ANALISIS DAYA SAING DAN STRUKTUR PROTEKSI KOMODITAS PALAWIJA I Wayan Rusastra, Benny Rachman dan Supena Friyatno Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT Secondary crops (corn, soybean, and peanut) considered to be having second position after rice as the main staple food in Indonesia. All of those commodities were the main potential competitors of rice in term of land utilization, important role in improving structural and fertility of agricultural land, and substantial potential domestic market. The objectives of this paper are to analyze the profitability, comparative advantage, protection structural, and the impact of government policies to the competitiveness of the said commodities with respect to rice. Based on the value of DRCR, the stability of economic efficiency of corn and peanut with respect to the possibility of decreasing productivity or international parity price was relatively higher than soybean. In the condition of existing technology as well as the current farmer’s management capacity, corn and peanut farming was reasonable to have priority on secondary crops development. Soybean farming can be developed on the regimes being traditionally potential in term of resources endowment and high comparative advantages. Compared to rice, secondary crop’s farmer did not yet receive appropriate incentive and protection policies from the government. The policy instrument of input and output price was necessary for accelerating and strengthening growth of production and productivity of secondary crops, which currently relatively low. The current structural protection of food crops was necessary to improve, in which corn and peanut with higher comparative advantage compared to soybean and rice, have to receive better incentive from food crops economic system. Key words : secondary crops; comparative advantage; protection structure
PENDAHULUAN Palawija merupakan kelompok komoditas tanaman pangan kedua terpenting setelah padi. Jagung, kedelai, dan kacang tanah merupakan komoditas palawija utama yang diusahakan petani pada musim kemarau pada berbagai jenis pengairan di lahan sawah. Ketiga jenis komoditas ini juga dapat diusahakan pada musim penghujan untuk lahan sawah yang memiliki drainase pengairan cukup baik. Fakta empiris di lapangan untuk beberapa lokasi, ketiga jenis komoditas palawija ini memiliki potensi sebagai pesaing komoditas padi dalam pemanfaatan sumber daya lahan. Terdapat beberapa pertimbangan kenapa petani mengusahakan komoditas palawija bersamaan/bergiliran dengan komoditas padi, yaitu: (a) Hemat dalam penggunaan air, sehingga dapat diusahakan pada musim kemarau saat persediaan air terbatas; (b) Pemanfaatan palawija dalam pola tanam setahun dapat memulihkan struktur dan kesuburan lahan; (c) Pengusahaan palawija dapat memotong siklus hama dan penyakit pada tanaman padi; (d) Komoditas palawija memiliki potensi pasar
28
dalam negeri yang cukup besar, di mana sebagian kebutuhannya dipenuhi dari impor; dan (e) Komoditas ini memiliki potensi pengembangan yang relatif masih terbuka dan pada daerah dengan potensi pengembangan yang baik, palawija dapat memberikan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani padi. Dalam konteks palawija sebagai kompetitor utama padi, analisis daya saing memiliki peran strategis sebagai basis perumusan kebijakan. Instrumen kebijakan perlu dirancang sedemikian rupa agar sumber daya yang langka pada suatu wilayah dimanfaatkan oleh komoditas yang memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi. Pada tingkat keuntungan relatif sama, komoditas dengan keunggulan komparatif yang lebih tinggi perlu didorong dan difasilitasi pengembangannya. Di samping itu peluang untuk peningkatan keunggulan komparatif antar komoditas perlu diketahui keragaannya. Komoditas dengan tingkat stabilitas keunggulan komparatif yang tinggi dan memiliki potensi dan kemudahan dalam peningkatan produktivitas untuk mencapai tingkat daya saing yang lebih baik perlu mendapatkan prioritas dalam pengembangan.
Berdasarkan pada latar belakang tersebut di atas, maka tujuan dari tulisan ini adalah: (a) Menganalisis tingkat profitabilitas finansial dan ekonomi komoditas palawija; (b) Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif yang merefleksikan daya saing komoditas palawija; (c) Melakukan analisis sensitivitas daya saing terhadap perubahan harga paritas output dan perubahan produktivitas untuk mengetahui tingkat stabilitas daya saing komoditas yang diteliti; dan (d) Menganalisis strutkur proteksi dan dampak kebijakan pemerintah kaitannya dengan kinerja daya saing komoditas palawija. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian, Informasi dan Data Dari tujuh kabupaten contoh dalam penelitian ini yang tersebar di lima provinsi, lokasi pengusahaan palawija adalah sebagai berikut: (a) Komoditas kedelai diusahakan di dua kabupaten yaitu Klaten dan Ngawi. Di Klaten kedelai diusahakan pada jenis irigasi teknis dan tadah hujan, sedangkan di Ngawi diusahakan pada tiga jenis pengairan yaitu pengairan setengah teknis, sederhana dan tadah hujan. Kedelai umumnya diusahakan pada MK I atau MK II. (b) Komoditas jagung diusahakan di tiga kabupaten yaitu Klaten, Kediri dan Sidrap. Di Kediri, jagung diusahakan pada seluruh jenis sistem pengairan, pada MK I dan MK II. Di Sidrap, jagung diusahakan di tiga sistem pengairan (kecuali jenis pengairan teknis), pada MK II. Di Klaten, jagung hanya diusahakan pada musim kemarau pada jenis pengairan setengah teknis dan tadah hujan. (c) Pengembangan kacang tanah sebagai kompetitor padi juga relatif terbatas. Komoditas ini hanya diusahakan di dua kabupaten yaitu Klaten dan Sidrap pada agroekosistem pengairan yang terbatas. Di Sidrap, kacang tanah diusahakan pada sistem pengairan setengah teknis (MK I dan MK II), dan tadah hujan (MK II 2001). Di Klaten pengembangannya juga mencakup pada dua sistem pengairan, yaitu irigasi teknis (MK II 2001), dan lahan tadah hujan (MK II 2001).
Pendekatan Analisis Untuk menjawab tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini digunakan pendekatan analisis yaitu, Analisis Matriks Kebijaksanaan (Policy Analysis Matrix, PAM). PAM digunakan untuk menganalisis: analisis kelayakan baik secara private maupun secara sosial, keunggulan kompetitif (efisiensi finansial) dan keunggulan komparatif (efisiensi ekonomi), serta dampak intervensi atau kebijakan pemerintah terhadap sistem komoditas. Analisis daya saing pada dasarnya membutuhkan data pokok dan proses sebagai berikut: (a) Data input-output fisik usahatani komoditas yang diteliti; (2) Harga finansial dan ekonomi input-output usahatani; (3) Pemisahan komponen domestik dan asing masukan (input) usahatani; (4) Penghitungan komponen pokok analisis matrik kebijaksanaan; dan (5) Penghitungan indikator hasil analisis yang mencakup analisis keuntungan, efisiensi finansial dan ekonomi, dan dampak kebijakan pemerintah. Pada tingkat usahatani (level farm gate), namun informasi pada industri pengolahan maupun pemasaran diperlukan untuk melakukan penyesuaian dalam penentuan harga sosial. Untuk jelasnya Matriks PAM dapat dilihat pada Tabel 1. Baris pertama dari Matriks PAM adalah perhitungan dengan harga privat atau harga pasar, yaitu harga yang betul-betul diterima atau dibayarkan oleh pelaku ekonomi. Baris kedua merupakan perhitungan yang didasarkan pada harga sosial (shadow price), yaitu harga yang menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya bagi unsur-unsur biaya maupun hasil. Baris ketiga merupakan perbedaan perhitungan dari harga privat dengan harga sosial sebagai akibat dari dampak kebijaksanaan pemerintah. Untuk input dan output yang dapat diperdagangkan secara internasional, harga sosial dapat dihitung berdasarkan harga perdagangan internasional. Untuk komoditas yang diimpor dipakai harga CIF (Cost Insurance and Freight), sedangkan komoditas yang diekspor digunakan harga FOB (Free on Board). Sedangkan untuk menghitung harga sosial input non tradable digunakan biaya imbangannya (opportunity cost).
29
Tabel 1. Policy Analysis Matrix (PAM) Penerimaan
Input tradable
Biaya Input non- tradable
Keuntungan
Harga privat
A
B
C
D=A–B–C
Harga sosial
E
F
G
H=E–F–G
I=A-E
J=B–F
K=C–G
L=I–J–K=D–H
Divergensi
Sumber: Eric A. Monke dan Scott R. Pearson, 1989 Keterangan: D = Keuntungan Privat; H = Keuntungan Sosial; I = Output Transfer; J = Input Transfer; K = Factor Transfer; L = Net Transfer
Beberapa indikator kunci yang dapat diperoleh dari PAM diantaranya adalah: 1. Analisis Keuntungan a. Private Profitability (PP) : D = A – (B+C) Keuntungan privat merupakan indikator daya saing (competitiveness) dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijaksanaan yang ada. Apabila D > 0, maka sistem komoditas menghasilkan laba di atas biaya normal yang berarti bahwa komoditas itu secara finansial layak diusahakan, kecuali apabila sumber daya terbatas atau adanya komoditas alternatif yang lebih menguntungkan. b. Social Profitability (SP): H = E – (F+G) Keuntungan sosial merupakan indikator keuntungan komparatif (comparative advantage) dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada divergensi harga baik akibat kebijakan pemerintah maupun distorsi pasar. Apabila H > 0, maka sistem komoditas menghasilkan laba atas biaya normal dalam harga sosial dan mempunyai keunggulan komparatif untuk dikembangkan di dalam negeri. 2. Efisiensi Finansial (Keunggulan Kompetitif) dan Efisiensi Ekonomi (Keunggulan Komparatif)
30
domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Sistem mempunyai keunggulan komparatif jika DRC < 1. Semakin kecil nilai DRC berarti sistem semakin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi. 3. Dampak Kebijaksanaan Pemerintah a. Kebijakan Output (1) Output Transfer : OT = A-E: Transfer output merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga privat (finansial) dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial (bayangan). Jika nilai OT > 0 menunjukkan adanya transfer dari masyarakat (konsumen) atau pemerintah terhadap produsen, demikian juga sebaliknya. (2) Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) = A/E; yaitu indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap output pertanian domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap output jika nilai NPCO > 1. Semakin besar nilai NPCO berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap output. b. Kebijakan Input
a. Private Cost Ratio (PCR) = C/(A – B): yaitu indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya domestik dan tetap kompetitif. Sistem bersifat kompetitif jika PCR < 1. Semakin kecil nilai PCR berarti semakin kompetitif.
(1) Input Transfer: IT = B – F: Transfer input adalah selisih antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga private dengan biaya yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Jika nilai IT > 0, menunjukkan adanya transfer dari petani produsen kepada produsen input tradable atau pemerintah.
b. Domestic Resource Cost (DRC) = G/(E – F): yaitu indikator keunggulan komparatif, yang menunjukkan jumlah sumber daya
(2) Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) = B/F; yaitu indikator yang menunjukkan tingkat proteksi
pemerintah terhadap harga input pertanian domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI < 1, berarti ada kebijakan subsidi input tradable. (3) Factor Transfer. Transfer faktor merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Nilai FT > 0, mengandung arti bahwa ada transfer dari petani produsen kepada produsen input non tradable atau pemerintah, demikian juga sebaliknya. c. Kebijakan Input-Output (1) Effective Protection Coefficient (EPC) = (A-B)/(E-F); yaitu indikator yang menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap output dan input tradable. Kebijakan masih bersifat protektif jika nilai EPC > 1. Semakin besar nilai EPC berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas pertanian domestik. (2) Net Transfer: NT = D – H Transfer bersih merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benarbenar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai NT > 0, menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output, demikian juga sebaliknya. (3) Profitability Coefficient: PC = D/H Koefisien keuntungan adalah perbandingan antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Jika PC > 0, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen, demikian juga sebaliknya. (4) Subsidity Ratio to Producer (SRP) = L/E = (D-H)/E; yaitu indikator yang menunjukkan proporsi penerimaan pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi atau pajak digunakan sebagai pengganti kebijakan.
KEUNTUNGAN FINANSIAL DAN EKONOMI Keuntungan Finansial Pada bahasan ini akan dianalisis secara spasial keuntungan finansial menurut wilayah, jenis atau sistem pengairan, dan pada musim tanam yang berbeda. Keuntungan finansial adalah selisih penerimaan dan biaya total dengan dasar perhitungan harga keluaran yang diterima dan harga masukan yang dibayar petani produsen. Total biaya telah mencakup nilai sewa lahan dan sewa tenaga kerja dalam keluarga. Profitabilitas yang merefleksikan keuntungan relatif terhadap penerimaan juga ditampilkan sebagai indikator komparasi secara spasial. Pada kondisi aplikasi teknologi aktual, kinerja usahatani, pada tingkat harga yang dibayar dan diterima petani, dan kebijaksanaan yang sedang berjalan nampak bahwa usahatani kedelai tidak memberikan keuntungan pada petani produsen (Tabel 2). Secara finansial usahatani kedelai tidak memiliki keunggulan kompetitif dan dinilai tidak efisien dalam pemanfaatan sumberdaya. Komoditas ini akan mengalami hambatan dalam pengembangannya bila terdapat komoditas lain yang ternyata memiliki daya saing yang lebih tinggi secara finansial. Usahatani kedelai diusahakan secara terbatas di dua kabupaten contoh Klaten dan Ngawi, dan umumnya diusahakan pada lahan bukan irigasi teknis, khususnya pada musim kemarau. Pengusahaan di lahan irigasi teknis dan setengah teknis usahatani kedelai masih menunjukkan profitabilitas di atas keuntungan normal (normal profit) masing-masing dengan keuntungan relatif terhadap penerimaan sebesar 4,7 persen dan 0,3 persen (Tabel 2). Pada jenis irigasi sederhana (MK II) mengalami kerugian relatif sebesar 1,1 persen atau sebesar Rp 25.400/ha. Tingkat kerugian yang paling besar dialami oleh pengusahaan kedelai di lahan tadah hujan (MK II) di Kabupaten Ngawi dengan tingkat kerugian relatif 4,6 persen (Rp 90.260/ha). Tingkat kerugian pada jenis lahan dan musim tanam yang sama di Kabupaten Klaten nampak sedikit lebih rendah yaitu sebesar 3,1 persen (Rp 71.610/ha). Nampak bahwa pengusahaan kedelai juga membutuhkan kondisi lahan yang lebih subur dan fasilitasi pengairan yang memadai.
31
Tabel 2. Keuntungan Finansial Usahatani Kedelai Menurut Jenis Pengairan di Dua Kabupaten Contoh, 2000 – 2001 Uraian Klaten Irigasi Teknis MK II 2001 Tadah Hujan MK II 2001 Ngawi Irigasi ½ Teknis MK II 2001 Irigasi Sederhana MK II 2001 Tadah Hujan MK I 2001 MK II 2001
Total biaya (Rp/ha)
2.200.000
2.095.863
104.137
4,7
2.296.435
2.368.042
-71.607
-3,1
1.880.000
1.874.119
5.881
0,3
2.369.052
2.394.466
-25.414
-1,1
2.356.866 1.979.964
2.384.694 2.070.219
-27.828 -90.255
-1,2 -4,6
Hal ini diindikasikan oleh semakin meningkatnya tingkat kerugian yang dialami petani pada kondisi lahan dan pengairan yang semakin kurang baik. Pada wilayah yang sama (Klaten), pada tingkat penerimaan yang relatif tetap, pengusahaan kedelai di lahan tadah hujan membutuhkan biaya 13,0 persen lebih tinggi dibandingkan dengan di lahan irigasi teknis (Rp 2.096.000 vs Rp 2.368.000/ha). Di Kabupaten Ngawi pengusahaan kedelai di lahan irigasi sederhana membutuhkan total biaya 27,8 persen lebih tinggi, sementara peningkatan hasil hanya 26,0 persen dibandingkan dengan pengusahaan kedelai di lahan irigasi setengah teknis. Petani mengusahakan kedelai, khususnya di Kabupaten Ngawi pada MK II pada lahan bukan irigasi teknis dan setengah teknis dikarenakan oleh kendala teknis dan tidak adanya pilihan komoditas lain yang lebih menguntungkan. Analisis keuntungan finansial usahatani jagung di tiga kabupaten contoh disajikan pada Tabel 3. Kecuali di Kabupaten Kediri, jagung umumnya diusahakan pada lahan bukan irigasi teknis dan setengah teknis, dan pilihan musim tanam adalah MK I atau MK II. Dibandingkan dengan kedelai pada wilayah dan jenis pengairan yang sama (Klaten, lahan tadah hujan, MK II) jagung lebih menguntungkan dibandingkan kedelai dengan tingkat keuntungan relatif 11,8 persen, sementara kedelai mengalami kerugian sebesar 3,1 persen. Secara absolut usahatani jagung di Jawa (Klaten dan Kediri) lebih menguntungkan dibandingkan dengan di Sidrap. Di Jawa, pada jenis pengairan yang semakin baik, tingkat keuntungan nampak lebih tinggi, dan keuntungan pada
32
Keuntungan (Rp/ha) (%)
Penermaan (Rp/ha)
MK I lebih besar dibandingkan dengan MK II. Secara relatif keuntungan usahatani jagung pada MK I secara konsisten dan signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan MK II. Nampak bahwa keuntungan usahatani jagung ini semakin tinggi pada kondisi lahan dan pengairan yang semakin membaik. Sebagai ilustrasi di Kabupaten Kediri pada MK I, secara absolut keuntungan usahatani jagung menurun secara konsisten dari Rp 1.385.700/ha (irigasi teknis) menjadi Rp 988.600/ha pada lahan tadah hujan. Secara relatif keuntungan pada MK I berkisar antara 20,2 – 27,1 persen, sedangkan pada MK II hanya 15,0 – 24,1 persen. Analisis finansial keuntungan usahatani kacang tanah di dua kabupaten contoh Klaten dan Sidrap disajikan pada Tabel 4. Usahatani kacang tanah pada kabupaten, jenis pengairan dan musim tanam yang sama, ternyata memiliki keuntungan absolut dan relatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan jagung. Jadi pada agroekosistem yang sama, secara finansial usahaani kacang tanah lebih prospektif dibandingkan dengan jagung dan kedelai. Urutan prioritas pengembangan dari ketiga jenis palawija ini adalah kacang tanah, jagung, dan kedelai. Di Klaten dan Sidrap, pengusahaan kacang tanah pada sistem pengairan yang lebih baik pada musim tanam yang sama (MK II) memberikan tingkat keuntungan yang lebih baik. Tingkat keuntungan pada MK I tetap lebih baik dibandingkan dengan MK II. Nampak bahwa kecenderungan ini terjadi pada ketiga jenis palawija ini. Sebagai ilustrasi keuntungan usahatani kacang tanah MK II untuk jenis irigasi teknis 11,6 persen lebih tinggi dibandingkan
Tabel 3. Keuntungan Finansial Usahatani Jagung Menurut Jenis Pengairan di Tiga Kabupaten Contoh, 2000 – 2001 Uraian Klaten Irigasi ½ Teknis MK I 2001 MK II 2001 Tadah Hujan MK II 2001 Kediri Irigasi Teknis MK I 2001 MK II 2001 Irigasi ½ Teknis MK I 2001 MK II 2001 Irigasi Sederhana MK I 2001 MK II 2001 Tadah Hujan MK I 2001 MK II 2001 Sidrap Irigasi ½ Teknis MK II 2001 Irigasi Sederhana MK II 2001 Tadah Hujan MK II 2001
Tabel 4.
Penerimaan (Rp/ha)
Total biaya (Rp/ha)
Keuntungan (Rp/ha) (%)
4.934.760 4.273.000
3.000.308 3.349.719
1.934.452 923.281
39,2 21,6
3.604.500
3.179.465
424.985
11,8
5.114.750 4.924.412
3.729.056 3.737.820
1.385.694 1.186.592
27,1 24,1
4.871.304 4.433.088
3.826.972 3.770.205
1.044.332 662.883
21,4 15,0
4.350.000 3.620.736
3.341.210 3.008.935
1.008.790 611.802
23,2 16,9
4.890.240 4.477.968
3.901.677 3.676.916
988.563 801.052
20,2 17,9
4.161.300
3.673.277
488.024
11,7
3.559.012
3.004.844
554.168
15,6
3.298.000
2.889.566
398.434
12,1
Keuntungan Finansial Usahatani Kacang Tanah Menurut Jenis Pengairan di Dua Kabupaten Contoh, 2000 – 2001 Uraian
Klaten Irigasi Teknis MK II 2001 Tadah Hujan MK II 2001 Sidrap Irigasi ½ Teknis MK I 2001 MK II 2001 Tadah Hujan MK II 2001
Penerimaan (Rp/ha)
Total biaya (Rp/ha)
Keuntungan (Rp/ha) (%)
4.568.000
3.236.651
1.331.349
29,1
4.224.000
3.046.640
1.177.360
27,9
3.272.500 3.601.800
2.048.313 2.649.307
1.224.188 952.493
37,4 26,4
3.200.000
2.301.383
898.617
28,1
di lahan tadah hujan (Rp 1.331.400 vs Rp 1.177.400/ha), dan tingkat keuntungan secara relatif adalah 29,1 vs 27,9 persen (Tabel 4). Di Kabupaten Sidrap pada jenis pengairan setengah teknis (moderat), keuntungan usahatani kacang tanah pada MK I adalah 22,2 persen lebih tinggi dari MK II (Rp 1.224.200 vs Rp
952.500/ha), dan tingkat keuntungan secara relatif adalah 37,4 vs 26,4 persen. Komoditas palawija (kecuali kedelai), walaupun diusahakan pada sistem irigasi yang lebih inferior dan umumnya pada MK II, namun memiliki tingkat profitabilitas lebih baik dibandingkan dengan padi, khususnya di Jawa.
33
Tabel 5. Keuntungan Ekonomi Usahatani Kedelai Menurut Jenis Pengairan di Dua Kabupaten Contoh, 2000 – 2001 Uraian Klaten Irigasi Teknis MK II 2001 Tadah Hujan MK II 2001 Ngawi Irigasi ½ Teknis MK II 2001 Irigasi Sederhana MK II 2001 Tadah Hujan MK I 2001 MK II 2001
Penerimaan (Rp/ha)
Total biaya (Rp/ha)
Keuntungan (Rp/ha) (%)
2.192.385
2.051.593
140.793
6,4
2.304.197
2.287.574
16.623
0,7
2.060.842
1.845.074
215.768
10,5
2.078.381
2.342.890
-264.509
-12,7
3.003.842 2.130.998
2.346.242 2.021.517
639.204 109.481
21,3 5,1
Di Klaten dan Kediri, profitabilitas finansial padi mencapai 14 persen dan 19 persen, sementara itu komoditas jagung mencapai 38,3 persen dan 43,7 persen, dan kacang tanah mencapai 31,7 persen di Klaten. Nampak bahwa jagung dan kacang tanah secara finansial lebih menguntungkan dan lebih efisien dalam pemanfaatan modal. Keuntungan Ekonomi Keuntungan ekonomi mengindikasikan keunggulan komparatif suatu komoditas dalam pemanfaatan sumber daya yang langka di dalam negeri. Pada kondisi ini harga input dan output diperhitungkan dalam kondisi pasar persaingan sempurna di mana segala bentuk subsidi dan proteksi yang bersifat mendistorsi pasar telah ditiadakan. Sistem komoditas dengan tingkat keuntungan ekonomi yang semakin tinggi menunjukkan tingkat keunggulan komparatif yang semakin besar. Dengan mengabaikan segala bentuk kebijakan yang mendistorsi pasar input dan output, nampak bahwa usahatani kedelai memberikan tingkat keuntungan, kecuali di Ngawi (irigasi sederhana-MK 2), dengan kerugian secara relatif sebesar 12,7 persen (Tabel 5). Tingkat keuntungan paling tinggi diperoleh pada pengusahaan kedelai di lahan tadah hujan (MK I) di Kabupaten Ngawi dengan nilai absolut sebesar Rp 634.204/ha atau secara relatif sebesar 21,3 persen. Sistem irigasi dengan keunggulan komparatif berikutnya adalah irigasi setengah teknis (MK II) di Ngawi dengan keuntungan relatif 10,5
34
persen, irigasi teknis (MK II) Kabupaten Klaten dengan nilai 6,4 persen. Analisis keuntungan ekonomi usahatani jagung di tiga kabupaten contoh ditampilkan pada Tabel 6. Masih tetap konsisten dengan hasil analisis finansial, secara ekonomi usahatani jagung tetap lebih menguntungkan dibandingkan dengan kedelai. Sebagai ilustrasi pada wilayah dan agroekosistem yang sama (Klaten, lahan tadah hujan, MK II), tingkat profitabilitas ekonomi usahatani jagung adalah 45,5 persen (Rp 2.425.869/ha), sementara itu usahatani kedelai mengalami keuntungan sebesar 0,7 persen. Secara umum dapat dinyatakan bahwa secara ekonomi usahatani jagung memiliki tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil analisis secara finansial. Kecuali di Sidrap, wilayah dengan sistem pengairan yang lebih baik memiliki tingkat keuntungan secara absolut dan relatif lebih tinggi. Demikian juga halnya dengan pengusahaan jagung pada MK I memiliki tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan MK II. Pola keuntungan menurut wilayah, jenis pengairan, dan musim tanam masih tetap sama dengan hasil analisis finansial. Komoditas kacang tanah pada wilayah, jenis pengairan, dan musim tanam yang sama ternyata memiliki keuntungan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan dengan jagung (Tabel 6 dan 7). Sebagai ilustrasi di Kabupaten Klaten (lahan tadah hujan, MK II) keuntungan ekonomi kacang tanah dibandingkan dengan jagung adalah 30,6 persen vs 44,7 persen (Rp 1.293.930/ha vs Rp 2.425.809/ha). Di Kabupaten Sidrap pada jenis pengairan dan musim
Tabel 6. Keuntungan Ekonomi Usahatani Jagung Menurut Jenis Pengairan di Tiga Kabupaten Contoh, 2000 – 2001 Uraian Klaten Irigasi ½ Teknis MK I 2001 MK II 2001 Tadah Hujan MK II 2001 Kediri Irigasi Teknis MK I 2001 MK II 2001 Irigasi ½ teknis MK I 2001 MK II 2001 Irigasi Sederhana MK I 2001 MK II 2001 Tadah Hujan MK I 2001 MK II 2001 Sidrap Irigasi ½ teknis MK II 2001 Irigasi Sederhana MK II 2001 Tadah Hujan MK II 2001
Keuntungan (Rp/ha) (%)
Penerimaan (Rp/ha)
Total biaya (Rp/ha)
7.721.687 5.688.290
2.899.262 3.144.171
4.822.424 2.544.119
62,5 44,7
5.331.524
2.905.655
2.425.869
45,5
7.831.548 6.231.427
3.594.203 3.497.782
4.237.345 2.733.645
54,1 43,9
7.323.047 5.588.449
3.646.168 3.546.112
3.676.879 2.042.337
50,2 36,5
6.827.101 5.367.467
3.211.957 2.753.336
3.615.144 2.614.131
53,0 48,7
7.106.463 5.798.781
3.652.261 3.349.258
3.454.202 2.449.524
48,6 42,2
5.035.994
3.533.689
1.502.305
29,8
4.595.361
2.871.050
1.724.311
37,5
4.390.354
2.769.957
1.620.397
36,9
Tabel 7. Keuntungan Ekonomi Usahatani Kacang Tanah Menurut Jenis Pengairan di Dua Kabupaten Contoh, 2000 – 2001 Uraian Klaten Irigasi Teknis MK II 2001 Tadah Hujan MK II 2001 Sidrap Irigasi ½ teknis MK I 2001 MK II 2001 Tadah Hujan MK II 2001
Keuntungan (Rp/ha)
Penerimaan (Rp/ha)
Total biaya (Rp/ha)
4.568.000
3.150.277
1.417.723
31,0
4.224.000
2.930.070
1.293.930
30,6
3.272.500 3.601.800
2.043.392 2.559.667
1.229.108 1.042.133
37.6 28,9
3.200.000
2.267.596
932.404
29,1
tanam yang sama perbandingan tingkat keuntungan relatifnya adalah 24,8 persen vs 36,9 persen. Secara ekonomi dapat dinyatakan bahwa jagung memiliki keunggulan komparatif yang lebih baik dibandingkan dengan kacang tanah. Secara ekonomi nampak bahwa usahatani kacang tanah ini memiliki tingkat keuntung-
(%)
an absolut dan relatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan secara finansial. Secara ekonomik, pengusahaan kacang tanah pada sistem pengairan yang lebih baik memiliki tingkat keuntungan yang lebih tinggi. Demikian juga halnya pengusahaan kacang tanah pada MK I nampak lebih menguntungkan dibandingkan dengan yang ditanam pada MK II.
35
KEUNGGULAN KOMPETITIF DAN KOMPARATIF Komoditas Kedelai Secara umum dapat dinyatakan usahatani kedelai tidak memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan oleh nilai PCR yang lebih besar daripada satu (Tabel 8). Indikator profitabilitas privat ini menunjukkan bahwa sistem usahatani kedelai tidak mampu membayar korbanan biaya domestik, sehingga ia tidak memiliki keunggulan kompetitif dalam pemanfaatan sumberdaya. Keadaan ini menjadi salah satu sebab kenapa usahatani kedelai relatif tidak berkembang di lapangan, karena secara finansial tidak memiliki keunggulan kompetitif. Di lain pihak, secara ekonomi usahatani kedelai memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh nilai DRCR lebih kecil dari satu, kecuali di lahan irigasi sederhana (MK II) di Kabupaten Ngawi. Namun demikian, nilai besaran DRCR dinilai sangat marginal, yaitu mendekati satu, sehingga akan sangat rentan terhadap perubahan faktor eksternal. Di Kabupaten Klaten kisaran nilai DRCR adalah antara 0,92 (lahan irigasi teknis) dan 0,99 (lahan tadah hujan), pada musim tanam yang sama (MK II). Di Kabupaten Ngawi kisaran DRCR adalah 0,75 – 1,15. Keunggulan komparatif tertinggi didapatkan pada pengusahaan kedelai di lahan tadah hujan pada MK I di Kabupaten Ngawi. Jadi untuk menghemat satu satuan devisa melalui pengembangan usahatani kedelai untuk memenuhi kebutuhan domestik dibutuhkan pengorbanan sumber daya di dalam negeri lebih kecil dari satu US$, yaitu US$ 0.75. Pengusahaan kedelai di lahan irigasi sederhana pada MK II dinilai tidak memiliki keunggulan komparatif karena sumber daya domestik yang harus dikorbankan lebih besar dari satu US$, yaitu US$ 1,15. Dibandingkan dengan padi, pada wilayah pengembangan yang sama (Klaten dan Ngawi), nampak bahwa komoditas kedelai memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sedikit lebih rendah dibandingkan dengan padi. Pada kedua wilayah, nilai PCR padi adalah 0,84 dan 0,93, dengan nilai DRCR 0,78 dan 0,87. Walaupun keunggulan komparatif padi dinilai marginal, namun masih lebih kecil dibandingkan dengan satu sebagai batas aman pengusahaan padi untuk memenuhi kebutuhan domestik.
36
Tabel 8. Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usahatani Kedelai Menurut Jenis Pengairan di Dua Kabupaten Contoh, 2000-2001 Uraian Klaten Irigasi Teknis MK II 2001 Tadah Hujan MK II 2001 Ngawi Irigasi ½ Teknis MK II 2001 Irigasi Sederhana MK II 2001 Tadah Hujan MK I 2001 MK II 2001
PCR
DRCR
0,94
0,92
1,04
0,99
1,00
0,88
1,01
1,15
1,01 1,05
0,75 0,94
Menarik untuk dikemukakan dinamika keunggulan komparatif komoditas kedelai yang dilakukan oleh beberapa peneliti (Rosegrant et al., 1987; Simatupang, 1990; Rusastra, 1995) dengan menggunakan data struktur ongkos yang diterbitkan oleh BPS, Jakarta, dengan temuan ringkas sebagai berikut: (1) Di Jawa terdapat kemunduran keunggulan komparatif kedelai, dan bahkan analisis terakhir menunjukkan bahwa tiga provinsi di Jawa tidak efisien secara ekonomi, baik untuk tujuan substitusi impor, perdagangan antar daerah, dan lebihlebih lagi untuk tujuan promosi ekspor; (2) Penurunan kinerja kelayakan ekonomi ini disebabkan oleh tidak adanya terobosan teknologi (varietas dan teknik berproduksi) yang mampu meningkatkan produktivitas, dan di sisi lain petani terus memacu penggunaan masukan modern dengan konskuensi tambahan hasil yang tidak proporsional; (3) Pengusahaan kedelai di luar Jawa memiliki keunggulan komparatif untuk tujuan substitusi impor, dengan nilai DRCR hampir mendekati satu (titik impas) yang mengindikasikan kurang stabilnya kelayakan ekonomis komoditas ini; dan (4) Kinerja keunggulan komparatif kedelai di luar Jawa lebih baik dibandingkan dengan di Jawa disebabkan oleh biaya ekonomi per unit keluaran yang lebih rendah sekitar 45,0 persen (Rp 379/kg vs Rp 689/kg). Untuk mendapatkan gambaran pengembangan kedelai pada suatu lokasi spesifik, dinilai perlu untuk menampilkan studi kasus yang dilakukan oleh Hermanto et al. (1993) di dua kabupaten di Jawa Timur. Penelitian dilakukan di Kabupaten Blitar dan Jember yang
masing-masing mewakili kabupaten dengan produktivitas kedelai rendah dan tinggi. Hasil analisis data primer menunjukkan bahwa usahatani kedelai di Jember (produktivitas tinggi) adalah menguntungkan secara finansial dan ekonomi, dengan nilai DRCR 0,40. Berbeda dengan produksi kedelai di Jember, kinerja kelayakan usahatani di Blitar hanya layak secara finansial, sedangkan secara ekonomis mengalami kerugian dan tidak memiliki keunggulan komparatif dengan nilai DRCR lebih besar dari satu, yaitu 1,18.
gulan kompetitif; (5) Di Jawa rataan keunggulan kompetitif (PCR) adalah 0,71, dengan kisaran 0,52 s/d 0,84; (6) Rataan keunggulan komparatif adalah 0,43, dengan kisaran 0,30 dan 0,56; (7) Di luar Jawa (Sidrap) rataan nilai PCR dan DRCR nampak lebih tinggi yaitu 0,83 dan 0,60, yang mengindikasikan kinerja keunggulan kompetitif dan komparatif yang lebih rendah dan kurang stabil; (8) Dibandingkan dengan kedelai, usahatani jagung secara meyakinkan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif yang lebih baik.
Hasil analisis mikro menunjukkan bahwa masih terdapat kantong-kantong produksi kedelai di Jawa Timur yang memiliki potensi pengembangan cukup baik. Hermanto et al. (1993) mengakui bahwa keunggulan komparatif kedelai di Jember tidak terlepas dari dukungan lingkungan yang mendukung seperti kondisi tanah dan iklim yang sesuai, di samping tatalaksana pengairan yang terkelola secara baik. Rusastra et al. (1992) menunjukkan bahwa daerah seperti Banyuwangi, Pasuruan, dan Lamongan yang memiliki produktivitas di atas rataan Jawa Timur juga dinilai memiliki potensi keunggulan komparatif dalam usahatani kedelai. Hal ini diindikasikan oleh tingkat keuntungan terhadap total biaya yang mencapai sekitar 44,0-89,0 persen dengan memperhitungkan harga keluaran sebesar harga paritasnya di pasar dunia. Tingkat profitabilitas ini dinilai cukup tinggi, yakni jauh melebihi tingkat suku bunga di pasar modal. Tingkat keuntungan ini diperkirakan masih cukup memadai, walaupun subsidi harga masukan ditiadakan.
Pada wilayah pengembangan yang sama (Klaten, Kediri, dan Sidrap) secara sangat meyakinkan, bahwa komoditas jagung memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan padi. Nilai koefisien DRCR padi di tiga kabupaten ini adalah 0,96; 0,90; dan 0,83 yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan DRCR jagung (Tabel 9). Dalam meningkatkan pendapatan petani dan efisiensi ekonomi pemanfaatan sumberdaya, pada daerah dan musim tanam yang tepat, komoditas jagung perlu mendapat prioritas untuk dikembangkan.
Komoditas Jagung Dari analisis keunggulan kompetitif dan komparatif usahatani jagung pada Tabel 9, dapat ditarik beberapa kesimpulan menarik sebagai berikut: (1) Usahatani jagung memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif pada semua wilayah, jenis pengairan, dan musim tanam yang dipertimbangkan; (2) Di Jawa, wilayah dengan jenis pengairan yang lebih baik memilliki keunggulan kompetitif dan komparatif yang lebih baik; (3) Jagung yang diusahakan pada MK I dibandingkan dengan MK II, juga menunjukkan kinerja efisiensi privat dan efisiensi ekonomi yang lebih baik; (4) Dilihat dari besaran nilai DRCR dan PCR, nampak jelas bahwa keunggulan komparatif lebih tinggi dan lebih stabil dibandingkan dengan tingkat keung-
Tabel 9. Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usahatani Jagung Menurut Jenis Pengairan di Tiga Kabupaten Contoh, 2000/2001 Uraian Klaten Irigasi ½ Teknis MK I 2001 MK II 2001 Tadah Hujan MK II 2001 Kediri Irigasi Teknis MK I 2001 MK II 2001 Irigasi ½ Teknis MK I 2001 MK II 2001 Irigasi Sederhana MK I 2001 MK II 2001 Tadah Hujan MK I 2001 MK II 2001 Sidrap Irigasi ½ Teknis MK II 2001 Irigasi Sederhana MK II 2001 Tadah Hujan MK II 2001
PCR
DRCR
0,52 0,73
0,30 0,50
0,84
0,48
0,65 0,69
0,37 0,49
0,69 0,80
0,39 0,56
0,69 0,77
0,38 0,43
0,70 0,74
0,39 0,48
0,85
0,65
0,80
0,56
0,85
0,58
37
Perkembangan secara dinamis kinerja keunggulan komparatif usahatani jagung yang dilakukan oleh Kasryno (1990) dan Kariyasa dan Adnyana (1998) menunjukkan beberapa informasi menarik sebagai berikut: (a) Terdapat indikasi kuat terjadinya penurunan keunggulan komparatif di Jawa maupun luar Jawa, namun masih tetap pada tingkat menguntungkan bagi perekonomian secara keseluruhan; (2) Hasil analisis terakhir menunjukkan bahwa keunggulan komparatif jagung di lahan sawah irigasi di tiga provinsi di Jawa adalah lebih baik dibandingkan dengan pengembangan pada jenis lahan lainnya (tadah hujan dan lahan kering) dengan nilai rataan DRCR 0,747 vs 0,890; (3) Kinerja pengembangan jagung di lahan tadah hujan dan lahan kering di Sulawesi Selatan ternyata memiliki keunggulan komparatif yang relatif sama dengan agroekosistem sawah irigasi di Jawa, masing-masing dengan nilai DRCR 0,714 dan 0,771. Kacang Tanah Usahatani kacang tanah memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat keunggulan kompetitifnya, namun tidak berbeda secara meyakinkan seperti halnya pada kasus komoditas jagung. Di samping itu juga tidak terdapat indikasi kuat adanya perbedaan kinerja daya saing antarwilayah dan agroekosistem pengembangan, kecuali perbedaan antar musim tanam, dimana MK I memiliki daya saing yang lebih baik dibandingkan dengan kacang tanah yang diusahakan pada MK II (Tabel 10). Dengan demikian kisaran nilai PCR dan DRCR antar wilayah dan agroekosistem pengembangan relatif kecil, masingmasing berkisar antara 0,57-0,65 dan 0,57-0,63. Dibandingkan dengan komoditas jagung pada wilayah, jenis pengairan, dan musim tanam yang sama, komoditas kacang tanah memiliki tingkat keunggulan komparatif yang relatif sama. Sebagai ilustrasi, perbedaan nilai DRCR jagung dan kacang tanah di Klaten (tadah hujan, MK II) adalah 0,54 vs 0,58, di Sidrap pada jenis irigasi dan musim tanam yang sama adalah 0,64 vs 0,61. Dari ketiga jenis komoditas palawija ini, jagung dan kacang tanah memiliki daya saing secara ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan kedelai. Pada wilayah dan agroekosistem yang sama, arah kebijakan pengembangan perlu memberikan prioritas kepada jagung dan atau kacang tanah
38
sebagai komoditas yang mampu memanfaatkan sumberdaya domestik secara lebih efisien. Komoditas kacang tanah di Klaten dan Sidrap, bukan saja memiliki keunggulan komparatif, tetapi juga keunggulan kompetitif yang lebih baik dibandingkan dengan padi. Padi dengan nilai PCR dan DRCR di Klaten sebesar 0,84 dan 0,96, dan di Sidrap sebesar 0,71 dan 0,83, nampak jelas memiliki daya saing yang lebih rendah secara finansial dan ekonomi dibandingkan dengan kacang tanah (Tabel 10). Persoalannya sekarang adalah, bagaimana menciptakan lingkungan ekonomi agar usahatani kacang tanah ini dapat memberikan tingkat keuntungan yang berkelanjutan. Tabel 10. Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usahatani Kacang Tanah Menurut Jenis Pengairan di Dua Kabupaten Contoh, 2000/2001 Uraian Klaten Irigasi Teknis MK II 2001 Tadah Hujan MK II 2001 Sidrap Irigasi ½ Teknis MK I 2001 MK II 2001 Tadah Hujan MK II 2001
PCR
DRCR
0,61
0,60
0,61
0,59
0,57 0,65
0,57 0,63
0,63
0,62
ANALISIS SENSITIVITAS HARGA PARITAS DAN PRODUKTIVITAS Komoditas Kedelai Bahasan ini diarahkan untuk mengetahui tingkat stabilitas keunggulan komparatif terhadap kemungkinan perubahan produktivitas dan harga komoditas di pasar dunia. Semakin tinggi persentase penurunan harga atau produktivitas yang dibutuhkan untuk mencapai DRCR = 1, maka semakin tinggi tingkat stabilitas keunggulan komparatif suatu komoditas. Hasil analisis pada Tabel 11 menunjukkan bahwa tingkat stabilitas keunggulan komparatif kedelai adalah sangat rentan terhadap perubahan dari salah satu indikator produktivitas atau harga kedelai di pasar dunia. Sebagai ilustrasi bila produktivitas atau harga paritas kedelai menurun di atas 1,80 persen di lahan
Tabel 11.
Analisis Sensitivitas Harga Paritas dan Produktivitas Usahatani Kedelai Menurut Jenis Pengairan di Dua Kabupaten Contoh, 2000/2001 Uraian
Klaten Irigasi Teknis MK II 2001 Tadah Hujan MK II 2001 Ngawi Irigasi ½ Teknis MK II 2001 Irigasi Sederhana MK II 2001 Tadah Hujan MK I 2001 MK II 2001
Harga paritas (Rp/kg)
Produktivitas (Kg//Ha)
Aktual
BEP
Aktual
2.200
2.052
1.000
933
-7,18
2.185
2.185
1.051
1.047
-0,38
2.000
1.963
940
923
-1,84
2.499
2.471
948
938
-1,07
2.062 2.037
2.069 2.080
1.143 972
1.147 992
0,349 2,02
irigasi ½ teknis (MK II), Ngawi maka pengusahaan kedelai untuk memenuhi kebutuhan domestik menjadi tidak layak secara ekonomi. Di lahan irigasi teknis pada musim yang sama di Klaten terdapat toleransi yang lebih besar, yaitu bila terjadi penurunan harga/produktivitas di atas 7,18 persen. Jadi pada tingkat keunggulan komparatif yang marginal, perubahan produktivitas/harga paritas yang relatif kecil menyebabkan pengusahaan kedelai menjadi tidak layak atau tidak efisien secara ekonomi. Komoditas Jagung Kelayakan ekonomi usahatani jagung sangat stabil. Sebagai ilustrasi di Kabupaten Klaten dibutuhkan penurunan produktivitas/ harga paritas dengan kisaran 19,38 persen – 41,24 persen untuk mencapai titik BEP (DRCR = 1). Semakin baik sistem irigasi semakin tinggi tingkat stabilitas keunggulan komparatif, dan semakin tinggi perubahan harga/produktivitas yang dibutuhkan (Tabel 12). Di Kabupaten Kediri, usahatani jagung mengalami keuntungan normal (DRCR = 1) apabila terjadi penurunan produktivitas dan harga internasional di atas kisaran 23,96 – 29,72 persen (Tabel 12). Semakin baik sistem irigasi, semakin stabil tingkat keunggulan komparatifnya yang berarti semakin tinggi toleransi penurunan produktivitas atau harga di pasar dunia. Pengusahaan jagung pada MK I juga nampak lebih stabil kelayakan ekonominya dibandingkan dengan yang diusahakan pada MK II. Di Kabupaten Sidrap dengan kondisi keunggulan komparatif jagung yang lebih
BEP
Perubahan (%)
rendah (kisaran DRCR 0,62 – 0,74), maka tingkat toleransi penurunan produktivitas/harga paritas relatif lebih kecil, yaitu berkisar antara 16,01 persen – 19,37 persen (Tabel 12). Tidak terdapat pola hubungan yang jelas dan konsisten antara tingkat keunggulan komparatif dengan kondisi jenis pengairan. Di lahan irigasi setengah teknis dan tadah hujan, bila produktivitas/harga di pasar dunia menurun masingmasing di atas 16,34 persen dan 16,95 persen maka komoditas jagung tidak layak dikembangkan secara ekonomi. Sebaliknya di lahan irigasi sederhana penurunan produktivitas/harga paritas maksimal sebesar 20,8 persen masih dapat ditolerir, dan komoditas ini masih efisien secara ekonomis dalam pemanfaatan sumber daya di dalam negeri. Komoditas Kacang Tanah Pada daerah pengembangan dan musim tanam yang sama, tingkat daya saing kacang tanah lebih stabil daripada jagung. Di Klaten (tadah hujan) toleransi penurunan produktivitas atau harga paritas kacang tanah nampak lebih besar (31,00% vs 19,38%) untuk mencapai titik impas (DRCR = 1). Pada sistem irigasi ½ teknis (MK II) dan tadah hujan di Sidrap, stabilitas daya saing kacang tanah tetap lebih baik, dengan toleransi penurunan produktivitas/harga paritas 28,89 persen vs 15,09 persen dan 23,13 persen vs 16,01 persen. Pada kondisi pasar faktual, usahatani kacang tanah lebih dapat diandalkan dalam menanggung risiko usaha relatif dibandingkan dengan jagung, apalagi dengan komoditas kedelai.
39
Tabel 12. Analisis Sensitivitas Harga Paritas dan Produktivitas Usahatani Jagung Menurut Jenis Pengairan di Tiga Kabupaten Contoh, 2000/2001 Uraian Klaten Irigasi ½ Teknis MK I 2001 MK II 2001 Tadah Hujan MK II 2001 Kediri Irigasi Teknis MK I 2001 MK II 2001 Irigasi ½ Teknis MK I 2001 MK II 2001 Irigasi Sederhana MK I 2001 MK II 2001 Tadah Hujan MK I 2001 MK II 2001 Sidrap Irigasi ½ Teknis MK II 2001 Irigasi Sederhana MK II 2001 Tadah Hujan MK II 2001
Harga paritas (Rp/kg) Aktual BEP
Produktivitas (Kg//Ha) Aktual BEP
Perubahan (%)
1.003 1.000
589 736
4.920 4.273
2.891 3.144
-41,24 -26,42
900
726
4.005
3.229
-19,38
1.025 1.052
720 747
4.990 4.681
3.507 3.325
-29,72 -28,97
1.044 1.056
781 845
4.666 4.198
3.492 3.066
-25,16 -26,97
1.000 898
738 683
4.350 4.032
3.212 3.066
-26,16 -23,96
1.080 1.028
807 769
4.528 4.356
3.382 3.258
-25,31 -25,21
1.100
934
3.783
3.212
-15,09
1.031
832
3.454
2.785
-19,37
1.000
840
3.298
2.770
-16,01
Tabel 13. Analisis Sensitivitas Harga Paritas dan Produktivitas Usahatani Kacang Tanah Menurut Jenis Pengairan di Dua Kabupaten Contoh, 2000/2001 Uraian Klaten Irigasi teknis MK II 2001 Tadah hujan MK II 2001 Sidrap Irigasi ½ teknis MK I 2001 MK II 2001 Tadah hujan MK II 2001
Harga (Rp/kg) Aktual BEP
Perubahan (%)
4.000
2.759
1.142
788
-31,00
4.000
2.775
1.056
733
-30,59
3.500 4.002
2.185 2.884
935 900
584 640
-37,54 -28,89
4.000
2.834
800
567
-29,13
KEBIJAKSANAAN INSENTIF Instrumen kebijaksanaan pemerintah dalam meningkatkan dan mengembangkan sektor pertanian tidak hanya berupa insentif terhadap harga output, namun juga terhadap input produksinya. Upaya mengetahui dampak kebijaksanaan harga input, khususnya bagi petani sebagai konsumen dari input produksi yang digunakan dapat dilihat dari nilai transfer input dan koefisien proteksi input nominal (NPCI).
40
Produktivitas (kg/Ha) Aktual BEP
Sedangkan dampak kebijaksanaan harga output dapat dicirikan dari nilai transfer output dan koefisien proteksi output nominal (NPCO). Selanjutnya, untuk menelaah pengaruh bersih dari kebijaksanaan pemerintah dapat dilihat dari nilai transfer bersih dan koefisien proteksi efektif (EPC). Ukuran-ukuran tersebut dipandang penting untuk mengetahui derajat dari proteksi yang menyebabkan adanya perbedaan nilai tambah pada kondisi sebelum dan setelah adanya proteksi. Selengkapnya, hasil analisis kebijaksanaan insentif disajikan dalam Tabel 14 dan 15.
Tabel 14.
Koefisien Proteksi Output dan Input dan Proteksi Efektif untuk Komoditas Kedelai, Jagung dan Kacang Tanah di Empat Kabupaten, Tahun 2001 NPCI
Uraian Kedelai Klaten Irigasi teknis MK I 2001 Tadah hujan MK II 2001 Ngawi Irigasi ½ teknis MK II 2001 Irigasi sederhana MK II 2001 Tadah hujan MK I 2001 MK II 2001 Jagung Klaten Irigasi ½ teknis MK I 2001 MK II 2001 Tadah hujan MK II 2001 Kediri Irigasi teknis MK I 2001 MK II 2001 Irigasi ½ teknis MK I 2001 MK II 2001 Irigasi sederhana MK I 2001 MK II 2001 Tadah hujan MK I 2001 MK II 2001 Sidrap Irigasi ½ teknis MK II 2001 Irigasi sederhana MK II 2001 Tadah hujan MK II 2001 Kacang tanah Klaten Irigasi teknis MK II 2001 Tadah hujan MK II 2001 Sidrap Irigasi ½ teknis MK I 2001 MK II 2001 Tadah hujan MK II 2001
NPCO
EPC
Seed
Urea
SP-36
KCl
ZA
NPK
Pestisida
Herbisida
Total
1,06
1,00
0,98
1,03
0
0
0
1,25
1,25
1,08
0,99
1,06
1,00
1,02
1,07
0
0
0
1,25
0
1,13
0,96
0,97
1,00
0
0
0
0
0
1,25
0
1,09
0,89
1,21
1,00
0,98
0
0
1,07
0
1,25
0
1,09
1,15
0,82 0,99
1,00 1,00
0 0
0,85 1,03
0 0
0,84 0
0 0
1,25 1,25
0 0
1,00 1,15
0,75 0,90
0,69 0,83
1,43 1,81
0,90 1,04
0,99 1,05
1,09 1,23
0,99 1,08
0 0
1,25 1,25
0 0
1,09 1,29
0,58 0,69
0,75
1,53
1,09
1,16
0
0
0
1,25
0
1,38
0,58
0,71 0,87
1,38 1,60
0,90 1,02
0,91 1,03
0 0
0,93 1,02
0 0
1,25 1,25
0 0
1,10 1,23
0,58 0,71
0,72 0,88
1,07 1,48
1,19 1,02
0,91 1,03
0 0
0 1,02
0 0
1,25 1,25
0 0
1,11 1,21
0,57 0,71
0,69 0,75
1,44 1,73
0,87 0,98
0,91 1,06
0,95 1,09
0,97 1,10
0 0
1,25 1,25
0 0
1,09 1,29
0,56 0,57
0,75 0,85
1,39 1,81
0,92 1,02
0,93 1,06
1,04 1,08
0,94 1,04
0 0
1,25 1,25
0 0
1,15 1,28
0,57 0,66
0,91
1,21
0,99
1,08
1,06
0
0
1,25
1,25
1,16
0,77
0,86
1,22
1,00
1,07
0
1,11
0
0
1,25
1,16
0,70
0,83
1,29
1,04
1,10
0
0
0
1,25
1,25
1,21
0,68
1,00
1,00
0,98
1,03
0
1,02
0
1,25
0
1,06
0,98
1,00
1,00
1,11
1,03
0
0
0
1,25
0
1,08
0,97
1,00 1,00
1,00 1,00
0,91 1,03
0,97 1,10
0 0
0 0
0 0
0 0
0 1,25
0,99 1,09
1,00 0,97
1,00
1,00
1,07
1,10
0
0
0
0
0
1,02
0,98
41
42
Proteksi Input Kedelai Kebijaksanaan input yang diterapkan pemerintah berdampak disinsentif bagi petani palawija (kedelai), seperti dicirikan dari harga input produksi yang dibayar petani cenderung lebih tinggi dari harga sosialnya. Untuk Kabupaten Klaten, transfer negatif melalui ongkos produksi berkisar Rp 30 ribu - Rp 62 ribu atau petani membayar input produksi sekitar 8-13 persen lebih mahal dari harga sosialnya. Sementara untuk Kabupaten Ngawi, transfer negatif berkisar Rp 1 ribu - Rp 34 ribu atau petani membayar 0 – 15 persen lebih tinggi dari harga yang seharusnya (harga sosial). Secara agregat, petani kedelai di kedua kabupaten memperoleh dis-insentif harga input (pupuk) sekitar 0 – 15 persen. Transfer negatif tersebut terutama berasal dari pembayaran biaya pupuk, sehingga harga pupuk yang relatif mahal ini dapat menghambat upaya pengembangan usahatani kedelai. Dekomposisi input produksi (pupuk) menunjukkan bahwa harga pupuk Urea yang dibayar petani kedelai di Kabupaten Klaten relatif sama dengan harga sosialnya, sedangkan untuk pupuk SP-36, harga yang dibayar petani lebih tinggi 3 – 7 persen dari harga sosialnya. Sementara itu, untuk petani kedelai di Kabupaten Ngawi memberikan gambaran yang relatif sama, dimana harga pupuk Urea yang dibayar petani relatif sama dengan harga sosialnya, sedangkan untuk SP-36 dan ZA masing-masing 3 persen dan 7 persen lebih tinggi dari harga sosialnya, namun bervariasi antar musim. Jagung Secara umum di ketiga kabupaten (Klaten, Kediri, dan Sidrap), petani jagung belum menikmati perlindungan harga input dari pemerintah atau petani membeli input dengan harga 9 – 38 persen lebih mahal dari harga sesungguhnya. Transfer negatif melalui ongkos produksi jagung masing-masing berkisar Rp 76 ribu – Rp 243 ribu (Klaten), Rp 94 ribu – Rp 292 ribu (Kediri), dan Rp 117 ribu – Rp 120 ribu (Sidrap). Dengan kata lain, tingkat proteksi nominal negatif yang diterima petani jagung berkisar 9–38 persen untuk Klaten, 9–29 persen untuk Kediri, dan 16 – 21 persen untuk Sidrap. Tampak bahwa transfer negatif terbesar berasal dari harga bibit jagung. Transfer negatif bibit jagung berkisar Rp 41 ribu - Rp 233 ribu.
Sementara transfer negatif untuk komponen input lainnya relatif kecil. Berbeda halnya, pada MK I, petani cenderung menikmati harga SP-36 sedikit lebih murah sekitar satu persen dari harga sosialnya. Sebaliknya, pada MK II petani membeli SP-36 lebih mahal sekitar 3 -16 persen dari harga sosialnya. Variasi ini lebih disebabkan oleh perbedaan nilai tukar, di mana pada MK I terjadi apresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, dan sebaliknya depresiasi pada MK II. Kacang Tanah Sebagaimana umumnya petani palawija, petani kacang tanah di Kabupaten Klaten dan Sidrap belum mendapat perlidungan harga input produksi dari pemerintah. Kenyataan ini tercermin dari transfer negatif yang diterima petani kacang tanah di Klaten berkisar Rp 59 ribu – Rp 85 ribu dengan tingkat proteksi nominal negatif sekitar 6 - 8 persen. Sedangkan di Sidrap transfer negatif berkisar Rp 4 ribu – Rp 72 ribu dengan tingkat proteksi nominal negatif sekitar 0 - 9 persen. Transfer input negatif ini terutama berasal dari harga Urea, di mana petani membayar biaya pupuk (urea) 8-31 persen lebih tinggi dari harga di pasar internasional. Proteksi Output Terdapatnya distorsi harga domestik dan harga internasional tidak terlepas dari adanya intervensi pemerintah, baik berupa subsidi, pajak maupun kebijaksanaan perdagangan. Bentuk perlindungan ini secara implisit diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk dalam negeri maupun pasar ekspor. Besarnya perlindungan/proteksi harga jual output dapat diindikasikan dari nilai transfer output, yang merupakan perbedaan penerimaan usahatani riil diterima petani dengan penerimaan usahatani yang menggunakan harga sosial. Sedangkan tingkat proteksi nominal output dapat dicirikan dari koefisien nominal proteksi output (NPCO). Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum di seluruh wilayah penelitian, petani belum menikmati kebijaksanaan harga output palawija (kedelai, jagung, dan kacang tanah) dari pemerintah atau terjadi pengalihan surplus produsen kepada konsumen. Harga jual di tingkat petani cenderung lebih rendah dari harga output yang seharusnya dibayar masyarakat (harga sosial). Untuk keseluruhan wilayah transfer output negatif ketiga komoditas tersebut
43
berkisar Rp 7,76 ribu – Rp 2,8 juta dengan tingkat proteksi nominal output negatif yang diterima petani palawija berkisar 0 – 31 persen. Transfer output negatif yang diterima petani relatif bervariasi menurut lokasi dan komoditas. Untuk komoditas kedelai (kecuali MK II di Ngawi), petani memperoleh harga jual lebih rendah dari harga paritas impor. Transfer output negatif berkisar Rp 7,76 ribu – Rp 647 ribu dengan tingkat proteksi nominal output negatif berkisar 1 – 18 persen. Kecenderungan yang sama, untuk komoditas jagung yang diusahakan di Klaten, Kediri dan Sidrap, nilai transfer output yang diterima petani produsen sejalan dengan tingkat proteksi output (NPCO) yang relatif rendah, dan hal ini memberi makna bahwa produsen domestik menerima harga jual lebih rendah dibanding harga di pasar internasional. Petani menerima transfer output negatif berkisar Rp 875 ribu – Rp 2,78 juta dengan tingkat proteksi output negatif berkisar 9 – 31 persen. Sementara itu, untuk komoditas kacang tanah di Klaten dan Sidrap, petani menerima harga output yang relatif sama dengan harga sosialnya. Hasil analisis ini membawa pada pengertian terjadinya proses pengalihan surplus petani produsen kepada konsumen (masyarakat), sebagaimana tercermin dari rendahnya harga yang diterima oleh petani dibanding harga yang sesungguhnya (pasar internasional). Proteksi Efektif (EPC) Untuk mengetahui dampak kumulatif kebijakan output dan input tradable dapat ditelusuri dari transfer bersih (net transfer) yang diterima petani dan nilai koefisien proteksi efektif (EPC). Besarnya proteksi efektif yang dinikmati petani sangat tergantung dari kombinasi transfer output dan transfer input. Hasil analisis mengindikasikan bahwa secara umum petani palawija (kedelai, jagung dan kc. tanah) tidak memperoleh perlindungan efektif dari pemerintah, baik untuk output maupun input. Hal ini tercermin dari net transfer yang negatif dan nilai EPC yang kurang dari satu, sehingga petani cenderung membayar harga input tradable dan menjual harga output yang tidak sesuai dengan harga sosialnya. Untuk keseluruhan komoditas dan wilayah, net transfer negatif yang diterima petani berkisar dari terendah Rp 4,9 ribu (kacang tanah) hingga tertinggi Rp 2,9 juta (jagung),
44
dengan tingkat proteksi efektif negatif berkisar 2 – 38 persen. Dengan demikian, petani hanya memperoleh 62 – 98 persen dari nilai tambah pasar bersaing sempurna. Relatif rendahnya proteksi efektif yang diterima petani palawija dikarenakan petani membayar tradable inputs lebih tinggi dari harga sosialnya, sementara harga jual output lebih rendah dari harga yang seharusnya diterima petani. Kenyataan ini menunjukkan bahwa efek kumulatif dari kebijakan pemerintah bagi sistem usahatani palawija dinilai kurang efektif melindungi petani, dan dapat menghambat peningkatan produksi palawija domestik. Temuan yang sama dari hasil penelitian Hutabarat et al. (1997) menginformasikan bahwa petani produsen palawija di luar Jawa belum menikmati proteksi harga dari adanya kebijaksanaan pemerintah, sebagaimana tercermin dari net transfer negatif yang diterima oleh petani. Dari ketiga komoditas palawija yang dikaji, komoditas jagung menerima net transfer negatif (disincentive) terbesar dengan kisaran Rp1,0 juta - Rp 2,9 juta, dengan tingkat proteksi efektif negatif berkisar 23 – 42 persen. Temuan senada (Rachman dan Agustian, 1997) menunjukkan bahwa petani jagung di Sumatera Selatan dan Jambi belum menikmati perlindungan efektif dari hadirnya kebijaksanaan pemerintah. Sementara itu, temuan berbeda (Simatupang, 2002) yang dilakukan di Lampung dan Sumatera Utara mengindikasikan bahwa distorsi pasar cenderung menguntungkan petani jagung yang memperoleh subsidi netto berkisar Rp 121 ribu – Rp 208 ribu per hektar dengan tingkat proteksi efektif sekitar 4 persen. Selanjutnya, ditelaah menurut komoditas tampak net transfer negatif teritinggi untuk komoditas kedelai dan kacang tanah masingmasing adalah Rp 667 ribu dan Rp 117 ribu dengan tingkat proteksi efektif negatif 2` persen dan 4 persen. Dengan pengertian lain, secara efektif kebijaksanaan yang diterapkan pemerintah cenderung tidak melindungi produsen palawija domestik. Konotasi yang sama juga terlihat secara parsial wilayah dan tipe lahan, di mana petani palawija menerima disincentive dari kebijakan yang diintrodusir pemerintah. Dibandingkan dengan padi, struktur insentif yang dialami komoditas palawija ini nampak kontradiktif. Komoditas palawija (khususnya jagung dan kacang tanah) dengan tingkat keunggulan komparatif yang lebih baik
dibandingkan dengan padi, justru mendapat disinsentif dari sistem ekonomi yang ada. Petani produsen palawija membayar harga input yang lebih mahal dan menerima harga output yang lebih murah dari harga sosialnya, sehingga secara total memperoleh disinsentif. Petani padi, walaupun tetap membayar harga input lebih mahal, namun menikmati proteksi output, sehingga secara total tetap menikmati perlindungan dari pemerintah. Di empat kabupaten pengembangan palawija (Klaten, Kediri, Ngawi, dan Sidrap), usahatani padi menikmati harga output sekitar 3,00 persen – 34,0 persen lebih tinggi dari harga paritas, dan menikmati total insentif dengan nilai yang sama. Secara nominal, kisaran nilai insentif bersih yang diterima petani padi adalah Rp 134 ribu – Rp 1,42 juta/ha. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN (1) Dari tiga jenis komoditas palawija yang diusahakan, komoditas jagung dan kacang tanah memberikan keuntungan ekonomis dan memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai dan padi. Berdasarkan pada besaran nilai DRCR, kinerja efisiensi ekonomi jagung dan kacang tanah memiliki tingkat stabilitas yang relatif tinggi terhadap kemungkinan penurunan produktivitas atau harga paritas di pasar dunia. Stabilitas keunggulan komparatif ini nampak semakin mantap pada kondisi jenis irigasi yang semakin baik dan pengusahaan pada MK I. (2) Pada kondisi eksistensi teknologi dan kemampuan manajemen petani saat ini, pengusahaan jagung atau kacang tanah perlu diberikan prioritas, karena dinilai mampu memanfaatkan sumber daya secara lebih efisien. Komoditas kedelai dapat diusahakan pada daerah-daerah yang secara tradisional memiliki potensi dan daya saing yang cukup tinggi seperti Banyuwangi, Jember, Pasuruan, dan Lamongan yang memiliki tingkat produktivitas yang cukup tinggi. Di dalam mempertahankan daya saing komoditas jagung dan kacang tanah ini perlu dilakukan upaya pemantapan peningkatan produktivitas dan efisiensi pemanfaatan masukan untuk mengimbangi
kemungkinan indikasi penurunan harga kedua jenis komoditas ini di pasar dunia. (3) Secara umum petani produsen palawija (kedelai, jagung dan kacang tanah) di lokasi penelitian belum menikmati perlindungan (insentif) dari adanya kebijaksanaan pemerintah, bahkan cenderung mengalami kehilangan surplus. Keadaannya berbeda dengan padi yang mendapat perlindungan dari pemerintah. Meskipun keragaan produksi dan produktivitas dari komoditas palawija tersebut masih tergolong rendah, namun peluang pengembangannya masih terbuka. Oleh karenanya, dipandang penting adanya instrumen kebijaksanaan insentif baik dari segi harga output maupun harga input yang mampu memacu pertumbuhan produksi dan produktivitasnya. (4) Transfer output negatif dan tingkat proteksi negatif yang diterima petani menunjukkan terjadinya proses pengalihan surplus petani produsen kepada konsumen (masyarakat), sebagaimana tercermin dari rendahnya harga jual yang diterima petani dibanding harga yang seharusnya diterima. Sementara transfer input negatif terutama berasal dari pembayaran biaya pupuk, sehingga harga pupuk yang relatif mahal ini dapat menghambat upaya pengembangan produksi dan produktivitas usahatani palawija. Struktur proteksi tanaman pangan perlu dibenahi, di mana jagung dan kacang tanah yang memiliki keunggulan komparatif lebih baik dari kedelai dan padi, perlu mendapatkan perlindungan dari sistem ekonomi dan pemerintah. DAFTAR PUSTAKA Hermanto, A. Zulham, and S.H. Suhartini. 1993. Local Comparative Advantage of Soybean Production: Case from East Java, Indonesia. Local Soybean Economics and Government Policies in Thailand and Indonesia. (Ed. P. Jierwiriyapant et al.), CGPRT Center and CASER, Bogor. Hutabarat, B., A. Djauhari, A. Agustian, B. Rachman. 1997. Potensi dan Peluang Pemanfaatan Sumberdaya Pertumbuhan Produksi Tanaman Pangan di Luar Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
45
Kariyasa, K. dan M.O. Adnyana. 1998. Analisis Keunggulan Komparatif, Dampak Kebijaksanaan Harga dan Mekanisme Pasar Terhadap Agribisnis Jagung di Indonesia. Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung: Akselerasi Pengembangan Teknologi Hasil Penelitian Jagung Menunjang Intensifikasi. Balit Tanaman Jagung dan Serealia Lain, Ujung Pandang, 11 – 12 Nopember 1997. Kasryno, F. 1990. Government Policies and Economic Analysis of Livestock Commodity System in Indonesia. Comparative Advantage and Protection Structure of Livestock and Feedstuff Subsectors in Indonesia (Ed. F. Kasryno and P. Simatupang), CASER, Bogor. Monke, E.A. and S.R. Pearson 1989. The Policy Analysis Matrix For Agricultural Development. Cornell University Press. Ithaca and London. Rachman, B. dan A. Agustian. 1997. Analisis Dampak Kebijaksanaan Insentif Usahatani Padi dan Jagung Di Luar Jawa. Prosiding Seminar Nasional Jagung. Balai Penelitian Jagung dan Sereal.
46
Rosegrant, M.W., F. Kasryno, L.A. Gonzales, C.A. Rasahan, and Y. Saefudin. 1987. Price and Investment in the Indonesian Food Crops Sector. IFPRI, Washington, D.C. and CASER, Bogor, Indonesia. Rusastra, I W. 1995. Keunggulan Komparatif, Struktur Proteksi dan Perdagangan Internasional Kedelai Indonesia. Ekonomi Kedelai di Indonesia (Ed. B. Amang, M.H. Sawit, A. Rachman), IPB Press, Bulog, Jakarta. Rusastra, I W., R. Sajuti dan Ch. Muslim. 1992. Telaahan Aspek Produksi dan Pemasaran Kedelai di Jawa Timur. FPAE Vol.9 No.2 dan Vol.10 No.1, Juli 1992, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Simatupang, P. 1990. Comparative Advantage and Government Protection Structure of Soybean Production in Indonesia. Comparative Advantage and Protection Structures of the Livestock and Feedstuff Subsectors in Indonesia (Ed. F. Kasryno and P. Simatupang). CASER, AARD, Bogor. Simatupang, P. 2002. Daya Saing dan Efisiensi Usahatani Jagung Hibrida Indonesia. Makalah disampaikan dalam Diskusi Nasional Agribisnis Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor, 24 Juni 2002.
47
48
49
Tabel 15. Nilai Output dan Input Transfer untuk Komoditas Kedelai, Jagung dan Kacang Tanah di Empat Kabupaten Penelitian, Tahun 2001
Uraian Kedelai Klaten - MK I 2001 (irigasi teknis) - MK II 2001 (tadah hujan) Ngawi - MK II 2001 (irigasi ½ teknis) - MK II 2001 (irigasi sederhn) - MK I 2001 (tadah hujan) - MK II 2001(tadah hujan) Jagung Klaten - MK I 2001 (irigasi ½ teknis) - MK II 2001 (irigasi ½ teknis) - MK II 2001 (tadah hujan) Kediri - MK I 2001 (irigasi teknis) - MK II 2001 (irigasi teknis) - MK I 2001 (irigasi ½ teknis) - MK II 2001 (irigasi ½ teknis) - MK I 2001 (irigasi sederhn) - MK II 2001 (irigasi sederhn) - MK I 2001 (tadah hujan) - MK II 2001 (tadah hujan) Sidrap - MK II 2001 (irigasi ½ teknis) - MK II 2001 (irigasi sederhn) - MK II 2001 (tadah hujan) Kacang tanah Klaten - MK II 2001 (irigasi teknis) - MK II 2001 (tadah hujan) Sidrap - MK I 2001 (irigasi ½ teknis) - MK II 2001 (irigasi sederhn) - MK II 2001 (tadah hujan)
Transfer Output
Transfer Input Seed
Urea
SP-36
KCl
ZA
NPK
Herbisida
Pestisida
Total
Transfer Bersih
7.615 -7.762
0 0
-1.064 1.890
2.491 641
0 0
0 0
0 0
15.626 50.207
2.500 0
30.185 62.184
-36.654 -88.229
-180.842 290.671 -646.976 -151.036
0 0 0 0
0 -573 0 0
0 0 -15.236 882
0 0 0 0
0 2.649 -17.018 0
0 0 0 0
11.237 12.540 17.095 27.062
0 0 0 0
18.272 32.653 1.161 33.589
-209.887 239.095 -667.032 -199.736
-2.789.927 -1.415.290 -1.727.024
100.100 153.590 189.564
-33.553 12.718 5.280
-1.896 1.618 6.549
3.428 1.573 0
-637 2.083 0
0 0 0
2.500 2.690 28.040
0 0 0
75.719 178.543 243.213
-2.887.972 -1.620.839 -2.000.884
-2.716.798 -1.307.015 -2.451.743 -1.415.361 -2.477.101 -1.746.731 -2.216.223 -1.320.813
140.740 177.890 30.559 139.596 129.148 189.687 141.235 233.208
-34.571 7.930 66.787 6.860 -31.693 -2.804 -19.792 4.040
-17.586 6.382 -20.592 4.566 -11.874 6.098 -10.736 9.140
0 0 0 0 -5.979 8.023 1.960 4.914
-2.996 636 0 707 -3.765 7.284 -11.654 6.380
0 0 0 0 0 0 0 0
15.986 10.797 12.381 3.768 18.232 21.958 25.853 28.745
0 0 0 0 0 0 0 0
102.738 208.379 146.655 194.658 93.672 226.344 210.344 292.099
-2.851.651 -1.547.053 -2.632.547 -2.606.354 -2.002.330 -2.002.330 -2.465.639 -1.648.472
-874.694 -1.036.349 -1.092.354
41.313 62.039 68.776
-2.239 635 3.834
7.679 2.343 5.772
572 0 0
0 4.078 0
0 0 0
6.848 0 2.080
34.633 52.212 39.467
120.732 117.178 116.905
-1.014.282 -1.170.143 -1.221.963
0 0
0 0
-1.085 13.413
4.929 4.618
0 0
1.532 0
0 0
54.032 67.138
0 0
59.409 15.164
-86.373 -116.570
0 0 0
0 0 0
-2.834 856 9.942
-1.258 4.405 4.708
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 63.529 0
-4.092 72.403 14.650
-4.921 -89.640 -33.787
Tabel Lampiran 1. Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Palawija di Tujuh Kabupaten Lokasi Contoh, MH00/001 dan MK001 Uraian Harga FOB (US $/ton)
MH
Benih Jagung MK I
MK II
MH
Jagung MK I
MK II
MH
kedelai MK I
MK II
516,0
1.146,0
1.009,0
122,0
122,0
117,0
216,0
217,0
205,0
17,5
17,5
17,5
17,5
17,5
17,5
17,5
17,5
17,5
533,5
1.163,5
1.026,5
139,5
139,5
134,5
233,5
234,5
222,5
Exchange Rate (Rp/US$)
9.603,0
11.143,0
9.786,0
9.603,0
11.143,0
9.786,0
9.603,0
11.143,0
9.786,0
Harga CIF (Rp/kg)
5.123,2
12.964,9
10.045,3
1.339,6
1.554,4
1.316,2
2.242,3
2.613,0
2.117,4
Pelabuhan - kota prop.
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
Kota prop. - kota kab.
30,0
30,0
30,0
30,0
30,0
30,0
30,0
30,0
30,0
Kata kab. – desa
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
Penanganan (bongkar/muat)
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
Harga sos.di petani (Rp/kg beras)
5.213,2
13.054,9
10.135,3
1.429,6
1.644,4
1.406,2
2.332,3
2.703,0
2.267,4
Konversi
5.213,2
13.054,9
10.135,3
1.429,6
1.644,4
1.406,2
2.332,3
2.703,0
2.267,4
75,0
75,0
75,0
75,0
75,0
75,0
75,0
75,0
75,0
5.138,2
12.979,9
10.060,3
1.354,6
1.569,4
1.331,2
2.257,3
2.628,0
2.192,4
Freight & Insurance (US $/ton) Harga CIF (US$/kg)
Biaya angkutan & Penanganan (Rp/kg)
Biaya giling (Rp/kg GKP) Harga sos. di petani (Rp/kg GKP)
Tabel Lampiran 2. Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Pupuk Urea di Tujuh Kabupaten Lokasi Contoh, MH00/001 dan MK001 Uraian MH Harga FOB (US $/ton)
Benih Jagung MK I
MK II
108,7
105,3
105,3
Exchange Rate (Rp/US$)
9.603,0
11.143,0
9.786,0
Harga FOB (Rp/kg)
1.043,8
1.173,4
1.030,5
Pelabuhan - kota provinsi
20,0
20,0
20,0
Kota provinsi- kota kabupaten
30,0
30,0
30,0
Kata kabupaten – desa
20,0
20,0
20,0
Penanganan (bongkar/muat)
20,0
20,0
20,0
Harga sosial di petani (Rp/kg)
1.133,8
1.263,4
1.120,5
Biaya angkutan & Penanganan (Rp/kg)
Tabel Lampiran 3. Justifikasi Perhitungan Harga Bayangan Pupuk ZA, SP-36, KCL, dan NPK di Tujuh Kabupaten Lokasi Contoh, MH00/0001 dan MK001 Uraian Harga CIF(US $/ton) Exchange Rate (Rp/US$) Harga CIF (Rp/kg)
MH 97,6
ZA MK I 100,8
MK II 100,8
MH 149,0
SP-36 MK I 149,0
9.603,0 11.143,0 9.786,0 9.603,0 11.143,0
MK II 149,0
MH 135,0
KCl MK I 165,0
MK II 165,0
MH 167,0
NPK MK I 167,0
MK II 167,0
9.786,0 9.603,0 11.143,0 9.786,0 9.603,7 11.143,0 9.786,0
937,3
1.123,2
986,4
986,4
1.660,3
1.458,1 1.296,4
1.838,6 1.614,7 1.603,7
1.860,9 1.634,3
Pelabuhan - kota provinsi
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
Kota provinsi- kota kabupaten
30,0
30,0
30,0
30,0
30,0
30,0
30,0
30,0
30,0
30,0
30,0
30,0
Kata kabupaten – desa
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
Penanganan (bongkar/muat)
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
20,0
Harga sosial di petani (Rp/kg)
1.027,3
1.213,2 1.076,4 1.520,8
1.750,3
Biaya angkutan & Penanganan (Rp/kg) :
1.548,1 1.386,4
1.928,6 1.704,7 1.693,7
1.950,9 1.724,3