat proses penggalian, pengolahan dan pembuangan limbah yang tidak dilakukan secara benar. Pengelolaan sumberdaya alam selama ini tampaknya lebih mengutamakan meraih keuntungan dari segi ekonomi sebesar-besarnya tanpa memperhatikan aspek sosial dan kerusakan lingkungan. Pemegang otoritas pengelolaan sumberdaya alam berpusat pada negara yang dikuasai oleh pemerintah pusat, sedangkan daerah tidak lebih sebagai penonton. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan cenderung bersifat sektoral, sehingga kadangkala menjadi kebijakan yang tumpang tindih. Sentralisasi kewenangan tersebut juga mengakibatkan pengabaian perlindungan terhadap hak azasi manusia. Selama puluhan tahun praktek pengelolaan sumberdaya alam tersebut dilaksanakan telah membawa dampak yang sangat besar bagi daerah. Berdasarkan implementasi dari UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang mendefinisikan tiga konsep utama dalam pembangunan berkelanjutan yaitu: kondisi SDA, kualitas lingkungan dan faktor demografi. Oleh karena itu perlu adanya optimalisasi usaha untuk menyusun penghitungan kualitas lingkungan. Tujuan dari penghitungan kualitas lingkungan adalah: a) memberikan deskripsi tujuan dari aktivitas manusia (sosial dan ekonomi) dan fenomena alami keadaan lingkungan dan demografi, b) memberikan informasi yang komprehensif untuk masyarakat dan pembuat kebijakan, c) sebagai alat yang sangat membantu dalam mengevaluasi pengelolaan demografi dan lingkungan (Landiyanto dan Wardaya, 2005).
31
Agar upaya pelestarian lingkungan berjalan secara efektif dan efisien serta berkelanjutan, dibutuhkan kebijakan untuk mewujudkan hal tersebut. Dalam skenario politik ekonomi yang rumit saat ini, amatlah penting untuk menetapkan kebijakan lingkungan dan sosial yang kuat disemua tingkatan. Demikian juga penegakan hukum harus berjalan secara efektif agar pelestarian keanekaragaman hayati dapat berjalan dengan baik. Kebijakan adalah peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan (mempengaruhi pertumbuhan) baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum. Kebijakan dikatakan efektif apabila penerapan kebijakan dan instrumennya dapat menghasilkan perubahan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Sedangkan dikatakan efisien jika kebijakan tersebut membutuhkan biaya yang rendah. Tahapan kebijakan terdiri dari fase formulasi kebijakan dan fase implementasi kebijakan, sedangkan analisis kebijakan aktivitas menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan Clay dan Shaffer (1984) dalam Sanim (2003). Salah satu tindakan pemerintah dalam analisis kebijakan lingkungan adalah dengan menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan dalam setiap pelaksanaan usaha atau kegiatan terhadap lingkungan hidup. AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Tujuan secara umum AMDAL adalah menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan serta menekan pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi serendah mungkin. AMDAL di Indonesia telah lebih dari 20 tahun diterapkan. Meskipun demikian berbagai hambatan dan masalah selalu muncul dalam penerapannya, seperti juga yang terjadi pada penerapan AMDAL di negara-negara berkembang lainnya. Dalam komisi penilai AMDAL, sangat jelas terlihat kerancuan dalam proses penilaian, dengan tidak adanya kriteria dan indikator penilaian yang standar, sehingga menjadikan proses penilaian AMDAL menjadi sangat subyektif. Kriteria dan indikator merupakan jembatan yang menghubungkan antara tujuan dan aksi yang dilakukan. Ada empat indikator untuk melihat keberhasilan sebuah kebijakan (Kusumastanto, 2003) yakni: 1) kebijakan tersebut harus
32
memiliki instrumen yang efektif untuk menjalankannya (policy tools) dengan kriteria: dapat diaplikasikan secara leluasa (discretionary) dan universal, serta dapat ditegakkan secara hukum dan memiliki kewenangan administratif yang mencakup aspek insentif dan regulatif, 2) kebijakan tersebut dapat memberikan dampak terhadap perekonomian domestik maupun global. Artinya, kebijakan itu mendapatkan dukungan/konsensus secara nasional (khususnya di level pemerintah dan legislatif) maupun internasional, 3) kebijakan tersebut harus efisien dan efektif secara ekonomi serta adil, sehingga mampu mendorong pertumbuhan dan pemerataan kesejahteraan rakyat, dan 4) kebijakan tersebut harus mampu mendorong kemandirian rakyat dan berlandaskan nilai-nilai luhur agama dan moralitas. Agar indikator atau persyaratan tersebut dapat terpenuhi, maka diperlukan beberapa pendekatan, yakni: 1) pendekatan pasar yang didukung oleh instrumen kebijakan yang diterapkan, misalnya pajak, pungutan, sanksi dan insentif serta disinsentif, 2) pendekatan kelembagaan. Aturan yang diterapkan dalam pendekatan ini harus dikenal dan diikuti secara baik oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dan memberi naungan serta konstrain terhadap mereka. Kebijakan ini mampu memberikan perlindungan dan pembatasan akses terhadap sumberdaya, adanya peraturan perundangan yang mendukungnya. Aturan ini ditulis secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, atau tidak ditulis formal sampai pada aturan adat dan norma masyarakat serta kearifan lokal. Aspek penting lainnya dari aturan tersebut adalah dapat diprediksi, essentially stable dan dapat diaplikasikan pada situasi berulang, 3) pendekatan percampuran pasar dan bukan pasar serta pendekatan kelembagaan yang efektif dan efisien. Pendekatan ini dapat menilai sumberdaya alam dan lingkungan secara wajar dan tidak undervalue, sehingga kesejahteraan yang hakiki bagi masyarakat Indonesia serta pembangunan yang bersifat lestari dapat terwujud. Optimalisasi nilai manfaat sumberdaya alam dan lingkungan yang ada bagi pengembangan wilayah secara berkelanjutan dan menjamin kepentingan umum secara luas, diperlukan intervensi kebijakan dan penanganan pengelolaan dalam pengembangan wilayah. Pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan dapat terselenggara secara optimal jika arah kebijakan pengembangan wilayah dan
33
tata ruang menjadi instrumen intervensi kebijakan dengan memperhatikan kepentingan stakeholders selain didukung oleh program-program sektoral yang melibatkan para pihak yang terkait dalam pengelolaan wilayah. Kebijakan dengan berbagai indikator dan pendekatan yang dilakukan merupakan upaya untuk senantiasa menjaga keberhasilan dalam implementasi kebijakan yang dilakukan. Dalam kaitannya dengan kebijakan pengelolaan lingkungan pada kegiatan usaha migas, berbagai undang-undang, peraturan pemerintah hingga keputusan menteri diterbitkan, sebagai upaya untuk menjaga keberlanjutan pembangunan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup. Dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup dinyatakan bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan, mencegah dan menanggulangi pencemaran. Kemudian dalam UU No. 22 tahun 2001 tentang migas dinyatakan bahwa semua kegiatan usaha migas wajib melakukan pengelolaan lingkungan hidup, mulai tahap perencanaan hingga pasca operasi. Artinya kegiatan usaha migas harus menyusun AMDAL sebelum kegiatan operasi baik kegiatan hilir maupun kegiatan hulu. 2.2 2.2.1
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Defenisi AMDAL Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian
mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan. AMDAL merupakan bagian kegiatan studi kelayakan perencanaan usaha dan atau kegiatan dan merupakan syarat untuk mendapatkan izin usaha yang mana hasil dari AMDAL digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah. AMDAL adalah hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang direncanakan
terhadap
lingkungan
hidup
yang
diperlukan
bagi
proses
pengambilan keputusan. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL dirumuskan sebagai suatu analisis mengenai dampak lingkungan dari suatu proyek yang meliputi pekerjaan evaluasi dan pendugaan dampak proyek dari pembangunannya (Suratmo, 2002).
34
Dampak lingkungan adalah perubahan yang terjadi dalam lingkungan akibat adanya aktivitas manusia. Aktivitas tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, kimia, fisik maupun biologi. Dampak kemudian menjadi permasalahan akibat perubahan yang terjadi dan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan. Dampak dalam kaitannya dengan pembangunan memiliki dua batasan yakni: 1) Dampak pembangunan terhadap lingkungan yakni perbedaan antara kondisi lingkungan sebelum ada pembangunan dan setelah ada pembangunan, 2) Dampak pembangunan terhadap lingkungan, yakni perbedaan antara kondisi lingkungan yang diperkirakan terjadi tanpa adanya pembangunan dan yang diperkirakan terjadi dengan adanya pembangunan tersebut (Mun, 1979 dalam Sumarwoto, 2005). Lebih jauh Clark (1978) dalam Sumarwoto (2005) bahwa aktivitas pembangunan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat menimbulkan efek yang tidak direncanakan di luar sasaran yaitu yang disebut dampak. Dampak dapat bersifat biofisik dan atau sosial-ekonomi-budaya yang memiliki pengaruh terhadap sasaran yang ingin dicapai. Dampak primer dapat menimbulkan dampak sekunder dan tersier. Lebih rinci, tampak pada Gambar 2.
Dampak
Kegiatan
Dampak
Pembangunan Dampak SosialEkonomi-Budaya
Dampak Biofisik
Dampak Biofisik
Dampak Primer
Dampak SosialEkonomi-Budaya
Dampak Sekunder
Kenaikan Kesejahteraan
Tujuan
Gambar 2 Aktivitas pembangunan menimbulkan dampak (Clark, 1978 dalam Suratmo, 2002)
35
Dampak yang muncul kemudian harus teridentifikasi dan diketahui secara dini, apakah dampak tersebut menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup. Untuk mengukur dan menentukan dampak besar dan penting tersebut, digunakan beberapa kriteria yakni: a) besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan atau kegiatan, b) luas wilayah penyebaran dampak, c) intensitas dan lamanya dampak berlangsung, d) banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak, e) sifat kumulatif dampak dan f) sifat berbalik (reversible) dan tidak berbalik (irreversible) dampak (Hendartomo, 2001). Mengacu pada PP No. 27 tahun 1999 pasal 3 ayat 1 bahwa usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi: a) pengubahan bentuk lahan dan bentang alam, b) eksploitasi sumberdaya alam baik yang terbaharui (renewable) maupun yang tak terbaharui (non-renewable), c) proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumberdaya alam dalam pemanfaatannya, d) proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan dan lingkungan sosial budaya, e) proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi
pelesatarian
kawasan
konservasi
sumberdaya
dan
atau
perlindungan cagar budaya, dan f) introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jenis jasad renik. Tujuan umum AMDAL adalah menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan serta menekan pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi serendah mungkin. Sementara tujuan studi AMDAL adalah mengidentifikasi rencana
kegiatan
yang
diperkirakan
menimbulkan
dampak
penting,
mengidentifikasi komponen atau parameter lingkungan yang akan terkena dampak penting, melakukan prakiraan dan evaluasi dampak penting sebagai dasar untuk menilai kelayakan lingkungan, menyusun strategi pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Menurut Mukono (2005) bahwa tujuan dan sasaran AMDAL adalah untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan dapat berjalan secara berkesinambungan tanpa merusak lingkungan hidup. Dengan melalui studi AMDAL diharapkan usaha dan/atau kegiatan pembangunan dapat memanfaatkan
36
dan mengelola sumberdaya alam secara efisien, meminimumkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positip terhadap lingkungan hidup. Untuk itu, AMDAL diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang pelaksanaan rencana kegiatan yang mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup. Proses AMDAL kemudian menjadi wajib dilakukan bagi setiap rencana usaha dan atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak penting. 2.2.2
Landasan Hukum Pelaksanaan AMDAL Landasan hukum pelaksanaan AMDAL migas di Indonesia adalah:
1. UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. 2. Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL. 3. Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. 4. Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1974 tentang pengawasan pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai. 5. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran dan atau perusakan laut. 6. Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara. 7. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 11 tahun 2006 tentang jenis rencana usaha dan atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL. 8. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan AMDAL. 9. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 02 tahun 1998 tentang pedoman penetapan baku mutu lingkungan. 10. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 42 tahun 1996 tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan minyak dan gas serta panas bumi. 11. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 48 tahun 1998 tentang baku mutu tingkat kebisingan. 12. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 02 tahun 2000 tentang panduan penilaian dokumen AMDAL.
37
13. Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No. 1457 tahun 2000 tentang pedoman teknis pengelolaan lingkungan dibidang pertambangan dan energi. 14. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 08 tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses AMDAL. 15. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 299 tahun 1996 tentang pedoman teknis kajian aspek sosial dalam penyusunan AMDAL. 2.2.3
Prosedur Pelaksanaan AMDAL Proses pelaksanaan AMDAL terdiri atas: 1) penapisan (screening) atau
penentuan rencana kegiatan wajib AMDAL atau tidak, 2) pelingkupan (scoping) adalah proses pemusatan studi pada hal-hal penting yang barkaitan dengan dampak penting. Pelingkupan dampak penting yakni identifikasi dampak penting, evaluasi dampak potensial dan pemusatan dampak penting. Pelingkupan wilayah studi dengan memperhatikan batas proyek, batas ekologi, batas sosial, dan batas administratif.
Beanlands
dan
Dunker
(1983)
dalam
Suratmo
(2002)
mengelompokkan scoping sosial yaitu scoping yang menetapkan dampak penting berdasarkan pandangan dan penilaian masyarakat. Scoping ekologis adalah proses dari scoping yang menetapkan dampak penting berdasarkan nilai-nilai ekologi atau peranannya di dalam ekologi, 2) penyusunan dokumen kerangka acuan (KAANDAL) merupakan ruang lingkup kajian analisis mengenai dampak lingkungan yang merupakan hasil pelingkupan yang memuat isu pokok yang perlu dikaji di dalam dokumen AMDAL, 3) melaksanakan studi analisis dampak lingkungan (ANDAL) adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan atau kegiatan yang direncanakan, 4) penyusunan rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) adalah upaya pengelolaan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan atau kegiatan, dan 5) penyusunan rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha dan atau kegiatan.
38
Proses AMDAL tersebut menghasilkan empat buah dokumen AMDAL terdiri atas: a) dokumen KA-ANDAL, b) dokumen ANDAL, c) dokumen RKL dan d) dokumen RPL. Untuk menghasilkan keempat dokumen tersebut, dilakukan prosedur pelaksanan AMDAL yakni: a) penapisan (screening), b) proses pengumuman dan konsultasi masyarakat, c) penyusunan dan penilaian KAANDAL, dan penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL dan RPL (Hendartomo, 2001). Proses penapisan merupakan proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yakni untuk menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib AMDAL atau tidak, sementara proses pengumuman dan konsultasi masyarakat didasarkan pada UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa: a) setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya, b) setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup dan c) lembaga swadaya masyarakat berperan sebagai penunjang bagi pengelolaan lingkungan hidup serta mengacu pada keputusan Kepala Bapedal No. 08 tahun 2000, bahwa pemrakarsa wajib mengumunkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut menanggapi masukan yang diberikan dan melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL. Berdasarkan undang-undang dan kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut maka tujuan dasar dari partisipasi masyarakat di Indonesia ialah: a) mengikutsertakan
masyarakat
dalam
pengelolaan
lingkungan
hidup,
b)
mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan negara dan c) membantu pemerintah untuk dapat mengambil kebijakan dan keputusan yang lebih baik dan tepat. Diharapkan manfaat dari partisipasi masyarakat dalam penyusunan dokumen AMDAL pada suatu kegiatan usaha yaitu: 1) masyarakat mendapatkan informasi
mengenai
rencana
pembangunan
didaerahnya
sehingga
dapat
mengetahui dampak apa yang akan terjadi baik yang positif maupun yang negatif dan cara menanggulangi dampak negatif yang akan dan harus dilakukan. 2) masyarakat akan ditingkatkan pengetahuannya mengenai masalah lingkungan,
39
pembangunan, dan hubungan pembangunan dengan lingkungan sehingga pemerintah dapat menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran masyarakat akan tanggung jawabnya dalam pengelolaan lingkungan hidup dan 3) masyarakat dapat menyampaikan informasi dan pendapatnya atau persepsinya kepada pemerintah terutama masyarakat di tempat proyek yang akan terkena dampak. Implementasi AMDAL sangat perlu disosialisasikan tidak hanya kepada masyarakat namun perlu juga pada para calon investor agar dapat mengetahui perihal AMDAL di Indonesia. Karena proses pembangunan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi, sosial dan budaya. Dengan implementasi AMDAL yang sesuai dengan aturan yang ada, maka diharapkan akan berdampak positif pada pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (Mukono, 2005). AMDAL didasarkan atas berbagai regulasi nasional yang telah ditetapkan dengan baik serta berbagai acuan yang dikenal di seluruh sektor utama di pemerintahan. Prosedur review dan persetujuan secara relatif telah menjadi kebiasaan yang diterima dengan baik di dalam organisasi dan berlaku secara umum di tingkat nasional dan propinsi, berdasarkan komite administratif dan teknis lintas pemerintahan. Sistem tersebut didukung oleh suatu jaringan pusat studi lingkungan yang menyediakan berbagai masukan teknis, pelatihan formal dan kendali mutu, sementara berbagai reformasi penting juga telah dilakukan untuk mencoba menstimulasi keterlibatan publik dalam jumlah yang lebih besar dalam AMDAL (Purnama, 2003). Secara lebih rinci prosedur teknis penyusunan dokumen AMDAL di Indonesia sebagaimana termaktub dalam PP No. 27 tahun 1999 terdiri atas: 1. Pemrakarsa kegiatan menyampaikan ke instansi yang bertanggung jawab terhadap rencana kegiatan. 2. Instansi yang bertanggung jawab berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 17 tahun 2001 yang telah direvisi menjadi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 11 tahun 2006 tentang kegiatan-kegiatan yang wajib AMDAL. 3. Pemrakarsa diwajibkan melakukan pengumuman masyarakat dalam waktu 30 hari kerja dan selanjutnya menunggu tanggapan dari masyarakat.
40
4. Pemrakarsa menyusun kerangka acuan (KA-ANDAL). 5. Kerangka acuan dinilai oleh tim teknis, pakar pada sidang komisi. 6. Komisi AMDAL menerbitkan surat keputusan kelayakan dalam waktu 75 hari kerja. 7. Pemrakarsa menyusun AMDAL bersama dengan pihak ketiga yang ditunjuk oleh pemrakarsa. 8. Dokumen AMDAL dinilai oleh tim teknis dan para pakar pada sidang komisi (sidang komisi 1 dan sidang komisi 2). 9. AMDAL disetujui dalam jangka 75 hari kerja. AMDAL bukanlah suatu proses yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari proses AMDAL yang lebih besar dan lebih penting sehingga AMDAL dapat dikatakan berguna bagi pengelolaan lingkungan, pemantauan lingkungan, pengelolaan proyek, pengambilan keputusan, dan menjadi dokumen yang penting. Sedangkan peranan AMDAL dalam pengelolaan kegiatan yakni sebagai: a) fase identifikasi, b) fase studi kelayakan, c) fase desain kerekayasaan (engineering design) atau disebut juga sebagai fase rancangan, d) fase pembangunan proyek, e) fase proyek berjalan atau fase proyek beroperasi, dan f) fase proyek telah berhenti beroperasi atau pascaoperasi. Lingkupan dan fase-fase dalam proses penyusunan AMDAL tersebut memerlukan pengembangan metodologi. Metode yang dipakai dalam penentuan dampak besar dan penting antara lain: 1. Metode Leopold ini juga dikenal sebagai Matriks Leopold atau matriks interaksi dari Leopold. Metode matriks ini mulai diperkenalkan oleh Leopold dan teman-temannya pada tahun 1971. Matriks yang diperkenalkan adalah matriks dari 100 macam aktivitas dari suatu proyek dengan 88 komponen lingkungan.
Identifikasi dampak lingkungan dari proyek ditulis dalam
interaksi antara aktivitas dan komponen lingkungan. Macam-macam aktivitas proyek dan komponen-komponen lingkungan dalam Matriks Leopold. Aktivitas proyek dibagi menjadi 100 aktivitas yang terdiri dari 10 kelompok: a) modifikasi areal 13 aktivitas, b) perubahan lahan dan pembuatan bangunan fisik, c) ekstraksi sumberdaya, d) pemrosesan, e) perubahan lahan, f) pembaharuan sumberdaya, g) perubahan lalu lintas, h) penempatan dan
41
pengolahan limbah, i) pengolahan bahan kimia dan j) kecelakaan. Komponen lingkungan dibagi menjadi 88 yang terdiri dari 5 kelompok sebagai berikut: a) fisik dan kimia yang terdiri dari bumi, air, atmosfer dan proses, b) keadaan biologi yang terdiri dari flora dan fauna dan c) sosial budaya yang terdiri dari tata guna lahan, rekreasi, estetika dan minta masyarakat, status budaya, fasilitas dan aktivitas buatan manusia, ekologi dan lain-lain komponen. 2. Metode yang diperkenalkan Moore tahun 1973 dikenal pula dengan nama Matriks dampak dari Moore. Keistimewaan dari metode Moore adalah dampak lingkungan dilihat dari sudut dampak pada kelompok daerah yang sudah atau sedang dimanfaatkan manusia atau dapat digambarkan pula sebagai proyek pembangunan manusia lainnya. 3. Metode yang dikembangkan Sorenson pada tahun 1971 merupakan analysis networks yang pertama. Disusun untuk digunakan pada proyek pengerukan dasar laut (dreging). Bentuk jaringan kerja ini diberi nama sebagai aliran dampak. Penggunaan metode-metode tersebut merupakan metode standar yang umumnya digunakan dalam penyusunan AMDAL. Selain itu untuk lebih mengetahui sisi AMDAL di Indonesia, berbagai pengalaman penyusunan AMDAL di negara maju dan berkembang dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan ke arah yang lebih baik. AMDAL negara lain diambil untuk melihat kegiatan usaha AMDAL di negara berkembang yaitu Filipina dan negara maju yakni Kanada. 1. Philipina Pedoman sistem evaluasi laporan AMDAL di Filipina ditetapkan pada tahun 1978 oleh National Environmental Protection Council (NEPC) yang berada di bawah departemen sumberdaya alam. Skema dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut: Langkah pertama NEPC menetapkan instansi mana yang akan menjadi instansi yang bertanggung jawab atau lead agency dari proyek yang diusulkan. Langkah kedua pemrakarsa proyek menyampaikan usulan proyeknya dengan laporan Initial Environmantal Evaluation (IEE) atau PIL yang disusun
42
menyampaikan usulan proyeknya dengan pemerintah kepada instansi yang bertanggung jawab. Langkah ketiga instansi yang bertanggung jawab mengevaluasi usulan dan laporan IEE untuk menetapkan perlu studi AMDAL atau tidak. Hasil evaluasi yang merupakan tiga kemungkinan sebagai berikut: a) apabila diputuskan perlu studi AMDAL maka pemrakarsa proyek diberitahu untuk menyelenggarakan studi ANDAL, b) apabila diputuskan tidak perlu mengadakan studi AMDAL maka proses perizinan dapat dilakukan untuk dapat membangun proyek, c) apabila instansi yang bertanggung jawab ragu-ragu atau tidak tahu maka instansi ini dapat berkonsultasi dan menanyakan kepada NEPC. Langkah keempat adalah langkah yang harus dilakukan pemrakarsa proyek apabila ditetapkan harus melakukan studi ANDAL. Maka pelaksanaan studi ANDAL merupakan tanggung jawab pemrakarsa proyek dan kemudian menyusun laporan draft ANDAL. Masih disebut draft karena belum dievaluasi dan belum disetujui oleh yang mengevaluasi. Langkah kelima menyerahkan laporan draft ANDAL kepada instansi yang bertanggung jawab. Instansi yang bertanggung jawab mengirim ke instansiinstansi lain yang erat hubungannya dengan proyek (berdasarkan suatu pedoman atau suatu surat keputusan) untuk mendapatkan pendapat-pendapat atau saransarannya. Instansi yang bertanggung jawab tersebut juga menetapkan apakah usulan proyek ini perlu dengar pendapat atau public hearing karena tidak semua proyek harus ada dengar pendapat. Apabila dianggap perlu pemrakarsa proyek diberitahu. Apabila ditetapkan perlu dengar pendapat maka instansi yang bertanggung jawab menyelenggarakan dengar pendapat. Langkah keenam merupakan kesibukan dari instansi yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan semua pendapat-pendapat dari berbagai instansi yang ikut mengevaluasi (secara tertulis) dan hasil dari dengar pendapat kalau diadakan, kemudian mengirimkannya ke NEPC. NEPC menyusun reviews dari laporan draft, pendapat-pendapat dari berbagai instansi pemerintah dan dengar pendapat apabila ada. NEPC menyampaikan hasil reviews kepada instansi yang bertanggung jawab. Instansi yang bertanggung jawab meneruskan reviews ke pemrakarsa proyek. Pemrakarsa proyek berdasarkan review termasuk saran-saran
43
dari NEPC menyusun laporan akhir AMDAL dan dikirim ke instansi yang bertanggung jawab. 2. Kanada Sistem evaluasi laporan AMDAL di Kanada yang berlaku untuk proyekproyek federal dikeluarkan oleh kabinet pada tanggal 20 Desember 1973. Sistem evaluasi di Kanada disebut sebagai Environmental Assestment and Review Process (EARP) atau proses pendugaan dampak dan review. Berdasarkan pedoman yang telah diperbaiki dan dikeluarkan pada tahun 1979, pedoman sistem evaluasi yang dikeluarkan tahun 1973 tersebut terus dilakukan penyempurnaan, di antaranya penyempurnaan pedoman pada tahun 1979, tahun 1984, dan pada tahun 1985 sedang disempurnakan lagi pada bagian penyaringan dan pelaksanaan PIL. Secara garis besar skema tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Pemrakarsa proyek menyampaikan usulannya kepada instansi yang bertanggung jawab terhadap proyek tersebut dan melakukan penyaringan atau screening untuk menilai potensi dampak lingkungan dari proyek. Pedoman dari penyaringan dibuatkan oleh kantor lingkungan yang disebut The Federal Environtmental Assestment Review Office (FEARO) dalam pekerjaannya memberikan laporannya langsung kepada Menteri Lingkungan Federal.
2.
Secara garis besar kesimpulan dari penyaringan tersebut adalah: a) proyek yang tidak ada dampak negatifnya atau dampak negatifnya ada tetapi tidak nyata atau penting atau telah tersedia teknologi yang dapat menekan atau menghilangkan dampak tersebut maka proyek tersebut dapat dibangun tanpa PIL atau ANDAL, b) proyek yang mempunyai potensi dampak lingkungan yang tidak atau belum diketahui maka perlu dilakukan studi IEE atau PIL yang kemudian akan dilakukan penyaringan kembali untuk menentukan apakah potensi dampaknya nyata atau tidak. Kalau dianggap perlu mengadakan review dari dengar pendapat masyarakat, maka suatu panel yang dibentuk oleh FEARO akan menyelenggarakan penyaringan tersebut. Bila penyaringan menghasilkan kesimpulan bahwa potensi dampak lingkungan tidak dapat diterima atau tidak diizinkan terjadi maka proyek tersebut dapat ditolak untuk dibangun atau apabila pemrakarsa proyek
44
bersedia mengadakan perubahan dalam usulan proyeknya maka akan dapat dilakukan evaluasi atau penyaringan lagi. Kalau hasil dari studi PIL menyimpulkan bahwa proyek tersebut potensi dampaknya tidak ada atau tidak nyata atau tersedia teknologi untuk menekan proyek tersebut boleh dibangun tanpa membuat ANDAL tetapi kalau hasil penyaringan menunjukkan dampak negatif nyata dan penting proyek tersebut harus melakukan ANDAL. Dua langkah pertama yaitu penyaringan dan studi PIL masih merupakan tanggung jawab instansi atau departemen yang bertanggung jawab mengenai proyek, sedang FEARO dan Departemen Lingkungan belum ikut berperan walaupun konsultasi dan permintaan pedoman penyaringan dan IEE diminta dari FEARO. 3.
Apabila ada proyek yang diputuskan oleh instansi yang bertanggung jawab bahwa proyek tersebut perlu melakukan studi AMDAL maka usulan proyek dikirim ke FEARO. Kemudian FEARO akan membentuk suatu kelompok ahli yang disebut panel khusus untuk menangani ANDAL proyek tersebut. Biasanya panel ini terdiri dari empat sampai delapan anggota yang dipilih berdasarkan keahliannya dan pengalamannya yang berhubungan dengan AMDAL, proyek tersebut, pengetahuan dan pengalaman dalam lingkungan dan dampak sosial pada proyek tersebut. Ketua FEARO atau wakilnya yang ditunjuk akan menjadi sekretaris eksekutif dari panel.
4.
Setelah panel dibentuk maka panel menyusun pedoman atau TOR mengenai penyusunan analisis dampak lingkungan (ANDAL) khusus untuk usulan proyek tersebut dan menyampaikan kepada pemrakarsa proyek untuk dijalankan. Dalam penyusunan pedoman tersebut panel juga mengadakan konsultasi dengan instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang sangat erat hubungannya dengan proyek tersebut dan juga masyarakat.
5.
Kemudian pemrakarsa atau konsultasi yang diminta bantuannya melakukan studi ANDAL dan menyusun laporan ANDAL. Dalam melakukan studinya atau penyusunan laporan ANDAL-nya selalu dapat melakukan konsultasi dengan panel.
6.
Hasil laporan ANDAL akan langsung dievaluasi oleh panel apakah sudah cukup baik atau masih ada kekurangan dan kalau masih ada kekurangan
45
pemrakarsa proyek harus melengkapinya. Dalam melakukan evaluasi laporan ini panel dapat meminta bantuan pendapat dari berbagai instansi yang erat hubungannya dengan proyek. 7.
Apabila laporan ANDAL tersebut sudah dinilai baik dan diterima oleh panel maka panel lalu menyelenggarakan review. Dalam review ini panel mengumpulkan pendapat-pendapat dari berbagai instansi teknis dan masyarakat baik secara tertulis maupun secara lisan dalam suatu pertemuan. Bila panel akan menyelenggarakan dengar pendapat masyarakat atau public hearing, maka biasanya diselenggarakan di tempat proyek yang akan dibangun. Dengan demikian masyarakat setempat yang akan terkena dampak dapat memberikan pendapatnya.
8.
Setelah semua pendapat-pendapat baik dari instansi-instansi pemerintah, ahli-ahli, dan masyarakat maka panel melakukan evaluasi pendapat-pendapat dan menyusun sarannya atau rekomendasinya mengenai proyek tersebut langsung kepada menteri lingkungan dan menteri yang bertanggung jawab atas proyek tersebut. Dalam menyusun rekomendasi tersebut panel selalu dapat berkonsultasi dengan kedua menteri tersebut. Apabila proses review yang dilakukan oleh panel selesai maka akan disusun suatu laporan hasil review untuk menteri lingkungan yang biasanya sebagai berikut : a) sejarah kejadian-kejadian yang berhubungan dengan pembangunan proyek, b) deskripsi dari proyek, c) keadaan dan sifat lingkungan dari lokasi yang dimasukkan akan dibangun proyek tersebut, d) dampak lingkungan dan sosial dari proyek dalam review termasuk pendapat instansi pemerintah, ahliahli, dan masyarakat, e) kesimpulan dan saran atau rekomendasi dari panel mengenai pelaksanaan pembangunan proyek. Saran dari panel dapat berbentuk tiga kemungkinan sebagai berikut: a) proyek boleh dibangun atau dijalankan sesuai dengan rencana, b) proyek boleh dibangun tetapi dengan perubahan baik dalam proyeknya ataupun pengelolaan lingkungan, c) proyek tidak boleh dibangun.
9.
Menteri lingkungan dan menteri yang bertanggung jawab atas proyek akan mempertimbangkan saran panel apakah dapat diterima. Bila kedua menteri telah
mendapatkan
suatu
kesepakatan
maka
menteri
lingkungan
46
mengeluarkan keputusan yang akan dilaksanakan oleh departemen atau instansi yang bertanggung jawab atas proyek. Namun apabila kedua menteri tidak menemukan kesepakatan, maka persoalan tersebut akan dibawa ke kabinet untuk diputuskan. 2.3
Kegiatan Minyak dan Gas Bumi Berdasarkan UU No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi. Minyak
bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Gas bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan minyak dan gas bumi. Bahan bakar minyak adalah bahan bakar yang berasal dan atau diolah dari minyak bumi. Kegiatan migas meliputi eksplorasi, eksploitasi, pemurnian/pengolahan dan pengangkutan/pemasaran. Pada saat ini terdapat kurang lebih 115 perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia, baik yang berstatus eksplorasi maupun produksi. Perusahaan-perusahaan tersebut sekitar 70% beroperasi di darat (on shore) dan sekitar 30% beroperasi di lepas pantai (off shore) baik di laut dangkal maupun di laut dalam. Operasi di laut dangkal antara lain di Laut Jawa, Kalimantan Timur, dan Sumatera sedangkan yang operasi di laut dalam mencakup perairan laut Makasar, Natuna, Irian Jaya dan Selat Malaka. Kegiatan migas pada masa mendatang dengan kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan dimungkinkan untuk mencari cebakan minyak pada daerah-daerah "frontier" khususnya Indonesia bagian Timur ke arah laut dalam. Sebagaimana pengembangan migas 25 tahun mendatang antara lain meningkatkan produksi dan pengembangan lapangan-lapangan migas lepas pantai (off shore) yang sudah berproduksi, meningkatkan eksplorasi ke kawasan timur
47
Indonesia seperti cekungan Makassar, Irian Jaya dan juga kawasan karat Indonesia. Kegiatan migas di Indonesia tersebar pada beberapa kepulauan yaitu di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan serta Irian Jaya meliputi: 1. Kegiatan hulu terdiri dari eksplorasi dan eksploitasi, kegiatan eksploitasi yaitu: a) kegiatan pemboran eksplorasi untuk mencari cadangan minyak kegiatan ini tidak berdampak penting sesuai keputusan menteri LH No. 11 tahun 2006 tidak mewajibkan menyusun AMDAL, b) kegiatan eksploitasi yaitu kegiatan operasi produksi, memproduksi minyak dan pemboran sumursumur produksi, c) kegiatan yang berstatus eksplorasi dan produksi (hulu) antara lain :1) Pertamina eksplorasi: Sumatera Utara, Sumatera bagian tengah (Riau, Sumatera Selatan), Jawa Barat (Cirebon, Cepu), Kalimantan, dan Papua, 2) kontraktor/kontrak kerja sama (KKS), swasta-swasta asing maupun nasional antara lain, Chevron Pasifik Indonesia (CPI), Total Indonesia, UNOCAL, CONOCO Phillip, CNOOC, dan Petrochina. 3) JOB : Joint Operation Body dan 4) TAC Technic Assistance Contract. 2. Kegiatan hilir terdiri dari: a) unit pengolahan minyak (UP) yaitu pengelolaan minyak untuk menjadi produk BBM antara lain : UP I Pangkalan Berandan, UP II Dumai, UP III Pelaju Sungai Gerong, UP IV Cilacap, UP V Balikpapan, UP VI Balongan dan UP VII Sorong, b) unit pengolahan gas LPG dan LNG, dan c) kegiatan niaga/pemasaran yang tersebar di seluruh Indonesia. 2.4
Konsep Valuasi Ekonomi Valuasi ekonomi adalah suatu upaya untuk memberikan nilai kuantitatif
terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan terlepas dari apakah nilai pasar (market price) tersedia atau tidak (Fauzi, 1999). Akar dari konsep penilaian ini sebenarnya berlandaskan dari teori ekonomi neoklasikal yang menekankan pada kepuasan atau keperluan konsumen. Berdasarkan pemikiran neo-klasik ini dikemukakan bahwa setiap individu pada barang dan jasa tidak lain adalah selisih antara keinginan membayar (willingness to pay) dengan biaya untuk mensuplai barang dan jasa tersebut (Barbier, 1995).
48
Nilai ekonomi dapat diartikan sebagai ukuran jumlah keinginan maksimum seseorang yang bersedia mengorbankan barang dan jasa untuk mendapatkan barang dan jasa lainnya. Konsep ini sering disebut sebagai keinginan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam (tidak selalu bahwa nilai tersebut harus diperdagangkan untuk mengukur nilai moneternya). Sebaliknya dapat diukur dari sisi lain yakni seberapa besar masyarakat harus diberikan kompensasi untuk menerima pengorbanan atas hilangnya barang dan jasa dari sumberdaya dan lingkungan. Dalam memberikan penilaian terhadap hasil dari suatu kegiatan, perlu diketahui urutan dalam memberikan penilaian (Suparmoko, 2000), yaitu: 1) mengidentifikasi dampak penting lingkungan, 2) mengkuantifikasi besarnya dampak dan 3) perubahan kuantitas fisik kemudian diberi harga/nilai uang dalam rupiah. Masalah yang perlu diperhatikan dalam penilaian ekonomi adalah hasil total atau produktivitas atau keuntungan yang didapat dari semua sumber yang dipakai dalam suatu kegiatan untuk masyarakat sehingga diperoleh ”social returns” atau ”economic return” yang paling tinggi (Kadariah et al., 1978). Setiap kegiatan pembangunan umumnya menghasilkan dampak terhadap lingkungan, demikian pula dalam setiap tahap kegiatan industri minyak dan gas bumi termasuk unit pengolahan minyak. Industri ini berpotensi menimbulkan dampak yang bersifat positif maupun yang negatif terhadap lingkungan alam (ekosistem), sosial budaya, sosial politik dan ekonomi (Abda’oe, 1994). Dampak lingkungan, ekonomi dan sosial dari kegiatan unit pengolahan minyak secara umum dapat terlihat dari pengaruhnya secara langsung terhadap aktivitas utama di wilayah pesisir. Permasalahan dan isu lingkungan mengenai dampak aktivitas migas di suatu wilayah, namun tidak jarang hanya ditanggapi dengan melakukan identifikasi tanpa ada tindak lanjut untuk menghitung besarnya nilai ekonomi yang ditimbulkan dari pemanfaatan sumberdaya alam. Kondisi ini diperparah dengan tidak tersedianya data ekonomi dan lingkungan suatu wilayah. Tujuan valuasi ekonomi pada dasarnya adalah membantu pengambil keputusan untuk menduga efisiensi ekonomi dari berbagai pemanfaatan (competing use) yang
49
mungkin dilakukan terhadap ekosistem yang ada. Asumsi yang mendasari fungsi ini adalah bahwa alokasi sumberdaya yang dipilih adalah yang mampu menghasilkan manfaat bersih bagi masyarakat (net gain to society) yang diukur dari manfaat ekonomi dari alokasi tersebut dikurangi dengan biaya alokasi sumberdaya tersebut (Adrianto, 2005) Pengelolaan lingkungan dapat dicapai dengan menerapkan ekonomi lingkungan sebagai instrumen yang mengatur alokasi sumberdaya secara rasional (Steer, 1996).
Nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam sumberdaya alam
sangat peran dalam penentuan kebijakan pengelolaannya, sehingga alokasi dan alternatif pengelolaannya dapat efisien dan berkelanjutan. Hilangnya ekosistem atau sumberdaya alam dan lingkungan merupakan masalah ekonomi karena hilangnya ekosistem berarti hilangnya kemampuan ekosistem tersebut untuk menyediakan barang dan jasa. Dalam beberapa kasus, hilangnya ekosistem ini tidak dapat dikembalikaqn seperti sediakala (irreversible). Pilihan kebijakan pembangunan yang melibatkan sumberdaya alam (ekosistem) seperti kebijakan tetap mempertahankan ekosistem apa adanya atau dikonversi menjadi pemanfaatan lain merupakan persoalan pembangunan yang dapat dipecahkan dengan menggunakan pendekatan valuasi ekonomi (Adrianto, 2006). Valuasi ekonomi sumberdaya alam adalah seluruh manfaat yang disediakan oleh sumberdaya alam dari yang digunakan saat ini dan manfaat untuk masa yang akan datang. Valuasi ekonomi adalah salah satu dari banyak cara untuk menggambarkan dan mengukur nilai sumberdaya alam, baik yang bernilai pasar (dapat diperdagangkan) maupun yang tidak bernilai pasar (tidak dapat diperdagangkan) (Williamson, 2003). Tujuan penilaian ekonomi lingkungan adalah untuk memperkuat mata rantai antara lingkungan dan ekonomi.
Penerapan penilaian ekonomi dalam
sumberdaya alam dan lingkungan melalui berbagai teknik ekonomi adalah salah satu metode untuk mempromosikan pengintegrasian dari lingkungan, ekonomi dan sosial (Williamson, 2003). Selain itu, tujuan valuasi ekonomi pada dasarnya adalah membantu pengambil keputusan untuk menduga efisiensi ekonomi dari berbagai pemanfaatan (competing use) yang mungkin dilakukan terhadap ekosistem yang ada. Asumsi yang mendasari fungsi ini adalah bahwa alokasi
50
sumberdaya yang dipilih adalah yang mampu menghasilkan manfaat bersih bagi masyarakat (net gain to society) yang diukur dari manfaat ekonomi dari alokasi tersebut dikurangi dengan biaya alokasi sumberdaya tersebut (Adrianto, 2005). Kerangka nilai ekonomi yang sering digunakan dalam valuasi ekonomi sumberdaya alam adalah konsep total economic value (TEV) atau nilai ekonomi total. Terdapat tiga metode yang digunakan secara umum dalam valuasi ekonomi dan dampak ekonomi terhadap lingkungan. Ketiga metode tersebut adalah: 1) Market valuation adalah pendekatan yang menggunakan penilaian ekonomi dari sumberdaya alam alam berdasar nilai pasar. Pendekatan ini biasanya digunakan untuk menilai aset ekonomi (economic asset) dari sumberdaya alam. Apabila nilai pasar dari sumberdaya alam tidak tersedia, karena jumlah sumberdaya alam tersebut tidak diketahui, nilai ekonomi dari sumberdaya alam tersebut dapat ditemukan dari jumlah penerimaan potensial dari sumberdaya tersebut dengan pendekatan diskonto, 2) Maintenance valuation adalah pendekatan yang didasarkan pada penilaian terhadap opportunity cost yang hilang sebagai akibat suatu tindakan ekonomi dan juga opportunity cost dari tindakan maintenance untuk mengurangi dampak kegiatan ekonomi terhadap lingkungan, dan 3) Contingent and related damaged valuation adalah pendekatan yang didasarkan penggunaaan cost-benefit analysis dan feasibility study dalam melakukan kegiatan ekonomi (Bartelmus and Vespers, 1999). Pendekatan ini sangat efektif untuk digunakan dalam penilaian kegiatan ekonomi skala kecil, akan tetapi sangat sulit untuk diimplementasikan dalam penilaian skala luas/nasional. Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan SDA yang semakin langka (Kramer et al., 1995). Penilaian manfaat lingkungan secara ekonomi dengan sangat kecil atau sangat besar harus ditinggalkan, saat ini barang atau jasa lingkungan yang diperoleh harus dinilai keuntungannya secara finansial (Barbier, 1995). Salah satu kesulitan yang dihadapi oleh para peneliti saat menghitung nilai suatu sumberdaya adalah adanya nilai dari barang atau jasa yang tidak dapat dikuantifikasikan dengan nilai pasar, karena memang barang atau jasa tersebut tidak dijual di pasaran, seperti keindahan alam. Memahami permasalahan tersebut,
51
Krutila (1967) dalam Fauzi (2002) memperkenalkan konsep total economic value (TEV) atau nilai ekonomi total bagi setiap individu atas sumberdaya alam dan lingkungan. Secara garis besar jenis-jenis nilai dari TEV dibagi menjadi dua, yaitu nilai kegunaan dan nilai bukan kegunaan. 1. Nilai Kegunaan Nilai kegunaan adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang dan jasa seperti menangkap ikan, menebang kayu dan sebagainya. Nilai ini juga termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, misalnya ikan dan kayu yang hasilnya dapat dijual (Fauzi, 2002). Nilai kegunaan ini merupakan nilai manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Nilai kegunaan ini lebih mudah diukur dengan menggunakan harga pasar. Nilai kegunaan sendiri dibagi menjadi dua yaitu nilai kegunaan langsung yakni: 1) nilai kegunanaan langsung dari suatu sumberdaya yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara komersial maupun non komersial. Misalkan jika kita sedang menghitung nilai ekonomi dari sumberdaya danau, maka yang dimaksud dengan nilai kegunaan langsung adalah menangkap ikan, 2) nilai kegunaan tidak langsung yaitu nilai yang dirasakan secara tidak langsung oleh masyarakat terhadap suatu sumberdaya. Contoh dari nilai ini adalah fungsi pencegah abrasi pada hutan mangrove. 2. Nilai Bukan Kegunaan Nilai bukan kegunaan atau non use value merupakan nilai yang tidak berhubungan dengan pemanfaatan aktual barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam (Fauzi, 2002). Nilai bukan kegunaan ini bersifat sulit diukur karena nilai-nilai tersebut sulit dikuabtifikasikan dengan harga pasar dan menyangkut kesukaan (preferensi) seseorang. Nilai bukan kegunaan ini secara lebih mendetail dibagi lagi menjadi tiga jenis yaitu option value, existence value dan bequest value. Option value atau nilai pilihan adalah nilai yang diberikan oleh masyarakat atas adanya pilihan untuk menikmati barang atau jasa dari sumberdaya alam dimasa yang akan datang (Fauzi, 2002). Pada dasarnya option value ini mengandung makna ketidakpastian atas ketersediaan sumberdaya pada masa yang akan datang maka nilai option
52
value kita akan menjadi nol. Begitu juga sebaliknya nilai dari option value akan semakin besar jika masyarakat tidak yakin akan ketersediaan suatu sumberdaya pada masa yang akan datang. Existence value atau nilai keberadaan adalah nilai yang diberikan atas keberadaan atau terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan meskipun masyarakat tidak akan memanfaatkan atau mengunjunginya. Nilai eksistensi ini sering juga disebut dengan intrinsic value atau nilai intrinsik dari sumberdaya alam atau nilai yang memang sudah melekat pada sumberdaya alam itu (Fauzi, 2002). Bequest value atau nilai pewarisan artinya nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan (bequest) sumberdaya untuk generasi mendatang atau mereka yang belum lahir. Jadi bequest value diukur berdasarkan keinginan membayar masyarakat untuk memelihara (to preserve) sumberdaya alam dan lingkungan untuk generasi mendatang (Fauzi, 2002). 2.5
Hasil Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian yang telah dilakukan yang berhubungan dengan
kebijakan AMDAL dan valuasi ekonomi sebagai berikut: Tabel 1 Hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kebijakan AMDAL dan valuasi ekonomi Peneliti Alshuwaikkat (2004)
Judul Penelitian Strategic Environment Assessment (SEA) sebagai Alternatif Pengelolaan Lingkungan Hidup di Negara Berkembang
Purnama (2003)
Public Involment in the Indonesia EIA Process, Perceptions, and Alternative
Hasil Penelitian SEA dapat memunculkan dampak dari aktivitas skala kecil yang sesungguhnya dampaknya penting. - SEA memunculkan dampak kumulatif dari beberapa proyek, mampu menjelaskan dampak potensial yang tidak diatur dalam undang-undang, serta dapat menunjukkan aktivitas proaktif yang terstruktur terhadap pengaruh kebijakan dan perencanaan - EIA sama pada semua negara berkembang, khususnya pada peran masyarakat, keterbatasan panduan, dasar hukum yang -
53 Lanjutan Tabel 1 Peneliti
Tiwi (2003)
Judul Penelitian
Evaluasi AMDAL dalam Menunjang Pengelolaan Pantai Terpadu di Teluk Banten
-
-
-
-
Finnveden et al., (2002)
Metode Aplikasi SEA dalam Sektor Energi
-
Hasil Penelitian kurang memadai, perencanaan TOR kurang jelas, perbaikan hukum dan perencanaan yang menyeluruh. Ketersediaan informasi lingkungan di Tk II dalam hal ini kawasan Teluk Banten untuk menyusun dan menilai laporan AMDAL maupun dari hasil pemantauan lingkungan adalah sangat terbatas, terutama informasi tentang biologi laut, informasi penting dalam pengelolaan pantai terpadu. Penelitian penunjang keberadaan informasi tersebut juga masih terbatas, kalaupun ada informasinya berada di instansi tingkat pusat. Pertukaran informasi lingkungan yang tersebar di beberapa instansi juga belum terjadi, sementara pemda sendiri belum dilengkapi dengan peraturan yang mendukung aksesibilitas mereka terhadap informasi lingkungan tentang daerahnya. Kapasitas Pemda Tk II pada kasus Teluk Banten masih membutuhkan suatu perbaikan dalam penyediaan informasi lingkungan baik untuk proses AMDAL maupun untuk pengelolaan terpadu kawasan pantainya. SEA yang berhubungan dengan pencemaran energi diusulkan antara lain: ecological impact assesment, envromentally estended input/output analysis,
54 Lanjutan Tabel 1 Peneliti
Azis (2006)
Santoso (2005)
Sofyan (2003)
Supriyadi dan Wouthuyzen (2005)
Judul Penelitian
Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir sebagai Alternatif Pengelolaan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Pengkajian Nilai Ekonomi Lingkungan Ekosistem Hutan Mangrove, di Desa Blanakan Kabupaten Subang, Jawa Barat Valuasi Ekonomi terhadap Ekosistim Mangrove di Teluk Kotania, Propinsi Maluku
-
-
Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove yaitu Rp.3,7 milyar per tahun.
-
Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove yaitu Rp.2,8 milyar per tahun.
-
Nilai ekonomi total dari hutan mangrove di Teluk Kotania pada tahun 1999 adalah Rp.64,8 milyar atau Rp.60,9 juta per ha. Nilai ini masih terlalu rendah, karena masih banyak komponen lain pada hutan mangrove yang sulit untuk ditentukan baik fungsi maupun harga pasarnya. Keunikan mangrove di Teluk Kotania dimana mangrove, padang lamun dan terumbu karang hidup berdampingan secara harmonis. Khusus untuk kasus Teluk Kotania, valuasi ekonomi perlu dilalukan untuk ketiga ekosistim tersebut.
-
-
Haya et al., (2003)
Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang dengan Studi Kasus Penangkapan
Hasil Penelitian multiple atribut analysis, environmental objective, dan risk assessment. Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove yaitu Rp. 1,24 milyar per tahun.
-
Kebijakan yang ada dalam menanggulangi penggunaan sianida dan bom di Kepulauan Spermonde, tidak efektif dan efisien.
55 Lanjutan Tabel 1 Peneliti
Judul Penelitian Ikan Yang Merusak (sianida dan bom) di Kepulauan Spermonde, Propinsi Sulawesi Selatan
-
-
Rahmalia (2003)
Analisis Tipologi dan Pengembangan DesaDesa Pesisir Kota Bandar Lampung
-
-
Hasil Penelitian Pembuatan produk hukum dan perundangan tidak didasarkan pada kepentingan publik dan kelestarian terumbu karang sehingga aktivitas tersebut terus berlangsung. Dengan menggunakan pendekatan AHP dalam kerangka manfaat dan biaya (B/C) diperoleh empat opsi kebijakan untuk menanggulangi kasus penggunaan sianida dan bom di Kepulauan Spermonde yaitu: pendidikan dan informasi lingkungan (0,275) diversifikasi usaha dan pengembangan mata pencaharian alternatif (0,273) koordinasi antar stakeholders (0,253) serta peraturan dan penegakkan hukum (0,199). Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa para stakeholders cenderung lebih memilih industri sebagai prioritas utama dalam pengembangan dan pengelolaan desa-desa pesisir Kota Bandar Lampung yang dititik beratkan pada aspek ekonomi melalui kriteria utama peningkatan lapangan kerja dengan pelaku utama pemerintah diikuti swasta. Sektor industri sifatnya tidak sensitif terhadap perubahan preferensi dan untuk hasil analisis analisis tipologi sebagian besar desa pesisir tergolong tipologi II yaitu wilayah dengan tingkat perkembangan rendah atau kurang maju dibanding
56 Lanjutan Tabel 1 Peneliti
PPLH UNRI (2004)
Judul Penelitian
Aspek Sosial Ekonomi Budaya di PT.Pertamina Kilang Produksi UP II Dumai, Riau
Hasil Penelitian kelurahan-kelurahan lain di Bandar Lampung. - Adapun ciri-ciri dari tipologi II ini adalah: tingkat kesejahteraan penduduknya rendah ditandai dengan tingginya jumlah keluarga prasejahtera dan besarnya surat keterangan miskin yang dikeluarkan kantor desa. Walaupun demikian dijumpai beberapa pemukiman mewah sebagai rumah peristirahatan di lokasi ini. - Aksesibilitas cukup tinggi tetapi tidak ditunjang oleh fasilitas kesehatan yang cukup. - Ada beberapa dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar kilang seperti gangguan bau, debu dan kebisingan. - Persepsi masyaralkat terhadap pertamina memperlihatkan kecenderungan makin positif, proporsi yang mempunyai hubungan akrab dengan karyawan mengalami peningkatan dari 23% (tahun 2000) menjadi 505 (tahun 2003 dan 2004) demikian pula halnya dengan buruh kontraktor (mitra kerja pertamina) pada umumnya positif, dengan proporsi 49% responden (tahun 2000) akrab dengan buruh kontraktor dan meningkat menjadi 75,5% (tahun 2003 dan 2004).
57
III. GAMBARAN UMUM KEGIATAN MIGAS DI INDONESIA 3.1
Sejarah Kegiatan Migas di Indonesia Kegiatan pencarian minyak dan gas bumi di Indonesia telah berlangsung
sejak tahun 1871, hanya berselang dua belas tahun setelah minyak dunia pertama di bor di Pennsylvania. Produksi komersil pertama minyak dan gas bumi di Indonesia dimulai pada tahun 1885 dan pada pengujung abad 1800, minyak bumi telah diproduksi di kilang-kilang Sumatra Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan. Pada tahun 1912 Standard Oil of New Jersey masuk ke Indonesia dan kemudian menggabungkan kepentingan mereka di timur jauh dengan Mobil Oil untuk membentuk Stanvac. Pada tahun 1936 terjadi penggabungan saham Asia dengan Texaco untuk membentuk Caltex. Dengan demikian tercatat lima perusahaan minyak internasional di Indonesia pada tahun 1940an. Pada tahun tersebut produksi minyak Indonesia berada pada tingkat kelima di dunia, namun dua puluh lima tahun kemudian, turun menjadi peringkat kedua belas dunia, sekalipun terdapat kenaikan produksi minyak secara signifikan. Pada tahun 1961 lahirlah Undang-undang No. 44 tahun 1961 tentang migas. Selain itu dibentuk pula 3 (tiga) perusahaan negara bidang migas yaitu PT. Permina, PT. Permigan dan PT. Pertamin. Dari ketiga perusahaan negara tersebut hanya Permina dan Pertamin saja yang mampu beroperasi dengan baik, sedangkan Permigan dilikuidasi. Penggabungan selanjutnya dilakukan terhadap Permina dan Pertamin menjadi Pertamina pada 20 Agustus 1968 melalui dekrit. Pada tahun 1962 selanjutnya ditandatangani 40 kontrak dengan pendapatan lebih kurang US$ 6 juta. Pada awal penggabungan, Permina memiliki kapal sebanyak 55 unit kapal, dengan tonase lebih dari 320.000 DWT. Pertamina terus meluaskan armadanya, baik domestik maupun internasional. Data tahun 2007 Pertamina memiliki 36 unit kapal yang terdiri dari tipe LR/MR/GP/Small/Lighter dengan tonase lebih kurang 770.000 DWT dan mengoperasikan lebih dari 100 unit kapal bukan milik, dengan konsentrasi trading domestik untuk menjalankan misi pemerintah (PSO) dalam menjamin keamanan supply BBM nasional. Meskipun dalam kurun waktu hampir
58
40 tahun terjadi peningkatan tonase kapal milik sebesar lebih dari 100%, namun dengan jumlah ketersediaan cargo yang diangkut mencapai 28,359 juta LT (crude oil) dan 47,174 juta LT (BBM) serta 805 ribu ton (non BBM) atau total 76,338 juta LT (2005). Era kebangkitan kembali industri migas terjadi pada tahun 1970-an di mana Indonesia kembali di barisan depan dalam pengembangan minyak dunia, setelah Pertamina berhasil menemukan sumber-sumber minyak baru di berbagai tempat di penjuru tanah air seperti di Jatibarang, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, yang diteruskan dengan melakukan pembangunan stasiun pengumpul minyak dan prasarana lifting cargo, pengambil alihan Stanvac (Sungai Gerong) oleh Pertamina dan pembangunan kilang minyak baru Dumai serta meningkatnya jumlah penandatanganan kontrak bagi hasil (production sharing contract) dengan IIAPCO, Total dan Union. Hal tersebut menunjukkan bahwa bisnis migas Indonesia adalah bisnis internasional dan Pertamina telah memperoleh tempatnya dalam masyarakat minyak dunia. Pada 15 September 1971 disahkan dan diberlakukan undang-undang No. 08 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina). Dengan undang-undang ini Pertamina memperoleh hak kuasa pertambangan dengan batas-batas wilayah dan persyaratan yang ditetapkan oleh Presiden se-panjang mengenai pertambangan minyak dan gas bumi (migas). Melalui undang-undang ini Pertamina melakukan peningkatan pengusahaan migas di seluruh wilayah Indonesia dan pengem-bangan usaha, baik yang terkait dengan migas maupun yang bukan migas. Pada tanggal 17 September 2003, Pertamina berubah menjadi sebuah perseroan yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang migas. Kedudukan Pertamina sama dengan perusahaan lain yang wajib tunduk dengan UU No. 01 tahun 1995 tentang perseroan terbatas, UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN dan ketentuan lain yang berlaku bagi perseroan pada umumnya. Dari hasil produksi migas tahun 2006 dapat mencapai keuntungan sebesar US$ 3 miliar atau sekitar Rp. 24 triliun dan menjadi BUMN terbesar di Indonesia. Berdasarkan data OPEC (2006), sekitar 77% (922 milyar barrel) minyak dunia bersumber dari negara-negara anggota OPEC dan selebihnya sekitar 23%
59
(272 milyar barrel) bersumber dari negara-negara non OPEC. Indonesia merupakan salah anggota OPEC yang memberikan sumbangan terhadap pemenuhan kebutuhan minyak dunia, bersama Kuwait, Lybia, Nigeria, Venezuela, Qatar, dan Anggola menyumbang sekitar 44% (405,68 milyar barrel), sementara Saudi Arabia, Irak dan Iran menyumbang sekitar 56% (516,32 milyar barrel). 3.2
Potensi Minyak dan Gas Bumi Indonesia Potensi cadangan minyak bumi dan kondensat Indonesia secara total pada
tahun 2006 yaitu 8.928,50 MMSTB (million million stock tank barrel), terdiri atas: cadangan terbukti 4.558,20 MMSTB dan cadangan potensial 4.370,30 MMSTB. Cadangan tersebut mengalami penurunan, khususnya dalam kurun waktu tujuh tahun terkahir, dengan cadangan minyak bumi dan kondesat pada tahun 2001 tercatat secara total sebesar 9.753,40 MMSTB terdiri atas: cadangan terbukti 5.094,60 MMSTB dan cadangan potensial 4.689,90 MMSTB. Data tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan telah terjadi penuruan cadangan minyak bumi dan kondensat sebesar 724,30 MMSTB atau sekitar 14,22%. Cadangan minyak bumi dan kondensat tersebut tersebar pada 13 propinsi yakni dengan cadangan terbesar terdapat di propinsi Riau dengan total potensi yaitu 4.692,00 MMSTB. Sedangkan cadangan potensi terendah berada di propinsi Sulawesi Selatan yaitu 23,39 MMSTB. Tabel 2 Cadangan minyak bumi dan kondensat Indonesia tahun 2006 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Propinsi Cadangan (MMSTB) Nangroe Aceh Darussalam 114,29 Sumatera Utara 141,24 Riau 4,692,00 Sumatera Selatan 874,95 Kepulauan Riau 54,41 Jawa Barat 719,70 Jawa Timur 947,30 Sulawesi Selatan 23,39 Sulawesi Tengah 69.,07 Kalimantan Timur 985,48 Kalimantan Selatan 60,63 Maluku 97,89 Papua 148,94 Total 8.929,50 Sumber: Ditjen Migas, 2007 (MMSTB: million million stock tank barrel)
60
Cadangan gas bumi Indonesia secara total pada tahun 2006 yaitu sebesar 187,16 TSCF (triliun stock crude fuel) terdiri atas: cadangan gas terbukti 94,00 TSCF dan cadangan potensial 93,10 TSCF. Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir kondisi cadangan gas bumi Indonesia meningkat sebesar 18,90 TSCF atau naik sekitar 11,24% dari total cadangan gas bumi pada tahun 2001 yaitu 168,20 TSCF terdiri atas cadangan gas terbukti 92,10 TSCF dan cadangan potensial 76,10 TSCF. Cadangan gas bumi tersebut tersebar pada 14 propinsi yakni dengan cadangan terbesar terdapat di Kepulauan Riau (Natuna) dengan total potensi yaitu 53,58 TSCF dan cadangan terendah berada di Propinsi Maluku yaitu 0,006 TSCF. Tabel 3 Cadangan gas bumi Indonesia tahun 2006 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Riau Sumatera Selatan Kepulauan Riau Jawa Barat Jawa Timur Salawesi Selatan Sulawesi Tengah Kalimantan Timur Kalimantan Selatan Maluku Papua Nusa Tenggara Timur Total Sumber: Ditjen Migas, 2007 3.3
Cadangan (TSCF) 4,57 1,38 7,83 24,30 53,58 6,04 6,20 0,79 3,92 42,40 2,37 0,006 24,47 6,30 184,16
Produksi Minyak dan Gas Bumi Indonesia Total produksi minyak bumi Indonesia tahun 2006 adalah sekitar 1 juta
barel per hari, terdiri atas produksi minyak 883 ribu barel per hari dan kondesat yaitu 123 ribu barel per hari. Produksi minyak dalam kurun waktu tujuh tahun terkahir, telah terjadi penurunan produksi minyak bumi sekitar 335 ribu barel per hari atau sekitar 24,99% dibanding produksi pada tahun 2001 yaitu 1,3 juta barel per hari, terdiri atas produksi minyak sebanyak 1,2 juta barel per hari dan kondensat sebanyak 132 ribu barel per hari. Perkembangan produksi minyak bumi Indonesia dalam kurun waktu 2001 hingga 2006.
61
1400
Ribu Barel Perhari
1200 1000 800 600 400 200 0
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Total
1,340.6
1,249.4
1,146.8
1,094.4
1,062.1
1,005.6
Minyak
1,208.7
1,117.6
1,013.0
965.8
934.8
883.0
131.9
131.8
133.8
128.6
127.3
122.6
Kondensat
Gambar 3 Perkembangan produksi minyak bumi Indonesia (Ditjen Migas, 2007) Kondisi produksi gas bumi Indonesia berbeda dengan produksi minyak bumi. Produksi gas bumi mengalami peningkatan dalam kurun waktu tujuh tahun terkahir. Tercatat bahwa produksi gas bumi Indonesia pada tahun 2006 yaitu sebesar 8.093,0 MMSCFD terdiri atas pemanfaatan 7.783,0 MMSCFD dan dibakar 308,0 MMSCFD. Produksi gas bumi Indoensia pada tahun 2001 yaitu hanya sebesar 7.690,0 MMSCFD terdiri atas pemanfaatan 7.188,0 MMSCFD dan dibakar 502,0 MMSCFD. Data produksi tersebut menunjukkan peningkatan produksi gas bumi Indonesia sebesar 403,0 MMSCFD atau sekitar 5,24%. Perkembangan produksi gas bumi Indonesia dalam kurun waktu tahun 2001 hingga 2006.
62
9,000 8,000
MMSCFD
7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Produksi
7,690
8,318
8,644
8,278
8,179
8,093
Pemanfaatan
7,188
7,890
8,237
7,909
7,885
7,785
502
428
407
369
294
308
Dibakar
Gambar 4 Perkembangan produksi gas bumi Indonesia (Ditjen Migas, 2007) 3.4
Kontribusi Minyak dan Gas Bumi Peranan minyak dan gas bumi sangat penting antara lain: penghasil devisa
negara, penyedia energi dalam negeri, penyedia bahan baku industri, wahana alih teknologi, pencipataan lapangan kerja, mendorong pengembangan sektor non migas dan pendukung pengembangan wilayah. Meskipun kontribusi sektor minyak dan gas bumi terhadap devisa dan APBN semakin menurun seiring menurunnya produksi minyak, namun kontribusi tersebut masih signifikan terhadap pendapatan negara. Sebagai sumber energi dalam negeri peran minyak dan gas bumi dalam penerimaan negara/devisa (pajak dan bukan pajak) sekitar 30% dari penerimaan negara keseluruhan. Penerimaan minyak dan gas bumi dipengaruhi antara lain: besarnya tingkat produksi minyak mentah dan kondesat, volume ekspor LNG dan LPG, harga minyak mentah dari biaya produksi. Penurunan produksi minyak terjadi disebabkan oleh sumur-sumur yang ada sudah tua, teknologi yang digunakan sudah ketinggalan dan iklim investasi di sektor pertambangan minyak kurang kondusif sehingga tidak banyak perusahaan asing maupun nasional melakukan investasi di sektor perminyakan. Disisi konsumsi terhadap produk minyak/bahan bakar minyak yang terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan
63
ekonomi di Indonesia. Sejak tahun 2004, jika hasil produksi minyak Indonesia di semua kilang dihitung, maka hasilnya tetap tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sejak tahun 2004, Indonesia telah mengalami defisit sebesar 49,3 ribu barel per hari. Namun demikian peranan minyak bumi tidak bisa diabaikan (Dartanto, 2005). Fluktuasi harga minyak dunia selain berpengaruh terhadap penerimaan negara juga berpengaruh terhadap pengeluaran negara khususnya subsidi bahan bakar dan bagi hasil sumberdaya alam kepada pemerintah daerah. Perhitungan bagi hasil minyak dan gas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan mekanisme bagi hasil berdasarkan berbagai skema kontrak kerjasama (Dartanto dan Khoirunurrofik, 2006). Dengan demikian bahwa produksi minyak Indonesia bukan hanya milik pemerintah semata, akan tetapi juga dibagi dengan kontraktor perusahaan minyak asing (production sharing contract) yang beroperasi. Skema bagi hasil yaitu sebesar 85% pemerintah dan 15% kontraktor. Pembagian 85%:15% tersebut merupakan hasil produksi minyak bersih artinya nilai produksi dikurangi dengan biaya ekploitasi, pajak, land-rent, dan royalti. Sehingga bagi hasil minyak mentah antara pemerintah dan KPS umumnya menjadi 60% untuk pemerintah dan 40% untuk kontraktor. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka minyak mentah yang diterima pemerintah adalah sebesar 656.64 ribu barel per hari (60% x 1.094,4) sedangkan KPS menerima 437.76 ribu barel per hari (40% x 1.094,4). Bagian minyak KPS diekspor keluar negeri dan semua hasilnya merupakan milik KPS. Selanjutnya berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka hasil minyak yang diperoleh pemerintah pusat harus dibagi dengan daerah penghasil dengan proporsi 85% dan 15%. Pada pasal 14 UU No. 33 tahun 2004 bagi hasil sumberdaya alam khususnya minyak dan gas bumi dijabarkan sebagai berikut: a) penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan 84,50% untuk pemerintah dan 15,50% untuk daerah, b) penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan
64
setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan 69,50% untuk pemerintah dan 30,50% untuk daerah, c) pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan yang merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dibagi dengan perimbangan 20% untuk pemerintah dan 80% untuk daerah (Dartanto dan Khoirunurrofik, 2006). Berdasarkan pasal 19 ayat 2 UU No. 33 tahun 2004, 15,5% bagian pemerintah daerah yang disebutkan pada pasal 14 huruf e angka dibagi dengan rincian lebih kurang sebagai berikut: 3% untuk pemerintah propinsi, 6% untuk kabupaten/kotamadya penghasil, 6% untuk kabupaten/kotamadya lain di dalam satu propinsi. Penerimaan pemerintah pusat dari sumberdaya alam minyak bumi dan gas alam yang akan dibagihasilkan ke daerah adalah bagian pemerintah dari hasil produksi minyak bumi dan gas alam yang sudah dikurangi pajak dan pungutan lainnya. Pola bagi hasil antara pemerintah dengan korporasi yakni: 1) pola bagi hasil produksi antara kontraktor (production sharing contractor dan joint operation body) dan pemerintah diatur berdasarkan NOI (net operating income), pada dasarnya NOI merupakan lifting (hasil produksi minyak bumi/gas alam yang dijual) setelah dikurangi biaya eksplorasi. Bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor ini baru dilakukan setelah biaya eksplorasi tertutupi. Jika pemerintah tidak mendapatkan penerimaan dari sumberdaya alam ini pada awal periode kontraktor berproduksi. Kebijakan ini diterapkan karena resiko kerugian (eksplorasi) ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan/kontraktor yang terlibat. Ketentuan bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah ini disebut sebagai equity share (entitlement) dan 2)
equity share
(entitlement) pada dasarnya belum mengeluarkan komponen pajak pusat (masih ada pajak perseroan dan pajak dividen di dalamnya). Bagian pemerintah dari kontraktor yang telah dikurangi komponen pajak dan pungutan inilah yang akan dibagihasilkan ke daerah. Besarnya penerimaan pemerintah yang akan dibagihasilkan ke daerah dipengaruhi oleh: 1) proses produksi (eksploitasi) yang terdiri dari primary recovery, secondary recovery dan third recovery, 2) pola bagi hasil atau equity
65
share (entitlement) yang tentunya tergantung dari jenis production sharing dan 3) rejim pajak yang berlaku (Dartanto dan Khoirunurrofik, 2006). Mengingat kontribusi yang besar terhadap devisa negara, maka upayaupaya pengembangan akan tetap dilakukan. Upaya tersebut diimplementasikan dengan meningkatkan cadangan dan produksi migas serta mengembangkan lapangan marginal dan optimalisasi penerapan teknologi echanges oil recovery (EOR), serta insentif untuk daerah remote, laut dalam, lapangan marginal dan brown field. Pengembangan lapangan marginal, daerah remote dan laut dalam, merupakan sasaran pengembangan kedepan. Dengan demikian pengaruh limbah dan eksternalitas negatif yang dapat muncul dari kegiatan usaha migas, menjadi kecil. Pengembangan tersebut dilakukan dengan program produksi bersih, zero discharge, penggunaan bahan dasar non toxic, serta desain peralatan pengolahan limbah. 3.5
Permasalahan dalam Kegiatan Migas Kegiatan usaha migas tidak hanya memberikan keuntungan dari sisi
ekonomi dan pendapatan masyarakat, tetapi juga menimbulkan berbagai permasalahan-permasalahan yang umumnya dihadapi seperti: perijinan usaha, konflik pemanfaatan ruang, konflik sosial dengan masyarakat lokal, permasalahan lingkungan akibat limbah dan ekses dari aktivitas yang dilakukan serta permasalahan kesehatan masyarakat disekitar lokasi kegiatan. Permasalahan perijinan merupakan permasalahan klasik yang umum dihadapi oleh investor (pemrakarsa) dalam rencana pelaksanaan kegiatannya. Permasalahan ini merupakan permasalahan administratif birokrasi yang dihadapi oleh hampir semua proses perijinan di Indonesia. Permasalahan perijinan seringkali menjadi batu sandungan pertama ayang dihadapi oleh para investor. Sehingga tidak sedikit biaya dan waktu yang dibutuhkan oleh investor dalam proses perijinan suatu kegiatan. Permasalahan pemanfaatan ruang seringkali muncul menjadi konflik sektoral pada suatu kegiatan usaha migas. Kegiatan migas yang sekitar 70% berada di daerah on shore dan 30% di daerah off shore berpotensi memunculkan konflik ruang dengan berbagai aktivitas pembangunan lainnya seperti
66
perhubungan laut, untuk alur laut Kepulauan Indonesia. Konflik sektoral dengan Departemen Kehutanan tentang cagar alam, kawasan lindung dan kawasan konservasi. Konflik dengan Departemen Pariwisata tentang taman wisata alam dan cagar budaya. Konflik dengan Departemen Kelautan dan Perikanan untuk areal pertambakan dan kawasan nelayan. Konflik dengan Departemen Perumahan Rakyat untuk areal pemukiman penduduk. Konflik sosial antara KPS dengan masyarakat lokal, juga sering menjadi permasalahan dalam kegiatan usaha migas. Seringkali, masyarakat sulit untuk menerima keberadaan kegiatan migas di suatu lokasi, disebabkan minimnya umpan balik dari kegiatan tersebut terhadap masyarakat. Kondisi ini, tidak terlepas dari kenyataan bahwa kegiatan usaha migas merupakan kegiatan dengan teknologi tinggi (high tech) dan sifat bukan kegiatan padat karya. Sehingga penyerapan tenaga kerja lokal, sangat sulit terakomodir dalam pelaksanaan kegiatan. Kenyataan lainnya sumberdaya manusia yang berada di sekitar lokasi kegiatan migas juga tidak memenuhi kualifikasi pekerjaan yang dilakukan, sehingga alternatif umpan balik dari pelaksanaan kegiatan usaha tersebut, umumnya dilakukan dalam bentuk community development. Kasus yang terjadi di Kecamatan Ujung Pangkah Gresik, dimana kegiatan usaha migas oleh HESS sulit sekali diterima oleh masyarakat dan membutuhkan waktu 3-4 tahun dalam proses negosiasi pelaksanaannya. Kasus lainnya terjadi pada PT. CPI Riau yang masyarakat lokalnya meminta kepada perusahaan agar penyerapan tenaga kerja lokal dapat ditingkatkan sementara di sisi lain kegiatan tersebut tidak memerlukan tenaga kerja dengan kualifikasi yang dimaksud, sehingga konflik sosial seperti dalam bentuk demonstrasi seringkali terjadi. Permasalahan krusial lainnya yang umumnya terjadi pada kegiatan usaha migas adalah pengelolaan limbah dan ekses negatif dari kegiatan usaha yang dilakukan. Permasalahan ini terklasifikasi dalam kelompok permasalahan lingkungan. Isu lingkungan hidup dalam dua dekade terakhir menjadi isu global dan permasalahan bersama. Permasalahan lingkungan yang dihadapi pada hakikatnya adalah masalah ekologi manusia. Masalah ini timbul karena perubahan lingkungan yang mengakibatkan lingkungan tersebut tidak atau kurang sesuai
67
dengan kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia akibatnya adalah terganggunya kesejahteraan umat manusia. Kegiatan usaha migas berpotensi menimbulkan dampak dan efek terhadap lingkungan seperti dari limbah hasil proses produksi yang dihasilkan seperti: emisi SO2, NOx, hidrogen sulfida, HCs, bensen, CO, CO2, gas metan, kandungan organik berbahaya, kaustik, tumpahan minyak, fenol, kalium, efluen gas, serta efluen lumpur. Bahan dan gas tersebut dapat menyebabkan pemanasan global secara makro dan degradasi sumberdaya serta kerusakan lingkungan hidup secara mikro serta berdampak terhadap kesehatan manusia. Bahan dan gas-gas tersebut tidak hanya menimbukan pemanasan global, tetapi juga menyebabkan kenaikan muka air laut (sea level rise) sebagai akibat meningkatnya suhu permukaan bumi, yang disebabkan oleh efek rumah kaca (green house effect) dan penipisan lapisan ozon. Selain itu juga dapat menimbulkan terjadinya hujan asam, dan dampaknya menyebabkan terjadinya kerusakan dan kematian organisme hidup. Tabel 4 Kegiatan usaha migas yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan yang diwajibkan menyusun AMDAL keputusan menteri negara lingkungan hidup No.17 tahun 2001 No
Kegiatan Migas
1. Kegiatan hulu/produksi
Limbah yang dihasilkan - Air terproduksi - Sludge minyak
Potensi Dampak - Penurunan kualitas air, tanah, air tanah dan udara
- Gas emisi - Tumpahan minyak - Kebocoran pipa dan kapal 2. Kegiatan hilir/pengolahan
- Sludge minyak - Limbah cair
- Penurunan kualitas air, tanah, air tanah dan udara
- Limbah padat - Tumpahan minyak 3. Niaga/pemasaran
- Tumpahan minyak - Kebocoran pipa - Kebocoran kapal
- Penurunan kualitas air
68
Pelaksanaan kegiatan migas terdiri dari empat tahapan baik di darat maupun di laut yakni: 1) Tahap pra konstruksi, pada tahap pra-konstruksi akan dilakukan beberapa kegiatan, yakni perizinan dan pembebasan lahan. 2) Tahap konstruksi untuk kegiatan di darat terdiri atas: pembuatan mobilisasi dan demobilisasi tapak sumur pemboran serta mobilisasi peralatan dan material, mobilisasi tenaga kerja, pemasangan pipa penyalur minyak dan gas: mobilisasi peralatan dan material, mobilisasi tenaga kerja, pembangunan fasilitas produksi pemrosesan produksi stasiun pengumpul minyak dan gas dan fasilitas penunjang dan penyerapan tenaga kerja, sedangkan untuk kegiatan di laut terdiri atas: mobilisasi tenaga kerja di laut untuk pemasangan anjungan tapak sumur (wellhead platform/WHP), pembangunan compression and processing platform/CPP, pembangunan pipa penyalur dan uji hidrostatis. 3) Tahap operasi terdiri atas: produksi, pengoperasian pipa penyalur (dasar laut dan darat), pemisahan minyak dan gas serta pengolahan minyak dan gas. 4) Tahap pasca operasi.
69
IV. METODE PENELITIAN 4.1
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari sampai September 2007.
Penelitian dilakukan pada tujuh lokasi kegiatan usaha migas, yakni: 1) Pertamina Plaju Palembang, 2) PT. CPI Duri Riau, 3) Suryaraya Teladan Muara Enim, 4) Lapindo Berantas Sidoarjo, 5) Expan Toili Morowali, 6) BP Tangguh Sorong dan 7) Hess Pangkah Gresik. Kegiatan review kebijakan AMDAL migas, analisis kualitas dokumen AMDAL migas dan analisis kinerja lingkungan implementasi AMDAL migas dilakukan pada tujuh KKKS tersebut. Kegiatan analisis kebutuhan stakeholders dan focus group discussion dilakukan di Jakarta. Sementara kegiatan analisis ekonomi lingkungan dilakukan pada dua lokasi kegiatan migas yakni: Hess di Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik Jawa Timur dan PT. CPI di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Riau. Kedua lokasi yang dipilih sebagai penggambaran dari kegiatan usaha migas yang ada di Indonesia. KKKS Hess Pangkah merupakan corparate yang baru memulai melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, sehingga dapat menjadi sampel yang mewakili corparate yang baru memulai suatu kegiatan usaha. PT. CPI Riau merupakan corparate yang telah lama melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan juga penghasil minyak terbesar di Indonesia. Kabupaten Gresik mempunyai posisi yang strategis dan secara geografis terletak pada 70 LS – 80 LS dan 1120 BT – 1130 BT. Sebagian besar wilayahnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0-12 meter di atas permukaan laut. Kabupaten Gresik secara administratif berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Selat Madura di sebalah timur, Kabupaten Sidoarjo di sebelah selatan dan Kabupaten Lamongan di sebelah barat. Kabupaten Bengkalis memiliki luas wilayah 11.481,77 km2 yang meliputi pesisir timur pulau Sumatera dan daerah kepulauan. Kabupaten Bengkalis secara geografis terletak pada 00 170 LU – 20 300 LU dan 00 520 BT – 10 200 BT. Secara administratif berbatasan dengan Selat Malaka di sebelah utara, Kabupaten Siak di sebelah selatan, Kota Dumai di sebelah barat dan Kepulauan Riau di sebelah timur.
70
4.2
Tahapan Penelitian Tahapan penelitian pengembangan kebijakan AMDAL dalam mencegah
kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas terdiri atas lima tahapan, sebagai berikut: Tahap pertama: melakukan review kebijakan AMDAL saat ini dengan menggunakan metode studi literatur dengan pendekatan analisis deskriptif. Tahap ini dimaksudkan untuk mereview kebijakan AMDAL yakni terhadap PP No. 29 tahun 1986, PP No. 51 tahun 1993 dan PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL, Permen LH No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan AMDAL dan Permen LH No. 11 tahun 2006 tentang jenis kegiatan yang wajib AMDAL, Kepmen ESDM No. 1457 tahun 2000 tentang pedoman teknis pengelolaan lingkungan di bidang pertambangan dan energi, keputusan Kepdal No. 229 tahun 1996 tentang pedoman teknis kajian aspek sosial dalam penyusunan AMDAL dan keputusan Kepdal No. 08 tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses AMDAL. Selanjutnya melakukan analisis kualitas dokumen AMDAL migas. Melakukan penilaian kinerja lingkungan sebagai implementasi AMDAL pada tujuh perusahaan yakni: PT.CPI Lapangan Duri, Pertamina UP III Plaju, PT.Lapindo Brantas, Suryaraya Teladan Pendopo, BP Tangguh, Expan Toili dan Hess Pangkah. Metode studi yang digunakan yakni: studi literatur dengan pendekatan analisis deskriptif dan studi lapangan (survei) untuk analisis ekonomi lingkungan dengan pendekatan total economic valuation. Kemudian melakukan analisis kebutuhan stakeholders. Tahap kedua: menentukan komponen utama pengembangan kebijakan AMDAL migas dalam mencegah kerusakan lingkungan. Tahapan ini dilakukan dengan mengidentifikasi komponen-komponen penting dari hasil review kebijakan, analisis kualitas dokumen, analisis kinerja lingkungan serta analisis kebutuhan stakeholders. Tahapan ini dilakukan dengan pendekatan principle component analysis (PCA). Tahap ketiga: menyusun strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas. Tahapan ini didasarkan pada hasil penentuan komponen utama kebijakan AMDAL migas dalam mencegah kerusakan lingkungan. Pendekatan focus group discussion digunakan dalam penyusunan strategi.
71
Tahap keempat: melakukan penentuan prioritas strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas dalam mencegah kerusakan lingkungan. Pendekatan analytical hierarchy process digunakan dalam penentuan prioritas strategi. Tahap kelima: merumuskan kebijakan AMDAL migas yang efektif dan efisien dalam mencegah kerusukan lingkungan. Tahapan ini dilakukan dengan pendekatan focus group discussion.
Tahap-1 Review Kebijakan AMDAL saat ini Kualitas Dokumen AMDAL saat ini Penilaian Kinerja Lingkungan sebagai Implementasi AMDAL
Tahap-2
Tahap-3
Komponen Utama Kebijakan AMDAL Migas
Strategi Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas Tahap-5 Tahap-4 Prioritas Strategi Kebijakan AMDAL Migas
Kebutuhan Stakeholders
Rumusan Kebijakan AMDAL Migas yang Efektif dan Efisien dalam Mencegah Kerusakan Lingkungan
Gambar 5 Tahapan penelitian 4.3
Jenis dan Sumber Data Data sekunder yang dibutuhkan yakni: perundang-undangan dan peraturan
tentang AMDAL, luas kawasan, pertambakan, perkebunan dan hutan, jumlah penduduk, mata pencaharian, tingkat pendidikan dan kesehatan, PDRB dan data hasil pemantauan kegiatan usaha migas. Data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka bersumber dari Ditjen Migas, KLH, Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, KKKS, Bappeda, Bapedal, BPS dan instansi terkait lainnya. Data primer yang diperlukan yakni: pendapat tentang pelaksanaan AMDAL dan data sosial ekonomi masyarakat seperti: jenis mata pencaharian, biaya produksi, jumlah produksi, jumlah tenaga kerja, modal, pendapatan, pendidikan, jumlah anggota keluarga dan data yang terkait dengan kajian sosial-
A D
72
ekonomi masyarakat di sekitar perusahaan. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dan pengisian kuesioner oleh responden. 4.4
Rancangan Penelitian
4.4.1 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data terdiri atas studi pustaka dan survei. Pengumpulan data untuk review kebijakan AMDAL, dilakukan dengan metode studi literatur. Jenis data sekunder yang dikumpulkan terdiri atas: PP No. 29 tahun 1986, PP No. 51 tahun 1993 dan PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL serta peraturan menteri negara LH No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan AMDAL dan peraturan menteri LH No. 11 tahun 2006 tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi amdal serta keputusan menteri esdm No. 1457 tahun 2000 tentang pedoman teknis pengelolaan lingkungan di bidang pertambangan dan energi. Keputusan kepala badan pengendalian dampak lingkungan No. 299 tahun 1996 tentang pedoman teknis kajian aspek sosial dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan dan keputusan kepala badan pengendalian dampak lingkungan No. 08 tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Pengumpulan data untuk mengetahui kebutuhan-kebutuhan stakeholders pada kebijakan AMDAL dalam upaya pengembangan ke arah yang lebih efektif dan efisien di masa datang dilakukan dengan interview dan pengisian kuesioner oleh stakeholders yang terdiri atas keterwakilan instansi/lembaga masing-masing oleh satu orang. Stakeholders terdiri atas Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Departemen ESDM, BP Migas, KLH, Pemerintah Daerah, Pemrakarsa, Perguruan Tinggi, dan LSM. Penentuan nilai ekonomi lingkungan dilakukan dengan metode survei dengan pendekatan pengisian kuesioner. Penentuan responden untuk analisis nilai ekonomi lingkungan dilakukan pada 2 lokasi sampling yakni Kecamatan Ujung Pangkah sebanyak 115 responden terdiri atas: 43 orang nelayan, 37 orang petani tambak, dan 35 orang pemanfaat hutan mangrove. Jumlah responden Kecamatan Mandau sebanyak 95 responden terdiri atas: 30 orang nelayan, 32 orang petani
73
kebun, dan 33 orang pemanfaat hutan. Penentuan responden dilakukan dengan metode purposive sampling yang merupakan masyarakat pemanfaat sumberdaya alam dan lingkungan. Perumusan strategi implementasi kebijakan AMDAL yang efektif dan efisien dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas dilakukan dengan pendekatan FGD. Kegiatan ini untuk menerima masukan dari stakeholders tentang langkah-langkah strategis kebijakan AMDAL di masa datang. Penentuan peserta diskusi dilakukan dengan memilih stakeholders kunci yang merupakan keterwakilan dari masing-masing stakeholders yang terdiri atas: Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Departemen ESDM, BP Migas, Pertamina, KLH, Pemerintah Daerah, Pemrakarsa, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian dan LSM. 4.4.2
Metode Analisis Data
4.4.2.1 Analisis Komponen Utama Analisis komponen utama/principle component analysis (PCA) dilakukan untuk menjawab faktor-faktor yang utama berpengaruh terhadap kebijakan AMDAL dengan melihat korelasi antara variabel yang signifikan. Tujuan PCA adalah untuk melihat korelasi antara variabel dan melihat similarity antar individu (Bengen, 2002). Analisis PCA dalam penelitian ini menggunakan software statistic 6.0 dengan tahapan sebagai berikut: 1. Membuat simbol variabel. 2. Menyusun struktur data asal (kualitatif) kedalam data kuantitatif. 3. Menginput data kuantitatif ke dalam software statistic 6.0.. 4. Menentukan jumlah faktor utama berdasarkan eigenvalues tertinggi. 5. Menyederhanakan variabel berdasarkan tingkat korelasi (α=0,05), dan tingkat kontribusi tertinggi dari masing-masing variabel terhadap faktor utama. 6. Menyimpulkan hasil analisis komponen utama. Hasil review kebijakan, review kualitas dokumen, review kinerja lingkungan dan analisis kebutuhan stakeholders selanjutnya dianalisis dengan pendekatan principle component analysis dengan menggunakan perangkat lunak statistic 6.0.
74
4.4.2.2 Analytical Hierarchy Process Analytical hierarchy process (AHP) merupakan metode analisis yang dapat digunakan secara luwes yang memungkinkan pengambilan keputusan dengan mengkombinasikan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi secara logis sehingga dapat ditentukan skala prioritas dalam pengambilan keputusan (Ma’arif dan Tanjung, 2003). Beberapa tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Merumuskan tujuan berdasarkan hasil identifikasi permasalahan. 2. Menyusun struktur hirarki strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat di atasnya. Perbandingan berdasarkan “judgement” dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. Pembobotan penilaian menggunakan skala Saaty (1993) seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Skala banding secara berpasangan dalam AHP Tingkat Keterangan Kepentingan Kedua elemen sama pentingnya 1 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang 3 lainnya Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain 5 Elemen yang satu jelas lebih penting dari elemen yang lain 7 Elemen yang satu mutlak lebih penting dari elemen yang lain 9 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan 2,4,6,8 Kebalikan Jika untuk aktifitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i Sumber: Saaty (1993) 4. Menyusun data yang diperoleh dari hasil pengisian kuesioner AHP. 5. Menginput data kedalam software expert choice. 6. Menyimpulkan hasil analisis hirarki proses. 4.4.2.3 Focus Group Discussion Focus group discussion (FGD) merupakan teknik penggalian informasi secara luas yang dilakukan dengan mengumpulkan informasi dari stakeholder secara bersamaan dalam satu kelompok diskusi, dan setiap kegiatan akan
75
menggali informasi yang lebih fokus ke topik-topik tertentu yang paling penting untuk dianalisa (Eriyatno dan Sofyar, 2005). Dalam penelitian ini FGD dimaksudkan sebagai teknik untuk merumuskan strategi implementasi kebijakan AMDAL yang efektif dan efisien. Menurut Whelan (1996) bahwa FGD sudah menjadi prosedur riset yang dapat diandalkan guna mengkaji perihal yang kompleks dan dinamik tanpa harus melakukan reduksi faktor. Pelaksanaan focus group discussion (FGD) dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1). Presentasi tentang topik dan tujuan dari pelaksanaan FGD. Moderator menyampaikan tujuan dan topik disdukusi kepada peserta. Disukusi dilakukan dalam 2 sesi yakni :. Sesi-1 adalah menyusun strategi implementasi kebijakan AMDAL migas serta menyusun tahapan strategi implementasi kebijakan AMDAL migas. Sesi-2 adalah merumuskan pengembangan kebijakan AMDAL migas yang efektif dan efisien 2). Diskusi merupakan tahapan inti pelaksanaan FGD. Pada tahap ini masingmasing peserta diminta untuk menyampaikan tanggapan, pendapat dan rumusan tentang topik yang didiskusikan. Tahapan ini menjadi penting sebagai wahana sharing pendapat dan tanggapan atas apa yang telah disampaikan,
untuk
selanjutnya
didiskusikan
secara
mendalam
dan
merumuskan hasil bersama sebagai sebuah kesimpulan. 3). Perumusan hasil yang telah didiskusikan selanjutnya disampaikan secara detil dan terstruktur kepada peserta. 4.4.2.4 Analisis Nilai Ekonomi Total Pada dasarnya nilai ekonomi suatu sumberdaya secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu nilai manfaat (use value) dan nilai bukan manfaat (non use value). Nilai manfaat terbagi menjadi dua, yaitu: nilai manfaat langsung (direct use value) dan nilai manfaat tidak langsung (indirect use value). Sedangkan nilai bukan manfaat dibagi menjadi tiga, meliputi: nilai pilihan (option value), nilai keberadaan (existence value), dan nilai pewarisan (bequest value).
76
1. Nilai Manfaat Langsung Nilai manfaat langsung adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan secara langsung dari suatu sumberdaya. Nilai manfaat langsung yang dihitung merupakan nilai dari jenis manfaat langsung yang telah termanfaatkan oleh masyarakat sekitar dan mempunyai nilai ekonomis. Sebagai contoh pada hutan yang ada di lokasi penelitian, nilai manfaat langsung yang dapat diidentifikasi antara lain: pemanfaatan kayu bakar, penangkapan satwa di sekitar hutan dan pemanfaatan langsung lainnya. Nilai manfaat langsung dari hutan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
NML = ∑1 NMLi n
Keterangan : NML : Nilai Manfaat Langsung NML1 : Nilai Manfaat Langsung (kayu bakar) NML2 : Nilai Manfaat Langsung (penangkapan satwa) NMLn : Nilai Manfaat Langsung lainnya 2. Nilai Manfaat Tidak Langsung Nilai manfaat tidak langsung adalah nilai manfaat dari suatu sumberdaya yang dapat dimanfaatkan secara tidak langsung oleh masyarakat. Sebagai contoh, manfaat tidak langsung dari hutan mangrove dapat berupa manfaat fisik yaitu sebagai penahan abrasi air laut dan juga manfaat biologis yaitu sebagai tempat pemijahan ikan, daerah asuhan ikan dan sebagai tempat penyedia makanan bagi ikan. Estimasi manfaat hutan mangrove sebagai penahan abrasi pantai dapat didekati dengan pembuatan beton pantai yang setara dengan fungsi hutan mangrove sebagai penahan abrasi pantai. Metode yang digunakan untuk mengukur nilai tersebut adalah replacement cost atau biaya pengganti. Biaya dari pembuatan beton tersebut sebagai biaya pengganti akibat dampak lingkungan, dapat digunakan sebagai perkiraan minimum dari manfaat yang diperoleh untuk memelihara maupun memperbaiki lingkungan. Estimasi manfaat hutan mangrove sebagai nursery ground, spawning
ground dan feeding ground bagi biota perairan didekati dari hasil tangkapan nelayan untuk ikan di wilayah perairan laut sekitarnya. Menurut Adrianto (2005),
77
teknik
pengukuran
untuk
menilai
manfaat
tersebut
adalah
pendekatan
produktivitas (productivity approach), karena ekosistem mangrove memiliki fungsi sebagai tempat pembesaran ikan (nursery ground) sehingga luas ekosistem menjadi input bagi produktivitas hasil tangkapan ikan yang menjadi produk akhir bagi masyarakat. Nilai total dari manfaat tidak langsung dapat dirumuskan sebagai berikut: NTML = ∑1 NMTLi 2
Keterangan: NTML NMTL1 NMTL2
: Nilai Total Manfaat Tidak Langsung : Nilai Total Manfaat Tidak Langsung (penahan abrasi) : Nilai Total Manfaat Tidak Langsung (nursery ground)
3. Nilai Manfaat Pilihan Manfaat pilihan umumnya didekati dengan menggunakan metode benefit
transfer yaitu dengan cara menilai perkiraan benefit dari tempat lain (dimana sumberdaya tersedia) kemudian benefit tersebut ditransfer untuk memperoleh perkiraan yang kasar mengenai manfaat dari lingkungan (Fauzi, 1999). Metode tersebut didekati dengan cara menghitung besarnya nilai keanekaragaman hayati
(biodiversity) yang ada di ekosistem mangrove tersebut. Menurut Ruitenbeek (1991) hutan mangrove Indonesia mempunyai nilai biodiversity sebesar US$15 per ha. Nilai ini dapat dipakai di seluruh hutan mangrove yang ada di Indonesia apabila ekosistem hutan mangrovenya secara ekologis penting dan tetap dipelihara secara alami. Nilai manfaat pilihan ini dapat dirumuskan sebagai berikut: MP = US$15 per ha x Luas hutan mangrove Keterangan: MP : Manfaat Pilihan (US$15 per ha x Kurs Rupiah pada saat penelitian) 4. Nilai Manfaat Keberadaan Manfaat keberadaan didefinisikan sebagai nilai yang dirasakan masyarakat dari keberadaan sumberdaya. Metode yang digunakan dalam perhitungan ini adalah contingent valuation method (CVM). Metode CVM ini didasarkan pada
78
kesediaan seseorang untuk membayar (willingness to pay) keberadaan sebuah sumberdaya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan interview kepada masyarakat/ responden. Pemilihan responden dilakukan secara purposive
sampling berdasarkan karakteristik masyarakat sekitar sumberdaya tersebut. Menurut Fauzi (2004), pada metode pengukuran dengan teknik ini, responden diberi suatu nilai rupiah, kemudian diberi pertanyaan ya atau tidak. Dalam operasionalnya untuk melakukan pendekatan CVM dilakukan lima tahapan kegiatan atau proses. Tahapan tersebut sebagai berikut: 1) Membuat hipotesis pasar. 2) Mendapatkan nilai lelang (bids). 3) Menghitung rataan WTP. Metode yang digunakan untuk mengukur besarnya WTP setiap responden, yaitu model discrete choice. Menurut Adrianto (2005) rumus untuk rataan WTP adalah sebagai berikut:
MWTP =
1 n ∑ yi n i =1
Keterangan : n yi
: jumlah responden : besaran WTP yang diberikan responden ke-i
4) Memperkirakan kurva lelang (bid curve). 5) Mengagregatkan data: Mengagregasikan nilai rataan WTP terhadap populasi masyarakat pengguna hutan mangrove (Grigalunas dan Conges, 1995). 5. Kuantifikasi Manfaat Total Nilai ekonomi total/total economic value (TEV) merupakan penjumlahan dari seluruh manfaat yang telah diidentifikasi, yaitu: TEV = NML + NMTL + NMP + NMK
Keterangan: TEV : Total Economic Value NML : Nilai Manfaat Langsung NMTL : Nilai Manfaat Tidak Langsung NMP : Nilai Manfaat Pilihan NMK : Nilai Manfaat Keberadaan
79
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Kebijakan AMDAL
Kebijakan AMDAL selama ini diatur dalam peraturan pemerintah yakni: PP No. 29 tahun 1986, PP No. 51 tahun 1993, PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL, serta dalam peraturan menteri yakni: Permen LH No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan AMDAL dan Permen LH No. 11 tahun 2006 tentang jenis kegiatan yang wajib AMDAL. Kebijakan AMDAL diatur pula dalam bentuk keputusan menteri ESDM No. 1457 tahun 2000 tentang pedoman teknis pengelolaan lingkungan di bidang pertambangan dan energi. Selanjutnya dalam bentuk keputusan kepala Bapedal No. 299 tahun 1996 tentang kajian aspek sosial ekonomi dalam penyusunan AMDAL, keputusan kepala Bapedal No. 08 tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses AMDAL. Kebijakan-kebijakan tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif yang berkekuatan hukum dalam mencegah terjadinya kerusakan fungsi lingkungan hidup. Kebijakan-kebijakan tersebut baik dalam bentuk peraturan pemerintah, keputusan menteri serta keputusan kepala Bapedal, diharapkan manpu menjamin keberlanjutan pembangunan dengan tetap menjaga fungsi-fungsi lingkungan dengan baik melalui upaya pencegahan dampak terhadap lingkungan serta penegakan hukum. Dengan demikian sasaran pengelolaan lingkungan dapat terwujud yakni terpenuhinya devisa negara, lingkungan hidup lestari dan kesejahteraan masyarakat meningkat. 5.1.1
Peraturan Pemerintah tentang AMDAL
Kebijakan pengelolaan lingkungan pada suatu usaha dan atau kegiatan baik oleh perseorangan maupun badan hukum diatur dalam peraturan pemerintah. Untuk kebijakan AMDAL, telah dilakukan penerapan kebijakan pengelolaan lingkungan dengan menerbitkan peraturan pemerintah No. 29 tahun 1986, kemudian direvisi menjadi PP No. 51 tahun 1993 dan terakhir PP No. 27 tahun 1999 tentang analisis mengenai dampak lingkungan.
80
Tabel 6 Review kebijakan AMDAL dengan substansi penentuan dampak penting PP No. 29 tahun 1986 Dampak penting adalah perubahan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu kegiatan
PP No. 51 tahun 1993 Dampak penting adalah perubahan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu kegiatan
PP No. 27 tahun 1999 Dampak besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu dan atau kegiatan
Kategori dampak dalam PP No. 29 tahun 1986 dan PP No. 51 tahun 1993 tidak disebutkan adanya dampak besar tetapi hanya mengkategorikan dampak penting. Hal ini berbeda dengan kategori dampak dalam PP No. 27 tahun 1999 disebutkan bahwa dampak dari rencana suatu usaha dan atau kegiatan dikategorikan menjadi dua yakni dampak besar dan penting. Namun sesungguhnya kategori dampak besar tersebut merupakan satu kesatuan dalam kategori dampak besar dan penting dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan. Dalam PP No. 27 tahun 1999 dampak besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan. Selanjutnya bahwa kriteria dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan terhadap lingkungan hidup yakni: a) jumlah manusia yang terkena dampak, b) luas wilayah penyebaran dampak, c) intensitas dan lamanya dampak berlangsung, d) banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak, e) sifat kumulatif dampak dan f) berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak. Pembagian ketagori penentuan dampak berdasarkan dampak besar dan dampak penting menjadi salah satu kelemahan PP No. 27 tahun 1999 dalam kaitannya dengan penentuan dampak penting dari suatu kegiatan usaha migas. Besaran dampak yang dikategorikan dapat menimbulkan dampak dari sisi besaran dampak adalah untuk kegiatan eksploitasi minyak di darat > 5000 BOPD (barrel oil per day), untuk eksploitasi gas > 30 MMSCFD (million million stock crude feet per day). Sebagaimana yang ditetapkan dalam Kepmen No. 11 tahun 2006 tentang kegiatan yang wajib AMDAL bahwa penentuan besaran minimal tersebut menjadi dasar penentapan suatu kegiatan usaha migas wajib AMDAL atau tidak. Sehingga peluang terjadinya dampak terhadap lingkungan, sangat memungkinkan
81
dengan tidak diwajibkan studi AMDAL bagi suatu kegiatan usaha yang tingkat produksinya di bawah ketentuan yang telah ditetapkan. Seharusnya, penentuan dampak penting dan wajib tidaknya suatu kegiatan usaha untuk melakukan studi AMDAL tidaklah didasarkan pada besaran produksinya, tetapi semua kegiatan usaha migas yang memungkinkan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan, diwajibkan melakukan studi AMDAL. Hal ini sangat mendasar, mengingat kegiatan usaha migas merupakan kegiatan yang memiliki resiko tinggi terhadap lingkungan, baik dari sisi ekologi, ekonomi maupun sosial. Usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi: a) pengubahan bentuk lahan dan bentang alam, b) eksploitasi sumberdaya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui, c) proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemorosotan sumberdaya alam dalam pemanfaatannya, d) proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial budaya, e) proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumberdaya dan atau perlindungan cagar budaya, f) introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik, g) pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati, h) penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup, i) kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan atau mempengaruhi pertahanan negara (pasal 3 ayat 2 PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL) hal ini bertentangan dengan Kepmen LH No. 11 tahun 2006 tentang kegiatan wajib AMDAL yang mana kategori kegiatan yang wajib menyusun AMDAL berdasarkan volume produksi. Tabel 7 Review kebijakan AMDAL dengan substansi kerangka acuan PP No. 29 tahun 1986 PP No. 51 tahun 1993 PP No. 27 tahun 1999 - Kerangka acuan bagi - Keputusan atas - Kerangka acuan bagi pembuatan analisis pembuatan analisis penilaian kerangka dampak lingkungan dampak lingkungan acuan diberikan oleh ditetapkan oleh komisi ditetapkan oleh komisi instansi yang dan disampaikan dan disampaikan bertanggung jawab kepada pemrakarsa kepada pemrakarsa dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 selambat-lambatnya selambat-lambatnya hari sejak diterimanya 12 hari sejak 75 hari sejak tanggal pengajuan tersebut diterimanya pengajuan diterimanya pengajuan
82
Aturan tentang penyusunan kerangka acuan disebutkan dalam PP No. 29 tahun 1986 dan PP No. 51 tahun 1993 bahwa apabila pemrakarsa berpendapat bahwa rencana kegiatannya akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, maka pemrakarsa bersama instansi yang bertanggung jawab langsung menyusun kerangka acuan bagi pembuatan analisis dampak lingkungan tanpa membuat penyajian informasi lingkungam terlebih dahulu, dimana kerangka acuan bagi pembuatan analisis dampak lingkungan ditetapkan oleh komisi dan disampaikan kepada pemrakarsa selambat-lambatnya 12 (dua belas) hari sejak diterimanya pengajuan kerangka acuan tersebut. Sementara dalam PP No. 27 tahun 1999 disebutkan bahwa suatu rencana usaha dan atau kegiatan yang akan menimbulkan dampak diwajibkan menyusun kerangka acuan, namun apabila rencana usaha dan atau kegiatan tersebut diperkirakan tidak menimbulkan dampak besar dan penting, maka diharuskan menyusun UKL dan UPL. Keputusan atas penilaian kerangka acuan juga diatur dalam PP No. 27 tahun 1999 sebagaiman termaktub dalam pasal 16 ayat 2, keputusan atas penilaian kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya kerangka acuan. Hal ini menjelaskan bahwa kerangka acuan disetujui oleh instansi yang bertanggung jawab dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya kerangka acuan tersebut. Perubahan waktu atas keputusan penilaian kerangka acuan dari 12 (dua belas) hari menjadi 75 (tujuh puluh lima) hari kerja menjadi sangat penting mengingat kebutuhan waktu yang lama dapat menghambat jalannya investasi, begitu pula waktu yang sangat singkat, akan memberikan penilaian yang tidak maksimal, sehingga dengan demikian waktu persetujuan kerangka acuan didasarkan pada kebutuhan waktu.
83
Tabel 8. Review kebijakan AMDAL dengan substansi ANDAL PP No. 29 tahun 1986 - Telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu kegiatan yang direncanakan - Keputusan atas andal diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya pengajuan analisis dampak lingkungan - Apabila keputusan atas andal berupa penolakan berhubung kurang sempurnanya, maka keputusan perbaikan andal diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya pengajuan kembali perbaikan analisis dampak lingkungan tersebut
PP No. 51 tahun 1993 - Keputusan atas andal diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya pengajuan analisis dampak lingkungan - Apabila keputusan atas andal berupa penolakan berhubung kurang sempurnanya, maka keputusan perbaikan ANDAL diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya pengajuan kembali perbaikan analisis dampak lingkungan tersebut
PP No. 27 tahun 1999 - Telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan atau kegiatan - Keputusan atas ANDAL diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya dokumen ANDAL, RKL, RPL - Apabila instansi yang bertangungjawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu tersebut maka rencana usaha dan atau kegiatan yang dimaksud dianggap layak lingkungan
Keputusan atas ANDAL diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya pengajuan analisis dampak lingkungan tersebut. Apabila keputusan atas ANDAL berupa penolakan berhubung kurang sempurnanya, maka keputusan perbaikan ANDAL diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya pengajuan kembali perbaikan analisis dampak lingkungan tersebut. Dalam PP No. 27 tahun 1999 dibutuhkan waktu sebanyak 75 hari kerja sebagaimana termaktub dalam pasal 20 ayat 1, instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), dalam jangka waktu selambatlambatnya 75 (tujuh puluh lima) jari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
84
dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Namun demikian, waktu yang dibutuhkan tersebut (75 hari) tidak berdasar, sehingga perlu direvisi mengingat lamanya proses persetujuan AMDAL tersebut dapat menghambat iklim investasi dalam kegiatan usaha migas. Dari sisi efisiensi, hal ini akan sangat berdampak terhadap rencana implementasi kegiatan yang akan dilakukan. Penekan sesungguhnya bukanlah pada lamanya waktu prosedur persetujuan AMDAL, namun lebih ditekankan pada tingkat kebutuhan usaha dengan prinsip-prinsip kelestarian ekologi dan pertumbuhan ekonomi. Dalam proses persetujuan dapat diterapkan prosedur yang mudah, cepat dan bertanggungjawab dengan demikian semangat investasi dapat tetap terjaga dalam upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan. Tabel 9 Review kebijakan AMDAL dengan substansi RKL PP No. 29 tahun 1986 - Keputusan persetujuan atas rencana pengelolaan lingkungan diberikan oleh instansi yang bertanggungjawab kepada pemrakarsa selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya rencana pengelolaan lingkungan tersebut
PP No. 51 tahun 1993 PP No. 27 tahun 1999 - Keputusan persetujuan - Keputusan persetujuan atas rencana atas rencana pengelolaan pengelolaan lingkungan diberikan lingkungan diberikan oleh instansi yang oleh instansi yang bertanggung jawab bertanggungjawab kepada pemrakarsa kepada pemrakarsa selambat-lambatnya 75 selambat-lambatnya (tujuh puluh lima) hari 45 (empat puluh lima) kerja terhitung sejak hari sejak diterimanya tanggal diterimanya rencana pengelolaan rencana pengelolaan lingkungan tersebut lingkungan tersebut
Prosedur persetujuan dokumen RKL dan RPL dalam PP No. 27 tahun 1999 dilakukan bersamaan dengan pengajuan dokumen ANDAL dengan waktu yang dibutuhkan 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak diajukannya dokumen tersebut. Sementara dalam PP No. 51 tahun 1993, prosedur persetujuan dokumen RKL dan RPL dilakukan terpisah dengan pengajuan dokumen ANDAL. Waktu yang dibutuhkan dalam proses persetujuan dokumen RKL dan RPL yakni 45 (empat puluh lima) hari kerja.
85
Tabel 10 Review kebijakan AMDAL dengan substansi RPL -
PP No. 29 tahun 1986 Keputusan persetujuan atas rencana pemantauan lingkungan diberikan oleh instansi yang bertanggungjawab kepada pemrakarsa selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya rencana pemantauan lingkungan tersebut
-
PP No. 51 tahun 1993 PP No. 27 tahun 1999 - Keputusan Keputusan persetujuan atas persetujuan atas rencana pemantauan rencana pemantauan lingkungan diberikan lingkungan diberikan oleh instansi yang oleh instansi yang bertanggungjawab bertanggung jawab kepada pemrakarsa kepada pemrakarsa selambat-lambatnya selambat-lambatnya 45 (empat puluh 75 (tujuh puluh lima) lima) hari sejak hari kerja terhitung diterimanya rencana sejak tanggal pemantauan diterimanya rencana lingkungan tersebut pemantauan tersebut
Seperti pada Tabel 10 tampak perubahan waktu keputusan persetujuan RPL yang semakin lama yakni dari 30 hari kerja (PP No. 29 tahun 1986), 40 hari kerja (PP No. 51 tahun 1993) dan menjadi 75 hari kerja (PP No. 27 tahun 1999). Perubahan waktu persetujuan RPL tersebut tidak memiliki dasar penetapan waktu yang jelas. Seharusnya waktu penyusunan tidak ditetapkan sama untuk semua kegiatan, harus mempertimbangkan lokasi kegiatan yang sulit dijangkau, perlu pengkajian yang mendalam berdasarkan ekosistem masing-masing kegiatan, pertimbangan efisiensi waktu, yang dapat menghambat kegiatan karena kegiatan usaha migas sangat dinamis, akhirnya dapat berakibat timbulnya pelanggaranpelanggaran, sebelum AMDAL disetujui kegiatan telah dimulai karena mengejar produksi dan juga dapat menghambat investasi (investasi tidak kondusif). Faktor lain yang juga penting dalam review kebijakan peraturan pemerintah dalam kaitannya penerapan AMDAL yang efektif dan efisien adalah tentang kedudukan komisi penilai atau komisi pusat AMDAL. Perubahan besar yang terdapat dalam PP No. 27 tahun 1999 adalah disatukannya komisi penilai pusat dan berkedudukan di kementerian negara lingkungan hidup. Apabila penilaian tersebut tidak layak lingkungan maka instansi yang berwenang boleh menolak permohonan ijin yang diajukan oleh pemrakarsa. Kedudukan komisi ini menjadi sangat penting, khususnya dalam kaitannya dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Kedudukan komisi penilai AMDAL pusat saat ini berkedudukan di kementerian negara lingkungan hidup yang merupakan
86
instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan. Kondisi ini kemudian menjadi sangat penting untuk direview mengingat kegiatan usaha migas yang bersifat sangat teknis dengan aspek profesionalitas yang tinggi. Kegiatan usaha migas menggunakan teknologi tinggi dalam operasinya, sehingga dampak lingkungan yang ditimbulkan, sangat memungkinkan dari kesalahan teknis operasional. Berdasarkan hal itu, maka dibutuhkan komisi penilai antara lain, ahli dalam bidang perminyakan dan geologi, ahli proses untuk kilang, ahli kimia, sehingga dapat memprediksi dan mengetahui kemungkinan-kemungkinan dampak besar dan penting yang ditimbulkan dalam kegiatan. Tabel 11 Review kebijakan AMDAL dengan substansi komisi penilai PP No. 29 tahun 1986 PP No. 51 tahun 1993 - Komisi AMDAL pusat - Komisi AMDAL pusat dibentuk oleh menteri dibentuk oleh menteri atau pimpinan lembaga atau pimpinan lembaga pemerintah pemerintah nondepartemen nondepartemen sektoral dan sektoral dan berkedudukan di berkedudukan di departemen atau departemen atau LPND, dengan status LPND, dengan status keanggotaan tetap dan keanggotaan tetap dan anggota tidak tetap anggota tidak tetap - Komisi AMDAL - Komisi AMDAL daerah dibentuk oleh daerah dibentuk oleh Gubernur dan Gubernur dan berkedudukan di berkedudukan di Bapedalda propinsi Bapedalda propinsi dengan status dengan status keanggotaan tetap dan keanggotaan tetap dan tidak tetap tidak tetap
PP No. 27 tahun 1999 - Komisi penilai AMDAL pusat dibentuk oleh menteri dan berkedudukan di instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan - Komisi penilai AMDAL daerah dibentuk oleh Gubernur dan berkedudukan di instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan di tingkat I (Bapedalda propinsi)
Komisi pusat AMDAL dalam PP No. 27 tahun 1999 disebut komisi penilai pusat yang dibentuk oleh kementerian negara lingkungan hidup dan berkedudukan di Bapedal pusat dengan keanggotaan lebih representatif yang bertugas menilai hasil AMDAL. Keberadaan komisi pusat AMDAL di bawah kewenangan kementerian lingkungan hidup tersebut dianggap kurang tepat, mengingat AMDAL pada kegiatan usaha migas sangat terkait dengan potensi dampak yang muncul dari penerapan teknologi-teknologi yang digunakan. Untuk itu, keahlian minyak dan gas dalam penilaian dokumen AMDAL menjadi sangat penting,
87
terkait dengan metode eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, pengangkutan dan tata niaga. Metode-metode yang dikembangkan sangat spesifik dan membutuhkan ahli-ahli di bidangnya. Dengan demikian, usulan pengembalian komisi pusat AMDAL pada departemen teknis/sektor menjadi sangat penting. Tabel 12 Review kebijakan AMDAL dengan substansi pembiayaan PP No. 29 tahun 1986 PP No. 51 tahun 1993 PP No. 27 tahun 1999 - Biaya penyusunan dan - Biaya untuk membuat - Biaya penyusunan KA-ANDAL,ANDAL, kerangka acuan, penilaian kerangka RKL, RPL dibebankan analisis dampak acuan, analisis dampak kepada pemrakarsa lingkungan hidup, lingkungan, rencana atau penanggung jawab rencana pengelolaan pengelolaan kegiatan lingkungan dan lingkungan hidup dan - Untuk biaya tertentu rencana pemantauan rencana pemantauan lingkungan lingkungan hidup dibebankan kepada dibebankan kepada dibebankan kepada menteri yang ditugasi pemrakarsa atau pemrakarsa mengelola lingkungan penanggung jawab - Biaya pembinaan hidup dan atau menteri kegiatan atau pimpinan lembaga teknis dan pengawasan pemerintah dibebankan pada nondepartemen yang anggaran instansi yang membidangi kegiatan bertanggung jawab yang bersangkutan dan atau gubernur kepala daerah tingkat I
Faktor pembiayaan juga menjadi penting untuk diperhatikan, mengingat kualitas dokumen yang dihasilkan akan sangat dipengaruhi oleh besaran biaya studi yang dialokasikan. Pembiayaan yang proporsional dan jelas akan memberikan hasil yang baik. Biaya akan sangat penting bagi terlaksananya kegiatan sebagaimana tujuan yang akan dicapai. Pembiayaan studi yang sesuai dengan kegiatan akan menjamin pelaksanaan kegiatan yang baik. Untuk faktor pembiayaan menjadi hal yang positif apabila dimanfaatkan sesuai dengan proporsinya. Demikian pula sebaliknya, pembiayaan studi yang minim dan tidak proporsional akan menyulitkan dalam pelaksanaan studi yang sesuai dengan tujuan. Pembiayaan tentu terkait dengan keahlian dari penyusun dan biaya dapat menunjukkan/mencerminkan kedalaman studi dan analisis yang digunakan oleh penyusun. Namun, hal ini sulit diukur karena sangat bervariasi.
88
5.1.2
Peraturan Menteri, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Keputusan Menteri ESDM
Peraturan menteri dan keputusan menteri negara lingkungan hidup yang terkait dalam pelaksanaan AMDAL di Indonesia antara lain Permen LH No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan dan Kepmen LH No. 11 tahun 2006 tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL. Peratuan menteri negara lingkungan hidup No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan merupakan penjabaran kebijakan AMDAL yakni PP No. 27 tahun 1999 pasal 14 ayat (2) dan pasal 17 ayat (2). Dalam Permen LH No. 08 tahun 2006 tersebut terdapat beberapa hal yang perlu direview antara lain; pelingkupan, metode studi, penyusun, serta biaya dan waktu studi. Pelingkupan
merupakan proses awal untuk
menentukan lingkup
permasalahan dan mengidentifikasi dampak penting (hipotesis) yang terkait dengan rencana usaha dan atau kegiatan. Pelingkupan meliputi dampak penting hipotetik, lingkup wilayah studi ANDAL didasarkan pada beberapa pertimbangan: batas proyek, batas ekologis, batas sosial dan batas administratif, batas waktu kajian, kedalaman studi ANDAL mencakup metode yang digunakan, jumlah sampel yang diukur, dan tenaga ahli yang dibutuhkan sesuai dengan sumberdaya yang tersedia (dana dan waktu). Proses pelingkupan dampak penting terdiri atas; identifikasi dampak potensial dan evaluasi dampak potensial. Hal ini sangat rancu karena bila dampak potensial hanya sebagai dampak tunggal yang memperkirakan potensi dampak, sedangkan isu pokok merupakan dampak yang terintegrasi dari dampak yang komprehensif dan interaksi dampak kumulatif dari keseluruhan dampak, jadi bukan hanya dampak tunggal, sangat penting didalam AMDAL adalah isu pokok (main issue). Hal ini merupakan kelemahan dari Kepdal No. 08 tahun 2006 untuk menentukan dampak, pada skoping (pelingkupan) di KAANDAL terdiri atas: skoping sosial, skoping ekologis, skoping perencanaan dan kebijaksanaan (Beanlands dan Dunker, 1983). Metode studi terdiri atas: metode pengumpulan data, metode analisa data, metode prakiraan dampak dan metode evaluasi dampak. Metode disebutkan
89
merupakan metode yang baku dan sesuai dengan komponen lingkungan yang dianggap akan terkena dampak (fisik, kimia, biologi, sosial, ekonomi dan budaya). Dengan kejelasan metode yang digunakan akan memudahkan pemrakarsa dan penyusun AMDAL dalam menyusun dokumen AMDAL yang berkualitas dan sesuai dengan kondisi di lapangan. Peraturan ini semestinya menjadi pedoman dan panduan bagi pemrakarsa dan penyusun AMDAL dalam menyusun dokumen AMDAL yang efisien dan efektif. Penyusun terdiri atas kualifikasi ketua dan anggota tim. Ketua tim penyusun studi disebutkan harus bersertifikat AMDAL penyusun dan sesuai ketentuan yang berlaku, sedang anggota tim harus memiliki keahlian yang sesuai dengan lingkup studi yang dilakukan. Biaya studi diprosentasekan berdasarkan jenis-jenis biaya yang dibutuhkan dalam rangka penyusunan studi AMDAL termasuk biaya untuk pelaksanaan konsultasi masyarakat. Sedang waktu studi merupakan jangka waktu pelaksanaan studi ANDAL sejak tahap persiapan hingga penyerahan laporan ke instansi yang bertanggung jawab. Keputusan menteri negara lingkungan hidup No. 11 tahun 2006 tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan penjabaran dari PP No. 27 tahun 1999 pasal 3 ayat (2) dan ketidakpastian kemampuan teknologi yang tersedia untuk menanggulangi dampak penting negatif yang akan timbul. Namun dalam penetapan jenis kegiatan khususnya pada sumberdaya minyak dan gas bumi dengan menggunakan indikator jumlah produksi. Hal ini sangat tidak realiable mengingat potensi dampak yang dapat terjadi tidak hanya pada skala usaha dengan produksi yang tinggi, tapi juga pada setiap kegiatan usaha yang dilakukan akan berpotensi menghasilkan dampak penting. Dampak tidak hanya dilihat dari sisi kuantitas atau besaran dampak tetapi juga dari sisi berbahayanya dampak tersebut terhadap lingkungan hidup dan manusia. Penentuan dampak terhadap lingkungan didasarkan pada perubahan indikator-indikator kualitas lingkungan. Untuk mengetahui suatu perubahan aspek lingkungan dari suatu kegiatan tidak berarti cukup menggunakan satu indikator (Suratmo, 2002).
90
Review kebijakan AMDAL migas dilakukan terhadap keputusan menteri energi dan sumberdaya mineral No. 1457 tahun 2000 tentang pedoman teknis pengelolaan lingkungan di bidang pertambangan dan energi. Ada dua poin penting yang perlu diperhatikan yakni isu pokok dan metode prakiraan dampak. Isu pokok harus telah tercantum di dalam kerangka acuan. Sedang metode prakiraan dampak besar dan penting disebut menggunakan metode formal (matematik, statistik) dan non formal (analog dan professional judgement), serta metode evaluasi dampak. Penentuan dampak besar dan penting menjadi sangat krusial, mengingat potensial dampak yang dapat terjadi pada suatu kegiatan usaha. Untuk itu, selain kriteria dan identifikasi bentuk-bentuk kegiatan yang dapat menimbulkan dampak besar dan penting, hal lain yang juga sangat menentukan adalah pengambil keputusan penentuan dampak besar dan penting dari suatu rencana kegiatan. Selama ini, sebagaimana diacu dalam PP No. 27 tahun 1999 pasal 5 ayat (2) bahwa pedoman mengenai penentuan dampak besar dan penting ditetapkan oleh kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan. Pedoman penentuan dampak besar dan penting pada kegiatan usaha migas ditetapkan oleh menteri ESDM. Selanjutnya dinyatakan bahwa untuk menetapkan suatu dampak diperlukan tiga tahapan yakni: a) tahapan pertama yakni melakukan identifikasi dampak yang terjadi pada komponen lingkungan, b) tahap kedua yakni pengukuran atau perhitungan dampak yang akan terjadi pada komponen lingkungan, dan c) tahapan ketiga yakni penggabungan beberapa komponen lingkungan yang sangat berkaitan, kemudian dianalisis dan digunakan untuk menetapkan refleksi dari dampak komponen-komponen sebagai indikator menjadi gambaran perubahan lingkungan atau dampak lingkungan, d) menetapkan parameter atau indikator dari komponen lingkungan yang akan diukur (Sumarwoto, 2005). Mengingat pentingnya penentuan dampak besar dan penting, sehingga indikator penentuan dampak pada kegiatan usaha migas didasarkan pada aspek teknologi, aspek produksi, aspek sosial budaya serta aspek ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan. Selain itu, penentuan dampak tersebut sebaiknya dilakukan oleh lembaga independen yang terdiri atas unsur-unsur lembaga/instansi teknis, kementerian lingkungan hidup, pemerhati lingkungan/LSM, praktisi lingkungan,
91
pakar/perguruan tinggi dan masyarakat dimana lokasi rencana kegiatan akan dilakukan. 5.1.3
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Peraturan dalam bentuk keputusan kepala badan pengendalian dampak lingkungan merupakan penjabaran dari peraturan keputusan menteri lingkungan hidup. Ada beberapa keputusan kepala Bapedal yang mendukung pelaksanan AMDAL agar terlaksana dengan baik dan sesuai peraturan pemerintah yang telah ditetapkan. Keputusan kepala Bapedal yang direview antara lain keputusan kepala badan pengendalian dampak lingkungan No. 229 tahun 1996 tentang pedoman teknis kajian aspek sosial dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan dan kepala badan pengendalian dampak lingkungan No. 08 tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup. a. Penggunaan kata aspek sosial dalam peraturan ini diusulkan menjadi kata aspek sosial ekonomi. b. Pada lampiran I bagian C ruang lingkup pada poin 1 dinyatakan bahwa komponen sosial yang ditelaah meliputi: demografi, ekonomi dan budaya. Komponen yang direview yakni: ekonomi, demografi dan budaya yang merupakanbukan bagian dari komponan sosial namun merupakan komponen yang berdiri sendiri. c. Pada lampiran III bagian A poin 1.5 untuk indikator ekonomi yang nilai moneternya tidak bisa dianalisis dengan akurat, diperlukan value judgement dari penyusun AMDAL. Caranya antara lain dengan menggunakan analogi terhadap fenomena-fenomena dampak penting yang timbul menurut dokumen AMDAL sejenis. Pernyataan mengenai diperlukan value judgement dari penyusun AMDAL akan terlaksana dengan baik jika penyusun AMDAL merupakan ahli ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan karena dengan hanya menggunakan metode analogi tidak akan cukup untuk memberikan nilai ekonomi yang akurat pada suatu sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
92
d. Pada lampiran III bagian A poin 2.b metode informal antara lain: 1) penilaian pakar (professional judgement), 2) komparatif antar budaya (cross cultural), 3) teknik analogi dan 4) metode delphi. Penjabaran metode informal menjadi 4 teknik salah satunya penilaian akan bersifat objektif dan tingkat terjadinya bias terhadap penilaian akan lebih tinggi. e. Keputusan Kepala Bapedal No. 229 tahun 1996 sebaiknya dijadikan pedoman wajib dalam menilai komponen sosial ekonomi dalam menyusun dokumen KA-ANDAL, ANDAL, RKL dan RPL pada kegiatan usaha migas karena berdasarkan hasil review kualitas dokumen AMDAL migas tidak satupun penyusun yang melaksanakan metode analisis data ekonomi dengan pendekatan pemberian nilai moneter (lampiran III bagian A poin 1.5) dinyatakan bahwa data ekonomi sedapat mungkin diberi nilai moneter (valuation) karena sebagian besar indikator-indikator ekonomi dapat dikuantifikasi. Pendekatan memberikan nilai moneter pada sumberdaya alam sering diistilahkan dengan pendekatan valuasi ekonomi atau lebih dikenal total economic valuation. Metode ini merupakan salah satu metode ekonomi sumberdaya yang dapat memberikan nilai moneter pada sumberdaya baik tidak bernilai pasar maupun yang bernilai pasar. Selain itu, dengan menggunakan metode TEV akan diperoleh informasi nilai estimasi moneter suatu lingkungan/lahan yang akan dialih fungsikan misal dari hutan menjadi daerah kegiatan usaha migas serta dengan mengetahui nilai moneter suatu lingkungan akan dapat dijadikan salah satu acuan dalam menentukan nilai ganti rugi terhadap lahan yang terpakai oleh kegiatan migas. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 08 tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup, serta mekanisme keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam PP No. 27 tahun 1999 disebutkan secara jelas jangka waktu pelaksanaannya yakni 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diumumkannya rencana usaha dan atau kegiatan tersebut, serta merupakan bagian tersendiri. Dalam penjelasannya tentang keterbukaan informasi dan peran masyarakat yakni setiap usaha dan atau kegiatan wajib mengumumkan terlebih
93
dahulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa menyusun analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Pengumuman dilakukan oleh instansi yang bertanggungjawab dan pemrakarsa dan tatacara pengumuman serta tatacara penyampaian saran, pendapat dan tanggapan ditetapkan oleh kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dasar penentuan 30 hari kerja tidak jelas, masyarakat hanya memberi tanggapan, selanjutnya tidak terlibat lagi sampai pasca operasi. Berdasarkan uraian dari hasil review kebijakan diperoleh sembilan komponen mendasar yang merupakan perbedaan mendasar dan kelemahan dari peraturan pemerintah No. 29 tahun 1986, PP No. 51 tahun 1993 dan PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL, peraturan menteri negara LH No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan AMDAL, dan Permen LH No. 11 tahun 2006 tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL, keputusan menteri ESDM No. 1457 tahun 2000 tentang pedoman teknis pengelolaan lingkungan di bidang pertambangan dan energi, keputusan kepala badan pengendalian dampak lingkungan No. 229 tahun 1996 tentang pedoman teknis kajian aspek sosial dalam penyusunan AMDAL dan keputusan kepala badan pengendalian dampak lingkungan No. 08 tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses AMDAL. Tabel 13 Kelemahan-kelemahan kebijakan AMDAL migas Substansi 1.Penentuan dampak penting
2. Efisiensi penyusunan AMDAL
-
-
Kelemahan-kelemahan Penentuan dampak tidak hanya didasarkan pada dampak penting tetapi juga pada dampak besar, penyusunan AMDAL berdasarkan volume produksi bukan dampak penting dari suatu kegiatan migas. PP No. 29 tahun 1986 dan PP No. 51 tahun 1993 dikategorikan dampak penting, sedangkan PP No. 27 tahun 1999 dikategorikan dampak besar dan penting PP No. 27 tahun 1999 waktu penyusunan relatif lama yakni 75 hari KA dan 75 hari ANDAL, RKL dan RPL, pada PP No. 29 tahun 1986 dan PP No. 51 tahun 1993 waktu penyusunan lebih singkat. Waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penyusunan AMDAL, mulai dari pengajuan hingga persetujuan AMDAL relatif 1-3 tahun. Biaya penyusunan AMDAL dibebankan kepada pemrakarsa tapi biaya lain dibebankan pada kementerian lingkungan hidup, departemen teknis/sektoral atau gubernur
94
Lanjutan Tabel 13 3. Komisi AMDAL pusat
-
4. Metode pelingkupan
-
5. Metode studi
-
6. Aspek sosial ekonomi
-
7. Keterlibatan masyarakat
-
8. Analisis valuasi ekonomi lingkungan
-
9. Emergency/ Keadaan Darurat
-
Komisi AMDAL dalam PP No. 27 tahun 1999 berada dibawah kewenangan kementerian lingkungan hidup Komisi AMDAL dalam PP No. 29 tahun 1986 dan PP No. 51 tahun 1993 berada pada masing-masing sektor Metode pelingkupan yang digunakan umumnya bergantung pada keahlian masing-masing penyusun, sehingga sulit melakukan penilaian metodologi yang tepat, kerena tidak adanya penetapan metode-metode standar/baku Dalam Permen LH No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan AMDAL, metode perkiraan dan evaluasi dampak hanya disebutkan metode formal dan professional judgement, tidak terdapat metode yang baku yang dapat diacu bersama Dalam keputusan kepala Bapedal No. 229 tahun 1996, komponen sosial ekonomi masih sekitar penyerapan tenaga kerja dan bantuan-bantuan sosial seperti pembangunan jalan, gedung sekolah dan sarana umum lainnya, dan belum banyak mengedepankan aspek ekonomi lingkungan, sehingga ketika terjadi emergency yang berdampak terhadap lingkungan maka sangat sulit melakukan penilaian Dalam keputusan kepala Bapedal No. 08 tahun 2000, keterlibatan masyarakat selama ini hanya bersifat formalitas yang porsinya adalah pada waktu pengumuman masyarakat, dengan demikian tidak ada check and balances dari masyarakat secara langsung terhadap dampak yang dapat terjadi Analisis valuasi ekonomi lingkungan/total economic valution sesungguhnya telah dicantumkan dalam Keputusan Kepala Bapedal No. 229 tahun 1996 tentang pedoman teknis kajian aspek sosial ekonomi, namun belum ada peraturan yang mewajibkan penggunaan metode TEV dalam penyusunan AMDAL, sehingga hingga saat ini belum ada bukti penerapannya Masalah emergency/keadaan darurat tidak ada keterkaitan dengan AMDAL dan tidak disebutkan dalam Kepmen ESDM No. 1457 tahun 2000 tentang pedoman teknis pengelolaan lingkungan
95
5.2
Kualitas Dokumen AMDAL Migas
Pelaksanaan AMDAL pada kegiatan usaha migas diterapkan mulai tahun 1986 dengan menghasilkan beberapa dokumen AMDAL. Untuk mengetahui sejauhmana kualitas dokumen AMDAL pada kegiatan usaha migas maka perlu dilakukan review dokumen. Hasil review terhadap kualitas dokumen AMDAL pada tujuh dokumen AMDAL yang dimiliki oleh perusahaan menunjukkan bahwa umumnya pemrakarsa dan tim penyusun AMDAL dapat memenuhi kriteria indikator sesuai dengan peraturan yang berlaku. Analisis kualitas dokumen AMDAL migas dilakukan pada tujuh perusahaan migas yaitu perusahaan PT.CPI Lapangan Duri, Pertamina UP III Plaju, PT.Lapindo Brantas, KKKS Suryaraya Teladan Pendopo, BP Tangguh, Expan Blok Toili dan KKKS Hess Pangkah. 1. PT.Chevron Pacific Indonesia Duri
Dokumen KA-ANDAL disahkan pada tahun 1990 sementara dokumen ANDAL disetujui pada tahun 1991, RKL dan RPL-nya disetujui pada tahun 1993, hal ini karena sesuai PP 29/1989 yang diajukan dan disetujui secara bertahap atau terpisah oleh masing-masing dokumen setelah ANDAL disetujui dan kegiatan berlangsung baru dimulai penyusunan dokumen RKL dan RPL dan disahkan oleh komisi AMDAL. Dokumen AMDAL ini disusun oleh tim penyusun dari PPLH UNRI dan PT Bumi Prasidi. Hasil dari review dokumen ternyata tim penyusun tidak lengkap yang mana ahli geologi dan ahli perminyakan tidak tersedia. Tim penyusun AMDAL terbagi dalam dua tim yakni; a) tim inti yang terdiri atas penanggung jawab, staf konsultan senior dan tim pemantau rona awal dan penilai lingkungan, b) tim studi tata guna tanah, sosial ekonomi dan budaya, yang terdiri atas; penanggung jawab, koordinator sosial ekonomi, koordinator sosial budaya, dan koordinator tata guna tanah. Anggota tim terdiri: ahli ekonomi, ahli pertanian, ahli pendidikan, ahli kepustakaan, ahli perikanan, ahli sosiologi. Review dokumen KA-ANDAL PT. CPI Lapangan Duri bahwa deskripsi rencana kegiatan dan rona lingkungan awal dijelaskan secara rinci dan lengkap dan metode prakiraan dampak dalam dokumen ANDAL ini terdiri atas; a)
96
pemantauan meteorologi, b) pemantauan kualitas udara sekitar dan c) analisa dampak kualitas udara. Demikian pula dengan uraian batas wilayah studi dijelaskan dengan rinci dan dilengkapi dengan peta-peta. Namun, rumusan pelingkupan tidak dijelaskan dalam dokumen ANDAL. Metode prakiraan dampak sama dengan yang ada dalam dokumen KA-ANDAL, hanya lebih lengkap dan detail. Sedangkan metode evaluasi dampak penting tidak disebutkan dalam dokumen ANDAL ini dan tidak dilakukan evaluasi dampak penting yang di dalam dokumen AMDAL. Review dokumen RKL dan RPL yang disahkan pada tahun 1992, menunjukkan bahwa dampak yang harus dikelola dan dipantau antara lain: penurunan kualitas udara, penurunan air permukaan, penurunan kualitas air tanah, perubahan vegetasi dan penurunan populasi fauna, terbukanya kesempatan kerja dan jasa setempat. Dan langkah-langkah pengelolaan yang diterapkan antara lain : membakar limbah gas di flare, memproses air limbah sebelum dibuang kelingkungan, membuat kanal untuk pendingin air buangan (air terproduksi), melakukan penghijauan pada areal-areal yang terbuka, melestarikan tanaman hutan didaerah kantong antara lokasi sumur dan kawasan lain, penimbunan sludge dan sisa lumpur pemboran tidak disebutkan teknologi dalam pengelolaan limbah tersebut, memanfaatkan tenaga kerja dan jasa setempat. Sedangkan pemantauan lingkungan yang dilakukan antara lain: pemantuan kualitas air limbah, pemantauan kualitas udara, pemantauan kualitas air tanah, pemantauan flora dan fauna. 2. Pertamina UP III Plaju
Dokumen KA-ANDAL Pertamina UP III Plaju Sungai Gerong, disahkan pada tahun 1990 sementara dokumen ANDAL disetujui pada tahun 1991, RKL dan RPL disetujui pada tahun 1993, hal ini karena sesuai PP 29/1989 yang diajukan dan disetujui secara bertahap atau terpisah oleh masing-masing dokumen setelah ANDAL disetujui dan kegiatan berlangsung baru dimulai penyusunan dokumen RKL dan RPL dan disahkan oleh komisi AMDAL. Kegiatan studi evaluasi lingkungan kilang Musi Pertamina UP III Plaju, Sungai Gerong disusun oleh tim penyusun PT.Unisystem Utama (Ltd) dengan kualifikasi terdiri atas ketua tim, ahli teknik proses kilang/perminyakan, ahli
97
iklim,udara dan bising, ahli hidrologi, ahli geologi, ahli biologi darat, ahli biologi perairan, ahli kesehatan lingkungan, ahli sosio ekonomi dan ahli sosial budaya. Berdasarkan hasil review kualitas dokumen KA-ANDAL bahwa deskripsi rona lingkungan awal lengkap dan jelas. Deksripsi kegiatan terdiri atas tiga kegiatan yaitu kegiatan utama, kegiatan utilitas dan kegiatan unit off site. Parameter lingkungan yang perlu ditelaah yaitu: a. Komponen fisik-kimia yang meliputi: suhu udara rata-rata dan increment persatuan tinggi dari permukaan bumi), curah hujan, kecepatan angin rata-rata, arah angin rata-rata, stabilitas angin, wind rose, fisiografi, stratiografi, adanya keunikan, keistimewaan dan kerawanan bentuk lahan dan batuan secara ekologi, parameter udara lingkungan, parameter emisi dari cerobong, kualitas air tanah saat musim hujan dan musim kemarau, kualitas air sungai. b. Komponen biologi meliputi: fauna darat dan air, flora darat dan air, flora dan fauna yang dilindungi. c. Komponen sosial ekonomi dan budaya meliputi: taraf hidup masyarakat, lapangan kerja, pendidikan, mental ideologi dan agama, warisan alam dan budaya, kesehatan masyarakat dan citra pertamina. Metode analisis dan evaluasi dampak hanya menggunakan metode identifikasi/prediksi dampak dengan menggunakan metode bagan alir dan matrik dan evaluasi dampak penting yang sudah ada dan yang mungkin timbul dengan mengacu pada keputusan menteri LH No. 49 tahun 1987. Hasil review kualitas dokumen ANDAL menunjukkan bahwa batas wilayah studi lengkap dan disertai dengan peta pengambilan sampel dengan skala yang memadai. Komponen lingkungan yang ditelaah pada dokumen KA-ANDAL dan ANDAL isinya sama namun dalam dokumen ANDAL lebih detail dijelaskannya. Metode studi hanya dibuat dalam bentuk matriks. Metode studi yang digunakan lebih banyak yang bersifat kuantitatif. Hasil review kualitas dokumen RKL yang disahkan pada tahun 1993 bahwa pendekatan pengelolaan lingkungan yang diuraikan terdiri atas tiga pendekatan yakni; pendekatan teknologi, ekonomi dan institusi. Uraian pendekatan teknologi cukup jelas dan operasional dengan ditunjang oleh data-data hasil monitoring, sedangkan untuk pendekatan ekonomi pembahasannya terbatas
98
pada dampak yang akan timbul terhadap prosedur dan alokasi anggaran perusahaan tidak membahas masalah dampak ekonomi terhadap masyarakat dan untuk pendekatan institusi tidak jelasnya sistem koordinasi yang dibentuk dan dengan siapa perusahaan melakukan koordinasi dalam hal pengelolaan lingkungan. Dampak penting yang dikelola mencakup tiga dampak yaitu air limbah kilang, emisi gas dan limbah padat dengan jenis dampak meliputi: kenaikan kadar minyak di Sungai Komering dan Sungai Musi, akumulasi endapan minyak setebal 20 cm di dasar Sungai Komering sekitar outfall, akumulasi Pb dan Hg dalam ruang, kerusakan ekosisten perairan sungai Komering dan sungai Musi yang menjadi tidak produktif untuk mencari ikan sehingga sebagian besar kebutuhan ikan di Palembang harus diproduksi di tambak dan didatangkan dari Riau, menurunnya kualitas udara ambien sebagai akibat adanya emisi gas, indikasi dominannya penyakit pada saluran pernapasan yang diduga salah satunya karena pengaruh kualitas udara di Plaju dan Mariana. Rencana pengelolaan lingkungan terdiri atas: perusahaan membangun kanal khusus untuk mengalirkan discharge air pendingin sehingga outlet pembuangan air pendingin terpisah dengan outlet pembuangan air, memperbaiki sistem netralisasi di TA/PTA, memasang CPI di kilang plaju dan Sungai Gerong pada lokasi tertentu dengan skala yang telah ditetapkan, pemilihan CCR yang berkadar rendah, mengganti oil recovery dan membakar sludge di Incinerator, mengganti strainer Incinerator TA/PTA, membuat dumping area kedap air. Review kualitas dokumen RPL menunjukkan bahwa dampak penting yang dipantau sama dan konsisten dengan dampak penting yang dikelola, yakni ada 3 buah dampak penting. Metode analisis yang digunakan dalam pemantauan lingkungan adalah pemuaian, potensi metrik, gravimetrik, spektofotometrik dan titrimetrik. Metode rencana pemantauan berdasarkan dampak penting tidak dijelaskan secara jelas dan operasional. 3. PT. Lapindo Brantas Sidoarjo
Kegiatan pengembangan lapangan gas bumi wunut Blok Brantas, Kabupaten Sidoarjo propinsi Jawa Timur disusun oleh tim penyusun PT.Corelab Indonesia yang terdiri atas ketua tim, sub tim iklim dan kualitas udara, sub tim
99
hidrologi dan kualitas air, sub tim geologi, sub tim biologi terestrial, sub tim tanah, ruang dan lahan, sub tim sosial ekonomi dan budaya. Dari hasil review menunjukkan tidak tersedianya ahli perminyakan dalam tim penyusun AMDAL. Berdasarkan hasil review kualitas dokumen KA-ANDAL diperoleh bahwa komponen rencana kegiatan yang diduga akan menimbulkan dampak sehingga perlu ditelaah berdasarkan tahapan kegiatan terdiri atas: tahap prakonstruksi sebanyak dua kegiatan/parameter, tahap konstruksi dan pemboran sebanyak empat kegiatan/parameter, tahap operasi produksi sebanyak 3 kegiatan/parameter, tahap pasca operasi sebanyak 3 kegiatan/parameter. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam dokumen AMDAL yakni pengumpulan data primer dan data sekunder namun tidak dijelaskan secara rinci. Metode analisis data diolah dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, namun lebih banyak yang dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Metode prakiraan dampak penting hanya menggunakan metoda formal yaitu pendekatan matematis dan penggunaan baku mutu lingkungan seharusnya batas baku mutu lingkungan bukan merupakan metode prakiraan dampak tapi sebagai baku mutu lingkungan (BML) dan metoda informal berupa penilaian para ahli (profesionel judgement). Metode evaluasi dampak lingkungan dilakukan secara lintas disiplin yang mencakup komponen lingkungan fisik, kimia, geologi, biologi, dan sosial ekonomi serta budaya. Masing-masing dampak diberi bobot nilai pentingnya dengan angka dan penilaiannya didasarkan pada penilaian para ahli penyusun AMDAL dengan memperhatikan baku mutu lingkungan yang berlaku di lokasi dimaksud. Dalam dokumen ini terdapat sub bab yang menjelaskan tentang metoda penetapan arahan penanganan lingkungan. Uraian rona lingkungan awal cukup jelas dan lengkap. Ada tiga komponen lingkungan yang diuraikan yaitu; komponen lingkungan geofisik-kimia, komponen lingkungan biologi dan komponen lingkungan sosial dan kesehatan masyarakat. Hasil review kualitas dokumen ANDAL menunjukkan bahwa komponen rencana kegiatan yang diduga akan menimbulkan dampak sama dengan yang diuraikan dalam dokumen KA-ANDAL. Uraian batas wilayah studi dijelaskan
100
dengan lengkap dan rinci serta dilengkapi dengan peta-peta lokasi kegiatan. Dalam dokumen ANDAL ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah pengumpulan data primer dan data sekunder dan tidak dijelaskan secara rinci. Metode analisis data diolah dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, namun lebih banyak yang dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Metode prakiraan dampak penting menggunakan metoda formal (pendekatan matematis dan penggunaan baku mutu lingkungan) dan metoda informal berupa penilaian para ahli (professional judgement). Metode evaluasi dampak lingkungan dilakukan secara lintas disiplin yang mencakup komponen lingkungan fisik, kimia, geologi, biologi, dan sosial ekonomi serta budaya. Masing-masing dampak diberi bobot nilai pentingnya dengan angka dan penilaiannya didasarkan pada penilaian para ahli penyusun AMDAL dengan memperhatikan baku mutu lingkungan yang berlaku di lokasi dimaksud. Dalam dokumen ini terdapat sub bab yang menjelaskan tentang metoda penetapan arahan penanganan lingkungan. Uraian rona lingkungan awal cukup jelas dan lengkap. Ada tiga komponen lingkungan yang diuraikan yaitu komponen lingkungan geofisik-kimia, komponen lingkungan biologi dan komponen lingkungan sosial dan kesehatan masyarakat Dokumen ANDAL telah dilengkapi dengan matriks prakiraan dampak penting yang cukup jelas demikian juga matriks dan bagan alir evaluasi dampak penting ada dan jelas. Jumlah dan jenis dampak penting yang dievaluasi konsisten dengan hasil prakiraan dampak penting. Arahan pengelolaan lingkungan dalam dokumen ANDAL disajikan dan konsisten dengan hasil prakiraan dan evaluasi dampak penting. Hasil review dokumen RKL menunjukkan bahwa komponen lingkungan yang akan dikelola; kualitas udara, kualitas air sungai, sosial ekonomi dan budaya, uraian pendekatan pengelolaan dampak lingkungan cukup jelas, terdiri atas pendekatan teknologi, sosial-ekonomi-budaya dan kelembagaan. a. Pendekatan Teknologi Penanganan dampak melalui pendekatan teknologi yang akan dilakukan; teknologi pengendalian pencemaran kualitas udara akibat adanya pembakaran limbah gas. CPF mempunyai sebuah flare stack yang bertujuan untuk membakar
101
gas dari degassing boot dan membakar gas yang harus dikeluarkan dari generator, kompresor, reboiler, dan glycol. Teknologi pengendalian pencemaran kualitas perairan akibat kegiatan proses pemisahan gas. Proses pemisahan gas dan cairan (air dan kondesat) terjadi didalam separator. Pemisahan dilakukan dengan prinsip perbedaan berat jenis antara gas dan cairan. b. Pendekatan Sosial dan Ekonomi Penanganan dampak lingkungan dari sudut pendekatan sosial ekonomi; memprioritaskan penyerapan tenaga kerja penduduk setempat, sepanjang kualifikasinya terpenuhi dan dibutuhkan, pelaksanaan ganti rugi pembebasan lahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta melakukan koordinasi dengan tokoh masyarakat atau agama setempat untuk mencegah
kemungkinan
timbulnya
keresahan
sosial,
memelihara
dan
memperbaiki lahan sepanjang jalur pemasangan pipa (dengan lebar 3 meter) dan memberi ganti rugi kepada petani yang tanamannya rusak karena proses pemasangan pipa, penyuluhan kepada penduduk tentang adanya manfaat kegiatan di daerahnya sehingga mereka dapat mempunyai kesempatan untuk mencari peluang ekonomi maupun pekerjaan yang tadinya belum terpikirkan. c. Pendekatan Kelembagaan Penanganan
dampak
yang
akan
dilakukan
melalui
pendekatan
kelembagaan; melakukan koordinasi dengan Ditjen Migas (c.q. Direktorat Teknik Pertambangan Migas) dalam rangka pembinaan dan pengawssan terhadap kemungkinan timbulnya kasus pencemaran dan keselamatan kerja, melakukan koordinasi dengan Pemda Dati II Sidoarjo Jawa Timur dalam rangka penyelesaian masalah keamanan dan konflik sosial yang mungkin timbul, melakukan koordinasi dengan Ditjen Migas, BPPKA Pertamina, bagian lingkungan Pemda Dati II Sidoarjo Jawa Timur, serta Bapedal dan instansi terkait lainnya dalam penanganan masalah pencemaran lingkungan. Prioritas yang akan dilakukan dalam RKL ini diarahkan pada upaya penanganan kemungkinan timbulnya dampak-dampak; penurunan kualitas perairan sungai di sekitas lokasi pembuangan limbah cair hasil proses produksi, bila kasus terburuk terjadi, penurunan kualitas udara di sekitar lokasi CPF dan pemukiman terdekat akibat pembakaran gas, peningkatan pendapatan penduduk di
102
sekitar kegiatan akibat kemungkinan adanya kesempatan kerja dan kesempatan memanfaatkan keberadaan proyek. Dokumen RKL dilengkapi dengan institusi dan pelaksana pengelolaan lingkungan, peta lokasi pembuangan air terproduksi dilengkapi dengan legenda dan skala 1:50000 dan matriks ringkasan rencana pengelolaan lingkungan yang sesuai dengan penjelasan narasinya. Berdasarkan hasil review dokumen RPL menunjukkan bahwa dalam dokumen RPL ada satu komponen dari tiga komponen yang dipantau berbeda dengan komponen yang dikelola, komponen yang dikelola yaitu kualitas udara, kualitas air dan sosial ekonomi budaya sedangkan komponen yang dipantau yaitu kualitas udara, kualitas air terproduksi, sosial ekonomi dan budaya. Dokumen RPL dilengkapi dengan peta lokasi rencana pemantauan dampak yang disajikan per jenis dampak yang dipantau (air, udara dan sosial, ekonomi dan budaya) dan matriks RPL yang sesuai dan konsisten dengan narasi dan RKL. 4. Pertamina-Suryaraya Teladan Pendopo
Dokumen ANDAL disetujui tanggal 6 Januari 2000 melalui surat No. 0022/31/SJN.T/2000. Kegiatan pengembangan lapangan minyak dan gas bumi Benakat Barat, Pendopo disusun oleh PPLH UGM terdiri atas ketua tim, ahli fisik kimia
udara,
ahli
kimia
limbah/perminyakan,
ahli
pertambangan,
ahli
geomorfologi, ahli biotik, ahli sosial ekonomi budaya, ahli kesehatan masyarakat. Berdasakan hasil review kualitas dokumen AMDAL dalam tim penyusun tidak terdapat ahli perminyakan dan ahli geologi. Penyusun dokumen ANDAL yang memiliki sertifikat AMDAL A dan B sejumlah 4 orang (44%), sedangkan Ketua Tim hanya mempunyai sertifikat AMDAL B. Dalam dokumen ANDAL, deskripsi kegiatan dan batas wilayah studi cukup jelas dan lengkap serta disertai dengan peta-peta yang berskala memadai. Adapun jenis rencana kegiatan yang diprakirakan akan menimbulkan dampak lingkungan; tahap pra kontruksi meliptui pengadaan lahan, tahap kontruksi meliputi pengerahan dan pelepasan tenaga kerja, mobilisasi peralatan dan material, pembukaan dan pematangan lahan, pembangunan prasarana dan sarana, pembangunan
fasilitas
produksi
dan
penunjangnya,
pemboran
sumur
pengembangan, uji hidrostatik, dan tahap operasi meliputi pengerahan dan pelepasan tenaga kerja, proses produksi, kerja ulang sumur, injeksi sumur,
103
pembersihan tangki, serta tahap pasca operasi meliputi pengerahan dan pelepasan tenaga kerja, penanganan lokasi, penanganan bahan kimia bekas, program penghijauan dan demobilisasi alat. Komponen lingkungan hidup yang diprakirakan akan terkena dampak terdiri atas 12 (parameter) yakni; iklim dan kualitas udara, kebisingan, persepsi masyarakat, kuantitas dan kualitas air permukaan, kesuburan tanah, pola hubungan dan nilai tanah, flora dan fauna darat, erosi dan kualitas tanah, pendapatan penduduk, kualitas dan kuantitas air formasi, struktur geologi dan kualitas air tanah dangkal. Jenis rencana kegiatan yang terdapat di KA-ANDAL dan dokumen ANDAL sama dengan pembagian berdasarkan empat tahap kegiatan yaitu; tahap pra konstruksi, konstruksi, operasi dan pasca operasi. Untuk komponen lingkungan yang diprakirakan terkena dampak dalam dokumen ANDAL sama dengan yang ada dokumen KA-ANDAL sebanyak 12 parameter. Namun dalam komponen lingkungan hidup yang diprakirakan terkena dampak terdapat inkonsistensi antara narasi dengan tabel, antara lain; kegiatan pembukaan dan pembersihan lahan, dalam narasi disebutkan terdapat penurunan kuantitas dan kualitas air permukaan sedangkan dalam tabel disebutkan terdapat run off, pembangunan fasilitas produksi. Dalam narasi disebutkan terdapat kerusakan struktur tanah, sedangkan dalam tabel disebutkan penurunan kualitas udara dan peningkatan kebisingan, kerja ulang sumur, dalam narasi disebutkan terdapat penurunan kualitas air formasi, sedangkan dalam tabel disebutkan ada peningkatan kebisingan, penanganan lokasi, dalam narasi tidak disebutkan bahwa terdapat perubahan pola hubungan nilai tanah, sedangkan dalam narasi disebutkan terdapat perubahan pola hubungan nilai tanah. Dampak penting yang dikaji pada dokumen ANDAL, yakni; tahap pra kontruksi. Dalam kegiatan pengadaan lahan, dampak penting yang dikaji adalah terganggunya pola hubungan dan nilai tanah (-P). a. Tahap konstruksi. Beberapa kegiatan dalam tahap konstruksi yang menimbulkan dampak penting yang perlu dikaji pada dokumen ANDAL antara lain: 1) Dalam kegiatan pengerahan dan pelepasan tenaga kerja, dampak penting yang dikaji adalah terganggunya persepsi masyarakat (-P), 2)
104
Dalam kegiatan mobilisasi peraltaan dan material, dampak penting yang dikaji adalah terganggunya persepsi masyarakat (-P) dan perubahan sanitasi lingkungan dan pola penyakit (-P) dan 3) Dalam kegiatan pembukaan dan pematangan lahan, dampak penting yang dikaji adalah; peningkatan kuantitas air permukaan (run off) (-P), penurunan kualitas air permukaan (-P), peningkatan erosi (-P), perubahan bentuk lahan, relief dan sudut kemiringan lereng (-P), turunnya tingkat kesuburan tanah (-P), kerusakan struktur tanah (P), perubahan tata ruang, lahan, dan tanah (-P), penurunan keanekaragaman fauna darat (-P), penurunan tingkat penutupan lahan oleh flora darat (-P), dalam kegiatan pembangunan sarana dan prasarana, dampak penting yang dikaji adalah kerusakan struktur tanah (-P), dalam kegiatan pemboran sumur pengembangan, dampak penting yang dikaji adalah penurunan kuantitas air permukaan (-P) dan persepsi negatif masyarakat (-P). b. Tahap operasi; beberapa kegiatan dalam tahap operasi yang menimbulkan dampak penting yang perlu dikaji pada dokumen ANDAL antara lain; dalam kegiatan pegerahan dan pelepasan tenaga kerja, dampak penting yang dikaji adalah persepsi negatif masyarakat (-P), dalam kegiatan proses produksi, dampak penting yang dikaji adalah penurunan kualitas udara (-P), penurunan kualitas air permukaan (-P), dan penurunan kesuburan tanah (-P), dalam kegiatan pembersihan tangki, dampak penting yang dikaji adalah tingkat kesuburan tanah (-P), penurunan kualitas air tanah dangkal (-P), dan persepsi negatif masyarakat (-P). c. Tahap pasca operasi; beberapa kegiatan dalam tahap pasca operasi yang menimbulkan dampak penting yang perlu dikaji pada dokumen ANDAL antara lain; dalam kegiatan penanganan lokasi, dampak penting yang dikaji adalah peningkatan kualitas air permukaan (+P), dalam kegiatan program penghijauan, dampak penting yang dikaji adalah; peningkatan kualitas udara (+P), penurunan kuantitas air permukaan (+P), peningkatan kualitas air permukaan (+P), berkurangnya erosi (+P), meningkatnya kesuburan tanah (+P), perbaikan struktur tanah (+P), perbaikan tata ruang, lahan dan tanah (+P), peningkatan keanekaragaman fauna darat (+P), peningkatan penutupan
105
lahan flora darat (+P), peningkatan keanekaragaman flora darat (+P), peningkatan kemelimpahan flora darat (+P). Hasil review pada dokumen RKL untuk kegiatan pengembangan lapangan migas Benakat Barat mempunyai dampak penting terhadap lingkungan yang dibagi dalam 4 tahap yaitu tahap persiapan (pra-konstruksi), tahap pembangunan (konstruksi), tahap operasi dan tahap pasca operasi. Pada tahap pra konstruksi terdapat satu dampak lingkungan yang ditimbulkan, tahap konstruksi terdapat 15 dampak, tahap operasi terdapat delapan dampak dan tahap pasca operasi terdapat 13 dampak. Komponen lingkungan yang akan dikelola terdiri atas: 1) komponen geofisik-kimia yang dipantau adalah kualitas dan kuantitas air permukaan, run off, erosi, bentuk lahan, relief, kemiringan lereng, struktur tanah, kesuburan tanah, tata ruang-lahan-tanah, dan kualitas udara, 2) komponen biotis yang dipantau adalah keanekaragaman flora dan fauna darat, penutupan lahan oleh flora darat, keanekaragaman ikan, dan kelimpahan flora darat, 3) komponen sosial, ekonomi, budaya-kesehata masyarakat yang dipantau adalah pola hubungan dan nilai tanah, persepsi masyarakat, sanitasi lingkungan dan pola penyakit. Uraian pendekatan pengelolaan dampak lingkungan cukup jelas terdiri atas pendekatan teknologi, pendekatan ekonomi, sosial dan budaya dan pendekatan institusi. Beberapa upaya pengelolaan dampak berdasarkan tahap kegiatan,antara lain; pendekatan persuasif dan memberikan penggantian yang layak, negosiasi langsung dengan pemilik tanah, pemberian penyuluhan, melibatkan pihak bank pada saat pembayaran (apabila dimungkinkan), memberikan informasi yang jrlas tentang tenaga kerja yang dibutuhkan, pendekatan masyarakat dan penyuluhan, penyuluhan kesehatan masyarakat, penanaman tanaman pioner merambat yang cepat tumbuh, memulihkan kembali tanah yang sudah rusak strukturnya, meminimalkan perubahan tata ruang, lahan dan tanah setelah kegiatan proyek selesai, mempertahankan keanekaragaman jenis fauna yang ada, menurangi perluasan tanah terbuka, memulihkan kembali tanah yang sudah rusak strukturnya, mencegah penurunan kuantitas air permukaan, mengelola penurunan kuantitas air permukaan, pembakaran gas sisa di flare stake, menyediakan tambahan pompa menjadi 3 sampai dengan 4 pompa dengan kapasitas injeksi
106
13000 barel/hari, menyediakan skimming pit, pemeliharaan atau pemantauan pompa injeksi, bantuan ekonomi masyarakat, pengangkutan sisa-sisa pembersihan tangki bleber ke unit pengelolaan limbah B3, tempat penimbunan sementara harus pudal lapisan kedap air dan jauh dari badan air, mengembangkan kegiatan penghijauan. Hasil review untuk dokumen RPL bahwa dampak penting yang dipantau sama dengan dampak penting yang dikelola yaitu pada tahap pra konstruksi ada satu dampak lingkungan yang ditimbulkan, tahap konstruksi terdapat 15 dampak, tahap operasi terdapat 8 dampak dan tahap pasca operasi terdapat 13 dampak. Selain itu, komponen lingkungan yang dikelola sama dengan komponen lingkungan yang dipantau. Komponen lingkungan yang akan dipantau terdiri atas: 1) komponen geo-fisik-kimia yang dipantau adalah kualitas dan kuantitas air permukaan, run off, erosi, bentuk lahan, relief, kemiringan lereng, struktur tanah, kesuburan tanah, tata ruang-lahan-tanah, dan kualitas udara, 2) komponen biotis yang dipantau adalah keanekaragaman flora dan fauna darat, penutupan lahan oleh flora darat, keanekaragaman ikan, dan kelimpahan flora darat dan 3) komponen sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan masyarakat yang dipantau adalah pola hubungan dan nilai tanah, persepsi masyarakat, sanitasi lingkungan dan pola penyakit. Metode rencana pemantauan dampak lingkungan pada semua komponen masih bersifat umum dan tidak operasional seperti metode rencana pemantauan untuk
komponen
sosial,
ekonomi,
budaya
dan
kesehatan
masyarakat
menggunakan metode wawancara dan pengamatan langsung dan untuk komponen geo-fisik-kimia dan biologis menggunakan metode pengamatan di lapangan dan analisis laboratorium. Dokumen RPL dilengkapi dengan peta lokasi dan matriks rencana pemantauan dampak lingkungan. 5. Expan Toili Sulawesi
Kegiatan pengembangan minyak Tiaka dan fasilitas penunjangnya, blok Toili, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah di susun oleh PPLH-IPB dengan tim penyusun terdiri atas: ketua tim dan anggota tim, fisik-kimia (9 orang), sub biologi (4 orang), sub tim sosial ekonomi budaya (8
107
orang), penyelam (2 orang), tenaga pendukung (6 orang) dan narasumber (1 orang). Berdasarkan hasil review dokumen KA-ANDAL yang disetujui pada tahun 2002 menunjukkan bahwa komponen lingkungan yang diprakirakan terkena dampak yakni: a) fisik kimia 10 parameter, b) biologi 3 parameter, dan c) sosial, ekonomi, bududaya dan kesehatan lingkungan masyarakat 8 parameter. Deskripsi rencana kegiatan terdiri atas 4 tahap yakni: tahap pra konstruksi, konstruksi, operasi dan pasca operasi. Tahap pra konstruksi meliputi perizinan, survei kelayakan teknis dan rekruitmen dan seleksi tenaga kerja, tahap konstruksi meliputi mobiliasi tenaga kerja, pembangunan porta camp dan workshop, pembangunan temporary jetty (di darat dan Gosong Tiaka), pengadaan dan pengangkutan material reklamasi, reklamasi tapak kegiatan, pembangunan pelabuhan khusus jetty, pembangunan porta camp, pemboran sumur produksi dengan sistem cluster dan pembangunan fasilitas produksi dan fasilitas pendukung, tahap operasi meliputi mobilisasi tenaga kerja, produksi dan pengoperasian jetty dan tahap pasca operasi meliputi penutupan sumur produksi, demobiliasi peralatan dan penanganan lokasi setelah penutupan. Deskripsi rona lingkungan awal cukup jelas dan lengkap dengan isu pokok yang diperoleh adalah; 1) penurunan produktivitas dan keanekaragaman hayati, 2) pertumbuhan ekonomi daerah, dan 3) perubahan lingkungan fisik. Uraian batas wilayah studi cukup jelas dan didukung oleh peta-peta. Dalam uraian metode studi parameter yang diukur pada komponen fisik kimia, biologi, sosial ekonomi budaya dan kesehatan lingkungan masyarakat cukup jelas. Demikian pula untuk metode pengumpulan data dan analisis data cukup jelas. Sedangkan, dalam metode prakiraan dampak penting juga dijelaskan secara jelas metode yang digunakan yang terdiri atas; model matematik, baku mutu lingkungan, analog dan penilaian para ahli. Berdasarkan hasil review dokumen ANDAL yang disahkan pada tahun 2002 menunjukkan bahwa jenis rencanan kegiatan yang diprakirakan akan menimbulkan dampak lingkungan sama dengan yang dibuat di KA-ANDAL demikian pula pada komponen lingkungan yang diprakirakan terkena dampak
108
terdiri atas 21 buah parameter yaitu fisik kimia sebanyak 10 parameter, biologi sebanyak tiga parameter dan sosekbud dan keslingmas sebanyak 8 parameter. Rumusan isu pokok terdiri atas tiga isu yang berarti sama dengan yang dirumuskan di KA-ANDAL dan dampak penting hipotetik yang dikaji pada dokumen ANDAL ada 12 buah yang terdiri atas: kualitas air laut, kualitas udara, fisiografi pulau, jenis dan kelimpahan biota perairan, satwa liar, hasil tangkapan laut, kesempatan kerja dan berusaha, perekonomian lokal, resiko kecelakaan laut, pengusahaan dan pemanfaatan pulau, kesehatan masyarakat, persepsi masyarakat terhadap proyek. Dokumen ANDAL telah dilengkapi dengan matriks prakiraan dampak penting yang cukup jelas demikian juga matriks dan bagan alir evaluasi dampak penting ada dan jelas. Jumlah dan jenis dampak penting yang dievaluasi konsisten dengan hasil prakiraan dampak penting. Arahan pengelolaan lingkungan dalam dokumen ANDAL disajikan dan konsisten dengan hasil prakiraan dan evaluasi dampak penting. Review dokumen RKL, uraian pendekatan pengelolaan lingkungan cukup jelas yang terdiri atas pendekatan teknologi, pendekatan sosial ekonomi budaya dan pendekatan institusi. Dampak yang akan dikelola terdiri atas tiga komponen yaitu: komponen fisik-kimia terdiri atas kualitas air laut (pemboran sumur produksi), kualitas udara dan kebisingan, komponen biologi terdiri atas biota laut, komponen sosial ekonomi budaya terdiri atas kesempatan kerja dan berusaha, resiko kecelakaan laut dan persepsi masyarakat. Upaya pengelolaan dampak berdasarkan komponen yakni komponen fisikkimia meliputi; mencegah kebocoran pada saluran lumpur bor, menampung limbah lumpur dan serbuk pemboran pada suatu struktur penampung yang dirancang khusus, memperkecil jumlah lumpur bor yang digunakan dalam seluruh kegiatan pemboran, mencegah kebocoran pada saluran minyak dalam drill steam test (DST), menampung minyak mentah hasil DST pada wadah dengan struktur,bahan, ukuran, jumlah dan penempatan yang layak dan aman, seluruh sistem pemompaan dilakukan dengan sistem tertutup, pada titik-tritik rawan sepanjang saluran pemompaan akan disediakan bak penampung untuk meminimkan kemungkinan pencemaran lingkungan di sekitarnya, minyak mentah
109
yang ditampung sementara dalam tangki terapung akan dipindahkan setiap sekitar 15 hari sekali ke dalam tanker pengangkut, sarana pemindahan akan dibuat dengan bahan dan rancangan terbaik untuk mencegah terjadinya kebocoran dan atau tumpahan minyak ke lingkungan sekitarnya, menaati standard operation procedure (SOP) tentang K3 dalam proses transportasi, pada pembakaran gas di flare, diusahakan dalam keadaan normal dan hanya pilotnya yang menyala, pemasangan flare trap, memasang tanda peringatan tentang konsentrasi gas yang tinggi di sekitar sumur Tiaka, mobiliasi alat dan bahan dilakukan pada siang hari, memasang rambu pembatas kecepatan kendaraan (maksimal 40 km/jam), mewajibkan setiap pengemudi mematuhi peraturan lalu lintas. Komponen biologi meliputi; membuat karang buatan dan transplantasi karang. Komponen sosial ekonomi budaya meliputi; meningkatkan kualitas SDM secara periodik melalui pendidikan dan pelatihan, mengadakan pelatihan bagi masyarakat berupa kegiatan diversifikasi usaha selain usaha nelayan, membuat dan menempatkan rambu-rambu lalulintas pelayaran, dan peta jalur keselamatan, mobilisasi alat dan bahan dilakukan pada siang hari, identifikasi dan evaluasi potensi resiko kecelakaan laut, mengadakan sarana dan prasarana untuk penanganan kecelakaan laut, membuat organisasi keselamatan kerja, sosialisasi prosedur dan instruksi kesiagaan dan tanggap darurat, pelatihan keselamatan kerja, sosialisasi dan konsultasi publik, melakukan seleksi penerimaan secara transparan dengan kriteria penerimaan yang jelas, memberikan prioritas penerimaan kerja kepada tenaga kerja lokal, menerapkan standar upah sesuai dengan upah minimum kabupaten, memberikan jaminan asuransi tenaga kerja, meliputi asuransi jaminan hari tua, kecelakaan kerja, kematian dan kesehatan, melakukan prosedur kegiatan mobilisasi alat dan bahan dengan benar, menginformasikan jadwal kegiatan mobilisasi alat dan bahan kepada masyarakat. Dokumen RPL, dampak penting yang dipantau sama dengan dampak penting yang dikelolah. Komponen lingkungan yang dipantau meliputi: Komponen fisik-kimia terdiri atas kualitas air laut (pemboran sumur produksi), kualitas udara dan kebisingan. Komponen biologi terdiri atas biota laut. Komponen sosial ekonomi budaya terdiri atas kesempatan kerja dan berusaha, resiko kecelakaan laut dan persepsi masyarakat.
110
Metode rencana pemantauan berdasarkan komponen yang dipantau, yaitu: komponen fisik-kimia menggunakan metode pengambilan contoh: air, lumpur, sludge, pengukuran, analisis laboratorium, pengukuran lapang dan sound level meter.
Komponen
biologi
menggunakan
pengamatan
lapang
terhadap
pertumbuhan karang (tingkat kepadatan/penutupan karang pada karang buatan). Komponen sosial ekonomi budaya menggunakan metode survei, wawancara, data sekunder perusahaan tentang rekruitmen tenaga kerja dan pengamatan lapang (observasi). 6. BP Tangguh Sorong
Tim penyusun KA-ANDAL dan ANDAL, RKL, RPL adalah PT. Intersys Kelola Maju, Continental Shelf Associates Inc, Research Institute of Cenderawasih University, PT.Geotek Minergi. Bidang keahlian tim penyusun AMDAL masih belum lengkap karena tidak ada anggota tim yang memiliki keahlian perminyakan. Dokumen KA-ANDAL disahkan pada tahun 2001 sedangkan dokumen ANDAL, RKL dan RPL disahkan pada tahun 2002. Diperlukan waktu satu tahun dari kerangka acuan ke penyusunan dokumen ANDAL, RKL dan RPL. Isu pokok dalam dokumen KA-ANDAL yang muncul dari identifikasi; dampak sosial ekonomi, pemukiman kembali penduduk Desa Tanah Merah, hilangnya hak ulayat masyarakat lokal atas tanah dan daerah perairan dekat pantai, gangguan terhadap lahan, hilangnya kayu, dan hilangnya habitat satwa liar karena pembukaan lahan, dampak terhadap daerah hutan mangrove dari perpipaan dan fasilitas dermaga khusus, dampak terhadap kualitas air akibat pembuangan air terproduksi (produced water), air limbah domestik, dan air buangan lainnya, dan dari sedimen selama konstruksi dan saat pengerukan di dekat pantai dan juga lepas pantai, dampak terhadap perikanan lepas pantai dan dekat pantai serta jalur penangkapan ikan (right of way), limbah yang dihasilkan dari kegiatan industri dan kegiatan masyarakat, dampak kualitas udara selama konstruksi dan operasi dari sumber bergerak dan tidak bergerak, dan dari debu halus lepasan (fugitive dust), dampak kebisingan dan penyinaran (lampu), dampak dari keterbatasan akses untuk daerah penangkapan ikan dekat pantai, daerah pertanian dan perburuan tradisional, dan penggunaan lahan yang lain.
111
Deskripsi rencana kegiatan meliputi kegiatan pada tahap prakonstruksi, konstruksi, operasi dan pasca operasi, pada bagian ini cukup jelas diuraikan secara rinci. Namun penentuan batas wilayah studi keliru, karena batas administrasi dianggap sebagai batas wilayah studi yang seharusnya batas wilayah studi merupakan keseluruhan dari batas proyek, batas ekologis, batas sosial dan batas administrasi. Metode pengumpulan data cukup jelas, namun untuk metode analisis data untuk komponen sosial kurang jelas lebih banyak menggunakan metode kuantitatif. Dalam metode pengambilan sampel, komponen lingkungan fisik kimiawi dan biologi diukur dengan mengacu pada buku panduan penyusunan AMDAL Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tahun 1996. Untuk komponen fisika: batimetri, debit sungai, arah dan kecepatan angin, pasang surut, gelombang, arus, suhu, sedimentasi/erosi, tekstur sedimen, komponen kimiawi: salinitas,, kimia sedimen, DO, pH, BOD5, phenol, minyak dan lemak, nutrien, logam berat, muatan parameter tersuspensi, komponen biologi: plankton, benthos, nekton. Dalam uraian metode studi parameter yang diukur pada komponen fisik-kimia dan biologi, sosial, demografi, ekonomi dan kesehatan masyarakat cukup jelas. Review terhadap kualitas dokumen ANDAL meliputi: rencana kegiatan yang menimbulkan dampak penting yaitu; 1) tahap pra konstruksi, perijinanperijinan, 2) tahap konstruksi; pengeboran dan pemasangan anjungan lepas pantai, pemasangan transmisi gas (jalur pipa lepas pantai), pembangunan kilang LNG dan fasilitas penunjang, pembangunan pelabuhan khusus (dermaga/jeti), pembangunan bandar udara khusus, 3) tahap operasi; eksploitasi/produksi gas, pemboran sumursumur produksi, transmisi gas, pengoperasian kilang LNG, pengeoperasian pelabuhan khusus, dan pengapalan, pengoperasian bandar udara khusus, 4) tahap pasca operasi; penutupan lapangan apabila kegiatan telah berakhir antara lain penutupan sumur-sumur produksi gas, pembongkaran anjungan lepas pantai, penutupan kilang LNG dan pembongkaran fasilitas utama dan fasilitas penunjang, 5) metode prakiraan dampak besar dan penting serta evaluasi dampak penting tidak disebutkan secara spesifik untuk masing-masing komponen lingkungan (biologi, geologi, fisika, kimia dan sosial ekonomi dan budaya).
112
Dalam prakiraan dampak penting pada aspek biologi, geologi, fisika, kimia seperti; kualitas udara dan kebisingan, ekologi daratan, ekologi lepas pantai dan pantai dinyatakan tidak penting, ternyata di dalam evaluasi dampak penting dikategorikan dampak penting kecuali kebisingan pada tahap operasi adalah; 1) tahap pra konstruksi terdiri atas pembukaan lahan, perataan dan pemadatan tanah dan mobilisasi dan demobilisasi tenaga kerja, 2) tahap konstruksi terdiri atas; a) pengeboran sumur produksi (pembuangan lumpur bor dan serbuk bor), b) potensi tumpahan bahan bakar kondensat, c) pengerukan, d) solid fill cause ways, e) mobilisasi dan demobilisasi tenaga kerja, e) penerimaan tenaga kerja dan peluang ekonomi, f) penempatan pipa transmisi gas di lepas pantai, g) penerimaan tenaga kerja, h) kontrol klan terhadap sumberdaya alam, i) konstruksi dermaga, j) konstruksi kilang LPG, k)
mobilisasi dan demobilisasi peralatan/material. 3)
tahap operasi terdiri atas; a) potensi tumpahan bahan bakar kondensat, b) pembuangan air ballast, c) potensi tumpahan minyak/bahan bakar, d) operasi penerbangan berjadwal, e) pemukiman liar dan peladangan berpindah, f) kawasan tertutup untuk keselamatan, g) pemasaran LNG, h) operasi kapal tunda, i) penerimaan tenaga kerja. 4) tahap pasca operasi meliputi penanganan lokasi dan instalasi dan penanganan prasarana. Hal ini terlihat tidak konsisten antara prakiraan dampak dan evaluasi dampak. Metode yang dipakai dalam prakiraan dampak tidak jelas disebutkan. Seharusnya di dalam memprakirakan dampak penting harus ada matrik identifikasi dampak penting untuk melihat dampak primer, sekunder, tersier dan seterusnya. Dalam menentukan dampak penting negatif penting ataupun positif penting. Dampak-dampak penting tersebut kemudian dilakukan evaluasi dampak penting tersebut antara lain; apakah dampak penting tersebut bisa dikelola dengan teknologi yang tersedia atau sebaliknya. Apakah dampak penting tersebut akan berlangsung terus menerus sampai pasca operasi atau akan terus berlanjut ternyata di dalam dokumen ini antara prakiraan dampak dan evaluasi dampak adalah sama. Pada evaluasi dampak hanya mengulang yang sudah diuraikan dalam bab prakiraan dampak. Di dalam evaluasi dampak ada dicantumkan matrik identifikasi dampak, matrik prakiraan dampak yang seharusnya matrik-matrik tersebut
113
dilakukan pada prakiraan dampak. Di dalam dokumen ini tidak ada arahan RKL/RPL. Rencana kegiatan yang diprakirakan akan menimbulkan dampak lingkungan pada dokumen ANDAL terdiri atas 12 kegiatan. Baik jumlah maupun jenisnya, rencana kegiatan pada dokumen ANDAL tersebut sama dengan apa yang dijelaskan pada dokumen KA-ANDAL. Sebanyak 904 dampak potensial teridentifikasi dalam 6 matrik untuk masing-masing dari ke-6 kegiatan utama proyek. Sebanyak 25 dampak potensial ditambahkan pada matrik berkenaan dengan adanya sedikit revisi pada deskripsi proyek. Sub komponen fisik, kimia dan biologi terdiri atas: kualitas udara dan kebisingan, ekologi daratan (tidak termasuk kualitas udara dan kebisingan), ekologi lepas pantai dan dekat pantai (tidak termasuk kualitas udara dan kebisingan). Metode studi lebih lengkap atau ada perubahan (antara lain pada komponen biologi, sosek-budaya. Dalam metode prakiraan dampak penting yang dibahas hanya parameter: emisi udara, kebisingan, pembuangan lumpur dan serbuk bor, lintasan tumpahan potensial diesel dan kondesat, pembuangan air terproduksi (di lepas pantai), pembuangan material keruk, pembuangan air dari uji hidrostatik perpipaan, pembuangan air limbah dari kilang LNG, erosi tanah. Sedangkan, metode prakiraan dampak tidak disebutkan secara kuantitatif. Deskripsi rencana kegiatan: lebih banyak, kuantitatif dan ilustratif (didukung oleh gambar dan peta-peta). Demikian juga rona lingkungan hidup disajikan dan dideskripsikan lebih lengkap dan didukung oleh hasil analisis data primer (laboratorium). Berdasarkan hasil review kualitas dokumen RKL menunjukkan bahwa RKL/RPL tidak bersifat operasional, harusnya didalam RKL/RPL ada pendekatan institusional, teknologi dan sosial. Untuk pengelolaan ekologi (biogeofisikkimia) tidak disebutkan peralatan yang dipakai, dimensi, ukuran dan kapasitasnya serta waktu kapan penglolaan dilaksanakan. Teknologi pengelolaan lingkungan masih bersifat naratif seperti teknologi pengelolaan, periode pengelolaan. Pengelolaan lingkungan
masih bersifat alternatif-alternatif. Upaya
pengelolaan sosial terdiri atas mengurangi tingkat pengangguran, meningkatkan nilai lahan di lokasi dan di desa-desa sekitarnya, mengganggu kegiatan perikanan,
114
mengurangi pendapatan keluarga dari perikanan, meningkatkan potensi terjadinya konflik karena adanya daerah-daerah tempat terjadinya kegiatan penangkapan ikan secara berlebihan, mempengaruhi sikap dan persepsi masyarakat terhadap proyek, mengganggu ketertiban masyarakat di desa-desa sekitarnya, dan merubah gaya hidup penduduk di Desa Tanah Merah. Semua upaya yang dilakukan seperti ini namun tidak disebutkan cara pelaksanaannya/teknisnya, waktu/tahapan, lokasi dan siapa yang melaksanakan. Pada tahap operasi, dampak sosial tidak ada dampak penting terhadap lingkungan karena disebutkan pada saat penjualan LNG akan menimbulkan dampak positif ekonomi lokal dan regional. Hasil review kualitas dokumen RPL menunjukkan bahwa upaya pemantauan tidak jelas pemantauan yang dipantau, teknik pemantauan, frekwensi pemantauan, alat pemantauan, waktu pemantauan, cara pemantauan, parameter yang dipantau. Beberapa pemantauan masih bersifat alternatif, salah satu contoh untuk pemantauan dampak sosial memantau penurunan peredaran uang di pusatpusat pertumbuhan ekonomi. 7. Hess Pangkah Gresik
Tim penyusun AMDAL pada kegiatan pengembangan lapangan minyak dan gas Ujung Pangkah, Blok Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur terdapat perbedaan penyusun KA-ANDAL yang disusun oleh LP UNAIR dan LP ITS 10 Nopember dan PPLH-LPM IPB yang menyusun ANDAL, RKL dan RPL. Bidang keahlian tim penyusun AMDAL masih belum lengkap karena tidak ada anggota tim yang memiliki keahlian ekonomi atau ekonomi sumberdaya atau ekonomi lingkungan, padahal dalam metode studi dicantumkan akan menggunakan metode valuasi ekonomi dalam studi ANDAL. Sebagian besar (58%) anggota tim penyusun sudah memiliki sertifikat AMDAL. Sertifikat AMDAL A dimiliki oleh 3 orang anggota tim, AMDAL A dan B oleh 7 orang dan AMDAL A, B, dan C oleh 1 orang. Anggota tim yang tidak memiliki sertifikat AMDAL ada 8 orang (42%). Salah seorang anggota tim penyusun tidak dilengkapi dengan CV (daftar riwayat hidup). Dokumen KA-ANDAL disahkan pada tahun 2003 sementara Dokumen ANDAL, RKL dan RPL-nya disahkan pada tahun 2006. Diperlukan waktu 3 tahun untuk menyusun Dokumen ANDAL, RKL dan RPL. Penyebab hal tersebut
115
tidak ada penjelasannya di dalam dokumen, tetapi diduga karena adanya perubahan tim penyusun dokumen dari LP UNAIR dan LP ITS 10 Nopember (sebagai penyusun KA-ANDAL) menjadi PPLH-LPM IPB (penyusun ANDAL, RKL, RPL). Deskripsi rencana kegiatan meliputi kegiatan pada tahap prakonstruksi, konstruksi, operasi dan pascaoperasi. Kelemahan yang ditemukan dalam bagian ini adalah (1) deskripsi kegiatan sosialisasi rencana proyek pada bagian ruang lingkup sangat minim (naratif kualitatif), sedangkan aspek yang sama dijelaskan cukup panjang pada bagian pendahuluan dengan dibuatnya satu subbagian kegiatan konsultasi masyarakat, dan (2) deskripsi kegiatan mobilisasi peralatan pada tahap konstruksi kurang jelas (tidak ada kuantifikasi peralatan yang akan digunakan). Kelebihan deskripsi kegiatan antara lain tim penyusun menyajikan alternatif rencana kegiatan dalam hal jalur pipa. Rencana kegiatan yang diprakirakan akan menimbulkan dampak lingkungan tidak mudah disarikan pada bagian narasi. Jika dilihat pada matriks identifikasi dampak potensial terdapat 11 kegiatan pada tahap prakonstruksi, 3 kegiatan utama pada tahap konstruksi, 8 kegiatan pada tahap operasi dan 2 kegiatan pada tahap pascaoperasi yang diprakirakan akan menimbulkan dampak lingkungan. Tiga rencana kegiatan utama pada tahap konstruksi meliputi sekitar 14 sub-kegiatan. Pada matriks tersebut ditemukan minimal ada 4 (empat) rencana kegiatan yang tidak diketahui dampaknya terhadap lingkungan hidup, yakni; 1) pengurusan perijinan penentuan lokasi WHP, 2) pengurusan perijinan penentuan lokasi pipa bawah laut, 3) pengurusan perijinan penentuan lokasi pipa di darat, dan 4) pengurusan perijinan penentuan lokasi fasilitas pengolahan gas. Semua rencana kegiatan tersebut ada pada tahap pra-konstruksi. Apabila rencana kegiatan tersebut diprakirakan tidak mempunyai dampak lingkungan maka tidak perlu dicantumkan pada matriks identifikasi tersebut. Deskripsi rona lingkungan awal lengkap dan jelas serta cukup banyak yang disajikan secara kuantitatif. Deskripsi rona lingkungan hidup yang diprakirakan akan terkena dampak rencana kegiatan dijelaskan cukup baik dan meliputi Komponen fisik-kimia, biologi, sosial, ekonomi, budaya, sanitasi lingkungan dan kesehatan lingkungan masyarakat, Transportasi darat dan laut dan komponen
116
lingkungan lain (utilitas lain, suplai air bersih dan suplai gas). Secara keseluruhan dari matriks identifikasi dampak potensial ada 35 buah komponen lingkungan hidup (parameter) yang diprakirakan akan terkena dampak rencana kegiatan. Namun demikian dampak potensial yang tertera pada bagan alir pelingkupan ada 34 buah mencakup komponen fisik, kimia, biologi, sosial, ekonomi, budaya, kesehatan lingkungan masyarakat, transportasi dan lingkungan lainnya. Ada ketidakkonsistenan antara matriks dan bagan alir terkait dengan parameter tata guna Lahan yang ada pada matriks tetapi tidak ditemukan pada bagan alir. Dampak penting hipotetik sebagai hasil evaluasi dampak potensial ada 31 buah. Ada tiga buah dampak potensial yang dievaluasi tidak menjadi dampak penting hipotetik, yakni; 1) arus dan gelombang, 2) transport sedimen dan 3) flora darat. Isu pokok yang dirumuskan dalam dokumen KA-ANDAL masih dibatasi oleh komponen lingkungan, misalnya pada komponen fisik-kimia ada tujuh buah isu pokok, komponen sosial ekonomi dan budaya ada dua isu pokok dan seterusnya sehingga isu pokok ada 15 buah. Hal itu tidak lazim. Uraian batas wilayah studi cukup jelas dan didukung oleh peta-peta yang berskala (namun terlalu kasar atau skala peta kecil, sekitar 1:400.000) dan berwarna. Pada uraian metode studi parameter yang diukur pada komponen fisikkimia dan biologi cukup jelas, tetapi pada komponen sosek-budaya kurang jelas, misalnya tidak dijelaskan apa yang akan diukur untuk menjelaskan parameter kamtibmas. Pada dokumen AMDAL sektor lain kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) merupakan komponen lingkungan hidup yang terpisah, bukan merupakan parameter. Metode pengumpulan dan analisis data cukup jelas, tetapi kuesioner untuk aspek sosek-budaya tidak dilampirkan. Metode prakiraan dampak pentingnya cukup jelas, bahkan disajikan juga penggunaan metode valuasi ekonomi untuk menganalisis besar dan pentingnya dampak, sedangkan metode evaluasi dampak pentingnya kurang jelas, dinyatakan menggunakan pertimbangan pakar. Dalam dokumen ANDAL, rencana kegiatan yang diprakirakan akan menimbulkan dampak lingkungan pada dokumen ANDAL terdiri atas 11 kegiatan, baik jumlah maupun jenisnya. Rencana kegiatan pada dokumen ANDAL tersebut sangat berbeda dengan apa yang dijelaskan pada dokumen KA-
117
ANDAL. Jenis rencana kegiatan yang diprakirakan akan menimbulkan dampak lingkungan
tersebut adalah perijinan, sosialisasi,
mobilisasi/demobilisasi,
pemboran, pemasangan anjungan dan pipa, produksi minyak dan gas, penjualan minyak dan gas, pemeliharaan fasilitas, pembongkaran fasilitas dan penutupan sumur. Komponen lingkungan hidup yang diprakirakan akan terkena dampak terdiri atas 16 buah (parameter), jumlah dan jenis komponen lingkungan hidup yang diprakirakan akan terkena dampak tersebut berbeda dengan (lebih sedikit daripada) isi dokumen KA-ANDAL. Rumusan isu pokok pada dokumen ANDAL terdiri atas 7 isu rumusan isu pokok tersebut lebih sederhana daripada isi dokumen KA-ANDAL yang memuat 15 buah isu pokok dengan demikian isu pokok KAANDAL dan ANDAL sangat berbeda. Metode studi lebih lengkap atau ada perubahan (antara lain pada komponen biologi, sosek-budaya). Namun demikian dalam hal metode prakiraan dampak penting tidak mencantumkan lagi metode valuasi ekonomi, padahal dari segi bidang keahlian tim studi memungkinkan untuk menggunakan metode tersebut. Deskripsi rencana kegiatan: lebih banyak, kuantitatif dan ilustratif (didukung oleh gambar dan peta-peta). Demikian juga rona lingkungan hidup disajikan dan dideskripsikan lebih lengkap dan didukung oleh hasil analisis data primer (laboratorium). Dampak penting hipotetik yang dikaji pada dokumen ANDAL ada 12 buah. Jumlah dampak penting hipotetik di atas berbeda dengan apa yang diuraikan dalam dokumen KA-ANDAL (31 buah). Hasil prakiraan dampak penting tersebut adalah 10 dampak penting yang terdiri atas 2 buah dampak penting positif dan 9 buah dampak penting negatif. Hal yang cukup menarik untuk dikritisi adalah semua rencana kegiatan pada tahap prakonstruksi dan pascaoperasi dinilai (diprakirakan) tidak akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan (agak tidak logis!). Hal tersebut antara lain dapat disebabkan karena rencana kegiatan perijinan dan sosialisasi proyek (pada tahap prakonstruksi) hanya dianalisis dampaknya terhadap keresahan dan persepsi masyarakat (nelayan dan petambak), sedangkan dampaknya (khususnya proses perijinan) terhadap PAD tidak dianalisis.
118
Kemudian prakiraan dampak penting pada tahap pascaoperasi, yakni rencana kegiatan pembongkatan fasilitas, penutupan sumur hanya dianalisis terhadap aktivitas nelayan dan petambak, pendapatan masyarakat, persepsi dan keresahan masyarakat (nelayan dan petambak), dan lalu-lintas laut, sedangkan terhadap karyawan dan (hilangnya) kesempatan kerja dan berusaha tidak dilakukan. Dokumen ANDAL telah dilengkapi dengan matriks prakiraan dampak penting yang cukup jelas. Demikian juga matriks dan bagan alir evaluasi dampak penting ada dan jelas. Jumlah dan jenis dampak penting yang dievaluasi konsisten dengan hasil prakiraan dampak penting. Justifikasi kelayakan lingkungannya bersifat kualitatif-naratif. Rumusan kalimat utama yang digunakan yakni: segala dampak negatif yang akan timbul pada dasarnya dapat diatasi dengan biaya yang lebih rendah daripada manfaat yang akan diperoleh. Padahal tidak ada kajian berapa besar biaya pengelolaan dampak-dampak tersebut dan berapa besar manfaat rencana kegiatannya. Arahan pengelolaan lingkungan dalam dokumen ANDAL disajikan dan konsisten dengan hasil prakiraan dan evaluasi dampak penting. Arahan tersebut, masing-masing untuk rencana kegiatan pada tahap konstruksi dan operasi yang menjadi sumber dampak penting terhadap lingkungan. Dokumen RKL dilengkapi dengan surat pernyataan pihak pemrakarsa dengan materai yang cukup sehingga memenuhi aspek legal. Uraian pendekatan pengelolaan dampak lingkungan cukup jelas, terdiri atas pendekatan teknologi, sosial-ekonomi-budaya dan institusi. Dampak penting yang dikelola mencakup 10 dampak penting dan sesuai dengan hasil prakiraan dampak penting. Dokumen RKL dilengkapi pula dengan peta lokasi pengelolaan dampak disajikan per jenis dampak yang dikelola (udara dan kesehatan masyarakat, kualitas air laut, biota laut, sosek-budaya) dilengkapi dengan legenda dan skala (sekitar 1:400.000 atau cukup kecil/kasar) dan matriks RKL yang sesuai dengan penjelasan narasinya.
103
Tabel 14 Analisis kualitas dokumen AMDAL migas
Kelengkapan Dokumen
Lengkap
Lengkap
Lengkap
PertaminaSuryaraya Teladan Pendopo (PP 51/1993) Lengkap
Penyusun AMDAL
Tim penyusun tidak lengkap, ahli geologi dan ahli perminyakan tidak tersedia
Bidang keahlian tim penyusun tidak sesuai dengan dampak penting yang akan dianalisis (tidak lengkap) yaitu ahli perminyakan tidak tersedia
Tim penyusun tidak lengkap, ahli perminyakan tidak tersedia
Indikator
PT.CPI Duri (PP 29/1986)
PPLH UNRI dan PT Bumi Prasidi Tidak ada CV penyusun
Substansi Dokumen 1. KA-ANDAL a. Pendahuluan b. Ruang Lingkup Studi c. Metode Studi d. Pelaksana Studi
Lengkap
Pertamina UP III Plaju (PP 29/1986)
PT.Unisystem Utama (Ltd) Pengalaman Ketua tim 14 tahun
Lengkap
PT.Lapindo Brantas Sidoarjo (PP 51/1993)
PT. CORELAB INDONESIA Pengalaman Ketua Tim 3 tahun
Lengkap
Exspan Toili Sulawesi (PP 27/1999)
BP Tangguh Sorong (PP 27/1999)
Hess Pangkah Gresik (PP 27/1999)
Lengkap
Lengkap
Lengkap
Tim penyusun tidak lengkap, ahli geologi tidak tersedia
Tersedia semua ahli sesuai dengan kebutuhan penyusunan dokumen
Tim penyusun tidak lengkap, ahli perminyakan tidak tersedia
Tersedia semua ahli sesuai dengan kebutuhan penyusunan dokumen
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UGM Pengalaman Ketua Tim 3 tahun
PPLH IPB Pengalaman ketua tim 11 tahun
PT.INTERSYS Kelola Maju Pengalaman Ketua Tim 13 tahun
PPLH IPB Pengalaman ketua tim 10 tahun
Lengkap
Lengkap
Lengkap
Lengkap
104
Lanjutan Tabel 14 Indikator 2. ANDAL meliputi: a. uraian kegiatan b. rona lingkungan awal c. Metode Studi d. prakiraan dampak penting e. evaluasi dampak penting f. diagram alir dampak penting g. matrik identifikasi dampak h. matrik prakiraan dampak i. arahan RKL dan RPL j. daftar pustaka k. lampiran RKL mencakup: a. Ringkasan evaluasi dampak penting b. Pendekatan pengelolaan lingkungan: teknologi, institusi/kelembagaan, social ekonomi c. Rencana pengelolaan lingkungan, d. matrik pengelolaan
PT.CPI Duri (PP 29/1986)
Lengkap
Pertamina UP III Plaju (PP 29/1986) Lengkap
PT.Lapindo Brantas Sidoarjo (PP 51/1993) Lengkap
PertaminaSuryaraya Teladan Pendopo (PP 51/1993) Lengkap
Exspan Toili Sulawesi (PP 27/1999) Lengkap
Tidak ada arahan RKL dan RPL yang ada hanya tindak lanjut
Tidak ada ringkasan (tidak dipersyaratkan dalam Kepmen PE No.0185/1988 dan 1158/1989
Tidak ada ringkasan (tidak dipersyaratkan dalam Kepmen PE No.0185/1988 dan 1158/1989 Tidak ada pendekatan sosial
BP Tangguh Sorong (PP 27/1999) Lengkap,
Hess Pangkah Gresik (PP 27/1999) Lengkap
Tidak ada arahan RKL dan RPL
Tidak ada ringkasan Lengkap
Lengkap
Tidak ada pendekatan sosial ekonomi RKL tidak bersifat operasional, teknologi masih bersifat alternatif
Tidak ada ringkasan
105
Lanjutan Tabel 14 Indikator
PT.CPI Duri (PP 29/1986)
lingkungan dan peta lokasi e. institusi dan pelaksana pengelolaan lingkungan RPL mencakup: a. Identitas proyek dan ringkasan ANDAL, b. rencana pemantauan, c. pelaksanaan pemantauan lingkungan, d. matrik pemantuan e. peta pemantuan Waktu Penyusunan a. KA-ANDAL/KA-SEL b. ANDAL/SEL c. RKL/RPL
Pertamina UP III Plaju (PP 29/1986)
PT.Lapindo Brantas Sidoarjo (PP 51/1993)
PertaminaSuryaraya Teladan Pendopo (PP 51/1993)
Exspan Toili Sulawesi (PP 27/1999)
BP Tangguh Sorong (PP 27/1999)
Hess Pangkah Gresik (PP 27/1999)
Program RKL tidak membahas masalah sosial budaya dan sosial ekonomi Lengkap
Lengkap
Lengkap
Lengkap
Lengkap
Tidak ada bab identitas proyek dan ringkasan ANDAL
Lengkap
1 tahun
1 tahun
1 tahun
1 tahun
1 tahun
1 tahun
1 tahun
1 tahun
1 tahun 3 tahun
1 tahun
1 tahun
1,5 tahun
1 tahun
3 tahun
106
Berdasarkan hasil penilaian diperoleh bahwa secara umum kualitas dokumen AMDAL kurang. Hal ini tampak pada empat indikator yang digunakan dalam penilaian yakni; kelengkapan dokumen, tim dan lembaga penyusun, substansi dokumen dan waktu penyusunan. Meskipun keempat indikator tersebut terpenuhi, namun ada beberapa hal esensial yang belum dipenuhi dari ketentuan yang telah ditetapkan, seperti tidak tercantumnya biodata penyusun, tidak adanya ahli perminyakan dan geologi dalam tim penyusun, minimnya pengalaman tim penyusun, rendahnya kualifikasi tim penyusun khususnya anggota tim, serta adanya dokumen yang tidak memberikan arahan dan minimnya kajian sosial ekonomi serta waktu penyusunan yang relatif lama yakni berkisar antara satu hingga tiga tahun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kualitas dokumen AMDAL dipengaruhi oleh masih terdapatnya beberapa kelemahan-kelemahan mendasar dalam kebijakan AMDAL migas. 5.3
Kinerja Lingkungan Implementasi AMDAL Kegiatan Migas
Kegiatan usaha migas antara lain pemboran sumur, pengembangan lapangan, pembangunan fasilitas produksi/transmisi dan pengoperasiannya, perawatan sumur dan eksploitasi migas serta pengolahan minyak dan gas yang merupakan kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Evaluasi kinerja lingkungan untuk kegiatan usaha migas dilakukan dengan mengevaluasi volume tumpuhan minyak yang terjadi, kualitas limbah cair, kualitas udara dan kebisingan serta perkembangan produk domestik regional bruto (PDRB), perkembangan pendidikan dan kesehatan masyarakat di daerah operasi kegiatan usaha migas. Mengingat hal di atas, maka perlu dilakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan seperti yang dirumuskan dalam dokumen rencana pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL). Pemantauan dilakukan terhadap tumpuhan minyak, kualitas limbah cair meliputi: kandungan minyak dan lemak, konsentrasi H2S, konsentrasi COD, dan kandungan amoniak bebas dalam air. Parameter kualitas udara dan kebisingan meliputi: kandungan SO2, kandungan H2S, kandungan NOx, dan tingkat kebisingan yang ditimbulkan dari aktivitas migas tersebut.
107
5.3.1
Tumpahan Minyak
Pelaksanaan kegiatan usaha migas, pada hakekatnya merupakan kegiatan yang memiliki standar operasional prosedur (SOP), dimana setiap rangkaian kegiatan memiliki prosedur yang baku, mulai tahap persiapan hingga pasca operasi, begitu juga kondisi emergency. Pelaksanaan kegiatan migas terdiri dari empat tahapan baik di darat maupun di laut yakni: 1) tahap pra konstruksi, 2) tahap konstruksi, 3) tahap operasi dan 4) tahap pasca operasi. Pada beberapa tahapan kegiatan, berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan seperti dari limbah hasil proses produksi yang dihasilkan maupun dari kejadian emergency. Bahan-bahan yang menjadi limbah dari sisa hasil produksi dan emergency tersebut dapat menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan hidup dan sumberdaya alam. Pada tahap operasi potensi tumpahan minyak dapat terjadi melalui kebocoran pipa dan semburan liar sewaktu pengeboran sumur produksi. Sedangkan pada tahap pasca operasi, tumpuhan minyak dapat terjadi sewaktu pengapalan dan pengangkutan. Tumpahan minyak tersebut dapat berdampak secara langsung terhadap ekosistem dan lingkungan hidup serta manusia yang ada disekitarnya. Besaran dampak akibat tumpahan minyak sangat ditentukan oleh volume dan frekuensi tumpahan yang terjadi. Tabel 15 Frekuensi dan jumlah tumpuhan minyak pada KKKS KKKS
2003 frek
2004
barel
frek
2005
barel
frek
2006
2007
barel
frek
barel
frek
barel
BP Indonesia
-
-
-
-
1
47.0
1
3.5
-
-
Caltex Pacific Indonesia Conoco Phillips
6
274.0
6
470.0
5
189.0
-
-
-
-
9
364.0
-
-
2
52.5
-
-
2
200.0
-
-
-
-
1
55.0
-
-
-
-
20
554.1
-
-
-
-
1
13.5
-
-
Total EP Indonesia
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
CNOOC SES
-
-
2
195.0
1
183.3
1
6.6
1
31.7
Petro China
-
-
-
-
-
-
-
-
2
177.0
Medco EP Indonesia
-
-
1
250.0
5
130.0
-
-
3
118.0
Kondur Petroleum
-
-
1
20.0
1
15.0
-
-
1
6.9
Pearl Oil (Tungkal) Ltd
-
-
-
-
1
89.4
-
-
-
-
PT Pertamina EP
-
-
-
-
2
25.0
2
111.0
5
452.0
35
1192.1
10
935.0
19
786.2
19
786.2
19
786.2
Exxon Mobil Oil Indonesia Unocal Indonesia
Total
Sumber: Ditjen Migas, 2007
108
Pada tahun 2003, tumpahan minyak terjadi sebanyak 35 kali dengan volume 1.192,1 barrel. Tumpahan tertinggi terjadi pada KKKS Unocal Indonesia yakni sebanyak 20 kali dengan volume sekitar 554,1 barrel. Sementara pada tahun 2004, tumpahan minyak terjadi sebanyak 10 kali dengan volume 935,0 barrel. Tumpahan tertinggi terjadi pada KKKS Caltex Pacific Indonesia yakni sebanyak 6 kali dengan volume sekitar 470,0 barrel. Tumpahan minyak pada tahun 2005, terjadi sebanyak 19 kali dengan volume 786,2 barrel, dengan tumpahan tertinggi terjadi pada KKKS Caltex Pacific Indonesia yakni sebanyak 5 kali dengan volume 189,0 barrel. Tabel 16 Tumpahan minyak (barel) periode 2000-2007 Tahun Hilir 2000 4.007,6 2001 2002 2003 2004 5.000,0 2005 2006 2007 452,0 Sumber: Ditjen Migas, 2007
Hulu 17.570,0 11.522,0 6.467,0 1.192,1 9.801,6 770,9 1.188,6 144,9
Potensi tumpahan minyak juga dapat terjadi pada operasi hilir atau pemasaran/niaga,
baik
dari
transportasi
melalui
pipa
maupun
kapal.
Sesungguhnya tumpuhan minyak yang terjadi, umumnya merupakan kejadian emergency, yang terjadi karena kebocoran atau pecahnya tanker. Tumpahan minyak dapat menimbulkan dampak pencemaran bahkan kerusakan lingkungan hidup bila tidak ditanggulangi dengan segera, karena lapisan minyak yang menutupi permukaan air dapat menyebabkan kurangnya cahaya yang masuk kedalam perairan, sehingga fotosintensis tidak terjadi dan berdampak terhadap matinya berbagai biota perairan, termasuk matinya terumbu karang. Jika tumpuhan minyak menutupi akar mangrove serta tumbuhan hijau di daratan. Tumpahan minyak tersebut menutupi akar nafas dari mangrove, sehingga mangrove mengalami kekurangan oksigen dan akhirnya mengalami kematian (Dahuri et al., 1996).
109
18000
HULU HILIR
16000 14000 12000 10000 Barel 8000 6000 4000 2000 0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 6 Volume tumpahan minyak pada kegiatan hulu dan hilir migas Tumpahan minyak merupakan keadaan darurat (emergency) yang selama ini tidak dikaji di dalam AMDAL, padahal hal tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan bahkan kerusakan lingkungan. Pencemaran lingkungan hidup menurut UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Definisi tersebut sangat sulit dijabarkan, sehingga perlu dirumuskan definisi pencemaran lingkungan hidup yang lebih operasional. Hasil penelitian diperoleh bahwa pencemaran lingkungan hidup adalah turunnya kualitas lingkungan hidup dan atau ekosistem yang disebabkan oleh aktivitas manusia, sehingga tidak berfungsi lagi sesuai peruntukkannya pada waktu dan wilayah tertentu. Sedangkan perusakan lingkungan hidup menurut UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Pada hakekatnya, kerusakan lingkungan hidup adalah terjadinya perubahan ekosistem (fisik, kimia, hayati termasuk sosial ekonomi dan budaya) yang disebabkan oleh aktivitas manusia
110
secara langsung maupun tidak langsung sehingga menyebabkan terhambatnya pembangunan yang berkelanjutan pada waktu tertentu. Masih
seringnya
terjadi
tumpuhan
minyak
(emergency)
yang
menyebabkan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, sehingga membutuhkan penanganan keadaan darurat yang terencana. Menurut Suratmo (2002), bahwa walaupun dampak emergency belum pasti terjadi (uncertain negative impact), tapi harus dikaji di dalam AMDAL. Selain dari tumpahan minyak dapat juga terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat semburan liar (blow out) dari sumur pemboran baik umur eksploitasi maupun sumur produksi, semburan liar yang biasanya diikuti dengan kebakaran yang dapat mengakibatkan kerugian waktu, biaya dan rusaknya lingkungan. Semburan liar merupakan peristiwa mengalirnya fluida (minyak, gas dan air) dari formasi kedalam sumur, lalu menyembur ke permukaan tanpa dapat dikendalikan (Purnomo dan Tobing, 2007). 5.3.2
Kualitas Limbah Cair
Polusi air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, bukan dari kemurniannya. Air yang tersebar di alam tidak pernah terdapat dalam bentuk murni, tapi bukan berarti semua air terpolusi. Sebagai contoh, meskipun di daerah pegunungan atau hutan yang terpencil dengan udara yang bersih dan bebas dari polusi, air hujan selalu mengandung bahan-bahan terlarut seperti CO2, O2 dan N2 serta bahan-bahan tersuspensi seperti debu dan partikel-partikel lainnya yang terbawa dari atmosfer (PPLH UNSRI, 2003). Salah satu hasil sampingan dari kegiatan industri migas adalah limbah cair dengan kadar minyak yang tinggi, limbah cair ini dapat mencemari terhadap perairan di sekitarnya, dapat menurunkan kualitas lingkungan dan menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas air apabila dibuang secara langsung tanpa diolah terlebih dahulu. Untuk mengurangi kadar minyak yang tinggi tersebut maka diperlukan suatu sistem pengolahan (Effendi, 2003). Kualitas air digunakan baku mutu kualitas air limbah untuk kegiatan usaha migas yang ditetapkan berdasarkan surat keputusan menteri negara lingkungan hidup No. 42 tahun 1996 tentang baku mutu limbah bagi usaha dan/atau kegiatan
111
minyak dan gas serta panas bumi. Parameter kualitas limbah cair yang dianalisis yakni minyak dan lemak, COD, sulfida dan amoniak. a. Minyak dan Lemak Keberadaan minyak dan lemak dalam limbah cair atau dalam badan air akan membentuk lapisan yang tipis disebut film minyak pada permukaan air (massa jenis minyak/lemak lebih kecil dari massa jenis air). Lapisan tipis ini akan menghambat kelarutan udara terutama oksigen ke dalam badan air padahal kelarutan oksigen dalam air dibutuhkan oleh biota perairan. Selain itu keberadaan lapisan minyak dalam badan air akan menghambat masuknya cahaya matahari ke dalam air, sehingga proses fotosintesis dalam badan air akan terhambat. Proses fotosintesis sangat berguna untuk meningkatkan kandungan oksigen yang terlarut dalam badan air. Kadar maksimum minyak dan lemak dalam limbah cair adalah 35 mg/l. Kandungan minyak dan lemak dalam perairan dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain: pembersihan dan pencucian kapal tangker (water blase), pengeboran minyak di dekat perairan, kebocoran kapal pengangkut minyak serta sumber-sumber lainnya seperti buangan pabrik. Hal tersebut, disebabkan karena minyak tidak larut dalam air, sehingga apabila terjadi tumpahan minyak di perairan maka, minyak akan mengapung dan dalam beberapa hari akan mengalami penguapan dan mengalami emulsifikasi yang akhirnya air dan minyak dapat bercampur. 40 35 30 25
mg/L
20 15 10 5 1993
1994
1995
1996
1997
CPI Duri Suryaraya Teladan Expan Toili Baku Mutu Lingkungan
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Pertamina Plaju Lapindo Brantas BP Tangguh
Gambar 7 Kandungan minyak lemak di enam lokasi kegiatan usaha migas
112
Hasil pemantauan yang dilakukan pada enam perusahaan migas, pada masing-masing lokasi masih memiliki kandungan minyak dan lemak di bawah baku mutu lingkungan yang ditetapkan. Kondisi tersebut dimungkinkan karena pada umumnya perusahaan migas dalam melakukan operasi telah menerapkan dan menggunakan teknologi tinggi, dengan kemungkinan kebocoran minyak yang sangat kecil. Disisi lain, apabila terjadi kebocoran minyak, kesiapan penanganan keadaan darurat (emergency response plan) dan treatment merupakan prosedur utama, sehingga kemungkinan untuk menjumpai luberan minyak ataupun kandungan minyak lemak di atas ambang batas sangat jarang. Kadar minyak dan petroleum yang diperkenankan terdapat pada air minum berkisar antara 0,01-0,1 mg/l. Kadar yang melebihi 0,3 mg/l bersifat toksik terhadap beberapa jenis ikan air tawar (Effendi, 2003). b. Hidrogen Sulfida Senyawa hidrogen sulfida (H2S) merupakan senyawa yang terbentuk dari penguraian anaerobik terhadap senyawa yang mengandung belerang. Senyawa ini akan menimbulkan bau dan warna terhadap badan air dimana H2S ini bersifat racun terhadap biota perairan. Baku mutu lingkungan berdasarkan Kepmen LH No. 42 tahun 1996 untuk bahan pencemar adalah 1,0 mg/l. 1.4 1.2 1 0.8 mg/L 0.6 0.4 0.2 0 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Pertamina Plaju
CPI Duri
Suryaraya Teladan
Lapindo Brantas
BP Tangguh
Expan Toili
Buku Mutu Lingkungan
Gambar 8 Kandungan H2S di enam lokasi kegiatan usaha migas
113
Hasil pemantauan yang dilakukan pada enam perusahaan migas, ditemukan bahwa pada tahun 1993 di lokasi Pertamina UP III Plaju kandungan H2S melebihi baku mutu lingkungan yang ditetapkan namun di tahun berikutnya hingga tahun 2007 kadungan H2S di bawah baku mutu lingkungan yang ditetapkan (0,5 mg/l). Sedangkan pada perusahaan PT.CPI Lapangan Duri, kandungan H2S melebihi baku mutu lingkungan (1,0 mg/l) terjadi pada tahun 1994-1995 dan selanjutnya terjadi penurunan hingga tahun 2006. Gambar 8 menunjukkan bahwa perusahaan sangat peduli pada lingkungan. Hal tersebut tergambarkan pada nilai H2S yang dari tahun ke tahun berada di bawah baku mutu lingkungan untuk H2S (0,5 mg/l). c. Kebutuhan Oksigen Kimiawi Kebutuhan
oksigen
kimiawi/chemical
oxygen
demand
(COD)
menunjukkan kandungan bahan organik dan anorganik yang dapat didegradasi dan dinyatakan dengan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses degradasinya. Makin tinggi nilai COD pada badan air (air permukaan) dan air limbah maka kualitas air tersebut makin buruk. COD menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologi (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara non biologi (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O (Effendi, 2003). 350 300 250
mg/L 200 150 100 50 0
1993
1994
1995
1996
1997
Pertamina Plaju Lapindo Brantas Baku Mutu Lingkungan
1998
1999
2000
CPI Duri BP Tangguh
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Suryaraya Teladan Expan Toili
Gambar 9 Kandungan COD di enam lokasi kegiatan usaha migas
114
Hasil pemantauan diperoleh bahwa pada enam lokasi kegiatan usaha migas ternyata tidak terdapat kandungan kebutuhan oksigen kimiawi (COD) yang melebihi baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan (300 mg/l). Hal tersebut dimungkinkan karena dalam kegiatan usaha migas telah diterapkan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan, serta telah dilakukan pengelolaan limbah. Kesemua hal tersebut menjadi perhatian serius dari perusahaan yang beroperasi, sehingga kemungkinan kandungan COD yang melebihi baku mutu lingkungan tidak dan jarang terjadi. d. Amoniak Bebas Amoniak dalam air permukaan (badan air) dapat berasal dari hasil degradasi baik secara aerobik maupun anaerobik, bahan yang mengandung unsur nitrogen misalnya protein. Adanya amoniak dalam air permukaan dapat menimbulkan bau. Batas maksimum amoniak yang diperbolehkan berdasarkan Kepmen LH No. 42 tahun 1996 adalah 10 mg/l. 12 10 8 mg/L 6 4 2 0 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Pertamina Plaju
CPI Duri
Suryaraya Teladan
Lapindo Brantas
BP Tangguh
Expan Toilii
2004
2005
2006
Baku Mutu Lingkungan
Gambar 10 Kandungan amoniak di enam lokasi kegiatan usaha migas Berdasarkan Gambar 10 menunjukkan bahwa kandungan amoniak di Pertamina-Suryaraya Teladan pada awal operasi melebihi baku mutu amoniak yang telah ditetapkan (10 mg/l) dan mengalami penurunan mulai dari tahun 2001 hingga tahun 2006. Hal ini terjadi karena meningkatnya penggunaan teknologi
115
yang digunakan untuk mengurangi kandungan amoniak. Sedangkan pada PT.CPI Lapangan Duri dan Pertamina UP III Plaju, kandungan amoniaknya dari tahun 1993-2006 tidak melampaui baku mutu amoniak yang telah ditetapkan (10 mg/l). Demikian pula kandungan amoniak di BP Tangguh, PT.Lapindo dan Expan Blok Toili yang dipantau dari tahun 2001-2006 tidak melampaui batas baku mutu yang telah ditetapkan (10 mg/l). 5.3.3
Kualitas Udara dan Kebisingan
Pencemaran udara didefinisikan sebagai masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udaara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang meyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Sedangkan yang dimaksud dengan emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya kedalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar (PPLH UNSRI, 2003). Udara adalah media pencampur untuk limbah gas. Limbah gas atau asap yang diproduksi dari sisa pembakaran dan kendaraan bermotor, gas buangan keluar menempati ruang atmosfir yang selanjutnya bercampur dengan asap hasil pembakaran dan udara. Secara alamiah udara mengandung unsur kimia seperti O2, N2, NO2, CO2, H2 dan lain-lain. Penambahan gas kedalam udara melampaui kandungan alami akibat kegiatan manusia khususnya dalam pembukaan lahan, pertambangan dan kegiatan migas dapat menimbulkan polusi yang akan menurunkan kualitas udara. Zat pencemar melalui udara diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu partikel dan gas.
Partikel adalah butiran halus yang masih mungkin terlibat
dengan mata telanjang seperti uap air, debu, asap, kabut dan fume, namun yang dikaji dalam penelitian ini hanya partikel debu. Sedangkan pencemaran berbentuk gas hanya dapat dirasakan melalui penciuman (untuk gas tertentu) atau akibat langsung antara lain SO2, Nox, CO, CO2, hidrogen dan lain-lain.
116
a. Kandungan SO2 Sifat dari gas SO2 adalah gas yang tidak berwarna, namun memiliki bau sangat tajam. Bahan-bahan yang mengandung belerang teroksidasi membentuk sulfur dioksida. Sulfur dioksida dapat berubah menjadi asam belerang (asam sulfat) di atmosfir dan di dalam jaringan tubuh manusia. Sulfur dioksida stabil dalam beberapa hari, di udara teroksidasi menjadi SO3 yang akhirnya membentuk aerosol asam higroskopik H2SO4 lalu akan terjadi hujan asam. Gas SO2 dapat merusak tanaman, menyebabkan korosi pada permukaan logam dan merusak bahan nilon dan lain-lain (PPLH-UNSRI, 2003). Kandungan SO2 di udara diduga berasal dari bocoran gas alam pada SKG, bocoran dari separator minyak pada stasiun pengumpul, sisa pembakaran pada flare dan genset. Data hasil pemantauan untuk enam lokasi kegiatan usaha migas menunjukkan bahwa nilai kandungan SO2 di lingkungan relatif sangat kecil, jauh di bawah baku mutu (0,365 ppm) berdasarkan peraturan pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara (baku mutu ambien nasional). 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Pertamina Plaju
CPI Duri
Suryaraya Teladan
BP Tangguh
ExpanToili
Baku Mutu Lingkungan
2005
2006
Lapindo Brantas
Gambar 11 Kandungan SO2 di enam lokasi kegiatan usaha migas b. Kandungan H2S Senyawa H2S dalam bentuk gas bersifat racun dan berbau busuk, H2S di udara pada musim hujan akan larut dalam air yang merubah sifak fisik air
117
menjadi hitam, dan dengan senyawa besi membentuk Fe2S. Kandungan H2S dapat berasal dari sisa pembakaran pada flare atau pada genset dan sisa tumpahan minyak mentah yang tercecer maupun pada oil catcher yang menguap akibat dari penguapan oleh panas matahari. Nilai kandungan dalam udara di lingkungan dari hasil pelaporan relatif sangat kecil dan masih di bawah baku mutu lingkungan yang ditetapkan. Indikator ini diperkuat dengan tidak adanya keluhan dari pekerja dan masyarakat desa sekitar mengenai gangguan pernafasan. Demikian juga tingkat korosif di lokasi yang dipantau umumnya kurang terlihat. 0.0350
0.0300
0.0250
0.0200
0.0150
0.0100
0.0050
0.0000 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Pertamina Plaju
CPI Duri
Suryaraya Teladan
BP Tangguh
Expan Toili
Baku Mutu Lingkungan
2005
2006
Lapindo Brantas
Gambar 12 Kandungan H2S di enam lokasi kegiatan usaha migas c. Kandungan NOx Kandungan NOx terbentuk pada temperatur tinggi dan pada kondisi kaya oksigen.
Sumber pembentuk NOx dari kegiatan penambangan minyak dapat
berasal dari flare pada gas buangan di daerah pengeboran maupun pada stasiun pengumpul dan dapat berasal dari aktivitas kendaraan operasional dari dan menuju lokasi. Dengan demikian, temperatur tinggi pada pembakaran gas sisa di flare, kendaraan operasional, dari knalpot genset dapat mendorong terbentuknya nitrogen monoksida. Jika pada saat pembentukan pada temperatur tinggi dan pada
118
kondisi oksigen berlebihan. Kehadiran NOx adalah sama seperti kandungan SO2. Hasil pelaporan pemantauan di enam lokasi kegiatan usaha migas menunjukkan bahwa tingkat kandungan NOx dalam udara di lingkungan relatif rendah masih di bawah nilai baku mutu lingkungan. Oleh karena itu wajar, bila pengaruh terhadap lingkungan pada saat ini belum terjadi seperti belum adanya gangguan pertumbuhan vegetasi ataupun kesehatan pekerja. 450.0000 400.0000 350.0000 300.0000 250.0000 200.0000 150.0000 100.0000 50.0000 0.0000 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Pertamina Plaju
CPI Duri
Suryaraya Teladan
BP Tangguh
Expan Toili
Baku Mutu Lingkungan
2004
2005
2006
Lapindo Brantas
Gambar 13 Kandungan NOx di enam lokasi kegiatan usaha migas Hasil pemantuan kinerja lingkungan tampak bahwa kandungan NOx pada enam lokasi pengamatan untuk enam lokasi kegiatan usaha minyak dan gas diperoleh bahwa kandungan NOx terukur tidak melebihi baku mutu lingkungan yang dipersyaratkan. Kandungan NOx dari masing-masing lokasi pengamatan menunjukkan kecenderungan yang menurun dari tahun ke tahun. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pengelolaan lingkungan pada kegiatan usaha migas telah menjadi perhatian utama. Penggunaan teknologi pengelolaan limbah dan buangan serta dampak yang dapat muncul telah menjadi salah satu prioritas utama dalam kegiatan usaha migas. d. Kebisingan Pengukuran kualitas udara dan kebisingan dilakukan pada lokasi lapangan minyak dan gas yang sudah beroperasi. Analisis terhadap data kualitas lingkungan
119
yang diperoleh dari lapangan akan selalu didasarkan pada baku mutu lingkungan (BML) yang telah ditetapkan. Penilaian untuk kebisingan digunakan baku mutu bagi kawasan industri berdasarkan keputusan menteri LH No. 48 tahun 1996. Hasil analisis kebisingan pada pemantauan periode 1993-2006 disajikan pada Gambar 14. 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Pertamina Plaju
CPI Duri
Suryaraya Teladan
BP Tangguh
Expan Toili
Baku Mutu Lingkungan
2005
2006
Lapindo Brantas
Gambar 14 Kebisingan di enam lokasi kegiatan usaha migas Sumber bising pada lokasi pemantauan berasal dari kompresor gas pada booster dan SKG, selain dari genset dan pompa. Pemantauan dilakukan hanya untuk kawasan industri (pusat) dengan baku mutu bising (>70 dBA) berdasarkan keputusan menteri LH No. 48 tahun 1996 untuk kawasan industri. Berdasarkan Gambar 14 menunjukan bahwa tingkat kebisingan pada enam lokasi kegiatan migas tidak ada yang melampaui baku mutu bising sebagaimana yang telah ditetapkan pada Kepmen LH No. 48 tahun 1996. Hasil ini diperkuat dengan tidak adanya keluhan dari pekerja dan masyarakat sekitar daerah industri. Tingkat kebisingan merupakan hal yang perlu dicermati karena dapat diukur secara langsung (didengar) oleh pekerja dan masyarakat di sekitarnya. Untuk mereduksi kebisingan dapat dilakukan penanaman pohon-pohon seperti bambu atau pohon-pohon tegakan tinggi di sekitar sumber kebisingan (pompa, genset atau kompresor).
120
5.3.4
Aspek Sosial Ekonomi
Aspek sosial ekonomi di dalam penyusunan dokumen AMDAL didasarkan pada keputusan menteri No. 229 tahun 1996 tentang pedoman kajian aspek sosial ekonomi. Di dalam keputusan menteri tersebut, salah satu parameter untuk mengukur aspek sosial adalah pendapatan domestik regional bruto (PDRB). Perkembangan PDRB merupakan salah satu kriteria penilaian keberhasilan pembangunan daerah. Keadaan ekonomi makro regional suatu daerah dapat dilihat dari perkembangan PDRB, baik dari besaran nilainya maupun perkapita. Distribusi PDRB suatu daerah sangat ditentukan oleh besarnya sumbangan yang diberikan oleh tiap-tiap sektor yang terbagi dalam beberapa sub sektor. Indikator lain yang digunakan untuk mengukur aspek sosial ekonomi pada enam kegiatan usaha migas adalah aspek pendidikan dan kesehatan. Kedua aspek tersebut merupakan aspek sosial masyarakat yang umumnya banyak digunakan sebagai indikator pertumbuhan ekonomi dari sisi sosial masyarakat. Aspek pendidikan dapat diidentifikasi berdasarkan perkembangan jumlah gedung sekolah maupun taraf pendidikan (lamanya sekolah), sedang aspek kesehatan diidentifikasi berdasarkan perkembangan jumlah gedung kesehatan dan tingkat kesehatan masyarakat. Berdasarkan daerah operasi kegiatan migas yang dikaji pada enam lokasi kegiatan usaha migas yakni PT.CPI Duri Kabupaten Bengkalis, Pertamina UP III Plaju Kota Palembang dan Kabupaten Musi Banyuasin, Pertamina-Suryaraya Teladan Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Musi Banyuasin, PT.Lapindo Kabupaten Sidoarjo, Expan Toili Sulawesi Kabupaten Morowali dan BP Tangguh Kabupaten Sorong.
121
4,000 3,500
Gedung sekolah (unit)
3,000
Fasilitas kesehatan (unit) 2,500
PDRB tanpa Migas (Rp. X 10000) PDRB dengan Migas (Rp. X 10000)
2,000 1,500 1,000 500
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
-
Gambar 15 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kabupaten Bengkalis (BPS Kabupaten Bengkalis, 1986-2005) Berdasarkan Gambar 15 menunjukkan bahwa kontribusi sektor migas sangat mempengaruhi perekonomian daerah Kabupaten Bengkalis. Kondisi ini terjadi seiring berkembangnya sektor migas salah satunya sejak beroperasinya PT.CPI Lapangan Duri di Kabupaten Bengkalis. Namun, peningkatan sektor migas terhadap PDRB Kabupaten Bengkalis tidak mempengaruhi perkembangan jumlah gedung sekolah sebagai salah satu parameter dari sektor pendidikan demikian halnya pada perkembangan jumlah fasilitas kesehatan. Hal ini menggambarkan bahwa kontribusi sektor migas tidak dinikmati secara merata, khususnya yang berkaitan dengan dimensi sosial masyarakat. Saat ini, sumbangsih sektor migas lebih menjadi sumber APBD yang selanjutnya menjadi bagian dari belanja dan penggunaan anggaran daerah dalam pembangunan. Rendahnya korelasi antara sumbangan migas terhadap pertumbuhan pendidikan dan kesehatan, lebih disebabkan oleh fokus dan penekanan pembangunan daerah bersangkutan. Pembangunan infrastruktur seperti jalan dan sarana penerangan (listrik) lebih menjadi fokus pemerintah daerah Kabupaten Bengkalis.
122
3000 Gedung sekolah (unit)
2500
Fasilitas kesehatan (unit) PDRB tanpa Migas(Rp. x10000)
2000
PDRB dengan Migas(Rp. x10000) 1500
1000
500
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
0
Gambar 16 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kota Palembang (BPS Kota Palembang, 1986-2005) Berdasarkan Gambar 16 menunjukkan bahwa dengan berkembangnya sektor migas di Kota Palembang, perekonomian daerah (PDRB) meningkat secara signifikan. Kondisi ini terjadi sejak beroperasinya Pertamina UP III Plaju pada tahun 1993. Namun, peningkatan ini tidak diiringi oleh peningkatan jumlah gedung sekolah dan jumlah fasilitas kesehatan di Kota Palembang. Hal ini berarti peningkatan kontribusi sektor migas tidak mempengaruhi sektor pendidikan dan sektor kesehatan di Kota Palembang. Kontribusi sektor migas terhadap PDRB Kota Palembang, menunjukkan perkembangan yang signifikan. Kontribusi migas tampak pada tahun 2002, mengalami peningkatan terus menerus hingga tahun 2005. Namun kondisi tersebut belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap kondisi sosial masyarakat seperti pertumbuhan taraf pendidikan yang ditandai dengan masih minimnya gedung sekolah serta perkembangan jumlah tahunan yang rendah. Demikian pula untuk sektor kesehatan dimana perkembangan jumlah gedung kesehatan belum menunjukkan hubungan yang signifikan dengan sumbangan sektor migas di Kota Palembang.
123
350 Gedung sekolah (unit) 300
Fasilitas kesehatan (unit) PDRB tanpa Migas(Rp. x100000)
250
PDRB dengan Migas(Rp. x100000) 200 150 100 50
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
0
Gambar 17 Perkembangan PDRB, gedung dan fasilitas kesehatan Kabupaten Sidoarjo (BPS Kabupaten Sidoarjo, 1986-2005) Berdasarkan Gambar 17 menunjukkan bahwa kontribusi sektor migas tidak terlalu signifikan mempengaruhi perekonomian daerah Kabupaten Sidoarjo. Kontribusi sektor migas baru dinikmati mulai pada tahun 2001 karena pada tahun tersebut sektor migas mulai berkembang, salah satunya dengan beroperasinya PT.Lapindo Brantas di Kabupaten Sidoarjo. Namun, kontribusi sektor migas tidak mempengaruhi perkembangan jumlah gedung sekolah dan fasilitas kesehatan di Kabupaten Sidoarjo. Kontribusi sektor migas terhadap PDRB dan pertumbuhan ekonomi yang diukur dari sisi kesejahteraan sosial di Kabupaten Sidoarjo tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Kondisi tersebut, sangat dipengaruhi oleh kondisi daerah secara umum yang didominasi oleh sektor industri. Hal ini, tampak pada perkembangan PDRB tanpa migas sama dengan perkembangan PDRB dengan migas. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi secara mikro di Kabupaten Sidoarjo dalam kaitannya dengan sumbangan PDRB sektor migas masih sangat rendah. Namun demikian, perkembangan ekonomi secara makro tetap memberikan sumbangan yang besar. Kesempatan kerja dan peluang berusaha di sektor migas tetap menjadi bagian dari perkembangan dan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sidoarjo.
124
Perkembangan aspek sosial ekonomi di Kabupaten Muara Enim diukur dari perkembangan PDRB dengan migas, PDRB tanpa migas dan jumlah gedung sekolah. Berdasarkan Gambar 18 menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 perkembangan sektor migas memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian daerah, hal ini terlihat dari perkembangan PDRB dengan migas dan PDRB tanpa migas. Namun, kontribusi sektor migas terhadap PDRB ternyata tidak mempengaruhi perkembangan jumlah gedung sekolah dan fasilitas kesehatan di Kabupaten Muara Enim. Masih minimnya sumbangsih sektor migas terhadap pertumbuhan ekonomi mikro dan kesejahteraan sosial masyarakat, lebih disebabkan oleh konsep pemerataan pembangunan daerah yang masih sangat bergantung pada pertumbuhan dan perkembangan jumlah APBD. Prioritas pembangunan lebih dikedepankan pada infrastruktur jalan dan aksesibilitas informasi serta pembiayaan pembangunan dan belanja daerah. 1200 Gedung sekolah (unit) 1000
Fasilitas kesehatan (unit) PDRB tanpa Migas(Rp. x10000)
800
PDRB dengan Migas(Rp. x10000)
600
400
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
0
1986
200
Gambar 18 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kabupaten Muara Enim (BPS Kabupaten Muara Enim, 1986-2005) Kondisi di Kabupaten Muara Enim tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Kabupaten Musi Banyuasin. Kontribusi sektor migas sangat mempengaruhi perekonomian daerah, terlihat dari perbedaan nilai PDRB tanpa migas dan PDRB dengan migas yang tinggi mulai tahun 1995. Namun, disisi lain perkembangan
125
jumlah gedung sekolah dan jumlah fasilitas kesehatan sangat jauh berbeda dengan perkembangan PDRB dengan migas. Jumlah gedung sekolah dan fasilitas kesehatan berdasarkan Gambar 19 tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan atau dianggap tidak ada peningkatan dari tahun ke tahun. 1800 1600
Gedung sekolah (unit)
1400
Fasilitas kesehatan (unit) PDRB tanpa Migas(Rp. x10000)
1200
PDRB dengan Migas(Rp. x10000)
1000 800 600 400 200
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1991
1992
1990
1989
1988
1987
1986
0
Gambar 19 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kabupaten Musi Banyuasin (BPS Kabupaten Musi Banyuasin, 1986-2005) Sumbangan sektor migas terhadap PDRB menunjukkan nilai yang signifikan terutama pada dua tahun terakhir. Kondisi ini menunjukkan bahwa sektor migas di Kabupaten Musi Banyuasin menjadi tulang punggung pembangunan daerah. Namun demikian sumbangan sektor yang besar tersebut, belum memberikan sumbangan yang nyata terhadap aspek kesejahteraan sosial masyarakat seperti taraf pendidikan dan tingkat kesehatan. Kedua aspek tersebut diukur dari sisi perkembangan jumlah fasilitas gedung sekolah dan gedung kesehatan. Berdasarkan data yang diperoleh kedua aspek tersebut belum mengalami perkembangan yang berarti. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh pemerataan pembangunan dan prioritas pembiayaan pembangunan. Kedua faktor tersebut menjadi jawaban terhadap belum signifikannya sumbangan migas terhadap aspek kesejahteraan sosial. Perkembangan PDRB dengan migas dan PDRB tanpa migas Kabupaten Morowali, menunjukkan perbedaan yang sangat kecil. Kontribusi sektor migas
126
mulai terlihat pada tahun 2001, yakni pada tahun tersebut sektor migas mulai berkembang dengan beroperasinya PT.Expan Toili di Kabupaten Morowali. 1600 Gedung sekolah (unit)
1400
Fasilitas kesehatan (unit) 1200
PDRB tanpa Migas(Rp.x1000) PDRB dengan Migas(Rp.x1000)
1000 800 600 400 200
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
0
Gambar 20 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kabupaten Morowali (BPS Kabupaten Morowali, 1986-2005) Perkembangan PDRB tanpa migas tidak berbeda dengan perkembangan PDRB dengan migas. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh besarnya peranan sektor-sektor lain seperti perkebunan dan pertanian, perikanan dan kelautan serta kehutanan. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan sumbangan sektor migas belum memberikan dampak yang nyata khususnya terhadap aspek sosial masyarakat yakni: taraf pendidikan dan tingkat kesehatan masyarakat. Kontribusi sektor migas di Kabupaten Sorong salah satunya dapat diukur dari perkembangan PDRB. Pada Gambar 21 terlihat bahwa dari tahun 1993 sektor migas mulai berkembang dengan nilai kontribusi terhadap perekonomian daerah yang sangat signifikan dari tahun ke tahun. Namun, perkembangan sektor migas tidak menujukkan pengaruh yang positif terhadap perkembangan jumlah gedung sekolah dan fasilitas kesehatan di Kabupaten Sorong. Jumlah gedung sekolah dan fasilitas kesehatan dari tahun ke tahun tidak menunjukkan kenaikan. Hal ini berarti kontribusi sektor migas yang begitu besar tidak merata pada seluruh sektor di Kabupaten Sorong.
127
350 Gedung sekolah (unit)
300
Fasilitas kesehatan (unit) 250
PDRB tanpa Migas(Rp. X 10000) PDRB dengan Migas(Rp. X 10000)
200 150 100
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
0
1986
50
Gambar 21 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kabupaten Sorong (BPS Kabupaten Sorong, 1986-2005) Perkembangan aspek sosial ekonomi yang diukur dari nilai PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan pada tujuh kabupaten/kota di enam lokasi kegiatan usaha migas menunjukkan bahwa kontribusi sektor migas yang begitu besar tidak dinikmati secara merata pada seluruh sektor di daerah. Peningkatan PDRB secara umum dengan keberadaan perusahaan migas, menunjukkan nilai yang signifikan. Kabupaten/kota dengan PDRB yang tinggi, diharapkan mampu memberikan perkembangan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah,
pemerataan
sosial
dan
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat.
Peningkatan PDRB secara umum pada kabupaten/kota dimana perusahaan beroperasi, ternyata tidak diikuti dengan perkembangan kondisi sosial yang signifikan. Aspek pendidikan dan kesehatan merupakan indikator yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana kondisi sosial masyarakat. Berdasarkan evaluasi aspek sosial ekonomi pada tujuh kabupaten/kota di enam lokasi kegiatan usaha migas, diperoleh bahwa meskipun aspek ekonomi makro yakni PDRB daerah mengalami peningkatan yang signifikan dengan kehadiran perusahaan-perusahaan minyak tersebut, namun disisi lain aspek sosial dengan menggunakan indikator pendidikan yakni perkembangan jumlah gedung dan jumlah fasilitas kesehatan tidak menunjukkan peningkatan yang nyata.
128
Kondisi ini menjadi permasalahan klasik yang umum dijumpai di daerah-daerah lokasi kegiatan usaha migas dilakukan. Hal tersebut disebabkan karena tidak diwajibkannya pembangunan dimensi sosial oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi, namun hal tersebut hanya bersifat voluntary, sehingga dimensi sosial masyarakat seperti pengembangan pendidikan masyarakat lokal sangat bergantung pada keberpihakan perusahaan yang beroperasi. Dengan demikian, secara umum pembangunan dimensi sosial tidak menjadi tanggung jawab perusahaan, namun hanya menjadi bagian dari program kepedulian sosial semata. Tanggung jawab kemudian dilimpahkan pada pemerintah daerah yang memperoleh share lifting dari kegiatan usaha migas. 5.3.5
Nilai Ekonomi Lingkungan
Nilai ekonomi lingkungan merupakan nilai moneter dari sumberdaya alam dan lingkungan. Estimasi nilai moneter telah banyak dilakukan dalam kerangka pengembangan perhitungan biaya kerugian akibat dampak yang ditimbulkan dari suatu kegiatan usaha pembangunan. Kegiatan usaha migas yang merupakan kegiatan ektraksi sumberdaya alam memungkinkan menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Estimasi nilai ekonomi sejak awal perencanaan kegiatan, semestinya dilakukan sebagai bagian dari penggambaran rona awal lingkungan serta sebagai dasar atau acuan kompensasi kerusakan lingkungan. Perhitungan nilai ekonomi lingkungan dalam penelitian ini, dilakukan pada dua lokasi kegiatan usaha migas yakni pada perusahaan yang baru akan beroperasi dan perusahaan yang telah lama beroperasi, dengan maksud kedua lokasi kegiatan tersebut dapat menggambarkan nilai ekonomi lingkungan sebelum kegiatan usaha migas dan setelah kegiatan usaha migas beroperasi. 1. Kabupaten Gresik Kabupaten Gresik memiliki kawasan kepulauan yakni Pulau Bawean dan beberapa pulau kecil di sekitarnya. Luas daratan wilayah Kabupaten Gresik seluruhnya 1.192,25km2 terdiri dari 996,14 km2 luas daratan ditambah sekitar 196,11 km2 luas Pulau Bawean. Sedangkan luas wilayah perairan adalah 5.773,80 km2 yang sangat potensial dari sub sektor perikanan laut.
129
Jumlah penduduk Kabupaten Gresik yaitu 1.164.024 jiwa terdiri atas: lakilaki 586.484 jiwa dan perempuan 577.540 jiwa yang tergabung dalam 286.986 keluarga. Jumlah pencari kerja di Kabupaten Gresik sebanyak 19.023 orang terdiri atas: laki-laki 10.023 orang dan perempuan 9.211 orang. Tingkat pendidikan di Kabupaten untuk tingkat SD/MI yaitu 187.041 orang (25,94%), tingkat SMP/MTs sebanyak 638.933 orang (54,89%), tingkat SMA/MA 129.516 orang (11,13%), dan untuk tingkat akademi/sarjana 11.175 (0.96%). Berdasarkan struktur pendidikan, jumlah pencari kerja terdiri atas: tamat SD 3 orang (0,02%), tamat SLTP 267 orang (1,39%), tamat SMA 6.918 rang (35.97%), tamat sekolah kejuruan 5.188 orang (26,97%), tamat akademi 2.637 (13,71%) dan sarjana 4.221 (21,95%). Jumlah yang tenaga kerja yang telah ditempatkan sebanyak 1.822 orang terdiri atas: laki-laki 1016 orang (55,76%) dan perempuan 806 orang (44,24%). Perusahaan minyak di Gresik saat beroperasi kegiatan usaha Hess dengan produksi maksimum minyak 20.000 barrel per hari dan produksi gas 100 MMSCFD. Ladang produksi diperkirakan selama 20 tahun. Hutan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik baik secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan manfaat kepada masyarakat disekitarnya. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan suatu konsep pengelolaan yang diawali dengan mengetahui seberapa besar total nilai ekonomi dari hutan mangrove yang menjamin keberlanjutan sumberdaya. Total nilai ekonomi hutan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah dihitung dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan. Hasil perhitungan valuasi ekonomi diperoleh nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah sebesar Rp. 1.235.996.678,00 per hektar per tahun dengan rinciannya disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Nilai ekonomi total ekosistem mangrove Ujung Pangkah, 2007 No Jenis Manfaat Manfaat Ekonomi (Rp/ha/tahun) 1
Manfaat Langsung
541.677.344,00
2
Manfaat Tidak Langsung
692.096.552,00
3
Manfaat Pilihan
4
Manfaat Keberadaan
2.084.783,00
Nilai Ekonomi Total
1.235.996.678,00
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2007
138.000,00
130
Berdasarkan hasil identifikasi, manfaat langsung hutan mangrove mencakup manfaat usaha tambak, manfaat hasil kayu bakar dan manfaat penangkapan hasil perikanan seperti kepiting, udang dan ikan. Sedangkan manfaat tidak langsung dari hutan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah diperoleh dengan pendekatan manfaat fisik dan manfaat biologi. Manfaat fisik adalah sebagai penahan abrasi pantai yang diestimasi melalui replacement cost dengan pembuatan beton pantai untuk pemecah gelombang (break waters). Hasil yang diperoleh berdasarkan biaya pengganti dari nilai pemecah gelombang, yang diacu dari estimasi yang dilakukan Aprilwati (2001) yaitu bahwa biaya pembangunan fasilitas pemecah gelombang (break waters) ukuran 1 m x 11 m x 2,5 m (panjang x lebar x tinggi) dengan daya tahan 10 tahun sebesar Rp. 4.153.880,00. Panjang pantai hutan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah adalah 140 km, maka biaya pembuatan pemecah gelombang dengan daya tahan 10 tahun seluruhnya adalah Rp. 58,15 milyar. Selain manfaat tidak langsung berupa fisik, hutan mangrove juga memberikan manfaat biologi. Manfaat biologi berupa hutan mangrove sebagai spawning ground yang diperoleh dengan pendekatan menghitung manfaat hutan mangrove sebagai penyedia pakan alami bagi udang. Luas hutan mangrove pada saat ini adalah 84,10 ha. Hal ini berarti bahwa udang yang dapat diproduksi sebesar 16,32 ton per tahun. Produksi udang dikalikan dengan harga udang yang ada dipasaran saat ini yaitu sebesar Rp. 125.000 per kg, diperoleh nilai manfaat hutan mangrove sebagai spawning ground sebesar Rp. 606.421.000 per hektar per tahun. Untuk mengetahui manfaat pilihan ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah diperoleh dengan pendekatan manfaat sebagai keanekaragaman hayati (biodiversity) dari ekosistem mangrove, dengan menggunakan metode benefit transfer. Menurut Krupnick (1993) dalam Fauzi (2004) bahwa benefit transfer bisa dilakukan jika sumberdaya alam tersebut memiliki ekosistem yang sama, baik dari segi tempat maupun karakteristik pasar (market characteristic). Mengacu pada nilai keanekaragaman hayati hutan mangrove di Teluk Bintuni Irian Jaya adalah sebesar US$ 15 per ha per tahun oleh
131
Ruitenbeek (1991). Nilai manfaat pilihan diasumsikan sama dengan nilai biodiversity di Teluk Bintuni Irian Jaya. Nilai manfaat pilihan didapatkan dengan mengalikan nilai biodiversity dengan nilai kurs rupiah terhadap dollar pada saat penelitian yaitu sebesar Rp. 9.200. Berdasarkan perhitungan maka diperoleh hasil bahwa nilai manfaat pilihan hutan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah adalah sebesar Rp. 138.000 per hektar per tahun. Luas hutan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah adalah seluas 84,10 ha, sehingga nilai manfaat pilihan (option value) secara keseluruhan adalah Rp. 11.605.800 per tahun. Nilai tersebut dijadikan sebagai dasar untuk melindungi sumberdaya alam dari kemungkinan pemanfaatannya untuk masa datang. Menghitung nilai manfaat keberadaan dari hutan mangrove didekati dengan menggunakan teknik contingent valuation method (CVM). Metode ini diterapkan kepada responden yang dipilih secara sengaja (purposive) sebanyak 115 responden. Nilai manfaat keberadaan hutan mangrove yang diperoleh sebesar Rp. 2.084.783,00 per ha per tahun. Alasan dari responden menilai sumberdaya seperti nilai di atas karena responden baik yang berhubungan langsung dengan hutan mangrove maupun yang tidak berhubungan langsung akan bersedia untuk mengeluarkan sejumlah uang untuk melindungi ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah. Umumnya responden mempunyai kesadaran bahwa melindungi lingkungan dan sumberdaya alam merupakan tanggung jawab setiap manusia agar tetap dapat mendukung kehidupannya secara berkelanjutan. Berdasarkan Tabel 17 diperoleh manfaat tidak langsung memberikan nilai manfaat hutan mangrove tertinggi dan memiliki persentasi paling besar dibandingkan dengan manfaat lainnya. Manfaat tidak langsung dengan presentase 55,48% dengan nilai sebesar Rp. 692.096.552,00 per hektar per tahun. Nilai tersebut lebih besar dari manfaat lainnya karena manfaat fisik berupa penahan abrasi dan manfaat biologi sebagai penyedia pakan alami ternyata memiliki nilai paling tinggi. Persentase nilai ekonomi ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah dapat dilihat pada Gambar 22.
132
Manfaat Keberadaan 0.17%
Manfaat Tidak Langsung 55.48%
Manfaat Pilihan 0.93%
Manfaat Langsung 43.42%
Gambar 22 Nilai ekonomi total ekosistem mangrove Ujung Pangkah, 2007 Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah sebesar Rp. 1.235.996.678,00 per hektar per tahun. Nilai ini masih terlalu rendah bila melihat fungsi-fungsi ekosistem itu sendiri. Namun dengan nilai tersebut, menggambarkan bahwa ternyata sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam pemanfaatan minimal sekalipun memberikan nilai yang cukup tinggi. Keberadaan nilai menjadi sangat penting sehubungan dengan keberlanjutan pembangunan. Ketersedian sumberdaya alam dan kelestarian lingkungan hidup menjadi entry point pembangunan berkelanjutan. Selain itu nilai tersebut memberikan alternatif dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan. 2. Kabupaten Bengkalis Wilayah Kabupaten Bengkalis merupakan daratan rendah, rata-rata ketinggian 2,0 – 6,1 meter diatas permukaan laut, sebagian besar merupakan tanah organosol, yakni jenis tanah yang banyak mengandung bahan organik. Terdapat sungai, danau serta pulau besar dan kecil yang berjumlah 26 buah. Jumlah penduduk Kabupaten Bengkalis yaitu 711.233 jiwa, terdiri atas: 378.003 jiwa (53,15%) laki-laki dan 333.230 jiwa (46,85%) perempuan. Berdasarkan tingkat pendidikan terdiri atas: tidak tamat sekolah sebanyak 143.811 jiwa (20,22%), tamat SD sebanyak 227.381 (31,97%), tamat SLTP sebanyak 138.619 (19,49%), tamat SLTA sebanyak 129.587 (18,22%), 42.603 (5,99%), tamat sekolah kejuruan sebanyak 4.054 (0,57%), tamat diploma sebanyak 9.317
133
(1,31%), dan sarjana sebanyak 15.932 (2,24%). Untuk jumlah pencari kerja sebanyak 3.064 orang terdiri atas: laki-laki 1.707 orang dan perempuan 1.359 orang. Sedang struktur penduduk pencari kerja berdasarkan pendidikan terdiri atas: tamat SD 9 orang, tamat SLTP 49 orang, tamat SMA 1.970 orang, tamat akademi 529 orang dan sarjana sebanyak 409 orang. Untuk lowongan pekerjaan yang ada terdiri atas: sektor pertanian 7 orang, pertambangan 56 orang, industri pengolahan 11 orang dan perbankan 36 orang. Kabupaten Bengkalis merupakan potensi penghasil minyak terbesar kedua di Indonesia setelah Kutai. Saat ini ladang-ladang minyak bumi terdapat di Kecamatan Mandau, Bukit Batu dan Merbau pengelolaannya dilakukan oleh perusahaan minyak PT. Caltex Pasific Indonesia dengan wilayah operasi di Kecamatan Mandau dan Bukit Batu serta perusahaan minyak Kondur Petroleum S.A yang wilayah konsesi/operasinya meliputi Kecamatan Merbau, Tebing Tinggi, Rangsang, Bengkalis dan perairan Bengkalis sekitar Selat Malaka. Produksi minyak mentah oleh PT CPI yaitu 295.000 barrel per hari, lebih dari separuh produksi minyak Propinsi Riau yaitu 455.000 barrel per hari. Selain memiliki potensi minyak bumi yang melimpah Kabupaten Bengkalis juga memiliki potensi sumberdaya alam terbarukan antara lain: sektor perikanan, pertanian dan holtikultura, serta sektor kehutanan. Untuk sektor kehutanan Kabupaten Bengkalis memiliki hutan produksi seluas 322.931,46 ha, atau sekitar 48,25% dari total hutan produksi propinsi Riau. Hutan produksi tersebut dikelola oleh 13 perusahaan dengan total produksi per tahun mencapai 1.127.209 meter kubik. Hasil perhitungan valuasi ekonomi Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis berupa hutan sekunder sebesar Rp. 1.244.786.305,00 per ha per tahun. Nilai ekonomi total merupakan penjumlahan dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan. Tabel 18 Nilai ekonomi total ekosistem hutan sekunder Mandau, 2007 No Jenis Manfaat Manfaat Ekonomi (Rp/Ha/Th) 1 Manfaat Langsung 1.160.141.198,00 2 Manfaat Tidak Langsung 80.400.000,00 3 Manfaat Pilihan 302.250,00 4 Manfaat Keberadaan 3.942.857,00 Nilai Ekonomi Total 1.244.786.305,00 Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2007
134
Berdasarkan
hasil
identifikasi
manfaat
langsung
yang
diperoleh
masyarakat dari hutan sekunder adalah hasil getah karet, kelapa sawit dan arang. Untuk manfaat tidak langsung dari ekosistem hutan sekunder yang berhasil diidentifikasi adalah besarnya peranan ekosistem hutan sekunder sebagai pencegah erosi, penjaga siklus makanan serta habitat flora dan fauna langka. Untuk menghitung besarnya biaya pencegah erosi didekati berdasarkan penggantian dari biaya yang diperlukan untuk rehabilitasi lahan apabila tidak ada ekosistem hutan sekunder. Penafsiran penjaga silkus makanan terukur dari 20 ton per ha per tahun serasah setara dengan harga kompos @ Rp3.700/kg. Sedangkan untuk habitat flora dan fauna didekati dengan biaya penghijauan (reboisasi). Manfaat pilihan hutan sekunder dalam penelitian ini diperhitungkan berdasarkan manfaat keanekaragaman hayati yang dapat diperoleh dari keberadaan hutan. Nilai manfaat keanekaragaman hayati hutan sekunder sebesar US$32,5 per hektar per tahun, apabila keberadaan hutan tersebut secara ekologis penting dan tetap terpelihara relatif alami (Ministry of State for Population and Environment USA, 1993). Berdasarkan hasil analisis dengan 42 responden diperoleh nilai manfaat keberadaan hutan mangrove sebesar Rp. 3.942.857,00 per hektar per tahun. Persentase nilai ekonomi ekosistem hutan sekunder di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis, disajikan pada Gambar 23.
Manfaat Keberadaan, 0.32%
Manfaat Pilihan 0.02%
Manfaat Tidak Langsung, 5.39%
Manfaat Langsung, 94.26%
Gambar 23 Nilai ekonomi total ekosistem hutan sekunder Mandau, 2007
135
Nilai ekonomi total hutan sekunder di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis yaitu Rp. 1.244.786.305,00 per hektar per tahun. Nilai ini sangat rendah bila dibandingkan nilai produksi dari kegiatan usaha migas yang dilakukan, namun dengan nilai sumberdaya tersebut telah memberikan gambaran yang jelas bahwa pemanfaatan yang sangat minimal sekalipun sumberdaya alam dan lingkungan hidup telah memberikan nilai yang cukup signifikan. Estimasi nilai ekonomi
lingkungan
tersebut
dapat
memberikan
pilihan-pilihan
dalam
pemanfaatan sumberdaya alam. Nilai ekonomi total tersebut memberikan gambaran betapa nilai dari suatu sumberdaya dengan tingkat pemanfaatan yang paling sederhana sekalipun dapat memberikan manfaat yang besar terhadap ekosistem dan manusia. Hasil ini memberikanan gambaran bahwa suatu sumberdaya memiliki potensi pemanfaatan dengan berbagai alternatif. Berdasarkan nilai ekonomi lingkungan yang diperoleh dari hasil analisis TEV, mengindikasikan bahwa sumberdaya alam dan lingkungan memerlukan penghargaan yang lebih tinggi dan dapat menjadi dasar informasi secara kuantitatif untuk menentukan berbagai pilihan pengelolaan sumberdaya alam serta menjadi informasi dalam penentuan alternatif kebijakan. Penilaian dampak pembangunan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan merupakan suatu langkah menuju pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Namun, pemahaman akan pentingnya pelaksanaan valuasi ekonomi masih sangat kurang khususnya di kalangan pemerintah dan perusahaan. Hal ini terlihat dalam hasil analisis PCA dan AHP, dimana strategi pengkajian nilai ekonomi lingkungan sebagai pengembangan metode analisis dampak lingkungan dianggap kurang penting bagi kalangan pemerintah dan pelaksana kegiatan (perusahaan migas). Metode valuasi ekonomi lingkungan merupakan salah satu metode pengumpulan data dan analisis data sebagaimana diatur dalam Kepdal No. 299 tahun 1996. Berdasarkan hasil review dokumen pada 7 lokasi kegiatan usaha migas tidak satupun penyusun dokumen AMDAL yang menghitung valuasi ekonomi. Hal ini terjadi karena penerapan Kepdal No. 299 tahun 1996 bukan merupakan peraturan yang wajib dilaksanakan dalam menyusun dokumen AMDAL.
136
Pada dasarnya valuasi ekonomi lingkungan penting dilakukan agar lingkungan dipertimbangkan sebagai aset ekonomi sehingga AMDAL yang juga merupakan bagian dari kelayakan suatu proyek dapat melihat untung rugi dari konteks lingkungan secara moneter. AMDAL yang merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, digunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan. Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL aspek fisikkimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Selain itu, nilai ekonomi lingkungan yang diperoleh dari hasil estimasi sumberdaya alam dan lingkungan dapat dijadikan sebagai standar perhitungan kompensasi maupun asuransi lingkungan (environment insurence). Dengan demikian, suatu rencana kegiatan dapat berjalan dengan baik, sekalipun terjadi hal-hal emergency maupun pencemaran terhadap lingkungan hidup (Fauzi, 2004). Adapun pertimbangan-pertimbangan tentang pentingnya pelaksanaan valuasi ekonomi dalam penyusunan AMDAL antara lain: 1) Sebagai salah satu aspek yang perlu ditambahkan dalam pengkajian proses AMDAL. 2) Sebagai salah satu bahan pembuatan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di sekitar kegiatan migas seperti mangrove, perikanan, DAS, hutan, dan ekosistem lainnya. 3) Memberikan input informasi dalam mengukur jasa lingkungan. 4) Menggambarkan nilai suatu dampak lingkungan dari rencana usaha dan/atau kegiatan secara lebih jelas dengan menyajikan kerugian lingkungannya. 5) Sebagai dasar perhitungan nilai ganti rugi lahan atas dampak lingkungan yang akan ditimbulkan. 6) Memberikan nilai moneter terhadap dampak lingkungan yang diprakirakan akan timbul. Hasil perhitungan tersebut akan menjadi dasar bagi penentuan nilai penting suatu dampak pada tahap evaluasi dampak penting. Valuasi ekonomi dimasukkan dalam penyusunan KA-ANDAL sebagai bagian dari isu pokok, kemudian dikaji di dalam ANDAL yang dilakukan sebagai salah satu analisis dampak besar dan penting terhadap sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
137
Valuasi ekonomi dipersyaratkan sebagai salah satu metode dalam penyusunan AMDAL migas, yang nantinya hasil valuasi ekonomi dapat dijadikan sebagai acuan di dalam penentuan ganti rugi atau kompensasi terhadap pembebasan lahan masyarakat, tuntutan dari terjadinya pencemaran dan sebagai dasar penentuan dana jaminan lingkungan sewaktu pasca operasi (penutupan lapangan). 5.4
Kebutuhan Stakeholders
Hasil analisis kebutuhan stakeholders dalam pengembangan AMDAL migas di masa datang diperoleh 12 komponen. Kedua belas komponen tersebut merupakan hasil identifikasi dari stakeholders yang terdiri atas: Direktorat Jenderal Migas DESDM, BP Migas, Kementerian Lingkungan Hidup, Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik dan Kabupaten Bengkalis, PT.CPI dan Hess Pangkah, perguruan tinggi (IPB dan UI) serta masyarakat/LSM (INRR). Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh bahwa kebutuhan stakeholders dalam pengembangan AMDAL migas di masa datang pada umumnya sama dengan AMDAL migas saat ini membutuhkan pengembangan yang lebih komprehensif, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan metodologi. Penekanan stakeholders adalah bagaimana melakukan AMDAL migas yang efektif dan efisien di masa datang. Pengembangan tersebut terkait pada beberapa aspek yakni: aspek pembiayaan dan metodologi, aspek prosedur persetujuan AMDAL, aspek kualitas penyusun, lembaga penyusun dan komisi penilai, serta keterlibatan masyarakat. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
RKL/RPL secara dinamis dapat diperbaharui seiring dengan perubahan teknologi yang digunakan Pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat merupakan bagian dari anggota komisi AMDAL Simplifikasi pembahasan dan persetujuan dokumen AMDAL migas Peningkatan SDM komisi AMDAL pusat Mekanisme keterlibatan masyarakat lokal yang jelas Penetapan proporsi/persentase pembiayaan studi yang jelas/baku Estimasi pembiayaan pengelolaan lingkungan selama umur kegiatan dengan mempertimbangkan teknologi alternatif, sesuai dengan perkembangan teknologi AMDAL sebagai dokumen yang berkekuatan hukum Pengembangan metodologi AMDAL migas Perlu akreditasi lembaga penyusun AMDAL migas
138
11. 12.
Pengkajian nilai ekonomi lingkungan Perlunya mengintegrasikan kajian keadaan darurat dengan dokumen AMDAL RKL/RPL seharusnya secara dinamis dapat diperbaharui seiring dengan
perubahan teknologi yang digunakan. Hal tersebut mengingat apabila terjadi perubahan teknologi yang digunakan, maka akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan lingkungan di sekitar kegiatan dengan hasil monitoring yang dilakukan selama operasi. Dengan demikian perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi mengharuskan pemrakarsa untuk merevisi dokumen RKL/RPL. Perubahan teknologi yang digunakan dalam suatu kegiatan usaha menjadi sangat penting mengingat perkembangan teknologi yang kian maju memungkinkan bagi setiap perusahaan yang melakukan kegiatan usaha migas mengadopsi teknologi-teknologi baru dalam rangka efisiensi dan efektivitas operasionalisasi. Adopsi teknologi tersebut sangat memungkinkan terjadi mengingat kegiatan usaha migas merupakan kegiatan yang bersifat high tech dalam setiap fase kegiatannya. Dengan demikian dinamika RKL/RPL menjadi kunci perkembangan AMDAL yang dinamis, efektif dan efisien. Pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat merupakan bagian dari anggota komisi AMDAL. Komponen tersebut menjadi kebutuhan lainnya dari stakeholders mengingat peran pemerintah daerah dan masyarakat diera otonomi menjadi sangat krusial. Pelibatan pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat dalam komisi AMDAL daerah menjadi alternatif objektivitas penilaian suatu studi AMDAL.
Simplifikasi pembahasan dan persetujuan dokumen AMDAL juga menjadi kebutuhan stakeholders dalam pengembangan AMDAL migas di masa datang. Penyederhanaan antara pembahasan dan persetujuan diharapkan dapat mereduksi perbedaan antara hasil pembahasan dengan rekomendasi persetujuan sehingga efektivitas dan efisiensi AMDAL dapat terwujud. Peningkatan SDM komisi AMDAL pusat perlu dilakukan mengingat kualitas dokumen AMDAL selain ditentukan oleh kualitas penyusun, juga sangat dipengaruhi oleh kualitas komisi AMDAL. Hal ini menjadi penting mengingat kajian tentang lingkungan hidup dalam dua dekade terakhir menjadi sangat serius
139
dan mendapat perhatian yang besar dari masyarakat dunia. Pemanasan global akibat dampak yang muncul dari aktivitas pembangunan telah mengancam kelansungan hidup manusia. Akibat tersebut menimbulkan polusi dan kerusakan lingkungan sehingga dokumen AMDAL sebagai upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan dalam keberlanjutan menjadi sangat penting. Komisi penilai AMDAL pusat adalah salah satu komponen penting yang berperan dalam kegiatan penyusunan AMDAL migas. Sumberdaya manusia yang berkualitas khususnya untuk kegiatan migas akan sangat menentukan hasil studi AMDAL migas selain kualitas tim penyusun itu sendiri. Sinergitas antara tim penyusun dengan komisi penilai dengan sumberdaya yang berkualitas diharapkan menghasilkan dokumen AMDAL yang berkualitas pula. Mekanisme keterlibatan masyarakat lokal yang jelas juga menjadi perhatian stakeholders. Keterlibatan masyarakat lokal selama ini hanya sebatas pada tahap pengumuman masyarakat. Tahap ini merupakan satu-satunya tahap keterlibatan masyarakat dengan pemberian tanggapan dan masukan akan rencana kegiatan. Kondisi demikian menyebabkan keterwakilan masyarakat sering tidak diperhatikan sehingga peran serta masyarakat menjadi sangat minim. Disisi lain masyarakat merupakan komponen penting dalam pelaksanaan kegiatan. Pertimbangan umum pelibatan masyarakat adalah masyarakat merupakan komponen yang akan merasakan langsung dampak yang ditimbulkan dari suatu kegiatan usaha. Selain itu masyarakat juga merupakan komponen yang paling mengetahui kondisi wilayah dimana kegiatan tersebut dilakukan. Penetapan pengumuman masyarakat selama 30 hari di dalam Kepdal No.08 tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat kurang tepat. Dasar penentuan waktu 30 hari tidak jelas, keterlibatan masyarakat didalam kegiatan usaha migas bukan hanya sekedar memberikan pengumuman/pemberitahuan bahwa suatu kegiatan akan dimulai tapi yang lebih penting memberikan pembekalan pengetahuan tentang kegiatan migas secara rinci dari awal perencanaan sampai pasca operasi antara lain dampak positif dan dampak negatif dari kegiatan usaha migas secara nasional, regional dan lokal. Sehingga dengan demikian mekanisme keterlibatan masyarakat lokal perlu diatur secara jelas dan berkekuatan hukum
140
agar dalam pelaksanaannya mendapat perhatian yang serius dari penyusun AMDAL. Penetapan proporsi atau persentase pembiayaan studi AMDAL untuk masing-masing komponen lingkungan khususnya pada komponen pembiayaan studi lapangan dan pembiayaan laboratorium. Kedua komponen tersebut perlu mendapat persentase yang cukup tinggi, mengingat keberhasilan studi dan kualitas dokumen AMDAL terletak pada pelaksanaan studi lapangan serta pengujian sampel yang tepat. Hal ini dapat mengukur sejauh mana kedalam dari studi AMDAL tersebut. Persentase pembiayaan perlu diperhitungkan secara cermat, mengingat kegiatan studi AMDAL senantiasa memerlukan pembiayaan yang cukup besar. Estimasi pembiayaan pengelolaan lingkungan selama umur kegiatan dengan mempertimbangkan teknologi alternatif sesuai dengan perkembangan teknologi juga menjadi perhatian stakeholders dalam pengembangan AMDAL di masa datang. Estimasi pembiayaan pengelolaan lingkungan yang mencakup perkembangan teknologi yang disesuaikan dengan perubahan-perubahan kegiatan dan teknologi perlu mendapat perhatian yang serius mengingat sering terjadi permasalahan lingkungan akibat minimnya pembiayaan yang dialokasikan. Langkah preventif dan antisipatif seringkali diabaikan, khususnya yang berkaitan dengan aspek lingkungan hidup, sehingga tidak mengherankan bila akhir-akhir ini banyak terjadi kerusakan lingkungan akibat dampak yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang kurang memperhatikan aspek pembiayaan lingkungan selama kegiatan itu berlangsung. Umumnya, pembiayaan lingkungan dialokasikan ketika telah terjadi kerusakan lingkungan sehingga sering menjadi terlambat. Kebutuhan selanjutnya adalah dokumen AMDAL migas sebaiknya dapat dijadikan sebagai dokumen yang memiliki kekuatan hukum. Hal ini sangat penting mengingat cakupan yang komprehensif dari dokumen AMDAL dalam upaya pencegahan kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Selain itu dokumen AMDAL juga menjadi dasar pemberian ijin pelaksanaan suatu kegiatan dan atau usaha dari aspek lingkungan. Kerusakan lingkungan seperti degradasi lahan, punahnya flora dan fauna, serta rusaknya ekosistem dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar terhadap lingkungan itu sendiri serta bagi masyarakat
141
di sekitar dampak tersebut. Class action dengan kasus lingkungan hidup akhirakhir ini marak terjadi. Namun dokumen AMDAL migas yang ada belum dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang kuat dalam pengajuan gugatan terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi. Perlunya memperhatikan lembaga tim penyusun AMDAL migas yang independen dan terakreditasi. Akreditasi lembaga merupakan bukti kualifikasi sebuah lembaga. Dengan demikian, harapan akan peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas di masa datang dapat terwujud dengan persyaratan penyusunan AMDAL migas harus dilakukan oleh lembaga yang independen dan telah terakreditasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga lembaga-lembaga yang tidak memenuhi kualifikasi serta lembaga-lembaga sempalan yang tidak memiliki integritas dan tanggung jawab yang baik dalam pelaksanaan studi AMDAL migas. Pengkajian nilai ekonomi lingkungan sebagai pengembangan metodologi AMDAL migas di masa datang perlu dilakukan mengingat isu lingkungan hidup saat ini yang banyak berkaitan dengan etimasi nilai moneter lingkungan. Ekonomi sumberdaya merupakan suatu cabang ilmu yang memadukan antara ekonomi dan lingkungan. Ekonomi sumberdaya kemudian sering digunakan sebagai justifikasi penilaian lingkungan dari sisi moneter. Konversi nilai sumberdaya alam dan lingkungan kedalam nilai moneter menjadi salah satu kajian yang banyak mendapat perhatian para ilmuan dan praktisi serta aktivis lingkungan dan ekonomi. Pengkajian nilai ekonomi lingkungan dalam suatu kegiatan AMDAL saat ini belum pernah dilaksanakan sehingga kedepan harapan stakeholders akan penghitungan estimasi nilai ekonomi lingkungan dapat menjadi bagian dari studi AMDAL yang dilakukan pada kegiatan usaha migas. Mengingat besarnya tumpuhan minyak yang terjadi setiap tahunnya, maka dampak dari kondisi darurat yang ditimbulkan (emergency) harus dikaji didalam ANDAL untuk penanggulangannya. Didalam pengkajian ANDAL terdapat pengkajian dampak penting kondisi normal dan kondisi darurat, didalam RKL terdapat pengelolaan kondisi normal dan kondisi darurat, sementara dalam RPL terdapat lembaga pengawasan kondisi normal dan kondisi darurat (emergency). Senantiasa dilakukan sebagai bagian dari langkah antisipatif terhadap tumpahan maupun kebocoran minyak yang dapat terjadi kapan saja. Meskipun,
142
sesungguhnya segala kemungkinan telah diprediksi dan diperkirakan dengan sebaik-baiknya, namun kejadian emergency juga selalu terjadi. Untuk itu emergency response plan, menjadi sangat penting sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pencegahan terjadinya kerusakan lingkungan khususnya pada kegiatan usaha migas. Hasil perhitungan nilai ekonomi lingkungan dan sumberdaya alam, dapat dijadikan basis perhitungan risk analysis. Seperti nilai ekonomi lingkungan yang diestimasi pada lokasi lapangan Duri PT.CPI sebesar 1,24 milyar per hektar per tahun dan lokasi lapangan Pangkah Hess Limited Indonesia sebesar 1,23 milyar per hektar per tahun. Nilai-nilai ekonomi tersebut, selanjutnya menjadi dasar perhitungan asuransi lingkungan dan sosial maupun perhitungan biaya kompensasi (ganti kerugian) yang dapat terjadi kapan saja. 5.5
Komponen Utama Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas
Pengembangan kebijakan AMDAL migas dalam mencegah kerusakan lingkungan selanjutnya dianalisis dengan menentukan komponen utama pengembangan kebijakan yakni meliputi: komponen kebijakan, komponen kualitas dokumen, komponen kinerja lingkungan dan komponen kebutuhan stakeholders. Komponen kebijakan terdiri atas: penentuan dampak penting (DAM), efisiensi penyusunan (EFI), kedudukan komisi AMDAL (KOM), metode pelingkupan (PEL), metode studi (MET), aspek sosial ekonomi (ASP), keterlibatan masyarakat (KTL), analisis total economic valuation (TEV) dan pengkajian keadaan darurat/emergency (KAD). Komponen kualitas dokumen meliputi: kelengkapan dokumen (KEL), penyusun AMDAL (PEA), substansi dokumen (SUB) dan prosedur penyusunan AMDAL (PRO). Komponen kinerja lingkungan meliputi: teknologi pengelolaan limbah minyak (TLM), teknologi pengelolaan limbah gas (TLG), kontribusi migas terhadap PDRB (KTR), taraf pendidikan dan tingkat kesehatan (PDK), serta tumpuhan minyak (TPM). Komponen kebutuhan stakeholders terdiri atas: RKL/RPL secara dinamis dapat diperbaharui seiring dengan perubahan teknologi yang digunakan (RPL), pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat merupakan bagian dari anggota komisi AMDAL (PEM), simplifikasi pembahasan dan persetujuan dokumen AMDAL (SIM), peningkatan SDM komisi AMDAL pusat (SDM),
143
mekanisme keterlibatan masyarakat lokal yang jelas (KET), penetapan proporsi/persentase pembiayaan
pembiayaan
pengelolaan
studi
yang
lingkungan
selama
jelas/baku
(PER),
estimasi
umur
kegiatan
dengan
mempertimbangkan teknologi alternatif, sesuai dengan perkembangan teknologi (EST),
AMDAL
sebagai
dokumen
yang
berkekuatan
hokum
(HUK),
pengembangan metodologi AMDAL (PMA), akreditasi lembaga penyusun AMDAL (AKR), dan nilai ekonomi lingkungan (NEL) serta melakukan pengkajian dan pengintegrasian keadaan darurat/emergency (INT). Selanjutnya dilakukan analisis penentuan komponen utama pengembangan kebijakan AMDAL migas di masa mendatang dengan melihat komponen-komponen kebijakan AMDAL yang ada. Hasil review kebijakan diperoleh sembilan komponen yang merupakan kelemahan-kelemahan mendasar dalam peraturan kebijakan AMDAL, selanjutnya hasil analisis kualitas dokumen AMDAL diperoleh empat komponen mendasar dalam kaitannya dengan kualitas sebuah dokumen AMDAL, hasil evaluasi kinerja lingkungan diperoleh lima komponen serta hasil analisis kebutuha stakeholders di masa mendatang terhadap kebijakan AMDAL diperoleh dua belas komponen. Dengan demikian, diperoleh tiga puluh total komponen mendasar yang mendukung pengembangan kebijakan AMDAL migas di masa mendatang. 9
Review Kebijakan AMDAL
Komponen
Analisis Kualitas Dokumen
Komponen
4
Analisis Kinerja Lingkungan
Komponen
Analisis Kebutuhan Stakeholders
Komponen
30
13
Komponen
Komponen
5
12
Gambar 24 Diagram alir penentuan komponen utama
3 Faktor
144
Berdasarkan hasil analisis komponen utama (principle component analysis), diperoleh 13 komponen yang berpengaruh yakni: efisiensi penyusunan (EFI), kelengkapan dokumen (KEL), substansi dokumen (SUB), keterlibatan masyarakat (KTL) dan penyusun AMDAL (PEA), pengembangan metodologi AMDAL (PMA), nilai ekonomi lingkungan (NEL), teknologi pengelolaan limbah minyak (TLM), keadaan darurat (KAD) dan simplifikasi penyusunan AMDAL (SIM), peningkatan sumberdaya manusia (SDM), kontribusi migas terhadap PDRB (KTR) dan AMDAL berkekuatan hukum (HUK). Ketigabelas komponen tersebut termasuk dalam tiga faktor utama (komponen utama).
Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2) 1.0 NEL
TLM
KAD SIM DAM
KEL
0.5
Factor 2 : 21.58%
HUK
INT KTR ASP TEV
AKR
PEM PEA PRO KET SUB
RPL
0.0
KTL
SDM TLG PEL MET
-0.5
TPM PDK KOM PER EST PMA
EFI
-1.0 -1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
Factor 1 : 25.27%
Active
Gambar 25 Hasil analisis penentuan komponen utama Komponen biaya dalam penyusunan AMDAL merupakan komponen langsung dalam implementasi kebijakan AMDAL. Komponen tersebut merupakan faktor yang penting dalam penyusunan AMDAL. Biaya yang rendah akan berdampak terhadap hasil penyusunan AMDAL begitu pula pada penggunaan biaya yang tinggi akan membebani pemrakarsa sehingga efisiensi penyusunan menjadi faktor yang perlu diperhatikan. Dengan demikian diharapkan biaya penyusunan AMDAL memperhitungkan aspek proporsional dalam analisis
145
dampak lingkungan. Penetapan proporsi atau persentase pembiayaan studi AMDAL untuk masing-masing komponen lingkungan khususnya pada komponen pembiayaan studi lapangan dan pembiayaan laboratorium. Kedua komponen tersebut perlu mendapat persentase yang cukup tinggi, mengingat keberhasilan studi dan kualitas dokumen AMDAL terletak pada pelaksanaan studi lapangan serta pengujian sampel yang tepat. Hal ini dapat mengukur sejauh mana kedalam dari studi AMDAL tersebut. Persentase pembiayaan perlu diperhitungkan secara cermat, mengingat kegiatan studi AMDAL senantiasa memerlukan pembiayaan yang cukup besar. Kelengkapan dokumen AMDAL meliputi: dokumen kerangka acuan, dokumen ANDAL, dokumen RKL dan RPL. Selain itu perlu pula diperhatikan ketersediaan, ringkasan ekskutif. Ketidaklengkapan dokumen merupakan pertanda terhadap lemahnya dokumen hukum akan kewajiban pelaksanaan AMDAL. Kelengkapan dokumen merupakan indikator utama kualitas dokumen AMDAL yang disusun. Kelengkapan menjadi sangat penting, mengingat keterkaitan keempat dokumen utama (KA-ANDAL, ANDAL, RKL dan RPL) sangat berhubungan. KA-ANDAL merupakan acuan penyusunan ANDAL, RKL dan RPL. Sehingga apabila terjadi ketidaklengkapan dokumen akan sangat berpenaruh terhadap kinerja pengelolaan lingkungan yang dilakukan. Dengan demikian, kekuatan hukum dan persyaratan administratif secara hukum positif tidak terpenuhi, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar pengajuan klaim. Pengkajian nilai ekonomi lingkungan dalam suatu kegiatan AMDAL saat ini belum pernah dilaksanakan sehingga kedepan harapan stakeholders akan estimasi nilai ekonomi lingkungan dapat menjadi bagian dari studi AMDAL yang dilakukan. Pengkajian nilai ekonomi lingkungan perlu dilakukan dalam penyusunan AMDAL migas sehingga diharapkan dampak suatu kegiatan tidak hanya dilihat dari sisi biofisik-kimia semata, tetapi juga dari nilai estimasi ekonomi lingkungan. Kegiatan ini diharapkan menjadi estimasi moneter dari sumberdaya alam dan lingkungan yang ada dalam wilayah kegiatan tersebut dengan demikian kerusakan lingkungan yang umumnya terjadi baik kualitas maupun kuantitas dapat diestimasi dengan baik. Nilai estimasi ekonomi lingkungan ini dapat juga dijadikan sebagai salah satu acuan dalam menentukan
146
nilai kompensasi (ganti rugi) terhadap pengelolaan sumberdaya lingkungan tersebut.
Simplifikasi pembahasan dan persetujuan dokumen AMDAL juga menjadi kebutuhan stakeholders dalam pengembangan AMDAL migas di masa datang. Penyederhanaan antara pembahasan dan persetujuan diharapkan dapat mereduksi perbedaan antara hasil pembahasan dengan rekomendasi persetujuan sehingga efektivitas dan efisiensi AMDAL dapat terwujud. Simplifikasi pembahasan dan persetujuan dokumen AMDAL migas perlu dilakukan mengingat pemisahan kedua prosedur tersebut akan menyebabkan terjadinya inefisiensi dan inefektivitas dalam pelaksanaannya. Dengan demikian pembahasan yang awalnya terpisah dengan prosedur persetujuan membutuhkan waktu dan sumberdaya yang banyak. Simplifikasi tersebut diharapkan dapat menjadi solusi dualisme penilaian dokumen AMDAL migas. Akreditasi lembaga penyusun AMDAL merupakan komponen kebutuhan yang penting di masa datang. Lembaga penyusun sangat menentukan kualitas dokumen AMDAL. Dengan demikian, kualitas lembaga menjadi perhatian yang serius, untuk itu indikator kinerja dan profesionalitas lembaga penyusun dapat dilihat dari akreditasi lembaga yang dimiliki. Lembaga yang terakreditasi sangat mungkin diragukan kualitas dan profesionalitasnya. Waktu persetujuan kerangka acuan merupakan salah satu komponen efektivitas AMDAL. Saat ini waktu persetujuan untuk dokumen AMDAL didasarkan pada PP No.27 tahun 1999 adalah 75 hari. Waktu tersebut terbilang cukup lama sehingga berpengaruh terhadap pelaksanaan kegiatan. Terlebih lagi penyusunan dokumen ANDAL, RKL dan RPL tidak dapat dilaksanakan sebelum dokumen KA-ANDAL disetujui. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap efektivitas penyusunan AMDAL. disisi lain waktu pengambilan keputusan masyarakat juga terbilang tidak proporsional. Saat ini, waktu pengumuman dan pengambilan
keputusan
masyarakat
ditentukan
30
hari
kerja,
sejak
diumumkannya. Masyarakat diberi kesempatan untuk memberi tanggapan dan masukan kepada pemrakarsa, pemerintah dan penyusun AMDAL untuk kemudian segera memperbaiki sesuai dengan tanggapan yang masuk. Waktu yang terbilang singkat tersebut, akan sangat berpengaruh terhadap tanggapan dan masukan yang
147
terbatas. Dengan demikian dokumen AMDAL menjadi tidak berkualitas disebabkan karena minimnya tanggapan yang masuk dari masyarakat. Akhirnya AMDAL yang dihasilkan dalam implementasinya tidak menjadi efektif. Dokumen AMDAL migas harus berkekuatan hukum sehingga dapat dijadikan sebagai dasar penuntutan hukum bagi para pelanggar hukum. Dokumen AMDAL secara umum selama ini hanya menjadi dokumen pelengkap dalam ijin pelaksanaan suatu kegiatan. Kondisi ini kemudian menjadikan dokumen AMDAL hanya formalitas dan hanya merupakan suatu studi lingkungan biasa termasuk pula AMDAL migas. Kebutuhan selanjutnya adalah dokumen AMDAL migas sebaiknya dapat dijadikan sebagai dokumen yang memiliki kekuatan hukum. Hal ini sangat penting mengingat cakupan yang komprehensif dari dokumen AMDAL dalam upaya pencegahan kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Selain itu dokumen AMDAL juga menjadi dasar pemberian ijin pelaksanaan suatu kegiatan dan atau usaha dari aspek lingkungan. Kerusakan lingkungan seperti degradasi lahan, punahnya flora dan fauna, serta rusaknya ekosistem dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar terhadap lingkungan itu sendiri serta bagi masyarakat di sekitar dampak tersebut. Class action dengan kasus lingkungan hidup akhir-akhir ini marak terjadi. Namun dokumen AMDAL migas yang ada belum dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang kuat dalam pengajuan gugatan terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi. Kualitas penyusun AMDAL sangat berpengaruh terhadap hasil studi AMDAL yang dilakukan. Tim penyusun yang berkualitas diyakini menghasilkan dokumen AMDAL yang berkualitas pula. Dengan demikian AMDAL akan menjadi efektif dan efisien dalam pelaksanaannya. Perlunya memperhatikan lembaga tim penyusun AMDAL migas yang independen dan terakreditasi. Akreditasi lembaga merupakan bukti kualifikasi sebuah lembaga. Dengan demikian, harapan akan peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas di masa datang dapat terwujud dengan persyaratan penyusunan AMDAL migas harus dilakukan oleh lembaga yang independen dan telah terakreditasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga lembaga-lembaga yang tidak memenuhi kualifikasi serta lembaga-lembaga sempalan yang tidak memiliki integritas dan tanggung jawab yang baik dalam pelaksanaan studi AMDAL migas. Kebutuhan
148
stakeholders tersebut selanjutnya dianalisis untuk menentukan komponen utama yang berpengaruh, sebagaimana disajikan pada Gambar 25. Kualitas komisi penilai AMDAL juga menjadi salah satu komponen efektivitas AMDAL pada kegiatan usaha migas. Kualitas komisi penilai akan menentukan hasil akhir dari penyusunan dokumen AMDAL. Komisi penilai yang berkualitas, diharapkan mampu menghasilkan hasil review dokumen yang baik. Kualitas komisi penilai menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kualitas dokumen AMDAL. Mekanisme keterlibatan masyarakat lokal yang jelas juga menjadi perhatian stakeholders. Keterlibatan masyarakat lokal selama ini hanya sebatas pada tahap pengumuman masyarakat. Tahap ini merupakan satu-satunya tahap keterlibatan masyarakat dengan pemberian tanggapan dan masukan akan rencana kegiatan. Kondisi demikian menyebabkan keterwakilan masyarakat sering tidak diperhatikan sehingga peran serta masyarakat menjadi sangat minim. Disisi lain masyarakat merupakan komponen penting dalam pelaksanaan kegiatan. Pertimbangan umum pelibatan masyarakat adalah masyarakat merupakan komponen yang akan merasakan langsung dampak yang ditimbulkan dari suatu kegiatan usaha. Selain itu masyarakat juga merupakan komponen yang paling mengetahui kondisi wilayah dimana kegiatan tersebut dilakukan. Pengembangan metodologi untuk menentukan isu pokok harus terus dilakukan dan isu pokok tersebut harus telah tercantum pada KA-ANDAL, tidak hanya dampak potensial yang teridentifikasi. Sehingga dokumen KA-ANDAL menjadi lebih baik dan komprehensif. Dokumen ini selanjutnya menjadi dasar penyusunan dokumen ANDAL. Pengembangan metodologi akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kualitas dokumen AMDAL yang disusun. Metode praktis dan memiliki validitas yang tinggi akan memberikan hasil yang maksimal. Dengan demikian, dampak dari kegiatan migas selama ini terhadap lingkungan dan sumberdaya alam dapat diminimalisir dan mengarah pada zero discharge. 5.6
Strategi Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas
Strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas dilakukan dengan pendekatan expert judgement. Penyusunan strategi didasarkan pada hasil penentuan komponen utama pengembangan kebijakan AMDAL migas dalam mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Hasil focus group discussion
149
diperoleh tiga strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas, yakni: peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas, penyempurnaan prosedur penyusunan AMDAL migas, serta penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL migas. Peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas meliputi: perbaikan metode-metode di dalam penyusunan AMDAL untuk aspek ekologi dan sosial ekonomi. Metode penentuan isu pokok untuk kerangka acuan, metode prakiraan dan evaluasi dampak ANDAL, teknologi RKL dan institusi/kelembagaan dalam RPL. Selain itu juga dilakukan peningkatan kualitas penyusun AMDAL migas yang mencakup independensi, kompotensi dan komposisi serta perlunya mengintegrasikan dalam ANDAL dengan kajian keadaan darurat/emergency dan dicantumkan dalam kebijakan AMDAL migas yakni dalam peraturan perundangundangan teknis AMDAL. Penyempurnaan prosedur penyusunan AMDAL meliputi: waktu penyusunan persetujuan dokumen, waktu pengumuman masyarakat serta penunjukan pelaksanaan studi AMDAL oleh lembaga independen. Penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL migas meliputi: penguatan sumberdaya manusia, khususnya komisi AMDAL pusat (KLH) dan tim teknis AMDAL migas, penerapan sanksi administrasi dan pidana sesuai UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, perbaikan mekanisme keterlibatan masyarakat dan kelembagaan pengawas pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Selanjutnya berdasarkan hasil rumusan tersebut, disusun strategi implementasi kebijakan AMDAL migas. 5.6.1
Peningkatan Kualitas Dokumen AMDAL Migas
Strategi peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas didasarkan pada proses pelaksanaan AMDAL itu sendiri yakni: a) proses pelingkupan, b) penyusunan dokumen KA-ANDAL, c) dokumen ANDAL, d) dokumen RKL dan e) dokumen RPL. Untuk meningkatkan kualitas dokumen AMDAL, kelima komponen tersebut menjadi sangat penting diperhatikan. Perlunya ditetapkan metode-metode yang baku dalam pelingkupan, seperti metode dalam penentuan isu pokok untuk KA-ANDAL dan bukan penentuan prioritas dampak penting hipotetik sebagaimana yang diatur di dalam Permen LH No. 08 tahun 2006, seharusnya dalam KA-ANDAL dari suatu kegiatan yang direncanakan telah
150
muncul isu pokok yang akan dikaji di dalam ANDAL. Metode prakiraan dampak penting dan evaluasi dampak penting dalam dokumen ANDAL, harus telah dicantumkan metode untuk aspek ekologi, fisik, kimia seperti kualitas air, kualitas udara, tanah, biota perairan, flora dan fauna, sosial, ekonomi dan budaya dengan menerapkan metode valuasi ekonomi untuk penilaian sumberdaya alam dan lingkungan yang terkena kegiatan usaha migas. Teknologi pengelolaan lingkungan untuk aspek limbah cair, gas, limbah padat dan limbah B3 di dalam RKL harus telah dicantumkan teknologi alternatif sesuai dengan perkembangan teknologi,
sehingga
apabila
terdapat
perubahan
teknologi
di
dalam
pelaksanaannya tanpa harus merevisi dokumen RKL dan RPL. Dokumen RKL harus bersifat dinamis dengan pengelolaan dampak negatif dan pengembangan dampak positif. Institusi/kelembagaan di dalam dokumen RPL harus dicantumkan secara jelas. Metode-metode ini dicantumkan dalam rumusan kebijakan baru sebagai hasil dari konfirmasi dan modifikasi dari kebijakan terdahulu (PP No. 27 tahun 1999, Permen LH No. 08 tahun 2006, Permen LH No. 11 tahun 2006, Kepmen ESDM No. 1457 tahun 2000, Kepdal No. 08 tahun 2000, dan Kepdal No. 229 tahun 1996). Keadaan Darurat/ Emergency
Peningkatan Kualitas Dokumen AMDAL Migas
Kualitas Tim Penyusun
Independensi
Substansi Dokumen
Kompetensi
Komposisi
Data Base Keahlian
Kualifikasi Pengalaman Integritas Terdaftar di Migas
1.
Ekologi - Fisika kimia - Biologi lingkungan - pencemaran 2. Keteknikan - geologi - perminyakan 3. Sosial budaya 4. Ekonomi
Pelingkupan
metodologi
KA-ANDAL
metode, isu pokok
ANDAL
metode perkiraan & evaluasi
RKL
teknologi alternatif
RPL
teknologi, kelembagaan
Struktur 1.
2.
Tim Ahli - tenaga ahli - asisten ahli - operator Tim Pengolahan dan Analisis Data
Gambar 26 Diagram strategi peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas
151
Peningkatan kualitas penyusun AMDAL dapat ditempuh melalui langkahlangkah strategis yakni: melakukan standarisasi kompetensi tim penyusun dengan memperhatikan kualifikasi, integritas dan tanggungjawab serta memiliki reputasi yang baik. Menjaga independensi tim penyusun melalui penunjukan oleh pemerintah atau lembaga yang independen. Kualitas penyusun AMDAL sangat berpengaruh terhadap hasil studi AMDAL yang dilakukan. Tim penyusun yang berkualitas diyakini menghasilkan dokumen AMDAL yang berkualitas pula. Dengan demikian AMDAL akan menjadi efektif dan efisien dalam pelaksanaannya. Perlunya memperhatikan lembaga tim penyusun AMDAL migas yang independen dan terakreditasi. Akreditasi lembaga merupakan bukti kualifikasi sebuah lembaga. Dengan demikian, harapan akan peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas di masa datang dapat terwujud dengan persyaratan penyusunan AMDAL migas harus dilakukan oleh lembaga yang independen dan telah terakreditasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga lembaga-lembaga yang tidak memenuhi kualifikasi serta lembaga-lembaga sempalan yang tidak memiliki integritas dan tanggung jawab yang kurang baik dalam pelaksanaan studi AMDAL migas, melakukan studi ANDAL. Kualifikasi tim penyusun minimal bersertifikat AMDAL-A bagi anggota tim dan bersertifikat minimal AMDAL-B untuk ketua tim serta telah memiliki pengalaman dibidangnya. Pentingnya kualitas tim penyusun AMDAL sangat berkaitan dengan efektivitas dan efisiensi studi ANDAL. Kegiatan akan menjadi lebih efisien dan efektif bila dilakukan oleh tenaga-tenaga yang telah memiliki pengalaman dalam penyusunan dokumen AMDAL, sehingga inovasi-inovasi dalam studi dapat diimplementasikan dengan baik. Tim penyusun yang telah berpengalaman serta berkualifikasi baik dalam penyusunan dokumen akan memberikan hasil yang lebih baik. Tim penyusun AMDAL migas selanjutnya disusun berdasarkan kualifikasi yang dimiliki dan disusun dalam data base (sistem informasi). Studi AMDAL merupakan studi komprehensif dan kajian multidisiplin ilmu sehingga sangat membutuhkan tim penyusun yang berpengalaman dibidang kajian AMDAL. Penguasaan metodologi yang baik dengan pengembangan-
152
pengembangan yang inovatif memungkinkan terjadi pada tim yang memiliki pengalaman lebih banyak. Kondisi ini menjadi sangat penting mengingat perkembangan keilmuan dan metodologi studi yang begitu pesat. Komposisi tim penyusun AMDAL migas, selain ahli-ahli lingkungan biologi, fisika, kimia dan sosial ekonomi budaya juga perlu ahli perminyakan dan geologi. Disisi lain setiap tenaga ahli hanya diperbolehkan tergabung pada tiga lembaga konsultan dengan persyaratan tenaga ahli tidak boleh duduk sebagai tim teknis dan atau komisi AMDAL. Tim penyusun harus terdiri atas: tim ahli, tim pengambil sampel di lapangan dan tim pengolahan data. Contoh: kualifikasi lembaga konsultan dan tim ahli yang telah berpengalaman lebih dari lima tahun diberi warna biru, telah berpengalaman 3-5 tahun diberi warna kuning dan kurang dari tiga tahun diberi warna hijau. Sementara lembaga atau atau tenaga ahli yang dianggap bermasalah berdasarkan kinerja selama melakukan pekerjaan AMDAL migas diberi warna merah. Kualitas dokumen AMDAL haruslah ditunjang oleh substansi dokumen yang terdiri atas dokumen kerangka acuan analisis dampak lingkungan (KAANDAL), dokumen analisis dampak lingkungan (ANDAL), dokumen rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) dan dokumen rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL). Dokumen KA-ANDAL disusun terlebih dahulu untuk menentukan lingkup studi dan mengidentifikasi isu-isu pokok yang harus diperhatikan dalam penyusunan AMDAL. Dokumen KA-ANDAL dinilai oleh komisi penilai AMDAL dan bila telah disetujui maka kegiatan penyusunan dokumen ANDAL, RPL dan RKL dilaksanakan. Ketiga dokumen tersebut merupakan bahan penilaian bagi komisi AMDAL untuk kemudian menjadi dasar penentuan rencana kegiatan usaha layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak. Selain itu dokumen AMDAL juga menjadi bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah, memberi masukan dalam penyusunan desain teknis rencana kegiatan usaha, serta memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang dapat ditimbulkan. Pengkajian keadaan darurat/emergency juga menjadi bagian dari upaya peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas. Pengkajian keadaan darurat merupakan upaya antisipasi dari kegiatan diluar kondisi normal, seperti kejadian
153
tumpahan minyak. Pengkajian keadaan darurat harus diintegrasikan dalam dokumen AMDAL. 5.6.2
Penyempurnaan Prosedur Penyusunan AMDAL Migas
Prosedur persetujuan dokumen AMDAL migas yang telah berjalan selama ini terdiri atas: proses penapisan, proses pengumuman dan konsultasi masyarakat, penyusunan dan penilaian KA-ANDAL, serta penyusunan penilaian ANDAL, RKL dan RPL. Proses penapisan merupakan proses seleksi wajib AMDAL yakni untuk menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak. Proses ini sangat penting, mengingat pentingnya suatu kegiatan untuk menyusun AMDAL, sehingga dampak terhadap lingkungan (eksternalitas) dapat diminimalisasi. Penentuan suatu kegiatan wajib AMDAL atau UKL/UPL didasarkan pada Permen LH No. 11 tahun 2006 tentang jenis kegiatan yang wajib menyusun AMDAL. Kegiatan usaha migas yang wajib menyusun AMDAL yakni didasarkan pada volume produksi. Kegiatan eksploitasi di onshore untuk minyak lebih dari 5000 BOPD dan untuk gas lebih dari 30 MMSCFD, serta kegiatan eksploitasi di offshore untuk minyak lebih dari 15000 BOPD dan untuk gas lebih dari 90 MMSCFD, diwajibkan menyusun AMDAL. Selanjutnya untuk kegiatan pemasangan pipa wajib AMDAL lebih dari 100 km dengan diameter pipa lebih dari 20 inchi. Penentuan suatu kegiatan wajib AMDAL atau tidak pada kegiatan usaha migas menjadi penting, mengingat potensi dampak pada setiap rencana kegiatan akan senantiasa muncul. Prosedur penyusunan AMDAL migas selama ini yakni pengajuan dilakukan oleh pemrakarsa kepada kementerian lingkungan hidup. Penentuan kegiatan tersebut wajib AMDAL atau UKL/UPL didasarkan pada Permen LH No. 11 tahun 2006. Kegiatan yang wajib AMDAL, selanjutnya menyusun KAANDAL. Penyusunan KA-ANDAL dilakukan oleh konsultan penyusun yang ditunjuk langsung oleh pemrakarsa. Pengajuan dokumen KA-ANDAL dievaluasi dan disetujui selama 75 hari oleh komisi AMDAL pusat (KLH) dibantu tim teknis (Ditjen Migas), selanjutnya dikembalikan dan apabila telah disetujui maka pemrakarsa dapat melakukan kegiatan penyusunan dokumen ANDAL, RKL dan RPL. Namun apabila belum disetujui maka pemrakarsa dan atau penyusun
154
AMDAL diharuskan untuk melengkapinya. 2) pengajuan Dokumen ANDAL, RKL dan RPL kepada komisi AMDAL untuk dilakukan penilaian selama 75 hari dan apabila ketiga dokumen telah memenuhi syarat dan diterbitkannya SK persetujuan maka dapat diajukan untuk mendapat ijin usaha. Namun apabila ketiga dokumen tersebut belum memenuhi persyaratan AMDAL maka diharuskan untuk melengkapinya. Lebih detil, prosedur penyusunan AMDAL migas selama ini disajikan pada Gambar 27 berikut.
Pemrakarsa
KLH
Konsultan Penyusun
KA-ANDAL
Penilaian oleh Komisi-Tim Teknis (Ditjen Migas)
Ya
Dampak Penting (Permen No.11/2006)
Tidak
UKL & UPL
SK KA-ANDAL Oleh Komisi
Penyusunan ANDAL, RKL dan RPL
Persetujuan Komisi AMDAL pusat (KLH)
Penilaian oleh Komisi -Tim Teknis
Layak Lingkungan
Gambar 27 Prosedur penyusunan AMDAL migas selama ini Penyempurnaan prosedur penyusunan AMDAL migas dilakukan dengan pemrakarsa menyampaikan pelaksanaan kegiatan ke Ditjen Migas, selanjutnya Ditjen Migas menyampaikan ke lembaga independen untuk penentuan jenis studi, apakah wajib atau tidak. Apabila wajib AMDAL, maka lembaga independen menunjuk konsultan penyusun melalui tender dan sekaligus lembaga independen menentukan biaya studi yang didasarkan pada kedalaman studi dan komposisi tim penyusun (kualifikasi) serta jenis data yang ditampilkan. Lembaga independen
155
juga akan membayar biaya studi kepada konsultan penyusun, agar dalam penyusunan dapat bersifat independen. Ditjen Migas
Pemrakarsa
Konsultan Penyusun Lembaga Independen
KA-ANDAL KA-ANDAL
Ya
Penilaian oleh Komisi AMDAL – Tim Teknis
Dampak Penting
Tidak
UKL & UPL
SK KA-ANDAL Oleh Komisi
Penyusunan ANDAL, RKL/RPL
Penilaian oleh Komisi -Tim Teknis
Persetujuan SKB KLH dan DESDM
Ya
Layak Lingkungan
Tidak
Penolakan
Gambar 28 Diagram strategi penyempurnaan prosedur AMDAL migas Pengajuan KA-ANDAL ke komisi yang selanjutnya dibahas dalam sidang komisi bersama tim teknis dan pakar serta wakil dari instansi terkait. Setelah SK KA-ANDAL diterbitkan, selanjutnya dilakukan penyusunan dokumen ANDAL dan RKL/RPL yang dinilai oleh tim teknis AMDAL migas, dan dibahas dalam sidang komisi beserta pakar dan wakil dari instansi terkait. Apabila dokumen tersebut layak lingkungan maka diterbitkan SK bersama antara menteri ESDM dan ketua komisi AMDAL, dan apabila tidak layak maka dokumen AMDAL ditolak. Simplifikasi penyusunan terkait dengan masalah waktu penyusunan dokumen AMDAL. Waktu penyusunan sesungguhnya sangat relatif dan bergantung pada kasus per kasus, sehingga sangat sulit untuk menentukan waktu yang dibutuhkan dalam penyusunan AMDAL. Penilaian KA-ANDAL selama ini
156
dilakukan selama 75 (tujuh puluh lima) hari kerja sejak diterimanya dokumen tersebut. Begitu pula untuk penilaian dokumen ANDAL, RKL dan RPL yang diajukan secara bersama-sama untuk dinilai selama 75 (tujuh puluh lima) hari kerja. Namun, seringkali dalam implementasi, sebagaimana hasil analisis kualitas dokumen AMDAL migas diperoleh bahwa waktu penyusunan relatif lama yakni 1-3 tahun. Semestinya, waktu penilaian disesuaikan dengan kebutuhan usaha untuk masing-masing kegiatan yang berbeda. Disisi lain penambahan anggota tim komisi harus dilakukan sebagai upaya efisiensi waktu pemeriksaan dan penilaian. 5.6.3
Penguatan Hukum dan Kelembagaan AMDAL Migas
Strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas dalam mencegah kerusakan
lingkungan
harus
dilakukan
melalui
penguatan
hukum dan
kelembagaan. Komponen penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL terdiri atas: peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) pada semua tingkatan, namun lebih ditekankan pada tingkat komisi AMDAL pusat dan tim teknis AMDAL migas. Penerapan sanksi administrasi dan pidana sesuai UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Mekanisme keterlibatan masyarakat yang jelas dalam penyusunan AMDAL migas. Lembaga pengawas pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada kegiatan usaha migas.
Penguatan SDM
Penguatan Hukum dan Kelembagaan AMDAL Migas
Komisi AMDAL Pusat
Keterlibatan Masyarakat
Komponen Masyarakat
Tim Teknis AMDAL Migas
Pemahaman dan Pengetahuan
Penerapan Sanksi Sanksi Administrasi
Perizinan Pengawasan Pelaksanaan RKL, RPL
Sanksi Pidana (UU N0.23/1997)
Ditjen Migas
Pemda
Instansi Terkait
Perguruan Tinggi
Tahap Perencanaa
Tokoh Masyarakat
Tahap Operasi
Pemerintah
Tahap Pasca Operasi
Gambar 29 Diagram strategi penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL migas
157
Penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL migas dalam rangka pengembangan dilakukan dengan tiga pendekatan terintegrasi yakni: penguatan SDM, penerpanan sanksi administrasi dan pidana sesuai UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, perbaikan mekanisme keterlibatan masyarakat dan kelembagaan pengawas pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Penguatan SDM ditekankan pada penguatan kualitas SDM komisi AMDAL pusat (KLH) dan tim teknis AMDAL migas (Ditjen Migas). Kualitas komisi penilai AMDAL juga menjadi salah satu komponen efektivitas AMDAL pada kegiatan usaha migas. Kualitas komisi penilai akan menentukan hasil akhir dari penyusunan dokumen AMDAL. Komisi penilai yang berkualitas, diharapkan mampu menghasilkan hasil review dokumen yang baik. Kualitas komisi penilai menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kualitas dokumen AMDAL. Kualitas tim teknis merupakan komponen yang juga berpengaruh terhadap efektivitas kebijakan AMDAL dalam upaya mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Kualitas tim teknis sangat penting mengingat kegiatan studi AMDAL merupakan kegiatan multidisiplen dengan aspek linkungan sebagai inti kajian. Kualitas tim teknis sangat terkait dengan keahlian dibidangnya. Kegiatan usaha migas merupakan kegiatan dengan teknologi tinggi serta bersifat teknis profesional sehingga dibutuhkan kajian AMDAL yang mendalam dan komprehensif agar dihasilkan kualitas AMDAL yang baik, khususnya dalam upaya pencegahan terjadinya kerusakan lingkungan. Tim teknis diharapkan mampu memberikan hasil yang lebih baik dalam keterlibatannya dalam pengkajian dan penilaian AMDAL. Penerapan sanksi terhadap pelanggaran AMDAL yang dilakukan sangat penting diterapkan, mengingat aspek penguatan hukum merupakan salah satu faktor penting pengembangan AMDAL migas dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Penerapan sanksi dapat dilakukan berupa sanksi administrasi maupun sanksi pidana sesuai dengan UU No. 23 tahun 1997. Penerapan sanksi diharapkan manpu menekan tingkat pelanggaran yang terjadi, sehingga efisiensi dan efektifitas kbijakan AMDAL dapat terwujud. Peningkatan
keterlibatan
masyarakat
dilakukan
melalui
pelibatan
masyarakat pada setiap tahap kegiatan. Pembekalan pemahaman tentang AMDAL
158
yang diinisiasi oleh pemrakarsa dengan bekerjasama dengan lembaga penelitian, perguruan tinggi dan atau organisasi non-pemerintah. Melakukan sosialisasi kegiatan lebih awal kepada masyarakat serta memastikan keterwakilan masyarakat dari semua komponen. Mekanisme keterlibatan masyarakat dapat dilakukan melalui pengumuman pada media massa baik lokal maupun nasional, diskusi interaktif secara langsung dengan masyarakat yang kemungkinan terkena dampak serta dilibatkan sejak penyusunan dokumena AMDAL sampai tahap pelaksanaan kegiatan mulai persiapan sampai pasca operasi. Pola pendekatan yang digunakan disarankan bersifat partisipatif. Pendekatan partisipatif merupakan pola distribusi kekuasaan dari pengelola ke masyarakat. Dengan pola partisipasi masyarakat tidak hanya dilibatkan sebagai objek tapi juga bagian dari subjek, sehingga kegiatan dan atau usaha yang dilakukan menjadi tanggung jawab bersama. Pola ini juga akan memberikan kesadaran yang tinggi terhadap masyarakat dengan mengharapkan partisipasi yang lebih bermanfaat. Prinsip partisipasi adalah mendorong setiap warga menggunakan hak menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Analisis partisipatif dilakukan guna memahami suara masyarakat bawah tentang apa yang mereka hadapi serta mengakomodasikan suara masyarakat bawah dalam perumusan kebijakan. Partisipasi masyarakat selalu memiliki ciri-ciri bersifat proaktif dan bukan reaktif (artinya masyarakat ikut menalar baru bertindak) ada kesepakatan yang dilakukan oleh semua yang terlibat, ada tindakan yang mengisi kesepakatan tersebut, ada pembagian kewenangan dan tanggung jawab dalam kedudukan yang setara. Partisipasi dimaksudkan untuk menjamin setiap kebijakan yang diambil dapat mencerminkan aspirasi masyarakat. Saluran komunikasi sebagai salah satu wadah atau media yang sangat urgen bagi masyarakat dalam memudahkan penyampaian pendapatnya kerap menjadi salah satu kendala tersendiri dalam memaksimalkan peran partisipasi masyarakat. Dengan demikian perlu penyediaan sarana maupun jalur komunikasi yang efektif meliputi pertemuan-pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat baik tertulis maupun tidak tertulis.
159
Perencanaan partisipatif juga merupakan salah satu metode yang efektif untuk menstimulasi keterlibatan masyarakat menyiapkan agenda pembangunan yang diawali dengan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dalam upaya penyelesaian masalah-masalah di masyarakat yang dilakukan secara bersama-sama. Satu hal terpenting dalam menjamin hak warga masyarakat untuk menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan adalah adanya keinginan dari semua pihak, mulai dari tataran pemerintah pusat sampai ke daerah, sehingga masyarakat itu sendiri mengedepankan nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip yang harus dijunjung tinggi dan dilestarikan (demokrasi, partisipasi, transparansi dan akuntabilitas serta desentralisasi). Berpegang pada nilai dan prinsip tersebut, diharapkan akan terbangun kebersamaan yang berdampak pada terbukanya akses bagi masyarakat lokal dalam merumuskan dan menentukan arah kebijakan bagi dirinya sendiri tanpa terus menerus tergantung pada pihak-pihak tertentu. Ini sudah tentu harus didukung oleh keberpihakan pemerintah dan pihak-pihak peduli lainnya terhadap masyarakat, terutama masyarakat lokal. Tumbuhnya rasa kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan pemrakarsa serta sebaliknya diharapkan dapat meningkatkan peran masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan. Kegunaan keterlibatan masyarakat adalah sebagai sumber informasi keadaan lingkungan, sumber informasi persepsi masyarakat terhadap kegiatan, ikut memantau dampak yang terjadi, sebagai mitra dalam memecahkan masalah yang timbul serta sebagai penerima sarana-sarana penunjang (Carter, 1977 dalam Suratmo, 2002). Dengan dua sub aspek penekanan yakni komponen masyarakat yang terlibat dan pemberian pemahaman dan pengetahuan secara dini tentang kegiatan usaha migas dan kemungkinan dampak yang dapat terjadi beserta seluruh resiko dan keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh. Kelembagaan pengawas pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada kegiatan usaha migas perlu diatur secara jelas antara pengawasan aspek teknis oleh Ditjen Migas antara lain instalasi dan atau peralatan yang akan digunakan
di
dalam
operasi
migas
termasuk
peralatan
pencegahan
penanggulangan pencemaran. Pengawasan aspek sosial ekonomi dan budaya oleh pemerintah daerah dan pengawasan terhadap media penerima limbah oleh
160
pemerintah daerah antara lain penetapan baku mutu badan air penerima limbah ditetapkan oleh pemerintah daerah. Koordinasi kelembagaan untuk izin lokasi kegiatan usaha migas sebelum beroperasi wajib mendapat izin dari instansi terkait sesuai rencana pemanfaatan kegiatan seperti kehutanan, perhubungan laut, kelautan dan perikanan. 5.7
Prioritas Strategi Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas
Didasarkan pada hasil perumusan kebijakan dan penyusunan strategi implementasi selanjutnya dilakukan penentuan strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas dengan pendekatan hierarchy process analysis. Penentuan strategi pengembangan kebijakan AMDAL dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas, dilakukan dengan pendekatan aspek aktor dan tujuan pengembangan AMDAL migas. Analisis prioritas strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas disusun dengan lima level yakni level-1 goal: strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas dalam mencegah kerusakan lingkungan, level-2 aktor: penyusun, pemrakarsa serta komisi AMDAL dan tim teknis, level-3 tujuan: efektif dan efisien, level-4 sub tujuan: operasional, menjadi acuan, implementatif, biaya, waktu dan sumberdaya manusia, level-5 alternatif: peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas, penyempurnaan prosedur penyusunan AMDAL migas, serta penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL migas. Strategi Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas dalam Mencegah Kerusakan Lingkungan
Penyusun (0.297)
Pemrakarsa (0.163)
Efektif (0.500)
Operasional (0.270)
Acuan (0.082)
Peningkatan Kualitas Dokumen AMDAL Migas (0.441)
Implementasi (0.149)
Komisi-Tim Teknis (0.540)
Efisien (0.500)
Biaya (0.143)
Penyempurnaan Prosedur Penyusunan AMDAL Migas (0.263)
Waktu (0.072)
SDM (0.286)
Penguatan Hukum dan Kelembagaan AMDAL Migas (0.296)
Gambar 30 Strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas
161
Strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas dalam mencegah kerusakan lingkungan dilakukan dengan pendekatan aktor yakni: komisi dan tim teknis (0.540), penyusunan (0.297) dan pemrakarsa (0.163). Komisi AMDAL dan tim teknis merupakan aktor utama dalam pengembangan kebijakan AMDAL migas. Hasil menunjukkan bahwa bobot peranan komisi AMDAL dan tim teknis merupakan bobot tertinggi dari kedua aktor lainnya. Komisi dan tim teknis menjadi kunci kualitas dokumen AMDAL yang dihasilkan. Komisi penilai merupakan komponen yang sangat penting dalam implementasi kebijakan AMDAL. Komisi penilai akan sangat berperan dalam penilaian dokumen AMDAL yang telah disusun, diterima atau ditolaknya dokumen tersebut. Sebagaimana Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL yakni pasal 1 ayat (11) bahwa komisi penilai adalah komisi yang bertugas menilai dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup dengan pengertian di tingkat pusat oleh komisi penilai pusat dan di tingkat daerah oleh komisi penilai daerah. Komisi penilai menilai kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Tim teknis merupakan tim yang membantu komisi penilai dalam memberikan pertimbangan teknis terhadap dokumen AMDAL yang diajukan oleh pemrakarsa. Sebagaimana Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL yakni pasal 8 ayat (4) bahwa dalam menjalankan tugasnya, komisi penilai dibantu oleh tim teknis yang bertugas memberikan pertimbangan teknis atas kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Selanjutnya pasal 12 ayat (1) bahwa tim teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) terdiri atas para ahli dari instansi teknis yang membidangi usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan dan instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan serta ahli lain dengan bidang ilmu yang terkait. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota tim teknis sebagaimana dimaksud pada pasal 12 ayat (1) ditetapkan oleh menteri untuk komisi penilai pusat dan oleh gubernur untuk komisi penilai daerah tingkat I.
162
Kualitas tim teknis merupakan komponen yang juga berpengaruh terhadap efektivitas kebijakan AMDAL dalam upaya mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Kualitas tim teknis sangat penting mengingat kegiatan studi AMDAL merupakan kegiatan multidisiplen dengan aspek linkungan sebagai inti kajian. Kualitas tim teknis sangat terkait dengan keahlian dibidangnya. Kegiatan usaha migas merupakan kegiatan dengan teknologi tinggi serta bersifat teknis profesional sehingga dibutuhkan kajian AMDAL yang mendalam dan komprehensif agar dihasilkan kualitas AMDAL yang baik, khususnya dalam upaya pencegahan terjadinya kerusakan lingkungan. Tim teknis diharapkan mampu memberikan hasil yang lebih baik dalam keterlibatannya dalam pengkajian dan penilaian AMDAL. Aktor berikutnya adalah penyusun. Kualitas penyusun terdiri atas kualifikasi ketua dan anggota tim. Ketua tim penyusun studi disebutkan harus bersertifikat AMDAL penyusun dan sesuai ketentuan yang berlaku, sedang anggota tim harus memiliki keahlian yang sesuai dengan lingkup studi yang dilakukan. Kualitas penyusun AMDAL sangat berpengaruh terhadap hasil studi AMDAL yang dilakukan. Tim penyusun yang berkualitas diyakini menghasilkan dokumen AMDAL yang berkualitas pula. Dengan demikian AMDAL akan menjadi efektif dan efisien dalam pelaksanaannya. Bobot penyusun lebih tinggi, bila dibandingkan dengan bobot aktor, lebih dikarenakan peran dan tugas dari penyusun yang sangat menentukan isi dan kualitas dokumen yang dihasilkan. Dalam pelaksanaan dan penyusunan dokumen AMDAL, kualifikasi dan integritas penyusun sangat menentukan. Selain itu pengalaman penyusun dalam menyusun AMDAL juga sangat penting, mengingat kompleksitas aspek dan dimensi-dimensi dalam suatu studi AMDAL. Aktor pemrakarsa juga menjadi bagian dari pengembangan kebijakan AMDAL migas yang efektif dan efisien. Pemrakarsa merupakan pihak pengguna langsung kebijakan AMDAL. Pemrakarsa memiliki kewenangan menunjuk langsung tim penyusun AMDAL kegiatan usaha yang dilakukan, begitu pula dengan pembiayaan kegiatan studi AMDAL. Kewenangan dalam penentuan pelaksana studi dan penyusun dokumen AMDAL sangat penting, mengingat otoritas sepenuhnya yang dimiliki oleh pemrakarsa, menjadi awal kualitas
163
dokumen AMDAL yang dihasilkan. Penunjukan tim penyusun yang tepat, akan memberikan hasil yang baik dengan kualitas dokumen AMDAL yang dihasilkan. Disisi lain, pemrakarsa merupakan pengguna langsung dari dokumen AMDAL yang dihasilkan. Analisis mengenai dampak penting yang teridentifikasi akan menjadi rambu-rambu pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan. Selanjutnya indikator efektif dan efisien sebagai pendekatan untuk melihat sejauh mana pengembangan kebijakan AMDAL migas di masa datang. Indikator efektivitas dan efisiensi meliputi: operasional (0.270), menjadi acuan (0.082) dan implementasi (0.149), biaya penyusunan (0.143), waktu penyusunan (0.072) dan sumberdaya manusia (0.286). Kebijakan AMDAL yang operasional, implementatif serta dapat menjadi acuan dalam pengelolaan lingkungan pada kegiatan usaha migas, merupakan sesuatu yang sangat penting, mengingat kebijakan AMDAL adalah dokumen kebijakan, dokumen publik dan berkekutan hukum. Dokumen AMDAL adalah satu-satunya dokumen pengelolaan lingkungan khususnya dalam pengendalian dampak pada suatu kegiatan usaha. Dengan demikian, dokumen tersebut harus bersifat operasional, dapat diimplementasikan serta dapat menjadi acuan dalam pengelolaan
lingkungan
dalam
kaitannya
dengan
pengendalian
dampak
lingkungan. Peningkatan SDM penyusunan AMDAL perlu dilakukan mengingat kualitas dokumen AMDAL selain ditentukan oleh kualitas penyusun, juga sangat dipengaruhi oleh kualitas komisi AMDAL. Hal ini menjadi penting mengingat kajian tentang lingkungan hidup dalam dua dekade terakhir menjadi sangat serius dan mendapat perhatian yang besar dari masyarakat dunia. Pemanasan global akibat dampak yang muncul dari aktivitas pembangunan telah mengancam kelansungan hidup manusia. Akibat tersebut menimbulkan polusi dan kerusakan lingkungan sehingga dokumen AMDAL sebagai upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan dalam keberlanjutan menjadi sangat penting. Komisi penilai AMDAL pusat adalah salah satu komponen penting yang berperan dalam kegiatan penyusunan AMDAL migas. Sumberdaya manusia yang berkualitas khususnya untuk kegiatan migas akan sangat menentukan hasil studi AMDAL migas selain kualitas tim penyusun itu sendiri. Sinergitas antara tim penyusun dengan komisi
164
penilai dengan sumberdaya yang berkualitas diharapkan menghasilkan dokumen AMDAL yang berkualitas pula. Komponen efisiensi kebijakan AMDAL lainnya adalah biaya dalam penyusunan dokumen. Komponen pembiayaan sangat berpengaruh terhadap kualitas AMDAL yang dihasilkan. Pembiayaan yang minim akan menyulitkan dalam kegiatan studi, sehingga komponen pembiayaan menjadi sulit dilakukan dan menyebabkan kegiatan menjadi sekedar dilaksanakan. Disisi lain pembiayaan yang tinggi akan memberatkan pemrakarsa dan pemborosan biaya dapat terjadi sehingga kegiatan studi menjadi tidak efisien. Untuk itu, proporsionalisasi pembiayaan menjadi sangat penting, mengingat efisien kebijakan AMDAL. Komponen waktu merupakan salah satu indikator efisiensi kebijakan AMDAL. Waktu persetujuan dokumen AMDAL 75 hari kerja yang didasarkan pada PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL. Waktu tersebut terbilang cukup lama sehingga berpengaruh terhadap pelaksanaan kegiatan. Terlebih lagi penyusunan dokumen ANDAL, RKL dan RPL tidak dapat dilaksanakan sebelum dokumen KA-ANDAL disetujui. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap efisiensi penyusunan AMDAL. Waktu pengambilan keputusan kelayakan dokumen AMDAL menjadi penting dalam kaitannya dengan efisiensi kebijakan AMDAL untuk mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Waktu yang dibutuhkan dalam pengambilan kelayakan dokumen AMDAL secara keseluruhan yakni 150 hari teridir dari 75 hari untuk penilaian persetujuan dokumen KA-ANDAL dan 75 hari untuk penilaian persetujuan dokumen ANDAL, RKL dan RPL. Dengan demikian kurang lebih lima bulan waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan keputusan kelayakan lingkungan. Sementara waktu pengambilan keputusan masyarakat dimana saat ini ditentukan sekitar 30 hari sejak diumumkannya. Masyarakat diberi kesempatan untuk memberi tanggapan dan masukan kepada pemrakarsa, pemerintah dan penyusun AMDAL untuk kemudian segera memperbaiki sesuai dengan tanggapan yang masuk. Waktu yang terbilang singkat tersebut, akan sangat berpengaruh terhadap tanggapan dan masukan yang terbatas. Dengan demikian dokumen AMDAL menjadi tidak berkualitas disebabkan karena minimnya tanggapan yang masuk
165
dari masyarakat. Akhirnya AMDAL yang dihasilkan dalam implementasinya tidak menjadi efektif. Hasil penentuan prioritas strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas dalam mencegah kerusakan lingkungan berturut-turut: peningkatan kualitas dokumen
(0.441),
penguatan
hukum
dan
kelembagaan
(0.296)
dan
penyempurnaan prosedur penyusunan AMDAL (0.263). Peningkatan kualitas dokumen menjadi strategi utama, mengingat AMDAL sebagai dokumen manajemen lingkungan, dokumen publik dan dokumen hukum. Kualitas dokumen AMDAL migas merupakan salah satu strategi penting dan kaitannya dengan pengembangan kebijakan AMDAL. Strategi tersebut harus didukung oleh peningkatan kualitas penyusun, meliputi; kualifikasi, independensi dan komposisi. Perbaikan substansi dokumen AMDAL dengan memperbaiki metode-metode didalam penyusunan AMDAL seperti; kajian aspek ekologi dan sosial ekonomi. Selain itu, juga harus dilakukan pengintegrasian dengan kajian emergency dalam penyusunan AMDAL, dengan harapan bahwa hal-hal emergency, seperti yang sering terjadi selama ini yakni tumpuhan minyak dapat diatasi. Kualitas dokumen AMDAL merupakan komponen yang terdiri atas dokumen kerangka acuan analisis dampak lingkungan (KA-ANDAL), dokumen analisis dampak lingkungan (ANDAL), dokumen rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) dan dokumen rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL). Dokumen KA-ANDAL disusun terlebih dahulu untuk menentukan lingkup studi dan mengidentifikasi isu-isu pokok yang harus diperhatikan dalam penyusunan AMDAL. Dokumen KA-ANDAL dinilai oleh komisi penilai AMDAL dan bila telah disetujui maka kegiatan penyusunan dokumen ANDAL, RPL dan RKL dilaksanakan. Ketiga dokumen tersebut (ANDAL, RKL dan RPL), merupakan bahan penilaian bagi komisi penilai AMDAL untuk kemudian menjadi dasar penentuan rencana usaha dan atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak. Selain itu dokumen AMDAL juga menjadi bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah, memberi masukan untuk penyusunan disain teknis dari rencana usaha dan atau kegiatan, serta memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan.
166
Strategi kedua dalam upaya pengembangan kebijakan AMDAL kaitannya dengan mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas adalah penguatan aspek hukum dan kelembagaan. Dokumen AMDAL yang merupakan dokumen hukum, harus menjadi barometer keberlanjutan pembangunan dari sisi ekologi. Hal ini sangat terkait dengan dampak yang senantiasa mengikuti aktivitas pembangunan yang dilakukan. Dokumen AMDAL kemudian menjadi sangat penting, sebagai dokumen yang bersifat preventif (pencegahan) akan terjadinya kerusakan
lingkungan.
Penegakan
hukum
(law
enforcement)
terhadap
pelanggaran-pelanggaran lingkungan, diharapkan menjadi prioritas penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL migas. Strategi ketiga adalah penyempurnaan prosedur penyusunan AMDAL migas. Strategi ini juga menjadi penting, mengingat salah satu permasalahan yang umumnya dihadapi dalam investasi pembangunan adalah aspek prosedural yang seringkali berbelit-berbelit dan membutuhkan waktu yang lama. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya birokrasi yang harus dilalui dalam kaitannya dengan penanam investasi tersebut. Demikian pula halnya dalam kegiatan penyusunan AMDAL. Pemrakarsa dan penyusun seringkali mengalami hambatan, terutama dalam aspek waktu dan pembiayaan yang begitu besar. 5.8
Rumusan Kebijakan AMDAL Migas
Hasil focus group discussion diperoleh rumusan pengembangan kebijakan AMDAL migas yang efektif dan efisien dalam mencegah kerusakan lingkungan adalah dengan peningkatan kualitas dokumen, penguatan hukum dan kelembagaan serta penyempurnaan prosedur penyusunan AMDAL migas. Rumusan kebijakan AMDAL migas tersebut didasarkan pada hasil analisis komponen utama dan analytichal hierarchy process yang dirumuskan secara bersama-sama dengan stakeholders AMDAL migas beserta pakar dibidang lingkungan hidup. Rumusan pengembangan kebijakan AMDAL migas yang efektif dan efisien dalam mencegah kerusakan lingkungan diimplementasikan dalam strategistrategi kebijakan AMDAL migas yakni: peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas, penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL migas serta penyempurnaan prosedur penyusunan AMDAL migas.
167
Mengingat pentingnya strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas tersebut, maka perlu dilakukan pengintegrasian strategi secara komprehensif, antara strategi peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas, strategi penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL migas, serta strategi penyempurnaan prosedur penyusunan dokumen AMDAL migas. Dengan demikian, AMDAL migas diharapkan dapat menjadi efektif dan efisien dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas.
168
sanksi administrasi
Peningkatan Kualitas Dokumen AMDAL Migas
sanksi pidana (UU N0.23/1997)
Penerapan Sanksi
Penyempurnaan Prosedur AMDAL Migas
independensi kompetensi
komposisi
Substansi Dokumen
metode, isu pokok
Pemrakarsa
Ditjen Migas
Konsultan Penyusun
Lembaga Independen
Lembaga Pengawas Pengelolaan, Pemantauan
Penguatan Hukum dan Kelembagaan AMDAL Migas
ya
Dampak Penting
penilaian Komisi AMDAL Tim Teknis
Pemda Instansi terkait
komponen masyarakat
pelingkupan KA-ANDAL KA-ANDAL
Ditjen Migas
pemahaman, pengetahuan
tidak
Keterlibatan Masyarakat
UKL & UPL SK KA-ANDAL oleh Komisi penyusunan
metode perkiraan evaluasi dampak
teknologi alternatif
teknologi, kelembagaan
ANDAL, RKL, RPL
Penguatan SDM
penilaian Komisi-Tim Teknis layak lingkungan Keadaan Darurat/ Emergency
integrasi
SKB KLH dan DESDM
Gambar 31 Diagram strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas
tidak layak Penolakan
169
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil review kebijakan terdapat beberapa kelemahan dalam pedoman dan petunjuk teknis penyusunan AMDAL baik di level PP No. 27 tahun 1999, Permen LH No. 11 tahun 2006 Permen LH No. 08 tahun 2006, Kepmen ESDM No. 1457 tahun 2000, Kepdal No. 229 tahun 1996 dan Kepdal No. 08 tahun 2000, antara lain: penentuan dampak penting, efisiensi dalam penyusunan, kedudukan komisi AMDAL, metode pelingkupan dan metode studi yang digunakan, aspek sosial ekonomi, mekanisme keterlibatan masyarakat, serta belum diaplikasikannya analisis valuasi ekonomi lingkungan dan pengkajian keadaan darurat/emergency. 2. Hasil analisis kualitas dokumen diperoleh enam dokumen termasuk kategori kurang baik yakni dokumen AMDAL PT.CPI Duri, Pertamina Plaju, Suryaraya Teladan, Lapindo Brantas, BP Tangguh dan Hess Pangkah, serta satu dokumen dikategorikan cukup baik yakni dokumen AMDAL Expan Toili, sedangkan hasil analisis kinerja lingkungan implementasi AMDAL pada enam lokasi kegiatan usaha migas diperoleh kualitas limbah cair, kualitas udara dan kebisingan di bawah baku mutu, untuk aspek sosial ekonomi menunjukkan peningkatan yang signifikan khususnya kontribusi PDRB, sementara pendidikan dan kesehatan tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. 3. Kebutuhan stakeholders AMDAL migas di masa mendatang antara lain: RKL/RPL secara dinamis dapat diperbaharui seiring dengan perubahan teknologi yang digunakan, simplifikasi pembahasan dan persetujuan dokumen AMDAL migas, peningkatan SDM komisi AMDAL pusat, mekanisme keterlibatan masyarakat lokal yang jelas, AMDAL sebagai dokumen yang berkekuatan hukum, pengembangan metodologi AMDAL migas, perlu akreditasi lembaga penyusun AMDAL migas, pengkajian nilai ekonomi lingkungan,
serta
perlunya
mengintegrasikan
darurat/emergency dengan dokumen AMDAL.
kajian
keadaan
170
4. Rumusan kebijakan AMDAL yang efektif dan efisien dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas meliputi: a) Peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas dengan memperbaiki metode-metode di dalam penyusunan AMDAL untuk aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Metode penentuan isu pokok untuk KA-ANDAL, metode prakiraan dampak penting dan evaluasi dampak penting untuk dokumen ANDAL, teknologi alternatif untuk RKL dan institusi/kelembagaan untuk RPL. Selain itu juga diperlukan peningkatan kualitas penyusun AMDAL migas yang mencakup independensi, kompotensi dan komposisi serta perlunya pengintegrasian kajian keadaan darurat/emergency di dalam AMDAL dan dicantumkan dalam pedoman teknis penyusunan AMDAL migas. b) Penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL migas meliputi; penguatan sumberdaya manusia, khususnya komisi AMDAL pusat (KLH) dan tim teknis AMDAL migas, penerapan sanksi administrasi dan pidana sesuai UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, perbaikan mekanisme keterlibatan masyarakat dan kelembagaan pengawas pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada kegiatan usaha migas. c) Penyempurnaan prosedur penyusunan AMDAL meliputi waktu penyusunan persetujuan dokumen, waktu pengumuman masyarakat serta penunjukan pelaksana studi AMDAL oleh lembaga independen. 6.2
Saran
Berdasarkan hasil dan kesimpulan yang diperoleh tersebut disarankan: 1.
Perlu dilakukan revisi terhadap pedoman teknis AMDAL migas, begitu pula pedoman umum penyusunan AMDAL dengan mencantumkan metodemetode ilmiah yang harus diacu di dalam penyusunan AMDAL (KAANDAL, ANDAL, RKL dan RPL)
2.
Untuk peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menetapkan metode-metode yang diterapkan untuk aspek ekologi, ekonomi dan sosial sebagai penyempurnaan pedoman teknis dalam penyusunan AMDAL migas.
3.
Perlu mengintegrasikan kajian penanggulangan keadaan darurat/emergency di dalam AMDAL migas.
171
4.
Pembentukan lembaga independen dalam prosedur pelaksanaan AMDAL migas perlu pengkajian lebih lanjut.
5.
Hasil penelitian ini, perlu diimplementasikan.
172
DAFTAR PUSTAKA Abda’oe, F. 1994. Peran Direktur Utama Pertamina dalam Mengenal Potensi Dampak Lingkungan dan Pengelolaannya di Sekitar Migas dan Panas Bumi dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta Adrianto, L. 2006. Ekonomi dan Pengelolaan Mangrove dan Terumbu Karang. Working Papaer Program Pascasarjana Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB. Institut Pertanian Bogor. Adrianto, L. 2005. Sinopsis Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Alshuwaikkat, H.A. 2004. Strategic Environtmental Assessment can Help Solve Environmental Developing Countris. Internasional Journal of Environmental Impact Assessment Review. Departemen of City and Regional Planning King Fahd University of Petroleum & Mineral, Vol. 25 (2005): 307-317. Azis, N. 2006. Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kecamatan Barru, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. [Tesis]. Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Barbier, E.B. 1995. The Economics of Forestry and Conservation: Economic Values and Policies. Journal of Commonwealth Forestry Review. Vol 74. Bartelmus, P and Vesper, A.1999. Green Accounting and Material Flow Analysis: Alternatives of Complement. Journal of Environtment and Energy. Wuppertal Institute of Climmate. Bealands and Dunker, P.N. 1983. Effect monitoring in environmental impact assessment. Paper for work and management on New Directions in Environmental Assessment : The Canadian experience. Departement of Georaphy and Institute for Environmental Studies, University of Toronto. Bengen, D.G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB. Institut Pertanian Bogor. BPS Kabupaten Bengkalis, (1986-2005). Kabupaten Bengkalis Dalam Angka. Kerjasama BPS dan Bappeda Kabupaten Bengkalis. BPS Kabupaten Muara Enim, (1986-2005). Muara Enim Dalam Angka. Kerjasama BPS dan Bappeda Kabupaten Muara Enim.
173
BPS Kabupaten Musi Banyuasin, (1986-2005). Musi Banyuasin Dalam Angka. Musi Banyuasin. BPS Kota Palembang, (1986-2005). Kota Palembang Dalam Angka. Palembang. BPS Kabupaten Sidoarjo, (1986-2005). Kabupaten Sidoarjo Dalam Angka. Kerjasama BPS dengan Bappekab Sidoarjo. BPS Kabupaten Morowali, (1986-2005). Morowali Dalam Angka. Kerjasama BPS dan Bappeda Kabupaten Morowali. BPS Kabupaten Sorong, (1986-2005). Sorong Dalam Angka. Kerjasama BPS dan Bappeda Kabupaten Sorong. BPS Indonesia, (1993-2005). PDRB Kabupaten/Kotamdya di Indonesia Tahun 1993-2005. Jakarta. Clark, J.R.1978. Thermal Pollution and Aquatic Life. Scientific American. 220 (3): 19-27. Dahuri, R., dan Rais, J., Ginting, S.P. 1996. Pengelolaan Sumerdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dartanto, T dan Khoirunurrofik. 2006. Perhitungan Bagi Hasil Minyak dan Gas di Indonesia. Studi Kasus: Blok Cepu, Bojonegero, Jawa Timur. Jurnal Indonesia Energy Information Center. Dartanto, T. 2005. BBM, Kebijakan Energi, Subsidi dan Kemiskinan di Indonesia. Jurnal Inovasi Online Edisi 5/XVII/November 2005. [Ditjen MIGAS] Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. 2007. Perkembangan Cadangan dan Produksi MIGAS 2001-2006. Jakarta. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Jakarta. Eriyatno dan Sofyar, F. 2005. Riset Kebijakan. Metode Penelitian Untuk Pascasarjana. IPB Press. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Daya
Alam
dan
Lingkungan.
Fauzi, A. 2002. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Lautan. [Bahan Pelatihan]. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan. Semarang. Universitas Diponegoro. Fauzi, A. 1999. Teknik Valuasi Ekosistem Mangrove. Bahan Pelatihan Management for Mangrove Forest (Rehabilitation). Bogor.
174
Finnveden, G., Nilson, M., Johansson, J., Persson, A., Moberg, A, dan Carlsson, T. 2002. Strategic Enviromental Assessment Methodologies Application within the Energy Sector, Volume 25. Grigalunas, T. A and Conges, R. 1995. Environmental Economics for Integrated Coastal Area Management: Valuation Methods and Policy Instrument. UNEP Regional Seas Report and Studies. No.164. Hendartomo, T. 2001. Permasalahan dan Kendala Penerapan AMDAL dalam Pengelolaan Linkungan. www.freewebs.com/mastomi. Kadariah. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: Universitas Indonesia. Fakultas Ekonomi. [Kepmen LH 04/2007] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 tahun 2007 tentang Baku Mutu limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. Jakarta. [Kepmen LH 08/2006] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Penyusunan AMDAL. Jakarta. [Kepmen LH 129/2003] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 129 tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi. Jakarta. [Kepmen LH 42/1996] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 42 tahun 1996 tentang Baku Mutu limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. Jakarta. [Kepmen LH 48/1996] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48 tahun 1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebisingan. Jakarta. [Kepmen ESDM 1457/2000] Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 1457 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Lingkungan Bidang Pertambangan Dan Energi.Jakarta. [Kepdal 08/2000] Keputusan Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan Hidup Nomor 08 tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi Dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Jakarta. [Kepdal 299/1996] Keputusan Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan Hidup Nomor 299 tahun 1996 tentang Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial Dalam Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta. Kramer, R.A. 1995. Valuing Tropical Forest. Washington DC. Journal of World Bank. Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. Andi. Yogyakarta.
175
Kusumastanto, T. 2003. Ocean policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Kusumastanto, T. 2000. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. [Makalah] Bogor. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Haya, L.O.M.Y. Zubair, H dan Salman, D. 2003. Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang. Studi Kasus Penangkapan Ikan yang Merusak (Sianida dan Bom) di Kepulauan Spermonde, Propinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Pascasarjana UNHAS. Vol. 1. No. 02. Landiyanto, E. A dan Wardaya, W. 2005. Framework of Regional Development in Agenda 21: Sustainability and Environmental Vision. Jurnal Munich Personal RePEc Archive (MPRA). Vol. No. 2381. Ma’arif, S dan Tanjung, H. 2003. Teknik-Teknik Kuantitatif untuk Manajemen. Jakarta: Grasindo. Moore, J.W. 1991. Inorganic Contaminations of Surface Water. Springer-Verlag, New York. 334 p. Murdiyarso D, 2003. Protokol Kyoto Implikasinya Bagi Negara Berkembang. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. Munasinghe, M. 1993. Economic and Policy Issues in Natural Habitats and Protected Crew. Protected Area Economis and Policy: Lingking Conservation and Sustainable Development. Edited by Mohan Munasinghe and Jeffrey McNeely. Washington DC. Journal of World Bank. Mukono, H.J. 2005. Kedudukan AMDAL dalam Pembangunan Berwawasan Lingkungan yang Berkelanjutan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 02 Juli. [Permen LH 08/2006] Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 tahun 2006 Tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta. [Permen LH 11/2006] Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 tahun 2006 tentang Jenis Kegiatan yang Wajib dilengkapi AMDAL. Jakarta. [PP 41/1999] Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Baku Mutu Ambien Nasional). Jakarta. [PP 27/1999] Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta. [PP 51/1993] Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta.
176
[PP 29/1986] Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta. Purnama, D. 2003. Public Involment In The Indonesian EIA Process, Perceptions, and Alternatif. Department or geographical and Enviromental Studies. University of Adelaide. Purnama, D. 2003b. Reformasi atas proses AMDAL di Indonesia: meningkatkan peran dari keterlibatan publik. Kajian Pemantuan Dampak Lingkungan. Jurnal INDENI. Vol 23: 415-439. Purnomo, H dan E.M.L. Tobing. 2007. Pengembangan Simulator Pengendalian Sumur pada Pemboran Vertikal, Berarah Maupun Horizontal. Lembaran Publikasi LEMIGAS. Vol. 41. No.1 April. Rahmalia, E. 2003. Analisis Tipologi Dan Pengembangan Desa-Desa Pesisir Kota Bandar Lampung. [Tesis]. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Ruitenbeek, H.I. 1991. Mangrove Management: An Economic Analysis of Management Option with a Focus an Bintury Bay Irian Jaya. EMDI. Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin (Proses Hierarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi Kompleks). Terjemahan. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Saaty, T.L. 1994. Decision Making in Economic, Political, sosial and Technological Environments With the Analytical Hierarchy Process. America : University of Pittssburgh. Sanim, B. 2003. Environmental Protection and Regional Development. Paper disampaikan pada The 16th General Conference of IFSSO On Environmental Protection and Regional Development. Santoso, J. 2005. Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Kawasan Pondok Ball, Desa Legonwetan, Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Sofyan, A. 2003. Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Hutan Mangrove di Desa Blanakan Kabupaten Subang, Jawa Barat. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Sumarwoto, O. 2005. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Suparmoko. 2000. Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. UGM Yokyakarta.
177
Supriyadi, H. I dan Wouthuyzen, S. 2005. Penilaian Ekonomi Sumberdaya Mangrove di Teluk Kotania, Seram Barat, Provinsi Maluku. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2005. No. 38 : 1 – 21. Suratmo, G.F. 2002. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. UGM. Yogyakarta. Steer, A. 1996. Ten Principles of the New Environmentalism. Journal of Finance and Development. Tiwi, D.A. 2003. Evaluasi AMDAL dalam Menunjang Pengelolaan Pantai Terpadu. Prosiding Seminar Teknologi. Vol. IV hal 29-31. BPPT. [UU 17/2004] Undang-Undang Nomor 17 tahun 2004 tentang Ratifikasi Kyoto Protokol. Jakarta. [UU 22/2001] Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Jakarta. [UU 6/1999] Undang-Undang Nomor 06 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konversi Perubahan Iklim. Jakarta. [UU 23/1997] Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penjelasannya. Jakarta. [WCED] World Commision on Environment and Development. 1987. A Global Perspective. Oxford UK. Blackwell Business. Whelan, S. A. 1996. An Initial Exploration of the Relevance of Complexity Theory to Group Research and Practice. J. of System Practice. Vol. 9 (1), 49:70. Williamson, M. 2003. Introduction to Environmental Economic Valuation and Its Relationship to Environmental Impact Assessment: Environmental Impact Assessment. Journal of Environmental Protection Agency. Queensleand GB.
178 Lampiran 1. Cadangan minyak bumi Indonesia CADANGAN MINYAK BUMI (Barrel) TERBUKTI POTENSIAL TOTAL
Wilayah
Cadangan Minyak (Barrel)
Sumatera
5.876.890.000
Jawa
1.667.010.000
Kalimantan
1.046.110.000
Sulawesi
90.460.000
Maluku
97.890.000
Papua
148.940.000
WILAYAH KERJA KEGIATAN MIGAS WILAYAH KEPULAUAN INDONESIA WILAYAH KEPULAUAN NEGARA LAIN CADANGAN MINYAK
= 4.370,29 MMSTB = 4.370.290.000 Bbl = 4.558,16 MMSTB = 4.558.160.000 Bbl = 8.928,45 MMSTB = 8.928.450.000 Bbl
179 Lampiran 2. Cadangan gas bumi Indonesia
CADANGAN GAS BUMI (Kubik Feet) TERBUKTI POTENSIAL TOTAL
Wilayah
Cadangan Gas (Kubik Feet)
Sumatera
91.640.000
Jawa
12.240.000
Kalimantan
47.770.000 WILAYAH KERJA KEGIATAN MIGAS
Sulawesi
4.710.000
Nusa Tenggara
6.300.000
Maluku Papua
6.000 24.470.000
WILAYAH KEPULAUAN INDONESIA WILAYAH KEPULAUAN NEGARA LAIN CADANGAN MINYAK
= 93,95 TSCF =93.950.000 MMSCF/Ft3 = 93,14 TSCF =93.140.000 MMSCF/Ft3 = 187,09 TSCF =187.090.000 MMSCF/Ft3
180
Lampiran 3. Peta lokasi penelitian KKKS Hess Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur
181
Lampiran 4. Peta Lokasi penelitian PT. CPI, Kabupaten Bengkalis, Riau
Lampian 3d. Peta Lokasi Amerada Hess di Blok Pangkah, Gresik Jawa Timur
182
Lampiran 5. Perkembangan aspek sosial ekonomi di Kabupaten Bengkalis Tahun 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Gedung Sekolah 370 370 370 370 370 370 437 437 440 440 440 441 460 460 520 534 534 534 535 538
Fasilitas Kesehatan 11 11 11 13 19 36 44 44 51 51 59 65 73 73 73 74 87 92 92 93
PDRB tanpa Migas 442.219 507.497 597.180 730.655 839.135 996.585 1.146.595 1.324.246 1.525.051 1.735.724 1.990.883 2.239.646 2.779.740 3.595.194 1.623.629 3.358.116 4.323.472 5.711.969 7.253.462 8.771.652
Sumber: BPS Kabupaten Bengkalis (1986-2005)
PDRB dengan Migas 11.121.327 11.030.805 10.755.327 11.960.796 13.159.208 23.787.273 27.359.563 14.536.379 15.755.622 25.135.143 26.141.326 30.906.866 37.873.971
183
Lampiran 6. Perkembangan aspek sosial ekonomi di Kota Palembang Tahun 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Gedung Sekolah 526 526 526 526 526 526 540 540 540 545 545 545 545 545 545 545 545 545 545 545
Fasilitas Kesehatan 116 120 120 124 131 131 134 136 139 145 147 147 150 150 155 155 155 156 156 156
Sumber: BPS Kota Palembang (1986-2005)
PDRB tanpa Migas 1.242.990 1.448.969 1.558.291 1.744.069 1.860.222 2.100.531 2.386.222 3.224.275 2.012.060 3.011.539 3.576.032 4.238.830 6.189.483 7.169.264 8.019.471 9.301.812 10.699.707 12.425.650 14.508.625 17.278.525
PDRB dengan Migas 3.145.213 3.344.913 3.980.787 4.670.319 6.809.872 7.941.073 9.362.828 12.329.627 14.460.830 16.815.478 19.287.616 24.595.162
184
Lampiran 7. Perkembangan aspek sosial ekonomi di Kabupaten Sidoarjo Tahun 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Gedung Sekolah 846 846 846 846 870 870 870 870 870 879 879 879 879 879 886 886 886 886 886 886
Fasilitas Kesehatan 69 69 73 75 77 78 78 87 88 88 91 97 97 97 100 117 117 122 120 129
PDRB tanpa Migas 658.900 759.212 886.795 1.097.246 1.417.150 1.770.102 1.988.359 2.358.832 2.862.438 4.226.782 4.895.642 5.781.614 8.348.791 9.548.538 10.707.550 18.999.062 21.490.066 23.825.672 27.071.870 31.841.543
Sumber: BPS Kabupaten Sidoarjo (1986-2005)
PDRB dengan Migas 18.999.098 21.490.102 23.825.758 27.072.023 31.841.677
185
Lampiran 8. Perkembangan aspek sosial ekonomi di Kabupaten Muara Enim Tahun 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Gedung sekolah 427 427 427 427 474 474 474 474 474 546 550 550 550 550 571 571 571 572 571 568
Fasilitas Kesehatan 103 117 118 121 122 126 127 132 133 136 136 136 137 137 138 144 144 144 144 144
PDRB tanpa Migas 486.209 633.068 731.043 938.293 1.195.898 1.375.651 1.301.252 2.338.335 2.502.145 1.326.817 1.587.853 2.047.810 2.730.911 2.627.335 3.324.127 4.236.087 3.982.794 4.517.749 5.048.118 5.849.054
Sumber: BPS Kabupaten Muara Enim (1986-2005)
PDRB dengan Migas 2.042.088 2.440.630 3.258.753 5.203.269 5.235.797 6.135.777 6.698.215 6.157.875 6.874.889 7.683.414 9.825.106
186
Lampiran 9. Perkembangan aspek sosial ekonomi di Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Gedung sekolah 725 725 725 725 740 740 740 740 740 756 756 756 756 756 756 756 756 756 756 756
Fasilitas Kesehatan 83 83 83 83 85 90 95 95 96 96 98 98 100 103 103 105 105 107 107 107
PDRB tanpa Migas 1.048.082 1.318.721 1.487.754 1.674.059 1.676.838 1.916.567 2.084.757 2.115.927 2.082.876 1.715.467 2.012.979 2.370.597 3.457.637 3.933.373 4.860.637 5.587.388 6.187.942 3.585.087 4.206.525 5.032.206
Sumber: BPS Kabupaten Musi Banyuasin (1986-2005)
PDRB dengan Migas 2.496.290 2.880.787 3.404.768 5.504.512 6.305.896 8.695.098 12.811.508 12.505.302 9.950.942 12.046.457 16.962.398
187
Lampiran 10. Perkembangan aspek sosial ekonomi di Kabupaten Morowali Tahun 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Gedung sekolah 280 280 280 280 280 280 280 280 280 280 280 280 280 280 291 291 291 291 291 291
Fasilitas Kesehatan 69 69 69 75 75 78 81 82 82 82 84 85 85 87 87 89 89 99 87 92
PDRB tanpa Migas 67.934 98.456 112.285 135.285 155.125 171.145 187.989 208.925 201.407 223.084 334.491 398.078 467.031 680.987 708.750 826.456 949.424 1.041.321 1.167.923 1.333.342
Sumber: BPS Kabupaten Morowali (1986-2005)
PDRB dengan Migas 826.456 949.424 1.041.321 1.167.923 1.333.749
188
Lampiran 11. Perkembangan aspek sosial ekonomi di Kabupaten Sorong Tahun 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Gedung Sekolah 121 121 121 121 131 131 131 131 131 133 133 133 133 133 133 133 133 138 138 138
Fasilitas Kesehatan 41 41 41 47 47 47 47 47 50 50 50 50 55 57 57 57 58 58 58 59
Sumber: BPS Kabupaten Sorong (1986-2005)
PDRB tanpa Migas 447.024 428.316 469.409 487.519 639.793 681.128 810.207 445.283 496.840 563.649 641.339 932.798 1.327.589 613.643 752.437 778.241 876.414 557.729 623.551 701.871
PDRB dengan Migas 683.401 794.851 836.871 920.140 1.272.016 2.154.606 1.237.666 1.718.854 1.910.443 2.035.147 1.961.384 2.525.057 3.185.063
189
Lampiran 12. Nilai manfaat langsung ekosistem hutan mangrove Kecamatan Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Nilai Manfaat Langsung No Jenis Manfaat (Rp/Ha/Th) 1 Perikanan budidaya (tambak) 45.956.080,00 2
Perikanan tangkap
3
Pemanfaatan mangrove Total
416.499.500,00 4.766.500,00 467.222.080,00
Sumber: Data primer setelah diolah, 2007
Lampiran 13. Nilai manfaat tidak langsung ekosistem hutan mangrove Kecamatan Ujung Pangkah, Gresik Jawa Timur No
Jenis Manfaat
Nilai Manfaat Tidak Langsung (Rp/Ha/Th)
1
Penahan abrasi
691.490.131,00
2
Penyedia pakan
606.421,00
Total
692.096.552,00
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2007
Lampiran 14. Nilai ekonomi total ekosistem mangrove Kecamatan Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur No Jenis Manfaat Nilai Ekonomi Total (Rp/Ha/Th) 1
Manfaat Langsung
541.677.344,00
2
Manfaat Tidak Langsung
692.096.552,00
3
Manfaat Pilihan
4
Manfaat Keberadaan
2.084.783,00
Nilai Ekonomi Total
1.235.996.678,00
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2007
138.000,00
190
Lampiran 15. Nilai manfaat langsung ekosistem hutan sekunder Kecamatan Mandau Bengkalis Riau Nilai Manfaat Langsung No Jenis Manfaat (Rp/Ha/Th) 1 Karet 947.184.625,00 2
Sawit
179.015.627,00
3
Arang
4.821.750,00
Total
1.131.022.002,00
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2007
Lampiran 16. Nilai manfaat tidak langsung ekosistem hutan mangrove Kecamatan Mandau Bengkalis Riau Nilai Manfaat Tidak Langsung No Jenis Manfaat (Rp/Ha/Th) 1 Penjaga siklus makanan 74.000.000,00 2
Habitat flora dan fauna Total
6.400.000,00 80.400.000,00
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2007
Lampiran 17. Nilai ekonomi total ekosistem hutan sekunder Kecamatan Mandau Bengkalis Riau No Jenis Manfaat Nilai Ekonomi Total (Rp/Ha/Th)
1
Manfaat Langsung
2
Manfaat Tidak Langsung
3
Manfaat Pilihan
4
Manfaat Keberadaan
3.942.857,00
Nilai Ekonomi Total
1.244.786.305,00
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2007
1.160.141.198,00 80.400.000,00 302.250,00
191
Lampiran 18. Output analisis komponen utama pengembangan kebijakan AMDAL di masa datang dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas Akar ciri (Eigenvalues) Faktor
Eigenvalue
% Total Variance
Cumulative Eigenvalue
Cumulative %
1
7.581975
25.27325
7.58198
25.2733
2
6.475323
21.58441
14.05730
46.8577
3
5.976343
19.92114
20.03364
66.7788
4
4.547562
15.15854
24.58120
81.9373
5
3.136916
10.45639
27.71812
92.3937
6
2.281880
7.60627
30.00000
100.0000
Korelasi variabel terhadap Faktor (Faktor Loadings) Variabel
Factor 1 Factor 2 Factor 3 Factor 4 Factor 5
Factor 6
DAM
0.572315 0.668309 -0.175141 0.164647 0.291000
0.288712
PEM
0.631812 0.282424 0.402482 -0.126324 -0.578404
-0.092467
KOM
0.433909 -0.588774 -0.047886 0.090932 0.650822
-0.175887
EFI
0.780436 -0.531174 -0.078891 0.249747 0.199162
-0.022619
PMA
0.287117 -0.744378 -0.217735 0.158115 -0.181278
0.508128
PER
0.321887 -0.610896 -0.358335 0.619594 0.082598
0.063801
ASP
-0.065825 0.145063 0.026324 0.525801 -0.308308
-0.776151
NEL
-0.333307 0.828284 0.207863 0.006437 0.397837
0.036453
KET
0.673554 0.150831 0.370755 0.537225 0.019316
0.311659
KEL
-0.740202 0.457702 -0.045598 -0.036489 0.397277
-0.285253
SDM
-0.067131 -0.126517 -0.900558 0.073379 -0.307393
0.261929
AKR
-0.698597 0.242914 0.604627 0.166308 0.209087
0.126515
TEV
0.062316 0.076154 -0.234570 0.063624 -0.894152
-0.362957
PEL
-0.367453 -0.277770 -0.505995 0.702820 -0.056711
-0.186060
TLM
-0.037097 0.820541 0.025622 0.397996 -0.292256
0.284369
MET
-0.672690 -0.450729 0.368219 0.037076 -0.195231
0.411408
PDK
-0.437703 -0.521981 0.611848 -0.028950 0.394042
0.074071
TPM
-0.294854 -0.435724 0.527832 0.649084 -0.152476
0.006238
RPL
0.519144 -0.060685 0.624669 0.570415 -0.102748
0.025802
INT
0.140138 0.256923 0.221134 0.581552 0.521930
-0.504815
SUB
0.861342 0.139896 -0.163321 -0.365501 -0.082282
-0.267365
KTR
0.023969 0.178216 0.913453 -0.255431 -0.257579
0.040941
HUK
0.397941 0.265276 -0.800348 -0.282867 0.193253
0.115559
192
Variabel
Factor 1 Factor 2 Factor 3 Factor 4 Factor 5
Factor 6
KTL
0.783056 -0.056537 0.244456 -0.511839 0.048272
-0.244047
KAD
0.211708 0.773777 -0.301940 0.471693 0.127226
0.163096
PRO
0.673554 0.150831 0.370755 0.537225 0.019316
0.311659
PEA
0.767618 0.178686 0.582782 0.157066 -0.025141
-0.117886
EST
0.566712 -0.681228 -0.099773 -0.278456 0.331501
-0.131836
SIM
0.209503 0.753345 -0.551657 0.184016 0.184910
0.127281
TLG
-0.367453 -0.277770 -0.505995 0.702820 -0.056711
-0.186060
Kontribusi variabel terhadap faktor Variabel Factor 1 Factor 2 Factor 3 Factor 4 Factor 5
Factor 6
DAM
0.043200 0.068975 0.005133 0.005961 0.026995
0.036529
PEM
0.052649 0.012318 0.027106 0.003509 0.106650
0.003747
KOM
0.024832 0.053535 0.000384 0.001818 0.135027
0.013557
EFI
0.080333 0.043572 0.001041 0.013716 0.012645
0.000224
PMA
0.010873 0.085571 0.007933 0.005498 0.010476
0.113150
PER
0.013666 0.057633 0.021485 0.084418 0.002175
0.001784
ASP
0.000571 0.003250 0.000116 0.060794 0.030302
0.263997
NEL
0.014652 0.105949 0.007230 0.000009 0.050455
0.000582
KET
0.059836 0.003513 0.023001 0.063465 0.000119
0.042566
KEL
0.072263 0.032352 0.000348 0.000293 0.050313
0.035659
SDM
0.000594 0.002472 0.135703 0.001184 0.030122
0.030066
AKR
0.064368 0.009113 0.061170 0.006082 0.013936
0.007014
TEV
0.000512 0.000896 0.009207 0.000890 0.254871
0.057732
PEL
0.017808 0.011915 0.042841 0.108620 0.001025
0.015171
TLM
0.000182 0.103977 0.000110 0.034832 0.027229
0.035438
MET
0.059683 0.031374 0.022687 0.000302 0.012151
0.074174
PDK
0.025268 0.042077 0.062640 0.000184 0.049497
0.002404
TPM
0.011467 0.029320 0.046618 0.092645 0.007411
0.000017
RPL
0.035546 0.000569 0.065293 0.071549 0.003365
0.000292
INT
0.002590 0.010194 0.008182 0.074370 0.086840
0.111679
SUB
0.097852 0.003022 0.004463 0.029376 0.002158
0.031327
KTR
0.000076 0.004905 0.139617 0.014347 0.021150
0.000735
HUK
0.020886 0.010868 0.107182 0.017595 0.011906
0.005852
KTL
0.080873 0.000494 0.009999 0.057609 0.000743
0.026101
KAD
0.005911 0.092464 0.015255 0.048926 0.005160
0.011657
193
Variable
Factor 1 Factor 2 Factor 3 Factor 4 Factor 5 Factor 6
PRO
0.059836 0.003513 0.023001 0.063465 0.000119
0.042566
PEA
0.077716 0.004931 0.056830 0.005425 0.000201
0.006090
EST
0.042359 0.071668 0.001666 0.017050 0.035032
0.007617
SIM
0.005789 0.087645 0.050922 0.007446 0.010900
0.007100
TLG
0.017808 0.011915 0.042841 0.108620 0.001025
0.015171
Proyeksi variabel terhadap faktor utama 1 dan 2 Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2) 1.0 NEL
TLM
KAD SIM DAM
KEL
Factor 2 : 21.58%
0.5
INT KTR ASP TEV
AKR
0.0
HUK PEM PEA PRO KET SUB RPL
SDM
KTL
TLG PEL MET -0.5
TPM PDK
KOM PER EST PMA
EFI
-1.0 -1.0
-0.5
0.0 Factor 1 : 25.27%
0.5
1.0
Active
194
Keterangan: No. Komponen 1. Dampak penting 2. Keadaan darurat/emergency 3. Komisi AMDAL 4. Efisiensi penyusunan 5. Pelingkupan 6. Metode studi 7. Aspek sosial ekonomi 8. Keterlibatan masyarakat 9. Analisis TEV 10. Kelengkapan dokumen 11. Penyusun AMDAL 12. Substansi dokumen 13. Prosedur penyusunan 14. Teknologi pengelolaan limbah minyak 15. Teknologi pengelolaan limbah gas 16. Kontribusi PDRB 17. Taraf pendidikan dan Kesehatan 18. Tumpahan Minyak 19. RKL/RPL secara dinamis dapat diperbaharui seiring dengan perubahan teknologi yang digunakan 20. Integrasi keadaaan darurat dengan AMDAL 21. Pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat merupakan bagian dari anggota komisi AMDAL 22. Simplifikasi penyusunan AMDAL 23. Peningkatan SDM komisi AMDAL pusat 24. Mekanisme keterlibatan masyarakat lokal yang jelas 25. Penetapan proporsi/persentase pembiayaan studi yang jelas/baku 26. Estimasi pembiayaan pengelolaan lingkungan selama umur kegiatan dengan mempertimbangkan teknologi alternatif, sesuai dengan perkembangan teknologi 27. AMDAL sebagai dokumen yang berkekuatan hukum 28. Pengembangan metodologi AMDAL 29. Perlu akreditasi lembaga penyusun AMDAL 30. Pengkajian nilai ekonomi lingkungan
Simbol DAM KEA KOM EFI PEL MET ASP KTL TEV KEL PEA SUB PRO TLM TLG KTR PDK TPM RPL INT PEM SIM SDM KET PER EST
HUK PMA AKR NEL
195
Lampiran 19. Hasil analytical hierarchy process strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas dalam mencegah kerusakan lingkungan
Model Name: AHP-OK Treeview
Goal: Stretegi Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas dalam Mencegah Kerusakan Lingkungan PENYUSUN (L: .297) EFEKTIF (L: .500) Operasional (L: .540) Menjadi Acuan (L: .163) Implementasi (L: .297) EFISIEN (L: .500) Biaya (L: .286) Waktu (L: .143) SDM (L: .571) PEMRAKARSA (L: .163) EFEKTIF (L: .500) Operasional (L: .286) Menjadi Acuan (L: .143) Implementasi (L: .571) EFISIEN (L: .500) Biaya (L: .571) Waktu (L: .286) SDM (L: .143) KOMISI DAN TIM TEKNIS (L: .540) EFEKTIF (L: .500) Operasional (L: .400) Menjadi Acuan (L: .400) Implementasi (L: .200) EFISIEN (L: .500) Biaya (L: .143) Waktu (L: .286) SDM (L: .571)
196
Model Name: AHP-OK Priorities with respect to: Goal: Stretegi Pengembangan Kebi...
KOMISI DAN TIM TEKNIS PENYUSUN
.540 .297 .163
PEMRAKARSA Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments.
Model Name: AHP-OK Synthesis: Summary
Synthesis with respect to: Goal: Stretegi Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas dalam Mencegah Kerusakan Lingkungan
Overall Inconsistency = .01 Peningkatan Kualitas Dokumen Penyempurnaan Prosedur Penguatan Hukum dan
.441 .263 .296