PEMODELAN EKONOMETRIK DAYA SAING EKSPOR KOMODITAS AGROINDUSTRI BERBASIS PERIKANAN (Studi Kasus Komoditas Udang dan Tuna)
Oleh IRPAN HIDAYAT F34102128
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Irpan Hidayat. F34102128. Pemodelan Ekonometrik Daya Saing Ekspor Komoditas Agroindustri Udang dan Tuna. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Jono M. Munandar, MSc. 2006 RINGKASAN Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis dan identifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi daya saing ekspor komoditas agroindustri udang dan tuna Indonesia. Selanjutnya penelitian ini membuat model ekonometrik dan melakukan peramalan daya saing dimasa mendatang berdasarkan model ekonometrik yang diperoleh. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing ekspor komoditas adalah faktor produksi (produktivitas, harga bahan baku); kebijakan pemerintah (tingkat liberalisasi perdagangan, tingkat suku bunga, tingkat upah); makroekonomi (tingkat inflasi, indeks nilai tukar); teknologi dan inovasi (investasi riset dan pengembangan); dan faktor perilaku konsumen (diferensisasi produk, harga produk terkait, pendapatan perkapita domestik dan pendapatan perkapita negara importir). Model ekonometrika yang disusun merupakan persamaan single-equation multiple regression, maka digunakan metode ordinary least squares (OLS) untuk menduga parameter-parameter yang terdapat dalam model. Tingkat kompetisi ekspor komoditas udang berdasarkan model semilogaritma natural (RCA dalam Logaritma natural) secara signifikan dipengaruhi oleh faktor sukubunga, tingkat upah, pendapatan perkapita negara produsen, pendapatan perkapita negara importir 3 yaitu United Kingdom, harga bahan baku pakan udang dan prosentase anggaran untuk diferensiasi produk. Hasil pemodelan ekonometrik untuk komoditas tuna dengan menggunakan model double-logaritma natural (RCA dan Variabel penjelas dalam bentuk logaritma natural) menunjukkan bahwa faktor sukubunga, tingkat upah, pendapatan perkapita negara produsen, pendapatan perkapita negara importir, dan prosentase anggaran untuk diferensiasi produk signifikan secara statistik, sementara koefisien variabel yang lain, harga produk ikan olahan dan produktivitas modal tidak signifikan. Hasil peramalan daya saing ekspor komoditas udang untuk 10 tahun mendatang berdasarkan skenario perekonomian ideal dan optimistis menunjukkan peningkatan pada tingkat kompetisi ekspor untuk periode 2004-2013, persentase kenaikan tersebut sebesar 5,6 % per tahun. Daya saing ekspor komoditas tuna diramalkan meningkat untuk periode 2004-2013 berdasarkan skenario kondisi perekonomian ideal optimistis. Peningkatan daya saing yang terjadi sebesar 15,1 % per tahun. Hasil peramalan yang menunjukkan peningkatan terhadap daya saing ekspor dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk pemerintah dalam menentukan kebijakan yang tepat sehingga daya saing produk-produk agroindustri perikanan yang diekspor dapat terus dipertahankan.
Irpan Hidayat. F34102128. Econometrics Modelling of Export Competitiveness Of The Tuna And Shrimp Agroindustry Comodities . Supervised By Dr. Ir. Jono M. Munandar, MSc. 2006 SUMMARY The objective of this research is to identify and analyze factors that influences the export competitiveness of the Indonesian agroindustry commodities shrimp and tuna. Furthermore, this research compose econometric modelling and also help to forecast export competitiveness in the future. Factors that influences export competitiveness of the agroindustry commodities are production (productivity, price of raw materials), government policies (interest rate, wages rate, degree of trade liberalization), macroeconomics (inflation rate, exchange rate), technology and inovation (investment on research and development) and consumer behaviour (product differentiation, prices of related goods, percapita income of domestic countries, percapita income of importing countries). The econometrics model that built is a single equation multiple regression models, then used ordinary least squares method to determine parametres in the models. Export competitiveness of shrimp commodity based on semi-logarithm natural econometric modelling indicated that the significant factors were interest rate, wage rate, prices of raw material shrimp foods, promotion, percapita incomes of domestic countries and percapita incomes of importing countries. Results of regression analysis from econometrics modelling of tuna commodity using double-logarithm natural models showed factors such interest rate, wage rate, product differentiation, percapita incomes of domestic countries and percapita incomes of consuming countries are statisticaly significant. Meanwhile, others variabels coefficient like price of processed fish and capital productivity are not significant. Results of export competitiveness forecasting of shrimp comodity for another 10 years ahead based on scenario ideal optimistic economics condition showed increasing on export competitiveness for period 2004-2013, the increasing percentage is about 5,6 % per year. For tuna comodity, using ideal optimistic economics condition also showed increasing on export competitiveness. The increasing percentage is about 15,1 % per year. The forecasting result that show increasing on export competitiveness could be made as a consideration for the government in determine correct policies to maintain export competitiveness of export products.
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PEMODELAN EKONOMETRIK DAYA SAING EKSPOR KOMODITAS AGROINDUSTRI BERBASIS PERIKANAN (Studi Kasus Komoditas Udang dan Tuna)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh IRPAN HIDAYAT F34102128
Dilahirkan pada tanggal 11 Desember 1983 di Jakarta
Tanggal lulus: 14 Juni 2006 Menyetujui, Bogor, Juni 2006
Dr.Ir. Jono M. Munandar, MSc Dosen Pembimbing
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “PEMODELAN EKONOMETRIK DAYA SAING EKSPOR KOMODITAS AGROINDUSTRI BERBASIS PERIKANAN (Studi kasus komoditas Udang dan Tuna) “ adalah asli karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang jelas ditunjukkan rujukkannya.
Bogor, Juni 2006 Yang membuat pernyataan,
Irpan Hidayat F34102128
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Banyak pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama pelaksanaan penelitian dan juga penyusunan skripsi ini. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tulus kepada : ♠ Bapak Dr. Ir. Jono M Munandar, MSc, selaku dosen pembimbing atas segala masukan, dorongan, motivasi dan nasehat selama masa perkuliahan, penelitian dan penulisan skripsi. ♠ Bapak Dr. Ir. Aji Hermawan, MS, sebagai dosen penguji yang telah
memberikan berbagai kritik dan masukan untuk penyempurnaan tulisan ini. ♠ Ibu Dr. Ir. Ika Amalia K., MS, sebagai dosen penguji yang telah memberikan berbagai kritik dan masukan untuk penyempurnaan tulisan ini. ♠ Ibu Artati dan Ibu Nia, staf dirjen PK2PDepartemen Kelautan dan Perikanan atas segala bantuan yang diberikan selama penulis melakukan penelitian. ♠ Ibuku tersayang, kakak dan adik penulis yang selalu memberikan dukungan dan doa. ♠ Ratih Dwi Setyawardhani yang telah membantu penulis dalam pencarian dan pengumpulan data dan Nanda Mehuli Giantine yang selalu memberikan motivasi kepada penulis agar segera menyelesaikan penelitian. ♠ Teman-teman seluruh TIN 39 dan rekan-rekan dalam organisasi GiBOL khususnya Haiman, Hadi, Amin, Arif, Adriel, Ferryza, Galih, Ikhlas, Indra, Irham, Luthfi, Putra, Samuel, Sodikin, dan Yoga.
♠ Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penelitian hingga penyelesaian skripsi. Penulis telah berupaya semaksimal mungkin dalam mengerjakan tulisan ini, apabila terdapat kekurangan mohon kiranya saran dan kritik yang membangun dapat disampaikan kepada penulis.
Bogor, Juni 2006
Penulis
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Desember 1983 dan merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Kosasih dan Surimah. Pendidikan dasar penulis diselesaikan di SD Negeri Cibubur 05 pada tahun 1996, selanjutnya penulis melanjutkan sekolah ke SLTP Negeri 233 Jakarta dan lulus tahun 1999. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 39 Jakarta. Setelah lulus pada tahun 2002, penulis mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor pada departemen Teknologi Industri Pertanian. Penulis pernah melakukan praktek lapang di PT Nilamindo Bhakti Persada Bogor, Jawa Barat pada tahun 2005. Selama kuliah, penulis juga menjadi asisten MK menggambar teknik pada tahun 2004 dan asisten MK penerapan Komputer pada tahun 2005. Kegiatan organisasi yang diikuti oleh penulis adalah Himpunan Profesi Mahasiswa Teknologi Industri pada tahun 2003-2004 sebagai staf departemen profesi dan sebagai ketua TIN English Community periode 20042005.
ii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ......................................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii DAFTAR TABEL ................................................................................................ v DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ vii I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ............................................................................. 1 B. TUJUAN .................................................................................................. 2 C. RUANG LINGKUP ................................................................................. 3 D. MANFAAT PENELITIAN ..................................................................... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. SISTEM PERDAGANGAN 1. Perdagangan Internasional ................................................................. 4 2. Tingkat Liberalisasi Perdagangan ...................................................... 6 B. FAKTOR MAKROEKONOMI .............................................................. 7 C. AGROINDUSTRI PERIKANAN.......................................................... 9 D. KONSEP DAYA SAING ...................................................................... 12 E. PEMODELAN EKONOMETRIK ........................................................ 15 III. METODOLOGI PENELITIAN A. KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................. 17 B. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS FAKTOR ....................................... 19 C. PEMODELAN EKONOMETRIK ........................................................ 21 1. Spesifikasi Model ............................................................................ 21 2. Pengumpulan Data .......................................................................... 23 3. Penaksiran Parameter Model ........................................................... 23 4. Verifikasi ......................................................................................... 23 D. PENGUKURAN DAN INDIKATOR ................................................... 25 E. PERAMALAN DAYA SAING ............................................................. 27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KERAGAAN AGROINDUSTRI UDANG DAN TUNA .................... 29
iii
1. Produksi ........................................................................................... 29 2. Produk .............................................................................................. 34 3. Diferensiasi Produk ......................................................................... 37 4. Harga ............................................................................................... 39 5. Pendapatan Perkapita ...................................................................... 42 6. Tingkat Liberalisasi Perdagangan ................................................... 44 7. Situasi Makroekonomi ..................................................................... 46 8. Tingkat Kompetisi Ekspor ............................................................... 53 B. PEMODELAN EKONOMETRIK ........................................................ 55 1. Komoditas Udang ............................................................................ 56 2. Komoditas Tuna .............................................................................. 60 C. PERAMALAN DAYA SAING EKSPOR ............................................ 63 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ...................................................................................... 72 B. SARAN ................................................................................................... 74 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 75 LAMPIRAN ...................................................................................................... 77
iv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Harapan teoritis apriori pengujian konsistensi tanda dan logika ............................................................................ 24 Tabel 2. Perubahan kondisi eksternal dan arah kebijakan Indonesia ............. 48 Tabel 3. Hasil regresi dari faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing ekspor komoditas udang ................................................. 56 Tabel 4. Hasil regresi dari faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing ekspor komoditas tuna .................................................... 60
v
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Indeks RCA dari komoditas udang dan tuna Indonesia ............. 77 Lampiran 2. Perkembangan tingkat harga komoditas rata-rata (US $/kg) ..... 78 Lampiran 3. Perkembangan Nominal Protective Coeffient (NPC) ................ 79 Lampiran 4. Laju inflasi, tingkat sukubunga dan nilai tukar ......................... 80 Lampiran 5. Tingkat upah rata-rata pekerja sektor makanan ......................... 81 Lampiran 6. Perkembangan harga (US $/kg) beberapa komoditi perikanan .................................................................... 82 Lampiran 7. Alokasi dana untuk biaya promosi dan iklan ............................. 83 Lampiran 8. Indeks pendapatan perkapita Indonesia dan negara-negara tujuan ekspor utama produk agroindustri perikanan .................
84
Lampiran 9. Perkembangan tingkat volume ekspor udang (metrik ton) ........ 85 Lampiran 10. Perkembangan tingkat volume ekspor tuna (metrik ton) ......... 86 Lampiran 11. Data untuk regresi dengan fungsi semi logaritma natural komoditi udang ...........................................
87
Lampiran 12. Data untuk regresi dengan fungsi double logaritma natural komoditi tuna ..............................................
88
Lampiran 13. Hasil analisis regresi komoditi udang .....................................
89
Lampiran 14. Hasil analisis regresi komoditas tuna ......................................
90
vii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembangunan
perikanan
merupakan
bagian
integral
dari
pembangunan pertanian dan pembangunan nasional yang ditujukan untuk: (1) meningkatkan produksi perikanan (baik kualitas maupun kuantitasnya) untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat dan industri di dalam negeri serta meningkatkan ekspor, (2) meningkatkan produktivitas usaha perikanan dan nilai tambah serta meningkatkan pendapatan petani nelayan, (3)
memperluas
lapangan
kerja
dan
kesempatan
berusaha
serta
pembangunan daerah, dan (4) meningkatkan kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup (Aziz, 1993). Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas perairan 5,8 juta km2 dan garis pantai dengan panjang 81.000 km, dan memiliki potensi sumber daya ikan yang potensial. Potensi perikanan pada Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) sebesar 6,7 juta ton. Pada tahun 1999, dilaporkan bahwa potensi perikanan laut Indonesia adalah 6.167.940 ton per tahun dengan potensi terbesar dari jenis ikan plagis kecil (Small pelagic) yaitu sekitar 3.325.500 ton per tahun atau 52,54 persen yang diikuti oleh jenis ikan Demarsal sebesar 1.786.750 ton per tahun atau 28,96 persen dan pelagis besar sebesar 975.050 ton per tahun atau 15,18 persen (DKP, 2003). Produksi perikanan di Indonesia sepanjang enam tahun terakhir mengalami peningkatan, walau tidak terlalu besar yaitu sekitar 0,13 juta ton per tahun. Selama kurun waktu 1995-2000, produksi perikanan Indonesia rata-rata mencapai 4,7 juta ton per tahun. Sekitar 3,7 juta ton berasal dari perikanan laut dan 1,0 juta ton berasal dari perikanan darat. Produksi perikanan darat, bersumber dari perairan umum dan hasil budidaya (tambak, kolam, keramba dan sawah).
Indonesia yang dikaruniai kelimpahan alam yang besar seyogianya memanfaatkan keunggulan komparatif tersebut menjadi keunggulan kompetitif untuk merebut peluang yang ada di pasar global. Untuk menciptakan keunggulan yang kompetitif produk perikanan di pasar global dapat dilakukan dengan meningkatkan nilai tambahnya melalui agroindustri perikanan. Agroindustri perikanan di Indonesia dapat dipilah menjadi ikan segar dan ikan olahan, sedangkan bila ditinjau dari perlakuannya dapat berupa ikan dalam keadaan hidup, daging ikan segar dalam keadaan beku, dan produk ikan olahan. Daya saing ekspor Indonesia secara global masih memprihatinkan. Dalam beberapa literatur ekonomi pembangunan dijelaskan, bahwa untuk mengukur tingkat daya saing ada sejumlah faktor yang umum digunakan oleh beberapa lembaga dunia yang secara rutin mempublikasikan laporan mengenai perekonomian dan kinerja perdagangan luar negeri dari negaranegara di dunia, seperti misalnya Bank Dunia dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Di Indonesia sendiri terdapat Departemen Perindustrian yang melakukan pengukuran. Indikator-indikator tersebut adalah Revealed Competitive Advantage (RCA), Revealed Trade Advantage (RTA), Indeks Spesialisi Perdagangan (ISP), Accelaration Ratio (AR) dan Constant Market Share (CMS). Dengan kelima indikator tersebut, tingkat daya saing ekspor suatu produk dari suatu negara dapat dianalisis secara statis (hanya dalam suatu tahun tertentu) maupun secara dinamis (dalam beberapa tahun tertentu). Selain itu, kelima indikator tersebut dapat digunakan untuk menganalisis tingkat daya saing Indonesia di pasar dunia, misalnya produk-produk perikanan asal Indonesia di pasar Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa.
B. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Melakukan kajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kompetisi ekspor produk agroindustri berbasis perikanan.
2. Melakukan analisis pengaruh dan kaitan antara faktor-faktor tersebut untuk pengembangan kompetisi ekspor serta menyusun suatu model ekonometrika dari faktor-faktor tersebut. 3. Meramalkan daya saing ekspor produk agroindustri berbasis perikanan berdasarkan model ekonometrika yang diperoleh.
C. RUANG LINGKUP
Penelitian ini akan difokuskan pada kelompok komoditas agroindustri perikanan yaitu udang dan tuna. Produk-produk tersebut merupakan komoditas yang sekarang cukup berkembang di Indonesia dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap devisa negara sebagai komoditas ekspor. Penelitian ini menggunakan data primer hasil wawancara dengan para pakar melalui media kuesioner ahli untuk mendapatkan komoditas agroindustri berbasis perikanan unggulan berdaya saing ekspor. Data sekunder yang digunakan berupa data deret waktu selama 23 tahun yang meliputi kondisi faktor produksi, kebijakan pemerintah, teknologi dan inovasi, makroekonomi dan perilaku konsumen. Bila tidak didapatkan data yang lengkap, maka akan dilakukan interpolasi atau peramalan.
D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini adalah suatu model ekonometrika yang menunjukkan faktor-faktor kunci dalam pengembangan tingkat kompetisi ekspor komoditas udang dan tuna. Diharapkan model tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pertimbangan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengembangan agroindustri berbasis perikanan sehingga lebih kompetitif dalam menghadapi era perdagangan bebas.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Indonesia dengan luas laut 5,8 juta km2 memiliki sumberdaya perikanan laut yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun keragamannya. Berdasarkan perhitungan harga di tingkat produsen tahun 2000, nilai produksi ikan tangkap mencapai Rp. 18, 46 triliun. Untuk harga benih ikan laut mencapai Rp. 8,07 milyar, sedangkan untuk budidaya laut yang meliputi ikan, rumput laut, kerang-kerangan, tiram, teripang dan mutiara mencapai produksi Rp. 1,36 triliun di tingkat produsen pada tahun 2002 (Dahuri, 2004). Konsumsi ikan perkapita di Indonesia masih relatif rendah, yaitu sekitar 18 kilogram/kapita pada tahun 1999 (sebelum adanya Departemen Kelautan dan Perikanan) dan 23 kilogram/kapita pada tahun 2003. Sementara itu, negara lain seperti Jepang sudah mencapai 100 kg, Korea Selatan 80 kg, Malaysia 40 kg, dan Thailand 35 kg per tahun (Osa, 2004). Namun konsumsi ikan perkapita secara nasional menunjukkan kenaikan sebesar 4,61% pada kurun waktu antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2003. Angka konsumsi ikan tahun 2000 mencapai 21,57 kg/kapita, sedangkan pada tahun 2003 terus mengalami peningkatan menjadi 24,67 kg/kapita (Wawa, 2004). Kendala yang dihadapi ekspor perikanan Indonesia saat ini adalah sejumlah negara importir cenderung memperketat persyaratan, termasuk memasukkan persyaratan baru yang terkait dengan mutu dan isu lingkungan. Adapula negara yang memberlakukan tarif impor cukup tinggi. Kendala lain adalah variasi jenis produk yang beragam, harga rata-rata produk perikanan menurun dan lain sebagainya (Jan, 2004).
A. SISTEM PERDAGANGAN
1. Perdagangan Internasional Perdagangan internasional adalah pertukaran barang dan jasa antar negara. Hal ini terjadi karena sebuah negara mampu untuk membeli barang dari negara lain dengan harga lebih murah daripada negara itu
memproduksinya sendiri. Hasil dari perdagangan ini adalah peningkatan tingkat kehidupan negara tersebut. Ketersediaan faktor produksi yang berbeda di setiap negara menentukan kegiatan ekonomi diberbagai wilayah dunia. Setiap negara memiliki jumlah faktor produksi yang berbeda sehingga memiliki keunggulan yang berbeda pula. Adam Smith dalam Hady (2001) mengemukakan teori absolute advantage (keunggulan mutlak), di mana setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak, serta mengimpor barang jika negara tersebut memiliki ketidakunggulan mutlak (absolute disadvantage). David
Ricardo
dalam
Hady
(2001)
mengatakan
bahwa
perdagangan internasional terjadi berdasarkan pada nilai tenaga kerja (labour value). Nilai atau harga suatu produk ditentukan oleh jumlah waktu dan jam kerja yang diperlukan untuk memproduksinya. Menurut teori cost comparative advantage (labour efficiency), suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih efisien (labour efficiency) serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif
kurang atau tidak
efisien (labour inefficiency). Perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara dengan negara lain dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment factor) masing-masing negara. Perbedaan opportunity cost tersebut dapat menimbulkan terjadinya perdagangan internasional. Negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif lebih banyak atau murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barangnya. Sebaliknya, masingmasing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal dalam memproduksinya (Gandolfo, 1987).
2. Tingkat Liberalisasi Perdagangan Hady (2001) menyatakan bahwa kondisi persaingan yang “hyper competitive” ini memaksa setiap negara atau perusahaan untuk memikirkan dan menemukan suatu strategi yang tepat. Strategi yang tepat tersebut berupa perencanaan dan kegiatan operasional terpadu yang mengkaitkan lingkungan eksternal dan internal, sehingga dapat mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang dengan disertai keberhasilan dalam mempertahankan dan meningkatkan “sustainable” real income secara efektif dan efisien. Strategi ini dikenal dengan Sustainable Competitive Advantage (keunggulan daya saing berkelanjutan). Pada situasi “hyper competitive”, keunggulan daya saing suatu negara atau perusahaan tetap didasarkan kepada keunggulan kompetitif dinamis, walaupun dengan periode atau jangka waktu yang relatif pendek. Keunggulan daya saing berkelanjutan harus diartikan sebagai keunggulan yang diperoleh karena invention dan inovation secara terus-menerus, sehingga tetap unggul dari pesaing. Invention dan inovation diperoleh dari reseach and development baik yang bersifat scientific maupun applied. Keunggulan daya saing berkelanjutan ini relatif lebih tepat dan paling menguntungkan untuk dilakukan dalam sektor agroindustri karena sumber atau resource base-nya dapat diperbaharui (Hady, 2001). Gejala globalisasi terjadi dalam kegiatan finansial, produksi, investasi, dan perdagangan yang kemudian mempengaruhi tata hubungan ekonomi antar bangsa. Proses globalisasi itu telah meningkat kadar hubungan saling ketergantungan antarnegara, bahkan menimbulkan proses menyatunya ekonomi dunia, sehingga batas-batas antarnegara dalam berbagai praktek dunia usaha seakan-akan dianggap tidak berlaku lagi (Halwani, 2002). Kebijakan liberalisasi perdagangan penting artinya bagi Indonesia yang pertumbuhan ekonominya ditunjang oleh sektor perdagangan luar negeri (export led growth). Keputusan Indonesia untuk berperan serta dalam Uruguay Round dan menjadi anggota WTO merupakan upaya Indonesia untuk memperluas pasar ekspor potensial yang diharapkan
akan meningkatkan pendapatan dari sektor perdagangan. Dalam kerangka hubungan perdagangan internasional, berbagai upaya masih dilakukan agar usaha memperbaiki sistem perdagangan dunia melalui berbagai
perundingan
perdagangan
multilateral
dalam
kerangka
terciptanya pedagangan dunia yang bebas, adil, dan terbuka. Globalisasi ekonomi ditandai dengan makin menipisnya batas-batas investasi atau pasar secara nasional, regional, ataupun internasional (Halwani, 2002). Ketergantungan perdagangan saat ini tertuju pada berbagai ketetapan
dari
GATT-WTO
yang
menentukan
berbagai
aturan
perdagangan, termasuk aturan pedagangan untuk produk-produk pertanian. Hal ini juga termasuk perubahan dari semua batasan kuantitatif yang dibebankan pada produk pertanian hingga tarif, pengurangan tarif produkproduk pertanian, pengurangan subsidi domestik, pengurangan subsidi ekspor, dan harmonisasi ukuran sanitasi dan phytosanitary (Gonzales, 1997 dalam Munandar, 2001).
B. FAKTOR MAKROEKONOMI
Tujuan dari kebijakan makroekonomi adalah untuk mengatur perilaku ekonomi, yang diamati melalui tingkat perubahan tiga variabel makroekonomi utama yaitu : tingkat pengeluaran, tingkat inflasi, dan keseimbangan neraca pembayaran. Kebijakan makroekonomi merupakan kebijakan stabilisasi kondisi ekonomi. Ketidakstabilan kondisi makroekonomi terlihat dari tingkat inflasi yang tinggi, pertumbuhan pendapatan yang rendah, atau neraca pembayaran yang defisit (Cook et al.,1990). Statistik tingkat makro ditetapkan oleh sistem perhitungan nasional, dan hubungan perhitungan ini dapat digunakan untuk memberikan sudut pandang yang penting bagi perumusan kebijakan makro. Konsep pokok dalam perhitungan nasional adalah untuk mengukur total produk dan jasa yang dihasilkan dalam suatu perekonomian pada suatu periode waktu tertentu, ukuran ini disebut dengan Produk Domestik Bruto (PDB) (Cook et al., 1990).
Nilai total produksi barang dan jasa nasional disebut dengan produk nasional. Semua nilai yang dihasilkan akhirnya akan menjadi milik seseorang yang berhak atas nilai tersebut, maka produk nasional sama dengan total pendapatan yang diperoleh dari memproduksi barang dan jasa. Untuk menghitung total output, kuantitas dari berbagai output yang berbeda haruslah dijumlahkan. Kuantitas total dapat diperoleh dengan mengukur total output dalam satuan mata uang, yang sering disebut dengan pendapatan nasional nominal. Pendapatan nasional juga dapat diukur berdasarkan harga yang terjadi pada suatu periode tertentu, dan ini disebut dengan pendapatan nasional riil. Karena harga-harga dianggap konstan selama perhitungan nasional riil, maka pendapatan nasional riil berubah hanya jika jumlah output berubah (Lipsey et al., 1991). Output riil, neraca pembayaran, dan tingkat harga merupakan variabel utama ekonomi yang menjadi kebijakan makroekonomi. Variabel-variabel ini menggambarkan variabel target dari pembuat kebijakan untuk distabilkan. Untuk mencapai tujuan stabilisasi pembuat kebijakan memiliki beberapa instrumen kebijakan pada cara penyelesaian mereka yang dapat digunakan untuk dapat mencapai ke arah yang diinginkan dari variabel target (Cook et al., 1990). Krugman dan Obstfeld (1990) berpendapat bahwa tingkat bunga dan pasar nilai tukar memainkan peranan yang besar dalam perdagangan internasional. Nilai tukar merupakan ukuran relatif harga untuk permintaan ekspor dan impor. Perubahan nilai tukar akan mengakibatkan depresiasi atau apresiasi. Apresiasi (depresiasi) mata uang di suatu negara akan menaikkan (menurunkan) harga relatif ekspor dan menurunkan (menaikkan) harga relatif impor. Tingkat pengembalian deposito yang diperdagangkan dalam pasar valuta asing ditentukan oleh tingkat bunga dan perubahan nilai tukar harapan. Tingkat bunga memainkan peranan penting dalam valuta asing karena pembayaran bunga dalam perdagangan yang besar. Suatu kenaikan bunga yang dibayarkan atas deposito suatu mata uang menyebabkan mata uang itu mengalami apresiasi terhadap mata uang asing.
Menurut Cook et al., (1990), selain kebijakan yang telah diuraikan juga perlu diperhatikan kebijakan yang terkait dengan ketidakseimbangan eksternal. Instrumen kunci dari kebijakan ini adalah kontrol pemerintah terhadap nilai tukar dan pilihan tingkat nilai tukar yang benar adalah suatu keputusan yang penting dalam sistem ekonomi terbuka. Menurut Salvatore (1995), perdagangan antar negara hanya dapat berlangsung jika dimungkinkan menukar mata uang satu negara menjadi mata uang negara lain. Nilai tukar satu mata uang terhadap lainnya merupakan bagian dari proses valuta asing. Valuta asing mengacu pada mata uang asing aktual atau berbagai klaim atasnya, seperti deposito bank atau surat sanggup bayar yang diperdagangkan. Nilai tukar valuta asing adalah harga dimana pembelian dan penjualan valuta asing berlangsung; nilai tukar merupakan jumlah mata uang dalam negeri yang harus dibayarkan untuk memperoleh satu unit mata uang asing. Penetapan nilai tukar dilakukan berdasarkan permintaan dan penawaran terhadap suatu mata uang asing. Fluktuasi nilai tukar disebabkan karena berubahnya permintaan dan penawaran dalam bursa valuta asing. Kenaikan harga domestik atas barang impor, kenaikan harga luar negeri atas barang impor dan perubahan tingkat harga secara keseluruhan akan dapat mempengaruhi tingkat nilai tukar suatu mata uang asing. Bila tingkat harga disuatu negara naik relatif terhadap tingkat harga di negara lainnya, maka nilai ekuilibrium mata uang negara tersebut akan turun relatif terhadap nilai ekuilibrium mata uang di negara lain tadi (Salvatore, 1995).
C. AGROINDUSTRI PERIKANAN
Brown (1994) dalam Nasution (2002) mendefinisikan agroindustri sebagai pengolahan bahan baku yang bersumber dari tanaman atau binatang. Pengolahan yang dimaksud meliputi pengolahan berupa proses transformasi dan pengawetan melalui perubahan fisik maupun kimiawi, pengepakan dan pendistribusian produknya. Dari definisi tersebut terlihat bahwa pelaku
agroindustri berada antara petani (yang memproduksi hasil pertanian sebagai bahan baku agroindustri) dengan pengguna produk agorindustri. Agroindustri perikanan dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi mulai dari kegiatan penyediaan bahan baku, processing, sampai ke pemasaran. Adapun tujuannya adalah untuk (1) memberikan nilai tambah pada produk perikanan, (2) mengamankan produksi karena sifat produk yang mudah rusak (perishable), (3) diversifikasi produk-produk perikanan, (4) menjamin
kontinuitas
ketersediaan
ikan
sepanjang
tahun,
dan
(5)
meningkatkan jangkauan pemasaran ikan pada tingkat permintaan yang dinamis (Dahuri, 2004). Corak perikanan Indonesia pada saaat ini lebih mengarah pada intensif tenaga. Hampir sekitar dua juta nelayan, petani ikan (tambak, keramba) dan pengusaha kecil terlibat dalam kegiatan penangkapan, budidaya, pengolahan dan distribusi. Hasil tangkapan dan budidaya ini diolah melalui dua saluran. Saluran pertama, yaitu produk-produk yang dapat diekspor diproses oleh beberapa perusahaan besar (terutama cold storage). Saluran kedua mengikuti jalur pengolahan oleh pengusaha kecil dan rumah tangga, dimana sekitar 50 persen lebih diolah secara tradisional seperti penggaraman, pemindangan dan pengasapan (Saidah, 2005). Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang relatif lebih murah bila dibandingkan dengan daging ayam, daging domba dan daging sapi. Meskipun produksi total ikan naik, namun masalah pemasaran ikan tidak akan timbul karena sebagian besar dari produk yang ada dipasaran dalam bentuk segar/beku dan dalam kaleng dan hanya sebagian kecil yang diolah menjadi fillet, baso ikan, ikan asin, ikan kering, ikan asap dan tepung ikan (Saidah, 2005). Produksi perikanan pada tahun 2001 tercatat 5,1 juta ton yang terdiri atas 3,9 juta ton produksi perikanan laut dan 1,1 juta ton produksi perikanan darat. Menurut data BPS tahun 2002 produksi perikanan mencapai 5,3 juta ton atau meningkat 5,6 persen bila dibandingkan dengan tahun 2001. peningkatan pada tahun 2001 dan 2002 terjadi hampir diseluruh kegiatan usaha perikanan, baik perikanan darat maupun perikanan laut, sedangkan produksi perikanan
paad tahun 2003 diperkirakan mencapai 5,6 juta ton. Sehubungan dengan hal tersebut, terjadi peningkatan nilai ekspor pada produk agroindustri perikanan utama yaitu komoditas udang dan tuna. Pada tahun 2002 nilai ekspor komoditas udang beku mencapai 817 juta dollar dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 830 juta dollar. Untuk komoditas tuna, pada tahun 2002 mencapai nilai ekspor sebesar 212 juta dollar dan sedikit mengalami peningkatan pada tahun 2003 menjadi sebesar 213 juta dollar (DKP, 2003). Besarnya hasil produksi perikanan Indonesia merupakan potensi bagi pemerintah untuk dapat mengembangkan industri yang mengolah hasil perikanan. Akan tetapi apabila melihat kondisi sistem agribisnis dan agroindustri perikanan yang lemah antara sektor penangkapan dan pengolahan mengakibatkan agroindustri perikanan tidak dapat tumbuh optimal. Menurut data Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APII), tingkat utilitas dari pabrik pengalengan ikan Indonesia saat ini hanya 25 persen dari kapasitas terpasang. Jadi hanya memproduksi 100.000 ton dari total kapasitas 400.000 ton/tahun yang mampu dimanfaatkan. Permasalahan yang terjadi adalah industri pengalengan ikan mengalami kesulitan dalam hal pasokan bahan baku. Kebijakan pemerintah disektor kelautan dan perikanan belum mendukung perkembangan industri pengolahan ikan dalam negeri. Salah satunya adalah hingga kini masih memberikan perizinan kepada nelayan asing untuk menangkap ikan di Indonesia dan menjualnya ke luar negeri. Hal tersebut mengakibatkan industri pengolahan ikan dalam negeri terutama industri cold storage dan pengalengan ikan yang berorientasi ekspor mengalami kekurangan bahan baku (Saidah, 2005). Kekurangan
bahan
baku
juga
diakibatkan
karena
kurangnya
keterkaitan antara subsistem-subsistem agribisnis perikanan yang terlihat dari fakta rasio antara ikan yang diolah lebih lanjut sebelum diekspor dengan ikan tangkapan yang langsung diekspor dalam keadaan mentah. Lebih lanjut Saidah (2005) mengatakan permasalahan bahan baku dapat teratasi dengan campur tangan pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan insentif pajak dan hanya memberikan izin penangkapan ikan kepada nelayan asing yang bersedia membangun industri pengolahan di Indonesia.
D. KONSEP DAYA SAING
Daya saing amat penting bagi agroindustri, terlebih dengan berlakunya perdagangan bebas. Daya saing ekspor adalah kemampuan suatu komoditas untuk memasuki pasar luar negeri dan bertahan dalam pasar itu. Daya saing ekspor dari suatu komoditas dapat diukur berdasarkan perbandingan pangsa pasar komoditas tersebut pada kondisi pasar yang tetap (Mahmood, 2000). Keunggulan kompetitif, keunggulan komparatif dan nilai tambah yang menentukan daya saing suatu industri suatu negara adalah suatu topik yang saat ini banyak diperdebatkan. Kelompok teknokrat lebih condong menganut strategi keunggulan komparatif yang didasarkan pada kekayaan sumber daya alam yang melimpah, tenaga kerja yang murah (padat karya), dengan muatan teknologi yang rendah, sehingga faktor produksi ini menjadi lebih murah dan merupakan andalan untuk berkompetisi dalam perdagangan internasional maupun terhadap barang-barang sejenis di dalam negeri dalam jangka pendek. Kelompok teknologi lebih condong pada strategi keunggulan kompetitif, dengan menekankan dasar industrialisasi dengan menerapkan teknologi canggih untuk memperoleh nilai tambah yang lebih tinggi, yakni pada pemilihan industri yang betumpu pada economic of scale karena terkonsentrasinya pekerja terampil dan industri yang bernilai tambah tinggi (Halwani, 2002). Porter (1990) mengembangkan suatu teori keunggulan kompetitif, dengan bertitik tolak dari kenyataan persaingan internasional yang ada, jadi pembentukan teorinya adalah deduktif. Model yang dikembangkan dikenal sebagai Model Berlian (gambar 1), menerangkan bahwa suatu negara secara nasional dapat meraih keunggulan kompetitif, apabila dipenuhi empat persyaratan yang saling terkait dan membentuk empat titik sudut dari poin yang dinamakan bangunan intan, yakni : •
Keadaan faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja terampil atau prasarana.
•
Keadaan permintaan dan tuntutan mutu di dalam negeri untuk hasil industri.
•
Eksistensi industri terkait dan pendukung yang kompetitif secara internasional.
•
Strategi perusahaan itu sendiri dan struktur serta sistem persaingan antar perusahaan.
Pemerintah
Strategi struktur persaingan perusahaaan
Sumber daya alam
Daya saing internasional
Permintaan domestik
Industri terkait dan pendukung Akses dan Kesempatan
Gambar 1. Model berlian daya saing internasional (Porter, 1990) Keunggulan komparatif dalam perkembangan selanjutnya sudah tidak identik lagi dengan upah yang rendah dan teknologi sederhana. Produk yang pada saat tertentu memiliki keunggulan komparatif, pada waktu berikutnya mengalami kemerosotan dalam keunggulan komparatifnya apabila disaingi dan digeser oleh produk lain yang memiliki desain dan kandungan teknologi yang lebih canggih dan lebih bisa memberikan kepuasan pada konsumen. Pergeseran ini terjadi dalam pola perdagangan internasional yang dinamis.
Teori keunggulan komparatif, seperti yang dikembangkan oleh Heckscher-Ohlin (O-H), Stolper-Samuelson, dan Rybczynsky bertumpu pada perbedaan faktor produksi dan kandungan pendukung yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas, sehingga menyebabkan terjadinya perdagangan internasional. Dalam perkembangannya kemudian dimasukkan faktor nilai mata uang yang melengkapi tingkat upah dan ikut menentukan keuntungan relatif dan keunggulan komparatif suatu barang. Penelitian lain yang berkaitan dengan kompetisi adalah keunggulan komparatif dari suatu produk. Honma dan Hayami (1993) berpendapat bahwa kenaikan tingkat proteksi pertanian di Asia timur dan negara industri lainnya berkaitan dengan menurunnya keunggulan komperatif (KK) pertanian negara tersebut. Penurunan KK pertanian akan menyebabkan kenaikan biaya yang harus ditanggung oleh produsen-produsen pertanian. Intal (1996) dalam Munandar (2001), mengajukan suatu cara untuk mengukur keunggulan komparatif dengan menggunakan indeks revealed comparative advantage (RCA). Indeks RCA merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengevaluasi pola spesialisasi ekspor, oleh karena itu indeks RCA merupakan indikator untuk daya saing ekspor. Indeks RCA yang besar dari satu mengindikasi spesialisasi ekspor dan berarti memiliki keunggulan komparatif. Peningkatan nilai indeks RCA menunjukkan peningkatan dari keunggulan
komparatif
yang
internasional.
Xij / Xi RCA = Xwj / Xw dimana :
X
= ekspor
i
= negara i
j
= komoditas j
w
= dunia
juga
akan
meningkatkan
daya
saing
E. PEMODELAN EKONOMETRIK
Menurut Sumodiningrat (1991), ilmu yang melakukan evaluasi teoriteori ekonomi secara kuantitatif disebut ilmu ekonometri. Ekonometri adalah suatu ilmu yang mengkombinasikan teori ekonomi dan statistik ekonomi, dengan tujuan menyelidiki dukungan empiris dari hukum skematik yang dibangun oleh teori ekonomi. Dengan memanfaatkan ilmu ekonomi, matematik dan statistik, ekonometri membuat hukum-hukum ekonomis teoritis menjadi nyata. Ramanathan (1998) mengatakan, ekonometrik berfokus untuk (1) menduga hubungan antara varaibel-variabel ekonomi, (2) menghadapkan teori-teori ekomoni dengan kenyataan dan membuktikan hipotesis-hipotesis yang melibatkan perilaku ekonomi, (3) meramalkan perilaku variabel-variabel ekonomi. Kelebihan
utama
model-model
ekonometrik
terletak
pada
kemampuannya untuk menangani saling ketergantungan antar variabelvariabel ekonomi. Model ekonometrik merupakan alat yang baik untuk meningkatkan pemahaman mengenai cara kerja sistem ekonomi dan untuk menguji dan mengevaluasi alternatif kebijaksanaan. Sementara kelemahan utama model ekonometrik adalah tiadanya aturan yang dapat diterapkan untuk semua situasi yang berbeda. Hal ini membuat pengembangan model ekonometrik sangat tergantung pada situasi spesifik (Makridakis et al., 1991). Ramanathan (1998) mengatakan, ekonometrik berfokus untuk (1) menduga hubungan antara variabel-variabel ekonomi, (2) menghadapkan teori-teori ekonomi dengan kenyataan dan membuktikan hipotesis-hipotesis yang melibatkan perilaku ekonomi, (3) meramalkan perilaku variabelvariabel ekonomi. Menurut Gujarati (1999), metodologi penyelidikan ekonometrika terdiri atas enam langkah, yaitu; (1) teori ekonomi, (2) model ekonometrika teori, (3) pengumpulan data yang cocok (4) penaksiran parameter (regresi), (5) inferensi statistik (verifikasi), dan (6) peramalan.
Model
ekonometrika
daya
saing
ekspor
agroindustri
yang
dikembangkan oleh Munandar (2001) tentang tingkat kompetisi ekspor komoditas dipengaruhi oleh faktor-faktor; produktivitas, harga bahan baku, tingkat liberalisasi perdagangan, tingkat suku bunga, tingkat inflasi, nilai tukar, tingkat upah, investasi riset dan pengembangan, diferensisasi produk yang dikembangkan, dan harga produk terkait. Model matematis yang dibuat dapat dilihat dibawah ini. RCA = α + β1TFPj+ β2HBB + β3NPC + β4 FMAj + β5INT + β6 TUP +β7D1 + β8IRD + β9DIPj + β10PPD + β11 PPIi + β12HPTi + μ Dimana: RCA TFPj HBB NPC FMAj INT TUP RDI DIPj
PPD PPIj HPTi
= Reveal Comparative Advantage (sebagai indikator tingkat kompetisi ekspor komoditas) = Total Factor Productivity (produktivitas); j = 1…3; 1 for LP; 2 for CP; 3 for TFP (nilai dalam Rp) = Harga bahan baku (RP/ton) = Nominal Protection Coefficient (sebagai indikator untuk tingkat liberalisasi perdagangan) = faktor makroekonomi; j = 1, 2; 1 untuk tingkat sukubunga (%); 2 untuk tingkat inflasi (%) = Indeks Nilai tukar (Rp/US $) = Tingkat Upah (Rp/month) = Research and Development Investment (sebagai indikator tingkat teknologi dan inovasi) = Diferensisasi produk; j = 1, 2; 1 iklan dan promosi yang dikeluarkan oleh pemerintah atau perusahaan (% dari nilai total); 2 RPE ratio = Pendapatan Per Kapita Indonesia (Rp/orang tahun); = Pendapatan Per Kapita Negara Importir ; j = 1, 2, 3; 1 for USA; 2 for Japan; 3 for United Kingdom = Harga Produk Terkait ; i = 1,2; 1 produk substitusi; 2 produk komplementer (US$/unit).
Model
matematis
ekonometrika
yang
dikembangkan
oleh
Munandar (2001) telah digunakan untuk menentukan tingkat daya saing ekspor produk agroindustri teh dan kelapa sawit.
III. METODOLOGI
A. KERANGKA PEMIKIRAN
Perkembangan agroindustri di era perdagangan bebas merupakan tantangan bagi Indonesia, karena dengan demikian industri tersebut harus memiliki kemampuan untuk bersaing dengan industri negara lain. Daya saing ekspor produk agroindustri berbasis perikanan Indonesia ditentukan tidak hanya oleh faktor produk, tetapi juga ditentukan oleh berbagai faktor ekonomi. Untuk itulah penelitian ini menggunakan metode ekonometrik untuk melakukan pemodelan terhadap daya saing ekspor produk agroindustri komoditas udang dan tuna Indonesia. Penelitian ini dimulai dengan melakukan analisa dan identifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi daya saing ekspor produk agroindustri komoditas udang dan tuna. Setelah faktor-faktor penentu daya saing didapatkan, maka dilakukan spesifikasi model untuk pemodelan ekonometrik yaitu dengan merumuskan persaman matematis yang menggambarkan hubungan antar faktor sesuai dengan teori ekonomi. Kemudian dilakukan penaksiran atau estimasi parameter hubungan-hubungan diantara faktor-faktor yang terdapat dalam model. Tahapan
berikutnya
adalah
pencarian
data
untuk
pemodelan
ekonometrik. Data yang didapatkan kemudian dianalisis dengan regresi untuk menghasilkan model ekonometrik. Pada proses ini pula dilakukan verifikasi untuk memastikan kesahihan model yang dihasilkan. Model ekonometrik yang telah diverifikasi selanjutnya digunakan untuk melakukan peramalan daya saing ekspor produk agroindustri komoditas udang dan tuna. Peramalan dilakukan dengan cara menggunakan nilai dari faktor-faktor yang signifikan pada model untuk mendapatkan daya saing ramalan. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada gambar 2 berikut.
Gambar 2. Diagram alir penelitian
B. IDENTIFIKASI DAN ANALISIS FAKTOR
Penelitian ini akan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing ekspor komoditas agroindustri perikanan Indonesia yang direpresentasikan oleh indeks RCA komoditas agroindustri perikanan Indonesia. Menurut Munandar (2001), daya saing ekspor untuk komoditas agroindustri kelapa sawit dan teh dipengaruhi oleh produktivitas, teknologi dan inovasi, diferensiasi produk, pendapatan perkapita negara produsen dan konsumen, tingkat liberalisasi perdagangan suatu negara, harga produk yang diekspor, harga produk terkait (produk komplemen atau substitusi), tingkat suku bunga, inflasi, nilai tukar mata uang dan tingkat upah. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing ekspor dapat dikelompokkan menjadi lima faktor utama yaitu faktor produksi, kebijakan pemerintah, teknologi dan inovasi, perilaku konsumen dan makroekonomi. Pengaruh kelima faktor tersebut dapat dilihat pada gambar 3 berikut.
Gambar 3. Diagram struktur tingkat kompetisi ekspor agroindustri
Subfaktor yang termasuk dalam kelompok faktor produksi adalah produktivitas dan harga bahan baku. Indikator dari produktivitas adalah dengan menggunakan indkes total factor productivity (TFP), labour productivity (LP) dan capital productivity (CP). Untuk harga bahan baku (HBB) menggunakan satuan harga yang berlaku dipasaran komoditi ekspor internasional (US $/ton). Pada faktor kebijakan pemerintah terdapat tiga subfaktor yaitu tingkat upah, tingkat sukubunga dan tingkat liberalisasi perdagangan. Subfaktor tingkat upah (TUP) menggambarkan berapa besar upah minimum rata-rata yang didapat para pekerja sektor industri makanan dalam satu tahun (Rp/tahun). Demikian pula dengan tingkat sukubunga (TSB) yang diukur berdasarkan persentase tingkat sukubunga nominal tahunan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Tingkat liberalisasi perdagangan suatu negara dapat diukur dengan menggunakan indeks nominal protection coefficient (NPC). Perilaku konsumen mempunyai empat subfaktor yaitu pendapatan perkapita Indonesia, pendapatan perkapita importir, harga produk terkait dan diferensiasi produk. Pendapatan perkapita yang diukur adalah besarnya pendapatan perkapita domestik Indonesia (PPD) dan pendapatan perkapita negara importir (PPI) dari komoditas yang diekspor dalam satuan dolar Amerika per tahun (US $/tahun). Harga adalah suatu faktor yang menentukan dalam hubungan perdagangan. Harga yang harus diperhatikan dalam analisis ini adalah harga domestik dan internasional masing-masing produk (HPr) dan harga produk terkait (HPT). Untuk mengukur diferensiasi produk dapat dilakukan dengan menggunakan besarnya alokasi biaya yang dikeluarkan untuk promosi dan iklan. Situasi makroekonomi juga turut berperan dalam daya saing ekspor suatu negara. Subfaktor yang termasuk dalam kelompok makroekonomi adalah inflasi dan indeks nilai tukar. Inflasi (INF) dapat menggambarkan stabilitas suatu negara dan dapat diukur dengan persentase tingkat inflasi tahunan. Indeks nilai tukar (INT) merupakan jumlah mata uang dalam negeri yang harus dibayarkan untuk memperoleh satu unit mata uang asing dan dapat diukur berdasarkan tingkat nilai tukar nominal rupiah terhadap dolar.
Pada faktor teknologi dan inovasi terdapat subfaktor riset dan pengembangan. Teknologi dan inovasi yang digunakan diukur dengan besarnya alokasi biaya investasi yang dikeluarkan untuk penelitian dan pengembangan. Teknologi yang lebih baik akan berdampak pada pengurangan biaya dan meningkatkan rasio output per unit dari pekerja atau modal yang digunakan.
C. PEMODELAN EKONOMETRIK
1. Spesifikasi model Tahap
spesifikasi
model
adalah
tahap
awal
pemodelan
ekonometrik dimana dilakukan (1) penentuan peubah dependen (dependent variables) dan peubah penjelas (explanatory variables) yang akan dimasukkan ke dalam model, (2) harapan teoritis apriori mengenai tanda dan besaran parameter dari setiap persamaan. Dasar dari definisi apriori tersebut adalah pengetahuan mengenai teori, logika dan fakta empiris yang ada dari hubungan ekonomi antar peubah dependen dan penjelas yang dipelajari, dan (3) bentuk matematis (linier atau non liner, jumlah persamaan) dari model (Koutsoyiannis,1977). Variabel terikat dari model yang akan dibentuk adalah daya saing ekspor komoditas agroindustri berbasis perikanan terpilih yang direpresentasikan oleh indeks RCA. Sementara variabel penjelas dari model yang akan dibentuk adalah faktor-faktor kunci yang akan mempengaruhi daya saing ekspor. Konsep umum dari model adalah sistem daya saing ekspor komoditas agroindustri berbasis perikanan terpilih (DSE) yang dipengaruhi oleh kelima faktor utama yaitu faktor produksi (FP), kebijakan pemerintah (KP), perilaku konsumen (PK), teknologi dan inovasi (TI) dan makroekonomi (ME). Formula model secara umum adalah sebagai berikut :
DSE = f(FP, KP, PK, TI, ME)
Model matematis yang akan dibentuk adalah sebagai berikut : RCA = α + β1TFPj+ β2HBB + β3NPC + β4 FMAj + β5INT + β6 TUP +β7D1 + β8IRD + β9DIPj + β10PPD + β11 PPIi + β12HPTi + μ Dimana: RCA TFPj HBB NPC FMAj INT TUP RDI DIPj
PPD PPIj HPTi
= Reveal Comparative Advantage (sebagai indikator tingkat kompetisi ekspor komoditas) = Total Factor Productivity (produktivitas); j = 1…3; 1 for LP; 2 for CP; 3 for TFP (nilai dalam Rp) = Harga bahan baku (Rp/ton) = Nominal Protection Coefficient (sebagai indikator untuk tingkat liberalisasi perdagangan) = faktor makroekonomi; j = 1, 2; 1 untuk tingkat sukubunga (%); 2 untuk tingkat inflasi (%) = Indeks Nilai tukar (Rp/US $) = Tingkat Upah (Rp/month) = Research and Development Investment (sebagai indikator tingkat teknologi dan inovasi) = Diferensisasi produk; j = 1, 2; 1 iklan dan promosi yang dikeluarkan oleh pemerintah atau perusahaan (% dari nilai total); 2 RPE ratio = Pendapatan Per Kapita Indonesia (Rp/orang tahun); = Pendapatan Per Kapita Negara Importir ; j = 1, 2, 3; 1 for USA; 2 for Japan; 3 for United Kingdom = Harga Produk Terkait ; i = 1,2; 1 produk substitusi; 2 produk komplementer (US$/unit).
Model matematis tersebut secara ekonometrik dapat dituliskan dalam bentuk-bentuk fungsi model regresi. Apabila fungsi regresi sederhana tidak memenuhi uji F atau secara keseluruhan variabel penjelas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat maka salah satu alternatifnya adalah model tersebut ditransformasikan. Menurut Gujarati (1999), bentuk-bentuk fungsi model regresi transformasi terdiri dari tiga model yaitu model log penuh, model semi-log dan model transformasi kebalikan. Pada penelitian ini model regresi yang digunakan ada tujuh jenis, yaitu model regresi berganda tanpa log, log penuh, semi-log 1 (variabel terikat dalam bentuk log), semi-log 2 (variabel penjelas dalam bentuk log), logaritma natural penuh, semi-logaritma natural 1 (variabel terikat dalam bentuk logaritma natural) dan semi-logaritma natural 2 (variabel penjelas dalam bentuk logaritma natural).
2. Pengumpulan data Data primer dan data sekunder digunakan untuk mendukung analisis. Secara umum data primer dikumpulkan secara langsung melalui wawancara kepada pakar/ahli dengan menggunakan kuesioner. Data sekunder dikumpulkan dari lembaga-lembaga yang mengumpulkan dan mempublikasi data seperti BPS, DKP, Depperin, Depdag, Deptan, FAO, WTO dan PBB. Time series data dikumpulkan dari tahun 1981 sampai tahun 2003. Beberapa software komputer seperti Minitab R14, Microsoft office excel, alat-alat statitik lainnya digunakan untuk menganalisa data.
3. Penaksiran parameter model (regresi) Penelitian ini menggunakan model single-equation multiple regression, maka digunakan pendekatan metode ordinary least square (OLS) untuk menduga parameter-parameter yang terdapat dalam model. Pemilihan metode ini disesuaikan dengan tujuan penelitian, berdasarkan asumsi bahwa metode OLS akan memberikan dugaan yang best, linear, unbiased estimate (BLUE).
4. Inferensi uji statistik (verifikasi) Uji F-test, t-test, dan nilai R 2 digunakan untuk mengevaluasi hasil regresi. Uji F-test adalah alat untuk menguji signifikansi dari keseluruhan persamaan model regresi, sementara uji t-test adalah alat untuk menguji signifikansi dari koefisien regresi dari variabel independen. Nilai R2 adalah ukuran untuk kebaikan sesuai (goodness of fit) dari model yang diduga. Pada model digunakan bentuk persamaan linear standar dan logaritmik ganda. Kriteria untuk menentukan model terbaik adalah : (1) Tingkat signifikansi baik koefisien persamaan maupun persamaan secara keseluruhan; (2) Adanya autokorelasi Pengujian adanya autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Durbin-Watson (Uji D,) terhadap suatu model regresi. Adanya
autokorelasi membuat model tidak dapat digunakan untuk menaksir nilai variabel dependen dengan menggunakan variabel independen. Menurut Tweeten (1989) masalah autokrelasi dalam suatu model ekonometrik timbul apabila nilai dari statistik Durbin-Watson berada dibawah 1,25 dan diatas 2,75. (3) Konsistensi dari tanda koefisien regresi dengan koefisien perkiraan teoritis dan logika.
Tabel 1. Harapan teoritis apriori pengujian konsistensi tanda dan logika No. 1
Variabel Independen Produktivitas ; Total Factor Productivity (TFP) ;
Harapan Tanda +
Capital Productivity (CPR) 2
Harga Bahan Baku (HBB)
-
3
Faktor Makroekonomi
3.1
Inflasi (INF)
-
3.2
Indeks Nilai Tukar (INT)
+
4
Kebijakan Pemerintah
4.1
Tingkat Sukubunga (TSB)
-
4.2
Tingkat Upah (TUP)
-
4.3
Derajat Liberalisasi Perdagangan dalam bentuk Nominal Protection Coefficient (NPC)
+
5
Perilaku Konsumen
5.1
Diferensiasi Produk (DPR)
+
5.2
Pendapatan Per Kapita Domestik (PPD)
-
5.3
Pendapatan Per Kapita Importir (PPI)
+
5.4
Harga Produk Terkait 1 (HPT1) ; 1 = substitusi
-
5.5
Harga Produk Terkait 2 (HPT2) ; 2 = komplemen
+
6
Teknologi dan Inovasi (TIN)
+
7
Partisipasi WTO, mulai 1994
+
D. PENGUKURAN DAN INDIKATOR
1. Daya saing Daya saing dari suatu perusahaan dapat dilihat dari keunggulan komparatif yang dimilikinya. Menurut Intal (1996), indeks RCA merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengevaluasi pola spesialisasi ekspor, oleh karena itu indeks RCA merupakan indikator untuk daya saing ekspor. Indeks RCA yang lebih besar dari satu mengindikasikan spesialisasi ekspor dan menunjukkan adanya keunggulan komparatif. Peningkatan nilai indeks RCA menunjukkan peningkatan dari keunggulan komparatif yang juga akan meningkatkan daya saing internasional. X ij RCA =
Xi X wj Xw
dimana ; X = ekspor i = negara i j = komoditas j w = dunia
2. Produktivitas Coeli et al. (1998) dalam Munandar (2001) mengajukan beberapa cara ukuran produktivitas secara teoritis. Ketika mendiskusikan tentang produktivitas, ini berarti mengenai faktor produktivitas secara umum, dan formula umumnya adalah : P = O/I Dimana : P = produktivitas; O = output; I = input. Formula produktivitas umum ini mengukur semua faktor produksi. Untuk menentukan produktivitas parsia untuk input tertentu dapat digunakan labor productivity, land productivity, atau capital productivity. Produktivitas total dapat diukur dengan menggunakan total factor productivity (TFP) index.
TFP indeks mengukur total tingkat perubahan output relatif terhadap total tingkat perubahan penggunaan input. Dalam pengukuran produktivitas umumnya dilakukan secara parsial seperti output yang dihasilkan per jumlah tenaga kerja yang digunakan, karena ukuran secara parsial akan memberikan gambaran yang lebih rinci. Coeli et al. (1998) dalam Munandar (2001), juga mengajukan suatu formula sederhana yang dapat mengukur TFP untuk satu output dan satu input :
TFPst =
Ot Os It I s
Dimana : TFP = total faktor produktivitas O
= output
I
= input
3. Tingkat liberalisasi perdagangan Tingkat liberalisasi perdagangan akan ditentukan oleh derajat intervensi yang diterapkan pemerintah dalam perdagangan. Tsakok (1990), mengusulkan
koefisien-koefisien
proteksi
sebagai
ukuran
tingkat
intervensi pemerintah dalam perdagangan. Koefisien proteksi tersebut adalah : (1) koefisien proteksi nominal (nominal protection coefficient /NPC), (2) tingkat proteksi nominal (nominal protection rate /NPR), (3) koefisien proteksi efektif (effective protection coefficient /EPC) dan (4) tingkat proteksi efektif (effective protection rate). Pada penelitian ini koefisien yang digunakan adalah indeks NPC yang merupakan perbandingan antara harga Perbatasan dan harga domestik :
Pi d NPC = b Pi Dimana : NPC
: Nominal Protection Coefficient
P
b
: Harga Perbatasan (harga luar negri x nilai tukar)
P
d
: Harga Domestik
i
: Komoditas i
Jika nilai NPC lebih dari 1 (harga produk diatas harga luar negeri) maka terjadi inefisensi produksi, dan bila nilai indeks NPC berada kurang dari 1 maka menunjukkan adanya intervensi pemerintah (subsidi). Nilai indeks NPC yang sama dengan satu menunjukkan tidak adanya intervensi pemerintah dalam perdagangan produk tersebut. 4. Indikator makroekonomi Dalam penelitian ini untuk mengukur faktor yang berkaitan dengan perekonomian maka digunakan indikator makroekonomi seperti, Nilai Tukar rupiah terhadap dolar (Rp/ US$), laju inflasi (%), tingkat suku bunga (%), dan pendapatan perkapita baik Indonesia dan negara pengimpor (dalam US$/tahun ).
5. Indikator lainnya Tingkat
diferensiasi
produk
diukur
dengan
menggunakan
persentase anggaran yang digunakan untuk melakukan promosi dan iklan, sedangkan teknologi dan inovasi diukur dengan menggunakan besar anggaran
yang
digunakan
untuk
melakukan
kegiatan
riset
dan
pengembangan.
E. PERAMALAN DAYA SAING
Model ekonometrika yang didapatkan (estimated econometric model) digunakan untuk meramalkan nilai atau nilai-nilai dimasa yang akan datang dari varibel tak bebas (dependent variable) atas dasar nilai atau nilai-nilai variabel yang menjelaskan (independent variables) yang telah diketahui atau diharapkan dari masa yang akan datang. Variabel dependen dari model yang akan dibentuk adalah daya saing ekspor produk agroindustri komoditas udang dan tuna yang direpresentasikan oleh indek RCA. Sementara variabel penjelas dari model yang akan dibentuk adalah faktor-faktor kunci yang akan mempengaruhi daya saing ekspor.
Peramalan daya saing ekspor dilakukan dengan metode kausal berdasarkan tiga skenario, yaitu skenario kondisi perekonomian stabil sebelum krisis tahun 1993-1996, skenario kondisi perekonomian pasca krisis tahun 2000-2003 dan skenario kondisi perekonomian ideal-optimis. Daya saing ekspor kemudian dihitung dengan memasukkan tingkat perubahan tertentu pada variabel penjelas berdasarkan asumsi-asumsi pada skenario kondisi yang dirancang tersebut. Untuk melakukan penghitungan tersebut digunakan nilai tahun rata-rata (periode 1981-2003) dan nilai tahun akhir (tahun 2003).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KERAGAAN AGROINDUSTRI KOMODITAS UDANG DAN TUNA 1. Produksi i.
Komoditas udang Besarnya hasil produksi Indonesia di bidang perikanan merupakan potensi bagi pemerintah untuk dapat mengembangkan industri yang mengolah hasil perikanan mengingat produk perikanan termasuk produk yang mudah rusak. Namun melihat kondisi sistem agribisnis dan agroindustri perikanan yang lemah antara sektor penangkapan dan pengolahan mengakibatkan industri pengalengan ikan dan cold storage Indonesia tidak dapat tumbuh optimal. Udang merupakan salah satu komoditas perikanan yang menjadi sumber devisa. Dalam kurun waktu 1981-2003, produksi udang Indonesia terus mengalami peningkatan. Produksi tahun 1981 berjumlah 140.683 ton dan pada tahun 2003 total produksi hingga mencapai 457.128 ton (tingkat pertumbuhan rata-rata 3,2 % per tahun). Harga udang yang cenderung stabil dipasaran internasional merupakan salah satu faktor yang mendorong semakin bertambahnya jumlah petambak di Indonesia. Produksi udang nasional merupakan hasil produksi tambak yang tersebar di beberapa provinsi seperti Jawa Barat, Lampung, Nanggroe Aceh Darussalam dan Jawa Timur. Kuantitas produksi udang nasional Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan negara pesaing yang ada dikawasan asia. Akan tetapi dari segi kualitas ternyata udang asal Indonesia lebih disukai karena rasanya yang enak dan memenuhi standar yang ditetapkan oleh FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat. Disamping itu Indonesia tidak
terbukti melakukan re-ekspor udang asal Vietnam dan China yang terkena sanksi akibat melakukan politik dumping. Pada gambar 4 dapat dilihat jumlah total produksi udang nasional.
Perkembangan Volume Produksi
Metrik ton
500000 400000 300000 200000 100000
19 81 19 83 19 85 19 87 19 89 19 91 19 93 19 95 19 97 19 99 20 01 20 03
0
Tahun Total Produksi Udang Indonesia
Sumber : Fishstat, database FAO tahun 1981-2003 Gambar 4. Total produksi udang Indonesia
Akan tetapi jumlah produksi yang besar ini tidak diikuti oleh peningkatan jumlah perusahaan yang bergerak di bidang industri perikanan
berbasis
komoditas
udang
(agroindustri
perikanan).
Perusahaan agroindustri perikanan yang ada di Indonesia hingga saat ini memproses udang kedalam bentuk udang beku dan udang dalam kaleng. Padahal komoditas udang tidak hanya terbatas pada pemanfaatan dagingnya saja, akan tetapi bagian lain seperti kulit kepala dan cangkang dapat berpotensi untuk industri khitosan (senyawa yang berperan sebagai emulsifier). Devaluasi nilai tukar rupiah terhadap dollar pada pertengahan 1997 membuat keuntungan yang didapat oleh para produsen udang beku mengalami peningkatan yang berlipat. Hal inilah yang menjadi pendorong agroindustri perikanan lebih memilih untuk memproduksi udang beku dibandingkan komoditas ekspor udang lainnya. Jumlah pasokan yang besar, sedangkan kebutuhan udang dunia hanya sedikit mengalami peningkatan maka pada tahun 1999 harga udang mengalami penurunan.
Kendati
harga
udang
dipasar
dunia
menurun,
tidak
menyurutkan agroindustri perikanan untuk melirik ke komoditas udang lain karena konsumen dunia sangat menyukai jenis udang yang diekspor oleh Indonesia, khususnya pasar Jepang dan Amerika Serikat. Memasuki tahun 2003, Indonesia mampu menguasai 80% pasar udang beku di Jepang dan Amerika Serikat untuk jenis udang Banana shrimp dan Giant tiger prawn. Pasokan yang besar sempat membuat Indonesia dituduh oleh Amerika Serikat melakukan re-ekspor udang dari Thailand, Vietnam, dan China yang dijual dengan politik dumping. Akibat dari tuduhan tersebut, pasar di Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang sempat mengancam akan melakukan embargo apabila Indonesia terbukti mengimpor udang dari ketiga negara tersebut. Akan tetapi hingga bulan Juli 2005, tuduhan re-ekspor udang Indonesia tidak terbukti dan para pelaku agroindustri perikanan dapat terus mengekspor udang beku ke pasar Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Embargo yang dijatuhkan Amerika Serikat kepada China merupakan berkah bagi agroindustri perikanan dalam negeri karena dapat mengisi kuota yang ditinggalkan oleh China. Mengingat mutu dan kualitas udang asal Indonesia yang telah terbukti maka pasar yang ditinggalkan oleh China sangat potensial untuk dipenuhi. Menurut Dirjen Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran (PK2P), Sumpeno Putro (2005) dalam wawancara menyebutkan bahwa dengan lolosnya udang kita, maka sudah sepatutnya Indonesia dapat meningkatkan ekspornya dan bahkan apabila memungkinkan, bukan hanya pangsa pasar China yang dipenuhi tetapi rebut pula pangsa pasar para kompetitor kita yaitu Thailand, Vietnam, India, Ekuador, Meksiko, Brasil, Venezuela, dan Bangladesh. Periode 1999-2001, impor udang AS mengalami kenaikan ratarata 21% atau masing-masing sebesar 331.706 MT, 345.077 MT, 400.337 MT. Tahun 2001, total impor udang di AS menyumbangkan
sekitar 88% dari jumlah konsumsi di seluruh negeri dan mewakili 27% dari nilai produk perikanan laut yang diperdagangkan. Tentang
keberhasilan
Indonesia
terbebas
dari
tuduhan
dumping, Sumpeno mengatakan bahwa hal tersebut tidak terlepas dari berbagai upaya diplomasi yang dilakukan. Hal itu dilakukan baik oleh pihak KBRI di Washington DC maupun oleh pemerintah pusat secara langsung untuk meyakinkan berbagai pihak bahwa industri udang Indonesia, baik budidaya maupun tangkap, tidak melakukan praktik dumping.
ii.
Komoditas tuna Kebijakan pemerintah disektor kelautan dan perikanan belum mendukung pengembangan industri pengolahan ikan dalam negeri. Kebijakan pemerintah yang membiarkan kapal asing menangkap ikan di perairan nusantara dan menjualnya ke luar negeri telah mengakibatkan agroindustri pengolahan ikan dalam negeri terutama industri pengalengan ikan yang berorientasi ekspor di Indonesia kekurangan bahan baku ikan tuna. Selain maraknya kapal asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia, kekurangan stok bahan baku juga diakibatkan kurangnya keterkaitan subsistem-subsistem agroindustri perikanan yang terlihat dari fakta rasio antara ikan yang diolah lebih lanjut sebelum diekspor dengan ikan tangkapan yang langsung diekspor tanpa proses pengolahan terlebih dahulu. Hingga saat ini 70 persen dari ikan hasil tangkapan Indonesia langsung diekspor tanpa proses pengolahan terlebih dahulu. Padahal nilai tambah yang dapat diperoleh dari proses pengolahan lanjut relatif lebih besar. Menurut Saidah (2005), bila ekspor tuna mentah tetap terus dilakukan, maka nilai devisa negara yang didapatkan akan sangat kecil yaitu hanya sekitar 2,5 % per tahun atau sebesar US$ 18 juta per tahun. Sedangkan bila dilakukan proses pengolahan lebih lanjut maka pemerintah akan mendapat masukan devisa negara senilai US$ 700
juta. Untuk itu perlu adanya kebijakan baru dalam pemanfaatan sumber daya ikan nasional yang dapat digunakan untuk menciptakan nilai tambah dalam negeri. Produksi tuna Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2001 (740.148 metrik ton) dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2000 mampu memproduksi 797.230 metrik ton. Pada Hal ini terjadi karena kapal-kapal asing jenis longline vessels mulai beroperasi diperairan samudra hindia. Pada gambar 5 disajikan perkembangan produksi tuna Indonesia. Untuk mengatasi penurunan produksi tersebut, pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan membuat kebijakan untuk membangun sentra budidaya tuna dan kawasan pemantauan tuna nasional. Bagi agroindustri perikanan dalam negeri, kendala bahan baku ini memang sangat berpengaruh. Akan tetapi sekarang ini sudah dikembangkan
budidaya
tuna
dengan
Bali
sebagai
pionir
pembudidayaan dan pusat pemantauan tuna Indonesia. Untuk itu diharapkan agroindustri perikanan yang memproses tuna dalam bentuk tuna beku dan tuna dalam kaleng dapat terjamin kelancaran pasokan bahan baku produksinya.
Metrik ton
Perkembangan Volume Produksi 1000000 800000 600000 400000 200000 0 81 83 85 87 89 91 93 95 97 99 01 03 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 20 20
Tahun Total Produksi Tuna Indonesia
Sumber : Fishstat, database FAO tahun 1981-2003 Gambar 5. Total produksi tuna Indonesia
2. Produk Komoditas udang Produk yang dihasilkan oleh agroindustri perikanan komoditas udang dalam negeri terdiri dari berbagai macam jenis udang. Jenis udang yang diekspor menurut FAO dan Tokyo Market Commodities ialah Akiami paste shrimp, Banana shrimp, Giant tiger prawn, dan Metapenaeus shrimp nei.
Komoditas udang yang diekspor oleh Indonesia terbagi kedalam tiga kelompok, yaitu udang segar/tidak beku, udang beku, dan udang dalam kaleng. Grafik perkembangan tingkat ekspor udang nasional menurut pengelompokkan ini dapat dilihat pada gambar 6.
Perkembangan Tingkat Ekspor Komoditi Udang Indonesia 140000 130000 120000 110000 100000 Volume (ton)
90000 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0
19 81 19 83 19 85 19 87 19 89 19 91 19 93 19 95 19 97 19 99 20 01 20 03
i.
Tahun Udang Segar
Udang Beku
Udang dalam Kaleng
Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 1981-2003 Gambar 6. Tingkat ekspor komoditas udang segar, udang beku, dan udang dalam kaleng
Volume ekspor udang Indonesia selama dua dasawarsa terakhir didominasi oleh komoditas udang beku. Dari produksi sebesar 30.548 ton pada tahun 1981 hingga 125.684 ton pada tahun 2003. Tingkat ekspor terbesar terjadi pada tahun 1998 dengan volume ekspor 136.806 ton. Mengingat pada masa itu Indonesia sedang dilanda oleh krisis ekonomi dan nilai kurs rupiah menurun sehingga nelayan lebih memilih untuk menjual udang ke luar negeri sehingga ekspor udang beku mengalami peningkatan yang cukup pesat.
ii.
Komoditas tuna Perusahaan pengolahan hasil perikanan yang ada di Indonesia pada umumnya lebih mengutamakan untuk memproduksi tuna dalam kemasan kaleng karena secara ekonomi harganya lebih tinggi dibandingkan tuna beku dan tuna segar. Lain halnya dengan para nelayan, mereka lebih menyukai untuk mengekspor tuna dalam keadaan segar. Hal ini menyebabkan agroindustri perikanan dalam negeri mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan baku untuk menunjang proses produksinya. Di kawasan timur Indonesia, ikan tuna yang ditangkap oleh para nelayan biasanya langsung dijual kepada para pengumpul atau eksportir yang sudah menyiagakan kapal dipelabuhan. Tuna tersebut langsung diproses mulai dari penyortiran, pengukuran bobot, pemotongan, hingga pembekuan dan pengemasan tuna dalam kriteria tertentu. Bahkan tidak jarang pula ditemui kapal-kapal asing yang sudah menunggu hasil tuna tangkapan nelayan untuk dijual ditempat asal mereka. Tuna hasil tangkapan diperairan Indonesia timur termasuk yang paling digemari oleh konsumen karena mutunya baik. Agroindustri perikanan merupakan salah satu sub sektor strategis dari sektor perikanan dan kelautan yang harus dikembangkan dengan menjaga produktivitas nelayan sampai menambah pendapatan nelayan. Agroindustri perikanan mampu menimbulkan dampak positif bagi perekonomian nasional sehingga perlu adanya campur tangan
pihak pemerintah dalam mendorong perkembangan agroindustri perikanan. Produk nelayan yang dijual di dalam negeri hingga kini masih dikenakan PPn 10%, sehingga nelayan lebih memilih untuk mengekspor produknya. Akibatnya, agroindustri perikanan tidak mendapatkan jaminan pasokan bahan baku dari dalam negeri dan memilih melakukan impor. Agroindustri perikanan yang ada di Indonesia mengekspor tuna dalam bentuk tuna beku dan tuna dalam kaleng sedangkan nelayan mengekspor tuna yang masih segar. Meskipun mengalami kekurangan bahan baku, akan tetapi produksi tuna beku dan tuna dalam kaleng terus mengalami peningkatan. Peningkatan yang terjadi tidak terlepas dari dibentuknya sentra budidaya tuna yang telah dikembangkan. Perkembangan ketiga kelompok komoditas tersebut dapat dilihat pada gambar 7.
Perkembangan Tingkat Ekspor Komoditi Tuna Indonesia
V o lu m e (to n )
60000 50000 40000 30000 20000 10000
01
03 20
20
97
99 19
19
19
95
93 19
91 19
89
87
19
19
83
85 19
19
19
81
0
Tahun Tuna segar
Tuna Beku
Tuna dalam Kaleng
Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 1981-2003 Gambar 7. Tingkat ekspor komoditas tuna segar, tuna beku, dan tuna dalam kaleng
Volume ekspor tuna Indonesia selama dua dekade terakhir terus mengalami fluktuasi. Hal ini terkait dengan pasokan bahan baku dari dalam negeri yang tidak menentu mengingat nelayan lebih menyukai untuk mengekspor tuna dalam keadaaan mentah dan agroindustri perikanan yang mengolah tuna seringkali menghadapi masalah kekurangan bahan baku. Hampir sekitar 40 - 50 persen dari ekspor tuna Indonesia diserap pasar Jepang. Hanya sayangnya karena hampir sebagian besar produk tuna yang diekspor dihasilkan melalui perikanan tangkap, dari tahun ke tahun volumenya mengalami penurunan. Hasil tangkapan yang menurun ini disebabkan kapal asing dengan ukuran longline vesells mulai melakukan penangkapan tuna diperairan Samudra
Hindia.
3. Diferensiasi Produk Diferensiasi produk dilakukan untuk memperluas pangsa pasar melalui penganekaragaman produk yang dapat dipilih oleh masyarakat berdasarkan bahan baku yang sama. Meningkatnya keragaman produk dapat dilakukan bila perusahaan menyediakan sejumlah dana tambahan dan teknologi baru untuk membuat lebih banyak variasi produk atau memberikan informasi yang baik dan tepat tentang produk yang dihasilkan. Dalam penelitian ini hal yang diperhatikan untuk dapat meningkatkan diferensiasi produk adalah informasi yang tepat yang disampaikan ke konsumen. Pemberian informasi yang tepat kepada konsumen
menjadi
penting
karena
konsumen
akan
memperoleh
pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang produk. Salah satu cara untuk menentukan tingkat usaha suatu perusahaan untuk memberikan informasi yang benar dan tepat ke konsumen adalah dengan melihat besarnya alokasi dana yang digunakan untuk jasa promosi termasuk biaya iklan.
2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
19 81 19 83 19 85 19 87 19 89 19 91 19 93 19 95 19 97 19 99 20 01 20 03
Persentase (%)
Diferensiasi Produk
Tahun Alokasi dana Promosi dan Iklan
Sumber : Biro Pusat Statistik tahun 1981-2003 Gambar 8. Alokasi dana untuk biaya promosi dan iklan Pada gambar 8 menunjukkan rata-rata alokasi dana yang digunakan untuk biaya promosi dan iklan sangat kecil, yaitu sebesar 1,394 persen (tahun 1981) dari total biaya produksi. Persentase alokasi dana untuk biaya promosi dan iklan sangatlah berfluktuasi, alokasi dana terbesar terjadi pada tahun 1982 yaitu sebesar 2,08 persen. Tingkat diferensiasi produk dapat dilihat dari besarnya anggaran untuk promosi. Alokasi dana promosi dan iklan dalam enam tahun terakhir (1998-2003) terus mengalami penurunan dari 1,98 persen menjadi 1,24 persen dari total biaya produksi. Kecilnya alokasi biaya promosi dan iklan ini karena permintaan pasar lebih besar dibandingkan pasokan sehingga promosi dan iklan kurang mendapat perhatian. Proses perdagangan yang terjadi adalah government to government dan bussiness to bussiness, sehingga kegiatan promosi dan iklan tidak terlalu penting untuk dilakukan. Promosi yang dilakukan lebih mengutamakan pada lembaga perdagangan seperti KADIN (Kamar Dagang dan Industri), Departemen Perdagangan serta perwakilan kedutaan atau konsulat dinegara tujuan ekspor.
4. Harga i.
Harga komoditas udang Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kompetisi ekspor adalah harga komoditas. Harga suatu komoditas juga dipengaruhi oleh harga komoditas lain yang terkait, baik sebagai komoditas substitusi maupun komplementernya. Komoditas udang memiliki keterkaitan dengan bahan baku yaitu pakan udang dan kepiting sebagai produk terkait substitusinya. Pakan udang selama ini masih diimpor dari luar negeri. Barang yang diimpor dari luar negeri sangat rentan terhadap fluktuasi perubahan nilai tukar rupiah. Apabila rupiah mengalami devaluasi, maka biaya produksi yang harus dikeluarkan menjadi lebih tinggi akibat pakan udang dan tepung udang mengalami kenaikan harga. Harga rata-rata udang cukup berfluktuasi mulai tahun 1981 hingga tahun 2003, tetapi tidak menunjukkan kecenderungan peningkatan harga. Harga tertinggi yang pernah terjadi adalah sebesar 11,19 US$/kg pada tahun 1995, dan rata-rata harga udang pada periode 1981-2003 adalah sebesar 8,34 US$/kg. Sementara harga pakan udang lebih menunjukkan kecenderungan menurun. Penurunan harga pakan udang disebabkan oleh efisiensi biaya produksi dari industri pakan udang. Dengan teknologi yang makin maju, industri pakan udang dapat mencapai produktivitas tinggi dan unit biaya bisa ditekan lebih rendah. Pada tahun 1981 harga rata-rata pakan udang impor sebesar 4,00 US$/kg. Dengan harga pakan yang tinggi, produksi udang nasional menjadi terhambat dan jumlah produksinya lebih kecil dibandingkan negara produsen yang selain memproduksi udang juga memiliki industri pakan udang. Periode 1982-2003 menunjukkan kecendrungan harga pakan udang impor yang menurun, sehingga produksi udang nasional dapat ditingkatkan. Harga rata-rata pakan udang periode 1982-2003 adalah sebesar 0,96 US$/kg. Pada gambar 9 ddisajikan fluktusi harga udang dan harga pakan udang.
Harga Komoditas Udang dan Produk Terkaitnya 12.0
(US $/Kg)
10.0 8.0 6.0 4.0 2.0
19 81 19 83 19 85 19 87 19 89 19 91 19 93 19 95 19 97 19 99 20 01 20 03
0.0
Tahun Harga Udang
Harga Pakan Udang
Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 1981-2003 Gambar 9. Perkembangan harga udang dan pakan udang Sebagai bahan baku untuk industri makanan, udang memiliki hubungan komplemen dengan tuna. Produk makanan tersebut pada umumnya merupakan produk olahan yang diproses lebih lanjut seperti fillet, baso ikan, dan makanan dalam kaleng. Pada gambar 10 berikut
disajikan perkembangan harga udang dan tuna.
Perkembangan Harga Rata-rata Udang dan Tuna
(US $/Kg)
12.0 9.0 6.0 3.0
19 81 19 83 19 85 19 87 19 89 19 91 19 93 19 95 19 97 19 99 20 01 20 03
0.0
Tahun
Harga Udang
Harga Tuna
Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 1981-2003 Gambar 10. Perkembangan harga rata-rata udang dan tuna
Harga komoditas tuna Harga suatu produk memiliki keterkaitan dengan harga produk komplemen dan substitusinya. Harga produk komoditas tuna memiliki hubungan substitusi dengan harga produk ikan dalam kaleng. Negara tujuan ekspor utama seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa masih melakukan pembatasan kuota impor produk perikanan asal Indonesia. Pada gambar 11 dapat dilihat grafik perkembangan harga tuna dan produk substitusinya yaitu ikan dalam kaleng. Produk agroindustri perikanan yang diberi kuota yaitu tuna segar/dingin, tuna beku, udang segar/dingin, dan udang beku. Pemberian kuota ini bertujuan untuk melindungi industri pengolahan produk perikanan yang ada dinegaranya. Amerika Serikat dan Jepang membeli tuna asal Indonesia untuk diproses kembali menjadi produk yang bernilai jual lebih tinggi seperti smoked tuna (diasap), salted and dried tuna (dikeringkan dengan tambahan garam), tuna fresh meat canned (daging dalam kaleng), fillet tuna, dan tuna siap saji dalam
kaleng.
20 03
20 01
19 99
19 97
19 95
19 93
19 91
19 89
19 87
19 85
5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 19 83
(US $/Kg)
Harga Produk Terkait Untuk Komoditas Tuna
19 81
ii.
Tahun
Produk Olahan Dari Ikan
Ikan Dalam Kaleng (Selain Tuna)
Sumber : Fishstat, database FAO tahun 1981-2003 Gambar 11. Harga produk terkait untuk komoditas tuna
5. Pendapatan Perkapita Pendapatan perkapita Indonesia Pendapatan perkapita suatu negara dapat menunjukkan tingkat konsumsi
negara
tersebut.
Pendapatan
perkapita
Indonesia
menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat dari tahun 1981 hingga 1996 (Gambar 12). Pendapatan perkapita Indonesia kemudian mengalami penurunan yang drastis dari 190,96 pada tahun 1996 menjadi 75,34 pada tahun 1998. Penurunan ini terjadi karena krisis ekonomi yang melanda Indonesia, tetapi setelah tahun 1998 seiring dengan perbaikan kondisi perekonomian Indonesia, pendapatan perkapita Indonesia juga menunjukkan peningkatan dan mencapai angka 113,50 pada tahun 2003.
Perkembangan Indeks Pendapatan Perkapita Indonesia 240 Nilai Indeks
200 160 120 80 40 0 19 81 19 83 19 85 19 87 19 89 19 91 19 93 19 95 19 97 19 99 20 01 20 03
i.
Tahun Indeks Pendapatan Perkapita
Sumber : United Nations Information Center (UNIC) tahun 19812003, www.unstats.un.org Gambar 12. Indeks pendapatan perkapita Indonesia
Pendapatan perkapita negara pengimpor produk agroindustri perikanan Indonesia Pendapatan perkapita negara-negara pengimpor utama produk agroindustri perikanan Indonesia juga mengalami peningkatan mulai tahun 1981 hingga tahun 2003 (Gambar 13), tetapi Jepang juga mengalami penurunan pendapatan perkapita seperti Indonesia mulai tahun 1996 dan meningkat kembali setelah tahun 1998, kondisi ini terjadi juga karena krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia.
Perkembangan Indeks Pendapatan Perkapita Negara Importir 480 440 400 360 320 280 240 200 160 120 80 40 0
19 81 19 83 19 85 19 87 19 89 19 91 19 93 19 95 19 97 19 99 20 01 20 03
Nilai Indeks
ii.
Tahun Indeks USA
Indeks Japan
Indeks UK
Sumber : United Nations Information Center (UNIC) tahun 19812003, www.unstats.un.org Gambar 13. Indeks pendapatan perkapita negara-negara pengimpor utama produk agroindustri perikanan Indonesia
6. Tingkat Liberalisasi Perdagangan Tingkat liberalisasi perdagangan agroindustri perikanan yang ditunjukkan oleh nilai NPC udang menunjukkan bahwa Indonesia masih memberlakukan tarif pajak ekspor produk dan membatasi kuota impor dari luar negeri untuk melindungi produsen lokal. Pada tahun 2005 dimana AFTA (ASEAN Free Trade Association) telah diberlakukan, maka liberalisasi perdagangan antara negara-negara dikawasan ASEAN telah sepakat untuk menurunkan tarif impor sehingga produk dari negara ASEAN dapat memasuki pasar di negara lain dalam satu kawasan. Hal ini mengharuskan produsen dalam negeri meningkatkan produktivitasnya dan mencapai efisisensi yang tinggi untuk dapat bersaing dipasar produk agroindustri perikanan. i.
Tingkat liberalisasi perdagangan komoditas udang Tingkat liberalisasi perdagangan suatu negara dapat dilihat dari nilai NPC (Nominal Protective Coefficient) negara tersebut. Untuk menghitung nilai NPC ini digunakan harga rata-rata dunia komoditas udang dan harga rata-rata komoditas udang didalam negeri. Nilai NPC ini mengalami fluktuasi pada periode 1981-2003 yang cenderung berada dibawah nilai 1. Hal ini menunjukkan bahwa produksi udang dalam negeri telah mencapai tingkat efisiensi yang cukup baik dan adanya intervensi pemerintah dalam menjaga ketersediaan komoditas udang untuk konsumsi domestik. Gambar 14 menunjukkan nilai NPC untuk udang Indonesia berfluktuasi setiap tahunnya. Rata-rata nilai NPC adalah sebesar 0,75. Nilai NPC tertinggi udang adalah sebesar 0,94 pada tahun 1998. NPC terendah terjadi pada tahun 1986 yaitu sebesar 0,69. Rata-rata nilai indeks NPC untuk komoditas udang adalah sebesar 0,74.
1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
19 81 19 83 19 85 19 87 19 89 19 91 19 93 19 95 19 97 19 99 20 01 20 03
Nilai Indeks
Perkembangan Tingkat Proteksi (NPC)
Tahun Indeks NPC Udang
Indeks NPC Tuna
Sumber : Diolah dari database fishstat FAO dan Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 1981-2003 Gambar 14. Nilai indeks NPC produk komoditas udang dan tuna
ii.
Tingkat liberalisasi perdagangan komoditas tuna Komoditas tuna pada periode 1981-2003 turut pula mengalami fluktuasi dengan nilai tertinggi yaitu sebesar 1,405 pada tahun 1988. Nilai terkecil terjadi pada tahun 1995 yaitu sebesar 1,016. Nilai ratarata indeks NPC pada periode 1981-2003 adalah sebesar 1,170. Nilai indeks NPC yang mendekati 1 menunjukkan bahwa telah terjadi intervensi pemerintah dalam perdagangan komoditas tuna. Agroindustri perikanan dalam negeri cenderung lebih memilih untuk mengekspor produknya karena harga rata-rata dunia lebih tinggi dibandingkan
harga
rata-rata
dalam
negeri.
Untuk
menjaga
ketersediaan pasokan komoditas tuna untuk konsumsi dalam negeri, pemerintah memberlakukan pajak ekspor yang meningkat apabila ketersediaan produk tuna menurun.
Sedangkan untuk melindungi produsen lokal apabila harga rata-rata dunia lebih rendah, maka pemerintah menurunkan pajak ekspor dan membatasi impor produk agroindustri perikanan dari luar negeri. Negara tujuan ekspor utama Indonesia untuk tuna adalah Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Harga rata-rata diketiga negara tersebut lebih tinggi dibandingkan harga rata-rata dalam negeri sehingga membuat nelayan lebih memilih untuk mengekspor tuna dalam keadaan segar/dingin. Apabila dibiarkan terus maka agroindustri perikanan tuna dalam negeri akan memperoleh kesulitan dalam memperoleh bahan baku. Oleh karena itu, pemerintah berperan untuk menjaga stok dalam negeri dengan meningkatkan pajak ekspor bagi produk tuna segar/dingin. Selain menaikkan pajak ekspor tuna segar/dingin, pemerintah diharapkan dapat membantu para produsen tuna dalam negeri dalam hal kemudahan melakukan perdagangan dengan konsumen luar negeri bagi produk olahan perikanan berbahan dasar tuna.
7. Situasi Makroekonomi Guncangan
eksternal
pada
pertengahan
1980an,
termasuk
penurunan pada harga minyak, peningkatan tingkat suku bunga internasional dan depresiasi dolar AS menganggu perekonomian Indonesia. Situasi ini mengurangi secara tajam pendapatan ekspor dan fiskal, menyebabkan ketidakseimbangan keuangan dalam negeri dan menaikkan biaya pinjaman luar negeri. Pemerintah menanggapi kejadian ini dengan melancarkan dua program penyesuaian, yaitu; (i) pemulihan stabilitas ekonomi dengan pengekangan moneter dan fiskal, didukung dengan peningkatan tingkat kompetisi ekspor eksternal melalui kebijakan nilai tukar yang responsif (mengambang terkendali), dan (ii) mendorong aktivitas difersifikasi produksi melalui reformasi struktural untuk mengurangi ketergantungan pada minyak (World Bank, 1993 dalam Erwidodo, 1999).
Hingga tahun 1996, strategi pembangunan yang diterapkan cukup sukses dalam mempertahankan pertumbuhan dan mentransformasi struktur produksi. Fokus yang konsisten untuk mempertahankan stabilitas ekonomi yang ditandai oleh keinginan untuk mengambil keputusan-keputusan sulit pada keadaan mudah dan sulit menjadi fondasi yang kokoh bagi pertumbuhan
yang
pesat
dan
berkelanjutan.
Pembangunan
yang
didasarkan pada penerimaan dari minyak tidak dapat mempertahankan stabilitas. Meskipun demikian saat krisis ekonomi terjadi sejak 1997 regulasi dari lembaga keuangan menjadi perhatian utama. Hal ini karena rentannya prinsip dasar yang mendukung kebijakan fiskal dan keuangan. Puncak krisis yang juga menimpa sebagian besar negara asia terjadi pada bulan Mei 1998 hal tersebut menyebabkan penundaan penerapan kebijakan stabilisasi dan reformasi di Indonesia juga akibat ketidakstabilan politik yang mengakibatkan pergantian pemerintahan pada akhir 1998. Berkaitan dengan ketidakstabilan politik tersebut Indonesia mengalami depresiasi mata uang yang terbesar. Stabilisasi keuangan dan pemulihan ekonomi bergantung pada kebijakan yang berkaitan dengan kebijakan fiskal, kebijakan moneter, keuangan dan restrukturisasi sektor swasta dan reformasi struktural lainnya. Pemerintah Indonesia memulai dengan upaya penstabilan keuangan melalui rehabilitasi sistem keuangan, pengembalian kepercayaan untuk mencegah berpindahnya modal keluar negeri, restrukturisasi sektor swasta dan perbaikan sistem distribusi dan mekanisme pasar. Kebijakan ekonomi Indonesia sejak 1974 dapat dilihat pada tabel 6 berikut.
Tabel 2. Perubahan kondisi eksternal dan arah kebijakan Indonesia, 1974-2004 Periode 1974-1981 (oil boom)
Perubahan pada lingkungan eskternal
Kebijakan makroekonomi Menjaga stabilitas makroekonomi, meski terjadi inflasi akibat pendapatan dari minyak yang meningkat
Arah kebijakan Kebijakan perdagangan dan industri Tumbuhnya Orientasi kedalam (peningkatan substitusi impor)
Peningkatan tajam pada harga minyak (1973); “booming komoditas non migas” (1975-1979) kenaikan harga minyak kedua Penurunan harga minyak dan penurunan harga komoditas primer
Stabilisasi makroekonomi, kebijakan fiskal, devaluasi dan kebijakan uang ketat
Orientasi ke dalam; proliferasi hambatan non tarif
Penurunan tajam pada harga minyak dan berlanjutnya penurunan harga komoditas primer
Berlanjutnya stabilisasi makroekonomi; devaluasi, kebijakan moneter ketat anggaran ketat
Perubahan mejadi orientasi keluar
1988-1992 pemulihan ekonomi dengan dorongan non-migas 1993-1996 Lanjutan deregulasi dalam masa transisi
Harga minyak yang stabil, penurunan lebih lanjut pada harga komoditas primer
Pemeliharaan stabilitas makro
Pergerakan lanjutan ke arah ekonomi orientasi ke luar
Harga minyak yang stabil, peningkatan harga beberapa komoditas, meningkatnya kompetisi dari negara berkembang lain
Pemeliharaan stabilitas makro. Peningkatan fleksibilitas nilai tukar dan instrumen lain dalam kebijakan moneter
1997-1998
Depresiasi tinggi, krisi ekonomi, inflasi tinggi, masalah hutang, dan kebangkrutan banyak perusahaan
Mempertahankan stabilitas makro; pengaturan kebijakan reformasi ekonomi untuk mendukung kebijakan fiskal
1999-2001
Pemulihan dari krisis, peningkatan ekspor pertanian
Pengendalian nilai tukar, mempertahankan kebijakan fiskal & moneter; kebijakan uang ketat, meningkatkan suku bunga
2002-2004
Pertumbuhan yang positif setelah krisis, peningkatan ekspor pertanian
Pengendalian nilai tukar, menjaga kebijakan fiskal, moneter dan suku bunga
Berlanjutnya fokus pada ekspor dengan penyimpangan tertentu berupa substitusi ekspor (petrokimia) dan kandungan lokal (otomotif) Penenangan; mendorong ekspor untuk produk berbahan baku lokal. Evaluasi perusahaan yang pailit Orientasi luar; promosi ekspor; restrukturisasi sektor swasta; perbaikan sistem distribusi; liberalisasi perdagangan untuk produk tertentu Promosi ekspor, restrukturisasi sektor riil (terutama UMK), liberalisasi perdagangan
1982-85 guncangan eksternal pertama 1986-88 guncangan eksternal kedua
Regulasipemerintah Peningkatan investasi publik dan perusahaan milik pemerintah
Berlanjutnya ketergantungan pada BUMN dan regulasi ekonomi pasar Deregulasi dari cukai dan impor, pelonggaran peraturan investasi dan pengurangan ketergantungan pada BUMN dan investasi publik Lanjutan Deregulasi pada investasi, keuangan dan sektor lain. Langkah awal menuju deregulasi BUMN
Lanjutan deregulasi, Perbaikan pada pengawasan sektor finansial, deregulasi FDI (Foreign Domestic Investment) Peningkatan peraturan domestik, peningkatan deregulasi keuangan (bank), dan mendorong investasi asing
Mendorong reinvestasi deregulasi dari sektorsektor lain pengendalain ketat pada BUMN dan pengurangan hambatan dagang dan non dagang
Mendorong reinvestasi deregulasi dari sekorsektor lain pengendalian ketat pada BUMN dan pengurangan hambatan dagang dan non dagang
* Sumber: Stephenson dan Pangestu untuk tahun 1974-1996, Erwidodo untuk tahun 1997-1998, Munandar untuk tahun 1999-2004 dalam Munandar (2004).
Berkaitan dengan pemulihan sistem perdagangan, setidaknya ada tiga indikator penting dari situasi makroekonomi suatu negara berkaitan dengan kegiatan produksi komoditas, yaitu inflasi, tingkat suku bunga dan nilai tukar. Ada kecenderungan bahwa nilai suku bunga yang tinggi akan menyebabkan inflasi yang lebih tinggi dan sebaliknya. Pada gambar 15 berikut disajikan perkembangan kondisi makroekonomi Indonesia.
70.0
12000.00
60.0
10000.00
50.0
8000.00
40.0 6000.00 30.0 4000.00
20.0
Nilai tukar (Rp/US $)
Persentase (%)
Kondisi Makroekonomi
2000.00
10.0 0.0
0.00
81 83 85 87 89 91 93 95 97 99 01 03 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 20 20
Tahun Tingkat Inflasi (%)
Tingkat Sukubunga (%)
Indeks Nilai Tukar
Sumber : Biro Pusat statistik tahun 1981-2003 Gambar 15. Tingkat suku bunga, inflasi, dan nilai tukar Inflasi Inflasi bagi sebagian besar negara di dunia dianggap sebagai alat untuk mengukur permasalahan perekonomian yang berkaitan dengan kenaikan harga. Indonesia memiliki kebijakan untuk menjaga inflasi berada dibawah dua digit atau kurang dari sepuluh persen. Apabila inflasi meningkat hingga diatas 10 %, tindakan pengendalian akan dilakukan oleh Bank Indonesia dan/atau menteri keuangan. Sejak 1980 inflasi di Indonesia berfluktuasi setiap tahunnya dengan variasi nilai berada dibawah
dua digit, kecuali pada tahun 1980,1983,1997 dan 1998, dan tahun dengan nilai inflasi tertinggi terjadi pada tahun terjadinya krisis ekonomi. Nilai inflasi yang tinggi pada tahun 1980 adalah imbas kebijakan devaluasi rupiah pemerintah pada tahun 1978. Inflasi pada tahun 1983 disebabkan karena terjadinya peningkatan permintaan minyak (oil boom) yang mengakibatkan kenaikan harga minyak di pasaran internasional pada tahun 1981. Kondisi ini secara otomatis meningkatkan pendapatan pemerintah hingga dua kali lipatnya yang mendorong terjadinya inflasi tinggi (Hicks, 1996). Tahun berikutnya pemerintah cenderung untuk mempertahankan sistem nilai tukar yang fleksibel. Untuk menjaga tingkat inflasi dibawah dua digit, pemerintah menerapkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan persediaan uang. Pada pertengahan 1998, perekonomian Indonesia dilanda krisis ekonomi yang berat dan menyebabkan tingkat inflasi mencapai 84 %. Perekonomian Indonesia kemudian mengalami stagflasi dan krisis nilai tukar mempengaruhi semua aktivitas perekonomian. Ketergantungan pada bahan baku impor meningkatkan biaya produksi, meningkatkan harga dan dan menyulitkan situasi permintaan. Sebagai konsekuensi dari kondisi yang terjadi, pertumbuhan ekonomi yang terealisasi adalah sebesar 5,1 %, lebih rendah dari laju pertumbuhan rata-rata lima tahun sebelumnya sebesar 7,8 %. Tingkat inflasi yang tinggi disebabkan oleh perkembangan situasi domestik dan eksternal. Inflasi domestik terjadi karena defisit anggaran negara sementara inflasi eksternal oleh kenaikan harga barang impor. Kenaikan harga barang impor disebabkan oleh depresiasi rupiah terhadap dollar. Hal ini meningkatkan biaya produksi dan menyebabkan terjadinya cost-push inflation. Pada periode selanjutnya keadaan perekonomian
menunjukkan kondisi yang kurang menguntungkan karena tingkat inflasi cenderung naik diatas 2 digit. Pada tahun 2001 tingkat inflasi yang terjadi sebesar 12,55 %, dan pada tahun 2002 sebesar 10,03 %. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada tahun 2003 dengan perbaikan yang dilakukan
dalam berbagai bidang membuat tingkat inflasi berada pada level 5,06 %. (Munandar, 2004).
Tingkat Suku Bunga Sejak 1981, tingkat suku bunga berfluktuasi dari 8,6% (terendah) pada tahun 1983 hingga 62,8% (tertinggi) pada tahun 1998. Secara umum, kecuali pada 1993 dan 1994, rentang tingkat suku bunga cenderung stabil antara 10% dan 20%. Meskipun demikian hal ini berubah secara drastis pada 1997 saat krisis yang tak terduga melanda perekonomian Indonesia. Tingkat suku bunga naik sangat cepat dan mencapai puncaknya pada 62,8% pada 1998, tapi pada akhirnya turun hingga 37,8%. Fluktuasi ini mempengaruhi kemampuan industri manufaktur untuk mengekspor produk mereka karena hal tersebut mempengaruhi biaya produksi komoditas mereka. Selama krisis yang terjadi, Bank Indonesia menerapkan kebijakan untuk meningkatkan tingkat suku bunga untuk mempertahankan likuiditas persediaan uang akibat dari penarikan uang besar-besaran yang terjadi saat itu. Hal ini disusul dengan kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh bank-bank swasta. Tingkat suku bunga selama lima tahun terakhir dalam kurun waktu 1999-2003 menunjukkan kecenderungan yang menurun. Dengan semakin menurunnya tingkat suku bunga maka investor cenderung lebih memilih untuk melakukan investasi dibandingkan dengan menyimpan uang di bank. Disamping itu para pelaku bisnis atau industri dapat menambah permodalan mereka untuk mengembangkan usahanya dengan mengajukan kredit kepada bank.
Nilai Tukar Nilai tukar di Indonesia secara umum berfluktuasi setiap tahunnya tetapi nilai tukar Indonesia mengalami kondisi yang parah pada penghujung tahun 1997. Pada 1998 nilai tukar rupiah mencapai rata-rata
sebesar 10.000 rupiah per US$. Nilai tukar pasar sebenarnya pada juni 1998 mencapai Rp 16.000.
Selama dua dekade terakhir, beberapa kebijaksanaan telah diterapkan untuk meningkatkan kondisi perekonomian Indonesia. Yang pertama adalah devaluasi rupiah yang terjadi pada 1986. Kebijakan ini dilakukan untuk menurunkan nilai dari komoditas ekspor, karena saaat tersebut
Indonesia
mengupayakan
komoditas
ekspor
non-migas.
Selanjutnya pemerintah menerapkan sistem nilai tukar fleksibel dengan intervensi. Ketika krisis terjadi pada 1997 akhir, pemerintah tidak memiliki cukup cadangan dollar untuk menstabilisasikan nilai tukar rupiah. Pada saat yang sama banyak pelaku bisnis membutuhkan banyak dollar untuk memenuhi kewajiban keuangan mereka. Semua hal ini memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kemampuan ekspor dari komoditas udang dan tuna.
Tingkat Upah Tingkat upah di Indonesia bervariasi menurut daerah dan jenis industri. Daerah kota besar dan sekitarnya umumnya memiliki tingkat upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain yang lebih terpencil. Sebagai tambahan, jenis industri juga memiliki peran pada perbedaan tingkat upah tenaga kerja. Industri multinasional dan berskala besar memberikan upah yang lebih tinggi pada karyawannya dibanding dengan industri dengan skala menengah dan kecil. Selain itu upah untuk produksi produk sekunder atau olahan akan memiliki tingkat upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan upah untuk produksi produk primer. Selain itu tingkat keahlian juga menentukan besar upah yang akan diterima. Gambar 16 menyajikan perkembangan tingkat upah rata-rata bagi pekerja di sektor makanan selama periode 1981-1997 cenderung stabil. Pada periode tersebut tingkat upah disektor makanan mengalami
peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata kenaikkan sebesar 0,81%. Memasuki tahun 1998 dimana krisis ekonomi melanda Indonesia, tingkat upah pekerja yang ada dirasakan sudah tidak mencukupi kebutuhan mereka. Tingkat upah yang terjadi untuk sektor makanan pada tahun 1998 adalah sebesar Rp. 221.267. Tingkat upah tersebut mengalami peningkatan hingga tahun 2003 menjadi sebesar Rp 498.833. Rata-rata kenaikan per tahun sebesar 18,78%.
600,000 500,000 400,000 300,000 200,000 100,000 0 19 81 19 83 19 85 19 87 19 89 19 91 19 93 19 95 19 97 19 99 20 01 20 03
(Rp/bulan)
Perkembangan Tingkat Upah Rata-rata Pekerja Sektor Makanan
Tahun Tingkat Upah Pekerja
Sumber : Biro Pusat Statistik tahun 1981-2003 Gambar 16.Tingkat upah rata-rata pekerja di sektor makanan
8. Tingkat Kompetisi Ekspor Tingkat kompetisi ekspor agroindustri komoditas udang Indonesia yang diukur dengan menggunakan indeks RCA cenderung mengalami kenaikan mulai tahun 1981 hingga tahun 1990. Pada tahun 1981 nilai indeks tingkat kompetisi ekspor agroindustri komoditas udang Indonesia sebesar 6,84 dan mencapai puncaknya pada tahun 1990 sebesar 14,69. Pada periode setelah tahun 1990 tingkat kompetisi ekspor agroindustri komoditas udang Indonesia mengalami penurunan hingga tahun 1993. Kemudian pada periode 1994-2003, perkembangan tingkat
kompetisi ekspor cenderung stabil. Pada tahun 1994 angka indeks RCA sebesar 11,87 dan tahun 2003 indeks RCA mencapai 11,76. Rata-rata nilai indeks RCA selama periode 1981-2003 adalah sebesar 10,93. Perkembangan Tingkat Kompetisi Ekspor 16
NIlai Indeks
14 12 10 8 6 4 2 0 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 Tahun Indeks RCA Udang
Indeks RCA Tuna
Sumber : Diolah dari database fishstat FAO, WTO, BPS dan Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 1981-2003 Gambar 17. Tingkat ekspor agroindustri komoditas udang dan tuna Tingkat kompetisi ekspor agroindustri komoditas tuna Indonesia yang diukur dengan menggunakan RCA cenderung mengalami kenaikan mulai tahun 1981 hingga tahun 1991. Pada tahun 1981 nilai indeks tingkat kompetisi ekspor agroindustri komoditas tuna Indonesia sebesar 1,105 dan mencapai puncaknya pada tahun 1991 sebesar 7,491. Pada periode setelah tahun 1991 tingkat kompetisi ekspor agroindustri komoditas tuna Indonesia mengalami penurunan hingga tahun 1997. Kemudian pada periode 1998-2003, perkembangan tingkat kompetisi ekspor cenderung stabil. Pada tahun 1998 angka indeks RCA sebesar 4,783 dan tahun 2003 indeks RCA mencapai 4,966. Rata-rata nilai indeks RCA selama periode tersebut adalah sebesar 4,051. Pada gambar 17 disajikan perkembangan RCA mulai tahun 1981-2003.
B. PEMODELAN EKONOMETRIK
Proses pemodelan ekonometrik dimulai dengan identifikasi faktorfaktor penentu daya saing ekspor beserta variabel-variabel penjelas yang terdapat didalamnya. Hasil identifikasi faktor dan variabel bebas yang didapatkan adalah faktor produksi memiliki variabel penjelas produktivitas (dalam penelitian ini diukur dalam produktivitas modal) dan harga bahan baku. Faktor kebijakan pemerintah memiliki variabel penjelas tingkat sukubunga, tingkat upah, dan derajat liberalisasi perdagangan. Faktor teknologi dan inovasi mempunyai variabel penjelas investasi dalam riset dan pengembangan. Faktor perilaku konsumen mempunyai variabel penjelas diferensiasi produk, harga produk terkait, pendapatan perkapita indonesia dan pendapatan perkapita negara importir. Untuk variabel makroekonomi mempunyai variabel penjelas tingkat inflasi dan indeks nilai tukar. Kemudian dilakukan pemodelan ekonometrik terhadap komoditas udang yang secara bersamaan dilakukan pula verifikasi uji statistik untuk menghasilkan best fit model. Model tersebut memiliki enam variabel penjelas yaitu tingkat sukubunga, tingkat upah, pendapatan perkapita indonesia, pendapatan perkapita negara importir, diferensiasi produk dan harga bahan baku. Keenam variabel penjelas tersebut siginifikan terhadap model dan memenuhi asumsi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) berdasarkan UjiT, Uji-F, Nilai R2, statistik durbin-watson dan nilai VIF (Variance Inflation Factor). Hasil selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 3 pada halaman 56.
Untuk komoditas tuna, best fit model yang didapat memiliki tujuh variabel penjelas yaitu tingkat sukubunga, tingkat upah, pendapatan perkapita Indonesia, pendapatan perkapita negara importir, Harga produk terkait, produktivitas modal dan diferensiasi produk. Dari ketujuh variabel penjelas yang terdapat dalam model, hanya ada lima variabel yang memenuhi asumsi BLUE. Variabel-variabel tersebut adalah tingkat sukubunga, tingkat upah, pendapatan perkapita Indonesia, pendapatan perkapita negara importir dan diferensiasi produk. Hasil pemodelan selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 4 pada halaman 60.
1. Pemodelan ekonometrik komoditas udang Pada bagian ini dalam tabel 3 disajikan hasil empiris dari model tingkat kompetisi ekspor agroindustri komoditas udang Indonesia. Faktorfaktor dalam model memberikan penjelasan yang rinci dan tepat, sesuai dengan interpretasi pendugaan hasil. Implikasi ekonomi akan dibahas berdasarkan hasil verifikasi uji statistik dalam hal ini adalah variabel yang signifikan terhadap model. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan menggunakan teknik pendugaan Ordinary Least Square (OLS), menunjukkan bahwa beberapa koefisien variabel penjelas secara statistik signifikan pada tingkat kepercayaan 10 persen, 5 persen, dan 1 persen. Sementara ada beberapa variabel lain yang tidak signifikan. Hasil dari regresi yang dilakukan terhadap data tingkat kompetisi ekspor dan variabel yang berpengaruh dengan metode Semi logaritma natural didapatkan hasil persamaan : LnRCA Udang = 1.97 - 0.0128 INT - 0.000002 TUP - 0.00507 PPD + 0.00817 PPI3 - 0.000060 HBB + 0.0924 DPR Tabel 3. Hasil regresi dari faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing ekspor komoditas udang Dependent : LnRCA Udang Variabel Koefisien Tingkat Probabilitas Konstanta 1.9699 0.000 TSB -0.012773 0.000** TUP -0.00000179 0.000** PPD -0.0050735 0.000** PPI 0.0081733 0.000** HBB -0.00006010 0.001** DPR 0.09238 0.084* R-Sq = 91.1 % R-Sq(adj) = 87.8 % Durbin-Watson statistic = 1.54 F = 27,3* *** = signifikan pada tingkat kepercayaan 99 % ** = signifikan pada tingkat kepercayaan 95 % * = signifikan pada tingkat kepercayaan 90 %
VIF 1.8 5.5 2.2 7.0 2.4 1.1
Dengan menggunakan model bentuk persamaan Semi-logaritma natural (RCA dalam bentuk Logaritma natural) dapat diketahui variabelvariabel penjelas yang mempengaruhi daya saing ekspor. Variabel penjelas tersebut antara lain, yaitu tingkat sukubunga (TSB), tingkat upah (TUP), indeks pendapatan perkapita negara produsen (PPD) Indonesia, indeks pendapatan negara konsumen (PPI) yang dalam model ini adalah Inggris, pemilihan negara ini berdasarkan inggris merupakan importir terbesar udang asal Indonesia di Uni Eropa, harga bahan baku (HBB) yaitu pakan udang, serta prosentase anggaran untuk promosi dan iklan (DPR). Koefisien regresi model tingkat kompetisi ekspor komoditas udang Indonesia untuk TSB, TUP, PPD, PPI3, HBB, dan DPR signifikan secara statistik. Variabel independen DPR (anggaran promosi) signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %. Sedangkan variabel independen TSB, TUP, PPD, PPI3 (United Kingdom), dan HBB (pakan udang) signifikan pada tingkat kepercayaan 99%. Nilai R2 untuk model tingkat kompetisi ekspor agroindustri komoditas udang Indonesia adalah 0,919. Nilai ini menunjukkan bahwa model tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat kompetisi ekspor dengan 91,9 % dari variasi pada variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Tidak ada masalah autokorelasi pada model yang didapatkan diatas dengan adanya nilai statistik Durbin-Watson sebesar 1,54. Menurut Tweeten (1989) rentang nilai statistik DurbinWatson yang memenuhi syarat untuk menunjukkan tidak adanya masalah autokorelasi adalah antara 1,25 - 2,75. Untuk mengetahui apakah terdapat masalah multikolinieritas dalam model dapat dilihat dari nilai VIF (Variance Inflation Factor). Menurut Wolldrige (2000) umumnya nilai batas atas nilai VIF yang digunakan adalah sebesar 10. Berdasarkan model yang didapat, semua variabel independen memilki nilai VIF dibawah 10 sehingga antara masing-masing variabel tersebut tidak terdapat hubungan linier (saling independensi satu sama lain).
Pengujian expected sign (harapan tanda koefisien) dimaksudkan agar model sesuai dengan logika sehingga validitas model dapat ditentukan. Variabel TSB memiliki tanda koefisien negatif(-), hal ini berarti dengan semakin tingginya tingkat sukubunga maka daya saing ekspor semakin menurun. Tingkat sukubunga yang tinggi tentunya tidak berdampak baik terhadap perkembangan industri nasional, sukubunga tinggi akan menambah beban bagi pengusaha dan meningkatkan biaya perusahaan.. Lebih lanjut sukubunga yang tinggi menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan apabila ingin melakukan ekspansi dan membutuhkan modal tambahan melalui kredit bank. Hal ini menyebabkan produktivitas menurun dan daya saing ekspor akan menurun pula. Sehubungan dengan hal tersebut, perkembangan investasi baru juga akan terhambat karena para investor akan lebih memilih untuk menyimpan uang di bank dengan sukubunga tinggi. Variabel TUP memiliki tanda koefisien yang negatif (-). Tingkat upah yang meningkat akan menambah unit cost dari agroindustri perikanan berbasis udang sehingga akan mempengaruhi harga jual. Harga yang tinggi tentunya tidak akan kompetitif dalam bersaing di pasar dunia sehingga daya saing komoditas udang menjadi turun. Permasalahan tingkat upah ini sangat menjadi dilema bagi perkembangan agroindustri di Indonesia. Kaum buruh meminta agar tingkat upah selalu meningkat setiap tahun atau paling tidak memenuhi tingkat hidup kesejahteraan minimal. Akan tetapi dari sisi pengusaha, tingkat upah merupakan salah satu unsur dari biaya produksi sehingga apabila terlampau tinggi maka akan memberatkan industri. Pemerintah telah berupaya untuk mengakomodir usulan-usulan baik dari buruh maupun pengusaha dengan mengeluarkan peraturan seperti Undang-undang Ketenagakerjaan tahun 2003 dan peraturan-peraturan daerah yang mengatur tingkat upah minimum. Tingkat upah tersebut dapat diketahui dari besarnya Upah Minimum Regional (UMR) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Variabel PPD dan HBB memiliki tanda koefisien yang negatif (-) pula, hal ini dapat diartikan sebagai berikut : - Peningkatan
pendapatan per kapita domestik (Indonesia) akan
menyebabkan daya beli masyarakat atau konsumen semakin meningkat sehingga penduduk Indonesia dapat membeli komoditas udang kualitas ekspor. Hasilnya adalah tercipta pasar dalam negeri yang cukup menjanjikan sehingga produsen lokal lebih memilih untuk memasok kebutuhan dalam negeri dibandingkan untuk ekspor. berkurangnya volume ekspor dapat menurunkan daya saing produk udang di pasar dunia. - Komoditas udang yang diproduksi Indonesia masih mengandalkan pakan impor dan benih dari luar negeri. Kenaikan nilai pakan akan menyebabkan peningkatan production cost dari produsen dalam negeri sehingga harga jual yang mereka tawarkan akan meningkat. Peningkatan harga ini akan menurunkan daya saing produk dipasar internasional. Variabel independen PPI3 yaitu United Kingdom dan DPR (anggaran
untuk promosi)
memiliki koefisien yang positif (+).
Peningkatan pendapatan perkapita negara konsumen akan menaikkan daya saing ekspor. Amerika Serikat dan Jepang merupakan negara importir udang asal Indonesia yang terbesar, akan tetapi pengaruh dari pendapatan perkapita kedua negara tersebut tidak signifikan terhadap daya saing ekspor. Hal ini disebabkan karena tingkat konsumsi Amerika Serikat dan Jepang jauh lebih besar sehingga pasokan udang dari Indonesia kurang berpengaruh terhadap jumlah konsumsi. Untuk variabel DPR memiliki pengaruh yang positif, nilai anggaran promosi yang bertambah maka produk-produk udang asal Indonesia semakin dikenal. Jenis udang asal Indonesia yang menjadi primadona adalah Giant tiger prawn dan Banana shrimp, dengan adanya promosi dapat memperkenalkan jenis udang lain seperti Metapenaeus shrimp nei yang memiliki mutu tinggi. Dengan semakin bertambahnya
jumlah udang asal Indonesia yang diimpor oleh negara konsumen, maka daya saing ekspor udang akan mengalami peningkatan.
2. Pemodelan ekonometrik komoditas tuna Untuk model tingkat kompetisi ekspor agroindustri komoditas tuna Indonesia didapatkan bahwa tiga variabel independen memiliki pengaruh signifikan pada variabel dependen (RCA) pada tingkat kepercayaan 99 %. Satu variabel independen memiliki pengaruh signifikan pada tingkat kepercayaan 95 % dan satu variabel independen memiliki pengaruh signifikan pada variabel dependen (RCA) pada tingkat kepercayaan 90 %. Sementara terdapat dua buah variabel lain yang tidak signifikan. Pada tabel 4 berikut disajikan hasil empiris dari model daya saing ekspor komoditas tuna. Hasil dari regresi yang dilakukan terhadap data tingkat kompetisi ekspor dan variabel yang berpengaruh dengan metode regresi linear berganda Double logaritma natural didapatkan hasil persamaan :
LnRCA Tuna = - 1.65 - 0.457 LnTSB - 0.540 LnTUP - 0.171 LnHPT2 - 0.385 LnPPD + 2.67 LnPPI3 + 0.226 LnDPR + 0.330 LnCPR
Tabel 4. Hasil regresi dari faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing ekspor komoditas tuna Dependent : LnRCA Tuna Variabel Koefisien Tingkat Probabilitas Konstanta -1.6514 0.093 LnTSB -0.45651 0.000*** LnTUP -0.5399 0.001*** LnHPT2 -0.17102 0.102 LnPPD -0.3850 0.017* LnPPI 2.6717 0.000*** LnDPR 0.2258 0.066** LnCPR 0.3304 0.187 R-Sq = 92.7 % R-Sq(adj) = 89.2 % Durbin-Watson statistic = 1.44 F = 27.08** *** = signifikan pada tingkat kepercayaan 99 % ** = signifikan pada tingkat kepercayaan 95 % * = signifikan pada tingkat kepercayaan 90 %
VIF 1.9 10.6 12.4 2.4 10.4 1.7 2.1
Koefisien regresi model tingkat kompetisi ekspor komoditas tuna Indonesia faktor sukubunga (LnTSB), tingkat upah (LnTUP) dan pendapatan perkapita negara konsumen (LnPPI3) yaitu inggris signifikan pada tingkat kepercayaan 99 %. Variabel prosentase anggaran untuk diferensiasi produk (LnDPR) signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %. Untuk variabel pendapatan perkapita negara produsen (PPD), signifikan pada tingkat kepercayaan 90 %. Sementara koefisien variabel yang lain, harga produk ikan olahan (LnHPT2) dan produktivitas modal (LnCPR) tidak signifikan. Untuk menduga kebenaran letak taksirannya (goodness of fit) dapat dilihat pada nilai R2. Berdasarkan regresi didapatkan R2 sebesar 92,7 %. Hal ini berarti bahwa variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabelvariabel penjelas yang terdapat dalam model sebesar 92,7 %. Hasil uji-F menunjukkan nilai nilai F-hitung sebesar 27,08 yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %. Uji-F tersebut menyatakan bahwa hubungan yang terjadi antara variabel dependen dan variabel independen bersifat nyata. Tingkat autokorelasi dapat dilihat dari hasil statistik DurbinWatson yang memiliki nilai 1,44. Hal ini menunjukkan bahwa model tingkat kompetisi ekspor komoditas tuna Indonesia tidak memiliki masalah autokorelasi. Masalah autokorelasi dalam suatu model ekonometrik timbul apabila nilai dari statistik Durbin-Watson berada dibawah 1,21 dan diatas 2,79. Pada interval 2,35 - 2,79 tidak dapat disimpulkan ada atau tidaknya autokorelasi (Makridakis et al., 1995). Gejala multikolinearitas teramati pada variabel sukubunga (LnTSB), tingkat upah (LnTUP), dan pendapatan perkapita negara konsumen (LnPPI3). Menurut Wolldrige (2000) umumnya nilai batas atas nilai VIF yang digunakan adalah sebesar 10 tetapi Chatterje (2000) mengatakan batas atas nilai VIF dapat sebesar 20 sehingga multikolinieritas yang terjadi masih dalam taraf yang dapat ditolerir.
Promosi dan pendapatan perkapita negara konsumen memiliki keterkaitan yang positif dengan tingkat kompetisi ekspor komoditas tuna Indonesia, sementara tingkat upah, sukubunga, pendapatan perkapita domestik (Indonesia) memiliki keterkaitan yang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan prosentase anggaran untuk diferensiasi produk dan pendapatan perkapita negara konsumen akan meningkatkan tingkat kompetisi ekspor, sementara peningkatan sukubunga, tingkat upah dan pendapatan perkapita domestik akan menurunkan tingkat kompetisi ekspor komoditas tuna Indonesia. Pengujian expected sign (harapan tanda koefisien) dimaksudkan agar model sesuai dengan logika sehingga validitas model dapat ditentukan. Variabel TSB memiliki tanda koefisien negatif(-), hal ini berarti dengan semakin tingginya tingkat sukubunga maka daya saing ekspor semakin menurun. Tingkat sukubunga tinggi akan menambah beban bagi pengusaha karena harus membayar bunga kredit permodalan yang lebih besar. Pembayaran bunga ini akan menambah unsur dari biaya produksi yang harus dikeluarkan, sehingga biaya total akan bertambah dan implikasinya adalah harga jual produk akan lebih mahal. Harga produk tersebut akan tidak kompetitif untuk menembus pasar luar negeri. Variabel TUP memiliki koefisien tanda yang negatif (-) pula, hal ini berarti peningkatan tingkat upah akan menurunkan tingkat daya saing ekspor. Tingkat upah merupakan bagian dari biaya produksi, apabila terlampau tinggi maka peroduktivitas industri akan terganggu. Gangguan tersebut dapat berupa kegagalan mencapai target produksi karena kurangnya sumber dana untuk membeli bahan baku akibat pembayaran upah. Bagi para pengusaha tingkat upah ini memang memberatkan tetapi apabila para pekerja mampu bekerja dengan cepat dan akurat sehingga produktivitas pekerja menjadi tinggi, maka peningkatan tingkat upah tidak terlalu menjadi masalah. Pemerintah juga telah berupaya untuk mencari solusi masalah tingkat upah tersebut dengan mengeluarkan sejumlah peraturan ketenagakerjaan, salah satunya adalah penetapan tingkat Upah Minimum Regional (UMR).
Peningkatan pendapatan per kapita domestik (Indonesia) akan menyebabkan daya beli masyarakat atau konsumen dalam negeri semakin meningkat sehingga penduduk Indonesia dapat membeli komoditas tuna kualitas ekspor. Hasilnya adalah tercipta pasar dalam negeri yang cukup menjanjikan sehingga produsen lokal lebih memilih untuk memasok kebutuhan dalam negeri dibandingkan untuk ekspor. Hal ini dapat dilihat pada kecenderungan nelayan-nelayan tradisional penangkap ikan tuna yang menjual hasil tangkapannya bukan kepada industri pengolahan seperti pengalengan ikan maupun industri cold storage tetapi kepada pedagang besar yang memasok kebutuhan tuna bagi kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar dan Medan. Dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut adalah industri pengolahan
perikanan
dalam
negeri
mengalami
kesulitan
dalam
memperoleh bahan baku sehingga terkadang harus mengimpor bahan baku tuna dari India dan China. Kekurangan bahan baku menyebabkan produksi tuna olahan dalam negeri mengalami penurunan sehingga tingkat daya saing ekspor di luar negeri akan menurun.
C. PERAMALAN DAYA SAING EKSPOR
Peramalan daya saing ekspor produk agroindustri perikanan Indonesia dilakukan dengan menggunakan metode kausal. Pada metode ini, peramalan dilakukan dengan menggunakan model ekonometrik yang didapatkan. Nilai dari masing-masing variabel penjelas disubstitusikan dengan angka-angka yang diperoleh dari asumsi-asumsi berdasarkan skenario kondisi yang ditetapkan. Tujuan dari peramalan ini adalah sebagai analisis kebijakan mengingat saat ini industri pengolahan perikanan dalam negeri menghadapi situasi yang dilematis. Kondisi yang terjadi adalah lemahnya sistem agribisnis dan agroindustri antara sektor penangkapan dan pengolahan yang mengakibatkan industri pengolahan dan industri cold storage mengalami kesulitan bahan baku.
Disamping itu perhatian pemerintah dalam masalah ini dirasakan kurang, karena hingga kini pemerintah masih memberikan perizinan kepada nelayan asing untuk melakukan penangkapan ikan di Indonesia. Hal lain yang turut menyebabkan perkembangan industri perikanan menjadi tidak optimal adalah ketidakkonsistenan antara kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal tersebut menyebabkan iklim usaha yang tidak kondusif bagi usaha perikanan dan bahkan beberpa industri pengalengan ikan mengurangi 50 persen produksinya. Salah satu penyebabnya adalah diskriminasi terhadap pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) bahan baku kaleng sebesar 15 persen, sedangkan pajak impor kaleng hanya 5 persen. Produk nelayan yang dijual di dalam negeri hingga kini masih dikenakan pajak PPn sebesar 10 persen, sehingga nelayan lebih memilih untuk mengekspor produknya dalam keadaan mentah atau belum diolah lebih lanjut. Akibatnya industri pengolahan hasil perikanan tidak mendapat jaminan kepastian bahan baku dari dalam negeri. Pelaku industri pengolahan lebih memilih mengambil bahan baku dengan impor karena hanya dikenakan pajak sebesar 5 persen. Faktor kebijakan pemerintah lainnya seperti tingkat sukubunga juga kurang mendukung perkembangan industri perikanan dalam negeri. Hingga mei 2005 saja, tingkat sukubunga masih bertahan pada level 12,50 persen. Tingkat sukubunga yang tinggi ini akan memberatkan bagi para pengusaha yang ingin mengajukan kredit permodalan pada bank karena tingkat bunga efektif yang terjadi akan berada pada kisaran 20 – 30 persen. Faktor tingkat upah juga memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan industri perikanan dalam negeri. Pemerintah terus berupaya untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk masalah tingkat upah ini. Akan tetapi kaum buruh tetap berpegang teguh untuk menolak revisi Undangundang Ketenagakerjaan tahun 2003 karena mereka khawatir revisi yang diajukan akan merugikan buruh.
a. Udang Peramalan dengan menggunakan metode kausal dilakukan dengan menggunakan model ekonometri yang diperoleh dari analisis regresi linier berganda multi variabel dengan model semi-logaritma natural (RCA dalam bentuk logaritma natural). Nilai variabel-variabel penjelas yang signifikan pada model tersebut disubstitusikan oleh angka-angka hasil perhitungan berdasarkan asumsi-asumsi dari skenario yang ditetapkan. Skenario pertama yang dijalankan untuk meramalkan daya saing adalah keadaaan ekonomi stabil sebelum terjadinya krisis ekonomi periode tahun 1993-1996. Pada skenario ini diasumsikan bahwa keadaaan ekonomi Indonesia yang stabil pada kurun waktu tersebut akan dialami kembali setelah tahun 2004 dan selanjutnya. Untuk memperkirakan nilai variabel penjelas digunakan angka rata-rata tingkat pertumbuhan variabel penjelas yang signifikan pada model sebagai nilai pertumbuhan yang akan dialami pada tahun 2004 dan selanjutnya. Daya saing ekspor diramalkan berdasarkan nilai dasar pada tahun 2003 (tahun akhir). Tingkat perubahan variabel penjelas pada periode 1993-1996 adalah sebagai berikut : ) Perubahan tingkat sukubunga meningkat sebesar 18,3 % per tahun. ) Perubahan tingkat upah rata-rata pekerja sektor makanan meningkat sebesar 11,7 % per tahun. ) Peningkatan indeks pendapatan per kapita Indonesia sebesar 11,6 % per tahun. ) Peningkatan indeks pendapatan perkapita negara pengimpor sebesar 7,2 % per tahun. ) Penurunan harga pakan udang impor sebesar 9,2 % per tahun. ) Penurunan anggaran untuk diferensiasi produk oleh industri yang bergerak di sektor perikanan sebesar 15,2 % per tahun.
Skenario kedua meramalkan daya saing ekspor pada kondisi perekonomian pasca krisis ekonomi dalam kurun waktu 2000-2003. Nilai RCA diperkirakan berdasarkan asumsi keadaan ekonomi pasca krisis masih akan dialami oleh Indonesia pada tahun 2004 dan selanjutnya. Tingkat perubahan variabel penjelas pada periode 2000-2003 adalah sebagai berikut : ♠ Perubahan tingkat sukubunga menurun sebesar 10,7 % per tahun. ♠ Perubahan tingkat upah rata-rata pekerja sektor makanan meningkat
sebesar 18,4 % per tahun. ♠ Penurunan indeks pendapatan per kapita Indonesia sebesar 0,5 % per
tahun. ♠ Peningkatan indeks pendapatan perkapita negara pengimpor sebesar
1,4 % per tahun. ♠ Penurunan harga pakan udang impor sebesar 15,4 % per tahun. ♠ Peningkatan anggaran untuk diferensiasi produk oleh industri yang
bergerak di sektor perikanan sebesar 3,7 % per tahun. Skenario ketiga meramalkan daya saing ekspor pada kondisi perekonomian ideal. Nilai RCA diperkirakan berdasarkan asumsi keadaan ekonomi optimistis, yang mendukung perkembangan industri perikanan dalam negeri akan dialami oleh Indonesia pada tahun 2004 dan selanjutnya. Tingkat perubahan variabel penjelas yang digunakan adalah : Perubahan tingkat sukubunga menurun sebesar 10,7 % per tahun. Perubahan tingkat upah rata-rata pekerja sektor makanan meningkat sebesar 11,7 % per tahun. Penurunan indeks pendapatan per kapita Indonesia sebesar 0,5 % per tahun. Peningkatan indeks pendapatan perkapita negara pengimpor sebesar 1,4 % per tahun. Penurunan harga pakan udang impor sebesar 15,4 % per tahun. Peningkatan anggaran untuk diferensiasi produk oleh industri yang bergerak di sektor perikanan sebesar 20,7 % per tahun.
Peramalan Daya Saing Komoditas Udang 25 23
Nilai Indeks
20 18 15 13 10 8 5 3 0 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Tahun stabil
pasca krisis
optimis
Gambar 18. Hasil peramalan daya saing ekspor agroindustri komoditas udang Indonesia Hasil peramalan
dengan metode kausal, daya saing ekspor
agroindustri komoditas udang pada skenario perekonomian stabil diperkirakan akan mengalami penurunan hingga tahun 2013 dengan nilai terbesar yaitu 10,580 pada tahun 2004 dan 2,820 pada tahun 2013 dengan persentase penurunan per tahun sebesar 13,4 %. Hasil peramalan dengan skenario ini didapatkan nilai indeks RCA > 1 hingga 10 tahun mendatang. Hal ini berarti komoditas udang masih memiliki daya saing ekspor dipasar dunia, tetapi mengalami penurunan. Pada skenario kedua dengan kondisi perekonomian pasca krisis, nilai indeks daya saing tertinggi didapatkan pada tahun 2004 sebesar 10,055. Setelah tahun 2004 nilai indeks mengalami penurunan hingga tahun 2011 dengan nilai pada tahun tersebut sebesar 1,192. Setelah tahun 2011, nilai indeks menurun hingga RCA < 1. Persentase penurunan per tahun yang terjadi adalah sebesar 31,2 %. Berdasarkan skenario ini, daya saing ekspor hanya mampu bertahan hingga tahun 2011.
Skenario ketiga meramalkan daya saing ekspor dengan kondisi perekonomian ideal dan optimistis. Nilai indeks mengalami kenaikan hingga tahun 2013 dengan nilai tertinggi pada tahun 2013 sebesar 18,413. Pada kurun waktu 2004 hingga 2006, nilai indeks cenderung stabil pada kisaran 11,348-11,920. Persentase kenaikan indeks daya saing ekspor yang terjadi berdasarkan skenario ini sebesar 5,6 % per tahun. Hasil peramalan daya saing ekspor menunjukkan bahwa produk agroindustri komoditas udang tetap memiliki daya saing ekspor, hal tersebut dapat dilihat dari nilai indeks RCA > 1, akan tetapi terjadi penurunan. Daya saing ekspor akan tetap meningkat apabila dilakukan berbagai perbaikan dan pengembangan sesuai dengan kondisi yang diasumsikan pada skenario ketiga.
b. Tuna Peramalan dengan menggunakan metode kausal dilakukan dengan menggunakan model ekonometri yang didapat dari analisis regresi linier berganda multi variabel dengan model double-logaritma natural (RCA dan variabel penjelas dalam bentuk logaritma natural). Nilai variabelvariabel penjelas yang signifikan pada model tersebut disubstitusikan oleh angka-angka hasil perhitungan berdasarkan asumsi-asumsi dari skenario yang ditetapkan. Skenario pertama yang dijalankan untuk meramalkan daya saing adalah keadaaan ekonomi stabil sebelum terjadinya krisis ekonomi tahun 1993-1996. Pada skenario ini diasumsikan bahwa keadaaan ekonomi Indonesia yang stabil pada kurun waktu tersebut akan dialami kembali setelah tahun 2004 dan selanjutnya. Untuk memperkirakan nilai RCA digunakan angka rata-rata tingkat pertumbuhan variabel penjelas yang signifikan pada model sebagai nilai pertumbuhan yang akan dialami pada tahun 2004 dan selanjutnya. Daya saing ekspor diramalkan berdasarkan nilai dasar pada tahun 2003 (tahun akhir). Tingkat perubahan variabel penjelas pada periode 1993-1996 adalah sebagai berikut :
♦ Peningkatan tingkat sukubunga sebesar 7 % per tahun. ♦ Peningkatan tingkat upah rata-rata pekerja sektor makanan sebesar
0,8 % per tahun. ♦ Peningkatan harga produk terkait tuna yaitu ikan olahan sebesar 0,3 %
per tahun. ♦ Peningkatan indeks pendapatan per kapita Indonesia sebesar 2,2 % per
tahun. ♦ Peningkatan indeks pendapatan per kapita negara pengimpor sebesar
1,3 % per tahun. ♦ Penurunan anggaran untuk diferensiasi produk oleh industri yang
bergerak di sektor perikanan sebesar 46 % per tahun. Skenario kedua meramalkan daya saing ekspor pada kondisi perekonomian pasca krisis ekonomi dalam kurun waktu 2000-2003. Nilai RCA diperkirakan berdasarkan asumsi keadaan ekonomi pasca krisis masih akan dialami oleh Indonesia pada tahun 2004 dan selanjutnya. Tingkat perubahan variabel penjelas yang digunakan adalah : •
Penurunan tingkat sukubunga sebesar 4,7 % per tahun.
•
Peningkatan tingkat upah rata-rata pekerja sektor makanan sebesar 1,3 % per tahun.
•
Peningkatan harga produk terkait tuna yaitu ikan olahan sebesar 0,5 % per tahun.
•
Penurunan indeks pendapatan per kapita Indonesia sebesar 0,1 % per tahun.
•
Peningkatan indeks pendapatan per kapita negara pengimpor sebesar 0,2 % per tahun.
•
Penurunan anggaran untuk diferensiasi produk oleh industri yang bergerak di sektor perikanan sebesar 6,6 % per tahun. Skenario ketiga meramalkan daya saing ekspor pada kondisi
perekonomian ideal. Nilai RCA diperkirakan berdasarkan asumsi keadaan ekonomi optimistis, yang mendukung perkembangan industri perikanan
dalam negeri akan dialami oleh Indonesia pada tahun 2004 dan selanjutnya. Tingkat perubahan variabel penjelas yang digunakan adalah : 9 Penurunan tingkat sukubunga sebesar 4,7 % per tahun. 9 Peningkatan tingkat upah rata-rata pekerja sektor makanan sebesar 0,8 % per tahun. 9 Peningkatan harga produk terkait tuna yaitu ikan olahan sebesar 0,3 % per tahun. 9 Peningkatan indeks pendapatan per kapita Indonesia sebesar 2,2 % per tahun. 9 Peningkatan indeks pendapatan per kapita negara pengimpor sebesar 1,3 % per tahun. 9 Peningkatan anggaran untuk diferensiasi produk oleh industri yang bergerak di sektor perikanan sebesar 0,5 % per tahun. Peramalan Daya Saing Ekspor Komoditas Tuna 24 22 20 18
Nilai Indeks
16 14 12 10 8 6 4 2 0 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Tahun stabil
pasca krisis
optimis
Gambar 19. Hasil peramalan daya saing ekspor agroindustri komoditas tuna Indonesia
Hasil peramalan dengan menggunakan metode kausal, daya saing ekspor komoditas tuna pada skenario perekonomian stabil diperkirakan akan mengalami kenaikan hingga tahun 2007 dengan persentase kenaikan per tahun sebesar 0,1 %, setelah tahun 2008 terjadi penurunan daya saing ekspor hingga tahun 2013 dengan persentase penurunan yang terjadi sebesar 1,8 % per tahun. Nilai indeks terbesar diperoleh pada tahun 2007 yaitu sebesar 5, 391 dan tahun 2013 merupak nilai indeks terkecil yaitu sebesar 4,826. Hasil peramalan dengan skenario ini didapatkan nilai indeks hingga tahun 2013 lebih besar dari 1,00. Hal tersebut berarti peramalan dengan skenario kondisi perekonomian stabil menunjukkan komoditas tuna tetap mampu bersaing di pasar luar negeri. Pada skenario kedua dengan kondisi perekonomian pasca krisis, nilai indeks daya saing tertinggi didapatkan pada tahun 2004 sebesar 5,283. setelah tahun 2004 nilai indeks mengalami penurunan hingga tahun 2013 dengan nilai pada tahun terakhir atau tahun 2013 sebesar 3,79. Untuk skenario perekonomian pasca krisis, daya saing ekspor produk tuna mengalami penurunan mulai tahun 2004 hingga tahun 2013. Persentase penurunan yang terjadi sebesar 3,6 % per tahun. Pada skenario ini, komoditas tuna juga tetap mampu bertahan dalam bersaing di pasar luar negeri. Daya saing ekspor produk tuna diramalkan meningkat untuk periode 2004-2013 berdasarkan skenario kondisi perekonomian ideal optimistis. Persentase peningkatan daya saing yang terjadi sebesar 15,1 % per tahun. Hasil peramalan yang menunjukkan peningkatan terhadap daya saing ekspor dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk pemerintah dalam menentukan kebijakan yang tepat sehingga daya saing produk-produk agroindustri perikanan yang diekspor dapat terus dipertahankan mengingat saat ini industri hasil perikanan yang memproduksi komoditas tuna mengalami permasalahan dalam hal jaminan pasokan bahan baku.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Perkembangan
tingkat
kompetisi
ekspor
komoditas
udang
menunjukkan peningkatan pada periode waktu 1981-1990. Pada tahun 1981 nilai indeks tingkat kompetisi ekspor komoditas udang sebesar 6,84 dan mencapai puncaknya pada tahun 1990 sebesar 14,69. Setelah tahun 1990 hingga tahun 1993 nilai RCA komoditas udang Indonesia berfluktuasi dengan kecenderungan menurun, dan kecenderungan stabil pada periode 1994-2003 rata-rata nilai RCA selama periode tersebut sebesar 10,93. Tingkat kompetisi ekspor komoditas udang secara signifikan dipengaruhi oleh faktor sukubunga, tingkat upah, pendapatan perkapita negara produsen, pendapatan perkapita negara importir, harga bahan baku pakan udang dan prosentase anggaran untuk diferensiasi produk. Tingkat kompetisi ekspor komoditas tuna Indonesia mengalami kenaikan mulai tahun 1981 hingga tahun 1991. Pada tahun 1981 nilai indeks tingkat kompetisi ekspor komoditas tuna Indonesia sebesar 1,105 dan mencapai puncaknya pada tahun 1991 sebesar 7,491. Setelah tahun 1991, tingkat kompetisi ekspor komoditas tuna Indonesia mengalami penurunan hingga tahun 1997. Kemudian pada periode 1998-2003, perkembangan tingkat kompetisi ekspor cenderung stabil. Pada tahun 1998 angka indeks RCA sebesar 4,783 dan tahun 2003 indeks RCA mencapai 4,966. Rata-rata nilai indeks RCA selama periode tersebut adalah sebesar 4,051. Hasil pemodelan ekonometrik untuk komoditas tuna menunjukkan bahwa faktor sukubunga, tingkat upah, pendapatan perkapita negara produsen, pendapatan perkapita negara importir, dan prosentase anggaran untuk diferensiasi produk signifikan secara statistik, sementara koefisien variabel yang lain, harga produk ikan olahan dan produktivitas modal tidak signifikan.
Hasil peramalan daya saing ekspor produk udang untuk 10 tahun mendatang berdasarkan skenario perekonomian stabil menunjukkan bahwa tingkat kompetisi ekspor agroindustri perikanan komoditas udang Indonesia hingga tahun 2013 akan tetap memiliki daya saing ekspor walaupun mengalami penurunan dengan persentase penurunan sebesar 13,4 % per tahun. Pada skenario pasca krisis, penurunan juga terjadi pada hasil peramalan tingkat kompetisi ekspor periode 2007-2011, dengan persentase penurunan per tahun sebesar 31,2 %. Setelah tahun 2011, produk udang sudah tidak lagi mampu bersaing yang disebabkan oleh nilai indeks RCA < 1. Peramalan dengan skenario perekonomian ideal dan optimistis menunjukkan peningkatan pada tingkat kompetisi ekspor untuk periode 2004-2013, persentase kenaikan tersebut sebesar 5,6 % per tahun. Pada produk tuna, peramalan yang dilakukan untuk 10 tahun mendatang berdasarkan skenario kondisi perekonomian stabil menunjukkan hasil peningkatan daya saing pada periode 2004-2007 dengan persentase kenaikan per tahun sebesar 0,1 %, setelah tahun 2008 terjadi penurunan daya saing hingga tahun 2013 dengan persentase per tahun sebesar 1,8 %. Untuk skenario perekonomian pasca krisis, daya saing ekspor produk tuna mengalami penurunan mulai tahun 2004 hingga tahun 2013. Persentase penurunan yang terjadi sebesar 3,6 % per tahun. Daya saing ekspor produk tuna diramalkan meningkat untuk periode 2004-2013 berdasarkan skenario kondisi perekonomian ideal optimistis. Persentase peningkatan daya saing yang terjadi sebesar 15,1 % per tahun. Hasil peramalan yang menunjukkan peningkatan terhadap daya saing ekspor dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk pemerintah dalam menentukan kebijakan yang tepat sehingga daya saing produk-produk agroindustri perikanan yang diekspor dapat terus dipertahankan.
B. SARAN
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa peningkatan tingkat kompetisi ekspor agroindustri perikanan khususnya komoditas udang dan tuna dapat dilakukan dengan memperhatikan : 1. Pemerintah dan sektor swasta agar meningkatkan promosi dan pengembangan teknologi. Peningkatan promosi dan pengembangan teknologi dapat meningkatkan diferensiasi produk sehingga potensi pasar dimasa yang akan datang dapat menjadi lebih luas. 2. Pemerintah perlu meningkatkan kondisi perekonomian, penyesuaian kriteria investasi dan perizinan usaha akan memberikan insentif bagi pengusaha dan pengaturan kebijakan moneter terkait dengan tingkat sukubunga. 3. Pemerintah, pihak industri dan serikat pekerja harus bekerja sama untuk menentukan tingkat upah yang tepat sehingga dapat meningkatkan produktivitas agroindustri.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, MA. 1993. Agroindustri Ikan Tuna dan Udang : Prospek dan Pengembangan Pada PJPT II. PT. Insamitra Satyamandiri. Jakarta. Cook, P., dan Colin K. 1990. Macroeconomic for Developing Countries. Harvester Wheatsheaf. London. Dahuri, R. 2004. wawancara : Reorientasi Pembangunan Berbasis Kelautan. www.tokohnasional.com/ensiklopedi/r/rokhmindahuri/wawancara2.shtml [ 30 Mei 2005 ] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Produksi dan Industri Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta FAO. 2005. Fishstat : Faostat Database. http://faostat.fao.org/fishstat [ 25 Agustus 2005 ] Gandolfo, G. 1987. International Economics I. Springer-Verlag. Berlin. Gonzales, L. A. 1997. Global Competitiveness Framework For Philippines AgriBusiness. Manila. Gujarati, D. 1999. Ekonometrika Dasar. Erlangga. Jakarta. Hady, H. 2001. Ekonomi Internasional. Ghalia Indonesia. Bogor. Halwani, R. H. 2002. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hicks, Alastair. 1996. Recent Development Of Agri-Industry In Rural Areas Of Asia And The Pacific. Manila. Honma And Hayami. 1993. The Political Economy Of Agricultural Protection. Winrock International For Agricultural Development. Metro Manila. Jan. 2004. Ekspor Komoditas Kelautan ke Uni Eropa Semakin Berat. www.kompas.com/kompas-cetak/0304/12/ekonomi/252903.htm - 35k [ 30 Mei 2005 ] Krugman, P. R. And M. Obstfeld. 1990. International Economics Theory And Policy. Harper Collins Publishers. New York. Lipsey, R. G., P. O. Steiner dan D. D. Purvis. 1991. Pengantar Makroekonomi, edisi ke delapan. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Mahmood, A. 2000. Trade Liberalization and Malaysian Export Competitiveness: Prospects, Problems, and Policy Implications. Departemen of Economics, University of Newcastle. Australia. Makridakis, S., Whellwright, S. C., and McGee, V. E. 1995. Metode dan Aplikasi Peramalan, Jilid 1, edisi kedua. Penerbit Erlangga. Jakarta. Munandar, Jono M. 2001. Key Determinant Of Export Competitiveness Of The Indonesian Palm Oil And Tea Agroindustries. Uplb. Los Banos. Munandar, Jono M. 2004. Analisis dan Identifikasi Faktor Daya saing Ekspor Karet dan Cokelat Indonesia. Fateta-IPB. Bogor. Nasution, Muslimin. 2002. Pengembangan Kelembagaan Koperasi Pedesaan untuk Agroindustri. IPB Press. Bogor. Osa, PS. 2004. Biar Sehat, Makanlah Ikan. www.kompas.com/kompascetak/0405/07/metro/1011826.htm [ 5 Agustus 2005 ] Porter, Michael. 1990. The Competitive Advantage Of Nations. The Free Press. New York. Porter, Michael. 2004. 4 Building Competitive Advantage : Lessons From Other Countries. www.worldbank.org/wbi/mdf/mdf1/foster.htm [ 10 Juni 2006 ] Ramanathan, R. 1998. Introductory Econometrics with Application 4th Edition. The Dryden Press. New York. Saidah, Zumi. 2005. Kajian Ekuitas Merek Ikan Kaleng dan Implikasinya Terhadap Bauran Pemasaran. Thesis. Sekolah Pascasarjana-IPB. Bogor. Salvatore, D. 1995. Ekonomi Internasional. Penerbit Erlangga. Jakarta. Sumodiningrat,
G.
1999.
Ekonometrika
Pengantar.
BPFE-Yogyakarta.
Yogyakarta. Supranto, J. 2005. Ekonometri : buku kesatu. Ghalia Indonesia. Bogor. Tweeten, Luther. 1989. Agricultural Policy Analysis Tools For Economics Development. Westview Press. Boulder, Colorado. Wawa, J.E. 2003. Mampukah Indonesia Jadi Pemain Utama di Pasar Dunia? www.kompas.co.id/kompas-cetak/0304/10/agroind/240039.htm - 41k [ 30 Mei 2005 ] Wooldrige, J. M. 2000. Introductory Econometrics : A Modern Approach. South Western.
Lampiran 1. Indeks RCA dari komoditas Udang dan Tuna Indonesia Tahun RCA tuna 1981 1.105 1982 1.662 1983 1.547 1984 1.165 1985 1.356 1986 1.745 1987 3.029 1988 3.826 1989 4.839 1990 5.918 1991 7.491 1992 5.368 1993 5.833 1994 5.087 1995 5.604 1996 4.765 1997 4.080 1998 4.783 1999 4.598 2000 5.001 2001 4.795 2002 4.619 2003 4.966 Sumber : Diolah dari database
RCA udang 6.842 6.297 6.146 6.265 7.435 9.620 10.347 13.806 14.297 14.689 13.832 11.948 11.863 11.870 12.087 11.819 11.175 12.017 11.856 11.700 11.930 11.765 11.763
1. WTO (www.wto.org) 2. FAO (www.fao.org/fisheries) dan ftp://fishtat.fao.org 3. BPS (Buku statistik ekspor impor, 1981-2003) 4. Departemen Kelautan dan Perikanan (2002,2003)
77
Lampiran 2. Perkembangan tingkat harga komoditas rata-rata (US $/kg) Tahun 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Udang Dunia
Udang Lokal
4.458
6.594
4.893
7.194
5.213
7.569
5.097
7.290
4.628
6.955
5.714
8.260
6.698
8.387
6.166
9.163
6.069
7.300
6.227
7.295
6.256
7.906
6.147
8.226
6.343
9.066
7.062
10.024
7.790
11.192
7.126
10.539
7.341
11.129
6.363
6.759
6.293
8.813
7.370
9.544
6.890
8.086
6.289
7.474
6.262
7.166
Tuna Tuna Dunia Lokal 1,17 1,12 1,09 1,06 0,85 0,73 0,89 0,72 0,84 0,75 0,83 0,73 1,03 0,82 1,49 1,06 1,81 1,34 2,33 1,71 1,89 1,78 1,99 1,69 2,30 2,02 2,44 2,29 2,50 2,46 2,56 2,35 2,94 2,29 2,61 2,06 2,27 2,09 2,41 1,96 2,39 1,90 2,29 2,24 2,16 1,82
Sumber : 1. Fishstat FAO Database (www.fao.org) 2. Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan, Buku statistik ekspor perikanan 1981-2003
78
Lampiran 3. Perkembangan Nominal Protective Coeffient (NPC) Tahun 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
NPC udang 0.676 0.680 0.689 0.699 0.665 0.692 0.799 0.673 0.831 0.854 0.791 0.747 0.700 0.705 0.696 0.676 0.660 0.941 0.714 0.772 0.852 0.841 0.874
NPC Tuna 1,044 1,028 1,164 1,236 1,120 1,137 1,256 1,405 1,351 1,362 1,062 1,177 1,138 1,065 1,016 1,089 1,283 1,267 1,086 1,229 1,257 1,022 1,186
Sumber : Diolah dari database 1. Departemen Kelautan dan Perikanan (buku statistik ekspor perikanan 2000-2003) 2. BPS (Buku statistik ekspor 1981-2003)
79
Lampiran 4. Laju Inflasi, Tingkat Suku Bunga dan Nilai Tukar Tahun Inflasi (%) Suku bunga (%) Nt (Rp/US$) 1981 17,83 16,26 1171 1982 8,82 17,24 1189 1983 8,04 13,17 1509 1984 14,22 18,63 1608 1985 6,23 10,33 1723 1986 3,04 12,43 1913 1987 8,17 14,52 2331 1988 5,81 15,00 2299 1989 4,45 12,57 2382 1990 5,08 13,97 2419 1991 8,54 14,91 2442 1992 8,48 11,99 2434 1993 5,00 8,66 2350 1994 8,74 9,74 2161 1995 9,02 13,64 2249 1996 8,39 13,96 2342 1997 6,14 27,82 2909 1998 13,58 62,79 10014 1999 2,01 27,6 7855 2000 9,34 16,15 8422 2001 12,55 14,23 10450 2002 10.03 15.63 8929 2003 5.06 10.93 8528 2004 5.31 8.26 9361 Sumber: Buku Indikator Ekonomi BPS (1981-2004)
80
Lampiran 5. Tingkat Upah Rata-rata Pekerja Sektor Makanan Tingkat Upah (Rp/Bln) Tahun Upah Perkerja Sektor Makanan 1981 32.453 1982 41.693 1983 54.540 1984 65.348 1985 60.908 1986 68.730 1987 76.673 1988 79.838 1989 119.880 1990 94.080 1991 102.360 1992 109.820 1993 124.740 1994 132.200 1995 119.567 1996 165.633 1997 179.367 1998 221.267 1999 279.167 2000 301.733 2001 379.800 2002 434.133 2003 498.833 Sumber : Buku statistik upah BPS (1980-2003)
81
Lampiran 6. Perkembangan harga (US $/kg) beberapa komoditi perikanan Ikan Dalam Kaleng (Selain Tuna)
Produk Ikan Olahan
Tahun Kepiting Pakan Udang 1981 4.00 0.23 2.16 2.94 1982 0.21 3,50 2.08 2.66 1983 2,45 0.22 2.18 2.45 1984 0,89 0.25 2.08 2.22 1985 0,46 0.42 2.08 2.33 1986 0,70 0.95 2.47 2.89 1987 0,96 1.96 2.73 3.67 1988 1,04 1.90 3.07 3.72 1989 2.31 1,08 2.98 1.37 1990 0,65 2.08 3.13 3.91 1991 0,89 1.78 3.21 4.33 1992 0,91 2.17 3.24 4.67 1993 1,08 2.45 3.06 4.16 1994 0,77 3.05 3.12 3.94 1995 1,03 4.29 3.39 4.09 1996 3.99 0,67 3.39 4.07 1997 0,72 4.24 3.07 3.54 1998 0,54 6.64 2.96 3.95 1999 0,90 5.23 2.72 3.97 2000 0,99 5.51 2.52 3.76 2001 0,64 7.50 2.40 3.75 2002 0,63 8.04 2.58 3.88 2003 0,59 7.63 2.69 4.26 Sumber : Dirjen Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan 1. buku statistik ekspor perikanan 1981-2003 2. buku statistik impor perikanan 1981-2003
82
Lampiran 7. Alokasi dana untuk biaya promosi dan iklan tahun Alokasi dana promosi dan iklan (%) 1980 1.461 1981 1.245 1982 2.079 1983 1.296 1984 0.823 1985 1.915 1986 1.374 1987 0.952 1988 1.138 1989 2.051 1990 1.588 1991 1.883 1992 0.788 1993 1.821 1994 1.759 1995 1.087 1996 1.045 1997 1.162 1998 1.977 1999 1.439 2000 1.199 2001 0.938 Sumber : Buku statistik industri besar dan sedang BPS (1980-2003)
83
Lampiran 8. Indeks pendapatan perkapita Indonesia dan negara-negara tujuan ekspor utama produk agroindustri perikanan Period INA 1981 100,000 1982 100,690 1983 88,280 1984 88,280 1985 86,900 1986 78,100 1987 72,240 1988 83,100 1989 93,280 1990 103,450 1991 114,140 1992 121,720 1993 137,070 1994 152,760 1995 171,550 1996 190,690 1997 177,930 1998 75,340 1999 106,900 2000 115,170 2001 112,240 2002 112,910 2003 113,502 Sumber : http://unstats.un.org
USA 100,000 103,780 109,940 121,980 129,250 133,950 142,530 153,550 161,580 168,930 172,600 179,550 186,190 195,630 204,090 212,980 224,210 235,630 247,130 261,370 265,020 271,814 280,330
Japan 100,000 92,530 100,610 106,760 113,130 166,600 201,900 243,420 241,910 247,230 281,590 306,960 351,570 385,340 423,460 375,840 345,080 314,370 354,910 377,460 331,510 321,272 328,082
UK 100,000 94,880 90,410 85,130 88,980 109,600 133,680 162,310 162,670 189,830 198,290 205,990 184,390 200,450 216,500 226,780 252,870 272,760 276,100 272,760 272,060 277,997 285,128
84
Lampiran 9. Perkembangan tingkat volume ekspor udang (metrik ton) tahun Udang tidak beku Udang beku Udang dalam kaleng 1981 1.244 23.727 564 1982 911 24.665 71 1983 1.658 24.509 11 1984 1.668 26.357 1 1985 2.199 28.780 4 1986 2.109 33.992 11 1987 3.325 40.941 247 1988 3.257 53.294 242 1989 4.924 71.704 562 1990 3.323 89.887 827 1991 4.489 90.556 582 1992 8.056 91.512 888 1993 5.951 91.224 1.394 1994 6.096 92.401 1.026 1995 5.317 87.695 1.539 1996 4.482 94.504 1.244 1997 2.842 89.529 673 1998 4.232 136.806 1.652 1999 9.806 97.106 2.739 2000 10.709 103.396 2.082 2001 10.994 113.069 4.768 2002 8.987 112.539 3.239 2003 8.795 125.684 3.157 Sumber : Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan, Buku statistik ekspor perikanan (1981-2003)
85
Lampiran 10. Perkembangan tingkat volume ekspor tuna (metrik ton) Tahun Tidak beku Beku Dalam kaleng 1981 1.310 12.703 370 1982 3 18.785 845 1983 5 20.306 2.227 1984 47 14.655 2.200 1985 936 16.953 1.216 1986 2.369 21.867 1.823 1987 2.311 31.684 4.274 1988 4.735 36.018 8.504 1989 8.630 27.426 20.621 1990 14.018 40.087 18.651 1991 18.996 43.311 41.061 1992 20.545 33.879 19.015 1993 32.469 37.226 23.069 1994 25.151 30.316 24.262 1995 25.099 32.090 29.281 1996 21.589 29.384 31.074 1997 15.817 43.130 23.921 1998 16.592 47.798 39.940 1999 25.775 28.542 36.264 2000 30.545 17.681 44.732 2001 25.743 23.257 35.206 2002 26.718 27.733 38.346 2003 27.795 42.451 46.846 Sumber : Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan, Buku statistik ekspor perikanan (1981-2003)
86
Lampiran 11. Data untuk regresi dengan fungsi semi logaritma natural komoditi udang LnRCAudang 1.92 1.84 1.82 1.84 2.01 2.26 2.34 2.63 2.66 2.69 2.63 2.48 2.47 2.47 2.49 2.47 2.41 2.49 2.47 2.46 2.48 2.47 2.47
INF 17.83 8.82 8.04 14.22 6.23 3.04 8.17 5.81 4.45 5.08 8.54 8.48 5.00 8.74 9.02 8.39 6.14 13.58 2.01 9.34 12.55 10.03 5.06
TSB 16.26 17.24 13.17 18.63 10.33 12.43 14.52 15.00 12.57 13.97 14.91 11.99 8.66 9.74 13.64 13.96 27.82 62.79 27.60 16.15 14.23 15.63 10.93
INT 632 661 909 1026 1111 1283 1644 1686 1770 1843 1950 2030 2087 2161 2249 2342 2909 10014 7855 8422 10450 8929 8528
TUP 32453 41693 54540 65348 60908 68730 76673 79838 119880 94080 102360 109820 124740 132200 119567 165633 179367 221267 279167 301733 379800 434133 498833
NPC 0.68 0.68 0.69 0.70 0.67 0.69 0.80 0.67 0.83 0.85 0.79 0.75 0.70 0.71 0.70 0.68 0.66 0.94 0.71 0.77 0.85 0.84 0.87
HBB 4684.00 4161.50 3697.05 1431.12 792.58 1339.10 2237.76 2390.96 2572.56 1572.35 2173.38 2214.94 2538.00 1663.97 2316.47 1569.14 2094.48 5407.56 7069.50 8337.78 6688.00 5625.27 5031.52
CPI 269.30 249.70 332.00 402.00 723.70 1817.40 4568.80 4368.10 5502.40 5031.50 4346.80 5281.80 5757.50 6591.10 9648.20 9344.60 12334.20 66493.00 41081.70 46405.20 78375.00 71789.20 65068.60
TPI 2351.00 2079.90 2063.90 2519.10 2550.10 2742.90 4060.30 4425.40 4724.90 4479.30 4335.30 4581.80 4952.70 4704.30 5174.40 5716.60 7325.90 23430.10 18358.10 18422.10 23984.10 20306.20 18055.40
PPD 100.00 100.69 88.28 88.28 86.90 78.10 72.24 83.10 93.28 103.45 114.14 121.72 137.07 152.76 171.55 190.69 177.93 75.34 106.90 115.17 112.24 112.91 113.50
PPI1 100.00 103.78 109.94 121.98 129.25 133.95 142.53 153.55 161.58 168.93 172.60 179.55 186.19 195.63 204.09 212.98 224.21 235.63 247.13 261.37 265.02 271.81 280.33
PPI2 100.00 92.53 100.61 106.76 113.13 166.60 201.90 243.42 241.91 247.23 281.59 306.96 351.57 385.34 423.46 375.84 345.08 314.37 354.91 377.46 331.51 321.27 328.08
PPI3 100.00 94.88 90.41 85.13 88.98 109.60 133.68 162.31 162.67 189.83 198.29 205.99 184.39 200.45 216.50 226.78 252.87 272.76 276.10 272.76 272.06 273.05 284.08
DPR 1.25 2.08 1.30 0.82 1.92 1.37 0.95 1.14 2.05 1.59 1.88 0.79 1.82 1.76 1.09 1.05 1.16 1.98 1.44 1.20 0.94 1.26 1.24
RDIL 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00
CapProd 0.96 0.99 0.98 1.09 1.04 0.90 0.96 1.12 0.94 1.11 1.14 0.97 1.27 1.04 0.96 0.76 0.88 1.35 0.73 0.95 0.99 0.98 0.84
87
Lampiran 12. Data untuk regresi dengan fungsi double logaritma natural komoditi tuna LnINF 2.88 2.18 2.08 2.66 1.83 1.11 2.10 1.76 1.49 1.63 2.15 2.14 1.61 2.17 2.20 2.13 1.82 2.61 0.70 2.23 2.53 2.31 1.62
LnTSB 2.79 2.85 2.58 2.93 2.34 2.52 2.68 2.71 2.53 2.64 2.70 2.48 2.16 2.28 2.61 2.64 3.33 4.14 3.32 2.78 2.66 2.75 2.39
LnINT 6.449 6.494 6.812 6.933 7.013 7.157 7.405 7.43 7.479 7.519 7.576 7.616 7.643 7.678 7.718 7.759 7.976 9.212 8.969 9.039 9.254 9.097 9.051
LnTUP 10.39 10.64 10.91 11.09 11.02 11.14 11.25 11.29 11.69 11.45 11.54 11.61 11.73 11.79 11.69 12.02 12.10 12.31 12.54 12.62 12.85 12.98 13.12
LnNPC 0.60 0.47 0.48 0.57 0.57 0.55 0.53 0.26 0.09 0.08 0.00 -0.06 -0.09 -0.05 -0.07 0.04 0.09 0.13 0.11 -0.10 -0.12 -0.01 0.15
LnCFI 7.22 7.23 7.59 7.67 7.75 8.06 8.41 8.55 8.57 8.66 8.74 8.79 8.76 8.82 8.94 8.98 9.10 10.30 9.97 9.96 10.13 10.05 10.04
LnHPT2 7.53 7.47 7.71 7.73 7.86 8.22 8.70 8.74 7.79 8.88 9.04 9.16 9.07 9.05 9.13 9.16 9.24 10.59 10.35 10.36 10.58 10.45 10.50
LnPPD 4.61 4.61 4.48 4.48 4.47 4.36 4.28 4.42 4.54 4.64 4.74 4.80 4.92 5.03 5.15 5.25 5.18 4.32 4.67 4.75 4.72 4.73 4.73
LnPPI1 4.61 4.64 4.70 4.80 4.86 4.90 4.96 5.03 5.09 5.13 5.15 5.19 5.23 5.28 5.32 5.36 5.41 5.46 5.51 5.57 5.58 5.61 5.64
LnPPI2 4.61 4.53 4.61 4.67 4.73 5.12 5.31 5.50 5.49 5.51 5.64 5.73 5.86 5.95 6.05 5.93 5.84 5.75 5.87 5.93 5.80 5.77 5.79
LnPPI3 4.61 4.55 4.50 4.44 4.49 4.70 4.90 5.09 5.09 5.25 5.29 5.33 5.22 5.30 5.38 5.42 5.53 5.61 5.62 5.61 5.61 5.61 5.65
LnDPR 0.22 0.73 0.26 -0.20 0.65 0.32 -0.05 0.13 0.72 0.46 0.63 -0.24 0.60 0.57 0.08 0.04 0.15 0.68 0.36 0.18 -0.06 0.23 0.22
LnRDIL 0.00 0.69 1.10 1.39 1.61 1.79 1.95 2.08 2.20 2.30 2.40 2.49 2.57 2.64 2.71 2.77 2.83 2.89 2.94 3.00 3.05 3.09 3.14
LnCapProd -0.04 -0.01 -0.02 0.09 0.04 -0.11 -0.04 0.11 -0.06 0.10 0.13 -0.03 0.24 0.04 -0.04 -0.27 -0.13 0.30 -0.31 -0.05 -0.01 -0.02 -0.17
88
Lampiran 13. Hasil analisis regresi komoditi udang Semi Log Natural (RCA dalam Ln) Udang Regression Analysis: LnRCAudang versus TSB, TU, PPD, PPI3, HBB, DPR Weighted analysis using weights in LnRCAudang
The regression equation is LnRCAudang = 1.97 - 0.0128 TSB - 0.000002 TU - 0.00507 PPD + 0.00817 PPI3 - 0.000060 HBB + 0.0924 DPR
Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 1.9699 0.1184 16.64 0.000 TSB -0.012773 0.002287 -5.58 0.000 1.8 TUP -0.00000179 0.00000034 -5.22 0.000 5.5 PPD -0.0050735 0.0008543 -5.94 0.000 2.2 PPI3 0.0081733 0.0007419 11.02 0.000 7.0 HBB -0.00006010 0.00001403 -4.28 0.001 2.4 DPR 0.09238 0.05015 1.84 0.084 1.1
S = 0.137493
R-Sq = 91.1%
PRESS = 0.380739
R-Sq(adj) = 87.8%
R-Sq(pred) = 88.80%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source TSB TUP PPD PPI3 HBB DPR
DF 6 16 22
SS 3.09633 0.30247 3.39880
MS 0.51605 0.01890
F 27.30
P 0.000
DF Seq SS 1 0.00779 1 0.37238 1 0.15245 1 2.13440 1 0.36515 1 0.06416
Unusual Observations Obs 9
TSB 12.6
LnRCAudang 2.6600
Fit 2.4860
SE Fit 0.0407
Residual 0.1740
St Resid 2.36R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Durbin-Watson statistic = 1.53754
89
Lampiran 14. Hasil analisis regresi komoditas tuna Regression Analysis: LNRCA Tuna versus LnTSB, LnTU, ... Weighted analysis using weights in LNRCA Tuna
The regression equation is LNRCA Tuna = - 1.65 - 0.457 LnTSB - 0.540 LnTU - 0.171 LnHPT2 - 0.385 LnPPD + 2.67 LnPPI3 + 0.226 LnDPR + 0.330 LnCapProd
Predictor Constant LnTSB LnTUP LnHPT2 LnPPD LnPPI3 LnDPR LnCapProd
Coef -1.6514 -0.45651 -0.5399 -0.17102 -0.3850 2.6717 0.2258 0.3304
S = 0.133049 PRESS = *
SE Coef T P VIF 0.9218 -1.79 0.093 0.07783 -5.87 0.000 1.9 0.1286 -4.20 0.001 10.6 0.09816 -1.74 0.102 12.4 0.1429 -2.69 0.017 2.4 0.2718 9.83 0.000 10.4 0.1141 1.98 0.066 1.7 0.2387 1.38 0.187 2.1
R-Sq = 92.7%
R-Sq(adj) = 89.2%
R-Sq(pred) = *%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source LnTSB LnTUP LnHPT2 LnPPD LnPPI3 LnDPR LnCapProd
DF 7 15 22
SS 3.35550 0.26553 3.62103
MS 0.47936 0.01770
F 27.08
P 0.000
DF Seq SS 1 0.01714 1 0.49040 1 0.25189 1 0.32931 1 2.04324 1 0.18963 1 0.03389
Unusual Observations Obs 11
LnTSB 2.70
LNRCA Tuna 2.0140
Fit 1.8363
SE Fit 0.0500
Residual 0.1777
St Resid 2.24R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Durbin-Watson statistic = 1.44314
90