18
PENDAHULUAN
Latar Belakang Udang merupakan salah satu komoditas unggulan program revitalisasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selain tuna dan rumput laut sejak tahun 2005. Disamping itu udang menempati urutan ke-5 terbesar dalam deretan ekspor non-migas dan memberikan kontribusi sebesar 50% dari total nilai ekspor perikanan Indonesia. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Pusat Data Statistik dan Informasi, KKP (2009), tentang volume ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama tahun 2005-2009, terlihat udang menduduki urutan pertama (Tabel 1). Tabel 1. Volume ekspor hasil perikanan menurut komoditas utama (2005-2009) Tahun
Rincian
Kenaikan Rata-Rata (% )
2005
2006
2007
2008
2009
Volume (Ton)
857.922
926.477
854.329
911.674
796.700
-1.42
-12.61
Udang
153.906
169.329
157.545
170.583
165.000
2.02
-3.27
91.631
91.822
121.316
130.056
95.000
3.14
-26.95
428.395
439.540
393.679
424.401
381.600
-1.83
-10.09
18.593
17.905
21.510
20.713
17.300
-0.94
-16.48
Lainnya 165.397 153.881 160.279 Pusat Data Statistik dan Informasi, KKP (2009)
165.921
137.800
-4.06
-16.95
Tuna, cakalang, tongkol Ikan lainnya Kepiting
2005-2009
2008-2009
Ekspor komoditas udang Indonesia mengalami masalah beberapa tahun ini. Permasalahan ekspor udang Indonesia mengakibatkan volume dan nilai ekspor menurun dan beberapa permasalahan yang dihadapi terkait dengan standar mutu dan sanitasi. Permasalahan yang terkait dengan sanitasi pada komoditas udang umumnya karena adanya kontaminasi bakteri patogen seperti Salmonella,
19
Vibrio parahaemolyticus, dan Vibrio cholera (DKP, 2003). Pada tahun 2005 sebanyak 26 ton ekspor udang Indonesia ditolak Uni Eropa karena kontaminasi V. parahaemolyticus, sedangkan pada tahun 2007 ekspor produk sushi ebi sebanyak 4.8 ton ditolak oleh Uni Eropa karena alasan yang sama (Ditjen P2HP-KKP, 2010). Kasus terakhir, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2009 dan 2010 sebanyak 27 ton dan 13 ton ekspor ikan Indonesia ditolak oleh Cina karena terkontaminasi V. parahemolyticus. Wong et al. (1999) melaporkan bahwa produk perikanan yang diekspor ke Taiwan dari beberapa negara di Asia termasuk Indonesia pernah terdeteksi mengandung V. parahaemolyticus (Tabel 2) walaupun pada seluruh sampel tidak ditemukan V. parahaemolyticus patogenik yang diidentifikasi dengan metode PCR. Tabel 2. Impor produk perikanan yang terkontaminasi V. parahaemolyticus di Taiwan Jenis produk
Jumlah sampel
Jumlah sampel positif
% Vp
Kepiting
126
41
32.5
Lobster
59
26
44.1
Bekicot
95
20
21.1
Ikan
106
47
44.3
Hongkong
Kepiting
114
81
71.1
Thailand
Kepiting
32
26
81.3
Udang
62
47
75.8
Ikan
92
27
29.3
686
315
45.9
Negara asal
Vietnam
Indonesia Jumlah Wong et al. (1999)
Dalam perdagangan internasional, beberapa negara seperti Uni Eropa, USA, dan Jepang menetapkan persyaratan mutu dan keamanan pangan terkait dengan V. parahaemolyticus pada produk perikanan termasuk udang baik beku maupun olahan.
Indonesia juga di dalam Standar Nasional Indonesia (SNI)
mensyaratkan V. parahaemolyticus sebagai parameter mutu pada produk perikanan.
Tabel 3 menunjukkan peraturan dari beberapa negara pengimpor
20
untuk persyaratan mutu dan keamanan pangan produk udang serta persyaratan udang beku berdasarkan SNI 01-2705.1-2006. Tabel 3. Persyaratan V. berbagai negara Negara
parahaemolyticus
Jenis pangan
pada
produk
perikanan
Persyaratan
Referensi ISO 8914
Uni Eropa
Krustasea, moluska, dan kerang olahan
MPN ≤100 cfu/g
USA
Produk perikanan siap saji
MPN >104/g (KP + / -)
Jepang
Produk perikanan untuk MPN < 100/g konsumsi mentah
Indonesia
Udang beku
di
FDA –Compliance Programme Guidance Manual 7303.844
APM <3/g atau KP + * (* jika diperlukan)
Food Sanitation & Quarantine Law Article 11 SNI 01-2705.1-2006
Ababouch et al. (2005); Badan Standardisasi Nasional (2006)
Vibrio spp. merupakan
flora normal pada lingkungan perairan payau
seperti pantai atau muara sungai serta umum terdapat selama kegiatan budidaya udang (Vandenberghe et al. 2003). Keberadaan Vibrio spp. terutama berkaitan dengan bahan organik dan fluktuasi oksigen terlarut pada lahan budidaya. Selain itu dalam kondisi normal peningkatan suhu akan menimbulkan keragaman spesies Vibrio (Barbieri et al. 1999; Pfeffer et al. 2003). Beberapa spesies patogen Vibrio seperti V. harveyi dan V. parahaemolyticus merupakan bakteri yang menginfeksi udang (Jiravanichpaisal dan Miyazaki, 1995; Lavilla-Pitogo, 1995; Lightner, 1993) dan umumnya disebut dengan patogen oportunistik yang dapat menyebabkan penyakit pada udang (Goarant et al. 1999).
Infeksi V.
parahaemolyticus pada udang terjadi pada fase juvenil sampai dewasa. Penyakit pada udang ini disebut dengan red disease syndrome yaitu berubahnya warna tubuh udang menjadi merah dan mengakibatkan kematian.
Kematian udang
karena penyakit ini berkisar 1-20% (Alapide-Tendencia dan Dureza, 1997) Sistim pemeliharaan udang di tambak umumnya dibedakan atas sistim tradisional dan intensif. Kedua sistim tambak ini memiliki beberapa perbedaan antara lain sumber air, pengelolaan kualitas air,
padat tebar benur udang,
konstruksi lahan tambak, sistim pengairan, dan jenis pakan. Tambak tradisional
21
umumnya tidak menerapkan manajemen pengelolaan kualitas air tambak, dimana sumber air untuk pemeliharaan umumnya berasal dari aliran sungai yang berada di sekitar tambak. Hal ini memberi peluang besarnya kandungan kontaminan dari sumber air seperti logam berat dan bakteri patogen yang dapat menyebabkan tingkat kematian pada udang cukup tinggi. Selain itu tambak tradisional tidak dilengkapi oleh sistim aerasi yang berfungsi
mengatur ketersediaan oksigen
(Komarawidjaja dan Garno, 2003). Disamping merupakan patogen pada udang, beberapa spesies Vibrio juga bersifat patogen pada manusia. Lebih dari 12 spesies Vibrio diketahui terkait dengan penyakit pada manusia, dan spesies V. cholerae dan V. parahaemolyticus merupakan patogen yang dominan penyebab penyakit pada manusia (Kaysner dan DePaola, 2004). V. cholerae merupakan spesies patogen Vibrio yang memiliki lebih dari 200 serotipe, akan tetapi hanya serotipe O1 dan O139 yang bersifat patogen dan menyebabkan penyakit pada manusia. Sementara itu serotipe lainnya disebut dengan non O1/O139 dan jarang menginfeksi manusia (Kaper et al. 1995; Anderson et al. 2004).
V. cholerae memproduksi enterotoksin kolera yang
menyebabkan penyakit kolera pada manusia. Penyakit kolera ditularkan melalui jalur fekal-oral, melalui air yang terkontaminasi saat pencucian bahan pangan ataupun bahan pangan yang terkontaminasi feses manusia yang biasa digunakan untuk pupuk (Dobosh et al. 1995; Kaysner, 2000; Popovic et al. 1993). Galur O1 umumnya diisolasi dari sampel klinis sedangkan galur non O1/O139 diisolasi dari lingkungan perairan dan produk perikanan. Spesies Vibrio lain yang patogen terhadap manusia adalah V. parahaemolyicus, merupakan bakteri Gram negatif yang umumnya terdeteksi pada air, sedimen, plankton, produk perikanan (krustasea, ikan dan moluska). Hal ini karena bahan-bahan tersebut memiliki kondisi optimum bagi pertumbuhan bakteri ini seperti ketersediaan nutrien, kandungan garam, pH dan Aw. Di Indonesia, penelitian keberadaan V. parahaemolyticus pada produk perikanan termasuk udang masih jarang dilakukan. Dewanti-Hariyadi et al. (2002) melaporkan bahwa V. parahaemolyticus yang diisolasi dari sampel udang yang berasal dari tambak di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pasar grosir dan unit pengolahan berturut-turut sebesar 21.8%, 3.1%, 11.1%, dan 70%.
Namun
22
demikian tidak diketahui apakah V. parahaemolyticus pada sampel udang tersebut bersifat patogenik.
Penelitian lain juga melaporkan bahwa ditemukan V.
parahaemolyticus pada seluruh sampel kerang mentah dan olahan (n=47) yang berasal dari perairan dan pasar lokal di Padang-Sumatera Barat, dimana 36% dari isolat tersebut merupakan V. parahaemolyticus patogenik yang diidentifikasi berdasarkan
gen
penyandi
tdh
(thermostable
direct
hemolysin)
(Marlina et al. 2007). Jika dikaitkan dengan kesehatan masyarakat, V. parahaemolyticus juga pernah diisolasi dari sampel klinis pasien diare di beberapa rumah sakit di Indonesia dan diketahui sebesar 7.3% (n=2812) merupakan V. parahaemolyticus dengan Fenomena Kanagawa (KP) positif (Tjaniadi et al. 2003). Persentase ini lebih kecil dibandingkan dengan kejadian keracunan oleh Salmonella akan tetapi lebih tinggi dari persentase kejadian yang disebabkan oleh Enterohemorrhagic E. coli (EHEC). Untuk mengetahui bahwa V. parahaemolyticus bersifat patogenik, umumnya dilakukan pengujian Kanagawa yakni dengan mengamati pembentukan daerah bening pada agar Wagatsuma yang menandakan adanya hemolisin. V. parahaemolyticus yang menghasilkan Kanagawa positif (KP+) adalah galur yang menghasilkan faktor virulen thermostable direct hemolysin (TDH) yang disebut dengan gen tdh. Meskipun demikian tidak semua V. parahaemolyticus patogenik ditandai dengan hasil uji Kanagawa positif.
Hal ini ditemukan pada pasien
penderita diare yang tidak menunjukkan hasil KP+. Faktor virulen ini kemudian dikenal dengan thermostable direct hemolysin related hemolysin (TRH) dan disebut gen trh. Analisis berdasarkan reaksi biokimiawi ini ternyata memiliki beberapa
kelemahan
sehingga
dikembangkan
metode
analisis
untuk
mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik menggunakan pendekatan molekuler seperti metode
polymerase chain reaction (PCR).
Metode ini
merupakan metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro.
Metode PCR banyak
dikembangkan untuk pengujian mikrobiologi karena memiliki keunggulan diantaranya sensitifitas tinggi, ketepatan hasil uji tinggi, waktu pengujian relatif cepat dan dapat digunakan untuk pengujian komponen yang jumlahnya sangat
23
sedikit
(Yuwono,
2006).
Identifikasi
V.
parahaemolyticus
patogenik
menggunakan metode PCR dilakukan dengan cara mengamplifikasi sekuen nukleotida berdasarkan keberadaan gen penyandi tdh dan trh. Perumusan Masalah Salah satu permasalahan penolakan ekspor udang Indonesia adalah kontaminasi
bakteri
patogen
diantaranya
Vibrio
parahaemolyticus.
V. parahaemolyticus merupakan patogen oportunistik terhadap udang dan juga merupakan bakteri patogen penyebab penyakit pada manusia.
Akan tetapi
ketersediaan data keberadaan V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang tambak masih sangat terbatas. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik komoditas udang tambak di Indonesia masih jarang dilakukan.
Metode identifikasi V. parahaemolyticus
patogenik dengan metode konvensional berdasarkan reaksi biokimia telah banyak dilakukan akan tetapi memiliki kelemahan seperti waktu analisis yang lama, ketepatan hasil uji dan sensitifitas yang rendah. Selain itu metode konvensional tidak dapat mengidentifikasi keberadaan TRH pada sampel. Metode PCR merupakan salah satu pengembangan metode identifkasi V. parahaemolyticus patogenik dengan pendekatan molekular yang telah banyak dikembangkan karena dapat menghasilkan akurasi dan ketepatan hasil uji yang lebih tinggi.
Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada udang tambak
dengan metode PCR diharapkan dapat memperoleh hasil uji yang akurat. Tujuan penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mengevaluasi frekuensi isolasi V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang tambak tradisional dan intensif. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah : a. Mengisolasi dan mengidentifikasi V. parahaemolyticus secara biokimiawi pada komoditas udang yang berasal dari tambak tradisional dan intensif serta manganalisis faktor yang berkontribusi terhadap keberadaan bakteri ini. b. Mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada komoditas udang tambak berdasarkan amplifikasi gen penyandi tdh dan trh.
24
Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah : a. V. parahaemolyticus berpotensi ditemukan pada komoditsas udang tambak baik tambak tradisional maupun intensif, dengan frekuensi isolasi yang lebih tinggi terdapat pada tambak tradisional. b. V. parahaemolyticus patogenik pada sampel lingkungan dan produk perikanan umumnya berkisar 1-2%.