e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN CORE BERBANTUAN MEDIA KONKRET TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS V SD Ni Md. Ayu Beniasih1, I Md .Suarjana2, Ni Wyn. Rati3 1,2,3
Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar, FIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
e-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran CORE berbantuan media konkret dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V di SD Gugus I Kecamatan Jembrana Tahun Pelajaran 2014/2015. Jenis penelitian ini adalah penelitian quasi eksperimen dan menggunakan desain non equivalent post-test only control group design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V di SD Gugus I Kecamatan yang berjumlah 169 orang. Sampel penelitian ini adalah SD Negeri 1 Perancak berjumlah 33 orang sebagai kelompok eksperimen dan SD Negeri 1 Sangkaragung berjumlah 30 orang sebagai kelompok kontrol. Teknik pengambilan sampel adalah simple random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan instrumen tes hasil belajar berbentuk tes obyektif, kemudian dianalisis menggunakan analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial (ujit). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran CORE berbantuan media konkret dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional. Perbandingan rata-rata hasil belajar IPA siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran CORE berbantuan media konkret lebih besar dari siswa yang dibelajarkan dengan model konvensional (23,36 >19,06). Kata Kunci: CORE, media konkret, hasil belajar. Abstract This study aims to determine the differences in learning outcomes science among group of students who learned with the CORE learning model assisted concrete media with conventional model the fifth grade students in the academic year 2014/2015 in primery schools in the cluster I of Jembrana District. This research was a quasi experimental research design and using non-equivalent post only control group design. The population of this study were all fifth grade student in elementary group Jembrana District I with the amount of 169 student. The sample of this study were fifth grade students in SD Negeri 1 Perancak with 33 students as an experimental group and fifth grade students in SD Negeri 1 Sangkaragung with 30 students as the control group. The sample of the study was take by simple random sampling technique. The collected data of this research had conducted with learning outcomes test instruments in the form used objective tests, and the had analyzed using descriptive statistics and inferential statistics (t-test). The results of reseach showed there were significant differences in learning outcomes in science among group of students who learned with the CORE model assisted concrete media with conventional model. The comparison of the results average of students in learning outcomes science the students who learned with CORE model assisted concrete media was higher than students who learned with conventional model (23,36 >19,06). Keyword: CORE, concrete media, learning outcomes
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 PENDAHULUAN Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penting yang harus dilakukan untuk menghadapi tantangan di era globalisasi, sehingga nantinya sumber daya manusia di Indonesia memiliki daya saing yang tinggi. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas di bidang pendidikan. Pendidikan merupakan modal utama dan memegang peranan penting bagi suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dimilikinya. Lembaga pendidikan dituntut lebih dapat menyesuaikan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi (IPTEK) seiring dengan perkembangan dunia pendidikan yang semakin pesat. Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehinga memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negaranya. Tujuan pendidikan tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2013 yaitu untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sejalan dengan tujuan pendidikan, bahwa pendidikan bukan hanya memberikan suatu pengetahuan atau keterampilan tetapi diharapkan nantinya membantu siswa untuk dapat mengembangkan potensi diri yang dimiliki. Pengembangan potensi diri diharapkan dapat memunculkan generasi muda yang unggul dalam bidangnya dan dapat hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun kenyataannya saat ini kualitas pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah, berdasarkan data dari Programne For International Assesment (PISA) kualitas
pendidikan di Indonesia menempati peringkat ke 64 dari 65 Negara (Kompas, 2012). Sejalan dengan laporan tersebut, Berdasarkan data The Learning Curve Pearson 2014 yaitu sebuah lembaga pemeringkatan pendidikan dunia, memaparkan jika Indonesia menduduki posisi terakhir dalam mutu pendidikan di seluruh dunia. Indonesia menempati posisi ke-40 dari 40 Negara dengan indeks rangking dari nilai secara keseluruhan yakni minus 1,84. Sementara pada kategori kemampuan kognitif indeks rangking tahun 2014 versus tahun 2012, Indonesia diberi nilai -1,71 (Okezone, 2014). Dari beberapa hasil survei tersebut, terlihat bahwa kualitas dan mutu pendidikan di Indonesia tergolong rendah dan masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lainnya di dunia. Ada banyak faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan, salah satunya yaitu pengelolaan pendidikan yang belum optimal. Pengelolaan pendidikan harus berorientasi kepada bagaimana menciptakan perubahan yang lebih baik untuk meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan adalah kurikulum. Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam sistem pendidikan, sebab dalam kurikulum bukan hanya dirumuskan tentang tujuan yang harus dicapai sehingga memperjelas arah pendidikan, akan tetapi juga memberikan pemahaman tentang pengalaman belajar yang harus dimiliki setiap siswa. Kurikulum merupakan suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar-mengajar dibawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya (Nasution, 2009). Tujuan pengembangan kurikulum adalah terutama untuk mengatasi masalahmasalah dan tantangan berupa kompetensi riil yang dibutuhkan oleh dunia kerja, globalisasi, membangun kualitas manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan menjadi warga Negara yang bertanggung jawab. Oleh sebab itu, kurikulum akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran pada
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 semua mata pelajaran, salah satunya yaitu pada mata pelajaran IPA. Pembelajaran IPA sesuai dengan peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 menyatakan bahwa, Tujuan pembelajaran IPA SD adalah agar peserta didik memiliki kemampuan yaitu, (1) memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya, (2) mengembangkan pengetahuan, hasil belajar-konsep IPA yang bermanfaat, dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, (3) mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan hubunga sehari-hari, (4) mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan, (5) meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam, (6) meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan, dan (7) memperoleh bekal penetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs. Pembelajaran yang berorientasi terhadap target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat jangka pendek, namun gagal dalam
membekali siswa memecahkan persoalanpersoalan dalam kehidupan jangka panjang (Depdiknas, 2002). Pembelajaran IPA di SD hendaknya membuka kesempatan untuk memupuk rasa ingin tahu peserta didik secara alamiah. Hal tersebut dapat membantu peserta didik untuk mengembangkan kemampuan bertanya, mencari jawaban atas fenomena alam berdasarkan bukti serta mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah (Samatowa, 2006). Namun kenyataannya pembelajaran IPA di Sekolah Dasar masih belum berjalan secara optimal. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara diketahui bahwa kegiatan pembelajaran IPA belum menunjukkan upaya meningkatkan tiga ranah dalam pembelajaran yaitu ranah afektif, psikomotor dan kognitif. Wawancara dilakukangan dengan guru kelas V SD di Gugus 1 Kecamatan Jembrana. Menurut Susanto (2013), hasil belajar adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada diri peserta didik, baik yang menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai hasil dari kegiatan belajar. Hasil belajar siswa adalah kemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui kegiatan belajar. Masih rendahnya hasil belajar IPA siswa kelas V di Gugus I Jembrana dapat dilihat dari nilai Ulangan Akhir Semester Ganjil. Nilai rata-rata siswa disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Nilai rata-rata ulangan akhir semester ganjil pada pelajaran IPA siswa kelas V SD di gugus I Jembrana. No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama SD SDN 1 Sangkaragung SDN 2 Sangkaragung SDN 1 Perancak SDN 2 Perancak SDN 1 Yeh Kuning SDN 2 Yeh Kuning SDN 1 Air Kuning SDN 2 Air Kuning Total
Berdasarkan nilai ulangan akhir semester ganjil siswa kelas V untuk mata pelajaran IPA di Gugus I Jembrana, nilai
Jumlah 30 Siswa 7 Siswa 33 Siswa 15 Siswa 26 Siswa 20 Siswa 28 Siswa 10 Siswa 169 Siswa
Nilai Rata-Rata 65,79 64,93 65,86 65,43 65,42 66,70 66,07 65,70 65,74
rata-rata hasil belajar IPA siswa kelas V adalah 65,74 sehingga belum memenuhi
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 70. Rendahnya hasil belajar siswa di kelas berdasarkan hasil observasi lebih banyak disebabkan karena model pembelajaran yang digunakan guru dalam proses pembelajaran sering menggunakan pembelajaran konvensional atau ceramah. Dengan metode ceramah, siswa tidak diberikan kesempatan untuk menemukan konsep-konsep yang dipelajari. Belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami apa yang akan dipelajarinya, bukan sekadar hafal terhadap materi pelajaran. Pembelajaran yang bermakna dapat meningkatkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa. Selanjutnya guru kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Seharusnya peserta didik belajar secara aktif dan dapat mengembangkan pengetahuannya yang telah diperoleh melalui pembelajaran langsung. Seharusnya guru dapat memanfaatkan berbagai sumber belajar atau media pembelajaran untuk menunjang proses pembelajaran. Guru cenderung hanya menggunakan buku paket dalam proses pembelajaran. Belum adanya inovasi atau kreativitas guru untuk menggunakan media pembelajaran. Guru kurang memanfaatkan lingkungan sekitar siswa sebagai sumber belajar, padahal seorang guru dituntut untuk melaksanakan pembelajaran yang konseptual. Hamalik (dalam Azhar, 2010) mengemukakan bahwa pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruhpengaruh psikologis terhadap siswa. Penggunaan media pembelajaran pada tahap orientasi akan sangat membantu keaktifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan dan isi pelajaran pada saat itu. Selain membangkitkan motivasi dan minat siswa, media pembelajaran juga dapat membantu siswa meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan
memadatkan informasi. Salah satu media pembelajaran yang dapat digunakan adalah media konkret. Media konkret adalah segala sesuatu yang nyata dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sehingga proses pembelajaran dapat berjalan lebih efektif dan efesien menuju kepada tercapainya tujuan yang diharapkan (Winataputra, 2005). Media kongkret dapat memberikan gambaran langsung atau nyata tentang suatu yang dipelajari. Dengan menggunakan media konkret siswa akan lebih mudah dalam memahami proses pembelajaran, memberikan pengalaman nyata, dan membangkitkan pertanyaan-pertanyaan atau gagasan-gagasan. Sehingga dengan menggunakan media kongkret yang mengajak siswa mengamati secara langsung objek yang sedang dipelajari nantinya akan meningkatkan hasil belajar siswa. Berdasarkan permasalahan tersebut maka perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa yaitu dengan menggunakan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) berbantuan media konkrit. Model pembelajaran CORE merupakan suatu pembelajaran yang menekankan pada kemampuan siswa untuk menghubungkan, mengorganisasikan, mendalami, mengelola, dan mengembangkan informasi yang didapat. Menurut Calfee (dalam Yuniarti, 2013), model pembelajaran CORE dilakukan dalam 4 tahapan yaitu, (1) tahap connecting, artinya guru menyampaikan konsep lama yang akan dihubungkan dengan konsep baru kepada siswa, (2) tahap organizing, artinya siswa mengorganisasikan ide-ide untuk memahami materi yang akan dipelajari melalui berbagai kegiatan belajar dengan bimbingan guru, (3) tahap reflecting, artinya siswa bersama anggota kelompok memikirkan kembali dan mendalami informasi yang sudah didapat dalam kegiatan belajar, (4) tahap extending, artinya siswa mampu mengembangkan, memperluas,
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 menggunakan, dan menemukan melalui pekerjaan masalah yang lebih kompleks bersama kelompok. Melalui tahapan pembelajaran tersebut, siswa diberi kesempatan untuk aktif berpendapat, membangun pengetahuan sendiri dan mencari solusi. Hal ini akan memberikan pembelajaran yang bermakna bagi siswa, dengan model pembelajaran CORE diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa dilihat dari ranah kognitif. Agar pembelajaran menjadi lebih efektif dan efisien, model pembelajaran CORE dipadukan dengan media pembelajaran yaitu media konkret. Media pembelajaran akan membantu siswa untuk lebih memahami materi yang disampaikan.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran CORE berbantuan media konkret dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V di SD Gugus I Kecamatan Jembrana Tahun Pelajaran 2014/2015. METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu (quasi experimen). Desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah non equivalent posttest only control group design yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Non Equivalent Post-Test Only Control Group Design Kelas (Eksperimen) (Kontrol)
Treatment (x) -
Tempat pelaksanaan penelitian adalah di SDN Gugus I Kecamatan Jembrana pada rentang waktu semester II tahun pelajaran 2014/2015 dimulai dari bulan april sampai bulan mei. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V di SDN I Kecamatan Jembrana. Gugus ini terdiri dari 8 sekolah yaitu SDN 1 Sangkaragung, SDN 2 Sangkaragung, SDN 1 Perancak, SDN 2 Perancak, SDN 1 Yehkuning, SDN 2 Yehkuning, SDN 1 Air Kuning, SDN 2 Air Kuning. Jumlah siswa keseleuruhan adalah 169 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik simple random sampling tetapi yang di random adalah kelas. Teknik ini digunakan sebagai teknik pengambilan sampel karena individuindividu pada populasi telah terdistribusi ke dalam kelas-kelas sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pengacakan terhadap individu-individu dalam populasi sehingga tidak memungkinkan untuk mengubah kelas yang sudah ada. Kelas-kelas tersebut adalah kelas V dari masing-masing SD di Gugus I Kecamatan Jembrana. Dari 8 SD
Post test O1 O2 (Sumber: Sukardi, 2012:173) yang ada di Gugus I Kecamatan Jembrana, dilakukan pengundian untuk mengambil dua kelas yang dijadikan sampel penelitian. Sampel atau cuplikan adalah sebagian dari jumlah populasi yang dipilih untuk sumber data (Sukardi, 2012). Berdasarkan hasil simple random sampling, yang menjadi sampel penelitian adalah SD Negeri 1 Perancak dan SD Negeri 1 Sangkaragung. Berdasarkan hasil pengundian selanjutnya diperoleh siswa kelas V SD Negeri 1 Perancak sebagai kelas eksperimen dan siswa kelas V SD Negeri 1 Sangkaragung sebagai kelas kontrol. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajan CORE berbantuan media konkret dan variabel terikatnya adalah hasil belajar. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode tes. “Tes adalah cara yang dapat digunakan atau prosedur yang perlu ditempuh dalam rangka pengukuran dan penelitian di bidang pendidikan, yang berbentuk pemberian tugas atau serangkaian tugas” (Sudijono, 2011:67). Instrumen yang digunakan untuk
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 memperoleh data tentang hasil belajar siswa dalam penelitian ini berupa tes objektif. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dan statistik inferensial (uji-t). Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis data dengan menghitung mean, median, modus, standar deviasi dan varians. Dalam penelitian ini data disajikan dalam bentuk grafik poligon. Statistik inferensial digunakan untuk menguji hipotesis. Sebelum uji hipotesis, dilakukan uji prasayarat yaitu uji
normalitas dan uji homogenitas. Metode analisis data untuk menguji hipotesis menggunakan uji-t dengan rumus polled varians. HASIL DAN PEMBAHASAN Data penelitian ini adalah skor hasil belajar IPA siswa sebagai akibat dari penerapan model pembelajaran CORE berbantuan media konkret pada kelompok eksperimen dan model pembelajaran konvensional pada kelompok kontrol. Rangkuman hasil analisis data deskriptif disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rekapitulasi hasil perhitungan skor hasil belajar IPA Statistik
Kelompok Eksperimen
Kelompok Kontrol
Mean Median Modus Varians Standar deviasi
23,36 24 26,4 18,24 4, 27
19,06 18,5 16,37 19,2 4,38
Data hasil belajar IPA kelompok eksperimen dapat disajikan ke dalam bentuk kurva poligon, seperti pada Gambar 1.
M= 23,36 Md = 24
Mo = 26,4
Gambar 1. Poligon Data Hasil Belajar IPA Kelompok Eksperimen
Berdasarkan poligon pada gambar 1, diketahui modus lebih besar dari median dan median lebih besar dari mean (Mo>Md>M) yaitu 26,4>24>23,36. Dengan demikian, kurva di atas adalah kurva juling negatif yang berarti sebagian besar skor cenderung tinggi. Untuk mengetahui tinggi rendahnya variabel hasil belajar IPA siswa, skor ratarata hasil belajar IPA siswa dikonversikan dengan menggunakan kriteria rata-rata ideal (Xi) dan standar deviasi ideal (SDi). Dari hasil perhitungan Xi dan SDi maka diperoleh skor rata-rata hasil belajar ekperimen termasuk katagori sangat tinggi. Distribusi hasil belajar kelompok kontrol disajikan ke dalam bentuk kurva poligon, seperti pada Gambar 2.
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015
hitung hasil chi-kuadrat, diperoleh posttest hasil belajar IPA kelompok 2 eksperimen adalah 4,92 dan tabel dengan taraf signifikansi 5% dan db = 3 2 adalah 7,81. Hal ini berarti, hitung lebih 2
kecil dari tabel ( hitung tabel ) yaitu 4,92 < 7,81, sehingga data post test hasil belajar IPA kelompok eksperimen berdistribusi normal. Dan data posttest hasil belajar IPA kelompok kontrol, 2 diperoleh hitung hasil data posttest IPA 2
Mo = 16,73 M= 19,06
2
2
kelompok kontrol adalah 3,29 dan tabel dengan taraf signifikansi 5% dan db = 3 2 adalah 7,81. Hal ini berarti, hitung lebih 2
Md = 18,5
Gambar 2. Poligon Data Hasil Belajar IPA Kelompok Kontrol
kecil dari tabel ( hitung tabel ) yaitu 3,29 < 7,81, sehingga data post test hasil belajar IPA kelompok kontrol berdistribusi normal. Berdasarkan perhitungan homogenitas diketahui bahwa nilai Fhitung 1,073. Sedangkan nilai Ftabel dengan dbpembilang = 33, dbpenyebut = 30, dan taraf signifikansi 5% adalah 1,85. Hal ini berarti Fhitung < Ftabel sehingga varians data hasil belajar IPA kelompok eksperimen dan kontrol adalah homogen. Pengujian hipotesi dilakukan dengan menggunakan uji-t dengan rumus polled vaians. Rangkuman hasil perhitungan uji-t antara kelompok eksperimen dan kontrol disajikan pada Tabel 4. 2
Pada kelompok kontrol diketahui mean lebih besar dari median dan median lebih besar dari modus (M>Md>Mo) yaitu 19,06>18,5>16,73. Dengan demikian, pada grafik poligon menunjukkan kurva juling positif yang berarti sebagian besar skor cenderung rendah. Berdasarkan konversi pedoman skala lima, rata-rata skor (mean) = 19,06 yang berada pada kategori tinggi. Uji prasyarat analisis dilakukan sebelum uji hipotesis meliputi uji normalitas sebaran data dan uji homogenitas varians. Berdasarkan hasil uji prasyarat analisis dipeloleh data hasil belajar IPA kelompok eksperimen dan kontrol adalah normal dan varians kedua kelompok homogen. Berdasarkan hasil perhitungan normalitas dengan menggunakan rumus
2
2
Tabel 4. Rangkuman Hasil Perhitungan Uji-t Data Hasil Belajar
Kelompok Eksperimen
N 33
23,36
s2 18,2
Kontrol
30
19,02
19,2
Berdasarkan hasil perhitungan uji-t di atas, diperoleh thit sebesar 3,935, sedangkan ttab pada taraf signifikan 5% sebesar 1,999. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa thit lebih besar dari ttab (3,935 > 1,999), sehingga Ho ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat
X
thitung
ttabel
3,935
1,999
diinterprestasikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model CORE berbantuan media konkret dengan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 menggunakan model pembelajaran konvensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil belajar IPA antara kelompok yang dibelajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe CORE berbantuan media konkret dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V di SD Gugus I Kecamatan Jembrana. Hal ini berdasarkan pada ratarata skor hasil belajar IPA siswa. Rata-rata skor hasil belajar IPA yang mengikuti pembelajaran dengan model CORE adalah 23,36 dan rata-rata skor hasil belajar IPA siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional adalah 19,06. Berdasarkan hasil analisis uji-t yang telah dilakukan, diketahui thitung > ttabel (3,93>1,99). Hal ini berarti hipotesis alternatif (H1) diterima dan hipotesis nol (H0) ditolak. Jadi terdapat perbedaan signifikan hasil belajar IPA antara kelompok yang dibelajarkan dengan model pembelajaran kooperatif CORE berbantuan media konkret dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V di SD Gugus I Kecamatan Jembrana Tahun Pelajaran 2014/2015. Perbedaan hasil belajar siswa antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol dapat juga dilihat berdasarkan perbedaan skor hasil posttest. Hasil posttest kelas eksperimen cenderung tinggi. Hal ini dapat diketahui dari hasil analisis deskriptif yang menunjukkan nilai Mo>Md>M (26,4>24>23,36), sehingga grafik juling negatif yang artinya skor cenderung tinggi. Sedangkan hasil posttest untuk kelas kontrol cenderung rendah. Hal ini dapat diketahui dari hasil analisis deskripsi yang menunjukkan nilai Mo<Md<M (19,06>18,5>16,73), sehingga merupakan grafik juling positif yang artinya skor cenderung rendah. Selain itu berdasarkan skala lima penilaian, skor rata-rata hasil posttest kelas eksperimen berada pada kategori atau klasifikasi sangat tinggi. Sedangkan skor rata-rata hasil posttest kelas kontrol berada pada kategori atau klasifikasi tinggi.
Perbedaan hasil belajar IPA yang diperoleh siswa disebabkan karena adanya perbedaan perlakuan (treatment) yang diberikan kepada tiap kelas. Kelas eksperimen diberikan perlakuaan dengan model pembelajaran CORE berbantuan media konkret sedangkan kelas kontrol diberikan perlakuan dengan model pembelajaran konvensional. Dengan model pembelajaran CORE berbantuan media konkret, siswa akan lebih mudah dalam memahami materi pelajaran, karena dapat memberikan gambaran langsung atau nyata tentang suatu yang dipelajari. Model pembelajaran CORE merupakan model pembelajaran yang dimulai dari mengoneksikan pengetahuan sendiri dengan cara menghubungkan dan mengorganisakan pengetahuan lama kemudian memikirkan kembali konsep yang sedang dipelajari sehingga siswa dapat memperluas pengetahuan mereka selama proses pembelajaran. Model pembelajaran CORE merupakan model pembelajaran kooperatif yang menekankan siswa belajar secara berkelompok saling membantu satu sama lain, bekerjasaman untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Model pembelajaran CORE menekankan pada kemampuan berpikir siswa untuk menghubungkan, mengorganisasikan, mendalami, mengelola dan mengembangkan informasi yang diperolehnya. Model pembelajaran CORE memiliki 4 langkah-langkah kegiatan yaitu connecting, organizing, reflecting, extending. Connecting merupakan mengkoneksikan informasi lama dan informasi baru diantara konsep. Organizing merupakan kegiatan mengorganisasikan ide-ide untuk memahami materi. Reflekting merupakan kegiatan untuk memikirkan kembali, mendalami, dan menggali informasi yang sudah didapat. Sedangkan extending merupakan kegiatan untuk mengembangkan, memperluas, menggunakan, dan menemukan. Pada tahap Connecting, proses pembelajaran IPA dilakukan dengan mempertimbangkan pengetahuan awal siswa. Guru memberikan pertanyaanpertanyaan pada siswa yang mengarahkan siswa untuk menggali pengetahuan yang dimilikinya terkait dengan materi sehingga
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 siswa menjadi aktif sejak awal pembelajaran. Kesan siswa di awal pembelajaran sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran selanjutnya. Siswa akan lebih merasa siap untuk mengikuti pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Meier (2002) yang menyatakan bahwa langkah awal pembelajaran akan mempengaruhi proses pembelajaran selanjutnya. Pembelajaran IPA yang dilakukan dengan mempertimbangkan pengetahuan awal siswa, memberikan kesempatan kepada siswa menemukan relevansi pengetahuan yang akan dipelajari dengan pengetahuan yang dimiliki. Hal tersebut, membantu siswa lebih termotivasi lagi dalam mencari sumber-sumber yang relevan dalam menyelesaikan masalah yang akan dipecahkan. Hai ini sejalan dengan pendapat Wahyudi (2002) yang menyatakan bahwa pembelajaran IPA senantiasa dapat mengantarkan siswa menguasai konsep-konsep dan keterkaitannya untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap Organizing, siswa dilibatkan secara aktif untuk menggunakan media yang diberikan sehingga siswa mengalami sendiri proses belajarnya dan pembelajaran akan menjadi menyenangkan. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Meier (2002) yang menyatakan bahwa penciptaan kegembiraan jauh lebih penting daripada segala teknik metode maupun media yang digunakan. Kegiatan pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa mampu menciptakan emosi positif sehingga siswa memiliki perhatian yang lebih pada saat proses pembelajaran. Pada tahap ini, guru memberikan kesempatan pada siswa untuk berdiskusi. Kegiatan pembelajaran, dengan memberikan kesempatan siswa unjuk kerja dan berdiskusi, maka interaksi siswa dapat terjalin, terjadi sharing pendapat yang dilandasi argumen yang logis dan ilmiah. Selain itu melalui kegiatan unjuk kerja dan diskusi dapat mempermudah siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki dengan berbagai konsep atau pengetahuan yang diperoleh selama diskusi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Calfee (dalam Jacob, 2011) yang
menyatakan bahwa siswa mampu menggambarkan dan menghubungkan pengetahuan yang diketahuinya melalui diskusi/kerjasama. Selama tahap organizing guru memberikan apresiasi terhadap usaha yang dilakukan siswa, partisipasi siswa, dan keberhasilan siswa dalam mengikuti pembelajaran. Sehingga siswa lebih termotivasi dan siswa dapat mengembangkan dirinya untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru. Pada tahap Reflekting dan Extending, siswa diberikan kesempatan untuk merefleksi kembali pengetahuan yang diperolehnya saat diskusi berlangsung dan menggambarkan dengan gaya bahasa sendiri. Setelah itu siswa menggunakan/menerapkan pengetahuan tersebut untuk menyelesaikam permasalahan atau persoalan yang diberikan guru. Paparan di atas menjadi pendukung bahwa model pembelajaran CORE berpengaruh terhadap hasil belajar IPA dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. Selain hal tersebut, penggunaan media konkret dalam kelas eksperimen sangat membantu siswa dalam belajar karena dengan menggunakan media konkret pembelajaran lebih menarik dan siswa akan lebih cepat memahami materi yang diajarkan. Media konkret ini digunakan oleh guru ketika memberikan materi awal kepada siswa. Sehingga siswa lebih memahami materi yang dijelaskan oleh guru. Selain itu media konkret digunakan ketika siswa melakukan praktikum. Siswa akan melakukan percobaan dengan memanfaatkan media konkret yang ada, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Media konkret yang digunakan berada dilingkungan sekitar seperti tumbuh-tumbuhan, tanah, air, dan pemanas air. Media kongkret dapat memberikan gambaran langsung atau nyata tentang suatu yang dipelajari. Berdasarkan pemaparan tersebut model pembelajaran CORE berbantuan media konkret dapat membantu siswa dalam belajar karena dalam pembelajaran siswa menjadi aktif, pembelajaran akan lebih menarik dan siswa akan lebih memahami materi karena dilibatkan secara langsung.
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 Pada kelas kontrol diterapkan model pembelajaran konvensional, dimana pembelajaran lebih didominasi oleh guru. Dalam pemberian materi guru hanya menggunakan metode ceramah dan tanya jawab. Ketika guru memberikan penjelasan kepada siswa, akan diselingi dengan melakukan tanya jawab. Selanjutnya guru kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Siswa menunggu sampai guru selesai menjelaskan kemudian mencatat apa yang diberikan oleh guru tanpa memaknai konsep-konsep yang diberikan. Dimana siswa dalam belajar terpisah dengan dunia nyata (tidak kontekstual) sehingga proses belajar menjadi kurang bermakna. Melalui model pembelajaran konvensional siswa cenderung menjadi objek belajar, sedangkan yang menjadi subjek belajar adalah guru. Kemudian guru berusaha memindahkan pengetahuan yang guru miliki kepada siswa. Siswa dianggap mengerti apabila siswa bisa menjawab atau menjelaskan kembali apa yang telah dijelaskan oleh guru. Dalam proses pembelajaran konvensional hanya terjadi interaksi satu arah yaitu interaksi guru ke siswa. Hal ini tentunya akan membuat siswa menjadi pasif, sehingga siswa kurang beraktivitas pada proses/kegiatan pembelajaran. Selain itu, pada pembelajaran konvensional masih menggunakan penilaian yang bersifat konvensional juga. Penilaian ini hanya menilai hasil akhir dari tes atau ulangan saja tanpa memperhatikan proses belajarnya sehingga siswa menjadi tidak memiliki kesempatan untuk berbuat yang terbaik, karena siswa tidak memiliki kesempatan untuk melakukan refleksi terhadap pekerjaannya. Hal ini tentunya tidak mampu membangkitkan semua potensi yang dimilikinya secara optimal. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian tentang penerapan model pembelajaran CORE yang dilakukan oleh Yulia (2013). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran CORE dalam pembelajaran IPS mampu memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap kemampuan berpikir divergen siswa. Hal ini dapat dilihat
dari analisis uji-t, menunjukkan bahwa thit > ttabel (95,87 > 1,671) sehingga hasil penelitian adalah signifikan. Berdasarkan deskripsi data hasil penelitian, terdapat perbedaan yang signifikan pada kemampuan berpikir divergen antara siswa yang dibelajarkan dengan model CORE dengan siswa yang dibelajarkan dengan model konvensional. Sehingga dapat dikatakan bahwa model pembelajaran CORE berpengaruh positf terhadap kemampuan divergen siswa. Model Pembelajaran CORE sudah memberikan pengaruh positif terhadap hasil belajar IPA. Namun, ada beberapa hal yang diduga menjadi penyebab kurang optimalnya model pembelajaran CORE terlaksana di sekolah. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut yaitu, (1) siswa belum memahami dan terbiasa belajar dengan menerapkan model CORE dan menyita waktu yang cukup banyak untuk membiasakan siswa menggunakan model pembelajaran CORE, (2) siswa belum terbiasa melakukan praktikum dalam proses pembelajaran sehingga guru harus menjelaskan secara bertahap dan berulang-ulang apa yang harus dilakukan oleh siswa, (3) Siswa belum terbiasa belajar secara berkelompok, sehingga siswa agak kesulitan dalam kegiaran diskusi. Hasil yang diperoleh setelah menerapan model pembelajaran CORE adalah, (1) temuan dalam penelitian ini membuktikan bahwa secara umum model pembelajaran CORE berbantuan media konkret lebih baik daripada model pembelajaran konvensional dalam meningkatkan hasil belajar IPA. Hal ini dapat dilihat dari pembelajaran model CORE lebih banyak menekankan keterlibatan dan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran, (2) siswa menjadi lebih termotivasi untuk belajar dikelas karena guru memberikan kesempatan lebih banyak ke siswa dalam melakukan percobaan tentang IPA dan guru juga memberikan motivasi kepada siswa melalui apresiasi kepada siswa yang aktif selama proses pembelajaran berlangsung.
e-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD Volume: 3 No: 1 Tahun 2015 SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis hipotesis yang dilakukan diperoleh thitung = 3,935 dan ttabel (pada taraf signifikan 5%) = 1,999. Hal ini menunjukkan bahwa thitung > ttabel (3,935 > 1,999) sehingga H0 ditolak dan H1 diterima atau terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil belajar IPA antara kelompok yang dibelajarkan dengan model pembelajaran kooperatif CORE berbantuan media konkret dan kelompok siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas V di SD Gugus I Kecamatan Jembrana Tahun Pelajaran 2014/2015. Selain itu, diperoleh skor rata-rata siswa yang belajar dengan model pembelajaran CORE berbantuan media konkret yaitu 23,36, sedangkan skor rata-rata siswa yang belajar dengan model pembelajaran konvensional yaitu 19,06. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model pembelajaran CORE berpengaruh terhadap hasil belajar IPA siswa kelas V di SD gugus I Kecamatan Jembrana. Saran yang dapat disampaikian berdasarkan penelitian yang telah dilakukan yaitu, (1) disarankan kepada guru yang mengajar IPA untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe CORE berbantuan media konkret sehingga dapat menciptakan pembelajaran yang lebih bervariasi sehingga tidak membosankan bagi siswa, (2) kepala sekolah hendaknya mengupayakan untuk meningkatkan pembelajaran melalui pengarahan kepada guru untuk menerapkan model pembelajaran yang kreatif dan inovatif seperti model pembelajaran CORE sehingga dapat mengoptimalkan hasil belajar IPA, (3) kepada peneliti yang berminat untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai model pembelajaran CORE dalam pengembangan hasil belajar IPA maupun bidang ilmu lainnya yang sesuai agar memperhatikan kendalakendala yang dialami, untuk perbaikan dan penyempurnaan penelitian yang akan dilaksanakan. DAFTAR RUJUKAN Azhar, A. 2010. Media Pembelajaran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Depdiknas. 2002. Pendekatan kontekstual. Jakarta: Depdiknas. Jacob, C. 2011. Refleksi Pada Refleksi Leson Study (Suatu Pembelajaran Berbasis-Metakognisi). Makalah. Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Meier, Dave. 2002. Panduan kreatif dan efektif merancang program pendidikan dan pelatihan. Terjemahan Rahmawati Astuti. The Accelerated Learning Handbook. 2002. Cetakan Ke-1. Bandung: Kaifa. Nasution, S. 2009. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Samatowa, Usman. 2010. Bagaimana Membelajarkan IPA di Sekolah Dasar. Jakarta: PT Indeks. Susanto,
A. 2013. Teori Belajar Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Prenadamedia Group.
Wahyudi. 2002. Tingkat Pemahaman Siswa Terhadap Materi Pembelajaran IPA. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan NO. 036. Tahun ke-8, Mei 2002. 389-401. Tersedia pada: http//jurnal.pdii.lipi.go.id/index.php/. Diakses tanggal 11 Mei 2015. Winataputra, U.S. 2.005. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Yulia. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Connecting Organizing Reflecting Extending (CORE) Terhadap Kemampuan Berpikir Divergen Siswa Kelas IV Mata Pelajaran IPS. Jurnal Pendidikan. Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.