c 1415 N
PENDUDUK
INDONESIA SELAMA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG TAHAP I
Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan H i d u p Jakarta, 1992
BIBLIOTHEEK^
1 1 1^ |U U| m
0104 0045
PENDUDUK
INDONESIA SELAMA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG TAHAPI D.I.Aceh Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Jakarta, 1992
S E K A P U R SIRIH Pembangunan nasional yangkita lakukan selama hampirseperempatabad ini adalah untuk penduduk, seluruh manusia Indonesia yang menghuni alam Tanah A i r ini. Kcberhasilan pembangunan juga ditentukan oleh penduduk. B a i k oleh penduduknya sebagai sumberdaya manusia bagi kegialan pembangunan. Maupun karena perkembangan dan ciri-cirinya sebagai pemakai hasil pembangunan. Walaupun demikian, kita kadang-kadang kurang memperhatikan apa dan bagaimana pengaruh pembangunan yang sesungguhnya terhadap penduduk dan kependudukan. Demikian pula perhatian mengenai bagaimana perkembangan kependudukan mempengaruhi pembangunan. Andaikala ada, pcrhalian kila selama ini lerulama tcrluju pada pengaruh kegialan pembangunan di seklor Kependudukan dan Kcluarga Berencana terhadap pertumhuiian penduduk. Bcgilu pula sebaliknya. Kaitan anlara kependudukan dengan bidangdan seklor pembangunan lainnya baru kila pcrhalikan sebaias aspek jumlah dan pertumbuhan penduduk sccara umum. Pcrhalian mengenai hal tersebul kini sudah masanya perlu diperluas. Sasaran ulama Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PJPT-II) yang dimulai pada R E P E L I T A - V I , adalah pembangunan kualilas manusia dan masyarakat. Tetapi pembangunan tersebul hanya dapat terlaksana apabila kita memahami pengaruh timbalbalik anlara seliap seklor dengan perkembangan kependudukan. B u k u ini dikeluarkan sebagai langkah pertama untuk meningkalkan pcmahaman tersebut. Perkembangan Kependudukan selama pembangunan berencana pada PJPT-I mcrupakan dasar untuk pengembangan dan pembangunan penduduk kc PJPT-II. Mcskipun PJPT-I bclum scpcnuhnya sclcsai pada waktu penulisan dikerjakan, perkiraan yang dimuat dalam buku ini kiranya dapat memberikan gambaran kasar ten tang potensi kependudukan kila kc masa depan.
Jakarta, 11 Juli 1992 Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
E m i l Salim
iii
KATA PENGANTAR Buku ini mcrupakan bagian dari laporan tentang Perkembangan Kependudukan Selama Pembangunan Jangka Panjang Tahap i ( P J P T I), yang seluruhnya terdiri dari 28 buku. Sebuah buku khusus membahas perkembangan di lingkat nasional scdangkan 27 lainnya membahas secara rinci perkembangan di tingkal propinsi. Bahasan tentang kependudukan dalam kaitannya dengan lingkungan hidup dan pembangunan bcrkclanjutan selama Pembangunan Jangka Panjang Tahap I masih lerbatas dan sangat diperlukan untuk perencanaan pembangunan. Karcna itu buku ini disusun sebagai bahan bagi para pengambil keputusan dan perencana pembangunan dalam menangani program pembangunan, khususnya yang bcrhubungan dengan kependudukan dan lingkungan hidup. Diharapkan pula bahwa laporan ini dapat menjadi masukan bagi P J P T II yang akan da tang. Pcnulisan dalam laporan ini disusun atas bagian kuantitas, kualitas dan mobilitas penduduk, sesuai dengan sistcmatika Undang-undang Perkembangan Kependudukan dan Kcluarga Scjahlera N o . 10 tahun 1992. Selain bidang tersebul juga ditulis bahasan mengenai kependudukan dalam kaitannya dengan lingkungan hidup yang mcrupakan issue penling dalam pembangunan berkelanjutan. Kami mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak, terutama Lcmbaga Dcmografi Fakultas Ekonomi Universilas Indonesia dan Pusat Pcnelitian Kependudukan Universilas Gajah Mada yang tclah membantu dalam persiapan dan koordinasi proscs pcnulisan ini. Demikian pula kepada semua penulis dari Pusal Sludi Kependudukan di 27 Propinsi, pcnyunling dan pakar kependudukan yang tclah memberi masukan bagi penulisan laporan ini. Mudah-mudahan buku ini berguna bagi semua pemerintah, akademisi serla masyarakat luas.
pihak, baik
kalangan
Jakarta, Marl Kependudukan 11 Juli 1992 Asisten Menteri 1 Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Bidang Kependudukan,
M. Alwi Dahlan, Ph.D. V
Penasehat: Prof. Dr. Emil Saiim Mentcri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Penanggung .lawah : M . A l w i Dahlan, Ph D Asisten
I Mentcri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Koordinator : dr. Siswanto Agus Wilopo, M . S c , S c . D . Pemhantu Asisten Mentcri Kependudukan dan Lingkungan Hidup Urusan Perkembangan Kependudukan
Dr. Budi Suradji Kcpala Biro Kcluarga Berencana dan Kependudukan Badan Perencana Pembangunan Nasional
Penyunting Utama: dr. Siswanto Agus Wilopo, M.Sc, Sc.D. D i . Djamaludin Ancok Ir. Suwardjoko Warpani, MTCP Sukmadi, MS Dra. Iwu Dwisetyani Utomo, MSc Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, M A Dra. Ina Agustina Dra. Nurani Sari
Penyunting Materi: Dr. Abdoel Djalal Ardjoboesono, M P H , M A . Prof. Dr. I. Gusti Ngurah Agung Drs. Suko Bandiono, M.Sc Drs. Tukiran, M A Dr. Muhadjir Darwin Dr. Tadjudin Noer Effendi Dr. Suharso Dr. Yullïta Rahardjo Dr. Agus Dwiyanto Dr. Aris Ananta Dr. Haidi Pasay Drs. Kasto, M A Drs. Sukamdi, MSc
Penyunting Pembantu: Drs. Eddy Nurul Hasmi, MSc Drs. Joko Wiyono, MSc Drs. Wijanarko, MSc Dra. Nevi Liestiorini Drs. Doddy Poetranto, M A Dra. Siti Rahayu Hidayati
LX
Tim Penulis Propinsi
Nama
Instansi
A. Indonesia
dr. Siswanto Agus Wilopo, M.Sc., Sc.D Dr. Sri Harjati Hatmadji Dr. Budi Suradji Dr. Ir. Suma Djayadiningra! Dra. Ina Agustina Ir. Muda Saputra
PPK-UGM-KLH LDFEUI BAPPENAS KLH KLH LDFEUI
B. Sumatera 1. Aceh 2. Riau 3. Sumatera Utara 4. Bengkulu 5. Jambi 6. Sumatera Selatan 7. Lampung 8. Sumatera Barat
T. Razali Rasyid, SE. Drs. Viator Butar-Butar, M A . Ir. Richard J. Makalew, M A . Drs. Toto Purwanto, MSc. Ramli Djalil, SE, MS. Happy Warsito, SH, MSc. K. Wiryoseputro, SE, MSc. Yusrizal. SE, M A
PSKUnsyiah PSK Unri PSK Un.Sumut PSK Unib PSKJambi PSK Unsri PSKUnila PSK Unand
C. Jawa 1. DKI Jakarta 2 Jawa Barat 3. JawaTengah 4. DI Yogyakarta 5. JawaTimur
Dra. I. Dwisetyani Utomo, MSc. Dr. Tuti Djuartika Drs. Vinc. Hadi Wiyono WS, M A . Drs. Sukamdi, MSc. Drs. Moch. Affandi, MS
KLH PSK Unpad PSK UNS PPK U G M PSKUnbra
D. Kalimantan 1. Kal-Barat 2. Kal-Tengah 3. Kal-Selatan 4. Kal-Timur
Fariastuti, SE, M A . Dra. Tatiek Upami, MS. Ir. Eko Ganiarto Drs. Sahmud Hasywa
PSKUntan PSK Unpar LDFEUI PSK Unmul
E. Sulawesi 1. Sul-Utara 2. Sul-Tenggara 3. Sul-Tengah 4. Sul-Selatan
Drs. Phillep Mores Regar, MS. Drs. Abdul Aziz Razake, SU. Ir. S.G. Sunaryanto, M A . Drs. Asmaun Azis, M A .
PSK PSK PSK PSK
F. Bali
Drs. I. Ketut Sudibia, SU.
PSKUdayana
G. NusaTenggara 1. NTB
Ir. Anwar Fachry, MSc.
PSK Unram
Dra. Rien Malelak, SU.
PSK Undana
H. Maluku
Ir. Maris E. TH. Hetaria, M A .
PSK Unpatti
I.
Drs. Pieter J. Soumokil, M A .
PSK Uncen
2. NTT
Irian Jaya
J. Timor Timur Keterangan : PSK LD PPK BKKBN
= = = =
Unsrat Unhalu Un.Td-lako Unhas
Drs. Purwanta Iskandar, MSc. B K K B N Timtim Pusat Studi Kependudukan Lembaga Demografi Pusat Penelitian Kependudukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional xi
RINGKASAN
Propinsi Daerah Istimewa Aceh terletak di ujung pulau Sumatera, dengan luasnya 53.950 K m . Secara administrasi dibagi dalam 10 daerah tingkat dua, 2 Kotamadya (Sabang dan Banda Aceh), dan 8 Kabupaten yaitu: Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Besar, Aceh Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. Selama Repelita dilaksanakan daerah ini dibagi dalam 4 wilayah pembangunan yaitu Wilayah pembangunan 1 terdiri Aceh Selatan dan Aceh barat dengan pusat pengembangannya Meulaboh. Wilayah pembangunan II terdiri dari Aceh Besar, Pidie, Kotamadya Sabang dan Kotamadya Banda Aceh, dengan pusat pengembangan Banda Aceh. Selanjutnya wilayah pembangunan III adalah Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Aceh Utara dengan pusat pengembangannya Lhokseumawe. Terakhir adalah wilayah pembangunan IV terdiri dari Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Aceh Tengah dengan pusat pengembangannya Takengon. Dari ke 4 wilayah pembangunan tersebut terlihat adanya permasalahan kependudukan yaitu dibidang kuantitas, mobilitas dan kualitas. Oleh karena itu tujuan penulisan ini adalah untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan penduduk selama pembangunan dilaksanakan atau dapat dikatakan selama Pembangunan jangka Panjang Pertama (PJPTI). Sumber data dalam penulisan ini adalah data sensus penduduk dan data sekunder lainnya. Untuk analisa data dipergunakan metode analisa diskriptif, menjelaskan masalah yang telah disusun berdasarkan tabel frekwensi maupun tabel silang. Selama PJPT dilaksanakan telah berpengaruh pada keadaan kuantitas, mobilitas dan kualitas penduduk. Kualitas Penduduk dapat di lihat pada jumlah penduduk, pertumbuhan, kelahiran, dan kematian. Jumlah penduduk telah bertambah dari 1.628.783 jiwa tahun 1.961 menjadi 2.008.595 jiwa tahun 1971. Pada tahun 1980 berjumlah 2.610.926 jiwa, jumlah tersebut telah bertambah menjadi 3.415.875 jiwa pada sensus terakhir (1990). D i lihat menurut komposisi penduduk menurut umur penduduk Daerah Aceh tergolong usia muda (41 %). berarti mempunyai masalah di masa yang akan Jatang yaitu: kelahiran, pendidikan, dan lapangan pekerjaan, dan beban tanggungannya (depedency ratio). Kalau diperhatikan pada pertumbuhan penduduk yaitu pertumbuhan rata-rata dapat Jilihat sebagai berikut: Periode 1930-1961 sebesar 1.70 persen, Periode 1961-1971 sebesar 2.14 Dalam periode 1971-1980, dan 1980-1990 masing-masing 2.93 persen dan 2.72 Berarti pertumbuhan penduduk di Propinsi Daerah Istimewa Aceh masih Pertumbuhan penduduk di daerah tingkat dua pada periode terakhir dapat di lihat berikut: Kabupaten Aceh Utara dan Timur dalam periode 1971-1990 masih xiii
persen. persen. tinggi. sebagai tinggi,
pertumbuhannya di atas 3 persen setahun.
Daerah yang telah turun pertumbuhan
penduduknya adalah Kotamadya Sabang, Kabupaten Aceh Besar, dan Aceh Tenggara yaitu di bawah 2 persen. Sejak tahun 1974, di Daerah Istimewa Aceh telah dilaksanakan Program Keluarga Berenccana (KB). Dengan intensirhya dilaksanakan K B telah berpengaruh pada kelahiran, determinan iainnya yang mempengaruhi kelahiran adalah faktor demograti (struktur umur, kematian bayi dan umur perkawinan I). Faktor Iainnya terdin dari determinan sosial ekonomi dan sosial-budaya akan mempengaruhi tingkat kelahiran. Pola kelahiran berbentuk kurve U terbalik, pada usia 20-29 tahun mcrupakan jumlah kelahiran tertinggi, dibandmgkan dengan kelompok umur Iainnya. Pada umur 30 tahun jumlah kelahiran turun dengan curam. Demikian pula kematian telah mengalami penurunan. Determinan yang mempengaruhi penurunan kematian adalah: Kesehatan, pendidikan, perilaku, pembangunan ekonomi dan keadaan lingkungan yang lebih baik. Akibatnya angka kematian bayi (IMR) turun. kematian bayi laki-laki turun dari 0.141 (1971) menjadi 0.099 (1980) demikian juga bayi perempuan telah turun dari 0.120 tahun 1971 menjadi 0.082 pada tahun 1980. Hal ini telah berpengaruh pada harapan hidup. Harapan hidup telah meningkat untuk laki-laki dari 46.6 tahun 1971. menmgkat menjadi 52,3 tahun, di tahun (1980) dan tahun 1985 menjadi 60,1 tahun. Demikian juga terhadap perempuan, harapan hidup telah naik dari 57,5 tahun (1971) menjadi 63,8 tahun 1980.
Migrasi merupakan salah'satu determinan demografi yang mempengaruhi jumlah penduduk disuatu daerah: Penduduk daerah Aceh kurang mobil dibandmgkan dengan daerah lain. Selama PJPT-1 telah terjadi migrasi masuk ke daerah ini terutama yang bersifat transmigrasi ke daerah tingkat dua, yaitu Aceh Timur, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Selatan dan Aceh Tengah. Migrasi masuk lebih banyak dari propinsi-propinsi di pulau Jawa yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat. Propinsi Jawa Tengah merupakan pengirim migrasi terbanyak ke Daerah Istimewa Aceh. demikian juga Propinsi Sumatera Utara di Pulau Sumatera. Migrasi keluar dari Daerah Aceh lebih banyak ke DK1 Jakarta, Jawa Barat dan Sumatera Utara, dan sifatnya lebih menyebar ke Propinsipropinsi lain selama perhubungan darat dan laut telah lancar. Pada tahun 1985 ditandai dengan penurunan volume migrasi risen yang tajam; baik migrasi keluar, masuk maupun Neto. Hal ini disebabkan kebijaksanaan pemerintah mengurangi anggaran bclanja untu Transmigrasi. Urbanisasi telah terjadi ke kota Banda Aceh, Lhokseumawe, Meulaboh, akibatnya proses penduduk perkotaan tersebut bertambah. Dengan baiknya sarana transportasi telah terjadi migrasi ulang-alik di kota-kota tersebut diatas.
xiv
Kualitas Penduduk, Sebagaimana telah diuraikan diatas tingkat kematian telah turun, harapan hidup meningkat, berarti tingkat kesejahteraan relatif baik. Keadaan ini ditandai dengan kualitas hidup Fisik meningkat dari 57,96 (1971) menjadi 64,90 (1980) berarti PQLI berada diatas rata- rata Nasional (51,28 tahun 1971 dan 59,05 tahun 1980). Physical Quality of Life (PQLI) Propinsi Daerah Istimewa Aceh masuk dalam 10 besar dengan PQLI tahun 1985 sebesar 161,01. Demikian juga Angka Human Development Index (HDI) berada diatas Nasional. Pada tahun yang sama HDI 0,71743 sedang Nasional 0,67317. Berarti selama PJPT-I telah ada perbaikan kualitas penduduk di daerah kota dan desa. Konsumsi kalori masih dibawah yang dianjurkan (2.100 kalori/orang) sehari dan protein sudah memenuhi standar yaitu 45,0 gram per orang/hari.
D i sektor pendidikan
telah mengalami kemajuan, keadaan buta huruf telah turun dari 25,4 persen tahun 1980 menjadi 15,2 persen tahun 1987. Keadaan yang serupa terlihat di sektor kesehatan, sejak PELITA III telah terjadi perbaikan sarana, tenaga dan perbaikan mutu terus dipacu sampai ke desa-desa. Selama PELITA IV laju pertumbuhan ekonomi rata-rata 9,62 persen termasuk gas dan minyak, tetapi bila tidak termasuk gas dan rmnyak sebesar 6,24 persen.
Kontnbusi
masing-masing sektor dalam struktur perekonorman mengalami kenaikan dan tahun sebelumnya.
Sebahagian besar tenaga kerja (75 %) masih bekerja di sektor pertanian,
namun perbaikan mum tenaga kerja sudah ada, banyak lulusan S L T A , A K / P T telah mengisi kekurangan tenaga kerja di Daerah Istimewa Aceh.
xv
D A F T A R ISI Halaman S E K A P U R SIRIH
iü
K A T A PENCiANTAR
v
RINGKASAN
X i i i
D A F T A R ISI
x v
DAFTAR TABEL
x
ii j
DAFTAR (JAMBAR BABI.
x
^
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I
1.2. Tujuan
I
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan
2
1.4.
2
Metodologi
1.5. Sistimatis Pcnulisan
5
B A B II. K U A N T I T A S P E N D U D U K
6
2.1. Jumlah Struklur dan Komposisi Penduduk
6
2.1.1.
Keadaan Terakhir Menurut Sensus 1990
6
2.1.2.
Kondisi Scbelum P E L I T A - 1
6
2.1.3.
Perkembangan Selama P E L I T A I - V
8
2.1.4. Kaitan Perkembangan Jumlah Struktur dan Komposisi Penduduk dengan Kebijakan dan Program Kependudukan 2.1.5.
Prospek Perkembangan Jumlah, Struktur dan Komposisi Penduduk pada PJPT - II
2.1.6.
15
Implikasi pada Kebijakan dan Program Pembangunan
2.2.
13
15
Pertumbuhan Penduduk
17
2.2.1. Keadaan Terakhir Menurut Sensus 1990
17
2.2.2. Pertumbuhan Penduduk Scbelum P E L I T A - I
18
2.2.3.
18
Pertumbuhan Penduduk P E L I T A I - V
2.2.4. Kaitan Pertumbuhan Penduduk dengan Kebijakan dan Program Kependudukan
xvii
21
2.2.5. Prospek Pertumbuhan Penduduk pada PJPT-II 2.2.6. Implikasi pada Kebijaksanaan dan Program Pembangunan 2.3. Perkembangan Tingkat Kelahiran 2.3.1. 2.3.2. 2.3.3. 2.3.4. 2.3.5. 2.3.6.
..'.!.'.!
22 22 24
Keadaan Terakhir Tingkat Kelahiran 24 Tingkat dan Pola Kelahiran Sebelum P E L I T A - I 25 Tingkat dan Pola Kelahiran sebelum P E L I T A I - V 28 Determinan Penurunan Tingkat Kelahiran 30 Prospek Penurunan Tingkat Kelahiran pada P J P T I - II ... 34 Implikasi pada Kebijakan K B dan Non K B 35
2.4. Perkembangan Tingkat Kematian 2.4.1. 2.4.2. 2.4.3. 2.4.4. 2.4.5. 2.4.6.
Keadaan Terakhir Tingkat Kematian Tingkat dan Pola Kematian Selama P E L I T A I Tingkat dan Pola Kematian Selama P E L I T A I - V Determinan Penurunan Tingkat Kematian Prospek Penurunan Tingkat Kematian pada PJPT - II Implikasi Pada Kebijakan Kesehatan dan Non Kesehatan
38 39 41 43 45 47
B A B III. M O B I L I T A S P E N D U D U K 3.1. Keadaan Terakhir. Urbanisasi. Migrasi dan Pemukiman Penduduk
48
3.1.1. Urbanisasi 3.1.2. Migrasi 3.1.3. Permukiman Penduduk
48 50 51
3.2. (lambaran Urbanisasi, Migrasi dan Pemukiman Sebelum P E L I T A I
Penduduk 52
3.3. Pola Urbanisasi , Migrasi dan Pemukiman Penduduk Selama P E L I T A 1 - V
54
3.4. Determinan Tingkat dan Pola Urbanisasi Migrasi dan Pemukiman
81
3.5. Prospek Perkembangan Urbanisasi,Migrasi dan Pemukiman pada PJPT - II
87
3.6. Implikasi Pada Kebijakan dan Program Pembangunan
90
xviii
B A B IV. K U A L I T A S P E N D U D U K 4.1.
4.2.
Profil Kualitas Penduduk: H D I , P Q L I
93
4.1.1.
H u m a n Devclopment Index ( H D I )
93
4.1.2.
Physical Quality of L i f e Index ( P O L I )
95
Kualitas Fisik : I M R , Status G i z i , R e n t a n dan M o b i d i t a s 4.2.1.
Kualitas Fisik
97
4.2.2.
Infant M o r t a l i l y Rate
98
4.2.3. Status G i z i 4.3.
99
4.2.4. Rentan dan M o r b i d i l a s Kualitas N o n - F i s i k :Edukasi. Kriminalitas, M a s a l a h Sosial 4.3.1.
Pendidikan
103 108 108
4.3.2. Tenaga Kerja
111
4.3.3. K r i m i n a l i t a s 4.3.4.
BAB
M a s a l a h Sosial
116
4.4.
Prospek Perkembangan pada P J P T - II
115
4.5.
Implikasi Kebijakan
IN
V. K E T E R K A I T A N K U A N T I T A S P E N D U D U K DENGAN SUMBER DAYA
B A B VI
ALAM,
LINGKUNGAN HIDUP D A NP E M B A N G U N A N
121
5.1.
Kuantitas Penduduk dan Penyediaan
122
5.2.
Kuantitas Penduduk dan Keadaan Lingkungan
128
5.3.
D a m p a k Pembangunan
132
5.4.
Kuantitas Penduduk dan R e n c a n a Pembangunan Berkelanjutan
135
5.5.
Implikasinya pada Kebijakan dan P r o g r a m Pembangunan
137
Pangan dan E n e r g i
pada Kuantitas Penduduk
KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN 6.1.
Kesimpulan
138
(i.2.
Saran Kcbijaksanaan
140
Daftar Puslaka
14^
XLX
DAFTAR TABEL Tabel 1.1.
Haiaman Kondisi Keadaan Daerah D i Zona Pertanian Dan Industri Di Daerah Aceh, 1990
5
2.1.
Penduduk Menurul Kabupaten dan Jenis Kelamin (Sensus 1990)
6
2.2.
Jumlah Penduduk Daerah Istimewa Aceh Menurut Jenis Kelamin (1920,1930,1961) \
7
2.3.
Jumlah Penduduk Daerah Istimewa Aceh Menurut Kabupaten (SENSUS 1961)
8
2.4.
Kepadatan Penduduk Tiap-Tiap Kabupaten (Sensus 71,1980, 1990)
9
2.5.
Distribusi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin (1971, 1980, 1990)
10
2.6.
Distribusi Penduduk Menurut Tempat Tinggal (Sensus 1990)
11
2.7.
Jumlah Penduduk Daerah Istimewa Aceh Selama Relita I - V
12
2.8.
Jumlah Penduduk Daerah Istimewa Aceh (1985-1989)
12
2.9.
Jumlah Penduduk Daerah Istimewa Aceh dan beberapa Propinsi lain di Indonesia (1961 - 1990) Jumlah Transmigrasi yang ditempatkan D i Daerah Istimewa Aceh (Selama Repelita I-V)
2.10. 2.11.
2.12.
2.13.
2.14.
13 14
Prospek Perkembangan Jumlah Penduduk Daerah Istimewa Acêh Menurut Jenis Kelamin (1990 - 2020)
14
Persentase Jumlah Penduduk Usia 7-12 Tahun Menurut Tempat Tinggal, di Daerah Aceh
15
Pertumbuhan Penduduk Daerah Isrimewa Aceh Menurut Daerah Tingkat II, 1961 - 1990
19
Tingkat Pertumbuhan Penduduk Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi lain D i Indonesia
20
xxi
2.15.
Pertumbuhan Penduduk Perkotaan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh .... 21
2.16.
Prospek Pertumbuhan
Penduduk
Propinsi Daerah Istimewa Aceh
(1990 - 2020) 2.17.
Perkiraan
Pertumbuhan
2 3
Penduduk Propinsi Daerah
Istimewa Aceh dan Propinsi lain D i Indoneaia
23
2.18.
Kelahiran Kasar (CBR) Daerah Aceh Tahun 1971 - 1987/1988
25
2.19.
A S F R dan T F R di Daerah Aceh Menurul Umur dan Tempat Tinggal Periode (1967 - 1970)
26
2.20.
Perkiraan Angka Kelahiran Daerah Aceh dan Indonsia Menurut Umur .. 27
2.21.
Angka Fertilitas Total Daerah Aceh dan beberapa Propinsi lain D i Indonesia (1967 - 1990)
28
Perkiraan Angka Kelahiran Per 1000 Wanita Menurut Umur dan Angka Kelahiran Total (TFR) Daerah Aceh (1967 - 1984)
29
Persentase Penurunan Angka Fertilitas Total (Metode Own Children) Propinsi Daerah Aceh dan Propinsi lain D i Indonesia (1967 - 1990)
30
Propinsi Umur Kawin Pertama D i Daerah Aceh Menurut Beberapa Variabel Sosial
31
2.22.
2.23.
2.24.
2.25.
..
Perkiraan Kelahiran, Kelahiran Kasar (CBR) dan Jumlah Kelahiran Total (TFR) D i Daerah Aceh dan Indonesia (1990 - 2020)
34
2.26.
Jumlah Kematian Menurut Kabupaten D i Daerah Aceh (1966 - 1971) ....
39
2.27.
Tingkat Kematian Bayi (IMR) D i Aceh Besar, 1974
40
2.28.
Jumlah Kematian dan Tingkat Kematian Bayi (IMR) Di Kabupaten Aceh utara (1974)
40
Angka Kematian Bayi Per 1000 Kelahiran D i Daerah Aceh Menurut Jenis Kelamin (1971.1980, 1985)
42
2.30.
Angka Kematian Bayi Per 1000 Bayi Daerah Aceh (1971, 1980)
43
2.31.
Angka Harapan Hidup Wakhi Lahir (Eo) Menurut Jenis Kelamin dan Tempat Tinggal (Tahun 1971 dan 1980)
46
231
xxii
2.32.
3.1.
Angka Perkiraan Kematian Bayi (IMR) dan Kematian Kasar (CBR) Daerah Aceh 1990 - 2020
46
Jumlah Penduduk dan Klasifikasi Perkotaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh 1980
50
3.2.
Komposisi Migran dan non Migran Daerah Aceh, 1980
51
3.3.
Jumlah Penduduk Ibukota Menurut Kabupaten/Kotamadya Daerah Aceh, 1961
33
Proporsi Jumlah Penduduk Kota dan Desa Daerah Aceh (1971, 1980, 1990) Dalam Ribuan
55
Persentase Penduduk Kota Menurul Kabupaten/Kotamadya dan Pertumbuhannya D i Daerah Aceh (Tahun 1980 - 1990)
57
Perubahan - Perubahan Penduduk Ibukota Kabupaten Di Daerah Istimewa Aceh 1980- 1990
58
3.7.
Pertumbuhan Penduduk Urban dan Rural Daerah Aceh (1980 - 1990)...
59
3.8.
Penduduk Propinsi Daerah Istimewa Aceh Berdasarkan Migran Selama Hidup Menurut Tempat Tinggal, 1985
60
Migrasi Selama Hidup yang Masuk ke Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Tahun 1971, 1980 dan 1985)
61
Migrasi Selama Hidup yang Keluar dari Propinsi Daerah Istimewa Aceh (1971, 1980,1985)
62
Migrasi Selama Hidup Neto Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Tahun 1971, 1980 dan 1985)
63
Migrasi Total yang Masuk Daerah Istimewa Aceh (Tahun 1971, 1980 dan 1985)
64
Migrasi Total yang Keluar dari Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Tahun 1971, 1980 dan 1985)
65
Migrasi Total Neto D i Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Tahun 1971,1980 dan 1985)
66
3.4.
3.5.
3.6.
3.9.
3.10.
3.11.
3.12.
3.13.
3.14.
xxiii
3.15.
Migrasi Resmi Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1985 (Dalam Persentase)
68
3.16.
Persentase Net Migrasion Menurut Daerah Tingkat II (1971 - 1980)
69
3.17.
Penduduk Menurut Hubungan Rumah Tangga Daerah Aceh (Tahun 1980)
74
Persentase Banyak Rumah Tangga Menurut Jenis Dinding dan Atap Rumah Daerah Aceh (Tahun 1985)
75
Persentase banyaknya Rumah Tangga Daerah Aceh Menurul Luas Lantai (Tahun 1980 dan 1985)
76
Persentase Rumah Tangga Menurut Jenis Bahan Bakar dan Penerangan D i Daerah Aceh (Tahun 1971 - 1985)
77
Persentase Rumah Tangga Menurut Sumber A i r Minum Di Daerah Aceh (1971 - 1985)
79
Persentase Jarak Pompa Air/Sumur/Perigi ke Penampungun Kotoran D i Daerah Aceh
80
Persentase Rumah Tangga Menurul Pembuangan Sampah dan Keadaan A i r Parit/Got Sekitar Rumah dan Daerah Tempat Tinggal (1986)
81
Waktu Tempuh Rata-Rata Ruas Jalan Utama (Arteri) Di Daerah Aceh
83
Jumlah Penduduk Kota dan Perkembangannya D i Daerah Aceh (1930 - 1990)
85
Persentasi yang Membutuhkan Rumah Dengan Cara Mcmperolehnya Dalam Repelita VI D i Daerah Aceh
90
3.18.
3.19.
3.20.
3.21.
3.22.
3.23.
3.24.
3.25.
3.26.
4.1.
Human Developmen Index (HDI) Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Beberapa Propinsi Lain D i Indonesia
94
4.2.
Index Mulu Hidup (1MH) Menurut Propinsi
%
4.3.
Index Kualitas Hidup Fisik (PQLI) Penduduk Propinsi Daerah Istimewa Aceh (1971 - 1980)
97
xxiv
4.4.
Angka Harapan
H i d u p W a k t u Lahir M e n u r u t
Jenis K e l a m i n D a e r a h A c e h (1971 - 1985) 4.5.
98
Penyediaan E n e r g i dan Protein Per O r a n g Perhari U n t u k K o n s u m s i M e n u r u t A s a l Bahan M a k a n a n D i D a e r a h A c e h
4.6.
Persentase Balita yang Berstatus G i z i Baik D i D a e r a h A c e h M e n u r u l Tempat Tinggal dan Jenis K e l a m i n (19X9)
4.7.
K o n s u m s i R a t a - R a t a E n e r g i dan Protein
10!
dan
Persentase Balita Berstatus G i z i Baik D i D a e r a h A c e h , 1987 4.8.
100
102
R a t a - R a l a K o n s u m s i K a l o r i dan Protein Pcrkapita Sehari M e n u r u t Daerah Tempat Tinggal (1980, 1981, 1984 dan 1987)
4.9.
103
J u m l a h P e n d u d u k / R e n t a n Propinsi Daerah Istimewa A c e h (1971 -1990)
4.10.
104
A n g k a Kesakitan Per 1000 Penduduk D a e r a h A c e h M e n u r u t Jenis Penyakiinya
4.11.
Persentase
Penduduk
Yang
,
106
M e n d e r i t a Sakit dan
Tempat Pengobatan, D i Daerah A c e h 4.12.
107
Persentase Penduduk B c r u m u r 10 T a h u n ke A t a s u m u B u l a H u r u f D i Daerah A c e h (1980. 1987)
4.13.
108
R a s i o M u r i d T e r h a d a p ( i u r u M e n u r u t Tingkat P e n d i d i k a n D i Daerah A c e h dan Indonesia (1986/1987 - 1988/1989)
4.14.
R a t i o M u r i d Terhadap G u r u M e n u r u t
Kabupaten/Kotamadya
dan Tingkat Sekolah D i Daerah A c e h (1986/87-1988/89) 4.15.
Persentase B c r u m u r
109
110
10 T a h u n ke A t a s
M e n u r u t Tingkat Pendidikan yang D i t a m a t k a n D i D a e r a h A c e h (1980 - 1987) 4.16.
Persentase Penduduk
111
U m u r 10 T a h u n D a e r a h
Aceh
M e n u r u t Jenis Kegiatan (1980 - 1987) 4.17.
A n g k a t a n Kerja
112
dan Tingkat Partisipasi A n g k a t a n K e r j a
( T P A K ) D i D a e r a h A c e h 1971 - 1990
XXV
113
4.18.
Persentase Penduduk 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekcrjaan dan Tempat Tinggal D i Daerah Aceh (1985 - 1987)
114
Kcsempatan Kerja dan Proyekdi Kesempatan Kerja Per Sektor D i Daerah Aceh. (1990 - 1995)
114
Jumlah Narapidana Berdasarkan Keputusan Pengadilan Di Daerah Aceh 1987
115
Banyak Tambahan Narapidana Berdasarkan Keputusan Pengadilan D i Daerah Aceh. 1987
1 16
Perkembangan Produksi. Konsumsi. Surplus Padi Di Daerah Istimewa Aceh (Ton)
122
Produksi Padi Propinsi Daerah Istimewa Aceh Menurut Kabupaten Selama Repelita I-V
123
Perkembangan Produksi Bahan Makanan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Selama Repelita I - V )
124
Perkembangan Populasi Ternak Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Selama Repelita I-V)
125
Produksi Perikanan Laut Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Selama Repelita 1 - V )
126
Rata-Rata Konsumsi Kalor Dan Protein Per Kapita Sehari Menurut Jenis Makanan D i Daerah Aceh (1981, 1984, 1987)
!2
Pengeluaran Per Kapita Sebulan Untuk Golongan Makanan dan Bahan Makanan menurut Golongan Pengeluaran D i Daerah Aceh
129
5.8.
Luas Propinsi Daerah Istimewa Aceh Menurut Kabupaten. 1990
131
5.9.
Luas Daerah Menurut Kondisi Tanah D i Daerah Aceh, 1990
132
5.10.
Perkembangan Invertasi Selama Repelita V Pemerintah
4.19.
4.20.
4.21.
5.1.
5.2.
5.3.
5.4.
5.5.
5.6.
5.7.
5.11.
7
dan Swasta (Dalam Milyar Rupiah) D i Daerah Aceh
135
Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Aceh Dalam Pelita V (1989/1990 - 1993/1994)
136
xxv i
D A F T A R G A M BAR Gambar
Halaman
1.1. Wilayah Pembangunan Daerah Istimewa Aceh
4
2.1. Piramida Penduduk Aceh 1990
21
2.2. A S F R . Aceh 1967- 19
3(,
2.3. Pola Fertilitas Propinsi D . l Aceh Tahun 1967 - 1984
37
3.1. Tingkat Urbanisasi Aceh, 1971-1990
67
3.2. Migran Semasa Hidup 1985
70
3.3. Migrasi Masuk dan Keluar Semasa Hidup. Aceh 1971-1985
71
3.4.
Migrasi Total Ma*uk 1971-1985
72
.3.5. Migrsai Total Keluar 1971-1985
73
xxvn
BAB ï
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Propinsi Daerah Istimewa Aceh luasnya 55.390 Km2, secara administratif daerah mi dibagi dalam 10 daerah tingkat II Yaitu: dua Kotamadya (Sabang dan Banda Aceh),dan 8 daerah Kabupaten (Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah dan Aceh Tenggara). Dalam pembangunan daerah (PELITA IV) daerah ini dibagi dalam 2 zona, Pertanian dan Industn. Zona lndustri meliputi daerah-daerah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, dan zona pertanian berada di pesisir Barat-Selatan dan Tengah-Tenggara yaitu: Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. Informasi ke dua Zona tersebut dapat di lihat tabel 1.1. Untuk pengembangan wilayah,daerah ini dibagi dalam 4 pusat pemgembangan Wilayah yaitu : 1. Wilayah 1 terdiri dan Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat dengan pusat pengembangannya Meulaboh. 2. Wilayah li meliputi Kabupaten-Kabupaten Aceh Besar Pidie, Kodya Banda Aceh, dan Kodya Sabang,dengan pusat pertumbuhan Banda Aceh. 3. Wilayah III di pesisir Utara dan Timur,Kabupaten Aceh Utara dan Aceh Tmur dengan pusat pengembangannya Lhokseumawe. 4. Wilayah IV adalah Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Aceh Tenggara dengan pusat pengembangannya Takengon. Dan pembangunan wilayah tersebut akan berpengaruh pada sektor ekonomi dan sektor sosial di zona Industn dan zona Pertanian. Di lihat dan wilayah pembangunan tersebut terdapat beberapa masalah dibidang kependudukan yaitu kurangnya penduduk di wilayah pembangunan 1 & IV akan berpengaruh pada kuantitas, kualitas dan persebarannya. Persebaran penduduk lebih banyak (67%) berada di pesisir Utara dan Timur Aceh (Zona lndustri). Kepadatan penduduknya juga mengalami perubahan yaitu di zona industri kepadatan penduduknya sebanyak 120 jiwa/Km2 dan 30 jiwa/Km2 di zona pertanian (sensus 1990). 1.2.Tujuan. Dari ragam masalah di atas menarik untuk dikaji dan di analisis keadaan sejak pra Repelita sampai P E L I T A V . Analisis ini dapat dijadikan dasar kebijakan untuk perkembangan dan pertumbuhan penduduk jangka panjang ke II. Penulisan ini berangkat dari 1
asumsi bahwa banyak data dan publikasi penelitian yang belum dirnanfaatkan untuk pertimbangan kebijakan dan perencanaan serta program pembangunan jangka panjang tahap ke II (PJPT-II), di daerah khususnya dan secara Nasional umumnya. 1.3. Ruang Lingkup Pembahasan. Perkembangan penduduk yang dianalisis akan di fokuskan pada tiga aspek, kuantitas, mobilitas, dan kualitas penduduk. Untuk mengetahui perkembangan rnasing-masing aspek perlu dianalisis tingkat (level), pola (tren) dan determinan perkembangan penduduk dalam kurun pembangunan jangka tertentu (misal PELITA I - V). Masalah perkembangan, tingkat, pola, dan determinan yang berhubungan dengan kuantitas.kualitas dan mobilitas penduduk, perlu dikctahui dengan seksama, sebelum dan selama PELITA I-V. Sehingga prospeknya dalam PJPT-II dapat diperkirakan. Keümpangan apa yang diperkirakan dengan kenyataan yang telah terjadi merupakan masalah pokok yang dianalisis. 1.4. Metodologi 1.4.l.Sumber Data. Data yang dipergunakan dalam penulisan mi bersumber pada Sensus penduduk dan data sekunder Iainnya. Sumber data yang dipergunakan (sebelum dan selama PELITA V) untuk mengetahui atau menerangkan keadaan dewasa ini. Setelah data SP-90, jelas bahwa SP-80, SUPAS-85 tidak perlu dipakai lagi untuk menerangkan keadaan penduduk dalam tahun 1990. Namun tak berarti bahwa SP-80 dan SUPAS-85 menjadi tidak berguna lagi. Studi dengan data " lama " masih memungkinkan suatu analisis yang berimplikasi pada masa kim dan mendatang. "Sejarah" tak pemah usang untuk masa kini dan masa mendatang. Jadi sumber data yang dipergunakan meliputi kuantitas, migrasi dan kualitas yang bersumber pada data sekunder dan data penelitian Iainnya. Data yang dikumpuikan bersumber pada : a.
b.
c.
Penerbitan Kantor Statistik Propinsi Daerah Istimewa Aceh, meliputi: Sensus penduduk 1920-1990 SUPAS 1976,1985 Indikator Kesejahteraan Masyarakat, 1980-1990 Statistik Perumahan dan Knmmalitas. Penerbitan Biro Pusat Statistik (BPS). Jakarta, meliputi: Sensus Penduduk, 1920 - 1990 Sesenas, dan SUPAS Statistik Perumahan. Kriminalitas dan penerbitan Iainnya. Hasil Penelitian/publikasi yang bersumber dan : Lembaga Demogratï rakuitas Ekonomi Unsyiah, Darussalam. 2
Lembaga Demografi Fakultas E k o n o m i U I , Jakarta. Pusat Penelitian Kependudukan U G M , Yokyakarta. Kantor Menteri Negara dan L i n g k n g a n H i d u p , Jakarta. Bappeda Daerah Istimewa A c e h , Banda A c e h . B i r o Kependudukan dan L i n g k u n g a n H i d u p ( B K L H ) , A c e h Badan Koordinator Keluarga Berencana, A c e h . Pusat Sudi Lingkungan H i d u p ( P S L ) Unsyiah, Darusalam-Aceh. 1.4.2. A n a l i s i s
data
Analisis ini meliputi 3 aspek yaitu : a.
Kuantitas Penduduk, termasuk kelahiran dan kematian.
b.
M i g r a s i , meliputi Urbanisasi, M i g r a s i masuk dan migrasi
c.
Kualitas penduduk, akan di lihat pada:
keluar.
- Kemampuan daya tampung dan daya dukung. - Sumber daya alam dan manusia Untuk jelasnya akan dmraikan satu persatu sehingga mudah untuk dianalisis dalam rangka menentukan kebijakan dimasa yang akan da tang yaitu perkembangan jangka panjang ke II ( P J P T - II). ad.a. Kuantitas Penduduk: - Fertilitas, ada 2 indikator untuk melihat penurunan tingkat kelahiran yaitu C h i L dren over Born dan A g e Spesifïc Fertility Rate ( A S F R ) . Untuk analisis penurunan tingkat kelahiran diambil A S F R yaitu membagi j u m l a h kelahiran pada kelompok umur ibu tertentu dengan j u m l a h wanita kelompok tersebut. D a n selanjutnya juga dipergunakan Total Fertility Rate ( T F R ) . - Kematian, salah satu ukuran kematian adalah tingkat kematian juga
dikatakan
Infant Mortality Rate
bayi atau
sering
( I M R ) . A n g k a ini merupakan indikator
dibidang kesehatan, bila I M R tinggi suatu pertanda
tingkat kesehatan masyarakat
rendah dan sebaliknya. ad.b. Mobilitas : Arus migrasi meliputi volume dan arah migrasi baik antar Propinsi dan Antar Kabupaten.Dalam tulisan m i dibedakan migrasi semasa hidup, migrasi total dan migrasi berdasarkan tempat tinggal 5 tahun yang lalu. ad.c. Kualitas Penduduk, analisisnya akan dibedakan dalam: - Kualitas fisik dan N i r - f i s i k - Pemukiman penduduk - Indek mutu hidup 3
Gambar 1.1
W I L A Y A H P E M B A N G U N A N D A E R A H ISTIMEWA A C E H (Zona lndustri & Zona Pertanian)
Keuïrangan : 1
I I ZonaIndusuH
1E33 N Zona Pcrianian
4
Untuk menganalisis ke-3 aspek tersebut, akan dipergunakan data sekunder dengan menyajikan tabel-tabel frequensi dan silang. Tabel silang menurut Kabupaten, Propinsi, tempat tinggal dan vanabel lam yang diperlukan. Tabel-tabel tersebut akan dialisis secara diskriptif yaitu memberikan penjeiasan-penjelasan terhadap masalah yang akan diamaü. 1.5.Sistimatis penulisan. Tabel 1.1. Kondisi Keadaan Daerah di Zona Pertanian dan lndustri
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. LI. 12. 13. 14. 15.
Uraian
Zona lndustri
Zona Pertanian
(%)
(«)
35
65
67 (110) 91 73 31 53 63 61 60 60 60 74 77 62
33 (29) 9 27 69 47 37 39 40 40 40 26 23 38
Luas Wilayah Penduduk Kepadatan PDRJB Migas (1988)*) PDRB Non Migas (1988)*) Panjang Jalan **) Jalan Aspal Luas Sawah Pengairan Kec.Berlistnk Desa Berlistnk Pendidikan Kesehatan Tenaga Kerja Mesjid/Mushalla
Sumber Keterangan
: :
Total
5.736.557 Ha. 3.245.365 Jiwa (56) Jiwa/km2 4.929,2 Milyar 1.524,1 Milyar 2.556,50 K m 1.546 K m 212.534 Ha 96.067 Ha 113 Kecamatan 1.537 Desa 4.188 Sekolah 149 Puskesmas 1.113.472 Orang 10.765 Buah
B A P P E D A Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1990. *) Angka Sementara **) Khusus Jalan Nasional dan Jalan Provinsi
Penulisan Pertumbuhan dan Perkembangan penduduk di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dibagi dalam 6 pembahasan. Bahagian pertama merupakan pendahuluan, di lihat latar belakang, tujuan, ruang lingkupnya. Dibahagian kedua dibahas tentang Kuantitas penduduk, dianalisis tentang jumlah, pertumbuhan, perkembangan kelahiran dan kematian. Dalam pembahasan ke tiga diuraikan tentang Mobilitas penduduk, dibahagian ke empat akan di lihat kualitas penduduk dan bahagian ke lima merupakan keterkaitan penduduk dengan sumber daya Iainnya, dan bahagian terakhir adalah kesimpulan dan saran kebijakan.
5
BAB K U A N T I T A S
II P E N D U D U K
2.1. Jumlah, Struktur dan Komposisi Penduduk 2.1.1.
Keadaan Teakhir Menurut Sensus 1990.
Jumlah Penduduk Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada Sensus penduduk tahun 1990 berjumlah 3 415 875 jiwa. terdiri dari laki-laki sebanyak 1 717 032 jiwa dan perempuan 1 698 843 jiwa, dengan Sex Rationya 1.011. Dalam Tabel 2.1 dapat di lihat jumlah penduduk menurut Kabupaten dan jenis kelamin. D i kabupaten Aceh Tenggara dan Pidie lebih banyak penduduk perempuan dari pada laki-laki dengan sex rationya masing-masing 0.955 dan 0.949. Hal mi diduga akan menunjukkan banyak laki-laki migrasi keluar dari daerah tersebut.
Tabel 2.1. Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten Dan Jems Kelarnin (sensus 1990) Kabupaten/ kotamadya
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Sex Ratio
1. Aceh Selatan 2. Aceh Tenggara 3. Aceh Timur 4. Aceh Tengah 5. Aceh Barat 6. Aceh Besar 7. Pidie S.Aceh Utara 9.Banda Aceh lO.Sabang
171 530 90 765 298 111 101 851 196 996 121297 204 532 423 409 95 502 12 587
171 371 95 003 287 822 97 783 188 598 118 884 215 503 422 875 89 148 11 826
342 901 185 768 585 933 199 634 385 594 240 181 420 035 846 284 184 650 24 413
1.001 0.955 1.036 1.042 1.045 1.020 0.949 1.001 1.071 1.064
1 698 843
3 415 875
J U M L A H
1 717 032
1.011
Sumber :Kantor Statistik Daerah Istimewa Aceh, 1991. 2.1.2. Kondisi Sebelum P E L I T A - 1 Sebelum P E L I T A I (1969 - 1974) keadaan penduduk Daerah Istimewa Aceh dapat di lihat berdasarkan hasü sensus penduduk tahun 1920. 1930 dan 1961. Sensus penduduk 1920 bersirat Dejure dan perkembangan jumlah penduduknya didasarkan pada informasi 6
yang dibenkan oleh Kepala Daerah. Oleh karena itu sensus 1920 kurang reliabel dan sangat kecil dibandmgkan dengan jumlah hasil sensus penduduk 1930. Angka yang kecil pada tahun 1920 menyebabkan tingkat pertumbuhan penduduk periode 1920-1930 menjadi besar yaitu 3,2 persen. Demikian juga sensus penduduk 1930 juga bersifat dejure, walaupun sensus 1930 masih terjadi Under - Enumeration, tetapi lebih lengkap dibandingkan dengan sensus penduduk tahun 1920. Pada sensus 1920 Kotamadya Sabang dan Kabupaten Aceh Besar masih bergabung dalam satu daerah yang disebut Aceh Besar. Aceh Tengah dan Aceh Tenggara masih bergabung dalam satu daerah yang disebut Gayo Alas. Demikian pula Aceh Barat dan Aceh Selatan tergabung dalam satu daerah. Keadaan ini sampai tahun 1930. Sedangkan sesudah Indonesia merdeka (sensus 1961) jumlah penduduknya dapat di lihat pada tabel 2.2. Distribusi penduduk menurut Kabupaten berdasarkan hasil sensus tahun 1961 dapat di lihat pada tabel 2.3. Pada sensus 1961 Propinsi Daerah Istimewa Aceh terdiri dari 1 Kotamadya dan 7 Kabupaten Aceh. Pada sensus penduduk 1961 telah terjadi perubahan dalam daerah Administratif pemenntahan di Aceh. Banda Aceh telah dipisah dari Aceh Besar menjadi suatu daerah Kotapraja. Aceh Barat dan Selatan dipisahkan, masing-masing menjadi Daerah Tingkat II (Kabupaten). Pada sensus 1971 terjadi lagi perubahan, sehingga Daerah Istimewa Aceh dibagi dalam 2 Kotamadya, yaitu Banda Aceh dan Sabang dan 8 Daerah Tingkat II/Kabupaten yaitu Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Selatan dan Aceh Barat. Tabel 2.2. Penduduk Daerah Istimewa Aceh Menurut Jenis Kelamin (1920, 1930, 1961) Tahun
laki-laki
perempuan
jumlah
sex ratio
1920 a)
381
355
736
1.073
1930 a) 1961 b)
514 822
489 807
1 003 1.629
1.051 1.018
Sumber :
a) Volkstelling 1930, L D F E Unsyiah,1972 b) Widjojo Nitisastro.Population Trend in Indonesia Cornell University Press,Ithaca and London, 1970
7
Tabel 2.3. Jumlah Penduduk Daerah Istimewa Aceh menurut Kabupaten (sensus 1961) Kabupaten/Kodya
jumlah Penduduk:
1. Kotamadya Banda Aceh
40 067
2. Aceh Besar 3. Pidie 4. Aceh Utara 5. Aceh Timur ó. Aceh Tengah 7. Aceh Barat 8. Aceh Selatan
155 967 259 573 383 655 239 315 171225 185 327 193 853
Jumlah
1 628 983
Sumber : Kantor Statistik Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
2.1.3. Perkembangan Selama P E L I T A I - V 2.1.3.1 Persebaran Penduduk 1971 -1980 Persebaran dan tingkat kepadatan penduduk dapat di lihat pada tabel 2.4. Tabel tersebut menunjukan bahwa dari sepuluh daerah tingkat II, Kotamadya Banda Aceh merupakan daerah yang paling banyak penduduknya. Ini dise'babkan di Kabupaten tersebut terdapat kota Banda Aceh yang merupakan ibu kota Propmsi Daerah Istimewa Aceh. Kota ini juga merupakan pusat perdagangan, pendidikan, administrasi, kebudayaan dan politik di Aceh, yang merupakan daya tank tersendin datangnya penduduk ke Banda Aceh. Kepadatan penduduk pada tahun 1971/1980 dan 1990 masing-masing adalah 4.844 jiwa/Km2 dan 2.600 jiwa/Km2. Kepadatan penduduk di zona pertanian relatif rendah dibandmgkan dengan Zona industn berkisar antara 19-38 jiwa/Km2. Kabupaten Aceh Tenggara 19 jiwa/Km2, Aceh Barat 31 jiwa/Km2, Aceh Tengah 35 jiwa/Km2 dan Aceh Selatan 38 jiwa/Km2 berdasarkan sensus 1990. Kepadatannya relatif rendah sejak sensus 1971. Kabupaten Aceh Tengah dan Tenggara dipengaruhi oleh letaknya di pedalaman, daerah ini relatif tensolir dibandmgkan dengan Kabupaten pesisir Utara dan Timur.
8
Tabel
2.4.
Kepadatan Penduduk t i a p - t i a p Kabupaten (sensus 1971. 1980, 1^90)
Kabupaten/
Jlh
Kotamadya
Penduduk 1971
1980
Kepadatan
Penduduk
Jiwa/Km 1990
1971
1980
1990
1. Aceh Selatan
234785
275458
342901
26
31
2. Aceh Tenggara
122818
159248
342901
13
17
30 ig
3. Aceh Timur
303815
423418
185768
39
55
75
4. Aceh Tengah
105043
163341
199634
13
29
35
5. Aceh Barat
225111
288422
358594
19
24
31
6. Aceh Besar
181801
236274
240181
60
77
80 122
293397
343558
420035
86
101
8. Aceh Utara
1
470532
625295
846284
99
113
177
9. Banda Aceh
53668
72090
184650
4844
6506
2600
17625
23821
24413
81
119
122
2008595 2610926 3415875
36
47
61
10.
P i d i e
Sabang
J u m l a h
Sumber :
Kantor Stitistik Propinsi Daerah istimewa Aceh, Sensus penduduk seri :S 1971 dan 1980.
Di zona industn kepadatan penduduknya masing-masing adalah Banda Aceh 2.600 jiwa/Km2, Sabang dan Pidie masing-masing 122 jiwa Km2, Aceh Utara 177 jiwa/Krn2, Aceh Besar 80 jiwa/Km2 dan Aceh Timur 75 jiwa/Km2. Kepadatan penduduk Propinsi Daerah Istimewa Aceh relatif jarang yaitu 36 jiwa/Km2 berdasarkan sensus 1971 meningkat menjadi 47 jiwa /Km2 berdasarkan sensus 1980 dan 61 jiwa/Km2 berdasarkan sensus 1990. Dibandmgkan dengan kepadatan rata-rata penduduk Indonesia yakni sebesar 62 jiwa/Km2 berdasarkan sensus 1971, menjadi 77 jiwa/Km2 berdasarkan sensus 1980. Kepadatan penduduk tiap Kabupaten tidak merata, hal ini disebabkan oleh luas wilayah, letak daerah. dan sarana yang tersedia. Daerah-daerah yang kepadatan penduduknya relatif tinggi meliputi Kabupaten Aceh Utara, Pidie, masing-masing 99 jiwa/Km2 dan 86 jiwa/Km2 berdasarkan sensus 1971, pada sensus 1980 menjadi 113 jiwa/K2 dan 101 jiwa/Km2. Yang rendah kepadatannya adalah Kabupaten Aceh Tenggara yaitu 13 jiwa/Km2 berdasarkan sensus 1971 menjadi 17 jiwa/Km2 berdasarkan sensus 1980. Berdasarkan sensus 1990 kepadatannya tidak ada perubahan yang bearti, kecuali Banda Aceh terjadi penurunan menjadi 2 600 jiwa/Km2. Penurunan tersebut disebabkan oleh perluasan (Reklasifikasi) daerah dari 2 Kecamatan menjadi 4 Kecarnatan. 9
2.1.3.2 Komposisi penduduk Komposisi penduduk menurut umur menunjukan bahwa proporsi penduduk usia anak-anak (dibawah umur 15 tahun) masih tinggi.yakni sebesar 43 persen (lihat tabel 2.5) sedang penduduk usia 1 5 - 6 4 tabun adalah sebesar 49 persen. Median umur penduduk Aceh pada tahun 1980. 18,6 tahun dengan demikian dapat dikatan penduduk Aceh merupakan penduduk muda (lihat grafik). Sebagai akibat dari penduduk muda maka ratio ketergantungan relatif tinggi. Pada tahun 1971 sebesar 90,6 bearti bahwa tiap 100 orang usia produktif harus menanggung sekitar 90 anak atau orang yang tidak produktif. Pada tahun 1980 menurun menjadi 85,2 orang. dibandingkan dengan angka Nasional relatif tmggi. angka beban tanggungan Indonesia tahun 1971 sebesar 87 dan tahun 1990 menjadi 79,1. Angka beban tanggungan yaitu suatu angka yang menunjukan berapa banyaknya orang-orang yang dianggap tidak/belum produktif (usia < 15 tahun 65 tahun) akan lebih dibandmgkan jumlah penduduk usia kerja/produktif (15-64 tahun). Tabel 2.5 Distribusi Penduduk menurut Umur dan Jems Kelamin 1971, 1980, 1990 1971
UMUR
1980
LK 0
"
5
-
9
1 7
1 0
"
1 5
PR
LK
ïqgn _ PR
LK
PR
1'2 143
1C7 982
199 016
193 743
22G 795
235 723
° 519
157 274
213 359
198 416
222 489
232 778
1 4
Ï20 541
112 082
164 97C
154 245
216 826
224 482
"
1 9
95 007
97 833
138 169
142 081
197 574
193 767
2 0
"
2 4
6
2 5
"
2 9
7 4
9 4 9
3 0
"
3 4
5 9
4
3 5
"
3 9
62 980
57 475
76 174
74 163
88 785
97 593
4 0
"
4 4
4 4
200
50 521
59 786
61 594
71 395
77 866
4 5
"
4 9
4 3
808
34 800
48 866
48 007
59 637
64 025
5 0
"
5 4
5 5
"
5 9
"
6 4
6 0
6 5
4
2 H6
117 647
163 334
164 001
92 490
96 820
146 246
114 613
63 563
69 840
71 703
118 792
106 102
33 426
46 033
44 426
49 530
53 329
804
15 204
29 183
25 413
42 673
39 860
2"
23 338
30 278
26 612
43 154
37 108
2
36 711
40 597
63 001
63 848
2 0
2 5
Jumlah ( L K + P R )
109 780
33 663 1 9
+
?1
77 693 83 575
7 0 0
9
366
2.008.595
2.610.926
Sumber : BPS,sensus 1971,1980. Keterangan: L K : Laki-laki PR : Perempuan
10
3.415.875
2.1.3.3. Tempat Tinggal Distribusi penduduk menurut tempat tinggal (kota dan desa) dapat di lihat pada tabel 2.6 ternyata lebih 90 persen penduduk Aceh tinggal di daerah pedesaan, berdasarkan sensus penduduk 1990 yang tinggal di kota 10 persen. Tabel 2.6. Distribusi Penduduk Menurut Tempat Tmggal, 1990 1990 Kabupaten/Kodya Kota 1. Aceh Selatan 2. Aceh Tenggara 3. Aceh Timur 4. Aceh Tengah 5. Aceh Barat 6. Aceh Besar
_
jumlah
Desa
(K + D)
24 902 10 883 97 478 24 618 39 049 14 048
317 999 174 885 488 455 175 016 346 545 226 133
342 901 185 768 585 933 199 634 385 594 240 181
7. P i d i e 8. Aceh Utara
24 439 151 193
395 596 695 091
420 035 846 284
9. Banda Aceh lO.Sabang
143 360 9 770
41 290 14 643
184 650 24 413
J U M L A H Sumber
539 740
2 875 653
3 415 875
: Kantor Pusat Statistik Propmsi Daewrah Istimewa Aceh, Sensus, 1990.
Jumlah Penduduk Daerah Istimewa Aceh selama P E L I T A I-V dapat di lihat dari hasil sensus penduduk dan Supas. Dalam tabel 2.7. dapat di lihat jumlah penduduk dan tahun 1971 1990. Kepadatan penduduk per Km2, dan beban tanggungan selama PELITA di laksanakan di Indonesia baru 3 kali pemerintah mengadakan sensus penduduk. jumlah penduduknya bertambah dan sensus 1971 ke sensus 1980 demikian juga pada sensus penduduk tahun 1990. Jumlah penduduk selama tahun 1985-1989 yang merupakan jumlah penduduk pada PELITA III dan IV dapat di lihat pada tabel 2.8 berikut.
11
Tabel 2.7. Jumlah Penduduk Daerah Istimewa Aceh (selama PELITA I - V) Tahun
Laki-laki
1971 1980 1985 1990
1 1 1 1
Perempuan
005 209 314 905 491 128 717 032
1 1 1 1
003 132 292 623 481 059 698 843
Jumlah 2 008 341 2 607 528 2 607 528 3 415 875
Sumber : Kantor Statistik Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1990 Tabel 2.8. Jumlah Penduduk Daerah Istimewa Aceh (1985-1989) Ta
hun
Jumlah Penduduk
1985 1986 ? 1988 1989
2 992 201 3 087 386 3 158 003 3 245 346 3 318 089
i 9 8
Sumber: Kantor Statistik Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1990.
Tabel-tabel di atas menunjukkan adanya perkembangan jumlah penduduk bertambah dan tahun ketahun. Pertambahan penduduk irn akan mempengaruhi pada komposisinya (sex ratio). Komposisi menurut tempat tinggal dapat d. lihat sebagai benkut ,umlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan sebesar 5.78 persen berdasarkan sensus 1971 8.94 persen berdasarkan sensus tahun 1980 dan berdasarkan sensus 1990 men,adi 15 80 persen Dan perkembangan penduauk kota tersebut berarti terjadi pengurangan ,umlah penduduk Desa dan 94.22 persen berdasarkan sensus tahun 1971, turun menjadi 91 06 persen berdasarkan sensus 1980 dan berdasarkan sensus 1990 turun lagi menjad, 84 20 persen. Penurunan jumlah penduduk desa diduga disebabkan oleh taktor migras, dan urbanisasi Dengan bertambah sarana ekonomi d. daerah perkotaan dan perluasan wilayah (Keklasihkasi) maka proses penduduk kota akan bertambah.
12
Tabel
2.9. Jumlah Penduduk Daerah Istimewa Aceh dan beberapa Propinsi Lain di Indonesia 1961-1990
Provinsi/
1961
1971
1980
1985
1990
Pulau 1. Aceh
1628,9
2008341
2611271
1972187
3415875
2. Sumut
4964,7
6620811
8360894
9422137
10256027
3. Sumbar
2319,0
2792221
3406816
3688124
3999120
4- Sumsel
2773,4
3438061
4629801
5369872
6276947
5. Sumatera
15739,3
20801177
28016160
32604024
36455344
G- Jawa
63059,5
76029636
91269528
99852812
107573749
7- NT/Ba l i
5557.6
GC18805
8487110
9336039
10163854
8. Kalimantan
4101,4
5752571
6723086
77216G5
9109804
9. Sulawesi
7079,3
8525364
10409533
11552917
12521385
1547,9
2012951
2584881
2979531
179321645
97085,3
119140504
147490298
16404G988
179321641
10. Maluku dan Irja Indonesia
Sumber: 1. BPS, SP 1971, 1980 dan 1990 2. SUPAS 1985 Bila diperhatikan jumlah penduduk yang tinggal di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dibandmgkan dengan beberapa Propinsi lam di Indonesia (lihat tabel 2.9) ternyata berdasarkan sensus 1990 hanya 1.90 persen, jumlah ïm relatif kecil dibandmgkan dengan jumlah penduduk yang tinggal di Sumatera Utara yaitu 5.72 persen dan relatif kurang pula dibandmgkan dengan jumlah penduduk yang tinggal di Sumatera Barat sebanyak 2,23 persen. 2.1.4.
Kaitan Perkembangan dengan Kebijakan dan Program Kependudukan
Di atas telah diuraikan tentang jumlah penduduk yang bertambah, baik berdasarkan sensus penduduk maupun Aceh Dalam Angka, perkembangannya reltif tinggi. Untuk mengatasi masalah tersebut telah diambil berbagai kebijakan yang dijabarkan dalam program dan proyek pembangunan di daerah. D i lihat dari luas daerah ternyata Daerah Istimewa Aceh masih jarang penduduknya, tetapi di lihat dari pertambahannya daerah ini menunjukkan tingkat perkembangan yang relatif tinggi.
13
Tabel
2.10. Jumlah Transmigrasi yang Ditempatkan di Daerah Istimewa Aceh (selama PELITA)
Masa repelita
Zona lndustri
II
1 950
III IV V
2 400 2 468 666
Zona Pertanian
Jumlah 1 950
10 003 2 291 1 000
12 403 4 759 1 666 .
Sumber : Kanwil Trasmigrasi Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1990 Berkaitan dengan kedua hal tersebut, pemerintah telah membuat dua kebijaksanaan yaitu Keluarga Berencana (KB) dan Transmigrasi. Keluarga Berencana dilaksanakan di Aceh sejak tahun 1974, dari tahun ke tahun jumlah akseptornya terus meningkat. Untuk meningkatnya masyarakat masuk K B pemerintah telah membentuk Pos K B Gampong (desa), dan telah pula berusaha untuk meningkatkan penyuluhan pada masyarakat. Dalam rangka menambah tenaga kerja untuk meningkatkan produksi. perlu didatangkan transmigrasi. Jumlah Transmigrasi yang masuk ke daerah ini sejak P E L I T A IIV dapat di lihat tabel 2.10. Dalam P E L I T A II, Daerah yang menjadi sasaran penempatan transmigrasi adalah Aceh Timur dan Aceh Utara. Pada PELITA III daerah penerima transmigrasi bertambah yaitu Aceh Barat, Aceh Selatan. dan Aceh Tengah. Pada PELITA IV daerah Aceh Besar merupakan daerah penenma transmigrasi di samping daerah daerah lain yang telah disebutkan. Tabel
2.11. Prospek Perkembangan Jumlah Penduduk Daerah Istimewa Aceh menurut Jenis Kelamin (1990 - 2020)
Tahun
Jumlah
Perempuan
Laki-laki
1990 1995
3 415 324 3 813 004
1 710 230 1 915 989
1 705 093 1 897 015
2000 2005 2010
4 212 674 4 596 768 4 953 975
2 122 805 2 320 827 2 503 547
2 089 869 2 275 940 2 450 429
2015 2020
5 277 474 5 600 301
2 667 712 2 832 032
2 609 762 2 768 269
S U M B E R : Lembaga Demografï Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1991. 14
Kebijakan yang telah diambil sebagai berikut:
pemerintah sejak P E L I T A
I dapat dikemukanan
Dalam P E L I T A I Keluarga Berencana (KB) dimasukan bersama dengan sektor kesehatan,tetapi pada P E L I T A ke II K B berdiri sendiri. Dalam P E L I T A III kebijakan kependudukan telah digariskan dengan jelas dengan sasaran jangka panjang. Selanjutnya dalam PELITA IV kebijakan diarahkan kepada menurunkan tingkat kelahiran dan kematian, memgkatkan taraf hidup serta meningkatkan kualitasnya. Di dalam P E L I T A V di perjelas kembali kebijakan dibidang kependudukan yaitu: Pengendalian tingkat pertumbuhan, menurunkan tingkat kelahiran dan kematian, meningkatkan mum penduduk serta persebaran penduduk yang lebih serasi.
2.1.5. Prospek Perkembangannya pada P J P T - I I Berdasarkan hasil proyeksi pada Lembaga Deomograiï Fakultas Ekonomi UI dapat di lihat jumlah penduduk untuk masa yang akan datang yaitu tahun 1990 - 2020, (tabel 2.11). Hasil lengkapnya proyeksi penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat di lihat pada lampiran 1. Proyeksi penduduk sampai tahun 2005 dapat dipergunakan untuk kepentingan kebijakan, tetapi untuk periode 2010 - 2020 perlu ditinjau kembal i . karena dalam waktu tersebut banyak faktor yang mempengaruhi diterminan demografi. 2.1.6. Implikasi pada Kebijakan dan Program Pembangunan. Tabel
2.12. Persentase Jumlah Penduduk Usia 7 - 1 2 Tahun menurut Tempat Tinggal di Daerah Aceh
Tahun
Kota
Pedesaan
1971 1980 1985 1987
82,95 92,89 97.28 96,71
66,82 85,57 95,59 91,33
Kota + Desa 68.02 86,19 95,74 92,42
Sumber: Kantor Statistik Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Sensus Penduduk, 1971,1980. Supas,1985, Susenas 1987.
Dari uraian di atas telah diperhatikan bahwa jumlah penduduk Daerah Istimewa Aceh se bahagian besar penduduk usia anak-anak (0 - 14). Jumlah penduduk usia 0 - 14 L5
I
16
tahun pada tahun 1980 sebanyak 41.0 persen dan kemungkinan bertambah pada masa yang akan datang. Umur anak usia sekolah (7-12 tahun) akan bertambah dari tahun ke tahun, peningkatan dari tahun 1971 - 1987 dapat di lihat di tabel 2.12. Dari infbrmasi tersebut di atas maka pemerintah Daerah telah memperhatikan beberapa hal, antara lain: 1. 2.
peningkatan sarana dan tenaga dibidang pendidikan di masa yang datang. Untuk menjaga kualitas penduduk terutama bagi umur 0-4 tahun, pemerintah telah meningkatkan sarana kesehatan, hal yang serupa juga diperhatikan bagi penduduk lanjut usia ( > 65 tahun).
3.
D i pihak lain tidak kalah pentingnya adalah memperluas lapangan kerja. Ada tendensi tenaga kerja beralih dari sektor pertanian ke sektor jasa dan industri. Dari satu pihak lulusan sekolah S L T A , A K / P T akan meningkat, sedangkan lapangan pekeriaan yang tersedia relatif terbatas.
2.2. Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh kelahiran, kematian dan migrasi. Data lengkap mengenai fertilitas mobilitas dan migrasi dikumpulkan melalui sensus penduduk. Di Propinsi Daerah Istimewa Aceh telah pernah diadakan beberapa kali sensus penduduk. Sensus petama dilaksanakan pada tahun 1920 dan kedua di tahun 1930. Kedua sensus ini dilaksanakan semasa pemerintahan Belanda yang masih menjajah di Indonesia. Setelah itu selama 30 tahun kemudian tidak diadakan sensus, baru pada tahun 1961 dilaksanakan sensus ke tiga atau sensus pertama setelah Indonesia merdeka. Kemudian secara berturutturut diadakan sensus penduduk pada tahun 1971, 1980 dan 1990. Pertumbuhan penduduk antara periode satu ke periode selanjutnya secara sistimatis dapat di lihat pada uraian berikutnya.
2.2.1. Keadaan Terakhir Menurut Sensus 1990. Sensus penduduk tahun 1990 merupakan sensus terakhir, jumlah penduduknya sebanyak 3 415 875 jiwa. Jika dibandingkan dengan sensus sebelumnya (1980) berpenduduk 2 610 528 jiwa, bearti telah terjadi pertambahan penduduk sebanyak 805 347 jiwa. Tingkat pertumbuhan penduduk periode sebelumnya (2.93 persen), berarti telah terjadi penurunan pertumbuhannya sebanyak 0.12 persen. Penurunan ini banyak faktor yang mempengaruhinya antara lain telah intensimya program K B di Aceh. Faktor lainya juga berperan dalam penghidupan sehari-han yaitu makin meluasnya kesempatan untuk 17
meneruskan pendidikan terutama bagi perempuan. D i samping itu pembangunan ekonomi lebih berdaya guna dibandingkan dengan periode sebelumnya, sehingga pendapatan masyarakat miningkat. 2.2.2. Pertumbuhan penduduk Sebelum PELITA - 1 . Pertumbuhan penduduk sebelum Repelita I dapat dipeiajari berdasarkan sensus penduduk tahun 1961 - 1971. Pertumbuhan penduduk Daerah Istimewa Aceh selama praRepelita dapat di lihat dari pertumbuhan penduduk antara periode 1930 - 1961, pada periode ini tingkat pertumbuhannya 1.7 persen. Sensus ini belum dapat dikatakan sempurna dalam pelaksanaannya. Banyak hal yang mempengaruhinya. antara lain keamanan di daerah belum stabil, administrasi pelaksanaannya masih perlu dibenahi. Faktor Iainnya juga ikut berpengaruh pada pengumpulan data kependudukan vaitu keadaan alam. masih banyak daerah yang tidak dapat dikunjungi akibat prasarana perhubungan sangat memprihatinkan pada saat tersebut. Pada sensus penduduk tahun 1971 keadaanya relatif lebih baik. dan pertumbuhan penduduknya meningkat dari 1.7 persen menjadi 2.1 persen. Indonesia melaksanakan P E L I T A (I) dua tahun sebelum diadakannya sensus 1971. Pertumbuhan penduduk tersebut telah membantu pemerintah untuk memproyeksikan rencana untuk pembangunan yang akan dilaksanakan. 2.2.3. Pertumbuhan Penduduk P E L I T A I - V . Di atas telah dikemukakan bahwa PELITA dilaksanakan dua tahun sebelum dilaksanakan sensus penduduk. Untuk memudahkan dalam analisis maka pertumbuhan penduduk periode tahun 1961 - 1971 ikut diperhaükan. Pertumbuhan penduduk pada periode 1961-1971 sebesar 2.1 persen, keadaan ini naik menjadi 2,93 persen pada periode 1971-1980. Sebelum diadakan sensus penduduk tahun 1990, di Indonesia telah diadakan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1985. Pertumbuhan penduduk selama 5 tahun (1980-1985) sebesar 2,63 persen, dan mengalami kenaikan pada periode 1980-1990 sebesar 2,72 persen. Penggunaan data SUPAS 1985 untuk melihat pertumbuhan perlu hati-hati, karena sampelnya kecil. Pertumbuhan penduduk tiap daerah selama periode tersebut dapat di lihat pada tabel 2.13. Dari ïnformasi tersebut menunjukan bahwa pertumbuhan penduduk bervanasi antara daerah dan dari periode keperiode Iainnya. Hal im membuktikan bahwa selain program K B yang telah diitensifkan juga faktor non K B sangat berperan dalam pertumbuhan penduduk. Masih tingginya tingkat kelahiran Propinsi Daerah Istimewa Aceh dibandmgkan dengan pertumbuhan penduduk Nasional (Indonesia) dan tahun 1961, ke periode selanjutnya 1980-1990.
18
Tabel 2.13. Pertumbuhan Penduduk Daerah Istimewa Aceh menurut Daerah Tingkat II, 1961-1990 Tingkat
p e r t u m b u h a n (%)
Kabupaten/kodya 1961-71
1971-80
1980-85*
1. Aceh Besar
2,50
2,92
-2,90
2. Pidie
1,24
1.75
2,06
2,03
2,08 2,44 4,77 1,98 1.95
3,17 3,72 5,03 2,76 1,77
3,10 3,48 1,44 3,10 1,33
3,07 3,30 2,02 2,95 2,21
3,00
2,91 3,30 3,37
1,97 16,12 2,25
1,55 9,90 0,24
3. 4. 5. 6. 7.
Aceh Aceh Aceh Aceh Aceh
Utara Timur Tengah Barat Selatan
8. Aceh Tenggara 9. Banda Aceh lO.Sabang
1980-90 0,16
Aceh
2.14
2,93
2,63
2,72
Indonesia
2,1
2,37
2.13
1,95
Sumber :
BPS.Daerah Istimewa Aceh, sensus. 1961,1971.1980,1990. * SUPAS 1985
Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Aceh Utara dan Aceh Timur dalam periode 1971 - 1990 masih tinggi. berada diatas 3.0 persen. Daerah yang telah turun pertumbuhannya adalah Sabang (0,24 %), Aceh Besar (0.16 %) dan Aceh Tenggara (1,55). Dalam periode 1980-1990 ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain migrasi dan perubahan daerah. A.
Migrasi. Sejak ditemuinya gas alam di Arun Aceh banyak migrasi masuk terutama di pesisir Utara dan Timur. ditandai dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi (diatas 3.0%).
19
Tabel 2.14.
Tingkat Pertumbuhan Penduduk Propinsi Daerah Istimewa Aceh
dan
Propinsi Lain di Indonesia Propinsi/pulau
1961 1971
1971 1980
1980 1990
1. Provinsi D.I. Aceh 2. Sumatera Utara 3. Sumatera Barat 4. Sumatera Selatan 5. Sumatera 6. Jawa " 7. Nusa Tenggara dan Bali 8. Kal:mantan
2.14 2.95 1.90 2.20 2.83 1.89 1.76 2.31
2.93 2.60 2.21 3.32 3.36 2.04 2.80 2.99
2.72 2.06 1.62 3.09 2.67 1.84 2.02 3.08
9. Sulawesi 10. Malukudan Irian Jaya
1.87 2.66
2.24 2.81
1.86 3.06
Indonesia
2.10
2.32
1.97
Sumber: BPS. diolah di SP 1961. 1971, 1980, 1990.
Migrasi masuk antar Propinsi dan Kabupaten terjadi di Aceh Tengah, karena daerah ini potensi dikembangkan sektor pertanian demikian halnya daerah pesisir Barat. sehingga pertumbuhannva relatif tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Sebaliknya di Kotamadya Sabang terjadi migrasi keluar akibat ditutupnya pelabuhan bebas Sabang, sehingga pertumbuhannya menurun 0,24 persen). B.
Perubahan daerah (Reklasifikasi),
Kotamadya Banda Aceh mengalami perluasan daerah dari 11.08 Km2 menjadi 71 Km2, yang diambil dari Kabupaten Aceh Besar. Dampak dari perluasan ini adalah perubahan pertumbuhan penduduk. Di lain pihak Banda Aceh merupakan daya tank bagi penduduk desa karena berfungsi sebagai ibu kota Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Sebaliknya Kabupaten Aceh Besar daerahnya berkurang dari 3.028.92 Km2 menjadi 2,969 Km2, sehingga berpengaruh pada jumlah dan penurunan permmbuhannva (tahun 1990 sebesar 0,16 %). Tabel 2.14. menunjukkan perbandingan tmgkat pertumbuhan penduduk Aceh dengan beberapa propinsi dan pulau. Ternyata pertumbuhan penduduk Aceh relatif tinggi diban- dingkan dengan Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Sumatera Barat, dalam 20
periode 1980 - 1990. Menurut kepulauan ternyata pertumbuhan penduduk Aceh relatif tinggi, kecuali dengan pulau Kaümantan, Maluku dan Irian Jaya yang pertumbuhan diatas 3 persen. Selanjutnya, menank untuk dianalisis adalah pertumbuhan penduduk di kota-kota yang ada di Aceh. Banda Aceh sebagai ibu kota Propinsi telah di perluas pada tahun 1984 dari 2 kecamatan menjadi 4 kecamatan, dengan 2 kecamatan baru, Syiah Kuala dan Meraksa. Dua kecamatan lama, Kuta Alam dan Baiturahman, telah bertambah jumlah penduduknya sampai 108 persen. Kota Sabang memperoleh status metropolitan ketika masih menjadi pelabuhan bebas 1970 - 1980. dan penduduk Sabang meningkat 30 persen. Setelah 5 tahun kemudian (1980-1985) pertumbuhan penduduknya menurun. Kotif Lhokseumawe merupakan pusat metropolitan baru di Aceh Utara diciptakan berdasarkkan keputusan Presiden tahun 1986. Kotif ini mempunyai 5 Kecamatan (Muara Batu, Blang Mangat, Dewantara. Nisam dan Banda Sakti) yang berada disekitar
kota
Lhokseumawe sebagai ibu kota Kabupaten Aceh Utara. Tingkat pertumbuhan penduduk hap ibu kota kabupaten dapat di lihat tabel 2.15. Tabel 2.15.
Pertumbuhan Penduduk Perkotaan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh P e r t u m b u h a n
(%):
Nama Kota Tinggi
Sedang
1. Tapaktuan 2. 3. 4. 5.
Sigli KotaCane Janthoi Meulaboh
34,0 39,0
6. Langsa 7. Takengon 8. hokseumawe
45.0 58.0 78,0
8
Rendah
-
''5
>°
1
'
7
Sumber : Bappeda daerah Istimewa Aceh, 1991 2.2.4. Kaitan Pertumbuhan Penduduk dengan Kebijakan dan Program Kependudukan. Apabila kita simak laju pertumbuhan penduduk dalam tiga kurun waktu, telah terjadi kenaikan di beberapa daerah tingkat II. 21
Kenyataan im menunjukan bahwa adanya
pergeseran persebaran penduduk. Yang jelas pertumbuhan penduduk yang tinggi akan mengundang masalah untuk dipecahkan. Berikut ini akan diuraikan pertumbuhan penduduk di masa yang akan datang. Penduduk dua kali lipat akan dicapai di Aceh Pidie dan Aceh Tengah dalam waktu 35 tahun, Kabupaten Aceh Utara, Timur dan Barat dalam waktu 23-24 tahun mendatang. Kotamadya Banda Aceh hanya memerlukan waktu 7 tahun lagi untuk mencapai penduduk dua kali lipat dari sekarang. Dari masalah di atas perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1.
Dari informasi tersebut perlu diperhatikan adalah tata ruang kota dan tata ruang Kabupaten. Kota sebagai pusat kegiatan dan menjadi ibukota Kabupten, pengembangannya perlu mendapat perhatian pada semua pihak.
2.
Menghadapi hal-hal yang tidak dikehendaki di masa yang akan datang akibat pertumbuhan penduduk terhadap sosial ekonomi harus diperhatikan antara lain: a. b. c. d.
3.
perluasan lapangan kerja dengan usaha peningkatan partisipasi wanita. Peningkatan sarana Sosial (pendidikan, kesehatan) Sarana perkotaan perlu ditambah Tingkat kelahiran harus di kontrol dengan intensif.
Penataan Pemukiman penduduk, perlu ada suatu perencanaan yang intensif terhadap pemukiman penduduk dan lokasinya serta di perhitungkan dampak lingkungannya.
2.2.5.
Prospek Pertumbuhan Penduduk pada PJPT - II
Prospek pertumbuhan penduduk di masa yang akan datang dapat di lihat berdasarkan proyeksi penduduk yang dibuat Lembaga Domografi Fakultas Ekonomi UI prospek pertumbuhannya dapat diperhatikan di tabel 2.16. Dari proyeksi tersebut diperkirakan pertumbuhan akan mengalami penurunan dan 2,72 persen (1990) diharapkan pada tahun 2005 akan menjadi 1,75 persen dan akan turun terus pada periode berikutnva.
22
Tabel 2.16.
Prospek Pertumbuhan Penduduk Daerah Istimewa Aceh (1990 - 2020)
Periode
P e r t u m b u h a n ( % ) :
Tahun 1. 2. 3. 4. 5. 6.
1990 1995 2000 2005 2010 2015
total -
1995 2000 2005 2010 2015 2020
alamiah
2,20 1,99 1,75 1.50 1.30 1.19
2,16 1,98 1,77 1.54 1.27 1,23
Sumber : Lembaga Demograf! Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1991 Tabel 2.17.
Perkiraan Pertumbuhan Penduduk Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Lam di Indonesia
Provmsi/pulau "
1985 1990
1990 1995
1995 2000
2000 2005
D.I. Aceh
2.78
Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Sumatera Jawa Bali Kalimantan Sulawesi Maluku dan Irja
1.72 1.68 3.34 3.07 1.64 0.99 3.33 1.62 3.10
2.20
1.99
1.75
1.68 1.72 3.11 2.98 1.39 1.41 2.85 1.67 2.35
1.39 1.55 2.88 2.68 1.16 1.29 2.63 1.46 2.06
1.10 1.30 2.62 2.43 0.97 1.15 2.42 1.25 1.81
Indonesia
1.96
1.82
1.63
1.45
Sumber: L D . F E . U I , Jakarta, Proyeksi Penduduk 1991. Dalam tabel 2.17 disajikan
perbandingan penurunan pertumbuhan penduduk antar pro-
pinsi dan pulau, secara bervariasi mengalami penurunan sampai tahun 2005. periode 2000 - 2005 tingkat pertumbuhan penduduk Daerah Aceh kan
Dalam
1.75 persen, sedang-
secara Nasional 1,45 persen Sumatera Utara menjadi 1.10 persen, pulau Jawa 0.97
persen. 23
2.3. Perkembangan Tingkat Kelahiran Kelahiran atau sering disebut dengan Fertilitas dalam pengertian demografi dinyatakan banyaknya bayi yang lahir hidup. Fertilitas merupakan raktor demografi yang dapat
menambah jumlah penduduk
suatu daerah/negara. Fertilitas berasal dari kata Fertile (subur) adalah merupakan suatu ukuran kesuburan seorang wanita yang tercermin dari adanya kelahiran. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa seorang wanita dengan banyak anak dikatakan subur, sedangkan wanita yang sedikit anak disebut tidak subur. Ada beberapa indikator yang dipergunakan untuk mengukur Fertilitas, salah satunya adalah Angka Fertilitas Menurut Umur (ASFR). A S F R menunjukan banyaknya kelahiran menurut umur dari wanita yang berada pada kelompok umur tertentu antara 15 - 49 tahun per-penduduk wanita pada kelompok umur yang sama. Ukuran ini cukup baik karena telah diperhatikan perbedaan fertilitas pada tiap kelompok umur. Jumlah ASFR adalah Angka Fertilitas Total (TFR) yang menunjukan rata-rata jumlah anak yang akan dilahirkan oleh seorang wanita selama masa reproduksinya, jika wanita tersebut mengikuti angka fertilitas pada tiap kelompok umur pada tahun yang bersangkutan. Indikator lain yang sering dipergunakan untuk mengukur angka kelahiran adalah Children Ever Bom (CEB) menunjukkan jumlah anak pernah dilahirkan yang dipunyai oleh perempuan yang pernah kawin.
2.3.1. Keadaan Terakhir Tingkat Kelahiran. Untuk menganalisis tingkat kelahiran terakhir terlebih dahulu diperhatikan faktor yang mempengaruhinya.seperti perkawinan, menyusui, pemakaian alat kontrasepsi. struktur keluarga dan sosial ekonomi keluarga. Selama PELITA telah banyak usahausaha yang telah selesai, sedang dan akan dilaksanakan dalam usaha penurunan tingkat kelahiran. Keluarga Berencana salah satu program pemerintah sedang digalakan. dan diduga telah mempunyai efek positif terhadap penurunan kelahiran di Aceh, yaitu tingkat kelahiran cenderung menurun dan tahun 1974 sampai dewasa ini. Karena hasil sensus penduduk tahun 1990 masih dalam proses, angka kelahiran belum dapat di ketahui. D i samping itu masih kurangnya data penelitian yang menerangkan jumlah kelahiran di daerah ini. Dari situasi sekarang dapat dikatakan bahwa jumlah kelahiran sudah turun, ini ditandai dengan bertambah baiknya beberapa variabel antara lain: a.
Kemajuan ekonomi, ditandai dengan peningkatan pendapatan Demestik Regional Bruto (PDRB), dan pendapatan 24
per kapita
melalui Produk
b. c. d.
Berubahnya umur perkawman pertama (terutama kaum wamta). Terbukanya kesempatan kerja (bagi wanita) intensifhya program K B (sampai ke desa-desa)
e-
Keadaan sarana transportasi relatif baik dibandingkan dengan sebelumnya.
pada
PELITA
2.3.2. Tingkat dan Pola Kelahiran sebelum PELITA -1 2.3.2.1. Tingkat kelahiran Kasar (Crude Birth Rate) Tabel 2.18.
Tingkat Kelahiran Kadar (CBR) daerah Aceh (Th 1971-1987/88)
Tahun
CBR
1971 1974/1975
46.9 * 45,8 **
1978/1979 1980/1984 1985/1986 1986/1987 1987/1988
41,0 30,2 27,9 *** 25,6 24,2
Sumber: Lembaga Demografi rakultas Ekonomi Unsyiah * : Menggunakan Reverse Projektions ** : Methode Kontraseptive Lefe Table *** : Proyeksi B K K B N Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Tingkat kelahiran kasar (CBR) merupakan salah satu ukuran fertilitas yang dianggap kasar, karena ukuran tersebut untuk penduduk secara keseluruhan. jumlah kelahiran dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun di kali 1000. C B R mengalami penurunan dari tahun 1971 - 1987/88, dan 46,9 menjadi 24,2, lihat tabel 2.18.
2.3.2.2 Pola kelahiran, Pola ini dapat di lihat melalui jumlah kelahiran dalam satu tahun menurut kelompok umur, atau sering disebut juga dengan Age Specifw Fertility Rate (ASFR). Tingkat kelahiran tiap-tiap ibu lebih dipermci menurut umur ibu kelompok 1 5 - 4 9 tahun. Angka ini akan diperoleh dengan membagi jumlah kelahiran dalam kelompok umur tertentu dengan jumlah wanita pada kelompok tersebut.
25
Tabel 2.19
Keadaan ASFR dan T F R Daerah Aceh menurut Umur dan Tempat Tinggal (periode 1967 - 1970)
Umur
Kota
Desa
Kota + Desa
15-19
114
165
158
20 25 30 35 40 45
309 352 274 159 64 17
329 316 241 129 63 22
324 316 241 130 62 22
6 445
6 325
6 265
- 24 - 29 - 34 - 39 - 44 -49 T.F.R
S U M B E R : Bir Pusat Statistik, 1983.
Tabel 2.19 menunjukkan ASFR dan TFR dalam periode 1967-1970 untuk kota dan desa, dari informasi tersebut menunjukan bahwa pola ASFR seperti hurut' U terbahk gambar (2.2). Pada kelompok umur muda (20-24 dan 25 29) jumlah kelahiran lebih dan 300, kemudian turun sejak umur 30 - 34 tahun dan terus turun tajam pada umur berikut nya (di kota) demikian juga di desa mengkikuti pola yang sama dengan dearah di perkotaan. Lebih rinci dalam tabel 2.20 akan di lihat perobahan ASFR dan T F R sejak pen ode 1961-1963,1964 -1966 yang akan dibandmgkan dengan keadaan Nasional. Perbedaan ASFR pada periode 1961 - 1963, menunjukkan jumlah kelahiran pada kelompok umur 20 - 30 relatif tinggi (ASFR relatif tinggi) secara Nasional, demikian pula pada periode berikutnya, Kedua periode tersebut polanya mengikuti pola U terbal ik. Dan selanjutnya T F R di Daerah Aceh juga lebih tinggi dan T F R secara Nasional dalam dua periode tersebut di atas. Dengan tingginya jumlah kelahiran pada umur muda diduga akan terjadi penambahan penduduk pada periode berikutnya bila tingkat kelahiran tidak dikendalikan.
26
Tabel 2.20.
Perkiraan Angka Kelahiran Daerah Aceh dan Indonesia Menurut Umur dan Jumlah Kelahiran 1961-1963
1964 - 1966
Aceh
Indonesia
Aceh
Indonesia
Umur
Sumber
15 - 19 20 -24 25 - 29 30-34 35 - 39 40 -44 45 . 4 9
187 285 282 209 141 68
179 258 255 197 130 58
212 313 304 219 150 61
199 284 275 210 128 56
T.F.R.
5 860
5 385
6 295
5 760
: Lcmbaga Demografi Fakultas Ekonomi U.I.Jakarta.
Salah satu diterminan yang mempengaruhi tingginya angka kelahiran adalah umur perkawinan [. Sebelum P E L I T A I dilaksanakan umur perkawinan pertama dapat dibagi dalam 2 periode. (Rasyid, 1971). 1.
2.
Sebelum 1960: a. Di desa pada umumnya laki-laki telah kawm pada umur 20 tahun dan perempuan < 13 tahun. b. D i kota umumnya laki-laki kawin pada umur 20 - 25 tahun dan wanita < 18 tahun. Pada 1960 keatas: Umur perkawinan I bagi wanita relatif meningkat. Hal ini disebabkan oleh kesada-
ran orang tua untuk menyekolahkan anaknya lebih lanjut.
Dan hal ini ditandai dengan
terbukanya Perguruan Tinggi di Daerah Aceh sehingga terbuka kesempatan pada puteraputerinya untuk meneruskan pedidikan. Umur perkawinan I dapat di lihat sebagai berikut: a. Relatif kurang terjadi perkawinan < 15 tahun b. Dalam golongan 15 - 20 tahun sedikit sekali orang yang kawin (laki-laki dan perempuan) di kota, tetapi hal ini lebih banyak bagi penduduk wanita di desa. c. Pada umur 20 -25 tahun penduduk wanita kawin lebih besar dibandingkan laki-laki terutama di kota. Wanita banyak kawin dari pada yang belum kawin. d.
Pada umur 25 - 30 tahun jumlah penduduk laki-laki kawin lebih besar daripada tidak kawin. 27
Di pihak lain dapat dikemukakan tentang kebiasaan masyarakat Daerah Aceh mempergunakan obat tradisional untuk mengurangi kelahiran. Obat ini dikenal dengan obat kuat yang terdiri dari ramuan-ramuan, mengurut serta meuadeung.
Meuadeung
adalah tidur dekat bara api bagi wanita sesudah melahirkan tuiuannya untuk mengenngkan perut peranakan. Dewasa ini meuadeung sudah tidak dipergunakan lagi tetapi obat tradisional masih dipergunakan dibeberapa daerah terutama di pedesaan atas bantuan dukun beranak. 2.3.3. Tingkat dan Pola Kelahiran Selama P E L I T A I - V Sebagaimana telah di lihat pada periode sebelumnya bahwa kelahiran yang relatif banyak berada pada kelompok umur muda. Selanjutnya jumlah kelahiran turun selama PJPT-I berjalan terutama untuk kelompok umur 25-29 pada periode 1967 - 1970. Pada periode berikutnya juga telah mengalami penurunan yang bearti. Dan ASFR 158 pada periode 1967-1970 untuk kelompok umur 15 - 19 turun menjadi 99 pada penode 1981 1984 untuk kelompok yang sama. Secara umum dapat dikatakan telah terjadi penurunan ASFR pada setiap kelompok umur. Keadaan mi diikuti oleh turunnya angka T F R . Penurunan ini banyak disebabkan oleh adanya pergeseran umur perkawinan pertama bagi wanita. Wanita lebih ingin melanjutkan sekolah dari pada berumah tangga. Bearti perubahan sikap terhadap kelahiran telah ada sesudah P E L I T A dilaksanakan. Tabel 2.21.
Angka Fertilitas Total Daerah Aceh dan Beberapa Propinsi Lainnya di Indonesia (1967 - 1990) Angka Fertilitas Total (TFR) 1967 1970
1971 1975
1. Aceh
6,3
2. 3. 4. 5. 6.
7,2 6.2 6.3 5,4 5,6
Sumatera Utara Sumatera BArat Sumatera Selatan Jawa Bah Indonesia
1976 1979
1980 1985
1985 1990
5.0
5,2
4,8
4,2
6.7 6,0 5,6 4,9 5,2
5,9 5,8 5.6 4,2 4,7
5.1 4,8 4.8 3.7 4,1
4.5 4.0 4,1 3,2 3,5
Sumber: BPS (berbagai tahun)
Pola kelahiran Propmsi Daerah Istimewa Aceh ke-3 penode tersebut di atas secara umum berbentuk U terbalik keadaan khusus dapat di lihat secara berturut-sebagai berikut:
28
a.
Penode pcrtama 0971-1975). Pada penode ini jumlah kelahiran/1000 wanita di atas 100 pada umur 15-19. pada umur 20 - 24 relatif tinggi dibandmgkan kelompok umur 25-29 tahun yaitu di atas 300, dan seterusnya kelahiran terus turun.
b.
Periode ke-2 ( 1971-1975), polanya berbeda dengan penode sebelumnya, yaitu pada kelompok umur 20-29 tahun kelahirannya di atas 200, kemudian turun dengan tajam.
c.
Periode ke III adalah tahun 1976 - 1979. Pola kelahiran pada periode ini hampir sama dengan pola periode I. polanya juga berbentuk U terbalik dengan puncaknya pada kelompok umur 20 24 tahun.
d.
Penode 1980 1984 polanya sedikit berubah jumlah kelahiran yang banyak pada umur 25 - 29 tahun. Keadaan T F R juga mengalami perubahan, sebagai berikut:
Pada periode pertama T F R daerah Aceh masih tinggi, yaitu 6.265 T F R akan turun pada periode berikutnya menjadi 5.005. selanjutnya pada periode ke tiga T F R telah mengalami kenaikan menjadi 5.235, dan pada periode berikutnya T F R telah turun
kembali
menjadi 4.72. Namun angkanya masih tinggi dibandingkan dengan T F R Indonesia pada periode tersebut. (lihat tabel 2.22 dan tabel 2.23).
Tabel-tabel ini juga menunjukkan
perbandingan TFR antar Propmsi dan pulau. tidak jauh berbeda penurunannya dengan propinsi di Sumatera dan pulau-pulau lain di Indonesia. Tabel 2.22.
Perkiraan Angka Kelahiran per 1000 Wanita menurut Umur dan Angka Kelahiran Total (TFR) di Daerah Aceh (1967 - 1984)
Umur
1967-1970
1971-1975
1976-1979
1980-1984
15 - 19 20 - 24 25 -29 30 - 34
158 324 316 241
128 270 247 192
105 281 265 204
99 260 260 174
35 - 39 40 -44 45 - 49
130 62 22
92 52 20
120 55 17
109 54 12
5 005 5 200
5 235 4 680
T . F . F . (Aceh) 6 265 T.F.R. (Indonesia) 5 605 Sumber :
472 4.1
Biro Pusat Statistik, perkiraan angka kelahiran dan kematian hasil SUPAS 1985.
29
Tabel 2.23.
Persentase Penurunan Angka Fertilitas Total (Metode Own Children) Propinsi Daerah Aceh dan Propinsi Lain di Indonesia (1967 - 1990) Penurunan Pertahun (%)
1. 2. 3. 4.
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan
5. Jawa-Bali 6. Indonesia
1967
1971
1976
1980
1985
1970
1975
1979
1985
1990
-4,49 -1,35 -0,66 -2,59
1,12 -3,12 -0,94 0,13
-1.80 -2,93 -3,60 -3,05
-2,63 -2.93 -3,69 -3,15
-200 -2,35 -2,18 -2,17
-1,94 -1,52
-3,62 -2,63
-3,61 -2,84
-3,66 -3,08
-2,60 -2,39
Sumber: Diolah dari tabel I (diatas)
2.3.4. Determinan Penurunan Tingkat Kelahiran. Berbicara mengenai determinan yang mempengaruhi kelahiran, secara nnci banyak sekali, sehingga sukar untuk dikatakan satu persatu. Namun taktor faktor tersebut dapat dikelompokan sebagai faktor Demografi, Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya. 2.3.4.1 Faktor Demografi (faktor penduduk ïtu sendin) yang terdiri dan: (a) Struktur umur penduduk. Piramida penduduk 2.1.3. Bentuk piramida penduduk yang sesungguhnya bahagian bawah yang lebar.menandakan bahwa proporsi jumlah penduduk dengan usia yang lebih muda merupakan bahagian yang lebih besar. Hal ini nantinya akan membawa pengaruh pada proporsi penduduk pada usia subur (1549 tahun) yang besar pula. (b) Tingkat Kematian Bayi Tingkat kematian bayi merupakan faktor yang mempengaruhi fertilitas. Kematian bayi merupakan duka cita bagi keluarga yang mengalami musibah. Oleh karenanya, jika suatu keluarga mengalami kematian bayi, maka ada kecende rungan untuk segera menggantinya dengan bayi yang baru. Jadi makin tinggi tingkat kematian bayi disuatu negara/daerah makin tinggi pula tingkat kelahiran. Jumlah kematian bayi di Propinsi Daerah Istimewa Aceh (terutama) di daerah pedesaan relatif tinggi dibandmgkan dengan kota, dan membawa efek untuk menggantikannya pada tahun-tahun berikutnya. 30
(c) Umur Perkawinan Pertama Usia kawin pertama telah dmraikan di atas, tetapi selalu dibahas dalam demografi karena menurut ahli-ahli demografi seperti N.Iskandar f1970) dan Masri Smganmbun (1978) usia kawin pertama mempunyai pengaruh terhadap tingkat fertilitas. Untuk membedakan usia kawin seseorang rendah atau tinggi. Bogue (1969:316) menggolongkan usia kawm pertama kedaiam empat kelompok, yaitu: Kurang dari 18 tahun 18 19 tahun -20 - 21 tahun - 22 tahun ke atas
: : : ;
Child marriage Early marriage Marriage at maturity Late marriage
Data sensus 1971 untuk laki-laki di Daerah Aceh menunjukkan golongan Early marriage baik daerah kota maupun desa. Sedangkan wanita kota termasuk golongan marriage at maturity dan early marriage untuk daerah desa. Keadaan seperti di atas hampir sama untuk seluruh Indonesia.
Tabel 2.24.
Proporsi Umur Kawm Vanabel Sosial
Vanabel Sosial
Pertama di Daerah Aceh
Umur Laki laki < 26 26 t
menurut
Beberapa
Umur Perempuan < 20 20 i
%
N
%
N
%
N
%
N
30
(20)
33
(120)
26
(43)
15
(171)
35
(120)
33
(247)
32
(218)
19
(156)
Pernah pindah
30
(32)
42
(84)
41
(37)
32
(26)
Tidak pernah pmdah
29
(103)
30
(271)
29
(223)
16
(294)
Pendidikan: SD tidak tamat SD tamat ke a t a s
Migrasi sebelum kawin:
Sumber : Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Unsyiah,1982 31
Hasil penelitian yang pernah dilakukan pada tahun 1976 di tiga tipe desa di Aceh Utara ternyata usia kawin pertama untuk wanita tergolong child marriage yaitu 14,6 tahun untuk desa nelayan, 15,7 tahun untuk desa pertanian dan 16,3 tahun untuk desa campuran (Salim, 1976:44) Hasil penelitian lain pada tahun 1977 menunjukkan usia kawin pertama di Daerah Istimewa Aceh untuk wanita juga tergolong child marriage. yaitu 16 tahun (Hiliry, (1973:31). Selanjutnya rata-rata usia kawin pertama di pedesaan Kecamatan Montasik dapat dikatakan tinggi dibandmgkan dengan hasil penelitian terdahulu, yaitu untuk laki-laki 24,5 tahun dan untuk wanita sebesar 17.7 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan usia kawin pertama bagi wanita di Daerah Istimewa Aceh sesuai dengan data sensus, artinya Early marriage untuk daerah pedesaan, sedangkan hasil penelitian Iainnya ternyata masuk katagori Child marriage. (Arian: 1982). Dalam hal ini ada dua faktor bagi laki-laki maupun wanita yang mempengaruhi usia kawin pertama. Diantara faktor-faktor adalah tingkat pendidikan dan mobilitas (lihat tabel 2.24). Pengaruh pendidikan hanya berlaku untuk responden perempuan yang bcrumur kurang dan 26 tahun. Ternyata 30 persen dari laki-laki yang berpendidikan rendah kawin pada usia 26 tahun kc atas, dan sebanyak 35 persen dari mereka yang berpendidikan SD tamat atau lebih, kawin pada usia 26 tahun ke atas. Hal ini berlaku pula bagi responden perempuan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin tinggi usia kawin pertama, atau terjadi hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan usia kawin pertama. Sebagaimana kita ketahui pasangan usia subur berada pada usia (15 49 tahun) sehingga tersedia jangka waktu selama 34 tahun bagi wanita yang berpnxluksi. Makin muda usia kawin pertama semakin panjang jangka waktu yang tersedia untuk berproduk si atau sebaliknya.
2.3.4.2 Faktor Sosial Ekonomi, Yang termasuk dalam faktor ini adalah : (a)
Pendidikan: Pendidikan membuat orang menjadi cerdas, sehingga dapat memahami persoalan yang dihadapi dengan cepat. Demikian juga persoalan penduduk yang semakin banyak dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk. Distnbusinya tidak merata. lapangan pekerjaan terbatas dan sebagainya. Dengan pendidikan, masyarakat akan memahami masalah penduduk dan biasanya dnkuti dengan usaha menekan tingkat kelahiran. Jadi semakin tinggi tingkat pendid 32
ikan, semakin rendah tingkat kelahiran dan sebaliknya. Pengaruh pendidikan di daerah Aceh terhadap kelahiran diduga telah berpengaruh secara tidak langsung terhadap penurunan kelahiran. (b) Kesehatan: Faktor kesehatan juga dapat mempengaruhi 8 tingkat kelahiran. Apabila tingkat kesehatan baik, maka tingkat kematian bayi akan rendah dan sebaliknya, sehingga tingkat kelahiran juga rendah atau sebaliknya. D i pihak lain jika kesehatan ibu miningkat akibatnya lebih produktif, sehingga untuk mengatasi/mencegah kelahiran lebih diperlukan alat kontrasepsi. Dewasa ini keadaan kesehatan relatif baik, penambahan sarana dan tenaga terus ditingkatkan, selama PELITA 1 - V . (c) Tingkat pendapatan: Ada suatu tiori yang menyatakan bahwa tingkat pendapatan bertolak belakang dengan tingkat kelahiran. Pada pendapatan yang tinggi, orang biasanya berusaha untuk lebih meningkatkan lagi pendapatannya. Dalam hal ini nilai ekonomi anak akan lebih menonjol. 2.3.4.3. Faktor Sosial Budaya: Faktor sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat ada yang mendukung dan ada pula yang tidak terhadap besar kecilnya tingkat kelahiran. Suatu anggapan dalam masyarakat yang menganggap banyak anak banyak rezeki. Hal ini akan mempengaruhi tingkat kelahiran yang tinggi pula. Ke tiga determinan di atas telah berlaku pada pra-PELITA, dan dalam P E L I T A I belum banyak peranannya, tetapi pengaruh sosial budaya masih terasa dalam masyarakat. Hal ini terhhat dalam sikap dan tingkah laku yang menginginkan anak banyak. Dalam PELITA III keadaannya sudah berubah terutama program K B telah intensif dilaksanakan, melalui penyuluhan lapangan. Demikian juga keadaan ekonomi masyarakat sudah menunjukkan ada perubahan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Kiranya wajar kalau dibedakan transisi fertilitas secara umum dalam 5 tahap yaitu: a. b.
Fertilitas sangat tinggi desertai dengan mortalitas sangat tinggi, sehingga pertumbuhan penduduk sangat rendah. Fertilitas mulai menurun disertai dengan mortalitas tinggi, sehingga pertumbuhan penduduk mulai meningkat secara lamban.
c.
Penurunan fertilitas dan mortalitas yang cukup tajam. pertumbuhan penduduk miningkat.
d.
Fertilitas mulai stabil dan mortabilitas yang masih menurun. Dalam tahapan ini, pertumbuhan penduduk mulai menurun untuk menuju angka pertumbuhan yang rendah. 33
Dalam tahapan ini
laju
e.
Tahap akhir, dimana fertilitas dan mortalitas rendah, termasuk mortalitas bayi
dengan pertumbuhan penduduk yang juga rendah. Propinsi Daerah Istimewa Aceh masih berada pada tahap ke III. 2.3.5.
Prospek penurunan Tingkat Kelahiran pada PJPT - II
Di atas telah disebutkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kelahiran. Sejauh mana tingkat kelahiran dapat mempengaruhi secara langsung dan tidak langsung terhadap program-program pembangunan terutama di luar K B . Sebagaimana diketahui bahwa program K B merupakan program utama pemerintah untuk menurunkan tingkat kelahiran di Indonesia Tabel 2.25.
Perkiraan Kelahiran. Kelahiran Kasar (CBR) dan Jumlah Kelahiran Total (TFR)) di Daerah Aceh dan Indonesia ( 1990 - 2020) Jumlah Kelahiran
Cbr
Tfr
Periode Aceh 1990-1995 1995 -2000 2000-2005 2005 - 2010
105 108 109 106
058 961 678 784
2010-2015 2015 - 2020
101754 104 443
Ind.
Aceh
lnd
Aceh
771 928 842 715
29.1 2' .2 24.9 22.4
24.1 22.1 19.5 18.0
3 463 3 090 2 758 2 461
2 2 2 2
4 206 338 4 183 125
19.9 19.2
16.2 14.6
2 196 2 132
1 935 1800
4 4 4 4
587 496 393 298
7
lnd. 911 552 237 08!
Sumber : Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi U.I.Jakarta.
Dari hasil sensus penduduk 1990 dapat diproyeksikan sampai tahun 2005, batasan ini mudah di Evaluasi terhadap perobahan-perobahan yang berlaku. Sungguhpun dalam lampiran disajikan diproyeksi penduduk sampai tahun 2020 tetapi perlu dicatat juga diperhatikan hasilnya sampai 2005 tabel 2.25 jumlah kelahiran akan turun (Aceh dan Indonesia) demikian juga TFR dan Crude Birth Rate (CBR) dimasa yanga akan datang. Informasi tersebut menunjukkan bahwa tingkat kelahiran masih tmggi bila dibandingkan dengan Nasional. Berdasarkan proyeksi tersebut 15 tahun mendatang setelah tahun 1990 penduduk Daerah Aceh perlu mendapat perhatian untuk mengevaluasi tingkat kelahirannya. Diharapkan dalam periode 2000 - 2005. diharapkan CBR nya 24,9 dan TFR menjadi 2.758, pada periode tersebut keadaan fertilitas, C B R dan T F R masih di atas keadaan Nasional. 34
2.3.6.
Implikasi pada Kebijakan Keluarga Berencana (KB) dan Non Keluarga Berencana (Non KB) Dalam rangka menurunkan tingkat kelahiran, maka pemerintah memperioritas-
kan kebijakan dibidang K B dan Non K B yaitu: A.
Kcluarga Berencana. Kebijakan yang diambil dalam bidang KB meliputi : a. Peremajaan segmentasi sasaran. saran yang ingin dicapai adalah perluasan jangkauan dan liputan sehingga terjangkau pada sasaran kelompok Pasangan Usia Subur (PUS) umur muda yaitu umur 20 - 25 tahun. b. Pra PUS atau generasi muda, yang sasaranya didekatkan dengan pendidikan KB.hal ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan hamil dibawah umur. c. Pelaksanaanya dan Pembmaan Institusi, Pembinaan institusi masyarakat secara khusus diarahkan pada menimbulkan institusi yang belum ada dan mengembang kan institusi yang telah ada, sehingga gerakan K B lebih dinamis dan mantap. perlu partisipasi organisasi masyarakat. lembaga swadaya masyarakat, pemuka masyarakat dan pemuka agama. d. Pcmbudayaan keluarga Kecil. yang Sejahtera Keluarga kecil yang mandin mendukung upaya penyediaan layanan K B sesuai kebutuhan dan terjangkau oleh masyarakat. Peningkatan mum pelayanan, baik melalui peningkatan sarana pelayanan maupun peningkatan mutu tenaga pelayanan. Pembinaan kualitas alat kontrasepsi, diusahan agar aseptor mau memakai alat kontrasepsi yang etcktif. kim dan masa yang akan datang.
2.3.6.2 Non Keluarga Berencana. Sasaran penurunan kelahiran di luar K B meliputi perluasan pembangunan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah di segala bidang akan berpengaruh pada : a. b.
Perluasan jenjang pendidikan (Formal clan Informal) Mcnciptakan lapangan kerja baru,terutama kaum wanita,
c. d.
Peningkatan sarana kesehatan Membina industri kecil (industri rumah tangga)
e. f.
Peningkatan listrik masuk desa. Dan sektor-scktor Iainnya
35
I LU 3
O <
oo 7
CC ^ li- o CO <
(N
u
es
g
O
36
I LU
ü <
£
z
I
' O
Ie
Q.
i -
cc a
I CO
- <
M
2 D c .2 es
e O
CC LU LL < _l
ut c
'
O o.
03 —
_2 "3 a < c
03
ca O O.
C/1 PM
aa
37
2.4.
Perkembangan Tingkat Kematian.
Kematian atau sering juga disebut dengan Mortalitas, merupakan indikator kependudukan dan derajat- kesehatan masyarakat. Indikator derajat kesehatan Iainnya adalah status gizi (nuritional status), angka kesakitan (morbidity rate), dan harapan hidup (life expectancy). Kematian menyebabkan penurunan tingkat pertambahan penduduk di suatu daerah. Dalam tulisan ini akan di lihat pola, trend dan prospek serta penurunannya di masa yang akan datang. Selanjutnya dapat pula di lihat transisi kematian (mortalitas) dengan karakteristik sebagai berikut: a.
Mortalitas sangat tinggi, dengan kualitas hidup yang sangat buruk, dimana baik keadaan ekonomi maupun fasilitas pelayanan kesehatan sangat buruk. Pada tahap ini A K B (angka Kematian Bayi) lebih tinggi dari pada 100 per 1000 kelahiran hidup. Pada tahap ini (tahap soft rock) penyakit didominasi oleh karena infeksi.
b.
Mortalitas tinggi dengan penurunan yang lamban ditandai oleh keadaan ekonomi yang membaik, akan tetapi pelayanan kesehatan masih sangat terbatas. Tahapan ini masih termasuk tahap soft rock dengan A K B masih diatas 100 per 1000 kelahiran hidup. Penurunan tingkat mortalitas yang cukup tajam, dimana perbaikan sosial ekonomi, seperti peningkatan pendapatan, dan kemajuan tehnologi kesehatan mulai menun jukkan peranan yang berarti dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Tahapan ini dapat dinyatakan sebagai tahapan intermediate rock.
c.
d.
e.
Tingkat mortalitas masih menurun, tetapi dengan lebih lamban karena secara aiami ah penurunan mortalitas akan semakin sulit setelah pengaruh faktor-faktor luar. seperti infeksi, terhadap kematian bayi cukup rendah atau dapat dikontrol. Tahapan ini dapat dinyatakan sebagai tahapan hard rock dengan A K B dibawah 30. Disini akan banyak muneul penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, kanker, ginjal, dan man-made disease seperti kecelakaan dan kriminalitas. Tingkat mortalitas rendah, termasuk mortalitas bayi, yang cukup atau sangat rendah. Pada keadaan ini tingkat mortalitas khususnya Crude Death Rate (CDR), dapat diharapkan meningkat akibat perubahan pola kematian dimana angka kematian penduduk usia lanjut akan meningkat kematian di Daerah Aceh termasuk katagori intermediate rock.
2.4.1.
Keadaan Terakhir Tingkat Kematian.
Angka kematian dari hasil sensus penduduk tahun 1990 belum tersedia, data ini sedang diproscs oleh Biro Pusat Statistik. Namun demikian dalam PELITA V Daerah Aceh telah direncanakan untuk menurunkan tingkat kematian kasar (CDR) dari 7,9 orang per 1000 penduduk pada akhir P E L I T A IV menjadi 7,4 pada akhir PELITA V . Sejalan 38
dengan rencana tersebut perlu diusahakan peningkatan kesejahteraan masyarakat agar angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup menurun dari 59,8 pada akhir P E L I T A IV menjadi 51,9 pada P E L I T A V . Dengan digalakkannya program kesehatan oleh pemerintah dan berpartisipasinya masyarakat untuk memberantas penyakit menular diharapkan kematian akan turun. Selama PELITA V telah diusahakan perbaikan gizi, perbaikan lingkungan pemukiman dan juga perluasan lapangan kerja, yang diduga akan berakibat pada menurunnya tingkat kematian, terutama kematian bayi. Angka kematian bayi disebut juga dengan infant mortality rate (IMR) yaitu banyaknya kematian bayi selama satu tahun per 1000 kelahiran pada tahun yang sama angka kematian bayi ini juga dipergunakan sebagai indikator kesejahteraan rakyat. 2.4.2.
Tingkat dan Pola Kematian selama PELITA I
Untuk mclihat kematian sebelum dan selama PELITA I, dapat di lihat pada berbagai hal yang boleh/tidak boleh dimakan, pada hal makanan tersebut mengandung gizi. Contohnya antara lain anak-anak tidak di perboleh makan ikan di takut kena penyakit cacing. Dengan mempergunakan data hasil sensus 1971 dan jumlah penduduk tersebut dari direverse pada periode sebelumnya 1966 - 1971 (lihat tabel 2.26) menunjukkan distribusi kematian menurut Kabupaten. Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara dan Aceh Selatan keadaan CDRnya masing-masing 0.0216, 0.0213 dan 0.0212. Tabel 2.26.
Jumlah Kematian dan CBR menurut Kabupaten (1966 - 1971)
Kabupaten/Kodya
Jumlah Kematian
Cdr
1. Aceh Besar
70 773
0 0210
2. P i d i e 3. Aceh Utara 4. Aceh Timur
55 161 88 671 56 966
0 0193 0 0212 0 0216
5. 6. 7. 8. 9.
18 712 20 122 40 349 42 492 8 773
0 0 0 0 0
Aceh Tengah Aceh Tenggara Aceh Barat Aceh Selatan Banda Aceh
10. Sabang Aceh
0189 0189 0206 0213 0183
3 052
0 0197
404 447
0.0202
Sumber : Kantor Statistik Propinsi Daerah Istimewa Aceh Sensus 1971 (diolah)
39
.
Kabupaten Aceh Besar 0.0210, Aceh Barat 0.0206, untuk Kabupaten Iainnya berada di bawah 0.0200. Suatu studi lapangan oleh Lemabaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala yaitu Kabupaten Aceh Utara dan vital statistik di Aceh Besar, sebagai gambaran tentang keadaan kematian di awal PELITA. Tingkat kematian bayi di Aceh Besar dan di Aceh Utara dapat diperhatikan dalam tabel 2.27 dan tabel 2.28 masingmasing sebesar 111,9 dan 112. Informasi ini menggambarkan keadaan kematian 5 tahun kebelakang (1969 -1974). Diantara kematian pada saat itu adalah prematur (7,2 %), lahir mati 1,2 persen. Kematian bayi tidak cukup umur kandungan (premature) tersebut dapat dikatakan bahwa pemeliharaan kesehatan bagi ïbu-ibu hamil belum begitu baik. Tabel 2.27. Tingkat Kematian Bayi (IMR ) di Aceh Besar. 1974 Permukiman*
IMR
l.Sibreh 2. Reukit
87,7 87.7
3. Sare 4. Montasek 5. Bung cala
155,6 4! ,7 363.6
Aceh Besar
111.9
Sumber: Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala.Darussalam Banda Aceh, 1974 * Mukim merupakan kumpulan beberapa desa yang berada dibawah Camat Tabel 2.28. Jumlah Kematian dan Tingkat Keamanan Bayi (IMR) di Kabupaten Aceh Utara (1974) Desa
Kelahiran
Kematian
IMR
1. Nelayan
184
27
147
2. Pertanian 3. Campuran
164 549
10 64
19 117
101
112
Aceh Utara
897
Sumber : Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh, 1974.
40
Atau ihu-ibu tersebut belum memperoieh penyuluhan tentang hidup sehat (pemeriksaan kandungan sebelum saat melahirkan) atau ada dugaan bahwa Puskesmas dan tenaga bidan belum tersedia sebagaimana diharapkan, atau kalau ada belum terjangkau oleh masyarakat terutama di tingkat desa. Keadaan IMR di Kabupaten Aceh Utara dengan desa sampel terdiri dari desa Nelayan, Petani (pangan/holtikultura), dan desa campuran (pertanian dan non pertanian). Tingkat kematian bayi (IMR) di desa Nelayan sebesar 147, desa pertanian 61 dan desa campuran 117 per 1000 kelahiran. Dari informasi kematian pada masa memasuki tahap Repelita I. dapat dikatakan bahwa keadaan kematian tinggi karena keadaan sosial (kesehatan, pendidikan dan ekonomi) belum begitu baik pada saat tersebut. 2.4.3.
Tingkat dan Pola kematian selama PELITA I - V .
Selama PJPT dilaksanakan. di daerah Aceh, telah banyak usaha pemerintah untuk menurunkan tingkat kematian. Usaha tersebut antara lain pengadaan sarana kesehatan (Puskesmas. Rumah Sakit) dan pengadaan tenaga medis (medis dan para medis) serta t
usaha dalam pcmberantasan penyakit menular. Hasil nyata telah terlihat pada PELITA II, jumlah Dokter 172 orang, atau 0,71 orang Dokter per 10 000 penduduk. Pada tahun 1088 jumlah Dokter naik menjadi 335 orang atau 1,03 Dokter per 10 ribu penduduk. Tenaga perawat juga naik sebesar 487.14 persen (empat setengah kali lipat) pada akhir PELITA II. Di akhir PELITA IV kenaikan serupa dialami oleh tenaga Bidan. meningkat 71.04 persen selama kurun waktu diatas, hal ini disebabkan bidan bidan ditempatkan di Puskesmas puskesmas yang ada di tingkat Kecamatan. Selanjutnya dalam periode tersebut akan di lihat perkembangan angka kematian bayi. Angka kematian bayi selama tahun 1971 - 1985 relatif menurun sebesar 56,09 persen untuk bayi laki laki dan 58.16 persen untuk bayi perempuan. Pada tahun 1971 IMR laki-laki sebesar 0.141 yang bearti terdapat 141 kematian per 1000 kelahiran bayi laki-laki. Untuk perempuan relatif rendah yaitu 0.120. Perbedaan angka kematian ini kemungkinan disebabkan karena daya tahan tubuh perempuan lebih kuat dari laki-laki. Keadaan IMR pada sensus 1980 telah turun jika dibandmgkan dengan angka tahun 1971. Angka kematian laki-laki sebesar 0,099 dan perempuan 0,082 bearti dari tahun 1971 - 1980 telah terjadi penurunan IMR sebesar 29,8 persen untuk laki-laki dan 31,7 persen untuk perempuan. Perbedaan IMR antara kota dan desa cukup menyolok. Pada tahun 1971 IMR lakilaki di daerah pedesaan sebesar 0,152 sedang di daerah perkotaan sebesar 0,105.IMR 41
untuk perempuan di daerah pedesaan menunjukan angka 0,129 dan daerah perkotaan 0,088. Perbedaan ini di duga adanya perbedaan fasilitas kesehatan antara kota dan desa dan pengetahuan masyarakat desa tentang kesehatan masih rendah. Namun demikian kalau diperhatikan lebih lanjut akan kelihatan bahwa penurunan kematian sebesar 33,6 persen untuk laki laki dan 34,9 untuk perempuan. Di daerah perkotaan telah terjadi penurunan sebesar 31,4 persen untuk laki-laki dan 34 persen untuk perempuan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh ada kemajuan dibidang kesehatan, seperti puskesmas dengan pendidikan Sekolah telah diadakan sampai ke daerah pedesaan yang terpencil. Dalam tabel 2.30 dapat di lihat perbedaan IMR antara Kota dan Desa di Daerah Istimewa Aceh. Pada tahun 1985 angka kematian tercatat sebessar 68,9 per seribu kelahiran hidup untuk bayi laki-laki dan 55,2 per seribu kelahiran hidup untuk bayi perempuan. Keadaan ini didorong oleh adanya perbaikan lingkungan hidup sebagaimana telah diuraikan di atas. Angka kematian bayi per seribu kelahiran dapat di lihat pada tabel 2.29. Tabel 2.29. Angka Kematian Bayi per 1000 Kelahiran Daerah Aceh menurut Jenis Kelamin (1971, 1980, 1985) Tahun 1971 1980 1985*
Laki-laki
Perempuan
141,2 98,8 68,9
119.5 82,0 55.2
Sumber : Kantor Statistik Propinsi Daerah * Angka perbaikan.
Istimewa Acoh Supas.1985
42
Tabel 2.30.
Angka Kematian Bayi per 1000 Bayi Daerah Aceh (1971, 1980) 1971
Daerah
1980
—~ Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
H : ESA OTA r K
0.152 0.105 0.141
0.129 0.088 0.120
0.101 0.072 0.099
0.084 0.058 0.082
Indonesia : DESA KOTA K I K
0.162 0.123 0.152
0.137 0.104 0.129
0.124 0.095 0.117
0.105 0.079 0.098
ACE D K D
Sumber : Hasil sensus pensusuk, 1971,1980
2.4.4. Determinan Penurunan Tingkat Kematian 2.4.1.1 Kesehatan: Angka kematian bayi dapat menggambarkan tingkat kesehatan masyarakat secara umum. Angka ini biasanya dapat diperkikan melalui cara statistik tertentu dengan mempergunakan data Sensus penduduk atau survei. Tingkat kematian (bayi) di Propinsi Daerah Istimewa Aceh telah menurun selama penode 1971-1985. Besarnya penurunan angka kematian bayi laki-laki sebesar 56,09 persen dan untuk anak bayi perempuan sebesar 58.16 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan mempcrburuk tingkat kesehatan masyarakat antara lain adalah : a. b.
Rendahnya konsumsi makanan yang bergizi. Kurangnya sarana kesehatan.
c. d.
Masalah sanitasi Keadaan lingkungan yang tidak mendukung kesehatan.Penanganan faktor ini harus terpadu dan terarah dengan memperhatikan faktor sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
2.4.4.2. Pendidikan Pendidikan merupakan suatu indikator dari kemajuan suatu negara. Pendidikan akan meningkatkan mutu manusia, mencerdaskan bangsa dan juga merupakan salah satu 43
determinan yang mempengaruhi kematian. Suatu pendapat dalam masyarakat menyatakan bahwa
penduduk yang berpendidikan tinggi akan menyebabkan tingkat kematian bayi
rendah dan sebaliknya. Untuk rujuan tersebut diperlukan peningkatan sarana dan tenaga kesehatan sehmgga semua lapisan masyarakat memperolehnya.
2.4.4.3 Perilaku Sebahagian besar (90 %) penduduk Daerah Istimewa Aceh tinggal di daerah pedesaan. Perilaku masyarakat desa berbeda dengan masyarakat kota. Masyarakat desa hidupnya dibatasi oleh keterbatasan dan kekurangan, kedudukannya lemah dan dibatasi oleh gerak berbagai adat dan perilaku yang tidak mendukung kesehatan. Masyarakat sebahagian besar kurang mengetahui hidup sehat sebagaimana yang direncanakan oleh pemerintah. Pengobatan sesuatu penyakit diusahakan secara mudah dan yang dekat dengannya. seperti pengobatan dengan rempah-rempah dan daun-daunan.
2.4.4.4 Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi berarti pengolahan kekuatan ekonomi yang menjadi kekuatan ekonomi nyata melalui : a. b. c.
potensial
Penanaman modal (Investasi) Penggunaan teknologi. Kemampuan wira Usaha dan managemen.
Dengan usaha ektensifikasi ini diharapkan akan menampung tenaga kerja dan sekaligus meningkatkan pendapatan perkapita. Pendapatan penduduk yang tinggi akan mempengaruhi tingkat kematian, yaitu dengan jalan meningkatkan kualitas fisik dengan cara mengkonsumsikan makanan yang bergizi (tinggi) dan kalon yang cukup. Kendati pendapatan per kapita yang tinggi dan tidak mutlak menjadi indikator meningkatnya tingkat kesejahteraan. Namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan cermin keberhasilan pembangunan yang pada gilirannya mendukung aspekaspek lain seperti sosial, budaya, politik dan sebagainya. 2.4.4.5 Lingkungan. Pengaruh lingkungan terhadap kematian melalui berbagai interaksi manusia dengan alam, sosial dan alam binaan.
44
a.
Lingkungan Alam, Sebahagian besar penduduk Daerah Istimewa Aceh masih tinggaï di daerah pedesaan. Hidupnya masih dikuasai alam. Banyak faktor yang menyebabkan kesakitan antara lain meminum air yang tidak dimasak, memakan makanan yang mentah, seperti buah buahan. Dan kebiasaan membuang limbah rumah tangga/dan kotoran disebarang tempat menyebabkan timbulnya penyakit menuiar.
b.
Lingkungan Binaan, Aktivitas industri terutama di Kabupaten Aceh Utara dan Timur (tempat-tempat yang ada lokasi industri) membawa dampak pada masyarakat setempat. Limbah yang dihasilkan oleh berbagai industri apabila tidak dikontrol dan evaluasi akan mengganggu masyarakat. Banyak limbah berbahaya dalam bentuk air, udara, dan benda keras Iainnya seperti plastik dan sebagainya. Limbah tersebut akan menurunkan daya tahan tubuh dan mudah diserang penyakit, dan sering juga berakhir dengan kematian.
c.
Lingkungan Sosial, Faktor ini akan mempengaruhi keadaan hidup seseorang,hidup rasa aman, tenteram sesama tetangga/kelompok merupakan sasaran masyarakat yang harmonis. Namun hal hal yang tidak diinginkan terjadi dalam masyarakat. Seperti : a. kejahatan, b. Pencunan dengan kekerasan c. Penggelapan dan penipuan d. penganiayaan e. dan lainTain kegiatan tersebut cenderung disertai berbagai tindakan kekerasan yang kadang kala membawa korban jiwa.
2.4.5.
Prospek Penurunan Tingkat Kematian pada PJPT-II
Prospek penurunan tingkat kematian per 1000 bayi dapat di lihat dari hasil yang diperoleh berdasarkan sensus penduduk tahun 1971 dan 1980. Pada tabel 2.30 dan tabel 2.29, menunjukkan kematian bayi turun di daerah perkotaan dan daerah desa. Ini suatu peitanda bahwa keadaan kesehatan selama periode tersebut relatif baik. Kenyataan menunjukan bahwa banyak sarana dan tenaga kesehatan telah bertambah selama PJPT-I dilaksanakan. Pemberantasan penyakit menuiar terutama daerah-daerah yang rawan terhadap penyakit tertentu, misalnya malaria. Penyuluhan di bidang kesehatan telah berfungsi untuk menyadarkan masyarakat hidup schat dan sebagai dasar untuk penurunan tingkat kematian pada PJPT-II.
45
Tabel 2.31.
Angka Harapan Hidup Waktu Lahir (eo) menurut Jenis Kelamin dan Tempat Tinggal (tahun 1971 dan 1980)
Daerah
1971
1980
53.0 56.3
59.3 63.0
45.0 48.0
53.7 57.0
46.6 57.5
52.3 57.7
1985
Kota: laki-laki Perempuan Desa: laki-laki perempuan Kota + Desa: laki-laki perempuan
60,1 63,8
Sumber : BPS :Perkiraan Angka Kelahiran dan Kematian, tahun 1971 - 1980. * Indikator kesejahteraan rakyat Aceh, 1988.
Berdasarkan Usia Harapan hidupnya penduduk Propinsi Daerah Istimewa Aceh periode 1971-1980 telah mengalami kenaikan yaitu dan 46,6 menjadi 52,3 tahun untuk penduduk laki-laki (tabel 2.31). Sedangkan penduduk perempuan dan 57.5 menjadi 57,7 tahun. Kenaikan harapan hidup ini akan berlangsung terus pada PJPT - II. Perkiraan angka kematian bayi dapat di lihat pada periode selanjutnya yaitu 1990-1995, 195-2000. 2000 - 2005 dan periode 2005-2010, lihat tabel 2.32. Perkiraan im dibagi menurut jenis kelamin (laki-laki dan wanita), pada tahun 2005 IMR laki-laki sebesar 49.61 dan perempuan 40.27 dengan CBRnya 24.9. Tabel 2.32. Angka Perkiraan Kematian Bayi (IMR) dan Kematian Kasar (CBR) Daerah Aceh (1990 - 2010) 1 M R Periode
CDR laki-laki
perempuan
1990 -1995 1995 -2000 2000-2005
60.34 54.73 49.61
48.65 44.24 40.27
7.5 7.3 7.2
2005 - 2010
45.01
36.73
7.0
Sumber : Lembaga Demografi Fakonomi Ekonomi Universitas Indonesia,Jakarta, i 991. 46
2.4.6.
Implikasi pada Kebijakan Kesehatan dan Non Kesehatan
Implikasi kebijakan dibidang kematian diarahkan kepada sektor kesehatan dan non kesehatan. a. Kesehatan : Kebijakan jangka panjang dibidang kesehatan diarahkan di berbagai sektor,antara fain untuk mencapai tujuan utama sebagai berikut : a. Peningkatan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan. b. Perbaikan mutu lingkungan hidup yang dapat menjamin c. Peningatan status gizi masyarakat. d. Pengurangan kcsakitan ( morbiditas ) dan kematian
kesehatan.
(mortalitas)
b. Dibidang Non Kesehatan: Kebijakan jangka panjang dibidang Non Kesehatan dapat diarahkan ke berbagai sektor, sektor satu dengan Iainnya saling berhubungan. Scktor-sektor tersebut meliputi : a. Mengusahakan asuransi kematian. b. Peranan Swasta perlu ditingkatkan untuk memperhatikan masaalah keseha tan. c. Penambahan sarana pendidikan terutama di daerah pedesaan d. Peningkatan pendapatan. c. Memperhatikan masaalah lingkungan,terutama lingkungan pemukiman di pinggiran kota dan desa.
47
B A B III MOBILITAS PENDUDUK
Mobilitas penduduk dapat dianalisis sebagai perpindahan penduduk. Perpindanan penduduk tersebut dapat di lihat sebagai urbanisasi, migrasi ( permanen dan non permanen). Perpindahan penduduk dapat diartikan sebagai aktivitas pindahnya seseorang, dan mereka yang pindah tersebut dikatakan migran. Migrasi merupakan suatu komponen dari perubahan penduduk di samping kelahiran dan kematian. Migrasi dapat diartikan sebagai perubahan tempat dengan tujuan untuk menetap dan tidak kembali ke tempat semula ( non recurrement movement), sekurang-kurangnya dalam waktu yang pendek. Perubahan tempat diartikan sebagai wilayah (Propinsi, Kabupaten, dan desa), sedangkan waktu yang pendek merupakan batas waktu yang ditentukan minimal 6 bulan. Mobilitas penduduk tersebut dapat terjadi secara vertikal dan horizontal. Perubahan vertikal merupakan perubahan status seseorang, dan horizontal merupakan perpindahan penduduk secara geografi. Perpindahan secara geografis dihubungkan dengan gerak/perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain(dan daerah asal ke daerah tujuan). Dalam analisis ini akan diadakan klasifïkasi pembahasan yaitu : migrasi semasa hidup (life time migrant), migran total (Total migrant), dan migran risen. Perpindahan penduduk untuk daerah kota-desa dapat di lihat dalam bentuk mobilitas ulang alik. Migrasi ini lebih dikenal dalam bahasa asing dengan ïstilah "Commuter" ditandai dengan pulang pergmya migran dari tempat kediamannya ke tempat ia bekerja atau sekolah, dan biasanya pada malam hari sudah berada di rumah kembali. Mobilitas Ulang-Alik dapat dilihat menurut tempat tinggal yaitu: "Allochthonous" commuters yaitu merupakan penduduk kota pindah dan menetap di luar kota tetapi ia bekerja/mencan nafkah di kota, dan setiap han pergi ke kota. Autochthonous commuters yaitu penduduk asli dari luar kota yang bekerja mencari naikah ke kota, dan tetap bertempat tinggal di daerah asalnya. Sedangkan perpindahan penduduk yang sifatnya Urbanisasi dapat dijelaskan sebagai pertumbuhan kota-kota baru. Perluasan kota-kota lama, perpindahan penduduk dari desa ke kota, atau proporsi penduduk suatu daerah/negara yang tinggal di daerah perkotaan.
3.1. Keadaan Terakhir Urbanisasi, Migrasi dan Pemukiman Penduduk 3.1.1 U r b a n i s a s i Analisis Urbanisasi tidak dapat dipisahkan dengan pertumbuhan perkotaan. dapat diartikan dalam 2 pendekatan, rungsional dan administratif. 48
Kota
Kota sebagai fung
sional meliputi daerah bcrdekatan yang bercirikan daerah perkotaan yang ditentukan oleh kepadatan penduduk, fungsi dan fasilitas ekonomi. Sedangkan kota sebagai daerah Administratif merupakan daerah yang ditentukan sebagai kesatuan untuk tujuan administratif yang biasanya bcrsifat kota tetapi sering pula masih bentuk desa. Dalam PELITA V telah dikemukakan beberapa kota sebagai pusat pembangunan Wilayah. Kota-kota tersebut adalah : a. b. c. d.
Meulaboh di pesisir Barat dan Selatan, merupakan ibukota Kabupaten Aceh Barat. Banda Aceh, yang merupakan ibukota Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dan juga sebagai ibukota Kotamadya Banda Aceh . Lhokseumawe di pesisir Utara dan Timur, merupakan ibu kota Kabupaten Aceh Utara. Takengon di daerah Pedalaman, merupakan ibu kota Kabupaten Aceh Tengah.
Dalam pembangunan wilayah dirasakan adanya kesenjangan antara pesisir Barat Selatan dan daerah pedalaman, maka daerah pembangunan daerah Aceh di bagi lagi dalam 2 zona, yaitu zona Industri dan Zona Pertanian. Pembagian ini didasari oleh faktor adat-istiadat, prasarana ekonomi, potensi alam, pola produksi, arus migrasi, pemisahan ini merupakan satu kesatuan dalam kebijakan pembangunan daerah. Dewasa ini pemerintah daerah telah meproritaskan pembangunan dalam tiga pusat pertumbuhan utama (Meulaboh, Banda Aceh, dan Lhokseumawe), dan pusat-pusat pertumbuhan Iainnya sebagai penunjang seperti (Sinabang, Tapaktuan, Kotacane, dan Langsa). Dengan rumbuhnya pusat-pusat pembangunan tersebut tentu akan mempengaruhi tingkat mobilitas penduduk dan urbanisasi di masing-masing kota. Pusat-pusat pembangunan wilayah yang telah tumbuh sebagai akibat dibangunnya berbagai sarana kota, dan ini merupakan daya tarik tersendiri penduduk pindah ke kota. Faktor penank Iainnya adalah kota sebagai pusat perdagangan, pendidikan,
kesehatan,
sosial dan politik.
•
49
Tabel 3.1.
Jumlah Penduduk dan Klasifikasi Perkotaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1980 Klasifikasi Kota :
Kabupaten/ Kotamadya " 1. Aceh Selatan 2. Aceh Tenggara 3. Aceh Timur 4. Aceh Tengah 5. Aceh Barat 6. Aceh Besar 7. P i d i e 8. Aceh Utara 9. Banda Aceh 10. Sabang Jumlah
Jumlah Kota 3 2 7 4 5 2 6 13 1 1
Jumlah T>~„AA
10 000 19 999 3 2 7 4 4 2 12
20 000 49 000
50 000 99 999
5 785 10 5 902 9 33 816 4 12 043 6 34 483 2 9 147 5
1
8 760 59 661 71 868 7 959
1
1 41
v
w
1
44
r a n
™ " (P a)
2
1
8 3 1 7
249 374 10
Sumber : Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Unsyiah, 1987
Akibat tumbuhnya kota Meulaboh, Banda Aceh, Lhokseumawe dan Langsa, merupakan daya tarik bagi penduduk pindah ke kota sebagai migran atau urbanisasi. Akibatnya selama Repelita V diduga penduduk kota terus bertambah. Dewasa ini penduduk kota sebanyak 539 740 jiwa (1990).Namun tidak kalah menarik di perhatikan juga adalah jumlah kota-kota disetiap Kabupaten, dan klasifikasi kota-kota di daerah Aceh. Jumlah kota dan klasifikasinya termuat pada tabel 3.1. Dari ïmformasi tersebut dapat di lihat rank kota di Aceh sebagai dasar analisis urbanisasi selanjutnya. Dalam periode tersebut, jumlah penduduk kota terkonsentrasi di Banda Aceh, Aceh Barat, Aceh Utara dan Langsa. Urbanisasi selama PELITA IV ke kota-kota tersebut mungkin disebabkan karena terjadi perbaikan sarana perkotaan, perluasan kota (Reklasifikasi) dan didukung pula oleh transportasi yang relatif baik dibandmgkan pada masa sebelumnya, Akibat dari siruasi tersebut arah urabanisasi beralih ke kota-kota pusat pertumbuhan wilayah di masa yang akan datang.
3. 1.2. Migrasi D i atas telah diuraikan mengenai urbanisasi, analisis selanjutnya adalah perobahan migrasi permanen, yang dewasa mi mengalami perobahan di tiap Kabupaten. Perobahan 50
tersebut disebabkan antara !ain adanya program pemerintah di bidang Transmigrasi, seperti di Aceh Barat (di samping transmigrasi umum juga telah dilaksakan puia transmigrasi pola sisipan di Kecamatan Woyla) dan pola ini akan diikuti lagi dibeberapa lokasi lain di masa dimasa mendatang. Oleh karena pemerintah telah mempunyai program dibidang investasi di sektor pertanian, yaitu pembukaan areai untuk perkebunan (karet, keiapa sawit dan lain-lain nya) di Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Timur dan Aceh Tengah) sehingga di daerah terse but terjadi migrasi masuk selama ini.
Tabel 3.2
Komposisi Migran dan Non Migran Daerah Aceh, 1980
Pendidikan
Migran
(%)
1. Tdk/BIm Sekolah
30 868
21,80
542 829
30,05
2. Tdk/BlmTmt.SD 3. S.D
57 803 24 594
40,82 17,37
670 625 395 134
37,12 21,88
4. S . L . P . U 5. S . L . A . U
12 238 6 818
8,64 4,81
111921 39 575
6,20 2,19
6. S.L.P.K
2 246
'-.59
13 715
0,76
7. 8. 9. 10.
5 387 392
3,80 0,63 0,49 0,05
28 095 1 959 1 497 644
1,56 0,11 0,08 0,04
100
1 805 994
100
S.L.A.K Akademi Universitas T.M Jumlah
7
0
0
7 7
141623
Non Migran
(%)
Sumber : BPS: SP 1980 Seri S.
Namun di sektor industri juga mengundang para migran di berbagai daerah tingkat II di Aceh. Banyak tenaga yang bekerja di sektor Industri Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, dan Kotamadya Sabang yang bukan penduduk asli, tetapi dari luar daerah dan juga dari luar negeri. Selanjutnya migran dan non migran di Aceh dapat di lihat pada tabel 3.2. 3.1.4.
Pemukiman
Keadaan pemukiman di Aceh akan terlihat pada pemukiman baru di daerah tingkat II yang menjadi wilayah industri. Pembangunan perumahan pegawai terjadi di Aceh
51
Timur, Lhokseumawe, Banda Aceh, dan Meulaboh. Keadaan lingkungan perumahan yang dibangun relatif lebih baik dibandingkan dengan perumahan yang dibangun oleh orang-perorangan/individu. Untuk membantu pegawai negeri yang berpendapatan rendah, pemerintah berusaha membantu melalui perum Perumnas untuk membangun rumah di Ibukota Kabupaten. Jumlahnya belum begitu banyak dan perumahan tersebut dapat dibcli oleh penghuninya dengan keadaan lingkungan yang relatif baik dan terkonsentrasi di suatu tempat.
3.2. Gambaran Urbanisasi Migrasi dan Pemukiman Penduduk Sebelum P E L I T A - I 3.2.1 U r b a n i s a s i Sebelum P E L I T A dilaksanakan tahun (1968/1969) keadaan perekonomian di Aceh belum maju dibandingkan dengan keadaan sekarang (PELITA V). Prasarana ekonomi belum baik terutama jalan yang menghubungkan antara daerah tingkat II seperti di Pesisir Barat dan Selatan masih dijumpai 5-7 rakit, demikian juga halnya keadaan jalan ke daerah pedalaman (Aceh Tenggara). Dari 2 keadaan tersebut akan mempengaruhi mobilitas penduduk kejurusan tersebut. Kota sebagai ibukota Kabupaten juga masih belum banyak sarana publik yang tersedia, keadaannya masih terbatas terutama di ibukota Kabupaten Kabupaten yang terletak di Zona Pertanian sekarang. Dampak dari situasi tersebut berpengaruh pada proscs urbanisasi ke kota-kota. Sehingga terlihat penduduk kota belum begitu padat, sektor informal belum begitu menonjol. Tetapi di Kotamadya Sabang yang tcrletak di Pulau Weh selalu ramai dikunjungi oleh pendatang dari daratan Aceh terutama yang berasal dari berbagai daerah. Sabang pada waktu itu sudah dijadikan Pelabuhan bcbas di Indonesia bahagian Barat. Faktor utama mengapa Sabang banyak dikunjungi oleh migran adalah didukung oleh faktor perdagangan (luar negeri), kapal luar negeri banyak datang membawa barang barang impor yang harganya relatif rendah dibandingkan dengan barang-barang yang sama di ibukota Kabupaten yang dihasilkan dalam negeri. Akobatnya urbanisasi ke kota ini relatif banyak dibandingkan ke kota-kota Iainnya di Aceh. Urbanisasi ini terjadi didorong faktor perdagangan luar negerijasa dan perdagangan lokal (antar Sabang dan Banda Aceh). Banda Aceh secara tidak langsung mendapat urbanisasi yang serupa sebagai akibat tidak langsung dari majunya kota Sabang. Tetapi untuk kota-kota lain di Aceh diduga urbanisasinya relatif rendah, akibatnya penduduk kota relatif sedikit. dapat di lihat pada Uibel 3.3.
52
Tabel 3.3.
Jumiah Penduduk Ibukota menurut Kabupaten/Kotamadya, Daerah Aceh 1961
Kabupaten
Ibu kota
Jumlah
!. Aceh Sclatan
Tapak Tuan
5 360
2. Aceh Barat 3. P i d i e
Meulaboh Sigli
7 619 4 519
4. 5. 6. 7. 8.
Lhokseumawe Langsa Takengon Banda Aceh Sabang
Aceh Utara Aceh Timur Aceh Tengah Banda Aceh Sabang J U M L A H
18 263 12 819 8 412 34 207 1 684 92 847
Sumber : Kantor Statistik Daerah Istimewa Aceh Pada tahun 1961 jumlah penduduk kota belum berarti dibandingkan dengan potensi yang dikembangkan. Tiga daerah (Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa) yang penduduknya relatif banyak dibanding dengan kota-kota lain di Aceh. Ini disebabkan ke tiga daerah, tersebut berada di jalur jalan Utara dan Timur Aceh dengan trasportasinya relatif baik. Masyarakat di daerah ini relatif maju dan telah terbuka kalau dibandingkan dengan ibukota Kabupaten Iainnya (di pesisir Barat-Seatan dan Pedalaman). 3.2.2
Migrasi
Keadaan migrasi pada waktu ini relatif kurang, kecuali antar daerah tingkat II. Namun ada juga migrasi keluar ke Propinsi lain dalam hubungan dengan perdagangan dan meneruskan sekolah, atau karena faktor famili Iainnya di kota. Pada periode sebelum P E L I T A I yang banyak migrasi permanen adalah di Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Barat. Ke dua daerah tersebut merupakan wilayah perkebunan karet dan kelapa sawit yang dibuka sejak zaman Belanda (Socfindo). Migrasi permanen ini didatangkan sebagai tenaga kerja yang sifatnya kolonisasi (kuli kontrak), mereka diambil dari pulau Jawa. Tenaga kerja tersebut dipekerjakan di daerah-daerah perkebunan selama masa tertenlu (biasanya lebih dari 12 bulan). Bila telah habis kontraknya, tenaga kerja ini sebahagian tidak kembali lagi ke daerah asalnya, mereka akan pindah ke desa-desa terdekal dengan lokasi perkebunan dan berusaha membaur dengan penduduk asli di lokasi perkebunan yang ada di Aceh, atau menyambung kontrak berikutnya. Dahulu daerah Aceh dikenal sebagai pintu gerbang perdagangan hasil-hasil pertanian, terutama dengan propinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat sampai ke luar negeri. 53
Dengan berlakunya kegiatan tersebut banyak migrasi masuk maupun keluar dari Aceh. Sungguhpun hubungan dengan pihak luar lancar tetapi jalan-jalan yang menghubungkan ibukota Kabupaten dengan centra-centra produksi belum baik, dan prasarana ekonomi (transportasi) seluruh Aceh juga belum menggembirakan. Dengan demikian keadaan mobilitas antar kabupaten dan desa-desa belum begitu menonjol dibandingkan dengan keadaan sekarang (PELITA II - V ) . 3.2.3.
Permukiman
Di atas telah diuraikan tentang adanya migrasi permanen yang berasal dari pulau Jawa, mereka ditampung dalam daerah pemukiman tertentu di daerah tertentu di dalam lokasi perkebunan. Pemukiman mereka tidak mengganggu pemukiman rakyat dan juga tanah masyarakat Iainnya. Bentuk rumahnya sederhana, namun dapat ditempati oleh keluarga inti (ayah, ibu dan 2-3 orang anak). Bangunannya terdiri dari kayu dengan atap seng dan juga daun-daunan yang disediakan oleh perkebunan. D i bahagian lain dapat ditelusuri pula keadaan pemukiman masyarakat di desa dan kota. Pembangunan perumahan di daerah pedesaan secara fisik terlihat dibangun dari kayu dengan atap daun-daunan, bentuk rumahnya tinggi yang dikatakan rumah Aceh. Biasanya di desa terdapat beberapa keluarga. Pemukimannya yang dilakukan di desa didasarkan atas hubungan keluarga, jadi tidak aneh bahwa terdapat satu lokasi (desa) ada hubungan keluarga. Faktor ini dipengaruhi oleh keadaan sosial-budaya sehingga dalam satu desa tersebut mcrupakan satu rumpun (homogen). Sebaliknya di kota-kota Kabupaten, hal tersebut tidak berlaku. rumah Aceh yang banyak dijumpai di desa tidak ditcmui lagi di kota. Perumahannya telah berubah dari bentuk lama ke bentuk baru yang kualitasnya lebih baik. Daerah pemukiman ditentukan di dacrah-daerah tertentu, sungguhpun pada saat itu belum adanya tata ruang pem bangunan kota. Masalah lingkungan dalam pemukiman tersebut didasarkan atas kckeluargaan dan musyawarah, seperti perlunya dibangun sarana jalan, saiuran air dan sosial Iainnya. 3.3.
Pola Urbanisasi, Migrasi dan Pemukiman Penduduk Selama P E L I T A I
3.3.1.
V
Urbanisasi
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa urbanisasi dapat dipandang sebagai proscs dalam arti: 1.
Menigkatnya jumlah dan kepadatan penduduk kota
2.
Bertambahnya jumlah kota dalam suatu negara/wilayah sebagai akibat dari perkembangan ekonomi. budaya, politik dan teknologi. 54
3.
Berubahnya penghidupan desa atau suasana desa menjadi suasana kota. Dewasa ini banyak kota telah berubah secara fisik (reklasifikasi), perluasan perkotaan terebut didorong oleh pertambahan penduduk atau proses urbanisasi ke kota semakin meningkat. Analisis urbanisasi disajikan dalam 3 pokok pembahasan di bawah ini. 3.3.1.1 Proporsi Penduduk Kota (degree of urbanizaüon)
Tabel 3.4.
Proporsi Jumlah Penduduk Kota dan Desa Daerah Aceh (1971, 1980, 1990) (dalam ribuan) 1971
1980
1990
D a e r a h A
I
A
I
A
I
1 Penduduk Urban
109
20 465
234
32 846
540
55 460
2 Penduduk Rural
839
98 675
2 277
113 931
2 876
123 861
3 Persen
Urban
9,86
17,20
8,94
22,40
15,81
30,90
4 Persen
Rural
90,14
82,80
91,05
77,60
84,19
69.10
1 008
11 940
2 511
146 777
3 416
179 321
0,20
0,20
0,09
Jumlah Ratio Urban/rural
0,29
0,18
0,45
Sumber: BPS, SP 1971,1981,1900 (diolah). A : Aceh I : Indonesia Proporsi penduduk perkotaan di Daerah Istimewa Aceh dapat di lihat dari tahun 1971 - 1990. Dalam periode tersebut akan dianalisis perbedaan pertumbuhan penduduk desa dan kota. Dalam tabel 3.4 dapat diperhatikan jumlah penduduk kota dan pertumbuhannya, rasio urban dan rural sebesar 0,20 (1971), 0,09 (1980) dan 0,18 (1990), artinya jumlah penduduk kota relatif sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan penduduk desa. Secara kasar, dengan mengabaikan perbedaan defimsi desa kota dari tahun 19711990 dapat dikatakan bahwa persentase penduduk urban naik dari 8,86 (1971), menjadi 8,94 (1980) dan di tahun 1990 menjadi 15,81. Di duga bahwa kenaikan tersebut disebabkan adanya perbedaan definisi terhadap kota di tahun 1971 dengan tahun 1980 dan tahun 1990. Pada sensus penduduk 1971 definisi kota diambil dari sensus penduduk 1961, tetapi diperluas sehingga mencakup semua desa kota tahun 1961 dan desa-desa lam yang memenuhi syarat sebagai berikut: 55
-
50 persen atau lebih penduduknya bekerja di luar bidang pertanian, dan memiliki 3 fasilitas "kota" yaitu rumah sakit atau klinik, sekolah, dan listrik. Definisi pada sensus penduduk 1971 jelas lebih longgar dari pada sensus tahun 1961, dan batas kota menjadi kabur, karena desa-desa yang terletak di luar kota dapat juga di masukan sebagai daerah urban jika kiteria urban terpenuhi. Dengan indikator tersebut maka proporsi penduduk urban meningkat. Menjelang Sensus 1980 dilakukan studi desa urban dengan menggunakan data F A D E S 1977 dan 1978 maka diperoleh batasan-batasan baru mengenai urban yaitu : -
Kepadatan penduduknya 5000 orang atau lebih per kilo meter
persegi.
-
25 persen atau lebih dari seluruh rumah tangga di desa itu kerja di luar sektor pertam an,dan
-
Memiliki 8 fasilitas kota atau lebih.
Definisi kota pada sensus penduduk tahun 1980 nampaknya lebih longgar terutama karena kriteria proporsi pekerja di sektor non pertanian diturunkan dari 50 persen menjadi 25 persen, dengan batasan ini terlihat bahwa suatu desa dengan jumlah penduduknya masih bersifat pedesaan dengan 75 persen sebagai petam dapat digolongkan sebagai desa-urban, Demikian pula pada sensus penduduk tahun 1990 tidak mengalami perubahan definisi, namum dengan definisi urban seperti tersebut di atas sangat dimungkinkan suatu desa mengalami perubahan (klasifikasi). Ada beberapa syarat perubahan tersebut terjadi yaitu: desa itu sudah cukup padat pada sensus sebelumnya, tanpa pergeseran okupasi secara berarti penambahan fasilitas publik dapat mengubah status desa dari desa-desa menjadi desa-urban. Maka berdasarkan tabel 3.5 dapat di lihat perubahan penduduk kota dari tahun 1980 - 1990 secara rata-rata mengalami kenaikan, kecuali Kotamadya Banda Aceh turun dari 100 persen menjadi 77,64 persen. Hal ini telah diuraikan dahulu yaitu telah terjadi pemekaran kota dari 11 Km2 menjadi 71 Km2. Selanjutnya di pusat-pusat pembangunan wilayah Iainnya juga mengalami pertambahan penduduknya. Aceh Utara (Lhokseumawe), Aceh Timur (Langsa) pertambahannya mencapai dua kali lipat. Hal ini dapat dimengerti karena kedua kota tersebut merupakan pusat pengembangan di zona industri di Aceh. Dan juga di pusat-pusat pengembangan di sebelah pesisir Barat-(Meulaboh) pertumbuhannya juga meningkat dari 6,85 persen menjadi 10,15 persen. Secara umum dapat dikatakan bahwa telah terjadi pertambahan penduduk di Kodya selamam PELITA dilaksanakan. Bila diperhatikan pada ratio kota-desa nampaknya bervariasi antara tahun ketahun (1971,1980 dan 1990). Pada tahun 1971 keadaannya sama dengan keadaan Nasional, namun dari tahun 1980-1990 keadaan ratio kota-desa di Indonesia relatif tinggi dibandingkan dengan situasi penduduk kota di Aceh.
56
3.3.1. 2 Rate af urban growth Tabel 3.5.
Persentase Penduduk Kota menurut Kabupaten/Kotamadya dan Perrum buhannya (1980-1990)
Kabupaten/Kotamadya
1. Aceh Selatan 2. Aceh Tenggara 3. Aceh Timur 4. Aceh Tengah 5. Aceh Barat 6. Aceh Besar 7. P i d i e 8. Aceh Utara O.BandaAceh lO.Sabang Jumlah Indonesia
.
Persentase penduduk kota
rwh,„,k,.i,™ Pertumbuhan
1971
1980
1990
1980-90(96)
2,55 6,51 18,11 18,83 2,98 0.00 0,98 6,03 100,00 100.00
2,10 3,7! 7,76 7,34 6,85 3,87 2,49 9,53 100,00 33,41
7,26 5,86 16,64 12,34 10,15 5,85 5,83 17,88 77,64 40,01
15,72 6,31 11,49 7,4! 7,05 4,38 11,05 9,75 7,15 2,07
9,86 17,42
8,94 22,29
15,81 30,93
8,74 5,36
Sumber : BPS Jakarta, SP 1990 seri L
Sebelum di lihat rate of urban growth di Aceh terlebih dahulu di lihat jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Persentase penduduk yang tinggal di kota menurut Kabupaten/ Kotamadya hasil sensus penduduk dapat diperhatikan tabel 3.5. Tabel ini menunjukkan bahwa proporsinya turun dari 9,86 persen pada tahun 1971 menjadi 8,94 persen pada tahun 1980, dan mengalami kenaikan menjadi 15,81 persen data sensus 1990. Kotamadya Banda Aceh mengalami penurunan penduduknya tclah diuraikan di atas. Secara umum dapat dikatakan menigkat dari tahun 1980 ke tahun 1990 jumlah penduduk kota. D i lihat dari pertumbuhan penduduk kota antara periode 1980-1990, Kabupaten Aceh selatan mengalami kenaikan dari 2,10 persen menjadi 7,26 dengan pertumbuhannya 15,72 persen hal ini banyak disebabkan oleh perbaikan sarana kota dan perluasan kota di sepanjang Laut Hindia. Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Pidie juga mengalami perubahan yang sama, kota Sigli (di Kabupaten Pidie) merupakan pusat perdagangan transito, barangbarang yang diperdagangkan adalah hasil bumi, dan juga kota ini telah terjadi perluasan sesuai dengan tata ruang kota. Kabupaten Aceh Timur merupakan daerah di persimpan57
gan jalan menuju Medan (Propinsi Sumatera Utara). Kabupaten ini letaknya sangat strategis yaitu antara Kabupaten Aceh Utara dan Propinsi Sumatera Utara (Medan) sehingga kota Langsa tumbuh lebih maju karena potensi alamnya yang dapat dikembang di sektor industri dan pertanian.
Tabel 3.6.
Perubahan-Perubahan Penduduk Ibu Kota Kabupaten di Daerah Istimewa Aceh 1980 - 1990
Ibukota Kabupaten I. Banda Aceh Sabang
2
3. Janthoi Sigli
4
5. Kota Lhokseumawe C 1
•
1980
1985
% Peru-
% Perub a h a n
72,717
151,513
108.359%
184.050
+21.870%
23,821
2C.712
+20,712%
24.413
-8.G0G%
100
1,274
12,530
15.028
N.A.
30.319
+1.174% +20.0%
K o t i f Lhokseumawe Langsa
1990
b a h a n
47,201
1,713
+34,4%
15.292
+ 1.7%
54,070
+78.0%
-
150,207
CO.499
+28.0%
87,081
+45.0%
0. Kutacane
24.552
25.C4G
+ 4.5%
27.702
+ 8.0%
9. Takengon
23.915
22,510
- 5.9%
35,504
+58.0%
10. Tapak Tuan
14,892
17,820
+19.6%
18,096
+ 1.5%
I I . Meulaboh
30.128
28,995
- 3.8%
40,318
+39.0%
N.A.: :
Not Available Not Aplicable
Menarik untuk di lihat perkembangan Kota madya Banda Aceh, akhir-akhir ini banyak disebabkan oleh karena sarananya telah meningkat secara kuantitas dan kualitas. Kota ini selalu dilanda banjir pada musim liujan. Dewasa ini telah dibuat pengendalian banjir, sehingga warga kota tidak was-was terhadap banjir. Selanjutnya Kota Madya Sabang mengalami penurunan permmbuhannya, sebagaimana telah diutarakan sebelumnya yaitu telah tertutupnya pelabuhan bebas Sabang yang dulunya menjadi Sabang sebagai kota metropolitan di pulau Web. Secara umum perkembangan urbanisasi ke kota -nengalami peningkatan dan dalam periode 1980-1990 rata-rata pertumbuhannya 8,74 persen setahun. Pertumbuhan ini relatif tinggi dibandmgkan penduduk kota-kota di Indonesia. Jumlah penduduk di ïbu-ibu kota telah diteliti oleh LAL1T K . S E N Tahun 1991 lihat tabel 3.6 menunjukkan distribusi penduduk kota menurut Kabupaten; Kotamadya tahun 1980-1990.
58
3.3.13. Tempo Urbanisasi/space of Urhanization Tabel 3.7.
Pertumbuhan Penduduk Urban dan Rural di Daerah Aceh 1980-1990 P E R T U M B U H A N (%) :
Kabupaten/Kodya
1. Aceh 2. Aceh 3. Aceh 4. Aceh 5. Aceh 6. Aceh
selatan Tenggara Timur Tengah Barat Besar
' Kota
—
Desa
Kota l Desa
Ratio Urban/ Rural
15,72 6.31 11,49 7,41 7,05 4,38
1,66 1.32 2,26 1,47 2,58 -0,04
2,21 1,55 3,30 2,03 2,95 0.16
14.06 4,99 9,23 5,94 4,47 4,42
11,05 9,75 7,15 2,07
1,68 2,08 -0,80
2,03 3,07 9,90 0,20
9,37 7,67 7,15 2,15
1,92
2.72
6,82
7. P i d i e 8. Aceh Utara 9. Banda Aceh 10. Sabang Jumlah
8,74
Sumber : BPS, Sensus Penduduk .I990,seri L Dalam tabel 3.7 dapat diamati keadaan perbedaan pertumbuhan penduduk desa dan kota. Pertumbuhan kota dalam periode 1980-1990 mengalami peningkatan setiap daerah tingkat II lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata desa-kota. Pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan mengalami peningkatan selama periode 1980-1990, sementara didaerah pedesaan mengalami penurunan. Timbul pertanyaan apakah penurunan ini disebabkan karena urbanisasi atau karena pemekaran wilayah (reklasifikasi) selama 25 tahun ini di beberapa Kota di Aceh. 3.3.2
Migrasi
3.3.2.1. Migrasi Semasa Hidup A.
Status Migrasi Masuk
Analisis migrasi masuk berdasrkan SUPAS 1985 lebih lengkap karena survei ini berusaha melihat status penduduk berdasarkan berbagai aspek perpindahan. D i samping itu juga akan di lihat perpindahan penduduk antar Propinsi maupun antar Kabupaten. Berdasarkan tempat lahir, akan diperoleh data migrasi semasa hidup. Daerah Istimewa Aceh secara keseluruhan diperoleh angka 10,09 persen penduduk yang migran atau 89,91 persen yang bukan migran. Imformasi mi menunjukkan bahwa penduduk "Aceh tidak 59
mobil" dibandingkan dengan penduduk Indonesia secara keseluruhan, dimana persentase yang migran sebesar 12,89 persen atau penduduk Sumatera yang mempunyai angka migran 18,75 persen. Tabel 3.8.
Penduduk Propinsi Daerah Istimewa Aceh Berdasarkan Migran Semasa Hidup menurut Tempat Tinggal, 1985
STATUS MIGRAN
K O T A
D C S A 1
P
•— 1+P
KOTA + DESA
—
1
p
1+P
Bukan Migran
G8.3
70.6
69.4
90,5
89.9
Migran dim
18,2
17,0
17,G
3,6
3.0
3,3
5,1
4,3
4,7
13,4
12,4
12,9
4,6
4,5
4.5
5,5
5,2
5.4
100
100
100
100
100
100
100
100
100
91.7 92.5 92,2
1
89,3
P
L+P
Propinsi Migran antar Propinsi (%) Total
• (N)
153008
294228 141220
1339839 1338120
1491128
2G77959
2972187 1481059
Sumber: Biro Pusat Statistik,Penduduk Indonesia,No.5 1: Laki-laki Jika dialisis migrasi semasa hidup menurut tempat tinggal desa-kota maka terlihat orang kota lebih mobil daripada orang desa. Artinya lebih banyak migran yang masuk ke daerah perkotaan daripada kepedesaan. Lebih lengkapnya dapat di lihat tabel 3.8. Propinsi Daerah Istimewa Aceh salah satu Propinsi di Sumatera menunjukan indetitas sebagai pencrima transmigran. Migran antar Kabupaten dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh lebih kecil dari pada migran antar Propinsi di Indonesia. Ciri utama sebagai pencrima transmigran ditunjukan oleh tingginya proporsi migran antar propinsi di pedesaan karena daerah transmigrasi selalu di daerah pedesaan. D i lihat menurut jenis kelamin laki laki lebih banyak melakukan pcmindahan dari pada wanita. Pola yang sama dapat di lihat pula perbandingan desa kota, migran antar Propinsi menurut jenis kelamin pada migrasi total dan migrasi risen. Migrasi masuk semasa hidup kc Propinsi Daerah Istimewa Aceh dari Jawa mempunyai sifat yang khusus, karena propinsi di Jawa merupakan daerah pengirim transmigran. Volume migrasi masuk kc Propinsi Daerah Istimewa Aceh dari propinsipropinsi di Jawa mempunyai latar belakang yang berbeda. Diantara propinsi-propinsi tersebut yang paling kecil persentasenya adalah DK1 Jakarta, lihat tabel 3.9. Propinsi 60
Jawa Tengah merupakan propinsi pengirim migran yang terbanyak ke Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dibandingkan dengan Jawa Barat dan Jawa Timur. Sedang Propinsi Iainnya mempunyai persentase yang kecil, hal ini disebabkan faktor jarak (jauh) pergi ke Aceh. Bila diperhatikan berdasarkan pulau, faktor jarak juga berperan, sehingga persentase dari Sumatera lebih tinggi, baru kemudian diikuti oleh pulau Jawa. Tetapi faktor jarak tidak berlaku bagi Sulawesi, migrasinya juga tinggi, ini disebabkan pengaruh suku Bugis yang mempunyai budaya merantau, sebagaimana suku Sumatera Barat di pulau Sumatera. Tabel 3.9.
Migrasi Semasa Hidup yang Masuk ke Propinsi Daerah Istimewa Aceh (tahun 1971, 1980 dan 1985)
_ . ., Propinsi/ Pu'a"
1971
1980
1985
Jumlah (%)
Jumlah (%)
Jumlah (%)
I. Sumatera Utara 2.Sumatera Barat 3. Prop.Sum.lain 4. DKIJakarta
35 066 56,7 5 017 8,1 884 1,4 778 1,3
60 983 41,7 9 28! 6,3 3 027 2,2 1 321 0.9
91 695 57,5 9 405 5,9 1 176 0,7 1 133 0,7
5. Jawa Barat Ó.Jawa Tengah 7. D.I Yokyakarta 8. Jawa Timur 9. Bali&Nusa Tenggara 10. Kalimantan II. Sulawesi 12. Maluku&Inan Jaya 13. Luar Negeri 14. T.T.
2 046 3,3 11 460 18,5 1557 2,5 3 43! 5,5 39 0,! 194 0,3 352 0,5 158 0,3 924 1,5 -
3 582 2,5 52 152 35,6 448 0,3 11179 7,6 231 0,2 334 0,2 387 0,3 225 0,2 623 0,4 2 319 1,6
8 871 5,6 33 99! 21,3 1 171 0,7 10 32! 6,5
61 906
146 307 100,0
159 495 100.0
Jumlah
100,0
325 1 300
0,2 0,8
101
0,1
Sumber : BPS,Supas 1985 sensus penduduk, 1971,1980,
B.
Migrasi Keluar
Volume dan arah migrasi keluar dapat di lihat pada tabel 3.10. Untuk propinsipropinsi di Sumatera, volume dan arah migrasi dari Propinsi Daerah Istimewa Aceh cenderung memilih tempat yang terdekat sebagai daerah tujuan. Hal ini ditandai dengan
61
tingginya persentase migran ke Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, baru kemudian ke propinsi-propinsi lain. Selanjutnya bila diamati migrasi keluar dari Propinsi Daerah Istimewa Aceh ke propinsi-propinsi lain berbanding terbalik dengan jarak. Tabel 3.10.
Migrasi Selama Hidup yang Keluar Dari Propinsi Daerah Istimewa Aceh (1971, 1980, 1985)
PROPINSI/
^
7
1
1 9 8 0
1 9 8 5
PULAU JUMLAH
(%)
JUMLAH
(%)
JUMLAH
(%)
1.Sumatera Utara
39 508
60,0
62 770
54,1
66 171
2.Sumatera Barat
2 997
4,6
4 777
4,1
5 574
3,8
3.Prop.Sum.yg l a i n
3 137
4,7
13 275
11,5
6 044
5,1
4.OKI Jakarta
10 408
15,8
14 621
12,6
23 281
19.5
5. Jawa Barat
3 787
5,8
7 321
6,3
7 189
6,0
6. Jawa Tengah
2 170
3.3
3 464
3,0
3 724
3,1
841
1,3
1 859
1,0
1 158
1,0
1 208
1,8
3 231
2,8
3 472
2,9
7. DI Yokyakarta 8. Jawa Timur 9. Cali&Nusa Teng.
55,5
174
0.3
904
0,7
214
0.2
lO.Kalimantan
315
0,5
1 565
1,4
1 107
1,5
11.Sulawesi
746
1,1
1 669
1,4
1 174
1.0
12.Maluku&Irja
514
0,8
554
0,5
460
0,4
Jumlah
65 835 100.0 116 010 100,0 119 178 100,0
Sumber : BPS,Supas 1985 sensus Penduduk, 1971,1980,
Trend migrasi keluar semasa hidup dari tahun 1971, 1980, 1985 ternyata ada perubahan arah dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat ke propinsi-propinsi lain diluar daerah tersebut. Ini bearti migrasi keluar lebih menyebar. Suatu perkembangan baru akibat kemajuan dibidang transportasi, komunikasi dan juga stabilitas nasional selama Repelita di laksanakan. C. Migrasi Semasa Hidup Neto Migrasi neto adalah selisih antara migrasi masuk dan migrasi keluar. Ternyata migrasi neto positif pada tahun 1985 dan juga tahun 1980, sedangkan untuk tahun 1971 negatif. Perbedaan tersebut banyak disebabkan oleh melonjaknya migran dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang masuk ke Aceh dalam priode 1980 - 1985. 62
Arah keluar migrasi neto pada tahun 1985 terutama menuju Jakarta 18,8 persen dan hanya sebahagian kecil saja yang menuju ke propinsi-propinsi lain. Dibanding tahun 1971 dan 1980 ternyata pada tahun 1985 terjadi migrasi masuk yang jauh lebih besar, tidak saja dari Sumatera melainkan juga dari Pulau Jawa. Jika pada tahun 1980 surplus migrasi masuk dari Jawa hanya berasal dan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Maka pada tahun 1985 semua propinsi di Jawa mempunya surplus migrasi neto masuk kecuali DKI Jakarta. * Tabel 3.11.
Migrasi Semasa Hidup Neto
Propinsi Daerah Istimewa Aceh (tahun
1971, 1980 dan 1985) 1971 PULAU JUMLAH
(%)
1380 — — — JUMLAH (%)
1985 — JUMLAH
(%)
1.Sumatera Utara
-4 442
-3,3
-1 787
-12,4
25 524
2,0
2.Sumatera Garat
2 020
3,5
4 504
2,2
4 831
2,1
3. Prop.Sum.La in
-2 253
-3.3
-10 078
- 9,3
- 4 858
-4,3
4. DKI Jakarta
-9 G30
-14,5
-13 300
-11,7
-22 148
-18,8
5. Jawa Darat
-1 741
-2,5
- 3 739
- 3,8
G.Jawa Tengah
9 290
15,2
48 G88
32,G
7. DI.Yokyakarta 8. Jawa Timur
71G
1,2
-1 371
- 1,3
2 223
3,7
7 948
4,8
9. Bali& NUsa Teng. lO.Kalimantan
-135
-0.3
- G73
-0,5
1 G82 30 2G7 9
-0,4 18,2 -0,3
6 849 - 214
3,G 0,2
- 121
-0,1
-1 231
-1,1
-1 382
-1,3
11.Sulawesi
-334
-0.G
-1 282
-1,1
12G
-0,2
12. Maluku& I r j a
-386
-0.5
- 323
-0.4
- 4G0
-0,4
924
1.5
G23
0,4
101
0,1
13. Luar Negeri 14. T.T. JUmlah
-3 923
-
2 319 30 297
1.6 40 31
Sumber : BPS.Supas 1985 Sensus Penduduk, 1971,1980, Selain jumlah migrasi neto yang meningkat antara tahun 1971, 1980 dan 1985. Lebih banyak penduduk Aceh yang ke luar dengan selisih sebesar 3 929 jiwa. Jumlah ini sebahagian besar ditentukan keluarnya penduduk Aceh ke luar propinsi di pulau Sumatera. D i lihat antar propinsi sebenarnya lebih banyak migran Aceh yang menuju DKI Jakarta. Pada tahun 1980 migrasi neto yang masuk ke Aceh secara total lebih banyak ditentukan oleh besarnya jumlah migran dari Jawa Tengah yakni sebesar 48 688 jiwa, angka ini jauh lebih besar dari migrasi keluar dari Aceh. Namun 1985 migran dari Jawa Tengah menurun (lihat tabel 3.11).
63
3.3.2.2 Migrasi A.
Total
Migrasi Masuk
Migrasi masuk total seluruhnya lebih besar, baik tahun 1971, 1980 maupun tahun 1985. Seorang yang lahir di Aceh jika seseorang lahir di Jawa Tengah dengan tinggal terakhir di Jawa Barat. Kemudian pindah ke Aceh, maka ia dicatat sebagai migran total dari Jawa Barat bukan sebagai migran total dari Jawa Tengah. Dengan demikian jumlah migran total untuk Jawa Tengah berkurang dan dari Jawa Barat bertambah. Migrasi total masuk dapat di lihat tabel 3.12. Sebagaimana yang terjadi pada migrasi semasa hidup, pola migrasi total juga menunjukan dominasi propinsi tetangga sebagai daerah asal migran yakni Sumatera Utara. Makin jauh, makin sedikit jumlah dan persentasi migran masuk ke Aceh, kecuali daerah pengirim transmigran di Jawa. Pola yang sama berlaku tidak saja dari propinsipropinsi di Sumatera atau Jawa melainkan juga propinsi-propinsi di Kalimantan dan Sulawesi. Pola yang sama juga berlaku antar daerah dan antar periode tahun 1971. 1980 dan 1985. Jumlah migran total masuk ke Aceh meningkat secara pesat antara periode 1791-1980, dan lebih sedikit untuk tahun 1980-1985. Mungkin latar belakangnya juga senada, yakni menurunnya jumlah transmigran dari Jawa diganti oleh naiknya migran pekerja-pekerja pabrik dari Sumatera Utara. Tabel 3.12. Migrasi Total yang Masuk Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Tahun 1971, 1980 dan 1985)
" Propinsi/ "
1_
_ÜÜ
Jumlah
,(%)
Jumlah
(%\
Jumlah
(', )
I. Sumatera Utara 58724 2.Sumatera Barat 5907 3. Prop.Sum.lain 2454 4. DK1 Jakarta 3195 5. JawaBarai 2906 6. Jawa Tengah 9923 7. DI Yokyakarta 1912 8..Iawa Timur 3288 9.Bali & Nusa Teng. 85
64.6 6,5 2,7 3,5 3,2 10,9 2,1 3,6 0,1
77717 8278 3230 2861 3073 44,630 480 9685 672
47,4 5,5 2,1 1,7 1,9 27,2 0,3 5,9 0,4
103851 9064 1176 2188 10376 26778 853 8474
59.3 5,2 0,7 1,3 5,9 15,3 0,5 4,8
398 621 406 114! -
0,4 0,8 0,4 1,2 -
564 650 511 667 11987
0.3 0,4 0,3 0,4 6.7
408
0,2
202 11750
0,1 6,7
90960
100
164105
100
175120
100
P u l a u
JO.Kalimantan II. Sulawesi 12. Maluku & lrja 13. Luar negeri 14. T T . Jumlah
Sumber : BPS.Sensus Pcnduduk,1971,1980,SUPAS,1985
64
B.
Migrasi Total Keluar
Tabel 3.13.
Migrasi Tota! yang Keluar Dari Propinsi Daerah Istimewa Aceh (tahun 1971, 1980, dan 1985)
Propinsi/ P u l a u
1.Sumatera U t a r a
1
9
7
m
1
WK
Jumlah
(%)
Jumlah
(%)
Jumlah
(%)
CC 524
5G.0
G5 474
C2.S
75 502
62,9
2.Sumatera G a r a t
7 881
C,C
4 734
4,G
C 3C8
5,3
3. P r o p . S u m . l a i n
4 932
4,2
G G04
G,3
4 820
4,0
4. DKI J a k a r t a
10 207
0,G
12 535
12.1
13 907
IC,6
5. Jawa B a r a t
10 227
8,6
4 813
4,6
3 418
2,9
8 887
7,5
3 758
3,6
4 >39
3,5 0,7
C.Jawa Tengah 7.DI
Yokyakarta
8 Jawa Timur 9.8ali& Nusa Teng.
1 1D2
1,0
1 77C
1,7
862
3 G37
3,1
2 125
2,0
2 331
1,9
C22
0.5
2GG
0,3
348
0.3
lO.Kalimantan
1 17C
1.0
G73
0,7
1 526
1,3
11.Sulawesi
2 518
2,1
865
0,8
487
0,4
984
0.8
377
0,4
291
0.2
104 100
100
12. Maluku & I r j a 13. Luar N e g e r i
Jumlah
-
-
118 777
100
120 099
100
Sumber : BPS.Supas 1985 Sensus Penduduk, 1971.1980,
Dalam tabel 3.13 dapat di lihat migrasi tota! keluar dari Aceh dengan pola yang tidak berbeda dengan pola migran semasa hidup. Perbedaannya hanya ada pada daerah rujuan DKI Jakarta tahun 1971. Jika pada migrasi semasa hidup, DKI Jakarta merupakan propinsi favorit sesudah Sumatera Utara, maka pada migrasi total persentasenya sama dengan Jawa Barat secara absolut angka migrasi total kc Jawa Barat lebih besar dari pada DKI Jakarta, artinya pada tahun 1971 Jawa Barat lebih disukai dari pada D K I Jakarta. Perlu dikaji bahwa untuk tota! migrasi keluar, faktor jarak tetap dominan. Migrasi ke Sumatera Utara relatif tinggi baik pada tahun 197!, 1980 dan 1985.
C.
Migrasi Total Neto
Migrasi total neto merupakan perbedaan antara migrasi masuk dan migrasi keluar. Pada tahun 1971 migrasi neto negatif, yakni sebesar -27 827 jiwa yang berarti lebih 65
banyak migrasi keluar. Untuk tahun 1980, 1985 angkanya melonjak jauh yakni sampai 60 005 jiwa pada tahun 1980 dan 55 021 jiwa untuk tahun 1985. Lebih rinci lihat tabel 3.14 pola negatif pada tahun 1971 dan positif untuk tahun 1980, 1985 selain disebabkan oleh migran masuk dari Jawa, juga oleh penduduk Sumatera yang masuk ke Aceh, artinya mulai tahun 1980 Aceh mempunyai daya tarik yang besar bagi penduduk propinsi sekitarnya, selain transmigrasi yang didatangkan oleh pemerintah, propinsi-propinsi tetangga di Sumatera mulai banyak berdatangan ke Aceh. Tabel 3.14.
Migran Total Neto di Propinsi 1980, dan 1985)
PROPINSI/
Daerah Istimewa Aceh (tahun 1971,
1971
1980
1985
Pulau Jumlah
(%)
Jumlah
(%)
Jumlah
-15.5
28 349
-3.6
2 696
-0,1
1.Sumatera
-7 800
8.6
12 243
2.Sumatera Barat
-1 974
-0,1
3 544
3. Prop.Sum.Lain
-2 478
-1,5
4. DKI Jakarta
-7 012
-5,1
5. Jawa Barat
-7 321
-5.4
6. Jawa Tengah
1 036
3,4
7. D.I.Yokyakarta
730
8. Jawa Timur
3 374 -9 774 -1 740 40 872
1,1
0,4
(%)
-4,2
-3 644
-3.3
-10,4
17 719
-15,3
-2,7 23,6
6 958 22 539 -
9
3,0 11,8
-1 296
-1,4
-0.2
3,9
6 143
2.9
0
- 348
-0,3
-1 526
-1,3
- 349
0,5
7 560
- 537
-0,4
406
- 778
-0,6
- 109
-0,3
11.Sulawesi
-1 897
-1,3
- 215
-0.4
79
-0.2
12. Maluku &Irja
- 578
-0,4
134
-0.1
- 291
-0,2
1 141
1,2
667
0,4
202
0,1
11 087
6.7
11 750
6,7
9. Bali& Nusa Teng. lO.Kalimantan
13. Luar Negeri 14
- T.T. Jumlah
-27 827
60 005
55 021
Sumber : BPS,Sensus Penduduk, 1971,1980,SUPAS 1985
3.3.2.3 Migrasi Risen Migrasi risen menggambarkan perpindahan penduduk yang relatif baru. Untuk tahun 1980 dan 1985 dipakai batasan waktu 5 tahun. Jumlah orang yang disebut migran dalam konsep ini diperoleh dari tabel silang antara jumlah migran menurut tempat tinggal 5 tahun yang lalu dari propinsi tempat tinggal sekarang. Data migrasi risen hanya diperoleh dari sensus 1980 dan SUPAS 1985, sehingga perban-
66
;3
3> O) T~ I
N T-
I -
u
ü
" < J c75 :
| < z < m D
< Z
67
dingan hanya dapat dilakukan antara 2 tahun tersebut. Dalam tabel 3.15 dapat di lihat pola migrasi Risen yaitu polanya tetap sama dengan migrasi semasa hidup dan migrasi total, yakni ditandai dengan daerah asal atau tujuan utama Propinsi Sumatera Utara. Distribusi migrasi masuk ke tingkat Kabupaten dapat diperhatikan pada tabel 3.16 Daerah Tingkat II memperoleh migrasi masuk. Selama pelita dilaksanakan menunjukkan adanya trasmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah. Tabel 3.15.
Migrasi Risen Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1985 ( dalam persentase ) 1980
Propinsi/ Pulau LSlMUt
1985
migrasi migrasi migrasi
migrasi migrasi
migrasi
masuk
keluar
neto
masuk
keluar
neto
51,11
50,28
0,83
68,8
47,5
2.Sumbar
7,70
4,55
3,15
9,9
3,4
16,3 6,5
3. Prop.Sum.
2,55
6,82
-4,27
-
7,3
- 7,3
SUMATERA
61,36
61,65
-0,29
78,7
58,2
15,5
4. DKI Jakarta
3,15
15,04 -11,89
0,5
33,3
-32,8
5. Jawa Barat
1,52
7,44
-5,92
6,8
-
ó.Jateng
25,93
3,84
22,09
15,9
1,7
14,2
7. D . I . Y .
0,21
4,80
-4,59
-
2,1
-2,1
8. Jatim
4,12
2,14
1,98
2,8
1,9
0,9
34,93
33,26
1,67
26,0
39,0
-13
0,34
0,79
-0,45
-
10.Kalimantan
0,5
2,44
-1,94
-
2,8
-2,8
11.Sulawesi
0,12
2,63
-1,84
-
12. Maluku8lrja
0,09
0,23
-0,14
-
13. Luar negeri
0,02
-
0,02
0,3
-
0,3
14. T.T.
2,64
-
2,64
-
lain
JAWA 9. B a l i & N.T.
Jumlah
100
100
-
100
6,8
100
Sumber : BPS,Supas 1985 Sensus penduduk,1980,
Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Aceh Besar dan Kotamadya Banda Aceh telah terjadi migrasi masuk, sedangkan Daerah Tingkat II Iainnya terjadi migrasi keluar pada tahun 1970. Migrasi masuk juga terjadi pada tahun 1980 untuk Aceh Barat,
68
hal ini disebabkan transmigrasi ke daerah tersebut. Apabiïa pertumbuhan penduduk secara alamiah lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk antar sensus, selisihnya merupakan jumlah migrasi masuk (ünmigration), sebaliknya bila pertambahan penduduk alamiah lebih kecil dibandingkan dengan angka pertambahan penduduk antar sensus, selisihnya merupakan migrasi keluar (out rmgration). Tabel 3.16.
Persentase Net Migration menurut Daerah Tingkat II ( 1971-1980)
Kabupaten/
1971
1980
KOTAMADYA T.RATE
Aceh Selatan
1.7
N.RATE
3.0
NET M.
1.3
T.RATE
N.RATC
NET M.
1.7
3.0
-1-23
2.3
1.8
-1.1
- 1.3
3.7
3.1
0.C j
Aceh Tenggara Aceh Timur
1.2
2.5
Aceh Tengah
3.0
3.1
- C l
4.9
3.2
Aceh Darat
1.3
2.8
- 0.9
2.7
1 8
Aceh Besar
2.5
;1 2.2
C.2
2,3
2.2
-0,7
-1.7* 1.1
P i d i e
1.2
2,0
- 0,8
1,7
1,5
-0,2
Aceh Utara
2.2
3,2
- 1 ,0
3,1
2,G
0,5
Banda Aceh
3.0
2.4
CC
S a b a n g
Aceh
2.1
2,7
-0,C
3,3
3.2
0,1
3,3
2,3
-1,0
2,3
2,7
-0,2
Sumber : lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala. 1976. 3.3.3 Pemukiman Perumahan mcrupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Fungsi rumah bagi penduduk tidak hanya sekedar sebagai pemenuhan tempat bertcduh ataupun sebagai tempat berlindung saja, akan tetapi lebih diselaraskan kepada kebutuhan pemenuhan kebutuhan yang lain, seperti keamanan dan kenyamanan. Berkaitan masalah perumahan, masalah fasilitas lingkungan perumahan juga mendapat perhatian pemerintah. Melalui program Inpres, dan program Iainnya telah dibangun fasilitas-fasilitas seperti: sekolah, pasar, tempat hihuran, penerangan listrik dan sumber air minurn. Jumlah anggauta rumali tangga rata-rata satu rumah tangga 4 orang. Jika di lihat hubungannya dengan anggauta rumah tangga, sebahagian anggauta rumah tangga berstatus anak dari kepala rumah tangga (66 % dari seluruh anggauta rumah tangga), di samping ïsten (20,15 % dan seluruh anggauta rumah tangga). Sehubungan dengan 69
CL D O X
< rn
-e £
co <
LO
LLI o* co "
Z < CC O
2
70
Gambar
3.3
MIGRASI MASUK DAN KELUAR SEMASA HSDUP.ACEH 1971-1985
S U M B E R : B P S S P 8 0 DAN SUPAS 8 5
71
co
< J
1
0
"* I
ei
a J= •
E 0
0 ~<^ i—rCD 1
z
<
X
< < 00
cc
2
LLI CD
CO CL
m er ÜJ
co n co
.72
cc < _J Lil ^ m _ i co < O)
O £
E ia
w
5— ^
<
o
2
73
rumah dan pemukiman, akan di iihat tentang anggota rumah tangga, keadan fisik rumah, sasaran dan lingkungan pemukimannya. 3.3.3.1 Jumlah Anggauta Rumah Tangga Jumlah anggauta kelurga rata-rata dalam 17 kepala keluarga mempunyai satu menantu, rata-rata dalam 7 kepala keluarga mempunyai seorang cucu yang tinggal bersama-sama. Sedangkan dalam 12 kepala kcluarga ada satu orang tua/mertua yang tinggal bersama dalam satu rumah tangga. Yang menarik rata-rata dalam 7 kepala keluarga ada satu orang famili lain yang ikut tinggal bersama, farnili lain biasanya saudara sepupu pihak suami dan istri, lihat tabel 3.17. 3.3.3.2 Keadaan Fisik Rumah Tangga Kedaan fisik rumah tangga dapat diperhatikan pada jenis atap, dinding dan luas lantai. Menurut jenis atap yang dipergunakan oleh masyarakat Aceh umumnya masih mempergunakan daun-daunan dan juga seng, masing-masing di atas 47 persen. Keadaan ini masih donnnan baik di desa maupun di kota. Sebahagian besar masyarakat mempergunakan kayu sebagai bahan bangunan untuk membuat dinding rumah. Tabel 3.17.
Penduduk menurut Hubungan Rumah Tangga Daerah Aceh (tahun 1980)
Hubungan Dengan Kepala Rumah Tangga
Jumlah
(%)
Kepala Rumah Tangga : Anggauta Rumah Tangga : Isteri Anak Menantu Cucu
531 574 1 078 954 414 153 1 388 277 30 819 76 907
100.00 20.15 66.77 1.48 3.75
Orang tua/mertua
44 173
2.12
Famili lain Pembantu rumah tangga Lainnya
89 908 2 655 32 062
4.32 0.12 1,54
Jumlah
2 610 528
Sumber : Sensus Penduduk 1980, Seri S No.I
74
Tabel 3.18.
Persentase Banyak Rumah Tangga Daerah Aceh menurut Jenis Dinding
dan Atap Rumah (Tahun 1985) Dinding/Atap
Kota
Pedesaan
Kota + Desa
1. Dinding : -Tembok -Kayu -Bambu -Lainnya
22.25 73.88 0.70 0.17
7.05 77.57 0.19 6.19
8.86 77.21 8.34 5.59
100.00
100.00
100.00
2. A t a p -Beton -Kayu -Seng, Asbes -Genten* -Ijuk -Daun-daunan - Lainnya
3.11 2.08 70.41 7.26 0.35 7.70
0.20 3.00 43.86 0.41 0.12 51.02 0.4!
0.56 2.91 47.41 1.09 0.14 47.52 0.37
jumlah
100.00
100.00
100.00
Jumlah
Sumber : SUPAS, 1985. Keadaan ini dapat dimengerti karena di Aceh masih banyak kayu yang dapat dipergunakan untuk bangunan terutama untuk bangunan perumahan dan tempat tinggal lainnya, dalam tabel 3.8 dapat di lihat keadaan bahan bangunan yang dipergunakan untuk perumahan. Ada dua hal yang menarik diperhatikan, di daerah perkotaan lebih banyak dipergunakan asbes, seng (79,41 %), genteng dan beton, masing-masing 7,26 dan 3,11 persen sebagai atap rumah. D i desa masih banyak dipergunakan daun-daunan (51,92 %) sebagai atap rumah, sedang beton dan genteng relatif kecil. lm dipengaruhi oleh perbedaan pendapatan antara desa dan kota. Sebaliknya dinding rumah terdiri dari kayu, bambu, di daerah pedesaan masing-masing 77,57 persen dan 9,19 persen. Selanjutnya dapat diperhatikan tentang luas lantai rumah untuk tiap rumah tangga. Dalam tabel 3.19 dapat di lihat tentang besar kecilnya lantai rumah di desa dan kota. Luas lantai rumah dibawah 30 m mencapai 15,89 persen, pada tahun 1980 sebanyak 2
75
11,31 persen di kota dan 18,49 persen di desa, berarti di desa masih ada rumah yang kamarnya relatif kecil. Untuk luas lantai sebesar 30-69 M ^ , lebih besar di desa diban dingkan di kota masing-masing sebesar 65.63 persen dan 45.50 persen. Tabel 3.19.
Persentase Banyaknya Rumah Tangga di Daerah Aceh menurut Luas Lantai (tahun 1980 dan 1985)
LUAS LANTAI (H2)
KOTA 1980
PEDESAAN 1985
1980
KOTA+DESA 1985
1980
1985
>
13
4.27
8.30
8.13
4.83
7.00
5.17
20
-
29
11.31
10.55
18.43
10.74
17.88
10.72
30
-
G3
G2.32
45.50
60.07
65.63
60.80
63.63
70
-
33
14.38
19.38
9.15
13.05
9.60
13.68
100
-
149
5.02
11.25
2.67
4.46
2.87
5.13
150
-
193
1.32
2.94
0.53
0.89
0.60
1.10
-
299
0.76
1.56
0.19
0.40
0.24
0.52
>
300
0.62
0.52
0.17
-
0.21
0.05
Jumlah
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
200
Sumber : Sensus Penduduk, 1980 dan SUPAS 1985.
3.3.3.3 Bahan Bakar/penerangan dan Air Minum yang Dipergunakan
Keadaan penerangan, bahan bakar serta air minum merupakan indikator mutu rumah dalam suatu pemukiman. Banyaknya rumah tangga yang telah mempergunakan energi untuk bahan bakar teruma untuk memasak. Selama Pelita IV telah ada usaha listrik masuk desa sampai dewasa ini masih berjalan. tetapi masih banyak desa-desa yang belum memperoleh listerik sebagai penerangan rumah tangga, untuk penerangan sebahagian besar masih dipergunakan minyak tanah. Keadaan penerangan dan bahan bakar yang dipergunakan oleh rumah tangga di Aceh dapat di lihat sebagai berikut. a. Penerangan : keadaan penerangan dapat dikelompok dalam 2 bahagian yaitu yang telah mempergunakan listrik dan non-listerik. Penggunaan listerik di kota jauh meningkat dibandingkan dengan daerah pedesaan. Pada tahun 1971 pemakain listerik sebanyak 30,49 persen, meningkat tajam menjadi 76.40 persen di tahun 1985. lihat tabel 3.20. Akibat dari situasi tersebut banyak rumah tangga mengurangi pemakaian minyak tanah untuk memasak, dengan demikian terlihat ada hubungan terbalik antara pemakaian listerik dan minyak tanah.
76
Di daerah pedesaan keadaannya masih belum bayak perubahan, listerik masih terbatas.namun
ada perbaikannya
ditahun
1985, pemakaian
listerik
menjadi 16,46
persen.Sebelumnya (1971) pemakaian listerik hanya 0,22 persen. Secara keseluruhannya listerik masuk desa perlu ditingkatkan.
Untuk tujuan tersebut, pengadaan arus listrik
sampai kepelosok desa sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas perumahan penduduk. Tabel 3.20.
Persentase Rumah Tangga menurut Jenis Bahan Bakar dan Penerangan di Daerah Aceh (tahun 1971 - 1985)
Daerah/
Tu-
Tahun
Listenk
Gas
Minyak
juan
Kayu
Lainnya
b a k a r
Kota : 1971
1980
1985
p
30.49
b
0.24
p
52.13
b
0.98
p
76.48
b
2.60
09.40 0.50
28.46
0.05 68.61
47.19 0.81
69.45
-
23.52
1-73
75.00
2.25 0.68
27.11
1.65
20.07
0.52
Desa: 1971
p
0.22
b
0.00
1980
p
5.73
b
0.10
1985
p
16.45
b
0.28
98.03 0.00
6.20 92.92
0.34
10.45 62.61
0.49
10.53
1-15 92-38 00.91 -
1.42 1-35 0.20 0.93
88.50
0.20
90.64
1.48
Kota + Desa : 1971
1900
1985
p
2.43
b
0.02
p
9.70
b
0.18
p
22.44
b
0.51
96.50 0.03
7.83
1.07
09.01 0.38
15.48
1-29 03.04
76.72 0.61
16.96
Sumber : Sensus Penduduk, 1971, 1980 dan SUPAS 1985 p : Penerangan b : Bahan Bakar
77
0.32 0.04
81.69
0.23
b. Bahan bakar untuk memasak: Masyarakat masih mempergunakan kayu untuk memasak di rumah.
Ha! ini dapat dimengerti karena kayu masih mudah diperoleh terutama di
daerah pedesaan.
Bahan bakar lainnya juga telah banyak dipergunakan yaitu minyak
tanah, lisfrik dan gas.
Minyak tanah dan listrik pemakaiannya lebih banyak di daerah
perkotaan daripada di desa. Pada tahun
1971 pemakaian listerik, minyak tanah dan kayu masing-masing 0,24
persen, 28,46 persen dan 68,51 persen. Bila diperhatikan perobahan dalam periode 197! 1985 terjadi peningkatan yaitu di daerah kota telah meningkat dari 0,24 persen menjadi 2,60 persen, demikian juga gas dari 0,50 persen tahun 1971 menjadi 1,73 Persen di tahun 1985.
D i daerah pedesaan kenaikan ini belum berarti dan masih dominan pemakaian
kayu dan minyak tanah. Listrik telah menjadi salah satu kebutuhan pokok dan menggeser minyak tanah sebagai penerangan terutama di kota. Dewasa ini masih terlihat masyarakat mempergunakan bahan. lainnya misalnya arang dan sebagainya.
Dari berbagai bahan bakar,kayu
bakar/arang paling banyak dipergunakan sebagai bahan untuk memasak.Secara umum pemakaian kayu bakar cenderung menurun dari 90,64 persen menjadi 81,69 persen pada tahun 1985, sebaliknya listerik terus meningkat. c. Sumber Air Minum. Disadari bahwa air yang paling
higienis adalah air lcding, akan tetapi untuk
mendapatkannya masih inalial dan sulit. Rumah tangga yang mempergunakan air leding masih kecil, khusus di daerah-daerah pedesaan, namun persentase pemakaian air leding pada umumnya terus meningkat (Lihat Tabel 3.21). Demikian juga pemakaian pompa meningkat dari 0,26 tahun 1971 naik menjadi 2,00 persen pada tahun 1985. Dapat dika takann
secara umum di Aceh pemaian air sumur masih merupakan mayoritas diantara
sumber-sumber lainnya.
Ini ditandai dengan banyaknya penduduk mempergunakan air
untuk mandi/cuci dari sumur yaitu 68,65 persen pada tahun 1971 meningkat menjadi 69,44 ditahun 1980 dan menjadi 71,69 pada tahun 1985.
78
Tabel 3.21.
Persentase Rumah Tangga menurut Sumber A i r Minum di Daerah Aceh (1971 - 1985)
Daerah/Tahun
Ledeng
Pompa
Sumur
sungai
Lainnya
1971
20.26
1.40
69.56
6.78
6.00
1980
23.07
7.30
59.73
0.22
9.68
1985
38.4!
6.92
42.39
2.94
9.34
1971
0.13
0.26
81.50
13.17
3.47
1980
0.88
0.91
76.67
12.04
9.50
1985
1.46
1.46
79.12
8.92
9.04
197!
1.60
0.26
81.50
13.17
3.47
1980
2.70
1.45
75.22
11.03
9.52
1985
5.14
2.00
, 75.46
8.32
9.08
KOTA:
DESA:
KOTA ( DESA :
Sumber : BPS SUPAS, 1985 Sensus Penduduk, 1971, 1980. Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah jarak sumber air minum dengan tempat pembuangan kotoran. Secara kesehatan minimal jarak antara septic tank dengan sumber air minum (sumur/perigi) 10 (sepuluh) meter, jika rumah tangga yang berdekatan diduga dapat memcemarkan air minum yang berasal dari dalam tanah. Faktor tersebut perlu diperhatikan dalam rangka meningkat partisipasi aktif masyarakat untuk memperhatikan kemurnian air minumnya. Secara umum situasi jarak sumber air minum dengan septic tank dapat di lihat dalam tabel 3.22.
Sebahagian
besar 21,65
persen penduduk kota jarak septic tank
dengan sumber air minum < 9 M dan ini lebih besar di daerah pedesaan yaitu 27,03 persen. Dari keadaan fasilitas tersebut menunjukkan
kualitas rumah di Aceh
semakin
baik, tetapi masalah pembuangan kotoran belum banyak diperhatikan. Program pengadaan air bersih yang dilakuklan oleh pemerintah sebagai bahagian dari peningkatan kualitas pemukiman perlu digalakkan.
Penyuluhan kesehatan terhadap sumber air sehat perlu
mendapat perhatian semua pihak terutama dibidang kesehatan. 79
Tabel 3.22.
Persentase Jarak Pompa Air/Sumur/Perigi ke Penampungan Kotoran
Kota J a i tt
Desa
Kota + Desa
A.
(m)
< 5 10
-
5 9
-
14
>
Aceh
Indo
Aceh
Indo
Aceh
Indo
1.91
8.34
5.00
5.95
5.11
5.62
19.80
22.03
22.03
12.71
21.80
15.30
5.73
13.66
12.67
12.90
11.96
13.11
34.37
17.70
35.27
33.3C
35.18
29.03
Sumber : EPS, Indikator Kesejahteraan Rakyat, 1990
3.3.3.4 Lingkungan Rumah Tangga Masalah lingkungan perumahan masih sulit untuk dipecahkan secara tuntas terutama di kota-kota. Kesadaran masyarakat untuk membuang atau membakar limbah rumah tangga sesuai dengan lingkungan perumahan schat belum dapat dipenuhi. Di kota-kota terlihat masalah limbah/sampah yang belum dapat dipecahkan di beberapa ibukota kabupaten. banyak faktor yang menyebabkannya, seperti terbatasnya sarana yang tersedia (armada angkutan sampah), sehingga tujuan akhir sampah tersebut akan mengganggu lingkungan. Demikian juga halnya masalah sanitasi, keadaan air got/air parit masih mengganggu kesehatan lingkungan. A i r got yang tidak mengalir/tergenang akan membahayakan kesehatan, banyak nyamuk dan kuman lain akan berkembang biak yang akhirnya akan berbahaya bagi pemukiman sekitarnya.
Tabel 3.23 menunjukan keadaan penanggulangan sampah oleh penduduk. Sampah yang dibuang dalam bak untuk diangkut ke lokasi (tujuan akhir) sebanyak 40.98 persen (di Kota). dan dengan cara yang sama di desa hanya 3.10 persen. Di pedesaan cara yang banyak dilakukan dengan membakar (49,41 %) dan di daerah kota hanya 15,30 persen.
Selanjutnya sebesar 79,23 persen rumah tangga memiliki parit/got. Tetapi yang mengalir lancar 47,54 persen, 30,05 persen mengalir lambat dan 1,64 persen tergenang. 80
Di daerah pedesaan yang memiliki parit/got hanya 34,56 persen, dan
sebanyak 16,18
persen merupakan parit/got yang airnya mengalir lancar 14,11 persen mengalir sangat lambat dan yang tergenang sebesar 4,27 persen. Tabel 3.23.
Persentase Rumah Tangga menurut Pembuangan Sampah dan Keadaan Air Parit/Got Sekitar Rumah dan Daerah Tempat Tinggal (1986)
Keadaan
Kota
Desa
Kota + desa
Di lobang/timbun
20.23
14.62
15.18
Di bak/diangkut
40.98
3.10
6.88
Di bakar
15.30
49.41
46.02
Di kali selokan
14.75
7.38
8.11
0.54
12.29
11.12
8.20
13.20
12.69
100.00
100.00
100.00
1.64
4.27
4.01
- Mengalir lambat
30.05
11.14
15.69
-Lancar
47.54
16.18
19.30
- Tidak ada parit/got
20.77
65.44
61.00
100.00
100.00
100.00
A. P E M B U A N G A N S A M P A H
Discmbarang - D i lainnya
B. Parit/Got : -Tergenang
Sumber : Biro Pusat Statistik, SUSENAS 1986.
3.4.
Determinan Tingkat dan Pola Urbanisasi, Migrasi dan Pemukiman
3.4.1 Determinan Urbanisasi dan Migrasi : Ada dua faktor yang mempengaruhi seseorang pindah dari satu tempat ke tempat lain. Adanya faktor penarik di daerah tujuan dengan harapan seseorang akan mengalami lebih baik dari tempat asalnya. Dipihak lain menunjukkan bahwa keadaan di tempat asal kurang memberikan berbagai kesempatan/kemudahan untuk memper-baiki/mempertahan-
81
kan hidup. Kedua faktor (push dan pul!) tersebut dipengaruhi pula oleh beberapa determinannya yang mempengaruhi seseorang pindah, determinan tersebut dapat dianalisis selanjutnya. 3.4.1.1 Potensi Ekonomi Potensi ekonomi di suatu daerah (kota dan desa) akan mempengaruhi pola migrasi, dan urbanisasi ke tempat tersebut.
Penduduk melakukan migrasi/urbanisasi dengan
harapan akan memperoleh kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonominya, yaitu terbukanya kesempatan kerja di daerah tujuan. Penduduk ke kota (dari desa) dengan harapan di daerah perkotaan akan memperoleh kesempatan kerja yang akan meningkatkan kesejahteraan.
Akibatnya banyak penduduk
yang datang ke kota untuk bekerja di sektor informal sambil mengharapkan pekerjaan yang sesuai dengan kctrampilan/keahliannya.
Sektor ini antara lain meliputi pedagang
kaki lima, pedagang keliling, tukang sepatu, tukang becak dan lain lainnya. Akhir-akhir ini proses urbanisasi terus berlangsung dipusat pengembangan wilayah seperti Lhokseumawe, Banda Aceh dan Meulaboh. Dengan terbukanya daerah baru terutama di pedalaman yang di uraikan di atas, akan terbuka
kesempatan
baru untuk menanam investasi dalam angka menciptakan
lapangan kerja di sektor pertanian.
Dewasa ini daerah pesisir Barat Selatan potensial
untuk dikembangkan di sektor pertanian, seperti di sektor kehutanan banyak para investor menanam modalnya
dalam rangka membuka perkebunan baru seperti:
sawit, coklat dan sebagainya.
karet, kelapa
Sedangkan -di daerah Industri (Aceh Utara dan Aceh
Timur) berpeluang untuk dikembangkan berbagai sektor industri kecil dan jasa, akibatnya arus mobilitas akan tinggi ke kota ini.
3.4.1.2 Transportasi dan Komunikasi. Dalam Repelita V banyak jalan yang telah diperbaiki oleh pemerintah. Dari panjang jalan 5 500.5 K m periode 1969-1986 dalam keadaan man tap 966.6 K m (38,65 persen) dalam P E L I T A III, tidak mantap sepanjang 1 261,9 K m dalam keadaan kritis 272 Km. Keadaan jalan mantap terus meningkat sampai tahun 1984/1985 sepanjang 1 019,6 K m (40 %) dan menjadi 46.44 persen tahun 1985/1986. Keadaan jalan kritis terus berkurang dari 10,89 persen sebelum P E L I T A III turun menjadi 2,7 persen pada tahun 1985/1986 tahun.
82
Tabel 3.24.
Waktu Tempuh Rata-Rata Ruas Jalan Utama (arteri) di Daerah Aceh Waktu Tempuh Rata-rata
Ruas Jalan
B. Aceh - Sumut
Jarak
Sebelum
Sesudah
(Km2)
Pelita III
Pelita III
18 jam
10 jam
492
B. Aceh - Meulaboh
245
15 jam
10 jam
Meulaboh - Tapak Tuan
200
12 jam
4 jam
Tapak Tuan - Batas Sumut
167
12 jam
8 jam
Bireun
101
4 jam
4 jam
108
12 jam
3.5 jam
32
2 jam
45 menit
16
30 menit
30 menit
- Takengon
Kutacane - Blangkeujeuren B.Aceh
- Kreung Raya
B. Aceh
Blang Bintang
Sumber : Kantor Wilayah P . U . Daerah Istimewa Aceh.
Waktu tempuh rata-rata di jalan utama dapat dilihat sebelum dan sesudah PELITA III. Keadaan ini dapat dilihat pada tabel 3.24. Dari informasi tersebut dapat dikcmukakan sebagai berikut: Keadaan jalan di Pesisir Utara dan Pesisir Timur sampai perbatasan propinsi Sumatera Utara dapat ditempuh dalam waktu 10 jam sesudah PELITA III, keadaan jalannya baik dibandingkan dengan Pesisir Barat Selatan. Keadaan jalan di Pesisir Barat Selatan pada periode tersebut banyak ditemui rakit (6 buah), di pesisir Barat banyak dijumpai sungai sehingga banyak ditemui jembatan. Jarak tempuhnya sebelum P E L I T A III sampai 15 jam, dan sekarang (sesudah P E L I T A III) dapat ditempuh 10 jam. Dewasa ini (tahun ke 2 PELITA V) dapat ditempuh dalam waktu 5 6 jam. Tapak Tuan merupakan kota di pesisir Selatan jaraknya 167 K m dengan perbatasan dengan Sumatera Utara dapat ditempuh dalam waktu 8 jam, dan dewasa ini jalannya sedang dalam peningkatan. Dengan baiknya ruas jalan yang menghubungkan antara kota propinsi dengan Daerah Tingkat II diduga arus migrasi yang bersifat urbanisasi cenderung meningkat di masa yang akan datang. Dewasa ini ruas jalan di daerah pedalaman sedang diperbaiki/sedang ditingkatkan kualitasnya.
Diharapkan dalam waktu yang tidak lama jaringan jalan dapat berfungsi
83
dengan baik di daerah pedalaman, tentu akan berpeluang untuk membuka areal baru sepanjang jalan, sihingga daerah sepanjang jalan tersebut produktif, dan arus migrasi di daerah pedalaman akan tinggi dimasa yang akan datang. Di sektor komunikasipun telah ditingkatkan, dewasa ini lebih banyak pelanggan baru di daerah, terutama di daerah perkotaan.
Dan akan ditingkatkan
jaringan telefon
bagi daerah yang berpotensial (perumahan dan perkar.toran) di daerah-daerah tertentu. 3.4.1.3 Pembangunan Wilayah Dewasa ini pemerintah sedang menggalakkan pembangunan desa melalui ban tuan Bandes.
Pembangunan pusat-pusat wilayah di tingkat Kecamatan merupakan usaha
pengaiihan migrasi penduduk
terutama mobilitas Ulang Alik.
Misalnya dengan
diciptakan hari pasar antara lain di Simpang Peut di Kecamatan Kuala Kabupaten Aceh Barat, pasar hewan di Sibreh Aceh Besar dan lainnya merupakan pengembangan wilayah yang andal dalam menciptakan sektor informal untuk menyerap tenaga kerja. Untuk
lebih
cepatnya perkembangan
pusat pusat
pengembangan
di tingkat
Keeamatan, peranan pemerintah diperlukan dalam rangka membantu sarana publik seperti listerik, air minum, perbaikan transportasi dan berbagai sarana hiburan lainnya perlu diperhatikan. 3.4.2.
Pola Urbanisasi, Migrasi
dan Pemukiman.
3.4.2.1. Pola Urbanisasi Sebagaimana diketahui bahwa jumlah penduduk di kota relatif sedikit dibandingkan dengan penduduk desa.
Jumlah penduduk kota telah berkembang sejak tahun 1930.
Jumlah penduduk dan perkembangannya sejak tahun 1930 dapat diperhatikan dalam tabel 3.25.
Dari Tabel tersebut diketahui bahwa jumlah penduduk kota dari tahun 1930 -
1990 terus berkembang dan perkembangannya tinggi dibandingkan dengan pedesaan. Informasi tersebut menunjukkan pertumbuhan penduduk di perkotaan lebih banyak disebabkan oleh pertumbuhan alami dan arus migrasi ke kota (urbanisasi). Disini terlihat arus urbanisasi merupakan suatu pertanda telah berjalannya proses pertumbuhan kota. Dari klasifikasi kota, ternyata kota-kota di Di Daerah Aceh relatif kecil dibandingkan dengan kota kota lain di propinsi Sumatera Utara. Namun demikian kota-kota di Aceh telah membawa perubahan
ekonomi yang berarti selama PJPT-I dilaksanakan di
Indonesia.
84
Tabel 3.25
Jumlah Penduduk Kota dan Perkembangannya di Daerah
Aceh
(1930 - 1990)
JUMLAH PENDUDUK KOTA (000)
TK. PERTUMBUHAN (%)
TAHUN KOTA
DESA
1930
28
975
2.87
-
1961
92
1 536
5.98
3.8
1.4
1.6
1971
169
1 839
9.19
6.0
1.7
2.1
1980
233
2 377
9.8
3.5
2.8
2.9
1990
539
2 875
18.74
8.75
1.9
2.7
Sumber :
KOTA/DESA
KOTA
DESA
K + D
Kantor S t a t i s t i k , Prop. Daerah Istimewa Aceh
Rasio kota-desa mengaJami peningkatan sejak Indonesia Merdeka yaitu sebesar 2,87 (periode 1930-1961) meningkat menjadi 9,19 dalam periode 1971-1980 dan seterusnya menjadi 18,74 dalam periode terakhir (1980-1990). Suatu pertanda bahwa di Aceh telah terjadi perubahan yang mendasar di daerah perkotaan. H a l ini banyak didukung oleh pembangunan sarana perkotaan, pemugaran kota (Reklasilïkasi) dan kota sudah merupakan pusat kegiatan ekonomi, pendidikan, sosial dan politik. Akibat perkembangan tersebut mengakibatkan pola urbanisasi berubah arah. Selama tahun 70 an urbanisasi banyak terjadi di daerah Kotamadya Banda Aceh (sebagai ibu kota propinsi Daerah Istimewa Aceh), sedangkan kota-kota lain sebagai ibu kota Kabupaten relatif kurang. Kurangnya arus mobilitas ke kota-kota lain disebabkan belum berkembangnya prasarana ekonomi (transportasi) yang menghubungkan antar Daerah Tingkat II. Sejak terbukanya hubungan antar wilayah telah berkembang produksi pertanian dan industri yang merubah arah urbanisasi ke kota-kota dimana terdapat peluang untuk memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik. Banyak terjadi urbanisasi ke kota Lhokseumawe, Langsa, Takengon, dan Meulaboh. D i samping itu beberapa kota kecamatan telah bercirikan kota seperti Bireun di Aceh Utara, Mutiara di Kabupaten Pidie merupakan kota kecil dengan kegiatan perdagangan yang berarti antar kota dan wilayah lain.
85
Distribusi pertumbuhan tiap daerah juga bervariasi, sehingga polanya dapat dibagi 3 yaitu: a.
Di zona industri yaitu Banda Aceh, Langsa, Lhokseumawe, Lhokseumawe sejak tahun 1988 telah dijadikan kota administratif.
Ke 3 kota tersebut
mempunyai
sarana transportasi yang baik (darat, laut, udara) dan arus migrasi akan meningkat akhir-akhir ini. b.
Daerah zona pertanian, Meulaboh merupakan pusai pengembangan
wilayah di
pesisir Barat - Selatan. Kota ini lebih berkembang di masa yang akan datang karena didukung potensi di sektor pertanian akan meningkat. Di pihak lam transportasi ke daerah ini telah meningkat. c.
Kota Takengon merupakan ibu kota Kabupaten Aceh Tengah, dengan
udara yang
sejuk dan panorama yang indah, kota ini akan dikembangkan sebagai pusat pariwisata. D i sampmg itu juga potensial untuk dikembangkan di sektor pertanian (hasil bumi seperti tembakau. sayur-sayuran dan buah buahan) keadaan transportasi yang menghubungkan daerah tersebut dengan pesisir Utara melalui Bireun. Dalam waktu yang tidak begitu lama akan berfungsi jalan yang menghubungkan Takengon dengan kabupaten Aceh Tenggara (kotaeane) yang selama ini harus melewati Sumatera Utara. 3.4.2.2 Pola Migrasi Pola migrasi di propinsi Daerah Istimewa Aceh dapat dibagi 2 yaitu migrasi keluar dan migrasi masuk.
Migrasi masuk (terutama transmigrasi polanya tergantung pada
program pemerintah. Sejak PELITA ke II transmigrasi telah mulai didatangkan ke Aceh. Hampir seluruh tingkat II ditempatkan transmigrasi kecuali Kotamadya Banda Aceh, Sabang.
Umumnya mereka berasai dari Jawa tengah, Jawa Timur dan juga Jawa Barat
serta Jakarta.
Pola transmigrasi umum ini relatif berhasii, mereka sebagai petani telah
mengembangkan lahan pertanian yang selama ini tidak produktif. Pola ke dua adalah migrasi keluar, mereka keluar dalam kegiatan dagang. keluarga dan meneruskan sekolah.
Jumlahnya lebih banyak ke Sumatera Utara, ke pulau Jawa
yaitu ke Jakarta dan Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya. 3.4.2.3 Pula Pcrmukimati Penduduk. Pola pertumbuhan permukiman dapat dibagi dalam 3 yaitu: a).
Pemukiman di daerah pedesaan, yaitu migran yang berasai dari pulau Jawa
86
pemukimannya dipersiapkan oleh pemerintah. Perumahan yang dibangun secara fisik dapat dikemukakan sebagai berikut: Atapnya seng, dindingnya papan, dan lantainya semen.
Dan ini merupakan permukiman
baru, disekeliling rumahnya merupakan areal pertanian. b) .
Perumahan
yang dibangun
oleh pemerintah melalui Perum Perumnas yang
lokasinya ditentukan berdasarkan tata ruang (terutama di kota). sistim bayar kredit ( 5 - 1 5
Perumahan yang
tahun) tèlah dibangun di ibu-ibu kota Kabupaten,
terutama di Kotamadya Banda Aceh dan Aceh Besar.
Perumahan ini dilengkapi
dengan fasilitas dan keadaan lingkungan pemukiman yang sehat. c) .
Perumahan yang dibangun oleh masyarakat, secara fisik berbeda-beda baik atap, dinding dan lantai.
Keadaan ini dipengaruhi oleh kemampuan masing-masing.
Keadaan lingkungan sangat tergantung pada pemukiman, biasanya
diadakan
musyawarah bila salah satu sarana publik akan diperbaiki dan dibangun baru. D i lihat dari lingkungan masih dibawah kondisi lingkungan sehat.
Masih dijumpai
pemukiman yang belun ada listerik, air bersih, keadaan got/parit yang tidak bersih. Ini semua dipengaruhi oleh pola hidup, ilmu pengetahuan yang dimiliki dan kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan.
3.5. Prospek Perkembangan Urbanisasi, Migrasi dan Permukiman Pada PJPT - II 3.5.1 Urbanisasi Proyeksi perkembangan
urbanisasi di Daerah Aceh secara demografis dapat
dipengaruhi oleh pertumbuhan alami, migrasi dan reklasifikasi.
D i atas di lihat bahwa
penduduk Daerah Aceh merupakan penduduk usia muda. Faktor ini akan mempengaruhi pertambahan penduduk kota secara alami, karena jumlah penduduk di kota lebih banyak, situasi ini akan terjadi di kota-kota Meulaboh, Banda Aceh, Lhokseumawe dan Langsa. Ke empat kota tersebut merupakan pusat pertumbuhan dimasa yang akan datang. Dewasa ini terlihat adanya mobilitas penduduk antara desa kota, mobilitas ini banyak disebabkan oleh bertambah lancarnya lalulintas antar kota kecamatan, dengan ibu kota Kabupaten. Daya tank kota memberi harapan untuk memperoleh pendidikan, latihan dan keterampilan serta kesempatan kerja lebih baik dari pada di desa. Kota Meulaboh berfungsi sebagai kota pendidikan (Perguruan Tinggi Pertanian yang berstatus Swasta) dan sebagai kota dagang di pesisir Barat dan Selatan. Kota ini 87
mempunyai daerah belakang (Hinterland) yang potensial sampai ke Kabupaten Aceh Selatan dengan hasil utama adalah di sektor pertanian. Dari situasi mi dapat dikatakan prospek pemusatan penduduk di kota Meulaboh akan bertambah.
Kota Banda Aceh dahulu dikenal sebagai "Kota Raja" satu-satunya kota yang besar di Aceh. Dahulu (sebelum PELITA IV) selalu dilanda banjir setiap'tahun b i k musim hujan. dan 5 tahun sekali merupakan banjir besar yang membawa banyak korban harta. Sekarang (selama P E L I T A V) hal tersebut telah dapat dicegah dengan adanya penggalian sungai sebagai pengendalian banjir. Bebasnya kota Banda Aceh merupakan daya tank penduduk akan Akibat dari perubahan ini akan bertambah penduduk kota sebagai migrasi ke kota ini. Demikian pula kota Banda Aceh berhingsi sebagai kota pendidikan. perdagangan. administratif. kebudayaan. dan sosial politik, kota im juga berhingsi sebagai ibu kota Propmsi Daerah Istimewa Aceh. Selanjutnya kota Lhokseumawe dan Langsa merupakan 2 buah kota di pesisir Utara dan Timur sebagai kota industri. Kota Lhokseumawe selama PELITA reklasifikasi
IV telah
terjadi
yangmemperkuat kedudukannya sebagai kota administratif di pesisir Utara
Aceh (keputusan
Presiden tahun
1986) dengan daerahma 5 kecamatan yang telah
diuraikan di atas. Kota ini terus berkembang, bertungsi sebagai kota dagang, pendidikan, pariuisata dan juga merupakan kota pelabuhan.
Faktor-faktor ini akan menambah pemusatan
penduduk di perkotaan. Ditambah lagi letaknya di persimpangan jalan menuju propinsi Sumatera Utara (Medan) demikian juga kota Langsa di Kabupaten Aceh Timur.
Dengan baiknya transportasi antara Kabupaten ke-empat kota tersebut masalah urbanisasi tidak dapat dihindari di masa depan.
Keadaan tersebut didukung oleh
penetapan perluasan kota (Reklasifikasi) telah ditetapkan dalam rencana tata ruang kota yang akan dilaksanakan selanjutnya. 3.5.2
Migrasi Dalam masalah Urbanisasi telah disebutkan bahwa akan terjadi migrasi permanen di
daerah perkotaan.
Dengan dibukanya jaringan jalan baru di daerah pedalaman yang
menghubungkan Kabupaten Aceh Tengah dengan Kabupaten Aceh Selatan dan Meulaboh serta ke Kabupaten Aceh Tenggara, dan jalan baru yang menghubungkan Kabupaten Aceh Barat dengan Kabupaten Pidie serta ibu kota Aceh Besar (Janto dengan Lamno Kabupaten Aceh Barat). Keadaan ini akan menambah suasana mobilitas penduduk antar Kabupaten 88
terus meningkat. Daya tarik ini akan membuat penduduk di propinsi lain datang ke Daerah
Aceh
dalam rangka mencari kesempatan
berusaha
di sektor
pertanian.
Penambahan penduduk di daerah pedesaan seperti transmigrasi sangat erat hubungannya dengan program pemerintah.
3.5.3 Permukiman Di atas telah diuraikan bahwa di Indonesia termasuk Daerah Aceh dalam periode 1983 - 1988 telah dibangun perumahan dengan tiga program yaitu melalui Perum Perumahan, kredit B T N serta papan sejahtera dan real estate.
Perumahan ini lebih
berorientasi ke kota dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan kota.
Perumahan
yang dibangun di daerah telah ditentukan lokasinya sesuai dengan perkembangan kota. Kota-kota yang disebut Langsa memungkinkan untuk
terakhir Meulaboh, Banda Aceh, Lhokseumawe dan dibangun pemukiman baru.
Dari
lokasinya belum
menimbulkan problema, hanya tergantung dari permintaan masyarakat (terutama yang berpendapatan menengah ke bawah). Kebutuhan perumahan yang akan dibangun oleh Perum Perumnas di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dapat di lihat tabel 3.26. Dari tabel tersebut terlihat bahwa yang membutuhkan rumah sebanyak 35 persen. Berbagai cara memperoleh (sewa, heli kredit dan real estate). Diharapkan dalam PELITA Aceh dapat direalisi sesuai permintaan. oleh situasi pendapatan.
V I rencana pemukiman di beberapa kota di
Permintaan akan perumahan akan dipengaruhi
Diharapkan tingkat kesejahteraan lebih baik pada PJPT - lï
sehingga masalah pemukiman penduduk akan bertambah secara kuantitas dan kualitas di daerah-daerah perkotaan.
89
Tabel 3.26.
Persentase yang Membutuhkan Rumah dalam PELITA V di Daerah Aceh
Cara Memperoleh LSewaBeli 2. Kredit Bank (BTN) 3. Rea! Estate 4. Lain-lain 5. Yang Membutuh Rumah
dengan Cara Memperolehnya
Jumlah (%)
Tipe Rumah
Jumlah (%)
23.64 43.64 1.82 30.91 35.03
T.21 T.36 T.45 T.51 T.70
18.18 10.91 32.73 7.27 23.64
T.150 T.300
1.82 5.45
Sumber : BPS, Statistik Perumahan.
Tabel 3.26.
Persentase yang Membutuhkan Rumah
dengan Cara Memperolehnya
dalam PELITA V di Daerah Aceh Cara
Jumlah
Tipe
Jumlah
(%)
Rumah
(7c)
LSewaBeli
23.64
T.21
18.18
2. Kredit Bank (BTN)
43.64
T.36
10.91
Memperoleh
1.82
T.45
32.73
4. Lain-lain
3. Real Estate
30.91
T.51
7.27
5. Yang Membutuh Rumah
35.03
T.70
23.64
T.150
1.82
T.300
5.45
Sumber : BPS, Statistik Perumahan. 3.6. Implikasi Pada Kebijakan dan Program Pembangunan. Dalam usaha peningkatan kualitas hidup perlu diambil beberapa kebijaksanaan untuk pelaksanaan PJPT - II dibidang Urbanisasi, Migrasi dan Pemukiman. Dibawah ini akan dibahas kebujaksanaan yang berkaitan dengan urbanisasi, migrasi dan pemukiman.
90
3.6.1 'Urbanisasi a.
Persebaran kota sebagai pusat pembangunan wilayah telah diuraikan dimuka akan menciptakan pusat-pusat
pertumbuhan
di tingkat Kecamatan seperti bantuan
Kerajaan Belanda dalam bentuk hibah untuk 2 Kabupaten (Utara dan Tengah) dengan nama "Program Pengembangan Wilayah ( P P W L T A - 77)".Program ini suatu metode pendekatan dalam pembangunan daerah terutama untuk memecahkan masalah ketimpangan sosial-ekonomi antara wilayah keterpaduan.
Oleh karena
program ini telah pula diterapkan di pesisir Barat dan Seiatan dengan empat pengembangan yaitu:
Kecamatan Samponit dan Kaway X V I di Kabupaten Aceh
Barat, di Kabupaten Aceh Selatan dikembangkan di Kecamatan Kuala Batee dan Trumon.
Sejak P E L I T A
V program bantuan dari Belanda telah dilaksanakan
diharapkan akan tumbuh pusat-pusat pembangunan di samping yang telah ada di 2 Kabupaten tersebut. b.
Persebaran penduduk. Sumber
alam
sebagai
sumber
penghidupan
bertujuan
untuk
mewujudkan
kesejahteraan keluarga dan masyarakat malalui persebaran penduduk agar sesuai dan seimbang dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan. C.
Pembangunan
desa.
Diharapkan migrasi ke kota dapat dikurangi
dengan mengusahakan peningkatan
secara kuantitas dan kualitas dibidang pendidikan, transportasi dan pembangunan ekonomi desa. d.
Pemugaran
perumahan.
Memperbaiki kondisi perumahan dengan tujuan memperbaiki kondisi kesehatan, sosial budaya dan lingkungan. Perencanaan lingkungan/perbaikan kampung dengan cara mengatur kembali lingkungan agar lebih baik atau pengubahan guna lahan dengan cara memindahkan penduduk ke tempat lain. 3.6.2 Migrasi Kebijaksanaan di sektor migrasi diarahkan kepada pola transmigrasi. Pola ini akan diterapkan di Aceh untuk masa PJPT - II yang sangat tergantung program dan dana dari pemerintah. Sasaran yang ingin dicapai adalah untuk menciptakan lapangan kerja, peningkatan produksi dan sebagai unsur persebaran penduduk untuk tingkat Nasional. mendukung sasaran tersebut perlu diadakan klasifikasi yaitu: 91
Untuk
Transmigrasi Umum,
transmigrasi pola Pertanian Inti Rakyat (PIR), pola industri dan pola perikanan. Dengan variasi transmigrasi tersebut berarti kekurangan sumber daya manusia di suatu daerah dapat teratasi dan kualitas penduduk di daerah tersebut dapat miningkat. 3.6.3 Permukiman. Di sektor perumahan/pemukiman diarahkan pada beberapa sasaran yaitu: a) .
Peningkatan sarana listerik, air bersih dan kesehatan lingkungan pemukiman yang terjangkau oleh rakyat banyak.
b) . c) .
Meningkatkan kemudahan masyarakat untuk mendapatkan sarana pokok perumahan. Meningkatkan
pembangunan
pemukiman kota dengan jalan meningkatkan
pemanfaatan tanah kota di dalam kawasan pemukiman yang ada atau dengan membangun kawasan lingkungan baru. d) .
Meningkatkan
penyediaan
prasarana
lingkungan,
pemukiman
dengan
memperhatikan keserasiannya dengan sumber daya alam dan manusia didalamnya. e) .
Meningkatkan pengembangan
produksi bahan bangunan yang memenuhi baku
mutu, awet dan harganya terjangkau oleh masyarakat. Program yang perlu diperhatikan adalah: a.
pengadaan rumah rakyat
b.
Penyediaan air bersih, listerik
c.
Penyehatan lingkungan pemukiman
d.
Peningkatan sarana fisik
92
B A B IV KUALITAS PENDUDUK Kualitas penduduk dan kualitas lingkungan hidup merupakan 2 hal yang sangat penting yang saling terkait dalam mewujudkan "Tujuan Pembangunan". Untuk mencapai tujuan pembangunan jangka panjang, perlu dilakukan berbagai usaha untuk meningkatkan kedua kualitas tersebut (GBHN). Sebagai konsekwensi logis dari gagasan tersebut, maka pengelolaan kependudukan dan lingkungan hidup harus dilakukan secara terpadu, serasi dan berkesinambungan. Kualitas penduduk dapat di lihat dalam 2 aspek yaitu Fisik dan Non-Fisik: "Kualitas Fisik" yaitu ciri-ciri kualitas yang bersifat badaniah, sedang "Kualitas Non Fisik merupakan kualitas batiniah. Kualitas fisik penduduk dapat dianalisis dalam 4 indikator (Munir: 1988) yaitu: a.
Status gizi {Nutritional Status)
b. c. d.
Status Kesehatan (Healt Status) Kebugaran Jasmani (Bodily State) Kesegaran Jasmani (Physical Fitness) Kualitas Non-Fisik (KNF) akan dianalisis pada keadaan awal (baseline) sebelum
memulai pembangunan, dan setelah itu untuk perencanaan. pelaksanaan, dan penilaian keberhasilan program. Konsep untuk tujuan alisis Kualitas Non-Fisik (KNF) dikelompokkan dalam: a. b. c. d. e.
Kualitas kepribadian, ciri K N F yang diperlukan oleh individu, pembangunan kecerdasan, kemandirian, kreativitas, ketahanan mental, keseimbangan emosi-ratio. Kualitas bermasyarakat, K N F diperlukan dalam keselarasan hubungan dengan sesama manusia, umpama, kesetiakawanan (solidaritas), keterbukaan. Kualitas berbangsa, tingkat kesadaran berbangsa dan bernegara yang semartabat dengan bangsa-bangsa lain. Kualitas spritual, K N F dalam hubungan Tuhan, religiusitas dan moralitas. Wawasan lingkungan K N F untuk mewujudkan aspirasi dan potensi din dalam bentuk kerja nyata guna menghasilkan sesuatu dengan mutu sebaik-baiknya.
4.1. Profil Kualitas Penduduk: H D I , P Q L I . 4.4.1.
Human Development Index (HDI) Untuk menghitung H D I , diperhatikan 3 indikator sebagai berikut:
a.
Harapan hidup (Expectation ofLife= eo)
b. c.
Melek huruf Pendapatan perkapita yang disesuaikan.
93
Angka harapan hidup di Aceh cenderung naik. Akhir PELITA III (1983) sebesar 57 tahun. Keadaan ini mengalami kenaikan pada akhir Pelita IV (1988) sebanyak 59.9 tahun dan diharapkan pada akhir PELITA V mencapai 64 tahun. Angka harapan hidup sangat dipengaruhi oleh angka kematian bayi. Di pihak lam jika di lihat perbedaan harapan hidup menurut jenis kelamin, laki-laki dan perempuan akan menunjukan lakilaki mempunyai angka harapan hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan perempuan. Hal ini mungkin laki-laki mempunyai resiko kematian yang lebih besar dan perempuan. Tingkat melek huruf merupakan salah satu komponen dalam menentukan indeks muiu hidup dan suatu daerah. Hal mi juga dipergunakan sebagai indikator dari tingkat pendidikan. dimana faktor pendidikan sangat erat hubungannya dengan faktor-faktor sosiai ekonomi lainnya, seperti pendapatan, gaya hidup, nutnsi, perumahan, kesehatan dan juga meliputi pekerjaan. Tabel 4.1.
Human Development Indek (HDI) Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan beberapa Propinsi Lain di Indonesia
No
Propinsi
1980
1985
! 2 3 4 5 6
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Lampung DKI. Yogjakarta Jawa Barat
0.51463 0.57518 0.45301 0.58288 0.41721 0.77040 0.36269
0.71743 0.71337 0.64217 0.73408 0.59466 0.98528 0.60627
8 9 10
D.I. Yogjakarta Ba1 i Nusa Tenggara Barat
0.47068 0.36960 0.02867
0.62450 0.58847 0.29351
11 12 13 14 15 16
Kalimantan Barat Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Maluku InanJaya
0.29234 0.57385 0.40874 0.31990 0.46953 0.32669
0.53067 0.76560 0.54372 0.52305 0.64306 0.44549
Indonesia
0.43567
0.67317
"
Sumber : Peserta Workshop II Pembangunan Kependudukan, selama PJPT-I, Yogyakarta P P K - U G M , 1992 94
PendidiKan dapat dianggap sebagai indikator tingkat raodernisasi suatu masyarakat semakin modern suatu masyarakat akan semakin cepat masyarakat tersebut dapat menerima ide-ide baru atau teknologi baru untuk perbaikan. Human Development Indek (HDI) diperkenalkan oleh U N D P sering juga dikatakan dengan Indek Pembangunan Manusia (1PM). Perkembangan dalam 2 tahun (1980-1985) dapat di lihat tabel 4.1. Propinsi Daerah Istimewa Aceh berada di atas Nasional pada tahun 1980 dan 1985 masing-masing 0.51463 dan 0.71743, Indonesia pada tahun yang sama sebesar 0.43567 dan 0.67317. Propinsi-propinsi yang tinggi HDI adalah D.I. Yogyakarta dari 0.77040 (tahun 1980) menjadi 0.98528 pada tahun 1985, sebaliknya Propinsi relatif rendah HDI adalah Nusa Tenggara Barat dan Irian Jaya, pada tahun 1980 dan 1985 kedua propinsi tersebut masih berada diawah Nasional, masing-masing 0.29351 dan 0.44549 pada tahun 1985. Berarti selama pembangunan dilaksanakan secara Nasional telah menunjukkan perbaikan kualitas manusia, hal ini ditandai dengan berkurangnya angka melek huruf, angka kematian bayi dan harapan hidup relatif meningkat.
4.1.2 Physical Quality of Life (PQLI) Physical Quality of Life (PQLI) adalah suatu indek yang mulai disajikan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dalam publikasi Indikator Kesejahteraan Rakyat 1988, kemudian terus disajikan sampai sekarang (1990). Dalam tabel 4.2 dapat di lihat PQLI menurut Propinsi disebut juga dengan istilah Indek Mum Hidup (IMH). Distribusi IMH pada publikasi tersebut adalah I M H yang mengacu pada PQLI hasil pemikiran "MORRIS dan G R A N T " dengan mempergunakan variabel IMR, EI, melek huruf, dimana: IMR = Infant Mortality Rate E1 = Harapan hidup usia 1 tahun Melek Huruf = usia 15 tahun ke atas. Selanjutnya Sayogyo (1984) mencoba menghitung dengan menambah variabel ke 4 yaitu fertilitas yang diberi istilah: " I M H Plus".
95
Tabel 4.2.
Indeks Mutu Hidup (IMH)/PQLI menurut Propinsi
Propinsi
1971
1976
1980
1985
52 59
60 65
65 68
77 78
1. 2.
D.I. Aceh Sumatera Utara
3.
Sumatera Barat
51
56
59
7]
-
Riau
55
58
60
74
5.
Jambi
45
5?
53
73
4
6.
Sumatera Selatan
48
58
65
75
7.
Bengkulu
48
55
61
76
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Lampung DKI Jakarta Jawa Barat JawaTengah D.I. Yogjakarta JawaTimur Bali
48 57 44 44 43 46 45
57 66 50 53 60 53 54
64 72 54 60 71 59 6(
78 87 68 72 82 69 74
15. 16. 17.
Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Timor Timur
32 47
32 50
33 52
53 67 43
18.
Kaiimantan Barat
43
48
52
69
19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Kaiimantan Tengah Kaiimantan Selatan Kaiimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku
54 50 53 63 51 40 39 52
60 55 59 67 54 49 48 56
64 59 63 69 57 56 56 59
76 70 79 80 66 70 69 70
27.
InanJaya
56
54
53
64
51
55
59
72
ïndonesia
Sumber : BPS Indikator Kesejahteraan Rak vat, 1988. Dari data yang ada menunjukkan keadaan PQLI Propinsi Daerah Istimewa Acefc relatif baik dibandingkan dengan Nasional (lihat tabel 4.3) yaitu 57,96 (1971) menjadi 64,90 tahun 1980. Sedang Nasional pada periode yang sama sebesar 51.28 dan 59.05. PQLI Berdasarkan indikator Nasional yang tinggi adalah Sulawesi Utara selama periode 1975-1985 masing- masing 123,32 (1971), 119,84 (1970), 117.02 (1980) dan 131.02
(1985). Demikian juga Sumatera Utara dan Jakarta. Pada tahun 1985 D K I Jakarta dan Sulawesi Utara relatif tinggi masing-masing
134,28 dan 131,02. Daerah Aceh,
Kalimantan Tengah dan D.I. Yogyakarta masing-masing 127,41, 127,63 dan 127,06, Propinsi Daerah Istimewa Aceh secara Nasional termasuk dalam katagori 10 besar. Berdasarkan index 1971, setiap PQLI mengalami peningkatan, yang tertinggi adalah D.I. Yogyakarta dan 164,09 tahun 1980 menjadi 193,04. Adanya peningkatan dari 114,63 (1976) menjadi 124,90 (1980) dan 161,01 (1985) berarti pembangunan selama PJPT-I telah membawa perbaikan di lihat dari sudut kesehatan dan peningkatan pendapatan (PDRB), lihat lampiran II. Tabel 4.3.
Indeks Kualitas Hidup Fisik (PQLI) Penduduk Propinsi Daerah Istimewa Aceh (1971 - 1980)
PQL-I
1971
1976
1980
Aceh
57.96
59.56
64.90
indonesia
51.28
55.54
59.05
1985
PQLI:
PQLI Berdasarkan Nasional: Aceh
101.32
107,24
109.91
127.41
Indonesia
100
100
100
100
PQLI Berdasarkan Indeks Th. 1971: Aceh indonesia
100.00 100.00
114,63 108.31
124.90 115.15
161.01 128.04
Sumber: BPS Jakarta, Dihitung berdasarkan SP 1971, 1980 dan Supas 1976, 1985.
Keadaan PQLT Propinsi Daerah Aceh berada di atas I M H Nasional yaitu 77 dan Nasional 72 pada tahun 1985, ini berarti bahwa keadaan pembangunan membawa perubahan dalam peningkatan kualitas penduduk di daerah Aceh. 4.2. Kualitas Fisik, I M R , status gizi, Rentan dan Morbiditas. 4.2.1 Kualitas Fisik Kualitas fisik dapat dianalisis dalam 2 pendekatan yaitu berdasar "input dan output".
Komposisi konsumsi yang dimakan oleh ibu yang terdiri dari berbagai karbohi97
drat, protein dan berbagai vitamin yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan bayi yang akan dilahirkan, dalam berat bayi serta ketinggiannya. Pertumbuhan anak dipengaruhi oleh kualitas konsumsi, oleh karena itu variasi konsumsi yang mengandung kalori dan protein perlu diperhatikan. Dewasa ini pemerintah melalui posyandu telah merangsang masyarakat untuk memben makanan tambahan bagi bayi/balita. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kualitas fisik yang mengacu dalam pertumbuhan, mencegah anak mendenta kurang vitamin. Program ini sekaligus dilaksanakan terpadu dengan memberikan kekebalan (ïmunisasi) pada anak balita. Usaha tersebut merupakan salah satu kegiatan untuk mengurangi kematian bayi dan anak balita di masa yang akan datang.
4.2.2 Infant Mortality Rate (IMR) Angka kematian bayi dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Angka ini secara statistik dapat dihitung melalui cara tertentu dari data hasil sensus penduduk, SUPAS serta S U R V E I , seperti telah diuraikan di atas (lihat tabel 2.29). Tingkat kematian bayi dari 1971-1985 menunjukan tendensi menurun.
Besamya
penurunan, untuk laki-laki 56.09 persen dan untuk bayi perempuan 58.16 persen, berarti penurunan yang berarti pada kedua jenis kelamin akan harapan hidup (eo) lihat tabel 4.4).
Tabel 4.4.
Angka Harapan Hidup Waktu Lahir menurut Jenis Kelamin di Daerah Aceh (1971, 1985)
Tahun
Laki-laki
Perempuan
1971 1980 1985
46.8 54,2 60,1
49.8 57,5 63,8
Sumber : BOS, Indikator Kesejahteraan Rakyat, 1988.
Pada tahun 1985, angka kematian bayi tercatat sebesar 68,9 perseribu kelahiran hidup untuk bayi laki-laki dan 55,2 persen bagi bayi perempuan.
Turunnya kematian
bayi sekaligus menaikan harapan hidup (lihat tabel 2.31). Penurunan tersebut dipengaruhi oleh penanganan faktor-faktor makanan hergizi, sarana kesehatan, keadaan lingkungan serta sanitasinya. Upaya perbaikan kesehatan teiart dikembangkan di daerah melalui sistim kesehatan nasional yang diarahkan kepada
98
masyarakat ekonomi rendah dan seluruh pelosok desa. D i samping itu ada usaha peningkatan- peningkatan pembangunan pusat-pusat kesehatan masyarakat yang disertai dengan sarana penumangnya di daerah-daerah tersebut. 4.2.3 Status gizi Secara umum gizi atau zat gizi berarti zat makanan yang diperlukan tubuh manusia dalam jumlah tertentu.
Bila semua zat gizi yang diperlukan dapat dipenuhi maka seseo-
rang dapat mempunyai peluang hidup sehat. Secara umum masalah gizi dalam hidangan makanannya perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Sampai saat ini masaalah gizi di Indonesia adalah kurang energi protein (KEP), anemia zat gizi besi, kurang vitamin A . dan gondok endemik. Indikator keberhasilan program perbaikan gizi adalah angka penyediaan zat gizi yang mencukupi dan siap dikonsumsikan oleh masyarakat. Dewasa ini jumlah ketersediaan energi dan protein meningkat. Pada tahun 1987 mencapai angka penyediaan 2580 energi dan 55.3 gram protein. Pada tahun berikutnya energi naik menjadi 2713 energi sedangkan tingkat ketersediaan protein sebesar 60.0 gram. Distribusi asal bahan makanan dapat di lihat tabel 4.5. Sebahagian besar (67.0 persen) berasai dari padi-padian. Hal ini merupakan indikator bahwa ketergantungan terhadap padi-padian terutama beras masih tinggi.
99
Tabel 4.5.
Penyediaan Energi dan Protein per Orang per Hari untuk Konsumsi menurut Asal Bahan Makanan di Daerah Aceh
Kelompok Bahan Makanan
Energi/Energy
Protein
— — — 1987
1. Padi-padian Cereals
1988)
1987
1988)
1 600
1 817
34.0
36.6
(65.9)
(67.0)
(61.5)
(61.0)
2. Makanan Berpati
193
ig6
1.7
17
Starchy food
7.5)
( 7.2)
( 3.1)
( 2.8)
139
123
0.1
0.0
( 4.5)
( 2.0)
( 0.1)
3
- Gula" S u
S
(-5.4)
a r
4. Buab/biji berminyak Nuts/oil seeds 5. Buah-buahan F r u
'ts
Vegetables 7. Daging
( 0.9)
( 0.7)
20 ( 0.8)
6 ( 0.2)
lO.Ikan
23 ( 0.9)
F i s h
11.Minyak dan Lemak O i l and Fast J™lah a
0.4
( 0.4)
s
M i l k
t
0.5
40
10
9. Susu
o
13.3 (22.2)
( 1.0)
8. Telur
T
11.2 (20.3)
26
M e a t
99
258 ( 9.5)
( 1.6)
6. Sayur-sayuran
£
236 ( 9.1)
l
39 ( 1.4) 19 ( 0.7) 27 ( 1.0) 10 ( 0.4) 7 ( 0.3) 23 ( 0.8)
1.0
1.0
( 1.8)
( 1.7)
1.8
1.8
( 3.2)
( 3.0)
0.7
0.7
( 1.3)
( 1.2)
0.3
0.4
( 0.5)
( 0.7)
3.9
4.1
( 7.1)
( 6.8)
188
194
0.1
0.1
( 7.3)
( 7.2)
( 0.2)
( 0.2)
2 580
2 713
(100.0)
(100.0)
55.3 (100.0)
60.0 (100.0)
Sumber : Neraca Bahan Makanan 1987 dan 1988/1987 Source and 1988 Food Balance Sheet. Catatan : ) Angka sementara/Preliminary figures Note Di lihat kepentingan tubuh akan gizi, penyediaan protein dari padi-padian seharusnya diimbangi oleh jenis makanan lain. Dengan kata lam makanan yang dimakan harus beragam/bervariasi, oleh karena kurangnya jenis "asam amino esensial" tertentu dalam
100
padi-padian. Makanan berikutnya yang akan menyumbangkan penyediaan energi adalah buah-buahan/biji berminyak, makanan berpati, serta minyak dan lemak yang persentasenya sekitar 9 persen dan 7 persen, dan jenis makanan lain adalah gula. Bahan makanan lain yang banyak penyumbang protein adalah buah/biji berminyak yang besarnya sebesar 22 persen, dan gabungan ikan memberikan sekitar 7 persen terhadap ketersediaan protein nasional. Namun terlihat bahwa daging, telur, masih kecil hanya 3 persen dan 1 persen. Secara tioritis, nilai protein yang berasai dari telur dan daging mempunyai susunan asam animo esensiai yang lengkap dan dibutuhkan manusia. Tabel 4.6.
Persentase Balita yang Berstatus Gizi Baik di Daerah Aceh menurut Tempat Tinggal dan Jenis Kelamin (1989)
Tempat tinggal
Aceh
Indonesia
Laki-laki Perempuan
56.5 57.9
65.5 56.7
Laki-laki Perempuan
40.8 38.8
54.8 48.5
KOTA + DESA Laki-laki Perempuan
41.6 39.7
57.6 50.7
KOTA:
DESA:
Sumber: Status Gizi Balita, Hasil SUSENAS, 1989
Rata-rata energi dan protein perkapita satu hari akan berpengaruh pada pertumbuhan tubuh bayi/balita.
Keadaan gizi baik pada balita dapat di lihat tabel 4.6 dan tabel
4.7. Dari informasi tersebut menunjukkan keadaan gizi balita masih di bawah Nasional, baik di lihat berdasarkan jenis kelamin maupun berdasarkan tempat tinggal. Status gizi kurang/rendah disebabkan karena konsumsi zat gizi kurang. Hal im diduga karena tidak ketahuan tentang gizi sehat atau boleh jadi disebabkan pendapatan rendah/miskin atau karena kedua sebab tersebut.Golongan penduduk yang rawan gizi, adalah "Balita, wanita hamil dan menyusui "golongan ini biasanya digunakan sebagai indikator untuk menggambarkan keadaan gizi penduduk.
101
Tabel 4.7.
Konsumsi Rata-Rata Energi dan Protein dan Persentase Balita Berstatus Gizi Baik di Daerah Aceh (1987)
Jenis Konsumsi/ Gizi Balita
Kota A
Desa I
A
Kota + Desa I
A
I
2005 48.6
1859 44.1
A . Konsumsi Rata2 -Energi -Protein
1968 51.7
1736 44.1
2009 48.1
1903 441
B. Balita Gizi Baik -Laki-laki
56.5
55.5
40.6
38.8
41.6
39.7
-Perempuan
51.9
55.7
54.8
48.5
57.6
50.7
Sumber: BPS Indikator Kesejahteraan Rakyat, 1990. Ket. : A = Daerah Aceh I = Indonesia
Dan konsumsi energi dan protein perorang perhan tahun 1987 mengalami penurunan dibandingkan tahun 1980 masing- masing 1.988,37 kalon dan 55.49 gram protein turun menjadi 1968 kalori dan 51.7 gram protein. Konsumsi kalon secara nasional masih dibawah yang dianjurkan (2.100 kalon/per- orang) sehan dan untuk protein sudah dapat memenuhi standar yaitu 45.0 gram perorang sehan (lihat tabel 4".8).
102
Tabel 4.8.
Rata-Rata Konsumsi Kalori dan Protein per Kapita Sehari menurut Daerah Tempat Tinggal (1980, 1981, 1984 dan 1987)
DAERAH/TAHUN
KALORI
PROTEIN
1980 1981 1984 1987
1.988,37 1.898,45 1.916,61 1.968,16
55,49 49,44 50,69 51,73
1980 1981 1984 1987
2.207,60 2.069,55 2.268,81 2.009,01
54,67 50,18 54,55 48,15
KOTA + DESA 1980 1981 1984 1987
2.188,08 2.054,27 2.201,93 2.005,04
54,77 50,11 53,58 48,57
KOTA:
PEDESAAN:
Sumber : Biro Pusat Statistik, SUSENAS 1980, 1981, 1984, 1987. Catatan : Tidak termasuk yang berasai dan makanan jadi.
Status gizi pada wanita hamil dan menyusui relatif sukar diperoleh, penelitian ke arah ïm belum banyak dilakukan di Daerah Aceh dengan demikian tidak dapat dikatakan Jalam analis ini. Dari sudut kebiasaan, wanita hamü di daerah pedesaan selalu dihadapkan berbagai hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dan dimakan.
Banyak makanan yang harus
dikonsumsikan berkalori dan protein tinggi yang dibutuhkan, disebabkan berbagai hal tidak terpenuhi. Wanita hamil dan menyusui seharusnya memerlukan makanan yang berkualitas tinggi demi kesehatannya. 4.2.4.
Rentan dan Penduduk Lanjut Usia.
Kualitas fisik penduduk perlu di lihat lebih luas lagi yaitu pada penduduk rentan. Mereka terdiri dari penduduk cacat, tidak produktif. Jumlah penduduk cacat tidak banyak, ada yang sedang diasuh di Yayasan Persatuan Anak Cacat ( Y P A C ) , dan juga
103
Tabel 4.10 Angka Kesakitan per 1000 Penduduk di Daerah Aceh menurut Jenis Penyakit NO
JENIS P E N Y A K I T
1980
1986
29.9 9.2
21.3 6.9
1. 2.
Infeksi Saluran Pernapasan akut Gig! Mulut dan Saluran Percernaan
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Bronhitis, asma dan saluran pernapasan lam Infeksi Kulit dan Bawah Kulit Diare Penyakit Susunan Syaraf Infeksi Lain Tuberkulosis
9.1 8.0 7.7 7.7 7.6 6.0
6.4 7.6 4.4 5.7 6.5 4.2
9.
Penyakit Jantung dan Pembuluh
6.0
5.3
Sumber : Survei Kesehatan Rumahtangga 1980 dan 1986 Sejak PELITA III keadaan kesehatan telah ada perbaikan dalam sarana maupun tenaga. Perbaikan mutu terus ditingkatkan sampai ke desa-desa pada masyarakat yang berpendapatan rendah. Penduduk lebih banyak berobat ke Puskesmas, dan rumah sakit. Puskesmas dewasa ini telah berfungsi disetiap ibukota kecamatan. Namun masih banyak kendalanya antara lain: a.
Radius letak Puskesmas. sebahagian kecil di daerah pedesaan belum terjangkau. Faktor utama adalah transportasi yang menghubungkan desa dengan ibu kota kecamatan belum semuanya baik. Dilain pihak masyarakat desa perlu diberi pengertian terhadap hidup sehat, pentingnya lingkungan sehat, atau dapat dikatakan sikap masyarakat terhadap kesakitan masih belum mengerti.
b.
Tenaga (medis dan para medis), belum cukup, terutama di daerah pedalaman. Distribusi tenaga medis perlu mendapat pnontas di daerah terpencil untuk melayani masyarakat ekonomi lemah.
c.
Biaya pengobatan, dianggap tinggi sungguhpun di Puskesmas tidak dipungut bayaran namun ongkos pulang pergi ke puskesmas/rumah sakit sebahagian masyarakat memheratkan.
Sungguhpun masih ada sebahagian kecil kendala, puskesmas dan rumah mantri/bidan merupakan tempat berobat yang dianggap baik di desa. Sementara bagi penduduk yang tinggal di kota pergi ke dokter praktek menjadi pilihan ke dua setelah puskesmas/rumah sakit untuk mengobati penyakitnya. Tabel 4.10 memben informasi tentang jenis penyakit, infeksi saluran penafasan akut merupakan jenis kesakitan yang tinggi. Tahun 1980 ada 29.9 persen, turun menjadi 21,3 persen di tahun 1986 Berarti selama waktu tersebut telah terjadi pergeseran 106
kesakitan. Dua kesakitan lainnya merupakan gigi mulut dan saluran pernafasan turun dari 9,2 persen tahun 1980 menjadi 6,9 persen di tahun 1985. Demikian juga kesakitan yang disebabkan oleh bronsitis, asma dan saluran pernafasan mengalami penurunan serupa yaitu dari 9 persen (1980) menjadi 6,4 persen tahun 1985. Di pihak lain secara berturut-turut dapat di lihat pada penduduk yang menderita berbagai jenis penyakit dan tempat pengobatan. Penyakit malaria masih dominan. Keadaan lingkungan perumahan yang belum bersih menyebabkan lebih mudah berkembang biak nyamuk malaria. Penderita malaria lebih banyak di daerah pedesaan (10.90 persen) sedang penyakit dalam di daerah perkotaan mencapai (19,18 persen) seperti tercantum dalam tabel 4.11. Tabel 4.11.
Persentase Penduduk yang Menderita Sakit dan Tempat Pengobatan di Daerah Aceh
JENIS P E N Y A K I T /
KOTA
DESA
KOTA + DESA
TEMPAT PENGOBATAN A. JENIS P E N Y A K I T Y A N G DIDERITA: 1. TBC/Paru-paru 2. MuntahBerak 3. Malaria 4. Penyakit Dalam 5. Campak 6. Lainnya
B. T E M P A T P E N G O B A T A N : 1. Dokter Praktek
4.11 1.37 6.85 19.18 5.48 63.01
4.27 4.92 11.54 8.33 5.34 65.60
4.25 4.44 10.90 9.80 5.34 65.25
100.00
100.00
100.00
66.44
2.35
4.25
2. Rumah Sakit 3. Puskesmas
17.81 27.40
8.12 19.87
9.43 20.89
4. 5. 6. 7. 8.
23.29 2.74 12.32 -
3.63 29.92 10.68 23.29 2.14
3.14 29.02 9.68 21.81 1.85
100.00
100.00
100.00
Klinik Mantn Kesehatan Tabib/Jmshe/Dhukun Diobati Sendiri Tidak Diobati
Jumlah
Sumber : Kantor Statistik Daerah Istimewa Aceh, SUSENAS, 1987. 107
Untuk penyembuhan, penduduk kota lebih banyak pergi ke Puskesmas, rumah sakit dan praktek dokter, masing-masing 27,40 persen, 17,81 persen dan 16,44 persen. Di pihak lain masyarakat desa lebih banyak pergi ke mantri kesehatan dan memilih pengobatan sendiri, masing-masing 29.92 persen dan 23,29 persen. Mantri lebih mudah diperoleh di desa dari pada dokter, oleh karena itu pengadaan mantn kesehatan merupakan program yang perlu dilaksanakan dalam PELITA V dan VI guna mengobati penduduk desa yang berpendapatan rendah. 4.3.
Kualitas Non Fisik: Edukasi, tenaga kerja, kriminalitas masalah sosial.
4.3.1. Pendidikan - Pendidikan penduduk merupakan salah satu indikator dalam pembangunan dengan meningkatkannya pendidikan penduduk, maka akan mempengaruhi fertilitas dan penduduk lebih mudah menerima/mentransfer teknologi baru untuk pembangunan. Kemampuan membaca dan menulis akan mendorong penduduk untuk berpeTan lebih aktif dalam proses pembangunan. Secara Nasional dapat di lihat keadaan buta huruf, penduduk umur 10 tahun ke atas yang buta huruf mencapai 18.9 persen (1987) berarti telah terjadi penurunan kalau dibandingkan dengan tahun 1980 sebesar 28,8 persen. Upaya pemerintah di bidang pendidikan telah berhasil mengurangi penduduk buta huruf, usaha ini lebih ditujukan pada penduduk di daerah perdesaan. Tabel 4.12
Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Buta Huruf Tahun 1980, 1987 19 8 0
19 8 7
Indonesia
Aceh
Indonesia
14.5 33.2 28.8
2.6 16.6 15.2
9.0 22.7 18.9
Tempat Aceh Kota 7.2 Desa 27.3 Kota + Desa 25.4
Sumber : BPS, SP 1980 Seni S No.2 SUSUNAS, 1987. Keadaan buta huruf di Daerah Istimewa Aceh juga sudah menurun, sejalan dengan program nasional, dari 25,4 persen tahun 1980 menjadi 15.2 persen di tahun 1987. Kalau di lihat di daerah pedesaan masih tinggi 27,3 persen pada tahun 1980, turun menjadi 16,7 persen ditahun 1987. Jadi periode 1980-1987 telah terjadi kemajuan disektor rjemlidikan (lihat tabel 4.12).
108
Tabel 4.13
Rasio Murid Terhadap Gum menurut Tingkat Pendidikan di Daerah Aceh dan Indonesia (1986/1987 - 1988/1989)
Sekolah
1986/1987
Sekolah Dasar Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SLTP) Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA)
1988/1989
Aceh
Indonesia
Aceh
Indonesia
23
25
22
24
15
17
16
16
15
14
14
13
Sumber : BPS, Indikator Kesejahteraan Rakyat, 1990. Selanjutnya rasio murid terhadap guru menurut Kabupaten kan tabel 4.13.
dapat diperhati-
Pada penode 1986/1987 keadaan rasio murid terhadap guru sebagai
berikut: a.
Sekolah Dasar: Kodya Sabang. Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Aceh Tengah. dan Aceh Selatan berada di bawah rata-rata rasio mund terhadap guru daerah Aceh yaitu 23.
b.
Sekolah Menengah Pertama, rasio di awah rata-rata Propinsi Daerah istimewa Aceh sebesar 22 adalah Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar dan Pidie.
c.
Sekolah Menengah Atas di daerah Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Timur dan Aceh Selatan mempunyai rasio mund terhadap guru di atas rata-rata yaitu 30.
109
Tabel 4.14
„ . . Kabupaten Kotamadya
Rasio Murid Terhadap Guru menurut Kabupaten/Kotamadta dan Tingkat Sekolah di Daerah Aceh (1986/1987 dan 1888/1989) SD
SLTP
SLTA
86/87
88/89
86/87
88/89
86/87
87/89
20 19 17 22 25 21 28
20 17 16 20 24 20 27
21 18 11 17 23 23 33
16 14 14 16 18 21 27
27 27 12 26 36 32 41
19 25 21 27 15 32
8. A . Tenggara 23 9. Aceh Barat 24 10. Aceh Selatan 22
22 23 21
32 23 24
29 19 20
28 29 31
26 19 20
D.I. Aceh
22
22
20
30
23
1.Sabang 2. BandaAceh 3. Aceh Besar 4. Pidie 5. Aceh Utara 6. Aceh Tengah 7. Aceh Timur
23
Sumber : Aceh Dalam Angka 1985 dan 1988. Keterangan : Tidak termasuk guru tidak tetap
Hal mi tidak jauh berbeda pada tahun 1988/1989 bervanasi antara Daerah Tingkat II (lihat tabel 4.14) Ratio murid guru di sekolah dasar sebesar 22 dan 23 pada periode 1986/1987 dan 1987. Rasio murud guru di SLTP 15 pada 1986/87 menjadi 16 pada periode yang sama. Seterusnya pada penode tersebut di Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA) masing- masing 15 dan 14. Dibandingkan dengan angka Nasional bagi Sekolah Dasar dan Tingkat Atas Pertama relatif rendah, tetapi pada S L T A relatif tmggi (lihat tabel 4.15).
110
Tabel 4.15
Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan di Daerah Aceh (1980, 1987)
PENDIDIKAN Y A N G DITAMATKAN
1 9 8 0
1 9 8 5
1 9 8 6
1 9 8 7
t.
Tidak/Belum Sekolah
53,06
13,77
11,80
11,81
2. 3. 4. 5.
Belum Tamat SD Sekolah Dasar SMTP SMTA/Diploma i/II
30,56 10,20 5,81
34,08 30,52 13,44 7,77
29,34 34,74 15,23 8,41
29,08 36,36 13,97 8,25
Akademt/DiplomalII
0,37
+ 0,42
0,48
0,53
100,00
100,00
100,00
100,00
6.
dan Universitas Jumlah Sumber
: Sensus Penduduk 1980, SUPAS 1985, S A K E R N A S 1986 dan 1987.
Keterangan : Pada Sensus Penduduk 1980, Tidak/Belum Sekolah dan Belum Tamat SD di gabung. Pada tahun anggaran 1988/1989 beban tugas guru lebih ringan dibandingkan pada tahun a)aran 1987/1988. Pada Sekolah Dasar beban tugas guru didasarkan atas rasio murid-guru tahun 1986/1987 adalah 23.0 turun menjadi 22 tahun 1988/1989, demikian juga pada SLTP. S L T A masing-masing 22 dan 30. Keadaan ini pertanda
penambahan
guru mampu mengimbangi pertambahan murid yang meningkat. Lebih lanjut dapat diperhatikan persentase penduduk berumur 16-18 tahun dalam status sekolah. D i tahun 1989, penduduk yang belum sekolah sebanyak 3,7 persen, yang masih sekolah sebanyak 47,4 persen dan yang tidak bersekolah lagi 48,9 persen. Keadaan pendidikan di Propinsi Daerah istimewa Aceh dapat diperhatikan tabel 4.15. Partisipasi penduduk dalam pendidikan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti sarana, fasilitas pendidikan, biaya pendidikan dan sebagainya.
Informasi yang ada
menunjukan bahwa walaupun telah nyata kemajuan yang diperoleh pada jenjang pendidikan dasar, akan tetapi terdapat hal yang kurang menggembirakan yaitu masih adanya penduduk usia 7-12 tahun yang tidak dan belum sekolah. 4.3.2
Tenaga Kerja Sebagairnana diketahui bahwa Propinsi Daerah Istimewa Aceh menghadapi 2
masalah:
111
a.
Struktur penduduk daerah Aceh menunjukkan struktur umur, penduduk muda. Sebagai akibat struktur umur muda, rasio umur di Aceh masih tinggi. Rasio ketergantungan umur cenderung menurun, akibat tingkat fertilitas yang terus turun.
b.
D i pihak lain kemampuan menampung tenaga kerja terbatas baik di sektor pertanian. industri dan Jasa.
Dengan kata lam permintaan tenaga kerja (demand xide) tidak sebanding dent>an persediaan lapangan kerja (suppfy side), terjadi apa yang disebut pengganguran, (kentara maupun tidak kentara atau Unemployment dan disquest unemployment) yang akan berdampak kurang menguntungkan dalam pembangunan. Yang dimaksud denman lapangan pekerjaan adalah bidang kegiatan dan iisaha/perusahaan/instansi dimana seseorang bekeria atau pernah bekeria. Jumlah penduduk 10 tahun menurut jenis kegiatan kerja dapat di lihat pada tabel 4.16 angkatan kerja dan (TPAK) terdapat di tabel 4.17. Persentase Penduduk 10 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan dicatat dalam tabel 4.18 dan dalam tabel 4.19 informasi kesempatan kerja.
Tabel 4.16
Persentase Penduduk L'mur 10 Tahun Daerah Aceh menurut Jenis Kegiatan (1980 - 1987)
JENIS K E G I A T A N
1980
1985
1986
1987
Angkatan kerja Bukan Angkatan Kerja
64 87 53.13
52.83 47.17
55.33 44 67
56.10 43.90
Bekerja Meneari Kerja Sekolah MengurusRT Lain-lain
46.10 0.77 21.11 21.49 10.55
51.SI 1.02 24.99 10.88 7.30
54.01 1.28 24.60 13.69 6.38
55.21 0.89 23.45 13.05 7.42
100.00
100.00
100.00
100.00
Jumlah
Sumber : Kantor Statistik Prop. Daerah Istimewa Aceh SP 1980. Supas 85, Sakernas 1986. 1987.
112
Tabel 4.17
Angkatan Kerja dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Daerah Aceh (1971 - 1990)
Tahun
Angkatan Kerja
1971 1980 1985 1986 1987 1990
644.300 846.400 1.113.500 1.119.000 1.243.653 1.280.200
TPAK(%) 48.1 46.9 52.8 55.3 56.1 52.2
Sumber : Biro Pusat Statistik Prop. Daerah Istimewa Aceh. SP 1971, 1980 Supas 1985. Sakemas 1986, 1987 dan Proyek si Angkatan Kerja.
Tabel-tabel tersebut menunjukan 55.21 persen penduduk umur 10 tahun ke atas bekerja, sekolah 23.45 persen dan mengurus rumah tangga 13.05 persen. Dari jumlah penduduk yang bekerja ternyata tingkat partisipasi angkatan kerja dan tahun 1971-1987 mengalami kenaikan dan 48.1 persen menjadi 56.1 persen, dan tahun 1990 turun menjadi 52.2 persen. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian menunjukan persentase tinggi, tahun 1985 sebesar 72.27 persen naik menjadi 75.42 persen di tahun 1987. Berarti sektor pertanian merupakan sektor utama di Aceh. Dan ini terbukti pada tahun 1980 kesempatan kerja hanya 591.428.00 dan menjadi 742.118.00 di tahun 1985. Bila di lihat pada prospek kesempatan kerja pada tahun 1995. ternyata sektor pertanian masih memegang peranan penting.
113
Tabel 4.18
Persentase Penduduk 10 Tahun ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan dan Tempat Tinggal di Daerah Aceh (1985-1987)
LAPANGAN
KOTA
PEKERJA UTAMA
1
DESA ~
~
~
15.30
11.53
72.27
75.42
67.96
5.52
2.29
8
5
1.
Pertanian
2.
Industri
3.
Perdagangan
31.65
26.70
4.
Jasa-jasa
34.71
41.23
5.
Lain-lain
12.82
14.75
Jumlah
KOTA + DESA
~
9
100.00
100.00
~
m
71.70
4.34
3.41
4.43
3.34
9.28
6.63
10.97
7.75
9.81
7.89
11.69
9.97
4.30
6.75
4.95
7.24
100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber : Kantor Prop. Daerah Istimewa Aceh Supas 1985, Sakernas 1987 Tabel 4.19
Kesempatan Kerja dan Proyeksi Kesempatan Kerja per Sektor di Daerah Aceh Tahun 1990 dan 1995
SEKTOR
• 1980
Pertanian Pertambangan.
KESEMPATAN KERJA 1985
1990
. 1995
591.428.00
742.118.00
931.202,32
1.168.463.45
5.433,00
4.924.00
4.462,69
4.044,59
32.981.00
48.378.00
70.963.01
104.091.70
1.093,65
1.508,29
Ja lan Industri Listrik
575,00
&
793.00
A i r Minum Bangunan
17.300,00
24.199,00
33.849.23
47.347,83
Perdagangan,
66.108,00
118.441,00
212.202,31
380.187,79
15.403.00
20.582.00
27.502.35
36.749,56
3.553.00
5.226.00
7.686.76
11.306,23
99.734,00
127.306,00
162.500,43
207.424,54
Hotel, restoran Pengangkutan Komunikasi Bank & Lembaga Keuangan Jasa-jasa Kemasyarakatan
T
0
t
a
1
832.515.00
1.091.967,00
Sumber : SP 1980, Supas 1985. 114
1.432.276,81
1.878.643.64
4.3.3
Kriniinalitas Perkembangan dan dinamika masyarakat akan membawa konsekuensi pergeseran
sosial, baik perubahan yang positif maupun negatif.
Perubahan positif seperti bentuk
asosiasi sosial dalam bentuk kerja sama dan akomodasi sosial mendukung situasi keamanan dan ketertiban masyarakat. Hasil perkembangan yang negatif akan berujud dalam kepincangan-kepincangan sosial, antara lain ditandai oleh terjadinya disentergrasi sosial. ketidak mampuan adaptasi sosial terhadap perubahan sistim dan norma-norma yang ada di sekitarnya. Keadaan ini membawa sumber kerawanan potensi Kantibnas dan dapat menimbulkan ancaman dan penyimpangan sosial, sehingga dapat menghambat proses pembangunan.
Tabel 4.20
Jumlah Narapidana Berdasarkan Keputusan Pengadilan, 1987
Jenis Kejahatan/kelamin
1987
Kejahatan Laki-laki Perempuan
K
1
7
8
L
1
6
2
'^
Pelanggaran Laki-laki Perempuan
1
1 7
Jumlah
!-
1 7 9
Sumber : Kantor Statistik Daerah Istimewa Aceh, Statistik Kriminil, 1988
Dalam tabel 4.20 dan tabel 4.21 merupakan informasi Narapidana, persentase pengadilan terhadap kejahatan, pelangagaran berdasarkan usia (dewasa, pemuda dan anak-anak). Dalam tahun 1987 terjadi kejahatan 1.178 dan pelanggaran 17. Pelakunya terbanyak oleh orang dewasa (laki-laki 813, perempuan 12), jumlah pemuda yang melakukan kejahatan 295 (laki-laki 294 dan perempuan 1).
Kalau dibandmgkan
dengan propmsi lam, keadaan kejahatan belum begitu banyak, Propmsi Jawa Timur. Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI.Jakarta dan Sumatera Utara merupakan propmsi yang banyak terjadi kejahatan.
Di daerah Aceh kejahatan yang menonjol adalah pencurian
(668 kasus) dan penganiyanyaan 191 kasus yang terjadi pada tahun 1987,sedang kasuskasus lainnya relatif kecil.
115
Tabel 4.21
Banyak Tambahan Nama Pidana Berdasarkan Keputusan Pengadüan, 1987
JENIS K E L A M I N
1987
Dewasa
825
Laki-Laki Perempuan
813 12
Pemuda
295
Laki-laki Perempuan
294 1
Anak-anak
75
Laki-laki
75
Perempuan
3
Jumalah
1.195
Sumber : Kantor Statistik Daerah Istimewa Aceh, Statistik Kriminalitas, 1987. 4.3.4
Masalah Sosial
Dalam uraian di atas telah dianalisis dinamika penduduk. Masih tingginya tingkat pertumbuhan penduduk akan berdampak pada persediaan sandang. pangan dan lapangan kerja serta faktor kesehatan. Pertambahan penduduk di suatu daerah juga disebabkan oleh migrasi masuk. Faktor ini akan berdampak pada keadaan sosial terutama masaalah pembauran dua kebiasaan (sosial- budaya) yang relatif berbeda. Terjadinya urbanisasi desa ke kota berdampak kepada terkonsentrasinya penduduk perkotaan dengan kepadatan diluar batas kemampuan. Kotamadya Banda Aceh merupakan salah satu kota yang relatif padat (2500 jiwa per km sedang kota-kota lainnya relatif kurang padat. Seirama dengan kepadatan kota terlihat sektor informal bertambah, dan akan memmbulkan prolema sendiri. Contoh tukang becak. limbah pasar yang akan menghilangkan keindahan kota. Dewasa mi keadaan transportasi dan komunikasi di Aceh relatif baik. Dengan adanya sarana transportasi akan mempercepat interaksi antara suku bangsa, dan dengan penduduk luar. Faktor ini akan mempengaruhi elemen ketahanan sosial, kualitas berbangsa dan bemegara, serta keseimbangan emosi dan rasio. 116
4.4.
Prospek Perkembangan Pada PJPT-II Prospek perkembangan kualitas hidup selama PJPT-I merupakan landasan dalam menentukan perkembangan di masa yang akan datang. Perubahan pembangunan ekonomi disebabkan oleh proses pembangunan untuk meningkatkan keadaan sosial-ekonomi masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan dan pendapatan. Perkembangan tersebut diiringi oleh peningkatan produksi di sektor ekonomi (pertanian dan Industn).
Dari keberhasilan tersebut dapat di lihat adanya penurunan angka
kematian bayi, r«ningkatan harapan hidup serta angka melek huruf terus berkurang (dari PELITA 1 - V). 4.4.1
Kualitas Fisik Prospek perkembangan kualitas fisik di Daerah Aceh akan lebih baik. Faktor mi
didukung oleh fakta bahwa lahan sebagai pendukung hidup dapat ditingkatkan, sehingga peningkatan gizi masyarakat yang sebahagian besar masih tergantung pada padi-padian dapat dipenuhi di samping padi- padian. Produksi kacang-kacangan dapat ditingkatkan dimasa yang akan datang. demikian juga halnya buah-uahan dan sayur-sayuran yang ada di Kaupaten Aceh Tengah. Selanjutnya. untuk mencukupkan protein hewani juga belum mengalami kendala, masih banyak lahan yang dapat dijadikan tempat pengembahgan ternak (kerbau, sapi, kambing serta unggas). Hanya memerlukan investasi untuk perluasan areal pengembangannya. Di pihak lain Kabupaten Aceh Utara, Pidie dan Kabupaten Aceh Besar berpeluang dikembangkan perikanan air tawar (untuk pengadaan ikan) dan juga semua Daerah dapat ditingkatkan produksi ikan disektor perikanan laut karena daerahnya ditepi pantai kecuali Kabupaten Aceh Tenggara dan Aceh Tengah. Di sektor lain seperti kesehatan mengalami perbaikan selama PJPT-I.
Semua
kecamatan telah ada sarana kesehatan (puskesmas) dan setiap ibukota Kabupatetó telah ada satu rumah sakit, terus dikembangkan serta peningkatan statusnya. Peningkatan sarana dan prasarana kesehatan yang disertal dengan pemberantasan penyakit (menuiar) diduga tingkat kematian bayi akan turun. Turunnya IMR ini juga telah didukung oleh usahausaha Imunisasi. pemberian makanan tambahan yang bergizi di posyandu di tiap kecamatan bahkan ditingkat desa. Secara umum dapat dikatakan dalam rangka memasuki PJPT-II, keadaan kualitas fisik telah baik, hal ini ditandai konsumsi masyarakat yang telah dapat mengkonsumsi kalori lebih diatas rata-rata Nasional. Keadaan ini dapat lebih baik dimasa yang akan datang karena didukung oleh tersedianya lahan untuk itu. Demikian juga diharapkan penduduk dapat meningkatkan protein hewani dan nabati. Usaha untuk pengadaan 117
konsumsi yang bemilai protein tinggi dapat dikembangkan ditiap Daerah Tingkat II di masa yang akan datang.
4.4.2
Kualitas Non Fisik (KNF)
Salah satu usaha peningkatan kualitas non fisik adalah dengan meningkatkan pendidikan. Usaha peningkatan prasarana dan sarana terus digalakan di semua jenjang pendidikan sampai pada daerah terpencil. Pendidikan di daerah Aceh telah berkembang (sekolah Umum, agama) dan sekolah informal lainnya seperti Pasantren. Kegiatan ini akan berdampak positif dimasa yang akan datang untuk peningkatan kecerdasan, berarti kualitas penduduk akan mengalami perbaikan. Dalam PJPT-II yang perlu mendapat perhatian adalah pengadaan dan persebaran tenaga/guru untuk sekolah dasar di daerah, terutama daerah terpencil. Pengadaan guru dibidang IPA di daerah belum merata untuk meningkat kualitas anak di daerah untuk mampu bersaing dengan anak yang tmggal di kota. Bertambah baiknya muru pendidikan berdampak pada penyediaan tenaga kerja. Lulusan sekolah S M T A , dan A K / P T akan meningkat dan tahun ke tahun. Pemerintah perlu mengadakan perluasan kesempatan kerja. Dimasa yang akan datang akan terjadi pergeseran tenaga kerja, tenaga kerja akan lebih banyak ke sektor profesional, industri, jasa di bandingkan ke sektor pertanian. Dewasa ini sektor jasa dan industn belum besar peranannya dibandingkan dengan sektor pertanian. Problema yang akan timbul di masa yang akan datang adalah akan terjadi pengangguran terhadap produk Akademi dan Perguruan Tinggi. Mereka tidak/enggan kembali ke desa bekerja di sektor pertanian, sementara lapangan kerja baru di kota masih terbatas. Ketidakseimbangan ini akan berjalan terus, faktor ini akan berdampak luas dalam lingkungan sosial. Pengangguran (baik kentara atau tidak) perlu dicegah dengan memperluas kesempatan kerja, menanam investasi di sektor industri di masa yang akan datang. Diharapkan Industri dan jasa dapat menyediakan lapangan kerja dan sekaligus gejala pengangguran dapat dikurangi dalam masyarakat. Gejala lain yang menonjol adalah masaalah sosial, keadaan mobilitas penduduk antar daerah, hal ini disebabkan oleh baiknya transportasi. Dipihak lam armada angkutan sebagai produk industri terus berkembang. Diduga keadaan jalan yang ada diperkotaan dewasa ini kurang mampu menampung peningkatan berbagai jems armada angkutan. Akibatnya kemacetan lalu lintas tidak dapat dihindari. Masalah lam berkaitan dengan memngkatnya frekwensi mobilitas penduduk adalah kematangan emosionil, kestabilan, kriminalitas, dan proses pembauran berbagai suku bangsa.
118
Kendala-kendala ini akan berdampak nyata dalam PJPT-II kalau pernerintah tidak memperhatikan. Untuk ini perlu dievaluasi serta menilai perkembangan masyarakat yang sifatnya lebih terbuka. Satu pihak transportasi dan komunikasi bertambah, dan dipihak lain pendapatan meningkat. PDRB dan pendapatan perkapita akan mengalami peningkatannya. Akibat dari situasi perkembangan ekonomi tidak serasi antara desa kota, berarti urbanisasi tidak dapat dibendung. D i kota-kota akan timbul berbagai hal yang menyebabkan masyarakat akan frustasi seperti menurunnya nilai-nilai kebudayaan lama, masyarakat tidak lagi homogen seperti dewasa im. Dualisme ekonomi diduga masih akan terjadi pada PJPT-II di daerah-daerah industri seperti di Aceh Utara.
Dengan demikian diperlukan perhatian semua pihak, sehingga
perbedaan persepsi terhadap peningkatan kesejahteraan yang salah tafsirkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang tidak bertanggung jawab.
Untuk im usaha extra perlu
dikembangkan dalam rangka distribusi pendapatan masyarakat di daerah-daerah yang relatif terbelakang dan terisolir. 4.5.
Implikasi Kebijakan.
Dan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa usaha peningkatan kualitas penduduk. terutama kualitas fisik, dapat dilakukan dengan jalan meningkatkan tmgkat kesejahteraan, palmg sedikit melalui 10 komponen kesejahteraan seperti diuraikan dalam PELITA V penekanannya lebih diarahkan kepada pelaksanaan, sehingga apa yang telah dihasilkan dalam P E L I T A IV agar lebih dimantapkan. Mengingat permasalahan yang timbul dalam bidang gizi, kesehatan dan kesegaran jasmani, dalam P E L I T A IV selanjutnya disarankan untuk diambil beberapa kebijakan sebagai berikut: 4.5.1
Gizi. Pnontas pembbangunan diarahkan untuk peningkatan kalori dan protein dalam
rangka mengatasi masaalah efisiensi vitamin A . Yodium dan seagainya.
Sasarannya
adalah pada ibu hamil/bersalin, anak-anak dan kelompok tenaga kerja. Untuk pengadaan gizi perlu dipecahkan masalah pengadaan pangan, baik produksi, pengolahan maupun penyimpananya serta distnbusinya. Selain pangan perlu juga diambil kebijakan dibidang pengetahuan tentang makanan yang bergizi, diversifikasi makanan yang dikonsumsikan oleh masyarakat. 4.5.2
Kesehatan Pembangunan di sektor kesehatan dipnontaskan kepada peningkatan kesehatan
masyarakat dan lingkungan.
Faktor-faktor lam yang menyangkut usaha-usaha tersebut
antara lain: 119
- Penyediaan air bersih - Pemukiman dan pemmahan - Pengaturan tata ruang - Kesehatan dan keselamatan kerja - Penurunan angka kesakitan dan kematian bayi serta mencegah - Ketertiban dan keamanan.
4.5.3
penyakit menuiar.
Pendidikan
Masalah pendidikan merupakan sentral dalam rangka mencerdaskan bangsa dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Sasaran pokok dalam bidang im antara lain: -
-
Memperluas kesempatan memperoleh pendidikan didalam dan di luar sekolah dengan sasaran utama pada lapisan masyarakat kurang mampu, penduduk cacat ataupun mereka yang bertempat tinggal terpencil. Pembinaan sekolah dasar, menengah dan tinggi. Peningkatan kualitas Non-Fisik lainnya juga perlu diperhatikan dan dijabarkan dalam berbagai kegiatan yaitu: Masalah politik, ketertiban dan keamanan. Sosial-ekonomi (Produktivitas dan etisiensi). Hukum (korupsi, birokrasi dshnya).
Kebijaksanaan yang perlu diambil adalah menegaskan disiplin solidantas. motivasi, kesemuanya ini bermuara pada persoalan mental. Untuk itu pendekatan kepnbadian, iman dan takwa merupakan usaha penmgkatan kualitas manusia Indonesia.
120
BAB V KETERKAITAN KUALITAS PENDUDUK DENGAN SUMBER D A Y A A L A M L I N G K U N G A N HIDUP D A N P E M B A N G U N A N
Pembangunan adalah proses pengolahan sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan mempergunakan faktor - faktor produksi. Kebijaksanaan ini dilandasi oleh kebijaksanaan pembangunan dan dilaksanakan secara bertahap secara sistimatis melalui perencanaan jangka panjang 25 tahun. Pola pembangunan jangka panjang yang berwawasan lingkungan mengolah sumber daya alam dan sumber daya manusia. Yang pentmg diperhatikan adalah proses pengolahan, fungsi-fungsi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang relevan dengan proses pembangunan yang berkelanjutan. Rencana pembangunan perlu diperhitungkan keterkaitan kualitas penduduk dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga pengembangan sektor satu perlu memperhitungkan dampaknya kepada pengembangan sektor lam. Keterkaitan ini akan dianalisis antara kuantitas penduduk dengan penyedian pangan dan energi. Keadaan lingkungan dan dampaknya kepada kuantitas penduduk dan implikasi pada kebijakan dan program pembangunan dimasa yang akan datang. Dari segi lingkungan hidup, perhatian harus mengacu pada kaedah-kaedah "ekologi" maupun pada kebijakan lingkungan hidup yang berlaku. Yang perlu diperhatikan adalah indikator kebersilan yang meliputi keberlanjutan tmigsi-fungsi ekoiogis (termasuk kelestanan keaneka-ragaman lingkungan dan sumber dayanya) serta kelestarian kualitas lingkungan hidup. Dalam kependudukan harus di lihat pada ïlmu demografi. Maka indikator keberhasilan adalah tercpainya sasaran tersebut. Namun perlu diingat bahwa penentuan sasaran normatif senantiasa dipengaruhi oleh kaedah-kaedah budaya maupun faktor lingkungan hidup. Keterkaitan kependudukan dan lingkungan hidup terdapat hubungan inter aktif antara ke dua segi. Pada tingkat kebudayaan yang masih sederhana, ketergantungan kelompok manusia pada lingkungannya akan sangat tinggi. Peri kehidupan mereka dan cara-cara memenuhi kebutuhan akan sangat terganrung pada lingkungan, seperti pola pemukirnannya, struktur sosial dan segi-segi kebudayaan pada umumnya. Dengan pertambahan penduduk memperbesar tekanan pada sumber daya alam dan fungsi-fungsi ekoiogis maupun tekanan dalam bentuk limbah dan pencemaran. Jumlah penduduk bertambah besar, limbah dan pencemaran tetap berdampak pada lingkungan. 121
Dalam melihat interaksi pembangunan, lingkungan dan penduduk, perk diperhatikan penyesuaian kualitas penduduk terhadap tuntutan pembangunan dan batasan sumber daya alam dan lingkungan. 5.1. Kuantitas Penduduk dan Penyediaan pangan dan Energi Sesuai dengan peningkatan jumlah penduduk, maka pengadaan pangan perlu diperhatikan terutama dalam konsumsi yaitu komposisi keseimbangan antara kalon dan protein. Protein dibagi dua. yaitu protein nabati dan hewani. Kalon diperoleh dari berbagai makanan yang dimakan untuk membangkitkan tenaga dalam kegiatan sehan-hari diperoleh melalui karbohidrat.protem dan vitamin. Karbohidrat banyak diperoleh dari: beras, jagung dan ubi-ubian. Sedang protein nabati diperoleh dan kacang-kacangan seperti kacang tanah, kacang hijau, dan kedelai. Untuk protein hewani bersumber pada daging, susu, telor, ikan, dan Vitamin lebih banyak bersumber pada sayur-sayuran dan buah-buahan. Tabel 5.1
Perkembangan Produksi. Konsumsi. Surplus Padi di Daerah Istimewa Aceh (ton) T A H U N
PRODUKSI
KONSUMSI
SURPLUS
1 Pra Repelita
1968
458 553
503 912
- 45 359
2 Akhir 3 Akhir 4 Akhir 5 Akhir
Pelita I Pelita 11 Pelita III Pelita IV
1973 1978 1983 1988
687 454 712 501 978 411 1096 123
543 645 613 090 714 703 841261
143 99 263 254
6
Pelita
V
809 411 708 862
1989
1148 048
803 099
344 949
1990*
1153 176
807 815
345 361
Sumber : Bappeda Daerah Istimewa Aceh, 1991
Propinsi Daerah Istimewa Aceh banyak terdapat berbagai sumber kalon dan protein. Banyak menghasilkan padi-padian, produksi padi daerah im selalu surplus setiap tahun, Produksi padi dan luas arealnya dapat di lihat pada tabel 5.1. Secara berturut-turut dapat di lihat potensi sumber energi, produksi buah-buahan dan sayursayuran banyak di hasilkan di Aceh Tengah. Sumber pangan tersebut telah dan terus ditingkatkan tiap daerah. Tabel 5.2 dapat di lihat tentang Produksi Padi tiap Daerah, tabel 5.3 untuk Produksi Bahan Makanan, di tabel 5.4 untuk Perkembangan Populasi Ternak dan tabel 5.5. untuk melihat keadaan produksi Perikanan Laut.
122
Tabel 5.2
Produksi Padi Propinsi Daerah Istimewa Aceh menurut Kabupaten Selama P E L I T A I - V
AKHIR
REPELITA
REPELITA V
ZONA / KABUPATEN
1(1973/
11(1978/
111(1983/
IV(1988/
1947
1979
1984
1989
517
450
52367
66870
1989/
1990/
1990
1991*
A. Zona Industri 1.Banda Aceh 2.Sabang 3. A.Besar
69258
1514
1881
242
243
1895 245
89605
98715
99846
4. P i d i e
141525
99645
229505
208833
209745
218421
5. A.Utara
166992
159717
255314
307336
338431
346749
6. A.Timur
84422
113750
139626
143438
145532
148673
B. Zona Pertanian 7. A.Barat
83048"
95395
102308
142956
150123
151233
8. A.Selatan
70387
74070
77080
89340
90407
91506
9. A.Tengah
31086
32494
28769
43126
40141
41032
10.A.Tenggara Jumlah
57100 687444
70110 712501
76541
69733
72830
73922
978401
1096123
1148048
1173522
Sumber : Bappeda Daerah Istimewa Aceh, 1990
Produksi padi di Aceh di awal PELITA I menunjukan kekurangan sebesar 45.359 ton, dan di akhir P E L I T A I telah menunjukan produksi padi di Aceh surplus. Oleh karena padi merupakan produksi pangan yang pokok di daerah ini, maka pemerintah berusaha membangun jaringan irigasi dan menciptakan teknik-teknik baru di bidang pertanian pangan. Teknik baru tersebut meliputi memperkenalkan bibit-bibit padi unggul dengan mempergunakan pupuk dan pemberantasan hama. D i samping im pemerintah menggalakan penyuluhan para petani untuk meningkatkan produksi dengan mempergunakan teknik baru tersebut. Akibatnya telihat adanya peningkatan produksi dari tahun ketahun. Dibandingkan dengan jumlah penduduk produksi padi di daerah ini selalu surplus.
123
Tabel 5.3
Perkembangan
Produksi Bahan Makanan Propinsi Daerah Istimewa Aceh
(selama P E L I T A I - V)
JENIS TANAMAN
A K H I R
PELITA I 1973
!•
687454
P a d i
1978
712501
2. 3.
Jagung Ketela
4.
Pohon Ketela
5.
Rambat Kacang Tanah Kacang
1893
3876
6.
Kedelai Kacang
3018
5665
7.
J' Sayur-
1388
1065
8. 9.
Sayuran Buah-
H i
a u
Buahan
3481
AKHIR PELITA II
AKHI" PELITAIII 1983
978411
PELITA V
PELITA IV 1988
1096123
1989
1148084
1990
1173522
4963
3880
22240
32872
40273
42299
32956
50284
111577
112733
162879
19331
9098
17246
25215
34902
35928
18825
21327
38554
118157
128699
145781
3746
10011
9301 28691 2251
5841
33818
54762
58292
58304
59426
43241
231960
230028
180819
188014
188995
157853
Sumber : Bappeda Provinsi Daerah Istimewa Aceh 1990
124
Tabel 5.4
Perkembangan Populasi Ternak Propinsi Daerah Istimewa Aceh (selama PELITA I - V)
AKHIR PELITA
PELITA V
Jenis Ternak
™
—
"~
1(1973/
11(1978/
111(1983/
IV(1988/
(1989/
(1990
1974)
1979)
1984)
1989)
1990)
1991)
1.
Sapi
326854
317118
371024
380675
386499
392412
2.
Kerbau
329023
339510
412670
351071
356267
361540
3.
Kuda
4.
Kambing
5.
Domba
6.
Babi
7.
Ayam
8.
Ayam Ras
9090
15279
16542
7609
7740
7800
300330
255210
347772
363040
375746
388897
99247
114543
141227
88274
91222
94269
8502
6388
9912
11739
6576
11857
3884918
6853919
8832478
9229940
9645287
144703
86184
175090
Buras
Petelur 9.
1401918
Ayam Ras pedaging
10.
Itik
1930641
66380
115858
49425
123752
57650
1312219
2531200
2252564
2342666
2436373
Sumber : Bappeda Provinsi Daerah Istimewa Aceh 1990
125
Tabel 5.5 Produksi Perikanan Laut Propinsi Daerah Istimewa Aceh (selama PELITA I-V)
P
R
PELITA
A
ZONA/
PELITA •
PERTANIAN
IV
PELITA
V
— —
(1968/
1(1973/
11(1978/
111(1983/
IV(1988/
1969)
1974)
1979)
1984)
1989)
1989/
1990/
1990
1991
A. ZONA INDUSTRI L
B.Aceh
2-
Sabang
3.
A.Besar
4.
Pidie
5.
A.Utara
6.
A.Timur
-
13338
13959
15115
507
459
1557
707
876
756
4310
9529
7830
6397
7608
8807
9251
2311
3594
5668
8210
8916
8336
9699
6348
11298
15148
18734
16556
18954
3142
6460
13020
13773
8902
8844
12253
B. ZONA PERTANIAN 7.
A.Barat
2302
4297
4533
7959
7595
7943
8686
8.
A.Selatan
1964
4313
4458
6869
14805
17351
13082
9.
A.Tengah
-
-
-
-
A.Tenggara
-
-
-
14031
35048
47266
82776
87800
10.
Jumlah
_ -
59915
80609
Sumber : Bappeda provinsi Daerah Istimewa Aceh 1990
Masalah konsumsi padi-padian dan sebagainya dapat di lihat pada rata-rata konsumsi per-kapita sehari menurut jenis makanan yaitu menurut jenis bahan makanan standar minimal rata-rata kalori dan protein yang dianjurkan
oleh pemerintah jairu:
2.100 kalori dan 45 gram protein, lihat tabel 5.6. Dari seluruh makanan yang akan dikonsumsikan akan diklasifikasi kedalam 3 yaitu karbohidrat, Ketiga jenis ini bersumber dari makanan yang berbeda. dari tahun tahun
protein, dan vitamin.
Konsumsi kalori dan protein
1981 ke tahun 1984 berfluktuasi dan cenderung naik, lihat tabel 4.8. Pada
1987 kebutuhan rata-rata protein penduduk
Daerah Aceh dapat melampau
kebutuhan standar minimal rata-rata perkapita sehari yang dianjurkan oleh pemerintah
126
yaitu 45,0 gram sedang kaiorinya belum. Dapat dikatakan bahwa
komposisi makanars
seimbang antar protein dan kalori, konsumsi kalori lebih banyak berasai dari padi-padian, sedangkan protein lebih banyak di konsumsi melalui daging.
Konsumsi kalori dan
protein di Aceh lebih tinggi dibandingkan Indonesia.
Tabel 5.6
Rata-Rata Konsumsi Kalori dan Protein per Kapita
Sehari menurut Jenis
Makanan di Daerah Aceh (1981, 1984, 1987)
1981
1984
1987
JENIS MAKAN K
P
K
P
K
F
1. Karbonidrat: -padi-padian
1493.12
-Ubi-ubian
28.23
1515,84
28,65
1395,15
26,37
21,35
0,20
43,98
0,49
38,37
0,39
3.39
1,11
2,90
24,18
1.84
2. Protein:Nabati -Kacang-kacanganl Hewani:daging
5,59
39,59
0.46
13.88
1,22
11,59
0,91
82,37
14,36
78,46
13.45
73,01
12.89
-Sayur-sayuran
28,22
1,97
28,59
1,91
14.85
1.77
-Buah-buahan
35.82
0,43
51,13
0.59
35,25
0,42
365,35
2,85
409,30
3,15
382,48
2,79
ikan 3. Vitamin m i n i r a l :
4. Makanan lainnya J u m l a h
2054,27
50.11
2201,93
53,58
2005,04
48,57
INDONESIA :
1802,19
42,41
1797,79
43,79
1858,64
44,13
Sumber : Kantor Statistik Daerah Istimewa Aceh, 1989.
Bila diperhatikan
dari asal bahan
makanan
yang mengandung
kalori
dan
protein,terlmat pada penode 19081-1987 sumbangan lebih banyak diperoleh melalui padi-padian.
Hal ini merupakan indikator bahwa ketergantungan pada padi (terutama
beras) masih tmggi. Bahan makanan berikutnya yang menyumbangkan persediaan kalori adalah ikan, ubi-ubian, buah-buahan, sayur-sayuran yang persentasenya masing-masing 127
4,0 persen, 1-2 persen dan 1 persen. Padi penyumbang terbesar kalori terlihat pada periode 1981-1987 sebesar 54-56 persen, ikan menyumbang sekitar 26-29 persen. Patut disayangkan bahwa masyarakat kurang mengkonsumsi telor dan daging untuk protein, nilainya relatit'kecil, masing-masing 1-2 persen. Perkembangan kalori dan protein pada kurun waktu 1980-1987 untuk daerah kota terlihat bahwa konsumsi kalori belum memenuhi standar kebutuhan yang dianjurkan, sedang konsumsi protem dalam kurun waktu yang sama sudah memenuhi standar (lihat tabel 5.6). Konsumsi kalon dan protein per orang per han pada tahun 1980 untuk daerah kota masing-masing 1 988,37 kalori dan 55,49 gram protein. Sementara im untuk daerah pedesaan memperlihatkan angka yang lebih baik, walaupun selama kurun waktu 1980 1987 agak berrluktuasi, yaitu:
2 207,60 kalori dan 54,67 gram protein pada tahun
1980. turun menjadi 2 069,53 kalori dan 50,18 gram protein pada tahun 1981, meningkat lagi menjadi 2 2689,81 kalon
dan 50,55 gram protein pada tahun 1984.
Selanjutnya
pada tahun 1987 turunlagi menjadi 2 009,01 kalori dan 48,15 gram protein. Tabel 5.7 menunjukkan konsumsi kalon dan protein menurut pengeluaran rumah tangga. dan protein
dapat konsumsi berdasarkan pengeluaran per
konsumsi kalon dan protein ternyata angka konsumsi semakin besar
bulan.
Baik
seinng dengan
naiknya pengeluaran. Dapat dikatan bahwa pengeluaran rumah tangga mencerminkan dari pendapatan
untuk
konsumsinya.
peningkatan
pendapatan.
128
gizi
perlu diperhatikan
peningkatan
Tabel 5.7
Pengeluaran Perkapita Sebulan Untuk Golongan Makanan dan Bahan Makanan menurut Golongan Pengeluaran di Daerah Aceh
Pengeluaran <
7.999
Makanan
Bahan Makanan
6.239
1.262
7.801
1.573
10.000- 14.999
10.123
2.553
15.000 - 19.999
13.489
4.006
8.000-
9.999
20.000 - 29.999
17.993
6.145
30.000- 39.999
23.176
10.666
40.000- 59.999
28.635
19.064
60.000 - 79.999
35.639
31.914
80.000 - 99.999
33.630
54.873
> 100.000
53.398
69.783
Sumber: BPS, Susenas, 1987
5.2.
Kuantitas Penduduk dan Keadaan Lingkungan
5.2.1 Lingkungan Alam Di atas telah diketahui bahwa Daerah Istimewa Aceh terbagi dalam 2 Kotamadya dan 8 daerah Kabupaten. Kepadatannya penduduknya relatif rendah terutama di daerah zona pertanian. Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab I, dalam P E L I T A IV daerah ini dibagi dalam 4 wilayah pembangunan yaitu: a.
Wilayah pembangunan I berada di pesisir Barat-Selatan dengan pusat pengembangannya Meulaboh. Meulaboh adalah ibukota Kabupaten Aceh Barat. Daerah ini potensial dikembang sektor pertanian yaitu pangan, perkebunan, perikanan dan peternakan. Masalahnya terletak pada kurangnya sumber daya manusia dibandingkan dengan lahan yang tersedia. Untuk memecahkan masalah ini pemerintah telah menempatkan beberapa lokasi transmigari di Kabupeten Aceh Barat dan Aceh Selatan untuk mengolah areal pertanian. Sebahagian daerahnya masih bersifat hutan, sebahagian dari areal hutan telah menjadi milik H P H (Hak pengusahaan Hutan) untuk mengolah hasil kayu. Di sektor produksi pangan, perluasan percetakan sawah baru dapat dikembangkan, lokasinya dapat diambil di daerah yang berawa-rawa, yaitu dengan
129
cara mengeringkan rawa-rawa yang ada di beberapa tempat, sehingga daerah itu menjadi produktif penghasil pangan (padi), di samping percetakan sawah baru di lahan kering lainnya. Dari pembagian daerah menurut wilyah pembangunan, masih terlihat ada daya dukung lahan dan luas tanah yang tersedia. Lahan-lahan yang telah dipergunakan untuk pemukiman (kota dan kampung) hanya 0,99 persen, untuk tanah pertanian, perkebunan dan perikanan baru 10.07 persen dari lahan yang ada. Selanjutnya luas lahan menurut Daerah Tingkat 11 yang dipergunakan untuk kepentingan pemukiman dan penghasil produksi masih dapat ditingkatkan. Permasalahannya terletak pada Topograti daerah. Kabupaten Aceh Tengah dan Aceh Selatan daerahnya bergunung-gunung dibandingkan dengan daerah lain yang banyak dataran rendah. b.
Wilayah pembangunan 11 terdiri 4 daerah tingkat 11 dengan pusat pengembangan di Kotamadya Banda Aceh. Kota ini merupakan ibu kota Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Keadaan lahan pertanian di wikayah im relatif terbatas. Penduduk di Kabupaten Pidie sering bermigrasi ketempat lain, misalnya ke Aceh Tengah. Akibataya komposisi penduduk menurut jenis kelamin menunjukan lebih banyak wanita dan pada laki-laki 0.94, dan Aceh Tenggara (0.955). Dampak perluasan pemukiman penduduk di sekitar kota terlihat di Kotamadya Banda Aceh. Sehingga banyak daerah yang dulunya dijadikan sawah sekarang berobah menjadi kantor dan perumahan penduduk, akibatnya areal persawahan menjadi sempit .
c.
Wilayah pembangunan III berada di pesisir Utara dan Timur Aceh, dengan pusat pengembangannya Lhokseumawe. Lhokseumawe merupakan ibu kota Kabupaten Aceh Utara. Dengan ditemuinya gas alam di Arun, lahan yang tadinya sebagai lahan perikanan dan pertanian. dewasa ini berobah menjadi daerah industri. Terjadilah perubahan pemanfaatan lahan karena lahan pertanian pemukiman penduduk diambil oleh pemerintah. Ada sebahagian dan penduduk yang dapat memanfaatkan uang ganti rugi tanah dan tidak kurang pula menderita kemiskinan didorong konsumsi yang seharusnya tidak perlu dikonsumsikan, contohnya mengkonsumsikan barang-barang berharga lam yang sifatnya tidak produktif. Ada dua hal yang terjadi selama hadirnya sektor industn, yaitu memmdahkan penduduk dan penggunaan air sungai Peusangan oleh Industri-industri di Aceh Utara. Karena ada beberapa daerah pemukiman dan lahan pertanian (sawah. penkanan) kena lokasi industri seperti di Krueng Geukuh. Pemindahan penduduk dari Krueng Geukuh ke Cot Kumbang (daerah pertanian) menimbuikan masalah bagi penduduk yang selama ini hidup dl sektor perikanan (laut dan darat). Merubah pekerjaan ke sektor pertanian (pangan dan perkebunan) dan 130
perikanan rnernerlukan transisi.
Ternyata daerah pemukiman yang ditunjuk oleh
pemerintah di Cot Kumbang sebahagian besar tidak ditempati dan mungkin pula berpindah tangan/dijual
pada orang lain.
Faktor ke dua adalah penggunaan air
oleh Industri-industri yang ada di Lhokseumawe, keadaan air sungai Peusangan yang dulu untuk sektor pertanian (irigasi). Dewasa
ini
merupakan
salah
satu
sumber
air
di
sektor
industri.
Kemungkinan akan mengganggu di minum. Namun dampak ini belum terasa dan perlu studi dimasa yang akan datang. d.
Wilayah IV terletak di daerah pedalaman Aceh yaitu Aceh Tenggara dengan pusat pengembangannya Takengon.Kota ini merupakan ibu kota dari Kabupaten Aceh Tengah. Wilayah ini potensial dikembangkan untuk pertanian seperti sayursayuran, buah-buahan, kopi dan tembakau. Sebagaimana dipesisir Barat dan Selatan Aceh. maka daerah ini juga kurang penduduknya, oleh karena itu penempatan Transmigrasi salah satu pemecahan masaalah. Dan penempatan ini telah berjalan dengan baik di Aceh Tengah. Pembagian luas wilayah propinsi Daerah Istimewa Aceh dapat di lihat tabel 5.8
dan tabel 5.9
menurut Tingkat II, terlihat bahwa Aceh Barat relatit luas
dibandmgkan daerah lain. Tabel 5.8
Luas Propinsi Daerah Istimewa Aceh menurut Kabupaten, 1990
Kabupaten/Kotamadya
Luas (Km)
Persentase (%)
1.
Aceh Selatan
8.910
16.09
2. 3. 4.
Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah
9.635 7.760 5.575
17-39 14.00 10-06
5. 6.
Aceh Utara Kotip Lhokseumawe
4.443* 3 12*
7. 8.
Pidie Aceh Barat
3.415 12.100
8.02 0.06 6
-
1 6
2 1
8 5
9. Aceh Besar 10. Banda Aceh
2.969 71
11.
200
°-
55.390
10°
Sabang Jumlah
Sumber : Propinsi Aceh Dalam Angka, 1990 * : Angka Sementara 131
5
3 6
0
0 1
0 3
Tabel 5.9
Luas Daerah menurut Kondisi Tanah di Daerah Aceh. 1990 Kondisi Tanah
1. 2.
Hutan Tanah Pertanian
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Perkebunan Besar Perkebunan Rakyat Perikanan Darat PadangRumput Danau, Sungai, dll Kota dan Kampung Jumlah
Luas (HA) 4.130.000 233.698 124.033,8 182.959 16.644 432.000 364.665,2 55.000 5.539.000
Persentase (%) 74.56 4.22 2.25 3.30 0.30 7.80 6.58 0.99 100.00
Sumber: Aceh Dalam Angka, 1990 5.2.2
Lingkungan Sosial.
Pertambahan penduduk akan membawa akibat pada lingkungan sosial, dimana penduduk itu berada. Masaalah pembauran antar penduduk asli dengan penduduk pendatang. penambahan penduduk akan diinngi pemnambahan sarana ïbadah (musalla, mesjid), peningkatan sarana pendidikan dan kesehatan yang diperlukan oleh masyarakat. Masalah lainya akan timbul dalam masyarakat seperti keamanan dan ketertiban. 5.2.3. Lingkungan Binaan Di Kabupaten Aceh Utara sebagai pusat pengembangan industn di Aceh. Dalam Pola Umum PELITA IV Nasioanal di kemukakan bahwa sektor industn adalah bahagian dari usaha pembangunan jangka panjang untuk merombak struktur perekonomian yang tidak seimbang antar sektor pertanian dan sektor industri, di samping itu pemabangunan industn memperluas kesempatan kerja, meratakan kesempatan berusaha, meningkat ekpor, menghemat devisa, menunjang pembangunan daerah dan memanraatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Sehubungan dengan tujuan tersebut dapat diperhatikan di Aceh Utara. Karena pada saat dibangunnya sektor industri tahun 1974 Masyarakat Aceh belum siap untuk menerimanya. Akibatnya kerdatangan penduduk dan luar, karena masyarakat setempat belum dapat menanganinya. Contoh, pada saat im diperlukan berbagai jenis tenaga menengah dibidang teknik, dan sekretaris yang bisa berbahasa inggeris, daerah Aceh belum dapat meproduksi sumber daya manusia. Akibatnya arus migrasi relatif tinggi ke Lhokseumawe. Pada masa kontruksi banyak tenaga buruh kasar
132
yang diperlukan, dan tenaga tersebut datang dari sekitar Aceh Utara. Setelah selesai pekerjaan, tenaga yang tidak terlatih dan terdidik tidak diperlukan lagi, sehingga menimbulkan masalah pengangguran. Perusahaan tidak lagi berfungsi sebagai padat karya tetapi beralm kepadat modal. Lingkungan bmaan lainnya banyak dikembangkan selama PJPT dilaksanakan. Akhir-akhir ini sektor pariwisata merupakan sektor yang diandalkan oleh pemerintah dalam memperoleh pendapatan (devisa). Telah banyak objek-objek wisata yang telah di bina di tiap-tiap daerah (baik alamiah maupun bahari). Kabupaten Aceh Tengah berpeluang besar untuk di kembangkan sebagai pusat pariwisata di Daerah Aceh. Hal ini didukung oleh keindahan alam dan kenyamanan udara yang segar dan mempunyai sebuah dan au yaitu Danau Laut Tawar. Semua Daerah mempunyai objek wisata. Kabupaten Aceh Selatan ada 21 , Aceh Tengah dan Aceh Barat masing-masing 15. Banda Aceh dan Sabang masing-masing 10, Aceh Besar, Aceh Utara dan Pidie masing-masing 17, 14 dan 12 sedang Aceh Timur dan Aceh Tenggara masing-masing 8 dan 7. Kegiatan lainnya juga sangat menonjol selama 25 tahun, banyak bangunan gedunggedung baru (sebagai sarana pendidikan. kesehatan, perkotan dan pertokoan. Keadaan tersebut akan mempengaruhi pada kuantitas penduduk dan lingkungan hidup.
5.3.
Dampak Pembangunan Pada Kuantitas Penduduk
Banyak yang dapat dinikmati akibat pembangunan dilaksanakan di Aceh (selama PELITA I - V ) . Hal uw banyak disebabkan oleh Investasi yang dilaksanakan oleh pemenntah terus bertambah. Partisipasi swasta dalam pembangunan sudah menunjukan tanda-tanda positif. Tabel 5.10 menujukan keadan investasi yang mengalir ke Aceh. Dapat disimak bahwa dari tahun ketahun peranan swasta lebih besar. Diharapkan dari kegiatan ini akan memperluas lapangan kerja. Dengan terserapnya berbagai jenis tenaga kerja akan mengakibatkan kenaikan pendapatan masyarakat, akibat selanjutanya pertumbuhan ekonomi akan terjadi. Pertumbuhan ekonomi dapat diperkirkan akan meningkat selama periode 1989-1994 (lihat tabel 5.11). Daerah zona Industri akan terjadi 5,7 persen dan zona pertanian 6.3 persen.
133
Tabel 5.10
Perkembangan investasi Selama P E L I T A V Pemerintah dan Swasta di Daerah Aceh Akhir P E L I T A IV-V (dalam Milyar Rupiah)
T A H U N Akhir Perlita IV
PEMERINTAH
SWASTA
267,49
358,19
JUMLAH 625,68
1988/1989 Pelita V 1989/1990 1990/1991 1991/1992
254,83 291,92 305,44
493,73 560,33 600.89
748,56 852,25 906.33
Sumber : Buku Repelita V (diolah)
Dampak dan perkembangan tersebut dukuti oleh perkembangan kota. Kota Lhokseumawe di Aceh Utara bertambah penduduknya dibandingkan sebelum adanya industn disana. Demikian juga kota lainnya seperti Kotamadya Banda Aceh. penduduknya bertambah sebagai pertambahan sarana sekolah dan sarana kesehatan. Banyak penduduk usia sekolah berada di kota ini. Selanjutnya Kota Meulaboh di pesisir Barat, penduduk telah bertambah akibat adanya perkembangan hutan (HPH). perkebunan, dan lainnya. Dapat dikatakan bahwa mobilitas penduduk antara satu daerah ke daerah lain bertambah lancar,terutama dengan selesainya janngan jalan jurusan Barat-Selatan yang menghubungi Sumatera Utara.
134
Tabel 5.11. Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Aceh Dalam PELITA V (1989/1990 1993/1994) ZONA ZONA PERTANIAN
PDRB
LAJÜ PERTUMBUHAN
27,7
5,7
- Aceh Barat
8,4
5,5
- Aceh Selatan - Aceh Tengah - Aceh Tenggar
8,2 5,8 5,3
5,5 6,7 5,5
72,3 1,2 7,1 9,8 12,5 24,1 18.1
6,3 5,1 6,8 5,7 5,3 6,4 6,1
100.00
100.00
1
IV
' -Pi
ZONA IDUSTR1 - Kodya Sabang - Kodya Banda Aceh - Aceh Besar -Pidie - Aceh Utara - Aceh Timur Jumlah
f:
•
,:v
•
<
Sumber : Bappeda Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1990 5.4.
Kuantitas Penduduk dan Rencana Pembangunan Berkelanjutan.
Di atas telah dikemukakan bahwa jumlah penduduk Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebanyak 1.628.985 jiwa pada tahun 1961, jumlah ini bertambah menjadi 2.610.528 jiwa di tahun 1980 dan berdasarkan sensus terakhir menjadi 3.415 875 jiwa. Akibat pertambahan penduduk terlihat pada pola persebaran penduduk semakin tidak merata sebahagian besar (66 persen) mendiami di pesisir Utara, hanya 34 persen di daerah pedalaman dan pesisir Barat Selatan. Ketimpangan mi makin dirasa pengaruh negatif terhadap jalannya roda pembangunan. Oleh karena itu Pemerintah Daerah telah mencetuskan serta mencanangkan konsepsi pembangunan daerah yang seimbang dengan membagi wilayah pembangunan kedalam Zona Pertanian dan Industri (pembagian mi telah dikemukakan di Bab I di atas). Di pesisir Barat dan Selatan serta pedalaman (Aceh Tengah dan Aceh Tenggara) kondisi dan hasil pertaniannya kurang menguntungkan (kurang produktif) serta prasarana dan sarana yang ada jauh dari memadai. Di bahagian Barat dan Selatan terlihat 135
iahan-lahan yang luas dalam kondisi yang belum dimanfaatkan. Petani daerah mi belum mampu menerapkan tehnoiogi baru. Dampak selanjutaya pada mobiditas, gagasan baru bagi petani yaitu meninggalkan daerah mereka menuju ke arah pantai Utara dan Timur dengan anggapan bahwa disana mereka akan memperoleh hidup yang lebih baik. Situasi yang kurang mengunrungkan tersebut Pemerintah Daerah berupaya berbagai terobosan dan memberi perhatian yang lebih besar dalam membangun Daerah (Aceh Barat dan Aceh Selatan). Salah satu terobosan dalam pembangunan dewasa ini adalah sejak tahun 1989/1990 melalui Program Pengembangan Wilayah (PPW) akan dilakukan kegiatan pembangunan ke Wilayah Aceh Barat dan Aceh Selatan. Program ini adalah hasil kerja sama antara Pemerintah Kerajaan Belanda dengan Pemerintah Republik Indonesia yang dimulai tahun 1983/1984. Pembangunan yang dikenal dengan 10 terobosan di Aceh untuk membina pembangunan berkelanjutan. Dengan mengkaji potensi dan kondisi serta permasalahan sebagaimana digambarkan sebelumnya, maka perlu di cari alternatif jalan keluar dari tahapan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di 2 wilayah tersebut. Di antara alternatif yang telah dilaksanakan adalah penempatan transmigrasi untuk menambah tenaga kerja serta mengaktifkan lahan-lahan yang selama ini menganggur. Di samping itu, telah pula dibuat fbrmulasi program jangka panjang dan menengah yang bertujuan untuk merancang kegiatan yang tepat dalam bentuk proyek-proyek yang langsung bermanfaat bagi masyarakat untuk penambahan pendapatan. * Dengan melibatkan masyarakat dan awal dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi setiap kegiatan pembangunan akan menjadi wadah bagi mereka untuk belajar (learmng process) dalam meningkatkan kapasitas mereka sehingga mampu berpartisipasi secara aktif dan memberi kontnbusi secara nyata. Dengan demikian diharapkan dalam program jangka menengah akan menjadi proses perubahan sosial dalam kelompok masyarakat dengan tingkat hidup yang lebih baik dan mampu mendeterminasikan kebutuhan mereka di masa depan. Oleh karena itu program tahunan yang bersifat pilot proyek dalam bentuk pendidikan, penelitian, pencontohan-pencontohan dapat dilanjutkan dalam program menengah tersebut. Di daerah mi mengalami kekurangan tenaga kerja, kepadatan penduduknya masih jarang, dengan tingkat pendidikan relatif rendah. Oleh karena itu penmgkatan pengetahuan dalam rangka alih tehnoiogi untuk memberi jalan baru pada era baru pertumbuhan ekonomi. Kemiskinan dapat dihilangkan dengan memenuhi kebutuhan dasar dan menyediakan kesempatan untuk memenuhi cita-cita kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan di Aceh akan menyelaraskan antara kuantitas penduduk dengan alam dan antar penduduk itu sendiri. Ini berarti bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu tingkat keselarasan yang tetap, akan tetapi seluruh proses 136
r^mamfaatan sumber daya, arah investasi, orientasi pembangunan tehnoiogi serta perubahan kelembagaan yang konsisten dengan kebutuhan hari ini dan masa depan. Oleh karena itu unsur pemerataan dan keadilan sosial pada generasi kim dan mendatang patut di priontaskan. Unsur pemerataan lahan dan faktor produksi, pemerataan ekonomi yang dicapai di seluruh Tingkat Dua berdasarkan potensi alam dalam rangka keseimbangan distribusi kesejahteraan ditingkatkan. Dalam rangka mengekploitasi hutan perlu diarahkan pada pemeliharaan keanekaragaman sumber daya alam, demikian iuga menjaga keanekaragaman budaya untuk mendorong perlakuan yang merata terhadap setiap orang. Keterkaitan tersebut antara alam dan manusia. perlu memanfaatkan pengertian tentang kompleknya keterkaitan antara sistim alam dan sistim manusia (sosial). Dalam pelaksanaan cara yang lebih interogatlf dalam pembangunan sangat didambakan, berkelanjutan masa depan tetapi hal mi merupakan suatu masalah bagi kelembagaan. Pembangunan dengan perfektif jangka panjang adalah perfektif pembangunan yang berkelanjutan. Secara umum pembangunan berkelanjutan harus memperhatikan faktor keseimbangan ekoiogis, ekonomi, sosial budaya dan kemantapan politik.
5.5.
Implikasi Pada Kebijaksanaan dan Program Pembangunan. Dalam rangka menjaga kelanjutan dan keseimbangan antara kualitas penduduk
dengan sumber alam dan lingkungannya perlu diambil beberapa kebijakan yang mendukung kearah keserasian tersebut.
Sasaran pokok kebijaksanaan sumber alam dan lingkungan
hidup antara lain: a) .
Pembinaan kependudukan dan pemukiman akan membantu pelestanan sumber alam dan penyelamatan lingkungan hidup.
b) .
Perlu diadakan pengkajian dan evaluasi serta investarisasi sumber alam dan lingkungan hidup untuk dijadikan landasan penilaian kekayaan alam yang dimiliki.
c) .
Kebijaksanaan pelestanan sumber alam dan lingkungan hidup untuk memperoleh manfaat setinggi-tingginya dari sumber daya alam dan lingkungan hidup kim dan masa mendatang.
d) .
Kebijaksanaan dibidang tata guna sumber alam dan tata lingkungan untuk melestankan dan menyelamatkan ekosistim.
0
137
B A B VI KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN 6.1.
Kesimpulan.
Pembangunan jangka panjang tahap I (PJPT) di Propinsi Daerah Istimewa Aceh telah mempunyai dampak positif terhadap masyarakat. Banyak proyek yang telah diselesaikan pada setiap Repelita, terutama yang menyangkut kepentingan masyarakat, seperti prasarana Ekonomi (jalan-jalan, irigasi) dan perbaikan taraf hidup masyarakat dibidang ekonomi dan sosial. Pengaruh pembangunan tersebut terlihat juga pada kuantitas, mobilitas dan kualitas penduduk. Peningkatan penduduk dan mobilitas suatu gejala bahwa adanya perbaikan taraf'hidup masyarakat dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Masalah-masalah yang masih menonjol selama PJPT-I adalah pertumbuhan penduduk telah turun tetapi tetap masih tinggi dibandmgkan dengan tingkat pertumbuhan Nasional. Struktur umur penduduk masih muda, penyebaran dan kepadatan penduduk yang tidak merata, kualitas penduduk baik fisik maupun Non-fisikmasih rendah.
6.1.1
Kuantitas.
Sejak PELITA I jumlah penduduk terus bertambah. disebabkan oleh pertambahan alami dan arus migrasi ke daerah. a.
Perubahan ini banyak
Pertumbuhan penduduk. Selama periode 1961-1971 sebanyak 2.14 persen, pada periode 1971-1980 mengalami kenaikan sebesar 2.93 persen, namun demikian periode 1980-1990 tingkat pertumbuhan mengalami penurunan menjadi 2.72 persen. Fertilitas merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk dan juga fertilitas erat hubungan dengan umur kawin pertama. Umur kawm pertama wanita di daerah Aceh telah mengalami perubahan. sebelum PELITA, masih ada wanita kawin pada usia < 15 tahun. dan dewasa ini telah menmgkat > 17 tahun, perobahan ini disebabkan antara lam: Terbukanya kesempatan meneruskan pendidikan terutama di daerah desa. Meningkataya partisipasi wanita dalam masyarakat. Telah banyak wanita di daerah Aceh yang bekerja di kantor pemenntahan, swasta, dan sebagainya. Pola kelahiran berbentuk U terbalik dengan puncaknya pada usia 20-24 tahun dan 25-29 tahun menunjukkan jumlah kelahiran lebih banyak, kemudian turun dengan tajam pada umur 30 tahun ke atas. Selanjutnya total fertilitas Rate (TFR) juga
138
mengalami penurunan, dari 6.252 periode 1961-1970 turun menjadi 4.72 di periode 1980-1990. b.
Kematian Salah satu ukuran keberhasilan pembangunan, terutama dibidang kesehatan adalah menurunnya tingkat kematian bayi dalam periode 1971 masih di atas 100 per 1000 kelahiran dan periode 1980 turun menjadi di bawah seratus yaitu 99 per 1000 untuk laki-laki dan 82 per 1000 perempuan. Penurunan ini banyak desebabkan oleh peningkatan sarana kesehatan, pemberantasan penyakit menuiar dan peningkatan makanan yang bergizi bagi ibu hamil/bayi serta diiringi Imunisasi pada balita.
6.1.2
Morbiditas. Penduduk daerah Aceh tidak mobil dibandingkan dengan penduduk propinsi-
propinsi lain di Indonesia. Ditinjau dari berbagai jenis migrasi, ternyata mempunyai pola yang hampir sama. Menurut tempat tinggal migran, lebih banyak migran yang menuju kekota dari pada ke desa. karena di kota ada fasilitas
dan kesempatan lebih luas
dibanding di desa. Tingginya volume migran dari propinsi-propinsi di Jawa dibanding propinsipropinsi lain yang jaraknya lebih dekat dengan Aceh terjadi karena sifat khusus migran dan jawa, yakni sebagai transmigran. Dan juga dilihat migrasi keluar dari Aceh ke DKI Jakarta, juga karena sifat khusus, sebagai ibu kota negara dan sekaligus pusat kegiatan ekonomi, perdagangan, pemerintahan pendidikan dan lain-lain. Pada tahun 1980-1985 ditandai oleh penurunan volume migrasi risen yang cukup tajam, baik migran keluar, migran masuk maupun migran Neto. Hal ini disebabkan kebijaksanaan pemerintah
mengurangi anggaran belanja termasuk untuk program
transmigrasi. 6.1.3.
Kualitas Penduduk
Pembangunan berbagai bidang telah banyak berpengaruh terhadap peningkatan kualitas hidup yang diukur memakai Physical Quality Of Life Index (PQLI), PQLI merupakan indikator komposit. Dari sejumlah alternatif, dipilih 3 indikator yang merupakan indikator-indikator kualitas hidup fisik manusia. Pada tahun 1971 PQLI hanya 51,9590 naik menjadi 64,8954, relatif tinggi di bandingkan dengan Nasional. Selama 25 tahun pembangunan
(PJPT-I) di daerah
Aceh telah dapat diturunkan
angka kematian bayi (IMR) dari tahun 1971 kematian bayi laki-laki sebesar 141,2 dan kematian bayi perempuan sebesar 119,5,pada tahun 1980 turun menjadi 98,8 untuk bayi 139
laki-laki dan 82,0 bagi bayi perempuan. Pada tahun 1985 keadaan IMR turun menjadi 68,9 untuk bayi laki-laki dan 55 bayi perempuan. Demikian juga telah terjadi peningkatan harapan hidup (eo) penduduk. Jika dilihat menurut jenis kelamin ternyata pada tahun 1971 harapan hidup untuk laki-laki sebesar 46,8 dan untuk perempuan sebesar 49,8. Pada tahun 1980 harapan hidup untuk laki-laki meningkat menjadi 54,2 dan untuk perempuan sebesar 57,5 dan selanjutnya pada tahun 1985 hasrapan hidup untuk laki-laki meningkat menjadi 60,1 dan perempuan menjadi 63,8. D i pihak lain juga terlihat ada kemajuan dibidang pendidikan yaitu tingkat literacy telah mengalami perobahan yang berarti. Ini menunjukkan tingkat kesejahtraan masyarakat relatif meningkat, adanya peningkatan kebutuhan lahiriah yang berupa pangan, sandang dan papan (perumahan) maupun kebutuhan batiniah seperti pendidikan, keamanan, keagamaan, rekreasi dan lainlainnya. D i pihak lain telah terjadi peningkatan pendapatan. Produk Demestic Regional Bruto (PDRB) naik dari penode ke periode, dalam perhitungan PDRB telah dipisahkan antara minyak dan gas bumi. Selama PELITA IV laju pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa Aceh dengan dimasukannya minyak dan gas rata- rata sebesar 9.62 persen setahun. Tetapi bila ditinjau PDRB tanpa minyak dan Gas laju pertumbuhan ekonominya hanya 6.24 % rata-rata tiap tahun.Pertumbuhan antara satu sektor dengan sektor lain bervariasi. Kontnbusi masingmasing sektorpun dalam struktur perekonomian di Propinsi Daerah Istimewa Aceh mengalami kenaikan sedikit pergeseran dan tahun sebelumnya. Kemajuan pendidikan telah banyak membawa perubahan - perubahan antara lain partisipasi wanita relatif tinggi, tingkat buta huruf telah berkurang dan telah terjadi peningkatan kualitas tenaga kerja. Jumlah tenaga yang berpendidikan S L T A . A K / P T telah banyak dibandingkan pada PELITA III. Telah terjadi pergeseran tenaga kerja yang terdidik dan terlatih di Daerah Urban, dan ada tendensi pergeseran tenaga kerja dan sektor Pertanian ke sektor jasa dan industn dalam PELITA V . 6.2 Saran Kebijakan. 6.2.1.
Khusus a. Menghilangkan isolasi daerah terutama di zona Sasarannya adalah:
pertanian.
Membuka janngan jalan yang manghubungi daerah: - Aceh Tengah dengan Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Tenggara dan Aceh Timur.
140
- Aceh Barat dengan Kabupaten Pidie. - Jalan yang manghubungi antar Kecamatan di Pulau Weh Aceh Barat. Membuka daerah di sepanjang jalan baru menjadi centra-centra produksi. b. Penduduk dan Pemukiman. Sasarannya adalah: Meningkatkan kuantitas penduduk di zona pertaman. Perpindahan penduduk dari pulau Jawa ke Aceh dapat diteruskan dengan catatan polanya dirubah yaitu pola sisipan ke desa-desa potensial yang kurang penduduknya. c. Peningkatan Kualitas Penduduk. Sasarannya adalah: Meningkatkan sarana pendidikan di desa-desa terpencil. Meningkatkan layanan kesehatan pada masyarakat berpendapatan rendah. Pengadaan listenk dan air minum di daerah pedalaman, terutama di zona pertanian. 6.2.2.
Saran Kebijaksanaan.
Saran kebijaksanaan yang akan dikemukakan dalam pembangunan terutama dibidang kependudukan untuk perbaikan dimasa yang akan datang, akan dibagi dalam 3 kelompok yaitu kuantitas. mobilitas, dan kualitas penduduk. Ke 3 kelompok tersebut kebiiaksanaannya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam pelaksanaannya dengan kebijaksanaan pembangunan iainnya seperti sosial ekonomi. 6.2.2.1 Kuantitas penduduk Ada beberapa kebijaksanaan yang berhubungan dengan kependudukan dimasa yang akan datang perlu mendapat perhatian bagi semua pihak. Kebijaksanaan dibidang kuantitas penduduk meliputi : A.
Fertilitas dan mortalitas. Sasaran pokok kebijaksanaan dibidang kependudukkan
meliputi :
a. Menurunkan tmgkat kelahiran. baik secara langsung maupun tidak langsung. b. Meningkatkan umur perkawinan pertama terutama pada perempuan. c. Mendorong partisipasi wanita, dalam pembangunan. Program-program yang akan dijabarkan antara lain : a. Keluarga Berencana b. Pendidikan c. Program yang beronentasi pada peningkatan kesempatan kerja, khususnya bagi wanita. 141
B.
Mortalitas. Sasaran pokok di bidang kematian meliputi: a. Menurunkan tingkat kematian bayi dan anak b. Meningkatkan umur harapan hidup Program-programnya antara lain. a. Meningkatkan pelayanan kesehatan b. Peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga kesehatan dan menciptakan pos-pos terpadu yang memben palayanan pada ibu dan anak dalam mengatasi masalah gizi, diare. c. Peranan swasta. d. Ansuransi kesehatan.
C.
Mobilitas Penduduk Ketimpangan persebaran penduduk merupakan salah satu isu didalam kebijaksanaan kependudukan, Sasaran kebijaksanaan adalah : a. Untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat melalui persebaran penduduk agar serasi dan seimbang dengan daya dukung dan daya tampun» lingkungan. b. Memperhatikan keseimbangan antara mobilitas tenaga kerja dengan aktivitas pembangunan Daerah dengan memperhatikan sumber daya alam yang tersedia, tentang kelestanan lingkungan. Program-program yang akan diprontaskan antara lain: a. b. c. d.
Pelaksanaan Transmigrasi bagi daerah daerah yang masih memerlukannya. Peningkatan program angkatan kerja antar daerah (AKAD). Pembangunan Desa. diharapkan migrasi ke kota dapat dikurangi. Menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.
e. Transportasi di Daerah pedalaman (A.Tengah, Tenggara) dan centra-centra produksi lainnya. 6.2.2.2 Kualitas penduduk. Sasaran kebijaksanaan dibidang kualitas penduduk adalah untuk meningkatkan kualitas lingkungan yang bersifat alamiah, sosial, dan binaan, mjuannya untuk meningkatkan kualitas fisik dan non- fisik. Untuk mencapai sasaran tersebut diambil beberapa kebijaksanaan yaitu :
142
A.
Kesehatan Sasarannya antara lam: a. Peningkatan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat b. Peningkatan kesehatan lingkungan, terutama
penyediaan sanitasi dasar dalam
rangka perbaikan baku lingkungan hidup. c. Peningkatan status gizi masyarakat. d. Penurunan angka kesakitan dan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit menuiar. Program-programnya antara lain : a) . b) .
Peningkatan pelayanan kesehatan melalui P U S K E S M A S . Pencegahan dan Pemberantasan penyakit.
c) . d) . e) . 1).
Peningkatan penyuluhan kesehatan terutama di daerah terpencil. Pendidikan. latihan dan pendayagunaan tenaga kesehatan. Penyediaan air bersih. Peningkatan kesehatan lingkungan.
B.
Pendidikan. Sasaran Kebijaksanaan antara lain adalah : a. Meningkatkan pelaksanaan P 4, Pendidikan Moral Pancasila dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. b. Memperluas kesempatan memperoleh pendidikan di dalam dan di luar sekoiah dengan jangkauan pada masyarakat kurang mampu. cacat. ataupun tempattempat tinggalnya terpencil. c. Pendidikan jasmani dan olah raga di arahkan untuk membina kesehatan jasmaru dan rohani bagi setiap anggota masyarakat serta berusaha memasyarakatkan olah raga; mengolah ragakan masyarakat dan meningkatkan prestasi. Program-programnya antara lain: b. c. d. e.
Menunjang bakat dan prestasi. Meningkatkan prestasi masyarakat. Peranan wanita dan pemuda. Membina olah raga.
f.
Pendidikan kedinasan.
g. Pengembangan ïlmu dan teknologi.
143
6.2.2.3 Sektor Kebudayaan. Sasaran kebijaksanaan antara lain adalah: a. Kelangsungan hidup berbudaya ditujukan untuk menjaga kelangusungan kehidupan bangsa yang bersaru, berkepribadian Nasional dan tanggap terhadap segala tantangan zaman. b. Penianfaatan kebudayaan Nasional agar hasil kebudayaan dapat dimkmati oleh seruluh anggota masyarakat. c. Kemajuan Adab, kebudayaan dan persatuan, untuk menumbuhkan sikap dan menjaga nilai-nilai keistimewaan Daerah Istimewa Aceh. Program-programnya antara lain : a. b. c. d.
Kepurbakalan, kesejahteraan dan permuseaman Pengembangan sem budaya Kebahasaan, kesasteraan, perbukuan. dan kepustakaan. Inventarisasi Kebudayaan.
e. Pembinaan terhadap keserasian bagi pemeluk berbagai agama di Aceh. 6.2.2.4 Sumber Alam dan lingkungan hidup. Sasaran pokok kebijaksanaan antara lain adalah : a. Pembinaan kependudukan dan pemukiman akan membantu sumber alam dan penyelamatan lingkungan hidup. -
pelestanan
b. Inventarisasi dan evaiuasi sumber alam dan lingkungan hidup untuk dijadikan landasan penilaian kekayaan alam yang dimiliki. c. Pengembangan tataguna sumber alam dan tata melestarikan dan menyelamatkan ekosistim.
lingkungan
untuk
e. Peiestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk memperoleh manfaat yang setinggi-tingginya. Program-program antara lain: a. Inventarisasi dan evaiuasi sumber alam dan lingkungan hidup. b. Penyelamatan hutan. tanah dan air. c
Pembinaan sumber daya alam dan lingkunan hidup.
6.2.2.5 Perumahan dan Pemukiman. Sasaran kebijaksanaan perumahan dan Permukiman antara lain adalah : a. Peningkatan penyediaan sarana fisik seperti perumahan. air beisin dan 144
saranan penyehatan lingkungan pemukiman agar terjangkau oleh rakyat banyak. b. Meningkatkan kemudahan masyarakat untuk mendapatkan sarana pokok pemukiman. c. Meningkatkan pembangunan
pemukiman kota dengan jalan meningkatkan
pemanfaatan tanah kota didalam kawasan
pemukiman yang ada atau
membangun kawasan baru. d. Meningaktkan penyediaan prasarana lingkungan pemukiman dengan memperhatikan keserasiannya dengan sumber daya alam dan manusia. e. Meningkatkan pengembangan produksi bahan bangunan yang memenuhi baku mutu, awet dan harganya terjang kau oleh rakyat banyak. Program-programnya antara lain : a. Pengadaan perumahan rakyat b. Penyediaan air bersih c. Penyehatan lingkungan pemukiman d. Peningkatan prasarana fisik e. Penelitian perumahan dan pemukiman.
145
DAFTAR PUSTAKA
Ananta. Aris, Etal, Population Projection of Indonesian 1991 Provinces. 1990 - 2020, Demographic Institute, Faculti of Econorrucs University of Indonesia, Jakarta. Agung, Igusti Ngurah, Model Kependudukan Lingkungan Hidup dan Ekonomi. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Adiotomo, Sri Moertiningsih, Pola Fertilitas di Indonesia. 1984 Jakarta. BPS.
Analisa Secara Umum.
Aris Ananta dan Sri Hariyati Hatmadji, Mum Modal Manusia. 1985 Jakarta: Demografi, FE-UI.
Lembaga
Achmad. Sulistinah Irawati, et al. Pendekatn Mum Kehidupan 1986 Transmigrasi. Jakarta. Hasil Kerja sama Antara Lembaga Demografi FE-UI Dengan Kantor Menteri Negara K L H . Ancok. Djamaludin, Dampak Pembangunan Sektoral Terhadap 1990 Kualitas Manusia. Pusat Penelitian Kependudukan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Kualitas Penduduk: Bagian Kualitas Fisik. 1987 dukan, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Pusat Penelitian Kependu-
Kuantitas Penduduk. Permasalahan dan Upaya 1987 Mengatasinya. Pusat Penelitian kependudukan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Arian.Cut. Perkawinan Yokyakarta.
dan
Perceraian
pada masyarakat Aceh.
Biro Pusat Statistik. Jakarta. Pola Konsumsi Energi Penduduk
1982
PPK-UGM
1990 Indonesia Dimasa
Depan. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Indonesia. Jakarta. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Penduduk Indonesia. Hasil 1990 Sensus Penduduk. 1990. Tingkat dan Perkembangan Migrasi. Fertilitas dan 1979 Mortalitas. Indikator Kesejahteraan Rakyat 1983. 1984, 1987. 1989,1990. Ulasan Singkat Hasil Survey Penduduk Antar Sensus 1985, Seri Supas No.4. 146
Mantra, Ida Bagus. Migrasi Penduduk Indonesia. Berdasarkan 1987 Hasil Survei Penduduk Antar Sensus 1985. Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Mobilitas Penduduk Sirkuler dari Desa ke Kota di
1989 Indonesia. Pusat
Penelitian Kependudukan, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Urbanization and Population Distribution Policies 1991 in Indonesia. Population Studies Center. Gajah Mada University, Yogyakarta. Mukherjee, Ramkrishna. The Qualitv of Live: Valuation in 1989 Social Research. New Delhi. Sage Publications. Mumr. R. Kualitas Fisik Penduduk Analisa SUPAS 1985. Kantor 1988 K L H Jakarta. NUDS. Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan. Direktorat 1985 Jenderal Cipta karya Dep. P U . Jakarta. Rasyid. Razali T. Pola Pertumbuhan Penduduk Perkotaan di 1987 Pusat-pertumbuhan di Aceh (Analisa data Sekunder), Lembaga Demograf) Fakultas Ekonomi Unsyiah. Darussalam. Analisa Migrasi di Kota madya Banda Aceh. Lembaga 1990 Demografi FE.Unsyiah. Darussalam. Mobilitas
Ulang
Ahk di
Aceh.
Lembaga
Demografi
1985
FE.
Unsyiah. Darussalam. Salim, Agus. Fertilitas dan Pengetahuan Sikap dan Praktek 1976 Keluarga Berencana di tiga tipe desa di Aceh Utara. Lembaga Demografi FE.Unsyiah,Darussalam. Sen,Lalit K. Perobahan-Perobahan penduduk Kota di Daerah 1991 Istimewa Aceh (19801990).Bappeda. Aceh. Pardoko, R . H . Mobilitas Migrasi dan Urbanisasi. Bandung. 1986 Angkasa. Praym. Pola Migrasi dan Ciri-ciri Migran di Indonesia; Suatu 1985 Analisa data SUPAS Tahun 1976. Fakultas Pasca Sarjana. Universitas Gajah Mada. 1985, Yogyakarta. United Nations, Migration. Urbanization and Development in 1991 Indonesia. New York. 147
Hall Hill (eds), Unity and Diversity; Regional Economie 1989 Development in Indonesia Since 1970. New York: Oxford University Press. Hugo. Grame, Some Dimensions of Socioeconomic Inequaltv 1980 Associated With Urbanizatoion and Urban Growth in Indonesia. Hiliry.Masuud D. Peranan Faktor Sosial dan Physiologv 1977 Terhadap Besarnya Keluarga di Aceh. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala. Darussalam. Ibrahim, Tabrani, dkk. Monografi Daerah Istimewa Aceh. 1986 Pustaka Tunggal, Banda Aceh. Syahfruddin. Faktor Yang Mempengaruhi Fertilitas Propinsi 1988 Aceh. Sumatera Utara. Sumatera Barat dan Riau. L D FE Jakarta dan Kantor Menteri Negara K L H . Jakarta. Suharso, et al. Gerak Perpindahan Penduduk Indonesia 1988 Berdasarkan SUPAS 1985. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta. Kusnoputranto. H . Haryoto. Aspek Kesehatan Masyarakat dari Pemukiman di Wilayah Perkotaan. W I D Y A P U R A . 4 (3): 58-69. Kantor Statistik Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Statistik 1988 Lembaga Pemasyarakatan Propinsi Daerah istimewa Aceh. Banda Aceh. Pendapatan Regional Propinsi Daerah Istimewa
1991 Aceh, 1983 - 1980
Banda Aceh Indikator Kesejahteraan Rakyat. 1989 Sensus Penduduk. 1971, 1972 Sensus Penduduk. 1980. 1981 Sensus Penduduk, 1985, 1991 Lembaga Demografi. F E . Unsyiah. Masaalah Kependudukan di 1976 Daerah Istimewa Aceh Darussalam
148
Darwis. Syah Djohan, Strategi Pemukiman ABRI di Dalam 1986 Transtannas dan Desa Sapta Marga Sebagai Dampak Positif Untuk MempertanarAan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Transmigrasi, Jakarta. David, Morris. Measunng thr Condition of the worlds Poor 1979 (The Physical Quality of Life Index), New York. Djalal. A R , Abdoel. Peningkatan Kualitas Penduduk Kualitas 1991 NonJFjsik. Makalah Yang Disaiikan Pada Pertemuan Kerja Kantor Menteri Kependudukan di Lingkungan Hidup, Bogor 20 - 22 Nopember. Djayadiningrat. Turua T. Keterkaitan
Penduduk Lingkungan
1991 Hidup
Dengan
Pembangunan. Makalah Yang Disajikan Pada Pertemuan Kerja Kantor Menteri Kependudukan dl Lingkungan Hidup. Bogor 20 - 22 Nopember. Efendi. Sofïan. Sistim Administrasi Untuk Pembangunan 1989 Kualitas Manusia dan Kualitas Masyarakat. Fakultas llmu Sosial dan llmu Politik, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Gam. Ascobat.
Kualitas Non Fisik Penduduk. Makalah Yang 1991 Disajikan Pada
Pertemuan Kerja Kantor Menteri Kependudukan di Lingkungan Hidup. Bogor 20 22 Nopember. Guest, Philip. Labor Allocation and Rurai Development; 1989 Migration in Four Javanese Villages. Boulder. Westview Press. Hatmadji. Sri Hartati, Tingkat Pola dan Perkembangan 1991 Fertilitas di indonesia. Selama Pembangunan Jangka Panjang Tahap-I, Makalah Yang Disajikan Pada Pertemuan Kerja Kantor Menten Kependudukan di Lingkungan Hidup, Bogor 20 22 Nopember. Hatmadji. Sn Harjati. Defrential Fertilitas di Indonesia 1982 (suatu analisa regional), L D - F E , Jakarta. •
Hadar. Yasmin. Monografi. Migrasi Permanen Propinsi Daerah 1988 Istimewa Aceh, L D - F E Universitas Indonesia. ..siïjaübal lodO ruwBvsY ,Br___*l Harmalis. Albert I. Regression Analisys of Areal Data. Dalam Measunng the Effect of Family. Editor: C. Chandrakarau dan A . Hermalin, Dolhain-Belgun.
149
Peranan Demografi Dalam Pembangunan. Lembaga tas Ekonomi Universitas Indonesia.
1981 Demografi Fakul-
Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia. 1986 Perpan, jakarta. Indikator Nasional Kesejahteraan Anak 1986. 1987 Jakarta. Profil Statistik Ibu dan Anak di Indonesia 1990. 1991 Jakarta. Penduduk Indonesia Hasil Sensus 1961, 1964 1975 Penduduk Indonesia Hasil Sensus 1971. 1983 Penduduk Indonesia Hasil Sensus 1980. 1987 Penduduk Indonesia Hasil Survey Penduduk Antar Sensus 1985. 1991 Penduduk Indonesia: Tabel Penduduk 1990.
Pendahuluan Hasil Sub Sampel Sensus
Migrasi Penduduk di Indonesia: Berdasarkan hasil 1987 Survei Penduduk antar Sensus 1985. Jakarta, Kerja sama Dengan Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gajah Mada. Bahagian Statistik Penduduk. Tingkat dan 1979 Perkembangan Migrasi, Fertilitas dan Mortalitas. Bahagian Statistik Keseiahteraan Rakvat.
1983 Statistik Knminil: Sumber
Daya Kepolisian 1980/1981 Bappeda. Banda Aceh. Aceh Dalam Angka. 1990. 1991. 1991 Informasi Perkembangan di Daerah Istimewa Aceh 1990 Selama Repelita. 10 Terobosan Kebijakan Pembangunan Daerah 1990 Istimewa Aceh. Blaang. C. Djemabut. ed. Perumahan dan Pemukiman Sebagai 1986 Kebutuhan Dasar. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
150
UNDP. Humane! Developmend Report. New York, 1991 Wahyuni, Salamah.Analisis Migrasi Penduduk Berdasarkan SUPAS 1988 1985; Popinsi Daerah
Istimewa
Aceh.
Kerja
Sama
Menteri
Negara
Kependudukan
dan
Lingkungan Hidup dengan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Yogyakarta. D.I. laporan Pembinaan Lingkungan Pemukiman Kota 1986 dan Desa: Kec. Kulon Progo. Desa Trimurti Kec.Sandakan Kab. Bantul. Proyek Pembinaan Kependudukan dan Lingkungan Hidup D1Y. Yogyakarta.
151
D
D